Anda di halaman 1dari 5

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL

Judul : “Mainstreaming Regional Budget (APBD) Issues and Challenges in Riau Province in 2015”
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Masalah dan tantangan di Provinsi Riau Tahun
2015)

Penulis : Alexander Yandra, Sri Roserdevi Nasution, Harsini dan Ismail Suardi Wekke.

Tahun : 2018

Reviewer : Ragil Cahya Ningrum

Tanggal :

Penelitian ini membahas tentang isu yang terkait tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Provinsi Riau tahun 2015 sebesar Rp. 10,7 Triliun. Berdasarkan data yang diperoleh
dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Riau (BPKAD), Riau hanya dapat menghabiskan APBD
sebanyak 37,58% hingga bulan Oktober tahun 2015. Sementara itu Departemen Dalam Negeri
Republik Indonesia menghitung Provinsi Riau hanya menghabiskan sebanyak 59,6% sepanjang tahun
2015 dan menghabiskan belanja daerah terendah di Indonesia. Biaya APBD yang terhitung sedikit ini
merupakan biaya terendah di Seluruh Indonesia. Tingkat pengeluaran yang rendah ini menimbulkan
permasalahan dalam implementasi APBD Provinsi Riau yang tidak memadai dan belum relevan. Hal
ini menyebabkan terjadinya kesenjangan alokasi APBD yang berdampak pada pembangunan daerah
non-kinerja sebagaimana ditargetkan dalam Rencana Pembanguan Daerah Jangka Menengah
(RPJMD). Metode penelitian dari jurnal ini yaitu Metode Deskriptif dan Kualitatif. Penelitian ini
menggunakan Teknik Observasi dengan pola investigasi, wawancara dan dokumen dari beberapa
sumber seperti Bappeda dan sebagainya. Informasi dari data tersebut kemudian di bandingkan
melalui diskusi forum.

Jarak dalam Alokasi Anggaran Daerah Provinsi Riau

Pada jurnal ini penulis melampirkan grafik pendapatan daerah untuk tahun 2014-2017. Pada
tahun 2014 pendapatan Provinsi Riau sendiri yaitu sebanyak Rp. 712.665,- atau pertumbuhan
pendapatannya sebanyak 1,0%. Pada tahun 2015 pendapatan Provinsi Riau sendiri yaitu sebanyak
Rp. 875.157,- atau pertumbuhan pendapatannya sebanyak 2,18%. Pada tahun 2016 pendapatan
Provinsi Riau sendiri yaitu sebanyak Rp. 758.865,- atau pertumbuhan pendapatannya sebanyak
3,19%. Pada tahun 2017 pendapatan Provinsi Riau sendiri yaitu sebanyak Rp. 885.902,- atau
pertumbuhan pendapatannya sebanyak 4,14%. Kondisi seperti ini mercerminkan bahwa Pemerintah
Provinsi Riau dalam mewujudkan APBD tahun 2015 masih terbilang rendah. Tetapi jika dilihat dari
pendapatannya masih terbilang stabil atau terus meningkat dari tahun ke tahun (2014-2017). Hal ini
menjelaskan bahwa masyarakat Provinsi Riau masih memiliki kesadaran tinggi dalam membayar
pajak dan juga dapat dilihat upaya dari Pemerintah Daerah yang cukup baik untuk mengoptimalkan
potensi pendapatan dari sektor pajak dan non-pajak.

Jika ditinjau dari belanja daerah Provinsi Riau dari tahun ke tahun (2014-2017) menunjukkan
peningkatan yang terus meningkat. pengeluaran daerah dapat mengambil bentuk belanja modal dan
bahkan belanja barang dan jasa. Dari data tahun 2015 dengan realisasi APBD sebesar 68,1%,
Pemerintah Provinsi Riau menggunakan lebih banyak belanja APBD untuk belanja modal dengan
persentase 59,76% sedangkan belanja barang dan jasa 6,19% (FITRA (Forum Indonesia Transparasi
Anggaran) Provinsi Riau 2017).
Pengeluaran barang modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk pembentukan
modal untuk meningkatkan aset tetap atau aset lain yang memberikan manfaat lebih, seperti
pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan
masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Belanja Modal tahun 2015 sangat ditujukan
untuk rehabilitasi bangunan, penyediaan fasilitas, layanan konsultasi, ahli dan sebagian besar
pengeluaran dialokasikan untuk alokasi anggaran prosedural, tidak ada terobosan untuk
pengembangan fasilitas umum.

Alokasi Utama dalam Pelaksanaan Anggaran Daerah Provinsi Riau

Data Alokasi Utama dalam Pelaksanaan Anggaran Daerah Provinsi Riau sendiri bersumber
dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK/RI). Yang dimana Anggaran Daerah Awal Provinsi Riau untuk
tahun 2015 sebesar 10,7 Triliun, sementara APBD-nya sebesar 11,3 Triliun dengan realisasi
anggarannya mencapai 7,7 Triliun atau 68%. Dilihat dari data realisasi APBD Provinsi Riau 2015,
sebagian besar dari porsi 82% dialokasikan untuk belanja pegawai, 86% untuk belanja bagi hasil, dan
102% untuk hibah, dibandingkan dengan target alokasi (Pembangunan, Infrastruktur, Kesehatan, dan
Pendidikan). Sedangkan serapan terendah ditemukan pada 35% pengeluaran bantuan keuangan,
32% dari belanja bantuan sosial dan 0% dari pengeluaran tak terduga. Dari total penyerapan APBD
2015, tercatat 59,76% porsi belanja modal dan 6,19% porsi belanja barang dan jasa. Dalam empat
tahun terakhir (2014-2017) ada kecenderungan bahwa keputusan yang diambil oleh pemerintah
daerah dalam pelaksanaan APBD kurang efektif bila dibandingkan dengan peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (Penerimaan Anggaran Daerah / PAD) dan realisasi anggaran.

Data ini menunjukkan bahwa realisasinya mencapai 68,1%, dengan 59,76% penyerapan
anggaran didominasi oleh belanja modal. Pengeluaran modal sangat dialokasikan untuk
mempertahankan aset yang sudah ada sebelumnya, ini telah terbukti bahwa pada tahun 2015,
Pemerintah Provinsi Riau meminimalkan pengeluaran barang dan jasa. Mungkin juga disebabkan
oleh transisi Gubernur dari Anas Maamun ke Pjs Gubernur, Arsyad Juliandi, yang tidak dapat secara
optimal mengelola penggunaan anggaran. Selanjutnya, Plt Gubernur Provinsi Riau menjabat sebagai
Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi Riau. Namun, Pejabat Gubernur Provinsi Riau memiliki
keterbatasan dalam menjalankan urusan pemerintahan daerah.

Tren Penggunaan APBD Provinsi Riau 2015

Fenomena menarik dalam pengelolaan keuangan baru-baru ini di wilayah Provinsi Riau,
yaitu, sering terjadinya sisa anggaran (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran / Silpa) dalam Laporan
Realisasi Anggaran (LRA). Terlihat dari tiga tahun terakhir, ini menunjukkan tren Silpa, tetapi
kecenderungan ini tidak mendukung penggunaan positif anggaran daripada penggunaan negatif.
Dilihat dari program yang tidak dilaksanakan secara efektif, serta hasil Audit Kepatuhan terhadap
Ketentuan Hukum dan Peraturan yang Berlaku terkait penggunaan Anggaran Daerah Provinsi Riau
2015, ada 17 temuan oleh BPK RI-RI sebagai berikut.

1. Ada kelebihan pembayaran sebesar Rp. 306.880.000 dan ketidaktepatan tim eksekusi untuk
pelaksanaan tugas dan fungsi rutin sebesar Rp. 1.391.510.000 dalam Pemerintah Provinsi
Riau

2. Pembayaran untuk Asisten Administrasi Pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat dan


Asisten Administrasi Umum dalam Tim Eksekusi selama Periode Layanan sebagai Bupati
adalah Rp. 85.510.000 tidak sesuai dengan ketentuan.
3. Realisasi pembelanjaan untuk pembayaran makanan pasien untuk TA 2014 yang berjumlah
Rp. 82.745.332 mengakibatkan kelebihan APBD Provinsi Riau pada tahun 2015

4. Pembayaran premi asuransi gedung dan perpustakaan dan, lebih dari pembelanjaan
anggaran daerah oleh kantor sebesar paling sedikit Rp. 29.627.714

5. Realisasi belanja pemeliharaan rutin / pemeliharaan berkala mobil dinas dan pemeliharaan
rutin / berkala kendaraan Kantor Operasional tidak didukung oleh bukti yang memadai
tentang pelaksanaannya

6. Lebih bayar sebesar Rp. 25.870.000 pada pengadaan buku untuk SMA dan SMK dan
pengadaan minimum 29 unit tidak didukung oleh sistem operasi komputer berlisensi

7. Hibah barang kepada komunitas pihak ketiga tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan hibah

8. Kelebihan pembayaran belanja modal pada pengadaan kamera pengintai (CCTV) di Kantor
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah sebesar Rp. 25.857.000 dan hasil pengadaan belum
dimanfaatkan

9. Obligasi Kinerja sebesar Rp. 140.838.865 dan Surety Bond sebesar Rp. 845.033.190 untuk
empat paket pekerjaan kontrak di sekretariat DPRD dan Dinas Kesehatan tidak dapat
dicairkan.

10. Keterlambatan kinerja pembangunan lanjutan rumah sakit bedah pusat Arifin Achmad belum
dijatuhi sanksi karena sebesar Rp. 446.850.000

11. Pembayaran lebih dari dua paket kegiatan pengerukan jalan untuk TA 2015 di Kantor Jalan
Raya adalah sebesar Rp. 667.372.069

12. Kelebihan pembayaran dan penurunan harga dalam belanja modal untuk pengangkatan jalan
di Bagan Siapiapi-Sinai di Kantor Jalan Raya adalah sebesar Rp. 530.918.369

13. Performance Bond dari paket pekerjaan pembangunan jalan Teluk Piyai (Kubu) - Sei Daun
sebesar Rp. 1.406.470.000

14. Keterlambatan penyalasan Saldo Tersisa Persediaan Uang Tunai adalah sebesar Rp.
5.254.540.296

15. Penyelesaian empat jenis piutang sebesar Rp. 1.347.373.855

16. pengelolaan investasi tetap dalam bentuk Dana Penguatan Modal (DPM) untuk
pengembangan Budidaya Ikan di Kantor Perikanan dan Kelautan tidak sesuai dengan
ketentuan

17. Pengelolaan investasi permanen lainnya dalam bentuk Pola Swamitra Bukopin di Kantor
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM) belum sesuai dengan ketentuan

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI APBD 2015 Provinsi Riau pada tabel di atas, dapat disimpulkan
bahwa kesenjangan dalam penggunaan anggaran disebabkan oleh kurangnya kontrol dalam alokasi
anggaran. Pengawasan harus dilakukan dari perencanaan anggaran hingga alokasi anggaran untuk
meminimalkan kecurangan anggaran. Selanjutnya, alokasi Anggaran Daerah untuk belanja modal
dalam kebutuhan pembayaran gaji, biaya pemeliharaan rutin atau berkala dan manajemen investasi
dianggap terlalu membebani APBD.
Jumlah ruang fiskal yang tersedia dalam anggaran adalah Rp10,7 triliun pada tahun 2015, harus
membuat pemerintah lebih fleksibel terhadap pembangunan daerah. Namun demikian, pernyataan
itu tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh masyarakat, karena fakta menunjukkan
kekuatan fiskal Provinsi Riau dalam empat tahun terakhir (2014-2017) terus menurun meskipun
pendapatan setiap tahun meningkat (Gambar 1). Karena angka 1 menunjukkan penurunan kekuatan
fiskal dari tahun ke tahun yang diduga terjadi karena diskresi fiskal, kondisi ini menjadi bermasalah
dalam kebijakan anggaran di Provinsi Riau 2015 (FITRA Provinsi Riau, 2015).

Anggaran Provinsi Riau pada tahun 2015 tidak memiliki sinergi antara pendapatan tinggi dengan
pengeluaran rendah. Di satu sisi, jika dilihat dari efisiensi anggaran dengan kecenderungan menurun,
Silpa dianggap sebagai sesuatu yang positif tetapi kemudian memiliki dampak yang berlawanan
dengan kekuatan fiskal yang cenderung menurun (negatif) seperti yang digambarkan grafik di atas.
Perencanaan keuangan daerah yang aman adalah, jika defisit anggaran dapat ditutup dengan bersih,
tetapi penggunaan Silpa hingga tidak tersisa satu rupiah membuat perencanaan keuangan tampak
palsu, sehingga diragukan akuntabilitas dan kejujurannya.

Kebijakan anggaran diskresioner Provinsi Riau

Jumlah ruang fiskal yang tersedia dalam anggaran adalah Rp10,7 triliun pada tahun 2015,
harus membuat pemerintah lebih fleksibel terhadap pembangunan daerah. Namun demikian,
pernyataan itu tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh masyarakat, karena fakta
menunjukkan kekuatan fiskal Provinsi Riau dalam empat tahun terakhir (2014-2017) terus menurun
meski pendapatan setiap tahun meningkat. penurunan kekuatan fiskal dari tahun ke tahun yang
diduga terjadi karena kebijakan fiskal, kondisi ini menjadi masalah dalam kebijakan anggaran di
Provinsi Riau 2015 (FITRA Provinsi Riau, 2015).

Anggaran Provinsi Riau pada tahun 2015 tidak memiliki sinergi antara pendapatan tinggi
dengan pengeluaran rendah. Di satu sisi, ketika dilihat dari efisiensi anggaran dengan kecenderungan
menurun, Silpa dianggap sebagai sesuatu yang positif tetapi kemudian memiliki dampak yang
berlawanan dengan kekuatan fiskal yang cenderung menurun (negatif) Perencanaan keuangan
daerah yang aman adalah, jika defisit anggaran dapat ditutup dengan net, tetapi penggunaan Silpa
hingga tidak tersisa satu rupiah membuat perencanaan keuangan tampak palsu, sehingga diragukan
akuntabilitas dan kejujurannya.

Kondisi itu terjadi karena kebijaksanaan kebijakan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah
Provinsi Riau dalam rentang tahun (2014 hingga 2017). Pilihan kebijaksanaan kebijakan adalah
tindakan pemerintah dalam menjaga anggaran, tetapi itu terjadi dalam proyeksi pendapatan. Dalam
memproyeksikan pendapatan, tren penerimaan APBD Provinsi Riau dari 2014 hingga 2017 pada
dasarnya meningkat tetapi tidak diimbangi dengan pencapaian yang dihasilkan dari anggaran. Ini
berarti bahwa Pemerintah Provinsi Riau masih belum maksimal dalam menentukan proyeksi
pendapatan daerah dalam upaya mendukung pembangunan berkelanjutan, karena proyeksi masa
depan diturunkan dari potensi yang sebenarnya.
Kesimpulan

Laporan oleh BPK RI memperlihatkan ketidakkonsistenan Pemerintah Provinsi Riau dalam


mewujudkan APBD 2015 yang masih dianggap buruk. Transisi Gubernur terpilih menjadi Pjs
Gubernur di Provinsi Riau tahun 2015 menyebabkan kewenangan yang terbatas untuk menggunakan
anggaran. Selanjutnya, selama 2014-2016, APBD mengalami peningkatan tetapi tidak berdampak
positif karena dapat dilihat dari 17 temuan yang dihasilkan oleh BPK RI. Sebaliknya, fakta
menunjukkan bahwa kekuatan fiskal Provinsi Riau dalam empat tahun terakhir (2014-2017) terus
menurun meskipun sektor Pendapatan Asli Daerah meningkat setiap tahun, itu mempengaruhi
kebijaksanaan dalam kebijakan fiskal di Provinsi Riau pada tahun 2015. .

Anda mungkin juga menyukai