1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sate merupakan makanan khas Indonesia yang umumnya berbahan dasar ikan
atau daging yang disajikan dengan berbagai macam bumbu bergantung pada variasi
resep sate. Sate kemudian dibakar di atas bara api sampai matang sambil dibolak –
balik dan diolesi sedikit minyak goreng (Chalid 2009). Sate diketahui berasal dari
Jawa dan dapat ditemukan di daerah manapun di Indonesia dan telah dianggap
sebagai salah satu masakan nasional Indonesia (Mastini et al. 2013). Sate dapat
diperoleh dari pedagang sate keliling, pedagang kaki lima di warung tepi jalan,
hingga di restoran kelas atas, serta kerap disajikan dalam pesta. Resep dan cara
pembuatan sate beraneka ragam bergantung pada variasi dan resep masing-masing
daerah. Beberapa jenis sate dari berbagai daerah di Indonesia antara lain sate Madura,
Maranggi, Padang dan Ponorogo (Chalid 2009).
Berdasarkan jenis daging yang digunakan, sate dapat digolongkan menjadi sate
ayam, kambing, kerbau, kerang, penyu, torpedo, siput dan lain-lain. Salah satu jenis
sate yang sangat popular adalah sate ayam. Daging ayam yang menjadi jenis daging
kegemaran masyarakat sangatlah nikmat dijadikan bahan baku sate. Daging ayam
adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak,
mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh (Mastini et al. 2013). Protein
merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging dan sangat dibutuhkan
untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan. Nilai gizi pada
daging ayam per 100 gram dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi gizi daging ayam (Anggoridi, 1995)
Komposisi Jumlah
Protein (g) 18,20
Lemak (g) 25,00
Kalsium (mg) 14,00
Fosfor (mg) 200,00
Besi (mg) 1,50
Vitamin B1 (mg) 0,08
Air (g) 55,90
Kalori (kkal) 302,00
Daging ayam merupakan produk pangan hewani yang bersifat mudah rusak
(perishable) dan merupakan media untuk berkembangnya mikroba, yang diakibatkan
karena kandungan gizinya yang lengkap dan sangat digemari oleh mikroorganisme
baik patogen (menyebabkan sakit) maupun pembusuk. Usaha untuk meningkatkan
kualitas daging ayam dilakukan melalui pengolahan atau penanganan yang lebih baik
sehingga dapat mengurangi kerusakan atau kebusukan selama penyimpanan dan
pemasaran. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui aplikasi teknologi
pengemasan. Aplikasi teknologi pengemasan dapat memberikan keuntungan baik
produsen maupun konsumen. Keuntungan bagi produsen daging adalah dapat
memperpanjang lama penyimpanan produk, menghindari kontaminasi bakteri serta
meningkatkan kualitas. Keuntungan bagi konsumen adalah jaminan mutu terhadap
produk yang dibeli serta keamanan produk yang dikonsumsi (Pitasari et al. 2013).
Proses pengemasan merupakan hal yang sangat penting agar sate bisa bertahan
beberapa hari. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi produsen sate untuk
membuat inovasi dalam perancangan kemasan. Potensi sate sebagai makanan khas
Indonesia dapat ditingkatkan dengan membuat kemasan sate yang memungkinkan
untuk dikirim melalui jasa pengiriman sehingga dapat memperluas jangkauan pasar
dan dapat dinikmati oleh berbagai kalangan. Identitas atau brand yang original dan
menarik juga sangat diperlukan agar produk dapat diterima oleh konsumen. Oleh
karena itu, dibutuhkan inovasi dalam pengolahan dan pengemasan yang khusus agar
sate bisa dimakan dalam jangka waktu lama namun dengan kualitas yang tetap sama.
“Sate Mantan” merupakan produk yang direkomendasikan sebagai solusi untuk
masalah tersebut.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui proses pengolahan sate mantan agar awet dan kualitasnya tetap
terjaga?
2 Mengetahui cara pengemasan sate mantan?
3 Mengetahui analisa ekonomi dari produk sate mantan?
4.3Umur Simpan
Umur simpan (shelf life) didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh suatu
produk pangan menjadi tidak layak dikonsumsi jika ditinjau dari segi keamanan, nutrisi, sifat
fisik, dan organoleptik, setelah disimpan dalam kondisi yang direkomendasikan
(Septianingrum 2008).
Umur simpan adalah selang waktu yang menunjukkan antara saat produksi hingga saat
akhir dari produk masih dapat dipasarkan, dengan mutu prima seperti yang dijanjikan.
Umur simpan dapat juga didefinisikan sebagai waktu hingga produk mengalami suatu
tingkat degradasi mutu tertentu akibat reaksi deteriorasi yang menyebabkan produk
tersebut tidak layak dikonsumsi atau tidak layak lagi sesuai dengan kriteria yang
tertera pada kemasannya (mutu tidak sesuai lagi dengan tingkatan mutu yang
dijanjikan) (Syarif dan Halid 1993).
DAPUS DAGING
Anggoridi, R. 1995. Aneka Nutrisi unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama , Jakarta.
Desrosier,N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI.Press.Jakarta
Syarief dan Halid. (1993). Teknologi Penyimpanan Pangan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Septianingrum .E. (2008). Perkiraan umur simpan tepung gaplek yang dikemas
dalam berbagai kemasan plastik berdasarkan kurva isoterm sorpsi
lembab. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Sumbaga, D.S. (2006). Pengaruh Waktu Curing (Perendaman Dalam Larutan
Bumbu) Terhadap Mutu Dendeng Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias
garipinus) Selama Penyimpanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta:Penebar
Swadaya