Anda di halaman 1dari 46

Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Refferat

” Toksikologi: Benzodiazepin, Amfetamin, Heroin &


Morfin, dan Ganja”
Refferat
Toksikologi

DAFTAR ISI

Daftar Isi ………………………………………………………… 2

I. Pendahuluan
Toksikologi Umum ………………………………………………………… 3

II. Pembahasan
II.1. Benzodiazepin ………………………………………………………… 8

II.2. Amfetamin ………………………………………………………… 22

II.3. Heroin & Morfin ………………………………………………………… 31

II.4. Ganja ………………………………………………………… 40

III. Penutup
Simpulan ………………………………………………………... 44

Daftar Pustaka ………………………………………………………… 45

2
Refferat
Toksikologi

Pendahuluan

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun, gejala-gejala
dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban yang
meninggal. (Bagian Kedokteran Forensik FKUI, 1997)
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam
dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.
Berdasarkan sumber dapat digolongkan menjadi racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan ;
opium, kokain, kurare, aflatoksin. Dari hewan ; bias/toksin ular/laba-laba/hewan laut. Mineral
; arsen, timah hitam. Dan berasal dari sintetik ; heroin. (Bagian Kedokteran Forensik FKUI,
1997)
Berdasarkan tempat dimana racun berada, dapat dibagi menjadi racun yang terdapat di alam
bebas, misalnya gas racun di alam, racun yang terdapat di rumah tangga misalnya deterjen,
insektisida, pembersih. Racun yang digunakan dalam pertanian misalnya insektisida,
herbesida, pestisida. Racun yang digunakan dalam industri laboratorium dan industri
misalnya asam dan basa kuat, logam berat. Racun yang terdapat dalam makanan misalnya
CN di dalam singkong, toksin botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta racun dalam bentuk
obat misalnya hipnotik sedatif. Pembagian lain berdasarkan atas kerja atau efek yang
ditimbulkan. Ada racun yang bekerja secara lokal, sistemik dan lokal-sistemik. (Bagian
Kedokteran Forensik FKUI, 1997)

Faktor Yang Mempengaruhi Keracunan


1. Cara masuk. Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi. Cara
masuk lain secara berturut-turut melalui intravena, intramuskular, intraperitoneal,
subkutan, peroral dan paling lambat ialah melalui kulit yang sehat.
2. Umur. Orang tua dan anak-anak lebih sensitiv misalnya pada barbiturat. Bayi
prematur lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal belum
sempurna dan aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup
3. Kondisi tubuh. Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami
keracunan. Pada penderita demam dan penyakit lambung absorbsi jadi lebih lambat.
4. Kebiasaan. Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin di karenakan terjadi
toleransi pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol.

3
Refferat
Toksikologi

5. Idiosinkrasi dan alergi pada vitamin E, penisilin, streptomisin dan prokain. Pengaruh
langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran maka akan makin cepat
(kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada racun yang bersifat lokal, misalnya
asam sulfat

Pemeriksaan Kedokteran Forensik


Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yang sejak semula
sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus yang sampai saat sebelum di autopsy
dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap kemungkinan keracunan.
Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat keracuan bila pada pemeriksaan
setempat (scene investigation) terdapat kecurigaan akan keracunan, bila pada autopsi
ditemukan kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan dengan zat tertentu, misalnya
lebam mayat yang tidak biasa, luka bekas suntikan sepanjang vena dan keluarnya buih dari
mulut dan hidung serta bila pada autopsi tidak ditemukan penyebab kematian.
Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan beberapa pemeriksaan
penting, yaitu : (Bagian Kedokteran Forensik FKUI, 1997)
1. Pemeriksaan di tempat kejadian. Perlu dilakukan untuk membantu penentuan
penyebab kematian dan menentukan cara kematian. Mengumpulkan keterangan
sebanyak mungkin tentang saat kematian. Mengumpulkan barang bukti.
2. Pemeriksaan luar
a. Bau. Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang kiranya
ditelan oleh korban. Segera setelah pemeriksa berada di samping mayat ia harus
menekan dada mayat untuk menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa
keluar dari lubang-lubang hidung dan mulut.
b. Segera. Pemeriksa harus segera berada di samping mayat dan harus menekan dada
mayat dan menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari lubang
hidung dan mulut.
c. Pakaian. Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan oleh
tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak berwarna
coklat karena asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.
d. Lebam mayat. Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna,
karena warna lebam mayat pada dasarnya adalah manifestasi warna darah yang
tampak pada kulit.

4
Refferat
Toksikologi

e. Perubahan warna kulit. Pada hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis pada
telapak tangan dan kaki pada keracunan arsen kronik. Kulit berwarna kelabu
kebirubiruan akibat keraunan perak (Ag) kronik (deposisi perak dalam jaringan
ikat dan korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada keracunan tembaga (Cu)
dan fosfor akibat hemolisis juga pada keracunan insektisida hidrokarbon dan arsen
karena terjadi gangguan fungsi hati.
f. Kuku. Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang tidak
teratur. Pada keracunan talium kronik ditemukan kelainan trofik pada kuku.
g. Rambut. Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen, air
raksa dan boraks.
h. Sklera. Tampak ikterik pada keracunan dengan zat hepatotoksik seperti fosfor,
karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau akibat bisa ular.

Pembedahan Jenazah
Segera setelah rongga dada dan perut dibuka, tentukan apakah terdapat bau yang tidak biasa
(bau racun). Bila pada pemeriksaan luar tidak tercium "bau racun" maka sebaiknya rongga
tengkorak dibuka terlebih dahulu agar bau visera perut tidak menyelubungi bau tersebut,
terutama bila dicurigai adalah sianida. Bau sianida, alkohol, kloroform, dan eter akan tercium
paling kuat dalam rongga tengkorak.
Perhatikan warna darah. Pada intoksikasi dengan racun yang menimbulkan hemolisis
(bisa ular), pirogarol, hidrokuinon, dinitrophenol dan arsen. Darah dan organ-organ dalam
berwarna coklat kemerahan gelap. Pada racun yang menimbulkan gangguan trombosit, akan
terdapat banyak bercak perdarahan, pada organ-organ. Bila terjadi keracunan yang cepat
menimbulkan kematian, misalnya sianida, alcohol, kloroform maka darah dalam jantung dan
pembuluh darah besar tetap cair tidak terdapat bekuan darah.
Pada lidah perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat atau
menunjukan kelainan disebabkan oleh zat korosif. Pada esophagus bagian atas dibuka sampai
pada ikatan atas diafragma. Adakah terdapat regurgitasi dan selaput lendir diperhatikan akan
adanya hiperemi dan korosi. Pada epiglotis dan glotis perhatikan apakah terdapat hiperemi
atau edema, disebabkan oleh inhalasi atau aspirasi gas atau uap yang meransang atau akibat
regurgitasi dan aspirasi zat yang merangsang. Edema glotis juga dapat ditemukan pada
pemakaian akibat syok anafilaktik, misalnya akibat penisilin.

5
Refferat
Toksikologi

Pada pemeriksaan paru-paru ditemukan kelainan yang tidak spesifik, berupa


pembendungan akut. Pada inhalasi gas yang merangsang seperti klorin dan nitrogen oksida
ditemukan pembendungan dan edema hebat, serta emfisema akut karena terjadi batuk,
dipsneu dan spasme bronki.
Pada lambung dan usus dua belas jari lambung dibuka sepanjang kurvakura mayor
dan diperhatikan apakah mengeluarkan bau yang tidak biasa. Perhatikan isi lambung
warnanya dan terdiri dari bahan-bahan apa. Bila terdapat tablet atau kapsul diambil dengan
sendok dan disimpan secara terpisah untuk mencegah disintegrasi tablet/kapsul. Pada kasus-
kasus non-toksikologik hendaknya pembukaan lambung ditunda sampai saat akhir otopsi atau
sampai pemeriksa telah menemukan penyebab kematian. Hal ini penting karena umumnya
pemeriksa baru teringat pada keracunan setelah pada akhir autopsi ia tidak dapat menemukan
penyebab kematian.
Pemeriksaan usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam setelah korban
menelan zat beracun dan ini ingin diketahui berapa lama waktu tersebut.
Pada hati apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi lemak sering
ditemukan pada peminum alcohol. Nekrosis dapat ditemukan pada keracunan fosfor, karbon
tetraklorida, klorform dan trinitro toulena.
Pada ginjal terjadi perubahan degeneratif, pada kortek ginjal dapat disebabkan oleh
racun yang meransang. Ginjal agak membesar, korteks membengkak, gambaran tidak jelas
dan berwarna suram kelabu kuning. Perubahan ini dapat dijumpai pada keracunan dengan
persenyawaan bismuth, air raksa, sulfonamide, fenol, lisol, karbon tetraklorida. Umumnya
analisis toksikologik ginjal terbatas pada kasus-kasus keracunan logam berat atau pada
pencarian racun secara umum atau pada pemeriksaan histologik ditemukan kristal-kristal
Caoksalat atau sulfonamide.
Pemeriksaan urin dilakukan dengan semprit dan jarum yang bersih, seluruh urin
diambil dari kandung kemih. Bila bahan akan dikirim ke kota lain untuk dilakukan
pemeriksaan maka urin dibiarkan berada dalam kandung kemih dan dikirim dengan cara
intoto, prostat dan kedua ureter diikat dengan tali. Walaupun kandung kemih dalam keadaan
kosong, kandung kemih harus tetap diambil untuk pemriksaan toksikologik.
Pemeriksaan otak biasanya tidak ditemukan adanya edema otak pada kasus kematian
yang cepat, misalnya pada kematian akibat barbiturat, eter dan juga pada keracunan kronik
arsen atau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam otak dapat ditemukan pada keracunan
karbonmonoksida, barbiturat, nitrogen oksida, dan logam berat seperti air raksa air raksa,

6
Refferat
Toksikologi

arsen dan timah hitam. Obat-obat yang bekerja pada otak tidak selalu terdapat dalam
konsentrasi tinggi dalam jaringan otak.
Pada pemeriksaan jantung dengan kasus keracunan karbon monoksida bila korban
hidup selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak dalam otot septum
interventrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris pada muskulus papilaris ventrikel
kiri dengan garis menyebar radier dari ujung otot tersebut sehingga tampak gambaran seperti
kipas.
Pada pemeriksaan limpa selain pembendungan akut limpa tidak menunjukkan
kelainan patologik. Pada keracunan sianida, limpa diambil karena karena kadar sianida dalam
limpa beberapa kali lebih besar daripada kadar dalam darah. Empedu merupakan bahan yang
baik untuk penentuan glutetimida, quabaina, morfin dan heroin. Pada keracunan karena
inhalasi gas atau uap beracun, paru-paru diambil, dalam botol kedap udara.
Jaringan lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit daerah
perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan kemudian dengan lambat
dilepaskan kedalam darah. Jika terdapat persangkaan bahwa korban meninggal akibat
penyuntikan jaringan di sekitar tempat suntikan diambil dalam radius 5-10 cm.
Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala dan kuku harus diambil. Rambut diikat
terlebih dahulu sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya, dan kemudian diberi label agar
ahli toksikologi dapat mengenali mana bagian yang proksimal dan bagian distal. Rambut
diambil kira-kira 10 gram tanpa menggunakan pengawet. Kadar arsen ditentukan dari setiap
bagian rambut yang telah digunting beberapa bagian yang dimulai dari bagian proksimal dan
setiap bagian panjangnya ½ inci atau 1 cm. terhadap setiap bagian itu ditentukan kadar
arsennya.
Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kuku-kuku kedua
ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa diawetkan. Ahli toksikologi
membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari proksimal. Kadar tertinggi ditemukan pada 1/3
bagian proksimal.

7
Refferat
Toksikologi

Pembahasan

BENZODIAZEPIN

I. Benzodiazepin
a. Struktur kimia dan mekanisme kerja
Rumus benzodiazepine terdiri dari cincin benzene (cincin A) yang melekat
pada cincin aromatic diazepin (cincin B). Karena benzodiazepine yang penting secara
farmakologik selalu mengadung gugus 5-aril (cincin C) dan cincin 1,4-benzodiazepin,
rumus bangun kimia golongan ini selalu diidentikkan dengan 5-aril 1,4-
benzodiazepin. Kebanyakan mengandung gugusan karboksamid dalam struktur cincin
heterosiklik beranggota 7. Substituent pada posisi 7 ini sangat penting dalam aktivitas
hipnotik sedative (Katzung, 2002).
Pada umumnya, semua senyawa benzodiazepine memiliki empat daya kerja
seperti efek anxiolitas, hipnotik-sedatif, antikonvulsan, dan relaksan otot. Setiap efek
berbeda-beda tergantung pada derivatnya dan berdasarkan pengaruh GABA pada
system saraf pusat (SSP). Benzodiazepine menimbulkan efek hasrat tidur bila diberi
dalam dosis tinggi pada malam hari, dan memberikan efek sedasi jika diberikan dalam
dosis rendah pada siang hari (Katzung, 2002).

Gambar 1. Rumus umum struktur kimia benzodiazepine

Mekanisme kerja benzodiazepin: pengikatan GABA (asam aminobutirat) ke


reseptornya pada membrane sel akan membuka saluran klorida, meningkatkan efek
konduksi klorida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah
menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan pembentukan
kerja-potensial. Benzodiazepine terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari
membrane sel, yang terpisah tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepine
terdapat hanya pada SSP dan lokasinya sejajar dengan neuron GABA. Pengikatan
benzodiazepine memacu afinitas reseptor GABA untuk neurotransmitter yang

8
Refferat
Toksikologi

bersangkutan sehingga saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan
tersebut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron.
Benzodiazepin dan GABA secara bersama-sama akan meningkatkan afinitas terhadap
sisi ikatannya tanpa perubahan jumlah total sisi tersebut. Efek klinis berbagai
benzodiazepine tergantung pada afinitas ikatan obat masing-masing pada kompleks
saluran ion, yaitu kompleks GABA reseptor dan klorida (Mycek dkk, 2001).

b. Farmakokinetik
Benzodiazepine dapat diberikan secara oral, intravena dan intramuscular.
Benzodiazepine akan diabsorbsi secara sempurna ketika diberikan secara oral.
Benzodiazepine memiliki solubilitas lemak yang tinggi yang dapat membantu
absorbsinya. Laju absorbs tergantung pada benzodiazepine itu sendiri, sebagai contoh
diazepam dapat mencapai puncak konsentrasi dalam darah dalam satu jam setelah
ingesti, sedang beberapa benzodiazepine butuh beberapa jam untuk dapat mencapai
konsentrasasi puncaknya. Beberapa benzodiazepine seperti clorazepate dan prazepam
merupakan prodrug yang secara cepat dipecah menjadi nordiazepam sebagai obat
aktifnya. Secara umum, benzodiazepine menunjukkan efek “first pass” yang
signifikan dikarenakan distribusi umumnya. Volume distribusinya sekitar 2L/Kg dan
bersifat sangat terikat dengan protein, biasanya fraksi ikatan >80% (Levine, 2003).

9
Refferat
Toksikologi

Benzodiazepine diklasifikasikan berdasarkan laju eliminasinya waktu paruh.


Midazolam dan triazolam termasuk short acting karena eliminasi waktu paruhnya
hanya beberapa jam. Beberapa benzodiazepine seperti aprazolam, lorazepam,
oksazepam dan temazepam memiliki eliminasi waktu paruh 6-24 jam dan
diklasifikasikan menjadi intermediate acting. Benzodiazepine yang termasuk kategori
Long acting seperti diazepam dan quazepam memiliki eliminasi waktu paruh >24 jam.
Terdapat kesulitan dalam mengkategorikan benzodiazepine terkait adanya hasil
metabolit yang memiliki waktu paruh berbeda dengan derivatnya, seperti flurazepam
memiliki eliminasi waktu paruh beberapa jam tetapi metabolit aktifnya memiliki
eliminasi waktu paruh sampai beberapa hari (Levine, 2003).
Benzodiazepine di metabolism secara ekstensive di hati. Enzim mikrosomal
memainkan peranan penting dalam proses metabolism tersebut. Fase I rute metabolic
yakni hidroksilasi, dealkilasi, deaminasi, dan reduksi. Table dibawah ini merupakan
contoh-contoh metabolit dengan jalur pembentukannya (Levine, 2003).

Metabolit-metabolit tersebut memiliki aktivitas CNS-depresan yang dapat


mempengaruhi potensi dan durasi aksi dari obat itu sendiri. Saat produk hidroksil
terbentuk, metabolism fase II atau konjugasi dengan asam glukuronat terjadi.
Biasanya produk metabolism pada urine adalah dalam metabolit bentuk terkonjugasi
ini (Levine, 2003)
c. Daftar Benzodiazepin dibawah pengawasan internasional
No Benzodiazepin Struktur Kimia Rumus Empiris Tampakan
1 Alprazolam C17H13ClN4 Bubuk Kristal putih
C17H13ClN4

10
Refferat
Toksikologi

2 Bromazepam C14H10BrN3O Bubuk putih atau


kuning

3 Brotizolam C15H10BrClN4S Bubuk putih atau


kuning

4 Camazepam C19H18ClN3O3 Bubuk Kristal putih

5 Chlordiazepoxide C16H14ClN3O Bubuk kristal Putih


(chlordiazepoxide (C16H14ClN3O. atau kuning pucat,
hydrochloride) HCl) sensitive terhadap
cahaya matahari.

6 Clobazam C16H13ClN2O2 Bubuk Kristal putih

7 Clonazepam C15H10ClN3O3 Bubuk kristal putih


sampai kuning

8 Clorazepate C16H11ClN2O3 Bubuk kristal putih


(clorazepate (C16H11ClK2N2 sampai kuning
dipotassium) O4) terang

9 Clotiazepam C16H15ClN2OS Bubuk Kristal tak


berwarna (colour
less)

10 Cloxazolam C17H14Cl2N2O2 Bubuk kristal putih

11
Refferat
Toksikologi

11 Delorazepam C15H10Cl2N2O Bubuk kristal putih

12 Diazepam C16H13ClN2O Bubuk kristal putih,


injeksi, larutan oral,
rectal, tablet
(terlindung dari
cahaya matahari)

13 Estazolam C16H11ClN4 Bubuk kristal putih

14 Ethyl loflazepate C18H14ClFN2O3 Bubuk kristal putih


sampai kuning
terang

15 Fludiazepam C16H12ClFN2O Bubuk kristal putih,


injeksi, larutan oral,
rectal, tablet
(terlindung dari
cahaya matahari)

16 Flunitrazepam C16H12FN3O3 Bubuk Kristal putih


sampai kuning
(sensitive terhadap
cahaya)

17 Flurazepam C21H23ClFN3O Bubuk dan kapsul


(flurazepam (C21H23ClFN3O. putih sampai
monohydrochlori HCl & kuning (terlindung
de; C21H23ClFN3O. dari cahaya)
dihydrochloride) 2HCl)

12
Refferat
Toksikologi

18 Halazepam C17H12ClF3N2O Bubuk putih sampai


kuning (terlindung
dari cahaya)

20 Haloxazolam C17H14BrFN2O2 Bubuk kristal putih

21 Ketazolam C20H17ClN2O3 Bubuk kristal putih

22 Loprazolam C23H21ClN6O3 Bubuk kristal putih


(loprazolam (mesilate.hydrate
mesilate) C23H21ClN6O3.
CH4O3S.H2O)

23 Lorazepam C15H10Cl2N2O2 Bubuk kristal


(polimorfik) putih
atau hampir putih

24 Lormetazepam C16H12Cl2N2O2 Bubuk kristal


and enantiomer (polimorfik) putih

25 Medazepam C16H15ClN2 Bubuk kristal putih


sampai kuning
kehijauan

26 Midazolam C18H13ClFN3 Bubuk putih sampai


kuning (terlindung
dari cahaya)

27 Nimetazepam C16H13N3O3 Bubuk kristal


kuning pucat
(terlindung dari
cahaya)

13
Refferat
Toksikologi

28 Nitrazepam C15H11N3O3 Bubuk kristal


kuning (sensitif
terhadap cahaya)

29 Nordazepam C15H11ClN2O Bubuk kristal putih


sampai kuning
pucat

30 Oxazepam and C15H11ClN2O2 Bubuk kristal putih


enantiomer sampai kuning
pucat
(kadang ditemukan
sebagai
hemi-succinate
garam succinate)
31 Oxazolam C18H17ClN2O2 Bubuk kristal putih

32 Pinazepam C18H13ClN2O Bubuk kristal putih

33 Prazepam C19H17ClN2O Bubuk kristal putih


atau hampir putih

34 Temazepam and C16H13ClN2O2 Bubuk kristal putih


enantiomer atau hampir putih

35 Tetrazepam C16H17ClN2O Bubuk Kristal


kuning atau kuning
terang

14
Refferat
Toksikologi

36 Triazolam C17H12Cl2N4 Bubuk Kristal


putih, kuning pucat

d. Efek Benzodiazepine
Semua benzodiazepine memiliki efek sebagai berikut:
- Menurunkan ansietas. Pada dosis rendah, benzodiazepine bersifat ansiolitik.
Diperkirakan dengan menghambat secara selektif saluran neuron pada system
limbic otak.
- Bersifat sedative dan hipnotik. Semua benzodiazepine yang digunakan untuk
mengobati ansietas jug amempunyai efek sedative. Pada dosis yang lebih tinggi,
benzodiazepine tertentu menimbulkan hypnosis (tidur yang terjadinya artifisial)
- Antikonvulsan. Beberapa benzodiazepine bersifat antikonvulsan dan digunakan
untuk pengobatan epilepsy dan gangguan kejang lainnya.
- Pelemas otot. Benzodiazepine melemaskan otot skelet yang spastic, barang kali
dengan cara meningkatkan inhibisi presinaptik dalam sumsum tulang.

II. Aspek Toksikologi Benzodiazepine


a. Mekanisme toksisitas
Benzodiazepin bekerja dengan potensiasi aktivitas GABA yang merupakan
neurotransmitter mayor pada system saraf pusat. Peningkatatan neurotransmisi GABA
menyebabkan sedasi relaksasi otot, anxiolysis dan efek antikonvulsan. Stimulasi
reseptor GABA pada system saraf tepi menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung
dan vasodilatasi. Perubahan tersebut berpotensi untuk mengganggu perfusi jaringan.
Efek dari benzodiazepine dapat meningkat jika dikonsumsi berbarengan dengan
alcohol (Mantooth, 2013).
Pengkonsumsian benzodiazepine yang berbarerangan dengan obat sedative
lainnya atau dengan alcohol dapat membahayakan tubuh. Yang paling umum dan
paling serius adalah interaksi benzodiazepine dengan alcohol dan hipnotik sedative
lainnya dimana terjadi peningkatan sedasi pada system saraf pusat. Pasien dengan
umur lebih tua lebih cenderung mengalami efek sedasi dari benzodiazepine
(American Psychiatric Association, 1990).

15
Refferat
Toksikologi

Metode penggunaan benzodiazepine biasanya diminum sebagai tablet atau


kapsul. Terdapat juga penggunaan injeksi baik dengan tujuan medis atau non medis,
serta terdapat adanya laporan penggunaan intranasal (menghirup/mendengus)
(EMCDDA, 2013).

b. Dosis Toksik
Secara umum, toksik yaitu : rasio terapi untuk benzodiazepin sangat tinggi. Misalnya,
overdosis diazepam oral telah dilaporkan mencapai lebih dari 15-20 kali dosis terapi
tanpa depresi yang serius. Di sisi lain, penahanan pernapasan telah dilaporkan setelah
menelan 5 mg triazolam dan setelah injeksi intravena yang cepat dari diazepam,
midazolam, dan banyak jenis lainnya dari benzodiazepin. Juga, konsumsi obat lain
dengan agen SSP-depresan (misalnya, etanol, barbiturat, opioid, dll) kemungkinan
akan menghasilkan efek aditif (Septian dkk., 2013).
c. Tanda dan Gejala
Adapun gejala-gejala over dosis dari benzodiazepine adalah pusing, bingung,
mengantuk, cemas dan agitasi. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan
tanda vital, dan pemeriksaan fungsi cardiorespirasi dan neurologi. Pada over dosis
benzodiazepine saja (isolated benzodiazepine overdose) dapat muncul sebagai coma
dengan tanda vital yang normal (Mantooth, 2013). Temuan pada pemeriksaan fisik
dapat berupa (Holstege, 2012):
- Depresi napas yang bermanifestasi sebagai hipoventilasi, apneu, sumbatan jalan
napas dapat terjadi;
- Depresi system saraf pusat yang bermanifestasi sebagai mengantuk, somnolen,
ataxia, nistagmus dan atau koma dapat terjadi;
- Manifestasi kardiovaskular yang dapat berupa hipotensi, takikardia, aritmia
jantung yang diinduksi hipoksia juga dapat terjadi.
d. Gambaran Forensik
1. Pemeriksaan barang bukti hidup pada kasus benzodiazepine.

Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada
umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat
minim. Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokter, apalagi untuk racun- racun yang
sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium
akan terpaksa melakukan pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus

16
Refferat
Toksikologi

melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan
(Septian dkk., 2013).

Pengambil darah urin untuk pengujian laboratorium:

2. Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Benzodiazepine


Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan
kerja sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian atau penyidik, ahli forensik,
psikiater maupun ahli toksikologi. Pertanyaan–pertanyaan yang sering muncul
sehubungan dengan hal di atas meliputi (Septian dkk., 2013).:
- Apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan,
ataupun kemungkianan pembunuhan?
- Jenis obat apakah yang digunakan?
- Melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut?
- Adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian?
- Apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali memakai,
ataupun sudah merupakan pecandu berat?
- Adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut?
- Apakah jenis narkoba yang digunakan memprovokasi penyakit- penyakit yang
mungkin sudah ada pada korban?
- Apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian korban?
Ringkasnya, penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek, yaitu :
i. TKP (Tempat Kejadian Perkara).
ii. Riwayat korban.

17
Refferat
Toksikologi

iii. Otopsi.
iv. Pemeriksaan Toksikologi.
Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti- bukti adanya
pemakaian obat-obatan terlarang. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang
bukti obat-obatan yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut.
Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat pemakaian obat-obatan
terlarang yang bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga,
teman, maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan obat-obatan
terlarang (Septian dkk., 2013).
Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada
pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasanya temuan
yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari
hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh
pemakaian narkoba meskipun tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam,
asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian di atas. Selain
itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas penyuntikan di kulit yang khas
pada pemakaian narkoba. Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali
dengan cara mencari tanda- tanda dari komplikasi akibat pemakaian narkoba.
Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat
adanya pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanya
didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada
pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan – bahan narkoba yang masih
utuh tetapi warna dari cairan lambung dapat memberi petunjuk mengenai jenis
narkoba yang dikonsumsi (Septian dkk., 2013).
e. Pemeriksaan Toksikologi
Pada orang yang telah meninggal, saat autopsy rutin, biasanya specimen yang
diambil adalah darah, vitreus, urin dan cairan empedu. Pada orang dengan suspect
over dosis obat secara oral, maka darah, vitreus, urin, cairan empedu, isi lambung
diambil untuk pemeriksaan serta hati, otot dan ginjal dapat diambil opsional (DiMaio
& DiMaio, 2001).
Analisis dari jaringan biologis untuk kepentingan toksikologi terdiri dari 3 hal
yang diaplikasikan pada specimen-spesimen yang telah di ambil yaitu (DiMaio &
DiMaio, 2001):

18
Refferat
Toksikologi

1. Separasi obat dari jaringan biologis


2. Pemurnian (purifikasi) obat
3. Deteksi dan kuantitasi analitik
Untuk memudahkan penyidikan pada kasus keracunan benzodiazepin
menggunakan pemeriksaan toksikologi forensik yang terdiri dari :
1. Uji Penapisan “Screening test”
Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit) dalam sampel.
Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat kimia maupun efek
farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan psikotropika secara umum dalam
uji penapisan dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain, kannabinoid, turunan
amfetamin, turunan benzodiazepin, golongan senyawa anti dipresan tri-siklik, turunan
asam barbiturat, turunan metadon (Septian dkk., 2013).
Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit dengan
derajat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan pelaksanaannya relatif
cepat. Terdapat teknik uji penapisan yaitu kromatografi lapis tipis (KLT) yang
dikombinasikan dengan reaksi warna dan teknik immunoassay (Septian dkk., 2013)
a. Teknik immunoassay
Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam
analisis obat terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan “anti-drug
antibody” untuk mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam sampel (materi
biologik). Jika di dalam matrik terdapat obat dan metabolitnya (antigen-target)
maka dia akan berikatan dengan “anti-drug antibody”, namun jika tidak ada
antigentarget maka “anti-drug antibody” akan berikatan dengan “antigen-
penanda”. Terdapat berbagai metode / teknik untuk mendeteksi ikatan
antigenantibodi ini, seperti “enzyme linked immunoassay” (ELISA), enzyme
multiplied immunoassay technique (EMIT), fluorescence polarization
immunoassay (FPIA), cloned enzyme-donor immunoassay (CEDIA), dan radio
immunoassay (RIA) (Septian dkk., 2013).
Untuk laboratorium toksikologi dengan beban kerja yang kecil pemilihan
teknik single test immunoassay akan lebih tepat tertimbang teknik multi test,
namun biaya analisa akan menjadi lebih mahal (Septian dkk., 2013).
Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan, bukan untuk menarik kesimpulan, karena kemungkinan antibodi

19
Refferat
Toksikologi

yang digunakan dapat bereaksi dengan berbagai senyawa yang memiliki baik
bentuk struktur molekul maupun bangun yang hampir sama. Reaksi silang ini
tentunya memberikan hasil positif palsu. hasil reaksi immunoassay (screening
test) harus dilakukan uji pemastian (confirmatori test) (Septian dkk., 2013).
b. Kromatografi lapis tipis (KLT)
KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah pengerjaannya,
namun KLT kurang sensitif jika dibandungkan dengan teknik immunoassay.
Untuk meningkatkan sensitifitas KLT sangat disarankan dalam analisis
toksikologi forensik, uji penapisan dengan KLT dilakukan paling sedikit lebih dari
satu sistem pengembang dengan penampak noda yang berbeda. Dengan
menggunakan spektrofotodensitometri analit yang telah terpisah dengan KLT
dapat dideteksi spektrumnya (UV atau fluoresensi). Kombinasi ini tentunya akan
meningkatkan derajat sensitifitas dan spesifisitas dari uji penapisan dengan
metode KLT. Secara simultan kombinasi ini dapat digunakan untuk uji pemastian
(Septian dkk., 2013).
2. Uji pemastian “confirmatory test”
Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan kadarnya.
Umumnya uji pemastian menggunakan teknik kromatografi yang dikombinasi dengan
teknik detektor lainnya, seperti: kromatografi gas - spektrofotometri massa (GC-MS),
kromatografi cair kenerja tinggi (HPLC) dengan diode-array detektor, kromatografi
cair - spektrofotometri massa (LC-MS), KLT-Spektrofotodensitometri, dan teknik
lainnya. Meningkatnya derajat spesifisitas pada uji ini akan sangat memungkinkan
mengenali identitas analit, sehingga dapat menentukan secara spesifik toksikan yang
ada (Septian dkk., 2013).
Prinsip dasar uji konfirmasi dengan menggunakan teknik CG-MS adalah analit
dipisahkan menggunakan gas kromatografi kemudian selanjutnya dipastikan
identitasnya menggunakan teknik spektrfotometrimassa. Sebelumnya analit diisolasi
dari matrik biologik, kemudian jika perlu diderivatisasi. Isolat akan dilewatkan ke
kolom CG, dengan perbedaan sifat fisikokima toksikan dan metabolitnya, maka
dengan GC akan terjadi pemisahan toksikan dari senyawa segolongannya atau
metabolitnya. Pada prisipnya pemisahan menggunakan GC, indeks retensi dari analit
yang terpisah adalah sangat spesifik untuk senyawa tersebut, namun hal ini belum
cukup untuk tujuan analisis toksikologi forensik. Analit yang terpisah akan memasuki

20
Refferat
Toksikologi

spektrofotometri massa (MS), di sini bergantung dari metode fragmentasi pada MS,
analitakan terfragmentasi menghasilkan pola spektrum massa yang sangat
kharakteristik untuk setiap senyawa. Pola fragmentasi (spetrum massa) ini merupakan
sidik jari molekular dari suatu senyawa (Septian dkk., 2013).
Dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum massanya, maka
identitas dari analit dapat dikenali dan dipastikan. Dengan teknik kombinasi HPLC-
diode array detektor akan memungkinkan secara simultan mengukur spektrum UV-
Vis dari analit yang telah dipisahkan oleh kolom HPLC. Seperti pada metode GC-MS,
dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum UV-Vis analit, maka dapat
mengenali identitas analit (Septian dkk., 2013).

21
Refferat
Toksikologi

AMFETAMIN

Narkoba (singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya)
adalah bahan/zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara oral/diminum,
dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan
perilaku seseorang. Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan
psikologis. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang
No. 22 tahun 1997).

Psikotropika adalah zat-zat dalam berbagai bentuk pil dan obat yang mempengaruhi
kesadaran karena sasaran obat tersebut adalah pusat-pusat tertentu di sistem syaraf pusat
(otak dan sumsum tulang belakang). Menurut UU no.5/1997 psikotropik meliputi : Ecstacy,
shabu-shabu, LSD, obat penenang/tidur, obat anti depresi dan anti psikosis. Sementara
psikoaktiva adalah istilah yang secara umum digunakan untuk menyebut semua zat yang
mempunyai komposisi kimiawi berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan
perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran.

Menurut Undang-undang RI No. 5/1997 tentang psikotropika adalah zat atau obat,
baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental
dan perilaku. Psikotropika dibedakan dalam 4 golongan sebagai berikut :

 Psikotropika golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindrom ketergantungan Contoh : MDMA, ecstasy, LSD, ST
 Psikotropika golongan II : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat
digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh : amfetamin, fensiklidin,
sekobarbital, metakualon, metilfenidat (ritalin).
 Psikotropika golongan III : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh : fenobarbital, flunitrazepam.

22
Refferat
Toksikologi

 Psikotropika golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat


luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh: diazepam, klobazam,
bromazepam, klonazepam, khlordiazepoxide, nitrazepam.

Amphetamine merupakan salah satu obat dari golongan psikotropika golongan II.
Istilah amphetamine digunakan untuk sekelompok obat yang secara struktural mempunyai
keterbatasan dalam penggunaan klinis tetapi sangat potensial untuk menjadi toksik adiksi dan
disalah gunakan. Golongan betafenilisopropilamin adalah bentuk dasar dari golongan
amfetamin dan pertama kali disintesa pada tahun 1887.

Pengertian Amfetamin

Amfetamin adalah kelompok obat psikoaktif sintetis yang disebut sistem saraf pusat (SSP)
stimulants.stimulan. Amfetamin merupakan satu jenis narkoba yang dibuat secara sintetis
dan kini terkenal di wilayah Asia Tenggara. Amfetamin dapat berupa bubuk putih, kuning,
maupun coklat, atau bubuk putih kristal kecil.

Senyawa ini memiliki nama kimia α–methylphenethylamine merupakan suatu


senyawa yang telah digunakan secara terapetik untuk mengatasi obesitas, attention-deficit
hyperactivity disorder (ADHD), dan narkolepsi. Amfetamin meningkatkan pelepasan
katekolamin yang mengakibatkan jumlah neurotransmiter golongan monoamine (dopamin,
norepinefrin, dan serotonin) dari saraf pra-sinapsis meningkat. Amfetamin memiliki banyak
efek stimulan diantaranya meningkatkan aktivitas dan gairah hidup, menurunkan rasa lelah,
meningkatkan mood, meningkatkan konsentrasi, menekan nafsu makan, dan menurunkan
keinginan untuk tidur. Akan tetapi, dalam keadaan overdosis, efek-efek tersebut menjadi
berlebihan.

Secara klinis, efek amfetamin sangat mirip dengan kokain, tetapi amfetamin memiliki
waktu paruh lebih panjang dibandingkan dengan kokain (waktu paruh amfetamin 10 – 15
jam) dan durasi yang memberikan efek euforianya 4 – 8 kali lebih lama dibandingkan
kokain. Hal ini disebabkan oleh stimulator-stimulator tersebut mengaktivasi “reserve powers”
yang ada di dalam tubuh manusia dan ketika efek yang ditimbulkan oleh amfetamin
melemah, tubuh memberikan “signal” bahwa tubuh membutuhkan senyawa-senyawa itu
lagi. Berdasarkan ICD-10 (The International Statistical Classification of Diseases and

23
Refferat
Toksikologi

Related Health Problems), kelainan mental dan tingkah laku yang disebabkan oleh
amfetamin diklasifikasikan ke dalam golongan F15 (Amfetamin yang menyebabkan
ketergantungan psikologis).

Cara yang paling umum dalam menggunakan amfetamin adalah dihirup melalui
tabung. Zat tersebut mempunyai mempunyai beberapa nama lain: ATS, SS, ubas, ice, Shabu,
Speed, Glass, Quartz, Hirropon dan lain sebagainya. Amfetamin terdiri dari dua senyawa
yang berbeda: dextroamphetamine murni and pure levoamphetamine.dan levoamphetamine
murni. Since dextroamphetamine is more potent than levoamphetamine, pure Karena
dextroamphetamine lebih kuat daripada levoamphetamine, dextroamphetamine juga lebih
kuat daripada campuran amfetamin.

Amfetamin dapat membuat seseorang merasa energik. Efek amfetamin termasuk rasa
kesejahteraan, dan membuat seseorang merasa lebih percaya diri. Perasaan ini bisa bertahan
sampai 12 jam, dan beberapa orang terus menggunakan untuk menghindari turun dari obat

Obat-obat yang termasuk ke dalam golongan amfetamin adalah:

1. Amfetamin
2. Metamfetamin
3. Methylenedioxy methamphetamine (MDMA, ecstasy atau Adam).

Ectasy adalah nama yang populer digunakan untuk Methylenedioxy


methamphetamine (MDMA) sedangkan shabu-shabu adalah nama populer yang digunakan
untuk methamphetamine. Maka kedua jenis zat tersebut merupakan derivat yang sama yaitu
golongan Amfetamine. Di negara Barat terutama di Hawaii dan Amerika methamphetamine
dikenal dengan nama ice, di Korea dan Filipina glass, sedangkan di Jepang dikenal dengan
nama Shabu.

Sejarah Amphetamine

Amphetamine pertama kali disintesiskan di Jerman pada tahun 1887, tetapi kemungkinan
kandungan nilai pengobatannya tidak diselidiki sampai tahun 1972. Produk obat/medis
pertama yang mengandung amphetamine, Benzedrine inhaler/obat hirup, dipasarkan tahun
1932 untuk memperlebar jalan tenggorokan dan membantu penderita asma bernapas. Tidak
lama setelah produk ini diperkenalkan, pemakai menemukan bahwa bukan saja melebarkan

24
Refferat
Toksikologi

jalan tenggorokan; produk ini juga menghilangkan keletihan, meningkatkan mutu energi,
mengurangi perlunya tidur, dan menekan nafsu makan. Di Amerika Serikat, penyalahgunaan
inhaler/obat hirup mengandung amphetamine hampir secara serentak dimulai dan terus
dilakukan sampai saat penjualan lepas dilarang pada tahun 1959.

Tahun 1937, amphetamine juga tersedia dalam bentuk tablet dan digunakan secara
luas selama Perang Dunia II oleh Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman. Karena
meningkatnya penyalahgunaan obat ini, Amerika Serikat mengatur amphetamine sebagai
obat dengan resep pada tahun 1951. Akan tetapi, penggunaan medis amphetamine terus
meningkat selama tahun 1950-an, karena obat ini secara rutin ditentukan sebagai anti-depresi
dan penolong diet. Meskipun penyalahgunaan amphetamine menurun ditahun 1970-an dan
1980-an, penyalahgunaan amphetamine yang diproduksi secara gelap secara dramatis
meningkat ditahun 1990-an hingga saat ini.

Mekanisme kerja

Mekanisme kerja amphetamine dalam tubuh sebagai berikut :

1) Dopamin
Amfetamine menghambat re uptake dan secara langsung melepaskan dopamin yang baru
disintesa. Pada penelitian didapatkan bahwa isomer dekstro dan levo amfetamine
mempunyai potensi yang sama dalam menghambat up take dopaminergik dari sinaptosom
di hipothalamus dan korpus striatum tikus.
2) Norepinefrin
Amfetamine memblok re uptake norepinefrin dan juga menyebabkan pelepasan
norepinefrin baru, penambahan atau pengurangan karbon diantara cincin fenil dan
nitrogen melemahkan efek amfetamine pada pelepasan re uptake norepinefrin.
3) Serotonin
Secara umum, amfetamine tidak mempunyai efek yang kuat pada sistem serotoninergik.
Menurut Fletscher p-chloro-N-metilamfetamin mengosongkan kadar 5 hidroksi triptopfan
(5-HT) dan 4 hidroksiindolasetik acid (5-HIAA), sementara kadar norepinefrin dan
dopamine tidak berubah. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Fuller dan Molloy, Moller
Nielsen dan Dubnick bahwa devirat amfetamine dengan electron kuat yang menarik
penggantian pada cincin fenil akan mempengaruhi sistim serotoninergik. Aktivitas
susunan saraf pusat terjadi melalui kedua jaras adrenergic dan dopaminergik dalam otak

25
Refferat
Toksikologi

dan masing-masing menimbulkan aktivitas lokomortor serta kepribadian stereotopik.


Stimulasi pada pusat motorik di daerah media otak depan (medial forebrain)
menyebabkan peningkatan dari kadar norepinefrin dalam sinaps dan menimbulkan
euforia serta meningkatkan libido. Stimulasi pada ascending reticular activating system
(ARAS) menimbulkan peningkatan aktivitas motorik dan menurunkan rasa lelah.
Stimulasi pada sistim dopaminergik pada otak menimbulkan gejala yang mirip dengan
skizifrenia dari psikosa amphetamine.

Mekanisme kerja amphetamine berdasarkan dosis yang dikonsumsi :

1. Dosis kecil
a. Semua jenis amfetamin akan menaikkan tekanan darah, mempercepat denyut jantung,
melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan euphoria,
menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan rasa lelah dan rasa lapar,
meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara dan merasa kuat. Prestasi fisik
misalnya pada atlet meningkat.
b. Efek ini sangat bervariasi dan dapat terjadi hal-hal yang sebaliknya pada dosis
berlebihan atau penggunaan berulang-ulang.
c. Penggunaan lama Penggunaan lama atau dosis besar hamper selalu diikuti oleh
depresi mental dan kelelahan fisik. Banyak orang yang pada pemberian amfetamin
mengalami sakit kepala, palpitasi, rasa pusing, gangguan vasomotor, rasa khawatir,
kacau piker, disforia, delirium atau rasa lelah.
2. Dosis sedang amfetamin (20-50mg)
Menstimulasi pernapasan, menimbulkan tremor ringan, gelisah, meningkatkan aktivitas
motorik, insomia, agitasi, mencegah lelah, menekan nafsu makan, menghilangkan kantuk
dan mengurangi tidur.
3. Dosis amphetamine >50mg
Amphetamine yang masuk secara berlebih dapat langsung mengakibatkan kematian,
gejala yanng ditimbulkan sebelum kematian adalah mengalami tremor berat,
meningkatnya aktivitas motorik yang berlebih dan gangguan pernafasan yang hebat
hingga nafas berhenti.

26
Refferat
Toksikologi

Efek toksik penggunaan amfetamine kronis dengan dosis tinggi terhadap:

a. Otak.
Penggunaan amfetamine secara kronis dengan dosis tinggi akan menginduksi perubahan
toksik pada sistim monoaminergik pusat. Seiden dan kawan-kawan melakukan penelitian
pada kera dengan menyuntikkan sebanyak 8 kali/hari (dosis 3-6,5 mg/kg) selama 3-6
bulan. Setelah 24 jam pemberian dosis terakhir memperlihatkan kekosongan norepinefrin
pada semua bagian otak (pons, medula, otak tengah, hipothalamus dan korteks frontal).
Setelah 3-6 bulan suntikan terakhir, norepinefrin masih tetap rendah di otak tengah dan
korteks frontal. Sedangkan pada hipothalamus dan pons kadar norepinefrin sudah
meningkat. Kadar dopamin terdepresi hanya pada darah, bagian otak lain tidak
terpengaruh. Kondisi toksik amfetamine ini juga mempengaruhi sistim serotoninergik, hal
ini diperlihatkan dengan perubahan aktivitas triptophan hidroksilase terutama pada
penggunaan fenfluramin. Rumbaugh melaporkan pada pemakaian amfetamine kronis
dengan dosis tinggi mempengaruhi vaskularisasi otak. Penelitian pada kera yang diberi
injeksi metamfetamin selama 1 tahun menunjukkan perubahan yang luas dari arteriola
kecil dan pembuluh kapiler. Selanjutnya dapat terjadi hilangnya sel neuron dan
berkembangnya sel-sel glia, satelit dan nekrohemorrhage pada serebelum dan
hypothalamus.
b. Perifer
Efek yang menonjol adalah terhadap kerja jantung. Katekolamin mempengaruhi
sensitivitas miokardium pada stimulus ektopik, karena itu akan menambah resiko dari
aritmia jantung yang fatal. Efek perifer yang lain adalah terhadap pengaruh suhu (thermo-
regulation). Amfetamine mempengaruhi pengaturan suhu secara sentral di otak oleh
peningkatan aktivitas hipothalamus anterior. Penyebab kematian yang besar pada
toksisitas amfetamine disebabkan oleh hiperpireksia. Mekanisme toksisitas dari
amfetamine terutama melalui aktivitas sistim saraf simpatis melalui situmulasi susunan
saraf pusat, pengeluaran ketekholamin perifer, inhibisi re uptake katekholamine atau
inhibisi dari monoamine oksidase. Dosis toksik biasanya hanya sedikit diatas dosis biasa.
Amfetamine juga merupakan obat/zat yang sering disalahgunakan.

27
Refferat
Toksikologi

Efek amfetamine yang berhubungan dengan penyalahgunaan dapat dibedakan dalam 2 fase:

1. Fase awal
Selama fase ini efek akut dari amfetamine ditentukan oleh efek farmakologinya
(pelepasan dopamin) dan akan menimbulkan:
- Euforia
- Energi yang meningkat
- Menambah kemampuan bekerja dan interaksi social. Efek ini timbul sesaat setelah
mengkonsumsi
2. Fase konsilidasi
Konsumsi yang lama dan intermiten, membuat individu akan meningkatkan dosis untuk
mendapatkan efek yang lebih besar. Pada pemakaian yang terus-menerus individu akan
meningkatkan frekuensi dan dosis zat untuk merasakan flash atau rush dari penggunaan
amfetamine. Selama masa transisi penggunaan dosis tinggi, individu menggunakan
amfetamine yang bereaksi cepat, yaitu secara intravena atau dihisap. Pada fase ini
individu mulai binge, yaitu pemakaian zat secara berulangulang sesuai frekuensi
perubahan mood. Binge ini dapat berlangsung dalam 12-18 jam tetapi dapat lebih panjang
lagi mencapai 2 sampai 3 atau bahkan 7 hari.

Pemeriksaan Forensik

Jika obat dihirup, dapat ditemukan sejumlah kecil bubuk pada saat hidung dibuka atau
melalui swab methanol pada septum hidung. Pada injeksi biasanya digunakan jarum insulin,
dan bekas suntikan biasanya agak sulit dilihat. Kaca pembesar dapat digunakan untuk melihat
bekas suntikan tersebut, bekas suntikan tersebut kemungkinan tidak terdapat perdarahan.
Ketika pengguna cenderung untuk menggunakan berulang kali untuk meningkatkan efek,
bekas tusukan cenderung banyak dan berkumpul disekitar vena yang sering digunakan.
Terkadang bekas tato di atas vena menyembunyikan bekas tusukan.

Jika obat dihisap atau dikonsumsi secara oral, mungkin tidak ada manifestasi
eksternal yang ditemukan. Disamping informasi lain, terdapat tanda terbakar pada jari
telunjuk bagian palmar yang digunakan untuk memegang pipa panas pada penggunaan oral.
Sampel autopsi harus menyertakan darah perifer, urin, jaringan hepar, empedu, isi lambung
dan rambut. Urin, cairan spinal dan jaringan dapat positif untuk beberapa hari setelah
penggunaan pertama, dan positif untuk waktu yang lebih lama pada penggunaan kronis.

28
Refferat
Toksikologi

Rambut juga dapat dianalisis untuk melihat positif tidaknya penggunaan MDMA. Beberapa
pemeriksaan juga menyertakan paru – paru dan otak sebagai sampel tambahan

1. Penemuan pada otak. Studi post mortem memperlihatkan perubahan level serotonin dan
metabolit utamanya pada otak pada pengguna jangka panjang amfetamine. Level
serotonin berkurang 50%–80% pada regio yang berbeda pada otak, pada perbandingan
dengan yang tidak menggunakan amfetamine. Dapat memperlihatkan gambaran
disseminated intravaskular coagulation (DIC), edema dan degenerasi neuron nampak
pada lokus ceruleus. Sebuah studi postmortem terhadap 6 orang pengguna amfetamine, 2
orang memperlihatkan fokal hemoragi pada otak. Pada salah satu kasus terdapat nekrosis
glandula hipofisis, hal ini kemungkinan karena kurangnya suplai darah.
2. Penemuan pada paru – paru. Pada pemeriksaan internal, paru – paru berat, biasanya berat
masing – masing 400 hingga 500 gram, tapi berat paru – paru yang sampai 1000 gram
atau lebih juga terkadang ditemukan. Jika digunakan secara intravena, dapat ditemukan
benda asing pada paru. Sebuah studi postmortem terhadap 6 orang pengguna amfetamine,
ditemukan infark pulmonar pada salah seorang pengguna. Pada dua orang lainnya
ditemukan hemoragi intra alveolar. Pada salah satu kasus terdapat inhalasi isi gaster.
3. Penemuan pada jantung. Jantung adalah target organ, terkadang terjadi penambahan
berat, terutama pada hipertrofi ventrikel kiri dan pembesaran jantung bagian kanan. Pada
pemeriksaan mikroskopik ditemukan kongesti dari organ dengan edema. Juga dapat
ditemukan peningkatan sejumlah partikel karbon. Bisa juga terlihat nekrosis myofibril.
Sejak diketahui bahwa obat ini merupakan stimulator katekolamin, dan menyebabkan
terjadinya peningkatan katekol dalam darah, jantung sering terdapat area iskemi dan
mionekrosis yang dikelilingi oleh neutrofil dan makrofag
4. Penemuan pada hepar. Dapat terdapat pembesaran hepatosit dan pada sitoplasma bisa
mengandung banyak vakuola. Kasus intoksikasi yang menyebabkan hipertermia dengan
kegagalan fungsi hati sering terdapat nekrosis hepatis massif., Perlemakan, dilatasi
sinusoidal dan inflamasi juga ditemukan.
5. Penemuan pada ginjal.
Pada ginjal Amfetamine mengakibatkan myoglobinuric tubular necrosis, sedangkan
metamfetamine dapat menyebabkan Proliferatif Glomerulonephritis akibat dari suatu
systemic necrotizing vasculitis. Biasanya terjadi bila amfetamine digunakan secara
intravena, Merupakan keadaan yang jarang terjadi, dan timbul bila terjadi overdosis.
Yang paling sering adalah derivat metamfetamin

29
Refferat
Toksikologi

6. Pemeriksaan darah.
Waktu paruh yang cukup lama menyebabkan obat dapat dideteksi pada darah dalam
waktu beberapa jam, bergantung dari dosisnya. Metabolisme menghasilkan amfetamin
sebagai metabolit pertama dari metamfetamin, dan rasio pada darah dan urin dapat
membantu menentukan penggunaan akut atau kronis. Kebanyakan tes skrining darah
untuk amfetamin adalah menggunakan teknik imunoassay. Dapat juga dengan
menggunakan gas kromatografi dan analisis spektroskopi. Identifikasi amfetamine
dengan menggunakan saliva telah ada dan dapat digunakan untuk tes simpel yang non-
invasif.
7. Tes Urin.
Pengguna MDMA akan memperlihatkan hasil positif pada amfetamin (metode umum)
dan metamfetamin (metode tes yang baru dan lebih jarang digunakan). Periode deteksi
amfetamin pada urin adalah 24-96 jam setelah penggunaan (rata – rata 72 jam). Periode
deteksi amfetamin dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH dan status hidrasi.

Obat – obat dan bahan kimia yang lain dapat saja mengganggu dengan identifikasi
amfetamin.

Buflomedil adalah vasodilator untuk penyakit cerebrovaskular dan arteri perifer yang
bercampur dengan enzim multiplied immunoassay (EMIT) untuk amfetamin. Trazodon telah
dilaporkan menyebabkan hasil false positif. Bloker Histamin (H2) seperti ranitidin adalah
penyebab utama dari hasil false positif. Ritodrine, sebuah beta simpatomimetik yang
digunakan dalam manajemen persalinan preterm, dan derivat fenotiazin seperti klorpromazin
dan prometazin juga diketahui mengganggu identifikasi. Selegilin dimetabolisasi menjadi L-
amfetamin dan L-metamfetamin dan menyebabkan hasil positif. Analisis isomer kuantitatif
dapat menyelesaikan masalah ini. Klobenzorex, sebuah obat anorektik yang diresepkan di
Meksiko, dimetabolisasi menjadi amfetamin, memberikan hasil positif pada tes dengan gas
kromatografi dan analisis spektroskopi. Pencapaian terbaru dalam mendeteksi amfetamin
adalah menggunakan spektroskopi dengan transmisi inframerah.. Spektroskopi non akueous
elektroforesis-fluoresens kapiler telah dievaluasi dan digunakan sebagai metode deteksi cepat
untuk amfetamine. Ketika mengambil spesimen darah pada orang yang sudah meninggal,
lebih direkomendasikan untuk mengambil darah pada bagian perifer daripada darah di dekat
jantung, hal ini karena redistribusi amfetamin ke jantung mengakibatkan kadar amfetamin
yang lebih tinggi

30
Refferat
Toksikologi

HEROIN & MORFIN

Narkotika (berasal dari bahasa Yunani: Narkosis) ialah setiap obat yang dapat
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan suatu keadaan stupor. Tetapi sekarang,
pengertian secara farmakologis tersebut di atas telah diperluas dengan memasukkan pula obat
– obat yang sebenarnya tidak dapat menimbulkan narcosis misalnya: cocaine (sesungguhnya
termasuk dalam golongan stimulant) dan marijuana (sebenarnya suatu halusinogen ringan)
dan jenis lain seperti yang tertera dalam Undang – undang no.9 tahun 1976 tentang
Narkotika. (Bagian Kedokteran Forensik FKUI, 1997)
Menurut struktur kimianya narkotika dapat digolongkan dalam:

1. Morfin dan turunannya, contoh: morfin, dilaudid, heroin, nalorfin, kodein, naloxone
2. Turunan Benzomorfan, contoh: pentazocine dan levorphanol
3. Golongan 4-fenilpiperidin, contoh: pethidin (meperidine) dan trime peridine
4. Golongan difenilpropilamin dan analgesic-asiklik, contoh: me-thadone dan tricarda
5. Lain- lain, contoh: turunan fenotiazin dan benzimidazole

Dari kelima golongan tersebut, golongan pertama yang paling banyak disalahgunakan
(morfin dan heroin).

Heroin dalam tubuh akan cepat di ubah menjadi morfin dan memiliki khasiat
farmakologik yang sama dengan morfin.

Sumber

Street narcotic ialah narkotika yang banyak diperdagangkan dalam pasar gelap, dan biasanya
mengandung heroin dalam kadar 0 – 77%, sedangkan selebihnya (filter) dapat berupa
prokain, quinine, magnesium-silikat, laktosa, sukrosa atau manitol. Pulvus opii mengandung
10% morfin, sedangkan pulvus doveri mengandung 10% pulvus opii. Preparat murni yang
lazim digunakan dalam bidang medis merupakan bentuk garam klorida, sulfat atau fosfat
dengan kadar morfin sebesar 10mg/ml untuk penggunaan parenteral. (Bagian Kedokteran
Forensik FKUI, 1997)

Farmakodinamik

Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek
morfinpada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.

31
Refferat
Toksikologi

Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar.


Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis,miosis, mual muntah, hiperaktif reflek spinal,
konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika (ADH). (Bagian Kedokteran Forensik FKUI,
1997)

Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga
dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah
pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Morfin sangat cepat hilang dari darah (2,5 menit pada
binatang percobaan) dan terkonsentrasi dalam jaringan parenkim seperti ginjal, paru, hati, dan
limpa. (Bagian Kedokteran Forensik FKUI, 1997)

Metabolisme terutama berlangsung dalam hati, selain itu juga dalam otak, paru –
paru,darah, ginjal, dan plasenta. Hampir 90% morfin dalam tubuh terdapat sebagai bentuk
terikat (konjugasi) dengan asam glukoronat. Heroin, dalam tubuh dengan cepat akan
dihidrolisis oleh esterase dalam darah menjadi 6-mono-asetil-morfin yang kemudian akan
diubah (konversi) menjadi morfin. (Bagian Kedokteran Forensik FKUI, 1997)

Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama
melalui ginjal dan saluran empedu. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan
keringat. (Bagian Kedokteran Forensik FKUI, 1997)

Dalam urin, heroin terutama terdapat dalam bentuk morfin yang terikat (50%), dalam
bentuk morfin bebas sebanyak 7%. Heroin bebas dalam urin terdapat dalam jumlah sangat
kecil. Morfin dalam bentuk terikat sebanyak 11 – 60%. Walaupun morfin dalam jumlah kecil
masih dapat ditemukan dalam urin setelah 48 jam, 90% dari ekskresi total berlangsung dalam
24 jam pertama. (Bagian Kedokteran Forensik FKUI, 1997)

Tanda dan Gejala Keracunan

Keracunan dapat terjadi secara akut dan kronis. keracunan akut biasanya terjadi akibat
percobaan bunuh diri, kecelakaan dan pembunuhan.
Gejala keracunan lebih cepat pada morfin daripada opium. Mula-mula terjadi eksitasi
susunan saraf yang kemudian disusul oleh narkosis. Korban biasanya datang ke rumah sakit
sudah dalam fase narkosis. Korban merasa ngantuk yang semakin lama semakin dalam dan

32
Refferat
Toksikologi

berakhir dengan keadaan koma, terdapat relaksasi otot-otot sehingga lidah dapat menutupi
saluran napas, nadi kecil dan lemah, pernapasan sukar, irregular, pernapasan dangkal-lambat
dan dapat terjadi pernapasan Cheyne Stokes, suhu badan turun, muka pucat, pupil miosis yang
akan melebar kembali setelah terjadi anoksia, tekanan darah menurun hingga syok. (Bagian
Kedokteran Forensik FKUI, 1997)

Sebab Kematian dan Mekanisme Kematian

Cara kematian hanya dapat ditentukan jika kita melakukan penyelidikan ke tempat kejadian.
Kecelakaan adalah sebab terbanyak, biasanya dikarenakan ketidaktahuan dosis. Cara
kematian yang lain adalah pembunuhan. Pembunuhan dengan suntikan biasanya
menggunakan morfin/heroin dosis letal atau dicampur dengan racun lain misalnya sianida
atau strichnin. cara kematian dapat pula bersifat bunuh diri yang biasanya akibat abstinensia.
kematian biasanya terjadi pada penggunaan secara intravena. (Bagian Kedokteran Forensik
FKUI, 1997)

Mekanisme kematian melalui :

 Depresi pusat pernapasan : pusat pernapasan menjadi kurang sensitive terhadap stimulus
CO2 atau H+.
 Edema paru : terjadinya edema paru diakibatkan oleh peningkatan tekanan cairan
serebrospinal dan tekanan intrakranial serta berkurangnya sensitifitas pusat pernafasan
terhadap CO2. Kedua keadaan ini menyebabkan menurunnya ventilasi paru dan gangguan
permeabilitas.
 Syok anafilaktik terjadi akibat hipersensitifitas terhadap morfin/heroin atau terhadap
bahan pencampuranya.
 Kematian pada pemakai narkotika dapat pula diakibatkan oleh berbagai hal lain, seperti :
pemakaian alat suntik dan bahan yang tidak steril sehingga menimbulkan infeksi,
misalnya pneumonia, endokarditis, hepatitis, tetanus, AIDS, malaria, sepsis dan
sebagainya. Bila cara penyuntikan tidak benar, dapat terjadi emboli udara.

Dosis letal tidak dapat ditentukan dengan pasti karena tergantung dari individu. Dosis
letal terkecil yang pernah dilaporkan adalah sebesar 60 mg morfin, tetapi biasanya diambil
patokan sekitar 200 mg. Selain itu kadar dalam urine dan darah dapat digunakan sebagai
pegangan. Jika kadar morfin dalam urine sebesar 55mg% berarti orang tersebut menggunakan

33
Refferat
Toksikologi

morfin dalam jumlah yang berlebihan. Bila kadara dalam urine sebesar 5-20 mg% atau dalam
darah 0,1-0,5 mg% berarti sudah dalam keadaan toksik.

Pemeriksaan Forensik

Pada korban hidup yang menunjukkan gejala keracunan narkotika, perlu dilakukan
pengambilan darah dan urin untuk pemeriksaan laboratorium. (Bagian Kedokteran Forensik
FKUI, 1997)

Pemeriksaan Jenazah

Bekas – bekas suntikan (Needle marks). Kelainan ini, menurut frekuensi yang tersering
terdapat pada lipat siku, lengan atas, punggung tangan dan tungkai. Tempat – tempat yang
jarang digunakan tetapi harus kita teliti adalah pada leher, di bawah lidah, atau pada daerah
perineum. Bekas suntikan tersebut dapat pada kira – kira 52,9% kasus. Bekas suntikan yang
masih baru biasanya disertai perdarahan subkutan atau perdarahan perivena; selain itu untuk
menentukan baru lamanya suatu bekas suntikan dilakukan penekanan di sekitar bekas
suntikan tersebut, jika masih baru dari lubang suntikan keluar darah atau serum. Pada
keadaan – keadaan yang meragukan, kita dapat melakukan insisi kulit sepanjang vena
tersebut dan membebaskannya secara tumpul untuk memeriksa keadaan dinding vena dan
jaringan disekitarnya apakah ditemukan perdarahan atau jaringan parut. Pada adiksi kronik
akan ditemukan bekas – bekas suntikan yang lama, berupa jaringan parut berbentuk titik –
titik sepanjang pembuluh balik, keadaan ini disebut sebagai intravenous (mainline) tracks.
(Knight, 1996)

Selain bekas – bekas suntikan tersebut di atas, pada pemeriksaan luar sering dijumpai
adanya rajah yang bertujuan menutupi bekas – bekas suntikan, atau mungkin ditemukan
adanya abses, granuloma atau ulkus. Ketiga hal terakhir ini banyak dijumpai pada
penyuntikan narkotika secara subkutan, dan pada mereka ini sering pula dijumpai jaringan –
jaringa parut.

Penyuntikan secara subkutan (skin-popper) tidak menghasilkan kenikmatan yang


tinggi tetapi berlangsung dalam waktu yang lebih lama, dan pada cara inilah tetanus lebih
sering terjadi. (Knight, 1996)

34
Refferat
Toksikologi

Bila bekas suntikan tidak ditemukan, makan mungkin korban menggunakan cara lain
misalnya cara sniffing (menghirup), ack-ack (menghisap rokok yang dicampur heroin) atau
dengan cara chasing the dragon (menghisap uap yang dihasilkan dari pemanasan heroin).
Pada kasus seperti ini perlu diambil hapus selaput lendir hidung (nasal-swab) untuk
pemeriksaan toksikologi.

Pembesaran kelenjar getah bening setempat terutama di daerah ketiak disertai dengan adanya
bekas suntikan, menandakan bahwa korban tersebut seorang pecandu yang kronis. Kelainan
ini merupakan fenomena drainase, sekunder akibat penyuntikan yang berulang pada vena
atau jaringan disekitarnya, dengan memakai alat – alat suntikan yang tidak steril. Pada
pemeriksaan mikroskopik kelainan ini menunjukkan hipertrofi dan hiperplasi limfositik.

Lepuh kulit (skin – blister): kelainan ini biasanya terdapat pada kulit di daerah telapak tangan
dan kaki, dan biasanya terdapat pada kematian karena penyuntikan morfin/heroin dalam
jumlah besar. Perlu diingat bahwa lepuh kulit ini mungkin didapatkan pada beberapa keadaan
misalnya pada keracunan CO atau barbiturate.

Kelainan – kelainan lain: biasanya merupakan tanda – tanda asfiksia seperti keluarnya busa
halus dari lubang hidung dan mulut, yang mula – mula berwarna putih dan lama kelamaan
karena adanya autolysis, akan berwarna kemerahan. Kelainan ini terdapat pada lebih dari
sepertiga kasus, dan kelainan tersebut dianggap sebagai tanda edema paru. Sianosis pada
konjungtiva dan pada pemakaian narkotika dengan cara sniffing kadang – kadang dijumpai
perforasi septum nasi.

Kelainan paru akut. Kelainan digolongkan berdasarkan jarak waktu antara suntikan terakhir
dan saat kematian. Pada perubahan awal (sampai 3 jam) didapatkan edema dan kongesti saja,
atau hanya terdapat sel mononuclear serta makrofag di dlaam atau pada dinding alveoli.
Makroskopik terlihat paru membesar, lebih berat, bagian posterior lebih padat hingga tidak
teraba krepitasi, lebih berat, bagian anterior sering memperlihatkan emfisema akut. Kadang –
kadang hanya berupa emfisema akut yang difus dengan aspirasi benda asing dalam bronki.

Mikroskopik terlihat kongesti dan edema disertai sebukan sel mononuclear di dalam
dan pada dinding alveoli. Kadang – kadang didapatkan pusat – pusat atelektasis, emfisema
dan benda – benda yang teraspirasi dalam bronki. Edema paru didapatkan pada lebih dari 80
kasus.

35
Refferat
Toksikologi

Pada jangka waktu 3 sampai 12 jam: akan dijumpai narcotic lungs. Menurut Siegel,
kelainan ini khas, bermakna dan dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis, serta terdapat
pada kira – kira 25% kasus.

Makroskopik paru sangat mengembang, lebih berat, trakea berisi busa halus sampai
ke cabang – cabangnya, penampang dan permukaan paru memperlihatkan berbagai gambaran
dengan gambaran lobuler yang paling menonjol. Gambaran lobuler ini disebabkan oleh
adanya berbagai tingkat aerasi (atelektasis, aerasi normal, sangat mengembang sampai
emfisema), kongesti, edema, dan perdarahan di berbagai tempat, yang mempunyai
kecendrungan terbatas pada bagian inferior dan posterior paru. Mikroskopik terlihat edema,
kongesti dan sebukan makrofag yang tetap menonjol, perdarahan alveolar, intrabronkial dan
subpleural serta sebukan sel poli morfo nuclear. Dalam bronkiolus tampak benda – benda
asing, terdeskuamasi sel – sel epitel serta mucus. Selain narcotic lungs, pada saat ini mungkin
juga ditemukan benda – benda teraspirasi dalam saluran pernapasan misalnya susu yang oleh
para pecandu dipercaya dapat berfungsi sebagai antidotum. Pada 12 sampai 24 jam: akan
terlihat proses pneumonia luas dengan gambaran sebukan sel – sel poli morfo nuclear yang
lebih menonjol.

Perubahan lanjut: terjadi bila jangka waktu lebih dari 24 jam. Paru telah menunjukkan
gambaran pneumonia lobularis difus, penampangnya tampak berwarna coklat-kemerahan,
padat seperti daging dan menunjukkan gambaran granuler.

Kelainan paru kronik berupa granulomatosis vascular paru sebagai manifestasi reaksi
jaringan terhadap talk (magnesium-silikat) yang digunakan sebagai bahan pencampur.
Mungkin pula perubahan tersebut terjadi sebagai akibat bahan yang tidak larut pada
penggunaan parenteral, sama seperti mekanisme terjadinya grabuloma subkutan. Letak
granuloma tersebut dapat intra-vaskuler, peri-vaskuler, atau pada dinding alveoli, tetapi
biasanya pada arteriol. Untuk melihat kristal magnesium silikat tersebut sebaiknya digunakan
mikroskop polarisasi sehingga kristal tampak berwrna putih. Sedangkan dengan mikroskop
cahaya, kristal tampak berbentuk batang tidak berwarna atau kekuing-kuningan dan
berrefraksi ganda, dikelilingi sel – sel datia benda asing, sedikit limfosit, makrofag, sel
mononuclear, dan jaringan kolagen.

Selain terdapat pada paru, grabuloma, kristal dan benda asing lain juga ditemukan pada
organ lain, seperti hati, ginjal, limpa dan otak. Kadang – kadang ditemukan abses paru.

36
Refferat
Toksikologi

Kelainan hati dapat berupa akumulasi sel radang terutama limfosit, sedikit sel PMN dan
beberapa narcotic sel. Kelainan hati ini menurut Siegel terdapat pada 80% kasus, dan derajat
kelainannya tergantung dari lamanya penggunaan narkotika (derajat adiksi) seseorang. Makin
berat adiksinya makin jelas kelainannya, sebaliknya pada korban mati yang baru menyuntik
beberapa kali tidak ditemukan. Selain sel limfosit, PMN dan narcotic sel, mikroskopik juga
ditemukan fibrosis ringan dan proliferasi sel – sel duktus biliaris.

Kelainan pada hati tersebut dibagi menjadi:

a. Hepatitis kronik agresif dengan cirri khas berupa pembentukan septa


b. Hepatitis kronik persisten (Triaditis) dengan infiltrasi sel radang terutama di daerah
portal (lebih dari 40% kasus)
c. Hepatitis kronik reaktif
d. Perlemakan hati
e. Hepatitis virus akut (5,9%)

Kelainan kelenjar getah bening terutama terdapat pada kelenjar getah bening di daerah porta
hepatitis, sekitar duktus koledokus dan di sekitar kaput pancreas. Kelainan ini juga
berbanding lurus dengan derajat adiksi seseorang. Makroskopik tampak kelenjar membesar
dan mikroskopik terlihat hiperplasi dan hipertrofi limfosit.

Kelainan lain: limpa membesar dan mikroskpik terlihat hiperplasi nodule dan sentrum
germinativum yang menonjol. Jantung mungkin menunjukkan peradangan (endokarditis atau
miokarditis). Pada otak mungkin ditemukan perubahan kistik pada basal ganglia. Dapat juga
ditemukan kelainan yang biasa merupakan akibat pemakaian alat yang tidak steril.

Pemeriksaan Laboratorium

Bahan terpenting yang arus diambil adalah urin (jika tidak ada dapat diambil ginjal), cairan
empedu dan jaringan sekitar suntikan.

Isi lambung diambil jika ia menggunakan narkotika per – oral, demikian pula hapusan
mukosa hidung pada sniffing. Semprit bekas pakai dan sisa obat yang ditemukan harus pula
dikirim ke laboratorium.

37
Refferat
Toksikologi

Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya narkotika minimal adalah


kromatografi lapis tipis (TLC). Cara pemeriksaan lain adalah menggunakan teknik GLC
(kromatografi gas) dan RIA (Radio imuno-assay).

Pada pemakaian cara oral, morfin akan cepat dikonjugasi oleh asam glukoronat dalam
sel mukosa usus dan hati sehingga bahan sebaiknya dihidrolisis terlebih dahulu.

Untuk mendeteksi seseorang apakah ia pecandu atau bukan, dapat diketahui melalui:

Uji Nalorfin: pemberian nalorfin pada pecandu morfin akan memperlihatkan midriasis dan
gejala putis obat lainnya. Tetapi bila medriasis tidak terjadi, maka belum tentu ia bukan
pecandu. Caranya: ukur diameter pupil dan lakukan pemeriksaan ini dalam ruang khusus
yang tidak dipengaruhi cahaya. Pemeriksaan dilakukan lagi 30 menit setelah diberikan 3 mg
Nalorfin subkutan.

Analisa urin dapat dikerjakan tersendiri atau bersama – sama dengan uji nalorfin bila masih
meragukan hasil uji nalorfin. Analisa urin ini sekurang – kurangnya dikerjakan dengna
kromatografi lapis tipis (TLC).

Gejala putus obat (withdrawal symptom/sindrom abstinensi) terjadi bila pemakaian


narkotika dihentikan secara mendadak. Gejala tersebut dapat berupa menggigil, mual,
kehilangan nafsu makan, kelelahan, insomnia, hiper hidrosis, lakrimasi, kedutan otot,
muntah, diare dan dilatasi pupil. Pada bayi dapat juga terjadi kejang – kejang.

Dari ketiga cara tersebut di atas, yang paling baik dan yang paling sering di pakai
adalah analisa urin.

Terhadap barang – barang bukti seperti bubuk yang diduga mengandung morfin,
heroin, atau narkotika lainnya, dapat dilakukan berbagai pengujian. Pengujian tersebut hanya
dapat dilakukan terhadap benda bukti yang masih berupa preparat murni atau pada tempat
suntikan bila ternyata di ternyata di tempat suntikan tersebut masih terkumpul narkotika yang
belum diserap dan tidak dapat dilakukan terhadap bahan biologis seperti urin, darah, cairan
empedu dan lain – lain.

Uji Marquis kepekaan uji ini adalah sebesar 1 – 0,025 mikrogram. Reagen dapat dibuat dari 3
ml asam sulfat pekat ditambah 2 tetes formaldehida 40%. Pada umumnya semua narkotika

38
Refferat
Toksikologi

akan memberikan reaksi warna ungu. (morfin, heroin dan codein + marquis menjadi ungu.
Pethidin + marquis menjadi jingga).

Untuk heroin, dapat dilakukan pengujian yang lebih khas: 10 tetes campuran asam
nitir pekat dan 85% asam fosfor yang memiliki perbandingan 12:38 diletakkan dalam tabung
centrifuge ukuran 5 ml, kemudian ditambahkan 3,25 ml kloroform dan diputar selama 30
detik.

Perhatikan lapisan warna di dasar tabung yang timbul setelah 10 menit:

- Hijau muda: negative


- Kuning muda: microgram
- Kuning coklat: 1 mg
- Coklat gelap: 10 mg

Uji mikrokristal uji ini lenih sensitive dan lebih khas jika dibadingkan dengan reaksi warna
Marquis. Caranya: 1 tetes larutan narkotika ditambahakn reagen dan dengan mikroskop
dilihat Kristal apa yang terbentuk.

Hanging microdrop technique merupakan modifikasi untuk narkotika dengan pembentukan


kristal agak lama. Contoh:

- Morfin + reagen kalium cadmium yodida (1 g cadmium yodida + 2 g kalium yoyida) :


Kristal berbentuk jarum. Kepekaan uji: 0,01 mikrogram
- Morfin + kalium triyodida/: Kristal berbentuk piring. Kepekaan uji: 0,1 mikrogram
- Heroin + merkuri klorida: Kristal berbentuk dendrite. Kepekaan uji: 0,1 mikrogram
- Heroin + platinum klorida: Kristal berbentuk roset. Kepekaan uji: 0,25 mikrogram
- Pethidin + asam pikrat pekat: Kristal berbentuk roset berbulu. Kepekaan uji: 0,1
mikrogram

39
Refferat
Toksikologi

GANJA

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009).

Jenis narkotika dibagi atas 3 golongan :

a. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif sangat tinggi
menyebabkan ketergantunggan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan apapun,
kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah
heroin tidak murni berupa bubuk.

b. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memilki daya adiktif kuat, tetapi
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidin dan turunannya,
benzetidin, betametadol.

c. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi dapat
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : codein dan turunannya (Martono,
2006)

Ganja (cannabis sativa) adalah obat despresan terbuat dari daun tanaman cannabis
yang mengandung kanabioid psikotaktif (THC (Delta 9 tetrahidrokanibinol) yang dapat
dikategorikan sebagai depresan dan halusinogen. Nama lain dari ganja adalah mariyuana,
hasyis, cimeng, budha stik, atau marijane.THC (Delta 9 tetrahidrokanibinol) adalah salah satu
dari 400 zat kimia yang ditemukan di dalam ganja dan yang menyababkan efek perubahan
suasana hati.Ganja adalah tembakau hijau seperti campuran daun. Ganja biasanya terbentuk
dedaunan bewarna hijau. Ganja hanya tumbuh di pegunungan tropis dengan ketinggian lebih
dari 10.000 meter diatas permukaan air laut (Putra, 2013).

Ganja dapat dikonsumsi sebagai makanan, diseduh seperti teh, tapi kebanyakan di
isap setelah dikeringkan dan dirajang kemudian dilinting seperti rokok tembakau. Setiap
batang rokok ganja mengandung THC sebanyak 5-20 mg. Bila diisap, asap ganja yang
mengandung lebih dari 60 kanabinoid dan bahan kimia lain ditahan dalam paru-paru

40
Refferat
Toksikologi

beberapa detik. Sekitar 50% akan diabsorbsi (penggunaan oral hanya diabsobsi 3-6%)
(Djapara,2012).

Ganja mengandung engandung zat THC (Tetra Hydro Cannabinol) yaitu zat
psikoaktif yang berefek halusinasi. THC diserap melalui paru-paru atau dalam usus lalu
masuk ke dalam aliran darah dan pada akhirnya dibawa ke otak. Efek farmakologi ganja :

 Otak merupakan perangkat keras (hard ware) esensi manusia. Kerja otak menentukan
tingkat kebahagiaan, efektifitas perasaan dan kualitas interaksi dengan orang lain. Ganja
sebagai bahan alami yang mengandung zat psikoaktif ternyata menjadikan otak sebagai
target utama kerjanya. TCH sebagai zat psikoaktif utama dalam ganja, didalam tubuh
akan bekerja pada reseptor-B1 dan B2 yang terdapat di otak terutama pada kortek serebri,
hipokampus, serebelum (Djapara,2012).
 Interaksi THC dengan reseptor kanabinoid ini memicu pelepasan neurotransmiter
dopamin (DA) dan Norepineprin (NE) pada mesolimbik otak. Sebagaimana diketahui
bahwa di dalam mesolimbik terdapat mesolimbic dopamine pathway yang
mengandung Medial Fore-brain Bundle (MFB, yang berisi serabut saraf dopaminergik.
Serabut saraf ini menyebar dari Ventral Tegmental Area (VTA) di bagian ventral otak
tengah menuju Nucleus Accubens (NA) di ventral bagian otak depan. Jalur neural dalam
otak ini sering dijuluki sebagai “jalur kenikmatan” (brain reward system/ brain plesure
system). Jalur ini mampu memberi penguatan (reinforcing) positif dan adiksi pada
pengunaan narkoba seperti opioida, kokain, nikotin, amfetamin, alkohol dan ganja
(Djapara, 2012).
 Pelepaskan dopamin akan mengakibatkan seseorang merasakan kenikmatan atau
kepuasan sehingga dopamin sering disebut “neurotransmiter kenikmatan”. Itu sebabnya
pengguna ganja atau narkoba akan merasakan pengalaman yang nikmat. Jika dikonsumsi
berulang maka efek tersebut akan “menguasai dan mengendalikan” brain reward system
dan mendorong terjadinya “keharusan” (compulsory) untuk menggunakan obat lagi
hingga timbullah adiksi (Djapara, 2012).
 Disamping itu TCH juga mempengaruhi reseptor mu-1 pada sistem opioida dan
mengubah GABA (gama-amino-butiric acid) reseptor hingga pengguna ganja
mempunyai potensi untuk menggunakan zat psikoaktif lain. Jalur ini yang memungkinkan
menjadi dasar ganja sebagai entry point pada penggunaan jenis narkoba lain, seperti yang

41
Refferat
Toksikologi

pernah dilaporkan di AS bahwa 98% pengguna kokain, mulainya dari pemakaian ganja
(Djapara, 2012).

Gejala Intoksikasi Ganja

 Intoksikasi pada pengguna ganja pemula akan mengalami ansietas 10-30 menit, rasa takut
akan mati, gelisah, hiperaktif, kecurigaan, takut tidak bisa mengendalikan diri dan takut
menjadi gila. Setelah itu menjadi lebih tenang, euforia, banyak bicara, merasa ringan
ditungkai dan badan. Ia mulai banyak tertawa, bahkan sering eksflosif, Ia merasa
pembicaraannya hebat, mudah terpengaruh dan waham curiga.
 Kemudian timbul halusinasi visual sekitar 2 jam, yaitu berupa kilatan sinar dapat
berbentuk amorf, warna-warni cemerlang, bentuk geometris, figur dan wajah orang. Juga
timbul gangguan persepsi waktu dan jarak. Setelah itu timbul rasa mengantuk dan tertidur
nyenyak tanpa diganggu mimpi. Pemeriksaan fisik saat intoksikasi akan peningkatan
denyut jantung (kadang meningkat hingga 50%), mata merah, mata dan mulut kering,
kadang selera makan bertambah.
 Pada intoksikasi agak berat akan timbul tremor (gemetar), kulit teraba dingin, tensi
turun, nistagmus (mata juling) dan pelebaran bronkus (saluran paru-paru). Juga akan
mengakibatkan penurunan kekebakan tubuh oleh karena ganja menghambat aktivitas
limfosit T yang berfungsi sebagai imunitas tubuh.
 Dampak akibat aktivitas abnormal di lobus temporal adalah gangguan mengingat,
ketidak mampuan belajar, gangguan motivasi, kognitif, emosional dan sosial. Bahkan
dapat menimbulkan sindrom amotivasional yang ditandai dengan sikap apatis, rentang
perhatian pendek, lesu, mengucilkan diri secara sosial dan kehilangan minat untuk
berprestasi (Djapara, 2012).

Pemeriksaan Forensik

Pada korban hidup perlu dilakukan pengambilan darah dan urin untuk pemeriksaan
laboratorium.

Pada pemeriksaan luar jenazah, dapat ditemukan adanya bekas suntikan, pembesaran
kelenjar getah bening setempat, lepuh kulit (skin blister),tanda asfiksia (busa halus dari
lubang hidung dan mulut), sianosis pada ujung jari dan biir, perdarahan petekial pada

42
Refferat
Toksikologi

konjungtiva dan pada pemakaian narkotika dengan cara sniffing (menghirup), kadang
dijumpai perforasi septum nasi.

Hasil pemeriksaan dalam menunjukkan darah berwarna gelap dan cair, terdapat
gumpalan masa coklat kehitaman pada lambung, trakea dan bronkus kongesti dan berbusa,
paru kongesti dan edema.

Pemeriksaan Laboratorium

Bahan terpenting yang harus diambil adalah urin, cairan empedu dan jaringan sekitar
suntikan. Untuk pemeriksaan toksikologi dilakukan dengan :

- Uji Marquis : 40 tetes formaldehyde 40% dalam 60 ml asam sulfat pekat. Tes ini cukup
sensitive dengan sensitifitas berkisar antara 0,05 mikrogram – 1 mikrogram. Hasil positif
unutk opium, morfin, heroin, kodein adalah warna merah-ungu.
- Uji Mikrokristal : lebih sensitif dan lebih khas. Caranya 1 tetes larutan narkotika
ditambah dengan reagen dan dengan mikroskop dilihat kristal apa yang terbentuk. Untuk
morfin berupa plates, heroin berupa fine dendritesatau rosettes, kodein berupa gelatinous
rosettes danpethidin berupa feathery rosettes (Mun’im Idries, 2008).

Ketika pengujian untuk penggunaan ganja, itu ditentukan berapa sebeapa kadar THC
dalam tubuh seseorang ditentukan oleh faktor-faktor berikut: frekuensi penggunaan ganja,
durasi penggunaan ganja, jumlah ganja merokok dan potensi ganja. Ada lima jenis tes ganja
yaang sering digunakan pada pengujian untuk pemakaia ganja, tes urine, tes rambut, tes air
liur, tes residu dan tes keringat (Djapara, 2012).

43
Refferat
Toksikologi

Penutup

Simpulan

Toksikologi forensik berperan dalam melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari
racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya. Pemeriksaan laboratorium
forensik mempunyai peranan yang penting dalam membantu proses tindak kriminal pada
kasus kematian yang diduga karena keracunan.

Jenis-jenis racun dapat dibagi berdasarkan sumber, tempat dimana racun tersebut
didapat, dan efek kerja yang dihasilkan. Kelainan atau perubahan yang terjadi pada korban
yang meninggal karena keracunan dapat mengetahui jenis racun yang terdapat dalam
tubuhnya. Karena setiap jenis racun memiliki tanda dan gejala keracunan yang berbeda.

44
Refferat
Toksikologi

Daftar Pustaka

American Psychiatric Association. (1990). Benzodiazepine Dependence, Toxicity, and


Abuse. Tersedia dalam
http://books.google.co.id/books?id=FoTursyqFP8C&pg=PA39&lpg=PA39&dq=t
oxicology+mechanism+of+benzodiazepine&source=bl&ots=Cnf2dfDzIo&sig=W
9hqNiG3csUW-
ndBWHpZckGXD6c&hl=en&sa=X&ei=PrkFUvyKD8jwrQe72oDIBQ&redir_esc
=y#v=onepage&q=toxicology%20mechanism%20of%20benzodiazepine&f=false

Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (1997). Ilmu


Kedokteran Forensik, Edisi Kedua. Jakarta

DiMaio, VJ dan DiMaio D. (2001). Forensic Pathology. Second edition. New York: CRC
Press
Djapara, Ramayanti S, 2012. Penyalahgunaan Ganja Mereduksi Esensi Manusia. Tersedia
dalam http://granat.or.id/reports/579

Holstege, C P. (2012). Opioids/Benzodiazepines Poisoning Clinical Presentation. Tersedia


dalam http://emedicine.medscape.com/article/834190-clinical#showall

Idries AM. Keracunan. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. (1997). edisi 1. Jakarta:
Binarupa Aksara

Japardi I. Efek Neurologi Dari Ecstasi dan shabu-shabu. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah.
Tersedia dalam: URL:http://www.usu.ac.id

Knight, B. (1996). Forensic Pathology. Oxford University Press Inc. New York

Levine, Barry. (2003). Principle of Forensic Toxicology. Edisi 2. Tersedia dalam


http://books.google.co.id/books?id=k7BInEQ-
iqgC&pg=PA179&lpg=PA179&dq=forensic+toxicology+benzodiazepine&source=
bl&ots=2BQr2DDSBM&sig=7-
Vj8_ax9_MmghihxEK8GJ2OfiU&hl=en&sa=X&ei=bFL9UaWfNpHtrQestoGoDg

45
Refferat
Toksikologi

&redir_esc=y#v=onepage&q=forensic%20toxicology%20benzodiazepine&f=false
[diakses pada 4 Agustus 2013]

Mantooth, Robin. (2013). Benzodiazepine Toxicity. Tersedia dalam


http://emedicine.medscape.com/article/813255-overview#showall dan
http://emedicine.medscape.com/article/813255-clinical#showall

Martono, dkk, 2006. Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Berbasis


Sekolah. Jakarta: Balai Pustaka.

Mun’im Idries, Abdul. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto.

Mycek MJ, Harvey RA, dan Champe PC. (2001). Farmakologi Ulasan bergambar. Jakarta:
Widya Medika

Septian, Akbar. (2013). Referat Ilmu Kedokteran Forensik: Benzodiazepine. Tersedia dalam
http://www.scribd.com/doc/159713239/REFERAT-FORENSIK-TERBARU
[diakses pada 21 Agustus 2013]

Sudarso Y. Tentang Napza. Narasi Anjuran Presentasi Fasilitasi untuk Topik Napza .2008.
Tersedia dalam : URL:http://webmaster.sman1ciawigebang.com

United Nation office on drug and crime. (2012). Recommended methods for the
Identification and Analysis of Barbiturates and Benzodiazepines under
International Control. Tersedia dalam
http://www.unodc.org/documents/scientific/barbiturates_and_benzodiazepines.pdf
[diakses pada 4 Agustus 2013]

46

Anda mungkin juga menyukai