Anda di halaman 1dari 84

Definisi Teknologi Bahan Pangan

Bahan pangan adalah bahan yang memungkinkan manusia tumbuh dan mampu
memelihara tubuhnya serta berkembang biak. Bahan pangan pada umumnya terdiri atas zat-
zat kimia, baik yang terbentuk secara alami ataupun secara sintetis, dalam berbagai bentuk
kombinasi dan yang berperan penting bagi kehidupan, seperti halnya air dan oksigen.
Bahan pangan terdiri dari empat komponen utama yaitu karbohidrat, protein, lemak, air
dan turunan-turunannya. Selain itu bahan pangan juga tersusun dari komponen anorganik
dalam bentuk kandungan mineral, dan komponen organik lainnya dalam jumlah relatif kecil,
misalnya vitamin, enzim, emulsifier, asam, antioksidan, pigmen, dan komponen-komponen
cita rasa (flavor). Jumlah komponen-komponen tersebut berbeda-beda pada masing-masing
bahan pangan, tergantung pada susunan, kekerasan atau tekstur, cita rasa, warna dan nilai
makanannya.
Menurut UU No 18 tahun 2012 tentang pangan, dinyatakan bahwa mutu pangan adalah
nilai yang ditentukan atas dasar keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan
terhadap bahan makanan, dan minuman. Penilaian kualitas makanan adalah penilaian mutu
dari bahan pangan yang telah mengalami pengolahan atau pemasakan. Tujuan dari penilaian
mutu makanan adalah untuk mendapatkan standar kualitas yang layak di konsumsi.
Penggunaan ilmu pengetahuan untuk kebutuhan manusia dinamakan teknologi, tetapi
teknologi dapat pula didefinisikan sebagai cara melakukan sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal. Penggunaan ilmu pengetahuan untuk
kebutuhan manusia dapat dilakukan dengan berbagai cara, atau dengan kata lain dapat
menggunakan berbagai jenis teknologi. Jenis teknologi yang diterapkan pada bahan pangan
disebut teknologi pangan.
Teknologi pangan adalah suatu teknologi yang menerapkanilmu pengetahuan tentang
bahan pangan khususnya setelah panen (pasca panen) guna memperoleh manfaatnya
seoptimal mungkin sekaligus dapat meningkatkan nilai tambah dari pangan. Spesialisasinya
beragam di antaranya pemrosesan, pengawetan, pengemasan, penyimpanan dan sebgainya.
Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan indsutri pangan
dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan tujuan
industri untuk memenuhi permintaan konsumen.
Teknologi pangan adalah suatu ilmu terapan yang memanfaatkan ilmu kimia,
biokimia, fisika, kimia fisika, serta sifat biologis bahan pangan. Sifat- sifat kimia bahan
pangan meliputi:
1. Komposisi protein, lemak, karbohidrat yang membentuk bahan makanan itu sendiri;
2. Reaksi kimia yang terjadi apabila bahan diolah;
3. Interaksi antara zat-zat yang terkandung dalam bahan pangan itu dengan zat kimia
tinambah (= aditif) misalnya antibiotika, zat pewarna makanan, dan sebagainya.
Sifat biokimia banyak kaitannya dengan aktivitas enzimatis lepas panen bagi bahan pangan
nabati atau lepas mortem bagi bahan pangan hewani, juga berkaitan dengan zat-zat
kandungan bahan yang secara fisiologis aktif, misalnya vitamin dan zat gizi lain yang
esensial bagi tanaman maupun hewan.
Sifat-sifat fisik bahan pangan meliputi warna, berat jenis, indeks refraksi, viskositas,
tekstur dan berbagai konstanta panas. Sifat fisika kimia bahan pangan berkaitan erat dengan
sifat-sifat suatu bentuk larutan, koloid, kristal yang terjadi di dalam makanan, baik secara
alamiah maupun setelah proses pengolahan.
Sifat-sifat biologis dititikberatkan pada aktivitas mikro organisme seperti serangga,
parasit serta mikroorganisme seperti bakteri, jamur atau kapang, ragi atau khamir, virus yang
kemungkinan terdapat pada bahan pangan.
Pengolahan dan pengawetan berbagai jenis bahan pangan yang berasal dari hasil
peternakan dan perikanan, terutama dalam bentuk industri kecil yang menghasilkan berbagai
macam produk komoditi hewani secara tradisional telah lama diusahakan di Indonesia.
Pengolahan tradisional di sini meliputi pengolahan dan pengawetan dengan cara
penggaraman, penambahan gula, fermentasi, pengeringan, perebusan, pengasapan atau
kombinasi dari cara-cara tersebut di atas. Cara pengawetan dengan penambahan gula, asam
garam, misalnya pada pembuatan susu kental manis, yoghurt, atau garam yang disertai
dengan pengeringan, fermentasi atau pengasapan misalnya ikan dan lidah asap, bertujuan
baik untuk memperpanjang masa simpan, ataupun untuk memperoleh bentuk makanan baru
dengan rasa dan aroma yang tertentu.
Pengeringan dengan cara penjemuran telah berkembang secara tradisional di negara
kita yang beriklim tropis ini, meskipun menimbulkan masalah karena kesulitan dalam
mengatur kecepatan pengeringan, suhu, kelembaban (R.H), serta terjadinya kontaminasi.
Cuaca sering tidak menentu menghasilkan produk yang kurang sempurna.
Pengolahan pangan hewani dengan fermentasi, misalnya pada atau yoghurt, banyak
dilakukan pada tingkat rumah tangga. Proses fermentasi akan menghasilkan olahan yang
mempunyai aroma dan rasa khas, dan komponen dalam bahan pangan akan mengalami
degradasi menjadi senyawa- senyawa yang lebih sederhana, lebih mudah larut dan mudah
dicerna. Fermentasi dapat meningkatkan nilai estetika dan daya produk olahannya.
Sejarah teknologi pangan dimulai ketika Nicholas Appert mengalengkan bahan
pangan, sebuah proses yang masih berlangsung hingga saat ini. Nicholas Appert
mengaplikasikannya tidak berdasarkan ilmu pengetahuan terkait pangan. Aplikasi teknologi
pangan berdasarkan ilmu pengetahuan dimulai oleh Louis Pasteur ketika mencoba untuk
mencegah keruakan akibat mikroba pada fasilitas fermentasi anggur setelah melakukan
penelitian terhadap anggur yang terinfeksi. Selain itu Pasteur juga menemuksn proses yang
disebut pasteurisasi yaitu pemanasan susu dan produk susu untuk membunuh mikroba yang
ada di dalamnya dengan perubahan sifat dari susu yang minimal.
Sejarah teknologi pangan di Indonesia menyangkut beberapa aspek disamping aspek,
disamping aspek program pendidikan juga berhubungan erat dengan sejarah perkembangan
lapanagan kerja, indsutri dan perdaganagan produk pangan serta dinamika masyarakat dan
trend konsumsi pangan.
2.2 Mekanisme Teknologi Pengolahan Bahan Pangan
Proses pengolahan hasil pertanian (pangan maupun non-pangan yaitu suatu kegiatan
atau proses untuk dapat mengubah suatu bahan mentah menjadi bahan jadi/hasil
olahan/produk, baik secara fisik maupun kimiawi dengan menggunakan dana, tenaga kerja,
peralatan serta bahan pembantu sehingga dapat diperoleh suatu nilai yang lebih tinggi.
Pada umumnya tahapan-tahapan dalam suatu proses industri adalah sebagai berikut.
1. Proses awal.
2. Proses konversi.
3. Proses pengawetan.
4. Proses pengisian/pengemasan.
5. Proses labelling.
6. Proses penyimpanan.
A. PROSES AWAL
Adalah penanganan terhadap bahan mentah, khususnya proses pemisahan, pada
umumnya meliputi tahap-tahap/operasi:
1. pembersihan,
2. pemilihan (sortasi), dan
3. pengkelasan mutu (grading):
a. Pembersihan: yaitu pemisahan kontaminan dari bahan baku.
b. Pemilihan atau sortasi: Pemisahan bahan baku berdasarkan perbedaan sifat
fisiknya seperti ukuran, bentuk dan warna.
c. Pengkelasan mutu atau grading: Pemisahan bahan baku berdasarkan kualitasnya.
d. Penyimpanan bahan baku.
Faktor-faktor penyebab kerusakan pada proses pengolahan pangan antara lain :

1. Teknik penanganan bahan mentah yang tidak sesuai/tepat.


2. Rancang bangun kontainer yang tidak tepat.
3. Kerusakan akibat jatuh (mekanis).
4. Kerusakan yang disebabkan oleh operator yang "kurang mampu" atau kurang ahli di
bidangnya.
Penanganan bahan terdiri dari 5 unsur pokok, yaitu pergerakan, waktu, tempat, jumlah dan
ruang. Penanganan bahan yang efisien adalah pergerakan bahan dengan tingkat efisiensi yang
tinggi pada waktu yang tepat, dari dan ke tempat yang benar, dalam jumlah yang sesuai
dengan yang disyaratkan, serta dengan tingkat ekonomi ruang yang maksimum.
Teknik penanganan yang baik dapat memberi keuntungan seperti:
1. memanfaatkan peningkatan tenaga kerja, mesin dan ruang penyimpanan;
2. mengurangi bahan-bahan yang bersifat limbah;
3. meningkatkan daya kontrol dan rotasi stok (pemutaran bahan persediaan);
4. meningkatkan kondisi kerja dan mengurangi tingkat kelelahan operator.
Keuntungan-keuntungan tersebut akan menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi,
peningkatan kualitas produk dan mengurangi ketidakhadiran tenaga kerja.
Tahap-tahap pada penanganan awal tersebut apabila ditinjau lebih mendalam adalah sebagai
berikut.
1. Pembersihan
Pembersihan dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang mungkin
terdapat pada bahan pangan, misalnya debu, pasir dan kontaminan lain. Jenis-jenis
kontaminan dapat dibedakan atas:
a. mineral, misalnya batu, tanah, logam dan sebagainya;
b. hewan, misalnya bulu rambut, kotoran, serangga;
c. tanaman, misalnya batang, daun, dan kulit;
d. bahan kimia, misalnya residu insektisida, residu pupuk;
e. mikroba, misalnya mikroba beserta hasil metabolismenya.
Pembersihan dapat dilakukan dengan beberapa cara (metode yaitu metode kering dan metode
basah).
Metode kering dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu penyaringan, penyaringan
bertingkat, penghembusan dengan udara, pembersihan dengan cara penggosokan atau dengan
magnet, misalnya produk dilewatkan pada konveyor yang bermagnet, maka kotoran-kotoran
terutama yang berupa batuan atau logam akan menempel pada magnet tersebut.
Metode basah dapat dilakukan dengan perendaman, perendaman dengan sistem rotasi,
pencucian dengan cara spray juga dengan ultrasonik.

a) Metode kering
Penyaringan bertahap

Aspirasi - Penghembusan dengan udara


Aspirasi penghembusan dengan udara

Aspirasi
Dengan cara penggosokan magnet (yang akan menarik kontaminan)

Aspirasi dengan cara penggosokan magnet

b) Metode basah
Pembersihan dengan cara basah
a) Perendaman
tujuan: untuk melunakkan kotoran-kotoran yang menempel pada bahan, dengan alat
pembantu yaitu pengaduk.
b) Perendaman dengan sistem rotasi
c) Pencucian dengan spray (penyemprotan) Faktor-faktor yang mempengaruhi:
 tekanan air;
 volume;
 suhu;
 jarak: antara bahan dengan alas semakin dekat, bahan akan semakin rusak;
 pembersihan dengan metode ultrasonik, dengan menggunakan panjang
gelombang tertentu.
2. Proses Pemilihan atau Sortasi
Pemilihan atau sortasi berperan penting dalam proses pengendalian efektivitas dari
berbagai proses pengolahan pangan. Bahan pangan yang telah disortir mempunyai beberapa
ketentuan (syarat) yang diinginkan seperti:
a. Bahan pangan tersebut telah disesuaikan dengan sistem operasi mekanis, seperti
operasi pengelupasan kulit bahan (peeling), pemucatan (blanching), membuang
bagian tengah yang keras (caring) dan operasi penghilangan biji (pitting).
b. Bahan pangan hasil sortir sangat penting, terutama dalam proses di mana
keseragaman pindah panas merupakan hal yang kritis misalnya dalam proses
pasteurisasi atau sterilisasi dan dalam proses dehidrasi dan pembekuan.
c. Bahan pangan hasil sortasi merupakan pengontrol yang baik terhadap berat dari bahan
pangan yang dimasukkan dalam kontainer standar, untuk kemudian dilakukan proses
penjualan. Dalam penggunaannya oleh konsumen, produk hasil sortasi lebih menarik.
Hal ini terjadi karena keseragaman ukuran produk hasil sortir lebih menguntungkan,
karena proses pengemasan bahan menjadi lebih mudah dan cepat.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan (pensortiran) adalah:
a. Sortasi berdasarkan berat
Potongan daging, fillet ikan, dan bahan-bahan lain yang dijual berdasarkan
beratnya, dapat ditimbang secara manual atau lebih umum ditimbang dengan
menggunakan alat penghitung berskala. Buah-buahan seperti apel, mangga,
semangka, telur, dan juga ayam sering kali disortir berdasarkan beratnya. Proses ini
dapat dilakukan dengan cara proses aspirasi dan filtrasi. Proses aspirasi dan filtrasi
dapat digunakan untuk memisahkan bahan pangan seperti kacang-kacangan, biji-
bijian dan tanaman polong ke dalam kelas-kelas berdasarkan beratnya.
Ada juga yang dipisahkan dengan cara flotasi, yaitu pemisahan berdasarkan
perbedaan densitas, atau daya apung antara bahan yang diharapkan dengan bahan
yang tidak diinginkan dari bahan yang dibersihkan. Misalnya buah apel yang busuk
atau beban yang tenggelam dalam air, bisa dikeluarkan dengan menyalurkan buah
dalam sebuah tangki, untuk selanjutnya buah yang baik dikumpulkan dalam wadah
yang lain.
b. Sortasi berdasarkan ukuran
Pengayak, penyaringan, (screen) dengan berbagai disain telah digunakan
secara luas pada pemisahan bahan pangan berdasarkan ukuran utamanya, (misalnya
untuk tepung), tetapi pengayak juga digunakan untuk sebagai alat pembersih,
memisah kontaminan yang berbeda ukurannya dari bahan baku.
Penyaringan dengan cara ini ada 2 macam yaitu penyaring dengan lubang
tetap atau penyaring dengan celah yang berubah-ubah. Penyaringan dengan lubang
tetap misalnya dengan Pengayak Berbadan Datar (Flat Bed Screen), Pengayak Drum,
Alat Pengayak Drum susunan seri dan paralel, dan lain-lain.
Penyaring dengan celah yang berubah-ubah misalnya dengan:
1) pengayak sortasi dengan variabel celah dan sistem kontinu, misalnya belt;
2) pengayak sortasi dengan variabel celah dan sistem tahap per tahap.
c. Sortasi berdasarkan bentuk
Pada beberapa bahan pangan, dengan perlakuan pembersihan yang diikuti
dengan proses sortasi yang berdasarkan ukuran dan berat, masih tetap ditemukan
bahan-bahan yang tidak diinginkan yang terkandung pada bahan tersebut. Sebagai
contoh pada proses pembersihan dan sortasi gandum, masih tetap terkandung benih
rumput yang berat dan ukurannya sama dengan gandum. Dalam keadaan ini sangat
memungkinkan untuk memisahkan bahan berdasarkan bentuk, sebagai contoh adalah
kombinasi dari panjang dan diameter.
d. Sortasi berdasarkan warna
Proses sortasi dapat dilakukan dengan alat indra penglihatan (mata). Operator
yang terlatih membagi bahan pangan yang terlewat di depan mereka ke dalam
kelompok (kelas-kelas) tertentu. Perbandingan dilakukan dengan menyediakan warna
yang tetap (tertentu) untuk pembanding (misalnya buah tomat dan cherries).
3. Proses Pengkelasan Mutu (Grading)
Tingkat kualitas mempunyai arti yang berbeda untuk komoditi yang berbeda maupun
untuk budaya/adat yang berbeda. Sebagai contoh permintaan kualitas tepung yang berbeda,
tergantung pada pemakaian yang bersifat domestik atau industri seperti pada produk roti,
biskuit ataupun kue. Sering kali standar kualitas terdapat secara legal (misalnya untuk
mentega, susu dan keju), sementara itu untuk bahan pangan lain standar kualitas
dikemukakan dalam kode-kode praktis atau berdasarkan spesifikasi (persyaratan konsumen).
Untuk pengkelasan mutu (grading) berlaku juga faktor-faktor seperti yang telah
dibahas dalam pemilihan (sortasi) yaitu berdasarkan perbedaan ukuran, bentuk, dan warna.
Untuk menentukan kualitas, penelitian terhadap suatu faktor saja tidak akan
mencukupi dan sangat jarang dilakukan. Itulah sebabnya diadakan perbedaan antara
pemisahan dengan basis sifat tunggal yang kemudian disebut sorting dan pemisahan
berdasarkan bermacam-macam sifat yang kemudian disebut grading.
1) Faktor-faktor grading
Secara umum bahan pangan yang akan ditentukan kualitasnya dapat dikelompokkan
berdasarkan:
1) Ukuran dan bentuk.
2) Kedewasaan/kematangan: kesegaran telur, kemasakan/kematangan buah, lama
simpan daging.
3) Tekstur: keremahan dalam roti dan kue, kegaringan (kering dan segar) pada
daun seledri dan apel, kekentalan dari krim.
4) Flavor dan aroma.
5) Kegunaan: sebagai contoh keserasian bahan pangan untuk penggunaan akhir,
misalnya sifat penggilingan dan sifat pengembangan tepung, sifat pengalengan
dan pembekuan buah-buahan dan sayur-sayuran.
6) Keadaan bebas dari cacat : kekeruhan pada kuning telur, noda darah atau
keretakan kulit pada telur, kelembaman pada buah, lubang akibat adanya
serangga pada biji kopi.
7) Warna.
8) Keadaan bebas dari kontaminan: bulu tikus dan potongan serangga dalam
tepung; tanah dan residu obat; mikroorganisme dan produknya dalam daging.
9) Keadaan bebas dari bagian yang tidak diinginkan dari bahan mentah tulang
dalam daging; daun atau kulit pada kacang polong dan buncis; batang/tangkai
atau batu pada buah.
4. Penyimpanan Bahan Dasar
Bahan dasar sebelum diolah perlu disimpan dengan baik, agar kualitasnya tidak berkurang.
B. PROSES KONVERSI
Proses konversi, antara lain dengan cara-cara:
1. Penghancuran/Pengecilan Ukuran
Bahan mentah dengan ukuran yang besar dipotong-potong sehingga berukuran
lebih kecil, misalnya batang tebu dipotong-potong menjadi lebih kecil agar lebih
mudah digiling/dipres. Contoh lain misalnya untuk pembuatan jus tomat, sebelum
diblender tomat dipotong-potong agar bentuknya lebih kecil dan lebih tipis sehingga
lebih mudah untuk diblender.
Pengecilan ukuran dapat dibedakan menjadi pengecilan yang ekstrem
(penggilingan) dan pengecilan ukuran yang relatif masih berukuran besar, misalnya
pemotongan menjadi bentuk-bentuk yang khusus. Pengecilan ukuran dapat dilakukan
secara basah maupun kering.
Keuntungan-keuntungan pada penggilingan basah antara lain bahan menjadi
sangat lembut, berlangsung pada suhu yang tidak terlalu tinggi dan sedikit
kemungkinan terjadi oksidasi/ledakan.
Tujuan proses pengecilan ukuran adalah sebagai berikut.
a. Memperbesar luas permukaan bahan. Luas permukaan yang lebih besar dapat
membantu kelancaran beberapa proses seperti:
a) membantu ekstraksi suatu senyawa dengan cara memperluas kontak
permukaan bahan dengan pelarut.
b) mempercepat waktu pengeringan bahan.
c) mempercepat proses pemasakan, blansir dan lain-lain.
b. Meningkatkan efisiensi proses pengadukan.
c. Untuk memenuhi ukuran standar produk tertentu, misalnya untuk ukuran tepung
sekian mesh, ukuran gula pasir, atau ukuran nata de coco dengan ukuran kubus
tertentu, misalnya 1 x 1 = 1 cm.
Peralatan untuk pengecilan ukuran misalnya crushing rolls, penggiling palu
(hammermill), penggiling cakram tunggal/ganda, penggiling gulingan (tumbling mills) dan
Pemotong.
2. Pembesaran Ukuran
Misalnya pada pembuatan kue anak-anak seperti chiki, dengan cara ekstrusi,
bentuk akan menjadi lebih besar.
3. Pemisahan
Pemisahan secara mekanis dapat dilakukan dengan penyaringan ataupun
sedimentasi. Sedangkan pemisahan secara fisik dapat dilakukan dengan cara
penguapan (evaporasi), kristalisasi, dan destilasi.
4. Pencampuran
Proses pencampuran dimaksudkan untuk membuat suatu bentuk yang seragam
dari beberapa konstituen, baik cair-padat (pasta), padat-padat dan kadang-kadang cair-
gas.
Berbagai proses pencampuran harus dilakukan dalam industri pangan seperti
pencampuran susu dengan cokelat, vitamin, mineral dan lain-lain. Pada pembuatan
susu bubuk bayi, setelah dihasilkan susu bubuk dengan memakai alat spray drier,
masih harus diperkaya supaya nilai gizinya memenuhi syarat, maka susu bubuk
tersebut masih harus dicampur dengan pasir bubuk, dan vitamin yang diperlukan bayi
seperti vitamin A, C, D, B dan sebagainya.
5. Homogenisasi dan Emulsifikasi
Homogenisasi adalah operasi ganda penurunan ukuran partikel dari fase
terdispersi dan sekaligus mendistribusikannya secara seragam ke dalam fase kontinu.
Supaya susu tetap stabil (tidak terpecah) maka globula lemak yang berukuran
tidak sama harus dipecah, sehingga diameter globula lemak menjadi lebih kecil dan
seragam ukurannya, sehingga menjadi stabil. Cara pemecahan globula lemak tersebut
dengan alat homogenizer, lemak tersebut dilalukan pada lubang sangat kecil dengan
tekanan tinggi sehingga ukuran partikel globula lemak menjadi lebih kecil dan
seragam.
Type homogenizer yaitu:
a. high pressure homogenizer,
b. rotor-stator homogenizer,
c. ultra sonic homogenizer.
Emulsifikasi adalah proses pembentukan suatu campuran yang berasal dari 2 (dua)
fase yang berbeda. Umumnya ditambah komponen lain yang berupa emulsifier untuk
mempertahankan stabilitas emulsi.
Ada 2 (dua) jenis emulsi bahan pangan yaitu emulsi air dalam minyak dan emulsi
minyak dalam air. Emulsifier bekerja dengan jalan menurunkan tegangan permukaan antara 2
(dua) fase, dan dengan demikian mendispersikan aglomerat yang kemungkinan terbentuk
hingga menimbulkan efek homogenisasi yang lebih baik.
C. PROSES PENGAWETAN
Proses yang terpenting pada pengolahan hasil pertanian yaitu pengawetan. Meskipun
suatu bahan mentah basil pertanian telah diolah menjadi bentuk baru, produk yang baru,
tetapi apabila tidak disertai dengan adanya proses pengawetan, maka produk tersebut
akan cepat rusak bahkan dapat menjadi busuk.
Adapun perlakuan-perlakuan yang penting untuk mengawetkan bahan pangan antara
lain dengan pemanasan, pendinginan, pengeringan, pengasapan, radiasi atau dengan
penambahan senyawa kimia, asam, gula maupun garam.
Beberapa di antaranya dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, oleh karena itu
harus digunakan dalam batas-batas tertentu. Misalnya panas yang digunakan harus tepat,
yaitu dapat membunuh mikroba tetapi tidak boleh menurunkan nilai gizi dan cita rasa
bahan pangan tersebut. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda ikuti pada modul berikutnya.
D. PROSES PENGISIAN, PENGEMASAN, PEMBERIAN LABEL
Bahan produk basil pengolahan harus diisikan ke dalam wadah dan dikemas dengan
steril agar tahan lama dalam penyimpanan.
Setelah dikemas harus diberi label agar menjadi jelas. Di dalam pengemasan bahan
pangan terdapat 2 macam wadah yaitu wadah utama, wadah yang langsung berhubungan
dengan produk pangan, dan wadah kedua yaitu wadah yang tidak langsung berhubungan
(kontak) dengan produk pangan.
Sebagai contoh wadah utama misalnya kaleng, botol, plastik atau kertas, sedangkan
wadah kedua misalnya kotak kayu, kotak dari kardus/karton dan sebagainya.
Wadah utama harus bersifat tidak beracun dan inert sehingga tidak menyebabkan
terjadinya reaksi kimia, sehingga menyebabkan perubahan warna, cita rasa dan perubahan-
perubahan lainnya.
E. PROSES PENYIMPANAN
Syarat penyimpanan yang terutama adalah sebaiknya di dalam ruang yang kering,
sirkulasi udara baik, dan terang.
Penjelasan mengenai proses pengawetan, pengemasan, labelling dan penyimpanan
akan dijelaskan pada modul selanjutnya. Setelah Anda mempelajari uraian di atas, maka
cobalah Anda menjawab pertanyaan- pertanyaan berikut ini. Sebaiknya Anda diskusikan
dahulu dengan kelompok Anda/teman sekuliah lainnya.

2.1 Pengertian Pengawetan Makanan


Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan memiliki
daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan. Dalam
melakukan pengawetan makanan perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu jenis bahan
makanan yang diawetkan, keadaan bahan makanan, cara pengawetan yang dipilih dan
daya tarik produk pengawetan makanan.
2.2 Tujuan Pengawetan Makanan
1. Memperpanjang umur simpan bahan makanan (lamanya suatu produk dapat
disimpan tanpa mengalami kerusakan).
2. Mempertahankan sifat fisik dan kimia bahan makanan.
3. Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan
makanan.
4. Mencegah pertumbuhan mikroba yang menggunakan pangan sebagai substrat
untuk memproduksi toksin didalam pangan.
5. Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan
hama.
6. Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial, dilakukan dengan cara :
7. Mencegah masuknya mikroorganisme (bekerja dengan aseptis).
8. Mengeluarkan mikroorganisme, misalnya dengan proses filtrasi.
9. Menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme misalnya dengan
penggunaan suhu rendah, pengeringan, penggunaan kondisi anaerobik atau
penggunaan pengawet kimia.
10. Membunuh mikroorganisme, misalnya dengan sterilisasi dan radiasi.
2.3 Cara-Cara Pengawetan Makanan
Pengawetan makanan dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : Pengawetan
makanan secara Biologi, Pengawetan makanan secara Kimia, Pengawetan makanan
secara Fisika.
A. Pengawetan Makanan secara Biologi.
Pengawetan Makanan secara Biologi, adalah dengan Fermentasi (Peragian).
Pengawetan secara biologis, misalnya peragian (fermentasi) adalah proses produksi
energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi
adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih
jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik
dengan tanpa akseptor elektron eksternal. Gula adalah bahan yang umum dalam
fermentasi.
Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan
tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam
butirat dan aseton.
Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk
menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya.
Contoh makanan dengan pengawetan fermentasi adalah yoghurt, mengawetkan susu
dengan cara fermentasi menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan
Streptococcus thermophilus. Aktivitas fermentasi dari kedua spesies bakteri tersebut
dapat menurunkan pH susu sapi, sehingga dapat menghambat aktivitas bakteri
proteilitik yang bersifat tidak asam. Lactobacillus bulgaricus ini hidup dari
“memakan” laktosa (gula susu) dan mengeluarkan asam laktat. Asam ini sekaligus
mengawetkan susu dan mendegradasi laktosa (gula susu). Asam laktat yang
dihasilkan selama proses fermentasi akan menghambat pertumbuhan kapang dan
khamir.
B. Pengawetan makanan secara Kimia.
Pengawetan Makanan secara Kimia, meliputi : penambahan bahan kimia,
misalnya asam sitrat, garam, gula. Bahan pengawet dari bahan kimia berfungsi
membantu mempertahankan bahan makanan dari serangan mikroba pembusuk dan
memberikan tambahan rasa sedap, manis.
Contoh beberapa jenis zat kimia: cuka, asam asetat, fungisida, antioksidan, in-
package desiccant, ethylene absorbent, wax emulsion dan growth regulatory untuk
melindungi buah dan sayuran dari ancaman kerusakan pasca panen untuk
memperpanjang kesegaran masa pemasaran. Nitogen cair sering digunakan untuk
pembekuan secara tepat buah dan sayur sehinnga dipertahankan kesegaran dan
rasanya yang nyaman.
Pengawetan bahan makanan secara kimia menggunakan bahan-bahan kimia,
seperti gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam propionat, asam
sitrat, garam sulfat, dan lain-lain.
Pengawetan secara kimia meliputi :
a) Pengasapan.
Proses pengasapan juga termasuk cara kimia sebab bahan-bahan kimia dalam asap
dimasukkan ke dalam makanan yang diawetkan. Apabila jumlah
pemakaiannya tepat, pengawetan dengan bahan-bahan kimia dalam makanan
sangat praktis karena dapat menghambat berkembang biaknya
mikroorganisme seperti jamur atau kapang, bakteri, dan ragi.
b) Pengasaman.

Pengasaman adalah suatu proses pengolahan yang dilakukan dengan cara diberi
asam dengan tujuan untuk mengawetan melalui penurunan derajat pH
(mengasamkan) produk makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan
bakteri pembusuk. Pengasaman makanan dapat dilakukan dengan jalan
penambahan asam secara langsung misalnya asam propionate, asam sitrat,
asam asetat, asam benzoat dll atau penambahan makanan yang bersifat asam
seperti tomat.
Contoh produk yang dihasilkan melalui pengasaman acar/khimchi. Acar pada
dasarnya terbuat dari sayur-sayuran yang di tambahkan asam cuka untuk
pengawetan. Mikroba yang dapat merusak makanan tidak dapat hidup pada
makanan. Karena adanya asam cuka menyebabkan konsentrasi menjadi tinggi,
terjadinya difusi osmosis sehingga mikroba akan mati.
c) Pengasinan.

Cara ini dengan menggunakan bahan NaCl atau yang kita kenal sebagai garam
dapur untuk mengawetkan makanan. Teknik ini disebut juga dengan sebutan
penggaraman. Garam dapur memiliki sifat yang menghambat perkembangan
dan pertumbuhan mikroorganisme perusak atau pembusuk makanan.
Contohnya seperti ikan asin yang merupakan paduan antara pengasinan dengan
pengeringan. Penggaraman adalah suatu proses pengolahan yang dilakukan
dengan cara memberi garam dengan tujuan untuk menghambat pertumbuhan
bakteri dan enzim-enzim khususnya yang merusak daging dan ikan. Selain itu
penggaraman mengakibatkan cairan yang ada dalam tubuh ikan mengental
serta kadar proteinnya menggumpal dan daging ikan mengkerut
Proses penggaraman biasanya diikuti oleh proses pengeringan untuk menurunkan
lebih lanjut kadar air yang ada dalam daging ikan, proses penggaraman
dipengaruhi oleh ukuran butiran garam (ukuran yang baik 1 – 5 mm), ukuran
ikan (semakin besar ikan semakin banyak garam yang dibutuhkan) dan
kemurnian garam (garam yang baik adalah garam murni/Nacl).
d) Pemanisan.

Pemanisan makanan yaitu dengan menaruh atau meletakkan makanan pada


medium yang mengandung gula dengan kadar konsentrasi sebesar 40% untuk
menurunkan kadar mikroorganisme. Jika dicelup pada konsenstrasi 70% maka
dapat mencegah kerusakan makanan. Penambahan gula adalah suatu proses
pengolahan yang dilakukan dengan cara pemberian gula dengan tujuan untuk
mengawetan karena air yang ada akan mengental pada akhirnya akan
menurunkan kadar air dari bahan pangan tersebut. Konsentrasi gula yang
ditambahkan minimal 40% padatan terlarut sedangkan di bawah itu tidak
cukup untuk mencegah kerusakan karena bakteri, apabila produk tersebut
disimpan dalam suhu kamar atau normal (tidak dalam suhu rendah).
Contoh makanan dengan pengawetan pemanisan adalah manisan buah. Manisan
buah adalah buah-buahan yang direndam dalam larutan gula selama beberapa
waktu. Teknologi membuat manisan merupakan salah satu cara pengawetan
makanan yang sudah diterapkan sejak dahulu kala. Perendamanan manisan
akan membuat kadar gula dalam buah meningkat dan kadar airnya berkurang.
Keadaan ini akan menghambat pertumbuhan mikroba perusak sehingga buah
akan lebih tahan lama.
Pada awalnya manisan dibuat dengan merendam pada larutan gula hanya untuk
mengawetkan. Ada beberapa buah yang hanya dipanen pada musim-musim
tertentu. Saat musim itu, buah akan melimpah dan kelebihannya akan segera
membusuk apabila tidak segera dikonsumsi. Untuk itu manusia mulai berpikir
untuk mengawetkan buah dengan membuat manisan. Manisan juga dibuat
dengan alasan memperbaiki cita rasa buah yang tadinya masam menjadi
manis.
C. Pengawetan Makanan secara Fisika.
Pengawetan Makanan secara Fisika Meliputi : Pengeringan, Pemanasan,
Pengeluaran udara, Pendinginan, Pengalengan. Iradiasi.
a) Pengeringan.
Mikroorganisme menyukai tempat yang lembab atau basah mengandung air.
Jadi teknik pengeringan membuat makanan menjadi kering dengan kadar air
serendah mungkin dengan cara dijemur, dioven, dipanaskan, dan sebagainya.
Semakin banyak kadar air pada makanan, maka akan menjadi mudah proses
pembusukan makanan. Proses pengeringan akan mengeluarkan air dan
menyebabkan peningkatan konsentrasi padatan terlarut didalam bahan makanan.
Kondisi ini akan meningkatkan tekanan osmotik di dalam bahan, sehingga
menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperlambat laju reaksi kimia
maupun enzimatis.
Pengeringan adalah suatu proses pengolahan yang dilakukan dengan cara
dijemur atau dioven dengan tujuan untuk mengawetkan makanan dengan jalan
menurunkan kadar air/aktivitas air (aw) sampai kadar 15% – 20% karena bakteri
tidak dapat tumbuh pada nilai aw dibawah 0,91 dan jamur tidak dapat tumbuh
pada aw dibawah 0,70 – 0,75. Makanan yang dikeringkan mengandung nilai gizi
yang rendah karena vitamin-vitamin dan zat warna rusak, akan tetapi kandungan
protein, karbohidrat, lemak dan mineralnya tinggi.
Pada umunya bahan makanan yang dikeringkan berubah warnanya menjadi
coklat yang disebut reaksi browning (pencoklatan). Reaksi ini dapat dibatasi
dengan menambahkan belerang yang bersifat pemucat, juga dapat mengurangi
jumlah mikroba dan menonatifkan enzim yang dapat menyebabkan browning.
Belerang ini dapat menimbulkan karat pada kaleng, sehingga produk pangan yang
diolah dengan belerang sebaiknya dikemas menggunakan kemasan gelas atau
plastik.
Contoh produk dari hasil pengeringan yaitu dendeng ikan (dalam
pengolahannya mengalami proses curing/penambahan bumbu yang bertujuan
untuk mengawetkan, memperbaiki rasa, warna dan kekerasan daging.
Menurut Syamsir (2008) pengawetan makanan dapat bersifat jangka pendek
dan jangka panjang. Pengawetan jangka pendek dapat dilakukan dengan beberapa
cara misalnya :
1. Penanganan aseptis,
2. Penggunaan suhu rendah (< 20°C),
3. Pengeluaran sebagian air bahan,
4. Perlakuan panas ringan,
5. Mengurangi keberadaan udara,
6. Penggunaan pengawet dalam konsentrasi rendah.

Penanganan aseptis merupakan proses penanganan yang dilakukan dengan


mencegah masuknya kontaminan kimiawi dan mikroorganisme kedalam bahan
makanan, atau mencegah terjadinya kontaminasi pada tingkat pertama. Penanganan
produk dilakukan untuk mencegah kerusakan produk yang bisa menyebabkan terjadinya
pengeringan (layu), pemecahan enzim alami dan masuknya mikroorganisme.
Adapun keuntungan dan kerugian dari pengawetan dengan cara dikeringkan
yaitu :
1. Keuntungan dari pengeringan bahan makanan :
a. Bahan menjadi lebih awet dengan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga
mempermudah dan menghemat ruang pengangkutran dan pengepakan.
b. Berat bahan menjadi berkurang sehingga memudahkan transport.
c. Biaya produksi menjadi lebih murah.
2. Kerugian dari pengeringan bahan makanan :
a. Sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat berubah misalnya : bentuknya,
sifat-sifat, fisik dan kimianya, penurunan mutu dan lain-lain.
b. Beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum dipakai misalnya
harus dibasahkan kembali (rehidratasi) sebelum digunakan.
b) Pemanasan.
1. Pemanasan dengan suhu rendah.
2. Blansir (Blanching).
Blansir adalah proses pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang dari
1000C selama beberapa menit dengan menggunakan air panas atau uap air
panas. Contoh blansir misalnya mencelupkan sayuran atau buah di dalam air
mendidih selama 3 sampai 5 menit atau mengukusnya selama 3 sampai 5
menit.
Tujuan blansir terutama adalah untuk menginaktifkan enzim yang terdapat
secara alami di dalam bahan pangan, misalnya enzim polifenolase yang
menimbulkan pencoklatan. Blansir umumnya dilakukan jika bahan pangan
akan dibekukan atau dikeringkan. Sayuran hijau yang diberi perlakuan blansir
sebelum dibekukan atau dikeringkan mutu warna hijaunya lebih baik
dibandingkan dengan sayuran yang tidak diblansir terlebih dahulu.
Dalam pengalengan sayuran dan buah-buahan blansir juga bertujuan untuk
menghilangkan gas dari dalam jaringan tanaman, melayukan jaringan tanaman
agar dapat masuk dalam jumlah lebih banyak dalam kaleng, menghilangkan
lendir dan memperbaiki warna produk.
3. Pasteurisasi.
Pasteurisasi adalah proses pemanasan yang dilakukan dengan tujuan untuk
membunuh mikroba patogen atau penyebab penyakit seperti bakteri penyebab
penyakit TBC, disentri, diare dan penyakit perut lain. Panas yang diberikan
pada pasteurisasi harus cukup untuk membunuh bakteri-bakteri patogen
tersebut, misalnya pasteurisasi susu harus dilakukan pada suhu 600C selama
30 menit. Pada suhu 600C selama 30 menit setara dengan pemanasan pada
suhu 720C selama 15 detik. Pasteurisasi yang terakhir ini sering disebut
dengan proses HTST (High Temperature Short Time) atau pasteurisasi dengan
suhu tinggi dalam waktu singkat.
Disamping pada produk susu, pasteurisasi juga umumnya dilakukan pada
produk sari buah-buahan asam. Satu hal yang penting adalah pasteurisasi
hanya bakteri patogen saja yang dibunuh, sedangkan bakteri lain yang lebih
tahan panas bisa saja masih terdapat hidup dalam bahan pangan yang
dipasteurisasi.
Dengan demikian, meskipun bakteri ini tidak menimbulkan penyakit tetapi
jika tumbuh di dalam produk pangan dapat menyebabkan kerusakan /
kebusukan. Oleh karena itu, produk-produk yang sudah dipasteurisasi harus
disimpan di lemari es sebelum digunakan dan tidak boleh berada pada suhu
kamar karena sebagian mikroba yang masih hidup dapat melangsungkan
pertumbuhannya. Di dalam lemari es masa simpan produk pasteurisasi seperti
keju yang terbuat dari susu atau sari buah umumnya hanya 2 minggu.
4. Pemanasan dengan suhu tinggi (Sterilisasi).
Pemanasan dengan sterilisasi komersial umumnya dilakukan pada bahan
pangan yang sifatnya tidak asam atau lebih dikenal dengan bahan pangan
berasam rendah. Yang tergolong bahan pangan berasam rendah adalah bahan
pangan yang memiliki pH lebih besar dari 4,5, misalnya seluruh bahan pangan
hewani seperti daging, susu, telur dan ikan, beberapa jenis sayuran seperti
buncis dan jagung. Bahan pangan berasam rendah memiliki resiko untuk
mengandung spora bakteri Clostridium botulinum yang dapat menghasilkan
toksin mematikan jika tumbuh di dalam makanan kaleng. Oleh karena itu,
spora ini harus dimusnahkan dengan pemanasan yang cukup tinggi. Sterilisasi
komersial adalah pemanasan pada suhu di atas 1000C, umumnya sekitar
121,10C dengan menggunakan uap air selama waktu tertentu dengan tujuan
untuk memusnahkan spora bakteri patogen termasuk spora bakteri Clostridium
botulinum.
Dengan demikian, sterilisasi komersial ini hanya digunakan untuk
mengolah bahan pangan berasam rendah di dalam kaleng, seperti kornet, sosis
dan sayuran dalam kaleng. Susu steril dalam kotak adalah contoh produk lain
yang diproses dengan sterilisasi komersial. Tetapi prosesnya berbeda dengan
pengalengan. Susu steril dalam kotak diproses dengan pengemasan aseptik
yaitu suatu proses sterilisasi kontinyu dimana produk susu yang sudah
disterilkan dimasukkan ke dalam kotak yang sudah disterilkan dalam
lingkungan yang juga aseptik. Proses pengemasan aseptik umumnya
digunakan untuk sterilisasi komersial produk-produk yang bentuknya cair.
Pemanasan pada suhu tinggi contohnya adalah pengalengan pangan.
Dalam proses ini, suhu dan waktu proses ditetapkan sedemikian rupa sehingga
kombinasinya dapat membunuh spora bakteri yang paling tahan panas. Tidak
semua bahan pangan membutuhkan panas yang sama untuk sterilisasi,
tergantung pada jenis pangannya, wadah yang digunakan dan isi kalengnya
apakah mengandung banyak cairan atau tidak. Pemanasan pada suhu tinggi
yang dilakukan bersama-sama dengan pengemasan yang bisa mencegah
rekontaminasi, dapat menghambat/merusak mikroorganisme dan enzim.
c) Pengeluaran Udara (Oksigen).
Penghilangan udara akan mengeluarkan semua oksigen sehingga mencegah
berlangsungnya reaksi kimiawi dan enzimatis yang dipicu oleh oksigen, juga
menghambat pertumbuhan mikroorganisme aerobik.
d) Pendinginan.
Teknik ini adalah teknik yang paling terkenal karena sering digunakan oleh
masyarakat umum di desa dan di kota. Konsep dan teori dari sistem pendinginan
adalah memasukkan makanan pada tempat atau ruangan yang bersuhu sangat
rendah. Untuk mendinginkan makanan atau minuman bisa dengan
memasukkannya ke dalam kulkas atau lemari es atau bisa juga dengan menaruh di
wadah yang berisi es. Biasanya para nelayan menggunakan wadah yang berisi es
untuk mengawetkan ikan hasil tangkapannya. Di rumah-rumah biasanya
menggunakan lemari es untuk mengawetkan sayur, buah, daging, sosis, telur, dan
lain sebagainya. Suhu untuk mendinginkan makanan biasanya bersuhu 150C.
Sedangkan agar tahan lama biasanya disimpan pada tempat yang bersuhu 0
sampai -4 derajat celsius.
e) Pengalengan.
Pengalengan merupakan penerapan dari pengawetan dengan mempergunakan
suhu tinggi. Pengalengan ini ditemukan pertama kali oleh Nicholas Appert untuk
memenuhi keinginan Napoleon agar makanan yang dikirimkan untuk tentaranya
yang berada jauh tidak lekas membusuk. Kemudian disusul dengan penggunaan
tabung uap yang memberikan kemungkinan untuk menambah atau menaikkan
suhu serta mempercepat waktu pemrosesan dengan hasil yang lebih baik. Sistem
yang satu ini memasukkan makanan ke dalam kaleng alumunium atau bahan
logam lainnya, lalu diberi zat kimia sebagai pengawet seperti garam, asam, gula
dan sebagainya.
Bahan yang dikalengkan biasanya sayur-sayuran, daging, ikan, buah-buahan,
susu, kopi, dan banyak lagi macamnya. Tehnik pengalengan termasuk paduan
teknik kimiawi dan fisika. Teknik kimia yaitu dengan memberi zat pengawet,
sedangkan fisika karena dikalengi dalam ruang hampa udara. Proses pengalengan
yang ditujukan untuk pengawetan jangka panjang, dilakukan dengan melibatkan
proses pengeluaran udara, pengemasan, pengaturan pH dan penggunaan suhu
tinggi (sterilisasi). Juga penting diperhatikan penggunaan atau wadah (container)
dan kemasan yang dapat melindungi produk dari mikroorganisme untuk
menghindari terjadinya rekontaminasi selama penyimpanan.
f) Teknik Iradiasi.
Iradiasi pangan adalah suatu teknik pengawetan pangan dengan menggunakan
radiasi ionisasi secara terkontrol untuk membunuh serangga, kapang, bakteri,
parasit atau untuk mempertahankan kesegaran bahan pangan. Sinar gamma, sinar
x, ultra violet dan elektron yang dipercepat (accelerated electron) memiliki cukup
energi untuk menyebabkan ionisasi.
Pangan diiradiasi dengan berbagai tujuan :
1. Menghambat pertunasan (sprouting, misalnya pada kentang),
2. Membunuh parasit Trichinia (daging babi),
3. Mengontrol serangga dan meningkatkan umur simpan (sayur dan buah),
4. Sterilisasi (rempah),
5. Mengurangi bakteri patogen (daging).

Iradiasi merupakan proses ‘dingin’ (tidak melibatkan panas) sehingga hanya


menyebabkan sedikit perubahan penampakan secara fisik dan tidak menyebabkan
perubahan warna dan tekstur bahan pangan yang diiradiasi. Perubahan kimia yg
mungkin terjadi adalah penyimpangan flavor dan pelunakan jaringan. Selama
proses iradiasi, produk pangan menyerap radiasi. Radiasi akan memecah ikatan
kimia pada DNA dari mikroba atau serangga kontaminan. Organisme kontaminan
tidak mampu memperbaiki DNAnya yang rusak sehingga pertumbuhannya akan
terhambat. Pada iradiasi pangan, dosis iradiasi tidak cukup besar untuk
menyebabkan pangan menjadi radioaktif.

2.4 Mekanisme Kerja Bahan Pengawet pada Pangan


Walaupun tujuan dalam penambahan bahan pengawet sebagai penghambat atau
menghentikan pertumbuhan mikroba, tetapi dalam mekanisme kerja bahan pengawet
tersebut berbeda-beda pada tiap jenis pangan. Misalnya saja dalam penambahan larutan
garam NaCI dan gula sebagai bahan pengawet alami pada bahan pangan. Pemberian
larutan baik garam ataupun gula harus lebih pekat dari pada sitoplasma dalam sel
mikroorganisme sehingga dengan konsentrasi larutan yang tinggi akan dapat menarik
cairan sel kaluar dari dalam sel mikroorganisme.
Hal ini akan menyebabkan sel mikroorganisme mengalami dehidrasi atau kering.
Begitupula dengan penambahan asam sebagai bahan pengawet alami. Penambahan asam
akan menurunkan pH sehingga kondisi ini dapat mencegah pertumbuhan mikroba
pengrusak, khususnya mikroba yang tidak tahan pada kondisi pH rendah. Adapun asam
sintetik yang biasa dijadikan sebagai bahan pengawet dan digunakan pada dosis tertentu
yaitu :
1. Asam benzoate, asam ini sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba
dalam bahan pengan dengan pH rendah. Asam benzoate biasa diterapkan pada sari
buah dan minuman penyegar.
2. Asam propionate, asam propionate efektif dalam menghambat pertumbuhan kapang
pada roti dan hasil olahan tepung lainnya.
3. Asam sorbat, pada proses pematangan keju, pemberian asam sorbat mampu
menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak dikehendaki tanpa mengganggu
pertumbuhan mikroba yang menguntungkan

Dosis penambahan bahan pengawet sintetik “anorganik” dalam pengolahan pangan


perlu diperhatikan. Mengkonsumsi hasil olahan pangan darin penambahan bahan
pengawet melebihi batas maksimum penggunaan dapat memberikan dampak buruk bagi
kesehatan.
Oleh karena itu, dalam pemerintah memberikan wewenang pengawasan kepada Departemen
Kesehatan RI-Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Pangan terhadap perdaran dan
jual beli pangan dan minuman, khususnya dalam penambahan bahan pengawet anorganik.
2.5 Jenis-jenis Pengawet Makanan
Sering kali kita dibuat bingung dengan jenis-jenis bahan pengawet makanan. Jadi,
pengawet makanan berguna untuk memperpanjang umur simpan sebuah produk. Untuk
jenis makanan secara umum, ada beberapa cara pengawetan secara alami. Diantaranya
dengan pengasinan, pemanisan, pendinginan, pengasapan, pengeringan, dan pemanasan.
Penggunaan pengawet dalam makanan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu
bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi tidak
efektif untuk mengawetkan makanan lainnya karena makanan mempunyai sifat yang
berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga
berbeda. Zat pengawet dibedakan menjadi pengawet oganik dan anorganik.
1) Zat pengawet Anorganik
a. Gula merah: Selain sebagai pemanis gula merah juga bersifat mengawetkan
seperti halnya gula tebu.
b. Garam: Garam merupakan pengawet alami yang banyak dihasilkan dari
penguapan air laut. Ikan asin dapat bertahan hingga berbulan-bulan karena
pengaruh garam.
c. Kunyit: Kunyit, selain sebagai pewarna, juga berfungsi sebagai pengawet. Dengan
penggunaan kunyit, tahu atau nasi kuning menjadi tidak cepat basi.
d. Kulit kayu manis: Di beberapa tempat di belahan Kulit kayu manis merupakan
kulit kayu yang berfungsi sebagai pengawet karena banyak mengandung asam
benzoat. Selain itu, kayu manis juga berfungsi sebagai pemanis dan pemberi
aroma.
e. Cengkih : Cengkih merupakan pengawet alami yang dihasilkan dari bunga
tanaman cengkih. Selain sebagai pengawet, cengkih juga berfungsi sebagai
penambah aroma
2) Zat Pengawet Organik
a. Benzoat

Benzoat berbentuk bubuk dengan butiran halus berwarna putih seperti garam. Benzoat
digunakan untuk mengawetkan makanan yang berupa cairan. Contohnya sirup,
manisan, selai, dan saus. Dosis pemakaiannya adalah 0.2 - 1 gram per kg total
formula.
b. Calsium Propionat

Calsium Propionat digunakan untuk mengawetkan makanan yang beragi dan


mengandung asam, seperti roti, pastry, dan produk olahan susu. Dosisnya mulai
dari 1 - 2.5 gram per kg total formula (tergantung jenis makanan yang akan
diawetkan). Berbentuk bubuk berwarna putih dengan butiran yang halus seperti
tepung.
c. Potasium Sorbat

Potasium Sorbat berbentuk butiran agak besar seperti meises yang berwarna putih.
Potasium sorbat digunakan untuk mengawetkan bahan makanan yang tidak beragi,
misalnya cake, cookies, dan bahan makanan berbasis lemak. Dosisnya mulai dari
0.2 - 1 gram per kg total formula.   
d. Garam nitrit: Garam nitrit biasanya dalam bentuk kalium atau natrium nitrit.
Bahan ini terutama sekali digunakan sebagai bahan pengawet keju, ikan, daging,
dan juga daging olahan seperti sosis, atau kornet, serta makanan kering seperti kue
kering. Perkembangan mikroba dapat dihambat dengan adanya nitrit ini.
Misalnya, pertumbuhan clostridia di dalam daging yang dapat membusukkan
daging
e. Asam asetat: Asam asetat dikenal di kalangan masyarakat sebagai asam cuka.
Bahan ini menghasilkan rasa masam dan jika jumlahnya terlalu banyak akan
mengganggu selera karena bahan ini sama dengan sebagian isi dari air keringat
kita. Asam asetat sering dipakai sebagai pelengkap ketika makan acar, mi ayam,
bakso, atau soto. Asam asetat mempunyai sifat antimikroba. Makanan yang
memakai pengawet asam cuka antara lain acar, saos tomat, dan saus cabai.

2.1 Wabah Pengolahan Dengan pemanasan.


Pengolahan pangan dengan suhu tinggi ialah pengolahan pangan yang
menggunakan panas diatas suhu normal (suhu ruang). Yang dimaksud dengan suhu
ruang adalah suhu dalam keadaan ruang yaitu berkisar 27oC hingga 30oC. Suhu tinggi
diterapkan baik dalam pengawetan maupun dalam pengolahan pangan. Memasak,
menggoreng, memanggang, dan lain-lain adalah cara-cara pengolahan yang
menggunakan panas. Proses-proses tersebut membuat makanan menjadi lebih lunak,
lebih enak, dan lebih awet. Pemberian suhu tinggi pada pengolahan dan pengawetan
pangan didasarkan kepada kenyataan bahwa pemberian panas yang cukup dapat
membunuh sebagian besar mikroba dan menginaktifkan enzim. Selain itu makanan
menjadi lebih aman karena racun-racun tertentu rusak karena pemanasan, misalnya racun
dari bakteri Clostridium botulinum. Adanya mikroba dan kegiatan enzim dapat merusak
bahan makanan, meskipun disimpan dalam wadah tertutup. Lamanya pemberian panas
dan tingginya suhu pemanasan ditentukan oleh sifat dan jenis bahan makanan serta
tujuan dari prosesnya. Setiap jenis pangan memerlukan pemanasan yang berbeda untuk
mematikan mikroba yang terdapat di dalamnya. Misalnya untuk susu dilakukan
pasteurisasi yaitu pemanasan sekitar 62oC selama 30 menit.
Pemanasan mengakibatkan efek mematikan terhadap mikroba. Efek yang
ditimbulkannya tergantung dari intensitas panas dan lamanya pemanasan. Makin tinggi
suhu yang digunakan, makin singkat waktu pemanasan yang digunakan untuk
mematikan mikroba. Pada umumnya pengawetan dengan suhu tinggi tidak mencakup
pemasakan, penggorengan, maupun pemanggangan. Yang dimaksud dengan pengawetan
menggunakan suhu tinggi adalah proses-proses komersial dimana penggunaan panas
terkendali dengan baik, antara lain sterilisasi, pasteurisasi, dan blansing. Pada pemakaian
suhu tinggi, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu :

1) Mikroba penyebab kebusukan dan yang dapat membahayakan kesehatan manusia


harus dimatikan
2) Panas yang digunakan sedikit mungkin menurunkan nilai gizi makanan
3) Faktor-faktor organoleptik misalnya citarasa juga harus dipertahankan

2.2 Kerusakan Mikrooganisme Karena Pemanasan

Kerusakan pengaruh panas yang mematikan terhadap mikroorganisme digunakan

untuk mengawetkan makanan sebelum pembusukan makanan oleh mokroorganisme.

Kebanyakan makanan yang diolah dengan pemanasan dianggap telah steril secara

komersial yaitu makanan yang telah diproses dengan pemanasan untuk membinasakan

semua mikroorganisme yang mampu mengakibatkan kerusakan pada kondisi

penyimpanan yang normal. Banyak makanan yang diolah dengan pemanasan yang

mengandung organism-organisme yang masih hidup (seperti spora-spora bakteri

thermofilik) yang tidak mampu tumbuh dan merusak produk dalam kondisi

penyimpanan normal. Oleh karena itu sifat-sifat organoleptik dan gizi makanan biasanya

dirusak oleh panas, maka sangat penting bahwa perlakuan panas pada makanan untuk

mencapai sterilisasi komersial atau pasteurisasi komersial hanya sampai pada tingkat

yang dibutuhkan untuk membebaskan makanan tersebut dari mikroorganisme yang

menyebabkan kerusakan atau berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat seperti


Clostridium botulinun atau yang dapat merubah makanan yang secara organoleptik tidak

dapat diterima.

Faktor-faktor ketahanan panas mikroorganisme dapat dibagi menjadi dua kelompok

besar berdasarkan ketahanan terhadap panas yaitu sel-sel vegetative dan spora-spora dari

ragi dan jamur yang mudah dihancurkan oleh panas pada suhu sampai 80oC

Penggunaan suhu tinggi dalam pengawetan makanan dipengaruhi oleh tujuan

pengawetan yaitu pengaruhnya terhadap mikroorganisme yang ada didalam makanan

dan mutu makanan yang diawetkan. Pengolahan pangan dengan suhu tinggi memiliki

beberapa macam proses diantaranya adalah :

1. Blanching

Blanching merupakan suatu cara pemanasan pendahuluan atau perlakuan


pemanasan tipe pasteurisasi yang dilakukan pada suhu kurang dari 100 oC selama
beberapa menit dengan menggunakan air panas atau uap. Biasanya suhu yang
digunakan sekitar 82oC-93oC selama 3-5 menit. Contoh blansing misalnya
mencelupkan sayuran atau buah dalam air mendidih selama 3-5 menit atau
mengukusnya selama 3-5 menit. Tujuan utama blansing ialah menginaktifan enzim
diantaranya enzim peroksidase dan katalase, walaupun sebagian dari mikroba yang
ada dalam bahan juga turut mati. Kedua jenis enzim ini paling tahan terhadap
panas,. Blansing biasanya dilakukan terhadap sayur-sayuran dan buah-buahan yang
akan dikalengkan atau dikeringkan.
Blanching biasanya digunakan sebagai perlakuan pendahuluan suatu proses
pengolahan. Proses pengolahan pangan yang menggunakan perlakuan pemanasan
pendahuluan dengan blanching, antara lain adalah pembekuan, pengeringan dan
pengalengan. Sebagai medium blanching biasa digunakan air, uap air, atau udara
panas dengan suhu sesuai yang diinginkan. Suhu dan lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pemanasan tergantung pada bahan dan tujuan blanching.
Umumnya blanching dilakukan pada suhu kurang dari 100oC selama beberapa
menit. Kebanyakan bahan pangan, biasanya blanching dilakukan pada suhu 80oC.
Berdasarkan atas proses yang akan dilakukan selanjutnya maka blanching dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk proses pembekuan dan pengeringan
2) Blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk proses pengalengan.
Adapun tujuan blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk masing-masing
berbeda. Tujuan blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk proses pembekuan dan
pengeringan adalah :
a) Mengurangi jumlah mikroba pada permukaan bahan pangan.
b) Menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan penurunan kualitas bahan
pangan.
c) Menghilangkan beberapa substansi pada bahan pangan yang dapat
menyebabkan adanya off flavor (flavor yang tidak diinginkan).
d) Mempertahankan warna alami dari bahan pangan.
Cara melakukan blansing ialah dengan merendam dalam air panas (merebus) atau
dengan uap air (mengukus atau dinamakan juga “steam blanching”). Merebus yaitu
memasukkan bahan ke dalam panci yang berisi air mendidih. Sayur-sayuran atau buah-
buahan yang akan diblansing dimasukkan ke dalam keranjang kawat, kemudian
dimasukkan ke dalam panci dengan suhu blansing biasanya mncapai 82 oC-83oC selama
3-5 menit. Setelah blansing cukup waktunya, kemudian keranjang kawat diangkat dari
panci dan cepat-cepat didinginkan dengan air. Pengukusan tidak dianjurkan untuk sayur-
sayuran hijau, karena warna bahan akan menjadi kusam. Caranya ialah dengan
mengisikan bahan ke dalam keranjang kawat, kemudian dimasukkan ke dalam dandang
yang berisi air mendidih. Dandang ditutup dan langkah selanjutnya sama dengan cara
perebusan.

2. Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang
dari l00oC, tetapi dengan waktu yang bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa
menit tergantung pada tingginya suhu yang digunakan. Makin tinggi suhu
pasteurisasi, makin singkat waktu yang dibutuhkan untuk pemanasannya. Tujuan
utama dari proses pasteurisasi adalah untuk menginaktifkan sel-sel vegetatif
mikroba patogen, mikroba pembentuk toksin maupun mikroba pembusuk atau
penyebab penyakit seperti bakteri penyebab penyakit TBC, disentri, diare, dan
penyakit perut lainnya. Pemanasan dalam proses pasteurisasi dapat dilakukan
dengan menggunakan uap air, air panas atau udara panas. Tinggi suhu dan lamanya
waktu pemanasan yang dibutuhkan dalam proses pasteurisasi tergantung dari
ketahanan mikroba terhadap panas. Namun perlu diperhatikan juga sensitivitas
bahan pangan yang bersangkutan terhadap panas. Pada prinsipnya, pasteurisasi
memadukan antara suhu dan lamanya waktu pemanasan yang terbaik untuk suatu
bahan pangan. Pasteurisasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode l) Low
Temperature Long Time atau disingkat LTLT dan 2) High Temperature Short
Time yang disingkat HTST. Metode LTLT dilakukan pada suhu 62,8 oC selama 30
menit, sedangkan HTST dilakukan pada suhu 7I,7oC selama 15 detik.
Tujuan pasteurisasi yaitu :
1) Membunuh semua bakteri patogen yang umum dijumpai pada bahan
pangan bakteri-bakteri patogen yang berbahaya ditinjau dari kesehatan
masyarakat,
2) Memperpanjang daya tahan simpan dengan jalan mematikan bakteri dan
menginaktifkan enzim.

Mikroba terutama mikroba non patogen dan pembusuk masih ada pada bahan yang
dipasteurisasi dan bisa berkembang biak. Oleh karena itu daya tahan simpannya tidak
lama. Contohnya : susu yang sudah dipasteurisasi bila disimpan pada suhu kamar hanya
akan tahan 1-2 hari, sedangkan bila disimpan dalam lemari es tahan kira-kira seminggu.
Karena itu untuk tujuan pengawetan, pasteurisasi harus dikombinasikan dengan cara
pengawetan lainnya, misalnya dengan pendinginan.
Pasteurisasi biasanya dilakukan pada susu, juga pada sari buah dan suhu yang
digunakan di bawah 100oC. Contohnya :
a) Pasterurisasi susu dilakukan pada suhu 61oC-63oC selama 30 menit
b) Pasteurisasi sari buah dilakukan pada suhu 63oC-74oC selama 15-30 menit.
Pasteurisasi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu :

a. Pasteurisasi lama atau LTLT (Long Temperature Long Time) yaitu


pemanasan dilakukan pada suhu yang tidak begitu tinggi dengan waktu
relatif lebih lama. Suhu yang digunakan yaitu sekitar 63ºC selama 30
menit.
b. Pasteurisasi singkat atau HTST (High Temperature Short Time) yaitu
pemanasan dilakukan pada suhu tinggi dengan waktu yang relatif
singkat. Suhu yang digunakan yaitu sekitar 72ºC selama 15 detik.
c. Pateurisasi dengan UHT (Ultra High Temperature) yaitu proses
sterilisasi yang banyak diaplikasikan pada pengolahan bahan pangan
(contoh aplikasi : Susu UHT Ultra), memiliki berbagai kelebihan
dibandingkan dengan proses sterilisasi yang biasa dilakukan pada proses
pengalengan. Suhu yang digunakan yaitu sekitar 134-150ºC selama 2-5
detik. Tujuannya membunuh semua mikroba patogen dan pembusuk
sehingga masa simpannya sangat panjang.

3. Sterilisasi
Sterilisasi merupakan salah satu cara pengolahan bahan pangan yang bersifat
mengawetkan. Sterilisasi juga merupakan istilah untuk setiap proses yang
menghasilkan kondisi steril dalam bahan pangan. Jadi, sterilisasi adalah cara atau
langkah atau usaha yang dilakukan untuk membunuh semua mikroba yang dapat
hidup dalam bahan pangan. Apabila dilihat dari kata steril maka tujuan utama dari
proses sterilisasi adalah membunuh semua mikroba yang dapat hidup dalam bahan
pangan. Dengan terbebasnya bahan pangan dari kehidupan semua mikroba maka
diharapkan bahan pangan dapat disimpan dalam waktu yang lama. Biasanya daya
tahan simpan makanan yang steril komersial adalah kira-kira 2 tahun. Kerusakan-
kerusakan yang terjadi biasanya bukan akibat pertumbuhan mikroba, tetapi karerna
terjadi kerusakan pada sifat-sifat organoleptiknya akibat reaksi-reaksi kimia.
Perkataan steril mengandung pengertian :
1) Tidak ada kehidupan
2) Bebas dari bakteri patogen
3) Bebas dari organisme pembusuk
4) Tidak terdapat kegiatan mikroba dalam keadaan normal.
Dalam pengolahan bahan pangan yang lazim dinamakan pengalengan, tidak
mungkin dilakukan sterilisasi dengan pengertian yang mutlak. Pemanasan dilakukan
sedemikian rupa sehingga mikroba yang berbahaya mati, tetapi sifat-sifat bahan
pangan tidak banyak mengalami perubahan sehingga tetap bernilai gizi tinggi.
Sehubungan dengan hal ini dikenal 2 macam istilah, yaitu :
a) Sterilisasi biologis yaitu suatu tingkat pemanasan yang mengakibatkan musnahnya
segala macam kehidupan yang ada pada bahan yang dipanaskan,
b) Sterilisasi komersial yaitu suatu tingkat pemanasan, dimana semua mikroba yang
bersifat patogen dan pembentuk racun telah mati.
Pemanasan dengan sterilisasi komersial umumnya dilakukan pada bahan pangan
yang sifatnya tidak asam atau bahan pangan berasam rendah. Yang tergolong bahan
pangan ini adalah bahan pangan hewani seperti daging, susu, telur, dan ikan serta
beberapa jenis sayuran seperti buncis dan jagung. Bahan pangan berasam rendah
mempunyai risiko untuk mengandung bakteri Clostridium botulinum, yang dapat
menghasilkan racun yang mematikan jika tumbuh dalam makanan kaleng. Sterilisasi
komersial adalah pemanasan pada suhu 121,1oC selama 15 menit dengan
menggunakan uap air bertekanan, dilakukan dalam autoklaf.

Tujuan sterilisasi komersial terutama untuk memusnahkan spora bakteri patogen


termasuk spora bakteri C. Botulinum. Produk yang sudah diproses dengan sterilisasi
komersial sebaiknya disimpan pada kondisi penyimpanan yang normal, yaitu pada
suhu kamar. Harus dihindari penyimpanan pada suhu yang lebih tinggi (sekitar 50oC),
karena bukan tidak mungkin jika ada spora dari bakteri yang sangat tahan panas masih
terdapat di dalam kaleng dapat tumbuh dan berkembang biak di dalamnya dan
menyebabkan kebusukan, misalnya bakteri Bacillus stearothermophillus.

4. Pemasakan/pemanasan
Pemanasan bahan pangan selain dengan blanching, pasteurisasi dan sterilisasi
dapat juga dilakukan dengan cara pemasakan. Pemanasan dengan cara pemasakan ini
bertujuan untuk meningkatkan cita rasa atau kelezatan produk pangan. Pemasakan
dapat juga dianggap sebagai salah satu cara pengawetan bahan pangan, sebab bahan
pangan yang dimasak dapat ditahan dan disimpan lebih lama dari pada bahan
mentahnya.
Apabila dilihat dari cara dan bentuk pemasakan, maka dapat dibedakan menjadi
3 macam cara pemasakan, yaitu :

1) Pemasakan dengan menggunakan cara keying pada suhu 100oC atau lebih.


2) Pemasakan dengan menggunakan media air panas atau uap air pada suhu 100 oC atau
lebih.
3) Pemasakan dengan menggunakan media minyak panas pada suhu 100 oC atau lebih,
biasa dikenal dengan istilah penggorengan.

Panas merupakan suatu bentuk enersi, diartikan sebagai pertukaran enersi diantara
dua macam benda yang berbeda suhunya. Perambatan panas atau pemindahan panas
dapat terjadi secara :

a) Konduksi

Konduksi terjadi jika enersi berpindah dengan jalan sentuhan antar


molekul atau perambatan panas terjadi dimana panas dialirkan dari satu
partikel ke partikel lainnya tanpa adanya gerakan atau sirkulasi. Perambatan
panas secara konduksi berlangsung secara lambat. Umumnya konduksi terjadi
pada bahan berbentuk padat, seperti daging, ikan, sayur- sayuran, buah-
buahan, dll.

b) Konveksi

Konveksi terjadi jika enersi berpindah melalui aliran dalam media cair
atau perambatan panas dimana panas dialirkan dengan cara pergerakan atau
sirkulasi molekul dari zat yang satu ke zat yang lainnya. Pemanasan secara
konveksi berlangsung secara cepat. Umumnya konveksi terjadi pada bahan
berbentuk cair seperti saribuah, sirup, air, dll.

2.3 Kerusakan Makanan Kaleng


Makanan kaleng adalah makanan yang mengalami pengawetan melalui pengawetan
dengan suhu tinggi atau dengan penyimpanan secara anaerobic didalam wadah tertutup.
Pengalengan adalah proses menyimpan dalam wadah ditutuprapat sehingga udara, zat lain
dan organism perusak tidak dapat masuk. Dengan demikian makanan yang disimpan
dalam kaleng tidak mengalami pembusukan.
Beberapa mikroorganisme penyebab kerusakan pada makanan kaleng adalah :
1) Dalam makanan kaleng berasam rendah (pH>4,6), yaitu; Bacillus
stearothermophillus yang dapat menyebabkan flat sour atau busuk asam,
Clostridium thermosacharolyticum yang merupakan bakteri anaerob thermofil,
C. botulinnum proteolitik, C. sporogenes, C. putrefaciens dan beberapa
mikroba pembentuk spora lainnya.
2) Dalam makanan kaleng asam (pH 3,7-4,6), yaitu; Leuconostoc mesentroides,
Byssochlamys fulva, Lactobacillus dextranicum dan Lactobacillus Plantarum
yang dapat merusak buah dalam makanan kaleng.
3) Dalam makanan kaleng berasam tinggi (pH<3,7), yaitu; Bacillus
thermoacidurans (B. coagullans) yang merupakan bakteri termofil penyebab
flat sour pada sari buah tomat, C. butyricum dan C. pasteuranium yang
merupakan bakteri messofil dan beberapa bakteri tidak berspora yang sebagian
besar merupakan bakteri asam laktat.

Ciri-ciri kerusakan yang dapat dilihat secara langsung dari kondisi kalengnya
adalah sebagai berikut :

1. Kembung

Kondisi kaleng yang kembung bisa terjadi karena reaksi antara produk asam
yang dikemas dengan kondisi kaleng yang cacat. Makanan yang tergolong
berkadar asam tinggi, misalnya jus buah-buahan. Sementara yang kadar asamnya
rendah antara lain jamur, asparagus, bit, kentang, dan kacang-kacangan. Selain itu,
kembung bisa pula karena jenis kaleng yang digunakan tak sesuai dengan produk
yang dikemas. Jika dibuka, produk tampak normal, tapi warnanya terkadang
berubah pucat. Pada kondisi lain, kembung bisa juga disebabkan oleh aktivitas
mikroorganisme yang menghasilkan CO2 dan H2. Akibat pembentukan gas ini,
tekanan dalam kaleng menjadi tinggi sehingga kaleng menggembung yang lama-
lama bisa pecah.

2. Penyok
Kondisi ini bisa terjadi karena benturan, jatuh, atau tertindih. Kaleng yang
penyok sedikit (tak sampai membentuk sudut) biasanya tidak mengalami
kerusakan isi. Namun, jika membentuk sudut, dikhawatirkan lapisan timahnya
rusak sehingga kaleng bereaksi dengan produk, terutama yang berasam tinggi.

3. Karat

Ini terjadi karena adanya reaksi antara kaleng dengan senyawa lain yang
bersifat korosif. Pada kasus yang ringan, perkaratan terjadi pada tutup kaleng,
sambungan kaleng, atau bagian luar saja. Pada kasus berat dapat terjadi pada
seluruh bagian luar kaleng. Karat yang belum merusak bagian dalam sebenarnya
tidak berbahaya. Akan tetapi, bila sudah timbul lubang, meski kecil dan sulit
dideteksi, ada kemungkinan mikroba sudah menyelusup ke dalamnya.

Pada dasarnya makanan kaleng dibedakan atas tiga kelompok berdasarkan


keasaman, yaitu:

1) Makanan kaleng berasam rendah (pH>4,6), misalnya produk-produ daging dan


ikan, beberapa sayuran (jagung, buncis), dan masakan yang terdiri dari
campuran daging dan sayuran (lodeh, gudeg, opor, dan lain-lain).

2) Makanan kaleng asam (pH 3,7-4,6), misalnya produk-produk tomat, pear, dan
produk-produk lain.

3) Makanan kaleng berasam tinggi (pH<3,7), misalnya buah-buahan dan sayuran


kaleng seperti jeruk, pikel, sauerkraut, dan lain-lain.

Contoh makanan kaleng yang sering dijumpai di pasaran adalah:

1) Kacang merah yang dicampur dengan saus.


2) Sosis sapi, nugget, ham, corned beef
3) Sayuran kaleng: jamur, rebung, dan sebagainya.
4) Ikan sarden kalengan
Kerusakan dapat terjadi karena kurang sempurnanya pengolahan. Misalnya, selama
proses sterilisasi, terjadi kebocoran kecil pada sambungan kaleng yang menggelembung,
tetapi kemudian tertutup kembali setelah pendinginan. Bila dalam proses pendinginannya
digunakan air kurang bersih, dapat dipastikan mikroba pembusuk akan hadir dalam
kaleng melalui lubang kecil tersebut. Pada gilirannya, bila kondisi penyimpanan
mendukung maka bakteri tersebut akan tumbuh dan berkembang biak dan kelak
memproduksi racun.
Namun, karena dalam pengalengan makanan digunakan sterilisasi komersial (bukan
sterilisasi mutlak), mungkin saja masih terdapat spora atau mikroba lain (terutama yang
bersifat tahan terhadap panas) yang dapat merusak isi apabila kondisinya memungkinkan.
Itulah sebabnya makanan dalam kaleng harus disimpan pada kondisi yang sesuai, segera
setelah proses pengalengan selesai.
Keuntungan utama penggunaan kaleng sebagai wadah bahan pangan adalah :
a) Kaleng dapat menjaga bahan pangan yang ada di dalamnya. Makanan yang ada
di dalam wadah yang tertutup secara hermetis dapat dijaga terhadap kontaminasi
oleh mikroba, serangga, atau bahan asing lain yang mungkin dapat
menyebabkan kebusukan atau penyimpangan penampakan dan cita rasanya.
b) Kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap perubahan kadar air yang tidak

diinginkan.

c) Kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan oksigen, gas-gas lain,

bau-bauan, dan partikel-partikel radioaktif yang terdapat di atmosfer.

d) Untuk bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia, kaleng

dapat menjaga terhadap cahaya.

Kelemahan penggunaan kemasan kaleng terhadap komoditas adalah:

a) Pengolahan pada suhu tinggi menyebabkan produk pengalengan aseptik

umumnya kehilangan cita rasa segarnya. Produk cenderung memberi rasa

matang. Perubahan cita rasa tampak jelas pada produk dengan bahan dasar

buah dan sayur.


b) Pemanasan suhu tinggi juga menurunkan nilai gizi produk. Khususnya

komponen yang mudah rusak oleh panas. Misalnya, vitamin dan lemak tak

jenuh. Fortifikasi (penambahan) vitamin dapat dilakukan untuk mengganti

kehilangan selama proses.

c) Produk kaleng juga umumnya kehilangan sifat segar. Lihat saja teksturnya.

Umumnya lebih lunak dari bahan segarnya. Pada beberapa produk buah dan

sayur bisa diatasi dengan penambahan bahan-bahan yang bisa memperbaiki

tekstur.

d) Timbulnya rasa ”taint” kaleng (rasa seperti besi) yang terkadang cukup
mengganggu. Rasa ini timbul terutama bila coating kaleng tidak sempurna.

Biasanya produk makanan yang dikemas dalam kaleng akan kehilangan cita rasa
segarnya dan mengalami penurunan nilai gizi akibat pengolahan dengan suhu tinggi. Satu
hal lagi yang juga cukup mengganggu adalah timbulnya rasa taint kaleng atau rasa seperti
besi yang timbul akibat coating kaleng tidak sempurna. Bahaya utama pada makanan
kaleng adalah tumbuhnya bakteri Clostridium botulinum yang dapat menyebabkan
keracunan botulinin bagi pengonsusmi makanan kaleng tersebut. Bakteri yang berbahaya
ini umumnya menyukai tempat-tempat yang tidak ada udara (athogen) dan mampu
melindungi diri dari suhu yang agak tinggi (termofilik) dengan jalan membentuk spora.
Tanda-tanda keracunan botulinin antara lain tenggorokan menjadi kaku, mata berkunang-
kunang dan kejang-kejang yang membawa kematian karena sukar bernapas. Biasanya
bakteri ini tumbuh pada makanan kaleng yang tidak sempurna pengolahannya atau pada
kaleng yang bocor sehingga makanan di dalamnya terkontaminasi udara dari luar.

2.4 Alat-alat dalam Proses Pengolahan Pangan dengan suhu tinggi.


Alat-Alat Yang Digunakan Pada Pengolahan/pengawetan Pangan Dengan
Menggunakan Suhu Tinggi. : perebusan, penggorengan, penyangraian, pengasapan,
penjemuran di bawah sinar matari.
1.      Perebusan.

Dalam proses pongolahan pangan ataupun pengawetan dengan cara perebusan, memerlukan
wadah yang akan di gunakan selama proses perebusan itu berlangsung. Alat yang sering di
gunakan dalam hal ini yaitu sebagai berikut: tungku  ataupun kompor, wajan, belanga.contoh
bahan pangan yang di olah/diawetkan dengan cara perebusan yaitu ; daging, ikan, pembuatan
kueseperti onde – onde, dan lain – lain.

2.      Penggorengan

Alat yang biasanya di gunakan untuk menggoreng yaitu :tungku ataupun kompor, wajan,kuali
besi, sendok, peniris minyak Loyang ataupun wadah lainnya tempat bahan pangan yang akan
di goring.contoh bahan pangan yang biasanya di olah/ametkan dengan cara penggorengan
seperti kripik pisang, kripik ubi, abon ikan, dan lain – lain.

3.      Penyangraian

Pada proses ini, alat yang sering di gunakan sama dengan pada proses pengolahan pangan
dengan cara penggorengan, perbedaannya hanya pada bahan tambahan lainnya yang di pakai
dalam mengolah suatu bahan pangan.contoh bahan pangan yang sering diolah/awetkan
dengan cara penyangraian yaitu ; kopi,

4.      Pengasapan

Alat yang sering di gunakan antara lain : tungku, para – para, ataupun tempat
pembakaran.contoh bahan pangan yang diolah/awetkan dengan cara pengasapan yaitu ; ikan,
daging.

5.      Pembakaran

Dalam hal ini alat yang sering di gunakan sama dengan alat yang sering di gunakan pada
proses pengasapan. Contoh bahan pangan yang diolah/awetkan dengan cara pembakaran
seperti daging, ikan, roti bakar,

6.      Penjemuran di bawah sinar matahari

Pada proses penjemuran di bawah sinar matahari, biasanya menggunakan alat berupa tapis,
tarpal ukuran kecil (kapasitas sedikit) ukuran besar (kapasitas banyak), mie kering, kerupuk
ubi, ikan kering, buah kakao,dan lain – lain.
Alat yang digunakan dalam proses pemanasan; Alat-alat pemanas yang umum digunakan
antara lain ketel pasteurisasi dan ketel sterilisasi. Alat-alat pemanas sederhana yang dipakai
dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga misalnya alat pamasak nasi (dandang atau
kukusan) dan panci tekan (pressure cooker), sedangkan di pabrik pengolahan digunakan
otoklaf.

Dandang atau kukusan dapat dipakai untuk keperluan pasteurisasi dan sterilisasi. Waktu
yang diperlukan untuk sterilisasi dengan alat ini lebih lama dibandingkan dengan alat-alat
yang lebih modern. Hal ini disebabkan suhu yang dapat dicapai dalam alat-alat sederhana
hanya sekitar 100-105oC

2.1. Sejarah
Industri food frozen sendiri mulai dikenal berkat jasa Clarence Birdeye.
Awalnya Clarence terinspirasi oleh suku Indian Inuit yang selalu berhasil melakukan
proses pembekuan ikan. Setelah lama mempelajarinya, akhirnya Clarence berhasil
meniru proses pembekuan tersebut. Ia pun mencobanya dengan makanan lain, seperti
daging, ayam, dan tentunya ikan.
Penemuan Clarence disambut luar biasa oleh masyarakat Amerika. Sebab,
berkat temuannya mereka tidak perlu repot-repot lagi memasak. Selain itu, penemuan
Clarence selangkah lebih maju dibandingkan pembekuan tradisional yang sudah ada
waktu itu. Sebab, pembekuan yang dilakukan Clarence hanya sedikit menghasilkan
lapisan es.
Sadar penemuannya dapat sambutan positif, Clarence langsung berusaha
membuat petualangan kulinernya itu jadi hak paten. Setelah mendapatkan hak paten, ia
kemudian menjualnya kepada perusahaan makanan General Food Corporation.
Atas prestasinya ini, Clarence dianugerahi Babcock Hart Award pada 1949 oleh
Institute of Food Technologies. Pada tahun 2003, namanya diabadikan pada Food
Engineering Hall of Fame.

2.2. Definisi
Pembekuan makanan adalah proses mengawetkan produk makanan dengan cara
mengubah hampir seluruh kandungan air dalam produk menjadi es. Keadaan beku
menyebabkan aktivitas mikrobiologi dan enzim terhambat sehingga daya simpan produk
menjadi panjang.
Teknologi pembekuan makanan adalah teknologi mengawetkan makanan
dengan menurunkan temperaturnya hingga di bawah titik beku air. Hal ini berlawanan
dengan pemrosesan termal, di mana makanan dipaparkan ke temperatur tinggi dan
memicu tegangan termal terhadap makanan, dapat mengakibatkan hilangnya nutrisi,
perubahan rasa, tekstur, dan sebagainya, atau pemrosesan kimia dan fermentasi yang
dapat mengubah sifat fisik dan kimia makanan. Makanan beku umumnya tidak
mengalami hal itu semua; membekukan makanan cenderung menjaga kesegaran
makanan. Makanan beku menjadi favorit konsumen melebihi makanan kaleng atau
makanan kering, terutama di sektor hasil peternakan (daging dan produk susu), buah-
buahan, dan sayur-sayuran.
Hampir semua jenis bahan makanan dapat dibekukan (bahan mentah, setengah
jadi, hingga makanan siap konsumsi) dengan tujuan pengawetan. Proses pembekuan
makanan melibatkan pemindahan panas dari produk makanan. Hal ini akan
menyebabkan membekunya kadar air di dalam makanan dan menyebabkan berkurangnya
aktivitas air di dalamnya. Menurunnya temperatur dan menghilangnya ketersediaan air
menjadi penghambat utama pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim di dalam
produk makanan, menyebabkan makanan menjadi lebih awet dan tidak mudah
membusuk. Keunggulan dari teknik pembekuan makanan adalah semua hal tersebut
dapat dicapai dengan mempertahankan kualitas makanan seperti nilai nutrisi, sifat
organoleptik, dan sebagainya.
Mutu hasil pembekuan masih mendekati bahan pangan yang segar walaupun
tidak dapat dibandingkan dengan mutu hasil pendinginan. Pembekuan dapat
mempertahankan rasa dan nilai gizi bahan pangan yang lebih baik daripada metoda lain,
karena pengawetan dengan suhu rendah (pembekuan) dapat menghambat aktivitas
mikroba mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan aktivitas enzim yang dapat
merusak kandungan gizi bahan pangan. Walaupun pembekuan dapat mereduksi jumlah
mikroba yang sangat nyata tetapi tidak dapat mensterilkan makanan dari mikroba. maka
dapat disimpulkan bahwa proses pengawetan dengan cara pembekuan didasarkan atas
dua buah prinsip, yakni :
 Suhu yang sangat rendah yang berfungsi menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dan memperlambat aktivitas enzim dan reaksi kimiawi.
 Pembentukan kristal es yang menurunkan ketersediaan air bebas di dalam
pangan sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat.
Pada proses pembekuan, penurunan suhu akan menurunkan aktifitas
mikroorganisme dan sistem enzim, sehingga mencegah kerusakan bahan pangan. Selain
itu, kristalisasi air akibat pembekuan akan mengurangi kadar air bahan dalam fase cair di
dalam bahan pangan tersebut sehingga menghambat pertumbuhan mikroba atau aktivitas
sekunder enzim. Proses pembekuan terjadi secara bertahap dari permukaan sampai pusat
bahan. Pada pemukaan bahan, pembekuan berlangsung cepat sedangkan pada bagian
yang lebih dalam, proses pembekuan berlangsung lambat. Pada awal proses pembekuan,
terjadi fase precooling dimana suhu bahan diturunkan dari suhu awal ke suhu titik beku.
Pada tahap ini semua kandungan air bahan berada pada keadaan cair. Setelah tahap
precooling terjadi tahap perubahan fase, pada tahap ini terjadi pembentukan kristal es.
Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan makanan, antara
lain kerusakan fisiologis, kerusakan enzimatis maupun kerusakan mikrobiologis. Pada
pengawetan dengan suhu rendah dibedakan antara pendinginan dan pembekuan.
Pendinginan dan pembekuan merupakan salah satu cara pengawetan yang tertua.
Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang
digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara
– 1oC sampai + 4oC. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan
terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari
atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang
biasa dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai suhu –
2oC sampai + 16oC.
Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku bahan, jadi
bahan disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik dapat dilakukan pada suhu
kira-kira –17oC atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini pertumbuhan bakteri sama sekali
berhenti. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu antara – 12 oC sampai –
24oC. Dengan pembekuan, bahan akan tahan sampai bebarapa bulan, bahkan kadang-
kadang beberapa tahun.
Perbedaan antara pendinginan dan pembekuan juga ada hubungannya dengan
aktivitas mikroba.
 Sebagian besar organisme perusak tumbuh cepat pada suhu di atas 10 oC
 Beberapa jenis organisme pembentuk racun masih dapat hidup pada suhu kira-
kira 3,3oC
 Organisme psikrofilik tumbuh lambat pada suhu 4,4 oC sampai – 9,4 oC
 Organisme ini tidak menyebabkan keracunan atau menimbulkan penyakit pada
suhu tersebut, tetapi pada suhu lebih rendah dari – 4,0 oC akan menyebabkan
kerusakan pada makanan.
Jumlah mikroba yang terdapat pada produk yang didinginkan atau yang
dibekukan sangat tergantung kepada penanganan atau perlakuan-perlakuan yang
diberikan sebelum produk itu didinginkan atau dibekukan, karena pada kenyataannya
mikroba banyak berasal dari bahan mentah/ bahan baku. Setiap bahan pangan yang akan
didinginkan atau dibekukan perlu mendapat perlakuan-perlakuan pendahuluan seperti
pembersihan, blansing, atau sterilisasi, sehingga mikroba yang terdapat dalam bahan
dapat sedikit berkurang atau terganggu keseimbangan metabolismenya.
Pada umumnya proses-proses metabolisme (transpirasi atau penguapan,
respirasi atau pernafasan, dan pembentukan tunas) dari bahan nabati seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan atau dari bahan hewani akan berlangsung terus meskipun
bahan-bahan tersebut telah dipanen ataupun hewan telah disembelih. Proses metabolisme
ini terus berlangsung sampai bahan menjadi mati dan akhirnya membusuk. Suhu dimana
proses metabolisme ini berlangsung dengan sempurna disebut sebagai suhu optimum.
Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan makanan tidak dapat mematikan
bakteri, sehingga pada waktu bahan beku dikeluarkan dan dibiarkan hingga mencair
kembali (“thawing”), maka pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba dapat
berlangsung dengan cepat. Penyimpanan dingin dapat menyebabkan kehilangan bau dan
rasa beberapa bahan bila disimpan berdekatan. Misalnya :
• Mentega dan susu akan menyerap bau ikan dan bau buah-buahan
• Telur akan menyerap bau bawang
Bila memungkinkan sebaiknya penyimpanan bahan yang mempunyai bau tajam
terpisah dari bahan lainnya, tetapi hal ini tidak selalu ekonomis. Untuk mengatasinya,
bahan yang mempunyai bau tajam disimpan dalam kedaan terbungkus.
2.3. Titik beku bahan pangan
Sel-sel hidup banyak mengandung air, sering kali sampai dua pertiga atau lebih
dari jumlah beratnya. Di dalam medium ini banyak terlarut senyawa organic dan
anorganik, termasuk garam, gula, dan asam dalam bentuk larutan, juga termasuk molekul
organic yang lebih kompleks seperti protein dalam bentuk suspensi koloidal. Sedikit
banyak juga terdapat gas-gas yang terlarut dalam larutan yang berair. Perubahan-
perubahan fisik, kimia dan biologis yang terjadi di dalam bahan pangan selama
pembekuan dan pencairan merupakan proses yang sangat kompleks dan belum
seluruhnya diketahui. Titik beku suatu cairan adalah suhu di mana cairan tersebut dalam
keadaan seimbang dengan bentuk padatnya. Suatu larutan dengan tekanan uap yang lebih
rendah dari zat pelarut murni tidak akan seimbang dengan zat pelarut yang padat pada
titik beku normalnya.. Sistem tersebut harus didinginkan sampai suhu dimana larutan dan
zat pelarut yang padat mempunyai tekanan yang sama.
Titik beku suatu larutan adalah lebih rendah daripada zat pelarut murni. Titik
beku bahan pangan adalah lebih rendah daripada air murni. Bilamana suatu cairan
menguap, molekul-molekul yang lepas memberikan suatu tekanan yang dikenal dengan
tekanan uap. Tekanan total dari suatu system akan sama dengan tekanan parsial dari
tekanan tersebut. Penambahan zat terlarut yang bersifat tidak menguap (gula) ke dalam
air akan menurunkan tekanan uap air dari larutan gula dalam air, dan titik beku larutan
tersebut akan menjadi lebih rendah daripada air murni. Oleh karena kebanyakan bahan
pangan kandungan airnya tinggi maka kebanyakan pangan akan membeku pada suhu
antara 32o dan 25o.F. Selama berlangsung pembekuan suhu bahan pangan tersebut
relatif tetap sampai sebagian besar dari bahan pangan tersebut membeku, dan setelah
beberapa waktu suhu akan mendekati medium pembeku.
2.4. Laju pembekuan
Salah satu pertimbangan pemilihan suatu proses dalam industri pembekuan
pangan beku adalah laju pembekuan. Laju pembekuan tidak saja menentukan struktur
akhir produk beku, tetapi juga mempengaruhi lama pembekuan
Laju pembekuan suatu massa pangan adalah ratio antara jarak minimal antara
permukaan dengan titik pusat termal dibanding dengan waktu yang diperlukan oleh
produk pangan mencapai suhu 0 oC pada permukaan bahan sampai mencapai suhu -5 oC
pada pusat termal bahan. Salah satu variasi terhadap definisi Lembaga Refrigerasi
International ialah Thermal Arrest Time (TAR). Menurut definisi ini, laju pembekuan
ialah pengukuran waktu yang dibutuhkan titik yang paling lambat membeku pada
produk, untuk menurunkan suhu dari 0 oC menjadi –5 oC. Sedangkan Heldman dan
Singh (1981) mengatakan laju pembekuan ialah Pengukuran waktu yang dibutuhkan
untuk menurunkan suhu produk pada titik yang paling lambat menjadi dingin atau beku,
dihitung dari saat tercapainya titik beku awal sampai tercapainya tingkat suhu yang
diinginkan di bawah titik beku produk tersebut. Meskipun disadari bahwa definisi ini
tidak terlepas dari kekurangan, agaknya masih merupakan kompromi terbaik bila
dibandingkan dengan keunggulan dan kelemahan definisi lain. (Heldman dan Singh,
1981).
Laju pembekuan dapat diatur dan sangat menentukan sifat dan mutu produk beku
yang dihasilkan. Sifat produk yang diakibatkan oleh pembekuan yang sangat cepat
sangat berbeda dari produk yang dihasilkan dari pembekuan lambat. Pembekuan yang
sangat cepat akan menghasilkan kristal es yang kecil tersusun secara merata pada
jaringan. Sedangkan pembekuan lambat akan menyebabkan terbentuknya kristal es yang
besar yang tersusun pada ruang antar sel dengan ukuran pori yang besar. Dari segi
kecepatan berproduksi, pembekuan secara sangat cepat dianggap menguntungkan,
selama mutu produk yang dihasilkan tidak dikorbankan (Heldman dan Singh, 1981).
King (1971) membagi laju pembekuan ke dalam 3 golongan yaitu ; (1).
Pembekuan lambat, jika waktu pembekuan adalah 30 menit atau lebih untuk 1 cm bahan
yang dibekukan, (2). Pembekuan sedang , jika waktu pembekuan adalah 20- 30 menit
atau lebih untuk 1 cm bahan yang dibekukan dan, (3). Pembekuan cepat, jika waktu
pembekuan adalah kurang dari 20 menit untuk 1 cm bahan yang dibekukan. Pembekuan
cepat didefinisikan oleh mereka yang menganut teori kristalisasi cepat sebagai proses
dimana suhu bahan pangan tersebut melampaui zona pembekuan kristal maksimum (32o
sampai 25oF) dalam waktu 30 menit atau kurang. Prinsip dasar dari semua pembekuan
cepat adalah cepatnya pengambilan panas dari bahan pangan. Metode ini meliputi
pembekuan dalam hembusan cepat udara dingin, dengan imersi langsung bahan pangan
ke dalam medium pendingin, dengan jalan persinggungan plat-plat pendingin dalam
ruang pembekuan, dan dengan pembekuandengan udara, nitrogen, karbondioksida cair.
2.5. Factor yang mempengaruhi pembekuan
 Suhu
 Kualitas bahan
 Perlakuan pendahuluan yang tepat
Misalnya pembersihan/ pencucian atau blansin
 Kelembaban
Umumnya RH dalam pendinginan sekitar 80 – 95 %. Sayur-sayuran disimpan dalam
pendinginan dengan RH 90 – 95 %
 Aliran udara yang optimum
 Distribusi udara yang baik menghasilkan suhu yang merata di seluruh tempat
pendinginan, sehingga dapat mencegah pengumpulan uap air setempat (lokal).
2.6. Pengaruh pembekuan terhadap bahan makanan
Makanan tidak mempunyai titik beku yang pasti, tetapi akan membeku pada
kisaran suhu tergantung pada kadar air dan komposisi sel. Kurva suhu dengan waktu
pembekuan umumnya menunjukkan garis datar (plateau) antara 0o dan -5o C berkaitan
dengan perubahan (fase) air menjadi es, kecuali jika kecepatan pembekuan sangat tinggi.
Telah ditunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melampaui daerah pembekuan
ini mempunyai pengaruh yang nyata pada mutu beberapa makanan beku. Umumnya
telah diketahui bahwa pada tahapan ini terjadi kerusakan sel dan struktur jaringan yang
irreversible yang mengakibatkan mutu menjadi jelek setelah pencairan, terjadi khususnya
sebagai hasil pembentukan kristal es yang besar dan perpindahan air selama pembekuan
dari dalam sel kea bagian luar sel yang dapat mengakibatkan kerusakan sel karena
pengaruh tekanan osmosis. Akan tetapi, pembekuan yang cepat dan penyimpanan dengan
fluktuasi suhu yang tidak terlalu besar, akan membentuk kristal-kristal es yang kecil di
dalam sel dan akan mempertahankan struktur jaringan dengan kerusakan minimum pada
membran sel.
Pembekuan juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme.
Pertumbuhan mikroorgananisme dalam makanan pada suhu di bawah kira-kira -12oC
belum dapat diketahui dengan pasti. Jadi penyimpanan makanan beku pada suhu sekita
-18oC dan di bawahnya akan mencegak kerusakan mikrobiologis dan perubahan bentuk
makanan, dengan persyaratan tidak pernah terjadi perubahan suhu yang besar.
Mikroorganisme psokrofilik mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada suhu
dalam lemari es, terutama di antara 0o dan 5oC. Jadi penyimpanan yang lama pada suhu-
suhu ini baik sebelum maupun sesudah pembekuan dapat mengakibatkan terjadinya
kerusakan oleh mikrobe. Jadi usakan suhu penyimpanan 18oC atau lebih rendah.
Walaupun jumlah mikrobe biasanya menurun selama proses pembekuan dan
penyimpanan beku (kecuali spora), makanan beku yang tidak steril seringkali cepat
membusuk seperti produk yang tidak dibekukan jika suhu cukup tinggi dan penyimpanan
pada suhu tersebut cukup lama. Pembekuan dan penyimpanan makanan beku juga
mempunyai pengaruh yang nyata padakerusakan sel mikrobe. Jika sel yang rusak atau
luka tersebut mendapat kesempatan menyembuhkan dirinya, maka pertumbuhan yang
cepat akan terjadi jika lingkungan sekitarnya memungkinkan.
Harus diakui, proses pembekuan akan menurunkan nilai gizi dibandingkan
dengan bahan segarnya, terutama kandungan vitamin dan komponen-komponen lain
yang sensitif terhadap proses pengolahan suatu bahan baku. Tapi ada hal yang menarik
dari hasil penelitian yang dilaporkan dari Jepang.
Salah satu penelitiannya tentang kandungan vitamin C dari suatu jenis sayuran
menunjukkan, kandungan vitamin C akibat proses pembekuan lebih tinggi dibandingkan
dengan sayuran segarnya. Untuk cita rasa, dari hasil penelitian beberapa panelis yang
terpilih menunjukkan, sangat sedikit konsumen dengan tepat mampu mengenali makanan
olahan dari bahan segar atau bahan produk beku. Suatu hasil yang agak berbeda dengan
dugaan selama ini, makanan dari produk beku memunyai cita rasa yang lebih rendah dari
makanan yang disiapkan dari bahan segar.
Dalam dunia teknologi pangan, reezeburn yakni suatu perubahan citra rasa,
perubahan warna, kehilangan zat gizi serta perubahan tekstur dari bahan pangan beku
akan cepat terjadi jika bahan pangan disimpan pada suhu di atas minus 9 °C.
Untuk memperoleh hasil yang terbaik dari bahan pangan yang dibekukan, suhu
penyimpanan harus dijaga agar konstan dan tidak boleh lebih tinggi dari minus 17 °C,
serta harus diikuti dengan pengemasan yang baik atau memenuhi standar pengemasan
untuk bahan pangan beku (Syamsir,2010).
 Pengaruh Pembekuan terhadap Jaringan
Makanan tidak mempunyai titik beku yang pasti, tetapi akan membeku pada kisaran
suhu tergantung pada kadar air dan komposisi sel. Kurva suhu – waktu
pembekuan umumnya menunjukkan garis datar (plataeau) antara 0oC dan 5oC
berkaitan dengan perubahan (fase) air menjadi es, kecuali jika kecepatan
pembekuan sangat tinggi. Telah ditunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk
melampaui daerah pembekuan ini mempunyai pengaruh yang nyata pada mutu
beberapa makanan beku. Umumnya telah diketahui bahwa pada tahapan ini
terjadi kerusakan sel dan struktur yang irreversible yang mengakibatkan mutu
menjadi jelek setelah pencairan, terjadi khususnya sebagai hasil pembentukan
kristal es yang besar dan perpindahan air selama pembekuan dari dalam sel ke
bagian luar sel yang dapat mengakibatkan kerusakan sel karena pengaruh tekanan
osmotis. Pembekuan yang cepat dan penyimpanan dengan fluktuasi suhu yang
tidak terlalu besar, akan membentuk kristal-kristal es kecil di dalam sel dan akan
mempertahankan jaringan dengan kerusakan minimum pada membran sel.
 Pengaruh Pembekuan terhadap Mikroorganisme
Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan pada suhu di bawah kira-kira 12oC
belum dapat diketahui dengan pasti. Jadi penyimpanan makanan beku pada suhu
sekitar 18oC dan di bawahnya akan mencegah kerusakan mikrobologis, dengan
persyaratan tidak terjadi perubahan suhu yang besar. Mikroorganisme psikofilik
mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada suhu lemari es terutama di antara 0o
dan 5oC. Jadi penyimpanan yang lama pada suhu-suhu ini baik sebelum atau
sesudah pembekuan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan oleh mikroba.
Walaupun jumlah mikroba biasanya menurun selama pembekuan dan penyimpanan
beku (kecuali spora), makanan beku tidak steril dan acapkali cepat membusuk
seperti produk yang tidak dibekukan jika suhu cukup tinggi dan lama
penyimpanan pada suhu tersebut cukup lama. Pembekuan dan penyimpanan
makanan beku juga mempunyai pengaruh yan nyata pada kerusakan sel mikroba.
Jika sel yang rusak atau luka tersebut mendapat kesempatan menyembuhkan
dirinya, maka pertumbuhan yang cepat akan terjadi jika lingkungan sekitarnya
memungkinkan.
 Pengaruh Pembekuan terhadap Protein
Oleh karena pembekuan hanya menyebabkan sedikit perubahan nilai gizi protein,
maka dimungkinkan untuk mendenaturasi protein dengan perlakukan demikian.
Hal ini dapat dilihat dalam proses pendadihan bahan-bahan yang berprotein
terutama selama pembekuan dan pencairan yang berulang-ulang. Walaupun nilai
biologis protein yang mengalami denaturasi, sebagai bahan pangan manusia,
tidak banyak berbeda dengan protein asli, kenampakan dan kualitas bahan pangan
tersebut mungkin akan berubah sama sekali karena perlakuan-perlakuan yang
demikian. Selama penyimpanan beku jika seandainya enzim tidak diinaktifkan,
proteolisis mungkin terjadi di dalam jaringan hewan.
 Pengaruh Pembekuan terhadap Enzim
Aktivitas enzim tergantung pada suhu. Aktivitas enzim mempunyai pH optimum dan
dipengaruhi oleh kadar substrat. Aktivitas suatu enzim atau system enzim dapat
dirusakan pada suhu mendekati 200oF. Enzim masih mempunyai sebagian
aktivitasnya pada suhu serendah –100oF. Walaupun kecepatan reaksinya sangat
rendah pada suhu tersebut. Sistem enzim hewan cenderung mempunyai kecepatan
reaksi optimum pada suhu sekitar 98oF. Sistem enzim tanaman cenderung
mempunyai suhu optimum pada suhu yang sedikit lebih rendah. Pembekuan
menghentikan aktivitas mikrobiologis. Aktivitas enzim hanya dihambat oleh suhu
pembekuan. Pengendalian enzim yang termudah dapat dikerjakan dengan
merusak dengan perlakuan pemanasan yang pendek (balansing) sebelum
pembekuan dan penyimpanan.
 Pengaruh Pembekuan terhadap Lemak
Deteriorasi oksidatif lemak dan minyak bukanlah hal yang asing lagi pada bahan
pangan. Lemak dalam jaringan ikan cenderung lebih cepat menjadi tengik
daripada lemak dalam jaringan hewan. Pada suhu –10oC ketengikan
yangberkembang dalam jaringan berlemak yang beku sangat berkurang. Lemak
yang tengik cenderung mempunyai nilai gizi yang lebih rendah daripada lemak
yang segar. Untuk mencegah proses tersebut maka proses pembekuan merupakan
pencegahan yang sangat baik hampir pada semua makanan berlemak.
 Pengaruh Pembekuan terhadap Vitamin
Kehilangan vitamin-vitamin berlangsung terus sepanjang pelaksanaan pengolahan,
misalnya selama blansing dan pencucian, pemotongan dan penggilingan.
Terkenanya jaringan-jaringan oleh udara akan menyebabkan hilangnya vitamin C
karena oksidasi. Umumnya kehilangan vitamin C terjadi bilamana jaringan
dirusak dan terkena udara. Selama penyimpanan dalam keadaan beku kehilangan
vitamin C akan berlangsung terus. Makin tinggi suhu suhu penyimpanan makin
besar terjadinya kerusakan zat gizi. Dalam bahan pangan beku kehilangan yang
lebih besar dijumpai terutama pada vitamin C daripada vitamin yang lain.
Blansing untuk menginaktifkan enzim adalah penting untuk melindungi tidak
hanya vitamin-vitamin akan tetapi juga kualitas bahan pangan beku pada
umumnya.
Secara komersial sudah lama dilakukan penambahan asam askorbat pada
buah-buahan sebelum pembekuan guna melindungi kualitas. Vitamin B1 peka
peka terhadap panas dan rusak sebagian selama blansing untuk menginaktifkan
enzim. Kehilangan lebih lanjut tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit selama
penyimpanan beku pada suhu dibawah nol pada buah-buahan, sayuran, daging,
dan unggas. Selama preparasi untuk pembekuan kandungan vitamin B2 dalam
bahan pangan menjadi berkurang, akan tetapi selama penyimpanan beku
kerusakan zat gizi hanya sedikit atau tidak rusak sama sekali. Vitamin-vitamin
yang larut dalam lemak dan karoten sebagai prekusor vitamin A selama
pembekuan bahan pangan mengalamin sedikit perubahan, walaupun terjadi
kehilangan selama penyimpanan. Blansing pada jaringan tanaman dapat
memperbaiki stabilitas penyimpanan karoten. Penyimpanan bahan pangan dalam
keadaan beku tanpa dikemas dapat menjurus ke arah terjadinya oksidasi dan
perusakan sebagian besar zat gizi, termasuk vitamin.
 Pengaruh Pembekuan terhadap Parasit
Pembekuan bahan pangan mempunyai keuntungan dalam mematikan parasit. Contoh
yang terbaik dalam hal ini kita jumpai dalam mematikan Trichinella spiralis
dengan pembekuan. Penurunan suhu bahan pangan yang terkena infeksi sampai
0oF atau lebih rendah akan mematikan semua tingkatan kehidupan organisme
tersebut. Bahan pangan yang dibekukan tidak cocok untuk pertumbuhan parasit
dan kenyataan bahwa infestasi oleh insekta tidak pernah terjadi.
2.7. Proses pembekuan
Perubahan bahan sampai membeku tidak terjadi sekaligus dari cairan ke padatan.
Contohnya sebotol susu yang disimpan pada ruang pembeku (freezer), maka cairan yang
paling dekat dengan dinding botol akan membeku lebih dahulu. Kristal yang terjadi
mula-mula ialah air murni (H2O). Ketika air terus berkristal, susu menjadi lebih pekat
terutama pada komponen protein, lemak, laktosa, dan mineral. Pekatan ini akan
berkristal secara perlahan-lahan sebanding dengan proses pembekuan yang berlangsung
pada makanan.
Pada pembekuan akan terjadi beberapa proses sebagai berikut :
Mula-mula terjadi pembentukan kristal es yang biasanya berlangsung cepat pada
suhu dibawah 0 oC. Kemudian diikuti proses pembesaran dari kristal-kristal es yang
berlangsung cepat pada suhu – 2 oC sampai – 7 oC. Pada suhu yang lebih rendah lagi,
maka pembesaran kristal-kristal es dihambat karena kecepatan pembentukan kristal es
meningkat.
Hasil gambar untuk pembekuan:

Secara normal pembesaran kristal-kristal es dimulai di ruang ekstra seluler, karena


viskositas cairannya relatif lebih rendah. Bila pembekuan berlangsung secara lambat,
maka volume ekstra seluler lebih besar sehingga terjadi pembentukan kristal-kristal es
yang besar di tempat itu. Kristal es yang besar akan menyebabkan kerusakan pada
dinding sel. Kadar air bahan makin rendah , maka akan terjadi denaturasi protein
terutama pada bahan nabati. Proses ini bersifat irreversible.
Pembekuan secara cepat akan menghambat kecepatan difusi air ke ruang ekstra
seluler, akibatnya air akan berkristal di ruang intra seluler, sehingga massa kristal es akan
terbagi rata dalam seluruh jaringan. Kristal es yang terbentuk berukuran kecil-kecil.
Keadaan ini mengakibatkan kehilangan air pada waktu ” thawing ” akan berkurang.
Pembekuan menyebabkan terjadinya :
• perubahan tekstur
• pecahnya emulsi lemak
• perubahan fisik dan kimia dari bahan
Perubahan yang terjadi tergantung dari komposisi makanan sebelum dibekukan. Konsentrasi
padatan terlarut yang meningkat, akan merendahkan kemampuan pembekuan. Bila dalam
larutan mengandung lebih banyak garam, gula, mineral, dan protein, akan menyebabkan
titik beku lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membeku.
Dibandingkan dengan pemanasan dan pengeringan, maka pembekuan dalam
pengawetan sebenarnya lebih berorientasi pada usaha penghambatan
tumbuhkembangnya mikroba serta pencegahan kontaminasi yang akan terjadi. Oleh
karena itu jumlah mikroba dan kontaminasi atau kerusakan awal bahan pangan sangat
penting diperhitungkan sebelum pembekuan. Jadi sanitasi dan higiene pra-pembekuan
ikut menentukan mutu makanan beku. Produk pembekuan yang bahan asalnya
mempunyai tingkat kontaminasi tinggi, akan lebih cepat rusak atau lebih cepat turun
mutunya dibandingkan dengan bahan yang pada awalnya lebih rendah kadar
kontaminasinya.
Semua produk makanan mengandung berbagai jenis zat terlarut. Sangat sulit
untuk menentukan pada temperatur berapa seluruh air dalam produk makanan akan
membeku, dikarenakan keberadaan zat terlarut dalam makanan menurunkan titik beku.
Perkiraan waktu pembekuan
Laju pendinginan yang memengaruhi waktu pembekuan yang diperlukan produk
makanan kualitas produk makanan dapat didefinisikan oleh selisih antara temperatur
awal produk makanan dan temperatur akhir pembekuan dibagi dengan waktu. (oC/s).
Dapat juga didefinisikan dengan rasio dari selisih antara temperatur permukaan dan
temperatur bagian dalam produk makanan dengan waktu yang dibutuhkan bagi
permukaan produk makanan untuk mencapai temperatur 0oC dan bagian dalam produk
makanan untuk mencapai temperatur -5oC.
Perkiraan waktu pembekuan adalah faktor utama dalam melakukan pembekuan
makanan. Waktu pembekuan menentukan kapasitas alat pendingin yang dibutuhkan
dalam melakukan pembekuan.
Faktor yang memengaruhi lamanya proses pembekuan adalah konduktivitas
termal, kalor jenis, ketebalan, massa jenis, dan luas permukaan produk makanan serta
selisih temperatur antara produk makanan dengan medium pendinginan dan resistansi
laju pindah panas. Perkiraan waktu pembekuan semakin sulit dilakukan karena
konduktivitas termal, massa jenis, dan kalor jenis produk makanan bervariasi bergantung
pada temperatur awal, ukuran, dan bentuk dari makanan.
Semakin besar ukuran produk makanan, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
pembekuan akan semakin lama. Hal ini dikarenakan meningkatnya kalor laten dan
jumlah kalor yang harus dipindahkan. Peningkatan ukuran makanan juga meningkatkan
resistansi internal terhadap laju pindah panas, sehingga membutuhkan waktu lebih lama
dalam pembekuan.
2.8. Alat pembekuan
Tipe peralatan yang digunakan untuk produk tertentu ditentukan oleh berbagai faktor.
Sensivitas produk, ukuran, dan bentuk produk makanan serta kualitas akhir yang
diperlukan, laju produksi, ketersediaan ruang, kapasitas investasi, tipe media
pendinginan yang digunakan, dan sebagainya. Peralatan pembekuan secara umum dapat
dikelompokan sebagai berikut:
 Kontak langsung dengan permukaan dingin
Dalam pembekuan sistem lempengan dingin, lempengan seolah menjadi
pembungkus produk makanan tersebut. Lempengan dapat berupa lempengan
ganda atau lempengan banyak yang didinginkan dengan berbagai cara. Ruang
udara di antara lempeng dan pembungkus dapat menambah resistansi hambatan
laju transfer kalor, sehingga ruang antara lempengan harus diminimalisasi
menyesuaikan dengan ukuran produk makanan. Dan itulah yang menjadi
keuntungan dari metode ini; bentuk dan ukuran lempengan dapat disesuaikan
dengan ukuran produk makanan. Keuntungan lainnya adalah, pembekuan dapat
dilakukan dengan cepat dari berbagai sisi produk makanan, karena logam
memiliki konduktivitas termal yang tinggi sehingga transfer panas dapat melaju
dengan cepat.
Pembekuan dengan lempengan-lempengan seperti ini cenderung lebih
menghemat ruang karena penyusunan letak makanan yang rapih dan
terstruktur.Memanfaatkan kontak langsung dengan permukaan dingin; produk
makanan, baik dalam keadaan dikemas atau tidak, diekspos secara langsung
dengan permukaan dingin, logam, lempengan, dan sebagainya.
 Pembekuan dengan memanfaatkan media udara
Memanfaatkan media udara sebagai media pendinginan; udara dalam temperatur
yang sangat dingin digunakan dalam mendinginkan produk makanan. Air blast,
spray udara, fluidized bed juga termasuk dalam metode tersebut.Adalah tipe
pembekuan yang umum, yaitu ruang pendingin yang diisi oleh udara yang
didinginkan.
Keuntungannya adalah, dengan memanfatkan aliran konveksi, temperatur
dingin dapat disebarkan hingga ke sudut ruangan secara efisien, namun koefisien
transfer panas konvektif udara cenderung kecil sehingga pembekuan perlu
dilakukan dalam waktu yang lebih lama akibat rendahnya laju transfer panas.
Semakin besar ruangan, semakin kecil kalor yang dapat dipindahkan dalam
satuan waktu tertentu. Hilangnya berat dari produk juga dapat terjadi akibat
kontak langsung antara produk dan air yang mampu mengangkat kandungan air
dalam produk makanan, terutama jika temperatur dan kelembaban
memungkinkan.
Sirkulasi udara dapat dilakukan secara alami maupun secara mekanis
dengan menggunakan kipas.
 Pembekuan dengan menggunakan cairan
Menggunakan cairan sebagai coolant. Dalam hal ini, cairan yang
bertemperatur sangat rendah, titik didih yang rendah, serta memiliki
konduktivitas termal yang tinggi digunakan dalam mendinginkan produk
makanan. Cairan disemprotkan ke produk atau produk direndam ke dalam cairan.
Termasuk dalam metode ini adalah cryogenic.
Umumnya, produk makanan direndam dalam cairan pendingin yang
didinginkan. Cairan yang digunakan berupa cairan yang memiliki titik didih
rendah namun memiliki kemampuan menyerap panas yang tinggi, misalnya
glikol atau cairan lainnya yang disebut coolant. Makanan cair juga dapat
didinginkan dengan cara ini asalkan dikemas terlebih dahulu sebelum direndam.
Umumnya tidak ada kontak langsung antara produk makanan dengan cairan
pendingin, karena berisiko merusak kualitas produk makanan.
Penyemprotan makanan juga termasuk metode ini, dengan menggunakan
cairan pendingin yang sejenis. Makanan dialirkan dengan konveyor, lalu
dilakukan penyemprotan. Setelah dilakukan penyemprotan, umumnya produk
makanan dibekukan dengan memanfaatkan media udara seperti aliran udara
dingin. Cara ini menjadikan makanan menjadi beku lebih cepat dibandingkan
tanpa cairan pendingin.
Dengan metode cryogenic, makanan dapat dibekukan dengan cara yang
cepat. Makanan direndam dalam cairan cryogenik yang disebut dengan cryogen.
Cryogen yang umum digunakan misalnya nitrogen cair dan karbon dioksida cair.
Nitrogen cair memiliki titik didih yang sangat rendah, yaitu -196oC, sedangkan
karbon dioksida cair memiliki titik didih -79oC. Cryogen cenderung tidak berbau,
tidak berwarna, dan inert sehingga tidak akan bereaksi dengan bahan makanan
padat walau pendinginan dilakukan dalam keadaan tanpa dikemas dan
memengaruhi kualitas makanan kecuali terhadap temperatur dinginnya itu
sendiri. Selain itu, cryogen memiliki laju transfer panas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan cairan pendingin lainnya.
Pada proses pembekuan dengan cryogenic, pendinginan awal perlu
dilakukan untuk mencegah keretakan akibat turunnya temperatur secara drastis
karena volum produk makanan mengalami perubahan volum yang sangat cepat
ketika terendam dalam cryogen. Mempertahankan temperatur sangat mungkin
karena cryogen yang menguap memiliki koefisien transfer kalor konvektif yang
sangat tinggi.
Modifikasi terbaru dari pendingin cryogenic adalah pendingin
cryomechanical yang menggabungkan metode perendaman produk dalam cairan
cryogen dan metode mekanik yaitu menggunakan konveyor tipe sprayer, spiral,
ataupun belt yang memanfaatkan uap cryogen. Hal ini akan mengurangi waktu
pendinginan, mengurangi hilangnya berat produk makanan, meningkatkan
kualitas produk, dan meningkatkan efisiens
2.9. Metode pembekuan
Di industri pangan, telah dikembangkan metode pembekuan untuk mempercepat
proses pembekuan yang memungkinkan produk membeku dalam waktu yang pendek.
Pembekuan cepat atau pembekuan dalam waktu yang singkat akan menghasilkan kristal
es berukuran kecil sehingga akan meminimalkan kerusakan tekstur bahan yang
dibekukan. Selain itu, proses pembekuan cepat juga menyebabkan terjadinya kejutan
dingin (freeze shock) pada mikroorganisme dan tidak terjadi tahap adaptasi
mikroorganisme dengan perubahan suhu sehingga mengurangi resiko pertumbuhan
mikroorganisme selama proses pembekuan berlangsung. Tiga metode pembekuan cepat
yang umum dilakukan adalah:
1. Pembekuan dengan penggunaan udara dingin yang ditiupkan atau melalui gas lain
dengan suhu rendah kontak langsung dengan makanan, misalnya dengan alat-alat
pembeku tiup (blast), terowongan (tunnel), bangku fluidisasi (fluidised bed),
spiral, tali (belt) dan lain-lain.
2. Pembekuan dengan alat pindah panas tipe gesekan (scraped heat exchanger):
produk (misalnya ice cream) dibekukan dengan metode ini untuk mengurangi
pembentukan kristal es berukuran besar. Produk digesekkan pada permukaan
pendingin dan kemudian segera dibawa menjauh. Proses ini dilakukan secara
berulang.
3. Pembekuan kriogenik (cryogenic freezing) dimana nitrogen cair (atau karbon
dioksida) disemprotkan langsung pada bahan-bahan pangan berukuran kecil
seperti udang atau strawberry. Karena cairan nitrogen dan karbon dioksida
mempunyai suhu beku yang sangat rendah (berturut-turut -196oC dan -78oC)
maka proses pembekuan akan berlangsung spontan.

Metoda pembekuan yang dipilih untuk setiap produk tergantung pada :


1. Mutu produk dan tingkat pembekuan yang didinginkan .
2. Tipe dan bentuk produk , pengemasan , dan lain-lain.
3. Fleksibilitas yang dibutuhkan dalam operasi pembekuan.
4. Biaya pembekuan untuk teknik alternatif.
Nitrogen cair (titik didih –196oC) dan bahan pendingin bersuhu rendah lainnya telah
menjadi sangat penting akhir-akhir ini sehubungan dengan perannya dalam pembekuan
makanan secara cepat (rapid freezing), di mana teknik pembekuan lainnya
menghasilkan mutu yang rendah pada produk akhir. Perendaman langsung ke dalam
cairan nitrogen telah diganti dengan system penyemprotan langsung pada makanan
yang telah didinginkan terlebih dahulu oleh uap nitrogen yang bergerak berlawanan
dengan aliran makanan dalam terowongan berisulator yang lurus atau berbentuk spiral.
Walaupun biaya operasi dengan menggunakan nitrogen cair ini lebih tinggi. Cara ini
mengurangi oksidasi permukaan makanan yang tidak dikemas dan hilangnya air dari
bahan pangan tersebut, dan keluwesan cara ini memungkinkan pembekuan untuk
berbagai jenis bahan pangan.
2.10. Mempertahankan mutu
Faktor-faktor dasar yang mempengaruhi mutu akhir dari makanan beku adalah :
1. Mutu bahan baku yang digunakan untuk varitas, kemasakan, kecocokan untuk
dibekukan dan disimpan dalam keadaan beku;
2. Perlakuan sebelum pembekuan seperti blansir, penggunaan SO2 atau asam
askorbat.
3. Metode dan kecepatan pembekuan yang dipakai.
4. Suhu penyimpanan dan fluktuasi suhu.
5. Waktu penyimpanan.
6. Kelembaban tempat penyimpanan, terutama jika makanan tidak dikemas.
7. Sifat-sifat dari setiap bahan pengemas.
Suatu penelitian yang ekstensif dari faktor-faktor yang mempengaruhi berkurangnya mutu
makanan beku yang disimpan dalam berbagai suhu penyimpanan yang tetap dan
berfluktuasi menunjukkan bahwa :
 Untuk makanan ditemukan hubungan yang sederhana (kira-kira logaritmis)
antara waktu yang dibutuhkan pada setiap suhu sebelum perubahan-perubahan
yang tidak dikehendaki terlihat, dan suhu penyimpanan beku. Sebagai contoh,
sayuran beku akan tetap stabil selama satu tahun pada suhu -18oC dan akan
kehilangan kira-kira separuh dari daya simpannya untuk setiap kenaikan suhu
penyimpanan sebesar 2,8oC.
 Kehilangan mutu sebagai hasil fluktuasi suhu penyimpanan adalah kumulatif
selama masa simpan dari produk. Jadi kehilangan mutu karena penyimpanan
yang terlalu lama pada suhu tinggi (misalnya -5o dampai -10oC) tidak dapat
dikembalikan oleh penyimpanan selanjutnya walaupun pada suhu yang sangat
rendah.
Penyimpanan bahan pangan beku pada suhu -18oC atau lebih rendah bertujuan
untuk memperpanjang masa simpan makanan, yakni dengan menekan pertumbuhan
mikroba perusak. Penyimpanan pada suhu ini juga bertujuan untuk mengurangi resiko
perubahan bentuk pada saat proses pengemasan maupun proses pengiriman produk
(Sutanto,2009).
Perkiraan daya simpan dengan mutu yang tinggi (HQL = high quality life) atau
waktu penyimpanan pada suhu tertentu yang dibutuhkan sebelum penguji terlatih dapat
mengetahui adanya perubahan mutu (warna, rasa, tekstur) dari suatu makanan beku
yang disimpan pada suatu keadaan penyimpanan beku tertentu jika dibandingkan
dengan sampel kontrol yang disimpan pada suhu yang sangat rendah, untuk beberapa
macam makanan beku yang disimpan pada tiga macam suhu ditunjukkan pada tabel
berikut :
Kerusakan mutu pada dasarnya terjadi sebagai akibat dari :
1. Perubahan warna (hilangnya konstituen warna alami seperti pigmen klorofil,
pembentukan warna yang menyimpang seperti pada reaksi pencoklatan).
2. Perubahan tekstur ( hilangnya cloud, perusakan gel, devaturasi protein,
pengerasan).
3. Perubahan rasa ( hilangnya rasa asal, pembentukan rasa yang menyimpang,
ketengikan).
5. Perubahan zat gizi seperti asam askorbat dalam buah-buahan dan sayuran,
lemak tak jenuh, asam amino esensial).
Ringkasan hilangnya vitamin dari berbagai bahan macam bahan pangan selama
pembekuan, penyimpanan beku dan pemasakan diuraikan oleh Harris dan Karmas
(1975) dan Bender (1978)
2.11. Penyimpanan dan pengangkutan makanan beku
Makanan dapat dibekukan sebelum atau sesudah dikemas. Buah-buahan dan
sayuran yang akan dijual eceran biasanya dibekukan dulu sebelum dikemas dan
disimpan dalam peti besar atau silo. Penyimpanan dalam jumlah banyak
memungkinkan pengemasan selama setahun dan menghindarkan kebutuhan untuk
menduga keperluan ukuran kemasan yang berbeda-beda selama satu tahun penuh.
Seperti sistem lainnya, pengolah harus yakin bahwa suhu produk telah diturunkan
dalam alat pembeku sampai mencapai suhu ruang penyimpanan dingin sebelum
dipindahkan ke dalam ruang penyimpanan tersebut (-18oC sampai -25oC). Kegagalan
melakukan hal ini akan mengakibatkan kenaikan suhu ruang penyimpanan dingin dan
mempercepat kerusakan makanan yang sudah ada di dalamnya. Selang waktu yang
cukup lama dibutuhkan oleh sistem pendinginan untuk dapat mengembalikan suhu
yang diinginkan.
Sesudah makanan diolah, disimpan dan dikemas secara baik, bahan ini harus
dijual ke konsuman dengan perubahan mutu minimal. Distribusi makanan beku dapat
melibatkan beberapa tahap, pengangkutan ke tempat penyimpanan dingin di
pedangang-pedangang besar dan kecil, dan produk dapat mengalami perubahan suhu
yang tidak dikehendaki selama pemindahan dari ruang penyimpanan satu ke ruang
penyimpanan lainnya dan dari kendaraan ke ruang penyimpanan. Perusahaan-
perusahaan yang bertanggung jawab telah banyak melakukan pendidikan cara
penanganan operasional yang tepat, tetapi masih banyak lagi yang harus dikerjakan.
Dalam suatu survei distribusi makanan beku di Australia, waktu yang dibutuhkan
untuk menaikkan produk dari tempat penyimpanan ke kenadaraan pengangkut berkisar
antara 10 sampai 160 menit untuk karton-karton yang diambil dari ruang penyimpanan
sampai 45 menit sebelum pengangkutan dimulai. Waktu memuat produk samapi satu
jam dapat diijinkan bagi ruang penyimpanan yang dikendalikan dengan baik, akan
tetapi biasanya justru pada ruang penyimpanan yang kurang baiklah pengisian muatan
berlangsung paling lambat. Sebagai contoh jika suhu ruang penyimpanan -25oC dan
mempunyai tempat untuk mengisi muatan yang terlindung dari cuaca atau pengatur
suhu udara ruang terpisah dari udara luar, produk dapat dimuat ke dalam truk dengan
suhu di antara -18oC dan -25oC. Produk ini akan tetap berada dalam kondisi yang baik
asal rangkaian penanganan sistem pendinginan selanjutnya tetap terkendali. Akan tetapi
jika suhu ruang penyimpanan -18oC, bahan-bahan pangan tidak akan ada tolenransi
selama pengisian muatan dan operasi lainnya padahal suhu makanan harus
dipertahankan -18oC selama distribusi. Unit pendingin pada alat pengangkut makanan
beku dirancang untuk tetap mempertahankan suhu dengan menyerap panas yang masuk
ke dalam ruang penyimpanan, tetapi bukan dirancang untuk menurunkan suhu
makanan.
Sebagian besar kerusakan mutu pada makanan beku terjadi saat pemindahan
bahan pangan dari penjual ke konsumen. Konsumen tidak terlalu memperhatikan suhu
penyimpanan dalam pemindahan dari pasar ke rumah dan saat penyimpanan dalam
kulkas. Sehingga bahan pangan yang terlalu lama disimpan dalam kulkas akan cepat
rusak. Namun biasanya hal ini jrang terjadi karena konsumen tidak perlu menyimpan
terlalu lama karena segera dikonsumsi.
2.12. Kerusakan-kerusakan saat pembekuan
Pemakaian suhu rendah untuk mengawetkan bahan pangan tanpa mngindahkan syarat-
syarat yang diperlukan oleh masing- masing bahan, dapat mngakibatkan kerusakan-
kerusakan sebagai berikut:
1. Chilling injury
Chilling injury terjadi karena :
• kepekaan bahan terhadap suhu rendah
• daya tahan dinding sel
• burik-burik bopeng (pitting)
• Jaringan bahan menjadi cekung dan transparan
• Pertukaran bau / aroma
• Di dalam ruang pendingin dimana disimpan lebih dari satu macam
komoditi atau produk, kemungkinan terjadi pertukaran bau/aroma.
Contoh: apel tidak dapat didinginkan bersama-sama dengan seledri, kubis,
ataupun bawang merah.
2. Kerusakan oleh bahan pendingin / refrigerant
Bila lemari es menggunakan amonia sebagai refrigeran, misalnya terjadi kebocoran pada
pipa dan ammonia masuk ke dalam ruang pendinginan, akan mengakibatkan
perubahan warna pada bagian luar bahan yang didinginkan berupa warna coklat atau
hitam kehijauan. Kalau proses ini berlangsung terus, maka akan diikuti proses
pelunakan jaringan-jaringan buah. Sebagai contoh : suatu ruangan pendingin yang
mengandung amonia sebanyak 1 % selama kurang dari 1 jam, akan dapat merusak
apel, pisang, atau bawang merah yang disimpan di dalamnya.
3. Kehilangan air dari bahan yang didinginkan akibat pengeringan
Kerusakan ini terjadi pada bahan yang dibekukan tanpa dibungkus atau yang dibungkus
dengan pembungkus yang kedap uap air serta waktu membungkusnya masih banyak
ruang-ruang yang tidak terisi bahan. Pengeringan setempat dapat menimbulkan
gejala yang dikenal dengan nama ” freeze burn ” , yang terutama terjadi pada daging
sapi dan daging unggas yang dibekukan. Pada daging unggas, hal ini tampak sebagai
bercak-bercak yang transparan atau bercak-bercak yang berwarna putih atau kuning
kotor.
Freeze burn disebabkan oleh sublimasi setempat kristal-kristal es melalui janganjaringan
permukaan atau kulit. Maka terjadilah ruangan-ruangan kecil yang berisi udara, yang
menimbulkan refleksi cahaya dan menampakkan warna-warna tersebut. Akibat
terjadinyafreeze burn, maka akan terjadi perubahan rasa pada bahan , selanjutnya
diikuti dengan proses denaturasi protein.

4. Denaturasi protei
Denaturasi protein berarti putusnya sejumlah ikatan air dan berkurangnya kadar protein
yang dapat diekstrasi dengan larutan garam. Gejala denaturasi protein terjadi pada
daging, ikan, dan produk-produk air susu. Proses denaturasi menimbulkan
perubahan-perubahan rasa dan bau, serta perubahan konsistensi (daging menjadi liat
atau kasap). Semua bahan yang dibekukan, kecuali es krim, sebelum dikonsumsi
dilakukan “thawing”, maka untuk bahan yang telah mengalami denaturasi protein
pada waktu pencairan kembali, air tidak dapat diabsorpsi (diserap) kembali. Tekstur
liat yang terjadi disebabkan oleh membesarnya molekul-molekul.
2.13. Contoh penerapan pembekuan
1. Pembekuan pada Udang
Udang diklasifikasikan ke dalam fhilum Arthropoda, kelas Crustaceae, dan bangsa
Decapoda. Badan udang dibagi menjadi dua: chepalotorax yaitu gabungan antara
kepala, dada, dan perut, bagian yang kedua yaitu ekor. Bagian kepala beratnya
kurang lebih 36-41 % dan daging 24-41 % serta kulit 17-23 % dari total berat
badan.
Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki
aroma yang spesifik dan memiliki nilai gizi tinggi. Udang segar adalah udang yang
baru ditangkap . Ciri-ciri udang segar adalah rupa dan warna bening , sfesifikasi
jenis, cemerlang, sambungan antar ruas kokoh, kulit melekat kuat pada daging. Bau
segar spesifik menurut jenisnya. Bentuk daging kompak , elastis, dan rasanya
manis. Udang yang rusak atau busuk ditandai dengan : rupa dan warna kemerahan
dan kusam, sambungan antar ruas longgar, sudah mulai ditandai bercak-bercak
hitam. Bau tidak segar, bau busuk. Proses penurunan mutu udang disebabkan oleh
factor-faktor yang berasal dari badan udang itu sendiri dan factor lingkungan.
Penurunan mutu udang terjadi secara autolisis, bakteriologis, dan
oksidasi.Prinsip yang dianut dalam penanganan udang adalah mempertahankan
kesegaran udang selama mungkin dengan cara memperlakukan udang dengan
cermat dan hati-hati; segera dan cepat mendinginkan udang sampai mencapai suhu
0ºC; memperlakukan udang secara bersih; serta selalu memperhatikan factor waktu
dan kecepatan bekerja selama rantai penanganan dingin.
Pada prinsipnya udang hasil tangkapan harus dilindungi dari panas, aksi
pembusukan, dan pencemaran. Selama rantai penanganan udang harus dilindungi
dari perembesan oleh panas ke dalam wadah atau peti.Adapun contoh penanganan
yang kurang baik dan dapat menurunkan mutu udang adalah penyusunan udang
yang terlalu rapat, tumpukan udang yang terlalu tinggi, dan udang tidak ditutup
oleh es.Sebagai patokan pemberian es pada udang adalah : segera setelah udang
ditangkap diberi es yang cukup banyak. Banyaknya es yang diberikan tergantung
kepada lamanya penyimpanan, tetapi pada umumnya perbandingan antara udang
dengan es adalah 1: 1. Suhu udara senantiasa 0ºC selama perjalanan pulang dari
penangkapan dan dibongkar di darat.. Masih tersisa es di sekitar udang pada saat
dibongkar untuk dinaikan ke darat.
Cara penyusunan udang di kapal ada dua macam : penyusunan secara curah
dan penyusunan dengan peti. Penyusunan secara curah adalah suatu penyusunan
atau penyimpanan udang dengan es di dalam kerangka kandang yang biasanya
dibuat dengan cara memasang papan lepas ke arah atas kerangka penyangga
vertical dalam palka kapal. Masalah utama dari penyusunan udang secara curah
adalah kesukaran membongkar udang pada saat pendaratan, penanganan
berlangsung lambat, tenaga kerja banyak, dan kerusakan udang tinggi.
Keuntungan cara penyusunan udang dengan pemetian adalah mutu udang yang
didaratkan akan lebih baik daripada metode susun curah, udang masih tetap
terlindung dalam es selama pembongkaran, pelelangan berlangsung lebih mudah
dan lebih cepat, dan mutu udang lebih baik karena tidak banyak yang rusak karena
tekanan..
Pada prinsipnya pembekuan udang merupakan salah satu cara memperlambat
terjadinya proses penurunan mutu – baik secara autolisis, bakteriologis, dan
oksidasi-dengan suhu dingin. Walau dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme serta menghambat reaksi kimia dan aktivitas enzim, pembekuan
bukanlah cara untuk mensterilkan udang. Oleh karena itu setelah udang dibekukan
dan disimpan dalam cold storage, tidak akan lepas begitu saja dari proses
penurunan mutu. Proses penurunan udang disebabkan beberapa hal, yaitu :
autolisis, denaturasi protein, bakteriologis, oksidasi, dan dehidrasi.
2. Pembekuan buah dan sayur
Apabila suhu penyimpanan dipertahankan tidak melebihi batas minimum dari
pertumbuhan mikrobe untuk waktu penyimpanan lebih lama,mutu makanan beku
akan rusak terutama sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik, kimia, dan
biokimia. Perlakuan-perlakuan sebelum pembekuan bertujuan untuk mengurangi
kerusakan selama pembekuan dan penyimpanan beku yang termasuk :
1. Blansir untuk beberapa macam buah-buahan dan hampir semua sayuran untuk
menonaktifkan enzim-enzim peroksidase, katalase, dan enzim pembuat coklat
lainnya, mengurangi kadar oksigen dalam sel, mengurangi jumlah mikrobe, dan
memperbaiki warna.
2. Penambahan atau pencelupan ke dalam larutan asam askorbat atau larutan
sulfurdioksida untuk mempertahankan warna dan mengurangi pencoklatan.
3. Pengemasan buah-buahan dalam gula kering atau sirup untuk meningkatkan
kecepatan pembekuan dan mengurangi reaksi pencoklatan, dengan mengurangi
jumlah oksigen yang masuk ke dalam buah-buahan.
4. Perubahan pH beberapa buah untuk menurunkan kecepatan reaksi pencoklatan.
5. Perubahan enzim adalah penyebab utama dari perubahan mutu dari buah-buahan
dan enzim-enzim tersebut harus dinonaktifkan atau dihambat kegiatannya bila
diinginkan mutu akhir yang cukup baik. Selama pembekuan dan penyimpanan
beku, konsentrasi bahan-bahan dalam sel termasuk enzim dan substratnya
meningkat, jadi kecepatan aktivitas enzim dalam jaringan beku cukup nyata,
walaupun pada suhu rendah.
2.14. Keuntungan dan kelemahan
Makanan beku memiliki efek buruk bagi kualitas produk yang dihasilkan, diantaranya :
1) Efek terhadap karakter fisik
Ketika air diubah menjadi es, volumenya bertambah sembilan persen (air memiliki volume
terkecil pada temperatur empat derajat selsius lalu bertambah volumenya seiring
penurunan temperatur, sifat anomali air) (Kalichevsky et al. 1995). Jika produk makanan
tersebut mengandung banyak air, maka hal yang sama akan terjadi. Namun kadar air,
temperatur pendinginan, dan keberadaan ruang antar sel amat mempengaruhi perubahan
volume tersebut.
Kerusakan sel juga mungkin terjadi akibat pendinginan. Hal ini diakibatkan
gerakan kristal es atau kondisi osmotik sel. Produk daging tidak mengalami kerusakan
sebesar produk buah-buahan dan sayuran karena struktur fibrous yang dimiliki daging
lebih elastis dibandingkan struktur buah dan sayur yang cenderung kaku
Kehilangan berat akibat pendinginan juga menjadi masalah karena selain
masalah kualitas, hal ini juga merupakan masalah ekonomi jika produk dijual
berdasarkan berat produk. Produk yang tidak dikemas akan mengalami kehilangan berat
lebih besar akibat perpindahan tingkat kelembaban menuju wilayah yang bertekanan
lebih rendah akibat kontak langsung dengan media pendinginan.
Cracking atau terbentuknya retakan pada permukaan hingga bagian dalam
produk juga bisa terjadi, terutama ketika produk makanan dibekukan dengan cara
direndam ke dalam cairan pendingin atau cryogen yang menyebabkan terbentuknya
lapisan beku di permukaan makanan. Lapisan ini melawan peningkatan volume dari
dalam sehingga produk akan mengalami stress di bagian dalamnya. Jika lapisan beku
yang terbentuk cukup rapuh, akan terjadi retakan. Sifat produk seperti porositas, ukuran,
modulus elastisitas, dan densitas sangat mempengaruhi terjadinya keretakan tersebut.
Perubahan densitas terjadi akibat bertambahnya volume, dan ini bisa ditangani dengan
pendinginan dalam kondisi tekanan tinggi.
2) Efek terhadap bahan penyusun makanan
Pendinginan akan mengurangi aktivitas air pada makanan. Mikroorganisme tidak dapat
tumbuh pada kondisi aktivitas air yang rendah dan temperatur di bawah nol. Organisme
patogen tidak bisa tumbuh pada temperatur di bawah 5oC, namun tipe organisme
lainnya memiliki respon yang berbeda. Sel vegetatif ragi, jamur, dan bakteri gram
negatif akan hancur pada temperatur rendah, namun bakteri gram positif dan spora
jamur diketahui tidak dipengaruhi oleh temperatur rendah. Protein akan mengalami
denaturasi dalam temperatur dingin yang mengakibatkan perubahan penampilan produk,
tapi nilai nutrisinya tidak terjadi walau terjadi denaturasi selama berat tidak berkurang.
Pembekuan tidak mempengaruhi kandungan vitamin A, B, D, dan E, namun
mempengaruhi kandungan vitamin C.
3) Efek pembekuan terhadap sifat termal makanan
Pengetahuan tentang sifat termal produk makanan dibutuhkan dalam mendesain
proses pembekuan dan alat yang dibutuhkan, termasuk juga kapasitas pemindahan
panas. Konduktivitas termal es adalah 4 kali konduktivitas termal air, sehingga
konduktivitas termal makanan beku umumnya tiga sampai empat kali lebih besar
dibandingkan makanan yang tidak dibekukan. Selama tahap awal pembekuan,
peningkatan konduktivitas termal berlangsung cepat. Untuk makanan yang kaya
kandungan lemaknya, variasi konduktivitas termal terhadap temperatur dapat diabaikan,
namun dalam kasus produk daging, orientasi serat otot mempengaruhi konduktivitas
termal.
Kalor jenis es hanya setengahnya dari kalor jenis air. Selama masa pendinginan,
kalor jenis produk makanan menurun. Pengukuran kalor jenis cukup rumit karena
terdapat perubahan fase berkelanjutan dari air ke es. Kalor laten dari produk makanan
dapat diperkirakan dari fraksi air yang ada pada makanan. Difusivitas termal dari
makanan beku bisa diperkirakan dari massa jenis, kalor jenis, dan termal konduktivitas.
Digabungkan dengan data mengenai konduktivitas termal dan kalor jenis es terhadap air,
dapat diperkirakan bahwa makanan beku memiliki nilai difusivitas termal 9-10 kali lebih
besar dibandingkan dengan makanan yang tidak dibekukan.Meskipun memiliki
kekurangan, makanan beku punya banyak kelebihan lain sehingga teknologinya terus
dipakai dan dikembangkan sampai sekarang. Kelebihan tersebut antara lain :
 Pengolahan lebih sederhana karena produk sudah “bersih”
 Menjamin ketersediaan pasokan sepanjang tahun. Dengan umur simpan yang
relatif panjang, bahkan produk musiman dapat tersedia sepanjang tahun, kapan
saja diperlukan.
 Harga relatif murah, terutama untuk produk musiman yang dibekukan pada saat
musim panen ketika harga murah sehingga harganya relatif murah disbanding
produk segar.
 Kualitas lebih konsisten
 Lebih terjamin keamanan makanannya karena dibekukan dalam keadaan segar.

2.1 Definisi Makanan Beku


Pembekuan makanan adalah proses mengawetkan produk makanan dengan cara
mengubah hampir seluruh kandungan air dalam produk menjadi es. Keadaan beku
menyebabkan aktivitas mikrobiologi dan enzim terhambat sehingga daya simpan produk
menjadi panjang.
Teknologi pembekuan makanan adalah teknologi mengawetkan makanan dengan
menurunkan temperaturnya hingga di bawah titik beku air. Hal ini berlawanan dengan
pemrosesan termal, di mana makanan dipaparkan ke temperatur tinggi dan memicu
tegangan termal terhadap makanan, dapat mengakibatkan hilangnya nutrisi, perubahan
rasa, tekstur, dan sebagainya, atau pemrosesan kimia dan fermentasi yang dapat
mengubah sifat fisik dan kimia makanan. Makanan beku umumnya tidak mengalami hal
itu semua; membekukan makanan cenderung menjaga kesegaran makanan. Makanan
beku menjadi favorit konsumen melebihi makanan kaleng atau makanan kering, terutama
di sektor hasil peternakan (daging dan produk susu), buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Hampir semua jenis bahan makanan dapat dibekukan (bahan mentah, setengah jadi,
hingga makanan siap konsumsi) dengan tujuan pengawetan. Proses pembekuan makanan
melibatkan pemindahan panas dari produk makanan. Hal ini akan menyebabkan
membekunya kadar air di dalam makanan dan menyebabkan berkurangnya aktivitas air
di dalamnya. Menurunnya temperatur dan menghilangnya ketersediaan air menjadi
penghambat utama pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim di dalam produk
makanan, menyebabkan makanan menjadi lebih awet dan tidak mudah membusuk.
Keunggulan dari teknik pembekuan makanan adalah semua hal tersebut dapat dicapai
dengan mempertahankan kualitas makanan seperti nilai nutrisi, sifat organoleptik, dan
sebagainya.
Sejarah Frozen Food
Industri food frozen sendiri mulai dikenal berkat jasa Clarence Birdeye. Awalnya
Clarence terinspirasi oleh suku Indian Inuit yang selalu berhasil melakukan proses
pembekuan ikan. Setelah lama mempelajarinya, akhirnya Clarence berhasil meniru
proses pembekuan tersebut. Ia pun mencobanya dengan makanan lain, seperti daging,
ayam, dan tentunya ikan.
Penemuan Clarence disambut luar biasa oleh masyarakat Amerika. Sebab, berkat
temuannya mereka tidak perlu repot-repot lagi memasak. Selain itu, penemuan Clarence
selangkah lebih maju dibandingkan pembekuan tradisional yang sudah ada waktu itu.
Sebab, pembekuan yang dilakukan Clarence hanya sedikit menghasilkan lapisan es.
Sadar penemuannya dapat sambutan positif, Clarence langsung berusaha membuat
petualangan kulinernya itu jadi hak paten. Setelah mendapatkan hak paten, ia kemudian
menjualnya kepada perusahaan makanan General Food Corporation.
Atas prestasinya ini, Clarence dianugerahi Babcock Hart Award pada 1949 oleh
Institute of Food Technologies. Pada tahun 2003, namanya diabadikan pada Food
Engineering Hall of Fame.
2.2 Pengaruh Pembekuan Bahan Pangan Terhadap Jaringan 
Makanan tidak mempunyai titik beku yang pasti, tetapi akan membeku pada
kisaran suhu tergantung pada kadar air dan komposisi sel. Kurva suhu waktu pembekuan
umumnya menunjukkan garis datar (plataeau) antara 0°C dan -5°C berkaitan dengan
perubahan (fase) air menjadi es, kecuali jika kecepatan pembekuan sangat tinggi. Telah
ditunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melampaui daerah pembekuan ini
mempunyai pengaruh yang nyata pada mutu beberapa makanan beku. Umumnya telah
diketahui bahwa pada tahapan ini terjadi kerusakan sel dan struktur yang irreversible
yang mengakibatkan mutu menjadi jelek setelah pencairan, terjadi khususnya sebagai
hasil pembentukan kristal es yang besar dan perpindahan air selama pembekuan dari
dalam sel ke bagian luar sel yang dapat mengakibatkan kerusakan sel karena pengaruh
tekanan osmotis. Pembekuan yang cepat dan penyimpanan dengan fluktuasi suhu yang
tidak terlalu besar, akan membentuk kristal-kristal es kecil di dalam sel dan akan
mempertahankan jaringan dengan kerusakan minimum pada membran sel. 
2.3 Pengaruh Pembekuan Bahan Pangan Terhadap Mikroorganisme 
Pembekuan juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme.
Pertumbuhan mikroorgananisme dalam makanan pada suhu di bawah kira-kira -12°C
belum dapat diketahui dengan pasti. Jadi penyimpanan makanan beku pada suhu sekitar
-18°C dan di bawahnya akan mencegah kerusakan mikrobiologis dan perubahan bentuk
makanan, dengan persyaratan tidak pernah terjadi perubahan suhu yang besar.
Mikroorganisme psokrofilik mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada suhu
dalam lemari es, terutama di antara 0° dan 5°C. Jadi penyimpanan yang lama pada suhu-
suhu ini baik sebelum maupun sesudah pembekuan dapat mengakibatkan terjadinya
kerusakan oleh mikrobe. Jadi usakan suhu penyimpanan -18°C atau lebih rendah.
Walaupun jumlah mikroba biasanya menurun selama proses pembekuan dan
penyimpanan beku (kecuali spora), makanan beku yang tidak steril seringkali cepat
membusuk seperti produk yang tidak dibekukan jika suhu cukup tinggi dan
penyimpanan pada suhu tersebut cukup lama. Pembekuan dan penyimpanan makanan
beku juga mempunyai pengaruh yang nyata pada kerusakan sel mikroba. Jika sel yang
rusak atau luka tersebut mendapat kesempatan menyembuhkan dirinya, maka
pertumbuhan yang cepat akan terjadi jika lingkungan sekitarnya memungkinkan.
Dalam dunia teknologi pangan, reezeburn yakni suatu perubahan citra rasa,
perubahan warna, kehilangan zat gizi serta perubahan tekstur dari bahan pangan beku
akan cepat terjadi jika bahan pangan disimpan pada suhu di atas -9°C.
Untuk memperoleh hasil yang terbaik dari bahan pangan yang dibekukan, suhu
penyimpanan harus dijaga agar konstan dan tidak boleh lebih tinggi dari -17°C, serta
harus diikuti dengan pengemasan yang baik atau memenuhi standar pengemasan untuk
bahan pangan beku.
2.4 Metode Pembekuan Bahan Pangan
Ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk membuat pangan beku. Beberapa
diantaranya adalah :
1. Penggunaan udara dingin yang ditiupkan atau gas lain dengan suhu rendah kontak
langsung dengan makanan, misalnya dengan alat-alat pembeku tiup (blast),
terowongan (tunnel), bangku fludisasi(fluidised bed), spiral, tali (belt) dan lain-
lain.
2. Kontak tidak langsung misalnya alat pembeku lempeng (platefreezer), yaitu
makanan atau cairan yang telah dikemas kontak dengan permukaan
logam(lempengan,silindris) yang telah didinginkan dengan mensirkulasi cairan
pendingin (alat pembeku berlempeng banyak).
3. Perendaman langsung makanan ke dalam cairan pendingin, atau menyemprotkan
cairan pendingin di atas makanan (misalnya nitrogen cair dan freon, larutan gula
atau garam).
Pada makanan beku siap saji yang belakangan ini populer menggunakan teknologi
dengan udara dingin. Produk ini sebelumnya telah matang terlebih dahulu, makanan
matang tersebut kemudian dibekukan dalam temperatur -40oC (dengan teknologi blast
freezer), lalu disimpan pada ruang dengan suhu -18oC.
Teknologi blast freezer pada prinsipnya merupakan shock temperature untuk mikroba
atau memusnahkan mikroba. Di samping itu, blast freezer juga memungkinkan
kristalisasi air yang terbentuk berukuran kecil dan solid, sehingga tidak berpengaruh
nyata pada perubahan mutu produk.
Metode pembekuan yang dipilih untuk setiap produk tergantung pada :
1. Mutu produk dan tingkat pembekuan yang diinginkan;
2. Tipe dan bentuk produk, pengemasan, dan lain-lain;
3. Fleksibilitas yang dibutuhkan dalam operasi pembekuan;
4. Biaya pembekuan untuk teknik alternatif.
Nitrogen cair (titik didih -196oC) dan bahan pendingin bersuhu rendah lainnya telah
sangat penting akhir-akhir ini sehubung dengan perannya dalam pembekuan makanan
secara cepat (rapid freezing), saat teknik pembekuan lainnya menghasilkan mutu yang
rendah pada produk akhir. Perendaman langsung ke dalam cairan nitrogen telah diganti
dengan sistem penyemprotan langsung pada makanan yang telah didinginkan terlebih
dahulu oleh uap nitrogen yang bergerak berlawanan dengan aliran makanan dalam
terowongan berinsulator yang lurus atau berbentuk spiral. Walaupun biaya operasi
dengan menggunakan nitrogen cair ini lebih tinggi, cara ini mengurangi oksidasi
permukaan makanan yang tidak dikemas dan hilangnya air dari bahan pangan tersebut,
dan keluwesan cara ini memungkinkan untuk pembekuan berbagai jenis bahan pangan.
2.5 Pembekuan Buah dan Sayur
Pembekuan adalah cara yang cepat dan mudah untuk mengawetkan buah-buahan dan
sayuran. Buah-buahan beku dan sayur-sayuran berkualitas tinggi dan maksimum nilai gizi
yang dapat dihasilkan jika pembekuan dilakukan dengan benar.
Buah-buahan segar dan sayuran, ketika dipanen, terus mengalami perubahan kimia
yang dapat menyebabkan pembusukan dan kerusakan produk. Ini adalah mengapa produk
ini harus dibekukan segera setelah panen mungkin dan pada puncak kematangannya.
Perubahan Tekstur Selama Pembekuan
Air merupakan komponen lebih dari 90% berat buah-buahan dan sayuran. Air dan zat
kimia lainnya membentuk struktur pada buah dan sayuran. Pembekuan buah-buahan dan
sayuran sebenarnya adalah pembekuan molekul air yang terdapat dalam sel.
Ketika air membeku, kristal es mengembang dan menyebabkan dinding sel pecah.
Akibatnya ketika produk dicairkan, tekstur akan mengalami perubahan. Perubahan tekstur
ini sangat terlihat terutama pada produk-produk yang biasanya dikonsumsi mentah.
Misalnya, ketika tomat beku dicairkan, menjadi lembek dan berair. Perubahan tekstur
karena pembekuan kurang terlihat di beberapa jenis sayuran, seperti kacang polong, dan
jagung.
Sejauh mana dinding sel pecah dapat dikendalikan teknologi pembekuan cepat.
Dalam pembekuan cepat, sejumlah besar kecil kristal es yang terbentuk. Ini kristal es
kecil menghasilkan lebih sedikit dinding sel pecah dari pembekuan lambat yang hanya
menghasilkan beberapa kristal es besar. Ini adalah mengapa beberapa rumah freezer
manual merekomendasikan bahwa suhu freezer akan ditetapkan pada terdingin
pengaturan beberapa jam sebelum makanan akan ditempatkan di freezer. Beberapa
freezer manual memberitahu lokasi terdingin di rak-rak di dalam freezer dan
menyarankan menempatkan dicairkan produk-produk di rak-rak ini.
Perubahan Yang Disebabkan oleh Fluktuasi Suhu
Untuk menjaga kualitas, buah dan sayuran beku harus disimpan pada suhu sangat
rendah. Menyimpan makanan beku pada suhu yang lebih tinggi meningkatkan dapat
memperpendek umur simpan makanan beku. Fluktuasi suhu di dalam freezer dapat
menyebabkan migrasi uap air dari dalam produk ke permukaan wadah yang
menyebabkan efek freezer burn.
Hilangnya kelembaban, atau kristal es yang menguap dari permukaan produk, juga
mengakibatkan freezer burn, dimana warna menjadi kecoklatan dan jaringan menjadi
kering. Diperlukan kemasan yang dirancang khusus atau wadah kedap udara untuk
mencegah freezer burn.
Pertumbuhan Mikroba Dalam Freezer
Proses pembekuan tidak benar-benar menghancurkan mikroorganisme yang mungkin
ada pada buah-buahan dan sayuran. Sementara blanching menghancurkan beberapa
mikroorganisme. Ada penurunan bertahap dalam jumlah mikroorganisme ini selama
penyimpanan di dalam freezer, namun populasi bakteri yang tersisa masih bisa
berkembang biak dan menyebabkan pembusukan produk ketika produk tersebut sudah
mencair.
Nilai gizi dari Makanan Beku
Pembekuan adalah metode pengawetan makanan yang berpotensi menjaga kuantitas
terbesar nutrisi. Untuk mempertahankan kualitas gizi dalam buah-buahan beku dan sayur-
sayuran, biasanya diperlukan pre-treatment sebelum pembekuan.
Teknologi Flash Freezer Dalam Membekukan Buah dan Sayuran
Membekukan buah dengan menggunakan freezer tanpa mengalami perubahan tekstur
dan penampilan adalah hal yang masih sangat sulit dilakukan hingga sekarang.
Kemampuan pembekuan yang cepat pada teknologi Flash Freezer terbukti mampu
menjaga kualitas produk yang dibekukan.
Apabila suhu penyimpanan dipertahankan tidak melebihi batas minimum dari
pertumbuhan mikroba untuk waktu penyimpanan lebih lama, mutu makanan beku akan
rusak terutama sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik, kimia, dan biokimia.
Perlakuan-perlakuan sebelum pembekuan bertujuan untuk mengurangi kerusakan selama
pembekuan dan penyimpanan beku yang termasuk :
1. Blansir untuk beberapa macam buah-buahan dan hampir semua sayuran untuk
menonaktifkan enzim-enzim peroksidase, katalase, dan enzim pembuat coklat
lainnya, mengurangi kadar oksigen dalam sel, mengurangi jumlah mikrobe, dan
memperbaiki warna.
2. Penambahan atau pencelupan ke dalam larutan asam askorbat atau larutan
sulfurdioksida untuk mempertahankan warna dan mengurangi pencoklatan.
3. Pengemasan buah-buahan dalam gula kering atau sirup untuk meningkatkan
kecepatan pembekuan dan mengurangi reaksi pencoklatan, dengan mengurangi
jumlah oksigen yang masuk ke dalam buah-buahan.
4. Perubahan pH beberapa buah untuk menurunkan kecepatan reaksi pencoklatan.
Perubahan enzim adalah penyebab utama dari perubahan mutu dari buah-buahan dan
enzim-enzim tersebut harus dinonaktifkan atau dihambat kegiatannya bila diinginkan
mutu akhir yang cukup baik. Selama pembekuan dan penyimpanan beku, konsentrasi
bahan-bahan dalam sel termasuk enzim dan substratnya meningkat, jadi kecepatan
aktivitas enzim dalam jaringan beku cukup nyata, walaupun pada suhu rendah.
Pada pembekuan buah-buahan dan sayuran perlu juga diperhatikan pengaruh suhu.
Umumnya buah dan sayur jika disimpan pada rentang suhu 0°-5°C dapat mengalami
kerusakan fisik yaitu chilling injury. Chilling injury adalah kerusakan yang disebabkan
oleh kesalahan dalam penyimpanan dan penempatan pada ruang dibawah titik bekunya.
Kerusakan tersebut dapat diindikasikan dengan munculnya bintik hitam dipermukaan
bahan. Dan juga bahan menjadi keriput dan lebih berair, meskipun belum dilakukan
thawing.
2.6 Mempertahankan Mutu Makanan Beku
Faktor-faktor dasar yang mempengaruhi mutu akhir dari makanan beku adalah :
1. Mutu bahan baku yang digunakan untuk varitas, kemasakan, kecocokan untuk
dibekukan dan disimpan dalam keadaan beku;
2. Perlakuan sebelum pembekuan seperti blansir, penggunaan SO2 atau asam
askorbat.
3. Metode dan kecepatan pembekuan yang dipakai.
4. Suhu penyimpanan dan fluktuasi suhu.
5. Waktu penyimpanan.
6. Kelembaban tempat penyimpanan, terutama jika makanan tidak dikemas.
7. Sifat-sifat dari setiap bahan pengemas.
Suatu penelitian yang ekstensif dari faktor-faktor yang mempengaruhi berkurangnya
mutu makanan beku yang disimpan dalam berbagai suhu penyimpanan yang tetap dan
berfluktuasi menunjukkan bahwa :
1. Untuk makanan ditemukan hubungan yang sederhana (kira-kira logaritmis) antara
waktu yang dibutuhkan pada setiap suhu sebelum perubahan-perubahan yang
tidak dikehendaki terlihat, dan suhu penyimpanan beku. Sebagai contoh, sayuran
beku akan tetap stabil selama satu tahun pada suhu -18 oC dan akan kehilangan
kira-kira separuh dari daya simpannya untuk setiap kenaikan suhu penyimpanan
sebesar 2,8oC.
2. Kehilangan mutu sebagai hasil fluktuasi suhu penyimpanan adalah kumulatif
selama masa simpan dari produk. Jadi kehilangan mutu karena penyimpanan yang
terlalu lama pada suhu tinggi (misalnya -5 o dampai -10oC) tidak dapat
dikembalikan oleh penyimpanan selanjutnya walaupun pada suhu yang sangat
rendah.
Penyimpanan bahan pangan beku pada suhu -18°C atau lebih rendah bertujuan
untuk memperpanjang masa simpan makanan, yakni dengan menekan pertumbuhan
mikroba perusak. Penyimpanan pada suhu ini juga bertujuan untuk mengurangi resiko
perubahan bentuk pada saat proses pengemasan maupun proses pengiriman produk.
Perkiraan daya simpan dengan mutu yang tinggi (HQL = high quality life) atau w
aktu penyimpanan pada suhu tertentu yang dibutuhkan sebelum penguji terlatih dapat me
ngetahui adanya perubahan mutu (warna, rasa, tekstur) dari suatu makanan beku yang di
simpan pada suatu keadaan penyimpanan beku tertentu jika dibandingkan dengan sampel
kontrol yang disimpan pada suhu yang sangat rendah, untuk beberapa macam makanan b
eku yang disimpan pada tiga macam suhu ditunjukkan pada tabel berikut :
Makanan HQL (bulan)

Suhu Penyimpanan (oC)


-18 -12 -5
Buah peach 12 <2 0,2
Buah strawbery 12 2,4 0,3
Buncis hijau 10-12 3 1
Kapri hijau 10-12 3 1
Ayam mentah 12-18 8 2-3
Ayam goreng 2-3 <1 <0,6
Daging sapi mentah 10-14 4,6 <2
Daging babi mentah 6-10 2,4 <1,5
Ikan mentah (berkadar lemak rendah) 4-8 <2,5 <1,5
Ikan mentah ( berkadar lemak tinggi) 2-3 1,5 0,8
Kerusakan mutu pada dasarnya terjadi sebagai akibat dari :
1. Perubahan warna (hilangnya konstituen warna alami seperti pigmen klorofil,
pembentukan warna yang menyimpang seperti pada reaksi pencoklatan).
2. Perubahan tekstur ( hilangnya cloud, perusakan gel, devaturasi protein,
pengerasan).
3. Perubahan rasa ( hilangnya rasa asal, pembentukan rasa yang menyimpang,
ketengikan).
4. Perubahan zat gizi seperti asam askorbat dalam buah-buahan dan sayuran, lemak
tak jenuh, asam amino esensial).
Ringkasan hilangnya vitamin dari berbagai bahan macam bahan pangan selama
pembekuan, penyimpanan beku dan pemasakan diuraikan oleh Harris dan Karmas (1975)
dan Bender (1978)
2.7 Penyimpanan dan Pengangkutan Makanan Beku
Makanan dapat dibekukan sebelum atau sesudah dikemas. Buah-buahan dan sayuran
yang akan dijual eceran biasanya dibekukan dulu sebelum dikemas dan disimpan dalam
peti besar atau silo. Penyimpanan dalam jumlah banyak memungkinkan pengemasan
selama setahun dan menghindarkan kebutuhan untuk menduga keperluan ukuran
kemasan yang berbeda-beda selama satu tahun penuh.
Seperti sistem lainnya, pengolah harus yakin bahwa suhu produk telah diturunkan
dalam alat pembeku sampai mencapai suhu ruang penyimpanan dingin sebelum
dipindahkan ke dalam ruang penyimpanan tersebut (-18oC sampai -25oC). Kegagalan
melakukan hal ini akan mengakibatkan kenaikan suhu ruang penyimpanan dingin dan
mempercepat kerusakan makanan yang sudah ada di dalamnya. Selang waktu yang
cukup lama dibutuhkan oleh sistem pendinginan untuk dapat mengembalikan suhu yang
diinginkan.
Sesudah makanan diolah, disimpan dan dikemas secara baik, bahan ini harus dijual ke
konsuman dengan perubahan mutu minimal. Distribusi makanan beku dapat melibatkan
beberapa tahap, pengangkutan ke tempat penyimpanan dingin di pedangang-pedangang
besar dan kecil, dan produk dapat mengalami perubahan suhu yang tidak dikehendaki
selama pemindahan dari ruang penyimpanan satu ke ruang penyimpanan lainnya dan dari
kendaraan ke ruang penyimpanan. Perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab telah
banyak melakukan pendidikan cara penanganan operasional yang tepat, tetapi masih
banyak lagi yang harus dikerjakan.
Dalam suatu survei distribusi makanan beku di Australia, waktu yang dibutuhkan
untuk menaikkan produk dari tempat penyimpanan ke kenadaraan pengangkut berkisar
antara 10 sampai 160 menit untuk karton-karton yang diambil dari ruang penyimpanan
sampai 45 menit sebelum pengangkutan dimulai. Waktu memuat produk samapi satu jam
dapat diijinkan bagi ruang penyimpanan yang dikendalikan dengan baik, akan tetapi
biasanya justru pada ruang penyimpanan yang kurang baiklah pengisian muatan
berlangsung paling lambat. Sebagai contoh jika suhu ruang penyimpanan -25oC dan
mempunyai tempat untuk mengisi muatan yang terlindung dari cuaca atau pengatur suhu
udara ruang terpisah dari udara luar, produk dapat dimuat ke dalam truk dengan suhu di
antara -18oC dan -25oC. Produk ini akan tetap berada dalam kondisi yang baik asal
rangkaian penanganan sistem pendinginan selanjutnya tetap terkendali. Akan tetapi jika
suhu ruang penyimpanan -18oC, bahan-bahan pangan tidak akan ada tolenransi selama
pengisian muatan dan operasi lainnya padahal suhu makanan harus dipertahankan -18 oC
selama distribusi. Unit pendingin pada alat pengangkut makanan beku dirancang untuk
tetap mempertahankan suhu dengan menyerap panas yang masuk ke dalam ruang
penyimpanan, tetapi bukan dirancang untuk menurunkan suhu makanan.
Sebagian besar kerusakan mutu pada makanan beku terjadi saat pemindahan bahan
pangan dari penjual ke konsumen. Konsumen tidak terlalu memperhatikan suhu
penyimpanan dalam pemindahan dari pasar ke rumah dan saat penyimpanan dalam
kulkas. Sehingga bahan pangan yang terlalu lama disimpan dalam kulkas akan cepat
rusak. Namun biasanya hal ini jrang terjadi karena konsumen tidak perlu menyimpan
terlalu lama karena segera dikonsumsi.
2.8 Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Teknologi Makanan Beku
Makanan beku memiliki efek buruk bagi kualitas produk yang dihasilkan, diantaranya
1. Efek terhadap karakter fisik
Ketika air diubah menjadi es, volumenya bertambah sembilan persen (air
memiliki volume terkecil pada temperatur empat derajat selsius lalu bertambah
volumenya seiring penurunan temperatur, sifat anomali air) (Kalichevsky et al.
1995). Jika produk makanan tersebut mengandung banyak air, maka hal yang
sama akan terjadi. Namun kadar air, temperatur pendinginan, dan keberadaan
ruang antar sel amat mempengaruhi perubahan volume tersebut.
Kerusakan sel juga mungkin terjadi akibat pendinginan. Hal ini diakibatkan
gerakan kristal es atau kondisi osmotik sel. Produk daging tidak mengalami
kerusakan sebesar produk buah-buahan dan sayuran karena struktur fibrous yang
dimiliki daging lebih elastis dibandingkan struktur buah dan sayur yang cenderung
kaku.
Kehilangan berat akibat pendinginan juga menjadi masalah karena selain
masalah kualitas, hal ini juga merupakan masalah ekonomi jika produk dijual
berdasarkan berat produk. Produk yang tidak dikemas akan mengalami kehilangan
berat lebih besar akibat perpindahan tingkat kelembaban menuju wilayah yang
bertekanan lebih rendah akibat kontak langsung dengan media pendinginan.
Cracking atau terbentuknya retakan pada permukaan hingga bagian dalam
produk juga bisa terjadi, terutama ketika produk makanan dibekukan dengan cara
direndam ke dalam cairan pendingin atau cryogen yang menyebabkan
terbentuknya lapisan beku di permukaan makanan. Lapisan ini melawan
peningkatan volume dari dalam sehingga produk akan mengalami stress di bagian
dalamnya. Jika lapisan beku yang terbentuk cukup rapuh, akan terjadi retakan.
Sifat produk seperti porositas, ukuran, modulus elastisitas, dan densitas sangat
mempengaruhi terjadinya keretakan tersebut. Perubahan densitas terjadi akibat
bertambahnya volume, dan ini bisa ditangani dengan pendinginan dalam kondisi
tekanan tinggi.

2. Efek terhadap bahan penyusun makanan


Pendinginan akan mengurangi aktivitas air pada makanan. Mikroorganisme
tidak dapat tumbuh pada kondisi aktivitas air yang rendah dan temperatur di
bawah nol. Organisme patogen tidak bisa tumbuh pada temperatur di bawah 5oC,
namun tipe organisme lainnya memiliki respon yang berbeda. Sel vegetatif ragi,
jamur, dan bakteri gram negatif akan hancur pada temperatur rendah, namun
bakteri gram positif dan spora jamur diketahui tidak dipengaruhi oleh temperatur
rendah. Protein akan mengalami denaturasi dalam temperatur dingin yang
mengakibatkan perubahan penampilan produk, tapi nilai nutrisinya tidak terjadi
walau terjadi denaturasi selama berat tidak berkurang. Pembekuan tidak
mempengaruhi kandungan vitamin A, B, D, dan E, namun mempengaruhi
kandungan vitamin C.
3. Efek pembekuan terhadap sifat termal makanan
Pengetahuan tentang sifat termal produk makanan dibutuhkan dalam
mendesain proses pembekuan dan alat yang dibutuhkan, termasuk juga kapasitas
pemindahan panas. Konduktivitas termal es adalah 4 kali konduktivitas termal air,
sehingga konduktivitas termal makanan beku umumnya tiga sampai empat kali
lebih besar dibandingkan makanan yang tidak dibekukan. Selama tahap awal
pembekuan, peningkatan konduktivitas termal berlangsung cepat. Untuk makanan
yang kaya kandungan lemaknya, variasi konduktivitas termal terhadap temperatur
dapat diabaikan, namun dalam kasus produk daging, orientasi serat otot
mempengaruhi konduktivitas termal (Dickerson, 1968).
Kalor jenis es hanya setengahnya dari kalor jenis air. Selama masa
pendinginan, kalor jenis produk makanan menurun. Pengukuran kalor jenis cukup
rumit karena terdapat perubahan fase berkelanjutan dari air ke es. Kalor laten dari
produk makanan dapat diperkirakan dari fraksi air yang ada pada makanan
(Fennema et al., 1973). Difusivitas termal dari makanan beku bisa diperkirakan
dari massa jenis, kalor jenis, dan termal konduktivitas. Digabungkan dengan data
mengenai konduktivitas termal dan kalor jenis es terhadap air, dapat diperkirakan
bahwa makanan beku memiliki nilai difusivitas termal 9-10 kali lebih besar
dibandingkan dengan makanan yang tidak dibekukan (Desrosier dan Desrosier,
1982).
Meskipun memiliki kekurangan, makanan beku punya banyak kelebihan lain sehingga
teknologinya terus dipakai dan dikembangkan sampai sekarang. Kelebihan tersebut antara
lain :
1. Pengolahan lebih sederhana karena produk sudah “bersih”
2. Menjamin ketersediaan pasokan sepanjang tahun. Dengan umur simpan yang relatif
panjang, bahkan produk musiman dapat tersedia sepanjang tahun, kapan saja
diperlukan.
3. Harga relatif murah, terutama untuk produk musiman yang dibekukan pada saat
musim panen ketika harga murah sehingga harganya relatif murah disbanding produk
segar.
4. Kualitas lebih konsisten
Lebih terjamin keamanan makanannya karena dibekukan dalam keadaan segar.

A. Sifat-sifat campuran udara dan air


a. Proporsi Dapat Berubah

Dalam proses penggabungannya Campuran secara fisik tanpa menggunakan proporsi


yang pasti, Misalnya pada Jus Buah dapat berubah-ubah proporsinya, karena antara
Sari Buah yang telah tercampur dengan proporsi Air sebagai Zat Penyusunannya. Hal
ini sangat berbeda dengan Senyawa yang memiliki komposisi tetap, Misalnya pada
Senyawa Air yang terbentuk dari 2 Atom Hidrogen dan 1 Atom Oksigen.

b. Tidak Menghasilkan Zat Baru

Campuran yang telah terbentuk, tidak dapat menghasilkan Zat yang baru. Karena setiap
komponen-komponen penyusunnya mempertahankan sifat-sifat aslinya. Hal ini sangat
berbeda pada Senyawa yang terbentuk, dapat menghasilkan Zat yang baru dan sifat-sifat
yang baru.

c. Proses Pemisahan Dilakukan Secara Fisik

Komponen Zat Penyusun dari Campuran dapat dipisahkan dengan menggunakan Proses
secara Fisik, Misalnya dengan menggunakan Alat Penyaring atau Alat Pengendapan.
Setelah proses pemisahan terjadi, Zat yang sebelumnya telah tercampur dapat
dikembalikan dalam kondisi semula.

d. Sifat Campuran Sama Dengan Pembentuk

Campuran tidak dapat dilakukan dengan proses Reaksi Kimia, oleh karena itu perubahan
Sifat pada Zat Penyusun dari Campuran tidak mengalami perubahan. Tetapi memiliki
sifat-sifat yang sama tetap ketika tercampur kedalam Air.

e. Zat Penyusun Dapat Terlihat

Zat Penyusun yang terdapat pada Campuran, dapat dilihat dengan mata secara mudah dan
jelas.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan

Kecepatan pengeringan maksimum dipengaruhi oleh percepatan pindah panas dan


pindah massa selama proses pengeringan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
pindah panas dan massa tersebut adalah sebagai berikut (Estiasih, 2009) :

1. Luas permukaan

Pada pengeringan umumnya, bahan pangan yang akan dikeringkan mengalami


pengecilan ukuran, baik dengan cara diiris, dipotong, atau digiling. Proses pengecilan ukuran
akan mempercepat proses pengeringan. Hal ini disebabkan pengecilan ukuran akan
memperluas permukaan bahan, air lebih mudah berdifusi, dan menyebabkan penurunan jarak
yang harus ditempuh oleh panas.

2. Suhu
Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan pangan
semakin cepat pindah panas ke bahan pangan dan semakin cepat pula penguapan air dari
bahan pangan. Apabila udara merupakan medium pemanas, maka faktor kecapatan
pergerakan udara harus diperhatikan. Pada proses pengeringan, air dikeluarkan dari bahan
pangan dapat berupa uap air. Uap air tersebut harus segera dikeluarkan dari atmosfer di
sekitar bahan pangan yang dikeringkan. Jika tidak segera keluar, udara di sekitar bahan
pangan akan menjadi jenuh oleh uap air sehingga memperlambat penguapan air dari bahan
pangan yang memperlambat proses pengeringan.

Semakin tinggi suhu udara, semakin banyak uap air yang dapat ditampung oleh udara tersebut
sebelum terjadi kejenuhan. Faktor lain yang mempengaruhi kecepatan pengeringan adalah
volume udara.

3. Kecepatan pergerakan udara


Semakin cepat pergerakan atau sirkulasi udara maka proses pengeringan akan semakin cepat.
Prinsip ini menyebabkan beberapa proses pengeringan menggunakaan sirkulasi udara atau udara
yang bergerak seperti pengering kabinet, dan tunnel dryer.
4. Kelembaban udara
Semakin kering udara (kelembaban semakin rendah) maka kecepatan pengeringan semakin
tinggi. Kelembaban udara akan menentukan kadar air akhir bahan pangan setelah dikeringkan.
Proses penyerapan akan terhenti sampai kesetimbangan kelembaban nisbi bahan pangan tercapai.

5. Tekanan atmosfer
Pengeringan pada kondisi vakum menyebabkan pengeringan lebih cepat atau suhu yang
digunakan untuk suhu pengeringan dapat lebih rendah. Suhu rendah dan kecepatan pengeringan
yang tinggi diperlukan untuk mengeringkan bahan pangan.

6. Penguapan air
Penguapan atau evaporasi merupakan penghilangan air dari bahan pangan yang dikeringkan
sampai diperoleh produk kering yang stabil. Penguapan yang terjadi selama proses pengeringan
tidak menghilangkan semua air yang terdapat dalam bahan pangan.

7. Lama pengeringan
Pengeringan dengan suhu tinggi dalam waktu yang pendek dapat lebih menekan kerusakan bahan
pangan dibandingkan waktu pengeringan yang lebih lama dan suhu lebih pendek.

C. Metode pengeringan dan dehidrasi


Mikroorganisme membutuhkan air untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Jika
kadar air pangan dikurangi, pertumbuhan
mikroorganisme akan diperlambat. Dehidrasi akan menurunkan tingkat aktivitas air (water
activity ( aw) yaitu jumlah air yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakannya), berat dan volume pangan. Prinsip utama dari
dehidrasi adalah penurunan
kadar air untuk mencegah aktivitas mikroorganisme. Pada banyak produk, seperti sayuran,
terlebih dahulu dilakukan proses pengecilan ukuran (misalnya diiris) sebelum dikeringkan.
Pengecilan ukuran akan meningkatkan luas permukaan bahan sehingga akan mempercepat
proses pengeluaran air. Sebelum dikeringkan, bahan pangan sebaiknya diblansir untuk
menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan perubahan warna pangan menjadi coklat.

1. a. Pengeringan alami.
Pengeringan alami terdiri dari:.
1.Sun Drying
Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari sebaiknya dilakukan di tempat yang
udaranya kering dan suhunya lebih dari 100o Fahrenheit. Pengeringan dengan metode ini
memerlukan waktu 3-4 hari. Untuk kualitas yang lebih baik, setelah pengeringan, panaskan
bahan di oven dengan suhu 175 o Fahrenheit selama 10-15 menit untuk menghilangkan telur
serangga dan kotoran lainnya

·      2. Air Drying
Pengeringan dengan udara berbeda dengan pengeringan dengan menggunakan sinar
matahari. Pengeringan ini dilakukan dengan cara menggantung bahan di tempat udara kering
berhembus. Misalnya di beranda atau di daun jendela. Bahan yang biasa dikeringkan dengan
metode ini adalah kacang-kacangan.
~ Kelebihan Pengeringan Alami adalah tidak memerlukan keahlian dan peralatan khusus,
serta biayanya lebih murah.
~ Kelemahan Pengeringan Alami adalah membutuhkan lahan yang luas, sangat tergantung
pada cuaca, dan sanitasi hygiene sulit dikendalikan.

b. Pengeringan Buatan
Pengeringan buatan terdiri dari:
·        1. Menggunakan alat Dehidrator
Pengeringan makanan memerlukan waktu yang lama. Dengan menggunakan alat
dehydrator, makanan akan kering dalam jangka waktu 6-10 jam. Waktu pengeringan
tergantung dengan jenis bahan yang kita gunakan.
·          2. Menggunakan oven
Dengan mengatur panas, kelembaban, dan kadar air, oven dapat digunakan sebagai
dehydrator. Waktu yang diperlukan adalah sekitar 5-12 jam. Lebih lama dari dehydrator
biasa. Agar bahan menjadi kering, temperature oven harus di atas 140o derajat Fahrenheit.

D. Dehidrasi pada buah dan sayur


Teknik pengeringan adalah teknologi pengurangan kadar air yang ada di dalam bahan
agar bahan dapat bertahan lebih lama. Teknik pengeringan juga dapat diartikan proses
pemindahan air dengan menggunakan panas atau aliran udara untuk mencegah atau
menghambat pertumbuhan jamur atau bakteri agar tiadak berkembang. Pada era modern
seperti saat ini teknik pengeringan banyak digunkan. Salah satu pengeringan yang digunakan
adalah teknik pengeringan sayuran dan buah-buahan.

Sayuran dan buah-buahan merupakan bahan yang mudah rusak dan busuk, maka
dibutuhkan teknologi yang dapat mempertahankan sayuran dan buah-buahan bertahan lebih
lama. Salah satu metode yang dapat digunkan adalah dengan mengolah sayuran dan buah-
buahan menjadi bahan olahan pangan. Dengan pengolahan ini dapat meningkatkan nilai
tambah produk sekaligus meningkatkan nilai ekonominya serta menjaga stabilitas harga di
pasaran. Industri pangan olahan untuk buah dan sayur yang prospektif pada saat ini adalah
pengolahan buah dan sayur menjadi kripik buah maupun kripik sayur.

Berbagai macam buah dan sayur yang ada disekitar kita, dapat diolah menjadi pangan
olahan kripik berbentuk kripik. Buah-buahan yang dapat diolah menjadi kripik buah dan telah
banyak diolah antara lain nangka, nanas, apel, wortel, salak, mangga, melon dan lainya.
Sedangkan sayur-sayuran yang banyak diolah antara lain waluh/labu, pepaya, terung, buncis,
kacang panjang, mentimun, jamur tiram dan sebagainya.

Dengan menggunakan mesin dan peralatan lainya, buah dan sayur itu, bisa kita tingkatkan
nilainya sehingga menjadi komoditi dengan nilai jual tinggi. Pada saat ini yang paling banyak
dipakai dan effisien dalam mengolah kripik buah dan sayur adalah mesin penggoreng hampa
udara (  vacuum frying). Selain itu ada mesin dewater yang dapat mengurangi kadar air pada
sayuran dan buah-buahan.

Tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas perkembangan
organisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau bakteri
terhenti sama sekali. Dengan demikian bahan yang dikeringkan mempunyai waktu simpan
lebih lama.

Proses pengeringan diperoleh dengan cara penguapan air. Cara tersebut dilakukan
dengan menurunkan kelembapan nisbi udara dengan mengalirkan udara panas di sekeliling
bahan, sehingga tekanan uap air bahan lebih besar dari tekanan uap air di udara. Perbedaan
tekanan itu menyebabkan terjadinya aliran uap air dari bahan ke udara.

E. Pengeringan buah-buahan dan sayuran dengan matahari

Penjemuran merupakan pengeringan alamiah dengan menggunakan sinarmatahari


langsung sebagai energi panas. Pengeringan secara penjemuranmemerlukan tempat yang
luas, wadah penjemuran yang luas serta waktu yanglama dan mutu yang sangat bergantung
dengan cuaca tetapi biaya yangdikeluarkan lebih sedikit. Hasil yang diperoleh seringkali
mengalamikerusakan oleh mikrobia dan lalat karena factor lama penjemuran
Ada 3 macam alat pengering dengan bertenagakan sinar matahari:
a.Tipe absorpsi dimana produk langsung dipanaskan dengan sinarmatahari. 

b.Alat pengering tidak langsung atau tipe konveksi dimana produk kontakdengan udara
seperti pada alat dehidrasi konvensional.

c..Alat pengering dengan system kombinasi kedua tipe diatas.

2.1 Pengertian Penggaraman dan Asam


Garam dipergunakan manusia sebagai salah satu metoda pengawetan pangan yang
pertama dan masih dipergunakan secara luas untuk mengawetkan berbagai macam
makanan. Garam dapat menimbulkan beberapa akibat kalau dimasukkan ke dalam
jaringan tanaman segar. Pertama, garam memiliki daya menahan secara selektif terhadap
mikroba yang terkontaminasi pada jaringan. Mikroba pathogen termasuk juga
Clostridium botulinum, kecuali Staphylococus aureus dapat dihambat pertumbuhannya
dengan konsentrasi garam sampai 10 – 12%. Tetapi banyak mikroba, khususnya spesies
Lactobacillus dan Leuconostoc dapat berkembang dengan cepatnya apabila terdapat
garam dan diikuti pembentukan asam yang dapat menghambat mikroba lainnya yang
tidak dikehendaki.
Garam dapat juga mempengaruhi aw pada suatu substrat sehingga dapat mengontrol
pertumbuhan mikroba. Beberapa mikroba, seperti bakteri halofilik, dapat tumbuh pada
larutan-larutan garam jenuh.
Penggaraman yang masih tradisional hanya dikerjakan dengan cara menaburkan Kristal
garam pada permukaan ikan, atau campuran antara kristal garam dan larutan garam.
Sedangkan pada penggaraman yang sudah maju digunakan alat yang dapat memasukkan
larutan garam ke dalam daging ikan. Cara penggaraman dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu metode penggaraman kering dan metode penggaraman basah.
Pada metode penggaraman kering ini prinsipnya adalah menggunakan garam dalam
bentuk padat atau Kristal. Ikan dimasukkan ke dalam keranjang atau ember, disusun
berlapis-lapis dari dasar sampai ke permukaan keranjang ganti berganti antara garam
dan ikan. Konsentrasi garam yang digunakan berkisar antara 30 dan 50% dari berat ikan.
Penggaraman dikerjakan beberapa hari lamanya.
Metode penggaraman basah pada prinsipnya menggunakan larutan garam. Jadi garam
Kristal dibuat larutan terlebih dahulu, kemudian digunakan untuk menggarami ikan.
Kadar garam yang digunakan pada metode basah adalah 18 – 40%. Waktu penggaraman
juga bervariasi tergantung pada jenis dan ukuran ikan. Setelah penggaraman selesai,
ikan lalu dijemur. Pengeringan hanya bertujuan mengurangi kadar air.
Asam merupakan salah satu penyusun dari berbagai bahan makanan dan minuman,
misalnya cuka, keju, dan buah-buahan. Menurut Arrhenius, asam adalah zat yang dalam
air akan melepaskan ion H+. Jadi, pembawa sifat asam adalah ion H+ (ion hidrogen),
sehingga rumus kimia asam selalu mengandung atom hidrogen. Ion adalah atom atau
sekelompok atom yang bermuatan listrik. Kation adalah ion yang bermuatan listrik
positif. Adapun anion adalah ion yang bermuatan listrik negatif.
Sifat khas lain dari asam adalah dapat bereaksi dengan berbagai bahan seperti logam,
marmer, dan keramik. Reaksi antara asam dengan logam bersifat korosif. Contohnya,
logam besi dapat bereaksi cepat dengan asam klorida (HCl) membentuk Besi (II) klorida
(FeCl2).
Berdasarkan asalnya, asam dikelompokkan dalam 2 golongan, yaitu asam organik dan
asam anorganik. Asam organik umumnya bersifat asam lemah, korosif, dan banyak
terdapat di alam. Asam anorganik umumnya bersifat asam kuat dan korosif. Karena
sifat-sifatnya itulah, maka asam-asam anorganik banyak digunakan di berbagai
kebutuhan manusia.
2.2 Sifat-Sifat Mikroorganisme dari Garam dan Asam
Mikroorganisme yang paling berperan dalam fermentasi sayuran adalah bakteri asam
laktat. Hampir semua jenis sayuran dapat difermentasi secara spontan oleh bakteri asam
laktat karena sayuran mengandung gula yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri
tersebut. Proses fermentasi asam laktat akan berlangsung secara alami apabila substrat
mengandung zat gula sekitar 4-20% (Buckle et al., 1987). Kubis putih yang dijadikan
substrat untuk fermentasi ini mengandung gula sekitar ± 9,5-10%. Selain gula, bakteri
asam laktat juga membutuhkan nutrisi lain seperti vitamin dan mineral untuk
mendukung pertumbuhannya.
2.3 Teknologi Pengolahan Acar Sayuran
Acar adalah sajian berbahan dasar sayur yang difermentasikan. Biasanya sayuran yang
digunakan untuk membuat acar adalah timun, wortel, cabai rawit, dan bawang merah.
Acar ini memiliki rasa yang sedikit asam karena menggunakan cuka pada saat proses
mengolahnya. Namun tingkat keasaman yang diberikan oleh acar tergantung pada selera
setiap orang yang berbeda. Karena ada acar yang lebih menonjolkan rasa manis daripada
asamnya. Selain itu, acar ada juga yang menggunakan bumbu dapur seperti kunyit
sebagai campurannya. Acar tersebut adalah acar kuning yang diharuskan melalui proses
memasak agar bumbunya meresap pada sayur yang telah dipotong-potong dan dapat
disantap dengan nasi hangat. Tetapi untuk acar mentah lebih sering dijadikan sebagai
pelengkap pada makanan Anda. Acar yang sering ditemukan adalah acar yang
digunakan sebagai pelengkap nasi goreng atapun martabak telur.
Acar yang merupakan pelengkap dari makanan ini memiliki manfaat yang terkandung di
dalamnya. Hasil fermentasi dari timun, wortel, bawang merah, dan cabai rawit ini
memiliki efek yang baik untuk tubuh kita asalkan jangan dikonsumsi terlalu sering
karena dapat membahayakan pencernaan. mengkonsumsi acar memiliki manfaat seperti,
rendahnya nilai kadar kolesterol dan kalori, memiliki kandungan gizi yang cukup
banyak karena walaupun terdapat fermentasi itu tidak merubah kandungan serat pada
timun hilang, mengandung zat besi, vitamin C dan K, memiliki kandungan sodium yang
tinggi, dan berfungsi sebagai antioksidan. Hal tersebut dapat membantu untuk
menyerang molekul yang dapat merusak sel kearah jantung ataupun kanker.
Dari segi rasa yang dihasilkan oleh acar didominasi oleh rasa asam akibat fermentasi.
Acar memiliki tiga jenis yang berbeda yaitu, acar mentah, acar kuning, dan acar bawang
merah atau cabai rawit. Acar mentah dan acar bawang merah ini memiliki rasa yang
tidak jauh berbeda karena memiliki rasa yang lebih asam daripada acar kuning. Acar
kuning sendiri memiliki kandungan cuka yang lebih sedikit dan acar kuning ini
menggunakan bumbu kunyit sebagai bahan campurannya dan kemudian acar kuning
harus dimasak. Terlebih lagi acar kuning ini lebih nikmat disajikan saat hangat.

Beda halnya dengan buah-buahan, untuk sayur-sayuran boleh hampir-hampir dikatakan


tidak ada produk olahannya yang telah mapan di Indonesia. Sayuran umumnya masih
diperdagangkan dalam bentuk segar. Teknologi pengolahan yang diterapkan ialah
fermentasi misal sayur asin dan pengeringan cabe kering, tong chai dll, yang sifatnya
masih sangat terbatas. Penanganan yang kurang baik menyebabkan produk hortikultura
terutama sayuran dan buah-buahan banyak kehilangan nilai ekonominya. Perlakuan
yang cermat pada komoditi segar akan menambah “shelf life-time” (masa kesegaran)
komoditi tersebut.
Manfaat sayuran bagi kesehatan sudah tidak diragukan lagi. Selain karena kandungan
serat pangannya, sayuran juga memiliki kandungan protein, karbohidrat, lemak dan
minyak, serta vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Antioksidan juga
menjadi salah satu zat penting yang terkandung pada sayuran, misalnya antioksidan jenis
beta-karoten pada wortel yang apabila dikonsumsi dalam jumlah dan kurun waktu
tertentu dapat melindungi tubuh dari pertumbuhan sel kanker dan penyakit
kardiovaskular (Basu dkk., 2001). Akan tetapi, kandungan gizi yang lengkap dan
tingginya kadar air pada sayuran menyebabkan mikrobia pembusuk mudah tumbuh dan
berkembang biak sehingga sayuran memiliki umur simpan yang pendek.
Fermentasi merupakan salah satu teknik pengawetan makanan yang dapat
memperpanjang umur simpan sayuran. Sayuran yang difermentasi dengan menggunakan
larutan garam atau cuka atau minyak kemudian disimpan dalam wadah tertutup selama
kurang lebih 5 minggu sehingga dapat awet hingga 2 tahun biasa disebut acar. Proses
fermentasi yang terjadi secara alami ini dipengaruhi oleh bahan utama yang digunakan
pada pembuatan acar, tipe mikroorganisme yang tumbuh, dan kondisi penyimpanan
selama proses fermentasi.
Fermentasi diawali dengan tumbuhnya Leuconostoc mesenteroides yang akan
mengondisikan lingkungan agar bakteri asam laktat lain seperti Lactobacilli dan
Pediococci dapat tumbuh. Bakteri asam laktat yang sangat penting pada pembuatan acar
secara tradisional adalah Lactobacillus plantarum. Selama fermentasi, bakteri asam
laktat yang tumbuh dapat mengubah gula pada bahan menjadi asam. Selain
menghasilkan flavor khas acar, fermentasi pada pembuatan acar juga dapat
meningkatkan gizi serta mempermudah kecernaannya di dalam tubuh (Sultana dkk.,
2014).
Acar dapat dibuat dengan menggunakan satu atau lebih jenis sayuran sebagai bahan
utamanya. Penelitian oleh Sultana dkk., (2014) telah meneliti pembuatan acar
menggunakan gabungan bahan utama wortel, cabai hijau, dan terong. Selama proses
fermentasi terjadi perubahan warna wortel dari oranye gelap menjadi oranye terang,
perubahan warna cabai hijau dari hijau terang menjadi hijau lembut, dan perubahan
warna terong dari ungu tua menjadi ungu muda. Terkadang terdapat warna hitam pada
acar yang disebabkan oleh Bacillus nigrificans yang dapat memproduksi pigmen hitam
larut air. Selama fermentasi, sayuran juga menyerap garam dengan cepat hingga
mencapai kesetimbangan tertentu dengan larutan garam di sekitarnya. Peran garam
selama fermentasi adalah dapat mencegah tumbuhnya mikrobia pembusuk yang tidak
diinginkan serta berkontribusi memberikan tekstur acar yang tidak terlalu keras namun
tidak terlalu lunak karena garam dapat mencegah terjadinya pelemahan jaringan pada
sayuran (Caplice dan Fitgerald, 1999; Fernandes, 2000).
Tekstur sayuran menjadi lebih lunak dibandingkan saat masih mentah karena adanya
mikrobia seperti Bacillus, Fusarium, Penicillium, Phoma, Cladosporium, Alternaria,
Mucor, Aspergillus, dan lain-lain yang dapat menghasilkan enzim pektinase dan
mengurai pektin (seperti dinding kokoh yang memberikan tekstur keras pada permukaan
sayuran mentah). Selain itu, tekstur lunak juga dapat disebabkan karena adanya
pertumbuhan Bacillus vulgates. Terkadang ketika kita mengonsumsi acar, perut akan
terasa kembung. Rasa kembung ini disebabkan oleh Enterobacter, Lactobacilli, dan
Piococci yang dapat menghasilkan gas pada proses pembuatan acar (Amoa-Awua dkk.,
1997; Jay dkk., 2005).
Salah satu sifat sayuran adalah cepat layu dan busuk akibat kurang cermatnya
penanganan lepas panen. Untuk memperpanjang umur simpannya dapat dilakukan
dengan berbagai pengolahan, misalnya acar, saeurkraut, sayuran asin, kerupuk, dan lain-
lain. Sayuran ini diolah dengan cara peragian dan menggunakan garam sebagai zat
pengawetnya. Proses pembuatanya sebenarnya tidak berbeda jauh berbeda dengan sayur
asin, hanya saja sayurannya setelah layu diiris tipis-tipis (Buckle, 2007).
Garam digunakan manusia sebagai salah satu metoda pengawetan pangan yang pertama
dan masih dipergunakan secara luas untuk mengawetkan berbagai macam makanan.
Garam digunakan secara luas dalam pengawetan produk-produk sayuran, dimana
mentimun, kubis dan bawang merupakan contoh-contoh yang penting dimasyarakat
barat. Garam adalah bahan yang sangat penting dalam pengawetan ikan, daging dan
bahan pangan lainnya di indonesia.
Garam memberi sejumlah pengaruh bila ditambahkan pada jaringan tumbuh-tumbuhan yang
segar. Pertama-tama garam akan berperan sebagai penghambat selektif pada
mikroorganisme pencemar tertentu. Mikroba pembusuk atau proteollitik dan juga
pembentuk spora adalah yang paling mudah terpengaruh walau dengan kadar garam
yang rendah sekalipun (yaitu sampai 6%)
(Buckle, 2007).
Garam juga mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, jadi mengendalikan
pertumbuhan mikroorganisme dengan suatu metoda yang bebas dari pengaruh racunnya.
Beberapa organisme seperti bakteri halofilik dapat tumbuh dalam larutan garam yang
hampir jenuh, tetapi mikroorganime ini membutuhkan waktu penyimpanan yang lama
untuk tumbuh dan selanjutnya terjadi pembusukan.

2.4 Kerusakan Karena Mikroorganisme Dari Produk Acar


Kerusakan pangan adalah setiap perubahan sifat-sifat fisik, kimiawi, atau
sensorik/organoleptik yang ditolak oleh konsumen pada bahan pangan yang masih segar
maupun yang telah diolah.  Jika terjadi perubahan pada bahan makanan sehingga
nilainya menurun, maka dinyatakan makanan tersebut telah rusak atau
membusuk.  Perubahan yang nyata terlihat dari perubahan sensorik (penampakan,
konsistensi, bau dan rasa), sehingga konsumen menolak (Sinell 1992).  Bahan makanan
yang busuk atau rusak dinyatakan sebagai tidak layak dikonsumsi atau unsuitable for
human consumption.  Kelayakan bahan makanan untuk dimakan tergantung dari faktor-
faktor: (1) penilaian individu, (2) budaya, adat istidadat, (3) agama, dan (4) peraturan.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan kelayakan dikonsumsi secara tepat sulit
dilaksanakn karena melibatkan faktor-faktor non-teknis, sosial ekonomi, dan
budaya.  Idealnya makanan tersebut harus (1) bebas polusi dari setiap tahap produksi
dan penanganan makanan, (2) bebas dari perubahan-perubahan kimia dan fisik, (3)
bebas mikroorganisme dan parasit yang dapat menyebabkan penyakit atau pembusukan
(Winarno 1993). 
Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh (1) mekanis dan fisik, (2) kimia, dan (3)
mikrobiologis. Kerusakan bahan pangan tersebut menyebabkan bahan pangan menjadi
tidak layak untuk dikonsumsi (biasanya karena mekanis/fisik, kimia dan mikrobiologi)
atau bahkan menjadi tidak aman dikonsumsi, artinya dapat mengganggu kesehatan
konsumen (karena mikrobiologis).
Kerusakan mikrobiologi disebabkan oleh mikroorganisme pembusuk, baik oleh bakteri,
kapang maupun oleh kamir. Jenis pangan yang dapat dirusak oleh mikroorganisme
tergantung pada komposisi bahan baku dan keadaannya setelah diolah. Pada umumnya
golongan bakteri mudah merusak bahan pangan yang banyak mengandung protein dan
berkadar air tinggi (terutama memiliki aktivitas air di atas 0.90). Kapang umumnya
merusak bahan pangan yang banyak mengandung pektin, pati, dan selulosa. Sedangkan
kamir menyerang bahan pangan yang banyak mengandung gula. Kerusakan
mikrobiologi pada bahan pangan antara lain ditandai dengan timbulnya kapang, bau
yang menyimpang (busuk), lendir, dan terjadinya perubahan warna.
Bakteri Clostridium putrefaciens dan Clostridium sporogenes dikenal sebagai penebab
kerusakan daging dan sayuran, terutama produk dalam kaleng, karena bakteri bersifat
proteolitik ananerobik. Proteus vulgaris sering merusak telur dan daging. Micrococcus
menyebabkan terbentuknya lendir pada susu, Pseudomonas menyebabkan ketengikan
susu pasteurisasi. Lactobacillus sering menyebabkan kerusakan pada minuman
beralkohol. Micrococcus biasanya lebih tahan terhadap perubahan lingkungan seperti
suhu, garam, pengeringan, sehingga sering menyebakan kerusakan makanan olahan,
seperti susu yang telah dipasteurisasi, daging, dan sayuran yang telah diasin.
Pertumbuhan kapang pada makanan biasanya ditandai seperti kapas yang dapat terlihat
oleh mata. Kapang dapat tumbuh pada makanan seperti keju, selai, dan buah-buahan
yang busuk. Kapang yang termasuk ordo Mucorales hidup dari sisa bahan pertanian
(saprofit) dan biasanya merupakan sumber kerusakan pada bahan-bahan yang telah
dikeringkan, misalnya jaeh, biji-bijian, kacang-kacangan, kulit, dan kayu. Jenis kapang
terpenting antara lain Rhizopus nigrificans yang dapat tumbuh pada roti dan
menimbulkan warna hitam yang tidak disukai.
Aspergillus flavus merusak makanan berkadar gula cukup tinggi seperti jam, jeli, sirup dan
manisan, serta dapat mengubah warna makanan, misalnya dari kuning menjadi coklat
kehitaman. Selain itu, Aspergillus flavus ini juga memproduksi aflatoksin, yaitu suatu
racun/toksin yang berbahaya bagi manusia dan hewan, misalnya sering tumbuh pada
kacang tanah, kopra, jagung dan beras. Aspergillus glaucus biasanya tumbuh pada
buah-buahan yang dikeringkan yang berkadar gula tinggi seperti pisang sale dan kurma.
Kamir Rhodotorulla bersifat fermentatif yang sering tumbuh pada daging dan pickles
(acar/asinan) yang dapat menyebabkan terjadikan kerusakan produk dan perubahan
warna.

Anda mungkin juga menyukai