Anda di halaman 1dari 178

i

KEGIATAN BANK INDONESIA DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN


BERBASIS KLASTER KOMODITI UNGGULAN (PANDUAN REPLIKASI)

Tim Penyusun

Pelindung
Eni V. Panggabean

Penanggung jawab
Yunita Resmi Sari

Ketua Tim
Miftah Fauzi

Anggota
Usmanti Rohmadyati
Budi Hardjono
Meliana Rizka
Anna Mamengko

Editor
Agung Pragita Vazza

Sumbangan artikel
• Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral (PRES)
• Kantor Perwakilan Dalam Negeri:
1. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I (Sulawesi, Maluku, dan Papua)
2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah II (Kalimantan)
3. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV (Jawa Timur)
4. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V (Jawa Tengah dan D.I.
Yogyakarta)
5. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa Barat dan Banten)
6. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VII (Sumatera Selatan, Kepulauan
Bangka Belitung, Bengkulu dan Lampung)
7. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VIII (Sumatera Barat, Riau, Jambi,
dan Kepulauan Riau)
8. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IX
(Sumatera Utara dan Aceh)
9. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat
10. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
11. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah
12. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon
13. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya
14. Kantor Perwakilan Bank Indonesia D.I. Yogyakarta

ii
Sumbangan Foto dari
iii
Departemen Komunikasi Bank Indonesia
iv
Daftar Isi

KATA PENGANTAR Kepala DPAU 7

KATA SAMBUTAN DEPUTI GUBERNUR 11

I. PENDAHULUAN 15
1. Program Ketahanan Pangan
2. Program Klaster
3. Pentingnya Replikasi

II. PROGRAM KLASTER KETAHANAN PANGAN:


1. KOMODITI PADI
1.1. Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

A. Metode SRI (System Rice of Intensification)


Mengusung SRI Jadi Primadona Peningkatan Produktivitas Padi 21
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IX (Medan)

B. Metode Jajar Legowo


B.1. Sinergi Meningkatkan Produksi Padi dan Diversifikasi 27
Pangan (PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara
B.2. Mengangkat Produktivitas dengan Sinergi terpadu 31
Jajar Legowo 2:1 (PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah
B.3. Menuju Produksi Berkelanjutan dengan Sekolah Lapang 35
(PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Pematangsiantar

C. Metode Pasang Surut


Harmonisasi Program Jadi Kunci Produktivitas Padi di Lahan 39
Pasang Surut (PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau (Pekanbaru)

D. Metode Tanam Sebatang


Sekali Menanam Padi Salibu, Produksi dan Pendapatan 43
Petani Terangkat
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VIII (Padang)

1
Daftar Isi

E. Metode Organik
E.1. Fokus dan Komprehensif Mengembangkan padi Organik 49
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VII (Palembang)

E.2. Optimalisasi Produksi Beras dengan Klaster Padi 56


Organik (PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jember-Malang

F. Metode Padi dalam Pot


Pemberdayaan Rumah Tangga dengan Menanam Padi 60
Dalam Pot (PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan
Barat (Pontianak)

G. Metode Padi Lokal


Sinergi Program Padi Lokal Menguatkan Ketahanan Pangan 64
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah II (Banjarmasin)

H. Metode Integrated Farming


Meningkatkan Produktivitas Padi Berbekal Integrated 70
Farming (PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I (Makassar)

1.2. Peningkatan Akses Pemasaran (Metode Pemasaran)


Tunda Jual Mengantar Petani Menuju Kemandirian dan 74
Kesejahteraan (PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV Surabaya)

1.3. Penguatan Kelembagaan


Menguatkan Cadangan Beras dengan Optimalisasi
Resi Gudang (PRES) 78
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI (Bandung)

2. KOMODITI SAPI
Peningkatan Produksi

A. Metode Kandang Komunal


A.1. Kandang Komunal dan Villa Sapi Manis Strategi Klaster 83
Terpadu
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V (Semarang)

A.2. Penggemukan Sapi Berorientasi Bisnis Bermodal Mindset 90


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara
Barat (Mataram)

2
Daftar Isi

B. Metode Pembibitan
Mengubah Makna Rojokoyo dengan Klaster Pembibitan Sapi (PRES) 96
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV (Surabaya)

C. Metode Integrasi dengan Kebun Sawit


Zero Waste menyatukan Kelapa Sawit dan Sapi 102
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau (Pekanbaru)

3. KOMODITI BAWANG MERAH


Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

A. Metode pendampingan Dengan Konsisten


Konsistensi Memperkuat Supply Bawang Merah 109
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon

B. Metode Demonstration Plot (Demplot)


Sinergi Menghasilkan Bawang Merah di Lahan Marjinal 115
Kantor Perwakilan bank Indonesia Provinsi Kalimantan
Tengah (Palangkaraya)

4. KOMODITI CABAI MERAH


4.1. Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

A. Metode Penanaman Organik


Meningkatkan Produksi Cabai Organik, Meredam 122
Gejolak Harga
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I (Makassar)

B. Metode Rumah Semai


Konsolidasi Stakeholders Menguatkan Klaster Cabai Merah 128
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI (Bandung)

C. Metode Pengaturan Tanam (Jadwal dan Kuota)


Database Pengaturan Tanam Menjaga Konsistensi Produksi 134
Cabai (PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri

D. Metode Rumah Pangan Lestari


Melepas Ketergantungan pada Pasar dengan Rumah Pangan 138
Lestari (PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan

3
Daftar Isi

4.2. Peningkatan Akses Pemasaran (Metode Pemasaran)


Mengantar Petani ke Rumah Pasar dan Stabilitas Harga (PRES) 142
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan

4.3. Penguatan Kelembagaan (Metode Sekolah Lapang)


A. Berbekal Sekolah Lapang Meredam Gejolak Harga 146
Cabai (PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta

B. Sekolah Lapang Cabai Menyulap Lahan Marjinal Jadi 150


Produktif (PRES)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah

5. KOMODITI AYAM PEDAGING 155


Peningkatan Produksi (Metode Good Farming Practice)
Good Farming Practice memaksimalkan Potensi Ayam Pedaging
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya

6. KOMODITI PERIKANAN AIR TAWAR 162


Peningkatan Produksi (Metode Cara Budi Daya Ikan dengan Baik/CBIB)
Mendongkrak Produksi Ikan Air Tawar dengan CBIB dan Nilai Tambah
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta

III. PENUTUP 169

4
Halaman ini
sengaja dikosongkan

5
Kata Pengantar
KEPALA DEPARTEMEN
PENGEMBANGAN
AKSES KEUANGAN DAN UMKM
(DPAU)

6
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan buku “Kegiatan
Bank Indonesia Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Berbasis Klaster
Komoditi Unggulan” dapat diselesaikan dengan baik.

Penyusunan buku ini dilatar belakangi dengan semangat agar program


pengembangan klaster ketahanan pangan yang telah berhasil di beberapa
Kantor Perwakilan dapat direplikasi di Kantor Perwakilan lain atau oleh pihak
di luar Bank Indonesia, sehingga diharapkan menjadi suatu gerakan berskala
nasional, dan dapat berperan dalam menjaga sisi penawaran. Pada gilirannya
hal ini akan berdampak pada peningkatan kapasitas ekonomi nasional serta
mendukung tugas Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan harga. Berdasarkan
data BPS tahun 2013, salah satu kontribusi terbesar terhadap inflasi berasal dari
komponen inflasi volatile food yang mencapai 11,8%. Komoditi yang dominan
memberikan sumbangan inflasi terbesar adalah bawang merah (0,4%), cabai
merah (0,3%), beras (0,2%), daging sapi (0,1%) dan daging ayam ras (0,1%).
Sejalan dengan itu, maka pada tahun 2014, program pengembangan klaster
ketahanan pangan difokuskan kepada komoditi padi, bawang merah, bawang
putih, cabai merah dan sapi.

Selain itu, program pengembangan klaster berbasis komoditi ketahanan


pangan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia dinilai strategis karena bersifat
terintegrasi, meningkatkan daya tawar dan berdampak bagi pengembangan
ekonomi daerah/wilayah.

Agar buku ini dapat menjadi inspirasi dan mudah untuk direplikasi serta
dikembangkan oleh Kantor Perwakilan maupun pemangku kepentingan, maka
buku ini akan disajikan secara berseri. Buku seri pertama akan berisi informasi
umum, benang merah dan kunci sukses program klaster ketahanan pangan.
Buku seri selanjutnya, kami sebut buku komoditi yang akan mengupas lebih
dalam dan rinci berbagai aktivitas dalam pengembangan klaster berdasarkan
komoditi, yang akan dimulai dengan buku seri komoditi padi, komoditi sapi,
komoditi bawang merah dan komoditi cabai merah.

Akhirnya kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-


tingginya kepada Pimpinan dan segenap jajaran di Kantor Perwakilan dan Pusat
Riset dan Edukasi Bank Sentral atas kerjasama yang baik dalam penyusunan
buku ini. Semoga buku “Kegiatan Bank Indonesia Dalam Mendukung Ketahanan

7
Kata Pengantar

Pangan Berbasis Klaster Komoditi Unggulan” dapat membantu pelaksanaan


replikasi program pengembangan klaster ketahanan pangan di seluruh wilayah
Indonesia dalam rangka mendukung tugas Bank Indonesia melalui kestabilan
harga. n

Jakarta, April 2014


Kepala Departemen
Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM

Eni V. Panggabean
Direktur Eksekutif

8
Halaman ini
sengaja dikosongkan

9
Kata Sambutan
DEPUTI GUBERNUR

10
Kata Sambutan

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga buku “Kegiatan Bank Indonesia
dalam Mendukung Ketahanan Pangan Melalui Pengembangan Berbasis
Klaster Komoditi Unggulan” ini dapat diselesaikan dengan baik. Buku ini berisi
berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai respon atas
kebijakan dan peran Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan harga melalui
pengembangan klaster ketahanan pangan berbasis komoditi unggulan daerah
dan sekaligus mendorong pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) di daerah.

Ketahanan pangan (food security) merupakan permasalahan yang menjadi


perhatian banyak negara seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di
dunia. Kebutuhan akan pangan menjadi isu utama dalam berbagai pertemuan
tingkat dunia. Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk yang
menempati peringkat keempat dunia, rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar
1,49% per tahun serta rata-rata pertumbuhan ekonomi 2009-2013 sebesar 5,9%
per tahun, tentu harus mewaspadai kebutuhan pangan yang terus meningkat
seiring dengan peningkatan konsumsi penduduk.

Kondisi tersebut tentunya menjadi perhatian yang besar bagi pemerintah,


dengan menjadikan pembangunan ketahanan pangan sebagai prioritas
nasional dan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014. Dalam rangka mendukung program ketahanan
pangan, sebagai bank sentral di negara berkembang, Bank Indonesia tidak
terlepas dari peran untuk pengembangan UMKM sebagai salah satu aktor
utama dalam perekonomian nasional. Melalui program ketahanan pangan
secara tidak langsung dapat membantu tugas Bank Indonesia dalam rangka
menjaga kestabilan harga/inflasi, khususnya untuk meredam volatile food.
Untuk tahun 2014 inflasi diharapkan dapat segera kembali pada lintasan
sasaran 4,5+1% dan 4,0+1% untuk tahun 2015. Salah satu upaya adalah melalui
program pemgembangan klaster ketahanan pangan dengan berbasiskan
kepada komoditi padi, bawang merah, cabai merah, sapi dan bawang putih.

Selama tahun 2012 s.d. 2013, dalam pelaksanaan kegiatan klaster ketahanan
pangan di daerah, terdapat berbagai pencapaian dari program klaster yang
dilaksanakan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia, antara lain berupa
peningkatan produksi, dan perbaikan sistem pertanian. Diharapkan program/

11
Kata Sambutan

model yang disajikan dalam buku ini dapat menjadi inspirasi untuk direplikasi
dan dikembangkan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia maupun pemangku
kepentingan sesuai dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing.

Akhir kata, kami menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada


seluruh jajaran pegawai Bank Indonesia yang telah mencurahkan pikiran dan
tenaganya dalam mendukung ketahanan pangan dan pengembangan sektor
riil dan UMKM, termasuk pemangku kepentingan lainnya yang telah membantu
mensukseskan program Bank Indonesia. Semoga langkah yang telah dilakukan
oleh Bank Indonesia bersama dengan pemangku kepentingan lainnya dapat
mewujudkan ketahanan pangan yang merata dan berkesinambungan di seluruh
Indonesia. n

Jakarta, April 2014

Halim Alamsyah
Deputi Gubernur Bank Indonesia

12
Halaman ini
sengaja dikosongkan

13
I. PENDAHULUAN

14
Pendahuluan

1. Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan adalah pertahanan negara. Ketika ketahanan pangan


suatu negara terancam, maka kelangsungan hidup suatu bangsa dipertaruhkan.
Pandangan ini cukup menjelaskan mengapa ketahanan pangan selalu menjadi
perhatian besar di banyak negara di dunia. Dalam berbagai pertemuan tingkat
dunia, masalah ketahanan pangan selalu menjadi agenda utama. Sedikitnya
ada tiga faktor yang menyebabkan ketahanan pangan tidak pernah lepas dari
perhatian pemerintahan di berbagai belahan dunia.

Pertama adalah ledakan penduduk. Pangan tak pelak merupakan nafas


kehidupan miliaran penduduk dunia. Pertambahan jumlah penduduk yang terus
terjadi dengan sendirinya meningkatkan kebutuhan pangan. Kedua, terjadinya
perubahan iklim yang berdampak pada penurunan produktivitas pangan.
Ketiga, mulai terbatasnya sumber-sumber pangan. Ketiga faktor ini berpeluang
besar menghadirkan ancaman bagi ketahanan pangan setiap negara. Tidak
terkecuali Indonesia.

Indonesia kini tercatat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak


keempat dunia. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan dalam kurun 2000-2005
rata-rata pertumbuhan penduduk di Indonesia mencapai sebesar 1,49 persen
per tahun. Sedangkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun
2009-2013, berdasarkan keterangan Pemerintah atas Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 dan nota keuangan di DPR RI
2013, mencapai sebesar 5,9 persen per tahun. Kedua angka pertumbuhan
tersebut mencerminkan besarnya tantangan yang harus dihadapi dalam
mencapai ketahanan pangan.

Pemerintah pun sudah pula menempatkan masalah ketahanan pangan


sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJMN) 2010-2014. Upaya
mencapai ketahanan pangan sendiri difokuskan pada peningkatan ketersediaan
pangan, pemantapan distribusi pangan, percepatan diversifikasi pangan, dan
pengawasan keamanan pangan segar sesuai karakteristik daerah. Ini berarti
pencapaian ketahanan pangan nasional terkait erat dengan upaya mendorong
pemenuhan kebutuhan pangan domestik dengan harga yang terjangkau
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pencapaian ketahanan pangan yang kuat dan tangguh dipercaya


mampu memainkan peran sangat penting dalam pembangunan ekonomi
yang berkualitas dan berkesinambungan. Ketahanan pangan yang kuat
dan berkesinambungan (sustainable) juga dipercaya mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi, pengurangan tingkat pengangguran dan kemiskinan.

15
Pendahuluan

Ini berarti gejolak harga pada komoditas pangan akan berdampak besar pada
kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan.

2. Program Klaster

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter memang hanya memiliki tujuan


tunggal yaitu mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah. Hanya saja tujuan
tersebut menghadirkan pula dua aspek penting; kestabilan nilai rupiah terhadap
mata uang negara lain yang tercermin pada perkembangan nilai tukar dan
menjaga kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin pada
laju inflasi. Inflasi yang rendah dan stabil tak dipungkiri merupakan prasyarat
bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sebaliknya inflasi yang
tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif terhadap kondisi sosial
ekonomi masyarakat.

Sumber utama tekanan inflasi Indonesia banyak dipengaruhi supply side


(sisi penawaran) yang disebabkan gangguan produksi, distribusi maupun
kebijakan pemerintah. Terutama terkait komoditas bahan pangan. Saat ini
komoditas bahan pangan merupakan penyumbang utama inflasi di Indonesia.
Secara empiris, komoditas yang menjadi sumber tekanan inflasi tersebut adalah
komoditas pangan (volatile foods). Porsi sumbangannya terhadap inflasi cukup
signifikan dan responnya terhadap berbagai gangguan sangat cepat. Beberapa
komoditas pangan dimaksud antara lain beras, daging, bawang merah, cabai
merah, dan bawang putih. Kondisi demand dan supply yang tidak seimbang
akan menyebabkan gangguan terhadap beberapa komoditas pangan tersebut
yang berdampak pula pada laju inflasi.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, dan sejalan dengan tujuan
mengendalikan laju inflasi, Bank Indonesia dinilai perlu turut serta menjaga
ketersediaan pangan. Kecukupan ketersediaan bahan pangan dipercaya
mampu menjaga sisi supply sehingga mampu meredam gejolak harga
sekaligus membantu mengendalikan laju inflasi. Di sisi lain, ketersediaan bahan
pangan yang memadai, bisa menopang upaya mencapai ketahanan pangan
nasional. Terkait itu, Bank Indonesia memandang perlu turut menjaga sisi supply
komoditas bahan pangan sehingga mampu mendeteksi lebih dini ketika terjadi
situasi yang memungkinkan munculnya gejolak harga. Selain itu respons yang
cepat dan tepat terhadap setiap perubahan harga komoditas pangan, terutama
bahan pangan pokok juga diperlukan.

Keikutsertaan Bank Indonesia menjaga sisi supply itulah yang kemudian


diwujudkan dalam bentuk program pengembangan klaster komoditas bahan
pangan unggulan. Klaster ini tak lain bertujuan mengidentifikasi keberhasilan

16
Pendahuluan

pemerintah daerah dalam mengembangkan ketahanan pangan di daerahnya.


Pengembangan klaster tersebut dilakukan dengan mengambil model daerah
yang mengalami surplus bahan pangan dan defisit bahan pangan. Baik upaya
menjaga surplus pangan maupun upaya mengatasi defisit pangan di daerah
pengembangan klaster nantinya bisa diharapkan menjadi acuan bagi daerah
lain untuk diimplementasikan sesuai kearifan daerah masing-masing.

Pengembangan klaster bahan pangan di daerah juga bertujuan mengeratkan


koordinasi dan sinergi antara Bank Indonesia dengan pemerintah daerah
yang secara bersama berupaya meningkatkan ketahanan pangan. Sinergi
ini dilakukan antara lain dengan memfasilitasi pertemuan antar stakeholders
terkait sebagai upaya merealisasikan pelaksanaan kegiatan ketahanan pangan.
Dalam pertemuan tersebut dilakukan pembahasan secara intensif mengenai
permasalahan yang dihadapi semua pihak terkait ketahanan pangan sekaligus
mencari solusinya. Pembahasan intensif ini diharapkan mampu menghasilkan
solusi komprehensif melalui sinergi program-program kerja masing-masing
stakeholders.

3. Pentingnya Replikasi

Solusi komprehensif yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pengembangan


klaster tersebut, dalam pelaksanaannya ternyata mampu menunjukkan hasil-
hasil yang berdampak positif. Bukan hanya terhadap upaya mendorong
pencapaian ketahanan pangan, tapi juga terhadap pengendalian laju inflasi.
Meski menempuh strategi dan komoditas bahan pangan yang berbeda sesuai
karakteristik daerah masing-masing, namun program pengembangan klaster
tetap menghadirkan hasil yang sama positifnya.

Pelaksanaan program pengembangan klaster selama 2012 sampai 2013


yang melibatkan seluruh Kantor Perwakilan Bank Indonesia sebagai pelaksana
di daerah bersama stakeholders terkait di daerah, terbukti mampu memberikan
hasil positif yang nyata. Pencapaian tersebut misalnya terjadi peningkatan
produksi, perbaikan dari sistem pertanian dari konvensional menjadi pertanian
modern, penguatan aspek kelembagaan petani melalui pendirian koperasi dan
keterbukaan akses keuangan. Pencapaian program pengembangan klaster
tersebut juga mendapat apresiasi dari pemerintah daerah.

Kehadiran buku ‘Kegiatan Bank Indonesia Dalam Mendukung Ketahanan


Pangan Berbasis Klaster Komoditi Unggulan’ ini tak lain bertujuan
menyebarluaskan capaian dan keberhasilan program pengembangan klaster.
Harapannya tentu saja keberhasilan program pengembangan klaster tersebut
bisa menjadi acuan dan rujukan bagi daerah-daerah lain. Selain itu diharapkan

17
Pendahuluan

pula setiap daerah bisa melakukan replikasi program pengembangan klaster


serupa sesuai dengan karakteristik dan komoditas unggulan masing-masing
daerah.

Replikasi program pengembangan klaster di daerah dipercaya mampu


menghadirkan solusi komprehensif terkait pengendalian inflasi di daerah,
yang bermuara pada terjaganya laju inflasi secara nasional. Lebih dari itu,
replikasi program pengembangan klaster berbasis komoditas unggulan
daerah, diyakini mampu menjadi bahan bakar utama pencapaian ketahanan
pangan secara nasional. Ketahanan pangan adalah pertahanan negara. Strategi
ketahanan pangan pun harus dilakukan lintas wilayah dan daerah. Dan replikasi
program pengembangan klaster tak lain merupakan salah satu strategi penting
mengamankan ketahanan pangan bangsa. n

18
Pendahuluan

Halaman ini
sengaja dikosongkan

19
II. PROGRAM Klaster
KETAHANAN PANGAN
1. Komoditi Padi

20
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

1.1. Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

A METODE SRI (System Rice of Intensification)

Mengusung SRI Jadi Primadona Peningkatan Produktivitas Padi


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IX (Sumatera Utara dan Aceh)

Kalau ada provinsi di Indonesia yang tercatat sebagai penghasil beras dan
mengalami surplus beras, Sumatera Utara adalah salah satunya. Meski begitu,
Provinsi Sumatera Utara juga tercatat masih memiliki tingkat produktivitas padi
di bawah rata-rata nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2012,
produktivitas padi rata-rata Provinsi Sumatera Utara hanya 4,86 ton per hektar.
Angka ini lebih rendah dibanding produktivitas padi rata-rata nasional yang
mencapai 5,1 ton per hektar. Sedangkan populasi penduduk memperlihatkan
kecenderungan meningkat, pasokan bahan pangan perlu ditingkatkan.
International Rice Research Institute (IRRI) mengestimasi dalam 25 tahun ke
depan, Indonesia mengalami peningkatan kebutuhan beras hingga 38 persen
dan produktivitas padi harus ditingkatkan menjadi enam ton per hektar.

Di sisi lain, jumlah produksi beras juga masih fluktuatif dan sangat tergantung
pada musim. Sebaliknya, konsumsi beras bersifat kontinyu. Situasi inilah yang
menjadi kendala dan menyebabkan stok beras di bulan-bulan tertentu cenderung
menurun. Seperti layaknya hukum penawaran dan permintaan dalam ilmu
ekonomi, adanya kesenjangan antara tingkat ketersediaan (supply) di pasar dan
konsumsi menyebabkan harga beras meningkat dan pada akhirnya akan memicu
kenaikan inflasi pada kelompok volatile food. Begitulah gambaran yang terjadi di
Sumatera Utara.

Kondisi kontradiktif itulah yang memotivasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia


Wilayah IX (Sumatera Utara dan Aceh) melaksanakan program pengembangan
padi dengan metode System Rice of Intensification (SRI). Pelaksanaan program
ini merupakan tindak lanjut dari inisiatif program pengembangan ketahanan
pangan Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral (PRES) Bank Indonesia. Metode SRI
dipilih lantaran teknik budidaya ini dipercaya bisa meningkatkan produktivitas
padi hingga 50 persen. Di beberapa tempat bahkan bisa mendongkrak
produktivitas sampai 100 persen. Pada dasarnya, metode SRI hanyalah metode
yang menempatkan semua unsur potensi padi yang dikembangkan dengan
cara memberikan kondisi sesuai dengan pertumbuhannya.

Program pengembangan klaster pun ditetapkan pelaksanaannya sebagai


program multiyears selama tiga tahun, sejak 2012, dengan fokus dan output
yang berbeda. Terkait itu, terpilih dua kelompok tani, yaitu Kelompok Tani Sri

21
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Penanaman padi dengan menggunakan metode SRI di Desa


Pematang Setrak, Kec. Teluk Mengkudu, Kab. Serdang Bedagai.

Murni I dan Kelompok Tani Fajar. Luas areal pilot project sekitar 20 hektar dan
jumlah petani sebanyak 126 orang, di Desa Pematang Setrak, Kecamatan Teluk
Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Kedua kelompok tani
tersebut lalu bergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Sri Karya. Sebelum
menerapkan metode SRI, kedua kelompok tani tadi menerapkan sistem tanam
legowo 4:1.

Implementasi SRI
Tahap pembangunan klaster dimulai pada 2012. Setelah memilih lokasi klaster,
penetapan kelompok peserta, dan penentuan ruang lingkup kegiatan, dilakukan
tahap implementasi awal. Pada tahap ini Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah IX melibatkan banyak pihak antara lain Kepala Daerah Tingkat II, dinas
terkait, badan ketahanan pangan, perbankan serta akademisi. Keterlibatan pihak
terkait ini bertujuan menggali ide, pendapat, gagasan hingga usulan model
yang tepat untuk klaster. Pada tahap ini pula dirumuskan secara matang strategi
pengembangan klaster sehingga output-nya terukur. Ukuran keberhasilan
yang ditetapkan adalah peningkatan jumlah kelompok tani yang menerapkan
metode SRI, peningkatan produktivitas, dan peningkatan pendapatan petani.

Sebagai sesuatu cara yang dianggap baru, awalnya aplikasi SRI dinilai
melawan arus, bertentangan dengan kebiasaan menanam petani setempat.

22
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

Turun temurun, kebanyakan petani menanam bibit matang (umur 20-30 hari)
secara serentak dalam bentuk rumpun, dengan penggenangan air di sawah
seoptimal mungkin sepanjang musim. Praktek seperti ini ingin mengurangi
risiko bibit mati. Tanaman yang lebih matang dianggap mampu bertahan;
penanaman dalam bentuk rumpun akan menjamin beberapa tanaman tetap
hidup saat pindah tanam (transplanting); dan penanaman genangan air
menjamin kecukupan air dan gulma sulit tumbuh.

Sedangkan metode SRI adalah kebalikan dari kebiasaan tersebut. Bibit


muda sekitar 10 hari sudah ditanam, lahan sawah tidak terus menerus direndam
air, penanaman tunggal, dan jarak antar tanaman lebih lebar. Sepintas memang
jumlah yang ditanam lebih sedikit, namun SRI mampu menghasilkan tanaman
padi yang memiliki lebih banyak batang, perkembangan akar lebih besar dan
lebih banyak bulir pada malai. Tantangan mengubah pola tanam tradisional
berhasil dijawab SRI. Kini sudah banyak petani merasakan manfaatnya dan
menyebut SRI dengan sebutan ‘sedikit tapi memberi lebih banyak’.

Selanjutnya, sejak penanaman perdana dilakukan pada April 2012, Kantor


Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IX mendukung budidaya dengan beragam
pelatihan. Sebut saja pelatihan budidaya metode SRI, pelatihan aplikasi
trichoderma, dan pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL) serta pelatihan
pengendalian Organisme Tanaman Pengganggu (OPT). Selain pelatihan,
difasilitasi pula pengadaan benih unggul bersama PT Shang Hyang Sri, PT
Pertani, dan Dinas Pertanian. Bantuan berupa sarana pendukung peningkatan
produksi pun diberikan berupa traktor, kendaraan roda tiga, dan troli.

Pelatihan, fasilitasi serta bantuan tersebut, yang berpadu dengan kegigihan


kelompok tani, mampu membuahkan hasil menggembirakan. Produktivitas padi
dengan metode SRI tercatat selalu lebih tinggi satu sampai dua ton per hektar.

Bantuan PSBI 2012


berupa traktor kepada
Gapoktan Sri “Srikarya.”

23
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Pada MT-A 2012, produktivitas SRI tercatat 9,38 ton per hektar, sedangkan
produksi metode legowo 4:1 di angka 8,04 ton per hektar. Begitu pula pada
MT-B 2012 dan MT-A 2013, produktivitas padi dengan metode SRI selalu
lebih tinggi dibanding metode lain. Keberhasilan tersebut membuat metode
SRI tak ubahnya primadona sekaligus kunci sukses kelompok tani setempat
meningkatkan produktivitas.

Selanjutnya, pada 2013, pengembangan klaster padi SRI memasuki tahap


kemandirian. Keberhasilan di tahun pertama diharapkan dapat mendorong
kelompok tani lain untuk menerapkan metode SRI. Kegiatan klaster pun
diperkuat dengan sosialisasi dan pelatihan budidaya SRI guna replikasi
program, baik di Kabupaten Serdang Bedagai maupun kabupaten lain.
Hasilnya, menggembirakan. Kelompok tani metode SRI bertambah pesat.
Dari dua kelompok tani di awal program menjadi enam kelompok pada MT-B
2012. Dan hingga akhir 2013, tercatat sudah 70 kelompok tani menerapkan SRI
di Kabupaten Serdang Bedagai. Pioneer SRI di kabupaten ini bahkan sudah
menjadi pelatih di Kabupaten Karo.

Selain masalah teknis budidaya, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah


IX juga concern dengan penguatan kelembagaan guna merealisasikan
kemandirian petani. Sehingga dilakukanlah asistensi penguatan kelembagaan
dan pendirian Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA). Petani juga diajak
melihat kondisi riil LKMA yang beroperasi baik di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Setelah studi banding itu, petani giat mengumpulkan modal dari anggota.
Akhirnya pada Oktober 2013, berdiri LKMA Karya Berseri dengan modal Rp13,8
juta, terdiri atas saham dan simpanan pokok anggota Gapoktan Sri Karya.

Sampai Februari 2014, LKMA Karya Berseri sudah membiayai 62 anggota,


sebesar Rp 88 juta. “LKMA sangat membantu petani memenuhi modal kerja.

LKMA Karya Berseri


diharapkan dapat
memenuhi modal kerja
petani dengan bunga
yang relatif rendah
dibandingkan tengkulak.

24
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

Pola Pengembangan Klaster Padi


Metode SRI
SINERGI PENGEMBANGAN HASIL
KLASTER PADI
1. Kantor Perwakilan METODE SRI 1. Produktivitas padi metode
Bank Indonesia SRI pada MT-A 2012, tercatat
Wilayah IX (Sumatera 1. Program 9,38 ton per hektar.
Utara dan Aceh). pengembangan padi
dengan metode System 2. Kelompok tani metode SRI
2. Pemerintah Rice of Intensification (SRI). bertambah. Dari 2 kelompok
Kabupaten Serdang tani menjadi enam kelompok
Bedagai, Provinsi 2. Perumusan strategi pada MT-B 2012. Hingga 2013,
Sumatera Utara. pengembangan tercatat 70 kelompok tani
klaster dengan ukuran metode SRI.
3. Badan Ketahanan keberhasilan peningkatan
Pangan (BKP) Provinsi jumlah kelompok tani 3. Terbentuk LKMA Karya
Sumatera Utara. metode SRI, produktivitas, Berseri dengan modal Rp
dan pendapatan petani. 13,8 juta dan membiayai 62
4. Balai Pengkajian anggota, sebesar Rp 88 juta.
Teknologi Pertanian 3. Pelatihan metode
(BPTP) Provinsi SRI, pelatihan aplikasi 4. Pendapatan petani naik
Sumatera Utara. trichoderma, pembuatan 16,96 persen, dari Rp 33,68
Mikro Organisme Lokal juta menjadi Rp 39,39 juta per
(MOL), dan pelatihan hektar per tahun. Laba petani
pengendalian Organisme naik 15,07 persen, dari Rp
Tanaman Pengganggu 27,01 juta menjadi Rp 31,08
(OPT). juta per hektar per tahun.

4. Pengadaan benih
unggul bersama PT Shang
Hyang Sri, PT Pertani, dan
Dinas Pertanian.

5. Asistensi penguatan
kelembagaan dan
pendirian Lembaga
Keuangan Mikro
Agribisnis (LKMA).

Sebelumnya, modal kerja kami dipenuhi tengkulak dengan bunga sangat


tinggi,” ujar Parlan Sibarani, Petani Champion Desa Pematang Setrak.

Pengembangan klaster padi SRI tentu saja tidak berhenti pada berdirinya
LKMA. Kendala lain masih harus dihadapi, yaitu keterbatasan lantai jemur dan

25
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

rumah kompos. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IX merespon dengan


penyaluran Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) untuk pembangunan lantai
jemur dan rumah kompos. Hasilnya, harga gabah meningkat dari Rp 4.200 per
kilogram menjadi Rp 5.100 per kilogram. Peningkatan produktivitas metode
SRI dan harga jual gabah bisa dipastikan berdampak pada meningkatnya
kesejahteraan petani.

Intensifikasi
Sebagai kunci sukses peningkatan produktivitas padi, menurut buku ‘Stabilisasi
Harga Melalui Penguatan Ketahanan Pangan Daerah’ yang diterbitkan Pusat
Riset dan Edukasi Bank Sentral (PRES) Bank Indonesia, keunggulan metode SRI
ada pada sifatnya yang intensifikasi. Meningkatkan produksi tanpa menambah
luasan lahan. Keunggulan lain adalah mengembalikan kesuburan lahan pertanian
yang hampir rusak akibat pemakaian unsur kimia berlebihan. Hal penting
lain dalam metode SRI adalah pupuk organik dan pestisida yang diperoleh
dengan membuat sendiri, memanfaatkan limbah hewan, sisa tumbuhan, dan
sampah rumah tangga. Pembuatan pupuk dan pestisida juga dilakukan dengan
menggunakan MOL buatan sendiri. Biaya produksi pun jadi efisien dan murah.

Produktivitas metode SRI pun sudah terbukti lebih tinggi dibanding metode
lain. Produktivitas metode SRI lebih tinggi 16 persen dibanding Legowo 4:1, dan
lebih tinggi 28 persen dibanding Tegel. Pendapatan petani pun ikut terkerek naik
sampai 16,96 persen, dari Rp 33,68 juta menjadi Rp 39,39 juta per hektar per
tahun. Laba petani pun naik 15,07 persen, dari Rp 27,01 juta menjadi Rp 31,08 juta
per hektar per tahun. Capaian positif metode SRI tentu saja tak lepas dari kunci
keberhasilan implementasi program, yaitu pendampingan Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Wilayah IX sejak awal dan berkelanjutan. Pelaksanaan program
yang melibatkan pakar dan instansi lain terkait, selektif memilih kelompok,
diperkuat bantuan teknis dan fasilitasi lain, terbukti menjadikan metode SRI
sebagai terobosan baru peningkatan produktivitas padi, khususnya di Provinsi
Sumatera Utara.

Ke depan, selama 2014, kelompok tani berharap Kabupaten Serdang


Bedagai menjadi percontohan budidaya metode SRI bagi kabupaten lain. Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IX pun berkomitmen mengembangkan Pusat
Pelatihan Pertanian Swadaya. Direncanakan pula pengembangan Sub Terminal
Agribisnis, sistem yang terintegrasi antara produksi hingga pemasaran. Semua
upaya itu diharapkan mendukung penerapan metode SRI dalam mendongkrak
produktivitas padi Sumatera Utara, meredam gejolak inflasi sekaligus penyangga
utama ketahanan pangan daerah dan nasional. n

26
Komoditi PAdi | Metode jajar legowo

B METODE JAJAR LEGOWO

b.1. Sinergi Meningkatkan Produksi Padi dan Diversifikasi


Pangan (Pres)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara

Ketersediaan cadangan pangan yang memadai pastinya menjadi dambaan


semua daerah di Indonesia. Apalagi jika bahan pangan itu adalah bahan pangan
pokok seperti beras. Ketersediaan cadangan bahan pangan pokok bisa menjadi
indikasi tercapainya ketahanan pangan, baik terkait jumlah maupun mutu, aman,
merata, dan terjangkau. Berbicara ketahanan pangan bukan semata-mata hanya
mencakup aspek ketersediaan saja, tapi mencakup pula aspek yang lebih luas
yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Aspek konsumsi merupakan bagian
penting dalam mencapai ketahanan pangan yang maksimal.

Ketika ketahanan pangan mampu mencapai titik maksimal, maka pada


saat yang bersamaan, fluktuasi harga bahan pangan yang bersangkutan bisa
diharapkan lebih stabil. Gejolak pada harga bahan pangan, baik bahan pangan
pokok maupun bukan, bisa berdampak pada terhambatnya pertumbuhan
ekonomi akibat terdongkraknya laju inflasi. Pentingnya ketersediaan cadangan
pangan menjadi sangat mutlak diperlukan ketika terjadi ketidakstabilan harga
yang disebabkan adanya shock dari sisi permintaan maupun penawaran.

Masalahnya, upaya mencapai ketersediaan pangan yang memadai, bukan


pekerjaan sederhana. Bukan pula tanggung jawab satu atau dua pihak semata.
Ketersediaan cadangan pangan merupakan tanggung jawab berbagai pihak
dan stakeholder yang terkait dalam mata rantai pemenuhan kebutuhan pangan.
Baik di pemerintah pusat maupun daerah, juga instansi terkait di jajarannya.
Mulai dari penambahan lahan penghasil bahan pangan, proses produksi,
sampai pengolahan pasca produksi, termasuk distribusi dan pemasarannya.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara, terkait upaya


penguatan ketersediaan cadangan pangan, tentunya juga memiliki tanggung
jawab serta peran tak kecil khususnya di Provinsi Sulawesi Utara. Pasalnya,
jika ketersediaan cadangan pangan terganggu, dampaknya hampir pasti
menimbulkan lonjakan kenaikan harga yang memicu inflasi, nasional maupun
daerah. Secara umum, provinsi ini memang merupakan salah satu provinsi yang
mampu menjaga ketersediaan pangan untuk wilayahnya sendiri. Kondisi ini
terlihat dari tingkat penyediaan komoditas beras yang cenderung menunjukkan
tren meningkat. Pola yang sama juga terlihat pada tingkat konsumsi, sehingga
bisa dibilang mengalami kondisi seimbang. Kendati begitu, beras masih menjadi
salah satu penyumbang terhadap laju inflasi Provinsi Sulawesi Utara.

27
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Gentadi
Kondisi inilah yang mendorong Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi
Utara mengambil langkah-langkah untuk membantu mencapai ketersediaan
cadangan beras yang maksimal, sehingga mampu meredam gejolak harga.
Selain itu, langkah-langkah ini diharapkan juga mampu mengantisipasi jika terjadi
kelangkaan. Terkait ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara
melihat program Gerakan Tanam Padi (Gentadi) 4, yang dicanangkan Pemerintah
Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra) sejak 2011, layak mendapat dukungan.
Apalagi Program Gentadi 4 (gerakan menanam padi seluas empat hektar di tiap
kecamatan) sudah dinyatakan berhasil. Sudah pula diperluas menjadi Gentadi 10,
menanam padi di lahan 10 hektar di tiap kecamatan, pada 2012.

Selain menerapkan model ketahanan pangan dengan perluasan gentadi,


dilakukan pula upaya-upaya mencapai ketersediaan cadangan pangan melalui
program diversifikasi pangan. Tentu saja Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Sulawesi Utara tidak bergerak sendiri. Tapi menggandeng pihak-
pihak dan instansi terkait. Misalnya kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten
Minahasa Tenggara, di mana lokasi peningkatan produktivitas padi akan
dilakukan. Kerjasama ini diperkuat lagi dengan kesepahaman antara Pemerintah
Kabupaten Minahasa Tenggara dengan Badan Urusan Logistik (Bulog) setempat.

Dalam kerjasama terkait pengembangan gentadi, Pemerintah Kabupaten


Minahasa Tenggara, akan menyediakan lahan seluas empat hektar di tiap
kecamatan. Sedangkan kerjasama dengan Bulog nantinya akan bermanfaat
guna pembelian hasil panen dari petani. Dua kerjasama ini ditopang lagi
dengan kerjasama Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara
dengan Korem 131/Santiago dan Balai Penelitian Tanaman Padi (BPTP) Sulawesi
Utara. Kesepakatan ini mencakup pemberian pelatihan dan pendampingan
teknologi budidaya padi, termasuk penelitian dan pelatihan penanganan losses
padi serta pengembangan dan pembangunan lumbung beras.

Dalam pelaksanaannya, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi


Utara, memberikan bantuan peralatan berupa power threser, alat yang bisa
digunakan untuk menekan losses padi. Pada saat bersamaan, program gentadi
juga mendapat bantuan dari kalangan perbankan, yaitu PT BRI, Bank Sulut, BPR
Citra Dumoga, dan BPR Milenia. Bantuan perbankan berupa pembiayaan kredit
itu tercatat mencapai Rp 245 juta dengan jumlah debitur sebanyak 37 petani.

Beragam bantuan, pelatihan, dan pembiayaan itu diikuti dengan pembuatan


demonstration plot (demplot) padi sawah yang dilakukan Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Minahasa Tenggara. Penanaman padi di demplot ini pun
dilakukan dengan menggunakan benih unggul INPARI 8 yang terbukti mampu
meningkatkan produksi. Demplot yang sama juga dijadikan sebagai Sekolah
Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Pelatihan dan bantuan teknis lain

28
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

yang tidak kalah penting adalah bantuan teknis transfer teknologi budidaya padi
Jajar Legowo, baik 2:1, 3:1, maupun 4:1.

Sedangkan terkait program diversifikasi, sudah pula dibangun demplot


cabai merah seluas tiga hektar. Budidaya lain yang juga turut dikembangkan
adalah budidaya jagung dengan pembukaan lahan sampai seluas enam hektar.
Melengkapi cabai dan jagung, dikembangkan pula budidaya ikan nila sebanyak
11 ribu ekor. Khusus ikan nila, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Sulawesi Utara juga memberikan bantuan berupa kultivator guna mengatasi
mahalnya tenaga kerja.

Sinergi Kunci
Komitmen tinggi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara
dalam sinergi dengan berbagai pihak tadi ternyata mampu membuahkan hasil
menggembirakan. Perubahan positif penting yang terlihat adalah pergeseran
mindset petani setelah mengikuti pelatihan teknis budidaya pola tanam Jajar
Legowo. Pelatihan budidaya Jajar Legowo mampu memotivasi petani untuk
menanam padi dengan cara baru yang lebih produktif sehingga bisa merasakan
hasil yang meningkat. Tak kurang dari 80 persen petani tercatat mengganti pola
tanam bervariasi yang selama ini diterapkan, dengan pola tanam Jajar Legowo.

Manfaat positif lain yang dirasakan adalah kemampuan petani menekan


losses padi. Setelah mendapat bantuan peralatan power threser, losses padi
petani berhasil ditekan sekitar 15 persen sampai 20 persen. Bersamaan dengan
itu, penerapan budidaya pola tanam Jajar Legowo dalam demplot berhasil pula
menghasilkan kenaikan produk yang cukup signifikan, dari lima ton per hektar
menjadi delapan ton per hektar.

Capaian-capaian lain secara umum juga tak kalah menggembirakan.


Luas lahan pertanian bertambah menjadi 300 hektar. Begitu pula dengan
peningkatan produksi padi yang dihasilkan. Sebelum pelaksanaan program,
produksi padi tercatat hanya mencapai sebanyak 38.974 ton. Tapi, setelah
program terlaksana, hasil melonjak menjadi 40.541 ton. Peningkatan produksi
ini tentu saja juga mendongkrak pendapatan petani. Salah satu indikasinya
adalah adanya peningkatan nilai tukar petani sampai sebesar 0,25 persen. Di sisi
lain, program pengembangan diversifikasi bahan pangan pun memperlihatkan
hasil serupa.

Keberhasilan program yang tercermin dari peningkatan produksi bahan


pangan pokok tersebut tampak jelas menyajikan pelajaran penting. Sinergi
berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan stakeholder terkait lainnya
merupakan kunci sukses utama dalam penguatan ketahanan pangan. Pengenalan
sistem pertanian baru yang dikembangkan dalam demplot pun terbukti efektif

29
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

sebagai sarana belajar bagi petani guna mengembangkan kapasitas dan


keterampilan budidaya. Replikasi program ini bukan mustahil mampu meluaskan
dan memotivasi pencapaian ketahanan pangan di wilayah lain.

Masyarakat petani padi sendiri diharapkan terus menjaga penanaman padi


di Kabupaten Minahasa Tenggara, sehingga daerah ini dapat mempertahankan
produksi padi tetap tinggi dan tetap mempertahankan ketersediaan cadangan
beras yang memadai. Selanjutnya guna mendorong peningkatan semangat
petani menanam padi, Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara akan
membuat program percontohan di setiap kecamatan. Keterlibatan TNI juga tak
kalah penting dalam pencapaian di atas. Dukungan penuh TNI dalam penguatan
pangan bersama masyarakat tak ubahnya karya bhakti. Selain pertahanan dan
keamanan, TNI juga terbukti mampu membantu pemerintah menciptakan
penguatan masyarakat.

Keterlibatan semua pihak itulah yang berhasil membawa Kabupaten


Minahasa Tenggara masuk jajaran daerah swasembada beras di Indonesia. Data
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Minahasa Tenggara menyebutkan
pada 2012 tingkat produksi padi kabupaten ini lebih tinggi ketimbang kebutuhan
masyarakat setempat. Konsumsi masyarakat di kabupaten ini diperkirakan hanya
berkisar 14 ribu hingga 16 ribu ton. Sedangkan tingkat produksi yang dapat
dihasilkan sudah berkisar 25 ribu ton per tahun. Sebuah sumbangan berarti
bagi ketahanan pangan nasional. n

30
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

B.2. Mengangkat Produktivitas dengan Sinergi Terpadu


Jajar Legowo 2:1 (Pres)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah

Tidak ada yang membantah kalau sektor pertanian merupakan salah satu pilar
penting perekonomian nasional. Bahkan di era yang serba canggih seperti
sekarang, sektor pertanian khususnya padi sebagai pilar penting di sektor ini,
masih menjadi tumpuan bagi penguatan perekonomian. Begitu pentingnya
posisi padi dan produksinya, seringkali dijadikan indikasi keberhasilan
pembangunan. Bagaimana tidak. Beras, sebagai hasil utama padi, sudah sejak
lama menjadi bahan pangan pokok sekaligus sumber utama mata pencaharian
di semua daerah di Indonesia. Tak pelak kemampuan menjaga ketersediaan
beras dan peningkatan kesejahteraan petani menjadi sangat penting.

Oleh karena itu, wajar pula kalau pemerintah memberikan perhatian


sangat serius terhadap persoalan yang satu ini. Keseriusan ini terlihat dengan
dicanangkannya pencapaian swasembada beras pada 2014 yang diikuti target
produksi beras surplus sampai sebanyak 10 juta ton, dengan produksi beras
nasional sebesar 76,57 juta ton gabah kering giling (GKG) dan laju pertumbuhan
sebesar 5,22 persen per tahun.Realisasi target tersebut diharapkan tidak
hanya mampu menopang perekonomian nasional dengan tingkat harga yang
stabil, tapi bisa pula mengangkat pendapatan dan kesejahteraan petani. Dan
lebih luas lagi, tercipta ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai motor
pertumbuhan perekonomian nasional yang stabil dan berkelanjutan.

Terkait upaya pencapaian swasembada, Provinsi Sulawesi Tengah ditasbihkan


sebagai satu dari 20 provinsi yang diandalkan mampu berkontribusi besar
dalam peningkatan produksi beras nasional. Padi selama ini memang tercatat
sebagai komoditas utama dan unggulan di Provinsi Sulawesi Tengah. Lantaran
itu sudah sejak lama pula pembangunan sektor pertanian menjadi prioritas
Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah. Pentingnya peranan sektor pertanian,
khususnya padi, bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor ini terhadap
pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Tengah.

Data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah menyebutkan, sampai


triwulan II 2012, kontribusi sektor pertanian pada PDRB provinsi masih dominan
dengan angka 36,33 persen. Sektor ini juga merupakan penampung tenaga
kerja terbanyak, yakni 49,9 persen dari jumlah tenaga kerja sekitar 1.1 juta orang
yang tersebar di 10 kabupaten dan satu kota. Namun pertumbuhan ekonomi
Provinsi Sulawesi Tengah yang mencapai 9,27 persen pada 2012 belum diikuti
dengan perbaikan tingkat kesejahteraan petani. Ini tercermin dari nilai tukar
petani kurang dari 100 persen.

31
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Fakta-fakta itulah yang kemudian menempatkan Provinsi Sulawesi Selatan


pada posisi penting guna tercapainya swasembada beras nasional. Provinsi
bermotto Nosarara Nosabatutu (bersama kita satu) itu ditargetkan bisa
menyumbang 1,5 juta ton beras pada 2014. Dengan produksi padi selama 2011
mencapai sekitar 1,1 juta ton gabah kering giling, provinsi berpenduduk sekitar
2,6 juta jiwa ini jelas menyimpan potensi besar pertanian padi dan berpeluang
mencapai target produksi beras tersebut. Berbekal angka produksi itu, Provinsi
Sulawesi Tengah sedikitnya harus mampu menggenjot pertumbuhan produksi
rata-rata sekitar 20 persen setiap tahunnya.

Kendati begitu, sejumlah fakta lain menyebutkan produktivitas pertanian


padi di provinsi yang sama masih terbilang rendah, belum mencapai lima persen
tiap tahun. Pemerintah provinsi tentunya tidak begitu saja membiarkan situasi
dan kondisi tersebut. Selain menegaskan akan lebih fokus menangani sektor
pertanian padi, pemerintah provinsi sudah pula menyerukan masyarakatnya
agar mengurangi konsumsi nasi. Sejumlah bahan pangan lainnya seperti ubi,
jagung dan sagu yang juga tumbuh subur di daerah ini didorong sebagai
alternatif pangan.

Bahkan, terkait upaya ini pernah pula digalakkan kampanye dan gerakan
‘one day no rice’, sehari tanpa makan nasi. Nyatanya konsumsi nasi tetap tinggi.
Begitu tingginya konsumsi sampai-sampai membuat harga beras ikut meninggi
yang pada gilirannya memicu inflasi. Tapi, meski harga beras melambung,
masyarakat tetap memburu beras. Padahal ketersediaan sumber pangan lain
masih memadai dengan harga lebih murah pula. Upaya mengejar pertumbuhan
produksi beras jadi seperti terhambat dan seolah sulit dilakukan.

Intervensi Sarana
Kondisi seperti itu tentu saja sangat mungkin mengganggu upaya-upaya
Provinsi Sulawesi Tengah memberi kontribusi besar terhadap ketahanan
pangan nasional. Belum lagi memperhitungkan dampaknya terhadap stabilitas
perekonomian daerah. Menyadari munculnya kecenderungan kondisi seperti
itu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah merasa perlu
mengambil langkah-langkah guna mendukung pertumbuhan dan peningkatan
produksi padi sekaligus mengangkat kesejahteraan petani.

Langkah pertama yang diambil adalah menjalin sinergi dengan Pemerintah


Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kabupaten Sigi untuk menggulirkan
program klaster sebagai model ketahanan pangan di Provinsi Sulawesi Tengah.
Sinergi ini pun diformalkan sebagai payung hukum dengan penandatangan
kesepakatan bersama pada Agustus 2012. Berdasarkan kesepakatan ini, model
ketahanan pangan yang dikembangkan berupa peningkatan produktivitas
dan kesejahteraan petani. Peningkatan produktivitas lahan pertanian dilakukan

32
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

melalui intervensi dan sarana produksi mencakup ketersediaan air, pupuk,


benih, alih teknologi, serta alat mesin pertanian. Sedangkan peningkatan
kesejahteraan petani ditempuh melalui pengembangan kelembagaan petani
serta dukungan sarana pengolahan paska panen.

Terkait program tersebut terpilih Desa Sidondo III, Kecamatan Biromaru,


Kabupaten Sigi, sebagai proyek percontohan ketahanan pangan di Provinsi
Sulawesi Tengah. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan
kedekatan kota, jumlah petani, serta tingkat produktivitas yang lebih rendah
ketimbang daerah lain sehingga masih terbuka peluang untuk ditingkatkan.
Program ketahanan pangan pun bergulir.

Secara garis besar, sesuai kesepakatan bersama pemerintah provinsi


dan kabupaten, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawei Tengah
bertanggung jawab melaksanakan fasilitasi (monitoring, koordinasi, dan
kegiatan terpadu), sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Sedangkan
pemerintah provinsi bertanggung jawab melaksanakan kegiatan program di
wilayah Kabupaten Sigi dengan melibatkan dinas-dinas terkait. Dan Pemerintah
Kabupaten Sigi bertanggung jawab membantu pelaksanaan kegiatan-kegiatan
program, juga dengan dinas terkait. Berdasarkan kesepakatan itu pula program
klaster ditargetkan bisa meningkatkan produktivitas padi menjadi tujuh ton gabah
kering giling per hektar.

Memasuki 2013 pelaksanaan program peningkatan produktivitas padi ini


dilengkapi dengan pengembangan demonstration plot (demplot) penggunaan
benih unggul dan pupuk organik. Luas lahan demplot tercatat mencapai 111,25
hektar, yang dikelola 97 petani. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Sulawesi Tengah menginisiasi demplot ini bersama Balai Penelitian Teknologi
Pertanian (BPTP), Dinas Pertanian, Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian, dan
BP4K Kabupaten Sigi. Sedangkan pasokan benih unggul didatangkan dari Dinas
Pertanian Provinsi Sulawesi Tengah. Sasaran demplot tak lain mendorong petani
memiliki demplot penangkaran benih sendiri.

Selanjutnya petani peserta program tidak hanya diperkenalkan dengan


sistem pertanian modern, bahkan diwajibkan menerapkan budidaya dan pola
tanam Jajar Legowo 2:1. Pola tanam ini dipercaya lebih hemat biaya dan mampu
menghasilkan populasi tanaman lebih banyak. Terkait ini petani mengikuti
kegiatan pelatihan, termasuk juga pelatihan uji tanah sawah untuk menentukan
dosis pemupukan, juga pelatihan pembuatan pupuk organik.

Sinergi Terpadu
Usaha dan sinergi bersama peningkatan produktivitas padi yang diinisiasi Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah terbukti membuahkan hasil

33
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

positif. Medio Februari 2013, ada keriuhan, kegembiraan di Desa Sidondo III. Di
desa tersebut, semua pihak dan instansi yang terlibat dalam klaster percontohan
melakukan panen raya perdana. Hasil panennya mencapai sekitar tujuh sampai
delapan ton gabah kering giling per hektar. Biasanya sawah di Desa Sidondo III
hanya menghasilkan produksi sekitar 4,5 ton sampai 5 ton gabah kering giling
per hektar. Setelah panen kedua, hasilnya bertambah menjadi sekitar tujuh ton
sampai 12 ton gabah kering panen per hektar. Hasil ini setara dengan enam
sampai 10 ton gabah kering giling per hektar.

Produktivitas yang berlipat tersebut bisa tercapai, selain penyediaan sarana


produksi dan alih teknologi, juga karena terciptanya penguatan kelembagaan
petani. Peningkatan kelembagaan petani juga diawali dengan inisiatif Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah. Bersamaan dengan
bergulirnya klaster percontohan peningkatan produktivitas padi, dimulai pula
langkah-langkah peningkatan kesejahteraan petani melalui pembentukan
Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA), sebagai cikal bakal sub terminal
agribisnis ke depan. Maka, beroperasilah LKMA Vigor Nantako sebagai sarana
pembelajaran petani dalam mengelola keuangan.

Produktivitas padi dengan jumlah berlipat ketimbang sebelumnya ternyata


mampu menjadi bahan bakar semangat dan motivasi semua pihak dan instansi
terkait mengejar target yang sudah digariskan secara nasional. Terbangunnya
pola sinergitas terpadu yang diinisiasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Sulawesi Tengah, dengan menggandeng pihak dan stakeholders terkait, sulit
dibantah menjadi kunci tercapainya hasil produktivitas yang berlipat. Sinergi ini
menjadi makin efektif dengan penerapan pola tanam Jajar Legowo 2:1.

Memetik pelajaran dari program klaster percontohan tersebut, Pemerintah


Provinsi Sulawesi Tengah pun mendorong seluruh dinas dan instansi terkait di
wilayah pemerintahan untuk mereplikasi dan menerapkan pola serupa. Selain
guna menghindari tumpang tindih program, perluasan penerapan program
serupa pencapaian target-target Provinsi Sulawesi Tengah dalam mendukung
pencapaian ketahanan pangan daerah maupun nasional dan meningkatkan
kesejahteraan petani. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi
Tengah sendiri tetap berkomitmen untuk mendampingi petani sampai bisa
mengembangkan kapasitas produksi sendiri secara mandiri. n

34
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

B.3. Menuju Produksi Berkelanjutan dengan Sekolah


Lapang (Pres)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Pematangsiantar

Rekayasa teknologi, harus diakui, memiliki peran penting dalam upaya


mencapai ketahanan pangan yang maksimal. Peningkatan produktivitas
bahan pangan bisa direalisasikan antara lain dengan memanfaatkan rekayasa
teknologi pertanian. Upaya mendorong peningkatan produktivitas bahan
pangan dipercaya menjadi jalan utama mencapai ketahanan pangan. Apalagi,
dengan populasi penduduk yang tak terbendung dipastikan meningkatkan
pula kebutuhan konsumsi pangan.

Begitu pula yang terjadi pada komoditas pangan beras. Sebagai bahan
pangan pokok masyarakat Indonesia, tidak mengherankan kalau permintaan dan
konsumsi beras terus meninggi. Kementerian Pertanian mencatat sampai awal-
awal 2013, konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 102 kilogram per kapita
per tahun. Bukan hanya tinggi, angka konsumsi itu bahkan mencapai dua kali lipat
dari konsumsi beras dunia yang hanya 60 kilogram per kapita per tahun. Di Asia,
konsumsi beras Indonesia adalah yang tertinggi. Konsumsi beras di Korea Selatan
hanya 40 kilogram per kapita per tahun, Jepang 50 kilogram per tahun, Malaysia
80 kilogram per tahun, dan Thailand hanya di kisaran 70 kilogram per tahun.

Tingkat konsumsi beras tersebut memang bisa ditekan dengan upaya-upaya


melakukan diversifikasi pangan. Namun ini jelas tak mudah dilakukan. Beras
sebagai bahan pangan pokok sulit dilepaskan dari budaya pangan sebagian
besar masyarakat Indonesia. Tak pelak meningkatkan produktivitas padi
menjadi pilihan utama guna mencapai ketersediaan beras maksimal sehingga
mampu mengikuti pertumbuhan konsumsi dalam negeri. Kelangkaan beras
akan meningkatkan harga yang pada akhirnya juga meningkatkan inflasi dan
menurunkan daya beli masyarakat.

Lantaran itu Kantor Perwakilan Bank Indonesia Pematangsiantar tak mau


ketinggalan turut mendorong peningkatan produktivitas padi di Provinsi
Sumatera Utara, yang memang dikenal sebagai salah satu lumbung beras
nasional. Setelah melakukan identifikasi isu strategis, kebutuhan pangan, dan
kelembagaan masyarakat, ditetapkan penerapan model ketahanan pangan akan
fokus pada penguatan produksi melalui rekayasa teknologi dengan perbaikan
sistem tanam dari konvensional menjadi Jajar Legowo. Sedangkan peningkatan
kemampuan petani dilakukan dengan menerapkan sekolah lapang.

Jajar Legowo Plus SLPTT


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Pematangsiantar tentu saja tidak sendirian, tapi

35
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

melakukan koordinasi lintas instansi yang terkait dengan masing-masing fokus


kegiatan. Koordinasi dengan Dinas Pertanian untuk availability dan stability dan
dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk accesibility. Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Pematangsiantar mendukung dengan mengikuti action plan
sesuai regulasi dan kesepakatan. Koordinasi dan kesepakatan lintas instansi itulah
yang kemudian menjadi ‘modal’ awal bergulirnya program klaster ketahanan
pangan sistem tanam Jajar Legowo 4:1 dan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanam
Terpadu (SLPTT).

Program ini diterapkan di Kecamatan Panombeian Pane, Kabupaten


Simalungun, dengan melibatkan beberapa kelompok petani. Dalam program
ini, seluruh kelompok petani yang melakukan program pertanian padi sawah
diwajibkan menerapkan sistem tanam yang sudah ditentukan. Jajar Legowo 4:1
dengan varietas Mekongga berlabel. Pola tanam Jajar Legowo tak lain merupakan
rekayasa teknologi yang bertujuan memperbaiki produktivitas dengan cara
mengatur jarak tanam antarrumpun dan barisan.

Jajar Legowo sebenarnya sudah diperkenalkan sejak 2002 kepada petani di


seluruh Indonesia dan sudah terbukti dapat meningkatkan produksi padi melalui
pola tanam tertentu. Seperti 4:1 di mana setiap empat baris dikosongkan satu
baris dan seterusnya. Pola tanam ini akan memberi ruang dan memudahkan
perawatan. Namun lantaran adanya perbedaan kultur masyarakat yang selama
ini masih melakukan pola tanam tabur benih langsung, Jajar Legowo belum
banyak diterapkan.

Lebih lanjut, Jajar Legowo bisa memanfaatkan sinar matahari untuk tanaman
di pinggir barisan. Semakin banyak terkena sinar matahari, proses fotosintesis
daun tanaman lebih tinggi dan menghasilkan bobot buah lebih berat. Selain itu,
Jajar Legowo juga bisa mengurangi serangan hama tikus, yang tidak menyukai
lahan terbuka. Pelaksanaan proses pemupukan pengendalian hama pun lebih
mudah. Dan yang tak kalah penting, Jajar Legowo berdampak pula pada
populasi tanaman. Pada Jajar Legowo 4:1 terbukti populasi tanaman bertambah
sekitar 30 persen. Penambahan populasi itu pula yang menerbitkan harapan
terjadi peningkatan produktivitas.

Hasil nyata pun benar-benar terwujud. Selain terlihat peningkatan


kompetensi teknis petani terkait pola tanam Jajar Legowo 4:1, peningkatan
produksi pun sangat dirasakan. Jika sebelumnya produksi padi rata-rata di
kisaran 5,6 ton per hektar, setelah penerapan program naik ke kisaran tujuh ton
sampai delapan ton per hektar.

Keberhasilan penerapan Jajar Legowo tersebut tentu saja tidak ingin


dilepaskan begitu saja. Langkah-langkah penguatan dinilai perlu dilakukan.
Selain untuk menjaga keberhasilan program, juga sebagai bentuk dukungan

36
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

untuk kegiatan lanjutan program. Maka pengembangan Jajar Legowo pun


diperkuat dengan pembentukan SLPTT. Melalui sekolah lapang seperti ini
diharapkan bisa meningkatkan kemampuan dan pengetahuan petani dalam
menerapkan berbagai teknologi usaha tani. Selain itu melalui penggunaan
input produksi yang efisien menurut spesifikasi lokasi, yang diajarkan di sekolah
lapang, diharapkan petani mampu menunjang peningkatan produksi secara
berkelanjutan.

Program SLPTT juga memberikan pengetahuan dan keterampilan terkait


penangkaran benih mandiri. Terkait hal ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Pematangsiantar melibatkan dua kelompok tani, yaitu Kelompok Tani Sinar
Murni dan Sinar Tani, dengan anggota 64 petani dan total area persawahan
seluas 25 hektar, di mana masing-masing petani memiliki hamparan sekitar 0,39
hektar. Dalam pelaksanaannya, SLPTT memang masih menghadapi kendala
berupa rendahnya tingkat pendidikan petani penangkar benih yang rata-rata
hanya pendidikan tingkat dasar dan menengah, tanpa pendidikan formal pula.
Kendala ini menyebabkan informasi dan pengetahuan harus diberikan secara
berulang dan membutuhkan waktu lebih lama.

Terlepas dari kendala tersebut, program SLPTT tetap mampu memberikan


hasil positif. Kompetensi petani peserta mengalami peningkatan khususnya
terkait budidaya dan teknik bertani Jajar Legowo. Bersamaan dengan itu muncul
pula kesadaran di kalangan petani untuk menggunakan benih bersertifikat.
Bahkan, sudah pula terbentuk kelompok penangkaran benih padi guna
mendukung penyediaan benih bersertifikat tersebut. Para petani peserta pun
mulai menyadari pentingnya pengelolaan kelompok dalam satu manajemen
kelompok seperti penjualan satu pintu dan pembelian bersama.

Jalinan Sinergi
Hasil-hasil positif tadi tentunya tak bisa dilepaskan pula dari jalinan sinergi
lintas instansi yang sudah dibangun Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Pematangsiantar sejak awal guliran program. Sinergi dengan pemerintah daerah,
akhirnya memunculkan komitmen Pemerintah Kabupaten Simalungun. Salah
satu bentuk komitmen tersebut adalah penggunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) 2013 untuk melakukan pembangunan dan perbaikan
jalur irigasi, yang melalui 25 hektar lahan program usaha penangkaran benih
mandiri. Komitmen lain yang direalisasikan juga dari APBD 2013 adalah
pembangunan jalan pertanian sepanjang 400 meter. Jalan ini merupakan jalan
tembusan langsung menuju lahan percontohan yang selama ini tidak memiliki
akses jalan memadai.

Jalinan sinergi yang terbentuk menjadi semakin kuat ketika sistem tanam
Jajar Legowo 4:1, yang diperkuat dengan SLPTT, diyakini menjadi kunci sukses

37
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

program diwajibkan Dinas Pertanian setempat untuk diaplikasikan di seluruh


kelompok tani. Ini dilakukan guna memperkuat program-program yang ada
seperti program subsidi benih, subsidi pupuk, dan program teknologi spesifikasi
lokasi.

Sekali lagi, program ketahanan pangan dengan memanfaatkan sistem tanam


Jajar Legowo serta program-program pendukungnya termasuk penangkaran
benih, masih menghadapi kendala. Selain rendahnya tingkat pendidikan, juga
rata-rata petani peserta berusia di atas 45 tahun, sehingga pendampingan
terhadap masyarakat perlu dilakukan lebih intensif dan membutuhkan waktu.
Kendala ini tentunya tidak akan meredam motivasi untuk terus mengembangkan
program yang sudah bergulir dan memberikan hasil nyata. Sebaliknya, sejumlah
pelajaran penting justru bisa dipetik dari pelaksanaan program.

Pelajaran penting dimaksud antara lain koordinasi lintas instansi memainkan


peran besar dalam menangani permasalahan pangan. Selain itu, disadari
pula, selain pelatihan dan pendampingan, pengenalan terhadap fungsi
gudang sebagai tempat penyimpanan dan akses jalan menuju gudang, perlu
mendapat perhatian khusus. Program budidaya padi Jajar Legowo 4:1 boleh
jadi merupakan hal baru di Kabupaten Simalungun. Karenanya perlu pula diikuti
dengan kemudahan-kemudahan sehingga petani lebih termotivasi dan tergerak
untuk menerapkan budidaya baru tersebut. Pada saat itulah bisa diharapkan
penerapan program pengembangan padi Jajar Legowo 4:1 benar-benar
memberikan kontribusi berarti bagi pencapaian ketahanan pangan daerah
maupun nasional. Dan pada saat bersamaan juga meningkatkan kesejahteraan
petani. n

38
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

C. METODE PASANG SURUT

Harmonisasi Program Jadi Kunci Produktivitas Padi


di Lahan Pasang Surut (Pres)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau

Pengalaman di banyak negara memperlihatkan pembangunan nasional


sulit terlaksana sebelum terlebih mewujudkan ketahanan pangan. Fakta ini jelas
menunjukkan ketahanan pangan merupakan hal penting dan strategis. Indonesia
sebagai negara kepulauan tentu mencakup banyak daerah dengan karakteristik
beragam. Lantaran itu tidak semua daerah mampu mencukupi kebutuhan pangan
sendiri. Salah satu penyebabnya adalah minimnya dukungan sumber daya alam
serta faktor-faktor lain seperti inefisiensi.

Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang dikategorikan mengalami


defisit pangan, terutama komoditas beras. Potensi dan kekuatan ekonomi provinsi
memang bisa dibilang sangat besar. Namun sektor pertanian di provinsi ini bisa
dibilang belum handal dan berkontribusi besar pada potensi kekuatan ekonomi
yang dimiliki. Produksi beras provinsi ini sepanjang 2012 diperkirakan hanya
mencapai 323 ribu ton. Sedangkan kebutuhan beras diperkirakan sekitar 614 ribu
ton. Lain kata, angka-angka tersebut menunjukkan Provinsi Riau mengalami defisit
pasokan beras sebesar 291 ribu ton. Selama ini, defisit pasokan beras tersebut
dipenuhi dengan pasokan dari luar provinsi seperti Provinsi Sumatera Barat,
Sumatera Utara, dan Jawa Barat.

Angka defisit tersebut bahkan terasa semakin besar jika memperhatikan


perkembangan yang terjadi di provinsi ini dalam beberapa tahun terakhir. Di
sisi supply, peningkatan produksi beras yang signifikan seperti sulit tercapai
yang diakibatkan terus menurunnya luas lahan pertanian sawah. Kondisi
ini terjadi ditengarai karena alih fungsi lahan persawahan menjadi lahan
perkebunan sawit terus terjadi. Selain itu, rendahnya produktivitas karena
inefisiensi dan faktor alam turut berperan terhadap belum optimalnya produksi
padi di Provinsi Riau.

Di sisi demand, kebutuhan beras setiap tahunnya terus menunjukkan


peningkatan sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk sebagai
dampak prospektifnya perekonomian. Data Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2012 menunjukkan laju pertumbuhan
penduduk di Provinsi Riau mencapai sebesar 3,59 persen per tahun. Padahal,
secara nasional pertumbuhan penduduk hanya sekitar 1,5 persen per tahun.
Terkait data ini jelas dibutuhkan manajemen pengelolaan cadangan beras yang
komprehensif guna mencapai ketahanan pangan yang memadai.

39
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Pemerintah Provinsi Riau sendiri sesungguhnya sudah mencanangkan


program ketahanan pangan sejak 2009. Program ketahanan pangan yang
kemudian dikenal dengan nama Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM) ini
tak lain merupakan program pemerintah dengan pembiayaan bersumber
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tujuan program ini tentunya untuk
mewujudkan swasembada pangan Riau secara bertahap dan mendukung
program nasional surplus beras 10 juta ton di tahun 2014. Rencana program
yang dilakukan dalam OPRM mencakup pencetakan sawah baru sebanyak 228
ribu hektar, rehabilitasi sawah terlantar seluas 100 ribu hektar, dan perubahan
indeks penanaman (IP) 100 menjadi IP 200.

Pasang Surut
Guna mendukung program yang sudah dicanangkan tadi, Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Riau pastinya tak ingin berpangku tangan. Setelah
melakukan penelitian dan pengkajian secara mendalam, akhirnya diputuskan
upaya membantu peningkatan produksi beras dengan menerapkan
pengelolaan lahan pasang surut. Dalam program ini, Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Riau bekerja sama dengan pemerintah pusat maupun daerah.
Kerja sama mengembangkan sektor pertanian tersebut dilakukan dengan
menggandeng Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir.

Selain bertujuan mengembangkan usaha sektor pertanian padi sesuai


karakteristik lahan di Kabupaten Indragiri Hilir, dimaksudkan juga membuka
akses pembiayaan bagi petani. Bentuk kerjasama tersebut antara lain
memberikan stimulus bantuan teknis dan non teknis serta memperluas
program keuangan inklusif khususnya kepada petani. Kerja sama inilah yang
kemudian dituangkan dalam nota kesepahaman pada April 2013. Tujuannya
tak lain mensinergikan sumber daya yang tersedia baik dari Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Riau maupun Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir.

Pemilihan Kabupaten Indragiri Hilir sebagai lokasi program pengembangan


padi di lahan pasang surut tentunya bukan tanpa alasan. Kabupaten ini
merupakan kabupaten yang tercatat memiliki lahan sawah terluas di Provinsi
Riau, dengan potensi lahan sawah seluas 46.360 hektar. Luasan ini terdiri atas
lahan sawah seluas 32.231 hektar dan lahan bukan sawah seluas (sementara ini
tidak diusahakan tapi berpotensi dijadikan sawah) seluas 14.129 hektar. Dari
total potensi lahan sawah tersebut, luasan yang sudah dimanfaatkan untuk
tanaman padi baru seluas 30.422 hektar atau 65,63 persen. Sedangkan dari
total lahan yang sudah dimanfaatkan, produktivitas rata-rata hanya berkisar
38,6 kwintal per hektar. Angka ini lebih rendah ketimbang kabupaten lain di
Provinsi Riau.

40
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

Data-data tersebut jelas mencerminkan besarnya potensi Kabupaten Indragiri


Hilir menjadi penopang ketahanan pangan di Provinsi Riau. Hanya saja, selain
belum maksimalnya pemanfaatan lahan, masih ada hambatan dan tantangan
yang harus dihadapi. Misalnya saja pemahaman petani tentang teknologi
pertanian padi bisa dikata masih rendah. Begitu pula dengan penerapannya
seperti penggunaan benih unggul dan bermutu, sarana pengelolaan air,
dan minimnya alat mesin pertanian (alsintan) untuk pengolahan lahan dan
penanganan paska panen. Belum lagi menghitung minimnya permodalan.

Hambatan boleh saja muncul, namun optimisme tak pernah luntur. Maka,
bergulirlah program pengembangan pengelolaan padi di lahan pasang surut.
Sesuai kesepakatan dengan pemerintah daerah dan instansi terkait, dalam
program ini Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau bertanggung
jawab atas upaya meningkatkan kompetensi teknis dalam bentuk pelatihan,
sosialisasi serta mendorong sumber pembiayaan supaya lebih berperan. Selain
itu, pelatihan pengelolaan lahan secara organik juga masuk dalam cakupan
tanggung jawab Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau.

Pelatihan pengelolaan lahan pasang surut dan peningkatan kompetensi


petani diperkuat lagi dengan program penangkaran benih. Dan guna
memompa semangat petani, dilakukan pula upaya studi banding ke sentra
padi nasional. Petani peserta program, melalui studi banding, bisa menyaksikan
langsung model pertanian yang sudah maju, sekaligus bertukar informasi
dengan petani setempat. Pelatihan kewirausahaan dan manajemen keuangan
juga diberikan sebagai upaya mendorong petani menjadi pengusaha di
sektor pertanian. Sedangkan untuk mendorong pembiayaan sektor pertanian,
sudah pula dirancang pelatihan mengenai konsep pembiayaan agribisnis bagi
lembaga keuangan mikro.

Sedangkan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir bersama Dinas Pertanian


Tanaman Pangan Holtikultura dan Peternakan (DPTPHP) Indragiri Hilir
bertanggung jawab terkait peraturan daerah tentang alih fungsi lahan,
penyediaan benih unggul, pupuk, penanganan hama, serta monitoring dan
pendampingan secara langsung. Kontribusi lain adalah sosialisasi metode
pengelolaan lahan baru yang lebih optimal serta pencetakan sawah baru
sekaligus rehabilitasi lahan terlantar.

Harmonisasi Program
Beragam pelatihan dan fasilitas tadi, diperkuat lagi dengan pemberian bantuan
non-teknis berupa alat dan mesin pertanian (alsintan) pra-panen dan paska panen
bagi beberapa kelompok tani potensial. Bantuan alsintan ini diberikan guna
mendukung pelatihan teknis pertanian yang sudah dijalankan. Sehingga, petani
tersebut terbekali secara menyeluruh. Tak cuma dari sisi pengetahuan, tapi juga

41
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

peralatan. Selanjutnya, bantuan itu diharapkan mampu mengangkat kelompok


petani peserta menjadi mitra Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
sebagai langkah mengembangkan usaha pertanian kelompok tani lain.

Pelatihan, pendampingan, serta bantuan peralatan yang diberikan Kantor


Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau kini memberikan sinyal dan sejumlah
indikator keberhasilan. Sejak digulirkannya program pengelolaan padi di
lahan pasang surut, sedikitnya ditentukan indikator keberhasilan. Misalnya
saja produktivitas padi, ketersediaan benih, dan kompetensi petani baik teknik
bertani maupun manajemen keuangan. Peningkatan pada ketiga indikator
tersebut diharapkan tidak hanya mampu mendorong Riau untuk swasembada
beras, tetapi yang terpenting adalah dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat terutama para petani Riau.

Pelaksanaan program pengelolaan padi di lahan pasang surut terbukti


mampu memenuhi indikator-indikator keberhasilan tersebut. Luasan area
tanam bertambah menjadi seluas 750 hektar. Produktivitas padi mengalami
kenaikan cukup tinggi, dari 3,8 ton per hektar menjadi 4,49 ton per hektar. Di sisi
keterampilan dan kompetensi, petani dan kelompok tani peserta program kini
mulai memahami pengelolaan padi di lahan pasang surut dengan menerapkan
metode system rice of intensification. Sedangkan pelatihan lembaga keuangan
mikro mampu mengantar petani membuka akses ke lembaga keuangan.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau meyakini salah satu poin
penting yang bisa dipetik dari penerapan program pengelolaan padi di lahan
pasang surut ini tak lain pentingnya sinergi. Dengan sinergi pihak dan instansi
terkait, upaya mewujudkan ketahanan pangan di daerah tidak hanya menjadi
petani sebagai obyek tapi juga sebagai subyek. Sinergi yang terjalin erat dan
komprehensif tersebut mampu menciptakan harmonisasi di antara program-
program setiap pihak dan instansi terkait. Bisa dikatakan, harmonisasi adalah
kunci keberhasilan program pengelolaan padi di lahan pasang surut sebagai
langkah penting mewujudkan ketahanan pangan daerah dan nasional. n

42
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

D. METODE TANAM SEBATANG

Sekali Menanam Padi Salibu, Produksi dan Pendapatan


Petani Terangkat
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VIII (Sumatera Barat, Riau,
Kep. Riau & Jambi)

Beras sebagai makanan pokok utama bagi masyarakat Indonesia tak diragukan
lagi merupakan komoditas pangan strategis. Beras bahkan bisa dikatakan
sebagai tulang punggung pembangunan di subsektor tanaman pangan,
dan memiliki peran penting dalam pencapaian ketahanan pangan. Selain itu,
kontribusinya juga sangat penting bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, konsumsi beras per kapita nasional
mencapai 130 kilogram per tahun. Angka ini merupakan angka tertinggi
dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara, dengan rata-rata konsumsi
beras sekitar 65 kilogram per kapita per tahun.

Begitu strategisnya komoditas beras sampai secara politik produksi beras


dalam negeri kerapkali dijadikan tolok ukur ketersediaan pangan Indonesia. Di
sisi lain, kebutuhan pangan terus meningkat setiap tahun. Kebutuhan pangan
semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang saat
ini lebih dari 250 juta jiwa dan pesatnya pertumbuhan kelas menengah. Kelas

Pelatihan Teknik Produksi.

43
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

menengah dengan pendapatan dan daya beli membaik, selain membutuhkan


makanan yang lebih bervariasi, juga menuntut peningkatan kualitas pangan.
Peningkatan produksi dan kualitas beras dalam negeri tak pelak merupakan
sebuah kebutuhan.

Upaya meningkatkan produksi padi boleh jadi tak semudah membalik


telapak tangan, meski Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Sejumlah
masalah tercatat masih mengganggu peningkatan produksi padi seperti luas
lahan pertanian tidak banyak bertambah serta jumlah petani yang cenderung
menurun. Konversi lahan sawah menjadi lahan lain masih terjadi. Belum lagi
memperhitungkan penyimpangan iklim dan menurunnya kualitas lahan
yang ada. Jika permasalahan tersebut dibiarkan terus terjadi, bukan hanya
menghambat peningkatan produksi beras nasional, tapi juga berpotensi masalah
bagi ketahanan pangan. Ketergantungan terhadap impor bisa meninggi dan di
sisi harga juga menyulitkan pengendalian inflasi.

Di tengah rumitnya upaya peningkatan produksi padi ternyata masih ada


satu titik terang dengan ditemukannya suatu inovasi teknologi yang telah
dikembangkan masyarakat di Kabupaten Tanah Datar sejak tahun 2007.
Inovasi bisa dibilang sederhana dan sangat mudah dilaksanakan, namun patut
diperhitungkan sebagai upaya penting bagi peningkatan produksi pangan,
khususnya padi. Masyarakat setempat mengenalnya dengan budidaya ‘Padi
Tanam Salibu’ atau ‘Padi Tanam Sebatang’. Salibu artinya sekali tanam bisa tiga
atau empat kali panen. Di Pulau Jawa dikenal sebagai ratun atau singgang.
Sedangkan dalam bahasa Sunda disebut turiang, dan masih ada istilah-istilah lain
sesuai keragaman bahasa daerah di Indonesia.

Kendati sudah cukup lama dikembangkan, namun kebanyakan petani


masih belum mau menerapkan budidaya pola ini. Masyarakat setempat masih

Kunjungan Dari
Pemkab Bantul
Dalam Rangka
Mempelajari Teknik
Budidaya Padi
Salibu.

44
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

meyakini budidaya pola tradisional (cara lama) yang selalu dilakukan di setiap
periode tanam, lebih bisa memberikan hasil. Persoalan budaya pola tanam itu
menyebabkan para penyuluh pertanian maupun badan pertanian setempat sulit
memberikan sosialisasi mengenai padi salibu ini. Upaya peningkatan produksi
padi pun nyaris tak mengalami peningkatan berarti.

Pesona Padi Salibu


Pada saat bersamaan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VIII yang
sedang fokus mencari program penguatan ketahanan pangan daerah,
khususnya beras, guna mengendalikan inflasi, justru terpesona dengan
budidaya Padi Tanam Salibu. Ibarat setetes air di gurun pasir, budidaya ini tak
ubahnya titik cerah solusi peningkatan produksi padi, setidaknya di daerah.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VIII pun memandang penerapan
padi salibu perlu didukung sebagai upaya positif dalam peningkatan produksi
pangan. Inilah yang kemudian menginisiasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah VIII menggandeng Pemerintah Kabupaten Tanah Datar serta dinas-
dinas terkait melaksanakan program penguatan ketahanan pangan daerah
dengan budidaya Padi Tanam Salibu.

Diawali dengan penandatanganan nota kesepahaman kedua pihak,


program ketahanan pangan komoditas beras pun bergulir. Lokasi program
pun ditentukan di Kanagarian Gurun, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten
Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Tujuan program tersebut utamanya untuk
meningkatkan kapasitas produksi, pengurangan biaya produksi dan penguatan
kelembagaan sehingga dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan
petani. Program ini juga melibatkan tujuh gabungan kelompok tani (gapoktan),
antara lain Gapoktan Gema Terpadu.

Oleh karena itu, sesuai hasil identifikasi, sejumlah kegiatan dan bantuan
pun bergulir. Sesuai nota kesepahaman, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah VIII juga berperan dalam pemberian bantuan teknis, penyediaan jasa
pendampingan, pemberian bantuan sarana produksi dan alat mesin pertanian,
pengembangan perairan, serta penguatan kelembagaan kelompok. Bantuan
teknis tak lain bertujuan meningkatkan kemampuan softskill dan hardskill petani
sebagai upaya penguatan kelompok. Hal ini juga meningkatkan kemampuan
budidaya dan pengolahan paska panen sehingga bisa menjadi contoh bagi
kelompok-kelompok lain. Bantuan-bantuan tersebut tentu diikuti dengan sejumlah
pelatihan. Salah satunya adalah pelatihan manajemen kelompok, keuangan dasar
dan pengenalan perbankan, pelatihan teknik produksi, dan motivation training.

Seiring dengan penyaluran beragam bantuan tersebut, dilakukan pula


upaya penguatan kelembagaan gapoktan sebagai Lembaga Distribusi Pangan
Masyarakat (LDPM). Lembaga ini diyakini memainkan peran penting dalam

45
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

menyediakan cadangan pangan saat terjadi paceklik atau kondisi kerawanan


pangan. Selain itu lembaga yang sama juga berperan dalam stabilisasi harga
khususnya gabah dan beras terutama ketika panen raya. Melalui lembaga ini
pula gapoktan dan anggotanya mampu mengembangkan usaha pemasaran
dan menyediakan pangan minimal bagi anggotanya yang kurang memiliki akses
terhadap pangan pokok. Penguatan kelembagaan itu ditambah lagi dengan
bantuan Program Sosial Bank Indonesia (PSBI), pada 2012, berupa rehabilitasi
empat irigasi sepanjang sekitar 490 meter, alat mesin pertanian, serta sarana
LDPM berupa lantai jemur, pagar, pintu gudang dan perabot LDPM.

Daerah Tujuan Belajar


Seluruh bantuan yang sudah diberikan, baik berupa bantuan teknis, fasilitasi,
rehabilitasi irigasi, serta penguatan kelembagaan, terkait budidaya Padi Tanam
Salibu terbukti mampu menciptakan perubahan positif. Perubahan, contohnya,
sangat terasa pada penambahan luas lahan pertanian padi dari 422 hektar
menjadi 444 hektar setelah rehabilitasi irigasi. Hasil tersebut memotivasi
kelompok tani untuk memperbanyak penerapan budidaya padi salibu di lahan
kelompok tani. Pertambahan luasan lahan pertanian padi itu diiringi perubahan
frekuensi tanam dan panen. Sebelumnya, frekuensi tanam dan panen di lahan
beberapa kelompok tani peserta program hanya satu kali setahun. Setelah
budidaya Padi Tanam Salibu diterapkan,
frekuensinya menjadi dua kali setiap tahun.

Perubahan tersebut tentunya juga


mendorong peningkatan produksi padi. Pada
2012, produksi padi tercatat hanya 4.643
ton. Pada 2013, produksi padi menjadi 6.351
ton atau naik sebesar 36 persen. Kelompok
tani dan gapoktan peserta pun mulai
memperlihatkan kemandirian. Indikasinya tak
lain dengan terjadinya peningkatan volume
Tunas panen. usaha LDPM dan cadangan pangan swadaya
masyarakat. Permodalan LDPM Gema
Terpadu, yang pada 2012 berada di angka Rp
170 juta, meningkat menjadi Rp 220 juta pada
2013. Sedangkan cadangan pangan swadaya
masyarakat meningkat pula dari Rp 15 juta
menjadi Rp 22 juta.

Tak berlebihan kiranya jika dukungan


menyeluruh terhadap penerapan budidaya
Padi Tanam Salibu dikatakan sebagai kunci
Tunas umur 20 hari. penting keberhasilan program ketahanan

46
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

Pola Pengembangan Klaster Padi Salibu


SINERGI PENGEMBANGAN HASIL
KLASTER PADI SALIBU
1. Kantor Perwakilan 1. Penambahan luas lahan
Bank Indonesia 1. Pemberian bantuan pertanian padi dari 422 hektar
Wilayah VIII (Sumatera teknis untuk meningkatkan menjadi 444 hektar setelah
Barat, Riau, Kepulauan soft skill dan hard rehabilitasi irigasi.
Riau, dan Jambi). skill petani, termasuk
pengolahan paska panen. 2. Perubahan frekuensi tanam
2. Pemerintah dan panen, dari satu kali
Kabupaten Tanah 2. Penyediaan jasa menjadi dua kali setahun.
Datar, Provinsi pendampingan.
Sumatera Barat serta 3. Peningkatan produksi padi
dinas-dinas terkait. 3. Pemberian bantuan dari 4.643 ton (2012) menjadi
sarana produksi dan alat 6.351 ton (2013) atau naik 36
mesin petanian. persen.

4. Pengembangan dan 4. Peningkatan volume usaha


perbaikan (rehabilitasi) LDPM. Permodalan LDPM
perairan. Gapoktan Gema Terpadu dari
Rp170 juta (2012) menjadi
5. Pelatihan manajemen Rp220 juta (2013).
kelompok, keuangan dasar
dan pengenalan perbankan, 5. Peningkatan cadangan
pelatihan teknik produksi, pangan swadaya masyarakat
dan motivation training. dari Rp15 juta menjadi Rp22
juta.
6. Penguatan kelembagaan
gapoktan sebagai 6. Kabupaten Tanah Datar
Lembaga Distribusi Pangan menjadi ‘sekolah’ budidaya
Masyarakat (LDPM). Padi Tanam Salibu bagi
kabupaten lain di Sumatera
maupun Jawa.

47
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

pangan daerah. Apalagi setelah pencapaian-pencapaian tersebut, Kabupaten


Tanah Datar sudah menjadi semacam daerah tujuan belajar bagi daerah lain
yang ingin mendalami seluk beluk teknik budidaya Padi Tanam Salibu. Sebagai
‘sekolah’, Kabupaten Tanah Datar tidak hanya dikunjungi kabupaten lain di Provinsi
Sumatera Barat, seperti Kabupaten Solok, Lima Puluh Kota, dan Agam. Beberapa
kabupaten dari provinsi lain pernah pula belajar seperti Kabupaten Bantul (Provinsi
DI Yogyakarta) dan Kabupaten Minahasa Utara (Provinsi Sulawesi Utara).

Model Nasional
Budidaya Padi Tanam Salibu sendiri, sebagai motor keberhasilan program
ketahanan pangan daerah, sesungguhnya sudah cukup lama diteliti Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat. Penelitian itu tak lain ingin
menguji produktivitas, kualitas, efisiensi dan permasalahan lain yang dihadapi
beberapa varietas padi yang dibudidayakan. Hasil kajian terbukti mampu
meningkatkan indeks panen karena tidak lagi perlu melakukan pengolahan
tanah, persemaian dan tanam, sehingga rentang waktu produksi lebih pendek.
Budidaya ini secara tidak langsung juga menjawab keterbatasan varietas unggul,
karena pertumbuhan tanaman selanjutnya terjadi secara vegetatif dengan mutu
varietas tetap sama dengan tanaman pertama.

Secara ekonomis budidaya Padi Tanam Salibu, seperti disebut dalam buku
‘Stabilisasi Harga Melalui Penguatan Ketahanan Pangan Daerah’ yang diterbitkan
Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral (PRES), mampu pula meningkatkan efisiensi
produksi dan usaha tani secara bersamaan. Budidaya ini bisa menghemat 60
persen biaya persiapan lahan dan menanam, serta menekan 30 persen biaya
produksi. Secara keseluruhan, metode ini menekan biaya setara Rp 3 juta per
hektar sekali panen. Fakta-fakta inilah yang mendorong terjadinya peningkatan
pendapatan petani. Menurut penelitian BPTP Sumatera Barat, beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan tanam padi salibu antara lain tinggi
pemotongan batang sisa panen, varietas, kondisi air tanah, dan pemupukan.

Jadi tidak mengherankan juga kalau saat ini teknologi Padi Tanam Salibu
dijadikan sebagai salah satu model dari program nasional untuk mendorong
peningkatan produksi padi. Sekali lagi, teknik budidaya Padi Tanam Salibu ini
merupakan inovasi sederhana dan mudah dilakukan. Tapi, dampaknya justru
sangat penting bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan para petani.
Sudah selayaknya teknik ini menjadi contoh bagi daerah-daerah lain, sehingga
dampak positifnya dapat semakin terakumulasi dalam mendukung ketahanan
pangan nasional. n

48
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

E. METODE ORGANIK

E.1. Fokus dan Komprehensif Mengembangkan Padi Organik


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VII (Sumatera Selatan,
Kep. Bangka Belitung, Bengkulu & Lampung)

Ketahanan pangan. Istilah ini sering diartikan sebagai suatu kondisi saat
kebutuhan pangan bagi rumah tangga terpenuhi. Stok bahan pangan yang
memadai, baik jumlah maupun mutunya, serta harga yang terjangkau seringkali
dijadikan indikasi tingkat ketahanan pangan secara umum. Sedangkan terkait
komoditas, bicara ketahanan pangan, tidak bisa lepas dari beras sebagai
makanan pokok masyarakat Indonesia. Karena itu pula ketersediaan beras perlu
mendapat perhatian serius.

Tingginya ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras menjadikan


komoditas ini layaknya primadona komoditas pangan. Jika terjadi gangguan pada
stok beras, dampaknya akan terasa langsung pada stabilitas pangan nasional.
Begitu pula dengan harganya. Kenaikan harga beras di pasaran bisa secara
langsung memicu laju inflasi, baik di daerah maupun secara nasional. Kestabilan
pasokan dan harga beras jelas tidak bisa dipisahkan dan harus tetap terjaga.

Hal serupa juga perlu dilakukan di Sumatera Selatan. Apalagi, beras di


provinsi ini memiliki bobot inflasi tertinggi, sebesar 4,86 persen. Permasalahan
yang sering muncul adalah kurangnya produksi beras untuk konsumsi lokal

Pelatihan praktek pembuatan Bio Pestisida para petani anggota klaster


dengan menggunakan beberapa jenis daun-daunan di lokasi klaster.

49
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Instalasi Pupuk Organik


Cair (POC) di KSU
Tri Mukti, Kabupaten
UKU Timur yang
memanfaatkan urine
kambing.

sehingga harga beras seringkali tinggi. Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan.
Produksi beras perlu terus ditingkatkan.

Penerapan teknologi revolusi hijau pada budidaya tanaman selama empat


dekade terakhir memang mampu menggenjot, bahkan melipatgandakan
produksi tanaman pangan. Teknologi ini pun sudah pula diadaptasikan dalam
pengembangan padi dan tanaman pangan lainnya di negara kita. Namun, di sisi
lain, teknologi hijau ditengarai memiliki efek samping pada kesehatan manusia,
kelestarian lingkungan hidup, dan kesinambungan sistem pertanian.

Inilah yang kemudian melatarbelakangi munculnya gerakan menerapkan


pertanian organik. Sebuah sistem pertanian dengan teknologi yang dipercaya
lebih selaras dengan alam. Berdasarkan International Federation of Organic
Agriculture Movements (IFOAM) pertanian organik adalah sebuah sistem produksi
tanaman yang mampu mempertahankan kesuburan dari tanah, ekosistem, dan
manusia dengan menggunakan metode dan input alami. Bukan sintesis.

Kesadaran tentang pentingnya aspek kesehatan manusia dan kelestarian


lingkungan dalam produksi bahan makanan juga sudah merambah kepada
masyarakat Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir. Kesadaran ini pun menular
pula ke Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, sebagai salah satu
lumbung produksi beras di Provinsi Sumatra Selatan.

Padi Organik
Perlahan tapi pasti, OKU Timur mulai menerapkan prinsip organik dalam
pengembangan padi. Apalagi lahan produksi dari para petani sudah pula dialiri
sistem tata air makro buatan pemerintah kabupaten sehingga keberlangsungan

50
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

produksinya senantiasa terjaga. Informasi dan fakta-fakta itulah yang


menggerakkan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VII menjalin kerja
sama dengan Pemerintah Kabupaten OKU Timur, bersinergi mengembangkan
klaster padi organik.

Diawali dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU)


nomor 14/74/DKBU/BPBU/ Pg dan 06/MOU/III/2012 antara Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Wilayah VII dengan Pemerintah Kabupaten OKU Timur pada
September 2012, pengembangan klaster padi organik pun bergulir. Pada
awal program, klaster hanya memiliki dua kelompok tani beranggotakan 42
orang dengan tanah garapan seluas 20 hektar. Petani-petani ini sebelumnya
membudidayakan padi dengan metode anorganik.

Pada musim tanam berikutnya, klaster berkembang menjadi empat


kelompok, dengan anggota bertambah menjadi 98 petani dan luas lahan
padi sebesar 48,75 hektar. Memasuki musim tanam ketiga dan pada bulan
Januari 2014 klaster kembali berkembang menjadi sembilan kelompok dengan
tanah garapan total seluas 99,9 hektar dan terdiri dari 271 petani. Seluruh
petani tersebar di Kecamatan Belitang dan Madang Timur. Satu dari sembilan
kelompok tersebut adalah Koperasi Serba Usaha, yang merupakan distributor
bahan input (bibit, pupuk, dan pestisida).

Pertambahan jumlah anggota tersebut pastinya mencerminkan pula adanya


peningkatan produksi. Berdasarkan hasil pengukuran dengan Dinas Pertanian
Kabupaten OKU Timur, selama musim tanam dua produktivitas mencapai 8,17
ton gabah kering giling (GKG) per hektar. Sedangkan pada musim tanam pertama
produktivitas lebih rendah, yaitu 7,38 ton GKG per hektar. Produktivitas paska
penggunaan metode organik juga sedikit meningkat apabila dibandingkan

Panen raya padi organik


pada musim tanam I
Gapoktan Maju Bersama.

51
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

produktivitas panen terakhir dengan menggunakan metode anorganik yang


hanya mencapai 7,29 ton GKG/Ha.

Pencapaian tersebut tentu saja tidak terjadi dengan sendirinya. Banyak


hal yang sudah dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VII
guna menopang pengembangan padi organik. Penyiapan sarana produksi
padi organik salah satunya. Minimnya petani di Kabupaten OKU Timur yang
menggunakan metode organik antara lain karena harga sarana produksi seperti
pupuk dan pestisida organik terlalu mahal. Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah VII menyadari itu. Maka bantuan sarana produksi berupa pupuk organik
padat, pupuk organik cair (POC), biopestisida, dan nutrisi tanaman diberikan
kepada petani. Jumlah bantuan yang diberikan sesuai dengan Rencana Dasar
Kebutuhan Kelompok (RDKK) masing-masing kelompok tani. Bantuan ini bisa
dibilang mampu memberi motivasi awal bagi petani untuk melakukan budidaya
padi secara organik.

Pemberian bantuan sarana produksi dilanjutkan dengan bantuan lain


yang tidak kalah penting, pelatihan teknik budidaya padi organik. Tujuannya
membantu petani supaya mampu memproduksi padi organik secara baik dan
benar. Bekerjasama dengan Dinas Pertanian Kabupaten OKU Timur, Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VII menghadirkan penjelasan apa itu local
champion untuk mengajarkan teknik budidaya organik kepada petani. Bantuan
lain yang jauh lebih penting adalah pendampingan secara rutin oleh local
champion sebagai kelanjutan dari pelatihan teknis tadi.

Bersamaan dengan itu, petani juga diberikan pelatihan pembuatan pupuk


organik cair (POC) dan biopestisida sendiri sehingga bisa menghemat biaya
produksi. Dan melengkapi pelatihan tersebut, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah VII juga membantu pembuatan instalasi POC dan biopestisida di area
klaster. Saat ini sudah berdiri empat instalasi POC yang tersebar di seluruh
wilayah klaster.

Bahan utama pembuatan pupuk organik adalah urin kambing yang diterima
petani anggota klaster dari dinas peternakan setempat. Sedangkan bahan baku
biopestisida berupa campuran beberapa jenis daun-daunan yang tumbuh di
sekitar lokasi klaster. Petani pun tidak perlu lagi mengeluarkan biaya banyak untuk
pembelian pupuk organik cair maupun biopestisida. Sebaliknya, biopestisida
dan POC produksi klaster seolah menjadi produk baru klaster yang mulai
diperjualbelikan ke petani padi di luar klaster. Petani melalui koperasinya pun
mendapatkan tambahan penghasilan.

Pemberian bantuan tidak berhenti sampai di situ. Guna meningkatkan


efisiensi petani dalam mengolah lahan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah VII memberi bantuan dua unit handtractor melalui dana Program

52
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

Sosial Bank Indonesia (PSBI). Handtractor ini pun ternyata bisa menghadirkan
tambahan pendapatan bagi kelompok tani klaster. Jika sedang tidak digunakan,
handtractor disewakan ke kelompok tani lain. Kini, dari pendapatan sewa
tersebut, klaster sudah memiliki empat handtractor.

Kendati dengan bantuan-bantuan fisik tadi sudah terlihat pertumbuhan klaster


padi organik, namun itu dinilai belum cukup. Bantuan nonfisik pun digelontorkan,
antara lain berupa pelatihan penguatan manajemen kelembagaan dan keuangan.

Pola Pengembangan Klaster Padi Organik


SINERGI PENGEMBANGAN HASIL
KLASTER PADI ORGANIK
1. Kantor Perwakilan 1. Jumlah kelompok tani
Bank Indonesia 1. Program penerapan peserta bertambah, dari 2
Wilayah VII (Provinsi prinsip organik dalam kelompok tani dengan lahan
Sumatera Selatan, pengembangan padi. 20 hektar menjadi sembilan
Kepulauan Bangka kelompok dengan lahan 99,9
Belitung, Bengkulu). 2. Penyiapan sarana hektar dan terdiri dari 271
produksi padi organik petani.
2. Pemerintah antara lain berupa bantuan
Kabupaten Ogan pupuk dan pestisida 2. Peningkatan produktivitas
Komering Ulu (OKU) organik. pada musim tanam dua,
Timur, Provinsi 8,17 ton gabah kering giling
Sumatera Selatan. 3. Pelatihan teknik budidaya (GKG) per hektar. Pada musim
padi organik bekerjasama tanam pertama produktivitas
dengan Dinas Pertanian hanya 7,38 ton GKG per
Kabupaten OKU Timur. hektar. Produktivitas metode
anorganik hanya 7,29 ton GKG
4. Pendampingan secara per hektar.
rutin oleh local champion
sebagai kelanjutan dari 3. Pemasaran beras organik
pelatihan teknis. produksi klaster meluas
dan bisa dibeli di koperasi
5. Pembuatan empat sejumlah perkantoran.
instalasi POC dan
biopestisida di area klaster. 4. Tercipta pendapatan
tambahan bagi petani dengan
6. Pelatihan penguatan penyewaan handtractor.
manajemen kelembagaan Dari pendapatan sewa,
dan keuangan sekaligus klaster sudah memiliki empat
pengenalan produk-produk handtractor.
perbankan, simpanan
maupun kredit.

53
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Pelaksanaan pelatihan ini dilakukan bekerja sama dengan PT Enviro Jaya Global
untuk pelatihan penguatan manajemen kelembagaan. Sedangkan manajemen
keuangan sederhana sekaligus pengenalan produk-produk perbankan, simpanan
maupun kredit, diperkenalkan oleh beberapa narasumber perbankan di
Kabupaten OKU Timur.

Pelatihan manajemen keuangan diperkuat dengan pelatihan Konsultan


Keuangan Mitra Bank (KKMB) bagi para penyuluh pertanian (PPL). Pelatihan hasil
kerja sama dengan Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian dan Ketahanan Pangan
Kabupaten OKU Timur ini bertujuan untuk pengembangan akses keuangan
petani. Pelatihan yang diikuti 27 PPL di Kabupaten OKU Timur ini mampu
memberikan keterampilan bagi PPL untuk menjalankan fungsi KKMB. Akses
pembiayaan perbankan bagi petani pun jadi lebih terbuka.

Sejumlah bantuan sarana produksi dan pelatihan boleh jadi tidak banyak
berarti tanpa perluasan pemasaran yang memadai untuk menyerap hasil padi
organik. Beras organik dari Kabupaten OKU Timur selama ini hanya diserap
CV Citaku selaku produsen utama beras organik di kabupaten tersebut.
Lantaran itu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VII pun memberikan
bantuan fasilitasi pemasaran dengan cara membawa perwakilan kelompok tani
memperkenalkan produknya ke beberapa instansi. Hasilnya, kini beras organik
produksi klaster juga dapat dibeli di koperasi sejumlah perkantoran. Mulai dari
Koperasi Pemerintah Daerah OKU Timur, Koperasi Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Wilayah VII, Toserba Koperasi PT PUSRI Palembang, Toserba Koperasi
PT Pertamina, dan Toserba Koperasi Kanwil PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Semua upaya pengembangan klaster padi organik di atas masih diperkuat


dengan melakukan studi banding, antara lain ke Tasikmalaya, Jawa Barat. Ini
merupakan salah satu upaya penyempurnaan atas budidaya padi organik
yang sudah dilakukan. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VII mengajak
perwakilan PPL dan kelompok tani peserta klaster mengunjungi lahan padi
organik di Tasikmalaya. Kunjungan dilakukan ke Gapoktan Simpatik Tasikmalaya
yang sukses mengekspor beras organik ke Singapura, Malaysia, Jerman, Uni
Emirat Arab, dan Amerika Serikat. Gapoktan ini memiliki 320 hektar sawah yang
mendapatkan sertifikasi organik dari The Institute of Marketology (IMO), lembaga
sertifikasi internasional berbasis di Swiss.

Political Will
Seluruh rangkaian bantuan, pelatihan, pendampingan, dan fasilitasi guna
pengembangan klaster padi (beras) organik sulit dipungkiri menjadi kata kunci.
Lain kata, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VII, mampu mendongkrak
posisi padi (beras) organik menjadi alternatif bahan pangan sekaligus
menopang ketahanan pangan wilayah. Bermodal kesepahaman dan political

54
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

will Pemerintah Daerah OKU Timur, klaster padi organik dikembangkan secara
fokus, komprehensif, dan berkelanjutan. Bantuan, pelatihan, pendampingan,
pemasaran, dan pembukaan akses keuangan yang diberikan saling terkait dan
menunjang satu sama lain. Inilah kunci sukses Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah VII, yang selayaknya direplikasi daerah lain.

Ke depan, strategi pengembangan klaster akan difokuskan kepada


peningkatan produktivitas petani peserta klaster. Metode System of Rice
Intensification (SRI) organik rencananya akan dicoba diimplementasikan
pada beberapa kelompok peserta klaster. Melalui metode ini, diharapkan
produktivitas budidaya padi peserta klaster meningkat sekaligus meningkatkan
kesejahteraan petani peserta program. Dari sisi pemasaran, Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Wilayah VII, bersama Dinas Pertanian Kabupaten OKU Timur
berencana memfasilitasi pemberian sertifikasi organik petani peserta klaster.
Tujuannya tak lain agar beras organik bisa lebih diterima pasar. Daya dukung
beras organik terhadap ketahanan pangan daerah pun diyakini jadi lebih kuat. n

55
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

E.2. Optimalisasi Produksi Beras dengan Klaster Padi Organik


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jember dan Malang

Ketahanan pangan nasional, dalam beberapa tahun terakhir, menjadi isu


yang terus mendapat perhatian serius. Apalagi setelah pemerintah menentukan
target surplus 10 juta beras pada 2014. Banyak daerah pun berbenah, menyusun
strategi guna mendukung pencapaian target tersebut. Terkait pencapaian itu
pula daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai lumbung pangan nasional
diberi target-target khusus kontribusi produksi beras nasional.

Provinsi Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi lumbung padi nasional, juga
menerima amanah target kontribusi produksi beras tersebut. Tidak kepalang
tanggung, target kontribusi Provinsi Jawa Timur dalam pencapaian surplus 10 juta
ton beras nasional, adalah sebesar 50 persen. Dengan target ini, berarti Provinsi
Jawa Timur diminta mencapai surplus beras sampai sebesar lima juta ton. Target
kontribusi tersebut ditentukan dengan memperhatikan pencapaian produksi
beras selama tahun-tahun sebelumnya.

Dinas Pertanian (Dispertan) Provinsi Jawa Timur mengakui jika provinsi ini
selalu menjadi tulang punggung produksi beras nasional. Berdasarkan data
yang diungkap Pemerintah Provinsi Jawa Timur, yang dilansir media massa
nasional, disebutkan selama 2012 lalu provinsi ini mampu memproduksi
sebanyak 7,8 juta ton beras setara 12,5 juta ton padi kering giling. Dari jumlah
itu, sebanyak 3,4 juta ton sudah mencukupi untuk konsumsi lokal. Data tersebut
mencerminkan betapa provinsi ini mengalami surplus beras sampai sebanyak
4,4 juta ton. Sebagian besar kalangan pun optimis target kontribusi Provinsi
Jawa Timur tersebut bisa tercapai.

Salah satu strategi yang diterapkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk
mencapai target kontribusi itu adalah strategi intensifikasi dan optimalisasi
lahan. Strategi itu diharapkan bisa menjamin posisi Provinsi Jawa Timur sebagai
lumbung pangan nasional. Provinsi ini dinilai menyimpan potensi besar
melakukan intensifikasi yang diarahkan pada aspek peningkatan produktivitas.

Terkait upaya-upaya peningkatan produktivitas guna mendukung


pencapaian target kontribusi itulah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jember
memutuskan menggulirkan program ketahanan pangan melalui budidaya
padi organik. Program yang menggunakan pendekatan klaster padi organik ini
tidak hanya menyentuh persoalan budidaya pola tanam padi organik, tapi akan
menyentuh pula sisi finansialnya. Tak ketinggalan pula masalah pemasaran.
Sedangkan lokasi klaster dipilih Kabupaten Lumajang, yang memang dikenal
sebagai salah satu lumbung padi Provinsi Jawa Timur.

56
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

Identifikasi Wilayah
Dalam pelaksanaannya, langkah-langkah awal program pengembangan klaster
padi organik di Kabupaten Lumajang, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jember
mendapat bantuan dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Malang. Bantuan ini
dirasa perlu lantaran baru pada September 2013, Kabupaten Lumajang resmi
menjadi wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jember. Sedangkan
sebelumnya, kabupaten ini menjadi bagian dari wilayah kerja Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Malang.

Peralihan wilayah kerja tersebut tidak lantas membuat Kantor Perwakilan


Bank Indonesia Jember menjadi lambat menggulirkan program klaster.
Memang, jika memperhatikan progres yang ada terkait program klaster belum
semaju wilayah lain. Tapi, setidaknya langkah-langkah awal yang juga tidak kalah
penting demi mencapai hasil maksimal, sudah dilakukan. Hanya dalam sebulan
setelah peralihan wilayah kerja, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jember
sudah menggandeng Pemerintah Kabupaten Lumajang terkait program
klaster. Ini terbukti dengan ditandatanganinya nota kesepahaman bersama
pada triwulan IV 2013, Oktober 2013, terkait kerja bersama pengembangan
program klaster padi organik.

Sebagai langkah awal, nota kesepahaman tersebut langsung dilanjutkan


dengan melakukan identifikasi wilayah dan permasalahan yang ada. Setelah
melakukan survey terkait identifikasi permasalahan tersebut, akhirnya diputuskan
pengembangan program klaster padi organik dilakukan di lima kelompok tani
di tiga kecamatan. Lebih rinci bisa disebutkan lima kelompok tani dimaksud
adalah; Kelompok Tani Sarana Makmur di Kecamatan Sukodono dengan jumlah
anggota 150 orang dan lahan seluas 42 hektar; Kelompok Tani Gempol Makmur
di Kecamatan Sukodono dengan jumlah anggota 112 orang dan lahan seluas
40 hektar; Kelompok Tani Karya Tani di Kecamatan Lumajang dengan jumlah
anggota 60 orang dan luas lahan 46,54 hektar; Kelompok Tani Ledok Joyo di
Kecamatan Lumajang dengan jumlah anggota 138 orang dan lahan seluas
44 hektar; Kelompok Tani Taruna Tani di Kecamatan Jatiroto dengan jumlah
anggota 52 orang dan lahan seluas 54 hektar.

Selanjutnya penentuan keterlibatan kelompok tani dan wilayah tersebut


diperkuat dengan melakukan pemetaan masalah di tiga kecamatan sebagai
lokasi program pengembangan klaster padi organik, yaitu Kecamatan
Sukodono, Kecamatan Lumajang, dan Kecamatan Jatiroto. Sedangkan indikator
permasalahan ditentukan ada tujuh indikator yaitu sumber daya manusia,
kelembagaan, input produksi, sarana prasarana, program, produksi dan
paska panen, serta pemasaran. Berdasarkan indikator-indikator tersebut, bisa
diketahui permasalahan yang ada dan bisa diantisipasi solusinya bersamaan
dengan bergulirnya program klaster.

57
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Di sisi sumber daya manusia, ketiga kecamatan lokasi pengembangan


klaster membutuhkan pemberdayaan petani melalui peningkatan pemahaman
tentang padi organik, konservasi lahan, teknik budidaya, processing, pemasaran,
dan akses perbankan. Di sisi kelembagaan, ketiga kecamatan membutuhkan
fungsionalisasi kelembagaan melalui pembentukan koperasi dan akses
perbankan guna peningkatan modal kerja. Di sisi input produksi terlihat
ada perbedaan di setiap kecamatan. Kecamatan Sukodono membutuhkan
adanya rumah pupuk, di Kecamatan Lumajang diperlukan rumah pupuk dan
agensia hayati, dan Kecamatan Jatiroto memerlukan rumah pupuk dan pusat
pembenihan.

Di sisi sarana dan prasarana ketiga kecamatan kembali memperlihatkan


kebutuhan yang sama berupa tambahan handtractor, combine, lantai jemur dan
gudang, serta rice milling unit (RMU). Khusus di Kecamatan Jatiroto diperlukan
pula sertifikasi benih. Di sisi program, ketiga kecamatan lokasi pengembangan
klaster juga terlihat memiliki kesamaan yaitu pentingnya program berkelanjutan
dan sinergi lahan, input produksi, pasca panen dan pemasaran. Di sisi produksi
dan paska panen, Kecamatan Sukodono membutuhkan peningkatan kapasitas
produksi dan peningkatan nilai tambah. Sedangkan di Kecamatan Lumajang
dan Kecamatan Jatiroto, selain berkeinginan meningkatkan kapasitas produksi
dan nilai tambah, masing-masing membutuhkan produksi agensia hayati dan
produksi benih bersertifikat. Di sisi pemasaran, semua kecamatan bersuara
sama, memutus jaringan tengkulak.

Implementasi
Hasil identifikasi permasalahan di tiga kecamatan sebagai wilayah pengembangan

58
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

klaster tersebut, selanjutnya dijadikan acuan dan pedoman terkait implementasi


program. Berbekal hasil identifikasi itu pula Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Jember memutuskan melakukan implementasi pertama berupa pelaksanaan
Sekolah Lapang Budidaya Organik, yang dibarengi dengan kegiatan demonstration
plot (demplot). Namun, lantaran keterbatasan waktu dan proses peralihan wilayah
kerja Kabupaten Lumajang dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Malang ke
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jember, implementasi selanjutnya baru akan
dilaksanakan pada 2014.

Kendati begitu, program pengembangan klaster padi organik yang diikuti


dengan penguatan kelembagaan melalui pembentukan koperasi, diyakini tetap
mampu, bahkan menjadi salah satu kunci sukses dalam upaya mengoptimalkan
potensi Kabupaten Lumajang menjadi salah satu penyumbang besar dalam
produksi beras di Indonesia. Potensi ini bisa terlihat dari pencapaian produksi
beras selama 2012. Sampai akhir tahun itu, Kabupaten Lumajang mampu
memproduksi sampai sebanyak 462 ribu ton gabah. Sedangkan jumlah yang
ditargetkan hanya sebanyak 425 ribu ton gabah kering giling.

Fakta tersebut jelas mencerminkan kemajuan pertanian dan potensi


besar di kabupaten yang bermotto Amreta Brata Wira Bhakti, yang bermakna
kebajikan yang kekal adalah sikap perbuatan ksatria dan penuh pengabdian.
Dan upaya semua pihak, instansi dan stakeholders pertanian yang mendukung
terciptanya peningkatan produksi gabah dan beras di Kabupaten Lumajang
tak lain merupakan cerminan kebajikan dan pengabdian berupa pemenuhan
kebutuhan pangan sendiri sekaligus membantu ketahanan pangan Provinsi
Jawa Timur dan nasional. n

59
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

F. METODE PADI DALAM POT

Pemberdayaan Rumah Tangga dengan Menanam Padi


Dalam Pot
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat

Bicara beras pastinya tidak bisa lepas dari padi. Dan bicara padi, sulit pula
dilepaskan dari ketersediaan lahan sawah. Dengan keterkaitan tersebut, upaya
penguatan ketahanan pangan jadi terkesan sangat bergantung pada luasnya
lahan sawah. Semakin luas lahan sawah dipercaya bisa menghasilkan padi yang
lebih banyak dan otomatis meningkatkan pula produksi beras.

Sebagai salah satu bahan pangan pokok di Indonesia, produksi beras memang
menjadi indikator ketahanan pangan. Pemerintah bahkan sejak beberapa tahun
lalu sudah mencanangkan surplus beras sebanyak 10 juta ton pada 2014. Namun
peningkatan produksi beras, lagi-lagi sangat bergantung pada produktivitas padi,
yang membutuhkan lahan luas. Padahal, di sisi lain, luasan lahan persawahan diakui
banyak kalangan cenderung menyempit. Sehingga upaya-upaya peningkatan
beras sangat mengandalkan intensifikasi, di mana peningkatan produksi padi
dilakukan tanpa menambah perluasan lahan persawahan.

Beragam budidaya terkait intensifikasi tersebut terus diteliti dan dikaji guna
menemukan budidaya dan pola tanam yang bersifat intensifikasi. Sebagian
dari upaya penelitian dan pengkajian itu memang bisa membuahkan hasil.
Namun, sejumlah persoalan tetap membayangi. Sebut saja misalnya kualitas
lahan yang kurang baik, yang justru mengganggu upaya intensifikasi. Belum
lagi jika dimasukkan pula faktor iklim dan cuaca ekstrim yang beberapa tahun
terakhir terjadi di banyak daerah. Capaian-capaian yang diharapkan dari upaya
intensifikasi tersebut seringkali jadi sulit direalisasikan hanya karena faktor
cuaca, seperti kekeringan atau banjir.

Bersamaan dengan itu, seiring pertambahan jumlah penduduk, tingkat


permintaan dan konsumsi beras pun ikut mengalami peningkatan. Sedangkan
di sisi suplai, cadangan atau ketersediaan beras yang ada seringkali tidak
mencukupi lantaran produksi padi mengalami tekanan. Baik karena faktor cuaca
maupun kualitas lahan yang berkurang serta penyempitan lahan persawahan.
Kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan itulah yang pada gilirannya
menjadi pemicu inflasi. Dalam kondisi seperti ini, jelas bukan hanya pencapaian
ketahanan pangan saja yang terhambat, tapi juga pertumbuhan ekonomi
nasional yang berkelanjutan.

Terkait itu, beragam cara dan teknologi diterapkan guna mendongkrak hasil
intensifikasi sehingga bisa diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan

60
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

bahan pangan pokok seperti beras. Ketersediaan beras yang memadai diyakini
bisa mempersempit kesenjangan dengan permintaan dan konsumsi beras.
Sehingga laju inflasi pun lebih terkendali. Upaya mengendalikan inflasi dengan
cara meningkatkan ketersediaan (suplai) demi menyamai atau mendekati,
bahkan melebihi permintaan (konsumsi) memang merupakan hal yang lazim.

Sepintas memang tidak ada cara lain. Kalaupun ada maka cara itu adalah
menekan permintaan. Cara seperti ini sering dikenal dengan kampanye
diversifikasi pangan. Masyarakat Indonesia yang selama ini menjadikan beras
sebagai bahan pangan pokok, diajak dan diarahkan untuk mengkonsumsi
bahan pangan lain non-beras. Kampanye diversifikasi ini diharapkan mampu
mengalihkan pola konsumsi masyarakat dari beras ke bahan pangan lain,sehingga
permintaan bahan pangan beras
bisa ditekan seminimal mungkin.
Tentu saja hasil kampanye ini tak
mudah memberikan hasil sesuai
harapan. Kebiasaan masyarakat
Indonesia mengonsumsi beras,
yang turun temurun terjadi, seperti
sulit beralih ke bahan pangan
pokok lain. Beras tetap menjadi
primadona bahan pangan.

Padi Polybag
Lantas, apakah situasi dan kondisi tersebut harus dibiarkan tanpa solusi. Tentu
saja tidak. Seiring dengan terus diupayakan peningkatan produksi padi dan
beras guna menjaga ketersediaan bahan pangan pokok, upaya menekan sisi
permintaan pun bisa terus dilakukan. Upaya menjaga ketersediaan melalui
ekstensifikasi dan perluasan lahan persawahan tetap perlu dilakukan. Bila perlu
diikuti dengan pencetakan lahan persawahan baru. Begitu pula dengan menjaga
ketersediaan dengan peningkatan produksi melalui program dan intensifikasi.

Pada saat bersamaan, kampanye diversifikasi pangan sebagai langkah


menekan sisi permintaan tetap pula perlu dilakukan. Tapi, tentu saja tidak
berhenti sampai di situ. Peranan teknologi pertanian jelas menjadi sangat penting
sebagai motor utama menekan permintaan. Dan inilah yang sesungguhnya
menjadi perhatian Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat
dalam mengendalikan laju inflasi, khususnya inflasi daerah, dengan menekan
permintaan. Teknologi dimaksud tidak lain adalah budidaya menanam padi
dalam pot atau lazim dikenal dengan padi polybag.

Jika mendengar kata ‘menanam padi’ maka yang langsung terbayang


dalam kepala adalah luasnya lahan persawahan, pengolahan lahan dengan

61
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

membajak, dan seterusnya. Nyaris tak terbayangkan kalau padi bisa pula
tumbuh dan membuahkan hasil jika ditanam dalam pot. Sesungguhnya
menanam padi dalam pot, bisa tumbuh dan mampu menghasilkan bukanlah
hal baru. Prinsip budidaya dan pola tanam padi dalam pot tak ubahnya dengan
penerapan teknologi budidaya system rice of intensification. Budidaya ini sudah
banyak pula digunakan di lahan persawahan di sejumlah daerah dengan tujuan
meningkatkan produktivitas padi. Hasilnya pun sudah pula terbukti berdampak
positif pada ketersediaan beras.

Lantas, jika bisa dilakukan di lahan persawahan, kenapa diterapkan


pula di dalam pot? Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan
Barat tentu bukannya tanpa alasan memilih padi dalam pot sebagai model
ketahanan pangan. Budidaya penanaman padi dalam pot, yang diselaraskan
dengan program rumah pangan lestari, dipilih lantaran keunikannya yaitu
banyak dilakukan di daerah perkotaan, bukan pedesaan. Sehingga banyak
pelakunya juga bukan petani melainkan masyarakat umum. Karena itu, program
penanaman padi dalam pot ini sebenarnya memiliki tujuan utama berkurangnya
ketergantungan masyarakat perkotaan pada ketersediaan beras di pasaran.

Dengan meminimalisasi ketergantungan pada ketersediaan di pasaran


diharapkan tidak membuat harga bergejolak. Sebab, permintaan akan cenderung
terkendali meskipun ketersediaan di pasaran sedang terbatas. Inilah upaya lain
mengendalikan inflasi dengan menekan permintaan. Terkait ini, Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat pun segera mengambil langlah konkret.
Salah satunya bekerja sama dengan tim Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
(PKK) Provinsi Kalimantan Barat. Penerapan program padi dalam pot ini memang
dilakukan dengan melibatkan dan mengoptimalkan peran wanita.

Posisi dan peran kunci wanita dalam sebuah rumah tangga perlu diperkuat,
antara lain dengan cara memberdayakan kemampuannya memanfaatkan ruang
atau lahan sempit yang relatif terbatas di pekarangan rumah. Melalui program
padi dalam pot pula, wanita sebagai ibu rumah tangga mampu berproduksi
sekaligus mengurangi ketergantungan pada pedagang. Pasalnya, setiap warga
mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangan pokok seperti beras. Teknologi
menanam padi dalam pot khusus (polybag) memang dikembangkan Balai
Penelitian Tanaman Padi (BPTP) Provinsi Kalimantan Barat untuk memanfaatkan
lahan pekarangan rumah.

BPTP bersama Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Barat juga turut andil
dalam program menanam padi dalam pot ini. Salah satu bentuknya adalah
memberikan pelatihan dan pendampingan tentang menanam padi dalam pot.
Setelah mengikuti pelatihan, program pun berlanjut dengan melakukan uji coba
pada 200 pot dengan menggunakan empat varietas berbeda. Hasilnya cukup
memberikan harapan. Program padi dalam pot ini, pada panen perdana Mei

62
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

2013, mampu menghasilkan beras sampai sebanyak 20,25 kilogram dengan


peningkatan masa tanam menjadi tiga kali.

Terkait hasil tersebut, Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Barat sudah pula
membuat perhitungan soal prospek produksi padi dalam pot. Di lahan seluas
150 meter persegi saja bisa digunakan untuk seribu pot. Jika diasumsikan
produksi beras yang dihasilkan setelah dua kali masa tanam mencapai angka
450 kilogram, maka dengan asumsi kebutuhan beras satu keluarga mencapai
348,94 kilogram per tahun, program padi dalam pot sudah mampu menutup
kebutuhan rumah tangga setiap tahunnya.

Pemberdayaan Jadi Kunci


Selain penerapan program menanam padi dalam pot, Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Kalimantan Barat juga melakukan penguatan kelembagaan
gabungan kelompok tani (gapoktan). Pembentukan Lembaga Distribusi
Pangan Masyarakat (LDPM) menjadi pilihan terkait penguatan kelembagaan
gapoktan tersebut. Beberapa gapoktan yang terlibat adalah Gapoktan
Sukatani dan Gapoktan Jaya Bersama. Bantuan teknis pun digulirkan berupa
pelatihan kewirausahaan serta pendampingan. Sasarannya tak lain mengubah
pola pikir dan budidaya petani dari bertani secara konvensional menjadi
bertani secara bisnis.

Pelatihan dan pendampingan LDPM tersebut juga memperlihatkan


keberhasilan yang tidak kecil. Selama LDPM beroperasi terjadi peningkatan
dana kelolaan unit cadangan Gapoktan Sukatani dari Rp 20 juta menjadi Rp 25
juta. Peningkatan juga terjadi pada dana kelolaan unit distribusi Gapoktan Jaya
Bersama, yaitu dari Rp 175 juta menjadi Rp 208 juta. Sedangkan dana kelolaan
unit cadangan Gapoktan Jaya Bersama meningkat dari Rp 20 juta menjadi Rp
26 juta.

Terciptanya peningkatan signifikan dalam dana kelolaan LDPM, yang


mengikuti keberhasilan program menanam padi dalam pot, tentu tak lepas
dari upaya-upaya pemberdayaan peran wanita dan gapoktan sebagai kunci
sukses. Bahkan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian
mengapresiasi program padi dalam pot ini dengan menjadikannya sebagai
program nasional sekaligus proyek percontohan di Provinsi DKI Jakarta.

Ketahanan pangan sesungguhnya bisa dimulai dari lingkup kecil, yaitu


rumah tangga. Dengan menanam padi dalam pot, rumah tangga perkotaan,
yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap ketersediaan beras di pasaran,
diberdayakan hingga bisa memenuhi sendiri kebutuhan pangannya. Dalam
jangka menengah dan panjang, pemberdayaan tersebut mampu menurunkan
permintaan di pasar sehingga harga cenderung stabil. n

63
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

G. METODE PADI LOKAL

Sinergi Program Padi Lokal Menguatkan Ketahanan Pangan


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah II (Kalimantan)

‘Alone we can do so little, together we can do so much’. Kata-kata bijak Hellen


Adams Keller, wanita tunanetra dan tunarungu yang dikenal dunia sebagai aktivis
sosial penyandang cacat dunia, barangkali sepadan dengan pepatah Indonesia;
bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Semangat dari pepatah itulah yang
memunculkan motivasi pemberdayaan sektor riil, khususnya terkait pangan di
Kalimantan.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah II menilai pertumbuhan


ekonomi nasional yang stabil dan berkelanjutan tidak hanya mengandalkan
upaya dari sisi moneter dan perbankan seperti selama ini dilakukan Bank
Indonesia sebagai bank sentral. Upaya-upaya tersebut perlu diperkuat dengan
mendorong pertumbuhan sektor riil, antara lain melalui pengembangan usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Peran strategis UMKM bagi perekonomian
nasional tidak terbantahkan. Inisiatif dan beragam upaya memfasilitasi
kegiatan yang mendorong pertumbuhan UMKM jelas sangat dibutuhkan. Dan
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah II memilih melakukannya dengan
pengembangan klaster UMKM terkait pangan.

Panen raya di lahan petani anggota klaster Poktan Mutiara, Kec. Anjir Pasar
yang dilakukan secara simbolis oleh Sekda Provinsi Kalsel, Bank Indonesia
dan unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah serta perwakilan perbankan.

64
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

Tanam perdana padi


siam unus klaster
Poktan Mutiara Kec.
Anjir Pasar yang
dilakukan oleh Bupati
Barito Kuala dan unsur
Forum Komunikasi
Pimpinan Daerah, BI
dan perbankan.

Pengembangan klaster, terutama terkait pangan, diharapkan dapat ikut


berperan menjaga sisi penawaran, yang bermuara pada pengendalian laju
inflasi baik daerah maupun nasional. Selain berdampak pada peningkatan
kapasitas ekonomi, pendekatan klaster dinilai strategis karena terintegrasi,
meningkatkan daya tawar, meningkatkan efisiensi biaya serta berdampak
bagi pengembangan ekonomi wilayah. Ditambah lagi dengan stimulasi
inovasi melalui pertukaran pengalaman dan pengetahuan antarpelaku, juga
peningkatan keterkaitan sosial dan keahlian anggota klaster.

Padi Lokal
Hal ini yang kemudian mendorong Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah
II (Kalimantan) menggulirkan program pengembangan klaster padi lokal di
Kabupaten Barito Kuala (Batola), Provinsi Kalimantan Selatan. Pemilihan klaster
untuk komoditas padi ditentukan berdasarkan komoditas yang menjadi sumber
tekanan inflasi. Beras Siam Banjar, Ganal, Unus dan Karang Dukuh merupakan
jenis beras lokal yang selama ini tercatat sebagai komoditas penyumbang
utama inflasi di Kalimantan Selatan. Pengembangan klaster padi (beras) lokal
ini tentunya bertujuan mengendalikan laju inflasi dari sisi supply, sekaligus
diharapkan mampu menguatkan ketahanan pangan daerah. Sedangkan lokasi
pengembangan klaster dipilih dua kecamatan yaitu Kecamatan Anjir Pasar dan
Kecamatan Anjir Muara. Kedua kecamatan tersebut memang dikenal sebagai
sentra produksi beras lokal.

Wilayah Kabupaten Barito Kuala sendiri sesungguhnya sebagian besar


merupakan lahan rawa gambut. Tepatnya terletak di muara Daerah Aliran Sungai
(DAS) Barito dan anak-anak sungainya. Yang berbatasan langsung dengan
Laut Jawa. Komposisi tanah yang terdiri atas alluvial (59,46 persen), organosol
gleihumus (40,54 persen), dan tanah sebanyak 89,39 persen dan bertekstur

65
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Kegiatan gropyokan tikus,


sebelum dilakukan tanam
perdana padi siam unus
oleh klaster Poktan Mutiara,
Kec. Anjir Pasar yang
dibuka oleh Bupati Barito
Kuala dan dihadiri oleh BI,
Perbankan, anggota TNI-
AD dan masyarakat sekitar.

halus. Tanah jenis ini menyebar di hampir seluruh kecamatan. Informasi dari
Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Barito Kuala
menyebutkan tekstur tanah tersebut menjadikan wilayah ini cukup baik untuk
pengembangan pertanian. Hasil bumi terbesar dari kabupaten ini memang
padi lokal. Bahkan Kabupaten Batola disebut lumbung padi Kalimantan Selatan.

Fakta-fakta tersebut jelas menggambarkan pengembangan klaster padi


lokal merupakan pilihan tepat. Hanya saja, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah II juga menyadari pengembangan klaster tidak bisa dilakukan sendiri.
Maka, dilakukanlah koordinasi dengan pemerintah daerah sehingga sasaran
dan tujuan pengembangan klaster padi lokal menjadi lebih luas. Pemerintah
daerah menekankan pada program pemberdayaan sektor riil dan UMKM dan
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah II tetap pada pengembangan klaster
komoditas utama penyumbang inflasi sekaligus mendorong peningkatan akses
keuangan.

Dalam kaitan ini, Bank Indonesia merasa perlu untuk berkoordinasi


dengan Pemerintah Daerah melalui program-program pemberdayaan sektor
riil dan UMKM, antara lain melalui pengembangan klaster komoditas utama
penyumbang inflasi, yang juga diarahkan untuk mendorong peningkatan akses
keuangan inklusif.

Koordinasi pengembangan klaster padi lokal itulah yang kemudian


dikukuhan dalam nota kesepahaman bersama antara Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Wilayah II dengan Pemerintah Kabupaten Barito Kuala, pada Mei
2011. Berbarengan dengan itu, ditetapkan pula peserta klaster yaitu Kelompok
Tani Mutiara di Kecamatan Anjir Pasar dan Kelompok Tani Hasrat Maju di
Kecamatan Anjir Muara. Dalam perkembangannya ada penambahan peserta
yaitu Kelompok Tani Handil Air Mas, Kecamatan Anjir Pasar dan Gabungan
Kelompok Tani Sumber Daya Muda, Kecamatan Anjir Muara.

66
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

Berdasarkan kesepahaman itulah ditentukan sasaran program pengembangan,


yaitu akselerasi program-program pengembangan komoditas padi sesuai potensi
dan kompetensi masyarakat. Sedangkan dalam penerapannya dilakukan sinergi
program. Program pengembangan produksi padi dan kesejahteraan petani yang
melibatkan Pemerintah Kabupaten Barito Kuala dan program Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Wilayah II dalam mendorong pemberdayaan sektor riil dan
UMKM yang selaras dengan upaya pengendalian inflasi daerah.

Sinergi dari pihak-pihak pun langsung bergerak. Sejumlah bantuan sesegera


mungkin digulirkan. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah II sudah
memberikan bantuan berupa motor roda tiga, handtractor, mesin penggiling padi
(RMU), bangunan untuk RMU, perbaikan bangunan koperasi dan tata air makro,
mesin packaging beras dan pelatihannya, pemberian kapur untuk lahan yang
asam serta paket komputer dan aplikasi bagi koperasi. Kontribusi dari pemerintah
daerah setempat juga tidak kalah penting. Sebut saja misalnya bantuan alat
dan mesin pertanian seperti pemberian kendaraan roda empat, handtractor,
mesin RMU, pelatihan-pelatihan dan subsidi pupuk pertanian. Kontribusi lain
pemerintah daerah setempat adalah penerbitan Peraturan Daerah (Perda) terkait
lokasi lahan pertanian permanen. Perda ini bisa mencegah menurunnya luasan
lahan pertanian.

Sinergi program tersebut cukup membuahkan hasil. Indikasi peningkatan


produksi dan pengendalian distribusi dalam upaya pengendalian inflasi daerah
yang bersumber dari fluktuasi harga komoditas beras lokal mulai terlihat. Hasil
positif lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah petani anggota kelompok tani
mulai mengarah menjadi petani mandiri. Semua didukung dengan pola tanam
yang baik, kerjasama kelompok yang solid dan terbangunnya kelembagaan
pedesaan (koperasi) dengan manajemen yang baik. Pada akhirnya, kelompok tani
dimaksud menjadi role model bagi kelompok tani lain di Kabupaten Barito Kuala.

Selanjutnya pencapaian program diupayakan tetap terukur dari keberhasilan


pelaksanaan keseluruhan program kerja yang telah ditetapkan bersama.
Berdasarkan itu sejumlah catatan keberhasilan yang diraih kelompok tani
peserta klaster sangat terasa. Capaian pertama adalah adanya peningkatan hasil
produksi padi para petani rata-rata di tahun 2011 sampai dengan 21,74 persen
dan pada tahun 2012 sebesar 12,67 persen. Peningkatan produksi inilah yang
diharapkan mampu menopang upaya pengendalian inflasi. Masuknya beras
hasil produksi petani peserta klaster ke pasaran, termasuk dijual dalam bentuk
kemasan di Hypermart Banjarmasin, menjadi bukti keterbukaan akses pasar.
Catatan lain adalah terbukanya akses keuangan melalui program sertifikasi
lahan. Sebanyak 177 persil berhasil di sertifikasi dari 145 orang anggota, dan
terhubung ke perbankan sebanyak Rp 447 juta dari 43 petani anggota. Selain
capaian-capaian terkait klaster, pengembangan klaster ternyata juga melahirkan
aktivitas usaha baru berupa budidaya ikan lele di kolam terpal.

67
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Tak heran kalau banyak warga masyarakat setempat menyambut baik


pengembangan klaster padi lokal tersebut. “Sejak ada program klaster di desa
kami, banyak manfaat dirasakan petani, seperti adanya bantuan berupa kapur
dolomit dan pembangunan saluran irigasi sekunder yang membuat lahan tidur
sebesar 150 hektar menjadi lahan pertanian. Atas bantuan Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Wilayah II pula kami memiliki lima kolam terpal ikan lele. Saat
ini, ditambah swadaya masyarakat, kami sudah memiliki tujuh kolam budidaya
lele dan papuyu. Sedangkan handtractor bantuan yang diberikan sebanyak satu
unit, kini sudah bertambah menjadi 12 unit atas swadaya masyarakat,” ungkap
Ketua Poktan Mutiara, Saberiani, bangga.

Kemajuan positif juga terlihat jelas dari sisi kelembagaan. Upaya-upaya


penguatan kelembagaan terkait program klaster benar-benar menunjukkan
hasil. Saat awal program digulirkan, keberadaan Koperasi Unit Desa Tani
Sepakat masih perlu pembenahan kualitas sumber daya manusia. Saat itu
sumber daya yang ada kurang memadai dan pengurus yang belum mampu
mengoptimalkan usaha. Kini perlahan mulai memperlihatkan perbaikan. Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Wilayah II menempatkan konsultan pengawasan,
yang dapat memberikan bantuan teknis mengenai pengelolaan koperasi
yang baik. Hasilnya, sumber daya manusia koperasi kini mampu membuat
laporan keuangan koperasi yang tertib dan transparan. Kemampuan pengurus
menggunakan aplikasi komputer juga meningkat sekaligus memotivasi
para petani dalam mengelola usaha (bertani dan budidaya ikan lele) secara
berkelompok.

Sinergi Program
Secara umum, pelaksanaan program klaster selama sekitar tiga tahun tersebut,
telah menunjukkan beberapa keberhasilan menggembirakan. Namun program
pengembangan klaster padi lokal yang berakhir pada Juni 2013 itu harus diakui
masih menemukan hal-hal yang memerlukan tindak lanjut dan perbaikan.
Lantaran itu, selanjutnya akan dilakukan kegiatan teknis penyusunan program
kerja setiap tahun atas kesepakatan pihak-pihak yang terlibat. Beberapa
program kerja tersebut antara lain koordinasi-koordinasi dalam bentuk Focus
Group Discussion dan Forum Komunikasi Klaster serta sosialisasi kepada dinas
dan masyarakat yang terlibat dalam program pengembangan klaster.

Keberhasilan program pengembangan klaster padi lokal di Kabupaten


Barito Kuala tidak terlepas dari dukungan sekaligus kerjasama yang positif antar
stakeholders daerah terutama Pemerintah Kabupaten Batola. Sinergi program
antara Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah II dan Pemerintah Kabupaten
Barito Kuala adalah kunci sukses program ini. Lewat sinergi program tersebut,
masing-masing pihak secara bersama mencapai tujuan yang diharapkan;
mendongkrak produktivitas padi lokal sebagai upaya menekan inflasi sekaligus

68
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

Pola Pengembangan Klaster Padi Lokal


SINERGI PENGEMBANGAN HASIL
SINERGI PROGRAM
1. Kantor Perwakilan PADI LOKAL 1. Peningkatan produksi padi
Bank Indonesia para petani rata-rata 21,74
Wilayah II (Kalimantan). 1. Penerapan sinergi (2011) persen dan 12,67
program dengan sasaran persen (2012).
2. Pemerintah akselerasi pengembangan
Kabupaten Barito komoditas padi lokal sesuai 2. Akses keuangan terbuka
Kuala, Provinsi potensi dan kompetensi dengan program sertifikasi
Kalimantan Selatan. masyarakat. lahan. Sebanyak 177 persil
disertifikasi dari 145 anggota,
2. Pemerintah Kabupaten dan terhubung ke perbankan
Barito Kuala menggulirkan sebesar Rp 447 juta dari 43
program pengembangan anggota.
produksi padi dan
kesejahteraan petani. 3. Petani anggota kelompok
tani mengarah menjadi petani
3. Kantor Perwakilan Bank mandiri dengan terbangunnya
Indonesia Wilayah II dengan koperasi dengan manajemen
program pemberdayaan baik.
sektor riil dan UMKM
yang selaras dengan 4. Akses pemasaran terbuka
pengendalian inflasi daerah. dengan penjualan beras
produksi klaster dalam
4. Pemberian bantuan bentuk kemasan di Hypermart
Kantor Perwakilan Bank Banjarmasin.
Indonesia Wilayah II
berupa motor roda 5. Kelompok tani menjadi role
tiga, handtractor, mesin model bagi kelompok tani lain
penggiling padi, tata air di Kabupaten Barito Kuala.
makro, dan paket komputer
dan aplikasi bagi koperasi.

5. Pemerintah Kabupaten
Barito Kuala membantu
alat dan mesin pertanian.
Juga subsidi pupuk
pertanian dan penerbitan
Perda terkait lokasi lahan
pertanian permanen.

meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan perekonomian daerah.


Tak berlebihan pula jika program klaster padi lokal ini menjadi model penguatan
ketahanan pangan daerah yang layak direplikasi. n

69
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

H. METODE INTEGRATED FARMING

Meningkatkan Produktivitas Padi Berbekal Integrated


Farming
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I (Sulawesi,
Maluku & Papua)

Kalau ada isu krusial di Indonesia yang pembahasannya nyaris tak pernah
terhenti, maka salah satunya adalah soal penguatan ketahanan pangan. Sekitar
25,4 juta penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani dengan padi sebagai
tanaman utama. Beras pun menjadi komoditas strategis karena merupakan
kebutuhan pangan pokok. Lantaran itu, guncangan pada sisi penawaran
dan harga beras akan mempengaruhi perekonomian nasional. Pencapaian
ketahanan pangan, terutama beras, dipercaya bisa menjamin ketersediaan
(produksi, konsumsi, maupun distribusi) dan stabilitas harga.

Dan jika selama ini Pulau Jawa dikenal sebagai kontributor utama perberasan
nasional, maka di luar Pulau Jawa, Provinsi Sulawesi Selatan menyandang
predikat lumbung pangan nasional. Provinsi ini tercatat sebagai produsen beras
terbesar dengan kontribusi sekitar 6,67 persen. Tingkat konsumsi beras riil
selama 2011 mencapai 108,9 kilogram per kapita per tahun. Angka tersebut
lebih tinggi dari konsumsi beras ideal sebesar 94,7 kilogram per kapita per
tahun. Tapi, masilh lebih rendah dibanding tingkat konsumsi beras nasional
sebesar 139,0 kilogram per kapita per tahun.

Dengan tingkat konsumsi beras seperti itu, stabilisasi harga beras jelas
diperlukan. Apalagi selama ini beras juga tercatat menjadi penyumbang bobot
inflasi paling besar di Provinsi Sulawesi Selatan. Kenyataan inilah yang mendorong
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I berinisiatif mengembangkan program
penguatan ketahanan pangan, khususnya beras, di provinsi yang mengusung
motto Todo Poli alias teguh dalam keyakinan itu.

Langkah awal dilakukan dengan menggelar focus group discussion


pada Maret 2012. Diskusi ini digelar dengan melibatkan sejumlah pihak dan
stakeholders terkait seperti jajaran pemerintahan daerah, perbankan, akademisi,
serta kelompok tani dan nelayan. Tujuan diskusi ini tak lain menggali beragam
informasi program ketahanan pangan yang sudah dan akan dilakukan sekaligus
mengidentifikasi faktor-faktor pendukung keberhasilan dalam mengembangkan
program ketahanan pangan.

Informasi dan identifikasi hasil diskusi tersebut dilanjutkan dengan melakukan


survei lapangan. Melalui survei lapangan ini diharapkan bisa menghasilkan
pemetaan pelaksanaan ketahanan pangan. Survei lapangan dilakukan pada dua

70
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

gabungan kelompok tani (gapoktan) di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Barru,


Kabupaten Wajo, dan Kabupaten Soppeng. Hal-hal yang dipetakan meliputi luas
lahan sawah, luas panen, hasil produksi, produktivitas lahan, metode budidaya
padi, serta pola ketahanan pangan yang dilakukan di setiap kabupaten.

Berdasarkan hasil survei dan pemetaan, diperoleh bahwa pelaksanaan


ketahanan pangan komoditas beras di Provinsi Sulawesi Selatan sudah
terintegrasi dengan baik. Selain itu, melalui forum knowledge sharing, atau
secara adat dikenal dengan tudang sipulung, yang diikuti aparat pemerintah,
penyuluh dan stakeholder lain, sudah pula tersusun kesepakatan mengenai
jumlah serta jenis sarana produksi yang dibutuhkan, musim tanam, serta
distribusi. Kendati begitu implementasi dari kesepakatan tersebut belum
sepenuhnya terkoordinasi dengan baik.

Integrated Farming
Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Sulawesi Selatan memandang perlunya program lain sebagai upaya
mendukung pengelolaan pertanian berbasis agribisnis. Tujuannya tentu
saja untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dan akhirnya diputuskan
menggulirkan program klaster yang menerapkan model integrated farming.
Lokasi program klaster dipilih di Kecamatan Mariorawa, Kabupaten Soppeng.
Selama ini, Kabupaten Soppeng memang dikenal sebagai salah satu sentra padi
di Provinsi Sulawesi Selatan. Hanya saja, rata-rata penjualan dilakukan dalam
bentuk gabah sehingga nilai tambah bagi petani belum optimal. Selain padi,
Kecamatan Mariorawa juga menyimpan potensi sebagai sentra sapi. Dengan
kondisi ini, penerapan integrated farming dinilai cukup tepat.

Pengembangan klaster ketahanan pangan berbasis integrasi di Kabupaten


Soppeng itu, pada Juli 2012, dituangkan dalam nota kesepahaman antara
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan dengan Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan yang mencakup seluruh jajaran terkait. Yaitu, Badan
Ketahanan Pangan Daerah; Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura;
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan; Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluh);
Tak ketinggalan pula dilibatkan Pemerintah Kabupaten Soppeng, Perum Badan
Urusan Logistik Divisi Regional Provinsi Sulawesi Selatan, dan PT Bank Sulsel.

Program klaster model ketahanan pangan berupa peningkatan agribisinis


pertanian melalui integrated farming pun bergulir. Secara konsep, sistem
pertanian terpadu atau integrated farming system ini mengintegrasikan
beberapa unit usaha di bidang pertanian seperti pertanian, perikanan,
peternakan, perkebunan, dan kehutanan, yang kemudian dikelola secara
terpadu dan berorientasi ekologis. Sistem ini diyakini mampu menghasilkan
peningkatan nilai ekonomi, tingkat efisiensi, serta produktivitas yang tinggi.

71
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Sistem ini tidak memandang sebuah komoditas pertanian, misalnya padi,


sebagai bahan pangan saja, tapi juga sebagai penghasil sumberdaya lain
seperti pakan ternak. Selain itu, limbah organik pertanian bisa diolah menjadi
pupuk organik bagi tanaman.

Siklus seperti itu diharapkan tidak terputus. Hasil akhirnya tak lain adalah
sistem pertanian tanpa limbah (zero waste). Selain mampu memberikan
hasil maksimal, ramah lingkungan, dan marketable, sistem ini mampu pula
mensejahterakan masyarakat hingga mencapai titik kemandirian. Khusus di
Kecamatan Mariorawa, penerapan integrated farming mencakup budidaya,
penanganan panen dan pasca panen padi, serta pemasaran. Bersamaan dengan
itu, peningkatan produksi padi dipadukan dengan pengembangan ternak sapi
dan budidaya ikan air tawar.

Tahapan kegiatan dalam model ini dibagi menjadi enam tahapan, yaitu
penguatan kelembagaan, budidaya, pengolahan hasil dan pasca panen,
pemasaran dan distribusi pangan, pengembangan sarana dan prasarana,
serta monitoring dan evaluasi. Penguatan kelembagaan dilakukan dengan
dukungan sarana dan prasarana maupun peningkatan kompetensi petani.
Tahap budidaya berisi kegiatan bantuan pengadaan bibit serta pelatihan yang
berhubungan dengan aspek operasional budidaya padi, sapi, maupun ikan air
tawar. Pengelolaan hasil dan pasca panen meliputi kegiatan pengolahan gabah
menjadi beras dan pengolahan limbah untuk dijadikan pakan ternak dan pupuk.

Tahap keempat yaitu pemasaran dan distribusi pangan mencakup


pengadaan beras oleh Bulog, cadangan pangan, distribusi pemasaran, serta
resi gudang. Tahap pengembangan sarana dan prasarana berisi rehabilitasi
jaringan irigasi, pembuatan embung dan parit, serta pembuatan jalan usaha tani
yang diharapkan mendukung implementasi empat tahap sebelumnya. Terakhir,
dilakukan monitoring dan evaluasi dimana setiap pelaksana kegiatan wajib
untuk menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan kepada Dewan Ketahanan
Pangan melalui Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan.

Hingga akhir 2012, telah dilaksanakan beberapa kegiatan pada tahap


pertama yaitu tahap penguatan kelembagaan. Kegiatan tersebut antara lain
adalah pembangunan sarana dan prasarana serta peningkatan kompetensi
melalui kunjungan studi dan magang pada Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis (LKMA) di daerah lain yang lebih unggul. Kegiatan seperti kunjungan
studi dan magang, ataupun praktek lapangan, diyakini lebih efektif dalam
mengoptimalkan knowledge transfer ke para petani.

Bersamaan dengan itu, penguatan dari sisi teknis pertanian juga dilakukan
dengan membuka sekolah lapang pertanian terpadu. Selain pengadaan
benih unggul padi, petani difasilitasi pula dengan pelatihan terkait beternak

72
Komoditi PAdi | Peningkatan Produksi

sapi, budidaya ikan air tawar serta pelatihan pembuatan biogas. Selanjutnya,
mengenai teknis pengolahan panen dan pasca panen, petani mendapat
pelatihan pengolahan gabah kering panen menjadi beras dan pelatihan lain
terkait pemanfaatan limbah sekam padi menjadi pakan ternak sapi.

Indikator Sukses
Fasilitasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan tak berhenti
hanya pada kegiatan pelatihan. Fasilitasi berlanjut dengan pembangunan sarana
Rice Milling Unit (RMU) lengkap dengan pelatihan penggunaannya. Pemberian
bantuan sarana ini tak lain bertujuan agar petani mampu menciptakan nilai
tambah produk yang dihasilkan. Nilai tambah inilah yang mampu meningkatkan
harga jual sekaligus pendapatan petani. Apalagi, Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan juga sudah bersinergi dengan Bulog
setempat. Bulog berkomitmen membeli beras sesuai harga pembelian
pemerintah (HPP) pada saat harga jatuh. PT Bank Sulsel juga membantu dengan
dukungan terhadap program resi gudang.

Tak ada manfaat tanpa peluh. Kerja keras Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Sulawesi Selatan, bersama pihak dan instansi terkait, mampu memberikan
dampak positif terhadap peningkatan produktivitas padi sekaligus kompetensi
dan kapasitas petani. Sejumlah indikator cukup mencerminkan keberhasilan
program klaster. Indikator utama adalah terjadinya peningkatan produktivitas
padi sebesar 7,6 ton sampai delapan ton per hektar. Indikator lain adalah
berkurangnya losses saat pengolahan padi menjadi gabah. Dan seiring dengan
peningkatan kompetensi petani terkait budidaya, manajemen organisasi dan
operasional RMU, terbentuk badan hukum koperasi petani.

Indikator-indikator keberhasilan tadi diperkuat lagi dengan hasil sinergi


dengan pemerintah daerah. Salah satunya berupa rehabilitasi jalan petani. Juga
pembuatan embung dan parit. Embung adalah cekungan untuk mengatur
dan menampung suplai aliran air hujan, yang bermanfaat guna meningkatkan
kualitas air tanah, mencegah banjir, hingga pengairan. Air hujan di musim hujan
ditampung dan digunakan petani mengairi lahan di musim kemarau. Pembuatan
embung diperkuat dengan perbaikan jalur irigasi.

Pelaksanaan kegiatan terkait integrated farming system yang sudah dilakukan,


jelas semua pihak yang terlibat memainkan peran penting dalam mencapai
keberhasilan tersebut. Integrated farming, sebagai kunci keberhasilan, bisa sukses
dengan sokongan dan koordinasi baik antara setiap pihak. Masing-masing pihak
memegang peran penting dalam mendukung tercapainya sasaran program
klaster yaitu mendukung pencapaian ketahanan pangan. n

73
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

1.2. Peningkatan Akses Pemasaran (Metode Pemasaran)

Tunda Jual Mengantar Petani Menuju Kemandirian


dan Kesejahteraan
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV (Jawa Timur)

Cerita miris tentang kehidupan petani yang terjerat sistem ijon mungkin sudah
tak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Cerita ini jelas bukan
fiksi. Bahkan sampai saat ini masih sering ditemui petani terjerat ijon. Alhasil,
upaya meningkatkan kesejahteraan petani jadi terhambat dan cenderung jalan
di tempat.

Sejak lama, sistem ijon memang dikenal sistem yang tidak bersahabat bagi
petani. Ijon sendiri tak lain merupakan bentuk perkreditan informal, yang kerap
membebani petani dengan bunga yang sangat tinggi. Di saat padi usia dua
bulanan, petani sudah didatangi tengkulak yang biasanya mengantongi modal.
Para tengkulak membeli ‘panenan’ padi, meski padi di sawah masih hijau (ijo,
diduga dari sinilah lahir istilah ijon) dan belum berbuah. Tentu dengan harga
yang sangat murah. Pada saat panen, pemilik sawah hanya bisa menunggui
padinya dipanen, setelah itu segera mulai menanam padi lagi.

Tapi, kalau padi tadi gagal panen, uang yang sudah dibayarkan tengkulak ke
petani dianggap menjadi utang. Sebagai utang, petani tentu harus membayar
dengan bunga yang sangat tinggi. Sementara untuk mulai menanam lagi,
petani juga harus meminjam uang kepada tengkulak. Dan seperti masa tanam
sebelumnya petani juga hanya mampu sampai menanam, tidak mampu
memanen. Siklus itu terjadi terus menerus menghantui petani dengan hasil
penjualan padi yang rendah. Sebaliknya, para tengkulak bisa dengan bebas
memainkan harga sesuka hati tanpa perduli dampaknya terhadap laju inflasi.

Praktik-praktik ijon di era keterbukaan sekarang ini bukan tak mungkin masih
terjadi. Apalagi, kebanyakan petani di Indonesia hingga saat ini masih dirundung
masalah klasik seperti keterbatasan modal, harga beras yang berfluktuatif, dan
rendahnya daya tawar petani saat musim panen. Tingginya harga beras di masa
paceklik pun tidak diikuti dengan kesejahteraan petani. Sistem ijon semakin
membuat petani tenggelam di lautan kesulitan. Gambaran serupa juga terlihat
masih terjadi di Provinsi Jawa Timur.

Praktik ijon yang terus menghantui upaya peningkatan kesejahteraan petani


tentu tak bisa dibiarkan. Praktik semacam ini harus dikikis habis. Apalagi jika
mengingat dampaknya pada fluktuasi harga beras di pasaran. Tidak ada pilihan
lain kecuali menemukan solusi tepat, guna menopang ketahanan pangan

74
Komoditi PAdi | Peningkatan Akses Pemasaran

di Provinsi Jawa Timur sekaligus mengendalikan harga dan meningkatkan


kesejahteraan petani. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV (Jawa Timur)
pun terpanggil untuk turut membantu menemukan solusi tersebut.

Tunda Jual
Setelah melakukan sejumlah langkah identifikasi, Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Wilayah IV memutuskan untuk menggulirkan program penerapan
tunda jual dan pemberdayaan sebagai upaya mendukung ketahanan pangan
Provinsi Jawa Timur. Tunda Jual sendiri merupakan upaya menunda penjualan
komoditas pertanian pada saat panen raya untuk menghindari harga pembelian
yang rendah. Selanjutnya penjualan dilakukan pada saat harga mulai membaik.

Secara umum, program ini diharapkan dapat meningkatkan akses modal


usaha tani. Petani bisa mendapatkan kredit murah tanpa harus melakukan ijon.
Program yang sama juga diharapkan mampu meningkatkan kepastian pasar,
perbaikan stabilisasi harga, dan pada akhirnya bisa meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan petani. Dalam pelaksanaannya, program ini akan memberikan
petani atau kelompok tani pembiayaan berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) sebagai biaya produksi. Dan saat
panen, petani melakukan tunda jual dengan cara menyimpan hasil panen di
gudang, dan dijual saat paceklik.

Sesuai kewenangan yang ada, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah


IV pun melibatkan sejumlah pihak terkait dalam pengembangan program ini.
Yaitu Pemerintah Kabupaten Jombang, Dinas Pertanian, dan Kantor Ketahanan
Pangan Kabupaten Jombang. Dari pihak petani, hasil identifikasi yang dilakukan
secara bersama memutuskan melibatkan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
Pojok Kulon di Kecamatan Kesamben. Pemilihan gapoktan ini antara lain juga
dengan mempertimbangkan kegiatan gapoktan yang pada dasarnya sudah
menerapkan sistem tunda jual. Sedangkan Jombang dipilih lantaran menjadi
salah satu lumbung padi Provinsi Jawa Timur, tapi kesejahteraan petaninya tidak
banyak meningkat karena rendahnya daya tawar petani saat panen.

Berdasarkan kesepakatan bersama tersebut, Kantor Perwakilan Bank Indonesia


Wilayah IV (Jawa Timur) disebutkan akan fokus pada kegiatan pengembangan
proyek percontohan tunda jual sekaligus melakukan pendampingan pembiayaan.
Fasilitasi pelatihan agribisnis, penyusunan standar prosedur operasional,
melakukan penguatan kelembagaan dan menyediakan sistem informasi gapoktan
juga menjadi fokus dalam pengembangan program penerapan tunda jual dan
pemberdayaan petani.

Bersamaan dengan itu, dilakukan pula Penyusunan Database Gapoktan.


Tujuannya tak lain memudahkan bagi pihak eksternal, seperti pemerintah daerah

75
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

dan perbankan, memperoleh informasi tentang gapoktan. Database ini antara lain
berisi data identitas anggota gapoktan, luasan lahan, jumlah produksi, inventaris
aset, serta aktivitas transaksi penjualan gapoktan. Semua data tersebut kemudian
dibungkus dalam sebuah aplikasi (software) Sistem Informasi Gapoktan (Sigap).

Program pun bergulir ditandai dengan realisasi KKPE Bank Jatim Cabang
Jombang kepada Gapoktan Pojok Kulon senilai Rp 225 juta. Dana inilah yang
kemudian digunakan untuk penambahan modal pinjaman bagi petani anggota
sehingga bisa melakukan kegiatan produksi. Dana yang sama dimanfaatkan
pula untuk penguatan modal gapoktan terkait pembelian gabah dari petani
anggota serta pembelian tunda jual.

Setelah program bergulir, tepatnya memasuki Triwulan II 2013, mulailah


dilakukan penguatan strategi bisnis melalui kegiatan pendampingan. Saat inilah
gapoktan diarahkan untuk melakukan perluasan akses pemasaran, penjualan,
serta diversifikasi produk. Sebelumnya penjualan gapoktan hanya dalam
bentuk gabah, baik penjualan ke Badan Urusan Logistik (Bulog) maupun ke
pihak penggilingan. Selanjutnya gapoktan mulai menjual dalam bentuk beras.

Seluruh kegiatan tersebut, sejak awal, berjalan antara lain dengan sejumlah
bantuan dalam beragam bentuk dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Povinsi
Jawa Timur. Sebut saja misalnya bantuan gudang, lantai jemur, pembelian alat
mesin pertanian serta sarana produksi lain. Belum lagi pemberian bantuan teknis
dalam bentuk pelatihan manajerial dan pengelolaan keuangan. Juga bantuan
sarana produksi dan alat mesin pertanian yang disesuaikan dengan gabungan
kelompok tani setempat.

Selanjutnya, upaya penguatan soft-skill pengurus gapoktan dilakukan melalui


kegiatan workshop agribisnis gapoktan. Materi yang diberikan berupa leadership,

76
Komoditi PAdi | Peningkatan Akses Pemasaran

skill administrasi dan keuangan, serta pengembangan jaringan pemasaran dan


kemitraan. Tentu saja materi lain seperti pengenalan cara penyusunan rencana
program kerja serta pemahaman tentang konsep pertanian terpadu berbasis
kelompok juga diberikan. Semua ini tak lain merupakan bentuk dorongan ke
arah gapoktan mandiri dan sejahtera dengan pertanian terpadu.

Kemandirian
Upaya mencapai kemandirian gapoktan diharapkan bisa lebih cepat
membuahkan hasil dengan dukungan Sistem Informasi Gapoktan (Sigap) yang
terus dikembangkan. Sistem informasi ini dipercaya mampu membantu petani
mengakses informasi harga. Sigap tak lain adalah sebuah aplikasi berbasis
data yang berfungsi memberikan informasi tentang perkembangan pertanian
yang berbasis pada petani anggota gapoktan. Setiap petani anggota gapoktan
bisa mencatatkan data produksinya ke dalam sistem ini secara berkala. Begitu
pula dengan pencatatan transaksi usaha dan laporan keuangan gapoktan.
Secara umum, sistem ini diharapkan mampu memberikan gambaran terkait
perkembangan kegiatan usaha gapoktan.

Memang, saat ini, sistem informasi tersebut masih dalam tahap finalisasi.
Namun, seluruh rangkaian kegiatan terkait pengembangan program penerapan
sistem tunda jual, yang sudah dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah IV bersama pihak terkait, berhasil memberikan dampak positif. Selain
mulai terkumpulnya database setiap anggota gapoktan, beberapa capaian lain
yang menjadi sasaran utama pengembangan program sudah pula terealisasi.

Salah satunya adalah peningkatan akses pemasaran dan penjualan hasil


produksi gapoktan ke Bulog, baik dalam bentuk beras umum maupun beras
premium. Selain itu terjadi pula peningkatan akses gapoktan ke lembaga
keuangan. Ini terbukti dengan realisasi kredit perbankan ke gapoktan yang
cenderung meningkat. Dan yang jauh lebih berarti adalah kemampuan
memenuhi cadangan pangan di masing-masing gapoktan. Saat ini, cadangan
pangan di setiap gapoktan sudah mencapai angka 20 persen dari kebutuhan
masyarakat di wilayah gapoktan.

Seluruh capaian tersebut mencerminkan program penerapan sistem


tunda jual terbukti tidak hanya menghindari petani dari jeratan ijon, tapi juga
menciptakan kemandirian. Sebagai kata kunci, penerapan sistem tunda jual,
membuat petani dan kelompoknya mampu memenuhi kebutuhan sarana
produksi. Dan lebih penting lagi, petani bersama kelompoknya mampu pula
memperluas akses pasar bagi produk yang dihasilkan tanpa khawatir terjerat
ijon. Keberhasilan program penerapan sistem tunda jual diharapkan jadi
lebih kuat ketika akses keuangan dan informasi, dari dan ke petani, semakin
bertambah. Peningkatan kesejahteraan petani sebagai pilar penting stabilitas
harga dan ketahanan pangan jadi lebih berpeluang diwujudkan. n

77
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

1.3. Penguatan Kelembagaan

Menguatkan Cadangan Beras dengan Optimalisasi


Resi Gudang
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa Barat & Banten)

Beras. Di satu sisi, komoditas pertanian yang satu ini diakui kontribusinya
terhadap perekonomian. Bahkan sering pula dijadikan andalan pencapaian
ketahanan pangan nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Di
sisi lain, saat panen, yang terjadi justru sebaliknya. Saat-saat seperti ini justru
sering terdengar terjadi fenomena jatuhnya harga di tingkat petani. Tak jarang
pula terjadi petani jadi enggan memanen padinya lantaran harga jual produk
yang lebih rendah ketimbang biaya panennya.

Dampak lanjutannya tentu saja pada keterbatasan stok beras di pasaran


menjadi sangat terasa dan berujung pada melonjaknya harga di tingkat
konsumen. Laju inflasi pun seolah melesat tanpa kendali. Fenomena tersebut
seringkali terjadi seiring dengan pola musim tanam dan panen dalam
siklus beberapa tahun. Semakin terasa menyesakkan ketika fenomena itu
diperparah dengan kondisi cuaca ekstrem yang tidak kondusif seperti kemarau
berkepanjangan atau banjir. Petani memang berpeluang menahan hasil
panennya untuk tidak dijual saat panen guna menghindari penurunan harga.
Namun, upaya menahan hasil panen tersebut tidak bisa berlangsung lama
lantaran kebutuhan dana cash terkait pemenuhan kebutuhan hidup sekaligus
menjadi modal utama usaha tani pada musim berikutnya.

Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah demi meminimalkan dampak


merosotnya harga beras di tingkat petani saat musim panen. Bahkan untuk beras,
pemerintah sudah pula menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) dengan mematok harga pembelian di tingkat petani. Namun efektifitas
kebijakan tersebut belum bisa dimaksimalkan. Merosotnya harga gabah atau
beras saat panen tetap terjadi. Fenomena di atas kembali berulang bersamaan
dengan gejolak harga di tingkat konsumen yang memicu inflasi. Permasalahan
ini jelas tak bisa dibiarkan terus terjadi. Terobosan skim pemasaran jelas
diperlukan sehingga pada saat panen harga beras tidak anjlok, sebaliknya
memberi keuntungan bagi petani.

Sistem Resi Gudang


Adalah Kementerian Perdagangan yang menginisiasi Sistem Resi Gudang
(SRG). Skim ini diharapkan menjadi alternatif solusi terkait upaya mencapai
stabilisasi harga sekaligus menjaga stok beras. Dengan penerapan SRG petani
bisa menunda penjualan hasil panen lantaran harganya cenderung turun, serta

78
Komoditi PAdi | Penguatan Kelembagaan

menunggu saat tepat menjual dengan harga lebih baik. SRG dipercaya pula bisa
menjadi salah satu terobosan sumber pembiayaan pertanian. Kelompok tani
bisa memanfaatkannya sebagai bukti kepemilikan komoditas sebagai agunan
untuk mendapatkan pembiayaan perbankan maupun nonperbankan.

Kehadiran SRG, sebagai satu dari sekian banyak instrumen melindungi


petani dari kerugian, tentunya memberikan harapan besar. SRG diyakini juga
bisa menjadi instrumen guna mengatasi masalah kelebihan pasokan beras
pada bulan tertentu, terutama saat panen. Selanjutnya pembiayaan yang
didapat dari skim tersebut bisa juga disalurkan kembali untuk kebutuhan para
petani. Tidak sebatas sebagai instrumen pemasaran dalam kontek kepentingan
nasional, SRG juga dapat menjadi pendukung kebijakan stabilitas harga dan
ketersediaan pangan. Harapan tersebut bisa jadi tidak berlebihan, karena SRG
sudah diterapkan di beberapa negara dan relatif sukses.

Memperhatikan konsep dan fakta-fakta terkait penerapan SRG, Kantor


Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, melihat sebuah peluang
pemanfaatan SRG sebagai salah satu instrumen pengendali inflasi. Sistem itu
dinilai mampu menjaga pasokan beras dengan mengawal ketersediaan stok di
pasaran. Hasilnya tentu saja diharapkan bisa meredam gejolak harga dan inflasi
terkendali. Ketahanan pangan di daerah dapat terpenuhi. Inilah yang kemudian
mendorong Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat menerapkan
model ketahanan pangan dengan mengoptimalkan SRG. Model ini tak lain
bertujuan meningkatkan pendapatan petani melalui pengolahan gabah atau
beras yang terintegrasi dalam Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM).

Lewat sistem tunda jual dengan SRG, meningkatnya pendapatan petani


tentunya bisa berlanjut pada meningkatnya modal usaha jual beli gabah atau
beras dengan memanfaatkan pembiayaan perbankan. Maka, Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat pun menentukan wilayah percontohan
pengembangan LDPM di Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu sebagai
salah satu sentra beras terbesar di Jawa Barat. Sedangkan gabungan kelompok
tani (gapoktan) yang dilibatkan adalah Gapoktan Jaya Tani.

Program SRG selanjutnya dilakukan dengan memberi bantuan dana modal


kerja LDPM selama musim tanam. Petani anggota kelompok peserta program bisa
menyimpan gabah di gudang LDPM. Terkait penerapan SRG, Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, memberikan bantuan dan fasilitasi berupa
pelatihan, pertemuan koordinasi, dan pendampingan bagi Gapoktan Jaya Tani.
Sedangkan upaya meningkatkan awareness pengelola gudang, perbankan,
petani, dan pemerintah daerah, diberikan pula pelatihan penguatan LDPM
sebagai Rice Center di Kabupaten Indramayu. Pelatihan ini digelar bekerja sama
dengan Pusat Inkubator Bisnis Institut Manajemen Koperasi Indonesia (PIBI-
IKOPIN) serta PT Pertani.

79
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Pelatihan-pelatihan tersebut diberikan dengan menerapkan metode Adult


Learning Model. Metode ini antara lain menitikberatkan pelatihan pada orientasi
penguatan agribisnis beras sekaligus penguatan peran gapoktan dalam
pemenuhan kebutuhan pangan. Selain itu diberikan pula pemahaman gapoktan
sebagai lembaga, untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Pelatihan juga
mendalami strategi penguatan kewirausahaan terkait upaya menggali dan
mengembangkan akses ke sumber keuangan, pasar, dan kemitraan usaha.

Semua itu diperkaya lagi dengan pelatihan pengembangan kreativitas dan


inovasi pelayanan usaha gapoktan bersamaan dengan sosialisasi SRG sendiri.
Peserta pelatihan tercatat sebanyak 31 orang dari tujuh gapoktan di Kabupaten
Indramayu (28 kecamatan) dan 27 orang dari 12 gapoktan dari Kabupaten
Tasikmalaya (39 kecamatan). Seluruh pelatihan terkait program optimalisasi
SRG dan pengembangan LDPM tersebut terselenggara berkat sinergi bersama
Bakorwil Priangan, Subbag Ketahanan Pangan di Kabupaten Tasikmalaya,
Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, Dinas Perdagangan Provinsi Jawa Barat serta
Badan Pengawas Bursa Komoditi (Bappebti).

Fasilitasi bermacam pelatihan tersebut tentu tidak berhenti bersamaan


dengan selesainya pelatihan. Tapi dilanjutkan dengan pemberian bantuan
melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) guna mengurangi beban
operasional berupa mobil pick-up. Selama ini, gapoktan memang merasa
keberatan dengan beban ongkos angkut ke gudang dengan pola SRG. Bantuan
PSBI tadi ternyata mampu menekan beban operasional sampai berkurang
sebesar 30 persen dari total biaya.

Hasil Meroket
Penerapan optimalisasi SRG dengan pengembangan LDPM memang masih
menyisakan sejumlah kendala. Sebut saja misalnya biaya transaksi yang masih
tergolong tinggi, inkonsistensi kuantitas dan kualitas produk, serta masih
lemahnya kelembagaan petani. Dengan kelembagaan petani yang belum tertata
secara baik, mekanisme SRG masih dipandang terlalu rumit. Penyederhanaan
mekanisme dan prosedur SRG tetap diperlukan. Penyederhanaan prosedur
dipercaya bisa menjadikan SRG lebih populer pemanfaatannya di kalangan
petani. Apalagi, SRG kurang diminati pada saat harga beras tinggi. Pengelola
gudang juga merasa keberatan dengan beban biaya perawatan gudang.

Terlepas dari kendala-kendala yang masih muncul, program optimalisasi SRG


dan pengembangan LDPM, yang dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Jawa Barat juga memperlihatkan ada titik cerah. Sejumlah titik terang
yang bisa dicatat antara lain terjadi peningkatan jumlah resi gudang sebanyak
36 resi pada 2012 menjadi 273 resi pada 2013. Peningkatan itu dibarengi pula
dengan meroketnya nilai resi. Pada 2012 tercatat nilai resi hanya mencapai Rp

80
Komoditi PAdi | Penguatan Kelembagaan

3,58 miliar, dan dalam kurun satu tahun, pada 2013, melonjak sampai menyentuh
angka Rp 38,5 miliar. Dalam kurun yang sama terjadi pula kenaikan outstanding
kredit SRG dari Rp 2,69 miliar menjadi Rp 28,9 miliar.

Kenaikan kinerja gudang dalam program optimalisasi SRG melalui


pengembangan LDPM tersebut diyakini mencerminkan pula membaiknya
tingkat ketersediaan cadangan pangan, khususnya beras di Provinsi Jawa
Barat. Dan itu tentunya tak terlepas dari kunci sukses yang sejak awal program
sudah digulirkan. Apalagi kalau bukan pemberian dana bantuan sosial LDPM
sebesar Rp 225 juta. Dana inilah yang kemudian dikelola dan digunakan
untuk pembangunan lumbung, modal kerja usaha jual beli gabah atau beras,
pembelian gabah atau beras guna cadangan pangan. Selain dana bantuan
sosial, pendampingan dan pembinaan juga menjadi key success yang tidak bisa
dipandang sebelah mata.

Sosialisasi keberadaan SRG serta dukungan kebijakan pemerintah yang


kondusif juga menjadi faktor penting sehingga SRG dapat diimplementasikan
lebih optimal. Sosialisasi semacam ini bisa membuka wawasan dan
memperdalam pemahaman potensi dan peran penting SRG sebagai suatu
mekanisme tunda jual, pembiayaan maupun penambahan modal kerja untuk
mendorong peningkatan perekonomian daerah dan nasional. SRG juga dapat
berperan penting sebagai sarana penyimpanan logistik dalam proses produksi,
distribusi, dan konsumsi.

Ke depan, SRG sebagai sebuah skim atau instrumen yang relatif baru memang
masih membutuhkan dukungan seluruh stakeholder terkait. Sebagai alternatif
pembiayaan usaha pertanian, termasuk komoditas beras, maka peran perbankan
menjadi penting untuk menghidupkan SRG. Ini tentunya perlu pula dibarengi
dengan penguatan kelembagaan LDPM dan peningkatan produktivitas serta
kualitas komoditas yang terjaga. Sinergi seluruh stakeholders jelas dibutuhkan
lebih intens demi mencapai ketahanan pangan nasional yang maksimal, stabilitas
harga sekaligus peningkatan kesejahteraan petani. n

81
II. PROGRAM Klaster
KETAHANAN PANGAN
2. Komoditi Sapi

82
Komoditi Sapi | Peningkatan Produksi

PENINGKATAN PRODUKSI

A. Metode Kandang Komunal

A.1. Kandang Komunal dan Villa Sapi Buah Manis Strategi


Klaster Terpadu
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V (Jawa Tengah dan
D.I. Yogyakarta)

Indonesia, sampai saat ini, masih dikenal sebagai negara agraris. Dan di era
globalisasi seperti sekarang, bermodal kekayaan alam yang ada, Indonesia
berpeluang menjadi bangsa yang mandiri, termasuk di sektor pertanian
khususnya menyangkut ketahanan pangan. Pencapaian ketahanan pangan
bisa diartikan dengan terciptanya kedaulatan pangan, saat tidak lagi terlalu
bergantung pada bahan pangan impor.

Salah satu komoditas pangan yang terus diupayakan untuk swasembada


adalah sapi, baik perah maupun potong. Pencapaian swasembada bahan
pangan sapi dipercaya mampu menjadi pilar ketahanan pangan, baik daerah
maupun nasional. Selain itu juga dipercaya bisa mendukung stabilitas
perekonomian nasional. Pasalnya, komoditas daging sapi sampai saat ini
masih berdampak pada tekanan inflasi yang bisa menghambat pertumbuhan
ekonomi nasional. Kegiatan yang bertujuan mengatasi hambatan keterbatasan

Kandang komunal dikelola secara corporate, dengan memanfaatkan kredit


program (KKPE) tahun 2013 untuk pengadaan sapi dan Kredit Kepemilikan
Rumah Sapi (KPRS) untuk kandang, di Desa Asinan Semarang.

83
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

produksi, distribusi, dan konektivitas antardaerah diperkirakan bisa membantu


mengendalikan inflasi.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V (Jawa Tengah dan Yogyakarta),


tentu tidak ingin ketinggalan mengambil peran dalam pencapaian
swasembada daging sapi, terutama di Provinsi Jawa Tengah. Apalagi, provinsi
ini memang menyimpan potensi kapasitas produksi daging sapi cukup besar.
Kondisi inilah yang mendorong Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V
berinisiatif menjalin sinergi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk
menggulirkan pengembangan klaster sapi potong dan perah di Kabupaten
Semarang pada 2011.

Pengembangan klaster juga berkolaborasi dengan Dinas Peternakan dan


Kesehatan Hewan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan
UMKM, Kanwil BPN, BPTP, Pemerintah Kabupaten Semarang, serta perbankan
(PT BRI dan Bank Jateng). Juga melibatkan sektor swasta seperti perguruan
tinggi negeri/swasta, Industri Pengolah Susu (IPS), Rumah Pemotongan Hewan
(RPH), dan pihak lain. Sedangkan lokasi klaster ditentukan di Kecamatan Getasan,
Kabupaten Semarang. Berdasar data Juni 2011, Kecamatan Getasan memiliki
populasi sapi potong 7.145 ekor dan sapi perah 2.500 ekor. Selanjutnya dipilih
Gapoktan Banyu Aji yang beranggotakan 15 kelompok (1.050 peternak) sapi
perah dan 10 kelompok (950 peternak) sapi potong.

Pengembangan klaster dilakukan dengan menerapkan strategi berdasar


potensi sumber daya komoditas unggulan; mendorong sinergi peran
lembaga desa, lembaga pendidikan, institusi terkait, perusahaan swasta dan
milik daerah (negara); serta memobilisasi sumber pendanaan. Sasarannya
tak lain peningkatan indeks pendapatan masyarakat desa, kemandirian
dan kelangsungan desa. Berdasar strategi tersebut ditetapkan indikator
keberhasilan antara lain kompetensi inti dan produk/komoditas unggulan
masyarakat meningkat; terciptanya kelembagaan dan operasionalisasi usaha
desa; tercipta sistem pengembangan produk, termasuk kemampuan survei
pasar secara sederhana; kemampuan meningkatkan produktivitas; serta
mencapai profitabilitas dan pengembangan permodalan usaha desa.

Rencana Strategis
Selanjutnya, pengembangan klaster ditetapkan rencana strategis selama tiga
tahun (2011-2014). Tahun pertama merupakan implementasi berbagai bantuan
teknis. Tahun kedua membentuk kemitraan usaha kelompok tani dengan
industri pengolahan dan rumah pemotongan hewan serta perbankan. Tahun
ketiga ditetapkan sebagai tahun pencapaian peningkatan produktivitas dan
kualitas produksi daging dan susu. Manajemen klaster diharapkan juga sudah
beroperasi baik, sehingga program pengembangan klaster bisa mandiri.

84
Komoditi Sapi | Peningkatan Produksi

Berbekal rencana strategis itu, program pengembangan klaster pun bergulir.


Di masa-masa awal pelaksanaan, kekuatan sinergi sudah mulai terasa dengan
pemberian bantuan yang saling mendukung dan terukur. Selain bantuan teknis
berupa pelatihan, pendampingan, studi banding, penelitian dan diseminasi,
diberikan pula bantuan sarana dan prasarana.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V, melalui Program Sosial Bank


Indonesia (PSBI) memberi bantuan untuk sapi perah berupa kandang komunal,
digester (ruangan dalam tanah untuk mengubah kotoran sapi jadi biogas), alat
perah portable, chopper, karpet, lactoscan, screenhouse pembibitan Alfaafa,
satu paket alat produksi yaitu mesin pasteurisasi, showcase, hand sealer dan cup
sealer, serta frozen semen beku kualitas impor untuk memperbaiki genetika sapi
perah. Sedangkan PSBI untuk klaster sapi potong berupa kandang komunal,
digester, chopper dan timbangan sapi.

Salah satu bantuan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V yang


berperan penting adalah teknologi Alfaafa. Masalah utama bagi peternak sapi
adalah mahalnya harga pakan pabrikan. Setelah menggali referensi dari banyak
pihak, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V memutuskan bekerja sama
dengan DR. Ir. H. Nugroho Widiasmadi M. Eng., pakar agrowisata, yang telah
meneliti Alfaafa sejak 2000. Tanaman Alfaafa dan akarnya bisa dimanfaatkan
untuk pengolahan alternatif pakan ternak dengan Microba Alfaafa (MA-11). Selain
menjadi solusi atas mahalnya harga pakan pabrikan, pakan alternatif ternyata bisa
menambah berat harian sapi potong sampai 1,5 kilogram. Dan untuk sapi perah,
mendongkrak hasil susu sekitar 17 liter sampai 25 liter per hari.

Bantuan lain terkait program yang tak kalah penting adalah kandang komunal.
Awalnya, pembangunan kandang komunal hanya ingin mengatasi masalah
lingkungan dan kesehatan. Kandang komunal dan digester hanya bertujuan

Pelatihan pembuatan
pakan ternak, pupuk
berbasis alfaafa
pada akhir tahun
2013 bekerjasama
dengan Dr.Ir.H
Nugroho Widiasmadi
M.Eng. di Lokasi
Kandang Desa
Asinan Kabupaten
Semarang.

85
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

melokalisasi limbah sapi sehingga tidak mengotori lingkungan. Ternyata, digester


kandang komunal juga bisa menghasilkan biogas sebagai alternatif energi ramah
lingkungan. Banyak peternak pun beralih dari gas bersubsidi. Kandang komunal,
secara ekonomis, mampu pula mengubah pola kepemilikan ternak secara

Pola Pengembangan Klaster Penggemukan


Sapi dan Sapi Perah
SINERGI PENGEMBANGAN HASIL
PENGGEMUKAN SAPI DAN
1. Kantor Perwakilan SAPI PERAH 1. Sejak 2012, volume
Bank Indonesia produksi sapi perah naik
Wilayah V (Jawa 1. Program pengembangan 81,82 persen, dari 2.200 liter
Tengah dan klaster sapi potong dan perah. menjadi 4.000 liter per hari.
Yogyakarta).
2. Bantuan Program Sosial 2. Produksi sapi potong
2. Pemerintah Bank Indonesia (PSBI) untuk mencatat kenaikan berat sapi
Provinsi Jawa sapi perah berupa kandang hidup rata-rata 113,82 persen,
Tengah, Pemerintah komunal, alat perah portable, dari 304 kilogram menjadi 650
Kabupaten pembibitan Alfaafa. Bantuan kilogram.
Semarang, Provinsi PSBI untuk klaster sapi potong
Jawa Tengah. berupa kandang komunal. 3. Jumlah tenaga kerja di
klaster sapi potong naik 73,17
3. Dinas Peternakan 3. Fasilitasi pelatihan, persen, seiring meningkatnya
dan Kesehatan pendampingan, studi banding, populasi sapi sebesar 52
Hewan, Dinas penelitian dan diseminasi. persen. Jumlah tenaga kerja
Perindustrian dan di klaster sapi perah naik 2,22
Perdagangan, 4. Penerapan Villa Sapi tata persen seiring bertambahnya
Dinas Koperasi dan niaga showroom. Transaksi jual populasi sapi indukan
UMKM, Kanwil BPN, beli dengan menimbang sapi. sebanyak 5,1 persen.
BPTP, Pemerintah
Kabupaten 5. Pembentukan kandang 4. Serapan Kredit Usaha
Semarang, PT BRI komunal guna mengubah pola Pembibitan Sapi (KUPS) dan
dan PT Bank Jateng. kepemilikan ternak menjadi Kredit Ketahanan Pangan
kepemilikan kelompok dan Energi (KKPE) naik, yaitu
4. Industri Pengolah (korporasi) dan menjamin Rp 37 miliar (2011), Rp 42
Susu (IPS) dan keuntungan peternak miliar (2012), dan Rp 46 miliar
Rumah Pemotongan sekaligus meminimalkan risiko. (2013).
Hewan (RPH).
6. Penyusunan cetak biru 5. Terciptanya diversifikasi
(blueprint) klaster sapi perah produk susu dan memikat
dan sapi potong, mencakup industri pengolahan susu
sumber daya manusia, untuk bermitra.
infrastruktur, organisasi,
manajemen dan rencana kerja.

86
Komoditi Sapi | Peningkatan Produksi

individu menjadi kepemilikan kelompok (korporasi). Kandang korporasi ini bisa


menjamin keuntungan peternak sekaligus meminimalkan risiko.

Pengembangan alternatif pakan dan pemeliharaan dengan kandang


komunal boleh jadi tak akan banyak berarti tanpa perbaikan akses pasar. Untuk
permasalahan ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V menopang
dengan penerapan Villa Sapi di SMK 1 Bawen. Mensinergikan kelompok
peternak, akademisi, dan perbankan, guna menerapkan tata niaga model
showroom. Di sini, transaksi tidak lagi konvensional melalui blantik (calo jual beli
ternak) yang hanya melihat fisik hewan. Transaksi pada model showroom lebih
transparan dan bisa dipertanggungjawabkan, yaitu dengan menimbang sapi.
Selain membuka akses pembiayaan perbankan, tata niaga ini juga menciptakan
daya saing usaha kelompok.

Di sisi lain, bagi peternak sapi perah, berhasil pula melakukan diversifikasi
produk susu. Sebagian kelompok peternak bisa menghadirkan produk olahan
berbahan susu seperti seperti es krim, yogurt, susu pasteurisasi, permen, dodol,
stik, kerupuk, dan aneka sabun susu padat dan cair. Produk susu klaster yang
dikelola Gapoktan Banyu Aji bahkan telah memikat industri pengolahan susu
seperti PT Indolakto, CV Cita Nasional, PT Cimory untuk bermitra.

Secara keseluruhan, program pengembangan klaster yang diinisiasi Kantor


Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V, dan bersinergi dengan instansi terkait di
daerah, memperlihatkan hasil menggembirakan. Sejak 2012 volume produksi
sapi perah naik 81,82 persen, dari 2.200 liter menjadi 4.000 liter per hari.
Sedangkan produksi sapi potong mencatat kenaikan berat sapi hidup rata-rata
113,82 persen, dari 304 kilogram menjadi 650 kilogram. Harga jual pun naik 8,4
persen, dari Rp 32.750 menjadi Rp 35.500 per kilogram.

Kandang komunal
Ranch, Bantuan PSBI
2013 dalam rangka
pembibitan sapi
potong, mendukung
swasembada daging,
dan dikelola secara
corporate, dari
KPPE PT. BRI di desa
Polosiri, Kabupaten
Semarang.

87
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Bersamaan dengan itu, geliat perekonomian di wilayah klaster mulai


tampak. Rata-rata peningkatan biaya hidup sebesar 12,05 persen, seiring
dengan peningkatan pendapatan. Jumlah tenaga kerja di klaster sapi potong
meningkat 73,17 persen, seiring dengan meningkatnya populasi sapi sebesar
52 persen. Di klaster sapi perah, jumlah tenaga kerja naik 2,22 persen sejalan
dengan peningkatan populasi sapi indukan sebanyak 5,1%. Peningkatan tenaga
kerja diharapkan membantu mengurangi urbanisasi.

Serapan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Ketahanan Pangan
dan Energi (KKPE) untuk klaster sapi juga naik. Pada 2011 terserap Rp37 miliar,
2012 terserap Rp42 miliar, dan 2013 menjadi Rp46 miliar. Sejak dikembangkan,
rata-rata peningkatan penyerapan kredit tiap tahun sebesar 15 persen. Apalagi
Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberikan subsidi sertifikasi tanah secara
massal, sebagai jaminan agar peternak dapat memperoleh KKPE. Pada 2013
prona (program nasional sertipikasi tanah) mensertifikasi 1.000 bidang, dan pada
2014 rencananya mensertifikasi 2.500 bidang.

Blueprint
Tercapainya peningkatan produktivitas sapi perah dan sapi potong, penguatan
kelembagaan, serta keterbukaan akses pasar dan pembiayaan tersebut tentu
tak lepas dari strategi dan rencana strategis yang diterapkan secara konsisten.
Ini merupakan poin penting pencapaian klaster. Lantaran itu dirasa perlu untuk
menyusun standar dan aturan pendukung sebagai acuan utama sehingga bisa
diadaptasi secara lebih sistematik dan terpadu. Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah V pun berinisiatif membuat sebuah cetak biru (blueprint) pengembangan
klaster sapi perah dan sapi potong. Blueprint ini mencakup pengembangan
sumber daya manusia, pengembangan infrastruktur, organisasi, manajemen dan
rencana kerja.

Kerjasama sinergis dan koordinatif antar stakeholder terkait ditopang


modal sosial yang sudah terbentuk tadi, sulit dipungkiri merupakan hasil
menggembirakan dari program pengembangan klaster penggemukan sapi dan
sapi perah. Dalam pelaksanaannya, sulit pula dibantah, alternatif pakan ternak
murah dan ramah lingkungan (MA-11), kandang komunal, serta tata niaga Villa
Sapi dengan model showroom, menjadi kunci sukses program pengembangan
klaster. Dampaknya pun tak sedikit. Mulai dari peralihan penggunaan bahan
bakar masyarakat setempat dari gas bersubsidi ke biogas untuk kebutuhan
sehari-hari sampai peningkatan wawasan pengetahuan dan kesejahteraan
peternak. Akses finansial dan pembiayaan perbankan pun jadi lebih terbuka.

Tak heran kalau program pengembangan klaster hasil sinergi inisiatif Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V ini berhasil meraih sejumlah apresiasi. Salah
satunya sebagai Klaster Unggulan UMKM 2013 dari Gubernur Bank Indonesia,

88
Komoditi Sapi | Peningkatan Produksi

pada September 2013. Berhasil pula meraih Juara Kedua Lomba Kelompok Ternak
Nasional 2013. Sebelumnya meraih juara pula di tingkat regional. Namun apresiasi
terpenting adalah dijadikannya klaster sapi Kabupaten Semarang sebagai pusat
studi dari daerah lain. Sejumlah Kantor Perwakilan Bank Indonesia lain, seperti
Gorontalo (bersama Gubernur Gorontalo), Pontianak, Riau, Kalimantan Selatan,
Banjarmasin, Bandung, DI Aceh, Denpasar, dan Sulawesi, tercatat pernah melakukan
studi di Kabupaten Semarang.

Studi-studi dari daerah lain itu tentu saja membawa harapan pengembangan
klaster penggemukan sapi dan sapi perah bisa diterapkan di daerah masing-
masing, dan mencapai keberhasilan yang sama. Keberhasilan inilah yang diyakini
bisa menginsipirasi regulator untuk mereplikasi di seluruh wilayah Indonesia.
Tujuan akhirnya, tentu saja tak hanya membantu mengendalikan inflasi, tapi juga
mengurangi ketergantungan terhadap impor sapi. n

89
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

A.2. Penggemukan Sapi Berorientasi Bisnis Bermodal Mindset


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat

Salah satu upaya pemerintah mengokohkan ketahanan pangan nasional


adalah menggulirkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014.
Program yang dicanangkan pada 2005 itu bisa dibilang sudah lama diimpikan
masyarakat. Swasembada bukan hanya akan menekan ketergantungan terhadap
impor, baik sapi bakalan maupun daging sapi. Tapi juga memaksimalkan seluruh
potensi dalam negeri.

Sejumlah kalangan juga meyakini swasembada daging akan menghadirkan


banyak keuntungan dan nilai tambah, bagi peternak maupun masyarakat
sebagai konsumen. Bagi petani, jelas, swasembada akan mendorong
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Bagi pemerintah, swasembada
dengan sendirinya bisa menghemat devisa sekaligus berpeluang menyerap
tenaga kerja baru serta optimalisasi potensi ternak sapi lokal. Sedangkan
bagi masyarakat sebagai konsumen, swasembada bakal lebih memastikan
ketersediaan daging di pasar dengan harga yang terjangkau.

Swasembada daging sapi, mengacu pada pemahaman versi organisasi


pangan dan pertanian dunia (Food and Agriculture Organization of the United
Nations/FAO), sudah dianggap tercapai apabila impor daging sapi berada di
bawah 10 persen dari kebutuhan daging nasional. Mempertimbangkan fakta
ini, keberhasilan program swasembada daging sapi banyak bergantung pada
partisipasi masyarakat peternak sapi potong serta pelaku peternakan sapi
potong lainnya.

Semangat dan optimisme pencapaian swasembada daging sapi memang


harus terus dikobarkan. Kendati begitu, harus diakui pula, hingga kini
ketergantungan terhadap daging impor masih tinggi. Bahkan berdampak
pula pada gejolak harga daging sapi lokal. Selain berpotensi mengurangi
pendapatan peternak, gejolak harga daging sapi berpeluang pula menjadi
pemicu laju inflasi. Masalah lain yang juga disebut-sebut jadi kendala adalah
pola ternak rakyat. Sebagian besar peternak rakyat masih beternak dengan
konsep seadanya, sebagai usaha sambilan. Belum beternak secara modern,
sebagai usaha atau bisnis untuk kesejahteraan.

Klaster Sapi
Semua permasalahan tersebut tentu tidak bisa dibiarkan. Solusinya bisa dimulai
dengan mengubah pola pikir peternak untuk menjadikan usaha ternak sapi
sebagai usaha dan bisnis guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat pun berinisiatif
dengan mengembangkan program klaster ternak sapi di Desa Senayan,

90
Komoditi Sapi | Peningkatan Produksi

Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, pada 2011.

Di masa-masa awal program pengembangan klaster ternak sapi, pemikiran


peternak tradisional tak banyak berubah. Bahkan, program klaster sendiri
masih dianggap sekadar program bantuan biasa. Pemikiran seperti ini justru
muncul di lokasi di mana pengembangan klaster akan dilakukan. Fenomena
tersebut menunjukkan selama ini kelompok hanya sebagai penerima bantuan
tanpa diikuti pola pendampingan dan pemberdayaan secara intensif. Selain itu,
saat program klaster dimulai, jelas kelembagaan kelompok sangat lemah dan
lahirnya kelompok tersebut bukan atas dasar kesadaran.

Memang, untuk merubah pola pikir masyarakat menjadikan program sebagai


kegiatan berbasis partisipasi merupakan tantangan berat. Butuh waktu cukup
lama. Namun jika melihat sumber daya manusia dan sumber daya alam yang
ada, merupakan peluang besar yang dapat dikembangkan secara partisipatif
menjadi sektor peternakan berorientasi bisnis bagi kelompok peternak. Apalagi
Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah pula mencanangkan program Bumi Sejuta
Sapi sejak 2009. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat
pun optimistis program klaster bisa memberikan hasil positif.

Berbekal perjanjian kesepahaman dan kesepakatan dengan Pemerintah


Kabupaten Sumbawa Barat, sejumlah inisiatif dan fasilitasi mulai dilakukan.
Sejumlah langkah pun ditentukan untuk menghasilkan induk produktif, seperti
memperpendek jarak beranak (satu induk, satu anak, satu tahun), menurunkan
pemotongan betina produktif, pengendalian ekspor bibit, penurunan kematian
pedet, penguatan basis budidaya, kandang kolektif serta integrasi tanaman pakan.

Sedangkan kegiatan yang dilakukan adalah peningkatan kapasitas kelompok


menuju Kelompok Champion, pengembangan teknologi ternak, peningkatan
sarana prasarana (infrastruktur) pendukung, serta pengembangan pakan ternak.
Kegiatan yang dilakukan pada tahun 2012 ini tidak lain merupakan persiapan
sebelum klaster benar-benar dikembang. Memasuki tahun 2013, dimulailah
tahap pemantapan klaster. Sejumlah kegiatan penting mulai dilakukan. Yaitu;
peningkatan kapasitas kelompok karena masih ada anggota kelompok yang
belum aktif, pengenalan manajemen peternakan, pembangunan sarana dan
prasarana di empat kelompok plasma, penguatan kelembagaan lewat forum
komunikasi, pengembangbiakan produksi serta pemasaran.

Semua kegiatan tersebut tentunya dilakukan dengan target-target pencapaian


tertentu. Target pertama tak lain mengubah pola pikir dan penyadaran menuju
peternakan yang berorientasi bisnis. Kelompok klaster dan plasma diarahkan
menjadi kelompok champion sehingga mampu menjalankan manajemen
kelompok dengan baik sehingga usaha ternak dikelola secara profesional.
Sedangkan melalui bantuan teknis diharapkan manajemen ternak yang baik,

91
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

termasuk soal kesehatan hewan dan pakan, bisa diaplikasikan. Secara keseluruhan,
pengembangan manajemen ternak pada klaster tersebut, akan meningkatkan
pendapatan dan manfaat finansial melalui pendampingan yang intensif.

Perlahan tapi pasti, pengembangan klaster ternak sapi mulai terlihat. Apalagi
setelah kegiatan-kegiatan penting lain dilakukan. Salah satunya dengan mulai
lahirnya produk-produk turunan seperti pupuk organik, pakan konsentrat, serta
produk olahan. Dari sisi kelembagaan mulai terbentuk koperasi dan diskusi-diskusi
dengan instansi terkait. Hal lain yang tidak kalah penting adalah ketika kelompok
mulai terhubung dengan perbankan, terkait pengembangan modal usaha.

Perubahan paradigma dan pola pikir peternak dalam program klaster


sangat terasa. Perubahan yang diawali dengan praktik langsung, khususnya
terkait penerapan manajemen ternak dan kelembagaan, kini sudah menjadi
kegiatan rutin. Anggota kelompok yang terlibat, secara umum sudah melakukan
pola pengembangan manajemen ternak dan pakan secara profesional. Jika
sebelumnya belum ada demplot (demonstration plot) untuk Hijauan Makanan
Ternak (HMT), kini anggota kelompok sudah mengembangkan HMT di lahan
masing-masing. Kelompok program klaster pun sudah memahami siklus usaha
ternak, termasuk perputaran jumlah ternak yang dijual dan hasil yang diperoleh
dari penggemukan. Upaya penggemukan sudah dilakukan dengan pakan
legume (lamtoro dan turi) dan hasilnya dapat dinikmati setelah tiga sampai
empat bulan ke depan.

Keterampilan anggota klaster dalam mengelola manajemen ternak pun


semakin baik. Sistem penggemukan, pengembangbiakan, pemberian pakan
serta penanganan kesehatan ternak kini jauh lebih baik. Apalagi diperkuat
dengan kelengkapan kebutuhan pendukung kegiatan klaster, baik di kelompok
champion maupun plasma. Kelompok pun sudah pula merasakan keuntungan
ekonomi, termasuk dampaknya terhadap peningkatan pendapatan anggota
kelompok, dari peternakan sapi yang berorientasi bisnis.

Mindset
Keberhasilan tersebut tak pelak merupakan hasil dari perubahan mindset
atau pola pikir setiap anggota kelompok klaster. Perubahan pola pikir dari
usaha ternak sambilan menjadi usaha yang berorientasi bisnis bisa dipastikan
menjadi kunci sukses program klaster penggemukan sapi. Tingginya kesadaran
berkelompok baik Kelompok champion maupun kelompok plasma tentunya
bisa menjadi contoh sekaligus memotivasi kelompok yang belum memperoleh
manfaat secara ekonomi.

Penggemukan ternak sapi dengan pola kandang serta pemberian pakan


legume melalui HMT, saat ini telah dirasakan khususnya anggota kelompok Senap
Semu dan Lemak Jati. Nilai yang telah diperoleh sampai sat ini sudah mencapai

92
Komoditi Sapi | Peningkatan Produksi

sekitar Rp 78 juta dari ternak yang di jual melalui pola pengandangan. Melalui
aksi yang telah dilakukan kelompok Senap Semu diharapkan menjadi usaha yang
berkelanjutan dan menjadikan usaha tersebut berkembang dan diikuti kelompok
plasma. Terkait pemberian pakan, kelompok sudah merasakan manfaatnya,
antara lain mampu memperoleh kenaikan berat badan ternak sekitar 0,3 kilogram
sampai 0,5 kilogram dengan waktu pemeliharaan tiga sampai empat bulan. Di sisi
kesehatan ternak pun kelompok menyadari pentingnya kesehatan ternak yang
berdampak pada harga sapi hasil penggemukan.

Seiring dengan program Bumi Sejuta Sapi yang dicanangkan Pemerintah


Provinsi Nusa Tenggara Barat, serta dukungan program klaster yang dikembangkan
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat, laju inflasi
akan bisa ditekan. Setidaknya melalui pemenuhan kebutuhan daging ditingkat
provinsi. Harga daging pun diarahkan untuk terus mencapai keseimbangan dan
stabil, sehingga bukan hanya menekan inflasi tapi juga mampu meningkatkan
pendapatan masyarakat, khususnya peternak.

Program pengembangan klaster penggemukan sapi di Nusa Tenggara


Barat secara keseluruhan memang memberikan hasil positif. Kendati begitu
keberhasilan yang dicapai bukan alasan untuk berhenti mengembangkan klaster.
Program klaster masih bisa terus dioptimalkan dan dikembangkan sampai benar-
benar mandiri. Upaya-upaya ke arah kemandirian tersebut dapat dilakukan antara
lain dengan menjadikan kelompok champion sebagai tempat belajar kelompok
lain, di Kabupaten Sumbawa Barat.

Selain itu penerapan teknologi-teknologi baru terkait manajemen peternakan


perlu terus dilakukan melalui bantuan teknis serta pendampingan dari
stakeholders, baik Pemerintah Kabupaten maupun instansi lain terkait. Sedangkan
optimalisasi kelompok klaster bisa dilakukan dengan pembentukan laboratorium
lapangan atau unit demonstrasi untuk mendemontrasikan praktek usaha ternak
yang baik. Penyebaran dan diseminasi informasi terkait capaian-capaian kelompok
klaster perlu dilakukan secara berkala, sehingga bisa diharapkan menjadi model
dan diaplikasikan di daerah lain.

Semua upaya tersebut, pada gilirannya, diharapkan menjadikan program


pengembangan klaster penggemukan sapi yang berorientasi bisnis inisiasi Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat, mampu memberikan
kontribusi penting setidaknya dalam upaya pengendalian inflasi daerah. Apalagi,
Provinsi Nusa Tenggara Barat sendiri sampai saat ini dikenal sebagai daerah
peternak sapi, sumber ternak bibit dan ternak potong. Setiap tahunnya provinsi
ini mampu menyediakan 12 ribu ekor bibit sapi untuk 14 provinsi di Indonesia.
Ditambah dengan daya dukung alamnya yang cocok untuk pengembangan sapi,
potensi sapi Nusa Tenggara Barat jelas tak bisa dipandang sebelah mata untuk
berkontribusi dalam pencapaian swadaya daging sapi nasional. n

93
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Pola Pengembangan Klaster


Penggemukan Sapi
SINERGI PENGEMBANGAN KLASTER HASIL
PENGGEMUKAN SAPI
1. Kantor Perwakilan 1. Perubahan paradigma dan
Bank Indonesia 1. Persiapan klaster berupa pola pikir peternak terlihat
Provinsi Nusa penyadaran dan mengubah dalam penerapan manajemen
Tenggara Barat. pola pikir masyarakat untuk ternak dan kelembagaan,
menjadikan klaster berbasis kini menerapkan manajemen
2. Pemerintah partisipasi dan berorientasi ternak dan pakan secara
Kabupaten bisnis. profesional.
Sumbawa Barat,
Provinsi Nusa 2. Peningkatan kapasitas 2. Peternak sudah memahami
Tenggara Barat, dan kelompok menuju Kelompok siklus usaha ternak, termasuk
dinas terkait. Champion, pengembangan perputaran ternak yang dijual
teknologi ternak, peningkatan dan hasil yang diperoleh.
sarana prasarana pendukung, Penggemukan dilakukan
serta pengembangan pakan dengan pakan legume
ternak. (lamtoro dan turi).

3. Pemantapan klaster berupa 3. Kenaikan berat badan


pengenalan manajemen ternak mencapai sekitar 0,3
peternakan, pembangunan kilogram sampai 0,5 kilogram
sarana dan prasarana, dengan waktu pemeliharaan
penguatan kelembagaan tiga sampai empat bulan.
lewat forum komunikasi,
pengembangbiakan produksi 4. Nilai penjualan ternak yang
serta pemasaran. telah diperoleh mencapai
Rp 78 juta.

5. Hijauan Makanan Ternak


(HMT), kini dikembangkan
anggota kelompok lahan
masing-masing.

94
Komoditi Sapi | Peningkatan Produksi

Proses penyadaran
sapi melalui
Posyandu ternak.

Aksi pengembangan
HMT (Hijauan
Makanan ternak)
Lamtoro di Lahan
anggota Kelompok.

95
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

B. Metode Pembibitan

Mengubah Makna Rojokoyo dengan Klaster Pembibitan Sapi


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV (Jawa Timur)

Sapi adalah harta. Begitulah umumnya anggapan masyarakat pedesaan di


Pulau Jawa. Turun temurun sapi dianggap rojokoyo alias hewan ternak sebagai
harta tak bergerak. Biasanya, semakin banyak memiliki rojokoyo, semakin tinggi
pula simbol status sosial sang pemilik. Barangkali lantaran itu pula kegiatan
beternak sapi tak ubahnya pekerjaan sampingan bagi masyarakat desa. Mata
pencaharian utamanya tetap bertani dengan porsi terbesar pertanian tanaman
pangan. Dan ketika menghadapi kebutuhan mendesak, sapi sebagai harta
simpanan, jadi pilihan pertama dijual.

Suasana seperti itulah yang sampai sekitar dua tahun lalu masih terasa di Desa
Napis, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Padahal,
desa yang terletak di sisi selatan Kabupaten Bojonegoro ini menyimpan potensi
besar peternakan sapi modern dan terintegrasi. Mungkin karena dianggap bisa
mendongkrak status sosial, populasi sapi di desa tersebut juga cukup banyak,
mencapai lebih dari 2.500 ekor. Jumlah ini tentunya merupakan modal besar
untuk mengoptimalkan potensi peternakan sapi di Desa Napis.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV (Jawa Timur), sebagai lembaga


yang bertanggungjawab mengendalikan infasi di daerah kerja, menilai potensi

96
Komoditi Sapi | Metode Peningkatan Produksi

sapi di Desa Napis bisa pula dimanfaatkan sebagai pendukung ketersediaan


daging sapi di Jawa Timur. Di Kabupaten Bojonegoro sendiri sektor ekonomi
yang mengalami pertumbuhan besar pada 2010 adalah pertambangan. Sektor
pertanian dan peternakan justru tumbuh lebih rendah. Padahal sebagian besar
masyarakat Bojonegoro berkiprah di sektor ini.

Maka sejak 2010, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV pun gencar
melakukan pemetaaan. Kajian terhadap kondisi dan potensi Desa Napis serta
pendekatan terhadap masyarakat dilakukan dalam waktu tiga bulan. Pemetaan
dan kajian tersebut akhirnya menghasilkan data kondisi desa, profil masyarakat
untuk program peningkatan pengetahuan, keterampilan dalam teknis
peternakan dan kelembagaan, serta terbentuknya cikal bakal koperasi yang
menjadi soko guru pengembangan perekonomian warga peternak.

Pembibitan Sapi Potong


Bermodal hasil pemetaan dan kajian itu Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah IV berinisiatif melakukan sinergi untuk mengoptimalkan besarnya
populasi sapi di Desa Napis yang belum tersentuh pola agribisnis peternakan
terintegrasi. Sinergi pun terjalin antara Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Wilayah IV, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, dan Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya, untuk menggulirkan proyek percontohan pengembangan
klaster pembibitan sapi potong di Desa Napis. Alasan sinergi pun tak kepalang
tanggung. Selain memaksimalkan keunggulan potensi sapi lokal, Desa Napis
juga diharapkan menjadi daerah penyedia bakalan sapi untuk mendukung
program swasembada daging nasional yang dicita-citakan terwujud tahun 2014.

Langkah-langkah pengembangan klaster pembibitan sapi potong pun mulai


dilakukan pada 2011. Program rintisan pun digulirkan. Salah satunya membentuk
kelembagaan agribisnis pembibitan sapi dengan membudidayakan pupuk
organik dan kemandirian pakan ternak. Bersamaan dengan itu, terbangun pula
budaya pengelolaan dan pemanfaatan pupuk organik dari limbah sapi serta
tata laksana pakan yang baik. Program rintisan ini segera memperlihatkan hasil
berupa terbentuknya kesadaran dan kemauan masyarakat setempat membentuk
kelompok ternak di lingkungannya. Berdirinya Koperasi Serba Usaha (KSU)
Lembu Seto, yang kini mempunyai 109 anggota, sebagai koperasi pertama di
Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro, adalah bukti meningkatnya
kesadaran masyarakat.

Kelahiran KSU Lembu Seto bahkan bisa dibilang bermodal utama semangat
masyarakat Desa Napis yang mulai menggebu memutar uang dari bisnis
sapi. Berangkat dari ide dan tukar pikiran, akhirnya tercetuslah pembentukan
KSU Lembu Seto, yang akhirnya berdiri pada Juni 2011. KSU ini sejak berdiri
sudah memiliki empat unit usaha yang dijalankan, yaitu Divisi Toko Pertanian
dan Peternakan, Divisi Pakan dan Peternakan Sapi, Divisi Pupuk Organik, dan

97
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Divisi Simpan Pinjam. Strategi yang dijalankan dalam pengembangan KSU ini
didasarkan kepada prinsip dasar koperasi; dari, oleh, dan untuk anggota.

Seiring berjalannya waktu, memasuki tahun 2012 program penguatan


dijalankan. Salah satunya berupa penguatan klaster dengan pengembangan
sistem agribisnis sapi dan penguatan kelembagaan yang berorientasi profit.
Pada tahun ini mulai terjadi peningkatan jumlah aset dan investasi berupa sapi
potong. KSU yang dibentuk pun mulai mampu menghasilkan keuntungan dari
unit produksinya. Jaringan produksi dan pemasaran di dalam klaster pun makin
terkoordinasi. Sejumlah bantuan terkait pengembangan klaster mulai mengalir.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV mulai menyalurkan dana


Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) sebagai bantuan melalui KSU Lembu Seto.
Bentuk bantuan antara lain satu unit mesin chopper, satu unit mesin hammer
mill, dan satu unit mesin mixer dengan kapasitas masing-masing 200 kilogram
per jam. Ketiganya merupakan alat pengolah pakan ternak untuk memastikan
ketersediaan dan kontinuitas pakan berkualitas bagi sapi. Desa Napis memang
dikenal pula memiliki area pertanian luas dan limbah pertanian pun melimpah.
Sebut saja jerami kacang panjang, jerami kedelai, jerami padi, dan jerami jagung.
Sebelum ada bantuan alat pengolahan pakan, semua limbah itu hanya dibakar.
Kini, limbah pertanian itu dimanfaatkan untuk pakan ternak masyarakat desa.

Guliran bantuan alat-alat penunjang tentu saja tak berhenti begitu saja.
Bantuan ini dilanjutkan dengan pendirian kandang percontohan. Bukan
sekadar kandang. Di dalam kandang percontohan ini sudah termasuk pula
rumah pakan dan rumah pupuk. Bahkan fasilitas digester (ruangan dalam tanah
untuk mengubah kotoran sapi jadi biogas) dan instalasi biogas, tak ketinggalan
disiapkan guna memberi nilai tambah ekonomi pada bisnis peternakan sapi.
Kandang percontohan pun langsung diisi dengan delapan ekor sapi bakalan,
dua ekor pejantan, dan dua ekor pejantan pemacek, serta stimulus berupa
kandang penjepit untuk proses kawin sapi.

Terkait kegiatan pengembangan klaster pembibitan sapi, Kantor Perwakilan


Bank Indonesia Wilayah IV tidak hanya memikirkan kelengkapan sarana dan
prasarana proses produksi. Hal penting lain yang mendapat perhatian adalah
menciptakan nilai tambah dari rantai bisnis peternakan sapi, yaitu pupuk organik.
Maka diberikan pula bantuan berupa satu unit disk mill dengan kapasitas 200
kilogram per jam serta satu unit mesin jahit zak. Kedua mesin tersebut dimanfaatkan
untuk mengolah sekaligus mengemas pupuk kandang hasil pengolahan dari
limbah sapi. Pupuk organik kemasan karung plastik itu memiliki berat sekitar 35
kilogram sampai 40 kilogram per sak.

98
Komoditi Sapi | Metode Peningkatan Produksi

Pola Pengembangan Klaster


Pembibitan Sapi
SINERGI PENGEMBANGAN KLASTER HASIL
PEMBIBITAN SAPI
1. Kantor Perwakilan 1. Populasi sapi di lokasi
Bank Indonesia 1. Proyek pengembangan klaster bertambah menjadi
Wilayah IV (Provinsi klaster pembibitan sapi 3.000 ekor, naik 30 persen.
Jawa Timur). potong.
2. Ketersediaan pakan lebih
2. Pemerintah 2. Pembentukan kelembagaan terjamin. Petani mampu
Kabupaten agribisnis pembibitan sapi membuat jerami amoniasi dan
Bojonegoro, Provinsi dengan budidaya pupuk fermentasi untuk pakan ternak.
Jawa Timur. organik dan kemandirian
pakan. 3. Terciptanya nilai tambah
3. Fakultas dari rantai bisnis peternakan
Peternakan 3. Pelatihan dan peningkatan sapi, yaitu pupuk organik.
Universitas soft skill teknis peternakan.
Brawijaya. 4. Pupuk organik kemasan
4. Pendirian kandang karung plastik dijual dengan
percontohan, termasuk rumah kisaran harga Rp 12.500 per
pakan, rumah pupuk, digester, kilogram sampai Rp 10 ribu
dan instalasi biogas. per kilogram.

5. Program Sosial Bank


Indonesia (PSBI) berupa mesin
chopper, mesin hammer mill,
dan mesin mixer.

99
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Pupuk organik kemasan karung plastik ini kemudian dijual. Harga yang
ditentukan bergantung pada cara pembayaran. Jika pembayaran dilakukan
pada saat panen, harga maksimal ditetapkan Rp12.500 per kilogram. Sedangkan
jika pembayaran dilakukan sebelum masa panen harganya dipatok Rp10 ribu
per kilogram.

Memang, ada kalanya permintaan pupuk organik dari luar daerah sangat
minim. Di saat-saat itulah, pupuk kandang dimaksimalkan untuk memenuhi
kebutuhan pupuk organik petani di wilayah Desa Napis dan sekitarnya saja. Bagi
petani yang tidak memiliki sapi, pupuk kandang hasil kotoran sapi yang diolah
dan difermentasi dijual dengan harga sangat murah. Tak jarang pula gratis. Bagi
petani yang mempunyai sapi, diajarkan cara mengolah kotoran sapi menjadi
pupuk organik berkualitas.

Soft Skill
Pelatihan dan peningkatan soft skill teknis peternakan dan penguatan
kelembagaan diyakini menjadi kunci sukses program pengembangan
klaster pembibitan sapi, sehingga bisa memperlihatkan hasil sesuai harapan.
Pelaksanaan tata pemeliharaan sapi potong dan peningkatan populasi sapi
dengan sistem setiap tahun beranak satu kali, benar-benar membuahkan hasil.
Memasuki tahun kedua program, populasi sapi di lokasi klaster bertambah
menjadi 3.000 ekor. Jumlah ini merupakan kenaikan sebesar 30 persen
dibanding tahun 2011. Keberhasilan program klaster tersebut juga dibarengi
dengan kemampuan peternak setempat memanfaatkan limbah ternak menjadi
pupuk organik. Pupuk tersebut juga mampu dimanfaatkan dengan baik untuk
mendukung pertanian masyarakat sekitar Bojonegoro.

Peternak klaster kini mampu membuat jerami amoniasi dan jerami fermentasi
untuk pakan ternak. Pembuatan ini menjawab kebutuhan pakan sebagai bahan
utama pembibitan sapi yang selama ini belum terintegrasi dan dilakukan
secara serius. Ketersediaan pakan menjadi lebih terjamin. Bahan kemampuan
pembuatan pupuk organik dari limbah sapi dan aplikasinya pada pertanian
terbukti mampu menopang pertanian tanaman pangan masyarakat setempat.
Penguatan kelembagaan juga mencatat keberhasilan dengan diterapkannya
manajemen koperasi dan administrasi yang tertata.

Klaster pembibitan sapi di Desa Napis memang hanya sebagian kecil dari fakta
perbincangan pelik dan banyak pro-kontra komoditas daging sapi di Indonesia.
Tapi di Desa Napis, di sebuah kawasan pinggiran Bojonegoro yang butuh lima
jam perjalanan darat untuk menjangkaunya, semangat memacu pembibitan
sapi tak pernah berhenti. Mimpi mulia menggapai swasembada daging sapi
tak pernah padam. Langkah kecil Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV
berupa pengembangan klaster pembibitan sapi lokal di Desa Napis diharapkan
bisa menjadi model pembibitan sapi masyarakat yang direplikasi di daerah lain.

100
Komoditi Sapi | Metode Peningkatan Produksi

Replikasi, diperkuat dukungan dari berbagai pihak terkait, dipercaya bakal


menggabungkan langkah-langkah kecil tadi menjadi sebuah langkah besar. Secara
ekonomis, langkah besar itu tidak hanya menguntungkan peternak pembibit,
peternak penggemukan, pemotong, penjual daging dan produsen. Langkah
besar itu diprediksi mampu pula melipatgandakan kepemilikan rojokoyo dengan
mengubah makna tradisionalnya menjadi lebih luas dan positif. Peningkatan
populasi sapi adalah rojokoyo yang mengangkat status sosial Indonesia di mata
dunia, berdaya saing sekaligus berketahanan pangan. Semoga. n

Sapi Pejantan Pemacek


Unggul jenis Peranakan
Ongole (PO) yang
disediakan untuk
kegiatan pembibitan
bagi anggota Klaster
Pembibitan Sapi
Potong di Desa Napis,
Kec. Tambakrejo, Kab.
Bojonegoro.

Pengemasan pupuk
kandang secara manual
di kandang percontohan
Klaster Pembibitan Sapi
Potong di Desa Napis,
Kec. Tambakrejo, Kab.
Bojonegoro.

Kantor KSU Lembu


Seto di Desa Napis,
Kec. Tambakrejo,
Kab. Bojonegoro.

101
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

C. Metode Integrasi dengan Kebun Sawit

Zero Waste Menyatukan Kelapa Sawit dan Sapi


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau

Sapi dan kelapa sawit. Sepintas, kedua komoditas tersebut tidak saling terkait.
Namun, di Provinsi Riau, ceritanya bisa berbeda. Provinsi Riau selama ini dikenal
sebagai salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia. Luas lahan
perkebunan sawitnya mencapai 2,3 juta hektar atau setara dengan 27,26 persen
dari seluruh wilayah Riau. Luasan tersebut menggambarkan besarnya potensi
ekonomis kelapa sawit, yang tentunya berpengaruh pula pada perekonomian
dan pola konsumsi masyarakat setempat.

Ketika harga kelapa sawit melambung dan produksi melimpah, tingkat


konsumsi masyarakat juga mengalami peningkatan. Sebaliknya, ketika harga
kelapa sawit dan produksi menurun, perekonomian lesu. Permintaan barang
dan tingkat konsumsi juga menurun drastis bahkan kredit macet meningkat.
Tingginya ketergantungan perekonomian dan masyarakat Riau kepada kelapa
sawit dapat menjadi bumerang apabila tidak ditangani secara baik. Pasalnya ini
terkait erat dengan jangka waktu tercapainya nilai ekonomis kelapa sawit, yaitu
selama lima tahun.

Selama kurun itulah sumber pendapatan petani sangat terganggu.


Terutama petani yang belum memiliki perencanaan keuangan dan tabungan
yang mencukupi selama masa-masa sulit ini. Masalahnya bisa menjadi lebih
pelik manakala diikatkan dengan pola perilaku petani antara lain lebih suka
memegang uang cash (tunai). Bahkan, menyimpan uang di bawah bantal, di
dalam lemari, sampai di atap rumah menjadi hal yang lumrah. Tidak jarang
pula melakukan pembelian barang konsumsi seperti mobil non niaga secara
tunai ketika harga sawit naik. Keterbatasan akses kepada lembaga keuangan
masih sangat terbatas. Jauhnya lokasi bank, prosedur yang rumit, bahkan rasa
sungkan seringkali menjadi alasan.

Kebiasaan itu memunculkan masalah baru pada saat usia kelapa sawit tidak
lagi produktif. Kebutuhan replanting atau penanaman kembali lahan dengan
tanaman baru sulit dilakukan lantaran keterbatasan dana. Dana replanting
untuk satu hektar lahan berada di kisaran Rp 45 juta sampai Rp 50 juta. Dengan
rata-rata kebun rakyat seluas 4 hektar, berarti dibutuhkan dana segar hingga
Rp 200 juta. Perbankan yang diharapkan dapat menjawab kendala ini juga
tidak bisa optimal. Ketiadaan sertifikasi lahan menjadi penyebab terhambatnya
pengajuan kredit. Mayoritas lahan swadaya rakyat masih berstatus SKGR/girik
sehingga tidak bisa dijadikan agunan. Rentenir pun menjerat petani.

102
Komoditi Sapi | Metode Peningkatan Produksi

Di sisi lain, sapi pun punya cerita sendiri. Masyarakat Riau gemar mengonsumsi
daging sapi. Dipengaruhi budaya Minang yang terkenal dengan pangan berbahan
dasar daging sapi, ditambah daya beli yang memadai, daging menjadi salah
satu makanan favorit. Tingkat permintaan daging pun cukup tinggi. Sedangkan
produksi lokal Riau baru bisa menyuplai sekitar 30 persen. Selebihnya dipenuhi
dengan cara impor dari luar daerah maupun luar negeri. Harga daging sapi di
Riau pun relatif berfluktuasi.

Integrasi Sawit-Sapi
Cerita suram potensi ekonomi kelapa sawit yang belum optimal dan tingginya
kebutuhan daging sapi yang menyebabkan fluktuasi harga daging sapi,
sesungguhnya juga menyuguhkan sebuah solusi. Sapi dan kelapa sawit yang
sepintas tidak saling terkait, ternyata mampu menghasil keterkaitan yang saling
menguntungkan sekaligus mendorong kesejahteraan masyarakat. Lebih dari
itu, stabilitas perekonomian lokal pun terjaga. Adalah Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Riau yang menghadirkan solusi berupa sistem peternakan
sapi yang terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit.

Sistem integrasi ini menggunakan pola zero waste atau pemanfaatan


limbah secara optimal. Tidak ada sumber daya yang terbuang. Limbah yang
dihasilkan masing-masing sektor dapat menjadi penyokong bagi sektor lainnya.
Kelapa sawit membutuhkan perawatan intensif agar hasilnya optimal. Salah
satu penanganan vital adalah pemupukan. Dengan pemupukan yang rutin
dan benar, satu hektar kebun kelapa sawit dapat menghasilkan buah sekitar
empat sampai enam ton. Sayangnya, di perkebunan rakyat pemupukan masih
ala kadarnya. Hasilnya pun tidak lebih dari dua ton. Harga pupuk yang tinggi
menjadi alasan utama minimnya pemupukan secara baik dan teratur.

Jawabannya jelas menghadirkan pupuk murah dan mudah diperoleh, yaitu


pupuk kandang. Selain lebih murah dibanding pupuk kimia, secara ilmiah
pemupukan secara organik sudah terbukti meningkatkan derajat kesuburan
tanah. Maka limbah sapi pun diproses menjadi pupuk kandang organik. Biaya
pupuk kimia yang dikeluarkan menjadi berkurang dengan penggunaan pupuk
produksi sendiri. Secara tidak langsung petani turut bertanggung jawab dengan
mengembalikan keseimbangan ekosistem alam dengan memanfaatkan limbah
sapi ini. Limbah sapi menguntungkan bagi petani kelapa sawit.

Sebaliknya, tanaman kelapa sawit menghasilkan tandan buah segar (TBS)


secara rutin setiap dua minggu sekaligus menghasilkan limbah pelepah yang
tidak dimanfaatkan. Namun, pelepah tersebut kini dapat diolah menjadi pakan
ternak sapi. Menggunakan alat potong, pelepah dijadikan campuran konsentrat
atau hijauan sebagai pakan sapi. Namun perlu diperhatikan adalah kualitas
pencacahan yang dilakukan harus halus untuk menghilangkan sisa-sisa duri dari
pelepah sawit tersebut. Pengolahan ini dapat mengurangi biaya dan tenaga

103
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

petani dalam memberi pakan ternaknya. Limbah kelapa sawit menguntungkan


bagi peternak sapi.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau bekerja sama dengan


stakeholders terkait terus memberikan pemahaman dan mendorong kelompok
tani di Kabupaten Siak untuk menerapkan sistem integrasi ini. Hasilnya, sekitar
50 persen kebutuhan pupuk petani sawit, senilai Rp6,7 juta per hektar tiap
tahun sudah dipenuhi dari limbah ternak sapi yang selama ini dianggap tak
bernilai. Bahkan, limbah yang sama kini mulai dikembangkan pula menjadi
biogas sebagai bahan bakar rumah tangga.

Pemanfaatan limbah sawit berupa pelepah sebagai menjadi pakan ternak


tambahan pun mulai memperlihatkan hasil. Asupan pangan ternak mengalami
peningkatan yang berdampak pada peningkatan bobot sapi. Pemanfaatan
limbah sawit ini juga memberikan solusi bagi penanganan limbah pelepah yang
selama ini menumpuk tak terpakai. Selain itu, ketika ternak memenuhi syarat,
bisa dijual untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Secara tidak langsung
petani memiliki tabungan/cadangan aset berupa sapi apabila mengalami masa
paceklik atau replanting. Kesejahteraan petani lebih terjaga sekaligus mampu
mengupayakan pemenuhan kebutuhan daging sapi.

Sistem pertanian dan peternakan yang terintegrasi yang dikembangkan


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau, tak bisa dipungkiri menjadi
kunci sukses memaksimalkan potensi ekonomis kelapa sawit dan pemenuhan
kebutuhan daging sapi di Riau. Semua itu tentu bermuara pula pada peningkatan
kesejahteraan petani. Dan mengingat keuntungan serta dampak positif yang
dihasilkan, sistem terintegrasi ini patut dipertimbangkan untuk diterapkan pada
kelompok-kelompok tani di daerah lain.

Komitmen dan Kompetensi


Memang, penerapan sistem integrasi dengan pencapaian positifnya bukan
perkara mudah. Sistem ini membutuhkan komitmen petani, kompetensi di
dua bidang terkait, serta dukungan dari berbagai pihak seperti pemerintah
dan stakeholders terkait lainnya. Tanpa kawalan dan bimbingan, petani-petani
tersebut akan kehilangan arah dan justru pemanfaatan sistem ini menjadi tidak
optimal.

Ke depan, meski sistem integrasi ini sudah terbukti memberikan hasil positif,
namun tetap dibutuhkan sejumlah penyempurnaan. Penelitian lebih lanjut
diperlukan terkait dampak lain yang ditimbulkan sistem ini. Harus diakui, sistem
integrasi ini masih menyisakan risiko terkait keamanan pakan dan limbah, yang
jika tidak ditangani secara benar, bisa memunculkan masalah kesehatan. Bukan
hanya kesehatan bagi ternak, tapi juga kesehatan petani.

104
Komoditi Sapi | Metode Peningkatan Produksi

Selain masalah kesehatan yang mungkin muncul, komitmen dan kerja keras
petani juga masih perlu diuji. Pasalnya, dengan menerapkan sistem integrasi
kelapa sawit dan peternakan sapi, petani sudah memiliki dua sektor usaha
secara bersamaan. Pengelolaan keduanya tentu membutuhkan kemauan dan
keuletan petani. Tanpa ada perubahan perilaku petani, sistem ini bisa dibilang
sulit mencapai hasil yang maksimal. Bukan pengembangan usaha yang didapat,
tapi justru kegagalan di dua sektor usaha sekaligus.

Tentu saja bayang-bayang risiko tersebut tidak sepantasnya menghambat


segala upaya penyempurnaan sistem integrasi ini. Sebaliknya, dengan memahami
risiko-risiko yang mungkin terjadi, replikasi dan implementasi sistem integrasi
di daerah lain diharapkan mampu menemukan terobosan baru guna mengikis
dan meminimalkan risiko tadi. Terobosan dan inovasi terhadap penyempurnaan
sistem integrasi ini justru akan memberikan kekuatan lebih, baik bagi penguatan
perekonomian lokal maupun bagi peningkatan kesejahteraan petani.

Pada akhirnya, bukan hanya nilai tambah bagi petani yang terus menguat.
Sistem integrasi ini pun menjadi lebih sempurna sehingga bisa direplikasi,
diimplementasikan siapapun, di daerah manapun, dengan risiko minimal.
Dengan memperhatikan hasil serta dampak positifnya, secara tidak langsung
akan mendukung upaya-upaya pencapaian stabilitas harga untuk sejumlah
komoditas, demi menopang pertumbuhan positif perekonomian daerah. n

105
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Pola Pengembangan Klaster Peternakan


Terpadu Sapi - Sawit
SINERGI PENGEMBANGAN KLASTER HASIL
PEMBIBITAN SAPI
1. Kantor Perwakilan 1. Terjadi peningkatan asupan
Bank Indonesia 1. Pemanfaatan limbah secara pakan yang berdampak pada
Provinsi Riau. optimal (zero waste). peningkatan bobot sapi.

2. Pemerintah 2. Limbah ternak diolah 2. Limbah ternak diolah pula


Kabupaten Siak, menjadi pupuk organik untuk menjadi biogas sebagai
Provinsi Riau, Dinas tanaman. Limbah tanaman subsitusi gas bersubsidi untuk
Peternakan Provinsi diolah menjadi pakan ternak. keperluan sehari-hari petani.
Riau, dan Dinas
Peternakan Siak. 3. Pemahaman nilai tambah 3. Petani memiliki tabungan
berupa biogas. atau cadangan aset berupa
sapi.

4. Petani memiliki dua sektor


usaha secara bersamaan,
perkebunan kelapa sawit dan
peternakan sapi.

106
Komoditi Sapi | Metode Peningkatan Produksi

Monitoring
Perkembangan Kelompok
Tani di Kabupaten Siak
tahun 2013.

Studi banding pola


pengembangan
peternakan sapi.

Mesin Chopper
bantuan PSBI tahun
2013, sebagai alat
potong pelepah
sawit sebagai
bahan campuran
pakan ternak di
Kabupaten Siak.

107
II. PROGRAM Klaster
KETAHANAN PANGAN
3. Komoditi Bawang Merah

108
Komoditi Bawang Merah | Peningkatan Produksi

PENINGKATAN PRODUKSI (METODE PENANAMAN)

A. Metode Pendampingan dengan Konsisten

Konsistensi Memperkuat Supply Bawang Merah


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon

Cirebon. Nama ini mungkin langsung mengingatkan banyak orang pada


produk batik dan rotan. Juga sejumlah tempat bersejarah serta kuliner khasnya.
Cirebon sesungguhnya lebih dari itu. Daerah ini ternyata juga menyimpan
potensi besar terkait penguatan ketahanan pangan sekaligus menopang
perekonomian daerah. Salah satu komoditas unggulan terkait pangan di Cirebon
adalah bawang merah. Komoditas ini tidak dipungkiri memiliki keterkaitan erat
dengan perekonomian daerah, bahkan nasional.

Menengok kembali pengalaman pada 2011, bawang merah memberikan


kontribusi signifikan pada peningkatan laju inflasi yang dipengaruhi tekanan
dari sisi suplai seperti kurangnya pasokan, gangguan distribusi, dan struktur
pasar yang terdistorsi. Dampak gagal panen pada 2010 akibat efek perubahan
iklim hingga masuknya bawang merah impor yang tidak terkendali masih
menyisakan permasalahan dalam pengembangan agribisnis bawang merah.
Beberapa faktor utama yang memengaruhi geliat agribisnis bawang merah
antara lain harga, pemasaran, dan produktivitas.

Situasi dan kondisi itulah yang mendorong Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Cirebon berinisiatif melakukan pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) melalui pendekatan klaster bawang merah. Program ini dilakukan sejak
2011 melalui kerja sama dengan Koperasi Nusantara Jaya. Saat kerja sama terjalin,
jumlah anggota koperasi mencapai lebih dari 250 orang dengan wilayah meliputi
Kabupaten Cirebon sampai Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Luas lahan anggota
koperasi sekitar 300 hektar.

Pendampingan
Dalam kerja sama ini dibuat program pendampingan bagi petani bawang merah.
Metode pendampingan dilakukan secara langsung baik dengan kelompok
petani klaster maupun petani secara individu. Pertemuan dilakukan tiga kali
dalam satu minggu untuk setiap kelompok atau petani klaster secara bergiliran.
Dimungkinkan pula waktu pendampingan dilakukan secara tidak terjadwal,
tergantung pada tingkat permasalahan yang dihadapi petani. Pendampingan
dilakukan langsung di lahan jika petani ada di sawah pagi hari. Juga dilakukan
langsung ke rumah petani. Hal ini bertujuan mempererat hubungan dan terjadi
pendekatan emosional yang lebih kuat antara pendamping dengan petani
klaster. Sehingga pengarahan dan bimbingan mudah diterima dan dilaksanakan.

109
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Pendampingan tersebut ternyata mampu meningkatnya kapasitas pertanian


bawang merah. Petani pun jadi lebih memahami praktik yang sudah biasa
dilakukan dengan landasan teori budidaya pertanian bawang merah modern.
Dan yang terpenting adalah terbentuknya Dewan Bawang Merah Nasional
(DEBNAS) sebagai organisasi yang mewadahi seluruh stakeholder bawang
merah secara nasional.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon pun melanjutkan pengembangan


program klaster bawang merah ini pada 2012. Kali ini, fokus pengembangan
program diarahkan pada penguatan kelembagaan dan akses pemasaran.
Bantuan teknis yang diberikan berupa penguatan budidaya, penguatan modal
sosial/kelembagaan, dan jejaring baik dengan instansi pemerintah terkait,
asosiasi maupun pelaku pasar formal.

Dalam penerapannya, diwujudkan kontrak-kontrak dengan pelaku pasar


formal, pendirian lembaga formal, serta pelatihan-pelatihan manajemen
organisasi. Semua fasilitasi tersebut diberikan tak lain guna memberikan
kepastian pada petani terkait harga dan terserapnya hasil panen. Pasalnya,
kedua hal itu sering menjadi permasalahan di sisi hulu terutama saat
persediaan produk kurang atau berlebih di pasaran. Selain akses pemasaran,
pengembangan klaster juga difokuskan pada upaya pembukaan akses ke
lembaga keuangan. Petani klaster mulai diperkenalkan pada produk dan jasa
dari lembaga keuangan formal. Saat itu, dari sisi akses ke lembaga keuangan,
sebagian besar petani klaster belum memiliki akses ke kredit perbankan.

Pengembangan program klaster bawang merah pada 2012 juga memberikan


hasil cukup menggembirakan. Petani klaster tidak hanya memiliki akses pasar dan
keuangan, tapi juga mampu menciptakan jaringan yang lebih luas, baik dengan
instansi pemerintah maupun kalangan swasta. Lebih menggembirakan lagi ketika
koperasi menjalin kemitraan dengan PT. Binagloria Enterprindo (Cirebon) dan CV
Atas Enterprise (Cirebon). Dalam kemitraan ini koperasi bertindak sebagai agen
penjualan benih impor asal Filipina (varietas ilocos). Sedangkan untuk petani mitra
binaan koperasi hasil panennya ditampung PT Binagloria Enterprindo dan CV
Atas Enterprise untuk kemudian diekspor ke Thailand, Singapura, Vietnam, dan
Malaysia. Bawang merah Cirebon pun mendunia.

Peningkatan Produksi
Kesuksesan tersebut terus berlanjut sampai memasuki tahun 2013. Namun,
selama tahun ini, kondisi bawang merah di Kabupaten Cirebon mengalami
dinamika. Cuaca sepanjang tahun itu merupakan awal dari dinamika yang muncul.
Musim hujan sudah terjadi di awal tahun. Di beberapa daerah yang bersifat tadah
hujan mulai melakukan persiapan pengolahan lahan. Pada sekitar November-
Desember musim tanam terakhir dalam setahun dimulai. Saat memasuki musim
hujan dengan curah hujan tertinggi, sebagian petani beralih ke tanaman padi.

110
Komoditi Bawang Merah | Peningkatan Produksi

Peralihan dari bawang merah ke padi tersebut bukannya tanpa alasan.


Selain merupakan siklus tahunan merotasi pemanfaatan lahan, sebagian petani
sengaja menghindari menanam bawang merah saat musim hujan karena risiko
kerusakan akibat serangan hama menjadi sangat tinggi. Sedangkan di wilayah-
wilayah yang rendah menghindari menanam karena risiko diserang banjir.
Dinamika ini tentunya sangat berdampak pada ketersediaan bawang merah
dan bibit untuk penanaman berikutnya.

Kondisi tersebut tentu saja membutuhkan solusi tepat untuk tetap menjaga
keseimbangan antara ketersediaan bawang merah dengan permintaan pasar.
Pola penyimpanan yang efektif dan efisien pun dipastikan menjadi salah satu
solusi. Namun itu saja tentu tidak cukup. Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Cirebon melihat ada solusi lain yang tak kalah penting untuk dilakukan, yaitu
peningkatan produksi. Solusi ini diyakini mampu menurunkan harga pokok
produksi per satuan luas lahan. Sedangkan cara yang dipilih untuk meningkatkan
produksi adalah dengan pemakaian bibit (benih) unggul. Cara inilah yang
lantas dipilih Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon sebagai kelanjutan dari
kegiatan pendampingan, penguatan lembaga serta akses pasar dan keuangan
yang sudah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya.

Petani dan anggota koperasi binaan di lingkungan klaster bawang merah


di Kabupaten Cirebon pun difokuskan pada pengenalan dan pengembangan
bawang merah yang memiliki produktivitas tinggi. Sejumlah varietas bawang
merah juga diteliti dan dikembangkan sampai akhirnya menemukan varietas
unggul. Dan varietas yang dianggap lebih baik ketimbang varietas lainnya
adalah bawang merah varietas Manjung. Salah satu keunggulan varietas ini tak
lain sudah terbukti lebih tahan dari serangan hama dan penyakit. Selain mulai
memanfatkan bibit unggul varietas Manjung, rangkaian kegiatan klaster juga
diarahkan pada sistem agribisnis yang efisien dan berbiaya rendah. Dengan
model ini diharapkan bawang merah Cirebon bisa lebih kompetitif, termasuk
saat menghadapi bawang merah impor.

Pada saat yang hampir bersamaan, Koperasi Nusantara Jaya mendapatkan


bantuan coldstorage dari Kementerian Pertanian. Bantuan ini pun dimanfaatkan
sesuai dengan tujuannya sebagai upaya untuk pengendalian ketersediaan
bawang merah, baik bibit maupun konsumsi. Penyimpanan bawang merah dalam
coldstorage ternyata mampu mendukung tercapainya keseimbangan supply and
demand. Penyimpanan pada suhu dingin ini mampu menahan laju respirasi dan
proses-proses fisiologis bawang merah selama penyimpanan sehingga susut
bobot dan kerusakan umbi bawang merah dapat ditekan. Coldstorage juga dapat
menjadi instrumen yang efektif untuk mengelola model distribusi dan pemasaran
bawang merah.

Dengan tersedianya coldstorage di Koperasi Nusantara Jaya, penanganan

111
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

bawang merah pascapanen mendapatkan solusi guna menjaga ketersediaan


bibit untuk jangka waktu tanam berikutnya. Ketergantungan pada impor juga
bisa ditekan sekaligus memberikan pengaruh terhadap kestabilan harga bibit.
Pada tahun 2013 memang sempat terjadi gejolak harga bibit yang sangat
tinggi karena kelangkaan bibit akibat kurang optimalnya proses pengendalian
persediaan bibit di gudang. Coldstorage membantu meredam gejolak ini.

Konsistensi
Program pengembangan klaster bawang merah selama 2013 ternyata mendapat
sambutan hangat dari berbagai pihak. Ini terlihat dari banyaknya kerja sama
yang berhasil terjalin dengan pihak-pihak terkait, selain dengan Kementerian
Pertanian berupa bantuan coldstorage. Apalagi setelah area budidaya bawang
merah mengalami perluasan ke Kabupaten Majalengka. Koperasi Nusantara Jaya
melakukan asistensi berdiri dan terbentuknya Koperasi Tani San Agritama sebagai
wadah petani di Kabupaten Majalengka.

Tidak berhenti sampai di sini, Koperasi Nusantara Jaya juga bekerja sama
dengan Bank Bukopin, membuka cabang Gerai Swamitra, yang tak lain untuk
melayani kebutuhan permodalan petani bawang merah binaan. Sambutan
hangat juga datang dari luar Kabupaten Majalengka, bahkan dari luar Jawa.
Koperasi Nusantara Jaya menjalin kerjasama dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Kerjasama ini terkait pengembangan area
baru sentra bawang merah di Riau.

Keberhasilan program klaster bawang merah di Kabupaten Cirebon pastinya


tak terlepas dari konsistensi dan kesinambungan, yang diyakini merupakan
kunci sukses, program klaster yang diinisiasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Cirebon. Sejak program klaster digulirkan pada 2011, pendampingan kepada
petani dilakukan secara intensif, bahkan sampai door to door ke rumah-rumah
petani. Pada 2012, pendampingan intensif tersebut dilanjutkan dengan fasilitasi
akses pasar, permodalan serta jaringan. Lalu, pada 2013, dilanjutkan dengan
temuan dan inovasi terkait varietas bibit unggul sehingga mampu meningkatkan
produksi sekaligus menekan biaya produksi.

Kunci sukses yang sama pastinya bakal diterapkan dan direplikasi Koperasi
Tani San Agritama, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, yang sudah menjalin
kerja sama dengan Koperasi Nusantara Jaya binaan Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Cirebon. Harapannya tentu saja replikasi ini bakal lebih meluas lagi.
Bukan hanya untuk meningkatkan kesejahteraan petani bawang merah di
berbagai daerah, tapi lebih dari itu, bisa juga memperkuat sisi supply bawang
merah secara nasional. Muaranya, tentu saja, menekan kontribusi gejolak harga
bawang merah terhadap laju inflasi, daerah maupun nasional. n

112
Komoditi Bawang Merah | Peningkatan Produksi

Pola Pengembangan Klaster


Bawang Merah
SINERGI PENGEMBANGAN KLASTER HASIL
BAWANG MERAH
1. Kantor Perwakilan 1. Kapasitas petani
Bank Indonesia 1. Pendampingan intensif di meningkatan dengan
Cirebon bekerja lapangan maupun di rumah budidaya bawang merah
sama dengan (door to door). modern.
Koperasi Nusantara
Jaya. 2. Penguatan kelembagaan 2. Dibentuk Dewan Bawang
koperasi. Nasional (Debnas).
2. Kemitraan
Koperasi dengan 3. Pembukaan akses pasar dan 3. Kemitraan pemasaran
Kementerian akses keuangan. koperasi dengan PT Binagloria
Pertanian. Enterprindo (Cirebon) dan CV
4. Peningkatan produksi Atas Enterprise (Cirebon).
dengan benih unggul.
4. Penggunaan benih unggul
5. Pengenalan sistem varietas Manjung yang
agribisnis yang efisien dan memiliki produktivitas tinggi.
berbiaya rendah.
5. Tercapai keseimbangan
6. Kementerian Pertanian supply and demand komoditas
memberi bantuan coldstorage. bawang merah.

Direktur Eksekutif
DPAU, Pimpinan
KPw BI Cirebon
dan Dewan
Bawang Merah
Nasional meninjau
persediaan bibit
bawang merah
di coldstorage
Koperasi Nusantara
Jaya Cirebon.

113
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Pelatihan budidaya
bawang merah
(Sekolah Lapang)
bertempat di Saung
Petani Kabupaten
Cirebon.

Aktivitas panen
bawang merah di
Desa Pangenan
Cirebon.

Bibit bawang merah


yang siap disimpan di
Coldstorage.

114
Komoditi Bawang Merah | Peningkatan Produksi

B. Metode Demonstration Plot (Demplot)

Sinergi Menghasilkan Bawang Merah di Lahan Marjinal


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah

Panen bawang merah di Provinsi Kalimantan Tengah? Ini seperti mimpi di


siang bolong. Jangankan panen, bahkan sampai akhir tahun 2012, tidak satu
butir pun bawang merah bisa tumbuh di Provinsi Kalimantan Tengah. Mayoritas
lahan di provinsi tersebut tak lain merupakan lahan marjinal; lahan gambut dan
pasir. Di lahan seperti ini bisa dipastikan sedikit unsur hara. Padahal unsur hara
sangat penting dan dibutuhkan sebagai sumber utama makanan tanaman.
Tanah sebagai media tanam, juga berperan penting untuk menentukan kualitas
dan produktivitas pertumbuhan tanaman. Apalagi tanah berfungsi pula sebagai
penyimpan makanan bagi tanaman.

Kondisi lahan tersebut tentu saja menjadi sangat kontradiktif dengan


karakteristik tanaman bawang merah yang cocok dibudidayakan di tanah yang
kaya unsur hara, berstruktur remah, dan memiliki drainase baik. Wajar kalau saat
itu banyak kalangan berpendapat, panen bawang merah di Provinsi Kalimantan
Tengah seperti mustahil terjadi. Di sisi lain kebutuhan bawang merah di
kalangan masyarakat terus meninggi. Dan lantaran kebutuhan bawang merah
terkait dengan bahan pangan, maka tidak ada jalan lain kecuali mendatangkan
bawang merah dari daerah lain, terutama dari Pulau Jawa.

Bawang merah ‘impor’ dari Pulau Jawa itulah yang ditengarai jadi salah
satu penyumbang utama melonjaknya inflasi di provinsi berjuluk Bumi Tambun
Bungai (dwitungggal pahlawan masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah).
Biaya pengiriman bawang merah dari Pulau Jawa, dalam kondisi normal saja,
sudah terbilang cukup mahal. Apalagi jika terjadi gelombang tinggi di laut,
serta kendala pada moda angkutan lain. Harga bawang merah pun jadi liar
dan tidak terkendali, yang secara langsung memicu lonjakan inflasi. Ditambah
ketidakmampuan kapasitas lokal memenuhi kebutuhan, Bawang merah pun
bercokol kuat di daftar penyumbang utama inflasi Provinsi Kalimantan Tengah.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah tentu


saja tidak tinggal diam. Tingginya pemicu inflasi harus ditekan seminimal
mungkin, sehingga pada gilirannya bukan hanya memperkuat pertumbuhan
ekonomi daerah, tapi sekaligus pula memperkokoh ketahanan pangan daerah.
Sedangkan pemilihan komoditas bawang merah, selain karena secara persisten
terus menyumbang inflasi, juga karena keterbatasan pasokan lokal akibat kondisi
lahan yang tidak memungkinkan. Peningkatan kapasitas produksi bawang
merah lokal dinilai perlu dilakukan karena diyakini mampu menekan laju inflasi.

115
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Demplot Lahan Marjinal


Latar belakang dan pemikiran itulah yang kemudian direalisasikan Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah dengan inisiatif
mengembangkan Demonstration Plot (Demplot) bawang merah di lahan gambut
dan lahan pasir. Pengembangan demplot bawang merah di lahan marjinal
sesungguhnya tidak hanya bertujuan mengeluarkan bawang merah dari daftar
komoditas penyumbang inflasi. Pengembangan demplot ini juga merupakan
wujud nyata kepedulian Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan
Tengah terkait upaya pengembangan ekonomi daerah dan pemberdayaan
sektor riil dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Maka, pada November 2012, demplot pun digulirkan dengan


menggandeng Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan
Tengah, sebagai pelaksana teknis Badan Litbang Pertanian, Kementerian
Pertanian, melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI). Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah, bersama BPTP juga memberikan
pendampingan budidaya bawang merah di lahan marjinal. Sedangkan lokasi
demplot ditetapkan di dua kelurahan yang dianggap mewakili kondisi lahan
marjinal, yaitu di Kelurahan Sei Gohong (tanah berpasir) dan Kelurahan
Kalampangan (tanah gambut).

Tak perlu menunggu terlalu lama. Pengembangan demplot bawang


merah atas inisiatif Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan
Tengah bersama BPTP Kalimantan Tengah itu langsung membuahkan hasil.
Tidak kepalang tanggung, hasil demplot selama sekitar tiga bulan itu, bahkan
langsung mengubah aroma pesimistis dan mematahkan anggapan Provinsi
Kalimantan Tengah tidak bisa menghasilkan bawang merah. Tepat pada tanggal
17 Januari 2013, dilakukan panen perdana dari demplot bawang merah di
Kelurahan Sei Gohong dan Kelurahan Kalampangan. Bukan sulap, bukan pula
sihir. Panen bawang merah di lahan marjinal Provinsi Kalimantan Tengah benar-
benar terjadi. Pandangan pesimis pun seketika sirna.

Keberhasilan menumbuhkan bawang merah di lahan marjinal langsung


mendapat perhatian secara nasional. Dengan bantuan media massa nasional,
mimpi yang menjadi kenyataan ini langsung menyebar luas ke hampir
seluruh pelosok negeri. Apresiasi dari berbagai pihak, baik lokal maupun
nasional, langsung bermunculan. Salah satu apresiasi yang paling fenomenal
muncul dari Kementerian Pertanian, yang langsung mencanangkan program
penanaman bawang merah di lahan seluas 35 hektar pada Juni 2013. Tidak
mau ketinggalan, Direktorat Jenderal Holtikultura juga menetapkan Provinsi
Kalimantan Tengah sebagai pusat penelitian holtikultura. Sedangkan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hortikultura (Puslitbanghorti) Kementerian
Pertanian menetapkan Provinsi Kalimantan Tengah sebagai salah satu dari
sembilan provinsi kawasan bawang merah di Indonesia.

116
Komoditi Bawang Merah | Peningkatan Produksi

Sinergi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah


bersama BPTP setempat, tak pelak menjadi kunci sukses bagi kelahiran bawang
merah di Provinsi Kalimantan Tengah. Keberhasilan ini bukan hanya menjawab
dan mematahkan anggapan ketidakmampuan provinsi ini menghasilkan bawang
merah, tapi sekaligus juga menghadirkan semangat baru bagi masyarakat untuk
ikut beramai-ramai membudidayakan bawang merah.

Decak kagum, acungan jempol, serta apresiasi dan pujian yang datang
secara nasional, juga tak hendak membuat Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Kalimantan Tengah terlena. Sembari tetap menggandeng BPTP
dan Dinas Pertanian setempat, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Kalimantan Tengah terus berupaya melakukan inovasi dalam beragam kegiatan
pengembangan komoditas bawang merah di lahan marjinal. Ini berjalan seiring
dengan cita-cita dan tujuan menjadikan Provinsi Kalimantan Tengah sebagai
pusat penangkaran dan pengembangan bawang merah.

Salah satu upayanya adalah dengan melakukan uji klinis terhadap tujuh
varietas bawang merah di Kelurahan Kerang Bangkirei, Kecamatan Sebangau,
Kota Palangka Raya. Hasil uji klinis tersebut akhirnya memunculkan lima dari
tujuh varietas bawang merah yang siap dibudidayakan dalam skala besar di
Provinsi Kalimantan Tengah. Kelima varietas itu adalah Sembrani, Maja Cipanas,
Bima Brebes, Manjung, dan Trisula. Kelimanya varietas tadi lolos dari parameter
daya tahan hidup, produktivitas dan adaptif sesuai dengan permintaan pasar.

Sinergi Kunci
Hasil uji klinis yang sama juga memperlihatkan beberapa varietas mampu
menghasilkan produksi panen cukup tinggi. Berdasarkan pengukuran hasil
panen, varietas Sembrani misalnya bisa menghasilkan sampai 24,4 ton per hektar.
Sedangkan varietas Bima Brebes mampu menghasilkan sebanyak 9,9 ton per
hektar, dan varietas Maja Cipanas menghasilkan 10,9 ton per hektar umbi kering
bawang merah. Hasil ini tentu saja cukup menggembirakan. Pasalnya, menurut
data Direktorat Jenderal Hortikultura, angka produktivitas tertinggi bawang
merah, sampai akhir 2012, ada di Provinsi Bali yaitu 11,31 ton per hektar dan
Provinsi Jawa Tengah sebanyak 10,66 ton per hektar.

Hasil panen tersebut tak pelak membuktikan, produktivitas bawang merah


Provinsi Kalimantan Tengah sudah bisa disejajarkan dengan provinsi lain
penghasil bawang merah. Tidak berlebihan jika kemudian kegiatan dan hasil
panen uji klinis tadi menjadi tonggak awal pengembangan klaster bawang merah
di Provinsi Kalimantan Tengah. Dan yang lebih membanggakan, pengembangan
klaster bawang merah ini kini bukan lagi sinergi dua pihak, melainkan sinergi
dari 11 stakeholders sekaligus. Sinergi itu diformalkan dalam nota kesepahaman
yang melibatkan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah,
Dinas terkait di Provinsi Kalimantan Tengah, dan empat kabupaten yang akan

117
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

menjadi lokasi klaster yaitu Palangka Raya, Kapuas, Kotawaringin Timur, dan
Katingan. BPD Kalimantan Tengah dan BPTP Kalimantan Tengah juga turut andil
dalam sinergi pengembangan klaster bawang merah ini.

Sinergitas sebagai kunci utama keberhasilan-keberhasilan tersebut tentunya


masih perlu terus disempurnakan. Harus diakui masih terdapat beberapa
kendala dalam pengembangan bawang merah di Provinsi Kalimantan
Tengah. Salah satunya adalah pemilihan waktu tanam dan proses new product
introduction yang tepat. Namun rasa optimisme Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah dan stakeholder lain yang terikat dalam
sinergitas pengembangan bawang merah, tidak akan pernah padam. Paduan
kebijakan yang tepat dari hulu ke hilir dikombinasikan dengan potensi lahan
pertanian yang terbentang luas merupakan modal utama.

Bukan tidak mungkin pada suatu hari nanti mimpi Provinsi Kalimantan
Tengah bisa mensejajarkan diri, bahkan melampaui Pulau Jawa dalam memasok
bawang merah nasional bisa terwujud. Setidaknya, Provinsi Kalimantan Tengah
bisa memasok bawang merah untuk masyarakatnya sendiri dan tidak lagi
tergantung daerah lain. Saat ini saja bawang merah mulai merambah ke seluruh
pelosok Provinsi Kalimantan Tengah, yang diawali dengan tiga kabupaten
stakeholders klaster yaitu Kabupaten Katingan, Kabupaten Kotawaringin Timur,
dan Kabupaten Kapuas. Dampaknya tentu saja tidak hanya pada peningkatan
kesejahteraan para petani. Pemerintah daerah dan bank sentral pun bisa
ikut menikmati dengan berkurangnya tekanan inflasi dan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi. n

118
Komoditi Bawang Merah | Peningkatan Produksi

Pola Pengembangan Klaster Bawang Merah


di Lahan Marginal
SINERGI PENGEMBANGAN HASIL
BAWANG MERAH DI LAHAN
1. Kantor Perwakilan MARJINAL 1. Pada 17 Januari 2013,
Bank Indonesia dilakukan panen perdana dari
Provinsi Kalimantan 1. Pengembangan demplot bawang merah di
Tengah. Demonstration Plot (Demplot) Kelurahan Sei Gohong dan
bawang merah di lahan Kelurahan Kalampangan.
2. Balai Pengkajian gambut dan lahan pasir (lahan
Teknologi Pertanian marjinal). 2. Kementerian Pertanian
(BPTP) Provinsi langsung mencanangkan
Kalimantan Tengah, 2. Realisasi Program Sosial program penanaman bawang
pelaksana teknis Bank Indonesia (PSBI). merah di lahan seluas 35
Badan Litbang hektar pada Juni 2013.
Pertanian, dan 3. Pelatihan budidaya bawang
Kementerian merah di lahan marjinal dan 3. Direktorat Jenderal
Pertanian. pendampingan bekerja Hortikultura menetapkan
sama dengan BPTP Provinsi Provinsi Kalimantan Tengah
Kalimantan Tengah. sebagai pusat penelitian
hortikultura.
4. Melakukan uji klinis
terhadap tujuh varietas 4. Pusat Penelitian dan
bawang merah. Pengembangan Hortikultura
Kementerian Pertanian
menetapkan Provinsi
Kalimantan Tengah sebagai
salah satu kawasan bawang
merah di Indonesia.

5. Uji klinis beberapa varietas


Bawang merah hasil asli menghasilkan produksi
penangkaran di lahan panen cukup tinggi. Varietas
Sembrani menghasilkan 24,4
marjinal Kalimantan Tengah.
ton per hektar. Varietas Bima
Brebes menghasilkan 9,9
ton per hektar. Varietas Maja
Cipanas menghasilkan 10,9
ton per hektar umbi kering
bawang merah.

119
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Harum bawang
merah mulai
melingkup di bumi
Kalimantan Tengah.

Petani Palangkaraya
dengan bangga
menunjukkan hasil
panen bawang
merah.

Bangga menunjukkan hasil


panen bawang merah hasil
penangkaran. Tampak dalam
gambar adalah Kepala
Perwakilan BI Wilayah II
Kalimantan (4 dari kiri), Kepala
Perwakilan BI Kalteng (5 dari
kiri), Ditjen Hortikultura (4 dari
kanan baju safari) & Wakil
Gubernur Kalimantan Tengah
(2 dari kanan bertopi).

120
II. PROGRAM Klaster
KETAHANAN PANGAN
4. Komoditi Cabai Merah

121
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

4.1. Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

A. Metode Penanaman Organik

Meningkatkan Produksi Cabai Organik, Meredam


Gejolak Harga
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I (Sulawesi, Maluku, dan Papua)

Cabai merah. Rasa pedasnya seperti makin terasa pedas, ketika ketersediaannya
di pasaran terganggu. Pasalnya, ketika pasokan di pasaran terganggu, harganya
pun jadi tidak terkendali sehingga memicu melonjaknya laju inflasi. Dalam
kondisi ini, ‘rasa pedas’ cabai merah jadi makin terasa lantaran sulitnya pasokan
serta mahalnya harga cabai merah. Begitu pedasnya sampai bisa membuat
perekonomian, regional maupun nasional, tersengal-sengal.

Tidak terbantahkan kalau faktor ketersediaan pasokan cabai merah sering-


kali menjadi sumber yang mendorong tekanan inflasi. Begitu pula yang
kerapkali terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Sulawesi Selatan 2010 menyebutkan cabai merah merupakan salah satu
komoditas penyumbang utama inflasi Sulawesi Selatan. Pada Juli 2010, harga
cabai di provinsi ini memang mengalami lonjakan signifikan, mencapai sektar
Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu per kilogram. Di sisi lain, total produksi cabai
merah Sulawesi Selatan pada tahun yang sama hanya mencapai 126.518 ton.
Angka produksi pada 2011 mengalami penurunan menjadi 21.361 ton karena
bencana alam banjir di Kabupaten Maros.

Kabupaten yang memiliki luas wilayah 1.619,12 kilometer persegi dan


berpenduduk sebanyak 322.212 jiwa (tahun 2011) serta terdiri atas 14
kecamatan itu, memang dikenal sebagai sentra utama cabai merah di Provinsi
Sulawesi Selatan. Kabupaten Maros, yang juga menyimpan potensi pertanian
pada tanaman pangan dan tanaman holtikultura serta buah-buahan, pada
2010 hanya memproduksi cabai sekitar 2.045 ton. Sedangkan daerah tujuan
penjualan cabai antara lain Samarinda, Ambon, Makassar, dan sekitarnya.
Kendati cabai menjadi salah satu potensi unggulan, namun tetap muncul risiko
pasokan yang ada sulit memenuhi permintaan.

Klaster Cabai
Memperhatikan data, fakta, dan kondisi di pasar seperti itu, Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Wilayah I (Sulawesi, Maluku dan Papua) merasa perlu turun
tangan, berkontribusi menekan risiko minimnya pasokan yang berdampak pada
terkereknya inflasi. Kontribusi tersebut kemudian dilakukan dengan berinisiatif
menggandeng Pemerintah Kabupaten Maros, untuk mengembangkan klaster
cabai di Kabupaten Maros. Klasterisasi dinilai penting supaya pengembangan

122
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

komoditas menjadi terfokus. Harapannya tentu saja mampu menghasilkan


komoditas unggulan sekaligus pengembangannya.

Baik Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I maupun Pemerintah


Kabupaten Maros merasa yakin pengembangan komoditas mampu mendorong
peningkatan pendapatan usaha tani dan pada saat yang sama mengurangi
gejolak harga akibat kelangkaan pasokan. Belum lagi perkiraan nilai tambah
yang bisa dihasilkan. Maka, inisiatif pengembangan klaster cabai pun mendapat
sambutan positif kedua pihak, yang kemudian dituangkan dalam nota
kesepahaman pengembangan klaster pada Mei 2013.

Berdasar kesepahaman tersebut pelaksanaan program klaster cabai di


Kabupaten Maros bergulir dengan menerapkan pendekatan rantai nilai berbasis
pasar (value chain – market based solution). Pendekatan ini tak lain merupakan
metode pengembangan klaster dengan cara menghubungkan seluruh tahapan
proses produksi. Mulai dari penyediaan input spesifik sampai menghasilkan
produksi utama, perubahan bentuk, serta pemasaran sampai ke konsumen.
Seluruh tahapan dan bagian dari pendekatan tadi diarahkan menjadi solusi atas
hambatan-hambatan yang ada. Sedangkan pelaksanaannya direncanakan secara
berkelanjutan dan bersifat komersial.

Lokasi pengembangan klaster pun ditentukan di Desa Toddo Pulia, Kecamatan


Tanralili, Kabupaten Maros. Sebelum adanya program pengembangan klaster, di
desa ini sudah terbentuk gabungan kelompok tani (Gapoktan), yang merupakan
gabungan dari empat kelompok tani dengan jumlah anggota sebanyak 75
petani. Hampir seluruhnya memiliki latar pendidikan sekolah tingkat menengah.
Sedangkan luas lahan yang ditanami cabai berkisar antara 0,2 hektar sampai
0,5 hektar. Dengan tingkat produktivitas yang bervariasi di kisaran lima ton per
hektar, harga penjualan juga bervariasi. Pada bulan-bulan puncak (masa panen),
harganya bahkan bisa mencapai Rp 50 ribu per kilogram. Tapi rata-rata harga
penjualan berkisar antara Rp 6.000 sampai Rp 7.000 per kilogram.

Penerapan budidaya cabai sendiri, sebelum program klaster diluncurkan,


masih menggunakan pola budidaya tradisional. Belum menerapkan pola tanam
organik, apalagi menerapkan budidaya yang sesuai dengan Good Agriculture
Practices (GAP). Produksi yang dihasilkan pun, dengan keadaan ini, belum bisa
dibilang maksimal. Padahal, memperhatikan potensi yang ada, hasinya bisa
lebih baik. Inilah yang kemudian mendasari rangkaian kegiatan pengembangan
klaster diarahkan pada pengembangan cabai organik.

Maka langkah awal segera dilakukan dengan menentukan lahan percontohan


di 15 titik lahan milik anggota kelompok yang tergabung dalam gapoktan di
Tanralili. Penentuan lahan percontohan dilanjutkan dengan penyediaan dan
pemuliaan benih cabai dan pupuk bagi petani. Penyediaan ini dilakukan bekerja

123
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

sama dengan Pemerintah Kabupaten Maros melalui program Pengembangan


Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP).

Bersamaan dengan penyediaan bibit tadi, dimulai pula proses pemberian


informasi waktu tanam, melalui Tudang Sipulung. Secara harfiah tudang
sipulung berarti duduk bersama, sehingga bisa menjadi ruang penyampaian
informasi sebagai upaya mencari solusi setiap masalah yang dihadapi. Dalam
konteks pengembangan klaster cabai organik, tudang sipulung menjadi saat
tepat menginformasikan ke petani waktu tanam yang baik. Tudang sipulung
digelar bersama Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Hortikultura Provinsi
Sulawesi Selatan bersama Dinas Pertanian di 24 Kabupaten/Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan.

Pada kesempatan yang sama dilakukan juga Training of Trainers berupa


penyampaian tata cara budidaya sesuai GAP guna meningkatkan kompetensi
petani. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan pengurus kelompok tani
diberikan pemahaman mengenai praktik budidaya cabai yang baik. Selanjutnya
mereka diterjunkan menjadi Pemandu Lapang. Selain melakukan sosialisasi
program, pemandu lapang juga melakukan pendampingan terhadap budidaya
peserta program. Tata cara GAP sendiri diberikan pakar pertanian dari beragam
lembaga terkait, antara lain Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Maros, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP), Balai Proteksi Tanaman Pertanian dan Hortikultura
(BPTPH) dan Lembaga Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Sulawesi Selatan (LPUMKM SULSEL).

Pelaksanaan training of trainers itu dilanjutkan dengan pelaksanaan Sekolah


Lapang GAP, di mana peserta training of trainers tadi bertindak sebagai
pemandu. Sekolah Lapang yang diikuti 214 petani dan terbagi 15 kelompok
ini, tidak lain bertujuan meningkatkan kompetensi dan pengembangan
pola pikir petani sebagai pelaku usaha berorientasi profit tapi tetap memiliki
kesadaran pelestarian alam secara berkelanjutan. Sekolah ini menerapkan pola
pembelajaran dengan menggunakan demonstration plot (demplot) sebagai
tempat belajar. Demplot dipantau setiap minggu, dikaji dan didiskusikan
sehingga petani jadi lebih terampil lewat pengalaman budidaya sesuai GAP.
Melengkapi Sekolah Lapang, dibuat pula laboratorium mini untuk menghasilkan
pupuk dan pestisida alami.

Kegiatan-kegiatan tersebut dibarengi pula dengan pelatihan implementasi


penggunaan teknologi. Selain menambah keterampilan dan pengetahuan
tentang teknologi pengolahan, petani juga mulai diperkenalkan dengan akses
pemasaran produk hasil olahan cabai serta akses pembiayaan perbankan.
Pembukaan akses pemasaran dilakukan dengan fasilitasi pelaku klaster cabai

124
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

melalui Koperasi Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Tanralili dengan


super market Hypermart Makassar. Juga mengikutsertakan produk koperasi
dalam sejumlah pameran. Sebelumnya dilakukan juga penguatan kelembagaan
dengan pembentukan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA), yang
kemudian ditingkatkan statusnya menjadi badan hukum koperasi. Penguatan
kompetesi LKMA sendiri ditopang dengan pelatihan manajemen organisasi
dan pembukuan.

Pola Pengembangan Klaster


Cabai Organik
SINERGI PENGEMBANGAN KLASTER HASIL
CABAI ORGANIK
1. Kantor Perwakilan 1. Perubahan pola tanam
Bank Indonesia 1. Penerapan pendekatan tradisional menjadi budidaya
Wilayah I (Sulawesi, rantai nilai berbasis pasar sesuai GAP.
Maluku, dan Papua). (value chain – market based
solution). 2. Peningkatan produktivitas
2. Pemerintah cabai dari 5 ton per hektar
Kabupaten Maros, 2. Penerapan budidaya tanam menjadi 8-9 ton per hektar.
Provinsi Sulawesi sesuai Good Agriculture
Selatan. Practices (GAP). 3. Peningkatan kompetensi
pengurus Koperasi LKMA
3. Penentuan lahan dalam melaksanakan proses
percontohan di 15 titik bisnis LKMA.
lahan, penyediaan dan
pemuliaan benih cabai dan 4. Akses pemasaran dan
pupuk, melalui program pembiayaan perbankan
Pengembangan Usaha terbuka.
Agribisnis Pertanian (PUAP),
Pemerintah Kabupaten Maros. 5. Kabupaten Maros diarahkan
menjadi pusat studi bagi
4. Pelaksanaan Training of pengembangan cabai organik
Trainers berupa penyampaian di kawasan timur Indonesia.
tata cara budidaya sesuai GAP.
Pelaksanaan sekolah lapang
GAP.

5. Penguatan kelembagaan
dengan pembentukan
Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis (LKMA), yang
ditingkatkan statusnya menjadi
koperasi.

6. Pembukaan akses
pemasaran bagi Koperasi
LKMA ke supermarket
Hypermart.

125
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

GAP Jadi Tumpuan


Seluruh kegiatan yang sudah dilakukan terbukti membuahkan hasil positif.
Benih unggul dan pupuk organik kini memiliki ketersediaan memadai. Bahkan,
gapoktan menatausahakan benih dan pupuk tersebut dalam bentuk koperasi
simpan pinjam benih dan pupuk. Pengembangan klaster cabai organik pun
mampu mengubah pola tanam tradisional menjadi budidaya sesuai GAP.
Perubahan pola tanam ini terbukti mampu meningkatkan produktivitas cabai
dari lima ton per hektar menjadi sekitar delapan sampai sembilan ton per
hektar. Keberhasilan pengembangan klaster makin nyata dengan terbukanya
akses pemasaran dan pembiayaan perbankan, berupa peningkatan kompetensi
pengurus LKMA dalam melaksanakan proses bisnis LKMA.

Keberhasilan program pengembangan klaster cabai organik inisiatif Kantor


Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I jelas bertumpu pada penerapan GAP yang
ditopang akses pemasaran dan pembiayaan perbankan sebagai kunci sukses.
Dalam perkembangan ke depan, tumpuan keberhasilan pengembangan klaster
cabai organik di Kabupaten Maros tentu perlu terus dikawal dan dijaga dari
berbagai aspek. Pelatihan keorganisasian dan pengelolaan kelompok adalah
salah satu caranya. Juga memperkuat jalur pemasaran produk melalui perluasan
konektivitas dengan buyer lokal maupun luar provinsi. Edukasi keuangan dan
strategi bisnis tetap diperlukan sekaligus memfasilitasi penguatan organisasi
LKMA Tanralili menjadi agen bank dalam uji coba program branchless banking.

Dari sisi produk, keberhasilan pengembangan klaster cabai organik dinilai


perlu diikuti dengan memfasilitasi terciptanya standardisasi produk dan
kemasan, bekerja sama dengan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),
serta instansi terkait lain. Upaya mendorong pendapatan potensial bagi LKMA
dengan produksi pupuk organik juga perlu terus dilakukan. Seluruh upaya
lanjutan tersebut diyakini bisa menjadikan klaster cabai organik di Kabupaten
Maros sebagai pusat studi bagi pengembangan cabai organik di kawasan timur
Indonesia. Sampai medio 2013 saja tercatat sudah banyak instansi melakukan
kunjungan kerja dan studi ke lokasi klaster. Sebut saja misalnya gapoktan dari
Gorontalo, tim sekretariat wakil presiden, dinas pertanian Kutai Kertanegara,
Maluku Utara, serta beberapa Kantor Perwakilan Bank Indonesia daerah lain.

Animo daerah lain untuk studi ke lokasi klaster di Kabupaten Maros


setidaknya membuktikan antuasiasme daerah lain untuk menerapkan pola
pengembangan klaster serupa di daerah masing-masing. Dan manakala
replikasi tersebut menghasilkan cerita sukses yang sama, saat itulah diharapkan
kelangkaan pasokan komoditas cabai penyebab gejolak harga bisa diatasi
tanpa menunggu perekonomian regional dan nasional tersengal-sengal. n

126
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

Praktek Sekolah
Lapang di
Kabupaten Maros,
Sulawesi Selatan.

Tanaman cabai
Kelompok tani
di Kecamatan
Tanralili.

Lahan percontohan
(demplot) Klaster
Cabai, Kabupaten
Maros, Sulawesi
Selatan.

127
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

B. Metode Rumah Semai

Konsolidasi Stakeholders Menguatkan Klaster Cabai Merah


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI (Jawa Barat & Banten)

Indonesia, selain dikenal memiliki kekayaan dan keragaman budaya, juga


dikenal dengan keragaman kulinernya. Hampir setiap daerah di Indonesia
memiliki kekhasan kuliner masing-masing. Kuliner boleh beragam, tapi ada
satu bahan pangan yang nyaris tidak pernah ketinggalan dan selalu dibutuhkan
dalam kuliner apapun di Indonesia. Apalagi kalau bukan cabai, termasuk cabai
merah. Banyak kalangan di masyarakat memang menyukai makanan pedas.
Tanpa rasa pedas cabai, makanan seolah tanpa rasa. Wajar kalau konsumsi cabai
pun terus meninggi.

Lantaran itu pula cabai, termasuk cabai merah, menjadi komoditas yang
sangat dibutuhkan hampir semua orang dari berbagai lapisan masyarakat.
Kebutuhan cabai merah selalu meningkat seiring dengan pertumbuhan
penduduk. Kebutuhan cabai merah bahkan bisa melonjak sangat tinggi saat
menjelang hari besar keagamaan. Harga cabai merah pun selalu fluktuatif
sejalan dengan produktivitas dan ketersediaan cabai merah di pasaran.

Tidak mengherankan kalau cabai merah juga menjadi salah satu komoditas
unggulan nasional yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan memberikan
andil signifikan terhadap inflasi, sehingga perlu dijaga sisi produksi maupun
distribusinya. Dan karena tanaman cabai merah tidak memerlukan persyaratan
tumbuh yang terlalu spesifik, secara umum budidaya bisa dilakukan di hampir
seluruh wilayah nusantara. Tak terkecuali di Provinsi Jawa Barat, yang sampai
saat ini memang tercatat sebagai salah satu produsen cabai merah terbesar di
Indonesia dengan sentra terbesar di Kabupaten Garut.

Meski begitu, produktivitas cabai merah di Provinsi Jawa Barat dinilai belum
optimal. Di banyak daerah di Provinsi Jawa Barat memang banyak ditemui
tanaman cabai. Tapi, kebanyakan petani cabai merah menerapkan sistem
tumpang sari. Dalam satu lahan ditanam sampai lebih dari lima komoditas
secara bersamaan. Misalnya menanam cabai bersamaan dengan kubis dan
tomat dalam satu lahan. “Petani di Jawa Barat menerapkan sistem tumpang
sari supaya pendapatan hasil produksi bisa diterima terus menerus sepanjang
tahun,” ungkap Trisna Insan Noor, akademisi dari Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran. Situasi dan kondisi inilah yang ditengarai menyebabkan produksi
cabai merah Provinsi Jawa Barat belum optimal dibanding daerah lain.

Di sisi lain, Provinsi Jawa Barat sesungguhnya diuntungkan dengan lokasinya


yang dekat ke Jakarta sebagai ibukota negara di mana daya beli masyarakat cukup

128
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

tinggi. Kedekatan akses pasar ini ternyata juga belum dimaksimalkan petani.
Pasalnya kebanyakan petani cabai merah di provinsi ini lebih mengandalkan
pasar tradisional yang harganya sangat fluktuatif. Tingginya ketergantungan
terhadap single market orientation itu menyebabkan petani cenderung
berlomba-lomba menanam cabai saat harga tinggi. Namun setelah tiga bulan
masa tanam dan panen, harga cabai bisa dengan mudah dipermainkan. “Jadi,
sudah biasa kalau melihat ada pedagang cabai mendadak kaya, lalu tiba-tiba
jadi bangkrut,” ujar Asep Wahyu, pengurus Koperasi Pasar Induk Caringin.

Inisiatif Klaster
Fakta-fakta miris di lapangan itulah yang kemudian memotivasi Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Wilayah VI berinisiatif menggulirkan program pengembangan
klaster cabai merah di Provinsi Jawa Barat. Program yang digulirkan pada 2011 ini
memilih Kabupaten Garut sebagai lokasi pengembangan klaster. Bukannya tanpa
alasan. Kabupaten Garut dipilih terutama karena menyimpan potensi produktivitas
cabai merah sangat besar. Apalagi Kabupaten Garut juga tercatat sebagai salah
satu kontributor besar produksi cabai Indonesia. Lokasi klaster sendiri ditentukan
meliputi 8 kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu Wanaraja, Cilawu, Bayongbong,
Ceigedug, Cikajang, Cisurupan, Sukaresmi, dan Pasirwangi.

Pemilihan lokasi pengembangan klaster pun diikuti dengan mengidentifikasi


petani champion dan kelompok petani yang berminat bergabung. Berbarengan
dengan itu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI juga menjalin sinergi dan
konsolidasi ke sejumlah pihak, instansi, dan stakeholders lain. Sebut saja misalnya
dari kalangan akademisi dengan Universitas Padjadjaran, dari kalangan industri
dengan PT Heinz ABC dan PT Indofood, termasuk Kamar Dagang dan Industri
serta perbankan setempat. Tak ketinggalan pula pemerintah daerah, termasuk
badan dan dinas terkait.

Sinergi dan konsolidasi tersebut tidak lain bertujuan membentuk kelompok


kerja sebagai pelaksana program pengembangan klaster cabai merah di
Kabupaten Garut. Setiap pihak yang tergabung kemudian dibagi menjadi
berbagai macam kelompok kerja, yaitu menyangkut penelitian, kemitraan, data
dan informasi, peningkatan sumber daya, dan pembiayaan. Terkait upaya fasilitasi
pemasaran hasil produksi klaster, pada tahun yang sama dibentuk Koperasi
Cagarit. Selanjutnya guna mendukung keberadaan koperasi tadi, diupayakan
pula akses pemasaran ke industri pengolahan cabai merah. Akses pemasaran pun
terbuka dengan terjalinnya kontrak kerjasama pembelian cabai merah produksi
koperasi dengan PT Heinz ABC hingga sekarang.

Sayangnya, petani dan kelompok tani yang tergabung dalam pengembangan


klaster belum memanfaatkan jaringan pemasaran tersebut secara maksimal.
Pasalnya, harga beli industri pengolahan, dalam hal ini PT Heinz ABC, dinilai sangat
rendah. Harga beli PT Heinz ABC tercatat hanya sebesar Rp8.000 per kilogram.

129
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Sedangkan harga cabai merah besar di pasar tradisional sudah mencapai Rp


20 ribu per kilogram. Belum lagi, tingkat reject cabai merah besar yang ditanam
masih sangat tinggi. “Cabai merah dengan bintik hitam atau warna yang beda
saja langsung ditolak industri,” ungkap Bubun, seorang petani di salah satu dari
delapan kecamatan anggota klaster. Ketatnya spesifikasi produk dituding jadi
penyebab kurangnya minat petani menjual ke industri.

Rumah Semai
Keadaaan tersebut tentu saja tidak bisa dibiarkan. Apalagi jika memperhatikan
dari tahun ke tahun minat petani menanam cabai merah dengan spesifikasi
dan standardisasi industri juga tak kunjung meningkat. Menghadapi situasi ini,
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI kembali berinisiatif menghadirkan
solusi berupa pembangunan Rumah Semai. Keberadaan Rumah Semai
diharapkan mampu mengikat sekaligus mendorong petani memproduksi cabai
merah sesuai spesifikasi dan standardisasi industri. Dalam pelaksanaannya
pengelola Rumah Semai akan memasok bibit cabai merah standar industri ke
petani. Dan sebagai syarat menerima bantuan bibit tersebut, petani penerima
wajib memasarkan dan menjual hasilnya ke PT Heinz ABC.

Keinginan untuk tetap mempertahankan akses pemasaran ke industri


tentu saja tidak dilakukan tanpa argumen. Meski dengan harga yang lebih
murah, industri menawarkan kepastian pasokan sekaligus memberikan
jaminan terhadap penyerapan hasil produksi. Penyerapan industri akhirnya
mampu membuat petani lebih fokus pada penanganan produksi dengan
cara memperbaiki kualitas serta produktivitas cabai merah yang dihasilkan.
Berdasarkan capaian ini, ke depan, pengembangan klaster didorong untuk
meluaskan akses pemasaran ke lain industri pengolahan cabai merah.

Sebagai langkah penjajakan sudah digelar pertemuan dengan sejumah


industri seperti East West Seed Indonesia, Yara (Meroke Tetap Jaya), Syngenta
Foundation SA, dan PT Alamanda. Penjajakan ini dinilai penting guna
menghadirkan dan membuka alternatif pemasaran bagi petani sehingga
mampu pula meningkatkan nilai tambah petani.

Selain perluasan akses pemasaran, penguatan kelembagaan terhadap


koperasi yang sudah terbentuk dipastikan tetap terus dilakukan guna
menunjang sistem yang sudah terbangun. Koordinator wilayah dalam Klaster
Cabai, Asep Zainal, berharap Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI
bisa terus memberikan bantuan permodalan atau akses ke perbankan untuk
memperkuat kelembagaan koperasi. “Bantuan juga bisa digunakan untuk
mengikat petani dengan program Klaster,” kata Asep.

Harus diakui, tanpa diperkuat aspek pembiayaan sebagai pemicu, koperasi


yang ada sulit bergerak hanya dengan mengandalkan sumber daya seadanya.

130
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

Selain akan memperhatikan aspek pembiayaan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia


Wilayah VI juga terus mengupayakan berbagai kegiatan lain untuk penguatan
kelembagaan koperasi. Salah satunya adalah dengan melakukan pendampingan
rapat anggota tahunan. Hal penting yang juga terus dilakukan adalah memberikan
edukasi bagi pengurus koperasi untuk memiliki semangat kebersamaan yang
menjadi jiwa koperasi.

Kunci Sukses
Mengubah budaya petani di Kabupaten Garut yang cenderung individualis
memang tidak mudah. Maka selain bantuan terkait program pengembangan
klaster, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI juga melakukan
pendekatan sosio-kultur. Pertemuan-pertemuan kelompok di masing-masing
kecamatan dilakukan secara reguler guna mendekati dan menyelami secara
langsung petani yang terlibat. Dan dalam setiap pertemuan kerap diingatkan
kalau inti koperasi adalah semangat kebersamaan. Melalui pendekatan ini
anggota klaster diyakini mampu menekan ego-ego pribadi dan menumbuhkan
semangat kemandirian.

Pendekatan sosio-kultur tadi diperkuat lagi dengan pemberian pelatihan


pengolahan cabai sisa pada anggota klaster. Seringkali, saat harga cabai jatuh,
cabai merah dibuang begitu saja untuk mengungkit harga jual. Padahal apabila
diolah menjadi produk cabai kering atau bubuk cabai, petani dapat memperoleh
pendapatan tambahan dan menyimpan cabai dalam waktu yang lama. Pelatihan
pengolahan cabai sisa inilah yang memastikan upaya pengembangan klaster
dilakukan secara terintegrasi dari hulu ke hilir.

Pengembangan klaster cabai merah adalah upaya bersama untuk


meningkatkan kemandirian dan nilai tambah bagi petani. Dalam prosesnya,
pengembangan klaster melibatkan berbagai aspek seperti budaya, sosial,
ekonomi, bahkan hukum sehingga kerja keras dan komitmen menjadi
aspek utama. Keterlibatan dan konsolidasi dengan berbagai pihak yang
mencakup semua aspek itu sulit dipungkiri menjadi kunci sukses klaster.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI memang menginisiasi klaster
cabai merah di Kabupaten Garut. Tapi keberhasilannya merupakan hasil urun
rembug dan kontribusi berbagai pihak. Kutipan terkenal dari Henry Ford tepat
menggambarkan kondisi tersebut; "Coming together is a beginning; keeping
together is progress; working together is success”.

Upaya mendorong anggota klaster mengembangkan jenis cabai yang


dipasarkan akan terus dilakukan. Pembinaan dan penguatan koperasi terus
dilanjutkan seperti juga pembukaan akses ke perbankan, serta pemasaran
ke industri, pasar modern, dan ekspor. Semua itu dipercaya bisa mendukung
terciptanya kesinambungan dan kemandirian petani anggota klaster, sekaligus
memastikan klaster berkembang secara terintegrasi dari hulu ke hilir. Kantor

131
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Perwakilan Bank Indonesia


Wilayah VI sebagai inisiator bagi
stakeholders terkait, dalam konteks
ini, tak ubahnya batu kecil yang
dilempar ke air dan menimbulkan
riakan besar. “I alone can not
change the world, but I can cast a
stone across the waters to create
many ripples.” - Mother Teresa. n

Pola Pengembangan Klaster


Cabai Merah
SINERGI PENGEMBANGAN RUMAH HASIL
SEMAI CABAI MERAH
1. Kantor Perwakilan 1. Terjalinnya kontrak kerja
Bank Indonesia 1. Pembentukan kelompok sama pembelian cabai
Wilayah VI (Jawa kerja yang menyangkut merah produksi Koperasi
Barat dan Banten). penelitian, kemitraan, data dan Cagarit dengan PT Heinz
informasi, peningkatan sumber ABC hingga sekarang.
2. Pemerintah daya, dan pembiayaan.
Kabupaten Garut, 2. Industri memberikan
Provinsi Jawa Barat 2. Fasilitasi pembentukan kepastian pasokan
serta dinas-dinas Koperasi Cagarit. sekaligus jaminan terhadap
terkait. penyerapan hasil produksi.
3. Pembukaan dan perluasan
3. Universitas akses pemasaran ke industri 3. Petani fokus pada
Padjadjaran. pengolahan cabai merah. penanganan produksi
dengan memperbaiki
4. Kalangan industri 4. Pembangunan Rumah kualitas dan produktivitas
seperti PT Heinz ABC Semai yang mendorong cabai merah.
dan PT Indofood, petani memproduksi cabai
termasuk Kamar merah sesuai spesifikasi dan 4. Penjajakan perluasan
Dagang dan Industri standardisasi industri. pasar dengan sejumah
serta perbankan industri seperti East West
setempat. 5. Pelatihan pengolahan cabai Seed Indonesia, Yara
sisa pada anggota klaster (Meroke Tetap Jaya),
untuk menghasilkan nilai Syngenta Foundation SA,
tambah. dan PT Alamanda.

6. Pendampingan rapat 5. Muncul semangat


anggota tahunan koperasi. kebersamaan dalam
mengelola koperasi.

132
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

Kepala Perwakilan BI
Wilayah VI, Bp. Dian
Ediana Rae seusai
meresmikan Pelatihan
Pengolahan Pasca Panen
Cabai Merah, di Klaster
Cabai Merah Cigedug –
Garut.

Rumah Semai Cabai


Merah Garut, ban-
tuan Bank Indonesia
(PSBI) 14 Juni 2013

Peserta Pelatihan
Pengolahan Pasca
Panen Cabai
Merah.

133
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

C. Metode Pengaturan Tanam (jadwal dan Kuota)

Database Pengaturan Tanam Menjaga Konsistensi


Produksi Cabai
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri

Cabai merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan
mempunyai prospek pasar yang unik dan menarik. Salah satu keunikan komoditas
cabai adalah sifatnya yang tidak dapat disubstitusi atau diganti komoditas lainnya.
Indonesia sendiri sampai saat ini masih tercatat sebagai salah satu penghasil cabai
terbesar dunia. Data terakhir Kementerian Pertanian yang dilansir media massa
nasional menyebutkan produksi cabai secara nasional mencapai 855 ribu ton per
tahun. Sedangkan kebutuhan hanya sekitar 799 ribu ton. Ini berarti Indonesia bisa
menikmati surplus sampai sebesar 55 ribu ton per tahun.

Di Indonesia sendiri penyumbang utama produksi cabai adalah Provinsi Jawa


Timur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur mengungkapkan
pada 2012, produksi cabai merah besar saja sudah mencapai 99,67 ribu ton,
meningkat 25,99 ribu ton atau 35,28 persen dibandingkan tahun sebelumnya
yang hanya 73,674 ribu ton. Dan salah satu penyumbang terbesar bagi produksi
cabai Provinsi Jawa Timur adalah Kabupaten Kediri.

Kendati Indonesia memiliki ketersediaan komoditas yang mampu mencukup


kebutuhan dan konsumsi dalam negeri, namun gejolak harga seringkali tetap

134
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

terjadi. Kondisi serupa juga terjadi di Provinsi Jawa Timur. Banyak kalangan
mengakui, pada saat-saat tertentu khusus pada musim hujan, produksi cabai
kurang bagus. Akibatnya, pada saat-saat seperti itu produksi cabai kurang
bagus sehingga menjadikan produksinya pada masa tertentu kurang dari
kebutuhan atau konsumsi. Pada saat seperti ini pula gejolak dan fluktuasi harga
cabai sulit dihindari.

Selama ini budidaya cabai memang dilakukan secara musiman (seasonal).


Umumnya budidaya cabai dilakukan awal musim kemarau dan produksinya
cenderung menurun selama musim penghujan. Kondisi tersebut menyebabkan
produksi cabai tidak bisa merata sepanjang tahun. Inilah yang ditengarai
menyebabkan harga sangat berfluktuasi sepanjang tahun. Lantaran itu pula
bisa dibilang prospek pasarnya tidak stabil, terutama ketika di hari-hari besar
keagamaan. Pada saat bersamaan ketersediaan cabai juga rendah. Dan
juga harga melambung tinggi sekali, bahkan berpengaruh terhadap inflasi.
Sebaliknya ketika musim panen raya, produksi berlimpah dan harga bisa jatuh
sangat rendah sekali. Pola ini terjadi hampir setiap tahun.

Menghadapi kenyataan seperti itu, maka salah satu solusi yang perlu
dilakukan adalah menjaga agar produksi cabe bisa merata sepanjang tahun,
sehingga tidak menimbulkan fluktuasi harga. Tingkat harga yang relatif stabil
sangat diperlukan guna menjaga iklim berusaha tani yang lebih menjanjikan,
tataniaga yang mantap maupun konsumsi yang stabil. Karena itu perlu kiranya
dilakukan perencanaan pengaturan tanam cabai merah pada periode tertentu
(off season) untuk memenuhi ketersediaan. Pengaturan seperti ini membuka
peluang untuk menghindari fluktuasi produksi dan harga tinggi.

Jadwal dan Kuota Tanam


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri menyadari peluang meredam gejolak
dan fluktuasi harga cabai dengan pengaturan masa tanam tersebut, bisa
dimanfaatkan pula untuk menekan laju inflasi, setidaknya di daerah. Maka Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Kediri pun segera mengambil langkah inisiatif dengan
meluncurkan program ketahanan pangan melalui strategi Pola Pengaturan
Tanam. Pola ini dikenal juga sebagai Jadwal dan Kuota Tanam. Dalam program ini
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri juga berinisiatif menjalin sinergi dengan
Pemerintah Kabupaten Kediri, di mana lokasi penerapan program dilakukan.

Program ini tentu saja bertujuan menjaga stabilitas ketersediaan komoditas


cabai dengan cara mengatur jadwal dan kuota tanam. Pengaturan tanam seperti
ini diharapkan bisa mencegah terjadinya kelebihan pasokan (over supply) yang
menyebabkan harga jatuh dan merugikan petani. Sebaliknya, pengaturan tanam
juga diharapkan mampu menghindari kelebihan permintaan (over demand)
yang menyebabkan lonjakan harga dan mengundang impor.

135
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Terkait pelaksanaan program Jadwal dan Kuota Tanam tersebut, segera


pula disiapkan sejumlah rencana kerja kegiatan. Salah satunya adalah membuat
database pola pengaturan tanam komoditas cabai, sehingga jumlah pasokan dari
Kabupaten Kediri bisa diprediksi sebelumnya. Kegiatan lainnya adalah membantu
pembangunan waduk mini (embung) di sentra-sentra perkebunan cabai yang
bersifat tadah hujan. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri pastinya tidak
hanya menggandeng Pemerintah Kabupaten Kediri, tapi juga menggandeng
petani cabai yang tergabung dalam Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI)
Kabupaten Kediri. Petani anggota asosiasi ini pun diikutsertakan dalam program.

Dalam pelaksanaan program pengaturan Jadwal dan Kuota Tanam


komoditas cabai ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri sebenarnya
pernah mengusulkan adanya penetapan harga minimum cabai merah sebesar
Rp5.480 per kilogram. Namun, lantaran keterbatasan anggaran daerah, usulan
tadi tidak bisa diterapkan. Dan akhirnya, mekanisme pembentukan harga tetap
diserahkan pada mekanisme pasar, keseimbangan antara permintaan dan
ketersediaan pasokan.

Database Kunci
Kendati tidak memiliki pedoman harga minimum, program inisiatif Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Kediri tersebut tetap mampu membuahkan hasil
positif. Kegiatan penyusunan database pola tanam komoditas cabai memberikan
hasil berupa terciptanya rumusan prognosa rencana tanam bulanan sepanjang
tahun 2013. Prognosa ini diikuti juga dengan monitoring realisasinya setiap bulan.

136
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

Hasil lain yang tidak kalah pentingnya adalah munculnya kecenderungan


diversifikasi produk dari komoditas cabai. Kegiatan pengolahan cabai, khususnya
cabai merah, bahkan sudah pula menghasilkan sejumlah produk turunan. Sebut
saja misalnya abon cabai, aneka sambal, dan sebagainya. Produk-produk olahan
cabai tersebut terbukti mampu menjadi pilihan peningkatan pendapatan petani
pada saat harga cabai segar terlalu rendah.

Pelaksanaan program pengaturan Jadwal dan Kuota Tanam komoditas cabai


inisiatif Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri jelas memberikan gambaran
pentingnya keberadaan database. Selanjutnya, petani bisa mengakses database
tersebut guna mengatasi ketidakmerataan informasi antara petani dan pedagang.
Database dalam program Jadwal dan Kuota Tanam tersebut tak pelak menjadi
kunci keberhasilan program. Keberadaan database terkait pengaturan pola
tanam juga akan memudahkan dalam penghitungan ketersediaan komoditas.
Diversifikasi produk komoditas cabai menjadi produk olahan, sebagai dampak
positif program, diharapkan mengubah pola pikir masyarakat untuk mengonsumsi
cabai olahan sekaligus menekan permintaan cabai segar.

Bergejolaknya harga cabai yang terjadi setiap tahunnya tidak lepas dari
faktor ketersediaan dan permintaan alias keseimbangan supply dan demand.
Kehadiran diversifikasi produk olahan berbahan cabai diharapkan mampu
menekan konsumsi cabai segar. Sedangkan pengaturan pola tanam dengan
Jadwal dan Kuota Tanam yang berbasis pada database tadi, diharapkan mampu
menjaga produksi cabai pada tingkat memadai sepanjang tahun. Pola tanam
komoditas cabai tidak lagi dilakukan secara musiman, tetapi benar-benar
terencana dan terukur produksi dan ketersediaannya sepanjang tahun. Fluktuasi
harga pun bisa dihindari. n

137
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

D. Metode Rumah Pangan Lestari

Melepas Ketergantungan pada Pasar dengan Rumah


Pangan Lestari
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan

Siapa tak suka cabai? Sebagian besar masyarakat Indonesia seperti tak bisa
terlepas dari bahan pangan yang satu ini. Cabai memang bukan bahan pangan
pokok. Tapi tingkat kebutuhan dan konsumsinya di masyarakat nyaris setara
dengan bahan pangan pokok. Kebiasaan masyarakat mengonsumsi cabai dan
makanan pedas, membuat permintaan cabai terus meninggi. Sebaliknya, karena
berbagai sebab, pasokan cabai di pasaran masih terbatas.

Lantaran itu pula, seperti bahan pangan pokok seperti beras, komoditas
cabai seolah enggan dipisahkan dari laju inflasi. Kebiasaan mengonsumsi
masakan pedas menjadi pendorong utama permintaan cabai yang cenderung
tinggi dan stabil. Hal ini yang membuat pergerakan harga cabai sering kali
memberikan dampak yang signifikan terhadap inflasi. Kebutuhan bahan
pangan termasuk cabai, hampir setiap tahun mengalami lonjakan harga. Bukan
hanya secara nasional tapi juga di sejumlah daerah.

Gambaran seperti itu terlihat pula di Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur.


Inflasi Desember 2012 di provinsi ini mencapai 0,73 persen, naik dari inflasi
November yang hanya 0,10 persen. Inflasi tiap bulannya diakumulasikan,
sehingga menjadikan inflasi Provinsi Kalimantan Timur selama 2012 mencapai
5,60 persen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi terjadi di tiga
kota, dan Balikpapan menempati urutan pertama, dengan tingkat inflasi pada
2012 mencapai 6,41 persen. Angka inflasi ini semakin terasa menyesakkan karena
pada 2008, lewat sebuah survei yang dilakukan lembaga konsultan sumber daya
manusia dan jasa keuangan Mercer Indonesia, Balikpapan juga tercatat sebagai
kota dengan biaya hidup termahal di Indonesia.

Berdasarkan daftar 26 Kota yang disurvei, Balikpapan mengalahkan Jakarta


dan Bekasi yang masing-masing berada di urutan dua dan tiga. Survei Biaya Hidup
itu menyebutkan Balikpapan sebagai kota termahal di Indonesia, dengan indeks
107. Tingginya daya beli akibat dominannya sektor pertambangan (minyak, gas,
dan batu bara) dan perkebunan besar (terutama kelapa sawit) juga mengakibatkan
kurangnya budaya produktif di sektor lain di masyarakat perkotaan.

Data hasil survei itu tentu saja tidak bisa dipandang sebelah mata. Pasalnya,
hasil survei tersebut cukup mencerminkan dampak biaya hidup tinggi terhadap
masyarakat berpenghasilan rendah. Biaya hidup yang tinggi, biasanya identik
dengan inflasi tinggi, terutama pada sembilan kebutuhan bahan pokok seperti

138
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

beras, minyak dan bumbu-bumbuan termasuk cabai. Banyak dari kebutuhan


bahan pangan pokok tersebut justru didatangkan dari provinsi lain.

Rumah Pangan Lestari


Balikpapan sebagai pintu gerbang Provinsi Kalimantan Timur memang
merupakan kota yang mempunyai ketergantungan cukup tinggi pada
pasokan pangan dari luar provinsi. Kota berjuluk kota minyak ini belum
mampu menghasilkan kebutuhan pangan secara mandiri, terutama komoditas
hortikultura seperti cabai. Tingginya kebutuhan atas komoditas ini masih banyak
dipenuhi dari luar pulau seperti Jawa dan Sulawesi. Faktor utama ketergantungan
ini disebabkan terbatasnya lahan pertanian yang tersedia dan tingginya biaya
produksi pertanian di kota ini.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan pastinya tidak ingin membiarkan


laju inflasi akibat bergejolaknya harga cabai terus menghantui. Namun, guna
meningkatkan produksi dari sisi supply juga sulit dilakukan lantaran keterbatasan
lahan untuk skala produksi besar. Maka, sebagai inisiatif awal mendorong
ketahanan pangan daerah, digelarlah Forum Group Discussion (FGD) yang
melibatkan sejumlah pihak; Kantor Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan,
Pemerintah Kota Balikpapan, Dinas Pertanian, dan organisasi Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Setelah memperhatikan segala keterbatasan yang ada, forum tersebut


akirnya menghasilkan model program ketahanan pangan model Rumah Pangan
Lestari (RPL). Dalam program ini, akan mengoptimalkan lahan pekarangan
rumah yang ada untuk budidaya cabai. Melalui RPL seluruh program dan
gerakan menuju ketahanan pangan disinergikan demi mengoptimalkan lahan
pekarangan rumah tangga untuk budidaya tanaman pangan, khususnya cabai.
Dan sasarannya justru bukan pada petani, melainkan masyarakat non-petani di
Balikpapan.

Sedangkan komoditas cabai yang dipilih dalam program ini adalah cabai
rawit, bukan cabai merah seperti di daerah lain. Pemilihan cabai rawit diputuskan
dengan mempertimbangkan jenis cabai yang banyak dikonsumsi masyarakat
Balikpapan adalah cabai rawit. Gagasan sinergi RPL ini akhirnya diformalkan
dalam bentuk nota kesepahaman dengan pihak-pihak terkait, pada April 2013,
tentang Rumah Pangan Lestari Balikpapan (RPLB).

Selanjutnya, mulailah digulirkan sejumah bantuan berupa pelatihan dan


pendampingan penanaman cabai rawit di lahan pekarangan rumah tangga.
Pelatihan yang diberikan antara lain pelatihan teknis budaya, pembuatan pupuk
organik, dan pengenalan metode ketahanan pangan RPLB. Pelatihan yang
diberikan kepada calon pendamping ini dilanjutkan dengan pendistribusian
benih cabai rawit dan sarana pendukung lain kepada setiap kelompok

139
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

masyarakat di 34 kelurahan. Pelatihan lain yang diberikan berupa pelatihan


penanganan atau pengendalian hama penyakit pada tanaman cabai rawit
dengan metode obat organik.

Seluruh pelatihan tersebut diperkuat lagi dengan penyediaan tenaga ahli


sebagai pendamping ahli (konsultan). Masalahnya, pelatihan dan pendampingan,
termasuk keberadaan konsultan saja ternyata tidak cukup. Apalagi cabai
merupakan salah satu tanaman yang membutuhkan perawatan lebih rumit. Dan
karenanya dibutuhkan pula pendamping atau penyuluh yang bisa secara rutin
memberikan pendampingan. Situasi dan kondisi itulah yang kemudian menuntut
hadirnya pendamping bersifat swadaya, yang akhirnya juga mampu dilahirkan
dari pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan. Dari setiap kelurahan dipilih calon-
calon pendamping untuk mengikuti pelatihan. Selanjutnya pendamping swadaya
inilah yang menjadi pendamping bagi masyarakat yang tidak mengikuti pelatihan.

Sepintas, pelaksanaan program ketahanan pangan dengan RPL terlihat berjalan


mulus. Pelatihan demi pelatihan berlangsung lancar. Tapi faktanya menunjukkan
situasi yang berbeda. Salah satu kendala yang dihadapi adalah karakteristik
masyarakat kota yang didominasi penduduk dengan strata sosial lebih tinggi.
Masyarakat di strata sosial ini hampir seluruhnya memiliki sumber penghasilan non-
agraris, bukan petani, serta memiliki mobilitas tinggi dengan kontak sosial yang
rendah. Karakteristik masyarakat seperti ini dinilai cukup menghambat kegiatan
pelatihan dan pendampingan yang diberikan.

Pendamping Swadaya
Namun, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan dan pihak lain yang
terkait, tak menyerah menghadapi kendala tersebut. Maka digelarlah sebuah
pertemuan secara reguler dengan anggota kelompok atau warga di setiap
kelurahan yang sudah menerima bantuan. Dalam pertemuan tersebut, warga
yang sudah mengikuti pelatihan bisa membantu meningkatkan pemahaman
tentang pentingnya RPL dan lahan produktif di sekitar rumah. Di sisi lain,
pertemuan menjadi solusi mengatasi karakteristik masyarakat perkotaan
tadi, secara tidak langsung juga mengatasi keterbatasan tenaga penyuluh
lapangan.

Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Satu solusi berupa
pertemuan reguler mampu mengatasi kendala karakteristik masyarakat kota
dan keterbatasan penyuluh lapangan. Pelaksanaan program ketahanan pangan
dengan RPL pun membuahkan hasil. Masyarakat non-petani yang sebelumnya
tidak memiliki pengetahuan tentang budidaya komoditas pangan, jadi mulai
memahami teknik budidaya tanaman pangan khususnya cabai rawit. Bahkan
sudah pula mengarah menjadi pendamping swadaya di lingkungan masing-
masing.

140
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Produksi (Metode Penanaman)

Alhasil, pengetahuan dan pemahaman teknik budidaya cabai memanfaatkan


lahan pekarangan rumah tangga pun dengan sendirinya terduplikasi. Salah
satu bukti nyata duplikasi positif tersebut adalah terjadinya peningkatan jumlah
pendamping swadaya di masyarakat perkotaan, di setiap kelurahan. Jika
sebelumnya, di awal program, tercatat hanya berjumlah 90 orang, maka setelah
program digulirkan jumlahnya meroket menjadi 190 orang di 34 kelurahan.

Tak pelak, upaya-upaya menciptakan pendamping-pendamping swadaya


merupakan terobosan tersendiri. Program RPL sendiri dipastikan menjadi
kata kunci dalam keberhasilan mengembangkan tanaman pangan di lahan
pekarangan rumah tangga. Namun, kehadiran pendamping swadaya sebagai
hasil dari pelatihan dan pendampingan yang diberikan terkait program, kini
menjadi kunci penting dalam pencapaian keberhasilan RPL. Lahirnya banyak
pendamping swadaya seperti ini bukan hanya memainkan peran penting, tapi
juga layak direplikasi.

Dalam jangka pendek, masyarakat bisa memanfaatkan hasil dari pekarangan


rumah jika harga cabai, termasuk cabai rawit di pasaran melambung tinggi.
Masyarakat pun jadi memiliki kemampuan menguatkan ketersediaan, setidaknya
untuk kebutuhan internal rumah tangga yang bersangkutan, tanpa harus
bergantung pada pasokan di pasaran. Bahkan sebaliknya, jika memungkinkan,
hasil tanaman pangan di pekarangan tadi bisa pula dijual dalam bentuk cabai
segar di pasaran. Stok cabai rawit di pasar lebih jadi kuat dan pendapatan
serta kesejahteraan rumah tangga meningkat. Dalam jangka panjang gerakan
penanaman produk pertanian di lahan pekarangan diharapkan tidak terbatas
pada komoditas cabai, tapi bisa pula diperluas ke tanaman hortikultura lainnya
sesuai kebutuhan masyarakat seperti; terong, tomat, kacang panjang dan
sebagainya.

Berbicara ketahanan pangan memang tak melulu bicara soal produksi


berskala besar. Ketahanan pangan terbukti bisa dimulai dari lingkup yang jauh
lebih kecil dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah tangga. Dengan
terpenuhinya kebutuhan internal rumah tangga, ketergantungan pada stok di
pasaran akan berkurang sekaligus mendukung tercapainya stabilisasi harga. n

141
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

4.2. Peningkatan Akses Pemasaran (Metode Pemasaran)

Mengantar Petani ke Rumah Pasar dan Stabilitas Harga (Pres)


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan

Komoditas bahan pangan, tak banyak yang menyangkal, merupakan


komoditi yang sangat volatile dan berpengaruh atau berdampak langsung pada
kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berpenghasilan tetap. Lantaran itu,
tidak juga dibantah, penanganan persoalan-persoalan pangan perlu dilakukan
secara serius dan fokus. Bukan hanya demi mengawal kesejahteraan masyarakat,
tapi juga mencapai kemandirian pangan, ketahanan dan kedaulatan pangan
secara berkelanjutan.

Kendati begitu, harus diakui pula, tantangan untuk mewujudkan pemantapan


ketahanan pangan masih cukup besar. Sebut saja misalnya tantangan perubahan
iklim yang memicu bencana alam banjir, sehingga mengganggu produksi
pangan. Belum lagi terjadinya alih fungsi lahan subur untuk keperluan di luar
pertanian pangan, sementara pemanfaatan lahan terlantar belum optimal.
Kondisi seperti ini seringkali menyebabkan beberapa daerah di Indonesia
belum mampu memenuhi sendiri kebutuhan bahan pangannya dan masih
tergantung pasokan bahan pangan dari daerah lain.

Ketergantungan itu, jika dibiarkan, bisa menjadi bumerang bagi daerah


bersangkutan. Terutama ketika terjadi kendala pasokan, baik saat mengalami
kegagalan panen di daerah sumber penghasil maupun saat terjadinya gangguan
distribusi yang disebabkan perubahan iklim. Moda-moda transportasi terkait
distribusi bahan pangan tidak bisa melayani pengangkutan bahan pangan.
Distribusi pun menjadi sangat lambat dan tidak efisien. Semua ini tentunya akan
berujung pada terjadinya kelangkaan bahan pangan, yang pada akhirnya juga
memicu kenaikan harga atau laju inflasi.

Gambaran tersebut setidaknya sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi
di Provinsi Kalimantan Selatan, khusus untuk komoditas cabai. Di provinsi ini,
cabai merah besar boleh jadi salah satu komoditas pangan strategis lantaran
tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Sementara itu, tingkat produksinya
belum mencukupi. Sehingga, Provinsi Kalimantan Selatan tercatat masih memiliki
ketergantungan dengan daerah lain. Upaya pemenuhan kebutuhan komoditas
cabai pun harus didatangkan dari luar daerah, terutama Pulau Jawa sebagai
daerah utama penghasil cabai.

Rumah Pasar
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan melihat, dalam
kondisi seperti itu, sesungguhnya terbuka peluang untuk mengembangkan

142
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Akses Pemasaran (Metode Pemasaran)

potensi cabai sebagai bagian dari pencapaian ketahanan pangan. Pemanfaatan


peluang itu diawali dengan menggelar survey pendahuluan dan Forum
Group Discussion, yang dilanjutkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan
terkoordinasi lain. Sampai akhirnya diputuskan memanfaatkan peluang tadi
dengan menggulirkan program ketahanan pangan berupa pendirian Rumah
Pasar. Sedangkan lokasi pengembangan klaster dipilih Kabupaten Hulu Sungai
Selatan dengan melibatkan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Puspa di
Desa Telaga Langsat, Kecamatan Telaga Langsat. Program pengembangan
klaster cabai merah besar inisiasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Kalimantan Selatan itu pun diformalkan dalam kerja sama dengan Pemerintah
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, pada Juni 2012.

Bersamaan dengan itu ditetapkan pula beberapa sasaran program yang ingin
dicapai. Salah satunya adalah menciptakan sinergi program Pemerintah Kabupaten
Hulu Sungai Selatan dengan program Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Kalimantan Selatan terkait pemberdayaan sektor riil dan usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM) yang selaras dengan pengendalian laju inflasi. Sasaran lain
adalah mendorong akselerasi program pengembangan cabai merah besar
sesuai potensi dan kompetensi masyarakat. Selain itu juga menjadikan penguatan
kelembagaan kelompok petani, perbaikan mekanisme pasar, dan kegiatan terkait
dari hulu sampai hilir, sebagai sasaran program.

Program pendirian Rumah Pasar ini pada dasarnya menitikberatkan pada


penguatan kelompok tani terkait akses pemasaran hasil komoditas cabai merah
besar bagi anggota kelompok. Dalam prosesnya, anggota kelompok tani atau
Gapoktan Puspa diwajibkan menjual ke Gapoktan Puspa dengan potongan harga.
Ini dilakukan tak lain sebagai langkah awal penguatan permodalan Gapoktan
Puspa yang nantinya akan bertransformasi menjadi koperasi serba usaha (KSU).
Selanjutnya, koperasi ini juga akan melayani simpan pinjam, pengadaan sarana
dan prasarana untuk anggota, serta akses pasar agar pada saat terdesak anggota
kelompok tadi tidak menjual ke tengkulak.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan akan melakukan


operasi pasar pada saat harga anjlok sampai di bawah harga dasar, yaitu
BEP ditambah 10 persen. Penerapan pola tanam yang ketat juga dilakukan
guna mendorong terciptanya stabilisasi harga cabai merah besar di pasaran
serta menghindari serangan hama penyakit tanaman. Pemerintah Kabupaten
Hulu Sungai Selatan juga menyediakan mobil Cooling Box guna membantu
pemasaran ke luar daerah sehingga harga di tingkat petani selalu stabil. Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan pun memberikan sejumlah
fasilitasi mulai dari pelatihan, pendampingan, sertifikasi lahan, pemberdayaan
kelembagaan sampai peningkatan pemasaran dan intermediasi perbankan.

Hampir seluruh program kerja 2012-2013 yang tertuang dalam kesepakatan

143
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

sudah dilaksanakan secara komprehensif. Misalnya saja seluruh kegiatan


yang berkaitan dengan beberapa aspek seperti penguatan kelembagaan
Gapoktan Puspa, pembiayaan, peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia, dan penguatan akses pasar. Salah satu kegiatan penting yang sudah
terlaksana pengelolaan Rumah Pasar adalah penguatan kelembagaan berupa
pembentukan Koperasi Puspa, pada Desember 2012. Pendirian koperasi
itu diperkuat lagi dengan sertifikasi lahan Rumah Pasar atas nama Koperasi
Puspa, pada September 2013. Saat ini, Koperasi Puspa sudah dipenuhi dengan
sosialisasi pembiayaan, sertifikasi lain, serta pelatihan administrasi koperasi dan
pengelolaan Rumah Pasar.

Peran Penting Sinergi


Terlaksananya seluruh kegiatan dalam program pengembangan cabai merah
besar berupa Rumah Pasar terbukti mampu memberikan hasil dan dampak
positif. Salah satunya adalah terjadi peningkatan penjualan volume cabai merah
besar yang dilakukan secara bersama dari dua ton menjadi lima ton. Jumlah
petani yang bersedia menjual cabai merah besar secara bersama di Tumah Pasar
pun bertambah, hingga saat ini tercatat sebanyak 45 petani. Dampak positif lain
adalah terciptanya layanan lain untuk petani berupa kegiatan sosialisasi tentang
pembiayaan kredit, pelatihan pemakaian obat pembasmi hama tanaman,
sosialisasi produk sarana dan prasarana dari produsen, serta pengendalian
hama terpadu.

Rumah Pasar juga merupakan kunci keberhasilan dan capaian positif tadi.
Saat ini, Rumah Pasar mampu menghadirkan sejumlah pelajaran berharga.
Dalam program ini, anggota gapoktan melakukan penanaman cabai secara
serentak dan menjual hasilnya bersama-sama ke Rumah Pasar, sehingga tingkat
harga lebih stabil. Fakta ini mendorong Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai
Selatan, mulai 2012, mengeluarkan jadwal pola tanam sepanjang tahun bagi
petani. Hasilnya, harga terendah di tingkat petani selama 2012 mencapai Rp12
ribu per kilogram, dan pada 2013 naik menjadi Rp15 ribu per kilogram.

Program Rumah Pasar juga menghadirkan aktivitas kelompok tani dan


koperasi yang terpusat. Sebelumnya, karena lahan anggota yang tersebar,
banyak petani menjual hasil panennya di pinggir jalan atau di tepi sawah, dan
lingkungan sekitar rumah petani kepada pedagang pengepul. Namun saat
ini, Rumah Pasar diperkuat dengan kehadiran koperasi, tidak hanya menjadi
pusat penjualan hasil panen petani cabai merah besar, tapi juga menjadi pusat
penguatan aspek teknis pertanian serta kegiatan ekonomi pendukung seperti
simpan pinjam.

Sinergi dengan pihak dan instansi terkait merupakan pelajaran penting lain
yang bisa dipetik dari program Rumah Pasar. Penetapan jadwal pola tanam,
pemberian bantuan benih cabai merah besar, penyediaan sarana transportasi

144
Komoditi Cabai Merah | Peningkatan Akses Pemasaran (Metode Pemasaran)

dan distribusi penjualan ke daerah lain, jelas merupakan dukungan besar dan
sangat berarti. Sinergi dan dukungan tersebut menjadi semakin kuat ketika
Badan Pertanahan Nasional (BPN) turut berpartisipasi memberikan dukungan.
Salah satunya berupa sosialisasi sertifikasi serta pembuatan sertifikat lahan
Rumah Pasar dan lahan anggota gapoktan. Selama 2013, sertifikasi lahan
anggota Gapoktan Puspa mencapai 242 persil. Ini masih diperkuat lagi dengan
keikutsertaan PT BRI terkait pembiayaan anggota Gapoktan Puspa yang sampai
akhir 2013 realisasinya menyentuh sebesar Rp213 juta untuk 12 petani.

Keberhasilan program pengembangan klaster cabai merah besar inisiasi


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan, serta pelajaran-
pelajaran berharga yang dihadirkan, jelas bisa memainkan peran penting dalam
upaya pencapaian ketahanan pangan, pertumbuhan ekonomi, juga meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Provinsi Kalimantan Selatan jelas memiliki potensi
besar, baik dari sisi luasan lahan maupun kepedulian pemerintah provinsi dan
daerah, guna mewujudkan kemandirian pangan.

Merealisasikan mimpi ketahanan pangan memang bukan pekerjaan parsial,


melainkan tugas bersama sehingga menumbuhkan pemahaman yang sama
betapa pentingnya kemandirian pangan yang bermuara pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan pun
mengapreasiasi dan menyambut baik program Rumah Pasar dan berharap bisa
dilanjutkan dengan rangkaian kegiatan dalam skala lebih besar. n

145
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

4.3. Penguatan Kelembagaan (Metode Sekolah Lapang)

A. Berbekal Sekolah Lapang Meredam Gejolak Harga Cabai


Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Yogyakarta. Jika mendengar nama kota yang satu ini, biasanya langsung
terlintas dalam pikiran tentang kekayaan budaya tradisional khas Jawa. Mulai
dari batik sampai industri kerajinan kreatif yang berjajar di sepanjang jalan
Malioboro. Hal lain yang sering muncul dalam ingatan ketika mendengar nama
Yogyakarta adalah kekayaan obyek wisatanya, baik terkait alam maupun terkait
peninggalan bersejarah seperti Keraton Yogyakarta, Candi Borobudur dan Candi
Prambanan serta peninggalan sejarah lain. Mungkin juga langsung terlintas
dengan julukannya sebagai Kota Pendidikan. Bahkan, kuliner khas bernama
Gudeg rasanya sulit terlupakan bisa mendengar nama kota Yogyakarta.

Dengan kenyataan itu wajar kalau Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, pada Juli 2013 melansir sektor sektor ekonomi yang
memiliki peranan terbesar dalam perekonomian provinsi ini pada triwulan II
2013 adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 20,75 persen,
diikuti sektor jasa-jasa sebesar 20,34 persen. Angka ini menjadi semakin
sesuai dengan posisi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sejak lama
memang menjadi daerah kunjungan wisata, baik wisatawan domestik maupun
mancanegara. Sedangan sumbangan sektor pertanian perekonomian hanya
sekitar 12,99 persen. Apalagi kalau berbicara kontribusi tanaman pangan
hortikultura, khususnya komoditas cabai.

Pastinya, sangat jarang terdengar pembicaraan mengenai Provinsi Daerah


Istimewa Yogyakarta yang dikaitkan dengan cabai. Meski terkesan kurang populer,
namun fakta yang ada memperlihatkan komoditas cabai sebagai bahan pangan
memainkan peran yang tidak kecil bagi pertumbuhan ekonomi provinsi yang satu
ini. Data BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan, produksi cabai
besar segar dengan tangkai tahun 2012 sebesar 16,46 ribu ton dengan luas panen
cabai besar seluas 2,68 ribu hektar dan rata-rata produktivitas 6,13 ton per hektar.
Dibandingkan tahun 2011, terjadi kenaikan produksi sebesar 2,05 ribu ton (14,21
persen). Kenaikan ini disebabkan kenaikan produktivitas sebesar 0,46 ton per
hektar (8,16 persen) dan kenaikan luas panen sebesar 142 hektar (5,59 persen)
dibandingkan tahun sebelumnya.

Begitu pula dengan produksi cabai rawit segar dengan tangkai, yang pada
2012 mencapai sebanyak 2,32 ribu ton dengan luas panen cabai rawit seluas
0,71 ribu hektar, dan rata-rata produktivitas 3,28 ton per hektar. Dibandingkan
2011, terjadi kenaikan produksi sebesar 0,16 ribu ton (7,27 persen). Meski luas
panen mengalami penurunan sebanyak minus 38 hektar (minus 5,09 persen),

146
Komoditi Cabai Merah | Penguatan Kelembagaan (metode sekolah Lapang)

namun karena produktivitas mengalami kenaikan sebesar 0,38 ton per hektar
(13,04 persen) mengakibatkan produksi naik dibandingkan 2011. Data tersebut
jelas menggambarkan betapa cabai merupakan salah satu komoditas sayuran
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan memberikan andil signifikan
terhadap perekonomian. Bahkan rasa cabai pun jadi terasa makin pedas ketika
harganya melambung mendorong inflasi.

Sekolah Lapang
Produksi cabai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, baik cabai besar dan
rawit, sebetulnya cukup banyak. Terutama di beberapa daerah penghasil
di sekitar pesisir pantai seperti di Kulonprogo dan Bantul serta Sleman juga
Gunungkidul. Namun ternyata produksi cabai yang terus bertambah itu tidak
serta merta bisa menurunkan harga cabai. Sebaliknya harga terus melambung
tinggi lantaran memang masih memiliki ketergantungan dengan harga cabai di
daerah lain yang memang tinggi.

Harga cabai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ditengarai masih


bergantung pada pedagang besar di Indonesia. Sedangkan kebutuhan cabai
diperkirakan terus meningkat, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan.
Di sisi lain, akibat pengaruh anomali cuaca, terjadi penurunan produksi cabai.
Rusaknya jalan juga menyebabkan distribusi barang termasuk cabai tidak lancar.
Padahal cabai tidak bisa tahan lama, mudah busuk.

147
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Menyadari kondisi seperti itu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi


Daerah Istimewa Yogyakarta, mengambil inisiatif langkah menuju optimalisasi
ketahanan pangan. Langkah ini tak lain melaksanakan program Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu dan penguatan Sistem Pasar Lelang. Tujuan
program ini tentu saja mencapai peningkatan efisiensi produksi, produktivias,
dan kualitas produk, serta penanganan panen dan pasca panen. Pencapaian
tujuan tersebut diharapkan mampu membantu meredam gejolak harga cabai
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Terkait program sekolah lapang ini, lokasi penerapannya ditentukan di


Kabupaten Kulon Progo, yang kemudian dituangkan dalam nota kesepahaman
dengan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo pada Juni 2012. Secara garis besar,
kesepakatan tersebut mencakup dua kerja sama penting, yaitu pengembangan
program komoditas cabai guna meningkatkan produksi dan produktivitas cabai
dan pengembangan usaha mikro kecil dan menengah di Kabupaten Kulon
Progo. Jangka waktu kesepakatan ditetapkan selama lima tahun.

Berbekal kesepakatan itu, bergulirlah program Sekolah Lapang Pengendalian


Hama Terpadu. Dalam pelaksanaannya, di tahap awal, Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyewa lahan seluas tujuh
ribu meter persegi. Di lahan inilah petani dan kelompok petani memulai proses
sekolah lapang terpadu dengan diperkenalkan pada budidaya cabai yang baik
dan benar. Hasil produksi yang diperoleh petani dan kelompok petani dari
lahan ini kemudian dijual, dan hasil penjualannya dibagi antarkelompok dan
anggota kelompok dengan sistem bagi hasil. Selanjutnya hasil yang menjadi
bagian kelompok digunakan untuk menyewa lahan pada perode berikutnya.

Bersamaan dengan pelaksanaan sekolah lapang tadi, dilakukan pula kegiatan


studi banding tekait alternatif pemasaran cabai. Pelaksanaan studi banding
antara lain mengadakan kunjungan ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Tasikmalaya guna melihat dan mempelajari penerapan sistem kontrak dengan
perusahaan besar dan kelembagaan koperasi. Optimalisasi penggunaan pasar
lelang, promosi dan pemasaran serta dukungan memperoleh legalisasi produk
olahan cabai, juga menjadi bagian dari studi banding tersebut.

Selain pengenalan budidaya cabai dan penanganan panen dan pasca


panen, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
juga melakukan sejumlah kegiatan pendukung seperti penguatan model pasar
lelang, pemberian fasilitasi sarana dan prasarana produksi diikuti penguatan
kelembagaan, edukasi pembiayaan melalui keterbukaan akses keuangan, serta
upaya menemukan alternatif pasar, serta pengolahan hasil guna menciptakan
nilai tambah.

148
Komoditi Cabai Merah | Penguatan Kelembagaan (metode sekolah Lapang)

Efisien
Pelaksanaan program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu dan
penguatan pasar lelang inisiasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, ternyata bisa segera memperlihatkan hasil nyata.
Salah satunya adalah peningkatan produksi cabai dan diversifikasi turunan
berupa produk olahan cabai. Peningkatan produksi tersebut ditopang dengan
bertambahnya jumlah petani yang ikut menerapkan pengolahan cabai dan
peningkatan kompetensi dengan peneraan teknologi pengendalian hama di
luar musim tanam. Di sisi lain, kelembagaan petani terasa semakin kuat setelah
semakin terbukanya akses ke pembiayaan perbankan.

Sesuai kesepakatan dengan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, kerja sama


pengembangan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu ini memang
masih akan berlangsung selama lima tahun. Dan karenanya, pelajaran-pelajaran
penting dari penerapan sekolah lapang sebagai kunci keberhasilan program
akan menjadi bekal pelaksanaan program ke depan. Pelajaran penting tersebut
antara lain sinergi yang dilakukan dengan beragam stakeholder menjadi kunci
penting keberhasilan, dan perlu terus dikuatkan. Pelajaran lain adalah terjadinya
perubahan mindset (pola pikir) petani dari bertani secara konvensional dan
sambilan menjadi menjalankan usaha tani sebagai bisnis, perlu terus dijaga.
Pemberian bantuan teknis pengelolaan keuangan yang sehat akan menjadi
sebuah kebutuhan.

Pelajaran lain yang tidak kalah penting adalah ternyata bantuan teknis
saja tidak cukup. Dan karenanya, pendampingan yang terarah dan intensif,
dibarengi dengan bantuan investasi dinilai perlu dilakukan. Sedangkan aspek
kelembagaan yang sudah mulai menguat juga tetap perlu dikawal sehingga
benar-benar mampu meningkatkan daya tawar petani, baik terkait pengadaan
input maupun penjualan output.

Selama ini manajemen petani, khususnya komoditas cabai, bisa dibilang


kurang memadai. Seringkali dalam proses produksi, terutama selama proses
menanam cabai tidak mempertimbangkan pemupukan yang bagus. Akibatnya
sulit menikmati hasil panen yang memuaskan. Sebaliknya, sebagai akibat
tingginya biaya produksi di tingkat petani, justru menyebabkan harga cabai
tinggi dan mengerek inflasi. Manajemen pertanian yang solid dan memadai
juga sangat dibutuhkan untuk menekan biaya produksi, sehingga inflasi yang
disebabkan kenaikan harga cabai dapat ditekan. Sekolah Lapang Pengendalian
Hama Terpadu, melalui penerapan budidaya dan pola tanam yang efisien di
sisi biaya produksi, dipercaya mampu mendukung upaya stabilitas harga dan
ketahanan pangan, serta berdampak pula pada perekonomian Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. n

149
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

B. Sekolah Lapang Cabai Menyulap Lahan Marjinal Jadi


Produktif
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah

Lahan marjinal tidak bisa menghasilkan dan sulit digunakan sebagai lahan
tanaman pangan. Pandangan umum sebagian besar masyarakat memang
seperti itu. Tapi, apa yang terjadi di Tangkiling dan Kalampangan, Kota Palangka
Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, boleh jadi bisa memberkan sudut pandang
berbeda.

Data Kementerian Pertanian menyebutkan berdasarkan data monografi


2012, Kota Palangka Raya dengan luas wilayah 2.678,51 kilometer persegi
atau sekitar 267.851 hektar memiliki karakteristik lahan yang didominasi jenis
tanah marjinal berupa tanah pasir kuarsa dan gambut. Luas lahan pasir tercatat
mencapai 117.606 hektar dan lahan gambut tercatat seluas 103.638 hektar.
Lahan pasir kuarsa bertekstur kasar, sangat miskin hara (sumber makanan
tanaman) dan daya memegang unsur hara juga sangat rendah.

Sumber unsur hara umumnya dari lapisan organik dipermukaan. Penambahan


unsur hara mutlak diperlukan baik dari pupuk organik, pupuk anorganik, kapur
bahkan penambahan tanah bertekstur halus seperti lempung hingga liat yang
sangat baik bagi peningkatan kesuburan tanah ini. Sedangkan lahan gambut
memiliki reaksi sangat masam, mengandung bahan organik tinggi, memiliki
muka air tanah dangkal, rawan terhadap keracunan akibat asam-asam organik
yang dilepaskan tanah gambut, serta rawan terbakar saat kemarau.

Di sisi lain, komoditas pangan cabai di Provinsi Kalimantan Tengah bisa


dibilang sebagai komoditas strategis. Memang, komoditas ini bukan menjadi
bahan pangan pokok sepeti beras. Namun, cabai tentu tidak bisa juga dipisahkan
dari kebiasaan masyarakat yang gemar kuliner pedas. Kondisi inilah yang menjadi
salah satu sebab tingginya tingkat konsumsi masyarakat atas cabai. Begitu
tingginya sampai melebihi produksi, sehingga khusus cabai, Provinsi Kalimantan
Tengah masih mengalami kekurangan (defisit) sebesar 36.249 ton cabai per
tahun. Guna memenuhi kebutuhan komoditas cabai, saat ini didatangkan dari
luar daerah.

Dengan kondisi seperti itu, tidak mengherankan pula kalau di Provinsi


Kalimantan Tengah, cabai juga tercatat sebagai komoditas pemicu inflasi.
Pengaruh cabai terhadap inflasi sangat terasa pada saat-saat menjelang
hari besar keagamaan. Permintaan melambung tinggi, sedangkan tingkat
ketersediaan sangat terbatas. Upaya mendatangkan komoditas ini dari daerah
lain pun kerap terhambat oleh perubahan cuaca dan iklim yang menyulitkan
distribusi. Akibatnya, pemenuhan kebutuhan cabai semakin terasa sulit lantaran
harga yang semakin sulit terjangkau.

150
Komoditi Cabai Merah | Penguatan Kelembagaan (metode sekolah Lapang)

Sekolah Lapang
Menghadapi permasalahan tersebut Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Kalimantan Tengah pun menggandeng Pemerintah Kota Palangka
Raya bersama mencari solusi. Sampai akhirnya memutuskan untuk melakukan
program terobosan berupa Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
yang dibarengi dengan penguatan kelembagaan petani dalam bentuk
koperasi. Kerja sama ini kemudian dituangkan dalam nota kesepahaman
pada Juni 2012, yang melibatkan juga melibatkan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Provinsi Kalimantan Tengah, Badan Pelaksana Penyuluhan
dan Ketahanan Pangan (BPPKP) Kota Palangka Raya dan Penyuluh Pertanian
sebagai pembina dan pendamping kegiatan di lapangan.

Program sekolah lapang sendiri sebenarnya merupakan salah satu cara


peningkatan produktivitas dan keterampilan petani terkait upaya meningkatkan
produksi cabai merah di Provinsi Kalimantan Tengah. Lokasi program pun
dipilih diterapkan di Kelurahan Tangkiling, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangka
Raya dan Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Kota Palangka Raya.
Sebagian besar lahan di Tangkiling maupun Kalampangan merupakan lahan
marjinal.

Dalam pelaksanaannya, program Sekolah Lapang Pengendalian Hama


Terpadu dilakukan bekerja sama dengan Balai Karantina Pertanian dan
Balai Pengamatan Hama. Pemahaman tentang hama dan penyakit tanaman,
khususnya cabai merah memang sangat dibutuhkan karena dianggap mampu
menekan kerusakan komoditas cabai saat panen. Oleh karena itu, sekolah lapang
ini menitikberatan fokus kegiatan pada peningkatan kapasitas petani mengenai
teknik bertani, pengenalan hama dan penyakit tanaman, vektor dan virus
tanaman, dan anatomi tanaman. Dalam sekolah ini, petani juga diperkenalkan
dengan penggunaan pupuk, pestisida dan biopestisida.

Bersamaan dengan bergulirnya program sekolah lapang tersebut, termasuk


pelatihan dan pendampingannya, disiapkan pula upaya-upaya pembentukan
koperasi. Salah satu bentuknya adalah pelatihan manajemen koperasi. Upaya
pembukaan akses petani terhadap pembiayaan perbankan pun mulai dilakukan.
Terkait ini digelar sosialisasi beragam produk pembiayaan perbankan bersama
Bank Pembangunan Daerah, PT BRI, dan PT BTPN.

Seiring berputarnya waktu, program Sekolah Lapang Pengendalihan Hama


Terpadu dan penguatan kelembagan petani dalam bentuk koperasi mulai
menunjukkan hasil. Berdasarkan data demonstration plot (demplot) sekolah
lapang, produksi panen tercatat mencapai sebanyak 1,94 ton per hektar di atas
lahan seluas 4,75 hektar. Jumlah produksi sebanyak itu hanya melibatkan 29
petani. Jika dibanding dengan produktivitas Provinsi Kalimantan Tengah dalam
kurun 2008-2012, yang menurut data BPS mencapai 3,5 ton per hektar, angka

151
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

produksi dari demplot sekolah lapang memang masih lebih rendah. Kendati
begitu, hal yang mungkin sulit dipungkiri adalah dalam demplot sekolah
lapang itulah kali pertama para petani menanam cabai dan dilakukan pada
musim hujan pula.

Hasil tersebut jelas tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi jika
mengingat lokasi di mana program sekolah lapang diterapkan, sebagian besar
merupakan lahan marjinal. Maka, hasil positif dari sekolah lapang tersebut
tak ubahnya setitik harapan guna menyulap lahan marjinal menjadi lahan
produktif, khususnya terkait upaya ketahanan pangan pada komoditas cabai.
Sebuah capaian yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya, Kementerian
Pertanian mengapresiasinya dengan menggelar gerakan penanaman cabai di
lahan seluas 40 hektar di Kota Palangka Raya.

Program penguatan kelembagaan berupa pembentukan koperasi pun


memberikan hasil menggembirakan. Setelah melakukan langkah persiapan
pembentukan koperasi berupa pelatihan manajemen koperasi, dilakukan
pula program magang. Pengurus koperasi cabai di lokasi program diberikan
kesempatan magang dan on the job training di koperasi cabai Ciamis, Provinsi
Jawa Barat, yaitu di Koperasi STA Ciamis. Dalam kesempatan magang ini pula,
petani peserta program mempelajari budidaya cabai merah sesuai standar
industri.

152
Komoditi Cabai Merah | Penguatan Kelembagaan (metode sekolah Lapang)

Akhirnya, pada Oktober 2013, berdirilah Koperasi Agribisnis Palangka Raya.


Selain menjadi wadah bagi para petani cabai merah dan sayuran lain di Palang-
ka Raya, koperasi ini juga mampu membantu petani terkait upaya pemasaran
produk serta pengadaan sarana dan prasarana produksi. Bahkan ke depan,
koperasi ini direncanakan tidak hanya melaksanakan kegiatan usaha terbatas
pada pemasaran, tapi juga memasuki usaha perdagangan hasil pertanian lain
dan jasa agro klinik (klinik pertanian).

Motivasi
Keberhasilan terobosan bersama Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Kalimantan Tengah dan Pemerintah Kota Palangka Raya itu, sulit dibantah,
bisa dicapai antara lain dengan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu.
Sebagai kunci keberhasilan, progam ini menghadirkan pula beberapa temuan
yang bisa dimanfaatkan terkait upaya kelanjutan dan penyempurnaan program.
Temuan berharga yang paling penting adalah lahan marjinal ternyata bukan
lagi hambatan untuk meningkatkan produksi tanaman hortikultura seperti
cabai merah.

Program penguatan ketahanan pangan komoditas cabai tersebut ternyata


mampu memotivasi petani dan kelompok tani melakukan diversifikasi usaha
taninya dengan budidaya tanaman cabai merah. Bahkan, Data dari Kementerian
Pertanian yang menyebutkan sekitar 1.265 hektar dari total lahan marjinal di
Kota Palangka Raya, sudah dimanfaatkan sebagai lahan usaha tani tanaman
palawija dan hortikultura. Fakta ini, secara umum juga memberikan gambaran
sangat jelas, kalau komoditas pangan strategis seperti cabai dan tanaman
pangan lain masih memiliki potensi untuk dikembangkan secara berkelanjutan
di Kota Palangka Raya.

Temuan lain yang tak kalah penting adalah peran besar dukungan aktif
dan dinamis dari seluruh stakeholders terkait tak ubahnya motor penggerak
program. Dukungan seperti ini jelas sangat dibutuhkan demi kelangsungan
pertanian cabai sehingga menjaga ketersediaan guna memenuhi permintaan
konsumen. Selanjutnya, program ketahanan pangan komoditas cabai yang
sudah diterapkan di lahan marjinal di Kota Palangka Raya bisa diselaraskan
dengan arah kebijakan pemerintah daerah setempat. Dengan penyelarasan
tersebut, bukan mustahil, pemerintah daerah tidak hanya menjadi katalisator
implementasi program di daerah, melainkan juga di level nasional. n

153
II. PROGRAM Klaster
KETAHANAN PANGAN
5. Komoditi Ayam Pedaging

154
Komoditi Ayam Pedaging | Peningkatan Produksi

Peningkatan Produksi (Metode Good Farming Practice)

Good Farming Practice Memaksimalkan Potensi Ayam Ras


Pedaging
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya

Industri perunggasan Indonesia hingga saat ini masih tercatat sebagai


penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian.
Fakta ini jelas membuktikan industri perunggasan memiliki peran besar dalam
pertumbuhan ekonomi nasional. Peran sub sektor ini terasa makin besar ketika
dikaitkan dengan upaya pemerintah menggenjot ketahanan pangan nasional.
Industri unggas tidak hanya jadi sumber pertumbuhan baru sektor pertanian, tapi
juga pilar penting ketahanan pangan.

Pertumbuhan industri unggas di Indonesia tentu tidak terlepas dari kontribusi


dan peran ayam ras pedaging. Budidaya ayam ras pedaging bisa dikatan ada
di hampir seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal
Peternakan, Kementerian Pertanian, Jawa Barat memiliki populasi ayam ras
terbanyak dibanding provinsi lain, yaitu 680 ribu ekor (angka sementara 2013).
Di daerah ini juga tercatat sebagai produsen daging ayam ras terbesar di
Indonesia, sekitar 552 ribu ton (angka sementara 2013). Di Jawa Barat sendiri,
khususnya di Kabupaten Ciamis ayam ras pedaging dikenal sebagai komoditas
unggulan. Namun, ayam ras pedaging juga merupakan sumber tekanan inflasi
karena kurangnya pasokan Day Old Chicks (DOC) dan pakan.

Dalam usaha budidaya ayam ras pedaging, pakan dan bibit (DOC) merupakan
dua input utama yang mengambil porsi biaya paling besar. Pakan mengambil
porsi sekitar 62 persen dan DOC sekitar 15 persen dari total biaya. Kondisi ini
menyebabkan produksi ayam ras pedaging sangat bergantung pada kedua input
tersebut, baik terkait ketersediaan, harga, maupun kualitasnya. Selain itu, kondisi
kandang turut mempengaruhi Indeks Performa (IP) yang berkaitan langsung
dengan kualitas ayam ras pedaging.

Salah satu kelebihan yang dimiliki industri peternakan ayam di Kabupaten


Ciamis adalah telah terdapat beberapa Poultry Shop yang memproduksi
DOC sendiri dengan jumlah Parents Stocks berkisar 300 ribu ekor dan mampu
menghasilkan DOC rata-rata sejumlah 250 ribu ekor per minggu. Namun,
kebutuhan DOC Kabupaten Ciamis saat ini adalah sekitar 1,75 juta ekor per
minggu. Ini berarti local breeder hanya dapat memenuhi sekitar 14,28 persen dari
kebutuhan DOC. Sisanya masih dipenuhi dari kota lain.

Poultry Shop harus diakui memiliki peran yang sangat penting sebagai penyedia
sarana peternakan ayam meliputi DOC, pakan, obat-obatan dan perlengkapan.

155
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Semua Poultry Shop di Kabupaten Ciamis berfungsi sebagai peternak inti bagi
banyak peternak plasma dibawahnya. Jumlah Poultry Shop yang terdapat di
Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya tercatat sebanyak 45 Poultry Shop dengan
jumlah plasma sekitar 13 ribu orang, berdasarkan data dari Technical Service PT
Charoen Pokphand Indonesia, Tbk.

Sedangkan untuk pakan, pengusaha lokal bisa dibilang masih tradisional,


pada tahap mencampur pakan (konsentrat, jagung dan dedak). Akibatnya
pengusaha dan budidaya lokal hanya mampu memenuhi sekitar empat persen
pakan ayam ras pedaging. Sisanya masih mengandalkan perusahaan besar
seperti PT Charoen Phokphand Indonesia, Tbk dan PT Japfa Comfeed Indonesia,
Tbk. Begitu pula dengan kebutuhan akan obat-obatan dan vaksin.

Industri peternakan ayam di Ciamis, selain ditopang poultry shop, juga


didukung satu Rumah Potong Unggas (RPU) modern di Kecamatan Cihaurbeuti
yang telah memenuhi SNI RPU serta 41 RPU tradisional. Namun, hasil panen
sebagian besar didistribusikan dalam bentuk ayam hidup dan dipasarkan ke
luar daerah. Hanya sebagian kecil saja yang diserap pasar lokal.

Kelengkapan sarana dan prasarana ternak dan produksi ayam ras pedaging
di atas, menjadikan Kabupaten Ciamis sebagai andalan Provinsi Jawa Barat
dalam pengembangan kawasan agribisnis. Melalui Keputusan Bupati No. 520/
Kpts.511-Huk/2007 tentang Penetapan Kawasan Agropolitan Kabupaten Ciamis,
Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis membentuk Kawasan Agropolitan di empat
kecamatan yaitu Kecamatan Panumbangan, Sukamantri, Panjalu, dan Cihaurbeuti.
Ayam ras pedaging juga termasuk salah satu komoditas yang dikembangkan.
Pada tahun 2009, produksi ayam ras pedaging Jawa Barat mencapai 365.573 ton
yang merupakan angka produksi tertinggi dibanding provinsi lain, menyumbang
33,18 persen dari produksi nasional. Kabupaten Ciamis merupakan produsen
ayam ras pedaging tertinggi kedua di Jawa Barat setelah Kabupaten Bogor.

Good Farming Practice


Mempertimbangkan fakta-fakta tersebut, serta didukung identifikasi Unit Akses
Keuangan dan UMKM, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya, komoditas
ayam ras pedaging di Kabupaten Ciamis dinilai merupakan komoditas unggulan
yang sangat mempengaruhi perekonomian dan mempunyai potensi tinggi
untuk terus berkembang. Besarnya populasi ayam ras pedaging, kemampuan
produksi, jumlah peternak ayam ras pedaging, dan sistem kelembagaan yang
berkembang, mencerminkan potensi tersebut. Penguatan dan pengembangan
komoditas ini menjadi sangat penting untuk didukung semua pihak seperti
pelaku usaha, asosiasi perunggasan, Pemerintah Daerah serta jasa keuangan.

Selain itu, komoditas ayam ras pedaging merupakan salah satu sumber

156
Komoditi Ayam Pedaging | Peningkatan Produksi

tekanan inflasi dengan fluktuasi harga yang tidak menentu. Pada tahun 2011,
fluktuasi harga ayam ras pedaging termasuk ke dalam tiga besar penyumbang
inflasi. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya juga mempunyai
tanggung jawab untuk mendukung sektor ini. Inilah yang kemudian mendasari
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya memprakarsai bergulirnya
pengembangan klaster ayam ras pedaging.

Sebagai langkah awal pengembangan klaster ayam ras pedaging, Kantor


Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya menggelar focus group discussion
(FGD) pada Mei 2011. Dalam diskusi ini muncul gagasan untuk memfokuskan
pengembangan klaster di daerah Priangan Timur. Hasil paling signifikan dari
diskusi ini adalah terbentuk Kelompok Kerja (Pokja) Klaster Ayam Ras Pedaging.
Kehadiran pokja tentunya bertujuan agar kegiatan klaster bisa dilakukan
secara tepat dan efektif serta fokus pada tujuan pengembangan klaster, yaitu;
mendukung pengendalian harga dan pengembangan ekonomi daerah melalui
peningkatan kinerja, kapasitas produksi, serta pengembangan komoditas
terkait.

Pembentukan pokja pun dilanjutkan dengan penandatanganan kesepahaman


antara Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya dengan Pemerintah
Kabupaten Ciamis, pada November 2011. Kesepahaman tersebut disambung
workshop-workshop terkait arah dan strategi pengembangan industri ayam
ras pedaging. Seiring dengan itu, Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) pun
digulirkan dalam bentuk dua buah kandang contoh Good Farming Practice dan
saung pertemuan sebagai fasilitas pendukung. Kelengkapan sarana ini sejalan
dengan prioritas awal pengembangan klaster berupa peningkatan pengetahuan
dan kemampuan beternak melalui pelatihan Good Farming Practice dan studi
banding ke PT Japfa Comfeed, Tbk.

Guliran awal pengembangan klaster ayam ras pedaging memberikan hasil


menggembirakan. Populasi ayam ras pedaging bertambah signifikan, 21,56
persen, dari 11,43 juta ekor menjadi 13,88 juta ekor. Data Dinas Peternakan
Ciamis juga memperlihatkan adanya pertambahan jumlah peternak sebanyak
769 peternak, dengan rata-rata peternak memelihara 3.200 ekor ayam ras
pedaging. Posisi Kabupaten Ciamis pun, menurut data Dinas Peternakan Jawa
Barat, terangkat menjadi produsen daging ayam ras terbesar di Jawa Barat,
melewati produksi Kabupaten Bogor. Dan yang lebih menggembirakan, sampai
Desember 2011, penyaluran kredit ke sektor pembibitan dan budidaya unggas
mengalami peningkatan sebesar 143,08 persen menjadi Rp 87,7 miliar.

Capaian tersebut pastinya semakin memotivasi pokja klaster ayam ras


pedaging, yang pada 2012, memfokuskan kegiatan pada peningkatan
produksi melalui perbaikan kandang dan penerapan bio-security. Setelah
melalui sarasehan dan dialog peternak ayam ras pedaging di Priangan Timur

157
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

bersama pihak Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian,


muncul kesimpulan ada peningkatan DOC sebesar 20 persen. Peningkatan ini
diperkirakan membutuhkan kandang untuk sekitar 15 juta ekor ayam.
Terkait revitalisasi kandang itulah, PSBI kembali disalurkan melalui lima
poultry shop; PS Naratas, PS Tanjung Mulya Cabang Cilembang, PS Rinjani,
PS Bagja Abadi, dan PS Tanjung Mulya Perkasa. Rinciannya adalah Rp200 juta
untuk 55 peternak pada 2012, dan Rp300 juta untuk 88 peternak pada 2013.
Langkah revitalisasi tersebut kembali membuahkan hasil. Breeding farm untuk
sekitar 12 ribu ekor grand parent stock berhasil dibangun guna meminimalisasi
kekurangan DOC. Dari sisi pembiayaan penyaluran kredit ke sektor pembibitan
dan budidaya unggas meningkat sebesar 25,54 persen menjadi Rp117,86
miliar pada Desember 2012. Selain itu penyaluran kredit melalui Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) PT Bank Mandiri terkait revitalisasi
kandang terealisasi sampai Rp1,1 miliar.

Keberhasilan ini kembali memotivasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia


Tasikmalaya untuk memperkuat sekaligus memperluas program klaster.
Dan pada 2013, dilakukanlah sinergi program kerja dengan program Dinas
Peternakan Ciamis dan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat untuk SMK
Perunggasan. Terkait sinergi ini, diserahkan PSBI dalam rangka SESPIBI Peduli
sebesar Rp330 juta lebih. Dana ini antara lain digunakan untuk pelatihan
manajemen budidaya bagi 300 peternak, pelatihan kewirausahaan bagi guru
SMK Perunggasan Nurul Huda, Panumbangan, pelatihan penyusunan laporan
keuangan dan akses kredit bagi guru SMK Perunggasan Nurul Huda dan
perwakilan poultry shop. Termasuk pula untuk penelitian pola pembiayaan
investasi dan revitalisasi kandang berkerja sama dengan Universitas Siliwangi.
Pemberian PSBI diperkuat dengan pemberian bimbingan teknis mengenai
pengolahan limbah kotoran ternak menjadi pupuk organik dan bio-security.

Revitalisasi
Keberhasilan-keberhasilan yang dicapai Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Tasikmalaya dalam pengembangan klaster ayam ras pedaging, sejak awal
digulirkan, jelas bertumpu pada dua hal. Pertama penerapan Good Farming
Practice yang dimulai melalui pelatihan. Kedua, program revitalisasi kandang.
Keduanya semakin jelas menjadi kunci sukses jika memperhatikan capaian
pengembangan klaster selama 2013. Baik revitalisasi kandang dan Good
Farming Practice mampu mendongkrak Indeks Performa rata-rata 11,5 persen.
Peningkatan ini berpengaruh pula pada kesejahteran peternak.

Selain itu, kedua kunci sukses tadi juga menghadirkan multiplier effect
berupa keinginan peternak lain memperbaiki kandangnya. Dan secara riil
tercatat ada penambahan breeding farm dengan kapasitas 750 ribu ekor parent
stock dan 10 ribu ekor grand parent stock. Sedangkan terkait akses keuangan,

158
Komoditi Ayam Pedaging | Peningkatan Produksi

terjadi penambahan penyaluran kredit melalui PKBL PT Bank Mandiri untuk


revitalisasi kandang sebesar Rp2,4 miliar. Fakta ini, sekali lagi, membuktikan
revitalisasi kandang dan penerapan Good Farming Practice yang diterapkan
pada pengembangan klaster ayam ras pedaging, mampu memaksimalkan
potensi perunggasan di Kabupaten Ciamis, meredam tekanan terhadap inflasi
sekaligus menopang ketahanan pangan daerah maupun nasional. n

Pola Pengembangan Klaster


Ayam Ras Pedaging
SINERGI GOOD FARMING PRACTICE HASIL
AYAM RAS PEDAGING
1. Kantor Perwakilan 1. Indeks Performa
Bank Indonesia 1. Workshop strategi meningkat rata-rata 11,5
Tasikmalaya. pengembangan industri ayam persen.
ras pedaging.
2. Pemerintah 2. Populasi ayam ras
Kabupaten Ciamis, 2. Pelatihan Good Farming pedaging bertambah 21,56
Provinsi Jawa Practice. Bantuan Program persen, dari 11,43 juta ekor
Barat, dan Dinas Sosial Bank Indonesia (PSBI) menjadi 13,88 juta ekor.
Peternakan Ciamis. berupa dua buah kandang
contoh Good Farming Practice. 3. Peningkatan Day Old
3. Dinas Pendidikan Chicks (DOC) sebesar 20
Provinsi Jawa Barat. 3. Studi banding ke PT Japfa persen.
Comfeed, Tbk.
4. Universitas 4. Penambahan breeding
Siliwangi. 4. Perbaikan (revitalisasi) farm dengan kapasitas 750
kandang. PSBI kembali ribu ekor parent stock dan
disalurkan melalui lima poultry 10 ribu ekor grand parent
shop. stock.

5. Pelatihan manajemen 5. Penyaluran kredit


budidaya ternak. ke sektor pembibitan
dan budidaya unggas
6. Pelatihan kewirausahaan, meningkat 25,54 persen
pelatihan penyusunan laporan menjadi Rp 117,86 miliar
keuangan, akses kredit, (Desember 2012). Kredit
penelitian pola pembiayaan revitalisasi kandang PT Bank
investasi dan revitalisasi Mandiri mencapai Rp 2,4
kandang. miliar.

159
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Bimbingan teknis
mengenai “Teknik
Pengolahan Limbah
Kotoran Ternak”
menjadi Pupuk
Organik dan Bio-
security di Lingkungan
Peternakan.

Program revitalisasi kandang, Bank Indonesia menyalurkan PSBI kepada


peternak plasma melalui 5 Poultry Shop, antara lain PS Naratas, PS Tanjung
Mulya Cabang Cilembang, PS Rinjani, PS.Bagja Abadi, PT PT Tanjung Mulya
Perkasa.

160
II. PROGRAM Klaster
KETAHANAN PANGAN
6. Komoditi Perikanan Air Tawar

161
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

Peningkatan Produksi (Metode Cara Budi Daya Ikan dengan Baik/CBIB)

Mendongkrak Produksi Ikan Air Tawar dengan CBIB dan


Nilai Tambah
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Siapa tidak suka ikan? Bahan pangan tersebut dapat diolah menjadi berbagai
menu yang lezat dan bergizi. Harganya pun relatif lebih murah dan terjangkau
dibanding harga daging sapi dan ayam. Kendati begitu, ketika berbicara tentang
ketahanan pangan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional, komoditas
pangan yang satu ini justru sering terlewatkan. Ketahanan pangan lebih sering
dikaitkan, bahkan terfokus, pada komoditas pangan lain seperti daging sapi,
ayam, atau beras. Tiga komoditas pangan ini harus diakui memang memegang
peran penting dalam mencapai dan menyokong ketahanan pangan nasional.
Namun, ikan, khususnya ikan air tawar agaknya tidak bisa juga dipandang sebelah
mata. Bukan hanya di Indonesia tapi juga dunia.

Badan Pangan PBB, pada 2011 merilis kajian yang menyebut potensi usaha
ikan air tawar dunia akan semakin menggiurkan. Sampai 2021 nanti, konsumsi
ikan per kapita penduduk dunia bakal mencapai 19,6 kilogram per tahun.
Memang, sebagian besar konsumsi ikan saat ini masih dipasok hasil perikanan
tangkap atau ikan laut. Namun diramalkan pada 2018 akan terjadi pergeseran.
Produksi ikan air tawar diprediksi mampu melampaui produksi perikanan
tangkap. Bahkan tahun 2021 kebutuhan ikan air tawar bisa menyentuh angka
172 juta ton per tahun, naik lebih dari 15 persen dari kebutuhan rata-rata saat ini.

Prediksi dan angka-angka tersebut tentunya dirilis bukannya tanpa alasan.


Salah satu fakta yang menjadi argumentasi adalah perikanan tangkap saat ini
dinilai sudah overfishing. Ini berarti, seiring perputaran waktu, ikan laut menjadi
semakin sulit didapatkan. Bahkan, jika tidak ada perubahan model produksi, para
peneliti dunia meramalkan pada 2048 tidak ada lagi ikan laut untuk ditangkap.
Kondisi inilah kemudian memunculkan prediksi peningkatan produksi budidaya
ikan air tawar sebagai subtitusi ikan laut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dunia meroket.

Indonesia sebagai negara agraris tentunya berpeluang besar memaksimalkan


potensi ekonomi komoditas ikan air tawar. Data Kementerian Kelautan pada 2011
menyebutkan konsumsi ikan per kapita Indonesia sekitar 31,5 kilogram per tahun.
Angka ini lebih rendah ketimbang Malaysia yang mencapai 55,4 kilogram per
tahun. Padahal, secara pertumbuhan rata-rata konsumsi ikan, Indonesia jauh lebih
cepat, mencapai 16,7 persen per tahun, dibanding Malaysia yang hanya 1,26
persen per tahun. Produksi perikanan nasional sendiri pada 2011 mencapai 12,39
juta ton dan sebanyak 6,98 juta ton merupakan produksi perikanan budidaya.

162
Komoditi Perikanan Air Tawar | Peningkatan Produksi

Produksi budidaya ikan kolam air tawar tercatat menyumbang 1,1 juta ton dengan
kenaikan sekitar 11 persen setiap tahun. Angka-angka itu cukup membuktikan
gairah mengembangkan usaha budidaya ikan air tawar sangat besar mengacu
pada meningkatnya permintaan pasar.

Permintaan pasar terhadap ikan air tawar boleh jadi sangat terasa. Bukan
hanya secara nasional tapi juga di daerah. Saat ini konsumsi ikan air tawar di
Daerah Istimewa Yogyakarta tercatat mencapai 90 ribu ton per tahun. Sedangkan
produksi komoditas pangan yang kini menjadi menu penting konsumsi masyarakat
Yogyakarta, hanya mencapai sebanyak 70 ribu ton per tahun. Kekurangan pasokan
ikan air tawar itulah yang kini ditutupi dari daerah lain. Padahal, Yogyakarta sendiri
sangat potensial untuk pengembangan budi daya ikan air tawar.

Klaster Ikan Air Tawar


Fakta-fakta dan informasi tersebut memotivasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Daerah Istimewa Yogyakarta ikut ambil peran dalam upaya peningkatan
produksi ikan air tawar di Kota Gudeg. Inisiatif yang dilakukan tidak lain dengan
menggulirkan program pengembangan klaster ikan air tawar. Pengembangan
klaster ini diharapkan membantu mengurangi ketergantungan pasokan ikan
Yogyakarta dari daerah lain. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa
Yogyakarta pun menggandeng sejumlah instansi terkait seperti Dinas Pertanian,
Perikanan, dan Kehutangan Kabupaten Sleman serta Jurusan Pertanian,
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Maka pada tahun 2011
pengembangan klaster budidaya ikan air tawar diluncurkan dengan penerapan
progam pada kelompok Mina Kepis, Sleman. Sleman dipilih karena kabupaten
ini memasok sekitar 28 persen kebutuhan ikan air tawar di Yogyakarta.

Selain menjadi bagian dari upaya mengatasi kekurangan produksi ikan


di Sleman dan Yogyakarta pada umumnya, pengembangan klaster ini juga
menetapkan peningkatan produksi dan kapasitas produksi sebagai tujuan utama.
Program pengembangan klaster ini juga diharapkan mampu menciptakan
nilai tambah produk, sehingga pada gilirannya mampu pula mendongkrak
pendapatan dan kesejahteraan petani ikan setidaknya di daerah bersangkutan
dan sekitarnya. Program pengembangan klaster yang diberikan pun ditentukan
sebagai program multi years selama tiga tahun. Program ini akan memperbaiki
sekaligus meningkatkan kemampuan teknis dan manajemen budidaya ikan
air tawar. Sehingga produksi, kapasitas produksi dan nilai tambah meningkat.
Pengembangan klaster ini juga diharapkan bisa dijadikan sebagai model bagi
kelompok budidaya ikan air tawar lain.

Selama masa-masa awal guliran program sejumlah bantuan teknis diberikan


guna mencapai peningkatan kapasitas produksi Kelompok Mina Kepis.
Bersamaan dengan itu, melalui dana Program Sosial Bank Indonesia (PSBI),

163
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

sejumlah bantuan teknis yang juga terkait peningkatan kapasitas, mulai diberikan.
Misalnya pembuatan drainase dan fasilitas parkir di Pasar Ikan milik Kelompok.
Memasuki tahun kedua, kelompok Mina Kepis mendapatkan pelatihan teknik
budidaya, hatchery (pembenihan), teknis pembuatan produk olahan berbahan
baku ikan serta pelatihan pemasaran. Selain bantuan berupa pelatihan, Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta kembali memberikan
bantuan dana PSBI. Kali ini dana PSBI digunakan untuk pembuatan 20 kolam
penampungan, pasar ikan, dan outlet hasil pengolahan ikan berserta peralatan
produksi.

Seluruh pelatihan, bantuan teknis maupun fisik tersebut diarahkan pada sistem
operasional prosedur ‘Cara Budidaya Ikan dengan Baik’ (CBIB). Selain itu, sebagai
upaya pengembangan produksi, program juga mendorong terciptanya nilai
tambah produk. Terkait inilah, pada tahun ketiga (2013) pengembangan klaster
ikan air tawar diperluas. Bukan hanya petani ikan anggota Kelompok Mina Kepis,
melainkan mengajak pula ibu rumah tangga yang tergabung dalam Kelompok
Wanita Tani (KWT). Pemberdayaan wanita terkait program ini difokuskan pada
pembuatan produk pangan olahan dan cepat saji berbahan baku ikan air tawar.
Produk yang sudah dikembangkan antara lain abon lele, crispy babyfish, keripik
kulit lele, pasel, bakso goreng dan nugget. Semua produk olahan tersebut sudah
pula bersertifikasi Produk Industri Tumah Tangga (PIRT) dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Sleman.

Program pengembangan klaster Ikan Mina Kepis tidak hanya terhenti pada
proses produksi dan penciptaan nilai tambah produk, tapi diikuti pula dengan
pembukaan akses pemasaran. Hasilnya, kini produk olahan yang dihasilkan sudah
bisa dipasarkan di minimarket. Selain itu, berkat pendampingan dan pelatihan
yang diberikan, ibu rumah tangga anggota KWT saat ini memiliki aktifitas yang
produktif dan tambahan penghasilan. “Kami sangat senang dan antusias. Saat ini
ibu-ibu KWT memiliki kegiatan produktif yang menghasilkan. Apalagi didukung
dengan bantuan teknis, peralatan produksi, dapur, bahkan showroom,” ungkap
Ketua KWT Mina Kepis, Sukiyanto bangga. Keberhasilan kelompok ini juga terlihat
dari banyaknya coverage (liputan) media, sehingga banyak orang datang melihat
dan membeli produk-produk Mina Kepis.

Selain menikmati tambahan penghasilan penjualan produk ikan air tawar


kelompok ini pun meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2010 penjualan hanya
sebesar Rp1,18 miliar. Namun pada tahun 2011 naik menjadi Rp1,49 miliar
dan tahun 2012 menjadi Rp1,67 miliar. Pada 2013 penjualan melonjak menjadi
Rp2,25 miliar, atau naik 27,7 persen dibanding penjualan tahun sebelumnya.
Khusus penjualan, Kelompok Mina Kepis memang lebih fokus pada penjualan
bibit ikan karena turnover-nya lebih cepat dan dapat menekan biaya pakan yang
cukup tingggi. Begitupun, kata Sukiyanto, kelompoknya sekarang mengalami
kekurangan produk ikan air tawar untuk dijual. “Khususnya ikan siap konsumsi,”

164
Komoditi Perikanan Air Tawar | Peningkatan Produksi

Pola Pengembangan Klaster


Ikan Air Tawar
SINERGI PENGEMBANGAN KLASTER HASIL
IKAN AIR TAWAR
1. Kantor Perwakilan 1. Penjualan produk ikan
Bank Indonesia 1. Program pengembangan air tawar meningkat, dari
Provinsi klaster budidaya ikan air tawar. Rp 1,18 miliar (2010) naik
Daerah Istimewa jadi Rp 1,49 miliar (2011),
Yogyakarta. 2. Penetapan peningkatan naik lagi jadi Rp 1,67 miliar
produksi dan kapasitas (2012), dan menjadi Rp 2,25
2. Pemerintah produksi sebagai tujuan miliar (2013).
Kabupaten utama.
Sleman, Provinsi 2. Peningkatan status
Daerah Istimewa 3. Penerapan ‘Cara Budidaya sebagai kelompok budidaya
Yogyakarta, Dinas Ikan dengan Baik’ (CBIB) ikan air tawar kelas utama
Pertanian, Perikanan, sekaligus mendorong dari Kementerian Perikanan
dan Kehutanan terciptanya nilai tambah dan Kelautan.
Kabupaten Sleman. produk.
3. KWT, pada 2013,
3. Jurusan Pertanian, 4. Bantuan teknis diberikan meraih penghargaan dari
Fakultas Pertanian melalui Program Sosial Universitas Gadjah Mada
Universitas Gadjah Bank Indonesia (PSBI) (UGM) sebagai juara
Mada Yogyakarta. berupa drainase, pelatihan favorit II lomba produk
budidaya, pembenihan, olahan ikan nasional.
pembuatan produk olahan,
pelatihan pemasaran, kolam 4. Menjadi acuan dan
penampungan, pasar ikan, dan model bagi kelompok
outlet hasil pengolahan ikan. budidaya ikan air tawar
lain, baik dari Provinsi
5. Mengajak ibu rumah tangga Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam Kelompok Wanita maupun dari luar
Tani (KWT), yang difokuskan Provinsi Daerah Istimewa
pada pembuatan produk Yogyakarta.
pangan olahan dan cepat saji
berbahan baku ikan air tawar.

tandas Sukiyanto yang juga Ketua Kelompok Budidaya Ikan Mina Kepis.

Nilai Tambah
Namun, setelah program bergulir, kekurangan produk tersebut tidak lagi
didatangkan dari daerah lain, melainkan justru dari kelompok lain. Sedangkan
dari sisi harga dan kentungan produk Kelopok Mina Kepis cukup baik karena

165
II. Program Klaster Ketahanan Pangan

pembeli langsung datang ke pasar yang dimiliki kelompok. Lain kata, rantai
penjualan menjadi pendek. Pembeli juga menilai produk ikan kelompok memiliki
rasa lebih enak karena kualitas air bagus yang ditunjang dengan lokasi pasar yang
dekat dan tertata baik. “Kami senang datang ke sini, disamping untuk berbelanja
ikan juga untuk refreshing,” kata Mahmudi seorang pengunjung yang bersama
keluarga datang ke lokasi pasar milik kelompok.

Prestasi lain yang berhasil diraih Kelompok Mina Kepis ini antara lain
peningkatan status sebagai kelompok budidaya ikan air tawar kelas utama dari
Kementerian Perikanan dan Kelautan. Sedangkan KWT KPI Mina Kepis pada
2013 mendapatkan penghargaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai
juara favorit II pada lomba produk olahan ikan nasional. Tak kurang dari Menteri
Pertanian sendiri sudah menyempatkan secara khusus hadir dan mengumpulkan
kelompok budidaya ikan air tawar di Mina Kepis.

Cerita keberhasilan Kelompok Mina Kepis menggenjot produksi dan


pasokan ikan air tawar di wilayah Kota Gudeg, jelas bisa terealisasi antara lain
didorong program pengembangan klaster ikan air tawar yang diinisasi Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan kunci sukses
program pengembangan sendiri adalah pada penerapan sistem operasional
prosedur ‘Cara Budidaya Ikan dengan Baik’ (CBIB), yang diperkuat dengan upaya
penciptaan nilai tambah produk.

Sekarang ini Kelompok Mina Kepis menjadi acuan dan model bagi kelompok
budidaya ikan air tawar lain, baik dari Daerah Istimewa Yogyakarta maupun
kelompok dari luar Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam beberapa kesempatan, bahkan kelompok ini juga dikunjungi delegasi


asing. Selain itu, kelompok budidaya ikan air tawar ini juga menjadi wahana
pembelajaran bagi pelajar, mulai sekolah tingkat menengah sampai perguruan
tinggi. Dari kunjungan-kunjungan tersebut kelompok juga memperoleh
pendapatan lain untuk pembinaan kelompok. Dalam pembinaan yang dilakukan,
salah satu hal yang ditekankan kepada kelompok diantaranya adalah mengelola
bisnis secara profesional guna menjaga kelangsungan usaha kelompok.
Kelangsungan usaha itulah yang nantinya bisa berperan besar dalam upaya
pencapaian ketahanan pangan, daerah maupun nasional. n

166
Komoditi Perikanan Air Tawar | Peningkatan Produksi

Pelepasan ikan
indukan secara
simbolis oleh Sri
Sultan HB X pada
acara peresmian
Kolam Mina Kepis,
14 Maret 2013 di KPI
Air Tawar Mina Kepis,
Sleman.

Outlet Produk Olahan


Ikan KWT Mina Kepis,
Dusun Burikan, Sleman
Yogyakarta.

Kegiatan produksi
olahan ikan air
tawar oleh anggota
Kelompok Wanita Tani
(KWT) Dusun Burikan
Yogyakarta.

167
III. PEnutup

168
III. PEnutup

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter memiliki tugas utama menjaga


stabilitas seluruh indikator perekonomian Indonesia, terutama terkait stabilitas
nilai tukar rupiah dan pengendalian inflasi. Berbagai upaya dari sisi moneter
tentunya sudah dilakukan Bank Indonesia demi mencapai dan mengawal
pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan. Kendati begitu, upaya-
upaya di sisi moneter saja tentu perlu perlu dibarengi dengan upaya lain di sektor
riil yang terkait dengan tugas dan fungsi Bank Indonesia.

Di sisi lain, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir terus menggemakan


pencapaian ketahanan pangan nasional. Berbicara soal ketahanan pangan maka
tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan bahan pangan pokok. Sedangkan bahan
pangan pokok merupakan salah satu penyumbang utama inflasi, khususnya dari
sisi ketersediaan pasokan (supply). Pada titik inilah Bank Indonesia memandang
perlu mengambil langkah-langkah mengendalikan laju inflasi dari sisi supply
yang dipadukan dengan upaya mendorong pencapaian ketahanan pangan
nasional.

Salah satu langkah yang dimaksud adalah menggulirkan program


pengembangan klaster berbasis komoditas pangan unggulan di berbagai
daerah dengan Kantor Perwakilan Bank Indonesia sebagai pelaksana di daerah.
Seperti yang telah dipaparkan dalam buku ‘Kegiatan Bank Indonesia dalam
Mendukung Ketahanan Pangan Berbasis Klaster Komoditi Unggulan’, sebagian
besar program pengembangan klaster komoditas unggulan merupakan
inisiasi Bank Indonesia. Inisatif tersebut diambil, selain terkait upaya mencapai
stabilitas harga demi mengendalikan inflasi, juga untuk mendukung pencapaian
ketahanan pangan daerah.

Sejumlah kegiatan terkait program pengembangan klaster komoditas


unggulan sudah dilakukan dengan hasil dan pencapaian yang memberikan
dampak positif. Kegiatan-kegiatan pengembangan klaster berbasis komoditas
unggulan sesuai karakteristik daerah yang berkontribusi dalam pembentukan
inflasi (harga) di daerah terbukti menghadirkan sejumlah kunci sukses sekaligus
pelajaran berharga. Berdasarkan pelaksanaan kegiatan pengembangan klaster
terkait penguatan ketahanan pangan daerah, pola pengembangan klaster yang
diterapkan memang berbeda di setiap daerah. Namun, secara umum, kunci
keberhasilan pengembangan klaster mencakup tiga aspek, yaitu penguatan
produksi, penguatan distribusi dan tata niaga, serta penguatan kelembagaan
petani.

Ketiga aspek itulah yang secara umum memberikan dampak berupa


perubahan positif, baik bagi pencapaian ketahanan pangan maupun
pengendalian inflasi. Hasil dan dampak positif itu antara lain terjadinya
peningkatan produksi komoditas bahan pangan unggulan di tiap daerah,
peningkatan pendapatan petani karena membaiknya harga dan stabilnya jumlah

169
III. PEnutup

panen, munculnya kemauan petani untuk beralih ke sistem pertanian modern


berkonsep bisnis, serta optimalisasi pemanfaatan lahan guna memenuhi
kebutuhan individu atas pangan.

Dalam jangka panjang, hasil-hasil positif dari program pengembangan


klaster berbasis komoditas bahan pangan unggulan tersebut memang masih
membutuhkan penyempurnaan lebih lanjut. Tapi, pencapaian positif yang
sudah dihasilkan dari pengembangan klaster tersebut setidaknya sudah bisa
ditularkan untuk direplikasi daerah lain dalam skala yang lebih besar. Pencapaian
dari replikasi tersebut tentunya diharapkan mampu mendorong pemenuhan
kebutuhan bahan pangan pokok dalam negeri. Pemenuhan kebutuhan dalam
negeri itulah yang akan bermuara pada terciptanya stabilitas harga.

Pelaksanaan program pengembangan klaster berbasis bahan pangan


unggulan yang sudah dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia di daerah
selama 2013 juga memberikan sejumlah pelajaran berharga. Salah satunya
adalah program pengembangan klaster membutuhkan pihak yang siap
menjadi inisiator, yang bersedia mempertemukan berbagai pihak terkait dan
memiliki kepentingan terhadap ketahanan pangan daerah. Keterlibatan seluruh
pemangku kepentingan perlu dilibatkan sejak awal guna memunculkan rasa
tanggung jawab bersama atas pengembangan klaster.

Besarnya peran sinergi dalam setiap pengembangan klaster juga


merupakan pelajaran penting yang tidak bisa diabaikan. Kegiatan-kegiatan
seperti kerjasama program, pelatihan, pendampingan, serta pembiayaan, sulit
dilakukan tanpa sinergi dengan pihak terkait seperti dinas, lembaga penelitian,
perguruan tinggi, perbankan dan industri. Pemilihan lokasi dan kelompok tani
yang dijadikan mitra merupakan pelajaran lain yang bisa dipetik. Karakteristik
petani yang sulit menerima hal baru kemungkinan besar tidak bisa berubah
tanpa contoh keberhasilan dari petani atau kelompok tani mitra dalam program
pengembangan klaster.

Pelajaran penting lain yang disajikan dalam program pengembangan klaster


berbasis komoditas unggulan daerah adalah terciptanya forum tukar menukar
informasi antar daerah pelaksana program. Forum ini sulit dipungkiri menjadi
nilai lebih dari pelaksanaan program. Lewat forum ini, masing-masing daerah
bisa saling mempelajari pola dan model yang dikembangkan daerah lain,
termasuk melakukan studi banding ke daerah yang dinilai lebih maju. Dalam
forum inilah terbuka lebar peluang terjadinya replikasi program di daerah lain.

Seluruh kegiatan yang sudah dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia


di daerah yang dituangkan dalam buku ini diharapkan bisa menjadi rujukan
bagi Kantor Perwakilan Bank Indonesia di daerah lain, pemerintah daerah dan
pemangku kepentingan terkait. Replikasi program pengembangan klaster

170
III. PEnutup

berbasis komoditas unggulan daerah, sebagai sebuah upaya mencapai


ketahanan pangan, bisa dilakukan dengan tetap menyesuaikan kearifan lokal
di setiap daerah. Ketika replikasi terlaksana, saat itulah cita-cita mulia mencapai
ketahanan pangan yang maksimal bisa diharapkan terealisasi. n

171
Halaman ini
sengaja dikosongkan

172
173
174

Anda mungkin juga menyukai