Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia adalah self assesment, yaitu Wajib Pajak
diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri, menghitung pajak yang terutang, menyetornya,
serta melaporkan penghitungan dan penyetoran pajak tersebut, sedangkan fungsi Direktorat
Jenderal pajak adalah melakukan pengawasan atas sistem self assesment tersebut agar Wajib Pajak
melaksanakannya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan. Penghitungan pajak yang
terutang diatur dalam undang-undang material perpajakan sebagaimana tersebut dalam UU PPh
dan UU PPN. Sementara itu pendaftaran, penyetoran, dan pelaporan pajak, serta wewenang
Direktorat Jenderal pajak diatur dalam undang-undang formal perpajakan sebagaimana tercantum
dalam UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP), yang mengatur
tentang hak dan kewajiban Wajib Pajak serta wewenang Direktorat Jenderal Pajak, termasuk
sanksi perpajakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan
2. Kewajiban wajib pajak
Dalam menghitung jumlah yang dipakai untuk dasar pengenaan pajak, diperlukan bantuan dari
wajib pajak dengan cara mengisi dan memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT). Setiap orang yang
telah menerima SPT pajak dari inspeksi pajak mempunyai kewajiban :
a. Mengisi SPT pajak itu menurut keadaan yang sebenarnya
b. Menandatangani sendiri SPT itu
c. Mengembalikan SPT pajak kepada inspeksi pajak dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Wajib pajak harus memenuhi kewajibannya membayar pajak yang telah ditetapkan, pada waktu
yang telah ditentukan pula. Terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya membayar
pajak, dapat diadakan paksaan yang bersifat langsung, yaitu penyitaan atau pelelangan barang-
barang milik wajib pajak.
a. WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, disyaratkan adanya fotokopi akte
kematian atau laporan kematian dari instansi yang berwenang;
b. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, disyaratkan adanya
surat nikah/ akte perkawinan dari catatan sipil :
c. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak. Apabila sudah selesai
dibagi, disyaratkan adanya keterangan tentang selesainya warisan tersebut dibagi oleh para
ahli waris ;
d. WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi, disyaratkan adanya akte pembubaran yang
dikukuhkan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang ;
e. Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai BUT,
disyaratkan adanya permohonan WP yang dilampiri dokumen yang mendukung bahwa BUT
tersebut tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan sebagai WP;
f. WP Orang Pribadi lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai WP.
Pencabutan Pengukuhan Sebagai PKP dilakukan dalam hal :
a. PKP pindah alamat;
b. WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi;
c. PKP lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai PKP;
8. Pembayaran Pajak
· Cara pembayaran pajak:
· Membayar sendiri pajak terutang
· Melalui pemotongan dan pemungutan pihak lain
· Melalui pajak di luar negeri
· Pemungutan PPN oleh pihak penjual atau pihak yang ditunjuk pemerintah
· Pembayaran pajak lainnya antara lain: PBB (dilunasi berdasarkan SPPT), BPHTB (perolehan
hak atas tanah dan bangunan), Bea Materai
9. Macam-macam SSP
a. SSP Standar
SSP Standar adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak atau berfungsi untuk melakukan
pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor Penerima Pembayaran, dan
digunakan sebagai bukti pembayaran dengan bentuk, ukuran, dan isi yang telah ditetapkan.
Lembar ke-1: Untuk Arsip Wajib Pajak;
Lembar ke-2 : Untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara (KPPN);
Lembar ke-3: Untuk dilaporkan oleh Wajib Pajak ke KPP;
Lembar ke-4 : Untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran;
Lembar ke-5: Untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain sesuai dengan ketentuan
perundangan perpajakan yang berlaku.
b. SSP Khusus
SSP Khusus adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke Kantor Penerima
Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan menggunakan mesin
transaksi dan atau alat lainnya yang isinya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak nomor PER-01/Pj./2006, dan mempunyai fungsi yang sama dengan SSP
Standar dalam administrasi perpajakan. SSP Khusus dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran
yang telah mengadakan kerja sama Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) dengan
Direktorat Jenderal Pajak. SSP Khusus dicetak :
· pada saat transaksi pembayaran atau penyetoran pajak sebanyak 2 (dua) lembar, yang
berfungsi sama dengan lembar ke-1 dan lembar ke-3 SSP Standar;
· terpisah sebanyak 1 (satu) lembar, yang berfungsi sama dengan lembar ke-2 SSP Standar
untuk diteruskan ke KPPN sebagai lampiran Daftar Nominatif Penerimaan (DNP).
- SKPLB diterbitkan sehubungan dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT LB yang diajukan
restitusi, SPT LB yang tidak diajukan restitusi, SPT Nihil, maupun SPT KB.
- Dalam hal SPT LB diajukan restitusi, Ditjen Pajak harus menerbitkan surat ketetapan pajak
(SKPLB atau SKPN atau SKPKB) dalam jangka waktu 12 bulan.
- Dalam hal permohonan restitusi atas SPT LB tersebut diajukan oleh Wajib Pajak dengan
kriteria tertentu, Dirjen Pajak setelah melakukan penelitian harus menerbitkan Surat
Keputusan Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPKP) paling lambat 3 bulan sejak permohonan
diterima (untuk PPh) dan paling lambat 1 bulan sejak permohonan diterima (untuk PPN).
- Setelah menerbitkan SKPKP tersebut di atas, Dirjen Pajak masih dapat melakukan
pemeriksaan terhadap wajib pajak dimaksud dan menerbitkan surat ketetapan pajak. Dan
apabila hasil pemeriksaan tersebut berupa SKPKB, jumlah kekurangan pajaknya dikenakan
sanksi kenaikan 100%.
Peninjauan Kembali
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, maka Wajib Pajak masih
memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan
Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui
Pengadilan Pajak. Pengajuan permohonan PK dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3
(tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan
Hakim Pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis
baru atau sejak putusan banding dikirim. Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan PK diterima.
Sumber:
www.pajakonline.com
www.pajak.go.id
Resmi, Siti 2009. Perpajakan Teori dan Kasus. Edisi 5.Jakarta: Salemba Empat.
Waluyo, 2007, perpajakan Indonesia, Buku 1 Edisi 7, Jakarta : Salemba Empat