Anda di halaman 1dari 26

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................ i


DAFTAR TABEL ........................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... ii
PERDARAHAN ANTEPARTUM ............................................................ 1
A. Perdarahan Antepartum .................................................................... 1
1. Definisi ....................................................................................... 1
2. Klasifikasi .................................................................................. 1
a. Plasenta Previa........................................................................ 1
b. Solutio Plasenta ...................................................................... 4
c. Vasa Previa (Insersio Velamentosa) ....................................... 8
d. Rupture Uteri ........................................................................ 10
PERDARAHAN POSTPARTUM ........................................................... 15
B. Perdarahan Postpartum ................................................................... 15
1. Atonia Uteri .............................................................................. 15
2. Rupture Perineum..................................................................... 16
3. Retensio Plasenta ..................................................................... 17
4. Plasenta Restan......................................................................... 18
5. Inversio Uteri ........................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 24

i
DAFTAR TABEL

Daftar Tabel Hal


Tabel 1. Perdarahan Postpartum 21

DAFTAR GAMBAR

Daftar Gambar Hal


Gambar 1. Klasifikasi Plasenta Previa 1
Gambar 2. Solusio Plasenta 6
Gambar 3. Manajemen perdarahan antepartum ALARM 14
Gambar 4. Reposisi Pada Inversio Uteri 20
Gambar 5. Algoritma Perdarahan Postpartum 22

ii
PERDARAHAN ANTEPARTUM

A. Perdarahan Antepartum
1. Definisi
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada umur kehamilan
yang telah melewati trimester III atau menjelang persalinan. Terminologi lain menjelaskan
perdarahan antepartum sebagai perdarahan yang terjadi pada traktus genital wanita hamil
pada usia kehamilan lebih dari 24 minggu dan sebelum kelahiran bayi.1
2. Klasifikasi
a. Plasenta Previa
1) Definisi
Plasenta previa adalah plasenta yang tidak berimplantasi di tempat
normal yaitu pada kavum uteri, melainkan di segmen bawah uterus sehingga
menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum sebagai jalan lahir
normal. 8Keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan yang terjadi pada trimester
ketiga kehamilan sehingga tergolong sebagai perdarahan antepartum.
Perdarahan yangterjadi setelah bayi atau plasenta dilahirkan umumnya termasuk
perdarahan yang berat, dan apabila tidak ditangani secara sigap dapat
mengakibatkan syok yang fatal. Keadaan ini harus diantisipasi sedini mungkin,
sebelum terjadi perdarahan yang dapat membahayakan ibu dan bayinya.2
2) Klasifikasi
Plasenta previa diklasifikasikan menjadi 4, yaitu : (1) total atau
komplit apabila plasenta menutupi seluruh ostium uteri internum, (2) parsial
apabila plasenta menutupi sebagian ostium uteri internum, (3) marginal apabila
bagian plasenta menyentuh tepi ostium uteri internum, (4) letak rendah apabila
plasenta berada di segmen bawah uterus namun tidak menyentuh ostium uteri
internum. Plasenta dikatakan letak rendah jika jaraknya kurang lebih 2 cm dari
ostium uteri internum, sedangkan jika terletak pada jarak lebih dari 2 cm
dianggap sebagai plasenta letak normal. Plasenta previa komplit dan parsial
digolongkan sebagai “major placenta previa”, sedangkan plasenta previa
marginal dan letak rendah digolongkan sebagai “minor placenta previa”. 2

Gambar 1. Klasifikasi plasenta previa

1
3) Tanda dan Gejala
Penyakit ini memiliki gejala berupa perdarahan berulang yang tidak
banyak, tidak disertai nyeri, dan timbul pada waktu yang tidak tentu, tanpa
adanya trauma. Perdarahan disertai adanya kelainan letak janin, atau pada usia
kehamilan lebih tua bagian bawah janin masih mengambang di atas pintu atas
panggul dan belum masuk ke rongga panggul. Wanita hamil yang diduga
menderita plasenta previa harus secepatnya dirujuk ke Rumah Sakit dan tidak
boleh dilakukan pemeriksaan dalam karena hanya akan memperburuk kondisi
perdarahan. 2
4) Etiologi
Penyebab dari plasenta previa belum diketahui secara pasti, namun ada
beberapa faktor yang diduga kuat menimbulkan kelainan ini. Salah satu
penyebab plasenta previa yaitu vaskularisasi desidua yang tidak memadai,
sebagai akibat dari proses radang atau atrofi. Multiparitas dan cacat rahim juga
berhubungan dengan kejadian plasenta previa. Hal ini berkaitan dengan proses
peradangan dan atrofi di endometrium, misalnya bekas bedah caesar, kuretase,
dan miomektomi. Cacat bekas bedah caesar bahkan dapat menaikkan insiden
dua sampai tiga kali lebih besar. 2
Usia lanjut juga meningkatkan angka kejadian plasenta previa.
Penelitian yang dilakukan di Parkland Hospital, Dallas, Amerika Serikat
terhadap 169.000 10 kelahiran yang terjadi pada tahun 1988-1999
menyimpulkan bahwa insiden 1 : 1.500 pada ibu berusia 19 tahun atau lebih
muda, dan 1 : 100 untuk ibu berusia 35 tahun atau lebih tua.3
Insidensi plasenta previa meningkat hingga dua kali lipat pada wanita
perokok. Hipoksemia akibat zat karbon monoksida hasil pembakaran rokok
menyebabkan hipertrofi plasenta sebagai upaya kompensasi. Penyebab lainnya
antara lain plasenta yang terlalu besar, misalnya pada kehamilan ganda dan
kasus erotroblastosis fetalis. Kelainan tersebut menyebabkan pertumbuhan
plasenta melebar ke segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi seluruh atau
sebagian ostium uteri internum (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010).
5) Patofisiologi
Letak plasenta secara fisiologis umumnya di depan atau di belakang
dinding uterus, agak ke atas arah fundus uteri. Hal ini disebabkan permukaan
bagian atas korpus uteri lebih luas, sehingga tersedia lebih banyak tempat untuk
berimplantasi. Plasenta berimplantasi pada tempat tertentu di mana terdapat
vena-vena yang lebar (sinus) untuk menampung darah kembali. Suatu ruang
vena yang luas di bagian pinggir plasenta berfungsi untuk menampung darah
dari ruang intervilier (Abdat, 2010).
Manuaba (2008) menyatakan terjadinya implantasi plasenta di segmen
bawah rahim dapat disebabkan karena : (1) endometrium di fundus uteri belum
siap menerima implantasi, (2) lapisan endometrium tipis sehingga diperlukan

2
perluasan plasenta untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin, (3) vili khorialis
pada chorion leave yang persisten Usia kehamilan yang bertambah tua
menyebabkan segmen bawah uterus melebar dan serviks mulai membuka.
Implantasi plasenta yang abnormal pada segmen bawah uterus akan
mengakibatkan pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks, serta
terjadi pelepasan sebagian plasenta dari dinding uterus. Plasenta yang terlepas
mengakibatkan terjadinya perdarahan (Abdat, 2010).
6) Diagnosis
Diagnosis plasenta previa ditegakkan dengan cara : ultrasonografi
transabdominal Doppler, ultrasonografi transvaginal, sonografi transperineal,
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).2
Ultrasonografi transabdominal yang dilakukan dalam keadaan
kandung kemih dikosongkan dapat memberi kepastian diagnosis plasenta previa
dengan ketepatan tinggi sebesar 96-98 % Ultrasonografi transabdominal Doppler
dapat mendeteksi area abnormal dengan hipervaskularisasi dengan dilatasi
pembuluh darah pada plasenta dan jaringan uterus. 2 (Chou dkk, 2000).
Diagnosis dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal jarang
digunakan meskipun memiliki ketepatan lebih tinggi. Penggunaan oleh tangan
yang tidak ahli justru akan mengakibatkan perdarahan lebih banyak.
Penggunaan yang tepat oleh ahli membuat ultrasonografi transvaginal dapat
mencapai 93,3 % positive predictive value dan 97,6 % negative predictive value
pada diagnosis kasus plasenta previa. 2 (Oppenheimer dkk, 2007).
Sonografi transperineal dan MRI juga dapat digunakan untuk
mendeteksi kelainan pada plasenta (Chalik cit Saifuddin dkk, 2010).Diagnosis
plasenta previa dengan MRI dapat dikatakan paling akurat, sebab lokalisasi
plasenta dan ostium uteri internum digambarkan dengan sangat jelas.
Penggunaan MRI lebih jarang dibandingkan ultrasonografi, dan biasanya hanya
digunakan apabila penggunaan ultrasonografi tidak memadai untuk menegakkan
diagnosis (Hacker, dkk, 2004).
7) Komplikasi
Komplikasi utama yang bisa terjadi pada ibu hamil dengan plasenta
previa di antaranya bisa menimbulkan perdarahan yang banyak dan fatal, serta
hal-hal sebagai berikut : 2
a) Pelepasan plasenta dari perlekatannya yang terjadi secara ritmik dan
berulang akan mengakibatkan perdarahan yang semakin lama semakin
banyak sehingga dapat menimbulkan komplikasi berupa anemia bahkan
syok
b) Plasenta akan berimplantasi di segmen bawah rahim yang tipis sehingga
jaringan trofoblas yang memiliki kemampuan invasi dapat menerobos ke
miometrium sampai perimetrium, dan mengakibatkan kejadian plasenta
akreta, inkreta dan bahkan plasenta perkreta. Hal ini meningkatkan risiko
terjadinya retensio plasenta sehingga pada bagian plasenta yang terlepas

3
timbullah perdarahan pada kala tiga. Komplikasi ini lebih sering terjadi
pada uterus yang pernah sectio caesarea.
c) Serviks dan segmen bawah rahim kaya akan pembuluh darah, sehingga
potensial mengalami kerobekan disertai perdarahan yang banyak. Karena
itulah, setiap tindakan manual yang dilakukan pada tempat ini harus
dilakukan dengan sangat berhati-hati agar tidak memperparah perdarahan.
d) Kelainan letak janin akan lebih sering terjadi, sehingga menuntut untuk
dilakukan tindakan operasi.
e) Komplikasi lain yang tidak dapat dihindarkan adalah kelahiran prematur
dan gawat janin. Pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu dapat
dilakukan amniosentesis untuk mengetahui kematangan paru janin dan
pemberian terapi kortikosteroid sebagai upaya antisipasi.
f) Plasenta previa juga memberikan risiko lebih tinggi untuk terjadinya
solusio plasenta.
8) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kasus plasenta previa memperhatikan beberapa
faktor, yaitu : banyaknya perdarahan, apakah bayi sudah mampu bertahan
apabila dilahirkan, luas permukaan serviks yang tertutup plasenta, posisi janin,
jumlah persalinan sebelumnya, serta apakah pasien dalam proses persalinan atau
tidak. Transfusi darah, pemberian obat untuk mempertahankan kehamilan
setidaknya sampai usia 36 minggu, dan pemberian obat RhoGam jika pasien
memiliki faktor Rhesus negatif juga dapat dipertimbangkan (Vorvick, 2011).
Pasien dalam keadaan stabil dapat dirawat di rumah atau rawat jalan.
Pada usia kehamilan antara 24 minggu sampai 34 minggu dapat diberikan
terapi steroid dalam perawatan antenatal untuk mendukung proses pematangan
paru janin. Rawat jalan diharapkan dapat mengurangi stres pada pasien serta
menekan biaya perawatan. Rawat inap harus kembali dilakukan jika keadaan
menjadi lebih serius. 2

b. Solutio Plasenta
1. Definisi
Solusio plasenta yaitu terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
maternal plasenta dari lokasi implantasinya yang normal pada lapisan desidua
endometrium sebelum waktunya atau sebelum bayi lahir. Istilah lain yang sering
digunakan untuk menyebut solusio plasenta yaitu abruptio placentae, ablatio
placentae, dan accidental hemorrhage. Nama lain yang lebih deskriptif adalah
premature separation of the normally implanted placenta (pelepasan dini
plasenta yang implantasinya normal). Diagnosis definitif baru dapat ditegakkan
setelah partus jika terdapat hematoma pada permukaan maternal plasenta. 2
2. Klasifikasi

4
Solusio plasenta dibagi menjadi solusio plasenta ringan, sedang, dan
berat, sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas. Solusio plasenta
ringan terjadi dengan luas plasenta yang terlepas dari implantasinya tidak sampai
25 % dan jumlah darah yang keluar kurang 250 ml. Gejala perdarahan sukar
dibedakan dari plasenta previa, kecuali warna darah yang kehitaman. Solusio
plasenta sedang ditandai luas plasenta yang terlepas telah sampai 25 %, tetapi
belum mencapai separuhnya (50 %), dan jumlah darah yang keluar lebih banyak
dari 250 ml tetapi belum mencapai 1000 ml. Gejala dan tanda perdarahan
semakin jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus menerus, denyut jantung
janin menjadi cepat, hipotensi, dan takikardi. Solusio plasenta berat ditandai
luas plasenta yang terlepas melebihi 50 %, dan jumlah darah yang keluar
mencapai 1000 ml atau lebih. Gejala klinik berupa keadaan umum penderita
yang buruk bahkan bisa terjadi syok, dan janin biasanya telah meninggal.
Komplikasi berupa koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai oliguria juga
sering terjadi. 2
3. Etiologi
Penyebab primer dari solusio plasenta belum diketahui, tetapi terdapat
beberapa keadaan patologik yang sering menyertai solusio plasenta dan
dianggap sebagai faktor risiko. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol, merokok,
penyakit diabetes, trombofilia, hipertensi pada kehamilan, riwayat solusio
plasenta, dan banyaknya jumlah kelahiran sebelumnya juga termasuk dalam
faktor risiko. Faktor risiko lain yang jarang terjadi yaitu trauma pada abdomen
dan hilangnya sebagian volume uterus secara cepat, misalnya kehilangan cairan
amnion dengan cepat setelah kelahiran bayi pertama pada kehamilan kembar
(Vorvick, 2011).
4. Gejala (Gambaran Klinik)
Gejala yang terjadi pada solusio plasenta antara lain nyeri abdomen,
kontraksi uterus yang sering, dan keluarnya darah dari vagina (Vorvick, 2011).
Sebanyak 30 % penderita solusio plasenta ringan tidak merasakan gejala. Rasa
nyeri pada perut masih ringan sehingga kadang tidak dihiraukan oleh pasien, dan
darah yang keluar masih sedikit sehingga belum keluar melalui vagina. Darah
pada solusio plasenta berwarna kehitaman, berbeda dengan darah pada plasenta
previa yang berwarna merah segar. 2

5
Gambar 2. Solusio Plasenta

Solusio plasenta sedang akan menunjukkan gejala serta tanda yang


lebih jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus menerus, denyut jantung janin
yang telah menunjukkan gawat janin, perdarahan tampak keluar lebih banyak,
takikardi, hipotensi, kulit dingin dan berkeringat, serta mungkin dijumpai
kelainan pembekuan darah.2
Solusio plasenta berat membuat perut ibu akan terasa sangat nyeri dan
tegang sehingga palpasi bagian janin tidak dapat dilakukan. Perdarahan terjadi
dalam jumlah banyak dan berwarna hitam. Fundus uteri menjadi lebih tinggi
karena terjadi penumpukan darah di dalam rahim pada tipe concealed
hemorrhage. Keadaan umum menjadi lebih buruk disertai syok. Komplikasi
berupa pembekuan darah intravaskuler yang luas (disseminated intravascular
coagulation) dan gangguan fungsi ginjal juga dapat terjadi. 2
5. Patofisiologi
Solusio plasenta merupakan manifestasi akhir dari proses pemisahan
vilivili khorialis plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis
sehingga terjadi perdarahan. Terbentuknya hematoma retroplasenta disebabkan
oleh putusnya arteri spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta
mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal ke
sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan
plasenta lebih luas sampai ke bagian pinggirnya sehingga darah yang keluar
merembes di antara selaput ketuban dan miometrium untuk kemudian keluar
melalui serviks ke vagina, pada tipe revealed hemorrhage. Perdarahan pada
beberapa kasus tidak bisa berhenti karena uterus yang dalam keadaan hamil
tidak dapat berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis yang terputus.

6
Perdarahan yang tinggal dan terperangkap di dalam uterus disebut sebagai
concealed hemorrhage.2
6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui gejala dan tanda klinik yaitu adanya
perdarahan melalui vagina, nyeri karena kontraksi pada uterus, dan pada solusio
plasenta yang berat terdapat kelainan denyut jantung janin. Pasien dapat
datang dengan gejala mirip persalinan prematur, atau datang dengan perdarahan
yang tidak banyak tetapi perut menegang dan janin ternyata telah meninggal.
Diagnosis definitif hanya dapat ditegakkan secara retrospektif, yaitu setelah
partus dengan melihat adanya hematoma retroplasenta. Diagnosis juga dapat
ditegakkan dengan USG abdomen, hitung darah lengkap, monitor janin,
pemeriksaan kadar fibrinogen, pemeriksaan waktu protrombin dan waktu
tromboplastin parsial, serta ultrasonografi transvaginal.
7. Komplikasi
Komplikasi pada solusio plasenta berupa anemia, syok hipovolemik,
insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah, dan sebagai
kelanjutannya dapat meningkatkan angka kematian perinatal. Anemia yang
dimaksud pada ibu hamil yaitu apabila kadar hemoglobin kurang dari 11 gr/dl.
Kematian janin, kelahiran prematur, dan kematian perinatal dilaporkan sebagai
komplikasi yang paling sering terjadi. Solusio plasenta berulang dilaporkan
terjadi pada 25 % perempuan yang pernah menderita solusio plasenta
sebelumnya.2 (Kusumah, 2009).
Komplikasi berupa koagulopati timbul karena hematoma retroplasenta
yang terbentuk melepaskan tromboplastin ke dalam peredaran darah.
Tromboplastin bekerja mempercepat perubahan protrombin menjadi trombin.
Trombin yang terbentuk dipakai untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin
untuk membentuk lebih banyak bekuan darah, terutama pada solusio plasenta
berat. Mekanisme ini mengakibatkan apabila pelepasan tromboplastin cukup
banyak, dapat terjadi pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated
intravascular coagulation) yang semakin menguras persediaan fibrinogen dan
faktor-faktor pembekuan lain.2
8. Penatalaksanaan
Semua pasien yang diduga menderita solusio plasenta harus dirawat
inap di rumah sakit yang memiliki fasilitas cukup lengkap. Pasien yang baru
masuk segera dilakukan pemeriksaan darah lengkap termasuk kadar Hb dan
golongan darah, serta gambaran pembekuan darah dengan memeriksa waktu
pembekuan, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, kadar fibrinogen,
dan kadar hancuran fibrin serta fibrinogen dalam plasma. Pemeriksaan dengan
ultrasonografi berguna terutama untuk membedakannya dengan plasenta previa
dan memastikan janin masih hidup. Diagnosis yang belum dapat dipastikan
namun dikhawatirkan sebagai solusio plasenta, meskipun janin hidup dan tidak

7
ada tanda gawat janin, memerlukan observasi yang ketat dengan kesiagaan dan
fasilitas yang dapat segera diaktifkan sebagai upaya antisipasi.2
Persalinan dapat dilakukan pervaginam maupun perabdominam,
bergantung pada banyaknya perdarahan, telah ada tanda-tanda persalinan
spontan atau belum, dan tanda-tanda gawat janin. Janin yang masih hidup dan
cukup bulan, namun untuk persalinan pervaginam belum ada tanda-tandanya,
umumnya merupakan indikasi persalinan melalui bedah sesar darurat
(Emergency Caesarean Section). Perdarahan yang cukup banyak membutuhkan
resusitasi segera dengan pemberian transfusi darah dan kristaloid yang cukup
diikuti persalinan yang dipercepat untuk mengendalikan perdarahan dan
menyelamatkan ibu serta janin (Vorvick, 2011).

c. Vasa Previa (Insersio Velamentosa)


1) Definisi
Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah janin berada di
dalam selaput ketuban dan melewati ostium uteri internum untuk kemudian
sampai ke dalam insersinya di tali pusat (Prawirohardjo, 2011).
Vasa previa adalah suatu kondisi dimana pembuluh darah umbilicus
tidak disokong oleh tali pusat atau jaringan plasenta, melewati membrane fetus
pada segmen bawah uterus di atas serviks (Baulis, 2007).
2) Etiologi
Insersi velamentosa ini biasanya terjadi pada kehamilan ganda/ gemeli, karena pada
kehamilan ganda sumber makanan yang ada padaplasenta akan menjadi rebutan oleh
janin, sehingga dengan adanyarebutan tersebut akan mempengaruhi
kepenanaman tali pusat/ insersi.
3) Faktor Resiko
a) Plasenta letak rendah atau plasenta previa
b) Plasenta bilobata atau suksenturiata
c) Insersi velamentosa
d) Kehamilan pada fertilisasi in vitro
e) Multiparitas
f) Riwayat seksio sesarea
(The International Vasa Previa Foundation)
4) Patofisiologi
Pada insersio velamentosa tali pusat yang dihubungkan dengan
plasenta oleh pembuluh-pembuluh darah yang berjalan dalam selaput janin.
Pembuluh darah janin,yang biasanya dilindungi oleh Wharton jelly dalam tali
pusat, tidak terdapat dalamvasa previa. Pembuluh darah secara kuat menempel
pada membrane khorionik diatasnya, yang pada saat pecahnya baik spontan atau
buatan dapat menyebabkan robeknya pembuluh yg mendasarinya.sehingga

8
terjadi perdarahan intrapartum danjika perdarahan banyak, kehamilan harus
segera diakhiri (Maulida, 2011).

5) Tanda dan Gejala


Tanda dan gejalanya belum diketahui secara pasti, perdarahan pada
insersi velamentosa ini terlihat jika telah terjadi vasa previa yaitu perdarahan
segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal dari anak dengan
cepat bunyi jantung anak menjadi buruk. Bisa juga menyebabkan bayi itu
meninggal. Satu-satunya cara mengetahui adanya insersi velamentosa ini
sebelum terjadinya perdarahan adalah dengan cara USG. Jadi sebaiknya pada ibu
dengan kehamilan gemeli dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan USG, karena
untuk mengantisipasi dengan segala kemungkinan penyulit yang ada, salah
satunya insersio velamentosa ini.
6) Manifestasi klinik
a) Dapat timbul perdarahan pada kehamilan 20 minggu
b) Darah berwarna merah segar
c) Tidak disertai atau dapat disertai nyeri perut (kontraksi uterus)
d) Perdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal
dari anak maka dengan cepat bunyi jantung anak menjadi buruk.
7) Diagnosa
Kriteria diagnosis vasa previa dengan menggunakan USG transvaginal
adalah dengan ditemukan adanya daerah linear yang sonolucent di atas ostium
uteri interna dengan tidak adanya Wharton jelly. Ketika menggunakan Doppler
dapat dilihat aliran darah yang melewati pembuluh darah., dan bentuk
gelombang Doppler adalah tipikal dengan tali bentuk gelombang tali pusat.
Karena bentuk normal yang melingkar dari tali pusat dapat di salah artikan
sebagai vasa previa, penting untuk memastikan pembuluh darah tidak berpindah
dengan adanya pergerakan dari ibu. Visualisasi vasa previa mungkin susah jika
dengan USG transvagina saja. Pembuluh darah janin dapat bergerak ke yang
tidak diinginkan dengan sudut insonasi 90 derajat dengan transducer yang
terfiksasi secara relatif. Jika visualisasi transvaginal dengan Doppler tidak
mungkin, maka rute transabdominal dapat menghasilkan sudut insonasi
(insonasi: terpaparnya jaringan terhadap gelombang ultrasound) yang lebih
diinginkan. Dengan kata lain hanya dengan kombinasi penggunaan USG
transabdominal dan transvaginal dapat dimengetahui tipe plasenta, situasi
plasenta, dan insersi dari tali pusat (Maulida, 2011).
Vasa previa jarang terdiagnosa sebelum persalinan namun dapat
diduga bila usg antenatal dengan Coolor Doppler memperlihatkan adanya
pembuluh darah pada selaput ketuban didepan ostium uteri internum.
Tes Apt : uji pelarutan basa hemoglobin. Diteteskan 2 – 3 tetes larutan
basa kedalam 1 mL darah. Eritrosit janin tahan terhadap pecah sehingga

9
campuran akan tetap berwarna merah. Jika darah tersebut berasal dari ibu,
eritrosit akan segera pecah dan campuran berubah warna menjadi coklat.
Diagnosa dipastikan pasca salin dengan pemeriksaan selaput ketuban dan
plasenta. Seringkali janin sudah meninggal saat diagnosa ditegakkan mengingat
bahwa sedikit perdarahan yang terjadi sudah berdampak fatal bagi janin.
Pemeriksaan penunjang a) USG : biometri janin, plasenta (letak, derajat
maturasi, dan kelainan), ICA. b) Kardiotokografi : kehamilan > 28 minggu.
c)Laboratorium : darah perifer lengkap.
8) Penatalaksanaan
Bila diagnosa dapat ditegakkan sebelum persalinan, maka tindakan
terpilih untuk menyelamatkan janin adalah melalui bedah sesar. Seksio sesarea
elektif efektif dilakukan pada usia kehamilan 35 minggu (The International Vasa
Previa Foundation).

d. Rupture Uteri
1) Definisi
Ruptur uteri didefinisikan sebagai terpisahnya dinding uterus ibuhamil,dengan
atau tanpa ekspulsi janin. (Maureen, 2002).
Ruptur uteri merupakan uterus yang ruptur yang dapat langsung terhubung
dengan rongga peritoneum (komplet) atau mungkin dipisahkan darinya oleh
peritoneum viseralis yang menutupi uterus atau oleh ligamentum
latum(inkomplet)(Obstetric Williams vol 1 edisi 21, 2006).
Ruptur uteri adalah robekan yang dapat langsung terhubung dengan rongga
peritonium (komplet) atau mungkin di pisahkan darinya oleh peritoneum
viseralis yang menutupi uterus oleh ligamentum latum (inkomplit)
(Cunningham,2005;h.217).
2) Klasifikasi
a) Menurut waktu terjadinya:
- Rupture uteri gravidarum : terjadi waktu sedang hamil, sering
berlokasi pada korpus.
- Rupture uteri durante partum: terjadi waktu melahirkan anak,
lokasinya sering pada segmen bawah rahim. Jenis inilah yang paling
terbanyak.
b) Menurut lokasinya:
- Korpus Uteri : biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah
mengalami operasi, seperti: SC klasik (korporal) atau miomektomi.
- Segmen bawah rahim: biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama
(tidak maju). Segmen bawah rahim tambah lama tambah tegang dan
tipis dan akhirnya terjadi ruptur uteri.
- Servik uteri: biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep
atau versa dan ekstraksi,sedang pembukaan belum lengkap.

10
- Kolpoporeksis-kolporeksi : Robekan-robekan diantara servik dan
vagina. Batas antara korpus uteri dan dan servik uteri disebut istmus
uteri (2-3 cm) pada rahim yang tidak hamil. Bila kehamilan sudah
kira-kira 20 minggu, di mana ukuran janin sudah lebih besar dari
ukuran kavum uteri, maka mulailah terbentuk SBR (Segmen Bawah
Rahim) istmus ini.
c) Menurut Etiologi
- Ruptur uteri spontanea : Karena dinding rahim yang lemah dan cacat,
dan karena peregangan yang luar biasa pada rahim.
- Rupture uteri traumatika: karena tindakan dan trauma
d) Menurut robeknya peritoneum
- Ruptur uteri kompleta: robekan pada dinding uterus berikut
peritoneumnya (perimetrium), dalam hal ini terjadi hubungan langsung
antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis.
- Ruptur uteri inkompleta: robekan otot rahim tanpa ikut robek
peritoneumnya.Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke
ligamentum latum.
- Dehisensi jaringan parut meliputi penipisan atau robekan dinding
uterus di sepanjang jaringan parut yang sudah lama. Membran janin
masih utuh dan janin tidak keluar ke dalam rongga peritoneum.
e) Menurut gejala klinis:
- Rupture uteri imminens (membakat=mengancam): penting untuk
diketahui.
- Rupture uteri sebenarnya
3) Etiologi (Rupture uterus spontan (Fraser dab Cooper,2009;h.593))
a) Paritas tinggi
b) Penggunaan oksitosin yang tidak tepat, terutama pada ibu paritas tinggi
c) Pengunaan prostaglandin untuk menginduksi persalinan , pada ibu yang
memiliki eskar.
d) Persalinan macet; rupture uteri terjadi akibat penipisan yang berlebihan
pada segmen bawah uterus.
e) Persalinan terabaikan, dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya.
f) Perluasan laserasi serviks yang berat ke atas menuju segmen bawah uterus
–hal ini dapat terjadi akibat trauma selama pelahiran dan tindakan.
g) Trauma akibat cedera ledakan atau kecelakaan.
h) Perforasi uterus non-hamil , mengakibatkan rupture uteri pada kehamilan
berikutnya;perforasi dan rupture terjadi pada segmen atas uterus.
i) Rupture uterin antenatal dengan riwayat seksio sesarea klasik sebelumnya.
4) Tanda dan Gejala
Menurut (Chapman,2006;h.290)

11
a) Nyeri : Nyeri uterus atau jaringan parut mendadak, “ingin melahirkan” ,
nyeri abdomen bagian bawah bisa muncul bersama kontraksi, atau nyeri
konstan yang tidak hilang, ibu merasa bahwa uterusnya sangat nyeri saat di
sentuh atau di raba.
b) Kontraksi uterus : Uterus solid atau tonik, kontraksi dapat berkurang atau
bahkan berhenti.
c) Denyut Jantung Janin: perubahan Denyut Jantung Janin abnormal dapat
terjadi seperti deselarasi memanjang atau variable yang biasanya
memburuk menjadi bradikardia serius.
d) Syok : dapat terjadi perubahan tanda vital (Takikardia, Tekanan darah
rendah, Sesak napas, respirasi, > 24x/menit), kemungkinan ibu : Tampak
dingin dan lembap, tampak gelisah,agitasi, atau menarik diri,berkata bahwa
ia takut dan ada sesuatu yang tidak beres, muntah.
e) Perdarahan : Perdarahan kadang keluar dari vagina sebagai cairan amnion
bercampur darah atau perdarahan segar, kadang seperti setelah bayi lahir,
fundus uteri segera meninggi karena terisi darah.
f) Pemeriksaan dalam : Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah,
dengan mudah dapat didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah
pervaginam yang agak banyak, kalau rongga rahim sudah kosong dapat
diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat
melalui robekan tadi maka dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian
janin dan hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung
kemih
5) Patofisiologi
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding
korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri
menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri
terdorong ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih
lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh
kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran
retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila
bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab (misalnya :
panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambah
mengecil pada waktu ada his harus diimbangi perluasan segmen bawa rahim ke
atas.
6) Penatalaksanaan
Tindakan pertama adalah mengatsi syok,memperbaiki keadaan umum
penderita dengan pemberian infuse cairan dan transfuse darah, kardiotonika,
antibiotika, dan sebagainya. Bilakeadan umum mulai membaik tindakan
selanjutnya adalah melakukan laparotomi dengan jenis tindakan operasi :
Histerektomi, baik total maupun subtotal, Histerorafia, yaitu tepi luka dieksider

12
dan dijahit sebaik – baiknya dan Konservatif, hanya dengan temponade dan
pemberian antibiotika yang cukup.
7) Komplikasi
Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat
infeksi adalah dua komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptura uteri. Syok
hipovolemik terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid
yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan
transfusi darah segar. Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana
ruptura uteri telah terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami
berbagai manipulasi termasukperiksa dalam yang berulang.

13
Gambar 3. Manajemen perdarahan antepartum ALARM

14
PERDARAHAN POSTPARTUM

B. Perdarahan Postpartum
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir.4
Perdarahan postpartum sering didefenisikan secara berturut-turut sebagai kehilangan darah
berlebihan dari traktus genetalia dalam 24 jam setelah persalinan, sebanyak 500 ml atau lebih,
atau sebanyak apapun yang mengganggu kesejahtraan ibu.5
Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan
yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari
normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah,
limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut
nadi> 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL. Perdarahan post partum dibagi menjadi 2:6
1. Perdarahan Post Partum Dini/Perdarahan Post Partum Primer (Early Postpartum
Hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III.
Penyebab utama perdarahan post partum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa
plasenta dan robekan jalan lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan pada Masa Nifas I Perdarahan Post Partum Sekunder (Late Postpartum
Hemorrhage) ialah perdarahan yang terjadi setelah anak lahir biasanya hari ke 5-15 post
partum. Penyebab utamanya robekan jalan lahir dan sisa plasenta.

Klasifikasi penyebab pendarahan postpartum adalah:

1. Atonia Uteri
a. Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya otnuys/kontraksi rahim yang menyebabkan
uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta
setelah bayi dan plasenta lahir.4
b. Tanda dan Gejala
1) Perdarahan pervaginam
2) Konsistensi lunak
3) Fundus uteri tinggi
4) Terdapat tanda-tanda syok
c. Etiologi
1) Umur terlalu muda 25 tahun atau tim 35 tahun
2) Paritas
3) Partus lama yang menyebabkan inersia uteri karena kelelahan pada otot-otot
uterus
4) Uterus terlalu regang dan besar, pada kondisi ini miometrium teregang dengan
hebat sehingga kontraksi setelah kelahiran bayi tidak menjadi efisien.
5) Kandung kemih yang penuh menghalangi kontraksi uterus.

15
6) Solusio placenta, bila terjadi solusio maka darah di dalam rongga uterus dapat
meresap diantara serat-serat otot uterus dan mengakibatkan kontraksi uterus
menjadi tidak efektif.
7) Penatalaksanaan yang salah pada kala tiga
8) Placenta yang baru lepas sebagian, maka akan terjadi robekan pada sinus-sinus
maternalis dan plasenta yang masih melekat menghambat kontraksi dan relaksasi
dan otot-otot uterus.
9) Persalinan yang terlalu cepat, bila uterus sudah berkontraksi terlalu kuat dan
terus menerus maka uterus akan kekurangan kemampuannya untuk
berkontraksi.7
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan:
a) Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan
pascapersalinan akibat atonia uteri
b) Pemberian misoprostol peroral 2 – 3 tablet (800 – 1.000 mcg) segera
setelah bayi lahir.4
2) Penanganan
a) Rangsangan taktil (pemijatan). Fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta
(maksimal 15 menit). Pantau apakah uterus berkontraksi?
b) Jika Ya evaluasi rutin. Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus
berlangsung, periksa apakah perineum, vagina dan serviks mengalami
laserasi dan jahit atau rujuk segera.
c) Jika tidak lanjutkan langkah berikutnya.
d) Bersihkanlah bekuan darah dan/atau selaput ketuban dari vagina dan lubang
serviks.
e) Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong.
f) Jika penuh atau dapat dipalpasi, kateterisasi kandung kemih menggunakan
teknik aseptik. Lakukan kompresi bimanual internal (KBIdan KBE).4
2. Rupture Perineum
1) Definisi
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat
pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, truama forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi.4
2) Tanda dan gejala
Gejala yang selalu ada yaitu perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah
bayi lahir, kontraksi uterus baik, keadaan plasenta baik (Wiknjosatro, 2006)8

16
3) Etiologi
a) Episiotomi yang terlalu lebar
b) Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke
segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun
plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik. perlu
dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan servik uteri.
c) Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering
dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi
sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus
diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada
pemeriksaan speculum.
d) Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di
garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut
arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul
bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia
suboksipitobregmatika Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai,
ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi
uterus yang kuat.4
Hamper 90% wanita mengalami robekan jalan lahir saat persalinan pervaginam, dan
robekan paling sering terjadi di daerah perineum. Adapun robekan pada perineum dapat
dibagi menjadi 4 derajat, yakni :
1) Derajat 1 : laserasi epitel vagina atau laserasi pada kulit perineum saja
2) Derajat 2 : melibatkan kerusakan pada otot-otot perineum, tetapi tidak melibatkan
kerusakan sfingter ani
3) Derajat 3 : kerusakan pada sfingter ani
 3a : robekan <50% sfingter ani eksterna
 3b : robekan >50% sfingter ani eksterna
 3c : robekan juga meliputi sfingter ani interna
4) Robekan stadium tiga disertai robekan epitel anus
3. Retensio Plasenta
1) Definisi
Retensio placenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 30 menit
setelah bayi lahir.4
2) Etiologi
a) Plasenta belum terlepas dan dinding rahim karena melekat dan tumbuh dalam.
Menurut tingkat perlekatannya:
b) Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih
dalam.
c) Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua endometrium sampai kemiometrium.

17
d) Plasenta akreta : vili khorialais tumbuh menembus miometrium sampai
ke serosa.
e) Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus
serosa atau peritoneum dinding rahim.
f) Plasenta sudah terlepas dan dinding rahim namun belum keluar karena atonia
uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim yang akan
menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila
sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi
untuk segera mengeluarkannya.9
3) Penanganan
a) Jika placenta terlihat didalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. jika anda
dapat merasakan placenta dalam vagina, keluarkan placenta tersebut.
b) Pastikan kandung kemih kosong bila diperlukan lakukan kateterisasi.
c) Jika placenta belum keluar. Berikan oksitosin 10 U LM, jika belum dilakukan
pada penanganan aktif kala tiga, jangan berikan ergometrin karena dapat
menyebabkan kontraksi uterus yang tonik yang bisa memperlambat pengeluaran
placenta.
d) Jika placenta belum lahir setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terasa
berkontraksi, lakukan peregangan tali pusat terkendali, hindari penarikan tali
pusat dan penekanan nindus yang yang terlalu kuat karena dapat menyebabkan
inversi uterus.
e) Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobaiah untuk melakukan
pengeluaran placenta secara manual dengan cara mengeluarkan plasenta secara
manual yang merupakan tindakan darurat untuk mengatasi perdarahan pasca
persaiinan cian mencegah kematian ibu. Waktu sangat menentukan, dan
kebersihan mutlak perlu. Cuci tangan sebelum memulai tindakan.

4. Plasenta Restan
1) Definisi
Adalah tertinggalnya sisa-sisa plasenta atau sebagian selaput mengandung pembuluh
darah.4
2) Tanda dan Gejala
a) Gejala yang selalu ada yaitu plasenta atau sebagian selaput (mengandung
pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan segera
b) Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu uterus berkontraksi baik tetapi tinggi
fundus tidak berkurang.9
3) Etiologi
a) Kesalahan penatalaksanaan kala tiga
b) Potongan-potongan placenta yang ketinggalan tanpa diketahui
c) Jaringan yang melekat dengan kuat

18
4) Penatalaksanaan
a) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis.
Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dengan dosis awal 1 G intravena
dilanjutkan dengan 3 x 1 G oral dikombinasi dengan metronidazole 1 G
supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
b) Dengan dipayungi antibiotika tersebut, lakukan eksplorasi digital (bila serviks
terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat
dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AVM atau D&K.
c) Bila kadar Hb < 8 gr% berikan tranfusi darah. Bila kadar HB 8 gr %, berikan
Sulfas Ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.

5. Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum
uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan. Inversio uteri ini hanya terjadi 0,05%
pada persalinan.10
Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri
sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan,
terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Sebab inversio uteri
yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri
terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang belum terlepas dari insersinya.
Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam beberapa tingkat 8:
1) Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang tersebut
2) Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
3) Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar vagina.
Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila
kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan
bisa menyebabkan syok.
Pada inversio uteri ini, uterus harus segera direposisi secepatnya. Reposisi dapat
dilakukan dengan metode Johnson, yakni pegang tonjolan fundus uteri dengan telapak
tangan, dan jar-jari mengarahkan ke fornik posterior. Saat uterus sudah kembali masuk,
berikan uterotonik untuk meningkatkan tonus uteri dan mencegah agar tidak terulang. Jika
cara ini tidak berhasil, atau kontraksi servix meningkat maka dapat diberikan magnesium
sulfat, terbutalin, nitroglyserin, atau general anestesi agar relaksasi uterus cukup sehingga
dapat dilakukan manipulasi. Jika dengan cara ini tetap mengalami kegagalan, maka perlu
tindakan operasi untuk mengembalikan uterus.11

19
Gambar 4. Reposisi uterus pada inversio uteri

20
Tabel 1. Perdarahan postpartum

Penyulit Diagnosa penyebab


Gejala dan tanda
Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri
lembek Bekuan darah pada serviks
Perdarahan segera setelah bayi atau pada posisi terlentang
lahir akan menghambat aliran darah
keluar
Darah segar mengalir segera Pucat Robekan jalan lahir
setelah anak lahir Lemah
Uterus berkontraksi dan keras Mengigil
Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus Retensio plasenta
menit Inversio uteri
Perdarahan segera, uterus Perdarahan lanjutan
berkontraksi dan keras
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi tetapi Tertinggalnya
tidak lengkap tinggi fundus uteri tidak sebagian plasenta
Perdarahan segera berkurang
Uterus tidak teraba Neurogenik syok, pucat dan Inversio uteri
Lumen vagina terisi massa limbung

21
Gambar 5. Algoritma perdarahan postpartum

22
Adapun strategi yang dapat digunakan untuk meminimalisir efek perdarahan postpartum adalah : 11
1. Mengidentifikasi dan koreksi anemia sebelum proses persalinan berlangsung
2. Mengurangi kebiasaan tindakan episiotomy, karena episiotomy meningkatkan sobekan
sphincter ani dan kehilangan darah
3. Memeriksa kembali tanda vital ibu dan pengeluaran pervaginam sebelum mengakhiri proses
persalinan.
4. Tindakan preventif terbaik adalah dengan menejemen aktif kala III
5. Profilaksis dengan pemberian oksitosin mengurangi kejadian perdarahan post partum.
Pemberian oksitosin setelah kelahiran plasenta juga dapat membantu mengurangi kejadian
perdarahan postpartum.
6. Oksitosin adalah terapi pilihan pertama untuk mencegah perdarahan postpartum karena lebih
efektif dari alkaloid ergot dan prostaglandin, selain itu oksitosin memiliki efek samping yang
lebih sedikit.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. 6 ed. Toronto: Churchill Livingstone Inc.; 2003
2. Chalik, T.M.A. Perdarahan pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan, Dalam: Ilmu Kebidanan,
Edisi 4, Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. 2009. Hlm 495 – 502
3. Cunningham, F.G., et al. Obstetri Williams, volume 1 edisi 21, Jakarta. EGC. 2006
4. Prawihardjo, Sarwono. Buku Pedoman Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.2014.
5. Widiarti, Dwi. Kegawatan Dalam Kehamilan-Persalinan. Jakarta : EGC. 2013
6. Verney. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC . 2008
7. Saifudin. A. B. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka. 2005
8. Wiknjosastro, Hanifa dkk. Ilmu Bedah Kebidanan . Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Prawirohardjo. 2014
9. Widyastuti, Aminah. Safe Motherhood : Modul Hemoragi Postpartum Materi Pendidikan
Kebidanan. Jakarta : EGC. 2002
10. Manuaba, I.B.G, I.A. Chandra Manuaba, dan I.B.G Fajar Manuaba. Pengantar Kuliah Obstetri.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2007
11. Anderson J, etches D. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. Am Fam
Physician. 2007 Mar 15; 75(6): 875-82

24

Anda mungkin juga menyukai