Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KEPANITERAAN THT

GANGGUAN PENDENGARAN PADA ANAK

Disusun oleh:

Listiana Widyarahma

NPM: 1102013156

Pembimbing:

dr. Nurmawati, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTMENT THT RSPAD GATOT SOEBROTO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 12 MARET – 14 APRIL 2018


I. GANGGUAN PENDENGARAN PADA ANAK/BAYI

1.1 Definisi

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total untuk


mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga yang terjadi pada bayi dan anak.
Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran,
yaitu mulai dari gangguan pendengaran ringan (20-30dB0, gangguan pendengaran sedang
(40-69dB) dan gangguan pendengaran berat (70-89 dB).

Menurut WHO pengertian gangguan pendengaran dan ketulian dibedakan


berdasarkan ketentuan sebagai berikut: Gangguan Pendengaran (hearing impaired) yaitu
berkurangnya kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau
kedua kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat dengan ambang pendengaran rata
lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000,2000, atau 4000 Hz. Sedangkan ketulian (deaf)
adalah hilangnya kemampuan mendengar pada salah satu atau kedua sisi telinga, merupakan
gangguan pendengaran sangat berat dengan ambang pendengaran rata-rata lebih dari 81dB
pada frekuensi 500, 1000,2000 atau 4000 Hz.

1.2 Klasifikasi gangguan Pendengaran

Metode klasifikasi gangguan pendengaran adalah dibedakan dari sisi onset, sisi
genetika, progresifitas penyakit.

1. Jenis gangguan : tipe konduktif, sensorineural, campuran.

2. Waktu berlangsung : menetap, sementara, memberat.

3. Derajat gangguan pendengaran : rigan, sedang, berat, sangat berat.

4. Onset gangguan pendengaran : congenital, periode prelingual, atau postlingual, lanjut usia
(presbiakusis)

5. Faktor penyebab : ototoksis, akibat bising (GPAB).

a. Gangguan pendengaran/tuli konduktif (Conductive Hearing Loss)

Menunjukkan adanya masalah di telinga luar atau tengah yang menyebabkan tidak
terhantarnya bunyi dengan tepat ke telinga dalam. Penyebab tersering gangguan pendengaran
konduktif pada anak adalah otitis media dan disfungsi tuba eustachius yang disebabkan oleh
otitis media sekretori.kedua kelainan tersebut jarang menyebabkan kelainan gangguan
pendengaran melebihi 40dB.Dalam beberapa kejadian, gangguan pendengaran jenis ini
biasanya bersifat sementara. Pengobatan atau bedah, alat bantu dengar maupun implan
telinga tengah dapat membantu mengatasi gangguan pendengaran jenis ini tergantung pada
penyebab khusus masalah pendengaran tersebut.

2
b. Gangguan Pendengaran Sensorineural (Sensori Neural Hearing Loss).

Tuli sensorineural atau disebut juga tuli perseptif (tuli saraf) merupakan jenis
gangguan pendengaran yang disebabkan oleh hilangnya atau rusaknya sel saraf (sel rambut)
di dalam koklea atau rumah siput, kerusakan atau malfungsi koklea serta kerusakan batang
otak sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Gangguan pendengaran
jenis ini biasanya bersifat permanen.bila kerusakan terbatas pada sel rambut di koklea, maka
sel ganglion dapat bertahan atau mngalami degenerasi transneural. Bila sel ganglion rusak,
maka n. VIII akan mengalami degenerasi wallerian. Penyebab utama gangguan pendengaran
ini adalah disebabkan genetik atau infeksi sedangkan penyebab yang lain seperti pemakaian
obat jarang terjadi. Untuk gangguan pendengaran ringan hingga berat dapat diatasi dengan
alat bantu dengar atau implan telinga tengah. Sedangkan, untuk gangguan pendengaran berat
atau parah sering di atasi dengan implan koklea.

c. Gangguan Pendengaran/tuli campuran (Mixed Hearing loss)

Gangguan pendengaran campuran merupakan campuran gangguan pendengaran


sensorineural dan konduktif. Pada tuli campur dapat merupakan satu penyakit, misalnya
radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang
berlainan, misalnya tumor n.VII yang merupak tuli sensorineural dengan radang telinga
tengah yang merupakan tuli konduktif. 11,13

1.3 Etiologi Gangguan Pendengaran pada Bayi/Anak

Penyebab gangguan pendengaran pada anak biasanya dibedakan menjadi 3


berdasarkan saat terjadinya gangguan pendengaran yaitu :

1. Pada saat kehamilan atau dalam kandungan (PRENATAL)

a. Genetik herediter

Yaitu yang berkatin dengan faktor genetik

b. Non genetik

Yaitu yang tidak berkaitan dengan keturunan seperti Infeksi pada kehamilan
terutama pada awal kehamilan/trimester pertama (Toxoplasmosis, Rubella,
Cytomegalovirus, Herpes, Sifilis), kekurangan zat gizi misalnya defisiensi jodium,
kelainan struktur anatomi serta pengaruh obat-obatan yang dikonsumsi selama
kehamilan yang berpotensi menggangu proses pembentukan organ dan merusak
sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomycin, streptomisin, gentamisin,
thalidomide, barbiturate dll. Selain itu malformasi struktur anatomi telinga seperti
atresia liang telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian.

3
2. Pada saat Kelahiran atau Persalinan (PERINATAL)

Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor resiko
untuk terjadinya gangguan pendengaran/ketulian seperti tindakan dengan alat pada saat
proses kelahiran (ekstraksi vakum, forsep), bayi lahir premature (< 37 mgg), berat badan
lahir rendah (< 2500 gr), lahir tidak menangis (asfiksia), lahir kuning
(hiperbilirubinemia). Biasanya jenis gangguan pendengaran yang terjadi akibat faktor
prenatal dan perinatal ini adalah tipe saraf / sensori neural dengan derajat yang umumnya
berat atau sangat berat dan sering terjadi bilateral.

3. Pada saat setelah Persalinan (POSTNATAL)

Pada saat pertumbuhan seorang bayi dapat terkena infeksi bakteri maupun virus
seperti Rubella (campak german), Morbili (campak), Parotitis, meningitis (radang
selaput otak), otitis media (radang telinga tengah) dan Trauma kepala.
Bayi yang mempunyai faktor resiko diatas mempunyai kecenderungan menderita
gangguan pendengaran lebih besar dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor
resiko tersebut. Seorang anak harus diperiksa fungsi pendengarannya segera setelah
dicurigai terdapat faktor-faktor resiko diatas atau anak tidak bereaksi terhadap bunyi-
bunyian disekitarnya (tepukan tangan, suara mainan, terompet, sendok yang dipukulkan
ke gelas/piring dll) dan terdapat keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa.

Menurut Academy American Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994)


pada bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor berikut ini harus dicurigai karena
merupakan kemungkinan penyebab terjadinya gangguan pendengaran.

1. Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir

2. Infeksi prenatal; TORSCH

3. Kelainan anatomi pada kepala dan leher

4. Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital

5. Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram)

6. Meningitis Bakterialis

7. Hiperbillirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar

8. Asfisia berat

9. Pemberian obat ototoksik

10. Menggunakan alat bantu pernafasan / ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU)

4
1.4 Faktor resiko terjadinya gangguan pendengaran pada bayi/anak

1. Riwayat keluarga ditemukan ketulian

2. Infeksi intrauterin

3. Abnormalitas pada kraniofasial

4. Hiperbilirubinemia yang memerlukan tranfusi tukar

5. Penggunaan obat ototoksik aminoglikosida lebih dari 5 hari atau

penggunaan antibiotik tersebut dengan obat golongan loop diuretic

6. Meningitis bakteri

7. Apgar skor < 4 pada saat menit pertama setelah dilahirkan, atau

apgar skor < 6 pada menit kelima.

8. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 5 hari.

9. Berat lahir < 1500 gram

10. Manifestasi dari suatu sindroma yang melibatkan ketulian.

Meskipun faktor risiko yang telah disebutkan merupakan suatu indikasi untuk dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan adanya suatu gangguan pendengaran, akan tetapi dilapangan
ditemukan bahwa 50% neonatus dengan gangguan pendengaran tidak mempunyai faktor
risiko. Oleh karena itu direkomendasikan suatu pemeriksaan gangguan pendengaran pada
seluruh neonatus setelah lahir atau setidaknya usia tiga bulan.

1.5 Faktor –faktor penyabab terjadinya gangguan pendengaran pada bayi/anak

Secara garis besar faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran dapat berasal

dari genetik maupun didapat:

1. Faktor genetik

Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa gangguan


pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungin bersifat statis maupun progresif.
Kelainan dapat bersifat dominan, resesif, berhubungan dengan kromosom X (contoh:
Hunter’s syndrome, Alport syndrome, Norrie’s disease) kelainan mitokondria (contoh:
Kearns-Sayre syndrome), atau merupakan suatu malformasi pada satu atau beberapa organ
telinga (contoh: stenosis atau atresia kanal telinga eksternal serind dihubungkan dengan
malformasi pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan tuli konduktif).

5
2. Faktor didapat (aquired)

Dapat disebabkan oleh :

a. Infeksi
Gangguan yang terjadi biasanya bersifat tuli sensorineural. Infeksi yang dapat
menyebabkan gangguan pendengaran seperti Rubela kongenital,Cytomegalovirus,
Toksoplasmosis, virus herpes simpleks, meningitis bakteri, otitis media kronik
purulenta, mastoiditis, endolabirintitis, kongenital sifilis. Toksoplasma, Rubela,
Cytomgalovirus, menyebabkan gangguan pendengaran pada 18% dari seluruh kasus
gangguan pendengaran dimana gangguan pendengaran sejak lahir akibat infeksi
Cytomegalovirus sebesar 50%, infeksi Rubela kongenital 50%, dan Toksoplasma
kongenital 10%-15%, sedangkan untuk infeksi herpes simpleks sebesar 10%.
Penelitian oleh Rivera menunjukan bahwa 70% anak yang mengalami infeksi
sitomegalovirus konegenital mengalami gangguan pendengaran sejak lahir atau selama
masa neonatus. Pada meningitis bakteri melalui laporan post-mortem dan beberapa
studi klinis menunjukan adanya kerusakan di koklea atau saraf pendengaran,
sayangnya proses patologis yang terjadi sehingga menyebabkan gangguan
pendengaran masih belum dapat dipastikan.

2. Obat ototoksik

Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah: Golongan


antibiotika: Erythromycin, Gentamicin, Streptomycin, Netilmicin, Amikacin,
Neomycin (pada pemakaian tetes telinga), Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin,
golongan diuretika: furosemide.Kadar bilirubin indirek ditentukan juga oleh beberapa
faktor seperti: kecepatan produksi bilirubin, kadar albumin, dan obat-obatan
(sulfonamid, diuretikum, salisilat).

3. Trauma

Fraktur tulang temporal, pendarahan pada telinga tengah atau koklea, dislokasi
osikular, trauma suara.

4. Neoplasma

Tumor yang sering terjadi seperti :

- Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromato),

- Cerebellopontine tumor, tumor pada telinga tengah (contoh: rhabdomyosarcoma,


glomus tumor.

6
1.6 Gejala Gangguan Pendengaran

Beberapa hal berikut dapat dipergunakan sebagai acuan untuk mengetahui apakah
terdapat gangguan pendengaraan pada bayi/anak:
Untuk bayi berusia kurang dari 12 bulan :
1. Tidak terkejut bila mendengar suara keras
2. Mulai usia 3 bulan bayi belum dapat mengenali suara orang tuanya
3. Sekitar usia 6 bulan bayi belum dapat mencari asal/ lokasi bunyi berasal, dengan cara
menolehkan kepala atau mata ke arah sumber bunyi
4. Pada usia 12 bulan bayi belum mahir meniru suara di sekitarnya dan memproduksi
beberapa kata.

Setelah usia 12 bulan gejala-gejala gangguan pendengaran dapat dikenali dengan


1. Kemampuan wicara terbatas atau tidak ada sama sekali
2. Perhatian kurang ( inattentive)
3. Sulit mempelajari sesuatu
4. Seringkali meminta suara diperkeras (misalnya volume TV)
5. Tidak memberi respons terhadap ucapan dengan kekerasan yang normal
6. Salah memberikan jawaban

Table 1 Perkiraan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak

Usia Kemampuan bicara

12 bulan Beum dapat mengoceh (babbling) atau


meniru bunyi

18 bulan Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang


mempunyai arti

24 bulan Perbendaharaan kata kurang dari 10 kata

30 bulan Belum dapat merangkai 2 kata

7
II. PEMERIKSAAN FUNGSI PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK

2.1 Deteksi dini gangguan pendengaran pada Bayi

Untuk dapat melakukan deteksi dini pada seluruh bayi dan anak relatif sulit, karena
akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Program skrining diprioritaskan
pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran.
Untuk maksud tersebut Joint Commitee on Infant Hearing (2000) menetapkan pedoman
registrasi risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran sebagai berikut:
Untuk bayi 0-28 hari

1. Kondisi atau penyakit yang memerlukan perawatan NICU (Neonatal ICU) selama 48 jam
atau lebih
2. Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai
hubungan dengan gangguan pendengaran sensorineural atau konduktif.
3. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang menetap sejak masa
anak-anak.
4. Anomali kraniofasial termasuk kelainan morfologi pinna atau liang telinga.
5. Infeksi intrauterin seperti Toksoplasma, Rubella, Virus Cytomegalo, Herpes, dan Sifilis.

Untuk bayi 29 hari - 2 tahun

1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran, keterlambatan


bicara, berbahasa dan atau keterlambatan perkembangan.
2. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak masa anak-anak.
3. Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai
hubungan dengan gangguan pendengaran sensorineural atau konduktif.
4. Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
termasuk meningitis bakterialis.
5. Infeksi intrauterin seperti Toksoplasma, Rubella, Virus Cytomegalo, Herpes, dan Sifilis.
6. Adanya faktor risiko tertentu pada masa neonatus, terutama hiperbilirubinemia
yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmoral yang membutuhkan ventilator serta
kondisi lainnya yang memerlukan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang
progresif seperti Usher syndrome, neurofibromatosis, osteopetrosis.
8. Adanya kelainan neurodegeneratif seperti Hunter syndome, dan kelainan
neuropati sensomotorik misalnya Friederich's ataxia, Charrot-Marie Tooth Syndrome.
9. Trauma kapitis
10. Otitis media yang berulang atau menetap disertai efusi telinga tengah minimal 3 bulan.

Bayi yang mempunyai salah satu faktor risiko tersebut mempunyai kemungkinan
mengalami gangguan pendengaran 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang
tidak memiliki faktor risiko. Bila terdapat 3 buah faktor risiko kecenderungan menderita
gangguan pendengaran diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan bayi yang tidak

8
mempunyai faktor risiko tersebut. Pada bayi baru lahir yang dirawat di ruangan intensif
(ICU) risiko untuk mengalami gangguan pendengaran 10 kali lipat dibandingkan dengan
bayi normal.1,2,6
Namun indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya dapat mendeteksi
sekitar 50% gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan
pendengaran tanpa memiliki faktor risiko yang dimaksud. Berdasarkan pertimbangan
tersebut maka saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi
ditetapkan melalui program Newborn Hearing Screening (NHS).

Upaya deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi ditetapkan melalui program
Newborn Hearing Screening (NHS). Dikenal 2 macam program NHS, yaitu:

1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)


UNHS bertujuan melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada semua bayi
baru lahir. Upaya skrining pendengaran ini sudah dimulai pada saat usia 2 hari atau
sebelum meninggalkan rumah sakit. Untuk bayi yang lahir pada fasilitas kesehatan yang
tidak memiliki program UNHS paling lambat pada usia 1 bulan sudah melakukan
skrining pendengaran.

2. Targeted Newborn Hearing Screening.


Di negara berkembang program UNHS masih sulit dilakukan karena memerlukan
biaya dan SDM yang cukup besar dan harus didukung oleh suatu peraturan dari
pemerintah setempat. Atas pertimbangan tersebut kita dapat melakukan pogram skrining
pendengaran yang lebih selektif, dan terbatas pada bayi yang memiliki faktor resiko
terhadap gangguan pendengaran. Program ini dikenal sebagai Targeted Newborn
Hearing Screening.

2.2 Pemeriksaan Fungsi Pendengaran


Pemeriksaan fungsi pendengaran menurut American Academy of Pediatrics
selayaknya dilakukan pada semua anak, terutama pada anak yang termasuk berisiko
mengalami gangguan pendengaran yaitu:

- Bayi dari ibu hamil 3 bulan pertama menggunakan obat Kina, salisilat atau antibiotic
tertentu
- Mempunyai riwayat keluarga tuli sejak lahir;
- Prematur
- Berat badan lahir rendah (<1500 gr)
- Kadar bilirubin tinggi atau bayi kuning
- Apgar score rendah atau tidak langsung menangis pada saat lahir
- Proses kelahiran melalui operasi
- Lahir dengan bantuan alat (forcep)
- Infeksi Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus, Herpes, Sifilis (TORCHS)

9
- Terdapat kelainan pada kepala & leher saat lahir
- Memakai alat bantu nafas lebih dari 5 hari
- Bayi yang mendapat obat bersifat ototoksik (seperti gentamicin) selama lebih 5 hari
atau kombinasi dengan "loop diuretics"
- Bayi/anak demam disertai kejang
- Anak yang mengalami infeksi yang berhubungan dengan "sensoryneural hearing
loss" (SNHL) (misalnya meningitis , mumps, measles)
- Kelainan neurodegeneratif (seperti sindrom Hunter) atau penyakit-penyakit
demielinisasi (seperti Friedreich ataxia, sindrom Charcot-Marie-Tooth).

Deteksi dini gangguan pendengarn bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan


Subyektif dan Obyektif. Namun saat ini yang menjadi baku emas skrining gangguan
pendengaran pada bayi adalah pemeriksaan Otoacustic Emission (OAE) dan Automated
ABR (AABR).

1. Pemeriksaan Subyektif antara lain dengan menggunakan rangsangan akustik atau


bunyi-bunyian yang mempunyai intensitas tertentu dan nilai responnya, yaitu dengan
gerakan reflek auropalpebral seperti:
- Behavioral Observation Audiometry (BOA)
- Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
- Play Audiometry

a. Behavioral Observation Audiometry (BOA)


Pemeriksaan yang penting dilakukan yaitu dengan melihat perilaku anak
terhadap stimulus suara yang diberikan.tes ini berdasarkan respon aktif pasien
terhadap stimulus bunyi dan merupakan respon yang disadari (voluntary
response). Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan ini antara lain usia, kondisi
mental, kemauan melakukan tes, rasa takut, kondisi neurologik yang berhubungan
dengan perkembangan motorik dan persepsi . pemerikasaan dilakukan pada
ruangan yang cukup tenang ( bising lingkungan tidak lebih dari 60dB, idealnya
pada ruang kedap suara. Sebagai sumber bunyi dapat digunakan tepukan tangan,
tambur, bola plastic berisi pasir, remasan kertas minyak, bel, terompet karet,
mainan yang mempunyai bunyi frekuensi tinggi (squaker toy).

b. Visual Reinforcement Audiometry (VRA)


Mulai dapat dilakukan pada bayi usia 4-7 bulan dimana control neuromotor
berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang. Pada masa ini
respon unconditioned beralih menjadi respon conditioned. Pemeriksaan
pendengaran berdasarkan respon conditioned diperkuat dengan stimulus visual
dikenal sebagai VRA. Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan stimulus
visual, bayi akan member respon orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara
menoleh ke.arah sumber bunyi. Hal yang penting untuk diperhatikan sebelum

10
melakukan pemeriksaan ini adalah liang telinga harus bersih dan tidak ada
kelainan pada telinga tengah.

Penggunaan BOA dan VRA (Visual Reinforcement Audiometry) pada bayi


dan anak mempunyai keterbatasan untuk menentukan ambang batas pendengaran
yang sahih.

c. Play Audiometry
Pemeriksaan Play Audiometry (conditioned play audiometry) meliputi teknik
melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai pengamatan respon
motorik spesifik dalam suatu aktivitas permainan. Misalnya sebelum pemeriksaan
anak dilatih (conditioned) untuk memasukan benda tertentu ke dalam kotak segera
setelah mendengar bunyi. Stimulus biasanya diberikan melalui headphone.
Dengan mengatur frekuensi dan menentukan intensitas stimulus bunyi terkecil
yang dapat menimbulkan respon dapat ditentukan ambang pendengaran pada
frekuensi tertentu (spesifik).

2. Pemeriksaan Obyektif dilakukan dengan alat tes elektrofisiologik yaitu

- Brainstem Evoked Reponses Audiometry (BERA)


- Otoacoustic Emission (OAE)
- Timpanometri

a. Brainstem Evoked Reponses Audiometry (BERA)


Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) atau istilah lain Auditory
Brainstem Response (ABR) adalah pemeriksaan elektrofisiologik yang objektif,
non invasif, untuk menilai integritas sistem auditorik termasuk batang otak,
terhadap bunyi yang kita dengar, sehingga kita dapat mengetahui ambang
pendengaran maupun letak lesi pada sistem auditorik tersebut. BERA merupakan
cara pengukuran evoked potential (aktifitas listrik yang dihasilkan n.VIII, pusat-
pusat neural dan traktus didalam batang otak) sebagai respon terhadap stimulus
auditorik. BERA dapat dipakai untuk memeriksa bayi, anak, dewasa dan
penderita yang koma. Pemeriksaan BERA sebaiknya dilakukan pada ruang kedap
suara. Pada bayi diperlukan sedatif untuk mencegah internal noise. Bila
digunakan BERA otomatis, karena waktunya singkat dapat dilakukan tanpa
sedatif.

11
Tes BERA dapat menilai fungsi pendengaran bayi atau anak yang tidak kooperatif. Yang
tidak dapat diperiksa dengan cara konvensional. Berbeda dengan audiometry, alat ini bisa
digunakan pada pasien yang kooperatif maupun non-kooperatif seperti pada anak baru lahir,
anak kecil, pasien yang sedang mengalami koma maupun stroke, tidak membutuhkan
jawaban atau respons dari pasien seperti pada audiometry karena pasien harus menekan
tombol jika mendengar stimulus suara. Alat ini juga tidak membutuhkan ruangan kedap suara
khusus.13,25 Berbagai kondisi yang dianjurkan untuk pemeriksaan BERA antara lain : bayi
baru lahir untuk mengantisipasi gangguan perkembangan bicara/bahasa.

12
Prinsip Pemeriksaan

Prinsip pemeriksaan BERA adalah untuk menilai potensial listrik di otak


setelah pemberian rangsang sensoris berupa bunyi.
Mekanisme Kerja Pemeriksaan BERA

BERA mengarah pada pembangkitan potensial yang ditimbulkan dengan suara


singkat atau nada khusus yang ditransmisikan oleh transduser akustik dengan
menggunakan earphone atau headphone (headset). Bentuk gelombang yang
ditimbulkan dari respon tersebut dinilai dengan menggunakan elektrode permukaan
yang biasannya diletakkan pada bagian vertex kulit kepala dan pada lobu

Evaluasi Pemeriksaan BERA


Gelombang I, yang ditimbulkan oleh ujung koklear CN VIII, memberikan
informasi yang berharga mengenai aliran darah ke koklea, gelombang I di monitor
secara seksama untuk melihat adanya perubahan pada latensi atau penurunan
amplitudo.
Interval puncak gelombang I-II dan I-III dapat memberikan informasi distal
dan proksimal selama pembedahan CN VIII. Gelombang V dan latensi interval
puncak gelombang I-V di monitor untuk melihat adanya perubahan pada latensi dan
amplitudo. Latensi gelombang I-V memberikan informasi mengenai integritas CN
VIII terhadap batang otak auditori. Dalam hal patologi retrokoklear, banyak faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan BERA, termasuk derajat
kehilangan pendengaran sensorineural, kehilangan pendengaran asimetris, batasan
pengujian, dan faktor-faktor pasien lainnya.

13
Gambar 2.Jalur pendengaran dan lokasi anatomi yang berkaitan dengan
gelombang yang ditimbulkan oleh BERA.

b. Otoacoustic Emission (OAE) 23


Uji emisi otoacoustik mengukur integritas telinga bagian dalam.

Dikenal 2 jenis pemeriksaan OAE, yaitu spontaneus dan evoked OAE.


Spontaneus.OAE dapat timbul tanpa adanya stimulus bunyi, namum tidak semua
manusia memiliki spontaneus OAE sehingga manfaat klinisnya tidak diketahui.
Evoked OAE adalah OAE yang terjadi pasca pemberian stimulus, dibedakan menjadi

(1) Transient Evoked OAE (TEOAE)merupakan emisi suara yang dihasilka oleh
rangsangan bunyi dengan menggunakan durasi yang sangat pendek, biasanya
bunyi click, tetapi dapat juga tone burst
(2) Distortion Product OAE (DPOAE) merupakan emisi sebagian respon dari

14
dua rangsangan yang berbeda frekuensi. Stimulus terdiri dari dua bunyi murni
pada dua frekuensi (f1, f2; f2>f1) dan dua level intensitas (L1, L2).

Tujuan Pemeriksaan Emisi Otoakustik

Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai keadaan koklea
terutama sel rambut. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk antara lain:

a. Skrining pendengaran awal khususnya pada neonatus infan atau individu dengan

gangguan perkembangan

b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu

c. Membedakan gangguan sensori dan neural; pada gangguan pendengaran

sensorineural

d. Dapat memeriksa gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura) dan juga dapat

dilakukan pada pasien yang sedang tidur bahkan pada keadaan koma. 22,23

Syarat untuk Menghasilkan Emisi Otoakustik yang tepat

a. Liang telinga luar tidak obstruksi

b. Menutup rapat-rapat liang telinga dengan probe

c. Posisi yang optimal dari probe

d. Tidak ada penyakit telinga tengah

e. Sel rambut luar masih berfungsi

f. Pasien kooperatif

g. Lingkungan sekitar tenang

Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja OAE

Nonpatologi

a. Kesalahan dalam memasang probe

b. Serumen yang menghalangi probe

c. Debris atau benda asing dalam telinga

d. Vernix caseosa pada neonatus

e. Pasien yang tidak kooperatif

15
. Patologi

a. Telinga luar seperti:

- stenosis

- otitis eksterna

- kista

b. Membran timpani seperti : adanya perforasi

c. Telinga tengah seperti :

- Tekanan telinga tengah yang abnormal

- Otosklerosis

- Disartikulasi telinga tengah

- Kista

- Otitis media

d. Koklea

- Pemaparan obat-obat ototoksik atau pemaparan suara bising.

c. Timpanometri

Timpanometri merupakan pemeriksaan untuk menilai kondisi telinga tengah.


Gambaran timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negative di teinga
tengah ) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif. Melalui probe
tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga dapat diketahui besarnya
tekanan di liang telinga berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali ke arah keluar
oleh gendang telinga.26,28 Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes
OAE, dan bila terdapat gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus
ditunda sampai telinga tengah normal.27 Reflex akustik pada bayi juga berbeda dengan
orang dewasa. Dengan menggunakan probe tone frekuensi tinggi, reflex akustik bayi usia
4 bulan atau lebih sudah mirip dengan dewasa.

16
17
III. PENATALAKSANAAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN
ANAK

1. Edukasi dan dukungan orang tua


Gangguan pendengaran kongenital dapat memberikan dampak buruk bukan hanya
terhadap bayinya saja, namun dampak sosial dari orang tua pasien. Oleh karena itu sangat
diperlukan edukasi terhadap orang tua pasien mengenai penyakit anaknya sehingga orang tua
dapat mengerti dan memahami gangguan pendengaran yang dialami oleh anak.
Dengan meningkatnya pengetahuan orang tua mengenai gangguan pendengaran yang
dialami oleh anaknya, membuat orang tua lebih proaktif dalam mendukung keberhasilan
penatalaksanaan pada gangguan pendengaran.

2. Rehabilitasi pendengaran
Setelah diketahui seorang anak menderita ketulian, upaya rehabilitasi pendengaran
harus dilakukan sedini mungkin. American Joint Committee on Infant Hearing (2000)
merekomendasikan upaya rehabilitasi sudah harus dimulai sebelum usia 6 bulan. Penelitian-
penelitian telah membuktikan bahwa bila rehabilitasi yang optimal sudah dimulai sebelum
usia 6 bulan maka pada usia 3 tahun, perkembangan wicara anak yang mengalami ketulian
dapat mendekati kemampuan wicara anak normal.
Pemasangan alat bantu dengar (ABD) merupakan upaya dalam rehabilitasi
pendengaran yang akan dikombinasikan dengan terapi wicara atau audio verbal. Saat ini
dikenal beberapa rehabilitasi pendengaran, seperti: ABD, Assistive Listening Device (ALD)
dan Implantasi koklea.

a. Alat bantu dengar (ABD)


ABD adalah suatu perangkat elektronik yang berguna untuk memperkeras (amplikasi)
suara yang masuk ke dalam telinga, sehingga si pemakai dapat mendengar lebih jelas suara
yang ada disekitarnya.3 Tujuan dari pengunaan amplikasi adalah untuk menerima rangsangan
suara ke koklea dan dilanjutkan ke pusat pendengaran, sehingga meningkatkan kemampuan
pendengaran.5 ABD dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Jenis saku (pocket type, body worn type)
Digunakan pada penderita tuli dan merupakan alat bantu dengar yang paling kuat.
Alat ini disimpan dalam saku kemeja atau celana dan dihubungkan dengan sebuah
kabel ke alat yang dipasang di saluran telinga. Cara kerja alat ini sama dengan alat

18
bantu dengar yang lain. Tetapi yang membedakan adalah amplifier dan mikrofon pada
alat ini bisa ditaruh di saku berbentuk kotak biasanya dan dihubungkan dengan kabel
ke telinga.

Gambar 1. ABD jenis Saku

2. Jenis belakang telinga (BTE: Behind the Ear)


Jenis alat bantu pendengaran ini diletakkan di belakang telinga dan dikaitkan di
bagian atas daun telinga. Alat ini ditahan oleh bentuk telinga sesuai dengan kanal
telinga sehingga suara dari alat bantu pendengaran ini diteruskan ke gendang telinga.

Gambar 2. ABD jenis BTE


3. Jenis ITE (In The Ear)
Jenis ini diletakkan di dalam daun telinga. Alat ini akan menutup saluran telinga
sepenuhnya. Seperti halnya BTE, jenis tipe ini mudah dioperasikan dapat sesuai
dengan kebanyakan rangkaian yang dikembangkan.

19
Gambar 3. ABD jenis ITE

4. Jenis ITC (In The Canal)


Jenis ini diletakkan di dalam saluran kanal telinga dan tidak terlalu tampak kelihatan
dibandingkan dengan jenis BTE ataupun ITE. Karena bentuknya yang lebih kecil
sehingga jenis ini pasti lebih sukar untuk dimodifikasi dan tidak semua tipe rangkaian
dapat pas untuk model ini.

Gambar 4. ABD jenis ITC

5. Jenis CIC (Completely In the Canal)


Jenis alat bantu dengar yang satu ini dipasang jauh di dalam saluran kanal telinga dan
umumnya tidak dapat dilihat. Karena bentuknya yang begitu kecil sehingga tidak
semua tipe rangkaian dapat sesuai dengan model ini. Pada dasarnya cara kerja alat
pendengaran ini sama dengan jenis BTE melainkan letaknya saja yang berbeda.

20
Gambar 5. ABD jenis CIC

Selain itu masih ada lagi jenis khusus seperti :


a. Jenis kacamata (spectacle aid)
ABD ditempatkan pada kacamata bagian belakang. Umumnya jenis BTE, namun
dapat juga jenis bone conduction. Secara kosmetis jenis ini memberikan penampilan
lebih baik karena penderita seolah menggunakan kacamata. Pemanfaatan cara ini
untuk ABD jenis hantaran tulang kurang efektif karena tekanan penggetar tulang
kurang efektif penggetar tulang (bone vibrator) tidak stabil.
b. Hantaran tulang (bone conduction aid)
ABD jenis hantaran tulang digunakan pada gangguan pendengaran / tuli jenis
hantaran (konduktif). Biasanya dimanfaatkan pada kasus atresia liang telinga. Juga
digunakan pada kasus dimana sewaktu- waktu liang telinga terisi cairan yang berasal
dari infeksi telinga tengah. ABD jenis hantaran tulang dibedakan menjadi:
1. ABD jenis hantaran tulang konvensional
Suara dari luar akan menggetarkan bone vibrator yang dipasang pada prosesus
mastoid. Getaran tulang dihasilkan oleh penggetar tulang (bone vibrator) yang
ditempelkan pada tulang mastoid dengan bantuan ikat kepala khusus (head band),
kacamata atau plastik mirip bando. Kerugian ABD jenis ini adalah tidak praktis,
penampilan kurang menarik, butuh amplifikasi besar dan timbul lecet pada kulit
yang menempel dengan bone vibrator. Pilih model ABD pada sistim ini adalah
jenis saku atau BTE.
2. Bone Anchored Hearing Aid (BAHA)
Jenis alat bantu dengar tipe ini dipasang permanen di dalam kulit di belakang
telinga, yaitu sebuat lempeng titanium dan prossesor. Prinsip kerjanya yaitu

21
lempeng titanium menerima rangsang dari luar kemudian diolah di prosessor dan
dilanjutkan ke telinga bagian dalam melalui tulang.

Gambar 6. Bone Anchored Hearing Aid (BAHA)

3. CROS (contralateral routing of signals)


Alat ini digunakan oleh penderita yang hanya mengalami gangguan fungsi
pendengaran pada salah satu telinganya. Mikrofon dipasang pada telinga yang
tidak berfungsi dan suaranya diarahkan kepada telinga yang berfungsi melalui
sebuah kabel atau sebuah transmiter radio berukuran mini. Dengan alat ini,
penderita dapat mendengarkan suara dari sisi telinga yang tidak berfungsi.
4. BICROS (bilateral CROS)
Jika telinga yang masih berfungsi juga mengalami penurunan fungsi pendengaran
yang ringan, maka suara dari kedua telinga bisa diperkeras dengan alat ini.

c. Assistive Listening Device (ALD)


ALD adalah perangkat elektronik untuk meningkatkan kenyamanan mendengar pada
kondisi lingkungan pendengaran tertentu seperti menonton televisi, mendengar telepon,
mendengar suara bel rumah atau pada saat berada di ruang aula. ALD dapat dipergunakan
tersendiri atau dipasang pada ABD dengan maksud mengoptimalkan kerja ABD. Beberapa
jenis ALD, seperti: sistem kabel, sistem FM (Frequency Modulation), sistem infra merah,
induction loop.

22
d. Implan koklea
Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan
menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan
berkomunikasi.
Implan koklea berfungsi untuk menggantikan fungsi rambut getar dalam rumah siput
yang telah rusak sehingga stimulasi suara dapat diterima kembali oleh saraf pendengaran
untuk selanjutnya diteruskan ke otak untuk diterjemahkan sebagai bunyi. Implan koklea
memiliki bagian dalam yang harus diletakkan dalam rumah siput melalui tindakan operasi.
Implan diletakkan diantara tulang tengkorak kepala dan kulit kepala sementara serabut
elektroda dimasukkan ke dalam rongga koklea tempat dimana beradanya rambut getar yang
telah rusak.
Indikasi pemasangan implant koklea adalah keadaan tuli saraf berat bilateral atau tuli
total bilateral yang tidak/sedikit mendapat manfaat dengan alat bantu dengar konvensional,
usia 12 bulan sampai 17 tahun, tidak ada kontra indikasi medis dan calon pengguna
mempunyai perkembangan kognitif yang baik. Sedangkan kontraindikasi pemasangan implan
koklea adalah tuli akibat kelaianan pada jalur saraf pusat (tuli sentral), proses penulangan
koklea, koklea tidak berkembang.
Berdasarkan jenis tuli yang diderita pasien, dibawah ini akan dijelaskan
penatalaksanaan secara lebih rinci, yaitu:
1. Tuli kongenital sensorineural
Pada tuli kongenital sensorineural bilateral maupun unilateral, dengan derajat tuli
ringan tatalaksana awal menggunakan amplikasi, namun bila derajat tuli berat maka dapat
dilakukan tindakan implantasi koklea. Durasi penggunaan amplikasi sangat bervariasi, namun
umumnya dilakukan saat usia bayi 3-6 bulan. Secara umum penggunaan implantasi dengan
segera menunjukkan kemampuan pendengaran dan bicara anak lebih baik. ABD CROS
digunakan pada penderita tuli berat pada satu sisi telinga (unilateral) sedangkan bila tuli
bilateral dapat menggunakan BICROS.3 Risiko penggunaan implan kolea adalah facial palcy,
kegagalan penggunaan alat dimana dianggap sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tidak
bisa dilakukan, meningitis bacterial. Oleh karena itu bayi yang akan menjalani implant
koklea harus mendapat vaksinasi pneumococcal 2 minggu sebelum implantasi.
2. Tuli kongenital konduktif
Pada keadaan tuli kongenital konduktif pilihan penatalaksanaan dapat menggunakan
ABD jenis hantaran tulang, BAHA implant atau pembedahan perbaikan atresia. ABD jenis
hantaran tulang merupakan intervensi pertama pada anak dengan atresia bilateral dan

23
biasanya digunakan pada usia tahun pertama. Sebuah ABD jenis hantaran tulang dapat
merangsang kedua koklea dengan penjalaran suara melalui tengkorak. Sekitar usia 5 tahun,
perbaikan atresia ataupun BAHA implant sudah dapat dilakukan.
Jika mikrotia berhubungan dengan atresia, maka terlebih dahulu dilakukan perbaikan
mikrotia, umumnya dilakukan setelah usia 6 tahun, untuk menyediakan vaskularisasi saat
perbaikan bedah plastik.
Komponen dari implan koklea terdiri dari :
a. Sebuah mikrofon yang menangkap suara dari lingkungan
b. Sebuah speech processor yang memfilter suara secara selektif untuk memprioritaskan
kata-kata dan mengirimkan sinyal suara listrik melalui kabel tipis ke pemancar.
c. Sebuah pemancar atau transmitter, yang dipegang oleh sebuah magnet dan
ditempatkan di belakang telinga luar. Transmitter ini akan mengirimkan sinyal-sinyal
suara yang diproses untuk perangkat internal oleh induksi elektromagnetik.
d. Sebuah receiver (penerima) dan stimulator ditanamkan pada tulang
di bawah kulit, yang mengubah sinyal menjadi impuls listrik dan mengirimkannya
melalui kabel internal ke elektroda.

Gambar 7 : An atomi pemasangan implan koklea

24

Anda mungkin juga menyukai

  • KSJDVK
    KSJDVK
    Dokumen62 halaman
    KSJDVK
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Dfvaenr
    Dfvaenr
    Dokumen10 halaman
    Dfvaenr
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Ndfvebt
    Ndfvebt
    Dokumen2 halaman
    Ndfvebt
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • DETEKSI DINI DELAYED SPEECH
    DETEKSI DINI DELAYED SPEECH
    Dokumen27 halaman
    DETEKSI DINI DELAYED SPEECH
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Kdnevoek
    Kdnevoek
    Dokumen16 halaman
    Kdnevoek
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • SKDJNW
    SKDJNW
    Dokumen1 halaman
    SKDJNW
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Referat Laringitis Akut
    Referat Laringitis Akut
    Dokumen25 halaman
    Referat Laringitis Akut
    delariyani
    100% (1)
  • SDRH
    SDRH
    Dokumen2 halaman
    SDRH
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Jhbiyh
    Jhbiyh
    Dokumen14 halaman
    Jhbiyh
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Journal Reading-Translate
    Journal Reading-Translate
    Dokumen12 halaman
    Journal Reading-Translate
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Jhbiyh
    Jhbiyh
    Dokumen14 halaman
    Jhbiyh
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • LAPJAG NY C Ralat DR Syai
    LAPJAG NY C Ralat DR Syai
    Dokumen10 halaman
    LAPJAG NY C Ralat DR Syai
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Ultrasonograf (USG)
    Ultrasonograf (USG)
    Dokumen9 halaman
    Ultrasonograf (USG)
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Bimbingan BPH
    Bimbingan BPH
    Dokumen26 halaman
    Bimbingan BPH
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Hemoroid
    Hemoroid
    Dokumen30 halaman
    Hemoroid
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Ekrlvelr
    Ekrlvelr
    Dokumen1 halaman
    Ekrlvelr
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • MHGCHG
    MHGCHG
    Dokumen9 halaman
    MHGCHG
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Kvmkejr
    Kvmkejr
    Dokumen9 halaman
    Kvmkejr
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • F Tvlemf
    F Tvlemf
    Dokumen1 halaman
    F Tvlemf
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Ervet
    Ervet
    Dokumen38 halaman
    Ervet
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Ksdvnsij
    Ksdvnsij
    Dokumen19 halaman
    Ksdvnsij
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Fvsetb
    Fvsetb
    Dokumen13 halaman
    Fvsetb
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Kjcnekr
    Kjcnekr
    Dokumen3 halaman
    Kjcnekr
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Adfbe
    Adfbe
    Dokumen2 halaman
    Adfbe
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • SDFBRGT
    SDFBRGT
    Dokumen9 halaman
    SDFBRGT
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Scratch Referat
    Scratch Referat
    Dokumen7 halaman
    Scratch Referat
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Plantar Fasciitis: Disusun Oleh: Fadhila Ayu Safirina 1102013101 Pembimbing: Dr. Ridwan, SP.S
    Plantar Fasciitis: Disusun Oleh: Fadhila Ayu Safirina 1102013101 Pembimbing: Dr. Ridwan, SP.S
    Dokumen27 halaman
    Plantar Fasciitis: Disusun Oleh: Fadhila Ayu Safirina 1102013101 Pembimbing: Dr. Ridwan, SP.S
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Skjdnver
    Skjdnver
    Dokumen14 halaman
    Skjdnver
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat
  • Fbaerh
    Fbaerh
    Dokumen3 halaman
    Fbaerh
    Dhila Safirina
    Belum ada peringkat