Untuk menangani permasalahan TB anak telah diterbitkan berbagai panduan tingkat global. TB
pada anak saat ini merupakan salah satu komponen penting dalam pengendalian TB, dengan
pendekatan pada kelompok risiko tinggi, salah satunya adalah anak mengingat TB merupakan
salah satu penyebab utama kematian pada anak dan bayi di negara endemis TB.
A Tujuan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui :
B Manfaat
Diharapkan dengan penulisan laporan kasus ini penulis dan pembaca dapat :
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
B. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik renik
(droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus.
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis
nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus
lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.
Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak
di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB
membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran
ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak
di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada
proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala
penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi
kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan
adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa
inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan
tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas
selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
2
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan
dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru
melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju
dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen
dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga
terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik
tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan
sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling
sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di
organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang
tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya.
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan
beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata
ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam
3
mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua
tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk
penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke
seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread.
*Catatan:
4
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian
membuat fokus koloni di berbagai organ dengan
vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh
kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB
tipe dewasa (adult type TB)
5
2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
3) Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan.
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
5) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
6
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi Tb, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkuloma sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat
terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih
lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis
sakit Tb terjadi pada 5 tahun pertama, terutama 1 tahun pertama, dan 90%
kematian karena TB terjadi pada tahn pertama setelah diagnosis TB.
Secara Singkat resiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Resiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis
Resiko Sakit
Umur saat infeksi
TB Diseminata
Primer (tahun) Tidak Sakit TB Paru (milier, meningitis)
* pada 50% anak dengan tuberkosis paru didapatkan pemeriksaan fisik yang normal
1
kalsifikasi atau granuloma kecil diartikan infeksi, bukan penyakit
2
pada beberapa anak dengan tuberkulosis paru tidak didapatkan kelainan pada foto polos dada
1) Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak
yang mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil
positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2) Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan
pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen
dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.
8
3) Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada
anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung,
terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa
dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan
yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering
berperan sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena
penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui
saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara
menemukan kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan
kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan sputum sulit
dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya
pengambilan spesimen sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak
dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya
riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu
informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan.
Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB
dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif
menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen
(tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung
menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak
atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif)
belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan
tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya
tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan
tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten.
Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu
mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta
menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan
radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat
menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan
ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto
toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu
dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia
di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia
9
di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin
terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah
pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak
khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian
pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis
yang menunjang TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
10
secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap
pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan
Parameter 0 1 2 3 Skor
Laporan
keluarga, BTA (-)
Kontak TB Tidak jelas - BTA (+)
/ BTA tidak jelas/
tidak tahu
Positif ≥10 mm
Uji tuberkulin
Negatif - - atau ≥5 mm pada
(Mantoux)
imunokompromais
Klinis gizi
BB/TB<90%
Berat Badan/ buruk atau
- atau -
Keadaan Gizi BB/TB<70%
BB/U<80%
atau BB/U<60%
Demam yang
tidak
- ≥2 minggu - -
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran
≥1 cm, lebih
kelenjar limfe
- dari 1 KGB, - -
kolli, aksila,
tidak nyeri
inguinal
Pembengkaka
n tulang/sendi Ada
- - -
panggul, lutut, pembengkakan
falang
Gambaran
Normal/
sugestif
Foto toraks kelainan - -
Catatan: (mendukung)
tidak jelas
TB
Parameter Sistem Skoring:
Skor Total
o Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh
dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.
o Penentuan status gizi:
Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment
opname).
Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk
anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk
anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000.
11
Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1
bulan.
o Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
o Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
tuberkuloma.
12
4 Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus
Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal
dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun
menimbulkan kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala klinis yang
berat seperti TB meningitis, TB milier, dll.
1) TB dengan konfirmasi bakteriologis
Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena
sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat
paucibacillary (kuman sedikit). Sehingga tidak ditemukannya kuman TB
pada pemeriksaan dahak tidak menyingkirkan diagnosis TB anak. TB
dengan konfirmasi bakteriologis terdiri dari hasil positif baik dengan
pemeriksaan BTA, biakan maupun tes cepat.
2) Tuberkulosis Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada
Sistem Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB
dengan gejala klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau
meninggalkan gejala sisa pada anak.
Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit
kepala, diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika
terdapat bukti bahwa anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA
positif. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis
dengan sistem skoring tidak direkomendasikan.
3) TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala
klinis berat dan merupakan 3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka
kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi
oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa
ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara kasat
mata pada foto torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor,
yaitu
a. Kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
b. Status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi
HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal
ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama
c. Faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan
yang padat, polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius,
serta sosioekonomi).
4) Tuberkulosis Tulang/ Sendi
13
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi
berkisar 1—7% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah:
tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi
lutut (gonitis).
5) Tuberkulosis Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan
skrofula, merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling
sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan
kasus timbul 6—9 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi
beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi
pembesaran kelenjar limfe yang sering adalah di servikal anterior,
submandibula, supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau
daerah aksila.
Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium
awal penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras,
discrete, dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada
jaringan di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi
unilateral, tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik
di daerah dada dan leher-bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin
biasanya menunjukkan hasil positif, Gambaran foto toraks terlihat
normal.
6) Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga
pleura. Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus
efusi pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan
dalam 2 bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak
dijumpai ; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer
yang gagal mengalami resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.
7) Tuberkulosis Kulit
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas
dan paling sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat
penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB.
Manifestasi klinis skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak.
Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat
yang mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis,
submandibula, supraklavikula, dan daerah lateral leher. Selain itu,
skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang
disebabkan oleh TB tulang dan sendi.
8) Tuberkulosis Abdomen
14
TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di
peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M
tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen ataupun
penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang
jarang dijumpai, yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya
terjadi pada dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari
laki-laki (2:1).
D. Pengobatan TB Anak
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan
pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB
(profilaksis sekunder).
15
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3
dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering
off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk
mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
o Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
• Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
• Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
o Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
o OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT.
16
Tabel 4. Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya
Dosis harian Dosis
Nama Obat maksimal (mg Efek samping
(mg/kgBB/ hari) /hari)
TB milier
17
TB + destroyed lung
Skeletal TB -
Tabel
Berat badan 2 bulan 4 bulan 6.
Dosis
(kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50)
18
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
o Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
o Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
o Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
o OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
o Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
o Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
o Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
19
dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon
pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap
dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap.
Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai
hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan
dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang
lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan
sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji
tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif.
Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang
berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka
pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil
pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan
dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur
pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.
20
4) Pengobatan ulang TB anak
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang
kembali dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut
benar-benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara
pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring
harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak
diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang
pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji
tuberkulin ulang.
E. Imunisasi BCG
Pengontrolan penyakit TB bergantung pada pencegahan dengan imunisasi Bacille-Calmete-
Guerin (BCG) atau terapi kemoprofilaksis, serta pengobatan tepat dengan sistem pendekatan
directly observed therapy short course (DOTS). Vaksin BCG berasal dari bakteri Mycobacterium
bovis hidup yang dilemahkan .
Imunisasi BCG sebaiknya diberikan pada usia < 2 bulan. Agar cakupan imunisasi lebih luas, pada
jadwal Program Pengembangan Imunisasi (PPI) BCG dapat diberikan pada usia 0 – 12 bulan. Pada
neonatal – bayi berusia < 3 bulan, karena belum mengalami paparan lama terhadap penyakit ,
pemberian BCG tidak perlu didahului oleh uji tapis (uji tuberklin). Sebaliknya, pada usia > 3 bulan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi
komplikasi yang terjadi akibat pemberian BCG, akibat telah adanya imunitas terhadap antigen
Mycobacterium. Pada bayi kontak erat dengan pasien TB BTA positif, sebaiknya diberikan
isoniazid (INH) profilaksis terlebih dahulu, lalu bila kontak sudah tenang dilakukan uji tuberkulin
dan apabila hasilnya negatif, dapat diberikan BCG.
2 Efektivitas
Vaksinasi BCG dapat diberikan secara bersamaan dengan vaksin hidup lainnya, tetapi bila kedua
vaksin tersebut tidak diberikan pada saat yang bersamaan, maka sebaiknya diberikan jarak
minimal 4 minggu antara BCG dan vaksin virus hidup lainnya. Vaksinasi lain tidak boleh diberikan
21
pada lengan yang sama dengan BCG, paling sedikit selama 3 bulan, karena dapat meningkatkan
resiko limfadenitis.
Banyak penelitian yang telah menunjukan hasil yang konsisten akan peranan BCG dalam proteksi
terhadap meningitis TB dan TB milier. Proteksi BCG ditemukan bervariasi antara 0% - 80%. Sebuah
meta-analisis menunjukkan proteksi yang sama untuk vaksinasi saat bayi. Bukti-bukti untuk
kemampuan proteksi BCG terhadap penyakit TB paru anak tidak terlalu konsisten, tetapi
ditemukan hasil yang cukp baik, yaitu berkisar 60-80%, baik dinegara berkembang maupu negara
maju, baik untuk TB paru maupun TB ekstrapulmoner; meskipun ditemukan tingkat proteksi yang
lebih rendah pada daerah tropis.
Suatu meta-analisis lain terhadap lia studi prospektif dan 11 studi kasus kontrol mendapatkan
bahwa vaksinasi BCG pada saat bayi dapat menurunkan resiko TB paru, Meningitis TB, TB milier,
dan kematian akibat TB.
Efek proteksi BCG timbul 8 – 12 minggu setelah vaksinasi. Lamanya proteksi BCG juga belum
dapat diketahui dengan pasti. Suatu studi oleh Sterne dkk, menemukan bahwa efektivitas BCG
mennurun seiring dengan berjalannya waktu sejak vaksinasi. Selain itu juga tidak ditemukan
bahwa BCG dapat memberikan perlindungan setelah lebih dari 10 tahun sejak vaksinasi. Akan
tetapi, studi terakhir di Amerika berhasil menemukan bahwa efektivitas dosis tunggal BCG dapat
bertahan hingga 50 – 60 tahun.
Limfadenitis supuratif di aksila atau leher dapat terjadi, tetepi biasanya sembuh sendiri sehinga
tidak perlu diobati bila timbul fistula harus dilakukan drainase dan pemberian OAT langsung ke
lesi. BCG juga mungkin menyebabkan abses lokal akibat kesalahan teknik penyuntikan.
4 Kontraindikasi
22
Di Indonesia, vaksin BCG tidak boleh diberikan pada mereka yang :
1. Pernah menderita TB
2. Uji tuberkulin > 5 mm
3. Sedang hamil
4. Dalam keadaan imunokompremais (atau keungkinan imunokompremais) seperti
pasien HIV atau beresiko tinggi infeksi HIV, dalam pengobatan imunosupresan,
kortikosteroid, radiasi, penyakit keganasan pada sumsum tulang atau sistem limfe.
5. Gizi buruk
6. Sedang demam tinggi
7. Infeksi kulit yang luas
BCG boleh diberikan pada bayi-bayi pramature, karena didapatkan efikasi yang baik pada bayi-
bayi pramature dan divaksinasi pada umur gestasi 34-35 minggu (umur rata-rata pemulangan bayi
pramature), serta tidak didapatkan perbedaan bermakna tingkat reaksi BCG antara bayi-bayi
dengan berbagai tingkat umur gestasi.
23
I. PENDAHULUAN
Tuberkulosis peritonitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberkulosis yang berasal dari peritoneum, penyakit ini jarang berdiri
sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan dari proses tuberkulosis di tempat lain
terutama dari tuberkulosis paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa
ditegakkan proses tuberkulosis di paru sudah tidak terlihat lagi. Hal ini bisa terjadi
karena proses tuberkulosis di paru mungkin sudah menyembuh sedangkan
penyebarannya masih berlangsung ditempat lain.1
24
Tuberkulosis peritonitis jarang di jumpai dan sangat jarang ditemukan di negara
maju, tetapi tidak jarang ditemukan di negara dengan prevalensi tuberkulosis tinggi,
termasuk di negara-negara berkembang dan terbelakang, terutama di negara dengan
pandemi HIV dan peningkatan imigrasi. Di Amerika Serikat, Tuberkulosis
mempunyai prevalensi yang relatif rendah, dan kebanyakan pasien yang baru di
diagnosis adalah mereka yang berasal dari luar Amerika Serikat (imigran). Pada
negara-negara industri, tuberkulosis meningkat pada populasi imigran dan pada
pasien yang menderita AIDS dan mereka yang sedang menjalani terapi
immunosupresan.2,3,4
Tuberkulosis peritonitis diperkirakan terjadi pada 0,1% sampai 3,5% dari
mereka dengan TB paru aktif dan mewakili 4% sampai 10% dari semua TB ekstra
paru. Kasus Tuberkulosis peritonitis sering pada individu kurang dari 40 tahun dan
sering terjadi pada perempuan berumur 40 tahun. Individu dengan penyakit HIV,
sirosis, diabetes, keganasan, dan mereka yang terus menerus menjalani dialisis
merupakan kelompok resiko tinggi menderita tuberkulosis peritonitis.5
II. DEFINISI
Tuberkulosis peritonitis merupakan suatu peradangan pada peritoneum parietal
atau viseral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat
pada penyakit ini sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat sistem
gastrointestinial, mesenterium, dan organ genitalia interna.1
III. PATOGENESIS
Patogenesis Tuberkulosis peritonitis didahului oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis yang menyebar secara hematogen ke organ-organ di luar paru termasuk
peritoneum. Dengan perjalanan waktu dan menurunnya daya tahan tubuh dapat
mengakibatkan terjadinya Tuberkulosis peritonitis. Cara lain adalah dengan
penjalaran langsung dari kelenjar mesenterika atau dari tuberkulosis usus. Pada
peritoneum terjadi tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk satu
kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya dapat terjadi penggumpalan
atau pembentukan nodul tuberkulosis pada omentum di daerah epigastrium dan
melekat pada organ-organ abdomen dan lapisan viseral maupun parietal sehingga
dapat menyebabkan obstruksi usus dan pada akhirnya dapat mengakibatkan
25
tuberkulosis peritonitis. Selain itu, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar
yang menyebabkan penekanan pada vena porta yang mengakibatkan pelebaran
vena dinding abdomen dan asites. Terjadinya Tuberkulosis peritonitis melalui
beberapa cara, yaitu :1,2
1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru
2. Melalui dinding usus yang terinfeksi
3. Dari kelenjar limfe mesenterium
4. Melalui tuba fallopi yang terinfeksi
Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritonitis terjadi bukan sebagai akibat
penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktivasi proses laten yang terjadi
pada peritonieum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer
terdahulu (infeksi laten “dorman infection”). Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa
mengalami supresi dan menyembuh. Infeksi masih dalam fase laten dimana ia bisa
menetap laten selama hidup namun infeksi tadi bisa berkembang menjadi
tuberkulosapada setiap saat. Jika organisme interseluler tadi mulai bermultiplikasi
secara cepat. Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa, yaitu : 1
1. Bentuk eksudatif
Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang
banyak, gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada
bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil
berwarna putih kekuning-kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum atau pada
alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum. Disamping partikel yang kecil-kecil
yang dijumpai tuberkel yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah. Disekitar
tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti pembuluh darah.
Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga
merubah dinding perut menjadi tegang, Cairan asites kadang-kadang bercampur darah
dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanya keganasan.
Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti benjolan tumor.
2. Bentuk adhesive
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak
dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas
antara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor,
kadangkadang terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya
perlengketanperlengketan. Kadang-kadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan
26
karena perlengketan dinding usus dan peritoneum parintel kemudian timbul proses
necrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan ileus obstruksi . Tuberkel-
tuberkel biasanya lebih besar.
3. Bentuk campuran
Bentuk ini kadang-kaadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi melalui
proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam
kantong-kantong perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap bahwa
pembagian ini lebih bersifat untuk melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya
terjadi bentuk exudatif dan kemudian bentuk adhesive. Pemberian hispatologi
jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan jaringan granulasi tuberkulosa yang
terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan pengkejutan umumnya
ditemukan.
IV. GEJALA KLINIS
Sebagian besar gejala klinis Tuberkulosis peritonitis memperlihatkan gejala yang
non-spesifik dan perjalanan klinis yang lambat, dan sulit dibedakan dengan penyakit
intraabdominal lainnya sehingga cukup rumit untuk menegakkan diagnosis. Gejala
klinis sangat bervariasi, pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-lahan
sampai berbulan-bulan sehingga sering penderita tidak menyadari keadaan ini.2
Keluhan dan gejala yang didapatkan seperti : sakit perut , pembengkakan perut,
asites, penurunan berat badan, anoreksia,demam, diare,konstipasi, batuk,dan keringat
malam.1,2,5,6,7,8
Keadaan umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus dan kahexia,
pada wanita sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses tuberkulosis
pada ovarium atau tuba, sehingga pada alat genitalia bisa ditemukan tanda-tanda
peradangan yang sering sukar dibedakan dengan kista ovarium.1
27
Tabel 1. Keluhan pasien Tuberkulosis Peritonitis bersumber dari beberapa
penelitian.1,5,6,7,8
Keluhan Sulaiman Manohar Tarim Kai Ming VH Ming-
A dkk Akin dkk Chow dkk Chong,N Leun Hu
1975-1979 1984-1988 1988-1997 1989-2000 Rajendran dkk
30 pasien 45 pasien 23 pasien 60 pasien 1995-2004 2000-2006
% % % % 10 pasien 14 pasien
% %
Dari beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa gejala yang paling
banyak didapatkan pada pasien Tuberkulosis Peritonitis yaitu : pembengkakan perut,
sakit perut,demam,dan penurunan berat badan.
28
62/P TB Peritonitis DM,CRF,HTN,hepatitis 1,2,3,5,10
C,LC
70/P TB Peritonitis, TB paru HTN, LC 1,2,3,4,6,10
74/L TB Peritonitis,TB paru, TB Stroke,CRF,HTN 1,8
meningitis
31/P TB usus disertai perforasi, - 1,4,5,6
formasi abses
74/P TB Peritonitis Hepatitis C,LC,TB 1,2,3,4,5
meningitis
51/L TB hepar Kanker kandung kemih 4,5
73/L TB Peritonitis DM,CRF,HTN,LC 2,3,4,7,10
20/P Intraabdominal tuberculoma - 1,6
53/L TB Peritonitis disertai obstruksi CRF, HTN, Stroke, 1,9
usus, TB paru cushing’s syndrome
61/L TB Peritonitis,TB paru Alkoholisme, LC 2,3
47/P TB colon Cushing’s syndrome 1,2,7
80/P TB Peritonitis,TB usus,TB paru DM 1,2,3,7
72/P TB Peritonitis - 1,2,3,4
41/L TB hepar Hepatitis C 5
29
Asites 43%
Hepatomegali 43%
ronkhi pada kedua paru 33%
efusi pleura 27%
Splenomegali 30%
tumor intraabdomen 20%
fenomena papan catur 13%
Limfadenopati 13%
terlibatnya paru dan pleura 63%
V. DIAGNOSIS
30
PCR (polymerase chain reaction) Diagnosis yang cepat
Positif-palsu dan negatif
(mahal)
Pemeriksaan Laboratorium.
Pada Pemeriksaan Laboratorium yaitu pemeriksaan darah rutin sering dijumpai
adanya anemia penyakit kronis, leukositosis ringan ataupun leukopenia,
trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju endap darah (LED)
yang meningkat. Pada pemeriksaan tes tuberkulin hasilnya sering negatif. 1
Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya memperlihatkan eksudat dengan
protein > 3 gr/dl, dengan jumlah sel diatas 100-3000sel/ml. Biasanya lebih dari
90% adalah limfosit LDH biasanya meningkat. Cairan asites yang perulen dapat
ditemukan begitu juga cairan asites yang bercampur darah (serosanguinous).
Hasil kultur cairan asites dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu. Perbandingan
serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal ditemukan rasionya <
1,1 gr/dl, namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan, sindroma
nefrotik, penyakit pankreas , kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila
ditemukan >1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi.
Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada Tuberculosis peritoneal
<0,96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rationya >0,96. Penurunan Ph
cairan asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis
peritoneal dan dijumpai signifikan berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati
yang steril, namun pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan asites ini kurang
spesifik dan belum merupakan suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai pada
kasus asites oleh karena keganasan atau spontaneous bacterial peritonitis.1
31
Empedu
SAAG (serum <1,1 gr/dl >1,1 gr/dl <1,1 gr/dl
asites albumin
serum)
Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapatkan hasil kurang dari 5 % yang
menunjukkan hasil positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20%
hasilnya positif.
32
keganasan. Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari
Tuberculosis Peritoneal (14 ± 10,6 u/l) .1
Pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah dijumpai Nilai ADA yang
sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada konsentrasi asites dengan
protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi false negatif. Untuk itu
pemeriksaan Gama interferon (INFϒ) adalah lebih baik walaupun nilainya dalah
sama dengan pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya lebih
rendah lagi dibanding kedua pemeriksaan tersebut. Angka sensitifitas untuk
pemeriksaan tuberculosis peritoneal terhadap Gamma interferon adalah 90,9 %,
ADA:18,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing spesifitas 100%. 1
Pemeriksaan CA-125. CA-125 (Cancer antigen 125) termasuk tumor associated
glycoprotein yang terdapat pada permukaan sel. CA-125 merupakan antigen yang
terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang
dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan, juga meningkat pada keadaan
benigna dan maligna, dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan
keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama kehamilan, menstruasi,
endometriosis, mIoma uteri dan salpingitis, juga kanker primer ginekologi yang
lain seperti : endometrium, tuba falopi, endocervix, pankreas,ginjal,colon juga
pada kondisi yang bukan keganasan seperti gagal ginjal kronik, penyakit
autoimum, pancreas, sirosis hati, peradangan peritoneum seperti
tuberkulosis,perikardium dan pleura. Beberapa laporan yang telah mendapatkan
peningkatan CA-125 dan menyimpulkan bila dijumpai peninggian serum CA-125
disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit yang
dominan maka Tuberkulosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnosa.1
Pemeriksaan Penunjang
USG (Ultrasonografi )
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam
rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-
kantong).Gambaran USG tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang
bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, massa
didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan
mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat
dan harus diperiksa secara teliti. 1
33
CT Scan
Pemeriksaan CT Scan pada Tuberculosis Peritonitis tidak memberikan
gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang
berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala
klinik dari tuberculosis peritoneal. 1
Peritonoskopi (Laparoskopi)
Peritonoskopi / laparoskopi merupakan pemeriksaan makroskopi yang sangat
berguna untuk menegakkan diagnosa Tuberkulosis Peritonitis. Laparaskopi adalah
cara yang relatif aman, mudah, dan terbaik untuk mendiagnosa Tuberkulosis
peritonitis. Pada salah satu penelitian dilaporkan bahwa laparoskopi dapat
34
mendiagnosis hingga 94%, tetapi diagnosis ini harus dikonfirmasi oleh pemeriksaan
histologi. Laparoskopi baik digunakan untuk mendapatkan diagnosa pasien-pasien
muda dengan gejala sakit perut yang tidak jelas penyebabnya. Laparoskopi dengan
biopsi merupakan gold standar untuk diagnosis Tuberkulosis Peritonitis. Cara ini
dapat mendiagnosa Tuberkulosis peritonitis 85% - 95% dan dengan biopsi yang
terarah dapat dilakukan pemeriksaan histologi agar bisa menemukan adanya
gambaran granuloma sebesar 85% - 90% dari seluruh kasus, dan bila dilakukan kultur
bisa ditemui BTA hampir 75%. Hasil histologi yang lebih penting lagi adalah bila
didapatkan granuloma yang lebih spesifik yaitu granuloma dengan perkejuan.1,5,6
35
sekaligus cairan dapat dikeluarkan. Walupun pada umumnya gambaran
peritonoskopi Tuberculosis peritonitis dapat dikenal dengan mudah, namun
gambarannya bisa menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis,
karena itu biopsi harus selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika
hasil pemeriksaan patologi anatomi mendukund suatu peritonitis tuberkulosis.
Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak
dilakukan peritonoskopi karena secara teknis dianggap mengandung bahaya dan
sukar dikerjakan. Adanya jaringan perlengketan yang luas merupakan hambatan
dan kesulitan dalam memasukkan alat dan ruangan yang sempit di dalam rongga
abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat peritonoskopi
terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan, sehingga
sulit untuk mengenal gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan
demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostik.
Laparatomi
Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yangs erring
dilakukan, namunsaat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan
jika dengan cara yang lebih sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika
dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan
asites yang bernanah.1
VI. TERAPI
Pada dasarnya pengobatan sama dengan pengobatan tuberkulosis paru, obat-
obat seperti : streptomisin,INH,Etambutol,Ripamficin dan pirazinamid memberikan
hasil yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya
pengobatan biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih. 1,6
Untuk pengobatan Tuberkulosis pada organ lain, seperti TB perironitis ini, lama
pengobatan dapat diberikan 9-12 bulan. Panduan OAT yang diberikan adalah
2RHZE/7-10 RH.14
Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan pirazinamid selama
2 bulan pertama. Kortikosteroid diberikan 1 - 2mg/kgBB selama 1 - 2 minggu
pertama. Pada keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan
36
operasi. Beberapa penulis berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi
perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa
kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian,namun pemberian
kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi
terhadap Mikobakterium tuberculosis. Alrajhi dkk yang mengadakan penelitian secara
retrospektif terhadap 35 pasien dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa
pemberian kortikosteroid sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi
sakit perut dan sumbatan pada usus. Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi
sesudah pengobatan terlihat bahwa partikel menghilang namun di beberapa tempat
masih dilihat adanya
perlengketan.1,6,14
Tabel 6. Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis Primer. 14
Obat Dosis (Mg/Kg Dosis yg dianjurkan DosisMaks Dosis (mg) / berat badan
BB/Hari) (mg) (kg)
Harian (mg/ Intermitten < 40 40-60 >60
kgBB / hari) (mg/Kg/
BB/kali)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB
37
ofloksasin. Pirazinamid dan ofloksasin harus dihentikan setelah 3 bulan, sedangkan
rifampisin dan isoniazid harus dilanjutkan dengan total 12 bulan. Dosis biasa pada
obat ini adalah rifampisin 10 mg / kg sehari (maksimal 600 mg); isoniazid 3 - 5 mg /
kg sehari; pirazinamid 30 mg / kg 3 kali seminggu, dan ofloksasin 200 mg sehari.6
VII. PROGNOSIS
38