Anda di halaman 1dari 178

MODUL

CLINICAL SKILL LAB 4


TIM PENYUSUN
Ketua : dr. Ika F. Buntoro, M.Sc
Anggota : dr. S. M. J. Koamesah, MMR, MMPK
dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M
dr. Jansen Lalandos, Sp.OG
dr. Herman P. L. Wungouw, Sp.Rad
dr. Elisabeth L. Setianingrum, Sp.PK
dr. Azaria A. Adam, M.Biomed
Kontributor : dr. Made Anggara Wisesa Mahayasa
Editor : dr. Marcindy P. A. Haning

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karunia-Nya
dapat diselesaikan penyusunan buku panduan clinical skill laboratory (CSL)
IV ini dengan baik. Buku ini diberikan kepada mahasiswa yang mengambil
mata kuliah CSL IV pada semester IV dan instruktur yang mendampingi
mahasiswa pada kegiatan ketrampilan ini.
Sebelum menggunakan buku ini, mahasiswa hendaknya membaca
tujuan dan sasaran pembelajaran dengan seksama sehingga diskusi dapat
terarah untuk pencapaian kompetensi yang diharapkan. Penyusun
mengharapkan mahasiswa dapat memperoleh manfaat yang optimal
setelah mempelajari dan mengerjakan ketrampilan dalam buku panduan
ini.
Diharapkan buku panduan ini dapat memberikan dorongan kepada
mahasiswa untuk meningkatkan ketrampilan klinis sehingga meningkatkan
kinerja dan pelayanan sebagai seorang dokter.
Penyusun menyampaikan banyak terima kasih kepada berbagai pihak
yang sudah banyak membantu terselesaikannya buku panduan ini.
Semoga buku panduan ini dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa
kedokteran Universitas Nusa Cendana.

Kupang, Juni 2017

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
COVER.................................................................................................... i
TIM PENYUSUN...................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
TATA TERTIB ......................................................................................... vi
Pertemuan 1. Keterampilan Anamnesis Pasien dengan Gangguan
Jantung dan Pembuluh Darah ...................................... 1
Pertemuan 2. Keterampilan Pemeriksaan Tekanan Darah & Nadi,
Pemeriksaan Vena Jugularis ........................................ 6
Pertemuan 3. Keterampilan Pemeriksaan Fisik Jantung ..................... 13
Pertemuan 4. Keterampilan Pemasangan dan interpreasi EKG .......... 28
Pertemuan 5. Keterampilan Penilaian Radiologi Jantung .................... 43
Pertemuan 6. Keterampilan Sistem Pembuluh Darah Perifer .............. 49
Pertemuan 7. Keterampilan Anamnesis Pasien Dengan Gangguan
Paru ............................................................................. 53
Pertemuan 8. Keterampilan Pemeriksaan Fisik Diagnostok Paru ........ 63
Pertemuan 9. Keterampilan Pengambilan dan Pengiriman Swab
Nasofaringeal dan Orofaringeal .................................... 70
Pertemuan 10. Keterampilan Teknik Nebulizer.................................... 75
Pertemuan 11. Keterampilan Penilaian Radiologi Paru ....................... 82
Pertemuan 12. Keterampilan Anamnesis Pada Penderita dengan
Kelainan Mata ............................................................ 86
Keterampilan Pemeriksaan Visus pada Bayi dan Anak 91
Keterampilan Pemeriksaan Visus (Naturalis dan
Koreksi) ........................................................................ 92
Keterampilan Penulisan Resep Kacamata.................... 93
Keterampilan Pemeriksaan Segmen Anterior dan
Posterior Bola
Mata ............................................................................. 94
Keterampilan Pemeriksaan Pergerakan Bola Mata ...... 95
Keterampilan Tes Konfrontasi ...................................... 96
Keterampilan Amsler Grid............................................. 97
Keterampilan Pemeriksaan Buta Warna ....................... 98
Keterampilan Pemeriksaan Tekanan Bola Mata
Metode Palpasi............................................................. 99
Keterampilan Pemeriksaan Tekanan Bola Mata
Tonometri Schiotz
................................................................................... 1
00
Keterampilan Pemberian Salep dan Tetes Mata......... 101
Keterampilan Anel Test .............................................. 102
Keterampilan Eye Dressing ........................................ 102
Keterampilan Epilasi Bulu Mata .................................. 103

iv
Pertemuan 13. Keterampilan Anamnesis dan Pemeriksaan THT,
Pengambilan
Benda Asing di Telinga dan Hidung Menghentikan
Perdarahan di Hidung, Pemeriksaan pendengaran
................................................................................. 106
Pertemuan 28. Keterampilan Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Kulit
(Bercak
Pada Kulit, Dermografi dan Inspeksi Perianal) ......... 125
Pertemuan 29. Keterampilan Pemeriksaan Lampu Wood, Kompresi
Pada Vena Varikosum, Rozerplasty Kuku, Ekstraksi
Komedo, Eksisi Tumor Jinak, Teknik Insisi dan Drainase
Abses ......................................................................... 139

v
Tata Tertib Clinical Skill Laboratory (CSL)
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana
Mahasiswa yang melakukan praktik di Laboratorium Fakultas
Kedokteran Undana, harus mematuhi tata tertib laboratorium, seperti di
bawah ini:
A. Sebelum praktikum, mahasiswa diharuskan :
1. Membaca penuntun belajar keterampilan klinis sistem atau
penuntun praktikum yang bersangkutan dan bahan bacaan
rujukan tentang keterampilan yang akan dilakukan.
2. Menyediakan alat atau barang sesuai dengan petunjuk pada
penuntun yang bersangkutan.
B. Pada saat praktikum, setiap mahasiswa:
1. Setiap mahasiswa wajib berpakaian bersih, rapi dan sopan. Tidak
diperkenankan memakai baju kaos (T-Shirt) dan sandal.
Mahasiswa wanita tidak diperkenankan memakai pakaian ketat
dan tipis sehingga tembus pandang, dan/ atau rok di atas lutut.
2. Mahasiswa laki-laki tidak diperkenankan memanjangkan rambut
hingga menyentuh kerah baju, ataupun menutupi mata.
3. Setiap mahasiswa wajib memakai jas praktikum dalam keadaan
rapi dan bersih. Bagi mahasiswa yang berjilbab, jilbab wajib
dimasukkan kedalam jas laboratorium.
4. Mahasiswa tidak diperkenankan memanjangkan kuku lebih dari 1
mm.
5. Setiap mahasiswa wajib menggunakan tanda identitas yang
mencantumkan nama lengkap dan NIM.
6. Setiap mahasiswa peserta CSL wajib mempelajari dan membawa
manual keterampilan yang akan dipelajari dalam bentuk hard
copy/soft copy.
7. Setiap mahasiswa wajib berperan aktif dalam proses
pembelajaran.
8. Setiap mahasiswa wajib dan bertanggung jawab menjaga dan
memelihara peralatan/ bahan yang digunakan. Tidak merusak
bahan dan alat latihan keterampilan. Setiap kerusakan harus
diganti dalam waktu maksimal satu minggu.
9. Setiap mahasiswa tidak diperkenankan menggunakan alat
komunikasi selama proses CSL berlangsung. Semua alat
komunikasi dimasukkan kedalam tas dalam keadaan silent.

vi
10. Setiap mahasiswa wajib hadir paling lambat 5 menit sebelum
waktu kegiatan yang ditentukan dan tidak diperkenankan masuk
kelas bila proses CSL sudah dimulai.
11. Jika hendak meninggalkan ruangan CSL pada saat proses
pembelajaran berlangsung, setiap mahasiswa wajib meminta izin
dan menitipkan kartu mahasiswa/KTP/SIM pada dosen pengajar.
Kartu identitas dapat diambil setelah mahasiswa kembali ke
ruangan.
12. Setiap mahasiswa pada saat CSL tidak diperkenanka nmelakukan
kegiatan yang tidak berhubungan dengan proses pembelajaran
dan/atau mengganggu proses pembelajaran.
13. Setiap mahasiswa wajib memperlakukan manekin layaknya
seorang pasien hidup dengan menjunjung tinggi etika profesi
dokter terhadap pasien, termasuk tidak mencoret manekin,
memotret secara sengaja atau selfie dengan manekin untuk tujuan
dipublikasikan ke akun media sosial pribadi.
14. Setiap mahasiswa yang melakukan pelanggaran aturan nomor 1-
13 dapat dikeluarkan dari ruang CSL oleh instruktur pengajar dan
dianggap tidak hadir pada CSL tersebut, serta dapat diberhentikan
untuk mengikuti kegiatan CSL selanjutnya.
15. Meninggalkan ruangan latihan keterampilan dalam keadaan rapi
dan bersih.
16. Aturan diatas berlaku sejak memasuki koridor skill lab.
17. Mahasiswa harus menghadiri kegiatan akademik minimal 80 %
dari total jam blok berjalan dan apabila kurang dari itu, maka
mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti Ujian OSCE dengan
nilai akhir K.
18. Apabila instruktur tidak hadir, ketua kelas segera melaporkan ke
pengelola blok.
19. Mahasiswa boleh minta izin dengan alasan penting:
a. Yang bersangkutan sakit
b. Orang tua dirawat/sakit berat/meninggal
c. Mewakili Fakultas atau Universitas pada kegiatan-kegiatan
resmi
20. Apabila mahasiswa tidak dapat hadir karena sakit, maka wajib
mengumpulkan surat sakit dari dokter praktik/ klinik berlisensi/
Rumah sakit paling lambat 1 hari setelah ketidakhadiran yang
dilengkapi dengan nama terang dokter pemeriksa, tanda tangan,
lama sakit, stempel klinik/ rumah sakit, nomor telepon dokter
pemeriksa atau klinik/ rumah sakit.
21. Apabila mahasiswa tidak dapat hadir karena mewakili Fakultas
atau Universitas, wajib memasukkan surat izin dari Pimpinan
Fakultas/Universitas paling lambat 3 hari sebelumnya.
22. Surat sakit dan surat izin di fotokopi 3 rangkap dan diserahkan ke
pengelola blok, MEU, dan Prodi.

vii
Setiap mahasiswa dilarang menandatangani daftar hadir bagi
mahasiswa lain. Jika terbukti melakukan hal tersebut untuk pertama kali,
yang menandatangani dan di tanda tangankan dianggap tidak hadir untuk
satu hari pelajaran. Jika terbukti melakukan dua kali, dianggap tidak hadir
untuk lima hari pelajaran. Jika terbukti melakukan tiga kali, maka dianggap
tidak hadir untuk semua proses akademik pada blok bersangkutan.

viii
Pertemuan 1
Keterampilan Anamnesis Pasien Dengan Gangguan Jantung Dan
Pembuluh Darah
Pengertian
Sebelum kita melakukan pemeriksaan fisik, maka terlebih dahulu kita
harus melakukan komunikasi dokter dengan pasien (anamnesis). Kegiatan
ini penting sebagai awal dari pemeriksaan fisik dan dapat membantu
pemeriksa dalam mengarahkan diagnosis penyakit pada pasien. Begitu
pentingnya anamnesis ini, maka kadang-kadang belum kita lakukan
pemeriksaan fisik maka diagnosis sudah dapat diperkirakan.
Capaian Pembelajaran :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu:
1. Mempersiapkan pasien dalam rangka anamnesis
2. Melakukan komunisasi / anamnesis dengan pasien secara lengkap
3. Menentukan diagnosis dan diagnosis banding terkait keluhan utama

Media dan alat bantú pembelajaran :


a. Daftar panduan belajar untuk anamnesis
b. Status penderita pulpen, pensil.
Metode Pembelajaran
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Parsipasi aktif dalam skills lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list/daftar tilik dengan sistim skor

1
Deskripsi Kegiatan
KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI
1. Pengantar 5 menit - Instruktur menerangkan tentang tujuan
keterampilan ini
- Instruktur memperlihatkan bahan danalat
yang diperlukan untuk melakukan
keterampilan ini
2.Bermain 20 Menit - Mengatur posisi duduk mahasiswa
peran tanya
- Dua orang dosen (instruktor/co-instruktur)
& jawab
memberikan contoh bagaimana cara
melakukan anamnesis secara umum.
Satu orang dosen iInstruktur) sebagai
dokter dan satu sebagai pasien.
Mahasiswa menyimak dan mengamati
- Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
(instruktur) memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
- Selanjuntya kegiatan dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik pada manekin atau
probandus
- Mahasiswa dapat memperhatikan dan
menanyakan hal-hal yang belum
dimengerti dan dosen (instruktur)
menanggapinya.
3.Praktik 55 menit - Mahasiswa dibagi menjadi pasangan-
bermain pasangan. Seorang mentor diperlukan
peran untuk mengamati 2 pasangan
dengan
- Setiap pasangan berpraktik, satu orang
umpan balik
sebagai dokter (pemeriksa) dan satu
orang sebagai pasien secara serentak
- Mentor memberikan tema khusus atau
keluhan utama kepada pasien dan
selanjutnya akan ditanyakan oleh si
pemeriksa (dokter)
- Mentor berkeliling diantara mahasiwa dan
melakukan supervisi menggunakan
ceklist
- Setiap mahasiswa paling sedikit berlatih

2
satu kali
4.Curah 10 menit - Curah pendapat/diskusi : Apa yang
pendapat/ dirasakan mudah ? Apa yang sulit ?
diskusi Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai
pasien. Apa yang dapat dilakukan oleh
dokter agar pasien merasa lebih nyaman
?
- Dosen (instruktur) menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti
Total waktu 90 menit

3
Keterampilan Anamnesis Pasien Dengan Keluhan Gangguan Jantung
Dan Pembuluh Darah
NO LANGKAH KLINIK SKOR
0 1 2
Persiapan pasien
1 Persilahkan pasien masuk ke dalam ruangan
2 Sapalah pasien dan keluarganya dengan penuh
keakraban
3 Perkenalkan diri sambil menjabat tangan pasien dan
keluarganya
4 Mempersilahkan duduk berseberangan/berhadapan
5 Berikan respon yang baik dalam rangka membina
sambung rasa / menunjukkan sikap empati
6 Menjaga suasana santai dan rileks. Berbicara dengan
lafal yang jelas dengan menggunakan bahasa yang
dipahami, dan menyebutkan nama pasien
7 Berikan informasi umum pada pasien atau
keluarganya tentang anamnesis yang akan anda
lakukan, tujuan dan manfaat anamnesis tersebut
untuk keadaan pasien
Berikan jaminan pada pasien dan keluargannya
tentang kerahasiaan semua informasi yang
didapatkan pada anamnesis tersebut.
8 Jelaskan tentang hak-hak pasien pada pasien atau
keluarganya, misalnya tentang hak untuk menolak
menjawab pertanyaan yang dianggapnya tidak perlu
dijawab
Anamnesis umum
9 Menanyakan indentitas:nama, umur, alamat,
pekerjaan
10 Menanyakan keluhan utama (nyeri dada)
Anamnesis terpimpin
11 Menggali riwayat penyakit sekarang.
Tanyakan:
 Onset dan durasi nyeri dada: timbul mendadak,
kapan dan sudah berapa lama

4
 Sifat nyeri dada: terus menerus atau intermitten
 Penjalaran nyeri dada: lengan/tangan, dagu,
punggung, atau menetap didada
 Tanyakan gejala lain yang berhubungan:
- Jantung berdebar-debar, sesak napas, batuk,
berkeringat, rasa tentindih beban berat, rasa
tercekik, masuk angin
- Mual, muntah, nyeri perut/ulu hati
- Kejang, pusing, otot lemah /lumpuh, nyeri
pada ekstremitas, edema (bengkak)
- Pingsang, badan lemah/lelah
12 Menggali penyakit dahulu serupa dan yang berkaitan,
untuk menilai apakah penyakit sekarang ada
hubungannya yang lalu
13 Menggali penyakit keluarga dan lingkungan dengan:
 Tanyakan apakah ada anggota keluarga yang
menderita/pernah menderita penyakit /ganguan
yang sama
 Mengenai penyakit menular, tanyakan seberapa
dekat/sering bertemu dengan anggota keluarga
yang sakit
Mengakhiri anamnesis
14 Lakukan cross check hal-hal yang telah ditanyakan
15 Menuliskan hasil anamnesis pada lembar anamnesis
Membuat diagnosis utama dan diagnosis banding
dari hasil anamnesis
Mempersilahkan pasien untuk bertanya atau
menyampaikan hal-hal yang belum ditanyakan oleh
pemeriksa
16 Jelaskan pada pasien bahwa fase ini hanyalah fase
awal dari serangkaian pemeriksaan untuk dapat
mengetahui penyakit yang diderita pasien dan masih
diperlukan pemeriksaan fisis untuk mempertajam
diagnosis
17 Mengarahkan pasien untuk melakukan pemeriksaan
selanjutnya dan atau mempersilahkan pasien keluar
dengan mengucapkan salam dan berjabat tangan

5
Pertemuan 2
Pemeriksaan Tekanan Darah & Nadi, Pemeriksaan Tekanan Vena
Jugularis
Pengertian
Sebelum dilakukan pemeriksaan fisik jantung, maka pemeriksaan
kardiovaskuler biasanya dimulai dengan pemeriksaan tekanan darah,
nadi/denyut jantung dan pulsasi arteri , tekanan vena jugularis
Pemeriksaan tekanan darah dan nadi merupakan bagaian dari
tanda vital yang harus dilakukan pada setiap pasien yang datang dengan
jenis keluhan penyakit apapun. Sedangkan tekanan vena jugularis
dilakukan pada pasien dengan keluhan gangguan jantung dan pembuluh
darah.
Tekanan vena jugularis atau Jugular Venous Pressure (JVP) adalah
gambaran tekanan pada atrium dextra dan tekanan diastolic pada ventrikel
dextra, Pulsasi pada vena jugularis dapat menyatakan abnormalitas
konduksi dan fungsi katup trikuspidalis. JVP menggambarkan volume
pengisian dan tekanan pada jantung bagian kanan. Tekanan pada vena
jugularis sama dengan level yang berhubungan dengan tekanan pada
atrium kanan (vena sentral).
Tekanan vena jugularis atau Jugular Venous Pressure (JVP) adalah
salah satu pengukuran pada sistem vena secara tidak langsung. Secara
langsung, tekanan vena sentral dapat diukur dengan memasukkan Central
Venous Cathether (CVC) line melalui vena subclavia dan ujungnya
langsung bermuara ke vena cava superior. Cara tersebut adalah cara
invasive sehingga mungkin banyak hal yang harus dipertimbangkan
sebelum dilakukan tindakan invasive tersebut. Jika memang cara tersebut
tidak dilakukan, maka bisa diukur dengan cara yang tidak invasive. Cara
tersebut salah satunya adalah dengan pengukuran Jugular Venous
Pressure (JVP). Vena jugularis mungkin tidak terlihat pada orang sehat
dengan posisi tegak. Namun, vena jugularis mungkin baru bisa terlihat saat
seseorang dalam posisi berbaring di sepanjang permukaan musculus
sternocleidomastoideus. Peningkatan JVP merupakan tanda dari gagal
jantung kanan.
Pada gagal jantung kanan, bendungan darah di ventrikel dextra
akan diteruskan ke atrium dextra dan vena cava superior sehingga tekanan
pada vena jugularis akan meningkat. Sedangkan pada gagal jantung kiri,
bendungan di ventrikel sinistra akan diteruskan ke atrium sinistra dan vena
pulmonalis sehingga terjadi bendungan paru. Akan tetapi, tekanan pada
vena jugularis tidak akan meningkat. Peningkatan JVP dapat terlihat
sebagai adanya distensi vena jugularis, yaitu JVP akan tampak hingga
setinggi leher, jauh lebih tinggi daripada normal.

6
Capaian pembelajaran:
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu:
1. Mempersiapkan alat dalam rangka pemeriksaan tekanan darah,
nadi dan pemeriksaan vena jugularis pada pasien dengan keluhan
jantung dan pembuluh darah.
2. Mempersiapkan pasien dalam rangka pemeriksaan tekanan darah,
nadi dan pemeriksaan vena jugularis pada pasien dengan keluhan
jantung dan pembuluh darah.
3. Melakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan pemeriksaan
vena jugularis pada pasien dengan keluhan jantung dan pembuluh
darah.
4. Menentukan interpretasi hasil pemeriksaan.
Media dan alat bantu pembelajaran :
1. Daftar panduan belajar untuk anamnesis
2. Status penderita pulpen, pensil
3. Stopwatch
4. Stetokop
5. Sfygnomanometer air raksa
6. 2 buah mistar
7. Spidol/bolpoin
Metode Pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Parsipasi aktif dalam skills lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list/daftar tilik dengan sistim skor

7
Deskripsi Kegiatan
KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2.Bermain 30 menit 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
peran tanya
2. Satu orang dosen (instruktor/co-instruktur)
& jawab
memberikan contoh bagaimana cara
melakukan pemeriksaan tekanan darah,
nadi dan pemeriksaan vena jugularis pada
probandus/manekin. Mahasiswa
menyimak dan mengamati
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
(instruktur) memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. Selanjuntya kegiatan dilanjutkan dengan
pemeriksaan tekanan darah, nadi dan
pemeriksaan vena jugularis pada manekin
atau probandus
5. Mahasiswa dapat memperhatikan dan
menanyakan hal-hal yang belum
dimengerti dan dosen (instruktur)
menanggapinya.
3.Praktik 100 1. Mahasiswa dibagi menjadi pasangan-
bermain menit pasangan. Seorang mentor diperlukan
peran untuk mengamati 2 pasangan
dengan
2. Setiap pasangan berpraktik, satu orang
umpan balik
sebagai dokter (pemeriksa) dan satu orang
sebagai pasien secara serentak
3. Mentor berkeliling diantara mahasiwa dan
melakukan supervisi menggunakan ceklis
4. Setiap mahasiswa paling sedikit berlatih
satu kali
4.Curah 15 menit 1. Curah pendapat/diskusi: Apa yang
pendapat/ dirasakan mudah? Apa yang sulit?
diskusi Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai pasien.
Apa yang dapat dilakukan oleh dokter agar
pasien merasa lebih nyaman?
2. Dosen (instruktur) menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan

8
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti.
Total waktu 150
menit

9
Keterampilan Pemeriksaan Tekanan Darah & Nadi, Pemeriksaan
Tekanan Vena Jugularis

NO. LANGKAH KLINIK SKOR


0 1 2
A. Melakukan persiapan alat
1 Siapkan alat untuk memeriksa tekanan darah:
stetoskop dan tensimeter
2 Siapkan alat untuk memeriksa tekanan vena
jugularis: penggaris
B. Mempersiapkan pasien
3 Memberikan penjelasan pemeriksaan sehubungan
dengan tindakan yang akan dilaksanakan
4 Meminta persetujuan pasien dan keluarga untuk
tindakan yang akan dilakukan
5 Melakukan cuci tangan
C. Melakukan kegiatan pemeriksaan
PEMERIKSAAN NADI
6 Pemeriksaan disuruh tenang
7 Meletakkan lengan yang akan diperiksa dalam
keadaan rileks
8 Menggunakan jari telunjuk dan jari tengah untuk
meraba a. Radialis
9 Menghitung frekuensi denyut nadi minimal 15 detik
(bila denyutan nadi teratur, tetapi bila tidak teratur
maka dihitung dalam 1 menit dan dicocokkan
dengan denyut jantung)
PENGUKURAN TEKANAN DARAH
10 Pemeriksa menempatkan diri di sebelah kanan
pasien
11 Menempatkan penderita dalam keadaan duduk /
berbaring dengan lengan rileks, sedikit menekuk
pada siku dan bebas dari tekanan oleh pakaian
12 Pasien disuruh rileks dan tenang
13 Menempatkan tensimeter dengan membuka aliran
air raksa, mengecek saluran pipa dan meletakkan
manumeter vertikal

10
14 Menggunakan stetoskop dengan corong bel yang
terbuka
15 Memasang manset sedemikian rupa sehingga
melingkari lengan atas secara rapi dan tidak terlalu
ketat (2 cm di atas siku) dan sejajar jantung
16 Dapat meraba pulsasi arteri brachialis di fossa
cubiti sebelah medial
17 Dengan satu jari meraba pulsasi a. Brachialis
dengan cepat sampai 30 mmHg di atas hilangnya
pulsasi / melaporkan hasilnya
18 Menurunkan tekanan manset perlahan-lahan
sampai pulsasi arteri teraba kembali/melaporkan
hasil sebagai tekanan sistolik palpatoir
19 Mengambil stetoskop dan memasang corong bel
pada tempat perabaan pulsasi
20 Memompa kembali manset sampai 30 mmHg di
atas tekanan sistolik palpatoir
21 Mendengarkan melalui stetoskop, sambil
menurunkan perlahan-lahan / 3 mmHg per detik
dan melaporkan saat mana mendengar bising
pertama / sebagai tekanan sistolik
22 Melanjutkan penurunan tekanan manset sampai
suara bising yang terakhir sehingga setelah itu
tidak terdengar bising lagi / sebagai tekanan
diastolik
23 Dapat melaporkan hasil tekanan sistolik dan
diastolik
24 Melepas manset dan mengembalikannya
25 Alat tensimeter/pengukur tekanan darah disimpan
selalu dalam keadaan air raksa tertutup
PEMERIKSAAN TEKANAN VENA JUGULARIS
27 Penderita mula-mula disuruh berbaring tanpa
bantal, bila titik kolaps tidak nampak penderita
disuruh pakai bantal
28 Membuat penderita berbaring dengan kepala
membuat sudut 30 derajat,
29 Leher penderita harus diluruskan
30 Lakukan penekanan pada vena jugularis di bawah

11
angulus mandibula dan kemudian cari dan
tentukan titik kolaps
31 Tentukan jaraknya berapa cm dari bidang yang
melalui angulus ludovici (patokan jarak dari vena
cava superior + 5 cm /selanjutnya disebut R cm)
32 Bila permukaan titik kolaps vena jugularis berada
5cm dibawah bidang horizontal yang melalui
angulus ludovici, maka tekanan vena jugularis
(CVP) sama dengan R-5 cm H20, sedang bila titik
kolapsnya berasa 2 cm diatas berarti CVP R + 2
cm H20
33 Bila hasil CVP kiri dan kanan berbeda, maka
diambil CVP yang lebih rendah
D. Bagian akhir
34 Menjelaskan ke pasien bahwa pemeriksaan telah
selesai
35 Mempersilahkan pasien duduk kembali ke tempat
duduk
36 Melakukan cuci tangan
37 Menjelaskan hasil pemeriksaan dan interpretasi
pemeriksaan
38 Mengakhiri pertemuan

12
Pertemuan 3
Keterampilan Pemeriksaan Fisik Jantung

Pendahuluan
Pemeriksaan fisis jantung meliputi:
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
Inspeksi
Voussure Cardiaque
Merupakan penonjolan setempat yang lebar di daerah precordium, di
antara sternum dan apeks codis. Kadang-kadang memperlihatkan pulsasi
jantung . Adanya voussure Cardiaque, menunjukkan adanya :
- kelainan jantung organis
- kelainan jantung yang berlangsung sudah lama/terjadi sebelum
penulangan sempurna
- hipertrofi atau dilatasi ventrikel
Ictus
Pada orang dewasa normal yang agak kurus, seringkali tampak
dengan mudah pulsasi yang disebut ictus cordis pada sela iga V, linea
medioclavicularis kiri. Pulsasi ini letaknya sesuai dengan apeks jantung.
Diameter pulsasi kira-kira 2 cm, dengan punctum maksimum di tengah-
tengah daerah tersebut. Pulsasi timbul pada waktu sistolis ventrikel. Bila
ictus kordis bergeser ke kiri dan melebar, kemungkinan adanya
pembesaran ventrikel kiri. Pada pericarditis adhesive, ictus keluar terjadi
pada waktu diastolis, dan pada waktu sistolis terjadi retraksi ke dalam.
Keadaan ini disebut ictus kordis negatif.
Pulpasi yang kuat pada sela iga III kiri disebabkan oleh dilatasi arteri
pulmonalis. Pulsasi pada supra sternal mungkin akibat kuatnya denyutan
aorta. Pada hipertrofi ventrikel kanan, pulsasi tampak pada sela iga IV di
linea sternalis atau daerah epigastrium. Perhatikan apakah ada pulsasi
arteri intercostalis yang dapat dilihat pada punggung. Keadaan ini
didapatkan pada stenosis mitralis. Pulsasi pada leher bagian bawah dekat
scapula ditemukan pada coarctatio aorta.

13
Palpasi
Hal-hal yang ditemukan pada inspeksi harus dipalpasi untuk lebih
memperjelas mengenai lokalisasi punctum maksimum, apakah kuat
angkat, frekuensi, kualitas dari pulsasi yang teraba.
Pada mitral insufisiensi teraba pulsasi bersifat menggelombang disebut
”vantricular heaving”. Sedang pada stenosis mitralis terdapat pulsasi yang
bersifat pukulan-pukulan serentak diseubt ”ventricular lift”.
Disamping adanya pulsasi perhatikan adanya getaran ”thrill” yang
terasa pada telapak tangan, akibat kelainan katup-katup jantung. Getaran
ini sesuai dengan bising jantung yang kuat pada waktu auskultasi.
Tentukan pada fase apa getaran itu terasa, demikian pula lokasinya.
Perkusi
Kegunaan perkusi adalah menentukan batas-batas jantung. Pada
penderita emfisema paru terdapat kesukaran perkusi batas-batas jantung.
Selain perkusi batas-batas jantung, juga harus diperkusi pembuluh darah
besar di bagian basal jantung.
Pada keadaan normal antara linea sternalis kiri dan kanan pada
daerah manubrium sterni terdapat pekak yang merupakan daerah aorta.
Bila daerah ini melebar, kemungkinan akibat aneurisma aorta.
Auskultasi Jantung
Pemeriksaan auskultasi jantung meliputi pemeriksaan :
- bunyi jantung
- bising jantung
- gesekan pericard
Bunyi Jantung
Untuk mendengar bunyi jantung diperhatikan :
1. Lokalisasi dan asal bunyi jantung
2. Menentukan bunyi jantung I dan II
3. Intensitas bunyi dan kualitasnya
4. Ada tidaknya unyi jantung III dan bunyi jantung IV
5. Irama dan frekuensi bunyi jantung
6. Bunyi jantung lain yang menyertai bunyi jantung.
1. Lokalisasi dan asal bunyi jantung
Auskultasi bunyi jantung dilakukan pada tempat-tempat sebagai berikut :
- ictus cordis untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup
mitral

14
- sela iga II kiri untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari
katup pulmonal.
- Sela iga III kanan untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari
aorta
- Sela iga IV dan V di tepi kanan dan kiri sternum atau ujung sternum
untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup trikuspidal.
Tempat-tempat auskultasi di atas adalah tidak sesuai dengan tempat
dan letak anatomis dari katup-katup yang bersangkutan. Hal ini akibat
penghantaran bunyi jantung ke dinding dada.
2. Menentukan bunyi jantung I dan II
Pada orang sehat dapat didengar 2 macam bunyi jantung :
- bunyi jantung I, ditimbulkan oleh penutupan katup-katup mitral dan
trikuspidal. Bunyi ini adalah tanda mulainya fase sistole ventrikel.
- Bunyi jantung II, ditimbulkan oleh penutupan katup-katup aorta dan
pulmonal dan tanda dimulainya fase diastole ventrikel.
Bunyi jantung I di dengar bertepatan dengan terabanya pulsasi nadi pada
arteri carotis.

Intesitas dan Kualitas Bunyi


Intensitas bunyi jantung sangat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
sebagai berikut:
- tebalnya dinding dada
- adanya cairan dalam rongga pericard

15
Intensitas dari bunyi jantung harus ditentukan menurut pelannya atau
kerasnya bunyi yang terdengar. Bunyi jantung I pada umumnya lebih keras
dari bunyi jantung II di daerah apeks jantung, sedangkan di bagian basal
bunyi jantung II lebih besar daripada bunyi jantung I. Jadi bunyi jantung I di
ictus (M I) lebih keras dari M 2, sedang didaerah basal P 2 lebih besar dari
P 1, A 2 lebih besar dari A 1.
Hal ini karena:
M1 : adalah merupakan bunyi jantung akibat penutupan mitral secara
langsung.
M2 : adalah penutupan katup aorta dan pulmonal yang dirambatkan.
P1 : adalah bunyi M 1 yang dirambatkan
P2 : adalah bunyi jantung akibat penutupan katup pulmonal secara
langsung
A1 : adalah penutupan mitral yang dirambatkan
A2 : adalah penutupan katub aorta secara langsung
A 2 lebih besar dari A 1.
Kesimpulan : pada ictus cordis terdengar bunyi jantung I secara langsung
sedang bunyi jantung II hanya dirambatkan (tidka langsung)
Sebaliknya pada daerah basis jantung bunyi jantung ke 2 merupakan
bunyi jantung langsung sedang bunyi I hanya dirambatkan.
Beberapa gangguan intensitas bunyi jantung.
- Intensitas bunyi jantung melemah pada :
* orang gemuk
* emfisema paru
* efusi perikard
* payah jantung akibat infark myocarditis
- Intensitas bunyi jantung I mengeras pada:
* demam
* morbus basedow (grave’s disease)
* orang kurus (dada tipis)
- Intensitas bunyi jantung A 2 meningkat pada :
* hipertensi sistemik
* insufisiensi aorta
- Intensitas bunyi jantung A 2 melemah pada :
* stenose aorta

16
* emfisema paru
* orang gemuk
- Intensitas P 2 mengeras pada :
* Atrial Septal Defect (ASD)
* Ventricular Septal Defect (VSD)
* Patent Ductus Arteriosus (PDA)
* Hipertensi Pulmonal
- Intensitas P 2 menurun pada :
* Stenose pulmonal
* Tetralogy Fallot, biasanya P 2 menghilang
Intensitas bunyi jantung satu dengan yang lainnya (yang berikutnya)
harus dibandingkan. Bila intensitas bunyi jantung tidak sama dan berubah
ubah pada siklus-siklus berikutnya, hal ini merupakan keadaan myocard
yang memburuk.
Perhatikan pula kualitas bunyi jantung
Pada keadaan splitting (bunyi jantung yang pecah), yaitu bunyi jantung
I pecah akibat penutupan katup mitral dan trikuspid tidak bersamaan. Hal
ini mungkin ditemukan pada keadaan normal.
Bunyi jantung ke 2 yang pecah, dalam keadaan normal ditemukan
pada waktu inspitasi di mana P 2 lebih lambat dari A 2. Pada keadaan
dimana splitting bunyi jantung tidak menghilang pada respirasi (fixed
splitting), maka keadaan ini biasanya patologis dan ditemukan pada ASD
dan Right Bundle branch Block (RBBB).
Ada tidaknya bunyi jantung III dan bunyi jantung IV
Bunyi jantung ke 3 dengan intensitas rendah kadang-kadang terdengar
pada akhir pengisian cepat ventrikel, bernada rendah, paling jelas pada
daerah apeks jantung.
Dalam keadaan normal ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.
Dalam keadaan patologis ditemukan pada kelainan jantung yang berat
misalnya payah jantung dan myocarditis. Bunyi jantung 1, 2 dan 3 memberi
bunyi seperti derap kuda, disebut sebagai protodiastolik gallop.
Bunyi jantung ke 4 terjadi karena distensi ventrikel yang dipaksakan
akibat kontraksi atrium, paling jelas terdengar di apeks cordis, normal pada
anak-anak dan pada orang dewasa didapatkan dalam keadaan patologis
yaitu pada A – V block dan hipertensi sistemik.
Irama yang terjadi oleh jantung ke 4 disebut presistolik gallop

17
Irama dan frekuensi bunyi jantung
Irama dan frekuensi bunyi jantung harus dibandingkan dengan
frekuensi nadi. Normal irama jantung adalah teratur dan bila tidak teratur
disebut arrhytmia cordis.
Frekuensi bunyi jantung harus ditentukan dalam semenit, kemudian
dibandingkan dengan frekuensi nadi. Bila frekuensi nadi dan bunyi jantung
masing-masing lebih dari 100 kali per menit disebut tachycardi dan bila
frekuensi kurang dari 60 kali per menit disebut bradycardia.
Kadang-kadang irama jantung berubah menurut respirasi. Pada waktu
ekspirasi lebih lambat, keadaan ini disebut sinus arrhytmia. Hal ini
disebabkan perubahan rangsang susunan saraf otonom pada S – A node
sebagai pacu jantung.
Jika irama jantung sama sekali tidak teratur disebut fibrilasi.
Adakalanya irama jantung normal sekali-kali diselingi oleh suatu denyut
jantung yang timbul lebih cepat disebut extrasystole, yang disusul oleh fase
diastole yang lebih panjang (compensatoir pause). Opening snap,
disebabkan oleh pembukaan katup mitral pada stenosa aorta, atau stenosa
pulmonal kadang-kadang didapatkan sistolik dalam fase sistole segera
setelah bunyi jantung I dan lebih jelas pada hypertensi sistemik.
Bunyi jantung lain yang menyertai bunyi jantung.
Bising Jantung (cardiac murmur)
Disebabkan :
- aliran darah bertambah cepat
- penyempitan di daerah katup atau pembuluh darah
- getaran dalam aliran darah oleh pembuluh yang tidak rata
- aliran darah dari ruangan yang sempit ke ruangan yang besar
- aliran darah dari ruangan yang besar ke ruangan yang sempit.
Hal-hal yang harus diperhatikan bila terdengar bising ;
1. Lokalisasi Bising
Tiap-tiap bising mempunyai lokalisasi tertentu, dimana bising itu
terdengar paling keras (punctum maximum). Dengan menetukan
punctum maximum dan penyebaran bising, maka dapat diduga asal
bising itu :
- punctum maximum di apeks cordis, berasal dari katup mitral
- punctum maximum di sela iga 2 kiri, berasal dari katup pulmonal
- punctum maximum di sela iga 2 kanan, berasal dari katup aorta
- punctum maximum pada batas sternum kiri, berasal dari ASD atau
VSD.

18
2. Penjalaran Bising
Bising jantung masih terdengar di daerah yang berdekatan dengan
lokasi dimana bising itu terdengar maksimal, ke suatu arah tertentu,
misalnya :
- Bising dari stenosa aorta menjalar ke daerah carotis
- Bising insufiensi aorta menjalar ke daerah batas sternum kiri.
- Bising dari insufisiensi mitral menjalar ke aksilia, punggung dan ke
seluruh precordium.
- Bising dari stenosis mitral tidak menjalar atau hanya terbatas
kesekitarnya.
3. Intensitas Bising
Levine membagi intensitas bising jantung dalam 6 tingkatan :
Tingkat I : bising yang sangat lemah, hanya terdengar
dengan
konsentrasi.
Tingkat II : bising lemah, namun dapat terdengar segera
waktu
auskultasi.
Tingkat III : sedang, intensitasnya antara tingkat II dan
tingkat IV.
Tingkat IV : bising sangat keras, sehingga terdengar
meskipun stetoskop belum menempel di dinding
dada.
4. Jenis dari Bising
Jenis bising tergantung pada dase bising timbul :
Bising Sistole, terdengar dalam fase sistole (antara bunyi jantung 1 dan
bunyi jantung 2)
Dikenal 2 macam bising sistole :
- Bising sistole tipe ejection, timbul akibat aliran darah yang
dipompakan melalui bagian yang menyempit dan mengisi sebagian
fase sistole. Didapatkanpada stenosis aorta, punctum maximum di
daerah aorta.
- Bising sistole tipe pansistole, timbul sebagai akibat aliran balik yang
melalui bagian jantung yang masih terbuka dan mengisi seluruh
fase systole. Misalnya pada insufisiensi mitral.

19
Bising Diastole, terdengar dalam fase diastole (antara bunyi jantung 2
dan bunyi jantung 1), dikenal antara lain :
- Mid-diastole, terdengar pada pertengahan fase diastole misalnya
pada stenosis mitral.
- Early diastole, terdengar segara setelah bunyi jantung ke 2.
misalnya pada insufisiensi sorta.
- Pre-sistole, yang terdengar pada akhir fase diastole, tepat sebelum
bunyi jantung 1, misalnya pada stenosis mitral. Bising sistole dan
diastole, terdengar secara kontinyu baik waktu sistole maupun
diastole. Misalnya pda PDA

5. Apakah Bising Fisiologis atau Patologis


Bising fisiologis (fungsionil), perlu dibedakan dengan bising patalogis.
Beberapa sifat bising fungsionil :
- Jenis bising selalu sistole
- Intensitas bising lemah, tingkat I-II dan pendek,
- Pada umumnya terdengar paling keras pada daerah pulmonal,
terutama pada psisi telungkup dan ekspirasi penuh.
- Dipengaruhi oleh perubahan posisi.

20
Dengan demikian bising diastole, selalu merupakan bising patalogis,
sedang bising sistole, dapat merupakan merupakan bising patalogis
atau hanya fungsionil.
Bising fungsionil dijumpai pada beberapa keadaan :
- demam
- anemia
- kehamilan
- kecemasan
- hipertiroidi
- beri-beri
- atherosclerosis.
6. Kualitas dari BIsing
Apakah bising yang terdengar itu bertambahkeras (crescendo) atau
bertambah lemah (descrescendo). Apakah bersifat meniup (blowing)
atau menggenderang (rumbling).
Gerakan Pericard
Gesekan pericard merupakan gesekan yang timbul akibat gesekan
antara pericard visceral dan parietal yang keduanya menebal atau
permukaannya kasar akibat proses peradangan (pericarditis fibrinosa).
Gesekan ini terdengar pada waktu sistole dan diastole dari jantung, namun
kadang-kadang hanya terdengar waktu sistole saja. Gesekan pericard
kadang-kadang hanya terdengar pada satu saat saja (beberapa jam) dan
kemudian menghllang.
Gesekan pericard sering terdengar pada sela iga 4-5 kiri, di tepi
daerah sternum. Sering dikacaukan dengan bising jantung.

21
Pemeriksaan Fisik Jantung
Pengertian
Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan
adanya kelainan-kelainan dari suatu sistem atau suatu organ bagian tubuh
dengan cara melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) dan
mendengarkan (auskultasi)
Umumnya pemeriksaan ini dilakukan secara berurutan (inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi). Khusus untuk pemeriksaan abdomen,
sebaiknya auskultasi dilakukan sebelum palpasi.
Sebelum kita melakukan pemeriksaan fisik, maka terlebih dahulu kita
harus melakukan komunikasi dokter(pemeriksa) dengan pasien
(anamnesis). Kegiatan ini penting sebagai awal dari pemeriksaan fisik dan
dapat membantu pemeriksa dalam mengarahkan diagnosis penyakit pada
pasien. Begitu pentingnya anamnesis ini, maka kadang-kadang belum kita
lakukan pemeriksaan fisik maka diagnosis sudah dapat diperkirakan.
Secara khusus pemeriksaan fisik kardiovaskuler dalam
pelaksanaannya tidak beda jauh dengan sistim lain yaitu secara berurutan
dilakukan pemeriksaan melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk
(perkusi) dan mendengarkan (auskultasi).
Pemeriksaan fisik kardiovaskuler biasanya dimulai dengan
pemeriksaan tekanan darah dan denyut nadi . Kemudian diperiksa tekanan
vena jugularis, dan akhirnya baru pemeriksaan jantung.
Dalam pemeriksaan selanjutnya pada jantung disamping ditemukan
adanya hasil pemeriksaan normal, juga bisa kita dapati kelainan-kelainan
hasil pemeriksaan fisik yang meliputi antara lain: batas jantung yang
melebar, adanya berbagai variasi abnormal bunyi jantung dan bunyi
tambahan berupa bising (murmur).
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka pemeriksaan
penunjang cukup membantu pemeriksa dalam menegakkan diagnosis.
Indikasi :
Pemeriksaan fisik kardiovaskuler dilakukan untuk :
1. Kelengkapan dari rangkaian anamnesis yang dilakukan pada
pasien
2. Mengetahui diagnosis penyakit dari seorang pasien
3. Membantu dokter dalam melakukan tindakan selanjutnya pada
pasien
4. Mengetahui perkembangan serta kemajuan terapi pada pasien
5. Dipakai sebagai standar pelayanan dalam memberikan pelayanan
paripurna terhadap pasien.

22
Capaian pembelajaran :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu:
1. Mempersiapkan pasien dalam rangka pemeriksaan fisik
2. Melakukan pemeriksaan Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
secara terperinci
3. Melakukan pemeriksaan sesuai prosedur yang ada
4. Mengenal dan menentukan variasi abnormal bunyi jantung dan
bunyi tambahan (bising)
Media dan alat bantu pembelajaran :
a. Daftar panduan belajar untuk pemeriksaan fisik kardiovaskuler
b. Stetoskop, lap, wastafel (air mengalir), probandus / manekin /
Auscultation trainer dan Smartscope / Amplifier speaker system /
Dual head training stetoscope
c. Status penderita pulpen, pensil.
Metode Pembelajaran
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Parsipasi aktif dalam skills lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list/daftar tilik dengan sistim skor

23
Deskripsi Kegiatan
KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain 30 menit 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
peran tanya 2. Satu orang dosen (instruktor/co-instruktur)
& jawab memberikan contoh bagaimana cara
melakukan pemeriksaan fisik jantung pada
probandus/manekin. Mahasiswa
menyimak dan mengamati
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
(instruktur) memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. Selanjuntya kegiatan dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik jantung pada manekin
atau probandus
5. Mahasiswa dapat memperhatikan dan
menanyakan hal-hal yang belum
dimengerti dan dosen (instruktur)
menanggapinya.
3.Praktik 100 1. Mahasiswa dibagi menjadi pasangan-
bermain menit pasangan. Seorang mentor diperlukan
peran untuk mengamati 2 pasangan
dengan 2. Setiap pasangan berpraktik, satu orang
umpan balik sebagai dokter (pemeriksa) dan satu orang
sebagai pasien secara serentak
3. Mentor berkeliling diantara mahasiwa dan
melakukan supervisi menggunakan ceklist
4. Setiap mahasiswa paling sedikit berlatih
satu kali
4.Curah 15 menit 1. Curah pendapat/diskusi : Apa yang
pendapat/ dirasakan mudah? Apa yang sulit?
diskusi Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai pasien.
Apa yang dapat dilakukan oleh dokter agar
pasien merasa lebih nyaman ?
2. Dosen (instruktur) menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti
Total waktu 150
menit

24
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG
NO LANGKAH KLINIK SKOR
0 1 2
A. Melakukan persiapan alat
1 Siapkan alat untuk memeriksa
B. Mempersiapkan pasien
2 Memberikan penjelasan pemeriksaan sehubungan
dengan tindakan yang akan dilaksanakan
3 Meminta persetujuan pasien dan keluarga untuk
tindakan yang akan dilakukan
4 Melakukan cuci tangan
C. Melakukan kegiatan pemeriksaan
Inspeksi dan palpasi
1 Melakukan inspeksi dari sisi kanan pasien dan dari
arah kaki penderita untuk menentukan apakah
simetris atau tidak simetris
2. Kemudian lakukan inspeksi dari sisi sebelah kanan
tempat tidur pada dinding depan dada dengan
cermat, perhatikan adanya pulsasi
3. Perhatikan daerah apex kordis, apakah iktus kordis
nampak atau tidak nampak
4. Mempalpasi iktus kordis pada lokasi yang benar
5. Meraba iktus kordis dengan ujung jari-jari,
kemudian ujung satu jari
6. Meraba iktus kordis sambil mendengarkan suara
jantung untuk menentukan durasinya
7 Mempalpasi impuls ventrikel kanan dengan
meletakkan ujung jari-jari pada sela iga 3,4 dan 5
batas sternum kiri
8 Meminta penderita untuk menahan napas pada
waktu ekspirasi sambil mempalpasi daerah diatas
9 Mempalpasi daerah epigastrium dengan ujung jari
yang diluruskan untuk merasakan impuls/pulsasi
ventrikel kanan
10 Arah jari ke bahu kanan
11 Mempalpasi daerah sela iga 2 kiri untuk

25
merasakan impuls jantung pada waktu ekspirasi
12 Mempalpasi daerah sela iga 2 kanan untuk
meraskan impuls suara jantung dengan tekhnik
yang sama
Perkusi
13 Melakukan perkusi untuk menentukan batas
jantung yaitu dengan menentukan batas jantung
relatif yang merupakan perpaduan bunyi pekak dan
sonor
14 Menentukan batas jantung kanan relatif dengan
perkusi dimulai dengan penentuan batas paru hati,
kemudian 2 jari diatasnya melakukan perkusi dari
lateral ke medial
15 Jari tengah yang dipakai sebagai plessimeter
diletakkan sejajar dengan sternum sampai
terdenganr perubahan bunyi ketok sonor menjadi
pekak relatif (normal batas jantung kanan relatif
terletak pada linea sternalis kanan)
16 Batas jantung kiri relatif sesuai dengan iktus kordis
yang normal, terletak pada sela iga 5-6 linea
medioclavicularis kiri
17 Bila iktus kordis tidak diketahui, maka batas kiri
jantung ditentukan dengan perkusi pada linea
axillaris media ke bawah. Perubahan bunyi dari
sonor ke tympani merupakan batas paru-paru kiri.
Dari Batas paru-paru kiri dapat ditentukan batas
jantung kiri relatif
18 Dari atas (fossa supra clavicula) dapat dilakukan
perkusi ke bawah
Auskultasi
19 Penderita diminta untuk rileks dan tenang
29 Penderita dalam posisi berbaring dengan sudut 30o
21 Dalam keadan tertentu penderita dapat dirubah
posisinya (tidur miring, duduk)
22 Penderita diminta bernapas biasa
23 Pusatkan perhatian pertama pada suara dasar
jantung, baru perhatikan adanya suara tambahan
24 Mulailah Melakukan auskultasi pada beberapa

26
tempat yang benar :
 Di daerah apeks / Iktus kordis untuk
mendengar bunyi jantung yang berasal dari
katup mitral ( dengan corong stetoskop)
 Di daerah sela iga II kiri untuk mendengar bunyi
jantung yang berasal dari katup pulmonal
(dengan membran)
 Di daerah sela iga II kanan untuk mendengan
bunyi jantung berasal dari aorta (dengan
membran)
 Di daerah sela iga 4 dan 5 di tepi kanan dan
kiri sternum atau ujung sternum untuk
mendengar bunyi jantung yang berasal dari
katup trikuspidal (corong stetoscop)
25 Perhatikan irama dan frekuensi suara jantung
26 Bedakan antara sistolik dan diastolik
27 Usahakan mendapat kesan intensitas suara
jantung
28 Perhatikan adanya suara-suara tambahan atau
suara yang pecah
29 Tentukan apakah suara tambahan (bising) sistolik
atau diastolik
30 Tentukan daerah penjalaran bising dan tentukan
titik maksimunnya
D. Bagian akhir
31 Menjelaskan ke pasien bahwa pemeriksaan telah
selesai
32 Mempersilahkan pasien duduk kembali ke tempat
duduk
33 Melakukan cuci tangan
34 Menjelaskan hasil pemeriksaan dan interpretasi
pemeriksaan
35 Mengakhiri pertemuan

27
Pertemuan 4
Pemasangan Ekg dan interpretasi EKG
Pendahuluan
Elektrokardiografi (EKG) merupakan pemeriksaan noninfasif paling
sering digunakan sebagai alat bantu diagnosis penyakit jantung. Alat ini
sudah lama ditemukan, murah dan aman digunakan tetapi peranannya
sekarang belum dapat digantikan oleh alat lain.
Berbagai keadaan jantung dapat dideteksi dengan tepat oleh alat ini,
baik kelainan berupa kelainan elektris (mis. Aritmia), kelainan anatomis
(mis. Hipertropi bilik dan serambi), maupun kelainan lain (mis. Perikarditis).
Untuk pemeriksaan secara rutin biasanya dilakukan pengambilan 12
sandapan (lead) yaitu I, II, III, aVR, AVL, aVF, v1-6. Tetapi kadang-kadang
dilakukan cara lain untuk keperluan tertentu, mis. Monitor terus menerus
(24 jam sehari) yang digunakan untuk mendeteksi adanya perubahan-
perubahan di jantung penderita dalam keadaan darurat (mis. Di ICCU dan
bedah jantung). Untuk mengetahui perubahan EKG pada kegiatan sehari-
hari dilakukan rekaman secara terus menrus dengan alat monitor holter.
Serial EKG untuk jangka waktu tertentu dapat untuk menegakkan diagnosis
infark miokard akut secara pasti. Untuk lebih memastikan apakah
seseorang menderita penyakit jantung koroner atau tidak sering dilakukan
uji latih jantung.
Penemuan yang terbaru dari Ekokardigrafi yang jauh lebih canggih dan
mahal ternyata peranannya tidak dapat menggantikan alat EKG yang jauh
lebih sederhna. Dengan menggabungkan kedua alat terssebut maka
hasilnya sangat memuaskan.
Yang harus disadari adalah bahwa EKG merupakan suatu test
laboratorium, bukan merupakan alat diagnosis yang mutlak. Orang sakit
jantung bisa mempunyai gambaran EKG normal, sedang orang sehat
dapat mempunyai gambaran abnormal.
Indikasi :
Pemeriksaan Elektrokardiografi dilakukan untuk mengetahui :
1. Adanya kelainan-kelainan irama jantung
2. Adanya kelainan-kelainan miokard seperti infark
3. Adanya pengaruh obat-obat jantung terutama digitalis
4. Gangguan-gangguan elektrolit
5. Adanya perikarditis
6. Pembesaran jantung

28
Capaian pembelajaran :
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu:
a. Berhubungan dengan alat dan pasien :
1. Mempersiapkan pasien dan alat
2. Mletakkan elektroda pada tempat penekanan
3. Melaksanakan penyadapan
4. Membuat elektrokardiogram dan keterangannya
5. Merawat EKG setelah pemeriksaan

b. Berhubungan dengan pembacaan EKG :


1. Mengenal gelombang dan interpretasinya pada elektrokardiogram
normal
2. Mengenal ganggugan irama jantung
3. Mengenal pembesaran jantung
4. Mengenal kelainan iskemik jantung
Media dan alat bantú pembelajaran :
a. Daftar panduan belajar untuk pemeriksaan EKG
b. Alat EKG beserta kelengkapannya, probandus / manekin
c. Kertasinterpretasi EKG, pulpen, pensil.
Metode Pembelajaran
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Parsipasi aktif dalam skills lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list/daftar tilik dengan sistim skor

29
Pengertian
Elektrokardiografi (EKG) adalah pemantulan aktivitas listrik dari serat-
serat otot jantung secara goresan. Dalam perjalanan abad ini, perekaman
EKG sebagai cara pemeriksaan tidak invasif, sudah tidak dapat lagi
dihilangkan dari klinik. Sejak di introduksinya galvanometer berkawat yang
diciptakan oleh EINTHOVEN pada tahun 1903, galvanometer berkawat ini
merupakan suatu pemecahan rekor perangkat sangat peka dapat merekam
setiap perbedaan tegangan yang kecil sebesar milivolt.
Perbedaan tegangan ini terjadi pada luapan dan timbunan dari serat-
serat otot jantung. Perbedaan tegangan ini dirambatkan ke permukaan
tubuh dan diteruskan ke sandapan-sandapan dan kawat ke perangkat
penguat EKG. Aktivitas listrik mendahului penguncupan sel otot.
Tidak ada perangkat pemeriksaan sederhana yang begitu banyak
mengajar pada kita mengenai fungsi otot jantung selain daripada EKG.
Dengan demikian masalah-masalah diagnostik penyakit jantung dapat
dipecahkan dan pada gilirannya pengobatan akan lebih sempurna. Namun
kita perlu diberi peringatan bahwa EKG itu walaupun memberikan banyak
masukkan, tetapi hal ini tak berarti tanpa salah. Keluhan dan pemeriksaan
klinik penderita tetap merupakan hal yang penting. EKG seorang penderita
dengan Angina Pectoris dan pengerasaan pembuluh darah koroner dapat
memberikan rekaman yang sama sekali normal oleh karena itu EKG harus
selalu dinilai dalam hubungannya dengan keluhan-keluhan dan keadaan
klinis penderita.
Pada waktu sekarang, EKG sebagai perangkat elektronis sederhana
sudah digunakan secara luas pada praktik-praktik dokter keluarga, rumah-
rumah perawatan, dalam perusahaan, pabrik-pabrik atau tempat-tempat
pekerjaan lainnya. Dengan demikian pemeriksaan EKG dapat secara
mudah dan langsung dilakukan pada penderita-penderita yang dicurigai
menderita penyakit jantung dan pembuluh darah yang banyak ditemukan
dan banyak menyebabkan kematian. Didalam bab ini akan dibicarakan
beberapa aspek penggunaan EKG umum dalam bidang kardiovaskuler.
1.1. Penggunaan Umum EKG
Pada umumnya pemeriksaan EKG berguna untuk mengetahui :
aritmia, fungsi alat pacu jantung, gangguan konduksi interventrikuler,
pembesaran ruangan-ruangan jantung, IMA, iskemik miokard, penyakit
perikard, gangguan elektrolit, pengaruh obat-obatan seperti digitalis,
kinidin, kinine, dan berbagai kelainan lain seperti penyakit jantung
bawaan, korpulmonale, emboli paru, mixedema.
1.1.1. Gambaran Elektrokardiografi Normal
Kertas EKG mempunyai garis-garis baik vertikal maupun
horisontal berjarak 1 mm. Garis yang lebih tebal mempunyai
jarak 5 mm. Mengenai “waktu” diukur sepanjang garis
horisontal 1 mm = 0,04 detik atau 40 milidetik, 5 mm = 0,2

30
detik. “Voltage” listrik diukur sepanjang garis vertikal dan
dinyatakan dalam milimeter (10 mm = imV). Untuk praktisnya
kecepatan pencatatan adalah 25 mm/detik.
1.1.2. Kompleks Elektrokardiografi Normal.
Huruf besar QRS menunjukkan gelombang-gelombang
yang relatif besar (5mm) ; huruf kecil (qrs) menunjukkan
gelombang-gelombang kecil (dibawah 5 mm).
Gelombang P (P wave) : defleksi yang dihasilkan oleh
depolarisasi atrium. Gelombang Q (q) atau Q wave : defleksi
negatif pertama yang dihasilkan oleh depolarisasi ventrikel
dan mendahului defleksi positif pertama (R).
Gelombang R (r) atau R wave : defleksi positif pertama dari
depolarisasi ventrikel.
Gelombang S (s) atau S wave : defleksi negatif pertama
dari depolarisasi ventrikel setelah defleksi positif pertama R.
Gelombang T (T wave) defleksi yang dihasilkan sesudah
gelombang QRS oleh repolarisasi ventrikel.
Gelombang U (U wave) : suatu defleksi (biasanya positif)
terlihat setelah gelombang T dan mendahului gelombang P
berikutnya. Biasanya terjadi repolarisasi lambat pada sistem
konduksi inverventrikuler (Purkinje).
1.1.3. Nilai Interval Normal
Nilai R - R : jarak antara 2 gelombang R berturut-turut. Bila
irama ventrikel teratur, interval antara 2 gelombang R berturut-
turut dibagi dalam 60 detik akan memberikan kecepatan
jantung permenit (heart rate). Bila irama ventrikel tidak
terartur, jumlah gelombang R pada suatu periode waktu
(misalnya 10 detik) harus dihitung dan hasilnya dinayatakan
dalam jumlah permenit.
Contoh : bila 20 gelombang yang dihitung dalam suatu interval
10 detik, maka frekwensi jantung adalah 120 per menit.
Interval P-P : pada sinus ritme interval P-P akan sama dengan
interval R-R. Tetapi bila irama ventrikel tidak teratur atau bila
kecepatan atrium dan venrikel berbeda tetapi teratur, maka
interval P-P diukur dari titik yang sama pada 2 gelombang P
berturut-turut dan frekwensi atrial per menit dihitung
seperti halnya frekwensi ventrikel.
Interval P-R : Pengukuran interval ini untuk
mengetahui waktu konduksi atrio ventrikel. Termasuk disini
waktu yang diperlukan untuk depolarisasi atrium dan sebagian
depolarisasi atrium, tambah perlambatan eksitasi daripada

31
nodus atrio ventrikuler. Diukur mulai dari permulaan
gelombang P sampai permulaan kompleks QRS. Sebenarnya
lebih tepat interval ini disebut P-Q. Nilai normalnya : 0,12 -
0,20 detik.
Interval QRS : Interval ini adalah pengukuran seluruh
waktu depolarisasi ventrikel. Diukur dari permulaan
gelombang Q (R bila tidak terlihat Q) sampai akhir gelombang
S. Batas atas nilai normalnya adalah 0,1 detik. Kadang-
kadang pada sandapan prekordial V2 atau V3, interval ini
mungkin 0,11 detik.
Interval Q-T : Interval ini diukur dari permulaan
gelombang Q sampai akhir gelombang T. Dengan ini diketahui
lamanya sistole elektrik. Interval Q-T normal tidak melebihi
0,42 detik pada pria dan 0,43 detik pada wanita.
Interval Q-U : pengukuran ini mulai dari awal
gelombang Q sampai akhir gelombang U. Tidak diketahui arti
kliniknya.
1.1.4. Segmen Normal
Segmen P-R : adalah bagian dari akhir gelombang P
sampai permulaan kompleks QRS. Segmen ini normal adalah
isoelektris.
RS-T junction (J) : adalah titik akhir dari kompleks QRS
dan mulai segmen RS-T. Segmen RS-T (segmen S-T), diukur
mulai dari J sampai permulaan gelombang T. Segmen ini
biasanya isoelektris tetapi dapat bervaraisi antara 0,5 sampai
+ 2 mm pada sandapam prekordial. Elevasi dan depresinya
dibandingkan dengan bagian garis dasar (base line) antara
akhir gelombang T dan permulaan gelombang P (segmen T-
P).

Gambar III.1: Diagram dari kompleks, interval dan segmen


elektrokardiografi.
1.2. Kelainan kompleks pada beberapa penyakit.
Pada dasarnya bagi yang berpengalaman, tidaklah sulit
membedakan antara kompleks EKG normal dan yang ada kelainan.

32
Tetapi kadang-kadang ditemukan adanya gambaran EKG yang
tidak khas dan membingungkan kita. Oleh karena itu sebagai
patokan, maka berikut ini disajikan kelainan kompleks P-QRS-T
pada beberapa penyakit.
1.2.1.Kelainan gelombang P.
Kelainan penampilan (amplitudo, lamanya, bentuknya)
gelombang P pada irama dan kecepatan yang normal.
Misalnya P mitrale yang ditandai dengan gelombang P yang
tinggi, lebar dan “not ched” pada sandapan I dan II :
gelombang P lebar dan bifasik pada VI dan V2. Gambaran ini
menunjukkan adanya hipertrofi atrium kiri terutama pada
stenosis mitralis. Sedangkan P pulmonale ditandai dengan
adanya gelombang P yang tinggi, runcing pada sandapan II
dan III, dan mungkin disertai gelombang P tinggi dan bifasik
pada sandapan VI dan V2. Ditemukan pada korpulmonale dan
penyakit jantung kogenital.
Kelainan penampilan, irama dan kecepatan gelombang P
yang dapat berupa kelainan tunggal gelombang P misalnya
“atrial premature beat” yang bisa ditemukan pada penyakit
jantung koroner (PJK), intoksikasi digitalis. Selain itu dapat
ditemukan kelainan pada semua gelombang P disertai
kelainan bentuk dan iramanya misalnya fibrilasi atrium yang
dapat disebabkan oleh penyakit jantung rematik (PJR), pada
infark miokard.
Kelainan gelombang P lainnya berupa tidak adanya suatu
gelombang P, kompleks QRS-T timbul lebih cepat dari pada
biasanya.
Misalnya “ AV nodal premature beat” pada PJK,
intoksikasi digitalis, dimana bentuk kompleks QRS normal,
dan terdapat masa istirahat kompensatoir. Kelainan lain
berupa ekstrasistole ventrikel pada PJK, intoksikasi digitalis.
Seluruh gelombang P tidak nampak, tetapi bentuk dan
lamanya kompleks QRS adalah normal. Misalnya irama nodal
AV, takikardi nodal AV, atrial takikardi yang timbul akibat
intoksikasi digitalis, infark miokard, penyakit jantung hipertensi
(PJH). Gelombang P seluruhnya tidak tampak dengan
kelainan bentuk dan lamanya kompleks QRS. Misalnya
ventrikel takikardi, fibrilasi atrium yang dapat timbul pada PJR.
Penyakit jantung hipertensi (PJH).
1.2.2. Kelainan interval P-R
1.2.2.1. Interval P-R panjang menunjukkan adanya
keterlambatan atau blok konduksi AV. Misalnya pada
blok AV tingkat I dimana tiap gelombang P diikuti P-R

33
> 0,22 detik yang bersifat tetap atau sementara,
ditemukan pada miokarditis, intoksikasi digitalis, PJK,
idiopatik. Pada AV blok tingkat II yaitu gelombang P
dalam irama dan kecepatan normal, tetapi tidak
diikuti kompleks QRS, dan seringkali disertai
kelainan QRS, S - T dan T.
Interval P-R pada kompleks P-QRS-T mungkin
normal atau memanjang, tetapi tetap jaraknya. Blok
jantung A-V2 : 1 atau 3 : 1., berarti terdapat 2 P dan
hanya 1 QRS atau 3P&1QRS. Tipe lain dari blok
jantung ini ialah fenomena Wenkebach. Pada blok
jantung tingkat III atau blok jantung komplit irama dan
kecepatan gelombang P normal, irama kompleks
QRS teratur tetapi lebih lambat (20-40 kali per menit)
dari gelombang P. jadi terdapat disosiasi komplit
antara atrium dan ventrikel. Gambaran diatas ini
dapat ditemukan pada PJK, intoksikasi digitalis, IMA.
1.2.2.2. Interval P-R memendek yaitu kurang dari 0,1 detik
dengan atau tanpa kelainan bentuk QRS. Ditemukan
pada PJK intoksikasi digitalis, sindroma WPW.
1.2.3. Kelainan gelombang Q.
Gelombang Q patologis yang lebar > 1 mm atau > 0,4
detik dan dalamnya >2 mm (lebih 1/3 dari amplitudo QRS
pada sandapan yang sama) menunjukkan adanya miokard
yang nekrosis. Adanya gelombang Q di sandapan III dan aVR
merupakan gambaran yang normal.
1.2.4. Kelainan gelombang R dan gelombang S.
Dengan membandingkan gelombang R dan S disandapan
I dan III yaitu gelombang S di I dan R di III menunjukkan
adanya “right axis deviation”. Kelainan ini ditemukan pada
hipertrofi ventrikel kanan, stenosis mitral, penyakit jantung
bawaan, korpulmonale.
Sedangkan gelombang R di I dan S di III menunjukkan
adanya “ left axis deviati on”. Kelainan ini ditemukan pada
hipertrofi ventrikel kiri (LVH). Biasanya dengan menjumlahkan
voltase (kriteria voltasi) dari gelombang S di V1 dan R di V5
atau S V1 + R V6 > 35 mm atau gelombang R>27 mm di V5
atau V6 menunjukkan adanya LVH.
1.2.5. Kelainan kompleks QRS
1.2.5.1. Pada blok cabang berkas His dapat ditemukan
adanya kompleks QRS lebar dan atau “notched”
dengan gelombang P dan interval P-R normal.

34
Ditemukan pada PJK, PJR (Penyakit Jantung
Rematik).
1.2.5.2. Kompleks QRS berfrekwensi lambat dengan atau
tanpa kelainan bentuk tetapi iramanya teratur yaitu
pada sinus bradikardi, blok jantung 2:1, 3:1, blok
komplit terutama pada PJK, PJR, penyakit jantung
bawaan.
1.2.5.3. Kompleks QRS berfrekwensi cepat dengan atau tanpa
kelainan bentuk, yaitu pada sinus takikardi, atrial
takikardi, nodal takikardi, fibrilasi atrium, takikardi
ventrikel. Ditemukan pada PJK (Penyakit Jantung
Koroner), PJH (Penyakit Jantung Hipertensi), PJR
(Penyakit Jantung Rematik), infark miokard,
intoksikasi digitalis.
1.2.5.4. Irama QRS tidak tetap.
Kadang-kadang kompleks QRS timbul lebih
cepat dari biasa, misalnya “ AV nodal premature
beat”, “ventricular premature beat”. Ditemukan pada
PJK dan intoksikasi digitalis.
Irama kompleks QRS sama sekali tidak
teratur yaitu pada fibrilasi atrium dimana sering
ditemukan pada PJH, PJR, infark miokard dan
intoksikasi digitalis.
1.2.6. Kelainan segmen S-T.
Suatu kelainan berupa elevasi atau depresi segmen S-T
yang ragu-ragu, sebaiknya dianggap normal sampai terbukti
benar-benar ada kelainan pada suatu seri perekaman.
Bukanlah suatu kelainan, apabila elevasi segmen S-T tidak
melebihi 1 mm atau depresi tidak melebihi 0,5 mm, paling
kurang pada sandapan standar. Secara klinik elevasi atau
depresi segmen S-T pada 3 sandapan standar, biasanya
disertai deviasi yang sama pada sandapan yang sesuai,
menunjukkan adanya insufisiensi koroner. Adanya elevasi
segmen S-T merupakan petunjuk adanya infark miokard akut
atau perikarditis. Elevasi segmen S-T pada sandapan
prekordial menunjukkan adanya infark dinding anterior,
sedangkan infark dinding inferior dapat diketahui dengan
adanya elevasi segmen S-T pada sandapan II, III, dan aVF.
Untuk perikarditis biasanya tidak dapat dipastikan tempatnya
dan akan tampak elevasi di hampir semua sandapan. Elevasi
segmen S-T pada V4R ditemukan pada infark ventrikel kanan.

35
1.2.7. Kelainan gelombang T.
Adanya kelainan gelombang T menunjukkan adanya kelainan
pada ventrikel. Untuk itu dikemukakan beberapa patokan yaitu :
 Arahnya berlawanan dengan defleksi utama QRS pada
setiap sandapan.
 Amplitudo gelombang T > 1 mm pada sandapan I atau II
dengan gelombang R menyolok.
 Gelombang T terbalik dimana gelombang R menyolok.
 Lebih tinggi daripada perekaman sebelumnya atau lebih
tinggi 8 mm pada sandapan I,II, III.
Oleh karena begitu banyak penyebab kelainan gelombang T,
maka dalam menginterpretasi kelainan ini sebaiknya berhati-hati
dan mempertimbangkan seluruh gambaran klinik. Suatu diagnosis
khusus tidak dapat dibuat atas dasar perubahan-perubahan yang
tidak khas. Adanya gelombang T terbalik, simetris, runcing, disertai
segmen S-T konveks keatas, menandakan adanya iskemi miokard.
Kadang-kadang gelombang T sangat tinggi pada insufisiensi
koroner. Pada keadaan dimana defleksi QRS positif pada sandapan
I, sedangkan gelombang T pada sandapan I terbalik atau lebih
rendah dari gelombang T di sandapan III menunjukkan adanya
insufisiensi koroner. Gelombang T yang tinggi dan tajam pada
semua sandapan kecuali aVR dan aVL menunjukkan adanya
hiperkalemi. Gelombang T yang tinggi dan simentris dengan
depresi segmen S-T menunjukkan adanya infark dinding posterior.
1.2.8. Kelainan gelombang U.
Adanya gelombang U defleksi keatas lebih tinggi dari
gelombang T pada sandapan yang sama terutama V1-V4
menunjukkan adanya hipokalemi.
PRINSIP MEMBACA EKG
Untuk membaca EKG secara mudah dan tepat, sebaiknya
setiap EKG dibaca mengikuti urutan petunjuk di bawah ini
1. IRAMA
Pertama-tama tentukan irama sinus atau bukan. Apabila setiap
kompleks QRS didahului oleh sebuah gelombang P berarti irama
sinus, kalau tidak, maka berarti bukan irama sinus.
Bukan irama sinus dapat berupa suatu aritmia yang mungkin
fibrilasi, blok AV derajat dua atau tiga, irama jungsional, takikardia
ventrikular, dan lain lain.

36
2. LAJU QRS (QRS RATE)
Pada irama sinus, laju QRS normal berkisar antara 60 - 100
kali/min, kurang dari 60 kali disebut bradikardia sinus, lebih dari 100
kali disebut takikardia sinus.
Laju QRS lebih dari 150 kali/min biasanya disebabkan oleh
takikardia supraventrikular (kompleks QRS sempit), atau takikardia
ventrikular (kompleks QRS lebar).
Pada blok AV derajat tiga, selain laju QRS selalu harus
dicantumkan juga laju gelombang P (atrial rate).
EKG normal selalu regular. Irama yang tidak regular ditemukan
pada fibrilasi atrium, atau pada keadaan mana banyak ditemukan
ekstrasistol (atrium maupun ventrikel), juga pada sick sinus
syndrome.
3. AKSIS.
Aksis normal selalu terdapat antara -30° sampai +110°. Lebih
dari -30° disebut deviasi aksis kiri, lebih dari +110° disebut deviasi
aksis kanan, dan bila lebih dari +180° disebut aksis superior.
Kadang kadang aksis tidak dapat ditentukan, maka ditulis
undeterminable, misalnya pada EKG dimana defleksi positif dan
negatif pada kompleks QRS di semua sandapan sama besarnya.
4. INTERVAL -PR
Interval PR normal adalah kurang dari 0,2 detik. Lebih dari 0.2
detik disebut blok AV derajat satu. Kurang dari 0,1 detik disertai
adanya gelombang delta menunjukkan Wolff-Parkinson-White
syndrome.
5. MORFOLOGI
5.1. Gelombang P
Perhatikan apakah kontur gelombang P normal atau tidak.
Apakah ada P-pulmonal atau P-mitral.
5.2. Kompleks QRS
Adanya gelombang Q patologis menandakan old myocardial
infarction (tentukan bagian jantung mana yang mengalami infark
melalui petunjuk sandapan yang terlibat).
Bagaimana amplitudogelombang R dan S di sandapan
prekordial. Gelombang R yang tinggi di sandapan V1 dan V2
menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan (atau infark dinding
posterior). Gelombang R yang tinggi di sandapan V5 dan V6
dengan gelombang S yang dalam di sandapan V1 dan V2
menunjukkan hipertofi ventrikel kiri.

37
Interval QRS yang lebih dari 0,1 detik harus dicari apakah ada
right bundle branch block, left bundle branch block atau ekstra sistol
ventrikel.
5.3. segmen ST
Elevasi segmen ST menandakan infark miokard akut (tentukan
bagian mana dari jantung yang mengalami infark). Depresi segmen
ST menandakan iskemia.
5.4. Gelombang T
Gelombang T yang datar (flat 7) menandakan iskemia.
Gelombang T terbalik (T-inverted) menandakan iskemia atau
mungkin suatu aneurisma. Gelombang T yang runcing menandakan
hiperkalemia.
5.5. Gelombang U
Gelombang U yang sangat tinggi (> gel. T) menunjukkan
hipokalemi. Gelombang U yang terbalik menunjukkan iskemia
miokard yang berat.
KESIMPULAN
Pemeriksaan EKG memegang peranan yang sangat penting dalam
membantu menegakkan diagnosis penyakit jantung. EKG disamping
mampu mendeteksi kelainan jantung secara pasti, juga keadaan (kelainan)
diluar jantung, mis. Adanya gangguan elektrolit terutama kalium dan
kalsium.
Disamping kemampuannya dalam mendeteksi secara pasti dari
kelainan jantung tetapi EKG harus diakui mempunyai banyak kelemahan
juga. EKG tidak dapat mendeteksi keparahan dari penyakit jantung secara
menyeluruh, misalnya tingkat kerusakan otot jantung dari serangan IMA.
EKG juga tidak dapat mendeteksi gangguan hemodinamik akibat suatu
penyakit jantung.
Dalam menegakkan diagnosis penyakit jantung kita tidak dapat hanya
menggantungkan pemeriksaan EKG saja.

38
Deskripsi Kegiatan
KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2.Bermain 30 menit 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
peran 2. Satu orang dosen (instruktor/co-instruktur)
tanya & memberikan contoh bagaimana cara
jawab melakukan perekaman EKG pada
probandus/manekin. Mahasiswa
menyimak dan mengamati
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
(instruktur) memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. Selanjuntya kegiatan dilanjutkan dengan
pemeriksaan EKG pada manekin atau
probandus
5. Mahasiswa dapat memperhatikan dan
menanyakan hal-hal yang belum
dimengerti dan dosen (instruktur)
menanggapinya.
3.Praktik 100 menit 1. Mahasiswa dibagi menjadi pasangan-
bermain pasangan. Seorang mentor diperlukan
peran untuk mengamati 2 pasangan
dengan 2. Setiap pasangan berpraktik, satu orang
umpan balik sebagai dokter (pemeriksa) dan satu
orang sebagai pasien secara serentak
3. Mentor berkeliling diantara mahasiwa dan
melakukan supervisi menggunakan ceklis
4. Setiap mahasiswa paling sedikit berlatih
satu kali
4.Curah 15 menit 1. Curah pendapat/diskusi : Apa yang
pendapat dirasakan mudah ? Apa yang sulit ?
/ diskusi Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai pasien.
Apa yang dapat dilakukan oleh dokter agar
pasien merasa lebih nyaman ?
2.Dosen (instruktur) menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti
Total waktu 150 menit

39
Keterampilan Pemasangan Ekg
A. Melakukan Rekaman Ekg
NO LANGKAH KLINIK SKOR
a. Melakukan persiapan alat antara lain : 0 1 2
1 Alat EKG lengkap dan siap pakai
2. Kapas alkohol dalam tempatnya
3. Kapas / kasa lembab
b. Mempersiapkan pasien
1. Pertama-tama pemeriksaan melakukan
penejelasan kepada pasien/keluarga tentang
tindakan yang akan dilakukan
2. Menyuruh pasien untuk tidur terlentang datar
c. Urutan perekaman EKG
1. Melakukan cuci tangan
2. Membuka dan melonggarkan pakaian pasien
bagian atas. Bila pasiennya memakai jam
tangan, gelang dan logam lain dilepas.
3. Membersihkan kotoran dan lemak
menggunakan kapas pada daerah dada, kedua
pergelangan tangan dan kedua tungkai dilokasi
pemasangan manset elektroda
4. Mengoleskan jelly EKG pada permukaan
elektroda. Bila tidak ada jelly, gunakan kapas
basah
5. Memasang manset elektroda pada kedua
pergelangan tangan dan kedua tungkai
6. Memasang arde
7. Menghidupkan monitor EKG
8. Menyambung kabel EKG pada kedua
pergelangan tangan dan kedua tungkai pasien,
untuk rekam ekstremitas lead (lead I, II, III, aVR,
aVF, AVL) dengana cara sebagai berikut :
a. Warna merah pada tangan kanan
b. Warna hijau pada kaki kiri
c. Warna hitam pada kaki kanan
d. Warna kuning pada tangan kiri

40
9. Memasangelektroda dada untukrekaman
precordial lead:
 Sela iga ke 4 pada garis sternal kanan =
V1
 Sela iga pada garis sternal kiri= V2
 Terletakdiantara V2 & V4 adalah= V3
 Ruang iga ke 5 pada garis tengah klavikula=
V4
 Garis aksila depan sejajar dengan V4 = V5
 Garis aksila tengah sejajar dengan V4 =
V6
 Garis aksila belakang sejajar dengan V4
= V7
 Garis skapula belakang sejajar dengan V4
= V8
 Batas kiri dari kolumna vertebra sejajar
dengan V4 = V9
 Lokasi sama dengan V3 tetapi pada sebelah
kanan = V3R
 V7 V3R kadang diperlukan
Pada umumnya perekaman hanya 12 lead yaitu
lead I, II, III, aVR, aVF, aVL, V1-V6
10. Melakukan kalibrasi 10 mm dengan keadaan 25
mm/volt/detik
11. Membuat rekaman secara berurutan sesuai
dengan pilihan lead yang terdapat pada mesin
EKG
12. Melakukan kalibrasi kembali setelah perekaman
selesai
13. Memberi identitas pasien hasil rekaman : nama,
umur, tanggal dan jam rekaman serta nomor
lead dan nama pembuat rekaman EKG
14. Merapikan alat-alat
15. Melakukan cuci tangan kembali

41
B. Interpretasi Hasil Rekaman Ekg
NO LANGKAH KLINIK SKOR
0 1 2
1 Melihat hasil rekaman EKG dengan
memperhatikan identitas pasien
2. Menetukan apakah rekaman ini sudah sesuai
dengan standar dan layak di interpretasi
3. Melakukan penilaian secara sistematis yaitu :
a. Menentukan irama jantung dan pembuluh
darah
b. Menetapkan frekuensi jantung
c. Menentukan Arah aksis (sumbu) elektris
jantung
d. Menentukan bentuk gelombang P
e. Menentukan bentuk gelombang QRS
f. Menentukan posisi segment ST
g. Menentukan bentuk gelombang T
h. Menentukan bentuk gelombang U
4. Melakukan interpretasi EKG secara keseluruhan
5. Menyerahkan hasil rekaman EKG kepada yang
berkepentingan

42
Pertemuan 5
Keterampilan Penilaian Radiologi Jantung
Pendahuluan
Foto thorax adalah foto X-ray pada thorax yang dibuat untuk
membantu melihat kelainan-kelainan yang ada pada rongga thorax.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang cukup penting dalam
penegakan diagnosis penyakit, utamanya sistem respirasi. Pada foto
thorax ini kita dapat melihat kelainan-kelainan yang ada pada paru, pleura,
organ-organ mediastinum, tulang-tulang dan pada jaringan lunak
sekitarnya. Dalam pembuatan foto thorax haruslah diperlihatkan beberapa
keadaan sehingga foto thorax yang dihasilkan dapat memenuhi syarat.

1. Memasang foto thorax dengan benar sesuai dengan marker R (Right) /


L (Left) atau D (Dextra) / S (Sinistra)
Proyeksi / posisi foto thórax :
- Posteroanterior (PA) : tampak air-fluid level dari udara lambung
dan tampak margo medial dari scapula
- Lateral kiri : tampak diafragma kiri yang terpotong oleh bayangan
jantung
2. Identitas foto thorax :
- Nama, umur, jenis kelamin dan tanggal pembuatan foto.
3. Persyaratan foto tórax proyeksi PA yang layak deskripsi ;
- Film mencakup seluruh cavum tórax dari kedua ápex paru dan sinus
costophrenicus.
- Inspiras icukup bila diafragma kanan setinggi iga 9 atau 10 posterior
- Simetris bila corpus vertebra thoracalis terletak ditengah sendi
sternoclavicularis.
- Kondisi foto cukup; yang terlihathanya vertebra thoracalis 3 – 4.
4. Bentuk dan ukuran jantung :
- Normal : seperti buah pear / buah jambu / alpokat ,
- Abnormal :bentuk khas (sepatu, oval, kotak), pinggang jantung
dapat dangkal (cekung) atau melurus , atau menonjol.
- Mengukur index jantung / Cardiac Index (CI) :

Diameter transversal jantung ( T1+ T2)


CI : ----------------------------------------------------------- x 100 % = X %
Diameter tranversa thorax bagian dalam ( DTI)

43
- Normal dewasa : X ≤ 50 %
- Cardiomegaly : X > 50 %

A1
A2

T1
T2

DTI

Garistengah

5. Identifikasi /penilaian segmen-segmen anatomis jantung (normal


/membesar)
- Batas kanan dibentuk oleh atrium kanan dan aorta asenden.
- Batas kiri dari atas; aorta knob, pinggang jantung yang agak cekung
(dibentuk oleh conus pulmonalis dan aurikel / atrium kiri) dan
segmen ventrikel kiri dengan letak ápex cordis diatas diafragma ;
ventrikel kanan letak dibelakang os sternum pada foto thórax posisi
lateral kiri.
Pembesaran segmen-segmen anatomis jantung:
- Atrium kanan membesar / right atrial enlargment (RAE) : batas
kanan jantung menonjol yaitu diameter transversa kanan jantung
dibagi dengan diameter hemithorax kanan lebih dari 1/3.
- Atrium kiri membesar / left atrial enlargment (LAE) : kontur ganda
(double contour ) pada batas kanan jantung , aurikel kiri menonjol,
bronchus utama (main bronchus ) kiri terangkat.
- Ventrikel kanan/right ventricular enlargment (RVE) : jantung
melebar ke kiri dengan apex yang terangkat dan conus pulmonalis
menonjol (proyeksi PA)dan retrosternal clear space menyempit (
proyeksi lateral kiri).
- Ventrikel kiri membesar / left ventricular enlargment (LVE) : jantung
melebar ke kiri dengan apex yang tertanam ( proyeksi PA ) dan
retrocardiac clear space menyempit / menghilang ( proyeksi lateral
kiri ).

44
6. Mengukur aorta / knob aorta ( lihat gambar diatas ):
- Normal ; (A1 + A2) < dari 4 cm atau jarak A1 antara 3,5 – 4
cm.atau jarak < 3,5 cm yang diukur dari tepi lateral kiri trachea.
- Dilatasi aorta ; (A1+A2) > 4 cm, atau aorta knob menonjol (A1 > 4
cm)
- Aorta elongasi ; bila batas atas aorta terhadap pertengahan ujung-
ujung clavicula < 2 cm atau < 1 cm dari batas bawah ujung clavicula.
7. Identifikasi hilus :
- Hilus adalah arteri dan vena pulmonalis ; kiri lebih tinggi dari kanan.
- Cabang dari arteri pulmonalis kanan yaitu right descendens
pulmonary
artery (RDPA) diameter tidak boleh lebih dari 17 mm.
8. Vascular paru / corak bronchovascular :
- Normal ; arteri pulmonalis kanan terlihat pada hilus kanan dan kiri,
bercabang-cabang ke perifer paru, makin lama makin kecil secara
bertahap ( tapering-off ) dengan perbandingan diameter arteri di
hilus dan perifer sekitar 5 : 1. Corak vaskuler lebih banyak / ramai
dan lebar dilapangan bawah paru ( yang lebih mudah dilihat pada
bagian kanan bawah ) dibandingkan dengan corak vaskuler pada
lapangan atas paru.
- Meningkat ; vaskuler paru suprahilar kanan kiri bertambah dan bisa
melebar , karena disamping pembuluh darah arteri juga akibat
vena-vena yang terbendung, Vena-vena pulmonalis tampak sekitar
hilus bentuk pendek dan lebar.
- Menurun : vaskuler paru tampak sepi / berkurang dibandingkan
dengan normal.
9. Penilaian parenchym paru dan sinus costophrenicus :
- Perkabutan parahilar (batwing / butterfly appearance) = edema paru
- Sinus costophrenicus tumpul / berselubung = efusi pleura
10. Kesan : - Sebutkan kelainan jantung yang didapat ( bila kelainannya
khas )
- Suspek bila tidak khas, dan bila perlu differential
diagnosis (DD)

45
Capaian pembelajaran :
1. Mampu menentukan jenis posisi foto thorax
2. Mampu membedakan foto thorax yang memenuhi syarat/tidak
3. Mampu menentukan adanya kelainan pada jantung dan pembuluh
darah jantung daerah thorax
Media dan alat bantu pembelajaran
1. Daftar panduan belajar untuk teknik penilaian foto
2. Light box
3. Foto thorax
Metode Pembelajaran
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Parsipasi aktif dalam skills lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list/daftar tilik dengan sistim skor

46
Deskripsi Kegiatan

KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI


1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain 30 menit 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
peran tanya & 2. Satu orang dosen (instruktor/co-
jawab instruktur) memberikan contoh
bagaimana cara melakukan penilaian
radiologi jantung pada foto thorax
Mahasiswa menyimak dan mengamati
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
(instruktur) memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. Selanjuntya kegiatan dilanjutkan
dengan penilaian radiologi jantung
pada foto thorax
5. Mahasiswa dapat memperhatikan dan
menanyakan hal-hal yang belum
dimengerti dan dosen (instruktur)
menanggapinya.
3.Praktik 100 menit 1. Mahasiswa dibagi menjadi beberapa
bermain peran kelompok kecil, lalu memebri
dengan umpan kesempatan kepada setiap orang
balik dalam kelompok untuk melakukan
penilaian radiologi jantung pada foto
thorax
2. Mentor berkeliling diantara mahasiwa
dan melakukan supervisi
menggunakan ceklist
3. Setiap mahasiswa paling sedikit
berlatih satu kali
4.Curah 15 menit 1. Curah pendapat/diskusi : Apa yang
pendapat/ dirasakan mudah? Apa yang sulit?
diskusi Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai
pasien. Apa yang dapat dilakukan oleh
dokter agar pasien merasa lebih
nyaman?
2. Dosen (instruktur) menyimpulkan
dengan menjawab pertanyaan terakhir
dan memperjelas hal-hal yang masih
belum dimengerti
Total waktu 150 menit

47
Keterampilan Penilaian Radiologi Jantung

NILAI
NO. ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 - Marker padafoto thorax (R/L atau D/S)
- Memasang foto dengan benar pada light-box
- Proyeksi / Posisi foto thorax ( PA,AP dan atau
Lateral kiri)
2 Identitas pasien ( ada / tidak ada ; lengkap/tidak
lengkap)
3 - Persyaratan foto thorax yang layak untuk di-
deskripsi.
(area foto ?;inspirasi ?; simetris ?;kondisi sinar
X?)
4 Penilaian bentuk dan ukuran jantung /Cardiac
Index
(normal,abnormal/membesar) pinggang
jantung/cardiac waist (ramping, melurus,
menonjol)
5 - Identifikasi /penilaian segmen-segmen anatomis
jantung
(normal / membesar ) ; apex cordis
(terangkat/tertanam) ;
6 Identifikasi aorta,knob aorta ( besar/dilatasi atau
kecil )
7 Identifikasi / penilaian hilus terutama RDPA
(normal/dilatasi)
8 Identifikasi corak vaskuler paru (normal,
bertambah/berkurang)
9 Penilaian parenchym paru / sinus akibat penyakit
jantung
(perkabutan/edema paru, sinus
costophrenicus/efusi pleura)
10 Kesan : diagnostik / DD

48
Pertemuan 6
Keterampilan Pemeriksaan sistem Pembuluh Darah Perifer
Ankle Brachial Index (Abi)

Pendahuluan
Faktor risiko terjadinya PAP antara lain adalah usia, rokok,
hipertensi, diabetes mellitus, kurang olah raga, dan obesitas.2, Pada survei
ke-3 yang dilakukan National Health and Nutrition Examination,
dilaporkan odds ratio (OR) pada prevalensi tinggi didapatkan pada
kebiasaan merokok, etnis Afro-Amerika, glomerular filtration rate (GFR) <
60 ml/min, diabetes melitus (DM), dan hiperkolesterolemia (OR, 1.7).
Progesivitas PAD hingga stadium III meningkat pada DM, kebiasaan
merokok (OR, 3.0), ABI < 0,7 (OR, 2.0), ABI < 0,5, usia > 65 tahun, dan
hiperkolesterolemia
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis
pasien penyakit arteri perifer, salah satunya adalah ABI. ABI merupakan
metode yang sederhana, murah, dan noninvasive untuk mendiagnosis
penyakit ini selain itu ABI juga dapat memprediksikan resiko
kardiovaskular.
Capaian pembelajaran:
Setelah kegiatan ini mahasiswa mampu:
1. Mempersiapkan pasien dalam rangka pemeriksaan ABI
2. Mempersiapkan alat dalam rangka pemeriksaan ABI
3. Melakukan pemeriksaan ABI sesuai prosedur
Media dan alat bantu pembelajaran:
a. Daftar panduan belajar untuk pemeriksaan fisik kardiovaskuler
b. Stetoskop, lap, wastafel (air mengalir), probandus / manekin /
sfygnomanometer
c. Status penderita pulpen, pensil.
Metode Pembelajaran
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Parsipasi aktif dalam skills lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list/daftar tilik dengan sistim skor

49
Deskripsi Kegiatan
KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain 30 menit 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
peran tanya & 2. Satu orang dosen (instruktor/co-
jawab instruktur) memberikan contoh
bagaimana cara melakukan
pemeriksaan ABI pada
probandus/manekin. Mahasiswa
menyimak dan mengamati
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
(instruktur) memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. Selanjuntya kegiatan dilanjutkan
dengan pemeriksaan ABI pada
manekin atau probandus
5. Mahasiswa dapat memperhatikan dan
menanyakan hal-hal yang belum
dimengerti dan dosen (instruktur)
menanggapinya.
3. Praktik 100 menit 1. Mahasiswa dibagi menjadi pasangan-
bermain peran pasangan. Seorang mentor diperlukan
dengan umpan untuk mengamati 2 pasangan
balik 2. Setiap pasangan berpraktik, satu orang
sebagai dokter (pemeriksa) dan satu
orang sebagai pasien secara serentak
3. Mentor berkeliling diantara mahasiwa
dan melakukan supervisi menggunakan
ceklist
4. Setiap mahasiswa paling sedikit berlatih
satu kali
4.Curah 15 menit 1. Curah pendapat/diskusi : Apa yang
pendapat/ dirasakan mudah ? Apa yang sulit ?
diskusi Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai
pasien. Apa yang dapat dilakukan oleh
dokter agar pasien merasa lebih
nyaman ?
2. Dosen (instruktur) menyimpulkan
dengan menjawab pertanyaan terakhir
dan memperjelas hal-hal yang masih
belum dimengerti
Total waktu 150 menit

50
Keterampilan Uji Postur Untuk Insuffisiensi Arteri Kronis
NILAI
NO KEGIATAN
1 2 3
1 Memohon ijin dan memberikan penjelasan tentang
apa yang akan dilakukan

2 Pasien diminta berbaring dan mengangkat kedua


kaki 600 selama kurang lebih 1 menit

3 Mintalah pasien untuk duduk dipinggir tempat tidur


dengan kedua kaki menjuntai

4 Catat waktu:

kapan kaki berubah warna menjadi


kemerahan (normalnya 10 detik)

pengisian vena pada kaki dan ankle


(normalnya sekitar 15 detik)

ANKLE BRACHIAL INDEX


NO LANGKAH KLINIK SKOR
0 1 2
1. Pasien diistirahatkan pada ruang yang hangat
selama kurang lebih 10 menit sebelum tes
dilakukan
2. Kenakan cuffs dari pengukuran tekanan darah
pada kedua lengan dan ankles, lalu letakkan
ultrasound gel pada brachial, dorsalis pedis dan
porterior tibial arteries
3. Ukur tekanan sistolik pada kedua lengan
gunakan Doppler untuk mengetahui letak nadi
brachial
kembangkan cuff 20mmHg diatas denyut nadi
yang terdengar terakhir
turunkan tekanan perlahan dan catat pada nadi
berapa mulai terdengar
lakukan pada kedua lengan

51
4. Ukur tekanan sistolik kedua ankles:
gunakan Doppler untuk mengetahui
denyut dorsalis pedis
kembangkan cuff 20 mmHg diatas denyut yang
terdengar
turunkan tekanan perlahan dan catat pada
tekanan berapa denyut terdengar
lakukan pada kedua ankles
lakukan juga hal di atas untuk posterior tibial
arteries

5 Hitung ABI:

52
Pertemuan 7
Keterampilan Anamnesis Pasien Dengan Gangguan Paru

Pendahuluan
Anamnesis adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan antara dokter
(pemeriksa) dan pasien yang bertujuan untuk mendapatkan informasi
tentang penyakit yang diderita dan informasi lainnya yang berkaitan,dan
dapat mengarahkan diagnosis penyakit pasien. Banyak keluhan yang akan
disampaikan oleh pasien tentang penyakitnya.Namun demikian, tidak
semua keluhan atau informasi-informasiyang disampaikan dapat bermakna
atau berkaitan dengan sistim Respirasi sehingga diperlukan suatu teknik
bertanya untuk menggali informasi tersebut.
Anamnesis yang baik harus mengacu pada pertanyaan yang
sistimatis, berpedoman pada empat pokok pikiran (the fundamental
four/F4) dan tujuh hal mendasar dalam anamnesis (the sacred seven/S7).
Sebelum melakukan anamnesis lebih lanjut, yang harus ditanyakan adalah
identitas pasien, yaitu umur, jenis kelamin, ras, status pernikahan, agama
dan pekerjaan.
The fundamental four (F4) yang dimaksud adalah melakukan
anamnesis dengan cara mencari data tentang :
1. Riwayat penyakit sekarang (RPS)
2. Riwayat penyakit dahulu (RPD)
3. Riwayat kesehatan keluarga
4. Riwayat sosial dan ekonomi.
The sacred seven (S7) merupakan tujuh hal mendasar dalam
anamnesis yang dilakukan secara sistematis setelah keluhan utama, yaitu:
1. Onset (akut atau gradual) and Duration (durasi): menit atau beberapa
jam
2. Location (lokasi) and Radiation: sakit, sesak, benjolan, dan sebagainya:
Di mana? Menyebar kemana?
3. Chronology: Pola (intermitten atau terus menerus) dan Frekuensi
(setiap hari, per mingguatau per bulan)
4. Quality and Progression: misalnya nyeri bersifat tajam, tumpul atau
aching, semakin membaik atau semakin memburuk dibandingkan
sebelumnya
5. Severity (tingkat keparahan): ringan, sedang, berat
6. Modifying factors: Precipitating and relieving factors (faktor-faktor yang
memperberat dan faktor yang mengurangi gejala, misalnya, “apakah
ada penggunaan obat sebelumnya?”)
7. Associated symtomps (yang berhubungan dengan gejala lainnya misal
batuk, mengi/wheezing, hemoptisis, sesak napas, nyeri dada,
ortopnea) and Systemic symptoms (gejala-gejala sistemik seperti
demam, malaise, anoreksia, penurunan berat badan).

53
Gejala respirasi yang sering dikeluhkan oleh pasien yaitu :
1. Batuk (kering/produktif)
2. Hemoptisis (batuk darah)
3. Sesak napas (akut, progresif, paroksismal)
4. Nyeri dada
5. Mengi (wheezing)
Gejala sistemik yang dapat berhubungan dengan penyakit respirasi:
1. Demam
2. Suara serak
3. Keringat malam
4. Penurunan berat badan
5. Malaise/fatigue
Indikasi
1. Untuk membantu dalam menegakkan diagnosis penyakit dari seorang
pasien, dan menyingkirkan diagnosis banding.
2. Membantu dokter dalam melakukan tindakan selanjutnya.
3. Mengetahui perkembangan dan kemajuan terapi.
4. Dipakai sebagai standar pelayanan dalam memberikan pelayanan
paripurna pada pasien.

Rujukan
i. Bates’. An Overview of Physical Examination and History Taking, 8th
Edition. pp 1-19.
ii. Delp& Manning. Major Diagnosis Fisik. Terjemahan.
PenerbitBukuKedokteran EGC.

54
Keterampilan Teknik Anamnesis Respirasi
Capaian Pembelajaran
1. Melakukan anamnesis pasien dengan gangguan respirasi secara
lengkap dan sistematis.
2. Melakukan penelusuran dengan jelas keluhan utama dan keluhan lain
yang disampaikan pasien.
3. Melakukan penelusuran riwayat penyakit pasien saat ini.
4. Melakukan penelusuran riwayat penyakit dahulu dan riwayat
pengobatan pasien.
5. Melakukan penelusuran status sosial dan ekonomi pasien dan
keluarga.
6. Melakukan dasar teknik komunikasi dan perilaku yang sesuai dengan
sosiobudaya pasien dalam hubungan dokter-pasien.
Media dan alat bantu pembelajaran
a. Panduan belajar untuk anamnesis.
b. Status penderita, pulpen, pensil.
Metode pembelajaran
1. Demonstrasi sesuai dengan panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skills lab (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list/daftar tilik dengan sistem skor

55
Deskripsi Kegiatan Anamnesis Respirasi
Kegiatan Waktu deskripsi
1. Pengantar 2 menit Pengantar
2. Bermain 23 menit 1. Mengatur mahasiswa
peran 2. Dosen memberikan contoh bagaimana
tanya jawab cara melakukan anamnesis yang benar
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya
3. Praktik 90 menit 1. Mahasiswa dibagi dalam beberapa
melakukan kelompok sesuai dengan ketentuan
anamnesis 2. Setiap pasangan praktik melakukan
dan anamnesis
pemeriksaan 3. Pelatih mengawasi sampai
fisis memberikan perintah bila ada hal-hal
diagnostik yang diperlukan
paru
4. Diskusi 15 menit 1. Apa yang dirasakan oleh mahasiswa
dan kendala/kesulitan yang dialami
selama melakukan kegiatan
2. Dosen menyimpulkan apa yang
dilakukan mahasiswa
Total Waktu 150 menit

56
Anamnesis Pasien Dengan Gangguan Sistem Respirasi
Keluhan Utama : Batuk
NILAI
NO LANGKAH KLINIK
0 1 2
1. A. PERSIAPAN PERTEMUAN
1. Penampilan pemeriksa
2. Waktu yang cukup
3. Tempat yang nyaman
2. B. SAAT ANAMNESIS
1. Memperlihatkan sikap
yang ramah,
mengucapkan salam
2. Perkenalkan diri melalui
jabat tangan dan
mempersilahkan pasien
untuk duduk atau
berbaring
3. Menjelaskan tujuan
anamnesis
4. Menciptakan suasana
yang bersahabat dalam
rangka membina sambung
rasa
5. Menggunakan bahasa
yang mudah dipahami oleh
pasien
6. Menjadi pendengar yang
baik
7. Menunjukkan empati dan
memberikan kesempatan
kepada penderita untuk
memberikan respon
8. Anamnesis dimulai dengan
menanyakan data diri
umum yaitu :
Nama
Umur
Alamat
Status perkawinan
Pekerjaan
9. Menanyakan keluhan
utama (batuk) dan
menggali riwayat penyakit

57
sekarang (RPS) :
Menanyakan :
 Onset dan lamanya
keluhan batuk
 Sifat dari batuk (kering
atau produktif)
 Jika batuk produktif,
apakah warna lendir dan
apakah disertai darah?
 Faktor-faktor yang
memperingan atau
memperberat keluhan
batuk
 Keluhan lain yang
menyertai batuk
 Sudah berobat atau
belum
10. Riwayat penyakit dahulu
(RPD) :
 Apakah pernah
menderita batuk
sebelumnya? Jika
pernah batuk, apakah
sudah pernah berobat?
Apakah nama obat yang
digunakan sebelumnya?
Adakah riwayat
pengobatan spesifik 6
bulan?
 Tanyakan penyakit lain
yang pernah diderita
11. Riwayat alergi :
 Apakah pernah
mengalami reaksi alergi
terhadap makanan, obat-
obatan dan lingkungan
tertentu?
12. Mengenal riwayat
psikososial :
 Tanyakan kebiasaan-
kebiasaan yang
berkaitan/berpengaruh
dengan keluhan
sekarang. Misalnya
riwayat merokok, riwayat

58
pekerjaan, alergi akan
binatang peliharaan dll
13. Riwayat penyakit dalam
keluarga :
 Apakah ada anggota
keluarga yang menderita
penyakit/keluhan yang
sama, bila ada
ditanyakan
kedekatannya dengan
yang menderita
14. Melakukan anamnesis
sistim lain dengan
menanyakan fungsi
fisiologis sistim, dan bila
ada gangguan lanjutkan
anamnesis berdasarkan
keluhan tersebut
3. C. MENGAKHIRI ANAMNESIS
1. Mengakhiri wawancara
dengan baik dan memberi
ringkasan
2. Mencatat hasil anamnesis
dengan jelas dan
sistematis, dan
memberikan DIAGNOSIS
KERJA (Working
Diagnosis) dan
DIAGNOSIS BANDING
(Differential Diagnosis)
serta anjuran pemeriksaan
penunjang.

59
Lampiran
FORMULIR ANAMNESIS SISTIM RESPIRASI

Nama Mahasiswa
Nomor Induk
Mahasiswa
Grup
Tanggal
Anamnesis
Instruktur Paraf

IDENTITAS PASIEN
NamaPasien :
______________________________________________
Tempat/TanggalLahir :
_______________________________________________________
Umur :
_______________________________________________________
Alamat :
_______________________________________________________
JenisKelamin :
_______________________________________________________
Status perkawinan :
_______________________________________________________

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Keluhan Utama:
____________________________________________________________
____
Telaah Keluhan :
 Onset__________, lamanya____________, kering/produktif*, warna
lendir______________, bau _______, volume__________,
konsistensi__________, faktor yang
memperberat_____________________________, factor yang

60
meringankan_______________________________________________
_____
 Batuk darahya/tidak*, onset_______________,
warna__________________, bercak darah/darah kental*,
intermitten/terus-menerus*, volume _____
 Sesak napas ya/tidak*, onset__________, lamanya__________,
berhubungan dengan cuaca____________, sesak napas saat
jalan(____meter), sesak saat kerja___________, sesak saat
latihan/olahraga__________, sesaksaatcemas________, sesak
diketinggian________, sesak pada posisi berbaring _______, sesak
napas berhubungan dengan gejala lainnya_______________________,
napas berbunyi mengi________
 Nyeri dada ya/tidak*, onset_______________,
lokasi____________________, pola____________________
frekuensi___________, durasi___________, progresi____________,
menyebarnya/tidak*, jika menyebar ke lokasi
mana____________________
 Demamya/tidak*, onset____________, waktu____________, keringat
malam_______________
 Malaise ya/tidak*, kurang nafsu makan_____________, penurunan
berat badan__________ kg/bln
 Suara serak ya/tidak*, onset_______________
Anamnesis Sistim Lain :
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
________________________

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


 Riwayat batuk sebelumnya ya/tidak*, onset___________,
lamanya_____________, sudah/belum berobat*, nama obat
sebelumnya________________________________________________
___, riwayat berobat anti tuberkulosis (OAT) 6 bulan
_______________________
 Riwayat sakit lainnya
_________________________________________________________
_________________________________________________________
_________________________________________________________
_______________

61
Riwayat Alergi: Pernah/tidak pernah*, jika pernah apa penyebab
alergi/alergen________________, gejala alergi yang timbul
________________________________, kapan kejadian
alergi______________
Riwayat Psikososial:
 Merokok: cerutu ( ), pipa ( ), rokok ( ),
lamanya____________________, jumlah ( ) batang/hari, kapan
diberhentikan______________
 Alkohol : minum alcohol ya/tidak*, jumlah ( ) botol/hari
 Situasi tempat tinggal: rumah ( ), jika rumah terbuat beton ( ), gubuk
( ), apartemen ( ), lokasi: pedesaan ( ), perkotaan ( ) padat
penduduk ( ), jumlah anggota keluarga dalam satu rumah__________
 Peliharaan binatang ya/tidak*, jenis binatang
_________________________
 Pekerjaan saat
ini_______________________________________________
 Pendapatan :
( ) ˂ Rp. 500.000,-
( ) ˃ Rp.500.000,-1.000.000,-
( ) ˃ Rp. 1.000.000,-
RiwayatPenyakitdalam Keluarga :
Asma ( ), eksema/atopi ( ), Diabetes Melitus ( ), hipertensi ( ), tumor (
), kontak dengan penderita TB paru (
)_________________________________________

WORKING DIAGNOSIS :

DIAGNOSIS BANDING :
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
________________

62
Pertemuan 8
Pemeriksaan Fisik Diagnostik Paru
Pemeriksaan fisis sistim respirasi merupakan salah satu kompetensi
yang harus dimiliki oleh mahasiswa kedokteran dalam menyelesaikan
pendidikannya, disamping merupakan modal dasar untuk tingkat klinik
dalam menegakkan diagnosis penyakit-penyakit sistim respirasi. Penuntun
ini dibuat sebagai panduan bagi mahasiswa untuk mencapai kompetensi
dalam pemeriksaan sistim respirasi.
Capaian Pembelajaran
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menginformasikan kepada pasien tentang tujuan dari pemeriksaan
yang akan dilakukan serta mendapatkan izin untuk melakukan
pemeriksaan dari pasien atau keluarga.
3. Mempersiapkan pasien untuk dilakukan pemeriksaan, termasuk
meminta pasien membuka bajunya.
4. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien.
5. Melakukan pemeriksaan inspeksi :
a. Melakukan inspeksi dari depan dan dari belakang toraks, dalam
keadaan statis maupun dinamis.
b. Mampu membedakan bentuk normal dan abnormal rongga toraks.
c. Mampu melihat gangguan pergerakan dinding toraks.
6. Melakukan pemeriksaan palpasi :
a. Mampu merasakan adanya deviasi trakea.
b. Mampu merasakan perbandingan gerakan nafas kanan dan kiri
pasien.
c. Mampu merasakan adanya massa atau nyeri tekan di dinding
toraks.
d. Mampu membandingkan fremitus taktil kiri dan kanan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan perkusi :
a. Mampu menentukan puncak paru.
b. Mampu melakukan pemeriksaan perkusi dari atas ke bawah secara
sistematis untuk menilai adanya konsolidasi, cairan atau udara
dalam rongga toraks.
c. Mampu melakukan perkusi untuk mengetahui batas paru-hepar.
8. Melakukan auskultasi :
a. Mampu melakukan pemeriksaan auskultasi secara sistematis.
b. Mampu mendengarkan suara nafas saat inspirasi dan ekspirasi.

63
c. Mampu membedakan suara nafas normal dan abnormal.
d. Mampu mengenal bunyi tambahan pada auskultasi paru.
Media dan Alat Bantu Pembelajaran
a. Daftar panduan belajar untuk pemeriksaan fisis diagnostik respirasi.
b. Stetoskop,lap,air mengalir, probandus/manekin/auscultation trainer dan
smartscope/ amplifier speaker system/dual head training stetoskop.
c. Status pasien, pulpen, pensil.
Metode Pembelajaran
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list/daftar tilik dengan sistim skor

64
Deskripsi Kegiatan
Kegiatan Waktu deskripsi
1. Pengantar 2 menit Pengantar
2. Bermain 23 menit 1. Mengatur mahasiswa
peran tanya
2. Dosen memberikan contoh
jawab
bagaimana cara melakukan
pemeriksaan fisis dengan benar
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya
3. Praktik 90 menit 1. Mahasiswa dibagi dalam
melakukan beberapa kelompok sesuai
pemeriksaan dengan ketentuan
fisis
2. Setiap pasangan praktik
diagnostik
melakukan pemeriksaan fisis
sistim
respirasi 3. Dosen mengawasi sampai
memberikan perintah bila ada
hal-hal yang diperlukan
4. Diskusi 15 menit 1. Apa yang dirasakan oleh
mahasiswa dan kendala/kesulitan
yang dialami selama melakukan
kegiatan
2. Dosen menyimpulkan apa yang
dilakukan mahasiswa
Total Waktu 150 menit

65
Keterampilan Penuntun Belajar Pemeriksaan Fisis Respirasi
NO LANGKAH KLINIK 0 1 2
1. PERSIAPAN
1. Menginformasikan kepada pasien tentang
pemeriksaan yang akan dilakukan dan
meminta izin untuk melakukan pemeriksaan
2. Mempersilahkan pasien untuk duduk/
berbaring
3. Pemeriksa berdiri di sisi kanan pasien
4. Meminta pasien untuk membuka pakaian,
dan posisi relaks
2. PEMERIKSAAN FISIS TORAKS DEPAN
INSPEKSI
Inspeksi dalam keadaan statis
1. Perhatikan muka (edema), mata
(konjungtiva anemis atau tidak), dan bibir
(sianosis atau tidak)
2. Perhatikan posisi trakea : normal, deviasi
kiri atau kanan
3. Perhatikan bentuk dada (adakah kelainan
bentuk atau ukuran toraks)
4. Perhatikan posisi dari iga-iga (mendatar
atau tidak)
5. Bandingkan ruang sela iga (intercostal
space) kiri dan kanan
6. Perhatikan sternum dan klavikula (apakah
ada kelainan bentuk)
7. Perhatikan sudut epigastrium (apakah
lancip atau tumpul)
8. Perhatikan apakah ada pelebaran vena-
vena di dinding toraks (venaektasi)
Inspeksi dalam keadaan dinamis
9. Tentukan jenis pernapasan apakah ada
pernapasan abnormal seperti Kusmaull,
cheyne stokes, biot, apneu, dll)
10. Hitung frekuensi pernapasan
11. Bandingkan pergerakan dinding toraks kiri
dan kanan apakah sama atau ada
pergerakan salah satu dinding toraks yang
tertinggal
12.

66
PALPASI
1. Dengan menggunakan kedua tangan untuk
memeriksa apakah ada limfadenopati
supraklavikularis dan leher
2. Lakukan pemeriksaan posisi trakea dengan
jari telunjuk apakah normal, deviasi ke
kanan atau ke kiri
3. Apakah ada massa di dinding toraks,
apakah ada nyeri tekan lokal, dan apakah
ada krepitasi yang menunjukkan emfisema
subkutis
4. Melakukan pemeriksaan pengembangan
rongga toraks (pemeriksa menempelkan
tangan pada dinding toraks bagian bawah
dengan kedua ibu jari bertemu pada garis
mid sternalis dan jari lain mengarah ke sisi
kiri dan kanan dinding toraks, kemudian
pasien diminta inspirasi dalam sambil
pemeriksa memperhatikan pergerakan dari
kedua ibu jarinya apakah pergerakan
simetris atau ada yang tertinggal
5. Melakukan palpasi pada permukaan dinding
toraks untuk menilai fremitus taktil mulai
dari bagian apeks, medial dan basal.
Bandingkan kiri dan kanan secara simetris
sambil pasien diminta untuk mengucapkan
kata “sembilan puluh sembilan” atau “iiiiiii..”
PERKUSI
1. Jika memungkinkan, sebaiknya perkusi
dilakukan dalam posisi pasien tegak karena
suara perkusi dapat berubah akibat
perubahan letak organ
2. Menentukan puncak paru dengan perkusi
bahu mulai lateral (suara redup) ke arah
medial sampai terdengar perubahan
menjadi sonor, berilah tanda. Lakukan
perkusi dari pangkal leher (suara redup) ke
arah lateral sampai terdengar perubahan
suara sonor, berilah tanda. Puncak paru
terletak diantara kedua tanda tersebut
3. Melakukan perkusi pada kedua hemitoraks
kiri dan kanan mulai dari bagian apeks,
medial dan basal, dibandingkan antara kiri
dan kanan

67
4. Menentukan batas paru hepar pada linea
mid klavikularis kanan, yaitu perubahan
suara perkusi dari sonor menjadi redup,
normalnya didapatkan pada ruang sela iga
kelima kanan
5. Melakukan perkusi untuk menentukan batas
paru jantung kanan, kiri atas, dan kiri bawah
AUSKULTASI
1. Stetoskop diletakkan di dinding toraks, dan
pasien diminta untuk menarik nafas panjang
2. Lakukan auskultasi secara sistematis mulai
dari suara napas normal trakeal pada
daerah trakea, kemudian suara napas
normal bronkial pada daerah suprasternal
3. Mendengarkan suara napas normal
bronkovesikuler pada daerah di atas korpus
sternum dan para sternalis, dibandingkan
secara sistematis kiri dan kanan
4. Mendengarkan suara napas normal
vesikuler pada basal paru dan lateral
dinding toraks
5. Mendengarkan suara napas tambahan :
* Ronki
* Wheezing
* Stridor, dll
PEMERIKSAAN FISIS TORAKS BELAKANG
(PUNGGUNG)
INSPEKSI
Inspeksi dalam keadaan statis
1. Perhatikan bentuk dinding toraks bagian
belakang, adakah kelainan bentuk
2. Perhatikan bentuk tulang belakang, apakah
ada kelainan bentuk seperti kiposis,
skoliosis, lordosis, atau gibus
3. Bandingkan bentuk dinding toraks belakang
kiri dan kanan
Inspeksi dalam keadaan dinamis
4. Bandingkan pergerakan dinding toraks
belakang kiri dan kanan, apakah sama atau
ada pergerakan salah satu dinding toraks
yang tertinggal

68
5. Melakukan pemeriksaan pengembangan
rongga toraks, pemeriksa menempelkan
tangan pada dinding toraks bagian bawah
dengan kedua ibu jari bertemu pada garis
mid sternalis dan jari lain mengarah ke sisi
kiri dan kanan dinding toraks, kemudian
pasien diminta inspirasi dalam sambil
pemeriksa memperhatikan pergerakan dari
kedua ibu jari apakah simetris atau ada
yang tertinggal
PALPASI
1. Melakukan palpasi pada permukaan dinding
toraks untuk menilai fremitus taktil mulai
dari bagian apeks, medial dan basal.
Bandingkan kiri dan kanan secara simetris
sambil pasien diminta untuk mengucapkan
kata “sembilan puluh sembilan” atau “iiiiiii..”
PERKUSI
1. Melakukan perkusi pada kedua hemitoraks
belakang kiri dan kanan mulai dari dinding
bagian apeks, medial dan basal
2. Menentukan peranjakan batas paru
belakang dengan cara menentukan (beri
tanda) batas paru saat inspirasi biasa,
kemudian menentukan (beri tanda) batas
paru saat inspirasi dalam. Normalnya batas
paru beranjak turun sekitar 2 jari (+ 4 cm)

AUSKULTASI
1. Mendengarkan suara napas normal
bronkovesikuler pada daerah interskapula,
dan suara napas normal vesikuler pada
kedua hemitoraks belakang kiri dan kanan
bagian medial dan lateral
2. Mendengarkan suara napas tambahan
(ronki, wheezing, stridor, dll)

69
Pertemuan 9
Keterampilan Pengambilan, Pembuatan Preparat Langsung Dan
Persiapan Pengiriman Swab Nasopharingeal Dan Oropharingeal
Pengertian
Pengambilan, pembuatan preparat langsung, pengiriman swab
nasopharingeal dan oropharingeal merupakan serangkaian kegiatan
pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis pada pasien ynag mengalami keluhan penyakit
yang berhubungan dengan sistem pernapasan.
Tujuan pembelajaran :
Tujuan Umum :
Setelah mengikuti pembelajaran ini maka mahasiswa mampu
melakukan pengambilan, pembuatan preparat langsung, pengiriman swab
nasopharingeal dan oropharingeal dengan baik.
Tujuan Khusus :
1. Mampu menentukan melakukan persiapan alat
2. Mampu menentukan melakukan persiapan pasien
3. Mampu melakukan pengambilan,pembuatan preparat langsung,
pengiriman swab nasopharingeal dan oropharingeal sesuai prosedur
Indikasi:
1. Pasien dengan keluhan gangguan saluran napas dengan produksi
lendir (+)
2. pasien dengan keluhan nyeri menelan
3. pasien dengan keluhan sesaj napas
Media dan alat bantu pembelajaran :
a. Daftar panduan belajar untuk anamnesis
b. Alat pelindung diri
c. Spesimen Sekret sal. Nafas:
- Swab dacron/rayon tangkai plastik
- Cryotube
d. Media Hanks (Virus Transport Medium=VTM)
Metode Pembelajaran
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Parsipasi aktif dalam skills lab. (simulasi)
5. Evaluasi melalui check list/daftar tilik dengan sistim skor

70
Deskripsi Kegiatan
KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI
1. Pengantar 5 menit Pengantar
2. Bermain 30 menit 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
peran 2. Satu orang dosen (instruktor/co-instruktur)
tanya & memberikan contoh bagaimana cara
jawab melakukan pengambilan dan pengiriman
swab nasoofaringeal dan orofaringeal
pada probandus/manekin. Mahasiswa
menyimak dan mengamati
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
(instruktur) memberikan penjelasan
tentang aspek-aspek yang penting
4. Selanjuntya kegiatan dilanjutkan dengan
pengambilan dan pengiriman swab
nasoofaringeal dan orofaringeal pada
manekin atau probandus
5. Mahasiswa dapat memperhatikan dan
menanyakan hal-hal yang belum
dimengerti dan dosen (instruktur)
menanggapinya.
3. Praktik 100 1. Mahasiswa dibagi menjadi pasangan-
bermain menit pasangan. Seorang mentor diperlukan
peran untuk mengamati 2 pasangan
dengan 2. Setiap pasangan berpraktik, satu orang
umpan balik sebagai dokter (pemeriksa) dan satu orang
sebagai pasien secara serentak
3. Mentor berkeliling diantara mahasiwa dan
melakukan supervisi menggunakan ceklist
4. Setiap mahasiswa paling sedikit berlatih
satu kali
4.Curah 15 menit 1. Curah pendapat/diskusi : Apa yang
pendapat dirasakan mudah? Apa yang sulit?
/ diskusi Menanyakan bagaimana perasaan
mahasiswa yang berperan sebagai pasien.
Apa yang dapat dilakukan oleh dokter agar
pasien merasa lebih nyaman ?
2. Dosen (instruktur) menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti
Total waktu 150
menit

71
Keterampilan Pengambilan, Pembuatan Preparat Langsung Dan
Persiapan Pengiriman Swab Nasopharingeal Dan Oropharingeal
PENUNTUN PEMBELAJARAN
KETERAMPILAN PENGAMBILAN DAN PERSIAPAN PENGIRIMAN
USAP TENGGOROK

NO. LANGKAH / KEGIATAN KASUS

PERSIAPAN PEMERIKSAAN 1 2 3
Pengambilan harus dilakukan dengan memperhatikan
universal precaution atau kewaspadaan universal untuk
mencegah terjadinya penularan, meliputi:
1. menggunakan alat pelindung diri:
a. Jas laboratorium lengan panjang
b. Sarung tangan karet
c. Kaca mata plastik (goggle)
d. Masker (N95 untuk petugas kesehatan dan
pasien)
e. Tutup kepala plastic
f. Penutup kaki
2. Melakukan cuci tangan dengan menggunakan
desinfektan sebelum dan setelah tindakan.
3. Menjaga kebersihan ruangan dengan
menggunakan desinfektan sebelum dan setelah
tindakan.
ALAT DAN BAHAN YANG DISIAPKAN
 Spesimen Sekret sal. Nafas:
 Swab dacron/rayon tangkai plastik
 Cryotube
 Media Hanks (Virus Transport Medium=VTM)
 Label
 Formulir / Kuisioner

PERSIAPAN PENDERITA 1 2 3
1. Sapalah klien atau keluarganya dengan ramah
dan perkenalkan diri anda, serta tanyakan
keadaannya.
2. Berikan informasi umum pada klien atau

72
keluarganya tentang pengambilan usap tengorok,
dan tujuan dan manfaat untuk keadaan klien.
3. Berikan jaminan pada klien atau keluarganya
tentang keamanan yang dilakukan
4. Berikan jaminan pada klien atau keluarganya
tentang kerahasiaan yang diperlukan klien
5. Jelaskan pada klien tentang hak-hak klien atau
keluarganya, misalnya tentang hak untuk
menolak tindakan pengambilan usap tenggorok.
6. Mintalah kesediaan lisan klien untuk pemeriksaan
usap tenggorok
Pengambilan swab nasopharingeal dan oropharingeal
7. Siapkan dan periksalah alat-alat dan bahan yang
akan digunakan
8 Mintalah klien untuk duduk santai sambil
menyandarkan kepalanya pada sandaran kepala
kursi. (Klien anak-anak: dipangku orang yang
mengantar.)
9. Masukkan swab ke dalam lubang hidung sejajar
dengan rahang atas. Biarkan beberapa detik agar
cairan hidung terhisap. Putarlah swab sekali atau
dua kali. Lakukan usapan pada kedua lubang
hidung berikan sedikit penekanan pada lokasi di
mana swab diambil.
10 Lakukan usapan pada bagian belakang pharynx
dan daerah tonsil, hindarkan menyentuh bagian
lidah.
11 Kemudian masukkan swab sesegera mungkin ke
dalam cryotube (tabung tahan pendinginan) yang
berisi 2 ml media transport virus (Hanks BSS +
antibiotika).
12 Putuskan tangkai plastik di daerah mulut
botol/tabung agar botol/tabung dapat ditutup
dengan rapat.
13 Bungkus tabung ini dengan tisu bersih dan
masukkan ke tabung kemas.
14 Masukkan juga kertas koran yang telah diremas-
remas untuk menghindari terjadinya benturan-
benturan pada tabung saat pengiriman.

73
15 Masukkan tabung ini kedalam kotak pengiriman
primer (bahan boleh dari pipa paralon atau
sejenis tupper ware).
16 Label dengan identitas lengkap
MELEPASKAN ALAT PELINDUNG SETELAH
PENGAMBILAN SPECIMEN
1. Buka kaca mata
2. Buka masker
3. Buka tutup kepala
4. Buka sarung tangan dan buang
5. Lakukan langkah cuci tangan
6. Buka jas/gaun dari bagian dalam ke luar.
7. Gulung jas/gaun dari bagian dalam kmd dibuang
di tempat sampah kering
8. Berikanlah label pada tabung transport medium
yang berisi data pribadi klien.
9. Tulislah surat pengantar pemeriksaan
laboratorium yang lengkap berupa:
a. Tanggal permintaan
b. Tanggal dan jam pengambilan specimen
c. Identitas penderita (nama,umur, jenis
kelamin,alamat, nomor rekam medik)
d. Identitas pengirim
e. Jenis specimen
f. Pemeriksaan laboratorium yang diminta
g. Transport media/pengawet yang digunakan
h. Keterangan klinis: diagnosis sementara &
pemakaian antibiotik.
10. Kirimkanlah transport medium dan amplop tadi
bersama surat pengantarnya ke laboratorium
dalam suhu kamar.
11. Dalam hal laboratorium jauh, maka masukkanlah
tabung dalam tempat pengiriman dan jaminlah
agar specimen tidak tumpah.

74
Pertemuan 10
Keterampilan Teknik Nebulizer
Pendahuluan
Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang dilakukan secara
hirupan/inhalasi dalam bentuk aerosol kedalam saluran napas. Terapi
inhalasi masih menjadi pilihan utama pemberian obat yang bekerja
langsung pada saluran napas terutama pada kasus asma dan PPOK.
Prinsip alat nebulizer adalah mengubah obat yang berbentuk larutan
menjadi aerosol sehingga dapat dihirup penderita dengan menggunakan
mouthpiece atau masker. Dengan nebulizer dapat dihasilkan partikel
aerosol berukuran antara 2-5 µ. Alat nebulizer terdiri dari beberapa bagian
yang terpisah yang terdiri dari generator aerosol, alat bantu inhalasi (kanul
nasal, masker, mouthpiece) dan cup (tempat obat cair). Model nebulizer
terdiri dari 3 yaitu :
a. Nebulizer jet-aerosol dengan penekan udara (compressor nebulizer) =
memberikan tekanan udara dari pipa ke cup yang berisi obat cair untuk
memecah airan ke dalam bentuk partikel-partikel uap kecil yang dapat
dihirup ke dalam saluran napas

b. Nebulizer ultrasonik (ultrasonic nebulizer) = menggunakan gelombang


ultrasounik (vibrator dengan frekuensi tinggi) untuk secara perlahan
merubah obat dari bentuk cair ke bentuk aerosol basah

75
c. Nebulizer mini portable (portable nebulizer) = bentuknya kecil, dapat
dioperasikan dengan menggunakan baterai dan tidak berisik sehingga
nyaman digunakan

Indikasi
1. Asma Bronkialis
2. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
3. Sindroma Obstruksi Post TB
4. Mengeluarkan dahak
Kontraindikasi
1. Hipertensi
2. Takikardia
3. Riwayat alergi
4. Trakeostomi
5. Fraktur di daerah hidung, maxilla, palatum oris
6. Kontraindikasi dari obat yang digunakan untuk nebulisasi
Pemilihan Obat
Obat yang akan digunakan untuk terapi inhalasi akan selalu
disesuaikan dengan diagnosis atau kelainan yang diderita oleh pasien.
Obat yang digunakan berbentuk solutio (cairan), suspensi atau obat khusus
yang memang dibuat untuk terapi inhalasi. Golongan obat yang sering
digunakan melalui nebulizer yaitu beta-2 agonis, antikolinergik,
kortikosteroid, dan antiobiotik.
Komplikasi
 Henti napas
 Spasme bronkus atau iritasi saluran napas
 Akibat efek obat yang digunakan seperti salbutamol (short acting beta-2
agonist) dosis tinggi akan menyebabkan gangguan pada sistim
sekunder penyerapan obat. Hipokalemi dan disritmia dapat ditemukan
pada paslien dengan kelebihan dosis.

76
Cara Penggunaan Alat
1. Buka tutup tabung obat, masukkan cairan obat kedalam alat penguap
sesuai dosis yang telah ditentukan.
2. Gunakan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien). Tekan
tombol ON pada nebulizer. Uap yang keluar dihirup perlahan-lahan
dan dalam, inhalasi ini dilakukan terus menerus sampai obat habis. Hal
ini dilakukan berulang-ulang sampai obat habis (+ 10 – 15 menit)
Interpretasi
1. Bronko spasme berkurang atau menghilang
2. Dahak berkurang
Perhatian
1. Bila memungkinkan, kumur daerah tenggorok sebelum penggunaan
nebulizer
2. Perhatikan reaksi pasien sebelum, selama dan sesudah pemberian
terapi inhalasi
3. Nebulisasi sebaikan diberikan sebelum waktu makan
4. Setelah nebulisasi klien disarankan untuk postural drainage dan batuk
efektif untuk membantu pengeluaran sekresi
5. Pasien harus dilatih menggunakan alat secara benar
6. Perhatikan jenis alat yang digunakan. Pada alat tertentu maka uap obat
akan keluar pada penekanan tombol, pada alat lain obatakan keluar
secara terus menerus.
Capaian pembelajaran :
Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa akan mampu
melakukan prosedur nebulisasi dengan benar dan tepat.
Media danalat bantu pembelajaran :
a. Nebulizer kit
b. Obat inhalasi
c. Daftar panduan belajar
d. Status penderita, pulpen, pensil
Metode pembelajaran :
1. Demonstrasi sesuai dengan daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab (simulasi)
5. Evaluasi check list/daftar tilik dengan sistim skor

77
Deskripsi Kegiatan
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 2 menit Pengantar
2. Bermain 23 menit - Mengatur mahasiswa
peran - Dosen memberikan contoh bagaimana
tanya teknik terapi inhalasi menggunakan
jawab nebulizer
- Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya
3. Praktik 90 menit - Mahasiswa dibagi dalam beberapa
melakukan kelompok sesuai dengan ketentuan
Teknik - Setiap pasangan praktik melakukan
terapi Teknik terapi inhalasli dengan nebulizer
inhalasi - Pelatih mengawasi sampai memberikan
dengan perintah bila ada hal-hal yang diperlukan
nebulizer
4. Diskusi 15 menit - Apa yang dirasakan oleh mahasiswa dan
kendala/kesulitan yang dialami selama
melakukan kegiatan
- Dosen menyimpulkan apa yang dilakukan
mahasiswa
Total waktu 150 menit

78
Keterampilan Nebulizer
No Langkah/Kegiatan Nilai
Medical Consent 0 1 2
1 Sapalah penderita atau keluarganya dengan
ramah dan perkenalkan diri anda, serta tanyakan
keadaannya.
2 Berikan informasi umum kepada penderita atau
keluarganya tentang indikasi/tujuan dan cara
pemakaian alat.
Persiapan alat
4 Mempersiapkan alat sesuai yang dibutuhkan :
- Main unit
- Air hose (selang)
- Nebulizer kit (masker, mouthpiece, cup)
- Obat-obatan

Main unit Nebulizer cup Air


hose (selang)

79
Masker Mouthpiece Obat
bronkodilator
5 Memperhatikan jenis alat nebulizer yang akan
digunakan (sumber tegangan, tombol OFF/ON),
memastikan masker ataupun mouth pieceter
hubung dengan baik, persiapan obat)
Persiapan Penderita
6 Meminta penderita untuk kumur terlebih dahulu.
7 Mempersilakan penderita untuk duduk, setengah
duduk atau berbaring (menggunakan bantal),
posisi senyaman mungkin.
8 Meminta penderita untuk santai dan menjelaskan
cara penggunaan masker (yaitu menempatkan
masker secara tepat sesuai bentuk dan
mengenakan tali pengikat). Bila menggunakan
mouthpiece maka mouthpiece tersebut
dimasukkan kedalam mulut dan mulut tetap
tertutup
9 Menjelaskan kepada penderita agar penderita
menghirup uap yang keluar secara perlahan-lahan
dan dalam hingga obat habis
10 Melatih penderita dalam penggunaan masker atau
mouthpiece.
11 Memastikan penderita mengerti dan berikan
kesempatan untuk bertanya.
Pelaksanaan Terapi Inhalasi
12 Menghubungkan nebulizer dengan sumber
tegangan
13 Menghubungkan air hose, nebulizer dan
masker/mouthpiece pada main kit
14 Buka tutup cup, masukkan cairan obat kedalam
alat penguap sesuai dosis yang telah ditentukan.

80
15 Gunakan mouthpiece atau masker sesuai kondisi
pasien.
16 Mengaktifkan nebulizer dengan menekan tombol
ON pada main kit. Perhatikan jenis alat, pada
nebulizer tertentu, pengeluaran uap harus
menekan tombol pengeluaran obat pada nebulizer
kit.
17 Mengingatkan penderita, jika memakai masker
atau mouth piece, uap yang keluar dihirup
perlahan-lahan dan dalam secara berulang hingga
obat habis (kurang lebih 10-15 menit).

Menggunakan mouthpiece
Menggunakan masker
18 Tekan tombol OFF pada main kit, melepas
masker/mouthpiece, nebulizer kit, dan air hose.
19 Menjelaskan kepada penderita bahwa pemakaian
nebulizer telah selesai dan mengevaluasi
penderita apakah pengobatan yang dilakukan
memberikan perbaikan/mengurangi keluhan.
20 Membersihkan mouthpiece dan nebulizer kit serta
obat-obatan yang telah dipakai.

81
Pertemuan 11
Penilaian Radiologi Paru

Pendahuluan
Foto thorax adalah foto X-ray pada thorax yang dibuat untuk
membantu melihat kelainan-kelainan yang ada pada rongga thorax.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang cukup penting dalam
penegakan diagnosis penyakit, utamanya sistem respirasi. Pada foto
thorax ini kita dapat melihat kelainan-kelainan yang ada pada paru, pleura,
organ-organ mediastinum, tulang-tulang dan pada jaringan lunak
sekitarnya. Dalam pembuatan foto thorax haruslah diperlihatkan beberapa
keadaan sehingga foto thorax yang dihasilkan dapat memenuhi syarat.
Indikasi Foto Thorax
1. Pasien dengan riwayat batuk.
2. Pasien dengan sesak
3. Nyeri dada
4. Untuk check up
5. Kelainan-kelainan pada dinding thorax
Capaian Pembelajaran
1. Mampu menentukan jenis posisi foto thorax
2. Mampu membedakan foto thorax yang memenuhi syarat/tidak
3. Mampu menentukan adanya kelainan pada paru-paru dan pleura
Media dan alat bantu pembelajaran
1. Daftar panduan belajar untuk teknik penilaian foto
2. Light box
3. Foto thorax
Metode Pembelajaran
1. Demonstrasi sesuai daftar panduan belajar
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Partisipasi aktif dalam skill lab
5. Evaluasi melalui check list

82
Deskripsi Kegiatan

KEGIATAN WAKTU DESKRIPSI


1. 5 menit Pengantar
Pengantar
2. Bermain 30 menit 1. Mengatur posisi duduk mahasiswa
peran
2. Satu orang dosen (instruktor/co-instruktur)
tanya &
memberikan contoh bagaimana cara
jawab
melakukan penilaian radiologi jantung pada
foto thorax Mahasiswa menyimak dan
mengamati
3. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa
untuk bertanya dan dosen (instruktur)
memberikan penjelasan tentang aspek-aspek
yang penting
4. Selanjuntya kegiatan dilanjutkan dengan
penilaian radiologi jantung pada foto thorax
5. Mahasiswa dapat memperhatikan dan
menanyakan hal-hal yang belum dimengerti
dan dosen (instruktur) menanggapinya.
3. Praktik 100 1. Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok
bermain menit kecil, lalu memebri kesempatan kepada setiap
peran orang dalam kelompok untuk melakukan
dengan penilaian radiologi jantung pada foto thorax
umpan
2. Mentor berkeliling diantara mahasiwa dan
balik
melakukan supervisi menggunakan ceklist
3. Setiap mahasiswa paling sedikit berlatih satu
kali
4. Curah 15 menit 1. Curah pendapat/diskusi : Apa yang dirasakan
pendap mudah ? Apa yang sulit ? Menanyakan
at/ bagaimana perasaan mahasiswa yang
diskusi berperan sebagai pasien. Apa yang dapat
dilakukan oleh dokter agar pasien merasa
lebih nyaman ?
2. Dosen (instruktur) menyimpulkan dengan
menjawab pertanyaan terakhir dan
memperjelas hal-hal yang masih belum
dimengerti
Total waktu 150
menit

83
Keterampilan Penilaian Radiologi Paru

NO LANGKAH KLINIK NILAI


0 1 2
1. 1. Melalukan pemeriksaan identitas pasien
sesuai nomor register foto :
 Nama
 Umur
 Jenis Kelamin
 Tanggal
2. Melakukan pemeriksaan identitas foto yaitu
 No foto
 Marker dari foto  berupa R – L atau D –
S
3. Memasang foto di light – box dengan
beranggapan pasien berhadapan dengan
pemeriksa
4. Menentukan posisi foto apakah PA, AP, Lateral
(R/L), Lateral dekubitus (R/L) atau oblik
5. Menentukan i foto memenuhi syarat atau tidak,
dengan menilai :
 Inspirasi cukup dilihat dari posisi kedua
diagfragma (kanan setinggi intercostal IX –
X posterior, dan diafragma kanan lebih
tinggi dari pada kiri)
 Posisi simetris, dapat dilihat dari projeksi
tulang corpus vertebra thoracal yang
terletak ditengah sendi sternoclaviculer
kanan dan kiri.
 Film meliputi seluruh cavum thorax mulai
dari puncak cavum thorax sampai sinus
phrenico-costalis kanan kiri dapat terlihat
pada film tersebut.
 Vertebra thoracal biasanya terlihat hanya
sampai Th. 3-4.
6. Melakukan penilaian terhadap foto thorax
 Periksa vaskuler parenchym paru, hili,
mediastinum dan kedua

84
sinus/diafragma.
 Karakteristik kelainan/lesi pada paru-
paru, pleura, diagfragma atau
mediastinum.
 Periksa, apakah ada efek dari
kelainan/lesi berupa pendorongan
atau penarikan terhadap hili,
diagfragma, mediastinum dan
penyempitan/pelebaran sela iga.
 Pada anak-anak, periksa, apakah ada
pembesaran kelenjar
paratrakeal/parahiler.
 Periksa, apakah ada organ abdomen
dalam rongga thorax.
 Periksa keadaan soft tissue dan
tulang-tulang iga/clavicula
7. Menentukan diagnosa berdasarkan kelainan
yang ditemukan
8. Mengusulkan tambahan foto thorax posisi
lain untuk lebih memperkuat diagnosa (bila
perlu).

85
Pertemuan 12
Keterampilan Pemeriksaan Mata
Pengertian:
Pemeriksaan dalam ilmu penyakit mata meliputi beberapa prosedur
dengan tujuan dapat menegakkan diagnosis yang benar. Pemeriksaan
meliputi anamnesis, pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan segmen
depan bola mata yang meliputi pemeriksaan palpebra, silia, kornea,
konjungtiva, bilik mata depan, iris, pupil, lensa dan vitreus anterior.
Pemeriksaan segmen depan bola mata meliputi pemeriksaan vitreus
posterior, retina, dan papil saraf optik.
Pemeriksaan tekanan bola mata dilakukan dengan cara palpasi dan
dengan menggunakan tonometer Schiotz, pemeriksaan pergerakan bola
mata dilakukan untuk menilai fungsi ke enam otot penggerak bola mata
yaitu otot rektus superior, medial, inferior, lateral, otot oblikus superior dan
oblikus inferior. Pemeriksaan lapang pandangan dilakukan dengan cara
konfrontasi.
Capaian Pembelajaran :
Diharapkan sesudah melakukan kegiatan ketrampilan klinik, mahasiswa
dapat :
1. Memberikan penjelasan tentang pemeriksaan yang akan dilakukan
dan mendapatkan persetujuan dari penderita.
2. Melakukan anamnesis lengkap pada penderita dengan kelainan
mata.
3. Melakukan pemeriksaan visus anak dan dewasa serta melakukan
koreksi refraksi dengan benar.
4. Melakukan pemeriksaan segmen anterior bola mata dengan benar.
5. Melakukan pemeriksaan dan penilaian segmen posterior dengan
benar menggunakan funduskopi dan pemeriksaan amsler grid.
6. Melakukan pemeriksaan dan interpretasi tekanan bola mata dengan
benar, menggunakan metode palpasi maupun dengan tonometer
indentasi.
7. Melakukan pemeriksaan pergerakan bola mata dan otot ekstra
okuler dengan benar.
8. Melakukan pemeriksaan lapang pandangan sederhana.
9. Melakukan pemeriksaan buta warna dengan lempeng ishihara.
10. Melakukan tindakan terapeutik aplikasi tetes mata dan salep mata.

86
Media dan alat bantú pembelajaran:
1. Penuntun belajar untuk anamnesis dan pemeriksaan fisik dalam
ilmu penyakit mata.
2. Alat audiovisual yang memperlihatkan tata cara melakukan
anamnesis dan pemeriksaan klinik.
3. Optotip Snellen, set lensa coba, senter, loupe, tonometer
Schiotz, oftalmoskop direk, mistar, kertas amsler grid, buku
pemeriksaan buta warna ishihara .
4. Tetes mata pantocain 0,5%, tetes mata antibiotik, tetes mata
mydriatil, salep mata, kapas alkohol, desinfektan (alkohol 70%).
5. Kertas, pensil, pena, dan lembaran status penderita.
Metode pembelajaran:
Demonstrasi sesuai dengan Penuntun Belajar, dilanjutkan dengan praktik
bermain peran.

87
Deskripsi Kegiatan
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. 15 menit 1.Pengantar oleh intruktur
Pengantar
2.Demonstrasi melalui video
secara
umum
2. Bermain 25 menit 1. Dua orang dosen memberikan contoh
peran, bagaimana cara melakukan anamnesis
Tanya dan lengkap, pemeriksaan mata disesuaikan
Jawab tahap demi tahap sesuai penuntun belajar.
2. Mahasiswa menyimak sesuai dengan
menggunakan Penuntun Belajar.
3. Memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya dan dosen
memberikan penjelasan tetang aspek-
aspek yang penting.
3. Praktik 100 1.Mahasiswa dibagi menjadi pasangan-
bermain menit pasangan. Seorang mentor diperlukan
peran untuk mengamati 3 pasangan.
dengan
2. Setiap pasangan berpraktik melakukan
umpan balik
pemeriksaan. (secara bergantian berlaku
sebagai pemeriksa dan penderita)
3. Mentor berkeliling diantara mahasiswa dan
melakukan supervisi menggunakan cek list.
4. Mentor memberikan tema khusus umpan
balik kepada setiap pasangan.
4. Curah 15 menit 1. Curah pendapat/diskusi: apa yang dirasakan
pendapat/ mudah, apa yang sulit. Menanyakan
diskusi bagaimana perasaan mahasiswa yang
berperansebagaipenderita. Apa yang dapat
dilakukan oleh pemeriksa agar penderita
lebih nyaman.
2. Dosen menyimpulkan dengan menjawab
pertanyaan dan menjelaskan masalah yang
belum dimengerti.
Total waktu 155
menit

88
Keterampilan Pemeriksaan Mata

NO. LANGKAH KEGIATAN


I. MELAKUKAN ANAMNESIS LENGKAP PADA PENDERITA
DENGAN KELAINAN MATA
Tujuan : Mendapatkan informasi sebanyak mungkin tentang keluhan
dan kemungkinan diagnosis
0 1 2
1. Mempersilahkan pasien masuk ke dalam ruangan
Memberi salam/ memperkenalkan diri dengan cara
yang sopan.
2. Atur posisi duduk penderita.
3. Tanyakan identitas penderita
4. Tanyakan keluhan utama
5. Tanyakan lebih detil hal yang berhubungan dengan
keluhan utama misal;
- Keluhan penglihatan kabur: satu/kedua mata,
apakah sangat/sedikit kabur, penglihatan
buram/tertutup, penglihatan sentral atau perifer
yang kabur ( apakah semua lapangan
penglihatan atau sebagian saja), disertai rasa
silau/tidak,
- Keluhan mata merah: satu/kedua mata, didahului
trauma/tidak, didahului/disertai penglihatan kabur
- Keluhan penglihatan ganda: apakah pada satu
mata atau pada saat melihat dengan dua mata,
apakah disertai pusing
6. Tanyakan deskripsi keluhan utama: lamanya, onset
(tiba-tiba/ perlahan), perlangsungannya (konstan/
memberat), aktivitas saat keluhan timbul, kondisi
yang memperberat/meringankan keluhan, apakah
ada upaya pengobatan sebelumnya, atau apakah
keluhan ini pertama kali timbul atau sudah
berulang.
7. Tanyakan kelainan mata yang lainnya: mata
merah, air mata berlebih, kotoran mata berlebih,
silau, penglihatan menurun, nyeri, rasa mengganjal,
rasa berpasir, serta gejala penyerta bila ada.
8. Tanyakan kelainan mata yang pernah diderita,

89
termasuk riwayat tindakan/operasi mata.
9. Tanyakan riwayat penyakit yang lain, termasuk
penyakit sistemik dan pengobatan yang didapat.
10. Tanyakan riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga/ lingkungan
11. Catatlah hasil anamnesis.
12. Konfirmasi ulang hasil anamnesis dan berikan
kesempatan pasien untuk bertanya
II. MELAKUKAN PERSIAPAN UNTUK
PEMERIKSAAN VISUS YANG BAIK
Tujuan : Menentukan visus dasar penderita
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.
2. Mintalah penderita duduk pada jarak 5 atau 6 m
dari optotipe Snellen.
3. Periksa apakah terdapat kondisi mata merah
(infeksi/inflamasi pada mata), apabila ditemukan
tanda mata merah, maka minta pasien menutup
satu matanya dengan telapak tangan tanpa
menekan bola mata. Bila tidak didapatkan kondisi
mata merah maka minta penderita untuk memakai
trial frame.
4. Minta penderita untuk melihat ke depan dengan
rileks tanpa melirik atau mengerutkan kelopak
mata. Apabila pasien menggunakan trial frame
maka untuk memeriksa visus mata kanan pasien,
tutup mata kiri penderita dengan occluder yang
dimasukkan dalam trial frame
5. Minta penderita untuk menyebut huruf, angka atau
simbol yang ditunjuk
6. Tunjuk huruf, angka atau simbol pada optotip
Snellen dari atas ke bawah.
7. Tentukan visus penderita sesuai dengan hasil
pemeriksaan. Visus penderita ditunjukkan oleh
angka disamping baris huruf terakhir yang dapat
terbaca oleh penderita
8. Tulis hasil pemerikaan visus.
9. Lakukan hal yang sama pada mata kiri pasien.
10. Bila visus penderita tidak optimal hingga 20/20 atau

90
6/6 dilanjutkan ke pemeriksaan penilaian refraksi

MELAKUKAN PEMERIKSAAN PENILAIAN VISUS BAYI DAN ANAK


Tujuan : Menentukan kemampuan fix and follow bayi/anak
0 1 2
1. Mintalah anggota keluarga untuk memangku
bayi/anak agar anak merasa nyaman
2. Ambillah mainan kecil atau objek lain yang menarik
perhatian, yang hanya menstimulasi penglihatan;
jangan menggunakan objek yang bersuara. Pegang
objek sekitar 1-2 kaki didepan muka anak dan
gerakkan secara horizontal kesisi lainnya.
3. Amati kemampuan anak untuk memfiksasi dan
mengikuti objek
4. Tutup satu mata dan ulangi tes tersebut. Tutup mata
yang satu dan ulangi lagi. Amati perbedaan yang
terjadi diantara ke-2 mata pada kualitas fiksasi dan
“smooth pursuit”atau reaksi penolakan terhadap
oklusi. Jika Anda mencurigai adanya perbedaan, tapi
tidak yakin, ulangi tes, menggunakan mainan yang
lain untuk mempertahankan minat anak.
5. Pada saat menguji penglihatan monokuler, bayi
yang lebih muda akan merespon pergerakan objek
secara lebih baik jika objek digerakkan dari arah
temporal ke arah nasal, kecenderungan ini akan

menurun setelah bayi berusia sekitar 6 bulan.

91
MELAKUKAN PENILAIAN REFRAKSI SUBJEKTIF
Tujuan : Menilai status refraksi dan melakukan terapi kelainan refraksi
0 1 2
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.
2. Mintalah penderita duduk pada jarak 5 atau 6 m dari
optotipe Snellen.
3. Periksa apakah terdapat kondisi mata merah
(infeksi/inflamasi pada mata), apabila ditemukan
tanda mata merah, maka pemeriksaan sebaiknya
ditunda. Minta penderita untuk memakai trial frame
4. Minta penderita untuk melihat ke depan dengan
rileks tanpa melirik atau mengerutkan kelopak
mata. Apabila pasien menggunakan trial frame maka
untuk memeriksa visus mata kanan pasien, tutup
mata kiri penderita dengan occluder yang
dimasukkan dalam trial frame
5. Minta penderita untuk melihat ke depan dengan
rileks tanpa melirik atau mengerutkan kelopak mata
6. Minta penderita untuk menyebut huruf, angka atau
simbol yang ditunjuk dimulai dari baris yang terakhir
bisa dilihat dengan jelas oleh pasien saat awal
pemeriksaan visus
7. Tunjuk huruf, angka atau simbol pada optotip
Snellen berurutan dari baris atas ke bawah.
8. Pasangkan lensa coba (+)/positif dan (-)/negatif 0.5
D bergantian, minta penderita menyebutkan lensa
mana yang memberikan bayangan yang lebih jelas.
Penderita tidak hasus menyebutkan semua
huruf/angak optotip dengan benar, cukup jelas/tidak
dahulu.
9. Apabila penderita sudah menentukan lensa yang
memberikan bayangan lebih jelas, mulailah dengan
memberikan lensa dengan ukuran terkecil, dan
kemudian minta penderita membaca kembali optotip.
10. Lensa coba diganti hingga penderita dapat
membaca optotip maksimal. Pilih lensa convex /(+)
terkuat atau lensa concave (-) terlemah yang
memberikan penglihatan terbaik.

92
Keterampilan Penulisan Resep Kacamata Baca
Akomodasi adalah kemampuan mata untuk melihat dengan jelas pada
jarak dekat. Secara umum disepakati bahwa saat membaca maka jarak
membaca yang baik adalah 33 cm. Akomodasi dapat dilakukan oleh
karena kendornya penggantung lensa yang mengakibatkan kapsul lensa
dapat mencembung. Pada bayi kapsul lensa sangat lentur, dengan
bertambahnya umur, kapsul lensa semakin kaku sehingga pada umur 60
tahun (untuk orang indonesia) akomodasi lumpuh sama sekali. Keluhan
astenopia biasanya dapat dirasakan saat membaca dekat dalam waktu
lama. Presbiopi (mata tua) adalah gangguan melihat dekat karena
lemahnya akomodasi akibat umur tua. kelainan ini akan dialami oleh orang
yang emetrop lebih-lebih orang hipermetrop, untuk miop lebih lambat
terjadinya tergantung besarnya miop, makin besar miopinya makin lambat
keluhan presbiopinya.
Bagi orang indonesia yang emetrop biasanya umur 40 tahun sudah
perlu tambahan kacamata baca sebesar 1 dioptri (+)
 Umur 40 tahun addisi S+1D
 Umur 45 tahun addisi S+1,5D
 Umur 50 tahun addisi S+2D
 Umur 60 tahun atau lebih addisi S+3D ( karena mulai umur 60
tahun akomodasi sudah lupuh total)
Contoh:
1. Orang emetrop pada kedua mata umur 50 th
OD: plano(atas), S+2D(bawah)
OS:plano(atas), S+2D(bawah)
2. Orang hipermetrop 1D pada kedua mata umur 60th
OD: S+1D(atas), S+4D(bawah)
OS:S+1(atas), S+4D(bawah)
3. Orang miop 2D pada kedua mata umur 55th
OD: S-2D(atas), S+2D(bawah)
OS:S-2D(atas), S+2D(bawah)

93
III. MELAKUKAN PEMERIKSAAN SEGMEN ANTERIOR BOLA MATA

0 1 2
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
2. Pemeriksa duduk di depan penderita pada jarak
jangkauan tangan
3 Ruangandibuatsetengahgelap
.
4. Gunakan senter yang diarahkan ke mata pendertia
dengan posisi senter 45-60o dari temporal mata
yang akan diperiksa, dimulai pada mata kanan.
5. Lakukan pemeriksaan segmen anterior bola mata
dimulai dari kelopak mata, lebar fisura palpebra,
posisi bola mata.
6. Lakukan pemeriksaan bulu mata atas dan bawah,
konjungtiva palpebra superior dan inferior,
konjungtiva bulbi, kornea, kamera okuli anterior, iris,
pupil, lensa, dan vitreus anterior
Periksalah refleks pupil direk dan indirek
7.
VI. MELAKUKAN PEMERIKSAAN SEGMEN
POSTERIOR
1. Jelaskanmaksuddan prosedurpemeriksaan
2. . Persiapkan alat untuk pemeriksaan segmen
posterior bola mata (direct ophthalmoscope).
Ruangan dibuat setengah gelap, penderita diminta
melepas kacamata dan pupil dibuat midriasis
dengan tetes mata mydriatil
3. . Sesuaikanlah lensa oftalmoskop dengan ukuran
kaca mata penderita.
4. . Mata kanan pemeriksa memeriksa mata kanan
penderita, mata kiri pemeriksa memeriksa mata kiri
penderita.
5. . Mintalah penderita untuk melihat satu titik di
belakang pemeriksa
6. Arahkan ke pupil dari jarak 25-30 cm oftalmoskop
untuk melihat refleks fundus dengan posisi/cara
pegang yang benar
7. Periksa secara seksama dengan perlahan maju

94
mendekati penderita kurang lebih 5 cm.
8. Sesuaikan fokus dengan mengatur ukuran lensa
pada oftalmoskop.
9. Amati secara sistematis struktur retina dimulai dari
papil N. optik, arteri dan vena retina sentral, area
makula, dan retina perifer.
10. Catatlah hasil yang didapat dalam status penderita

IV. MELAKUKAN PEMERIKSAAN PERGERAKAN BOLA MATA

0 1 2

1. Jelaskan maksud dan prosedur pemeriksaan


2. Pemeriksa duduk berhadapan dengan penderita
dengan jarak jangkauan tangan (30-50 cm)
3. Mintalah kepada pasien untuk memandang lurus ke
depan.
4. Arahkan senter pada bola mata dan amati pantulan
sinar pada kornea, kemudian gerakkan senter
dengan membentuk huruf H dan berhenti sejenak
pada waktu senter berada di lateral dan lateral atas,
dan lateran bawah (mengikuti six cardinal of gaze).
5. Posisi dan gerakan ke-dua bola mata diamati
selama senter digerakkan.
6. Letakkan pensil pada jarak 30cm di depan mata
penderita kemudian diminta untuk
mengikuti/melihat ujung pensil yang digerakkan
mendekat ke arah hidung penderita.

95
7. Hasil interpretasi dicatat dalam status.

I. MELAKUKAN PEMV. PERIKSAAN LAPANGAN PANDANG DENGAN CARA KONFRONTASI


22222 0 1 2
1. Terangkan maksud dan prosedur pemeriksaan
2. Mintalah penderita untuk duduk berhadapan.
Posisi bola mata antara penderita dan pemeriksa
selaras dengan jarak 30 – 50 cm.
3. Tutuplah mata di sisi yang sama dengan mata
penderita yang ditutup.
4. Difiksasi pada mata pasien yang tidak ditutup.
5. Mintalah penderita agar memberi respons bila
melihat objek yang digerakkan pemeriksa di mana
mata tetap terfiksasi dengan mata pemeriksa.
6. Gerakkan obyek dari perifer ke tengah dari arah
superior, temporal, inferior, dan , nasal,.
7. Catatlah hasil pemeriksaan dalam status penderita.

96
VI. MELAKUKAN PEMERIKSAAN AMSLER GRID
0 1 2
1. Jelaskan maksud dan prosedur pemeriksaan.

2. Mintalah penderita untuk memegang testing


grid sejajar dengan garis pandang mata,
dengan jarak kira-kira 36cm ( 14 inchi ) dari
mata penderita. Tutuplah mata lain yang tidak
sedang diperiksa.
3. Mintalah penderita untuk memfiksasi matanya
pada central spot dari testing grid tersebut.
4. Tanyakan pada penderita apakah garis-garis
lurus pada testing grid berubah menjadi garis
lengkung (distorted ) atau apakah garis-garis
tersebut hilang ( loss ).
Mintalah pasien untuk menggambar area yang
distorted maupun yang loss pada amsler grid
5.
notepad. Pastikan pada notepad tersebut
tercantum tanggal pemeriksaan,nama
penderita dan mata manakah yang diperiksa.
6. Lakukan pemeriksaan ini pada kedua mata,.

97
VII. MELAKUKAN PEMERIKSAAN BUTA WARNA
0 1 2
Jelaskan maksud dan prosedur pemeriksaan
1.
pada penderita.
Cahaya ruangan harus dibuat cukup, tidak terlalu
2. terang dan tidak terlalu redup agar warna pada
buku ishihara terlihat jelas
Pasien diminta untuk membaca tulisan pada
3.
buku ishihara dengan jarak ± 30-40 cm
Setiap plate dibacadalamwaktu 5 detik, hasil
4.
pembacaan dituliskan dalam tabe evaluasi
Setelahke-12 plate terbaca, hasil pembacaan
5.
pada tabel evaluasi disimpulkan

98
VIII. MELAKUKAN PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA
DENGAN METODE PALPASI
Tujuan : Melakukan pemeriksaan tekanan bola mata secara
kualitatif
0 1 2
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
2. Pemeriksa duduk berhadapan dengan
penderita dengan jarak jangkauan tangan
pemeriksa, (25 – 30 cm).
3. Mintalah penderita untuk melirik ke bawah.
4. Mulailah pemeriksaan dari mata kanan.
5. Kedua jari telunjuk berada pada palpebra
superior. Ibu jari, kelingking, jari manis, dan jari
tengah memfiksasi didaerah tulang sekitar
orbita.
6. Jari telunjuk secara bergantian menekan bola
mata melalui palpebra dan merasakan
besarnya tekanan bola mata.
7. Besarnya tekanan dilambangkan dengan Tn,
Tn-1, Tn-2, Tn+1, Tn+2
Prosedur yang sama dilakukan pula pada mata
kiri

99
IX. MELAKUKAN PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA
DENGAN CARA INDENTASI MENGGUNAKAN
TONOMETER SCHIOTZ
Tujuan : Melakukan pemeriksaan tekanan bola mata secara
kuantitatif menggunakan alat tonometer
0 1 2
1. Jelaskan maksud dan prosedur
pemeriksaan
2. Baringkan penderita di tempat tidur.
3. Anestesi topikal dengan menggunakan tetes
mata Pantocain 0,5%
4. Gunakan beban tonometer yang terendah,
5,5 gr.
5. Desinfeksi indentasi dengan alkohol 70%,
biarkan sampai kering.
Penderita diminta melihat ke atas dengan
melihat lurus pada jari penderita yang
diposisikan di atas mata yang akan
diperiksa
6. Letakkan tonometer dengan hati-hati pada
kornea, selanjutnya baca skala yang
ditunjukkan oleh jarum.
7. Sesuaikan hasil pembacaan dengan tabel
konversi yang tersedia (satuan mmHg).
8. Teteskan antibiotik topikal setelah
pemeriksaan

100
X. PEMBERIAN OBAT TOPIKAL
A Obat Tetes Mata 0 1 2
1. Penderita dibaringkan dengan posisi
telentang atau penderita duduk dengan
posisi kepala menengadah kearah langit
langit ruangan.
2. Instruksikan penderita untuk membuka
kedua mata.
3. Lebarkan fissura palpebra dengan jari
telunjuk dan ibu jari pada mata yang hendak
diberi obat tetes.
4. Teteskan obat pada daerah sclera pasien,
instruksikan pasien untuk melirik kearah
temporal atau nasal.
5. Instruksikan pasien untuk menutup mata
beberapa saat kemudian berkedip agar obat
dapat meyebar ke permukaan bola mata
6. Bersihkandaerahsekitarkelopakmata.
B. Zalf Mata
1. Penderita dibaringkan dengan posisi
telentang atau penderita duduk dengan
posisi kepala menengadah kearah langit
langit ruangan.
2. Instruksikan penderita untuk membuka
kedua mata.
3. Tarik fissura palpebra inferior dengan jari
telunjuk atau ibu jari pada mata yang
hendak diberi obat.
4. Oleskanzalfmatapadadaerahkonjungtivapalp
ebra inferior
5. Instruksikan pasien untuk menutup mata
6. Pasang bebat mata bila perlu

101
XI. ANEL TEST
0 1 2
1. Jelaskan maksud dan prosedur pemeriksaan
kepada penderita
2. Posisikan penderita tidur terlentang di atas meja
pemeriksaan
3. Anestesi topical dengan menggunakan 1 tetes
Pantocain 0,5% pada mata yang akan diperiksa
4. Isilahspoit 1 cc dengan larutansteril NaCl.
Gunakan kanul viscoelastic
5. Injeksikan larutan tersebut dengan memposisikan
ujung kanul pada punctum lacrimalis inferior dan
mengarah ke kanalikuli / saccus lakrimalis
6 Tanyakan pada penderita apakah ia merasakan
adanya cairan atau rasa asindarilarutan NaCl
tersebut
7 Nilai apakah hasil anel test tersebut positif atau
negatif (positif jika penderita merasakan adanya
cairan yang terasa asin)

XII. EYE DRESSING


1. Jelaskan maksud dan prosedur pemeriksaan
kepada penderita
2. Lakukan cuci tangan rutin
3. Posisikanpenderitatidurterlentang di
atasmejapemeriksaan
4. Siapkan alat dan bahan
5. Potong kasa dan plester secukupnya
5. Berikan salep mata atau tetes mata pada mata
yang akan ditutup
6 Tutup mata dengan menggunakan kasa dan
plester kasa
7 Edukasi pasien

102
XIII. Epilasi Bulu Mata
Sebelum melakukan tindakan pada mata:
 Cuci tangan Anda sebelum dan setelah melakukan tindakan
 Posisikan pasien dengan nyaman dengan kepala menengadah
 Pastikan pencahayaan yang baik.
 Selalu jelaskan kepada pasien apa yang akan di lakukan.
Indikasi
 Untuk menghilangkan bulu mata yang membengkak (trichiasis)
 Untuk mencegah abrasi kornea
Alat yang mungkin diperlukan
 Loupe (kaca Pembesar)
 Penlight atau cahaya lampu
 Kasa
 Obat anestesi lokal tetes
 Tang epilasi
 Asisten
Persiapan
 Jelaskan prosedur dan beri tahu pasien bahwa hal itu akan
menyebabkan ketidaknyamanan tapi hanya singkat.
 Pasien, penolong, dan pemeriksa harus diposisikan dengan tepat.
Penolong bisa memegang cahaya lampu.

Metode
 Masukkan cairan anestesi lokal
 Menggunakan pembesaran, kenali bulu mata yang butuh epilasi
Untuk bulu mata bagian bawah:

103
 Mintalah pasien untuk mencari, memperbaiki tatapannya, dan tetap
diam
 Dengan jari telunjuk, pegang kelopak mata bagian bawah dengan
lembut
Untuk bulu mata bagian atas:
 Mintalah pasien untuk melihat ke bawah, perbaiki arah
pandangannya, dan usahakan pasien tetap diam
 Dengan jempol, lepaskan kelopak mata bagian atas dengan lembut
ke tepi orbital

 Dengan forsep epilus di sisi lain, tahan bulu mata yang mengalir di
dekat alasnya dan tarik perlahan ke depan untuk mencabutnya.
 Ulangi sampai semua bulu mata yang bocor mengalami kerontokan

104
 Antara setiap epilasi, usapkan bulu mata dari forsep dengan sapuan
bersih
 Yakinkan pasien saat semua bulu mata yang tumpah telah
dikeluarkan dan beri tahu untuk tidak menggosok mata.
 Berikan antibiotik setelah epilasi selesai.

XIII. EPILASI BULU MATA


0 1 2
1. Jelaskan maksud dan prosedur pemeriksaan
kepada penderita
2. Posisikan penderita tidur terlentang di atas meja
pemeriksaan
3. Anestesi topical dengan menggunakan 1 tetes
Pantocain 0,5% pada mata yang akan diperiksa
4. Untuk bulu mata bagian bawah:
 Mintalah pasien untuk mencari,
memperbaiki tatapannya, dan tetap diam
 Dengan jari telunjuk, pegang kelopak mata
bagian bawah dengan lembut
5. Untuk bulu mata bagian atas:
 Mintalah pasien untuk melihat ke bawah,
perbaiki arah pandangannya, dan usahakan
pasien tetap diam
 Dengan jempol, lepaskan kelopak mata
bagian atas dengan lembut ke tepi orbital
6 Dengan forsep epilus di sisi lain, tahan bulu mata
yang mengalir di dekat alasnya dan tarik perlahan
ke depan untuk mencabutnya.
7 Ulangi sampai semua bulu mata yang bocor
mengalami kerontokan
Antara setiap epilasi, usapkan bulu mata dari
forsep dengan sapuan bersih
8 Berikan salep antibiotik setelah epilasi selesai.

105
Pertemuan 13
Pemeriksaan THT
Pendahuluan
Pemeriksaan fisik telinga, hidung dan tenggorok adalah suatu
pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan-
kelainan pada telinga, mulai dari telinga bagian luar sampai telinga dalam
yang dapat memberikan gangguan fungsi pendengaran dan keseimbangan
;kelainan-kelainan pada hidung dan tenggorok yang dapat memberikan
gangguan penghidu dan pengecapan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
melihat (inspeksi), meraba (palpasi) dan melakukan tes-tes untuk melihat
sifat dan jenis gangguan pendengaran dan keseimbangan serta gangguan
penghidu dan pengecapan
Indikasi
Untuk mengetahui kelainan-kelainan pada telinga, hidung dan
tenggorok yang memberikan gangguan pendengaran, keseimbangan,
penghidu, dan pengecapan.
Penuntun Pembelajaran
Sebelum melakukan pemeriksaan THT ada beberapa hal yang harus
dipersiapkan antara lain :
1. Persiapan Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang akan digunakan dalam pemeriksaan THT
antara lain:
- Lampu kepala
- Spekulum telinga dengan berbagai ukuran
- Aplikato rkapas
- Pinset bayonet dan pinset lurus
- Cerumen hook dan cerumen spoon
- Otopneumoscope
- Speculum hidung dengan berbagai ukuran
- Cermin laring dan nasofaring dengan berbagai ukuran
- Spatel lidah
- Seperangkat garputala
- Kapas dan Kasa
- Larutan Efedrin 1% dan 2%
- Larutan lidokain

106
- Alkohol 70%
- Betadine
- AgNo3
- Spoit 10 cc untuk spooling telinga
- Air hangat yang disesuaikan dengan suhu tubuh
- Bunsen
2. Pemasangan lampu kepala
Sebelum diletakkan di kepala, ikatan lampu kepala
dilonggarkan dengan memutar pengunci kearah kiri. Posisi lampu
diletakkan tepat pada daerah glabella atau sedikit miring kearah
mata yang lebih dominant. Bila lampu kepala sudah berada pada
posisi yang benar, ikatan lampu dieratkan dengan memutar kunci
kearah kanan. Pungunci ikatan lampu kepala harus berada
disebelah kanan kepala.
Fokus cahaya lampu diatur dengan memfokuskan cahaya kearah
telapak tangan yang diletakkan kurang lebih 30 cm dari lampu
kepala. Besar kecilnya focus cahaya diatur dengan memutar
penutup lampu kepala kearah luar sampai diperoleh focus cahaya
lampu yang kecil, bulat dengan tingkat pencahayaan yang
maksimal. Diusahakan agar sudut yang dibentuk oleh jatuhnya
sumber cahaya ke arah obyek yang berjarak kurang lebih 30 cm
dengan aksis bola mata, sebesar 15 derajat.
3. Posisi duduk antara pemeriksa dengan pasien
Pemeriksa dan pasien masing-masing duduk berhadapan dengan
sedikit menyerong , kedua lutut pemeriksa dirapatkan dan
ditempatkan berdampingan dengan kaki penderita. Bila diperlukan
posisi-posisi tertentu penderita dapat diarahkan ke kiri atau kanan.
Kepala penderita difiksasi dengan bantuan seorang perawat. Pada
anak kecil yang belum koperatif selain diperlukan fiksasi kepala,
sebaiknya anak dipangku oleh orang tuanya pada saat dilakukan
pemeriksaan. Kedua tangan dipeluk oleh orang tua sementara itu,
kaki anak difiksasi diantara kedua paha orang tua.

107
Pemeriksaan Telinga
Mula-mula dilakukan inspeksi telinga luar, perhatikan apakah ada
kelainan bentuk telinga, tanda-tanda peradangan, tumor dan sekret yang
keluar dari liang telinga. Pengamatan dilakukan pada telinga bagian depan
dan belakang.
Setelah mengamati bagian-bagian telinga, lakukan palpasi pada
telinga,apakah ada nyeri tekan, nyeri tarik atau tanda-tanda pembesaran
kelenjar pre dan post aurikuler.
Pemeriksaan auskultasi pada telinga dengan menggunakan stetoskop
dapat dilakukan pada kasus-kasus tertentu misalnya pada penderita
dengan keluhan tinnitus objektif.
Pemeriksaan liang telinga dan membrane timpani dilakukan dengan
memposisikan liang telinga sedemikian rupa agar diperoleh aksis liang
telinga yang sejajar dengan arah pandang mata sehingga keseluruhan
liang telinga sampai permukaan membrane timpani dapat terlihat. Posisi ini
dapat diperoleh dengan menjepit daun telinga dengan menggunakan ibu
jari dan jari tengah dan menariknya kearah superior-dorso-lateral dan
mendorong tragus ke anterior dengan menggunakan jari telunjuk. Cara ini
dilakukan dengan tangan kanan bila akan memeriksa telinga kiri dan
sebaliknya digunakan tangan kiri bila akan memeriksa telinga kanan. Pada
kasus-kasus dimana kartilago daun telinga agak kaku atau kemiringan
liang telinga terlalu ekstrim dapat digunakan bantuan speculum telinga
yang disesuaikan dengan besarnya diameter liang telinga. Spekulum
telinga dipegang dengan menggunakan tangan yang bebas.
Amati liang telinga dengan seksama apakah ada stenosis atau atresia
meatal, obstruksi yang disebabkan oleh secret, jaringan ikat, benda asing,
serumen obsturan, polip, jaringan granulasi, edema atau furunkel. Semua
sumbatan ini sebaiknya disingkirkan agar membrane timpani dapat terlihat
jelas. Diamati pula dinding liang telinga ada atau tidak laserasi
Liang telinga dibersihkan dari secret dari sekret dengan menggunakan
aplikator kapas, bilas telinga atau dengan suction. Cara membuat aplikator
kapas yaitu dengan mengambil kapas secukupnya kemudian aplikator
diletakkan ditengah-tengah kapas aturlah letak aplikator sedemikian rupa
sehingga ujung aplikator terletak kira-kira pada pertengahan kapas, kapas
kemudian dilipat dua sehingga menyelimuti ujung aplikator dan dijepit

108
dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri. Selanjutnya pangkal aplikator
diputar searah dengan putaran jarum jam dengan menggunakan tangan
kanan. Setelah ujung aplikator diselimuti kapas lakukan pengecekan
apakah ujung aplikator yang tajam tidak melampaui ujung kapas.
Selanjutnya kapas aplikator dilewatkan diatas api Bunsen.. Bila secret
terlalu profus dapat digunakan bilasan air hangat yang disesuikan dengan
suhu tubuh. Bilasan telinga dilakukan dengan menyemprotkan air dari spoit
langsung ke dalam telinga. Ujung spoit diarahkan ke dinding atas meatus
sehingga diharapkan secret / serumen akan dikeluarkan oleh air bilasan
yang balik kembali.
Pengamatan terhadap membrane timpani dilakukan dengan
memperhatikan permukaan membrane timpani, posisi membrane, warna,
ada tidaknya perforasi, refleks cahaya, struktur telinga tengah yang terlihat
pada permukaan membrane seperti manubrium mallei, prosesus brevis,
plika maleolaris anterior dan posterior
Untuk mengetahui mobilitas membrane timpani digunakan
otopneumoskop. Bila akan dilakukan pemeriksaan telinga kanan, speculum
otopneumoskop difiksasi dengan ibu jari dan jari telunjuk, daun telinga
dijepit dengan menggunakan jari tengah dan jari manis tangan kiri,
sebaliknya dilakukan bila akan memeriksa telinga kiri. Selanjutnya
pneumoskop dikembang kempiskan dengan menggunakan tangan kanan.
Pada saat pneumoskop dikembang kempiskan, pergerakan membrane
timpani dapat diamati melalui speculum otopneumoskop. Pergerakan
membrane timpani dapat pula diamati dengan menyuruh pasien melakukan
Manuver Valsalva yaitu dengan menyuruh pasien mengambil napas dalam,
kemudian meniupkan melalui hidung dan mulut yang tertutup oleh tangan.
Diharapkan dengan menutup hidung dan mulut, udara tidak dapat keluar
melalui hidung dan mulut sehingga terjadi peninggian tekanan udara di
dalam nasofaring. Selanjutnya akibat penekanan udara, ostium tuba yang
terdapat dalam rongga nasofaring akan terbuka dan udara akan masuk ke
dalam kavum timpani melalui tuba auditiva

109
Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasalis
Pemeriksaan hidung diawali dengan melakukan inspeksi dan palpasi
hidung bagian luar dan daerah sekitarnya. Inspeksi dilakukan dengan
mengamati ada tidaknya kelainan bentuk hidung, tanda-tanda infeksi dan
sekret yang keluar dari rongga hidung. Palpasi dilakukan dengan
penekanan jari-jari telunjuk mulai dari pangkal hidung sampai apeks untuk
mengetahui ada tidaknya nyeri, massa tumor atau tanda-tanda krepitasi.
Pemeriksaan rongga hidung dilakukan melalui lubang hidung yang
disebut dengan Rhinoskopi anterior dan yang melalui rongga mulut
dengan menggunakan cermin nasofaring yang disebut dengan Rhinoskopi
posterior.

1. Rhinoskopi anterior
RA dilakukan dengan menggunakan spekulum hidung yang
disesuaikan dengan besarnya lubang hidung. Spekulum hidung
dipegang dengan tangan yang dominant. Spekulum digenggam
sedemikian rupa sehingga tangkai bawah dapat digerakkan bebas
dengan menggunakan jari tengah, jari manis dan jari kelingking. Jari
telunjuk digunakan sebagai fiksasi disekitar hidung. Lidah speculum
dimasukkan dengan hati-hati dan dalam keadaan tertutup ke dalam
rongga hidung. Di dalam rongga hidung lidah speculum dibuka.
Jangan memasukkan lidah speculum terlalu dalam atau membuka
lidah speculum terlalu lebar. Pada saat mengeluarkan lidah speculum
dari rongga hidung , lidah speculum dirapatkan tetapi tidak terlalu
rapat untuk menghindari terjepitnya bulu-bulu hidung.
Amati struktur yang terdapat di dalam rongga hidung mulai dari
dasar rongga hidung, konka-konka, meatus dan septum nasi.
Perhatikan warna dan permukaan mukosa rongga hidung, ada
tidaknya massa , benda asing dan secret. Struktur yang terlihat
pertama kali adalah konka inferior . Bila ingin melihat konka medius
dan superior pasien diminta untuk tengadahkan kepala.
Pada pemeriksaan RA dapat pula dinilai Fenomena Palatum
Molle yaitu pergerakan palatum molle pada saat pasien diminta untuk
mengucapkan huruf “ i “. Pada waktu melakukan penilaian fenomena
palatum molle usahakan agar arah pandang mata sejajar dengan

110
dasar rongga hidung bagian belakang. Pandangan mata tertuju pada
daerah nasofaring sambil mengamati turun naiknya palatum molle
pada saat pasien mengucapkan huruf “ i ”. Fenomena Palatum Molle
akan negatif bila terdapat massa di dalam rongga nasofaring yang
menghalangi pergerakan palatum molle, atau terdapat kelumpuhan
otot-otot levator dan tensor velli palatini.
Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa
dapat digunakan tampon kapas efedrin yang dicampur dengan
lidokain yang dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk mengurangi
edema mukosa.

2. Rhinoskopi posterior
Pasien diminta untuk membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah,
1/3 dorsal lidah ditekan dengan menggunakan spatel lidah. Jangan
melakukan penekan yang terlalu keras pada lidah atau memasukkan
spatel terlalu jauh hingga mengenai dinding faring oleh karena hal ini
dapat merangsang refleks muntah.
Cermin nasofaring yang sebelumnya telah dilidah apikan,
dimasukkan ke belakang rongga mulut dengan permukaan cermin
menghadap ke atas. Diusahakan agar cermin tidak menyentung
dinding dorsal faring.. Perhatikan struktur rongga nasofaring yang
terlihat pada cermin.
Amati septum nasi bagian belakang, ujung belakang konka
inferior, medius dan superior, adenoid (pada anak), ada tidak sekret
yang mengalir melalui meatus. Perhatikan pula struktur lateral rongga
nasofaring : ostium tuba, torus tubarius, fossa Rossenmulleri.
Selama melakukan pemeriksaan pasien diminta tenang dan
tetap bernapas melalui hidung. Pada penderita yang sangat sensitif,
dapat disemprotkan anestesi lokal ke daerah faring sebelum
dilakukan pemeriksaan.

3. Pemeriksaan Sinus Paranasalis


Inspeksi dilakukan dengan melihat ada tidaknya pembengkakan
pada wajah. Pembengkakan dan kemerahan pada pipi, kelopak mata
bawah menunjukkan kemungkinan adanya sinusitis maksilaris akut.
Pembengkakan pada kelopak mata atas kemungkinan sinusitis

111
frontalis akut. Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk pada gigi bagian
atas menunjukkan adanya Sinusitis maksilaris. Nyeri tekan pada
medial atap orbita menunjukkan adanya Sinusitis frontalis. Nyeri
tekan di daerah kantus medius menunjukkan adanya kemungkinan
sinusitis etmoidalis.
Pemeriksaan Tenggorok
1. Pemeriksaan Faring
Penderita diinstruksikan membuka mulut, perhatikan struktur di
dalam cavum oris mulai dari gigi geligi, palatum, lidah, bukkal. Lihat
ada tidaknya kelainan berupa, pembengkakan, hiperemis, massa,
atau kelainan congenital.
Lakukan penekanan pada lidah secara lembut dengan spatel
lidah. Perhatikan struktur arkus anterior dan posterior, tonsil, dinding
dorsal faring. Deskripsikan kelainan-kelainan yang tampak .
Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasi pada
daerah mukosa bukkal, dasar lidah dan daerah palatum untuk menilai
adanya kelainan-kelainan dalam rongga mulut.

2. Pemeriksaan Laringoskop Indirek


Sambil membuka mulut, instruksikan penderita untuk
menjulurkan lidah sejauh mungkin ke depan . Setelah dibalut dengan
kasa steril lidah kemudian difiksasi diantara ibu jari dan jari tengah .
Pasien diinstruksikan untuk bernafas secara normal.
Kemudian masukkan cermin laring yang sesuai yang
sebelumnya telah dilidah apikan ke dalam orofaring . Arahkan cermin
laring ke daerah hipofaring sedemikian rupa hingga tampak struktur
di daerah hipofaring yaitu: epiglottis, valekula, fossa piriformis, plika
ariepiglotikka, aritaenoid, plika ventrikularis dan plika vocalis.
Penilaian mobilitas plika vocalis dengan menyuruh penderita
mengucapkan huruf ’i’ berulang kali.
Tes Fungsi Pendengaran
Ada beberapa tes yang dapat digunakan dalam menilai fungsi
pendengaran. Salah satu tes yang biasa digunakan di Klinik adalah Tes
Bisik dan Tes Garpu Tala. Tes ini selain mudah dilakukan, tidak rumit ,
cepat, alat yang dibutuhkan sederhana juga memberikan informasi yang
terpercaya mengenai kualitas dan kuantitas ketulian.

112
Test Suara Bisik
Test ini amat penting bagi dokter umum terutama yang bertugas di
puskesmas-puskesmas, dimana peralatan masih sangat terbatas untuk
keperluan test pendengaran. Persyaratan yang perlu diingat dalam
melakukan test ini ialah :
a. Ruangan Test. Salah satu sisi atau sudut menyudut ruangan harus
ada jarak sebesar 6 meter. Ruangan harus bebas dari kebisingan.
Untuk menghindari gema diruangan dapat ditaruh kayu di
dalamnya.
b. Pemeriksa. Sebagai sumber bunyi harus mengucapkan kata-kata
dengan menggunakan ucapan kata-kata sesudah expirasi normal.
Kata-kata yang dibisikkan terdiri dari 2 suku kata (bisyllabic) yang
terdiri dari kata-kata sehari-hari. Setiap suku kata diucapkan
dengan tekanan yang sama dan antara dua suku kata bisyllabic
“Gajah Mada P.B.List” karena telah ditera keseimbangan
phonemnya untuk bahasa Indonesia.
c. Penderita. Telinga yang akan di test dihadapkan kepada pemeriksa
dan telinga yang tidak sedang ditest harus ditutup dengan kapas
atau oleh tangan si penderita sendiri. Penderita tidak boleh melihat
gerakan mulut pemeriksa.

Cara pemeriksaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan penderita harus diberi instruksi yang
jelas misalnya anda akan dibisiki kata-kata dan setiap kata yang didengar
harus diulangi dengan suara keras. Kemudian dilakukan test sebagai
berikut :
a. Mula-mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata
bisyllabic. Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari
penderita) dan test ini dimulai lagi. Bila masih belum menyahut
pemeriksa maju 1 meter, dan demikian seterusnya sampai penderita
dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata-kata yang dibisikkan. Jarak
dimana penderita dapat menyahut 8 dari 10 kata diucapkan di sebut
jarak pendengaran.
b. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain sampai
ditemukan satu jarak pendengaran.

Evaluasi test.
a. 6 meter - normal
b. 5 meter - dalam batas normal
c. 4 meter - tuli ringan
d. 3 – 2 meter - tuli sedang
e. 1 meter atau kurang - tuli berat

113
Dengan test suara bisik ini dapat dipergunakan untuk memeriksa
secara kasar derajat ketulian (kuantitas). Bila sudah berpengalaman test
suara bisik dapat pula secara kasar memeriksa type ketulian misalnya :
a. Tuli konduktif sukar mendengar huruf lunak seperti n, m, w (meja
dikatakan becak, gajah dikatakan kaca dan lain-lain).
b. Tuli sensori neural sukar mendengar huruf tajam yang umumnya
berfrekwensi tinggi seperti s, sy, c dan lain-lain (cicak dikatakan tidak,
kaca dikatakan gajah dan lain-lain).

Test Garpu Tala


Test ini menggunakan seperangkat garpu tala yang terdiri dari 5 garpu
tala dari nada c dengan frekwensi 2048 Hz,1024 Hz, 512Hz,256 Hz dan
128 Hz. Keuntungan test garpu tala ialah dapat diperoleh dengan cepat
gambaran keadaan pendengaran penderita.Kekurangannya ialah tidak
dapat ditentukan besarnya intensitas bunyi karena tergantung cara
menyentuhkan garpu tala yaitu makin keras sentuhan garpu tala makin
keras pula intensitas yang didengar. Sentuhan garpu tala harus lunak tetapi
masih dapat didengar oleh telinga normal. Di poliklinik dapat dilakukan
empat macam test garpu tala yaitu :
a. Test garis pendengaran
b. Tets Weber
c. Tets Rinne
d. Test Schwabach

Tes garis pendengaran.


Tujuan test ini adalah untuk mengetahui batas bawah dan batas atas
ambang pendengaran. Telinga kanan dan kiri diperiksa secara terpisah.
Cara pemeriksaan.
Semua garpu tala satu demi satu disentuh secara lunak dan diletakkan
kira-kira 2,5 cm di depan telinga penderita dengan kedua kakinya berada
pada garis penghubung meatus acusticus externus kanan dan kiri.
Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila mendengarkan
bunyi.Bila penderita mendengar, diberi tanda (+) pada frekwensi yang
bersangkutan dan bila tidak mendengar diberi tanda (-) pada frekwensi
yang bersangkutan.

Contoh hasil pemeriksaan Garis pendengaran :


Ka Frekwensi Ki
- 2.048 +
- 1.024 +
- 512 +
- 256 -
+ 128 -
Telinga kanan tidak mendengar frekwensi 2. 048 Hz dan 1. 024Hz
sedang frekwensi-frekwensi lain dapat didengar, telinga kiri tidak

114
mendengar frekwensi 128 Hz dan 256 Hz, sedangkan frekwensi-frekwensi
lain dapat didengar.
Evaluasi test garis pendengaran. Pada contoh di atas telinga kanan
batas atasnya menurun berarti telinga kanan menderita tuli sensorineural.
Pada telinga kiri batas bawahnya meningkat berarti telinga kiri menderita
tuli konduktif.

Test Weber.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan
kanan. Telinga normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah
disentuh diletakkan pangkalnya pada dahi atau vertex. Penderita
ditanyakan apakah mendengar atau tidak. Bila mendengar langsung
ditanyakan di telinga mana didengar lebih keras. Bila terdengar
lebih keras di kanan disebut lateralisasi ke kanan.

b. Evaluasi Tets Weber. Bila terjadi lateralisasi ke kanan maka ada


beberapa kemungkinan
1. Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal
2. Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensory neural
3. Telinga kanan normal, kiri tuli sensory neural
4. Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat
5. Kedua telinga tuli sensory neural, kiri lebih berat
Dengan kata lain test weber tidak dapat berdiri sendiri oleh karena tidak
dapat menegakkan diagnosa secara pasti.

Test Rinne.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan
hantaran udara pada satu telinga. Pada telinga normal hantaran udara
lebih panjang dari hantaran tulang. Juga pada tuli sensorneural hantaran
udara lebih panjang daripada hantaran tulang. Dilain pihak pada tuli
konduktif hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara
lunak pada tangan dan pangkalnya diletakkan pada planum
mastoideum dari telinga yang akan diperiksa. Kepada penderita
ditanyakan apakah mendengar dan sekaligus di instruksikan agar
mengangkat tangan bila sudah tidak mendengar. Bila penderita
mengangkat tangan garpu tala dipindahkan hingga ujung bergetar
berada kira-kira 3 cm di depan meatus akustikus eksternus dari telinga
yang diperiksa. Bila penderita masih mendengar dikatakan Rinne (+).
Bila tidak mendengar dikatakan Rinne (-)
b. Evaluasi test rinne. Rinne positif berarti normal atau tuli sensorineural.
Rinne negatif berarti tuli konduktif.

115
c. Rinne Negatif Palsu. Dalam melakukan test rinne harus selalu hati-hati
dengan apa yang dikatakan Rinne negatif palsu. Hal ini terjadi pada tuli
sensorineural yang unilateral dan berat.
Pada waktu meletakkan garpu tala di Planum mastoideum getarannya
di tangkap oleh telinga yang baik dan tidak di test (cross hearing).
Kemudian setelah garpu tala diletakkan di depan meatus acusticus
externus getaran tidak terdengar lagi sehingga dikatakan Rinne negatif

Test Schwabach.
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari penderita
dengan hantaran tulang pemeriksa dengan catatan bahwa telinga
pemeriksa harus normal.
a. Cara pemeriksaan. Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah
disentuh secara lunak diletakkan pangkalnya pada planum mastoiedum
penderita.

Kemudian kepada penderita ditanyakan apakah mendengar, sesudah


itu sekaligus diinstruksikan agar mengangkat tangannya bila sudah tidak
mendengar dengungan. Bila penderita mengangkat tangan garpu tala
segera dipindahkan ke planum mastoideum pemeriksa.

Ada 2 kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan


schwabach memendek atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila
pemeriksa tidak mendengar harus dilakukan cross yaitu garpu tala mula-
mula diletakkan pada planum mastoideum pemeriksa kemudian bila sudah
tidak mendengar lagi garpu tala segera dipindahkan ke planum
mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita mendengar
dengungan. Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach
normal dan bila masih mendengar dikatakan schwabach memanjang.

b. Evaluasi test schwabach


1. Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar
dengungan dan keadaan ini ditemukan pada tuli sensory neural
2. Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar
dengungan dan keadaan ini ditemukan pada tuli konduktif
3. Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidak
mendengar dengungan. Karena telinga pemeriksa normal berarti
telinga penderita normal juga.

PEMASANGAN TAMPON ANTERIOR

Dalam kasus epistaksis anterior aktif, hidung dibersihkan dari


gumpalan darah oleh penghisap atau suction dan upaya dilakukan untuk
melihat sumber pendarahan. Pada perdarahan minor, dilakukan
pertolongan pertama dengan melakukan menekan ala nasi atau cuping
hidung selama lebih kurang 5-10 menit. Jika perdarahan tidak berhenti, jika

116
sumber perdarahan dapat terlihat, kauterisasi daerah perdarahan dapat
dilakukan dengan menggunakan AgNO3.
Jika perdarahan berlangsung lebih berat dan sumber perdarahan sulit
untuk dilokalisasi, tampon anterior harus dilakukan. Tampon yang
digunakan adalah tampon yang terbuat dari kapas dan potongan jari-jari
handscoen, lalu diikat dengan benang.
Caranya pertama, diambil kapas dengan ukuran 0 x 0 x 0 cm, dilipat
dan dimasukkan ke dalam potongan jari-jari handscoen. Diameter jari-jari
handscoen disesuaikan dengan diameter dan panjang rongga hidung
(panjang rongga hidung 5-7 cm). Tampon handscoen ini lalu dimasukkan
dengan menggunakan pinset dan speculum hidung dengan cara sejajar
dengan lantai hidung (Gambar)
Tampon dapat dilepas setelah 48 jam, jika perdarahan telah berhenti.
Kadang-kadang, itu harus terus selama 2-3 hari; dalam kasus itu, antibiotik
sistemik harus diberikan untuk mencegah infeksi sinus dan toxic shock
syndrome.

117
118
TAMPON POSTERIOR
Hal ini diperlukan untuk pasien epistaksis posterior. Satu tampon
posterior disiapkan dengan mengikat tiga buah benang dengan sepotong
kain kasa digulung menjadi bentuk kerucut.
Sebuah kateter karet dilewatkan melalui hidung dan akhirnya dibawa
keluar dari mulut (Gambar). Ujung benang terikat untuk itu dan kateter
ditarik dari hidung. Pack, yang mengikuti benang, sekarang dipandu ke
nasofaring dengan jari telunjuk. Anterior rongga hidung sekarang dikemas
dan benang diikat di atas bibir. Ini membantu dalam melepaskan mudah
tampon nanti. Pasien yang membutuhkan tampon posterior harus selalu di
rawat di rumah sakit.
Pilihan lain untuk tampon posterior, adalah menggunakan sebuah
Foley kateter ukuran 12-14 F. Setelah penyisipan balon ke dalam rongga
hidung melewati uvula lalu digelembungkan dengan 5-10 ml saline, balon
mengembang dan ditarik ke depan sehingga choana menjadi tertekan.

119
Keterampilan Pemeriksaan Fisis Telinga, Hidung Dan Tenggorok
SKOR
NO ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2 Menyiapkan alat yang akan digunakan untuk
pemeriksaan
3 Mengatur posisi duduk dengan pasien
4 Mengatur posisi lampu kepala di kepala
5 Mengatur fokus cahaya lampu kepala
A. PEMERIKSAAN TELINGA
6 Inspeksi
Tampak memperhatikan keadaan telinga luar
7 Palpasi
Tampak menekan dengan jari telunjuk pada daerah
depan dan belakang telinga untuk menilai adanya
kelainan-kelainan pada telinga
8 Menarik aurikula untuk menilai ada tidaknya nyeri
9 Otoskopi
Melakukan pemilihan spekulum telinga yang tepat
10 Memegang dan memposisikan daun telinga yang
akan diperiksa
11 Mengarahkan sorotan lampu kepala ke dalam liang
telinga
12 Menilai keadaan liang telinga
13 Memasukan spekulum telinga ke dalam liang telinga
14 Menilai keadaan gendang telinga
15 Mengeluarkan spekulum telinga dari dalam liang
telinga
B. PEMERIKSAAN HIDUNG DAN SINUS
PARANASALIS
16 Inspeksi
Mengatur fokus cahaya lampu kepala
17 Tampak memperhatikan keadaan hidung luar dan
sekitarnya

120
18 Palpasi
Tampak menekan dengan jari telunjuk tangan
kanan pada daerah pangkal hidung, pipi, supra
orbitalis dan daerah interkantus untuk menilai
adanya kelainan-kelainan pada hidung dan sinus
paranasalis
19 Rinoskopi anterior
Melakukan pemilihan spekulum hidung yang tepat
20 Memegang dan memasukkan spekulum hidung
kedalam rongga hidung
21 Mengarahkan sorotan lampu kepala ke dalam
rongga hidung
22 Menilai struktur di dalam rongga hidung
23 Melihat fenomena “palatum molle”
24 Mengeluarkan spekulum hidung dari rongga hidung
25 Rinoskopi posterior
Melakukan pemilihan cermin nasofaring yang tepat
26 Menyuruh penderita membuka mulut
27 Melakukan penekanan lidah dengan spatel lidah
28 Melidah apikan cermin nasofaring sebelum
dimasukkan ke dalam orofaring
29 Memposisikan cermin nasofaring di dalam orofaring
30 Menilai struktur di dalam nasofaring
31 Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
C. PEMERIKSAAN FARING DAN LARING
32 Inspeksi
Mengatur fokus cahaya lampu kepala
33 Penderita diinstruksikan membuka mulut
34 Lakukan penekanan lidah dengan spatel lidah
35 Tampak memperhatikan keadaan cavum oris
sampai orofaring
36 Laringoskopi indirek
Melakukan pemilihan cermin laring yang tepat
37 Instruksikan penderita untuk membuka mulut dan

121
menjulurkan lidah sejauh mungkin
38 Pegang lidah dengan kasa steril. Pasien
diinstruksikan untuk bernafas secara normal
39 Masukkan cermin laring yang telah dilidah apikan ke
dalam orofaring.
40 Posisikan cermin laring sedemikian rupa hingga
tampak struktur di daerah hipofaring
41 Menilai mobilitas plika vocalis dengan menyuruh
penderita mengucapkan huruf i berulang kali
42 Meletakkan alat-alat pemeriksaan ke tempat semula
43 Mencatat hasil pemeriksaan fisis THT dan
interpretasinya

122
Keterampilan
Pemeriksaan Pendengaran
KASUS
LANGKAH KLINIK
0 1 2
A. TES BISIK
Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
untuk pemeriksaan
Mengatur posisi duduk dengan pasien
Dengan menggunakan sisa udara ekspirasi pemeriksa
membisikkan beberapa kata bisyllabic pada jarak 6 meter
Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter
dari penderita) dan test ini dimulai lagi. Bila masih belum
menyahut pemeriksa maju 1 meter, dan demikian
seterusnya sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-
kata dari 10 kata-kata yang dibisikkan.
Catat hasil yang diperoleh dan interpretasinya.

B. TES GARPU TALA


1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Mempersiapkan alat yang akan digunakan untuk
pemeriksaan
3. Mengatur posisi duduk dengan pasien
4. Tes Garis Pendengaran
Getarkan garpu dengan lembut, kemudian posisikan
kira-kira 2,5 – 3 cm di depan telinga penderita
Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila
mendengar bunyi dari garpu tala
Lakukan mulai dari gapu tala frekwensi rendah sampai
tinggi
Tes dilakukan pada kedua telinga
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

123
5. Tes Rinne
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz
dengan lembut.
Letakkan pada planum mastoid.
Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila
sudah tidak mendengar bunyi dari garpu tala atau
sebaliknya
Pindahkan garpu tala ke depan telinga yang sedang
diperiksa bila penderita sudah tidak mendengar
Tes dilakukan pada kedua telinga
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

6. Tes Weber
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz
dengan lembut.
Letakkan pada dahi atau vertex
Penderita diinstruksikan untuk menyebutkan telinga
mana yang lebih jelas mendengar bunyi
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan
7. Tes Schwabach
Getarkan garpu tala frekwensi 256 atau 512 Hz dengan
lembut.
Letakkan pada planum mastoid.
Penderita diinstruksikan untuk mengangkat tangan bila
sudah tidak mendengar bunyi dari garpu tala atau
sebaliknya
Pindahkan garpu tala ke planum mastoid pemeriksa
bila penderita sudah tidak mendengar
Tes dilakukan pada kedua telinga
Catat hasil yang diperoleh kemudian interpretasikan

124
Pertemuan 14
Keterampilan Anamnesis Kelainan Kulit

Dasar-Dasar Teori
Perjalanan Penyakit
Penyakit kulit merupakan penyakit yang bisa terlihat oleh mata, sehingga
beberapa penyakit kulit mungkin bisa terdiagnosa secara cepat. Tetapi
mengetahui riwayat perjalanan penyakit seperti apakah ada bercak merah
disertai demam pada pasien yang menderita pruritus generalisata bisa menjadi
kunci dalam menegakkan diagnosa.
Anamnesis
Anamnesis yang baik merupakan tiang utama diagnosis. Anamnesis
dimulai dengan mencari keterangan mengenai nama, alamat, umur ,
jenis kelamin, pekerjaan dan status perkawinan. Keterangan yang
didapat ini kadang sudah memberi petunjuk permulaan kepada kita.
Pertanyaan yang diajukan biasanya :
 Mengenai keluhan pokok :
a. Dimana keluhan dimulai?
b. Meluaskah?
c. Apakah hilang timbul?
d. Berapa lama?
e. Apakah kering atau basah?
f. Apakah gatal atau sakit?
 Mengenai penderita dan keluarganya:
a. Apa penyakit ini pernah diderita sebelumnya?
b. Apa penyakit-penyakit yang pernah diderita?
c. Apakah penyakit ini pernah diobati? Oleh siapa? Dan nama
obatnya apa?
d. Adakah makanan yang membuat penyakit ini tambah parah?
e. Apa pekerjaan penderita dan bagaimana lingkungannya?
f. Kegiatan apa yang dilakukan setelah selesai bekerja?
g. Adakah riwayat penyakit yang sama pada keluarga penderita?
Bahan Dan Alat (Strategi Dan Cara Pelatihan)
- Meja kerja
- Kursi pasien
- Kursi dokter
- Buku status pasien dengan lembaran anamnesis.

125
Deskripsi Kegiatan
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 5 menit Pengantar
- Instruktur menerangkan tentang tujuan
keterampilan ini
- Instruktur memperlihatkan bahan dan alat
yang diperlukan untuk melakukan
keterampilan ini
2. 20 menit 1. Seorang mahasiswa bertindak sebagai pasien
Demonstrasi
2. Mentor memperlihatkan cara menggali
informasi mengenai kelainan kulit yang dialami
pasien.
3. Mentor memperlihatkan cara melakukan
anamnesis terpimpin yang mengarah ke
diagnosis penyakit kulit.
4. Mentor memperlihatkan cara
menginformasikan kepada pasien mengenai
tindakan selanjutnya yang akan dilakukan
berdasarkan hasil anamnesis yang telah
dikumpulkan.
5. Mentor memperlihatkan cara membuat resume
dari semua informasi yang didapat pada
anamnesis.
6. Mahasiswa diminta untuk menanyakan hal-hal
yang belum jelas sehubungan dengan kegiatan
keterampilan ini
3.Praktik 20 menit 1. Mahasiswa dibagi menjadi berpasang
bermain pasangan, satu orang berperan sebagai dokter
peran dan satu orang berperan sebagai pasien
dengan 2. Yang berperan sebagai dokter melakukan
umpan balik kegiatan: menggali informasi mengenai
kelainan kulit yang dialami pasien, melakukan
anamnesis terpimpin yang mengarah diagnosis
penyakit kulit, menginformasikan kepada
pasien mengenai tindakan selanjutnya yang
akan dilakukan berdasarkan hasil anamnesis
yang telah dikumpulkan dan membuat resume

126
dari semua informasi yang didapat pada
anamnesis.
3. Bertukar peran
4. Mentor berkeliling di antara mahasiswa dan
melakukan supervisi
5. Mentor mengoreksi hal-hal yang belum
sempurna
4. Curah 10 menit Mahasiswa diberi kesempatan untuk
pendapat mengemukakan pendapatnya tentang kegiatan
dan diskusi yang dilakukan.
Mentor memberikan feedback bila ada kesalahan
yang dilakukan oleh mahasiswa
Total waktu 55 menit

127
Strategi Dan Cara Pelatihan

NO. Kegiatan yang dilakukan


0 1 2
Persiapan pasien
1 Persilahkan, menyapa dan perkenalkan diri sambil
menjabattangan pasien dengan penuh keakraban lalu
tunjukkan sikap empati terhadap pasien.
2 Berikan informasi umum pada pasien atau keluarganya
tentang anamnesis yang akan anda lakukan, tujuan dan
manfaat anamnesis tersebut untuk keadaan pasien.
3 Berikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang
kerahasiaan semua informasi yang didapatkan pada
anamnesis tersebut.
4 Jelaskan tentang hak-hak pasien pada pasien atau
keluarganya, misalnya tentang hak untuk menolak
menjawab pertanyaan yang dianggapnya tidak perlu
dijawabnya.
Anamnesis umum
5 Tanyakanlah data pribadi pasien: nama, umur, alamat, dan
pekerjaan
6 Tanyakanlah apa yang menyebabkan pasien datang ke
dokter (keluhan utama).
Untuk heteroanamnesis tanyakan hubungan pasien
dengan pengantar.
Anamnesis terpimpin
7 Tanyakanlah kapan kelainan kulit tersebut mulai muncul.
Menggali lebih dalam tentang onset, durasi kelainan
tersebut, apakah hilang timbul atau menetap, bagaimana
gambaran lesi awalnya, dimana lokasi awalnya,
bagaimana perkembangan lesinya serta distribusi lesi
selanjutnya.
8 Tanyakanlah apakah disertai rasa panas pada lesi atau
tidak, adakah demam atau tidak

128
9 Tanyakanlah apakah disertai gatal atau tidak.
10 Tanyakanlah apakah kelainan kulit ini ada hubungannya
dengan pekerjaan sebelumnya
11 Tanyakanlah apakah ada keluhan lain yang dirasakan
oleh pasien.
Jika ada tanyakanlah:
- kapan mulai terjadi hal tersebut, apakah terjadi
mendadak atau tidak.
- apakah muncul bersamaan atau sesudahnya.
12 Tanyakanlah apakah pasien pernah mengalami keluhan
yang sama pada masa lalu.

13 Tanyakanlah riwayat penyakit yang sama dalam lingkup


keluarga atau lingkungan sekitar tempat tinggal
14 Tanyakanlah adanya riwayat kontak dengan penderita
penyakit dengan gejala yang sama, riwayat kontak
dengan serangga ataupun tanaman.
15 Tanyakanlah riwayat pengobatan yang pernah diterima
dari dokter dan obat yang dibeli sendiri oleh pasien tanpa
resep dokter
Mengakhiri anamnesis
16 Jelaskanlah pada pasien bahwa ini adalah suatu
rangkaian pemeriksaan untuk dapat mengetahui penyakit
pasien dan diperlukan pemeriksaan fisis untuk
mempertajam diagnosis.
Membuat resume dari hasil anamnesis
17 Kelompokkan semua hasil yang didapatkan dalam suatu
tabulasi
18 Membuat satu diagnosis utama dan diagnosis banding dari
hasil anamnesis

129
Keterampilan Pemeriksaan Fisis
Dasar Dasar Teori
1. Pemeriksaan Kulit
Pemeriksaan penderita seharusnya ditempat yang terang. Dan
seharusnya selalu memeriksa pasien mulai dari kepala hingga kaki.
Inspeksi dan palpasi lesi atau kelainan kulit yang ada (menggunakan
kaca pembesar). Hal- hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis
yang baik adalah:
1. Lokasi dan /atau distribusi dari kelainan yang ada : Hal ini bisa
sangat membantu : sebagai contoh, dermatitis seboroik mempunyai
tempat predileksi pada wajah, kepala, leher, dada, telinga, dan
suprapubis; pada anak, eksema cenderung terjadi di daerah
fleksor; akne terutama pada wajah dan tubuh bagian atas;
karsinoma sel basal biasanya lebih sering muncul di kepala dan
leher.
2. Karakterisitik lesi individual:
 Tipe:  Karakteristik lesi :makula, papula, nodul, plak, vesikel,
bulla, pustula, ulkus, urtikaria (untuk mencari gambar gambar
effloresensi lainnya, cobalah cari di buku buku rujukan)
 Karakteristik permukaan lesi : Skuama, Krusta, Hiperkeratosis,
Eskoriasi, Maserasi dan Likenifikasi

130
Makula Pustul

Papul Krusta

Bulla Skuama

Urtikaria Likenifikasi

131
Nodul Kista

Ulkus Ekskoriasi

 Ukuran, bentuk , garis tepi dan batas-batasnya. Ukuran


sebaiknya diukur dengan tepat, daripada hanya membandingkan
dengan kacang polong, jeruk atau koin. Lesi bisa mempunyai
berbagai macam bentuk, misalnya bulat, oval, anular, liniear atau
“tidak beraturan”; tepi-tepi yang lurus atau bersudut mungkin
disebabkan oleh faktor-faktor eksternal.
 Warna, selalu ada manfaatnya untuk membuat catatan tentang
warna: merah, ungu, cokelat, hitam pekat dan sebagainya
 Gambaran Permukaan. Telusuri apakah permukaan lesi halus
atau kasar, dan untuk membedakan krusta( serum yang
mengering) dengan skuama (hiperkeratosis); beberapa
penelusuran pada skuama dapat membantu, misalnya terdapat
warna keperakan pada psoriasis.
 Tekstur—dangkal?dalam? Gunakan ujung jari Anda pada
permukaan kulit; perkirakan kedalaman dan letaknya apakah di
dalam atau di bawah kulit; angkat sisik atau krusta untuk melihat
apa yang ada dibawahnya; usahakan untuk membuat lesi memucat
dengan tekanan.

132
3. Pemeriksaan lokasi-lokasi “sekunder” : Carilah kelainan-kelainan di
tempat lain yang dapat membantu diagnosis. Contoh yang baik
antara lain :
 Kuku ada psoriasis
 Jari-jemari dan pergelangan tangan pada skabies
 Daerah sela-sela jari kaki pada infeksi jamur
 Mulut pada liken planus

4. Tehnik- tehnik pemeriksaan “khusus” : Diperlukan tehnik tehnik


khusus dalam melakukan pemeriksaan kulit seperti kerokan kulit
dengan Kalium Hidroksida untuk memeriksa adanya hifa dan spora
untuk pemeriksaan jamur pada kulit

MEDIA DAN ALAT PEMBELAJARAN


 Video, slide atau foto untuk  Kapas
menampilkan tanda klinis yang
 Alkohol 70%
khas pada beberapa penyakit
kulit dengan gambaran kelainan  Lampu spiritus
pada kulit
 Spidol permanen
 Buku status pasien untuk  Objek glass dan cover glass
mencatat hasil pemeriksaan
 LarutanKOH 10%
fisis
 Handscoen
 Manekin kulit
 Lipatan kertas steril/cawan petri
 Scalpel dan bisturi
steril
 Air mengalir
 Mikroskop binokuler
 Sabun cair
 2 bh Baskom berisi larutan
 Larutan antiseptik khlorin 0,5%
 Handuk kecil atau tissue  Tempat sampah medis dan non-
medis
 Termometer
 Stetoskop dan tensimeter
 Kaca pembesar
 Alat pengukur tinggi badan dan
berat badan

133
Deskripsi KEGIATAN
Kegiatan Waktu Deskripsi
1. Pengantar 5 menit Pengantar
- Instruktur menerangkan tentang tujuan
keterampilan ini.
- Instruktur memperlihatkan bahan dan alat
yang diperlukan untuk melakukan
keterampilan ini.
2. Demonstrasi 15 Menit 1. Seorang mahasiswa bertindak sebagai
pasien.
2. Mentor memperlihatkan cara mempersiapkan
pasien
sebelum pemeriksaan fisis.
3.Mentor memperlihatkan cara melakukan
penilaian status pasien secara umum.
4.Mentor memperlihatkan cara melakukan
pemeriksaan fisis secara sistematisuntuk
menegakkan diagnosis pasien dengan cara
memeriksa:
Status Dermatologi :
- lokasi kelainan kulit yang ditemukan :
generalisata, regional, universal, bilateral,
unilateral
- bentuk dan gambaran dari lesi yang
ditunjukkan : teratur atau tidak teratur
- ukuran dan distribusi kelainan kulit :
miliar, lentikular, gutata, numular, plakat
- effloresensi kulit yang terlihat : makula,
eritem,urtika, vesikel, pustul, bula, abses,
papul, nodus, tumor, sikatriks, erosi,
ekskoriasi,ulkus, skuama, krusta,
likenifikasi tanda-tanda kekeringan dan
pecah-pecah pada kulit.
5.Mentor memperlihatkan cara
menginformasikan hasil yang ditemukan,
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan

134
dan rencana pengobatan kepada
pasien/keluarganya.
6.Mentor memperlihatkan cara membuat
resume untuk arsip pasien
7.Mahasiswa diminta untuk menanyakan hal-
hal yang belum jelas sehubungan dengan
kegiatan keterampilan ini
3.Praktik 55 menit 1. Mahasiswa diminta untuk melakukan
bermain peran kegiatan keterampilan ini secara berpasang-
dengan umpan pasangan, satu bertindak sebagai dokter
balik dan seorang lagi sebagai pasien.
2. Berganti peran.
3. Mentor berkeliling di antara mahasiswa dan
melakukan supervisi
4. Mentor mengoreksi hal-hal yang belum
sempurna.
4. Curah 10 menit Mahasiswa diberi kesempatan untuk
pendapat dan mengemukakan pendapatnya tentang kegiatan
diskusi yang dilakukan
Total waktu 90 menit

135
Keterampilan Pemeriksaan Kesehatn Kulit
No. Kegiatan yang dilakukan
Persiapan pasien
1 Jelaskan pemeriksaan fisis yang akan dilakukan, tujuan dan
manfaatnya
2 Berikan jaminan pada pasien dan keluarganya tentang kerahasiaan
semua informasi yang didapatkan pada pemeriksaan fisis tersebut.
3 Jelaskan hak-hak pasien atau keluarganya, misalnya tentang hak
untuk menolak untuk diperiksa.
4 Persilahkan pasien membuka seluruh pakaian dan memastikan
pasien mendapat pencahayaan yang baik selama pemeriksaan fisis.
5 Cuci Tangan dan Berdiri di sebelah kanan pasien
Penilaian status pasien secara umum dan tanda vital
6 Lihat dan catatlah keadaan umum pasien : sakit ringan, sakit sedang
atau sakit berat.
7 Tentukanlah status gizi : ukur tinggi dan berat badan (sesuai panduan
penentuan status gizi)
8 Ukur dan menilailah tanda vital pasien : tekanan darah, denyut nadi,
pernapasan dan suhu
9 Perhatikanlah seluruh tubuh penderita dari ubun-ubun sampai kaki:
- apakah ada penipisan rambut kepala dan alis.
- apakah ada lagophthalmia pada kelopak mata.
- apakah hidung pasien merosot (sadle nose).
didaerah mana bercak yang dimaksud berada
10 Periksa ada tidaknya pembesaran hati, edema kaki, luka pada kaki
Pemeriksaan Fisis Kelainan Kulit
11 Inspeksi lokasi kelainan kulit tersebut : generalisata, regional,
universal, bilateral,unilateral
12 Menilai jenis effloresensi yang tampak : eritema, hipopigmentasi,
hiperpigmentasi,nodul vesikel, bulla, makula papula, skuama, urtika,
ulkus, krusta
13 Menilai permukaan kulit yang terlihat : kering atau basah.

136
14 Menilai bentuk dan gambaran kelainan kulit yang tampak pada pasien
: teratur atau tidak teratur
15 Menilai ukuran dan distribusi kelainan kulit yang terlihat pada pasien :
miliar, lentikular, gutata, numular, plakat
16 Mengulangi pemeriksaan fisis kelainan kulit dengan menggunakan
Kaca Pembesar (loop).
17 Mencatat kelainan kulit pada pasien dan lakukan dokumentasi
(pemotretan)
Palpasi Kelainan Kulit Pasien
18 - Posisikan kelainan kulit agar nampak dengan jelas oleh
pemeriksa
- Self pracaution untuk pemeriksa perlu diperhatikan memakai
handschoen sesuai indikasi
- Raba dengan lembut permukaan lesi dengan ujung ujung jari
pemeriksa
- Lakukan palpasi pada kelainan kulit/lesi pada pasien apakah
ada nodul, kista dan tumor, kemudian apakah permukaannya
kasar (verukosus) atau lembut, kedalaman lesi kulit apakah
lesi terletak pada bagian epidermis,dermis dan subkutis,
bedakan pula krusta (serum yang mengering) dengan skuama,
apakah ada hiperkeratosis, eksokriasi, maserasi atau
likenifikasi.
- Menilai kelainan kulit yang ada dan catat pada resume pasien
- Perhatikan slide atau video cara pemeriksaan tersebut;
bandingkan dengan apa yang kalian lakukan.
Persiapan Pengambilan Kerokan Kulit
19 - Jelaskan pada pasien/keluarga pasien tentang prosedur
tindakan pengambilan kerokan kulit, mintalah kesediaan lisan
pasien untuk pemeriksaan ini
- Siapkanlah semua alat dan bahan yang diperlukan di atas
meja dekat pasien
- Tuliskanlah no register/data pasien pada bagian belakang
kaca benda, cawan petri atau di bagian luar lipatan kertas
steril.
- Mintalah pasien untuk duduk atau berbaring (tergantung pada
lokasi pengambilan specimen)
- Lakukanlah cuci tangan rutin

137
- Pasanglah sarung tangan steril
Pemeriksaan Kerokan Kulit dengan Kalium Hidroksida 10% +
Metilen Blue
20 - Ambil kaca objek dan lewatkan pada api bunchen, letakkan
pada tempat yang bersih.
- Periksalah lokasi pengambilan specimen dengan baik
- Ambillah kapas alkohol yang baru dan lakukanlah disinfeksi
kulit daerah sekitar lesi mulai dari arah luar ke dalam
- Keroklah dengan scalpel steril bagian pinggir lesi ke arah atas
dengan kemiringan 30 - 45º
- Ambil kaca objek dan lewatkan pada api bunchen, letakkan
pada tempat yang bersih.
- Lakukan kerokan kulit pada lesi yang terdapat skuama,
diutamakan dari bagian yang masih berwarna merah, dengan
memakai bagian atas dari bisturi pada skuama lesi dikerok
tetapi jangan sampai berdarah. Lalu kumpulkan skuama
tersebut
- Letakan skuama tersebut pada kaca objek yang sebelumnya
telah ditetesi dengan Kalium Hidroksida (KOH) 10% lalu tetesi
dengan Metilen blue, tutup dengan deck glass
- Letakkan kaca objek tersebut di bawah mikroskop dan periksa
apakah terdapat hifa dan spora.
- Tulislah hasil yang didapat dan lakukan pemotretan .
Mengakhiri Pemeriksaan Fisis
21 - Jelaskan pada pasien/keluarga pasien tentang hasil
pemeriksaan yang ditemukan dan masih diperlukan beberapa
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
- Jelaskan tentang diagnosis penyakitnya, rencana pengobatan,
prognosis dan komplikasi.
Membuat resume untuk arsip pasien
22 Tulislah resume secara keseluruhan (hasil anamnesis, hasil
pemeriksaan fisis, pengobatan sementara yang diberikan dan
pemeriksaan penunjang yang diminta) sebagai arsip pasien.

138
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
 Pemeriksaan Dermografisme
Dermografismeatauurtikariadermatografikadalahgarisputihyangterjadi
setelahgoresan.
Dasar pemikiran adalah bahwa pada kulit normal bila digores dengan
benda agak tajam maka:
- Pertama : timbul garis putih yang kemudian berubah menjadi
kemerahan
- Kedua : timbul daerah kemerahan disekitar tempat goresan
- Ketiga : timbul edema setelah beberapa menit

Pada penderita dermatitis atopik, garis merah yang terjadi tidak


segera disusul dengan daerah kemerahan tetapi malah disusul
warna putih pucat selama 2-3 menit. Pemeriksaan ini biasanya
dilakukan pada penderita dermatitis atopik.

 Penyiapan dan Penilaian Sediaan Kalium Hidroksida


Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) merupakan
pemeriksaan penunjang pada penyakit jamur kulit. Prinsip
larutan KOH adalah melarutkan keratin kulit, kuku atau rambut.
Jenis larutan KOH yang dipakai: KOH 10 % (untuk kulit), KOH
20 % (untuk rambut dan kuku), KOH 10% dengan campuran
tinta parker super-chroom blue black (untuk lesi kulit yang
diduga pitriasis versikolor).
Tujuan pemeriksaan KOH untuk melihat apakah sudah
terjadi onfeksi kulit oleh jamur sehingga pada sediaan KOH
diharapkan ditemukan hifa atau spora. Pemeriksaan KOH ini
dapat dilakukan oleh dokter, perawat atau teknisi laboratorium.

Peralatan :

139
1. Sarung tangan
2. Kapas alcohol
3. Object glass
4. Cover glass
5. Bisturi nomor 20
6. Pinset
7. Lampu spirtus
8. Selotip transparan

Cara pengambilan sampel:


1. Sampel kulit:
- Bersihkan kulit yang akan dikerok dengan kapas
alcohol 70 % untuk menghilangkan lemak, debu dan
kotoran lainnya.
- Sampel diambil dan dipilih dari bagian lesi yang aktif, yaitu
daerah pinggir lesi.
- Keroklah dengan skapel dengan arah dari atas ke
bawah (cara memegang skapel harus miring
membentuk sudut 450 keatas)
- Letakan hasil kerokan kulit (skuama) diatas object glass.
- Beri keterangan pada preparat (nama dan lokasi
pengambilam sampel)
2. Sampel kuku:
- Bersihkan kuku yang sakit dengan kapas alcohol 70%
untuk menghilangkan lemak,debu dan kotoran lainnya.
- Sampel yang diambil adalah masa detritus dari bawah
kuku yang rusak atau dari bahan kuku yang rusak.
- Keroklah bagian bawah kuku yang rusak atau pada
permukaan kuku yang rusak , bila perlu guntinglah
kuku yang rusak tersebut.
- Letakan hasil kerokan kuku atau hasil guntingan kuku diatas
object glass.
- Beri keterangan pada preparat ( nama dan lokasi
pengambilan sampel)

3. Sampel rambut:

140
- Rambut yang sakit dicabut sampai akarnya dengan pinset.
- Letakan rambut tersebut diatas object glass.
- Beri keterangan pada preparat (nama dan lokasi
pengambilan sampel)

Pembuatan sediaan
Teteskan 1 -2 tetes larutan KOH diatas kerokan kulit /
kerokan kuku / rambut yang ada di atas objectglass yang
berisi sediaan yang hendak diperiksa.
Tutup dengan cover glass.
Diamkan selama 15 menit untuk melarutkan jaringan atau
untuk mempercepat proses ini, dapat dilakukan pemanasan
sediaan diatas api kecil.
Bila dilakukan pemanasan, panaskan dengan hati-, dengan
melewatkan preparat beberapa kali (biasanya 2-4 x) diatas
api lampu spirtus. Pada saat mulai keluar uap (timbul
gelembung pertama) dari preparat, pemanasan di hentikan.
Bila terjadi penguapan maka akan terbentuk Kristal KOH,
sehingga tujuan yang diinginkan.
Khusus untuk pemeriksaan Pitirisasis versikolor,dapat
digunakan selotip transparan untuk pengambilan sediaan.
caranya adalah penempelan–pelepasan (stripping)
berulang selotip transparan di atas lesi yang akan
diperiksa, setelah itu teteskan larutan KOH 10% dengan
campuran tinta parker super-chroom blue black diatas
object glass yang sudah disiapkan, kemudian tempelkan
selotip transparan tadi diatas object glass tersebut. Untuk
preparat dengan selotip transparan tidak boleh dilakukan
pemanasan di api.
Preparat siap diperiksa dengan mikroskop.

Pemeriksaan sediaan
Menggunakan lensa objektif 10x kemudian pembesaran 40x
Cari apakah ada hifa dan spora yang tampak.
Spora adalah alat reproduksi dari jamur. Spora tampak
seperti bola- bola kecil 2 dan memiliki indeks bias yang
berbeda dengan sekitarnya.
Pada sediaan kulit dan kuku yang dicari adalah adanya hifa
panjang bersepta dan spora.

141
Gambar preparat sediaan dari kulit

Hifa panjang bersepta

SPORA

Gambar Preparat Sediaan Dari Kuku


 Penyiapan dan Penilaian Sediaan Metilen Biru
Dalam beberapa keadaan tidak diperlukan pewarnaan Gram, yakni
jika hanya dikehendaki apakahada atau tidak adanya jasad renik
(bakteri) saja. Dalam hal ini pewarnaan yang cepat dan tepat
adalahmemakai metilen biru saja. Pewarnaan dengan metilen biru
relatif singkat. Terutama dalam pewarnaangonococcus dan bakteri
pest, lebih baik dipakai pewarnaan metilen biru. Morfologi
(bentuknya) lebihjelas dan pada bakteri pest, kutub-kutubnya dapat
kelihatan. Metilen biru yang paling baik adalahmenurut Loffler.
Macam-macam metilen biru:

142
A. Metilen biru biasa.
- Metilen : 0,3 gram.
biru
- Alkohol : 30 ml.
95%
- Aquadest : 100 ml.

B. Borax methylen blue.


- Metilen : 2 gram.
biru
- Borax : 5 gram.
- Aquadest : 1000 ml.

C. Methylen blue Loffler.

- Metilen biru biasa : 0,3 gram.


- Alcohol 95% : 30 ml.
-Kalium hidroksida (KOH) 1% : 1 ml.
- Aquadest : 100 ml.

Cara pewarnaan :
- Buat sediaan pada objek glass dari bakteri yang diperiksa,
lewatkan 3x di atas api bunsen (brandspiritus).
- Warnai dengan biru metilen biasa 1-3 menit, atau dengan Loffler
Methylen blue kira-kira 30-60 detik.
- Cuci dengan air kran, keringkan pada suhu kamar.
- Lihat dengan mikroskop, memakai lensa rendam minyak.
- Bakteri-bakteri berwarna biru.
Pewarnaan menggunakan metilen biru juga dipakai untuk
mendeteksi Basil Tahan Asam (BTA, seperti M.Tuberculosis
dan M. Leprae) dengan metode pewarnaan Ziehl-Neelsen,
Kinyoun, Gabbet, dan Tan ThiamHok (Kinyoun dan Gabbet).
Penyiapan dan Penilaian Sediaan Gram
Pewarnaan gram banyak digunakan untuk
mengklasifikasikan bakteri berdasarkan karakteristik

143
morfologinya. Klasifikasi yang paling mendasar dari bakteri ini
terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni gram positif dan
gram negatif, berdasarkan sifat kimia dan fisik dinding sel.
Selain itu dengan pewarnaan gram, bakteri dapat
diklasifikasikan menjadi kokus atau basil, dan kokus lebih lanjut
dapat dikelompokkan menjadi diplokokus, stafilokokus dan
streptokokus berdasarkan tampilannya pada sediaan gram.
Metode ini diberi nama berdasarkan penemunya, ilmuwan
Denmark Hans Christian Gram (1853–1938) yang
mengembangkan teknik ini pada tahun 1884 untuk
membedakan antara pneumokokus dan bakteri Klebsiella
pneumoniae. Diagnosis pasti spesies bakteri memerlukan kultur
tetapi pewarnaan Grammemberikan petunjuk awal yang baik
dari sifat infeksi.
SPESIMEN
Semua jenis spesimen dan kultur laboratorium dapat
diberikan pewarnaan gram, seperti misalnya spesimen dari kulit,
mukosa saluran nafas, cairan serebrospinalis, luka atau abses,
darah, urin, genital, sendi.

PRINSIP
Pewarnaan gram terdiri atas 6 langkah utama yaitu
mempersiapkan hapusan (smear) spesimen, fiksasi dengan
pemanasan, pewarnaan menggunakan ungu gentian yang akan
mewarnai semua menjadi biru, penggunaan mordant (larutan
iodin), peluntur zat pewarna dengan menggunakan alkohol etil
96% / etanol, pemberian safranin.

REAGEN
Terdapat empat reagen yang dibutuhkan dalam pewarnaan gram
yaitu:
1. Zat pewarna utama (ungu gentian)
2. Mordan (larutan Iodin) yaitu senyawa yang digunakan
untuk memperkuat ikatan zat pewarna utama dalam sel.
3. Pencuci / peluntur zat pewarna (alkohol etil 96% / etanol)
yaitu pelarut organik yang digunakan untuk melunturkan zat
pewarna utama.
4. Zat pewarna kedua / cat pembanding (safranin) digunakan
untuk mewarnai kembali sel-sel yang telah kehilangan zat
pewarna utama setelah ditetes / direndam alkohol.

144
CARA PEMBUATAN
1. Lakukan fiksasi spesimen dengan cara melewatkan di
atas nyala api. Proses fiksasi dilakukan supaya spesimen
benar-benar melekat pada gelas objek sehingga tidak
akan terhapus saat dilakukan pencucian.
2. Tetesi gelas objek dengan ungu gentian dan biarkan selama 1
menit.
3. Cuci dengan air mengalir dan tiriskan. Pencucian dengan
air bertujuan untuk mengurangi kelebihan ungu gentian.
4. Teteskan larutan iodin dan biarkan selama 1 menit
sehingga terbentuk suatu kompleks antara ungu gentian
dan iodin.
5. Cuci kembali dengan air mengalir.
6. Rendam / tetes dengan alkohol etil 96% / etanol hingga warna
ungu memudar
7. Cuci kembali dengan air mengalir.
8. Teteskan safranin dan biarkan selama 30 detik hingga 1 menit
9. Cuci dengan air mengalir dan keringkan
10. Amati dibawah mikroskop dengan pembesaran 100x objektif
dan 10x okuler.

Pemberian ungu gentian pada bakteri gram positif akan


meninggalkan warna ungu. Perbedaan respon terhadap
mekanisme pewarnaan gram pada bakteri didasarkan pada
struktur dan komposisi dinding sel bakteri. Bakteri positif gram
mengandung protein dan negatif gram mengandung lemak
dalam persentasi lebih tinggi dan dinding selnya tipis.
Pemberian alkohol etil 96% (etanol) pada pewarnaan gram
menyebabkan lipid terekstraksi sehingga memperbesar
permeabilitas dinding sel. Safranin masuk kedalam sel dan
menyebabkan sel menjadi berwarna merah pada bakteri negatif
gram. Pada bakteri positif gram dinding sel mengalami dehidrasi
setelah ditetes / direndam alkohol, pori – pori mengkerut, daya
permeabilitas dinding sel dan membran menurun dan safranin
tidak dapat masuk, sehingga sel tetap berwarna ungu.

Perbedaan mendasar antara bakteri positif dan negatif


gram adalah pada komponen dinding selnya. Kompleks zat
iodin terperangkap antara dinding sel dan membran sitoplasma

145
organisme positif gram, sedangkan penyingkiran lemak dari
dinding sel organisme negatif gram melalui pencucian alkohol
memungkinkan warna ungu hilang dari sel. Bakteri positif gram
memiliki membran tunggal yang dilapisi peptidoglikan tebal (25-
50nm) sedangkan bakteri negatif gram memiliki lapisan
peptidoglikogen yang tipis (1-3 nm). Pewarnaan gram
merupakan metode penyaringan yang murah dan nyaman untuk
diagnosis infeksi dan keganasan.

 Biopsi Plong (Punch Biopsy)

Biopsi plong adalah biopsi kulit yang dilakukan dengan


menggunakan punch. Punch adalah suatu alat pemotong
berbentuk silinder dengan ukuran diameter antara 1,5 – 10 mm.
Sebagian besar biopsi dilakukan dengan memakai punch
ukuran diameter 3 mm. Biopsi pada wajah ukuran tidak lebih
besar dari 5 – 6 mm. Pada badan tidak melebihi 8 – 10 mm dan
folikel rambut pada kepala ukuran 6 mm. Indikasi :
a. Mengangkat lesi kecil
b. Mendapatkan sampel jaringan sebuah tumor sebelum operasi
definitif.
c. Bahan untuk pemeriksaan mikroskop imunofluoresen
d. Mengobati skar akne dengan ukuran diameter kecil.

Teknik :
-
Setelah melakukan tindakan antiseptik, dilakukan anestesi
lokal, kulit ditegangkan. Caranya antara lain jari tegak lurus
dengan “relaxed skintention lines” (RSTL)

146
-
Punch diputar sambil ditekan sampai kedalaman yang
cukup. Jika menginginkan lesi yang lebihdalam, dilakukan
dengan cara punch ganda, yaitu setelah jaringan diangkat
dilakukan punch sekali lagi pada lubang tadi.
-
Jaringan diangkat dengan forsep jaringan dan dibebaskan dari
sub-kutan.
-
Luka terbuka dan perdarahan dihentikan. Bahkan kadang-
kadang dilakukan penjahitan pada luka.
Metode ini dapat dilakukan dengan cepat, namun terdapat
kerugian, yaitu hasil bahan yang diperoleh biasanya berukuran
kecil dan mungkin tidak mewakili seluruh lesi. Bahan berukuran
kecil kadang-kadang tidak memperlihatkan perubahan dari kulit
normal ke abnormal. Jaringan lemak sering lepas, cara ini tidak
cocok untuk lesi primer di jaringan subkutan.

 Uji Tempel (Patch Test)


Prasyarat:
• Konsumsi steroid maksimal 20 mg/hari
• Tidak menggunakan steroid dan imunosupresan lokal
• Kulit yang akan dites bebas dari lesi
• Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan imunosupresan
(metotreksat, siklosporin, azatioprin, mikofenolat mofetil)
• Tidak terdapat riwayat alergi plester
• Riwayat erupsi obat sembuh minimal 6 minggu

147
• Tidak terdapat riwayat tabda pajanan sinar matahari (sunburn)
Prosedur Pelaksanaan:
• Tes memerlukan waktu selama 5 – 7 hari
• Tes dilakukan di punggung atau lengan atas bagian luar
• Area yang akan dites dibersihkan menggunakan alkohol
• Unit uji ditempel di punggung atas/lengan atas bagian luar
menggunakan plester, selama 48 jam.
• Setelah 48 jam, unit uji tempel, masing-masing alergen
dihapus menggunakan tissue/kapas secara tersendiri
(tidak boleh menggunakan alkohol). Ditunggu selama 30
menit.
• Dilakukan mapping pada lokasi uji tempel untuk memudahkan
hari berikutnya.
• Pembacaan dilakuakn menggunakan kaca pembesar dan
lampu LED.
• Hasil uji tempel difoto setiap kali dibaca
• Jika selama pemeriksaan uji tempel, pasien merasa
nyeri di tempat tes, pasien diminta menghubungkan
dokter.

Pemeriksaan patch test biasa dilakukan jika pemeriksaan


dengan menggunakan skin prick test memberikan hasil yang
negatif. Pada pelaksanaan pemeriksaan disiapkan 25 – 150
material yang dimasukkan ke dalam ruang plastik atau
aluminium dan di letakkan di belakang punggung. Sebelumnya
pada punggung diberikan tanda tempat-tempat yang akan
ditempelkan bahan alergen tersebut. Setelah ditempelkan,
kemudian dibiarkan selama 48 sampai 72 jam. Kemudian
diperiksa apakah ada tanda reaksi alergi yang dilihat dari bentol
yang muncul dan warna kemerahan.

148
A B
A. Alergen dimasukkan ke dalam ruang aluminium.
B. Logam aluminium di tempelkan di punggung.

Instruksi kepada pasien:


• Pasien tidak boleh membasahi lokasi uji tempel
• Pasien sebaiknya tidak melakukan aktivitas yang
menyebabkan berkeringat
• Pasien tidak menggaruk tempat yang merah dan gatal
• Hindari gesekan pada lokasi uji tempel
• Hindari sinar matahari/ultraviolet
Interpretasi
Hasil:
• (-) : Reaksi negatif
• (-/?) : Reaksi makula purpura
• (+) : Reaksi lemah: eritema non vesikular, infiltrasi, dan
kemungkinan papul
• (++) : Reaksi kuat: edematosa atau vesicular
• (+++) : Reaksi sangat kuat:
→Bula yang luas, lesi ulseratif
→Reaksi iritan pustular folikular
→Reaksi iritan pustular difus
→Reaksi iritan nekrotik

149
A & B Hasil positif dari tes tempel (Pacth Test), C. Reaksi ++,D. Reaksi
+++
 Uji Tusuk (Prick Test)
Uji tusuk merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai IgE
spesifik yang berikatan dengan sel mast di kulit dengan cara
memasukkan alergen dalam jumlah kecil ke dalam kulit. Adapun
mekanisme dasar dari pemeriksaan ini adalah reaksi
hipersensitivitas tipe 1 yaitu alergen yang ditusukkan
intraepidermal akan mengikat IgE spesifik terhadap antigen
tersebut pada permukaan sel mast. Sel mast kemudian
melepaskan mediator-mediator inflamasi yang akan
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
vaskular dan pada akhirnya menimbulkan urtikaria (wheal and
flare).
Indikasi
Uji tusuk biasanya merupakan tes pertama yang
direkomendasikan apabila seseorang dicurigai menderita alergi.
Tes ini cukup aman dan dapat dilakukan pada seluruh
kelompok umur. Indikasi uji tusuk adalah urtikaria, dermatitis
atopik, erupsi obat, asma bronkial dan rinitis alergika.
Persiapan Uji Tusuk
1. Hentikan obat – obatan
yang dapat
mempegaruhi hasil
Positif palsu : kodein,
aspirin, β-blocker,
tetrasiklin, morfin
Negatif palsu : antihistamin, epinefrin, aminofilin, kortikosteroid
sistemik > 10 mg/hari
2. Pasien bebas lesi aktif ( misalnya dermatitis)
3.
4. Siapkan perlengkapan gawat darurat
- Tempat tidur
- Sphygmomanometer
- Oksigen

150
- Set infus
- Cairan infus NaCl
- Adrenalin injeksi
- Kortikosteroid injeksi
- Antihistamin injeksi
- Jarum suntik (1 mL dan 3 mL)
Pelaksanaan Uji Tusuk
Uji tusuk biasanya dilakukan pada lengan bawah bagian
volar karena daerah tersebut memberikan reaktivitas terbaik
namun pada bayi dan anak-anak dapat dilakukan pada
punggung bagian atas. Bahan dan alat yang perlu dipersiapkan
adalah:
- jarum steril 25-27G/ lancet
- kontrol positif (histamin)
- kontrol negatif (pelarut/NaCl)
- alergen makanan
- alergen hirup
- bersihkan lokasi uji dengan disinfektan
- beri tanda sehingga jarak antar alergen minimal 1 cm (3-5 cm)
- teteskan satu tetes alergen dan kontrol
- lakukan tusukan intraepidermal dengan sudut < 45⁰ pada
setiap tetesan (satu jarum untuk satu alergen)
Pembacaan Hasil Uji Tusuk
- Setelah 15-20 menit, alergen dan kontrol diserap dengan kertas
tisu
- Ukur diameter urtika yang timbul
- Diameter urtika kontrol positif minimal harus 3mm lebih besar
daripada diameter kontrol negatif
- Alergen dengan diameter urtikaria ≥ 50% (kontrol positif + kontrol
negatif) berarti positif bermakna
Contoh hasil uji tusuk

151
Reaksi Simpang Uji Tusuk
Berapa reaksi simpang uji tusuk yang dapat terjadi adalah
syok anafilaksis, syok neurogenik, serangan asma akut, edema
laring, urtikaria generalisata dan rinitis alergika. Bila terjadi hal-
hal seperti diatas maka segera hapus alergen dan kontrol serta
berikan medikamentosa dan tindakan sesuai reaksi.
 Pemeriksaan dengan Sinar UVA (lampu Wood)
Lampu Wood atau yang disebut juga long-wave UV
radiation (UVR) atau cahaya hitam secara umum terdiri dari
cahaya merkuri tekanan tinggi. Filter ini bersifat radioopaque
terhadap semua cahaya antara 320-400 nm dengan puncak
pada 365 nm.
Gambaran fluoresens jaringan akan muncul pada saat
cahaya Wood's (UV) diabsorbsi dengan radiasi gelombang
panjang yang dapat dilihat. Radiasi dari lampu Wood biasanya
rendah yaitu < 1 mw/cm2.
Fluoresens kulit normal biasanya redup terdiri dari
gambaran elastin, asam amino aromatik dan prekursor atau
produk dari melanin.
Teknik pemeriksaan lampu Wood
Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum penggunaan lampu
Wood untuk menghindari kesalahan interpretasi yaitu:
1. Lampu Wood secara ideal harus dipanaskan terlebih dahulu
selama 1 menit.
2. Ruangan pemeriksaan dalam keadaan gelap total.
3. Pemeriksa sebelumnya beradaptasi dengan keadaan gelap
supaya dapat melihat kontras dengan jelas.
4. Cahaya berada 4 - 5 cm dari lesi.
5. Hal-hal yang yang perlu dihindari sebelum pemeriksaan
yaitu: mencuci lokasi lesi dengan sabun karena dapat
memberikan false negative dilusi pigmen, penggunaan
topikal ointment termasuk petrolatum karena dapat

152
memberikan fluoresens keunguan, asam salisilik dengan
fluoresens hijau dll.

Indikasi pemeriksaan lampu Wood


1. Infeksi jamur
superficial Tinea
kapitis
Prinsip pemeriksaan lampu Wood pada tinea kapitis bahwa
beberapa golongna dermatofit memberikan fluoresens di
bawah sinar UV yaitu efek dari pteridin, terutama golongan
Microsporum genus. Golongan Trichophyton kecuali T.
schoenleinii biasanya non fluoresens.

Pityriasis Versikolor
Malassezia furfur memberikan fluoresens putih kekuningan atau
orange-tembaga

2. Infeksi bakteri
Pseudomonas
Pseudomonas memproduksi pigmen pioverdin atau
fluoresein dengan gambaran fluoresens hijau Fluoresens
terdeteksi pada infeksi bakterial ±105/cm2. Lampu Wood
dapat mendeteksi infeksi dinipseudomonas infection luka

153
bakar, pemfigus, toxic epidermal necrolysis and Stevens-
Johnsonsyndrome.
Eritrasma
Corynebacterium minutissimum penyebab eritrasma
menunjukkan fluoresens merah bata yangdihasilkan oleh
koproporfirin III .

Akne Vulgaris
Koproporfirin salah satu jenis porfirin yang diproduksi
propionibacterium acnes penyebab akne vulgaris dapat
memberikan fluoresens merah jingga.
3. Gangguan pigmen Hipopigmentasi dan
depigmentasi Vitiligo
Lesi hipopigmen atau depigmen ditandai dengan berkurang
atau hilangnya melanin, sehingga luoresens yang terlihat
adalah autofluoresens kolagen yaitu biru cerah. Lampu
Wood dapat membantu membedakan vitiligo dengan
keadaan lain seperti pitiriasis alba, lepra dan
hipopigmentasi post inflamasi.
4. Hiperpigmentasi Melasma
Dengan lampu Wood klasifikasi melasma dibagi kedalam 4
tipe yaitu: epidermal, dermal, campuran dan tidak terdeteksi
dengan lampu Wood. Selain itu dengan lampu Wood dapat
ditetntukan pprognostik dan terapi melasma.
5. Porfiria
Dengan lampu Wood dapat mendeteksi ekskresi porfirin di gigi,
urine, feses, darah dan cairan bula.

TERAPEUTIK
 Pemilihan Obat Topikal

154
Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen
dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif
merupakan komponen bahan topikal yang memiliki efek
terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari
sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa
bahan aktif berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa
mudah dioleskan, mudah dibersihkan, tidak mengiritasi serta
menyenangkan secara kosmetik. Selain itu, bahan aktif harus
berada di dalam zat pembawa dan kemudian mudah
dilepaskan.
Cairan
Cairan adalah bahan pembawa dengan komposisi air. Jika
bahan pelarutnya murni air disebut sebagai solusio. Jika bahan
pelarutnya alkohol, eter, atau kloroform disebut tingtura. Cairan
digunakan sebagai kompres dan antiseptik. Bahan aktif yang
dipakai dalam kompres biasanya bersifat astringen dan
antimikroba.
Indikasi cairan
Penggunaan kompres terutama kompres terbuka dilakukan pada:
a. Dermatitis eksudatif; pada dermatitis akut atau kronik yang
mengalami eksaserbasi.

b. Infeksi kulit akut dengan eritema yang mencolok. Efek


kompres terbuka ditujukan untuk vasokontriksi yang berarti
mengurangi eritema seperti eritema pada erisipelas.
c. Ulkus yang kotor: ditujukan untuk mengangkat pus atau krusta
sehingga ulkus menjadi bersih.
Bedak
Merupakan sediaan topikal berbentuk padat terdiri atas talcum
venetum dan oxydum zincicum dalam komposisi yang sama.
Bedak memberikan efek sangat superfisial karena tidak melekat
erat sehingga hampir tidak mempunyai daya penetrasi.
Indikasi bedak
Bedak dipakai pada daerah yang luas, pada daerah lipatan.
Salep
Salep merupakan sediaan semisolid berbahan dasar lemak
ditujukan untuk kulit dan mukosa. Dasar salep yang digunakan
sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok yaitu: dasar salep
senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang bisa

155
dicuci dengan air dan dasar salep yang larut dalam air. Setiap
bahan salep menggunakan salah satu dasar salep tersebut.
Indikasi salep
Salep dipakai untuk dermatosis yang kering dan tebal (proses
kronik), termasuk likenifikasi, hiperkeratosis. Dermatosis
dengan skuama berlapis, pada ulkus yang telah bersih.
Kontraindikasi salep
Salep tidak dipakai pada radang akut, terutama dermatosis
eksudatif karena tidak dapat melekat, juga pada daerah
berambut dan lipatan karena menyebabkan perlekatan.
Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung
satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan
dasar yang sesuai. Formulasi krim ada dua, yaitu sebagai
emulsi air dalam minyak (W/O), misalnya cold cream, dan
minyak dalam air (O/W), misalnya vanishing cream.
Indikasi krim
Krim dipakai pada lesi kering dan superfi sial, lesi pada rambut,
daerah intertriginosa.
Pasta
Pasta ialah campuran salep dan bedak sehingga komponen
pasta terdiri dari bahan untuk salep misalnya vaselin dan bahan
bedak seperti talcum, oxydum zincicum. Pasta merupakan
salep padat, kaku yang tidak meleleh pada suhu tubuh dan
berfungsi sebagai lapisan pelindung pada bagian yang diolesi.
Efek pasta lebih melekat dibandingkan salep, mempunyai daya
penetrasi dan daya maserasi lebih rendah dari pada salep.
Indikasi pasta
Pasta digunakan untuk lesi akut dan superfi sial
Bedak kocok
Suatu campuran air yang di dalamnya ditambahkan komponen
bedak dengan bahan perekat seperti gliserin. Bedak kocok ini
ditujukan agar zat aktif dapat diaplikasikan secara luas di atas
permukaan kulit dan berkontak lebih lama dari pada bentuk
sediaan bedak serta berpenetrasi kelapisan kulit.
Indikasi bedak kocok
Bedak kocok dipakai pada lesi yang kering, luas dan superfisial
seperti miliaria.

156
Pasta pendingin
Pasta pendingin disebut juga linimen merupakan campuran
bedak, salep dan cairan. Sediaan ini telah jarang digunakan
karena efeknya seperti krim.
Indikasi
Pasta dipakai pada lesi kulit yang kering.
Gel
Gel merupakan sediaan setengah padat yang terdiri dari
suspensi yang dibuat dari partikel organik dan anorganik. Gel
dikelompokkan ke dalam gel fase tunggal dan fase ganda. Gel
segera mencair jika berkontak dengan kulit dan membentuk
satu lapisan. Absorpsi pada kulit lebih baik daripada krim. Gel
juga baik dipakai pada lesi di kulit yang berambut. Berdasarkan
sifat dan komposisinya, sediaan gel memilliki keistimewaan:
a. Mampu berpenetrasi lebih jauh dari krim.
b. Sangat baik dipakai untuk area berambut.
c. Disukai secara kosmetika.
Jelly
Jelly merupakan dasar sediaan yang larut dalam air, terbuat
dari getah alami seperti tragakan, pektin, alginate, borak
gliserin.
Losion
Losion merupakan sediaan yang terdiri dari komponen obat
tidak dapat larut terdispersi dalam cairan dengan konsentrasi
mencapai 20%. Komponen yang tidak tergabung ini
menyebabkan dalam pemakaian losion dikocok terlebih dahulu.
Pemakaian losion meninggalkan rasa dingin oleh karena
evaporasi komponen air. Beberapa keistimewaan losion, yaitu
mudah diaplikasikan, tersebar rata, favorit pada anak. Contoh
losion yang tersedia seperti losion calamin, losion steroid, losion
faberi.

Foam aerosol
Aerosol merupakan sediaan yang dikemas di bawah tekanan,
mengandung zat aktif yang dilepas padasaat sistem katup yang
sesuai ditekan. Sediaan ini digunakan untuk pemakaian lokal
pada kulit, hidung, mulut, paru. Komponen dasar aerosol adalah
wadah, propelen, konsentrat zat aktif, katup dan penyemprot.

157
Sediaan foam yang pernah dilaporkan antara lain ketokonazol foam
dan betametasone foam.
Keistimewaan foam:
1. Foam saat diaplikasikan cepat mengalami evaporasi, sehingga zat
aktif tersisa cepat berpenetrasi.
2. Sediaan foam memberikan efek iritasi yang minimal.
Cat
Pada dasarnya, cat merupakan bentuk lain solusio yang berisi
komponen air dan alkohol. Penggabungan komponen alkohol
dan air menjadikan sediaan ini mampu bertahan lama. Sediaan
baru pernah dilaporkan berupa solusio ciclopirox 8% sebagai
cat kuku untuk terapi onikomikosis.
 Insisi dan Drainase Abses
Abses adalah akumulasi terlokalisir dari bahan purulen
yang berada jauh di bawah kulit atau jaringan subkutan
sehingga nanah biasanya tidak tampak dari permukaan kulit.
Abses merupakan suatu lesi yang sulit ditangani, karena
kecenderungannya untuk meluas ke banyak jaringan dan
sulitnya agen-agen terapeutik masuk ke dalam abses melalui
pembuluh darah.
Gambaran abses adalah sebuah nodul kemerahan yang
hangat, fluktuan, dan nyeri. Dapat disertai dengan gejala infeksi
yang lain, umumnya demam. Abses sering dimulai sebagai
folikulitis karena infeksi streptokokal atau stafilokokal.
Penatalaksanaan pada abses pada prinsipnya adalah insisi
dan drainase. Insisi dan drainase adalah perawatan yang
terbaik pada abses. Penatalaksanaan abses apabila belum
terjadi drainase spontan, maka dilakukan insisi dan drainase
pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan dengan
pemasangan drain (drain karet atau kasa), pemberian antibiotik
untuk mencegah penyebaran infeksi dan analgesik sebagai
penghilang sakit.

Tujuan Insisi dan Drainase


Mencegah terjadinya perluasan abses/infeksi ke jaringan lain,
mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba
beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena
pada daerah abses vakularisasi jaringan biasanya jelek)
sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada
dan pemberian antibiotik lebih efektif, dan mencegah terjadinya
jaringan parut akibat drainase spontan dari abses. Selain itu,

158
drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan
ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi
penyebab
Tehnik
Insisi dan drainase biasanya merupakan prosedur bedah yang
sederhana. Pengetahuan tentang anatomi wajah dan leher
diperlukan untuk melakukan drainase yang tepat pada abses
yang lebih dalam. Abses seharusnya dikeluarkan bila ada
fluktuasi, sebelum pecah dan pusnya keluar. Insisi dan drainase
adalah perawatan yang terbaik pada abses
Prosedur
1. Siapkan perlengkapan sebagai berikut:
a. Apron
b. Sarung tangan
c. Masker wajah dengan pelindung
d. Povidone iodine atau chlorhexidine
e. Kasa steril
f. Lidocain 1% atau Lidocain + epinefrin atau Bupivacaine
g. Spuit 5-10 ml
h. Jarum
i. Pisau scalpel (nomor 11 atau 15) dengan gagangnya
j. Klem bengkok
k. Normal saline dengan bengkok steril
l. Spuit besar tanpa jarum
m. Gunting
n. Plester
2. Persiapan
a. Minta persetujuan tindakan dokter kepada pasien atau
keluarga dekatnya
b. Pastikan identitas pasien, tempat pembedahan
c. Cuci tangan dengan sabun antibakteri dan air
d. Pakai sarung tangan dan pelindung muka
e. Letakkan semua perlengkapan pada tempat yang mudah
diraih, diatas meja tindakan

159
f. Posisikan pasien sehingga daerah drainase terpapar
penuh dan dapat dicapai secara mudah dan kondisinya
nyaman untuk pasien
g. Pastikan cahaya yang memadai agar abses mudah dilihat
h. Bersihkan daerah abses dengan chlorhexidine atau
povidon iodine, dengan gerakan melingkar, mulai pada
puncak abses
i. Tutupi daerah disekitar abses untuk mencegah kontaminasi
alat
j. Anestesi atas abses dengan memasukkan jarum dibawah
dan sejajar dengan permukaan kulit.
k. Suntikkan obat anestesi ke dalam jaringan intra dermal
l. Teruskan infiltrasi sampai anda sudah mencapai
seluruh puncak dari abses yang cukup besar untuk
menganestesi daerah insisi
3. Prosedur Insisi dan drainase abses
a. Pegang skalpel dengan jempol dan jari telunjuk untuk
membuat jalan masuk ke abses
b. Buat insisi secara langsung diatas pusat abses kulit
c. Insisi harus dilakukan sepanjang aksis panjang dari
kumpulan cairan
d. Kendalikan skalpel secara berhati-hati selama insisi
untuk mencegah tusukan melalui dinding belakang
e. Perluas insisi untuk membuat lubang yang cukup lebar
untuk drainase yang memadai dan mencegah
pembentuk abses yang berulang
f. Tekan isi abses
g. Masukkan klem bengkok sampai anda merasakan
tahanan dari jaringan sehat, kemudian buka klem
untuk menghancurkan bagian dalam dari rongga abses
h. Teruskan penghancuran lokulasi dalam gerakan
memutar sampai seluruh rongga abses sudah
dieksplorasi
i. Bersihkan luka dengan normal saline, gunakan spuit tanpa
jarum
j. Teruskan irigasi sampai cairan yang keluar dari abses jernih
k. Upayakan agar dinding abses tetap terpisah dan
memungkinkan drainase dari debris yang terinfeksi

160
4. Perawatan lanjutan
a. Untuk abses sederhana tidak perlu antibiotika.
b. Untuk selulitis yang luas dibawah abses gunakan antibiotika
c. Tutup luka abses dengan kasa steril
d. Keluarkan semua benda-benda dari abses dalam beberapa
hari
e. Jadualkan kontrol 2atau 3 hari sesudah prosedur untuk
mengeluarkan bahan-bahan dari luka
f. Minta kepada pasien untuk kembali sebelum jadwal bila
ada tanda-tanda perburukan, meliputi kemerahan,
pembengkakan, atau adanya gejala sistemik seperti
demam

 Eksisi Tumor Jinak Kulit


Eksisi Kulit
Definisi: pemotongan atau pengambilan jaringan
Indikasi:
- Tumor jinak: lipoma, kista, nevus
- Tumor ganas: karsinoma sel basal, karsinoma sel skuamosa,
melanoma maligna
- Kelainan kulit lain: revisi skar
- Persetujuan tindakan medik
- Persiapan pasien, alat, petugas
- Pencegahan infeksi sebelum tindakan
- Anestesi lokal
- Tindakan: kulit dieksisi, dibebaskan kemudian dirapatkan
kembali dengan jahitan kulit. Untuk luka dengan tegangan
yang tinggi diperlukan jahitan subkutan.
- Dekontaminasi, cuci tangan dan perawatan paska-tindakan.
Catatan:

161
Sebelum melakukan bedah kulit, anatomi daerah yang
akan dieksisi harus dikuasai lebih dahulu. Operator harus
mengenal dengan baik susunan anatomi kulit, subkutis, otot-
otot superfisial, susunan vaskuler dan saraf superfisial. Pada
badan dan anggota gerak, eksisi dapat dilakukan dengan lebih
mudah, tapi daerah tangan dan kaki harus hati-hati karena
banyak pembuluh darah, saraf superfisial dan tendon.
Eksisi banyak dilakukan pada daerah wajah dan leher,
sehingga pengetahuan anatomi di daerah ini sangat penting.
Pada daerah wajah, nervus fasialis dan cabangnya, arteri dan
vena temporalis, arteri dan vena fasialis dan kelenjar parotis
harus diperhatikan. Daerah leher yang harus diperhatikan
tulang hioid, tulang rawan tiroid dan trakea serta otot
sternokleidomastoideus. Arteri dan vena jugularis eksterna dan
nervus spinalis aksesoris terletak superfisial di leher.
Irisan operasi yang sejajar garis regangan kulit alami akan
membuat jaringan parut kurang terlihat. Arah garis ini biasanya
tegak lurus terhadap otot di bawahnya. Bila irisan searah
dengan lipatan anatomis kulit, seperti lipatan nasolabial akan
kurang tampak. Pada pengakangkatan yang tiak sesuai dengan
garis atau lipatan kulit atau mempengaruhi organ sekitarnya,
dapat dilakukan penutupan dengan macam-macam flap atau
plasti. Penutupan yang lebih mudah dengan menggunakan
tandur kulit.
Bentuk eksisi dasar adalah fusiformis yang arahnya sejajar
dengan garis dan lipatan kulit. Perbandingan panjang dan lebar
eksisi minimal 3:1 dengan sudut 30 derajat. Irisan tegak lurus
atau lebih meluas ke dalam sampai dengan subkutis. Bila perlu
dapat dilakukan undermining, bila di wajah tepat di bawah
dermis dan bila di skalp pada daerah subgaleal. Perdarahan
yang terjadi di kulit dapat ditekan beberapa saat, bila perlu
dilakukan hemostasis dengan elektrokoagulasi, tetapi jangan
berlebihan terutama pada perdarahan dermis. Perdarahan dari
pembuluh darah kecil dapat dielektrokoagulasi, tetapi yang
besar harus diikat.

 Ekstraksi Komedo
Komedo terdiri dari komedo hitam (blackhead) dan komedo
putih (whitehead). Komedo hitam berasal dari sel kulit mati/
minyak berlebih yang terdapat dalam pori-pori terbuka dan
kemudian teroksidasi oleh udara lalu mengeras dan menghitam.
Sedangkan komedo putih, pori-pori yang tersumbat oleh sel kulit

162
mati/ minyak dan bakteri terlapisi oleh lapisan kulit tipis
sehingga tampak seperti tonjolan kulit kecil berwarna putih atau
kuning yang mengeras. Ini dapat terjadi di seluruh bagian kulit
terutama wajah.

Cara menghilangkan komedo adalah dengan melakukan


pengelupasan kulit berkala sehingga dapat mengangkat
kelebihan minyak dan sel-sel kulit mati tersebut. Cara
menghilangkan komedo di hidung dengan cepat dapat
menggunakan ekstraktor komedo.

Sebelum menggunakan ekstraktor komedo, lakukan


penguapan pada wajah untuk membuka pori-pori. Letakkan
wajah anda di atas uap air panas dari rebusan air mendidih.
Tutup kepala dengan handuk hingga menutupi wadah air panas
untuk hasil maksimal. Lakukan sekitar 4-8 menit.

Cuci tangan Anda hingga bersih. Rendam ektraktor


komedo dalam alkohol 96% atau isopropyl alkohol selama 1-2
menit untuk sterilisasi. Letakkan lubang ekstraktor di atas
komedo. Selanjutnya tekan ektraktor hingga komedo terpencet
keluar dan bersihkan dengan lap bersih atau handuk kertas.
Celupkan kembali ekstraktor ke dalam alkohol. Lalu ekstrak
komedo kembali. Lakukan hal ini berkali-kali hingga komedo
terekstrak seluruhnya. Jika komedo sulit untuk dikeluarkan,
gunakan jarum steril, lalu tusuk bagian tengah komedo lalu
gunakan ekstraktor komedo.

Setelah komedo terekstrak seluruhnya, bersihkan daerah


yang sudah diekstrak dengan cairan antiseptik atau dapat
menggunakan produk kosmetik yang mengandung astringent.
Astringent merupakan zat yang dapat menyebabkan jaringan
mengkerut (menyusut) dengan cepat. Cara menghilangkan
komedo dengan astringent akan menutup dengan cepat pori-
pori kulit yang tadi telah dibuka untuk mencegah terjadinya
iritasi.
 Perawatan Luka
Saat ini perawatan luka telah mengalami perkembangan
pesat dalam dua dekade terakhir. Manajemen luka sebelumnya
tidak mengenal adanya lingkungan luka yang lembab.
Manajemen perawatan luka yang lama atau disebut metode
konvensional hanya membersihkan luka dengan normal salin

163
atau ditambahkan dengan iodin povidine, hidrogen peroksida,
antiseptik seperti itu dapat mengganggu proses penyembuhan
luka, tidak hanya membunuh kuman tapi membunuh leukosit
yang bertugas membunuh kuman pathogen, kemudian ditutup
dengan kasa kering. Luka dalam kondisi kering dapat
memperlambat proses penyembuhan dan akan menimbulkan
bekas luka. Manajemen luka modern:
1. Moist wound healing (perawatan luka lembab) diawali pada
tahun 1962 oleh Prof. Winter.
2. Moist wound healing merupakan suatu metode yang
mempertahankan lingkungan luka tetap lembab untuk
memfasilitasi proses penyembuhan luka.
3. Lingkungan luka yang lembab dapat diciptakan dengan
occlusive dressing (perawatan luka tertutup).
Alasan yang rasional
1. Fibrinolisis
2. Angiogenesis.
3. Kejadian infeksi lebih rendah dibandingkan dengan perawatan
kering (2,6% vs 7,1%).
4. Pembentukan growth factors (faktor tumbuh) Epidermal Growth
Factor (EGF).
Fibroblast Growth Factor (FGF).
Interleukin 1/Inter-1
5. Platelet Derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming
Growth Factor- beta (TGF-beta).
6. Percepatan pembentukan sel aktif

Proses penyembuhan luka


1. Fase inflamasi (peradangan) 1-4 hari dari luka.
2. Fase rekontruksi/granulasi (pertumbuhan jaringan) 5 – 21 hari
dari luka.
3. Fase maturasi/epitelisasi (kesempurnaan kulit) 22 – 1 atau 2
tahun
 Kompres
Dikenal 2 macam cara kompres, yaitu :
1. Kompres terbuka

164
Dasar: Penguapan cairan kompres
disusul oleh absorbs eksudat atau
pus. Indikasi:
- Dermatosis madidans
- Infeksi kulit dengan eritema yang mencolok, misalnya
erysipelas
- Ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta
Efek pada kulit
- Kulit yang semula eksudatif menjadi kering
- Permukaan kulit menjadi dingin
- Vasokonstriksi
- Eritema berkurang
Cara
Digunakan kain kasa yang bersifat absorben dan
non-iritasi serta tidak terlalu tebal ( 3 lapis ). Balutan
jangan terlalu ketat, tidak perlu steril, dan jangan
menggunakan kapas karena lekat dan menghambat
penguapan.
Kasa dicelup ke dalam cairan kompres, diperas, lalu
dibalutkan dan didiamkan, biasanya sehari dua kali
selama 3 jam. Hendaknya jangan sampai terjadi
maserasi. Bila kering dibasahkan lagi. Daerah yang
dikompres luasnya 1/3 bagian tubuh agar tidak terjadi
pendinginan.
2. Kompres tertutup
Sinonim: Kompres impermeabel
Dasar: Vasodilatasi, bukan untuk penguapan.
Indikasi: Kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma
venerium
Cara
Digunakan pembalut tebal dan ditutup dengan
bahan impermeabel, misalnya selofan atau plastik.
 Bebat kompresi pada vena varikosum
Terapi kompresi merupakan bagian integral dari
manajemen varises, dermatitis stasis dan ulkus varikosum pada
tungkai, baik sebagai pengobatan aktif untuk penyembuhan
ulkus dan mencegah kekambuhan ulkus. Kompresi bertahap
memiliki beberapa keuntungan pada pasien dengan kelainan

165
pada vena. Kompresi ini dapat mengurangi ukuran varises,
meningkatkan aliran balik dan menurunkan resiko terjadinya
trombus. Terapi kompresi bekerja dengan menerapkan tekanan
terkontrol ke vena superficial, menjaga diameter vena tetap
kecil dan memaksa darah kembali ke dalam sistem vena dalam
yang pada akhirnya mendorong darah kembali ke jantung.
Peningkatan aliran darah membantu dalam penyembuhan ulkus
aktif dan mencegah kekambuhan pada ulkus.

Kontraindikasi pada terapi kompresi


- Kompresi tidak boleh digunakan untuk penyakit arteri perifer
(PAD) seperti ulkus arteriosum karena dapat mengakibatkan
perburukan ulkus, gangren, dan bahkan amputasi anggota
gerak
- Pada ulkus diabetikum harus digunakan dengan hati-hati
- Penyakit gagal jantung uncompensated merupakan kontraindikasi
relatif
Kompresi dapat digunakan dalam bentuk lapisan tunggal,
ganda, stocking kompresi, atau kombinasi stocking dan perban.
Dua metode yang paling umum digunakan adalah kompresi
dengan bebat perban(bandage) 3-4 lapis dan stocking kompresi
elastis. Perban dan stocking diklasifikasikan berdasarkan
besarnya tekanan yang dihasilkan. Walaupun tekanan yang
diperlukan untuk mengatasi hipertensi vena belum dipastikan,
namun tekanan eksternal 35 – 40 mmHg pada pergelangan kaki
disepakati untuk mengatasi keadaan tersebut. Stocking
kompresi dapat memberikan tekanan hingga 35 mmHg,
sedangkan perban kompresi dapat hingga 60 mmHg pada
pergelangan kaki.

Unna boot merupakan perban kompresi yang sering digunakan,


berupa kasa yang mengandung sengoksida, kemudian dibalut
dengan perban elastis untuk kompresi. Seng oksida melindungi
tepi luka, selain meningkatkan re-epitelisasi dan mengurangi
inflamasi. Unna boot biasanya digunakan dalam jangka waktu 1
minggu, walaupun dapat diganti lebih sering pada luka
eksudatif. Bila ulkus venosus sudah terobati, pencegahan

166
rekurensi penting dilakukan. Kompresi dengan tekanan minimal
30 mmHg pada pergelangan kaki sesuai untuk indikasi ini.
Karena perban elastis berkurang elastisitasnya sejalan waktu
dan pencucian, maka dianjurkan pasien membeli 2 pasang
perban kompresi tiap 6 bulan untuk mempertahankan tekanan
yang sesuai. Pasien juga dianjurkan untuk meninggikan tungkai
untuk mencegah rekurensi.

167
 Rozerplasty kuku
Roserplasty adalah tindakan avulsi kuku⅓bagian secara
longitudinal dengan tujuan tertentu.Indikasi tindakan ini sering
dilakukan pada kasus infeksi kuku seperti unguis incarnatus
(ingrown nail) (Gambar 1-A. dan 1-B.). Indikasi lain ialah
paronychia berulang pada kuku ibu jari yang tumbuh ke dalam
dan disertai eritema dan pembengkakan di sepanjang tepi kuku.
Seiring berkembangnya inflamasi, terbentuk jaringan
granulamatosa sepanjang tepi kuku. Gejalanya adalah nyeri
pada kuku yang terkena, tepi kuku terlihat bengkak dan terdapat
tanda radang. Pada pemeriksaan fisik terlihat kuku yang
tumbuh masuk ke dalam daging. Pada kasus infeksi bakterial
akut di kuku, roserpalsty membantu drainase pus.
Prinsip roserplasty adalah melepaskan lempeng kuku
sebagian dari dasar kuku, matriks, dan lipat kuku proksimal atau
lateral yang kemudian diikuti dengan eksplorasi pada matriks
kuku dan permukaan ventral kuku untuk mencari bentuk
patologis yang ada.

TEHNIK ROSERPLASTY
Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada jari yang terkena
Pasang doek berlubang
Lakukan tindakan blok anestesi di pangkal jari bagian dorsolateral
kiri dan kanan.
Masukkan sonde pada 1/3 lateral kuku yang akan dibuang sampai
matriks kuku.
Gunting kuku di atas sonde
masukkan klem, jepit bagian kukku yang akan dibuang, putar
ke pinggir hingga kuku terlepas dari dasarnya lalu kuku ditarik
hingga terlepas.
Kerok dasar kuku yang telah dibuang dengan kuret
Gunting matriks kuku pada sisi kuku, bila perlu jahit penutup matriks
kuku
Luka ditutup dengan salep atau iodine, lalu tutup dengan kasa steril.
Setelah selesai penderita diberi antibiotik profilaksis, analgetik dan
roboransia.

168
A B
Gambar 1-A, 1-B. Ingrown nail/paronychia

Gambar 2. Ilustrasiroserplasty

PERAWATAN PASKA OPERASI


Pembalutan yang baik dapat mengurangi nyeri dan
mengurangi resiko komplikasi paska operasi. Aplikasi antibiotika
ointment dilakukan pada lokasi bedah, kemudian ditutup
dengan pembalut. Pembalutan tidak terlalu erat , mengingat
edema paska operasi dan pasien diingatkan untuk menjaga
kering balutan. Pemberian obat NSAID oral untuk mengurangi
nyeri dan inflamasi.
KOMPLIKASI: Perdarahan, infeksi, nyeri, deformitas, formasi
granuloma piogenik, distrofi refleks simpatetik, osteomyelitis,
artritis septik.
PENCEGAHAN
 Pencarian Kontak (Case Finding)
Case Finding (pencarian kasus), digunakan untuk
mengatasi wabah. Tujuan case finding adalahmenemukan
sumber penularan dan atau mencari ada atau tidak ada
penderita baru di masyarakat. Proses penemuan penderita
(case finding) tidaklah sesederhana sebagaimana kelihatannya.
Melalui berbagai tahapan harus dijalani sampai ditemukannya
satu orang penderita, mulai dari jenis gejala yang timbul sampai
ke mana penderita pergi berobat untuk mengatasi gejala
tersebut.

169
Pembagian Case Finding
1. Active Case Finding
Cara kerja case finding adalah digunakan bila dengan
metode sensus dan survei mengalami kesulitan dan data hanya
masalah kesehatan tertentu, pada Active Case Finding hanya
mencari yang dicuriga sakit. Program active case finding adalah
cara menjaring penderita dengan melibatkan peran kader
masyarakat yaitu kader Posyandu. Kelebihan dari active case
finding adalah dapat menemukan secara tepat dan cepat
penderita disuatu masyarakat yang enggan berobat.
Pada pencarian kasus aktif, cara kerja yang ditempuh pada
dasarnya sama dengan penyaringan (screening). Bedanya,
kelompok masyarakat yang dituju pada case finding ialah
mereka yang dicurigai terkena penyakit.
Pada pencarian kasus aktif ini, petugas kesehatan
mendatangi daerah yang terkena wabah untuk mencari sumber
penularan atau kasus baru. Pencarian kasus secara aktif ini ada
dua macam :
1. Backward tracing (telusur kebelakang)
Tujuan utamanya adalah mencari sumber penularan.
disini dikumpulkan data tentang orang-orang yang
pernah berhubungan dengan penderita sebelum
penderita tersebut jatuh sakit. Dengan memanfaatkan
pengetahuan tentang reservoir penyakit, masa inkubasi
penyakit, cara penularan penyakit, riwayat alamiah
perjalanan penyakit serta gejala – gejala khas penyakit
yang sedang mewabah, dapat ditentukan sumber
penularan penyakit tersebut.
2. Forward tracing (telusur ke depan)
Tujuan utamanya mencari kasus baru. Disini dikulpulkan
data tentang orang – orang yang pernah berhubungan
dengan penderita setelah penderita tersebut terserang
penyakit. Dengan memanfaatkan pengetahuan tentang
masa inkubasi penyakit, cara penularan penyakit,
riwayat alamiah perjalanan penyakit serta gejala – gejala
khas penyakit yang sedang mewabah, dapat ditemukan
kasus – kasus baru penyakit tersebut.
2. Pasive Case Finding
Pada pencarian kasus yang pasif, pengumpulan data tentang
masalah kesehatan tidak dilakukansecara aktif, melainkan hanya
menunggu penderita yang dating berobat kesatu fasilitas

170
kesehatan saja. Pencarian data hanya mengandalkan laporan
yang ada.
Contoh : Penjaringan tersangka TB paru dilaksanakan
hanya pada penderita yang berkunjung ke unit pelayanan
kesehatan terutama Puskesmas sehingga penderita yang
tidak datang masih menjadi sumber penularan yang
potensial.

171

Anda mungkin juga menyukai