Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS ANESTESI

DEBRIDEMEN ULKUS PEDIS SINISTRA


DENGAN ANESTESI REGIONAL SPINAL

Disusun oleh:
Alvenia Meilina Ednisari (01.211.6320)
Aulia Risma Lestari (01.211.6339)

Pembimbing:
dr. Said Shofwan, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA
SEMARANG
2015

HALAMAN PENGESAHAN

NAMA : Alvenia Meilina Ednisari - Aulia Risma Lestari


NIM : 01.211.6320 – 01.211.6339
FAKULTAS : KEDOKTERAN UMUM

0
UNIVERSITAS : UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
BIDANG PENDIDIKAN : ANESTESI
PEMBIMBING : dr. Said Shofwan, Sp.An

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Juni 2015

Pembimbing,

dr. Said Shofwan, Sp.An

DAFTAR MASALAH

No Masalah aktif Tanggal Keterangan No Masalah pasif Tanggal Keterangan


1 Ulkus Diabetik 16/06/15
Pedis Sinistra

1
LAPORAN KASUS

STATUS PENDERITA

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. Panji
Umur : 55 tahun

2
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Status : Menikah
No RM : 01224814
Tanggal masuk : 16 Juni 2015
Pasien bangsal : Ruang Naim
Alamat : Rejomulyo Semarang Timur

2. Keluhan Utama
Pasien mengeluh terdapat luka pada tumit kiri.

2.1. Riwayat Penyakit Sekarang


Luka pada tumit kiri timbul sejak 2 minggu SMRS. Riwayat
trauma disangkal. Pasien memiliki riwayat DM sejak 10 tahun yg lalu
dengan pengobatan tidak teratur.

2.2. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : disangkal
4. Riwayat DM : ada
5. Riwayat stroke : disangkal
6. Riwayat kejang : disangkal
7. Riwayat penyakit maag : disangkal
8. Riwayat alergi obat : disangkal
9. Riwayat sakit di ginjal : disangkal

2.3. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat hipertensi : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat stroke : disangkal
6. Riwayat kejang : disangkal

2.4. Riwayat Pribadi


1. Riwayat merokok : ada
2. Riwayat komsumsi alcohol : disangkal

3. Persiapan Pre Operasi


3.1 Anamnesis (09 Juni 2015)

3
A (Allergy) : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan
dan penyakit
M (Medication) : (-)
P (Past Illnes) : Riwayat DM (+), HT (-), Asma (-)
L (Last meal) : Puasa mulai pukul 06.00 WIB (8 jam sebelum
operasi)
E (Environment) : Pasien disuria dan nyeri pinggang kanan

3.2. Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (17 Juni 2015)


 TD : 130/80 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 RR : 18 x/menit
 SaO2 : 100 %
 Suhu : 36,5oC
 TB : 175 cm
 BB : 90 Kg
 Jantung : BJ I/II normal
 Paru : suara dasar vesikuler, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
 Mulut, gigi dan jalan nafas : gigi palsu (-), obstruksi (-)
 Ekstremitas : Oedem ekstremitas(-),Akral Dingin(-)
 Lain lain : dbn

2.3. Pemeriksaan Penunjang (09 Juni 2015)


HEMATOLOGI
Darah rutin (WB EDTA) Nilai Normal
1. Leukosit : 6,6 103/uL 3,8-10,6 103/uL
2. Hemoglobin : 13,8 g/dL (L) 13,2-17,3 g/dL
3. Hematokrit : 42,5 % (L) 33-45 %
4. Trombosit : 296 103 /u (L) 150-440 103 /uL
5. Kimia Klinik (Serum)
a. Gula Darah Puasa : 90 mg/dL 74-106 mg/dL

4. Laporan Anesthesi Durante Operasi


Tindakan operasi : Debridemen ulkus pedis sinistra
Jenis anestesi : Regional Spinal, posisi puncture di L3 – L4, level
median.
Lama anestesi : 07.20 – 08.15 WIB
Lama operasi : 07.25 – 08.15 WIB
Premedikasi : Narfoz 8 mg (IV)
Induksi : Bucain Spinal 0.5% Heavy 20mg
Maintenance : O2 2 L/menit
Adjuvantia : Remopain 30 mg/ml

4
Reverse :-
Terapi cairan : kristaloid RL 500 ml
Koloid gelafusal

Pematauan Tanda Vital

Post operasi : Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery


room

4.1 Tindakan Anestesi Regional


 Pasien diposisikan duduk, dilakukan punksi antara L3-L4 (di
daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum spinal.
Setelah menembus ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan
diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai ruangan
subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya
cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.
 Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid.
 Keberhasilan anestesi jika pasien mulai terasa kesemutan pada
kedua tungkai dan diuji dengan tes motorik dengan pasien diminta
mengangkat kaki dan menekuk lutut.
 Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan
selanjutnya.

4.2 Pemberian Cairan


Cairan masuk
Pre operatif : RL 500 cc
Durante operatif : Gelafusal cc
RL 500 cc

5
Cairan keluar
Perdarahan : ± 300-400 cc
Produksi urin : ± 55 cc/jam
Pasca Bedah di Recovery Room (RR)

No. Kriteria Skor


1. Dapat mengangkat tungkai bawah 0
2. Tidak dapat menekuk lutut, tetapi dapat mengangkat kaki 1
3. Tidak dapat mengangkat tungkai bawah, tetapi dapat menekuk lutut 2
4. Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali 3
Score <2, pasien boleh pindah ruangan
 Bromage Score : 1

Recovery Room
 Masuk jam : 08.15 WIB
 Pulang jam : 08.35 WIB

Keadaan Umum : Baik


Status mental : Sadar penuh
Pernafasan : Teratur
Terapi Oksigen : Nasal Canul

6
Sirkulasi anggota badan : Merah muda
Kulit : Kering
Posisi Pasien : Tidur terlentang
Nadi : Teratur
Infus : RL
Tanda Vital
 TD : 110/72 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 RR : 20 x/menit
 SaO2 : 100 %
 TB : 175 cm
 BB : 90 Kg

Instruksi Post Operasi Dengan Anestesi Spinal


Tidur dengan bantal tinggi selama 24 jam
Infus : Tutofusin 20 tpm
Antibiotika : sesuai TS bedah
Inj. Remopain 3 x 30 mg iv bila nyeri program setiap 8 jam
Bila muntah, kepala dimiringkan, head down dan suction aktif
Boleh langsung minum, makan tunggu peristaltik usus (+)
Bila TD  90 mmHg (systole), beri :
 Loading cairan RL  250 ml iv
 Inj. Ephedrine HCL  10 mg iv
 Hub. dr. anestesi

7
PEMBAHASAN

Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang
menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal
atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk
menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi.

Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek


fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi
anestesi lokal di ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan
mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.

1. Pre Operatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk


dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi
terjadinya kecelakaan anastesi. Evaluasi pre operasi meliputi history taking
(AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang
berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status
fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi
lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis
optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan
mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan
dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent. Dari anamnesis
didapatkan pasien mengeluh terdapat luka yang tidak kunjung sembuh

8
selama 2 minggu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TTV baik. Dari
pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium dalam batas normal.
Pada pasien ini dikarenakan adanya riwayat DM maka status anestesi
pasien adalah ASA 2 (Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang dan tidak ada keterbatasan fungsional).

History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat


alergi terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau
skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya
manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga
harus digali begitu juga riwayat pengobatan, karena adanya potensi terjadi
interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi
sebelumnya, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah. Riwayat
kebiasaan sehari-hari seperti merokok, minum alkohol, menggunakan obat
penenang, dan narkotika. Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi
satu sama lain. Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi
abnormalitas yang tidak muncul pada history taking, sedangkan history
taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu
yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada
pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital
(tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway,
jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis
juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila
ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.

Pemeriksaan jalan nafas daerah leher dan kepala diperiksa untuk


mengetahui adanya trismus. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut,
lidah relatif besar, leher pendek, gangguan fleksi extensi leher, deviasi
trachea sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah akan
menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker harus sudah
diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan.

9
Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus
bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari
Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek
mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.

Pemeriksaan laboratorium memeriksa kadar hematokrit atau


hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram,
dan foto polos toraks pada semua pasien. Klasifikasi status fisik ASA
bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak
dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA
diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik
ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas
perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor
yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak
mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu,
klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen
anestesi, terutama teknik monitoring.

Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa


limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi


aktivitas normal.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan


memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada
aktivitas sehari-hari.

10
Kelas V : Pasien sekarat yang akan menyang tidak dapat
hidup/bertahanvdalam 24 jam, dengan atau tanpa
pembedahan.

Kelas E : Bila operasi dilakukan darurat/cito

Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi


isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko
utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8
jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih,
teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.

Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan
sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan.
Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi
cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal,
keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru.
Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

Kebutuhan Cairan Selama Operasi


Jenis Operasi Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Ringan 4 cc/kgBB/jam
Sedang 6 cc/kgBB/jam
Berat 8 cc/kgBB/jam

11
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan
mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan
mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
Penggantian Cairan Selama Puasa
 50 % selama jam I operasi
 25 % selama jam II operasi
 25 % selama jam III operasi

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anesthesia diantaranya:

• Meredakan kecemasan dan ketakutan


• Memperlancar induksi anesthesia
• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
• Meminimalkan jumlah obat anestetik
• Mengurangi mual muntah pasca bedah
• Menciptakan amnesia
• Mengurangi isi cairan lambung
• Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron


4mg/ml. Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif
yang dapat menekan mual dan muntah.

2. Durante Operasi
2.1 Pemakaian Obat Anestesi

12
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine HCL
yang merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional
bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu
dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer
jaringan tubuh, bersifat reversibel. Mula kerja lambat dibanding lidokain,
tetapi lama kerja 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang
(supine). Oleh karena lama kerja yang panjang, maka sangat mungkin
menggunakan obat anestesi lokal ini dengan teknik satu kali suntikan.
Untuk prosedur pembedahan yang lebih lama dapat dipasang kateter dan
obat diberikan kontinyu sehingga resiko toksisitas menjadi berkurang oleh
karena selang waktu pemberian obat yang cukup lama.

Rumus bangun bupivacaine HCL

Cara kerja larutan hiperbarik bupivakain adalah melalui


mekanisme hukum gravitasi, yaitu suatu zat/larutan yang mempunyai berat
jenis yang lebih besar dari larutan sekitarnya akan bergerak ke suatu
tempat yang lebih rendah. Dengan demikian larutan bupivakain hiperbarik
yang mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke daerah yang lebih
rendah dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik, sehingga
mempercepat penyebaran larutan bupivakain hiperbarik tersebut.

2.2 Prosedur anestesi

Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk membungkuk


dengan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari

13
perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang
punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan
pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan povidon
iodin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan dengan arah median,
ditandai dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian dipasang spuit yang
berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.

Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui


penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi
penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100
mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi
spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi
maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg secara
intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini tidak terjadi hipotensi,
sehingga tidak diberikan bolus ephedrin sebanyak 10mg secara intravena.
Pemberian remopain 30 mg secara intravena diberikan sesaat
sebelum operasi selesai. Remopain adalah golongan NSAID (Non
steroidal anti-inflammatory drug) yang bekerja menghambat sintesis
prostaglandin. Remopain diberikan untuk mengatasi nyeri akut jangka
pendek post operasi, dengan durasi kerja 6-8 jam.

Terapi Cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid,
atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa
polimer besar. Pada kasus ini selama operasi digunakan cairan koloid yaitu
gelafusal.Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk
sebagian besar intravaskular.

14
DAFTAR PUSTAKA

Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.


2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins.

Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis


Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.

Keat Sally, Simon T, Alexander B, Sarah L. 2013. Anaesthesia on the


move 1th editional. U.K. Hodder Arnold

15

Anda mungkin juga menyukai