4 Kamar
Apakah berhasil?
Tapi, namun kenyataannya tidak berhasil.
Boleh perkenalkan diri Anda berharap agar boat-boat pengantar tamu atau yang jemput
saya adalah salah satu warga Pulau Rinca yang ada dalam tamu dari Labuan Bajo itu berhentinya di Kampung Rinca,
kawasan TNK, dengan total penduduk kurang lebih 1100 supaya boat-boat yang JT-nya kecil dapat bagian
jiwa. Hampir 99% dari warga di sini adalah nelayan. Desa mengantarkan tamu ke Loh Buaya. Sekaligus kami berharap,
Pasir Panjang masuk dalam Kawasan Taman Nasional. Tapi, kapal-kapal tamu yang ada kamar atau apa jangan
Taman Nasional kami akui dapat memberi dampak positip menginapkan tamu di kapal. Atau jangan ada hotel yang
pada negara yang seharusnya kepada masyarakatnya juga. terapung.
Ya, memang seharusnya demikian Berhadapan dengan situasi seperti ini, apa yang warga
Tetapi kenyataannya masyarakat desa Pasir Panjang belum lakukan
merasakan manfaat dari Taman Nasional yang ada. Saya tetap mengatakan, dan sekali lagi saya tetap
mengatakan, kalau memang Taman Nasional tidak memikirkan
Bisa disebutkan Contohnya dengan masyarakat yang ada dalam kawasan Taman Nasional,
Karena semua potensi-potensi yang ada di Desa Pasir Panjang, saya tidak segan-segan untuk semua tempat wisata yang
contohnya Pulau Kalong, Gua Kalong, Batu Balok, Selat Molo, berpotensi, kami akan blok, karena itu milik kami. Karena yang
pantai-pantai rekreasi tempat wisata itu hanya memberi mendapat keuntungan adalah masyarakat Labuan Bajo,
dampak postip bagi masyarakat di luar Desa Pasir Panjang. masyarakat Lombok atau masyarakat yang ada di luar
Sedangkan masyarakat yang ada di desa Pasir Panjang hanya kawasan Taman Nasional atau di luar kampung Rinca.
jadi penonton.
Seperti apa manfaat langsung yang didapat pariwisata Terkait kunjungan wisatawan ke kampung Rinca
warga kampung Rinca dengan pariwisata bagaimana
Kalau saya mau bicara tentang pariwisata, taman nasional ya, Relasi antara masyarakat dengan wisatawan belum
saya rasa tentang keuntungan ada ya, tapi di pihak-pihak yang menyentuh, belum terealisasi betul, belum masksimal. Karena
besar yang ada dalam kawasan tama nasional ini ya. Setelah baru satu kali dua kali datang. Nanti kalau terus-terus datang,
dikelola taman nasional oleh balai, masyallah ya, kayu-kayu di maka homestay akan berfungsi. Tapi belum ada realisasi.
jalan-jala itu sudah tumbuh besar. Ini kelebihannya. Lalu
hewan-hewan yang misalnya rusa, kerbau nah ini utuh. Dulu pernah ada janji katanya mau ada datang berapa puluh,
berapa ratus mau datang itu, sehingga keburu kita buat rumah
Selain itu, apa ada dampak lainnya di bawah ini, sehingga ada berapa biji rumah dipersiapkan,
Hanya sekarang persoalannya tidak menyentuh kepada tapi kelihatannya sampai hari ini belum ada yang nginap.
masyarakat. Karena dulunya kalau saya sebagai pekerja di Kalau datang turis, kunjungan-kunjungan turis ke sini, bisa
desa, nah ini pernah ada janji mengatakan bahwa setiap di dapat kelebihan-kelebihan untuk masyarakat. Sekrang
Loh Buaya itu ada prosentase untuk masyarakat desa. Semua misalnya, pekerja patung yang ada di bawah itu, macam Haji
anggaran itu ada prosentasenya untuk desa. Kalau saya tidak Saka ya, itu tetap saja ada, tapi tidak pernah ada yang laku
salah prosentasenya itu 5%. Tapi saya tanya ke pemerintah ya, karena belum banyak orang yang datang.
desa hari ini katanya tidak pernah ada. Entah dijalankan
kemana, ini walahuallam juga ya, itu bukan tugas kita, hanya Karena banyak perjanjian ya, sekarang orang anyam-
kita melihat begitu. anyaman, pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan
keuntungan, seperti tenun tetapi hari ini, kelihatannya kosong
Apakah tidak ada bantuan sampai sejauh ini saja. Tidak ada yang jadi. Tidak ada yang produktif. Dan
Persoalan Misalnya sekarang dengan zamannya pak Jokowi ini, hasilnya juga tidak ada.
presiden Jokowi, ini rumah mulai tersentuh masyarakatnya.
Rumahnya yang tidak layak diperbaiki. Tapi satu permintaan Harapan Bapak seperti apa
kita di dalam kawasan taman nasional ini, orang yang tidak Harapan kami dengan adanya taman nasional, masyarakat
punya rumah sampai hari ini tidak dibantu ya. Orang yang ada bisa hidup sejahtera. Itu saja.
rumahnya yang tidak layak dibantu, orang yang tidak punya
rumah tidak dibantu. Ini menjadi lucu ya. Jadi tidak sehat,
satu rumah dua kepala keluarga. Itu yang kita pikirkan
bersama, termasuk datangnya ini saya terbuka ya kiranya bisa
menyentuhlah. Semua anggaran
Kalau kita melihat pengunjung-pengunjung ke taman nasional,
itu ada prosentasenya
masyallah, dari turis-turis yang datang ya, nah kalau saya
rasa, kalau mau buat rumah merakyat saja, saya rasa tidak
untuk desa. 5%. Tapi, (sampai
terlalu sulit apalagi dengan anggaran begitu banyak ya. hari ini), tidak pernah ada.
Sebagai sepuh agama, apa harapannya
Permintaan saya ya, karena saya orang masjid ya, sampai
hari ini taman nasional tidak pernah bantu kita punya
mesjid ini.
Sampai hari ini ya. Selama saya imam berapa puluh tahun,
tigah puluh tahun, tidak pernah ada uluran tangan ini untuk
mesjid, tidak ada.
Nah itu saya spontan saja ya. Karena saya sendiri orang
yang dekat dengan taman nasional, orang yang selalu Sampai hari ini ya.
berikan saran ya, tentang kebaikan, tentang apa saja,
karena saya imam mesjid, arahan-arahan ke tempat yang
Selama saya imam
jangan sampai merusakkan taman nasional ini, itu sudah berapa puluh tahun,
ada. Tetapi saya juga belum tersentuh. Bukan hanya saya,
masyarakat yang lain juga. tigah puluh tahun,
Ke depannya, bagaimana melihat Kampung Rinca
tidak pernah ada
Sampai kapan pun masyarakat akan tetap seperti ini saja. uluran tangan ini
Karena masyarakat mendatangkan keuntungan karena
usaha sendiri. Tapi kalau berharap dengan mendatangkan untuk mesjid,
keuntungan dari taman nasional ini untuk mensejahterakan
masyarakat, saya rasa tidak ada. tidak ada.
PENGANTAR
Mereka tidak lagi menggan-
Tulisan “Welcome to Eco Village Komodo” dan “Selamat
Datang di Kampoeng Wisata Pulau Komodo” menyambut
tungkan hidupnya pada mata
setiap orang saat tiba di Pulau Komodo, Kabupaten Mang-
garai Barat (Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
pencaharian awal mereka, yaitu
bertani, berburuh dan
Pelayaran ke tempat itu ditempuh dalam waktu kurang lebih
4 jam dari Labuan Bajo, ibukota Mabar. melaut, tetapi pada pariwisata
yang konon secara teoritik
Sarana transportasi umumnya dengan kapal ojek, sebutan
masyarakat setempat untuk kapal berukuran kecil, dengan digolongkan sebagai sektor post-
kapasitas penumpang di bawah 10 orang.
ekstraktif yang lebih berkelan
Pelayaran tidak saja menyenangkan dengan suguhan
pesona pulau-pulau, tetapi juga menegangkan ketika
jutan dalam banyak aspek.
melintasi area Batu Tiga yang arus lautnya sangat deras.
Kampung Komodo pun kemudian dideklarasikan sebagai
desa atau kampung yang berbasis ekoturisme.
Beberapa dekade belakangan, Pulau Komodo menjadi
begitu masyur, berkat anugerah istimewa sebagai habitat
kadal raksasa komodo (Varanus komodoensis) . Pertanyaannya: sejauh mana ekoturisme membawa dampak
positif bagi kesejahteraan masyarakat setempat?
Kemasyuran pulau ini pun meledak, menyusul ditetapkan
nya ora, sebutan masyarakat setempat untuk reptil raksasa Ulasan ini, yang dirangkai dari pengalaman perjumpaan
tersebut, sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. langsung dengan realitas masyarakat di Pulau Komodo
selama dua hari, pada satu sisi memperlihatan peluang
yang menjanjikan melalui pengembangan desa berbasis
Pulau Komodo bersama penghuni aslinya yang sudah
ekoturisme. Namun, pada sisi yang lain juga terungkap
beratus-ratus tahun hidup dengan budaya dan mata pen-
berbagai krisis yang mereka alami.
caharian sebagai petani, berburuh dan nelayan pun menjadi
destinasi pariwisata yang mendunia, yang saban hari
dikunjungi para turis, baik domestik maupun mancanegara.
Setidaknya, cerita-cerita tersebut dihubungkan oleh satu Seiring dengan aturan zonasi yang baru dari pihak TNK
benang merah bahwa Komodo merupakan saudara kembar pada akhir 1990an dan awal 2000an, area tangkapan ikan
dari penduduk asli Pulau Komodo. Status sebagai saudara masyarakat sudah semakin sempit.
kembar ini terkonfirmasi melalui kisah-kisah yang
menggambarkan kedekatan hubungan warga dengan Tercatat hingga saat ini, hanya tersisa 3 kapal bagang yang
binatang tersebut. masih aktif menangkap ikan. Imbasnya, harga ikan di Pulau
Komodo saat ini lebih mahal ketimbang Labuan Bajo.
Dahulu kala, ketika warga masih menggantungkan hidup
pada aktivitas berburuh, bagian dalam dari hewan buruhan Bahkan, kebutuhan akan lauk warga sebagiannya telah
sudah menjadi jatah tetap santapan Komodo. tergantikan oleh mie dan telur yang dijual di kios-kios yang
letaknya hampir berdesak-desakan.
Sedemikian harmonisnya hubungan mereka, dilukiskan
bahwa ketika warga baru saja berhasil menangkap hewan Warga Komodo kini telah memasuki tahap baru dalam
buruhan, segerombolan Komodo datang menghampir, kehidupannya yaitu sebagai masyarakat pariwisata. Sekilas,
karena mereka sudah tahu mereka pasti mendapat jatah. kehidupan mereka pun tidak jauh-jauh amat dari kata
sejahtera.
Di samping berburuh, penduduk Pulau Komodo juga
menggantungkan hidup pada aktivitas bertani. Di daerah Rumah tembok dan kayu berjejer, gang-gang kampung
Loh Liang, tempat penangkaran Komodo, masih terdapat telah dirabatisasi, infrastruktur dasar seperti air minum,
jejak-jejak kebun warga. Puskesmas, SD dan SMP sudah cukup untuk membenarkan
tesis itu. Tidak hanya itu, perederan uang pun sudah
Bahkan, sebagian dari generasi sekarang masih berupaya semakin tinggi. Mobilitas orang Komodo menuju Labuan
membangun negosiasi dengan pihak TNK untuk mendapat- Bajo juga sudah sangat tinggi. Edi, seorang kapten kapal
kan hak milik atas tanah. yang berasal dari daerah tetangga, Bima, Nusa Tenggara
Barat bahkan bersaksi bahwa di Pulau Komodo sekarang ini
tidak sulit mendapatkan uang.
Setelah sekian lama berburuh dan bertani, penduduk
Komodo pelan-pelan mencari peruntungan di laut dengan
menjadi nelayan. Pekerjaan ini sangat dicintai oleh Sebagai kapten kapal saja, sehari ia rata-rata mendapatkan
masyarakat Komodo, karena lebih mendatangkan manfaat keuntungan bersih sekitar Rp 3.000.000. Pendapatannya
dari segi ekonomi. sekarang jauh berbeda bak langit dan bumi ketika
sebelumnya ia menjadi seorang pelayan toko di kota
Labuan Bajo dengan hanya mendapat Rp 700.000
Bersama warga dari beberapa pulau lain seperti Papagarang per bulan.
dan Rinca, warga Komodo tercatat sebagai pemasok ikan
bagi masyarakat kota Labuan Bajo, bahkan Manggarai
umumnya.
PELUANG DAN TANTANGAN pengerjaannya dilakukan secara berkelompok, mulai dari
tahap produksi hingga pemasaran. Persis ini yang belum
Kisah sukses sebagian kecil orang di tengah kemajuan pari- terbangun dengan baik di Komodo”.
wisata, faktanya, juga muncul beiringan dengan sejumlah
soal krusial. Di bawah payung ekoturisme, menjadi pengraj- Pada kenyataannya, sejauh ini, dari 50 pengrajin patung di
in patung dan penjual souvenir merupakan mata pencahari- Pulau Komodo, 30 di antaranya terdaftar sebagai pengrajin
an baru masyarakat Pulau Komodo. Sejauh ini, penduduk di Kementrian Ekonomi Kreatif yang kemudian terbagi da-
Pulau Komodo yang tercatat sebagai pengrajin patung ber- lam 3 kelompok.
jumlah sekitar 50 orang, sedangkan sebagai penjual souve-
nir berjumlah kira-kira 150 orang. Menjawab pertanyaan terkait apa peran kelompok-
kelompok tersebut, menurut Saeh, belum berfungsi dengan
Para pengrajin patung rata-rata membangun usahanya baik dalam memfasilitasi usaha para pengrajin patung. Ini
langsung di Kampung Komodo. Biasanya mereka me- terbukti dari proses pengerjaan patung yang masih dil-
manfaatkan area sempit di sekitar rumah atau juga di akukan sendiri-sendiri.
bawah kolong rumah. Sedangkan penjual souvenir sebagian
besarnya terkonsentrasi di Loh Liang dengan lokasi jual Sedemikian individualnya proses pengerjaan ini, demikian
yang sudah disiapkan oleh pihak TNK. Ada pula beberapa Saeh, dalam kelompok yang sama setiap anggota berlomba-
orang penjual souvenir yang lebih memilih untuk membuka lomba membuat proposal untuk bantuan. Pernah terjadi ada
usaha langsung di Kampung Komodo. 7 orang dengan stempel kelompok yang sama pada pro-
posal permohonan bantuan dana.
Pada prosesnya patung yang dibuat oleh para pengrajin
dibeli oleh para penjual souvenir dengan kisaran harga Rp Sama halnya dengan para pengrajin patung, para penjual
15.000 hingga Rp 250.000, yang sangat tergantung pada souvenir pun memberi komentar dan pendapat terkait
ukuran patung. Biasanya, para penjual souvenir bermitra prospek ekonomi dan hambatan dalam menekuni profesi
dengan 2 hingga 3 pengrajin. Patung yang telah dibeli dari sebagai penjual souvenir. Pada kenyataannya, profesi se-
para pengrajin, oleh para penjual souvenir selanjutnya di- bagai penjual souvenir tampak lebih menjanjikan ketimbang
permak lagi, sehingga semakin menyerupai Komodo. pengrajin patung. Karena itu, merasa tidak puas dengan
Patung-patung ini awalnya diperhalus dengan pendapatan yang diperoleh, sebagian pengrajin patung juga
menggunakan kertas pasir, selanjutnya dibuatkan sisik-sisik memilih untuk menjadi penjual souvenir.
di sekujur tubuh patung.
Terkait hal ini Kasim bercerita jika baru-baru ini para pen-
Saeh, seorang pengrajin patung generasi kedua yang telah grajin patung dan pengusaha souvenir dibuat heboh ketika
menekuni pekerjaan tersebut sejak tahun 1997, menga- di tengah-tengah jejeran patung Komodo, tiba-tiba terdapat
takan bahwa sebenarnya prospek ekonomi dari pengrajin patung Komodo yang terbuat dari fiber.
patung ini akan berlipat-lipat ganda jika saja proses
pengerjaan tersebut berlangsung dalam komunitas atau
semacam asosiasi dengan sebuah sistem yang tertata “Ini tentu membahayakan kami sebagai pengrajin dan juga
dengan jelas. pengusaha souvenir di Pulau ini”, terang Kasim. Karena itu,
ia sangat berharap agar asosiasi pengrajin patung dan
penjual souvenir harus sungguh menjalankan fungsinya un-
Membandingkan pengalamannya dengan daerah lain, Saeh tuk melindungi para anggota.
bertutur “saya sudah banyak kali ikut pelatihan pembuatan
patung di Jawa dan Bali. Kemampuan dan keterampilan
mereka tidak jauh berbeda dengan masyarakat di sini. Han-
ya yang menjadi kelebihan mereka adalah sistem
BUKAN HANYA ORA katanya.
Berjalan keliling Kampung Komodo, sekilas muncul rasa Isnan, pengelola home stay di Kampung Komodo menga-
bingung. Pasalnya, tulisan yang terpampang pada dua takan, akhir-akhir ini terjadi trend menurunnya para tamu
gapura kampung terkesan tidak cukup tergambarkan oleh yang menginap di home stay milik warga . Para tamu lebih
suasana kampung tersebut. memilih untuk beristirahat malam di kapal. Menurutnya, hal
ini bisa saja terjadi karena kurangnya daya pikat dari Kam-
Hanya beberapa home stay dan toko souvenir yang sedikit pung Komodo itu sendiri, yang membuat para tamu khu-
memberi bukti akan denyut nadi pariwisata. Lalu, apakah susnya orang bule tidak bisa lama-lama berada di sana.
tidak ada pesona wisata lain selain ora?
Di tengah tidak tergalinya potensi-potensi kebudayaan ini
Jangan-jangan ada kekayaan budaya dan harta karun se- sebagai modal penting dalam pengembangan ekoturisme,
jarah lain yang bisa dikapitalisasi untuk menjadi bagian dari sebagian masyarakat Komodo yang lain mencoba perun-
pengembangan ekoturisme masyarakat Pulau Komodo? tungan dengan bergabung dalam asosiasi natural guide.
Dugaan ini pun terkonfirmasi oleh kenyataan. Sebagai Sejauh ini, tercatat sekitar 20 orang natural guide yang oleh
misal, masyarakat Komodo mempunyai kekayaan budaya pihak TNK ditugaskan untuk memandu para tamu di Loh
seni tari yaitu tarian Arugela yang mengisahkan kelahiran Liang.
Komodo. Mereka juga mempunyai tarian Kolo Kamba dan
pencak silat. Selain itu, orang Komodo juga mempunyai Namun, menurut warga setempat, para natural guide ini
peninggalan sejarah yaitu situs kampung lama yang sejauh kadang harus bersaing dengan guide-guide profesional dan
ini belum dipromosi sebagai bagian dari paket wisata. tidak jarang mereka pun sering terpinggirkan dalam kompe-
Bahkan, hingga beberapa versi cerita terkait asal-usul Ko- tisi ini.
modo bisa dijadikan sebagai sajian wisata yang menarik un-
tuk para wisatawan. Di samping natural guide, beberapa warga Komodo juga be-
rusaha mendulang rupiah dengan jalan bernegosiasi dengan
Terkait hal ini, orang Komodo sendiri kerap mempertan- pihak TNK untuk terlibat dalam pengelolaan pantai merah
yakan legitimasi beberapa event besar yang berlabel Komo- (pink beach), salah satu destinasi pariwisata di Pulau Komo-
do seperti Sail Komodo dan Festival Komodo tahunan yang do yang akhir-akhir ini ramai dikunjungi para turis. Mereka
hingga sekarang ini tidak pernah memanggungkan ke- tergabung dalam asosiasi yang diberi nama Askom.
budayaan asli Komodo.
Bentuk keterlibatan mereka adalah menyiapkan kapal-kapal
Musalim, seorang tokoh masyarakat Komodo bertutur kecil untuk mengantar para tamu dari kapal trip menuju ar-
“jangan-jangan ketika menyebut Komodo, orang hanya ber- ea pantai. Karena itu, kapal trip tidak diperkenankan untuk
pikir sekitar Komodo-nya saja dan pada saat yang sama masuk ke area pantai merah. Para tamu wajib membayar
secara adat budaya kami dianggap sebagai bagian dari Flo- Rp 15.000 hingga Rp 20.000.
res daratan, sehingga tidak pernah ada pikiran kalau kami
sebagai orang Komodo ini punya adat dan budaya yang Terkait keberadaan kelompok ini berkembang desas-desus
khas yang sangat berbeda dengan orang Flores daratan.” di tengah masyarakat Komodo. Sebagian masyarakat mem-
pertanyakan legalitas dari kelompok ini, sebab sejauh ini
Sejauh ini, menurut warga setempat hanya ada satu tour disinyalir bahwa kelompok ini belum mendapatkan izin
guide yang secara konsisten mempromosikan kekayaan bu- resmi dari pihak TNK. Karena itu, jangan sampai ada tud-
daya seperti tarian Arugela kepada para tamu. ingan pungutan liar dalam kawasan TNK.
Ketika ditanya sejauh mana kontak yang terjadi antara Sebagian lagi mempertanyakan transparansi dan inklusivitas
masyarakat Komodo dengan para tamu/turis di Kampung dari kelompok ini. Sebab, dari awal telah disepakati bahwa
Komodo, kata Supar, seorang pengrajin patung “paling sebagian pendapatan dari kelompok ini akan diserahkan
mereka datang lihat-lihat kami punya kerja.” kepada desa. Namun, dalam kenyataannya sejauh ini tidak
ada laporan terkait hal itu.
“Kadang ada bule yang langsung beli patung kasar yang su-
dah kami buat. Selebihnya mereka hanya jalan-jalan keliling
kampung, lalu kembali berangkat ke tempat wisata lain,”
“SEBATAS BISIK-BISIK DI ANTARA KAMI”
“Kami bisa apa, kalau Pemda jawab seperti itu”, lanjut Mu-
salim.