Limfoma Hodgkin
Limfoma Hodgkin
BAB I
PENDAHULUAN
Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup system
limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan
umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan kelainan
sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodul yaitu diluar system limfatik
dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit dan organ lain. Dalam garis
besar, limfoma dibagi dalam 4 bagian yaitu:
Dalam praktek, yang dimaksud dengan limfoma adalah LH dan LNH, sedang
Histiositosis x dan mycosis fungoides sangat jarang ditemukan.
Di negara maju limfoma maligna relatif jarang yaitu kira-kira 2 % dari kanker
yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini
merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara dan kulit.
Pada sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan
penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan
faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan
radioterapi. Akhir-akhir ini angka harapan kehidupan 5 tahun meningkat dan bahkan
sembuh (kuratif) berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan
radioterapi. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut dan jelas tentang limfoma
Hodgkin (LH).3
3
Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di
Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 88-89. 1995.
1
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, p 622. 1996.
3
Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di
Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 90. 1995.
2
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
2.3. EPIDEMIOLOGI
2.4. PATOLOGI
Penyakit Hodgkin merupakan suatu tumor ganas yang berhubungan erat dengan
limfoma malignum. Oleh karena itu untuk membahas mengenai patologi dari penyakit
Hodgkin ada baiknya kita mengetahui tentang klasifikasi dari penyakit-penyakit tersebut4
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, p 623-624. 1996.
2
Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 1984. 2000.
4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology).
Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, p 160. 1996.
3
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah menurut Lukas dan
Butler sesuai keputusan symposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor. Menurut
klasifikasi ini penyakit Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu :
1. Tipe Lymphocyte Predominant
Pada tipe ini gambaran patologis kelenjar getah bening terutama terdiri dari sel-sel
limfosit yang dewasa, beberapa sel Reed-Sternberg. Biasanya didapatkan pada anak
muda. Prognosisnya baik.
2. Tipe Mixed Cellularity
Mempunyai gambaran patologis yang pleimorfik dengan sel plasma, eosinofil,
neutrofil, limfosit dan banyak didapatkan sel Reed-Sternberg. Dan merupakan
penyakit yang luas dan mengenai organ ekstranodul. Sering pula disertai gejala
sistemik seperti demam, berat badan menurun dan berkeringat. Prognosisnya lebih
buruk.
3. Tipe Lymphocyte Depleted
Gambaran patologis mirip diffuse histiocytic lymphoma, sel Reed-Sternberg banyak
sekali dan hanya ada sedikit sel jenis lain. Biasanya pada orang tua dan cenderung
merupakan proses yang luas (agresif) dengan gejala sistemik. Prognosis buruk.
4. Tipe Nodular Sclerosis
Kelenjar mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh serat kolagen. Sering
dilaporkan sel Reed-Sternberg yang atifik yang disebut sel Hodgkin. Sering
didapatkan pada wanita muda / remaja. Sering menyerang kelenjar mediastinum.
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. JIlid II. Edisi 3. Bagian
IlmuPenyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
4
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebih kecil, abnormal, bersifat neoplastik dan
mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan
respon.hipersensitivitas untuk hospes. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka
waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar ke jaringan
non limfatik 4
2.5. PATOGENESIS
Asal-usul penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa
penyakit Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen infeksi)
yang berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa penyakit
Hodgkin merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg merupakan sel
transformasi. Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-teki. Sel Reed-
Sternberg tidak membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak seperti monosit, tidak
memiliki komplemen dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah menentukan berdasarkan
dari penderita dengan jalur sel penyakit Hodgkin, yang agaknya berasal dari sel Reed-
Sternberg.5
Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan
antigen permukaan dengan sejumlah kecil sel “dendrit” pada daerah parafolikel nodus
limfatik. Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit positif, yang aktif dalam
pengenalan antigen oleh sel T ?. Berkurangnya kapasitas “memberitahukan” antigen
berkaitan dengan transformasi neoplasi sel “dendritik”, mungkin menjelaskan adanya
gangguan imunitas sel-T, yang begitu umum terjadi pada penyakit Hodgkin.
Meskipun demikian, saran-saran tentang asal-usul sel Reed-Sternberg ini kini
harus dianggap belum memadai, sampai ada bukti yang lebih meyakinkan.
Diketahui bahwa sel Reed-Sternberg mewakili komponen maligna penyakit
Hodgkin. Apakah yang menyebabkan transformasi ini ?. Selama bertahun-tahun etiologi
infeksi penyakit Hodgkin telah diduga. Beberapa laporan telah menghubungkan infeksi
4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology).
Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995
5
Diehl, V., et al. : Characteristic of Hodgkin`s disease derived cell lines. Cancer Treat. Rep. 66:615, 1982
5
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
virus Epstein-Barr (EBV) dengan penyakit Hodgkin. Tetapi tidak ada rangkaian asam
nukleat EBV pada sel RS yang dibiakkan, tidak mendukung peran EBV sebagai
penyebab penyakit Hodgkin. Perhatian terhadap etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah
diperhatikan akibat laporan yang menunujukkan kemungkinan adanya suatu
“pengelompokan” penyakit Hodgkin diantara pelajar sekolah menengah tertentu.6
Tetapi penelitian lain telah gagal memastikan dugaan penyebaran horizontal
penyakit Hodgkin.3
Pada banyak pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah limfonodus
perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran didalam system lmfatik.
Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebuh kecil, abnormal yang
menyertai (sekarang diduga berasal dari histiosit) bersifat neoplastik dan mungkin bahwa
sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon hipersensitivitas oleh hospes,
manfaat yang menentukan pola evolusi. Pokok ini dibicarakan lebih lanjut pada
klasifikasi histologis. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang
bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar untuk mengikutsertakan
jaringan non-limfatik.4
2.6 ETIOLOGI
Banyak kemajuan telah dicapai dalam bidang biologi penyakit ini. Meskipun
masih banyak yang belum mapan. Seperti pada keganasan yang lain penyebab penyakit
Hodgkin ini multifaktorial dan belum jelas benar.
Perubahan genetic, disregulasi gen-gen factor pertumbuhan, virus dan efek
imunologis, semuanya dapat merupakan factor tumorigenik penyakit ini.
Tentang asal usul sel datia Reed-Sternberg masih ada silang pendapat sampai
sekarang. Kejangkitan limfoma Hodgkin ataupun limfoma non Hodgkin kemungkinan
ada kaitannya dengan keluarga. Apabila salah satu anggota keluarga menderita limfoma
6
Vianna, N. J, and Polan, A.K : Epidemiologic evidence for transmission of Hodgkin`s disease N. Engl. J.
Med. 289:499, 1973
3
Gutensohn N, and Core, P. Epidemiologic of Hodgkin’s disease, Seamaoned 7 : 92, 1980.
4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology).
Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.
6
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
Hodgkin, maka resiko anggota lain terjangkit tumor ini lebih besar dibanding dengan
orang lain yang tidak termasuk keluarga itu. Pada orang hidup berkelompok insiden
limfoma Hodgkin cenderung lebih banyak.1
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.
7
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
beberapa minggu, diikuti oleh interval afebris. Demam dan keringat malam lebih sering
ditemukan pada pasien tua dan pada pasien dengan penyakit stadium lanjut.
Gejala awal penting lainnya adalah penurunan berat badan lebih dari 10 persen
dalam 6 bulan atau kurang tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang sering ditemukan
adalah rasa lemah, malaise dan cepat lelah. Pruritus terdapat pada sekitar 10n persen
pasien pada saat diagnosis, gejala ini biasanya generalisata dan mungkin berkaitan
dengan ruam kulit atau walaupun jarang merupakan satu-satunya gejala penyakit.
Kelainan mediastinum, paru, pleura atau pericardium mungkin disertai batuk,
nyeri dada, sesak napas atau osteoartropi hipertrofik, keterlibatan tulang mungkin disertai
nyeri tulang. Kadang-kadng pasien datang dengan gejala sumbatan vena kava superior
sebagai gejala awal. Kompresi mendadak korda spinalis dapat merupakan gejala awal
tetapi biasanya merupakan penyulit penyakit progresif stadium lanjut. Nyeri kepala atau
gangguan penglihatan dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit Hodgkin
intrakranium dan ketrlibatan abdomen menimbulkan nyeri abdomen, gangguan usus dan
bahkan asites.2
2
Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2000.
8
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada
jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil
biopsi organ, yaitu : hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang,
kulit.
Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi
sesuai konferensi Cotswald.1
1
Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.
9
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
10
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
Serum albumin, LDH, Ca
V. Prosedur untuk hal-hal khusus :
Laparatomi (diagnostic dan staging)
USG abdomen
MRI
Gallium scanning
Technetium bone scan
Scan hati dan limpa
1. KLINIS (ANAMNESIS)
Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher,
aksila ataupun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang disertai
demam, keringat dan gatal
2. PEMERIKSAAN FISIK
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikular,
aksiler dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu
dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin waldeyer ikut terlibat. Apabila area ini
terlihat perlu diperiksa gastrointestinal sebab sering terlihat bersama-sama.
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian
penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas
2
Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 4, Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2000
,4
Hoffbrand A V, Pettit JE, Darmawan I, editor, Kapita Selakta Haematologi (Essential Haematology). Edisi
2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.
11
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
penyakit. atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada
penyakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik
normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat
besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang sering
terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama pada pasien dengan gejala dan
biasanya menghilang dengan pengobatan.
Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien
yang menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolute limfositopenia absoluit
(<1000 sel per millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium
lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai indicator
keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi
pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat
penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium,
asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain
dalam serum.4
5. HISTOPATOLOGI
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtype
histopatologi walaupun sitologi biopsy aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan
4
Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, Editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology).
Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.
12
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah jaringan biopsy
tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB
di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan submandibular
tidak dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsy dilakukan dibawah
anestesi umum untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik local terhadap arsitektur
jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan jaringan
6. RADIOLOGI
Termasuk didalamnya :
1. foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan
pasca aortal
3. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan
sekaligus menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.
4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH
7. LAPAROTOMI
Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka
para aotal dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan
teknologi radiology misalnya USG dan CT Scan ditambah sitologi biopsy aspirasi jarum
halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurang-kurangnya diminimalisasi.
Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non Hodgkin
pada pasien dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus,
mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain,
misalnya limfoma non Hodgkin, kanker nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan
adenopati leher local. Adenopati ketiak harus dibedakan dengan limfoma non Hodgkin
dan kanker payudara.
13
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain.
Pada pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama
karsinoma sel kecil dan non sel kecil. Medistinitis reaktif dan adenopati hilus akibat
histoplasmosis dapat mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut timbul pada pasien
asimtomatik. Penyakit abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan
adenopati massif jarang ditemukan, dan penyakit neoplastik lain, terutama limfoma non
Hodgkin harus disingkirkan dalam keadaan ini.
2. 11 PENATALAKSANAAN
14
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
kuratif saja perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan ada tidaknya
lesi dibawah diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja
tidak cukupperlu ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda
prognosis yang buruk seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi
radioterapi + kemoterapi (kombinasi sarana pengobatan = combined modality
therapy) karena radioterapi saja tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya
MOPP 6x dianggap cukup sebagai adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila
tidak ada lesi dibawah diafragma (dibuktikan dengan staging-laparotomy) untuk
stadium IA diberikan radioterapi extended field, untuk stadium IIA diberikan total
nodal irradiation (TNI),dianggap cukup kuratif.
Untuk stadium yang lanjut (st III dan IV) terapi kuratif utama adalah
kemoterapi. Kalau ada lesi yang besar (bulky mass) dengan tambahan huruf X
pada stadiumnya, maka pada tempat ini ditambahkan radioterapi adjuvant dosis
kuratif, sesudah kemoterapi.
15
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
Semula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium III dan
IV saja, namun sering terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass karena itu untuk
tempat-tempat yang lesinya bulky sesudah kemoterapi perlu radioterapi adjuvant
pada tempat yang semula ada bulky mass tadi. Dengan cara ini angka
kesembuhan nya cukup tinggi. Banyak ahli Onkologi Medis memberi kemoterapi
sebagai terapi utama sejak stadium II ditambah dengan radioterapi adjuvant pada
bulky mass, dengan demikian keperluan staging laparotomy makin sedikit,
bahkan tidak diperlukan lagi karena tindakan ini terlalu invasif, sedangkan
hasilnya sama saja, namun masih ada silang pendapat terutama antara ahli
radioterapi dengan ahli onkologi medis.
16
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
(D)= DTIC 150 mg/sqm i.v. hari ke 1-5 diulang selang 4 minggu
Jadi kedua regimen itu dipakai sebagai terapi awal. Kedua regimen itu
tidak cross resistant. Sesuai dengan hipotesis dari Goldie dan Coldman dapat
dipakai MOPP dulu, atau ABV(D) dulu atau begantian MOPP-ABVD-MOPP-
ABVD dst atau regimen hibrida MOPP-ABV(D), hasilnya sama baik, namun
masih ada silang pendapat.
Disini dimaksudkan terapi untuk kasus yang relaps, refrakter sejak terapi
awal, atau setelah diobati beberapa kali. Kadang-kadang MOPP atau ABVD
masih dapat dipakai untuk mendapatkan remisi karena dua regimen ini non-cross-
resistant, namun angka remisinya kecil dan cepat kambuh lagi. Kalau kedua
regimen baku itu tidak dapat menolong lagi dipakai regimen-regimen lain yang
digolongkan dalam salvage-therapy (= terapi penyelamatan). Jadi salvage
kemoterapi diberikan untuk mereka yang :
1. mengalami relaps sesudah remisi lengkap
2. resistant terhadap terapi
Tabel beberapa regimen untuk salvage therapy (second line therapy pada
Limfoma Hodgkin yang Relaps atau Resistant)
V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu
A = Adrianmisin 40 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu
B = Bleomisin 15 U 1-v- tiap minggu sekali
C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. tiap 6 minggu
D = Dakarbasin 800 mg/sqm i-v- tiap 3 minggu
17
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
E = Etoposid 100 mg/sqm p.o. hari ke 1
P = Prednimustin 60 mg/sqm i.v.hari ke 1, diberi selang 3-6minggu
M = Metotreksat 30 mg/sqm i.v. tiap 6 jam selama 4 hari mulai hari ke1 dan 8
dengan rescue
C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v.h. ke 15
H = Doksorubisin 50 mg/sqm i.v.h ke 15
O = Vinkristin 1 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22
P = Prednison 100 mg/sqm p.o. hari ke 22-26, diberi selang 4 minggu
18
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
O = Vinkristin 2 mg i.v.h. 15 dan 22
P = Prednison 60 mg/sqm p.o. hari ke 1-14
L = Leukovorin rescue
A = Ara-C 300 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22
C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v. hari ke 1
E = Etoposid 80 mg/sqm i.v. hari ke 1-3, diberi selang 4 minggu
19
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
memerlukan KDTrPSC; bahkan telah mulai diteliti penggunaan KDTrPSC
sebagai terapi awal, namun kesimpulannya masih belum ada.
2.12. PROGNOSIS
Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau hidup
lama dengan pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena dapat hidup lama,
kemungkinan mendapatkan late complication makin besar. Late complication itu antara
lain :
1. timbulnya keganasan kedua atau sekunder
2. disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal
3. penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan pemberian
antrasiklin terutama yang dosisnya banyak (dose related)
4. penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang juga
dose related
5. pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan
DAFTAR PUSTAKA
20
Billy Anthony Tohar – FK UKRIDA 2007
1. Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai penerbit
FKUI, 1996.
2. Isselbacher K.J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-
prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta, 2000.
3. Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis
Kanker Terbanyak di Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, 1995.
4. Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi
(Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, 1996.
5. Diehl V, et al : Characteristic of Hodgkin’s disease derived cell lines cancer
treat. Rep. 66: 615, 1982.
6. Vianna N J, and Polan, A K : Epidemiologic evidence for transmission of
Hodgkin’s disease N. Engl J. Med. 289-499, 1973.
7. Gutensohn N, and Core, P. Epidemiologic of Hodgkin’s disease, Seamaoned 7 :
92, 1980.
21