Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kusta atau disebut juga Morbus Hansen merupakan penyakit yang menyerang

kulit maupun saraf yang disebabkan oleh infeksi Microbacterium leprae. Kusta

berasal dari bahasa sansekerta yaitu Kusta yang artinya kumpulan gejala penyakit

kulit secara umum (Kemenkes RI, 2015). Kecacatan yang dialami oleh penderita

kusta menyebabkan berbagai macam dampak sosial maupun psikologis. Dampak

sosial yang dialami diantaranya adalah penderita tidak dapat melakukan fungsi

sosial dalam masyarakat, terisolasi dari pergaulan dalam keluarga maupun

masyarakat sekitar serta dalam segi psikologis akan menurunkan harga diri

penderita akibat kecacatan yang ditimbulkan. (Soedarjatmi, dkk, 2009)

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular menahun yang

menimbulkan masalah yang sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan hanya

dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan

dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara

yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam

memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan,

kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini

masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini

disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru


2

terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkanya. Dengan kemajuan teknologi di

bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang

penyakit kusta, maka penyakit kusta dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi

menjadi masalah kesehatan masyarakat. Akan tetapi mengingat kompleksnya

masalah penyakit kusta, maka diperlukan program pengendalian secara terpadu dan

menyeluruh melalui strategi yang sesuai dengan endemisitas penyakit kusta. Selain

itu juga harus diperhatikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial ekonomi untuk

meningkatkan kualitas hidup mantan penderita kusta.

Pada akhir tahun 2000, WHO telah menyatakan bahwa eliminasi kusta telah

tercapai dan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat global. Eliminasi

didefinisikan prevalensi kurang dari satu per 10.000 penduduk. Kasus di dunia

tercatat pada tahun 1985 sejumlah 5 – 35 juta kasus (12 per 10.000) dan pada

akhir tahun 2000 menurun menjadi 597.035 kasus (satu per 10.000). Dari 118

negara endemic kusta WHO mencatat 254.525 kasus pada tahun 2007 dan di tahun

2008 mengalami penurunan menjadi 212.802 kasus. Indonesia menempati urutan

ketiga setelah India dan Brazil dalam hal menyumbang jumlah penderita kusta di

dunia.

Keberhasilan perawatan diri yang dilakukan oleh penderita kusta dapat

dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah dukungan dari keluarga serta

pengetahuan penderita kusta. Salah satu faktor pendukung keberhasilan penderita

kusta yaitu dukungan dari keluarga penderita kusta. Menurut Friedman (2010),

dukungan keluarga menjadi faktor penting dalam proses penyembuhan seseorang,


3

keluarga dapat memberikan dorongan baik dari segi fisik maupun psikologis bagi

penderita. Dukungan dari keluarga berdampak pada kecepatan penyembuhan

seseorang serta meningkatkan fungsi kognitif maupun emosi seseorang (Setiadi,

2008). Ketika penderita kusta mendapatkan dukungan yang cukup maka

penyembuhan akan semakin cepat, serta akan lebih giat dalam mencari dan

melakukan upaya-upaya penyembuhan bagi dirinya dalam hal ini adalah upaya

pencegahan cacat dengan melakukan perawatan diri. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Mahanani (2013), di Puskesmas Kunduran Kecamatan

Kunduran Kabupaten Blora. Penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa ada

hubungan antara dukungan keluarga dengan perawatan diri penderita kusta.

Faktor lain yang berperan dalam perawatan diri penderita kusta adalah dari

aspek pengetahuan penderita kusta. Pengetahuan adalah hasil tahu manusia

terhadap suatu objek melalui pengindraan yang dimiliki oleh manusia

(Notoatmodjo, 2012). Menurut Blum (1974) pengetahuan adalah domain penting

yang mempengaruhi kesehatan individu. Semakin baik pengetahuan seseorang

akan suatu permasalahan kesehatan maka semakin baik pula upaya peningkatan

kesehatan yang dilakukan oleh seseorang. Begitupula pada permasalahan tentang

kusta, semakin banyak informasi yang didapat akan semakin baik pengetahuan

penderita kusta dalam hal ini adalah perawatan diri dalam upaya pencegahan

kecacatan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Solikhah (2016)

yang menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat

pengetahuan dengan perawatan diri penderita kusta.


4

Mengingat bahwa masalah kusta menurut skenario di desa kabupaten kota baru

stigma terhadap penyakitnya masih tinggi, ada 23 mantan penderita yang telah

dinyatakan RFT (realese from treatment), 2 orang cacat pada matanya, 5 orang

terdapat luka luka pada kakinya yang tak kunjung sembuh. Oleh sebab itu kami

penulis akan mencari solusi dalam meningkatkan kemandirian hidup untuk harkat

hidup yang lebih baik bagi penderita kusta.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana upaya peningkatan kemandirian hidup untuk harkat hidup yang

lebih layak bagi penderita kusta di masa depan?

C. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan solusi dalam meningkatkan kemandirian hidup

untuk harkat hidup yang lebih layak bagi penderita kusta.

2. Tujuan Khusus

a. Meningkatkan fasilitas kesehatan yang memadai pada lokasi endemik

penyakit kusta.

b. Meningkatkan program promosi dan edukasi kesehatan terutama mengenai

penyakit kusta pada kualitas Sumber Daya Manusia yang rendah.


5

c. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya dilakukan rehabilitasi dengan

diadakannya perekrutan kader untuk meningkatkan kualitas hidup penderita

kusta dan penderita yang sudah dinyatakan RFT

D. MANFAAT

1. Terbentuknya rencana program guna penanggulangan kusta

2. Meningkatkan pengetahuan tentang penyakit kusta

3. Memaham cara pencegahan kusta

4. Memahami cara penularan kusta


6

BAB II
ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. SKENARIO

Dina, Roby dan Made adalah mahasiswa kedokteran yang sedang

melaksanakan praktek Kepanitraan Klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat

(IKM) tentang kedokteran komunikasi di Puskesmas Sukamaju Kabupaten Kota

Baru. Ada satu desa yang merupakan desa endemis Kusta (Prevalensi: 14/10.000)

pada puskesmas tersebut. Dina dan teman temanya merasa ingin tahun bagaimana

Puskesmas menanganinya. Desa tersebut terletak di salah satu pulau yang terpisah

dengan lokasi Puskesmas. Penduduk desa sebagian besar berpendidikan Sekolah

Dasar, stigma terhadap penyakit kusta masih tinggi, masyarakat masih menganggap

bahwa menderita kusta adalah akibat kutukan Tuhan, lingkungan, sosial ekonomi

(sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan) kurang mendukung. Semua kegiatan

manta penderita, apalagi yang menunjukkan kecacatan, tidak mendapat dukungan

masyarakat. Semua produk yang dihasilkan tdak mendapat dukungan secara

ekonomi dari masyarakat. Harga diripun hancur. Ada 23 mantan penderita yang

telah dinyatakan RFT (release from treatment), 2 orang cacat pada matanya, 5 orang

terdapat luka luka pada kakinya yang tidak kujung sembuh. Bagaimana usaha Dina

dan kelompoknya untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk hidup mandiri

sehingga akan memperoleh harkat hidup yang lebih layak di masa depannya.
7

B. ANALISA

Dari data pada skenario diatas dapat diidentifikasi terdapat permasalahan

sebagai berikut :

1. Lokasi Geografis

2. Kualitas Sumber Daya Manusia yang rendah

3. Tidak ada upaya Rehabilitasi

Faktor tersebut menjadi faktor resiko penyebab mengapa hingga saat ini

kemampuan penderita kusta untuk hidup mandiri menurun.

1. Lokasi Geografis

Pada skenario diatas, lokasi desa endemis kusta merupakan daerah

terpencil yang jauh dari puskesmas sehingga akses jalan menuju puskesmas

membutuhkan transportasi, waktu dan biaya. Hal ini menyebabkan

keterlambatan dalam penemuan kasus baru, karena pada umumnya

penemuan kasus baru hanya dilakukan dengan menunggu penderita yang

datang secara sukarela di Puskesmas atau layanan kesehatan lainnya,

sehingga penderita kusta pada saat ditemukan sudah dalam keadaan cacat

permanen. Selain itu, akibat lokasi desa yang jauh dari puskesmas

menyebabkan keterlambatan mendiagnosis dan pemberian pengobatan

sehingga penularan penyakit yang tidak dapat dikendalikan. Keterlambatan


8

diagnosis pada penderita kusta semakin menambah panjang penderitaan

dengan risiko kecacatan fisik yang permanen. (Kamal, 2015)

Hal inilah sebenarnya yang menjadi masalah utama terkait dengan isu

kusta dewasa ini. Kecacatan kusta sanggup menimbulkan stigma

masyarakat yang membuat penderitanya merasa malu dan rendah diri

karena merasa dikucilkan, bahkan dapat membuat seseorang kehilangan

produktivitas yang berakibat menurunnya kualitas hidup.

Faktor lingkungan merupakan faktor penyumbang terbesar kejadian

penyakit. Lingkungan dapat menjadi tempat berkembang biaknya berbagai

bakteri, termasuk bakteri penyakit kusta. Rumah merupakan bagian dari

lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan individu dan

masyarakat. Rumah yang menjadi tempat tinggal harus memenuhi syarat

kesehatan seperti memiliki jamban yang sehat, sarana air yang bersih,

sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi

rumah yang baik, pencahayaan yang cukup, kepadatan hunian rumah yang

sesuai dan lantai rumah yang terbuat bukan dari tanah.

Berdasarkan penelitian Riska Ratnawati (2016) di Puskesmas Bringin

Kabupaten Ngawi tahun 2015 menunjukkan sanitasi perumahan merupakan

faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta dan

peluang orang yang tinggal dirumah dengan sanitasi perumahan yang tidak

sehat tertular penyakit kusta 7 kali lebih besar dibandingkan dengan orang
9

yang tinggal dengan kondisi sanitasi perumahan yang sehat. (Ratnawati,

2016).

Dari hasil penelitian Riska Ratnawati (2016), menunjukkan bahwa

kondisi dinding dan lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan

berpeluang tertular penyakit kusta 5 kali lebih besar dibandingkan dengan

rumah yang mempunyai lantai memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan

Kepmenkes No. 829 tahun 1999 tentang Persyaratan Kesehatan perumahan

bahwa dinding perumahan yang memenui syarat kesehatan adalah yang

terbuat dari bahan permanen / tembok / batu bata yang plester / papan yang

kedap air. Lantai yang memenuhi syarat kesehatan adalah lantai yang

terbuat dari ubin/keramik/papan yang kedap air dan tidak berdebu. Dinding

dan lantai rumah yang berdebu merupakan salah satu faktor lingkungan

yang diduga kuat menjadi sumber penularan di daerah-daerah endemik,

dibuktikan dengan banyaknya kasus baru di daerah endemik yang tidak

jelas riwayat kontak dengan penderita kusta. Selain itu, beberapa hasil

penemuan Report of the International Leprosy Association Technical

Forum melaporkan bahwa ditemukan adanya Mycobacterium leprae pada

debu, air untuk mandi dan mencuci di rumah pernderita kusta yang

dibuktikan dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reactin (PCR).


10

2. Sumber Daya Manusia yang Kurang

Sumber daya manusia (SDM) yang kurang merupakan faktor resiko

terjadinya stigma terhadap penyakit kusta yang masih tinggi yang

menganggap bahwa kusta merupakan suatu kutukan dari Tuhan. Pada

skenario diatas, penduduk desa sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar

dan sosial ekonomi yang bertaraf rendah.

Berdasarkan penelitian Mamang Hadi (2016) menunjukkan bahwa

penderita kusta memiliki pendidikan terakhir adalah Sekolah Dasar sebesar

62% dan SMP sebanyak 38%. (Hadi, 2016). Hal ini mendukung bahwa taraf

pendidikan yang rendah mempengaruhi pengetahuan tentang penyakit kusta.

Penyakit kusta tidak hanya merupakan masalah medis, tapi juga

memiliki dampak terhadap masalah psikis, sosial dan juga ekonomi yang

akan mempengaruhi kualitas hidup dari penderita kusta itu sendiri.

Berdasarkan penelitian La Ode (2017) tentang faktor yang mempengaruhi

kualitas hidup penderita kusta di Kabupaten Maluku tengah menunjukkan

masih ada paradigma masyarakat yang beranggapan bahwa penyakit kusta

adalah penyakit keturunan yang bisa menular lewat apapun, dan tida bisa

disembuhkan (La Ode, 2017).

Stigma masyarakat yang seperti itu akan membuat penderita kusta

mengalami depresi dan bahkan ada keinginan untuk bunuh diri. Menurut

Lesmana pada tahun 2013 Adanya anggapan dari masyarakat tentang orang

yang mndapatkan kutukan, mendapatkan penyakit berbahaya dan harus


11

dijauhi menyebabkan para penderita penyakit kusta sering mendapatkan

diskriminasi di dalam kehidupan sosialnya. Selain terjadi tindakan

diskriminasi yang diterima, para penderita penyakit kusta juga mendapat

stigma dari masyarakat yang diduga disebabkan karena kurangnya

pengetahuan masyarakat mengenai penyakit kusta. Stigma yang diberikan

oleh masyarakat terhadap penderita penyakit kusta akan terus melekat

terhadap penderita kusta meskipun penderita kusta tersebut secara medis

telah dinyatakan sembuh dari kusta yang dideritanya. (Lesmana, 2013.

Stigma bisa berasal dan dipaksakan dari masyarakat, anggota keluarga

maupun dari penderita kusta itu sendiri, misalnya menghindari kontak

langsung hingga dikucilkan dan dibuang oleh masyarakat dari tempat

tinggalnya (Tarigan, 2013).

Adanya stigma yang melekat ini membuat para mantan penderita kusta

mengalami hambatan untuk melaksanakan aktivitas sehari-harinya

meskipun sudah dinyatakan sembuh dari penyakitnya, perlakuan

diskriminatif terhadap mantan penderita kusta masih terjadi di lingkungan

tempat tinggalnya dimana masyarakat mengucilkan dan tidak mau bergaul

dengan para mantan penderita kusta karena ada perasaan takut tertular.

(Lesmana, 2013)

Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta, selain

karena sebagian besar masyarakat tidak mengetahui tentang cara penularan

penyakit kusta, juga disebabkan karena masyarakat tidak mengetahui gejala


12

penyakit kusta seperti munculnya bercak putih, kulit mati rasa dan atau

kesemutan, muncul bercak merah, serta rontoknya bulu mata pada penderita

kusta (La Ode, 2017).

Meskipun masyarakat telah mengetahui telah ada obat yang dapat

menyembuhkan penyakit kusta, namun masih banyak masyarakat yang tidak

percaya bahwa obat tersebut benar-benar dapat menyembuhkan penyakit

kusta. Apabila melihat hal tersebut, maka dapat diketahui bagaimana

kuatnya stigma yang ada di masyarakat terhadap penyakit kusta (La Ode,

2017).

3. Rehabilitasi

Rehabilitasi menurut WHO adalah semua upaya mengurangi dampak

kecacatan pada seseorang agar mampu mandiri, berpartisipasi, dan

berintegrasi sosial sehingga mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.

Dampak psikologis paska tindakan rehabilitasi antara lain penderita merasa

senang rehabilitasi bahagia, puas, percaya diri meningkat, dan penampilan

lebih baik. (Nasution, 2012)

a. Rehabilitasi medis

Rehabilitasi fisik dapat berupa perawatan luka, bedah

rekonstruksi, terapi okupasi, penggunaan alat bantu (orthesa),

pembuatan alat pengganti tubuh (prothesa) dan fisioterapi. Adanya

rehabilitasi ini secara fisik penderita dapat merasakan seperti

sembuhnya luka kronis, tampilan fisik yang lebih baik baik dan
13

kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari menjadi meningkat

namun demikian bahwa tindakan rehabilitasi medis yang

memperbaiki fungsi tubuh dan mengurangi kecacatan penderita

tidak membuat penderita mampu berpartisipasi dan berintegrasi

sosial seperti semula sehingga kualitas hidup penderita disabilitas

kusta belum meningkat karena adanya stigma masih yang besar

akan buruknya kusta. (Nasution, 2012)

b. Rehabilitasi sosial

Rehabilitasi sosial dimaksudkan dalam kaitannya dengan

layanan kepada individu yang membutuhkan layanan khusus di

bidang sosial, yaitu meningkatkan kemampuan bersosialisasi,

mencegah agar kemampuan sosialnya tidak menurun atau lebih

parah dari kondisi sosial sebelumnya (Wati dkk. 2013).

Dampak sosial yang dialami diantaranya adalah penderita tidak

dapat melakukan fungsi sosial dalam masyarakat, terisolasi dari

pergaulan dalam keluarga maupun masyarakat sekitar serta dalam

segi psikologis akan menurunkan harga diri penderita akibat

kecacatan yang ditimbulkan (Wati dkk. 2013).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh I gusti Putu

Sarjana di bali pada tahun 2006 menemukan bahwa banyak

penderita kusta lebih senang pada dunianya sendiri, walaupun telah

dinyatakan sembuh secara medis tapi mereka tetap memilih


14

bermukim di satu tempat perkampungan kusta, kondsi ini adalah

hasil akumulasi dari berbagai sumber penyebab stress dan depresi

dari stigma yang negatif dari masyarakat sekitar.

Rehabilitasi sosial bukanlah bantuan sosial yang harus diberikan

secara terus menerus, melainkan upaya yang bertujuan untuk

menunjang kemandirian penderita. Misalnya adalah memberikan

bimbingan sosial, peralatan kerja, alat bantu cacat, membantu

memasarkan hasil usaha, dan lain-lain (Nasution, 2012).

Bentuk dukungan yang bisa diberikan keluarga adalah

dukungan psikososial. Psychocosial support (dukungan

psikososial) berhubungan dengan pentingnya konteks sosial dalam

menghadapi dampak psikososial yang dihadapi individu karena

kejadian yang membuat stress. Prakteknya ini berarti memfasilitasi

struktur lokal sosial (keluarga, kelompok komunitas, sekolah) yang

kemungkinan sudah tidak berfungsi lagi sehingga dapat kembali

memberikan support yang efektif kepada orang yang membutuhkan

terkait pengalaman hidup yang membuat stress (Wati dkk. 2013).

c. Rehabilitasi ekonomi

Tidak semua penderita disabilitas kusta yang sembuh dapat

kembali bekerja pada pekerjaan semula. Kecacatan membuat para

penderita kusta ini tidak berdaya kerja dan berusaha melakukan


15

pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kecacatan yang ada

(Nasution, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Veryanti pada tahun 2016 di

kelurahan Balangbaru Kecamatan Tamalate Kota Makassar

menemukan bahwa penderita eks kusta yang berada di kompleks

kusta Jongaya merupakan penderita eks kusta yang dominan

memiliki ekonomi yang rendah dan sebagian besar penderita eks

kusta yang berada di kompleks tersebut bekerja sebagai pengemis.

Maka dari itu selain diadakannya perbaikan status ekonomi baik

pada penderita kusta maupun eks kusta perlu dilakukan mulai dari

aspek sosial yang menyangkut stigma masyarakat perlu diberantas

terlebih dahulu karena kehidupan ekonomi sangat dipengaruhi oleh

kehidupan sosial di masyarakat.

C. SKORING PRIORITAS MASALAH

Tabel 2.1 Skoring prioritas masalah

MASALAH
Tidak ada
PARAMETER Letak SDM yang
upaya
geografis Rendah
rehabilitasi
1. Prevalence 4 4 3
2. Severity 3 4 3
3. Rate % increase 3 5 4
16

4. Degree of unmeet
need 5 4 3

5. Social benefit 4 5 3
6. Public concern 3 5 3
7. Technical feasibility 3 4 3
study

8. Resources availibilty 3 5 3

Jumlah 28 36 25
Rerata 3.5 4.5 3.1

Keterangan : A (Lokasi yang tidak strategis), B (Sumber daya manusia yang

rendah), C (Rehabilitasi yang belum mumpuni).


17
18

E. PEMBAHASAN

1. Input

a. Rendahnya pendidikan formal

Mencegah penularan dini atau memutuskan rantai penularan dengan

memberikan pemahaman secara dini tentang kelainan kulit yang mengarah

pada penyakit kusta dengan memberikan penyuluhan terhadap masyarakat

tentang penyakit kusta.

b. Daerah endemis

Pemahaman tentang pemeriksaan dini dan pengobatan dari penyakit kusta.

c. Lingkungan, sosial, ekonomi kurang menunjang

Memberikan dana operasinal serta pelatihan kerja agar penderita lebih

produktif meskipun dengan kecacatannya.

2. Proses

a. Kecacatan dan luka yang tidak sembuh

Memberikan penyuluhan serta rehabilitasi perawatan dan perlindungan pada

pasien untuk lebih merawat diri terhadap kecacatan dan luka- lukanya.

b. Kurangnya upaya rehabilitasi

Diperlukan upaya perekrutan kader dalam membantu proses rehabilitasi

pasien penyakit kusta. Merekrut kader kesehatan atau tenaga sukarela yang

dipilih dari, oleh, dan untuk masyarakat dan bertugas mengembangkan

masyarakat dan membantu kelancaran pelayanan kesehatan.


19

Sebelum terjun ke masyarakat dan melakukan pemeriksaan dan rehabilitasi,

kader kesehatan diberikan pelatihan terlebih dahulu tentang tanda dan cara

deteksi dini penderita kusta, cara pemeriksaan tersangka penderita kusta,

serta rehabilitasi perawatan dan perlindungan untuk lebih merawat diri pada

pasien kusta.

Salah satu persaratan umum yang dapat dipertimbangkan untuk pemilihan

calon kader :

1. Sanggup bekerja sukarela

2. Berasal dari masyarakat setempat.

3. Tinggal di desa tersebut.

4. Tidak sering meninggalkan tempat untuk waktu yang lama.

5. Diterima oleh masyarakat setempat.

6. Masih cukup waktu bekerja untuk masyarakat disamping mencari

nafkah lain.

7. Sebaiknya yang bisa baca tulis.

Kader kesehatan mempunyai peran yang besar dalam upanya

meningkatkan kemampuan masyarakat menolong dirinya untuk mencapai

derajat kesehatan yang optimal. Selain itu, peran kader ikut membina

masyarakat dalam bidang kesehatan dengan melalui kegiatan yang dilakukan.


20

3. Lingkungan

a. Lokasi yang jauh

Selain memberikan penyuluhan terhadap masyarakat tentang penyakit kusta,

puskesmas pembantu juga diperlukan untuk membantu dalam pelayanan

puskesmas di ruang lingkup wilayah yang lebih kecil.

Sehingga diperlukan pelayanan kesehatan yang sederhana dan berfungsi

menunjang dan membantu memperluas jangkauan Puskesmas dengan

melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Puskesmas dalam ruang

lingkup wilayah yang lebih kecil serta jenis dan kompetensi pelayanan yang

disesuaikan dengan kemampuan tenaga dan sarana yang tersedia. Dengan

berbagai hambatan, letak geografis dan sarana transportasi seharusnya pustu

menjadi pilihan masyarakat untuk dimanfaatkan karena merupakan satu-

satunya pelayanan kesehatan yang bisa di jangkau oleh masyarakat.

b. Stigma masyarakat

Memberi penyuluhan tentang penyakit kusta.

E. PENCEGAHAN

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :

a. Penyuluhan kesehatan
21

Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang

belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada

disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga

penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan

yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses

peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang

belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan

melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit

kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes

RI, 2006).

Metode penyuluhan yang digunakan secara langsung bertatap muka

dengan pendekatan berupa diskusi atau pemutaran slide agar lebih menarik.

Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah penderita, keluarga penderita,

tetangga penderita dan masyarakat (Suriatna, 1987).

b. Pemberian imunisasi

Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit

kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di

Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali

dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan

pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta

sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan


22

program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil

berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :

a. Pengobatan pada penderita kusta Pengobatan pada penderita kusta untuk

memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita,

mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah

ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta

terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber

kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

b. Pencegahan cacat kusta

Pencegahan sekunder dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada

penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas :

Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita

sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk

mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf (Depkes RI, 2006). Oleh karena

kecacatan kusta adalah akibat gangguan saraf perifer, maka upaya

pencegahan yangdapat dilakukan yaitu dengan pemeriksaan saraf perifer

yang harus dilakukan secara teliti dan benar, yang meliputi fungsi sensorik,

fungsi motoric dan fungsi otonom. Karena pada keadaan dini, bila berbagai

gangguan ini cepat diketahui, maka dengan terapi medikamentosa serta


23

tindakan perlindungan saraf dari kerusakan lebih lanjut, maka hasilnya akan

sangat baik (Job, C.K., 2000).

Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk

mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah

mengalami gangguan fungsi saraf (Depkes RI, 2006). Upaya pencegahan

yang dapat dilakukan antara lain dengan penyuluhan adaptasi sosial dan

latihan dalam upaya rehabilitasi penderita kusta, guna menjaga agar cacat

yang telah baik tidak kambuh lagi dan mencegah terjadinya transisi dari

dissability menjadi handicap (Job, C.K., 2000).

3. Pencegahan Tertier

a. Rehabilitasi kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh

fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan

penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu

kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan

rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan

sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam

masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik

(Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :

1) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk

mencegah terjadinya kontraktur.


24

2) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan

agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.

3) Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.

4) Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan

normal terbatas pada tangan.

5) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.

E. Skoring Prioritas Pemecahan Masalah pada Penyakit Kusta di Puskesmas


Sukamaju Kabupaten Kota Baru
Tabel 2.2 Skoring prioritas pemceahan masalah

Efektivitas Efisiensi Hasil


No. Alternatif Jalan
Keluar 𝑴𝒙𝑰𝒙𝑽
M I V C 𝐏=
𝑪

1 Puskesmas pembantu 5 4 4 5 16

2 Penyuluhan 4 4 5 3 27

3 Perekrutan kader 4 4 4 4 16

Sumber : Diskusi FGD Skenario Kelompok 8, Tahun 2018

P : Prioritas jalan keluar

M : Maknitude, besarnya masalah yang bias diatasi apabila solusi ini dilaksanakan

(turunnya prevalensi dan besarnya masalah ini)

I : Implementasi, kelanggengan selesainya masalah.

V : Valiability, sensitifnya dalam mengatasi masalah

C : Cost, biaya yang diperlukan


25

BAB III
RENCANA PROGRAM

A. RENCANA PROGRAM

Berdasarkan siklus hidup dan sifat kusta. Maka upaya penanganan yang dapat

dilakukan sebagai berikut :

Mengadakan sosialisasi kepada masyarakat tentang penyakit kusta.

Megadakan sosialisasi untuk Orang yang pernah mengalami kusta dan

penderita kusta hingga saat ini masih banyak mengalami diskriminasi sosial

akibat stigma pada penyakit yang pernah mereka alami. Dalam kehidupan

sehari- hari mereka sulit mengakses hak- hak sosial seperti pendidikan,

kesehatan, angkutan umum hingga sarana ibadah dan pasangan hidup.

Penyebab utamanya adalah awamnya pengetahuan masyarakat tentang kusta

sehingga takut tertular dan menjauhi penderita ataupun orang yang pernah

mengalaminya. Ini berkebalikan dengan fakta medis:

a. Kusta tak mudah menular, penularan hanya dapat terjadi melalui kontak

terus menurus dalam waktu yang relatif lama dengan penderita kusta basah.

Kemungkinan yang kerap tertular adalah keluarga dalam satu rumah dan

tetangga dekat yang berinteraksi setiap hari. Kusta tak lagi bisa menular

setelah penderita menjalani pengobatan Multi Drug Terapi (MDT).

Sebagian besar orang pun kebal kusta yaitu 9%, 5% sisanya 3% bisa

ssembuh dengan sendirinya, 2% harus menjalani terapi pengobatan.


26

b. Kusta bisa dicegah dan disembuhkan melalui deteksi dini kusta dan

pengobatan MDT secara gratis di Puskesmas ataupun Rumah Sakit

sehingga cacat permanen akibat penyakit tersebut tak akan terjadi.

c. Kusta bukan penyakit turunan, bukan dampak guna- guna dan kutukan.

Kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae karena

kemungkinan pola hidup tidak sehat, lingkungan tinggal yang kumuh dan

sanitasi yang buruk.

d. Melakukan pengecekan di puskesmas dengan mengadakan pemeriksaan

setiap Melakukan pemeriksaan yang dilakukan misalnya,

1) pemeriksaan raba,nyeri,suhu

2) pemeriksaan penebalan saraf tepi

3) pemeriksaan kekuatan otot

penting untuk membedakan apakah pasien kusta tergolong pausibasiler atau

multibasiler, karena terapinya berbeda.


27
27
B. Pemecahan Masalah berdasarkan Rencana Kegiatan Plan Of Activity ( POA ) Rencana Pelaksanaan Program
Penurunan Prevalensi kusta pada penderita kusta

Lokasi
Volume Rincian Tenaga Kebutuhan
No. Kegiatan Sasaran Target Pelaksa Jadwal
Kegiatan Kegiatan Pelaksana Pelaksanaan
naan
Daftar
100% Mendata semua Puskes Oktober penderita kusta
30 penderita 30 penderita Kader
penderita penderita kusta mas
kusta dan kusta dan kesehatan
kusta dan RFT Daftar anggota
RFT RFT
Inventarisasi dan RFT keluarga
1
sasaran Mengumpulkan penderita kusta
50 50
100% masyarakat
masyarakat masyarakat Kader
Masyara sesuai dengan Balai Oktober Alat tulis
desa desa kesehatan
kat desa jumlah sasaran desa

Dokter, Memilih tenaga Petugas


2 dokter Alat tulis,
Menyiapkan bidan, yang siap yang
2 bidan Puskes perlengkapan
2 tenaga dan perawat, 100% menjalankan ditunjuk Oktober
4 perawat mas penyuluhan,
perlengkapan kader tugas kepala
15 kader dan dana
kesehatan penyuluhan puskesmas
Menurun
Penyuluhan nya
Luar Gedung Stigma Mengumpulkan
Novemb
Tentang Masyarakat Penyakit 50 – 100 50-100 orang,
Balai Petugas er –
3 Penghilangan Desa, Kader Kusta di orang minimal 1 orang Leaflet
Desa Puskesmas Desemb
Stigma Kusta Kesehatan Masyara per kepala
er
di Masyarakat kat keluarga
28
Meningk
atkan
Jumlah Dokter,
Novemb
Penyuluhan Cakupan 50 – 100 Menyiapkan Kader Narasumber
Puskes er-
4 Kusta di Masyarakat Suspect orang Waktu, Tempat, Kusta, Sesuai dengan
mas Desemb
Masyarakat dan dan Materi Petugas Kompetensi
er
Penemua Puskesmas
n Kasus
Kusta
Meningk
atkan Sesuai Dokter,
Novemb
Penemuan Masyarakat Angka Jumlah Kader Alat-alat
KIE Pengobatan Puskes er-
5 Penderita Pengunjung Capaian Penderita Kusta, Pemeriksaan
Kusta mas Desemb
Kusta Puskesmas Penemua yang Petugas Fisik
er
n Kasus Ditemukan Puskesmas
Kusta
Selesai
Menyusun
dokumen Satu
instrumen
Menyusun rencana dokumen
evaluasi
instrumen evaluasi
penyuluhan
evaluasi
Evaluasi Selesai Bidan,
Menghitung
sasaran yang dalam 1 Satu kegiatan Kantor perawat, Desemb
6 persentase target Alat tulis
telah diberi Melaksanaka minggu evaluasi desa kader er
yang datang ke
penyluhan n evaluasi kesehatan
penyuluhan
Laporan
Menyusun lengkap Satu laporan
Menyusunlapora
laporan hasil kegiatan
n kegiatan
penyuluh penyuluhan
penyuluhan
an
29

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Untuk meningkatkan kemandirian hidup demi harkat hidup yang lebih

baik bagi penderita kusta maka perlu diadakan penyuluhan mengenai kusta terhadap

masyarkat desa, diharapakan dengan adanya penyuluhan ini masyarakat yang

berada disekitar penderita kusta paham bahwa kusta bukanlah suatu penyakit

kutukan melainkan suatu cobaan yang diberikan, penderita kusta tidak perlu dijauhi,

dan sebaliknya penderita kusta perlu dilibatkan pada suatu kegiatan di masyarkat

agar proses rehabilitasi terutama mental bisa dijalani dengan baik. Pengucilan dan

pengasingan terhadap penderita kusta justru akan menambah buruk kehidupan

social penderita kusta dan harkat hidupnya tidak akan membaik.

B. SARAN

1. Diharapkan pemerintah menjalankan program penyuluhan yang telah dibuat

agar terciptanya harkat martabat penderita kusta yang lebih baik karena tanpa

adanya program tersebut tidak akan ada suatu perubahan yang dapat merubah

pola piker masyarakat mengenai kusta.

2. Diharapkan masyarakat sekitar, kader, dan penderita kusta tetap memperdalam

pengetahuan mengenai kusta agar dapat menyebarluaskan pemahaman yang


30

benar mengenai kusta dan tukuan meningkatkan harkat dan martabat penderita

kusta yang lebih baik dapat terlaksana.

3. Diharapkan masyarakat sekitar memahami mengenai cara penularan kusta

sehingga pada tidak menjauhi para penderita kusta dan justru agar menerima

penderita kusta dengan sangat baik.

4. Diharapkan masyarakat sekitar lebih memahami cara pencegahan kusta

sehingga paham bagaimana cara mencegah kusta tanpa harus menjauhi

penderita kusta.
31

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, 2016. Hubungan Dukungan Tenaga Kesehatan Mellaui Pendekatan Homecae


dengan Perubahan Harga Diri pada Pasien Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas
Wuluhan Kerja Puskesmas Wuluhan Kabupaten Jember. Jember: Program Studi
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jember

Kamal, 2015. Kurangnya Konseling dan Penemuan Kasus secara Pasif Mempengaruhi
Kejasdian Kecacatan Kusta Tingkat II di Kabupaten Sampang.Surabaya:
Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga Surabaya.

Kemenkes RI. 2015. Ifodatin Kusta 2015, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta

Mahanani. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perawatan Diri Kusta pada
Penderita Kusta di Puskesmas Kunduran Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora.
Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.

Nasution Sylvia, Ngatimin M. Rusli, Syafar Muhammad. 2012. Ddampak rehabilitasi


medis pada penyandang kusta. Kesmas : vol. 6 No. 4. Hal. 163-167

Ode, 2017. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas hidup Penderita Kusta di Kabupaten
maluku tengah tahun 2017.Makassar:Departemen Epidemiologi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
32

Ratnawati, 2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Risiko Kejadian Penyakit


Kusta (Morbus Hansen).Madiun: Prodi Kesehatan Masyarakat Stikes Bhakti
Mulia Madiun.

Setiadi. 2008. Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC.

Soedarjatmi.S., Istiarti.T., Widagdo, L. 2009. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi


Persepsi Penderita terhadap Stigma Penyakit Kusta. Jurnal Promosi Kesehatan
Indonesia. Vol. 4 no 1. Hal. 18–24.

Solikhah. A, 2016. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Kusta (Leprosy) dengan


Perawatan Diri Pada Penderita Kusta di Wilayah Kabupaten Sukoharjo. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://eprints.ums.ac.id/42362/

Tarigan Nuah Perdamenta. 2013. Masalah Kusta dan Diskriminasi Serta Stigmatisasinya
di Indonesia. Humaniora : Jakarta, Vol. 4 no. 1 April hal. 432-444

Wati Wakurnia, Suriah, Rachman A. Watief. 2013. Keyakinan Diri Penderita Kusta
dalam Upaya Mencari Kesembuhan di Puskesmas Poka Kota Ambon. Makassar
: Bagian Promosi kesehatan fakultas kesehatan masyarakat, Universitas
Hasanudin.

Anda mungkin juga menyukai