Anda di halaman 1dari 21

PTERYGIUM

I. DEFENISI
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi
iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. (1)
Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya
“wing” atau sayap. Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva
bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk
segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea.
(2)

Gambar 1. Pterygium

II. EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.
Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu

1
daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai
22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.(3)
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar
kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk
daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan
prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah
garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di
lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.Pasien
di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden
tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada
umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko
daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah
dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.(3,4)

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis


yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.(5)
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola
mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva
terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan
ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-
10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus.
Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus
konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata
superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan
forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang

2
penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih
dalam hingga 14 mm dari limbus.(6)
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi
menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan
dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi
zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada
mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara
pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga
terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal.
Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva
palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat
vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai
dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata
menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika
mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui.(6)
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat
translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan.
Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan
alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva
bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh
kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu
dengan kapsula tenon dan sklera.(6)
3. Konjungtiva Forniks
Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada

3
struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan
struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta
muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka
konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-
otot tersebut berkontraksi. (6)

Gambar 2. Konjugtiva

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri


palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe palpebra membentuk
pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri
yang relatif sedikit.(6)
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan
epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat,
superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas
caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata

4
terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus
yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.(6)
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel
superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma
di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan
adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.(6)
Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3
bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat
papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng
tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang
konjungtiva.(6)
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal
aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip
kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause
berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak
di tepi tarsus atas.(6)

IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Pterygium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya
matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas
dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.(1)
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab
pterygium. Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu
penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi
pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus
kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan
pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan

5
pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan
angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai
dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis
dan biasanya menunjukkan dysplasia. (7)
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi,
bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko
pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan
aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula
dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan.
Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan
atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya
pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya
keturunan (faktor herediter). (7)
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab
dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui
namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra
violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri
dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan
sinar ultra violet ke area nasal tersebut. (7)
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang
menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan
setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya
(radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan
apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan
pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol
daripada kelainan degeneratif. (7)
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting
dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan
mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada

6
daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan
banyak waktu di lapangan. (7)
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium
adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin,
debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor
supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming
growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya
peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis.
Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial.
Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. (7)
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia
banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia
anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua
dan tiga. (7)
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang
sering dengan sinar UV. (7)
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah
distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi
banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan
bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang
lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5
tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300
memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan
daerah yang lebih selatan. (7)

7
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan. (7)
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor
penyebab pterygium. (7)
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-
partikel tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya pterygium. (7)

V. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar
ultraviolet, kekeringan, inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor
iritan lainnya. UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi
sebagai tumor suppressor gene pada stem sel di basal limbus. (8)
Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti transforming growth factor
beta (TGF-β) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang
berperanan penting dalam peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel
angiogenesis. (8)
Selanjutnya terjadi perubahan patologi yang terdiri dari degenerasi
kolagen elastoid dan adanya jaringan fibrovaskular supepithelial. Pada
kornea nampak kerusakan pada membrane bowman oleh karena
bertumbuhnya jaringan fibrovaskuler, yang sering kali disertai dengan
adanya inflamasi ringan. Epitel bisa normal, tebal atu tipis dan kadang-
kadang terjadi dysplasia. (8)

8
VI. KLASIFIKASI PTERYGIUM
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera , yaitu:
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus
atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm
dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada
epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis,
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang
memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau
ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh
pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi
menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren
setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona
optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat.
Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain.
Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual.
Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke
forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata serta kebutaan
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
o Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
o Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

9
o Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi
tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya
normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
o Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati
pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 2. Pterigium stadium 1 Gambar 3. Pterigium stadium 2

Gambar 4.Pterigium stadium 3 Gambar 5. Pterigium stadium 4

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2


yaitu:
- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa
infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap
dari pterigium)
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya
menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan
harus diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian
terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.(5,9)

10
Pterigium Duplex adalah lesi yang biasanya dijumpai pada sisi nasal
dan temporal pada satu mata pasien.
VII. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti
mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat
timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3
dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan
menurun. (10)

Pterigium memiliki tiga bagian :


i. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-
abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area
ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada
kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat
pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area
kornea yang kering.
ii. Bagain whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan
sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti
halnya kepala.
iii. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva
bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi

11
tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi
pembedahan. (11)

VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan
tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan
keluhan berupa gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan
adanya diplopia, biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan
kosmetik, keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan ada yang
mengganjal. (2)
Pemeriksaan fisis
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.(10)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.(4)
IX. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann
konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi
maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV
dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.(7)
2. Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
a. Mengganggu visus
b. Mengganggu pergerakan bola mata

12
c. Berkembang progresif
d. Mendahului suatu operasi intraokuler
e. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmetik
5. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
6. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik. (7)
Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan
operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam
penanganan pterigium di antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah
tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat
mencapai 40-75%.(7,3)
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva
relatif kecil. (7,3)
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap. (7,3)
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva
yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi. (7,3)
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya
diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai
dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH,
Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).(7,3)

13
Gambar 7. Teknik Operasi Pterigium

X. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan
pada orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar
matahari, debu, dan angin panas. Yang membedakan pterigium dengan
pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan
elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang. (7)
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan
tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga
sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada
kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan
biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan secara
horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. (7)

14
Gambar 8. Pinguekula Gambar 9. Pseudopterigium

XI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :
- Distorsi dan penglihatan berkurang
- Mata merah
- Iritasi
- Scar (jaringan parut) kronis pada konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat
menyebabkan terjadinya diplopia. (3)
Komplikasi post eksisi pterygium, adalah:
- Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea,
conjungtiva graft longgar dan komplikasi yang jarang termasuk
perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau retinal detachment.
- Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia
atau melting pada sclera dan kornea.
- Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren
pterygium post operasi. (3)

XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.
Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. (4)

15
LAPORAN KASUS

Seorang penderita laki-laki, umur 33 tahun, suku Minahasa, pekerjaan


Nelayan, agama Kristen Protestan, alamat Kalasey, datang ke Poliklinik Mata
RSU Prof. dr. R. D. Kandou pada tanggal 09 Agustus 2012 dengan keluhan
utama: Rasa mengganjal pada kedua mata.

I. ANAMNESIS
Keluhan utama : Rasa mengganjal pada kedua mata
Anamnesa : dialami sejak ± 5 tahun yang lalu secara perlahan-lahan, awalnya
tampak selaput kecil yang lama-kelamaan membesar. Penglihatan
terganggu (-), nyeri (-), air mata berlebih (+), silau (-), kotoran mata
berlebih (-), rasa berpasir (+), riwayat mata merah sebelumnya (+).
Riwayat sering terpapar sinar matahari (+), pasien bekerja sebagai
pelaut. Riwayat hipertensi (-) dan riwayat DM (-), riwayat trauma (-).

II. PEMERIKSAAN
Pada pemeriksaan fisik status generalis keadaan umum cukup, kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88 x/mnt, respirasi 18 x/mnt, suhu
badan (aksiler) 36,6oC. Paru dan jantung dalam batas normal, abdomen dalam batas
normal, ekstremitas akral hangat. Status Psikiatrik sikap, ekspresi dan respon penderita
baik (wajar). Status Neurologik motorik dan sensibilitas baik

A. INSPEKSI OD OS
1. Palpebra Edema(-) Edema(-)
2. Apparatus Lakirmalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
3. Silia Sekret (-) Sekret (-)
4. Konjungtiva Hiperemis(+) Hiperemis (+)
Terdapat selaput Terdapat selaput
berbentuk segitiga di berbentuk segitiga di
nasal dan temporal nasal dan temporal

16
bola mata dengan bola mata dengan
apeks sudah melewati apeks sudah melewati
limbus tapi belum limbus tapi belum
mencapai pupil mencapai pupil
5. Kornea Jernih Jernih
6. Bilik Mata Depan Normal Normal
7. Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
8. Pupil Bulat sentral Bulat sentral
9. Lensa Jernih Jernih
10.Mekanisme
muskular

B. PALPASI OD OS
1. Tensi Okular Tn Tn
2. Nyeri tekan - -
3. massa tumor - -
4. glandula pre- Pembesaran (-) Pembesaran (-)
aurikuler

C. TONOMETRI
TIOD : 17,3 mmHg
TIOS : 17,3 mmHg
D. VISUS :
VOD:6/6
VOS: 6/6
E. CAMPUS VISUAL: Tidak dilakukan pemeriksaan.
F. COLOR SENSE: Tidak dilakukan pemeriksaan.
G. LIGHT SENSE: Tidak dilakukan pemeriksaan.

17
H. PENYINARAN OPTIK DEKSTRA SINISTRA
1. Konjungtiva Hiperemis (+), selaput Hiperemis (+), selaput
segitiga di nasal dan segitiga di nasal dan
temporal bola mata temporal bola mata
denagn apeks melewati dengan apeks melewati
limbus tapi belum limbus tapi belum
mencapai pupil mencapai pupil
2. Kornea Jernih Jernih
3. BMD Normal Normal
4. Iris Coklat, kripte(+) Coklat, kripte(+)
5. Pupil Bulat sentral, Refleks Bulat sentral, Refleks
cahaya (+) cahaya (+)
6. Lensa Jernih Jernih

J. OFTALMOSKOPI:

- FOD : Refleks fundus (+), papil n.optik berbatas tegas, CDR : 0,3, A.V : 2/3, makula :
refleks fovea (+), retina perifer kesan normal.

- FOS : Refleks fundus (+), papil n.optik berbatas tegas, CDR : 0,3, A.V : 2/3, makula :
refleks fovea (+), retina perifer kesan normal.

K. SLIT LAMP:

-SLOD : Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di bagian nasal dan
temporal, mengarah ke limbus kornea, tampak apeks melewati limbus tapi
belum mencapai pupil, BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat,
sentral, RC (+), lensa jernih.

- SLOS : Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di bagian nasal dan
temporal, mengarah ke limbus kornea, tampak apeks melewati limbus tapi
belum mencapai pupil, BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat,
sentral, RC (+), lensa jernih.

18
L. USG B-SCAN : Tidak dilakukan pemeriksaan

M. LABORATORIUM : Tidak dilakukan pemeriksaan

N. RESUME
Seorang laki-laki, umur 33 tahun datang ke RS dengan keluhan
utama rasa mengganjal pada kedua mata, dialami sejak ± 5 tahun yang
lalu secara perlahan-lahan, awalnya tampak selaput kecil yang lama-
kelamaan membesar. Visus menurun (-), nyeri (-), lakrimasi (+),
fotofobia (-), sekret (-), rasa berpasir (+), riwayat mata merah
sebelumnya (+). Riwayat sering terpapar sinar matahari (+), pasien
bekerja sebagai pelaut. Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat
trauma (-).
Pada pemeriksaan fisis didapatkan, pemeriksaan tonometri dalam
batas normal, pemeriksaan visus VOD:6/6, VOS:6/6. Pada
pemeriksaan Slit Lamp, SLOD : Konjungtiva hiperemis (+), tampak
selaput segitiga di bagian nasal dan temporal, mengarah ke limbus
kornea, tampak apeks melewati limbus tapi belum mencapai pupil,
BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa
jernih. SLOS : Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di
bagian nasal dan temporal, mengarah ke limbus kornea, tampak apeks
melewati limbus tapi belum mencapai pupil, BMD normal, iris coklat,
kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih. Pada pemeriksaan
oftalmoskopi, FOD : Refleks fundus (+), papil n.optik berbatas tegas,
CDR : 0,3, A.V : 2/3, makula : refleks fovea (+), retina perifer kesan
normal. FOS : Refleks fundus (+), papil n.optik berbatas tegas, CDR :
0,3, A.V : 2/3, makula : refleks fovea (+), retina perifer kesan normal.
IV. DIAGNOSIS:
Pterigium Stadium II Duplex Okulus Dextra Sinistra
V. DIAGNOSIS BANDING:
- Pseudopterigium
- Pinguekula

19
VI. TERAPI:
Rencana OD Eksisi Pterigium + Autograft Konjungtiva
VII. DISKUSI:
Pasien ini didiagnosa dengan ODS Pterigium Stadium II
Duplex berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis di dapatkan rasa selaput pada kedua mata
kanan dan kiri dialami kurang lebih 5 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan inspeksi OD di dapatkan adanya selaput
berbentuk segitiga pada konjungtiva dengan tepi melewati limbus,
tetapi belum melewati pupil, yang menunjukkan tanda pterygium
stadium II dan pada OS di dapatkan adanya selaput berbentuk segitiga
pada konjungtiva dengan tepi melewati limbus, tetapi belum
mencapai pupil, yang menunjukkan tanda pterygium stadium II.
Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk
pterigium. Tujuan pengobatan medikamentosa adalah untuk
mengurangi peradangan. Bila terjadi peradangan dapat diberikan
steroid topikal. Tindakan pembedahan pada pterigium adalah suatu
tindakan bedah untuk mengangkat jaringan pterigium dengan berbagai
teknik operasi.
Teknik operasi yang direncanakan pada pasien ini adalah
teknik graft konjungtiva dengan alasan karena teknik ini dianggap
paling bagus dalam menurunkan rekurensi pterygium.
Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari
faktor pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin dan
debu serta rajin merwat dan menjaga kebersihan kedua mata. Oleh
karena itu dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau
topi pelindung bila keluar rumah. Menurut kepustakaan, umumnya
pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang sekali
menyebabkan kerusakan yang bermakna sehingga prognosisnya
adalah baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.
2. Riri Julianti,S.Ked. Pterigium.[online]2009.[ cited 2011 Maret 08]. Available
from : http://facultyofmedicine.riau.com /procedures/pterigium..html
3. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter
Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2009.
4. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 July 24]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
5. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal
119.
6. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08].
Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
7. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from :
http://www.dokter-online.org/index.php.htm
8. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In :
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366.
9. Maheswari, sejal. Pterydium-inducedcornealrefractive changes.[online] 2007.
[cited 2011 August 11]. Aviable from : http//www.ijo.in/article.asp?issn
10. Anton,dkk. Pterigium. [online] 2010. [ cited 2011 July 10]. Available from:
www.inascrs.org/pterygium/
11. Drakeiron. Pterigium. [online]2009. [cited 2011 August 11]. Avaible from :
http://drakeiron.wordpress.com/info-pterigium.

21

Anda mungkin juga menyukai