Duduk di lincak dengan snack seperti itu, otomatis mendorong naluri petani saya dari
beberapa generasi datang kembali. Tarik kaki naik ke atas satu, duduk jigang,
mêthingkrang, kemudian mencomot ketela rebus itu. Sebelum masuk ke mulut,
saya tutul-kan, saya tempelkan, ketela itu pada kelapa parut yang ada di piring. Mak
tul! Waktu ketela yang berserabut putih itu masuk mulut, wah … kok terasa nikmat
betul. Barangkali itulah yang disebut dengan simple luxury, kemewahan sederhana.
Angin semilir, langit merah semburat dengan kelabu, anak-anak berlarian seperti
anak-anak anjing di tengah padang. Itulah kemewahan. Kemewahan yang tidak usah
(atau hampir tidak) bayar. Barangkali juga itu cuma roso puisinya orang-orang
melarat.
Wulu cumbu saya yang merangkap dirjen kitchen cabinet, yang bernama Mr. Rigen,
menyapa saya dari tempat duduknya. Eh, pembantu saya ini memang istimewa daya
observasinya.
“Dari apa?”
“Melihat anak-anakmu sedang lari-lari. Rumput halaman ijo royo-royo, kamu pelihara
rapi. Angin semilir. Langit memerah kelabu. Ini semua membuat hati saya mak cês,
begitu.”
“Coba bagaimana hebat dan agungnya Gusti Allah itu. Langit sore dicat oleh Beliau
dengan warna merah dan kelabu. Rumput dicat ijo royo-royo. Bocah-bocah Beliau
perintahkan untuk lari-lari. Semua itu kumpul jadi satu, membuat hati kita mak cês.”
“Lha, kalo pucuk Gunung Merapi yang sore ini juga kelihatan itu, Pak?”
Saya ikuti arah pandangannya. Pucuk Gunung Merapi itu memang kelihatan indah.
Biru lamat-lamatdengan asap yang mengepul menjulang ke atas.
“Lha, itu juga indah sekali, Gen. Digabungkan dengan yang lain-lain tadi jadi bikin hati
tambah mak cês, Gen.”
Tiba-tiba saya merasa Mr. Rigen sedang merencanakan atau menyembunyikan sesuatu.
Mukanya nampak serius betul. Saya tiba-tiba jadi mrinding.
“Mak cês saya itu mikir wong-wong cilik yang tinggal di lereng Gunung Merapi itu lho,
Pak.”
“Elho, Bapak ki pripun, to? Bagaimana to, Pak? Gunung Merapi itu mau meletus.
Sudah muntup-muntup, laharnya mau muntah besar-besaran. Terus orang-orang itu,
istri-istri mereka, anak-anak mereka, simbah-simbah mereka, terus bagaimana? Mak
cês hati saya, Pak!”
Saya jadi terdiam. Ikut hanyut membayangkan desa-desa di lereng Merapi itu.
Desa-desa yang entah sudah berapa puluh atau mungkin malah ratus tahun menempel
di lambung gunung berapi itu. Dan setiap kali harus mengamati pucuk gunung itu,
melihat tanda-tanda. Melihat ngalamat.
“Yang saya kagumi, Pak, orang-orang itu kok ya masih krasan tinggal di lereng Merapi
itu. Padahal setiap saat diancam muntahan lahar.”
Saya tersenyum, ingat daerah tandusnya Mr. Rigen di Praci atau Madam yang
beberapa hari lalu datang menengok kami, tapi toh, pulang lagi ke Gunung Kidul.
“Lha, orang-tuamu, sanak saudaramu, Madam dan sebagainya itu kok ya masih mau
saja tinggal di Praci dan ngGunung Kidul, Gen? Padahal, menurut ceritamu tiap
musim ketigo, musim kemarau, keringnya ora jamak. Macan-macan sering turun cari
air, terus waktu mau pulang ke gua mereka di gunung, mampir ke
kuburan. Dhudhah-dhudhah mayit manusia untuk dibawa buat dinner mereka.”
“Elok bagaimana?”
“Semangatnya itu semangat kapok lombok. Sudah tahu kalau habis
makan sambêl atau nyêpluslombok pada ber-ho-hah, ho-hah ria, bilang kapok. Eh, lain
kali diulang lagi. Atau memang manungså itu suka nyoba-nyoba kesusahan nggih, Pak?”
Tiba-tiba saya jadi iba sekali melihat Mr. Rigen. Saking sudah bingungnya cari
penjelasan, dia menarik kesimpulan bahwa manungså itu bakatnya memang cari
kesusahan.
“Eh, ning saya percaya kok, Pak. Percaya kalau di wilayah bekas kerajaan Mataram itu
tidak bakal kêtrajang lahar Gunung Merapi.”
“Sebabnya?”
“Elho, pripun panjênêngan itu. Di kraton-kraton Yukja dan Solo itu penuh
dengan tumbak-tumbakdan keris-keris yang sudah siap menangkal lahar itu. Belum lagi
Ki Juru Taman yang memang ditugasi oleh cikal-bakal Mataram untuk menjaga
Gunung Merapi.”
“Elho, pripun panjênêngan itu? Oalaah … lha Bapak itu priyayi Ngawi, sih. Mbotên
mudhêng perkara yang begini-begini.”
Saya mengangguk-angguk kepala lagi. Hanya berkomentar dalam hati. Mak cês Mr.
Rigen sudah bergeser. Ah, tapi mak cês saya karena langit, karena anak-anak dan
karena rumput hijau. Mak cês apa itu? Dibandingkan dengan mak cês Mr. Rigen yang
memprihatinkan orang-orang desa? Saya tidak tahu. Saya melihat lagi ke arah langit,
sudah mulai malam. Angin mulai semilir sejuk. Mak cês … !!!
“Salam lékum.”
“Bukan, bukan. Saya bukan anak teman Bapak. Juga bukan anak siapa-siapa.”
Saya sendiri tidak tahu kenapa begitu saja menyilakan masuk orang asing, yang tidak
saya kenal. Padahal akhir-akhir ini banyak cerita dan laporan di surat kabar tentang
penipu-penipu profesional yang suka mengaku-aku anak teman datang minta
sumbangan. Dan bukankah saya juga pernah bercerita tentang Raden Soemantio yang
mengibuli saya dan berhasil menggaet uang saya beberapa puluh ribu rupiah? Tapi,
Jimmy ini malah mengaku bukan anak siapa-siapa dan setidaknya sampai dia duduk
itu, tidak minta apapun juga.
Jimmy pun duduk di kursi bambu ruang depan. Waktu kakinya di-sêlonjor-kan kok
rasanya mak tlolor begitu panjang sekali, sampai ujung sepatunya menggamit kaki kursi
saya. Elho, aneh. Dan bagian atas tubuhnya, waktu duduk itu juga nampak modot ke
atas, jadi tinggi sekali. Mak duut. Dia tersenyum lagi. Masih terus menawan. Sampai
akhirnya keheranan saya akan mulur-modot-nya tubuh dan kakinya jadi ternetralisir.
“Ah, tidak perlu apa-apa. Hanya ….. hanya mau menyampaikan salam silaturahim
dari Gus Dur. Bapak sahabat Gus Dur, kan?”
“Ya, sedang di Jakarta, mengurus ini dan itu sesudah Rapat Akbar NU di lapangan
parkir Senayan.”
“Iya, itu. Kata beliau, kalau kamu ke Yogya mampirlah ke rumah Pak Ageng.
Sampaikan salam saya. Dan kalau kamu haus atau lapar, singgahlah ke rumah
itu. Urip hanya untuk mampir ngombé dan makan. Lha ini, Pak Ageng, saya mampir.”
Sialan. Ini sama saja. Orang ini hanya mau minta minum dan mungkin juga makan,
pikir saya.
Wééh, ini anak muda mahal cita rasanya. Untung saya ada persediaan Aqua. Eh,
idhêp-idhêp meng-entertain utusan Gus Dur. Mr. Rigen saya minta memenuhi
permintaannya. Tiba-tiba saya lihat Beni Prakosa dan Tholo-Tholo, dua bêdhès yang
biasanya berani dan ramah pada tamu-tamu saya, kali itu jadi kelihatan pucat,
terus mak brabat lari ke belakang sambil berteriak,
“Sesudah itu, kalau boleh, nyuwun makan. Saya lapar sekali. Kata Gus Dur semboyan
Pak Ageng …”
“He-he-he-heh …”
Saya lihat dia memang kelihatan capek betul. Beberapa kancing atas bajunya dibuka,
nampak dadanya. Waduhh, kulit dada itu halus sekali, mrusuh, keringatnya berlelehan
banyak sekali. Tapi, éh … kenapa kok tidak bau kecut atau sêngak seperti laki-laki
muda biasanya. Maksud saya bau maskulin itu. Itu malah, édyan tênan, bau minyak
wangi Coco Channel no.5. Wangi. Haruumm.
“He-he-he-heh …”
Mr. Rigen datang membawa Aqua bersama nasi yang sudah dia rames dengan
lauk-pauk. Sruutt …Aqua itu disedot, tinggal separo. Syuuutt, syuuuttt, syuuuttt … nasi
sepiring itu dilahapnya cepat sekali. Mungkin hanya beberapa detik. Ini mulut atau
waduk, pikir saya. Mr. Rigen matanya melolo.
Kemudian saya ingat ucapannya bahwa dia tidak naik plane. Padahal Rapat Akbar itu
baru diadakan pagi hari Minggu itu. Ah, saya jadi curiga. Apa benar dia dari sana?
“Elho, betul Pak Ageng. Saya itu ditugasi untuk ikut barisan pengamanan. Lha, kalau
Pak Ageng tidak percaya, saya minta kertas nanti saya gambarkan situasinya.”
Mr. Rigen saya peritah untuk ambilkan selembar kertas. Dengan cekatan Jimmy
menggambar orang-orang yang duduk. Astaga, saya kenal wajah orang-orang yang
digambar itu. Ada Pak Wahono, ada Pak Rudini, ada Gus Dur, ada Pak Idham Khalid,
elho … ada juga Rendra dan tokoh-tokoh Forum Demokrasi. Kertas itu ditunjukkan
kepada saya.
“Mas, sampéyan tidak usah ngucap Al-Fatihah. Wong saya tidak apa-apa,
kok. Sampéyan kira saya ini syaiton apa?”
Saya dan Mr. Rigen kaget, shock berat bukan main. Bagaimana dia dengar kalau Mr.
Rigen mengucap Al-Fatihah, wong saya saja tidak dengar, lho. Tiba-tiba Jimmy
berdiri. Elho, kok tidak sebesar dan sepanjang kalau dia duduk? Tubuhnya kok biasa
saja? Malah cenderung agak menyusut sedikit. Tapi, tetap kelihatan hènsêm,
senyumnya menawan dan baunya itu lho, Coco Channel no.5!
Tiba-tiba mak brabat, dia keluar. Saya mau mengantarnya ke pintu. Elho, dia sudah
tidak ada. Sudah raib.
Di dalam, Mr. Rigen menunjuk koran beberapa hari sebelumnya. Di situ diberitakan
bahwa beberapa kyai Jawa Timur akan mengirim pasukan jin atau jim ke Rapat Akbar,
untuk membantu pasukan keamanan Ibukota. Astaga, jadi Nak Jimmy itu, …
Kajiman, …. ah mosok, ….. Astaghfirullah, Allahu Akbar, Allahu Akbar ….
“Ooohh ….. dhiapurmu kayak brutu ayam kuwalik! Sudah berani kêmaki sama orang tua
ya, Lé!Iya?! Iyaa?! Iyaaa?!”
Saya hanya mendengar suara Beni Prakosa terisak-isak menangis. Wah, yang lain
pada ke mana? Pastilah Mr. Rigen sedang benar-benar menancapkan wibawa
kekuasaannya. Dan kalau sudah begitu jangan harap Mrs. Nansiyem yang gagah
perkosa itu akan berani cêmiwit mengeluarkan suara. Apalagi Tholo-Tholo yang
paling-paling akan mêndêlêp, angslêp, tenggelam dalam-dalam sehingga hanya dua
bola matanya yang akan tholo-tholo kelihatan.
“Marah-marah nggak dikasih uang buat beli mobil-mobilan. Anggêpmu itu apa?
Anak kolo, kolomlarat apa?”
“Konglo-olomeraaat, Pakne.”
“Héisysy, wong wédok nggak usah ikut-ikut! Diam kowé! Aku ini lagi marah!”
Saya tertawa dalam hati. Ngglêgês mendengar adegan itu.Dan saya pun yang masih
tetap duduk di ruang dalam, tidak bisa tahan, ikut-ikut urun rêmbug.
“Inggiiih! Konglo-kolo-kolo-olomlaraat!”
Senyap lagi. Ah, … Minggu pagi nan damai sudah kembali. Eh, ternyata hanya sebentar
saja.
“Karêpmu itu apa to, Lé? Nggak kesampaian dapat mobil-mobilan, marah-marah.
Nggak cuma itu, pake ngamuk segala. Meja kursi ditendangi. Lemari diobrak-abrik.
Lempar batu ke mana-mana. Anggêpmu itu apa, Lé? Suporter Suroboyo
apa? Nglémpari stasiun-stasiun!”
Elho, Mr. Rigen kok sêmangkin beringas ndukani, marahi anaknya. Anak
yang digadhang-gadhang pada suatu ketika nanti bisa jadi jenderal itu. Bocah cilik
sudah dibandingkan dengan supporter Persebaya. Wéé lha, … kalau saya tidak turun
tangan bisa-bisa ndladrah ke mana-mana ini. Belum lagi saya mau beringsut dari
tempat duduk, Mr. Rigen sudah berkoar lagi.
“Mêndhing kalau kamu sêmbådå, Lé! Ngamuk ke mana-mana, tahu-tahu dikasih sêga
sak piring mak cêp klakêp! Mangan, lahap lagi! Jadi anak laki-laki sing konsekuen,
Lé! Berani ngamuk ya berani tanggung jawab, ngono! Sana, kêlon sama mbokmu!”
“Waduh, Pak Ageng. Kok kulå dapat hadiah titel berderet. Ada sontoloyo, ada kamprèt,
ada jin Praci. Gèk dosa saya apa to, Pak?”
“Elho, … sepagi ini marahi anak bagus, calon jenderal, kok tidak merasa berdosa!”
“Tapi, kalau marahnya seperti kamu tadi ya tidak baik, Gen. Wong anak masih sak
prêcil kok sudah dibanding-bandingkan dengan supporter Persebaya. Anak itu
tidak mudhêng, Gen.”
“Lha, kulå niku membandingkan dengan supporter Persebaya, supaya kalau tholé nanti
besar jangan jadi seperti mereka. Niku mental butêng namanya. Kalau harapannya
tidak keturutan, ngamuk. Terus bikin rusak barang milik negara dan orang banyak.”
“Lha, iya. Maksudmu mungkin baik, Gen. Ning perbandingan untuk bocah cilik
itu, mbok ya dicari yang anak itu akan mengerti, gitu.”
“Ning, jiaan kêbangêtên betul masalah supporter niku, nggih, Pak? Niku tanda jaman
yang bagaimana, Pak?”
“Wéé lha, … kalau kamu tanya soal tanda jaman aku juga tidak ngerti, Gen.”
Mr. Rigen tampak kecewa melihat bosnya yang dianggap mumpuni dalam segala
bidang, tidak bisa menjelaskan gejala itu sebagai suatu tanda jaman. Barangkali tepat
juga pengamatannya soal supporter yang beringas kayak kesetanan itu sebagai tanda
jaman. Yang memprihatinkan semua itu urusannya kok ya cuma nasi sak bungkus.
Sudah begitu basic, mendasarkah urusan itu? Dan apakah ini juga berlaku buat segala
permasalahan? Kalau tidak kêbênêran, ngamuk. Tidak cocok, ngamuk. Kalah, ngamuk.
Tapi waktu dilempari nasi bungkus, diam. Saya sungguh tidak tahu gejala tersebut ……..
Saya telah mengeluarkan instruksi keras yang harus dipatuhi semua anggota
kabinet dalah sak cindhil-abangé. Bunyi instruksi itu,
Pada waktu instruksi itu turun, Beni Prakosa dan Tholo-Tholo melancarkan aksi
protes dengan mêngèrèk bendera merah putih setengah tiang serta ditambahi dengan
sobekan gombal hitam. Menurut Beni Prakosa, bendera hitam menandakan ada korban
lalu lintas, yaitu Pakdhe Joyoboyo yang tidak boleh singgah lagi. Sedang merah-putih
setengah tiang, hari berduka karena ada dua korban yang berjatuhan sehubungan
dengan penyetopan pènggèng èyèm, yang berarti lenyap juga sate usus dari piring
sarapan bêdhès-bêdhès itu, setidaknya seminggu sekali.
“Mister Rigen, junior Beni dan Tholo-Tholo, sana cepat panggil Pak Joyoboyo!”
Suaranya memang harus diakui lebih melodius, lebih ngiwi-iwi, lebih cêmprèng dan
tentu saja lebih manas ati. Ketiga staf rumah tangga nDalêm Kagêngan yang
sedang pèl-mêngêpèl lantai ruang depan, mak jênggirat mendengar perintah saya, pagi
itu.
“Elho?”
“Elho?”
“El-hooo?”
“Kok malah êlho, êlho? Mau nggak? Ayo, cepat kejar Pak Joyo sebelum hilang di
tikungan!”
Bagaikan anjing-anjing balap yang dibisiki ‘awas, ada orang Batak dan Manado’,
mereka pun lari dengan kecepatan secepat angin prahara. Yang menakjubkan, Mr.
Rigen kok ya ikiut-ikutan lari. Kalah cepat dengan anak-anaknya.
“Wah, Dèèèn! Aduh, Paaak! Puuun, panjênêngan itu mbah-nya sadis! Puuun, kêbangêtan
saèstu!”
“Elho, pripun to? Kok datang-datang, sampéyan mewisuda saya jadi mbah-nya sadis,
Pak Joyo?”
“Lha, apêsnya saya ini sudah tiga kali seminggu mondar-mandir teriak pènggèng yèm,
pènggèng èyèm, ….. panjênêngan tidak manggil saya. Apa itu nggak sadis to, Pak
Ageng?”
Saya tersenyum. Kata ‘sadis’ sudah masuk perbendaharaan istilahnya. Itu jasa media
massa atau kepekaan observasi wong cilik memandang kehidupan sehari-hari?
“Mongko, padahal, kalo wong cilik itu sudah mênyêmoni, menggelitik priyagung itu
harusnya sudah tahu sendiri, nggih Mas Joyo. Ini nggak! Wong
cilik disuruh bêngak-bêngok kêroaass sekali. Eh, têtêp nggak dengar.”
“Héissy, ini malah ikut-ikutan ngeroyok saya! Gen, kamu ikut bålå mana sih? Ikut saya
atau Mas Joyo?”
“Sesungguhnya saya itu selalu ikut yang bener. Saya itu rak Bismo to, Pak Ageng.
Hatinya ikut Pandawa, ning karena tinggal di Ngastina, ya dia ikut Ngastina.”
“Oooh, … gundhulmu amoh! Jadi, aku ini kamu dhapuk jadi Suyudana, to? Yoo, boleeeh.
Sana, kamu sama sak anak bojomu kinthil di belakang Pak Joyo, ikut jualan pènggèng
èyèm keliling dunia. Mau begitu? Sidå kalirên tênan kowé!”
Mr. Rigen pringisan mendengar ancaman saya. Tetapi, dasar wong cilik kêpèpèt. Malah
semakin ngèyèl.
“Elho, êlho, Pak Ageng. Panjênêngan kok terus pipå låndå, ngono waé kok nêsu! Begitu saja
kok duko!Ini rak hanya guyon parikêna wong cilik to, Pak Ageng! Mbok panjênêngan itu
yang jêmbar, luas bidang dadanya. Miturut Hastabrata satu waktu raja itu harus bisa
seperti Dewa Baruna, dewa laut, yang hatinya juga seluas lautan, yang bisa
menampung apa saja. Rak begitu to, Pak Ageng?”
Wé, lha. Ini namanya touche, touche bin touche. Kena lu, kena lu! Saya lihat Pak
Joyoboyo manthuk-manthuk dengan mantapnya. Pandangannya penuh harap, tapi juga
harap-harap cemas. Tahu-tahu dua bêdhès sudah nyelonong, menyelinap di antara
saya dan Mr. Rigen dengan membawa piring-piring kecil mereka yang tradisional.
Dengan cekatan tangan Pak Joyo sudah hampir mênyaut sate usus. Mak cêk, saya
tangkap tangannya.
“Sebentar, Pak Joyo. Mangké rumiyin, Pak Joyo. Yang kuasa di rumah ini masih saya.
Di rumah ini tidak ada suksesi. Disuksesi kalau saya sudah mati. Ning saya ini raja sing
koma-koma kok, Pak Joyo. Tahu bagi-bagi rejeki sama kalian wong cilik. Ning, mbok
ya jangan terus sak enaknya sate usus sepuluh-sepuluh begitu. Sênajan saya ini kena
sakit gula, boleh sate usus sampéyan yang manis itu. Bêdhès-bêdhès sak bapak ibunya
boleh tiga-tiga. Tiga! Wis!”
“Ohh, … yang satu mbilung, yang satu buto Galiuk. Tambah satu rak sudah bagus. Itu
yang disebut nilai tambah, Lé! Wis, ti-ga!”
“Wis, wis, Lé. Ambil tiga-tiga, terus ke belakang sana! Kita mesti menerima ing
pandum. Etung-étung kita sudah untung. Wong cilik rak selalu untung to, Lé. Apalagi Pak
Ageng sudah mengalah, berhubung dengan gerah gula tidak makan apa-apa. Apa
tidak besar pengorbanan beliau itu …”
Saya tidak mendengar kelanjutan wejangan Mr. Rigen kepada anak-anaknya. Soalnya,
melihat rejeki sate usus yang terlanjur saya berikan kepada rakyat saya itu, saya jadi
kepingin lagi, jé. Bisa dimarahi dokter saya nanti.
Buat seorang nasionalis kiri sejati seperti saya, memiliki credit card, hanyalah
akal-akalan kaum kapitalis untuk membuat kita tergantung kepada mereka,
benar-benar suatu pengkhianatan kepada prinsip. Prinsip biar gèmbèl asal
uang-uangnya sendiri selalu lebih gagah dan pêrwiro daripada menghutang. Meskipun
dengan credit card itu dengan gaya mak srêêtt keluar dari kantong kita sebentar
nampak keren juga. Lha, wong dengan satu plastik kecil persegi kita bisa membayar
jumlah pembelian yang berapa saja, lho! Mak srêêtt, kêlip-kêlip plastik mungil itu kita
sodorkan. Terus kita tinggal sêr, sêr, sêr menaruh tanda tangan kita. Semuanya lantas
sudah beres.
Ning, itu cuma kelihatannya. Habis bulan akan ketahuan dari balans yang dikirim bank
hutang kita yang berderet. Jadi, kegagahan memiliki satu credit card itu sesungguhnya
cuma satu kegagahan semu. Tapi, bukankah 85 % dari semua kegagahan di muka bumi
ini kegagahan semu belaka? Dan kita senang-senang belaka pula dengan kegagahan
seperti itu?
Yang mula-mula membuat saya tiwikråmå mengambil credit card itu adalah
penghinaan, humialiation, yang saya alami di satu hotel di Singapura. Waktu itu
dengan gagahnya saya memasuki hotel mewah itu dan terus langsung ke counter,
dengan wajah curiga setengah me-ngênyèk, staf yang bertugas itu bertanya dengan
apa saya bayar.
Di kamar yang mewah dan duingiin itu, saya bagai seekor beruang di kandang kebun
binatang, mondar-mandir tanpa tujuan. Soalnya, saya berpikir keras, makan siang
saya nanti mesti di mana? Mau di restoran hotel itu pasti tidak cukup uang saya. Ciloko,
ciloko! Dengan mengendap-endap saya pun keluar hotel mencari warung yang murah.
Nah, begitulah. Semenjak peristiwa itu credit card mulai mengendon di dompet saya.
Dan, untuk membalas dendam akan penghinaan yang saya terima dari menus,
manusia, dari republik yang hanya sebesar buah pêté, di mana-mana saya lantas
suka show of force bagaikan ABRI. Di restoran, di hotel, di warung, saya
keluarkan credit card, dulu saya bayar dengan uang cash. Baru kalau pemilik restoran
kecil atau warung itu pringas-pringis belum bisa terima credit card, saya bayar mereka
dengan uang cash sambil bergumam,
Padahal menurut ukuran saya dulu, waktu masih patriot komplit revolusioner,
warung-warung itulah yang sesungguhnya patriot nasionalis kiri sejati. Konsekuen anti
kapitalis.
Di rumah saya di Cipinang tentunya tidak ada yang menyambut credit card itu dengan
kekaguman. Soalnya mereka sudah terlalu sering melihat itu. Bahkan wajah Bu Ageng
selalu terlihat kêtar-kêtir, setiap kali dia melihat saya dengan gaya
penuh gusto membayar dengan credit card silver itu. Pastilah dia membayangkan balans
yang bakal datang pada tiap akhir bulan. Dalam batin mungkin dia akan ngunandikå,
Tetapi bersamaan dengan menduga begitu, saya juga bertanya pada diri sendiri
apakah sesungguhnya dia tidak mongkok juga melihat suaminya
jadi bankable dan sraat-srêêt, sraat-srêêtmengeluarkan credit card silver dari kantongnya.
Di rumah saya di Yogyakarta, sambutan itu tentunya lain. Mr. Rigen and
family melihat uang plastik itu dengan penuh ke-ngungun-an.
“Ha iya! Dengan uang plastik ini kamu bisa jrèng-jrèng, srêêt-srêêt, bayar apa saja.”
“Wah, élok. Kalo begitu besok saya pinjam ke pasar untuk blonjo, nggih, Pak Ageng.”
“Dhapurmu! Terus dengan uang plastik internasional ini kamu mau belanja apa di
pasar?”
“Ha, ênggih, yang rutin mawon. Lombok, garam, trasi, pêté, sayur, ikan, pitik …”
“Wis, uwis, Gen. Tidak bisa. Uang plastik ini hanya belanja di tempat-tempat yang
dahsyat dan seru. Restoran-restoran dan hotel-hotel.”
“Tetap nggak bisa, guoblok! Begini saja, besok hari Minggu kita ramé-ramé ke Kentucky.
Oke?”
Tentu saja sambutan itu tidak bisa lain selain oke juga.
Di kantor saya memanggil rapat pleno darurat dengan seluruh staf komplit dengan
pesuruh. Acara tunggal, melihat baik-baik bentuk dan rupa credit card yang mengkilap
itu. Saya mengikuti dengan cermat wajah mereka, satu per satu, setiap mereka
mengamati uang plastik itu. Rupanya mereka tahu. Dengan wajah penuh
kekaguman manthuk-manthuk, mereka mengamati credit card itu …..
Grobyak! Tas cangkolong saya dan Tholo-Tholo dilempar ke dalam jip. Tholo-Tholo
yang ancang-ancang mau nangis ‘hèèèk’, langsung dibentak dengan ketus oleh
bapaknya.
Mobil distarter. ‘Ujuk-ujuk, huèèrrr, ujuk-ujuk, huèèrrr, terus mak krosak mulai jalan. Saya
diam saja melihat perubahan mood dirjen saya itu. Bagaikan seorang menteri yang
bijaksana menghadapi mooddirjennya yang sedang jelek, saya pun diam saja, tetapi
sambil terus menduga-duga gèk ada apa gerangan sampai dirjen saya jadi begitu.
Pada level departemen, mood muka mbêthuthut seorang dirjen begitu bisa berarti
macam-macam. Bisa karena habis di-krompyang istrinya gara-gara ketahuan punya
pacar baru. Bisa juga karena angpo dari rekanan tidak datang-datang. Wèh,
alangkah multi interpretatif-nya mood itu. Dan Mr. Rigen, apa yang telah membuat dia
begitu? Tiba-tiba …..
“Ha, ênggih! Rawuh saja kok ya malam-malam begini. Bikin kacau dan repot rumah
tangga saja!”
Wéé, lha. Dirjen saya séwot betul, nih. Belum pernah beliau segalak itu
me-nyênggrang saya.
“Saya itu, gara-gara Bapak kondur malam begini, tidur sore saya terlambat bangun.
Siram-siram halaman nggak jadi. Lha, sekarang persiapan makan malam Bapak juga
jadi kacau semua. Pripun?!”
“Elho! Kacau dibikin-bikin sendiri kok bolehnya meng-grundêl to, kamu itu.”
“Ha, ênggih. Saya itu bingung, Pak Ageng. Begitu dengar dari kantor, Bapak
mau kondur malam dengan Sempati, saya jadi bingung bolehnya mengatur waktu.
Saya mau tidur sore sama bunédan anak-anak jam berapa. Terus mau bangun jam
berapa. Terus mau siram-siram jam berapa. Terus mau masak untuk makan malam
jam berapa. Terus mau berangkat ke èrporêt jam berapa. Saking bingungnya,
saya, ibuné dan anak-anak malah ketiduran semua.
To, pripun? Wong sudah apik-apik naik Garuda seperti biasanya, kok ya aneh-aneh
mau terbang malam naik Sempati, Paak.”
Saya tertawa ngglêgês bercampur judêg. Wong jalan pikiran kok begitu rumit
bin ruwêt to, wong cilik itu? Menghadapi pergeseran rencana kok malah jadi kacau
semua perencanaan. Yang biasa malah jadi dirumit-rumitkan. Tapi, apakah ini
milik wong cilik saja? Apakah para priyayi di tingkat nasional itu tidak sami
mawon? Dalam menghadapi perubahan, tiba-tiba menjadi byayakan juga? Terus jadi
dirumit-rumitkan pekerjaannya?
Tahu-tahu jip sudah masuk rumah. Dengan sêbat Mr. Rigen masuk ke rumah,
meng-glandang Tholo-Tholo yang masih mrêngut karena kali itu tidak mendapat jatah
teh kotak. Beni Prakosa, melihat gelagat semua itu jadi mêngkêrêt, tidak berani ambil
inisiatif apa-apa. Dan suasana agak tegang tetapi tetap efektif itu berlangsung terus
sampai makan malam. Harus saya akui, meski dalam susana mrêngut bin cemberut
begitu, semua berjalan lancar juga. Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem, meski dalam
keadaan kritis tetap bisa menjaga ritme roda pekerjaan mereka. Luar biasa! Apakah
dirjen di tingkat nasional yang terlambat menerima angpo komisinya, akan dapat
mempertahankan ritme kerja mereka?
Waktu saya mulai duduk di ruang depan sembari membaca koran-koran lokal dan Mr.
Rigen datang menghantarkan teh panas, kemudian me-nglésot di dekat saya, tahulah
saya bahwa cuaca sudah normal kembali.
“Kok tiba-tiba Bapak pindah Sempati itu, pertimbangannya apa to, Pak?”
Saya ngglêgês lagi. ‘Oh, sontoloyo tênan! Jadi, gara-gara saya pindah dari Garuda ke
Sempati jadi pikiran dia, to! Jadi bukan saja soalnya bolehnya dia terlambat bangun
dari kêlon dengan anak istrinya, to?!’ Saya tidak segera menjawab.
Kemudian saya coba menceritakan pengalaman saya duduk di klas business Sempati.
Saya boleh memilih sarapan nasi goreng atau sate ayam, ubå rampé-nya juga
macam-macam. Pilihan minumannya juga macam-macam. Coro Inggris
pramugarinya juga lebih tètèh, lebih lancar sedikit dari mbak-mbak Garuda dan ada
permainan lotre yang disebut sandiwara.
“Ya, tidak. Sok Garuda, sok Sempati. Nanti kalau ada pesawat baru, ya dijajal juga.”
“Garuda itu burung negara lho, Pak. Sempati itu burungnya siapa?”
“Ha, êmbuh! Pokoké sekarang ada dua burung. Itu baik, Gen.”
“Baiknya?”
“Ya ada saingan. Kompetisi. Siapa tahu besok klas business Garuda nggak mau kalah,
menawarkan sarapan juga. Sêgå pecel atau sêgå liwêt. Mbak-mbak pramugarinya
dikursuskan coro Inggris lagi.”
“Sêpélé priyé?”
Saya ngglêgês lagi. Mr. Rigen is back again. Beliau sudah kembali pada kejeniusannya
yang asli. Micårådan ahli mengocok logika.
“Haa, ha, ha, … Gen. Kamu kira orang naik pesawat terbang itu apa yang dicari? Ya
cari cepat, aman dan enak kêpénak. Tiga unsur itu tidak boleh tercecer, Gen.”
“Ha, ning nanti Garuda perang tenan dengan Sempati. Ngoèèng, ngoèèng, tèt, tèt, tèt,
ciuutt, jlêgur!Seperti di pilêm itu lho, Pak.”
Tiba-tiba dua bêdhès cilik yang saya kira sudah pada tidur, muncul dan lari menubruk
kaki-kaki saya. Gabrus! Beni Prakosa dan Tholo-Tholo saling berebut memijit-mijit
kaki saya.
“Pak Adeung tapèk, to? Tapèk, to? Dipijit ya, pijit ya?”