Anda di halaman 1dari 39

BAGIAN ANASTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN LAPORAN KASUS


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA AGUSTUS 2020

HIPONATREMIA BERAT

OLEH :
Andi Mujtahida
111 2019 1001
SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Iswan Wahab, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


KEPANITERAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya
serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabat dan
keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
“Hiponatremia Berat” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik di Bagian Bedah.
Selama persiapan dan penyusunan laporan kasus ini rampung, penulis
mengalami kesulitan dalam mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran, dan
kritik dari berbagai pihak akhirnya laporan kasus ini dapat terselesaikan serta tak
lupa penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini.
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan rahmat
yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat
ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Saya
berharap sekiranya makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Makassar, Juli 2020
Hormat Saya,

Penulis
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Andi Mujtahida
Stambuk : 111 2019 1001
Judul Referat : Hiponatremia Berat
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus pada tanggal Agustus 2020 dan telah
mendapatkan perbaikan. Tugas ini dalam rangka kepaniteraan klinik pada
Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Makassar, Agustus 2020

Menyetujui,

Pembimbing Penulis

dr. Iswan Wahab, Sp.An Andi Mujtahida


BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. SI

Nomor RM : ***412

Tanggal Lahir : 09 Maret 1963

Usia: 54 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Berat Badan : 60 Kg

Tinggi Badan : 155 cm

Alamat : jln. Tongkang, Rt 014/001, Senen, Jakarta Pusat

Masuk IGD : 12 Februari 2018 pukul 09:18 WIB

Masuk ICU: 13 Februari 2018 pukul 00:10 WIB

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Penurunan kesadaran dan muntah-muntah sejak 1 hari sebelum

masuk rumah sakit


Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSPAD Gatot Soebroto

dibawa oleh keluarganya dengan keluhan penurunan kesadaran dan

muntah-muntah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien belum

pernah mengalami hal ini sebelumnya dan keluhan yang di rasakan

pasien muncul setelah pasien melakukan operasi pada kakinya, setelah

pasien melakukan operasi pasien sering muntah-muntah sehingga

menyebabkan pasien menjadi lemas dan kesadarannya menurun.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat SLE, arthritis rheumatoid : disangkal

Riwayat asma, tuberculosis, alergi : disangkal

Hipertensi, Osteoporosis : (+)

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluarga sakit serupa : disangkal

Riwayat Penggunaan Obat


Pasien mengkonsumsi obat amlodipin untuk menangani penyakit

hipertensinya.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan dilakukan di ruang ICU Tanggal 13 Februari 2018 pukul

00:30 WIB.

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : GCS E M V
3 4 3

Tanda vital

0
Suhu : 36,5 C

HR : 114 x/menit

RR : 22 x/menit

TD : 133/79 mmHg

Status gizi

BB : 60 kg

TB : 155 cm

2
BMI : 60/(1,55)

: 25 (normoweight)

Kepala : kesan normocephal, rambut berwarna hitam, tidak


mudah dicabut

Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sklera

ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), edema palpebra (-/-)

Hidung : alat oksigen terapi NC 34 LPM, sekret (-/-), epistaksis

(-/-)

Mulut : mukosa kering (-/-), bibir sianosis (-), gusi berdarah (-)

Tenggorok : tidak dilakukan pemeriksaan

Telinga : normotia, sekret (-/-)

Leher : jarak mental-hyoid 3 jari, jarak hyoid-thyroid 2 jari,

pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),

deviasi trakea (-), retraksi otot bantu napas (-)

Thoraks : bentuk normochest

Pulmo

Inspeksi :retraksi (-), gerakan dada simetris kanan-kiri

Palpasi :vocal fremitus tidak dilakukan

Perkusi :sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi :suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),

wheezing (-/-)
COR

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Auskultasi : iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi : batas jantung kesan tidak membesar

Palpasi : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, distensi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), hati dan limpa tidak teraba

Ektremitas

Superior :akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-), edema (-/-)

Inferior:akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-), edema (-/-)


IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada tanggal 15 Februari 2018 pukul

10:04 WIB. Sedangkan pemeriksaan rontgen thoraks dilakukan pada

tanggal 13 Februari 2018.

Pada pemeriksaan rontgen thoraks, didapatkan kesan efusi pleura kiri,


infiltrat dilapangan bawah paru kanan dan lapangan atas-tengah paru kiri,

DD/ Pneumonia, TB paru, CVC dengan tip proyeksi vena kava superior,

tak tampak pneumotoraks, pneumomediastinum, maupun emfisema

subkutis.

V. DIAGNOSIS KERJA

- Hiponatremia Berat

- Hipokalemia

- Efusi Pleura kirI

VI. PENATALAKSANAAN

• Medikamentosa

IVFD Nacl 3% 40 ml/jam

Nacl 0.9% 20 ml/jam

Drip KCL meq selama 4 jam KCL 50/51 2 ml/jam

• Injeksi:

Omeprazol 2x40 mg IV

Ondansetron 3x8 mg IV

Vit.C 1x410 mg IV

NB 5000 1x1 amp

• PNG 1:Sukralfat 4x10 ml

Amlodipin 1x10 mg

Candesartan 1x10 mg

• DIIT:

Peptisol 6x150 ml
• Non-medikamentosa
Head up 450

Observasi KU, BC, TV

Chest physioheraphy

Mobilisasi bertahap

Ceklab IW

Pasang CVC

Fotothoraks AP

VII. PROGNOSIS

Ad Vitam : Malam

Ad Functionam : Malam

Ad Sanationam : Bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Seseorang dikatakan hiponatremia, bila konsentrasi natrium plasma


dalam tubuhnya turun lebih dari beberapa miliekuivalen dibawah nilai normal
(135-145 mEq/L) dan hipernatremia bila konsentrasi natrium plasma
meningkat di atas normal. Hiponatremia biasanya berkaitan dengan
hipoosmolalitas dan hipernatre tremia berkaitan dengan hiper-
osmolalitas.8,10,12

Hiponatremia merupakan suatu kondisi yang sering ditemukan pada


pasien-pasien dengan keganasan. Keadaan hiponatremia dapat terjadi
bersamaan atau mendahului diagnosis suatu keganasan. Hiponatremia terkait
kanker bisa mempengaruhi respon terhadap terapi kanker maupun
kesintasan pasien.21

B. ETIOLOGI
Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan
hiponatremia, termasuk:
 Obat-obat tertentu
 Pil diuretik, khususnya diuretik thiazide
 Sirosis
 Masalah ginjal
 Gagal jantung kongestif
 Syndrome of inappropriate anti diuretic hormone (SIADH)
 Minum air terlalu banyak selama olahraga (hiponatremia exertional)
 Perubahan hormonal akibat insufisiensi kelenjar adrenal (penyakit
Addison)
 Perubahan hormonal karena tiroid yang kurang aktif (hipotiroidisme)
 Polidipsia primer
 Ekstasi
 Muntah kronis atau diare parah
 Dehidrasi
 Diet

C. KLASIFIKASI
Hiponatremi dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok:
1. Berdasarkan Osmolalitas Plasma
a. Hiponatremia Isotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma
normal yaitu 280-285 mOsm/Kg/H2O.2
b. Hiponatremia Hipotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma
normal yaitu < 280 mOsm/Kg/H2O. Hiponatremia hipotonik selalu
menggambarkan ketidakmampuan ginjal dalam mengekskresikan cairan
yang masuk. Berdasarkan jumlah cairan intravaskular hiponatremia
hipotonik dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Hipovolemik
Hiponatremia hipotonik hipovolemik dapat terjadi akibat kehilangan
natrium renal atau ekstrarenal, dan penyebab kehilangan dapat dibedakan
berdasarkan konsentrasi natrium urin. Pada kondisi ini terjadi penurunan
jumlah CES dan deplesi solut. Hiponatremia dengan deplesi volume dapat
terjadi pada berbagai keadaan. Gejala klinis dari deplesi volume yaitu
penurunan tekanan darah ortostatik, peningkatan denyut nadi, keringnya
membran mukosa dan turgor kulit menurun. Pada pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan peningkatan blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin dan peningkatan asam urat.2
 Gangguan gastrointestinal
Diare dan muntah yang berlebihan dan tidak langsung diberi
cairan pengganti dapat menyebabkan kehilangan sejumlah cairan dan
natrium. Pada pemeriksaan laboratorium akan ditemukan penurunan
natrium urin pada keadaan diare, tetapi mungkin dapat meningkat
pada pasien dengan muntah yang berlebihan sehingga pemeriksaan
laboratorium yang baik dalam menggambarkan deplesi volume yaitu
pemeriksaan klorida.2
 Keringat yang berlebihan
Aktifitas fisik yang berlebihan seperti maraton dapat
menyebabkan deplesi volume, kehilangan natrium dan klorida pada
keringat yang berlebihan.2
 Penggunaan diuretik yang berlebihan
Menurut literatur, 73 % kasus hiponatremi disebabkan karena
penggunaan thiazid, 20% karena kombinasi thiazid dengan
2
antikaliuretik dan 7 % disebakan oleh furosemid.

 Cerebral salt wasting syndrome (CSWS)


CSWS merupakan suatu sindroma yang terjadi setelah prosedur
neurosurgikal ataupun setelah terjadi trauma kepala. Pada kondisi ini
AVP disekresikan karena stimulasi baroresptor. 2
 Defisiensi mineralokortikoid
Pada kondisi ini terjadi kegagalan dalam menekan pelepasan AVP
akibat hipoosmolalitas.2

2. Euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan adanya
kelompok sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan menurut
pemeriksaan osmolalitas urin. Hal ini terjadi karena intake cairan yang
berlebihan sedangkan ginjal tidak mampu untuk mengeksresikan. Hal ini
dapat terjadi pada keadaan dibawah ini:
 SIADH (syndrome inappropiate anti diuretic hormon): Konsentrasi
natrium yang rendah karena kelenjar hipofisis di dasar otak
mengeluarkan terlalu banyak hormon antidiuretik.
 Sindroma nefrogenik.
 Defisiensi glukokortikoid.
 Hipotiroid : Pada hipotiroid terjadi peningkatan resistensi vaskular dan
penurunan curah jantung yang menyebakan gangguan perfusi ginjal.
 Keringat yang berlebihan.
 Intake cairan yang rendah.
 Polidipsia primer : Polidipsia primer terjadi pada 20 % pasien psikiatrik
khususnya skizofrenia. Pada kondisi ini intake cairan berlebihan tidak
diikuti dengan diuresis.2

3. Hipervolemik
Hiponatremia hipotonik hipervolemik terjadi akibat adanya peningkatan
total cairan tubuh yang selanjutnya dapat dibedakan dengan pemeriksaan
konsentrasi natrium pada urin. Dapat terjadi karena kegagalan ginjal dalam
mengkeksresikan cairan. Pada pasien ini ditemukan edema karena retensi
cairan dan natrium.2
 Gagal jantung
Hiponatremia hipervolemik pada gagal jantung pada awalnya terjadi
akibat penurunan curah jantung dan tekanan darah, yang menstimulasi
vasopressin, katekolamin dan renin-angiotensin-aldosteron. Kadar
vasopressin yang meningkat telah dilaporkan pada pasien dengan
disfungsi ventrikel kiri sebelum gagal jantung muncul. Pada pasien
gagal jantung yang memburuk, berkurangnya stimulasi
mekanoreseptor di ventrikel kiri, sinus karotis, arkus aorta dan arteriol
aferen ginjal memicu peningkatan aktivitas simpatis, system RAA, dan
pelepasan vasopressin tanpa rangsang osmotik, ditengah-tengah
berbagai neurohormon lain. Walaupun total air tubuh meningkat,
peningkatan aktivitas simpatis ikut menyebabkan retensi natrium dan
air. Pelepasan vasopresin yang bertambah menyebabkan
bertambahnya jumlah saluran akuaporin di duktus koligentes ginjal. Ini
memacu retensi air yang bersifat abnormal dan hiponatremia
hipervolemik.2
 Sirosis
Hiponatremi yang terjadi pada pasien sirosis dikarenakan gagal
jantung, pelepasan AVP.2
 Sindroma nefrotik, gagal ginjal akut dan kronik.2

c. Hiponatremia hipertonik
Jika konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L dan osmolalitas plasma
normal yaitu >285 mOsm/Kg/H2O. Contoh : hiperglikemia dan pemberian
cairan hipertonik seperti manitol.2

2. Berdasarkan konsentrasi natrium plasma:


 Hiponatremia ringan
Konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L
 Hiponatremia sedang
Konsentrasi natrium plasma < 130 mEq/L
 Hiponatremia berat
Konsentrasi natrium plasma < 120 mEq/L.2

3. Berdasarkan konsentrasi ADH


 Hiponatremia dengan ADH meningkat
Peningkatan ADH dikarenakan deplesi volume sirkulasi efektif yang
menyebabkan Na keluar berlebihan dari tubuh yaitu ginjal (diuretik, salt-losing
nephropaty, hipoaldosteron) dan non ginjal seperti diare. 2
Peningkatan ADH tanpa disertai deplesi volume misalnya pada SIADH. 2
 Hiponatremia dengan supresi ADH fisiologis
Polidipsia primer atau gagal ginjal merupakan keadaan dimana eksresi
cairan lebih rendah dibanding asupan cairan yang menimbulkan respons
fisiologis untuk supresi sekresi ADH.2

4. Berdasarkan waktu
 Hiponatremia akut
Disebut akut bila kejadian hiponatremi berlangsung kurang dari 48 jam.
Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran
dan kejang. Hal ini terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari
ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini
disebut juga hiponatremi simptomatik atau hiponatremi berat. 2
 Hiponatremia kronik
Disebut kronik bila kejadian hiponatremia berlangsung lambat yaitu lebih
dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti
penurunan kesadaran ataupun kejang. Gejala yang terjadi seperti mengantuk
dan lemas. Kelompok ini disebut juga hiponatremi asimptomatik atau
hiponatremi ringan.2

D. PATOFISIOLOGI
Osmolalitas tubuh diatur oleh sekresi arginin vasopresin (AVP) dan
rangsangan haus. AVP merupakan hormon antidiuretik yang dihasilkan oleh
hipotalamus dan di transportasikan melalui axon ke hipofisis posterior. AVP
berperan dalam mengatur homeostasis. Aktivasi reseptor AVP menyebabkan
ekskresi cairan berkurang, regulasi AVP juga diatur oleh baroresptor di sistem
saraf pusat dan sistem kardiopulmonal. Natrium serum merupakan hasil bagi
dari jumlah natrium dengan volume plasma. Osmolalitas plasma normal yaitu
280-285 mOsm/Kg/H20.2,3,4,5
1. Hiponatremia Isotonik
Pada kondisi ini jumlah natrium plasma sebenarnya dalam keadaan
normal. Isotonik hiponatremi terjadi pada keadaan hiperlipidemia ataupun
hiperproteinemia. Plasma tersusun atas cairan dan solut (zat terlarut).
Hiperlipidemia dan hiperproteinemia meningkatkan solut plasma dan
menurunkan jumlah cairan plasma, sehingga pada keadaan ini terjadi
pseudohiponatremi. Dimana denominator dalam penghitungan jumlah natrium
plasma menjadi lebih tinggi sehingga kadar natrium plasma menjadi
turun.2,3,4,5
2. Hiponatremia Hipotonik
Osmolalitas antara cairan intraseluler sama dengan cairan
ekstraseluler. Pada keadaan hiponatremi hipotonik, jumlah cairan plasma
lebih besar dibandingkan jumlah solut sehingga osmolalitas plasma
menjadi turun.2,5
a) Hiponatremia Hipotonik Euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan adanya
kelompok sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan menurut
pemeriksaan osmolalitas urin. Kondisi euvolemik dengan osmolalitas
urin <100 mOsm/kg menunjukkan kondisi seperti polidipsia psikogenik
dan low-solute potomania.2,3,4,5
Polidipsia psikogenik (polidipsia primer) muncul paling sering
pada pasien skizofrenik, terlihat dari adanya intake air yang berlebihan,
dan biasanya melebihi 10 l/hari. Kondisi euvolemik dipertahankan
dengan supresi osmotik terhadap pelepasan AVP dan eksresi ginjal
terhadap H2O bebas. Sehingga, urin terdilusi dan osmolalitas rendah
(biasanya < 100 mOsm/kg).2,3,4,5
Mekanisme hiponatremia masih belum jelas, namun dapat
berhubungan dengan adanya reduksi osmotik threshold untuk
pelepasan AVP dan disregulasi stimulus osmotik terhadap rangsangan
haus. Terlebih lagi, pada penggunaan antipsikotik tipikal dapat
memperburuk polidipsia, sehingga lebih dianjurkan penggunaan
antipsikotik atipikal pada pasien seperti ini. 2
Low-solute potomania disebabkan adanya intake yang
berlebihan terhadap cairan rendah solut yang menyebabkan
hiponatremia hipotonik euvolemik. Contohnya adalah konsumsi alkohol
yang berlebihan yaitu bir, yang rendah solut (seringkali < 5 mEq/L dari
natrium). Cairan rendah solut dapat menyebabkan dan memperburuk
hiponatremia terutama pada pasien sirosis alkoholik, dimana seringkali
mengalami peningkatan sirkulasi AVP dan memiliki insufisiensi ginjal.
Meskipun begitu potomania sendiri seringkali tidak sufisien untuk
mengakibatkan kondisi hiponatremia, sehingga adanya disregulasi dan
gangguan pada ekskresi ginjal dibutuhkan untuk dapat menyebabkan
kondisi hiponatremia. 2
Reset osmostat syndrome (osmolalitas urin bervariasi) and
cerebral salt-wasting syndrome (CSWS; osmolalitas urin tinggi) juga
2
dilaporkan dapat menyebabkan hiponatremia pada pengguna alkohol.
Hiponatremia hipotonik euvolemik pada pasien dengan
osmolalitas urin >100 mOsm/kg menunjukkan kondisi dimana terdapat
peningkatan AVP yang mengakibatkan adanya urin yang kurang
terdilusi. Kondisi lainnya seperti endokrinopati dan syndrome of
inappropriate antidiuresis (SIADH), dimana adanya sindroma sekresi
hormon antidiuretik yang tidak apropriat dan sindrom nefrogenik
antidiuresis yang tidak apropriat. Selain itu, pada SIADH terdapat
peningkatan ekskresi asam urat pada urin dan kalkulasi dari fraksi
ekskresi asam urat yang dapat memberikan tanda untuk diagnosis,
dimana pada pasien normal fraksi ekskresi asam urat kurang dari 10
%.2
Endokrinopati, termasuk gangguan tiroid dan adrenal, penting
untuk diperhatikan sebagai diagnosis banding terhadap hiponatremia
hipotonik euvolemik karena juga dapat mengakibatkan peningkatan
sirkulasi AVP. Hipotiroid jarang menyebabkan hiponatremia hipotonik
euvolemik, namun dapat bermanifestasi sebagai hiponatremia berat
(105–110 mEq/L), dan meskipun mekanisme penyebabnya masih
belum jelas, adanya peningkatan sirkulasi AVP yang tidak sesuai dapat
menjadi penyebab adanya retensi cairan. 2
Hipokortisol dapat menyebabkan hiponatremia hipotonik
euvolemik, meskipun mekanisme penyebabnya masih kurang jelas dan
juga berhubungan dengan insufisiensi adrenal dan peningkatan
plasma AVP. 2
SIADH, mengakibatkan kondisi hiponatremia hipotonik
euvolemik dan gangguan ekskresi H 2O bebas dengan tidak
ditemukannya insufisiensi renal, insufisiensi adrenal, ataupun adanya
stimulus pelepasan AVP lainnnya. 2
SIADH ditemukan beberapa tahun sebelum teridentifikasinya
AVP sebagai hormon penyebab. Awalnya, pelepasan AVP
diperkirakan menjadi penyebab independen terhadap osmolalitas
plasma, namun hal ini tidak ditemukan pada semua pasien SIADH.
Contohnya pada pasien hiponatremia dengan urin yang terdilusi,
pelepasan AVP biasanya tersupresi walaupun pada konsentrasi
natrium plasma dibawah normal, kondisi yang disebut reset osmostat
syndrome.2
Selain itu, kasus SIADH ditemukan karena adanya mutasi
genetik yang menghasilkan adanya urin yang terkonsentrasi dengan
tidak adanya pelepasan AVP, fenomena yang disebut NSIAD.
Contohnya adanya aktivasi mutasi dari reseptor V2, mutasi pada gen
yang mengkontrol ekspresi saluran aquaporin air pada tubulus
kolektivus ginjal, dan mutasi yang memproduksi molekul yang memiliki
mimik AVP.2
Terdapat kriteria spesifik untuk diagnosis SIADH. Untuk dapat
terdiagnosis dengan SIADH, pasien harus euvolemik, memiliki
osmolalitas urin lebih dari 100 mOsm/kg dan memiliki efektivitas
osmolalitas plasma yang rendah. Selain itu, intake air yang berlebihan
dibutuhkan untuk terjadinya hiponatremia. 2
Penyebab SIADH sangat bervariasi. Obat yang memiliki aksi
mimik AVP. Menstimulasi untuk pelepasannya. Atau menguatkan aksi
AVP dapat menyebabkan SIADH. Termasuk AVP analog, narkotik,
atau antipsikotik. Contohnya oksitosin yang memiliki AVP-like effect
yang dapat menyebabkan intoksikasi air. Inhibitor reuptake serotonin
selektif juga dapat meningkatkan efek AVP, terutama pada lansia, dan
wanita, pengguna diuretik, atau pada konsentrasi plasma natrium yang
rendah. Exercise-associated hiponatremia juga menjadi kriteria
diagnosis esensial pada SIADH. Konsumsi cairan hipotonik pada saat
olahraga yeng berlebihan mengakibatkan adanya absorbsi yang
tertunda, mengakibatkan elevasi sirkulasi AVP yang memanjang dan
retensi air. Intake air yang berlebihan dan perubahan hormon saat
olahraga merupakan faktor utama dibandingkan faktor-faktor lainnya.
Stimuli nonosmostik lainnya juga berhubungan saat olahraga yang
cukup lama. Meskipun volume intravaskular diperbaiki, rangsangan
nonosmotik terus merangsang pelepasan AVP. Pada akhirnya,
regulasi normal volume cairan ekstraseluler dan translokasi natrium
yang aktif pada sirkulasi ke tempat penyimpanan tidak dapat terjadi. 2

Tabel 2. Penyebab Syndrome of Inappropriate Antidiuresis


Neoplasma -Paru-paru (karsinoma paru small cell,
mesotelioma)
-Karsinoma pada saluran gastrointestinal, saluran
urogenital, prostat, and endometrium
-Lainnya (timoma, limfoma, Ewing’s sarkoma)
Paru-paru -Infeksi (pneumonia, tuberkulosis, empiema)
-Gangguan ventilasi (gagal napas akut, penyakit
paru obstruktif kronis)
Kondisi -Inflamasi (meningitis, systemic lupus
intracranial erythematosus)
-Trauma, massa atau cairan (operasi, tumor,
perdarahan subaraknoid, hidrosefalus)
-Lainnya (sklerosis multipel, Guillain-Barré
syndrome, delirium tremens)
Obat-obatan -Analog AVP (vasopresin, desmopresin, oksitosin)
-Obat yang menstimulasi pelepasan AVP atau
mengaugmentasi AVP (Klorpropamid,meperidin,
teofilin, amiodaron,SSRIs, antidepresan trisiklik,
karbamazepin, klorpromazin,klozapin,
siklofosfamide vinkristin, angiotensin-converting
enzyme inhibitors, nikotin, 3,4-
methylenedioxymetamfetamine)
Lainnya -Mutasi genetik (AVP atau reseptor, water
channels)
-Postoperatif (nyeri, mual, administrasi cairan yang
tidak sesuai)
-Berhubungan dengan olahraga (maraton, suhu
yang ekstrim,atlet)
-AIDS
-Idiopatik
Hiponatremia hipotonik euvolemik pada pasien dengan
osmolalitas urin yang bervariasi, mungkin berperan dalam terjadinya
reset osmotat syndrome, terutama jika osmolalitas urin meningkat
secara progresif akibat respons terhadap restriksi cairan. Sindrom
menunjukkan adanya pola pelepasan AVP dalam respons terhadap
pemberian infus NaCl hipertonik. Pelepasan AVP dapat terjadi cepat
dan progresif, sehingga menghasilkan urin yang terdilusi. Meskipun
tidak normal, kadar AVP terkait erat hubungannya dengan peningkatan
osmolalitas plasma,pada osmolalitas plasma yang sangat rendah
pelepasan AVP tersupresi. Namun, saat osmolalitas plasma kembali
mendekati normal, pelepasan AVP tampak tidak sesuai karena
ambang osmotik yang normal telah diturunkan. Pelepasan AVP pada
ambang subnormal ini sebenarnya sesuai tapi dikalibrasi untuk batas
dibawah normal. Urin yang terdilusi sesuai masih bisa dicapai, hanya
pada osmolalitas plasma yang rendah. Reset osmotat syndrome ini
sering terlihat pada orang tua, pasien dengan penyakit paru (misalnya,
tuberkulosis), dan malnutrisi. Reset osmotat syndrome dapat terjadi
secara fisiologis selama kehamilan, menyebabkan osmolalitas plasma
turun sekitar 10 mOsm / kg air. 2
b) Hiponatremia Hipotonik Hipovolemik
Dalam kondisi deplesi total natrium tubuh, terjadi peningkatan
AVP meningkat dan retensi H2O bebas untuk mempertahankan volume
intravaskular. Namun, retensi H 2O bebas saja tidak cukup untuk
mengembalikan volume ekstraseluler cairan pada keadaan
hipovolemia. Selain itu, penggantian kehilangan natrium dan H 2O
dengan H2O bebas dapat mempotensiasi peningkatan kadar plasma
AVP yang tidak sesuai, yang dapat memperburuk hiponatremia. 2
Hipovolemia dengan natrium urin kurang dari 20 mEq / L atau
FENa kurang dari 1% menunjukkan retensi natrium ginjal yang aktif
untuk mengkompensasi kehilangan ekstrarenal, seperti kehilangan
pencernaan atau insensible water loss dengan penggantian H2O
bebas. Pasien hipovolemik dengan natrium urin melebihi 20 mEq / L
atau melebihi FENa 1% menunjukkan adanya kehilangan natrium
ginjal akibat pemberian diuretik, osmotik diuresis, salt-losing
nephropaty, alkalosis metabolik, atau insufisiensi adrenal. 2
Sebagian besar kasus dari natriuresis primer disebabkan oleh
pemberian diuretik thiazide dibandingkan dengan loop-diuretics.
Diuretik thiazide dapat menyebabkan kehilangan natrium ginjal yang
berlebihan dan deplesi volume, sehingga timbul hiponatremia berat
segera setelah mulai terapi. 2
Yang termasuk Salt losing nephropathy yaitu tubular asidosis
ginjal, penyakit polikistik ginjal, dan uropati obstruktif. Baik tubular
asidosis ginjal tipe II dan alkalosis metabolik menyebabkan
hiponatremia sebagai akibat dari bikarbonaturia, yang menimbulkan
ekskresi natrium. 2
Kedua insufiensi adrenal primer dan sekunder dapat
mengakibatkan defisiensi glukokortikoid dan / atau mineralokortikoid,
yang mengakibatkan hiponatremia. 2
Tabel 3. Penyebab hiponatremia hipovolemik
Renal loss of sodium with water Extrarenal loss of sodium
retention with water retention
 Diuretic therapy  Gastrointestinal
 Cerebral salt wasting losses
 Mineralcorticoid deficiency o Vomiting
o Autoimmune o diarrhea
 Adrenal only  Third space losses
 Polyglandular o Bowel
endocrinopathy obstruction
o Adrenal hemorrhage o Pancreatitis
 Meningococcemia o Muscle trauma
 Idiopathic o burns
o Infection  Sweat losses
 TB o Endurance
 Fungus exercise
 cytomegalovirus
o Adrenal enzyme
deficiencies (congenital
adrenal hyperplasia)
 Salt wasting nephropaty
 Bicarbonaturia, glycosuria,
ketonuria

c) Hiponatremia Hipotonik Hipervolemik


Pasien hipervolemik dengan natrium urin >20 meEq/L atau
ekskresi fraksi natrium (FENa) >1 tipikal pada pasien dengan gagal
ginjal berat. Sedangkan pada pasien hipervolemik dengan natrium urin
< 20 mEq/L atau FENa < 1% tipikal pada kondisi edema, termasuk
CHF, sirosis, dan sindroma nefrotik. 2
Hiponatremia dengan adanya edema mengindikasikan adanya
peningkatan pada TBW yang lebih besar dibandingkan total natrium
pada tubuh. Meskipun begitu, pada CHF dan sirosis keadaan ini
menunjukan adanya kondisi volume sirkulasi yang terdeplesi. Retensi
natrium dan air pada kondisi edema biasanya terjadi karena mediasi
oleh baroreseptor dengan pengeluaran AVP dan aktivasi dari sistem
renin-angiotensin-aldosteron, yang responsnya terutama untuk
mempertahankan perfusi jaringan. Pasien dengan sindroma nefrotik
mengalami reduksi pada volume intravaskular yang sama. 2

Tabel 4. Penyebab hiponatremi euvolemik dan hipervolemik


Impaired renal free water excretion
Euvolemic
 SIADH
o Tumor
 Pulmonary/mediastinal (bronchogenic
carcinoma mesotheliom a,thymoma)
 Nonches (duodenal carcinoma, pancreatic
carcinoma, ureteral,uterine carcinoma,
nonpharyngeal carcinoma, leukemia)
o CNS disorders
 Mass lesion (tumors, brain abcesses, subdural
hematoma)
 Inflammatory diseases (enchepalities, meningitis,
SLE)
 Degenerative/demyelinative disease (SGB, spinal
cord lesions)
 Miscellaneous (SAH, head trauma, acute
psychosis, delirium tremens, pituitary stalk
section, hydrochepalus)
o Drug induced
 Stimulated AVP release (nicotine, phenotiazines,
tricyclics)
 Direct renal effect and ot potentiation of AVP
effects (DDAVP, oxytocin, prostaglandin
synthesis inhibitor)
 Mixed or uncertain action (ACE inhibitors,
carbamazepine and oxcarbazepine,
chlorpropamide, clofibrate, clozapine, 3,4-
methylendioxymethamphetamine (ectasy),
omeprazole, serotonin reuptake inhibitors,
vincristine)
o Pulmonary disease
 Infection (TB, pneumonia,aspergilosis,
empyema)
 Mechanical/ventilator (acute respiratory failure,
COPD, positive pressure ventilation)
o Other
 AIDS and ARC
 Prolonged strenuous exercise (marathon)
 Senile atrophy
 Idiopathic
 Glucocorticoid defisiensy
 Hypothyroidsm
 Decreased urinary solute excretion
o Beer potomania
o Very low protein diet
Hypervolemic
 CHF
 Chirrosis
 Nephrotic syndrome
 Renal failure
o Acute
o Chronic
Excessive water intake
 Primary polydipsia
 Dilute infant formula
 Freshwater drowning

3. Hiponatremia Hipertonik
Terjadi jika osmolalitas plasma > 285 mOsm/Kg/H 2O. Hipertonisitas bisa
terjadi karena peningkatan zat terlarut yang tidak bebas keluar masuk
kompartemen, contohnya glukosa manitol, gliserol, atau sorbitol sehingga
terjadi perpindahan cairan dari ICF ke ECF sehingga menurunkan kadar
natrium ECF. Hiponatremia jenis ini biasanya dihubungkan dengan
peningkatan osmolalitas. Contohnya, pada pasien hiperglikemia setiap
kenaikan glukosa 3 mmol/L, natrium serum turun 1 mmol/L. 2

E. GEJALA KLINIS

Tanda dan gejala hiponatremia dapat termasuk:


 Mual dan muntah
 Sakit kepala
 Kebingungan
 Kehilangan energi
 Kelelahan
 Gelisah dan mudah marah
 Kelemahan otot, kejang atau kram
 Kejang
 Pingsan
 Koma
o Manifestasi klinis juga tergantung dari penyakit yang mendasari
hyponatremia. Secara umum gejala klini pada hiponatremia dapat
dilihat dibawah ini.

Sistem tubuh Hiponatremia


Sistem Saraf Pusat Sakit kepala, confusion, hiper atau hipoaktif
refleks tendon dalam, kejang, koma,
peningkatan tekanan intrakranial.
Weakness, fatigue, muscle
Muskuloskeletal
cramps/twitching
Gastrointestinal Anoreksia, nausea, vomiting, diare cair

Cardiovascular Hipertensi dan bradikardia secara signifikan

meningkatkan tekanan intrakranial

Jaringan Lakrimasi, salivasi

Ginjal Oligouria2
Tabel5. Manifestasi klinis menurut sistem yang dipengaruhi

F. DIAGNOSIS
Manifestasi klinis dari hiponatremia biasanya akibat adanya edema
otak, yang menyebabkan gejala neurologis dan sistemik. Pada kondisi kronik
(CHF, Sirosis), hiponatremia dapat asimtomatik akibat adanya adaptasi sel
dengan mempertahankan gradien osmolar dan melindungi dari terjadinya
edema serebri. Pada hiponatremia akut (postoperatif, drug-induced), gejala
tidak spesifik dan sangat luas. Gejala awal yaitu adanya anoreksia,
kesemutan, mual, muntah, sakit kepala, iritabilitas, disorietasi, konfusi,
fatigue, dan letargi, dimana gejala lanjut yang dapat ditemukan adalah
adanya gangguan status mental, kejang, koma, dan gagal napas, dan dapat
menyebabkan kematian. Saat gejala neurologis dari hiponatremia muncul,
disebut sebagai ensefalopati hiponatremia.
Hiponatremia terklasifikasi berdasarkan osmolalitas plasma yang
ditentukan melalui pemeriksaan penunjang laboratorium dan status volume
yang ditentukan melalui pemeriksaan fisik. Penentuan hiponatremia secara
sistematik diperlukan untuk menentukan penyebab dan terapi yang akan
diberikan. Dapat dilakukan pengukuran osmolalitas plasma, status volume,
konsentrasi natrium urin dan osmolalitas.
Osmolalitas plasma, pertama dilakukan untuk menyingkirkan
hiponatremia hipertonik >295 mOsm/kg dan pseudohiponatremia,
hiponatremia isotonik, 280–295 mOsm/kg. Sedangkan pada penurunan
osmolalitas plasma, hiponatremia hipotonik < 280 mOsm/kg diperlukan
penentuan volume status yang akurat. Meskipun begitu, pengukuran
osmolalitas plasma seringkali kurang akurat dan tidak dapat digunakan
sebagai penentuan terapi. Cara perhitungan osmolaritas plasma yaitu:
Osmolaritas plasma (mOsm/kg) = [Na+] x 2 + (glukosa/18) + (BUN/2,8).
Pengukuran konsentrasi natrium urin merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dan paling dapat digunakan untuk menentukan
diagnosis banding. Status volume diklasifikasikan secara klinis sebagai
hipervolemik, euvolemik, atau hipovolemik, dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang baik dilakukan untuk diagnosis akurat dan terapi yang
adekuat. Manifestasi klinis pada kondisi hipervolemik seperti edema, crackles
pada paru, tekanan vena jugular leher terdistensi, dan terdapat S3 pada
auskultasi jantung. Manifestasi klinis pada kondisi hipovolemik yaitu adanya
hipotensi orthostatik, takikardia, dan oliguria/anuria. Jika tidak ditemukan
tanda-tanda diatas, status volume dikategorikan sebagai keadaan euvolemik.
Monitor ketat dan evaluasi serial diperlukan pada hiponatremia.

Tabel 6. Langkah Diagnosis dan Terapi Hiponatremia


Langkah 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik (termasuk
penentuan status volume)
Langkah 2. Pengukuran osmolalitas plasma
Hiponatremia hipertonik (POsm > 295
mOsm/kg)
Hiponatremia isotonik (POsm 280–295
mOsm/kg)
Hiponatremia hipotonik (POsm < 280
mOsm/kg)
Langkah 3. Pengukuran natrium urin dan osmolalitas
(ditambahkan informasi status volume)
Hiponatremia hipotonik hipervolemik
UNa > 20 mEq/L or Azotemia (gagal ginjal kronis)
FENa > 1%
UNa < 20 mEq/L or Edema (CHF, sirosis, sindroma nefrotik)
FENa < 1%

Hiponatremia hipotonik euvolemik


UOsm < 100 mOsm/kg Polidipsia (primer)
Psikogenik
Low-solute (beer)
potomania
UOsm > 100 mOsm/kg Peningkatan AVP or mimic
Syndrome of inappropriate
antidiuresis
Endokrinopati
UOsm bervariasi Reset osmostat syndrome

Hiponatremia hipotonik hipervolemik


UNa > 20 mEq/L atau Natriuresis primer (renal)
FENa > 1%
UNa < 20 mEq/L atau Kehilangan natrium
ekstrarenal (dengan FENa < 1% penggantian dengan H2O bebas)
Langkah 4. Terapi Inisial
Hiponatremia hipertonik Memperbaiki kondisi
hiperglikemia

Hiponatremia isotonik Mengobati penyebab gangguan


metabolisme
protein atau
lipid
Hiponatremia hipotonik Pemberian cairan ± diuretics,
restriksi H2O
Pemberian obat farmakoterapi
Langkah 5. Reevaluasi dan penyesuaian terapi

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan dengan Metode Elektroda Ion Selektif (Ion Selective
Electrode/ISE)
Pemeriksaan kadar natrium, kalium, dan klorida dengan metode
elektroda ion selektif (Ion Selective Electrode/ISE) adalah yang paling sering
digunakan. Data dari College of American Pathologists (CAP) pada 5400
laboratorium yang memeriksa natrium dan kalium, lebih dari 99%
menggunakan metode ISE. Metode ISE mempunyai akurasi yang baik,
koefisien variasi kurang dari 1,5%, kalibrator dapat dipercaya dan mempunyai
14
program pemantapan mutu yang baik.
ISE ada dua macam yaitu ISE direk dan ISE indirek. ISE direk
memeriksa secara langsung pada sampel plasma, serum dan darah utuh.
Metode inilah yang umumnya digunakan pada laboratorium gawat darurat.
Metode ISE indirek yang diberkembang lebih dulu dalam sejarah teknologi
14
ISE, yaitu memeriksa sampel yang sudah diencerkan. - Prinsip Pengukuran
Pada dasarnya alat yang menggunakan metode ISE untuk menghitung
kadar ion sampel dengan membandingkan kadar ion yang tidak diketahui
nilainya dengan kadar ion yang diketahui nilainya. Membran ion selektif pada
alat mengalami reaksi dengan elektrolit sampel. Membran merupakan
penukar ion, bereaksi terhadap perubahan listrik ion sehingga menyebabkan
perubahan potensial membran. Perubahan potensial membran ini diukur,
dihitung menggunakan persamaan Nerst, hasilnya kemudian dihubungkan
20
dengan amplifier dan ditampilkan oleh alat . Proses ini dapat dilihat pada
20
Gambar 2.
20
Salah satu persamaan Nernst yang dipakai yaitu:

(+) untuk kation (-) untuk anion


E = Potensial elektrik yang diukur
E’ = Sistem e.m.f pada larutan standar
R = Konstanta Gas (8,31 J/Kmol)
T = Suhu
n = Valensi ion yang diukur
F = Konstanta Faraday 96,496 A.s/g
f1 = Koefisien aktivitas
c1= Konsentrasi ion yang diukur

Gambar 2. Prinsip Pengukuran Elektrolit dengan Metode ISE.20

2. Pemeriksaan dengan Spektrofotometer Emisi Nyala (Flame Emission


Spectrofotometry/FES)
Spektrofotometer emisi nyala digunakan untuk pengukuran kadar
natrium dan kalium. Penggunaan spektrofotometer emisi nyala di
laboratorium berlangsung tidak lama, selanjutnya penggunaannya
dikombinasi dengan elektrokimia untuk mempertahankan penggunaan dan
14
keamanan prosedurnya.
Prinsip pemeriksaan spektrofotometer emisi nyala adalah sampel
diencerkan dengan cairan pengencer yang berisi litium atau cesium,
kemudian dihisap dan dibakar pada nyala gas propan. Ion natrium, kalium,
litium, atau sesium bila mengalami pemanasan akan memancarkan cahaya
dengan
panjang gelombang tertentu (natrium berwarna kuning dengan
panjang gelombang 589nm, kalium berwarna ungu dengan panjang
gelombang 768 nm, litium 671 nm, sesium 825 nm). Pancaran cahaya akibat
14
pemanasan ion dipisahkan dengan filter dan dibawa ke detektor sinar.

3. Pemeriksaan dengan berdasarkan Aktivasi Enzim Spektrofotometer


Prinsip pemeriksaan kadar natrium dengan metode spektrofotometer
yang berdasarkan aktivasi enzim yaitu aktivasi enzim beta-galaktosidase oleh
ion natrium untuk menghidrolisis substrat o-nitrophenyl-β- D-galaktipyranoside
(ONPG). Jumlah galaktosa dan o- nitrofenol yang terbentuk diukur pada
14
panjang gelombang 420 nm.
Prinsip pemeriksaan kalium dengan metode spektrofotometer adalah
+ 14
ion K mengaktivasi enzim tryptophanase.
Prinsip pemeriksaan klorida dengan metode spektrofotometer adalah
reaksi klorida dengan merkuri thiosianat menjadi merkuri klorida dan ion
thiosianat. Ion thiosianat bereaksi dengan ion ferri dan dibaca pada panjang
14
gelombang 480 nm.

H. TATALAKSANA
Penentuan osmolalitas plasma memberikan dasar terapi inisial
hiponatremia. Pada hiponatremia hipertonik, tatalaksana diberikan langsung
pada penyebabnya. Tidak ada terapi spesifik pada hiponatremia isotonik
selain memberikan terapi pada gangguan metabolisme lipid dan protein yang
mendasari. Untuk hiponatremia hipotonik diberikan secara simptomatis,dan
berdasarkan status volume.2,7
Pada hiponatremia hipotonik, gejala biasanya semakin terlihat saat
konsentrasi plasma natrium <120 mEq/L. Tergantung pada status volume,
terapi hiponatremia hipotonik diberikan bertahap, dari pemberian salin
hipertonik pada kasus berat sampai pemberian salin isotonik pada kasus
ringan dan sedang, dan restriksi H2O bebas pada kasus asimtomatik. Pada
kasus berat pemberian salin hipertonik atau isotonik harus diberikan secara
agresif untuk pencegahan komplikasi neurologis yang mengancam nyawa.
Salin hipertonik hanya diberikan pada kasus berat dengan konsultasi ahli dan
hanya dalam waktu singkat.2
Diuretik dapat diberikan untuk mengobati kemungkinan adanya
potensial volume overload. Saat gejala sudah berkurang, terapi harus
dikurangi dan terfokus pada koreksi penyebab dari ketidakseimbangan air
dan natrium. Reevaluasi serial dan tappering down harus dilakukan secara
hati-hati sampai tercapai kondisi normonatremia euvolemik. 2,7
Hiponatremia hipotonik akut, memiliki onset < 48 jam, dan dapat
terkoreksi secara cepat. Meskipun begitu, koreksi dari hiponatremia kronik
asimptomatik terkadang tidak diberikan, seperti pada pasien sirosis atau reset
osmostat syndrome. Terlebih lagi, tata laksana yang berlebihan dapat
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Kerusakan batang otak yang
permanen dapat muncul akibat osmotic myelinolysis syndrome, yang terlihat
dari adanya central pontine myelinolysis akibat osmotically-induced
demyelination.2
Secara umum, pada satu setengah dari total defisit dapat digantikan
dalam 12 jam pertama, dengan 0.5 mEq/L/jam (12 mEq/L/hari). Rumus
dibawah dapat digunakan dalam mengestimasi efek 1 L infus natrium dalam
konsentrasi plasma natrium.2
Perubahan dalam natrium plasma =
(Natrium pada infus – Natrium plasma)
(Total body water + 1)
Total body water (l) dikalkulasi dengan mengkalikan berat badan (kg) dengan
0.5 pada perempuan, 0,6 pada laki-laki, 0,45 pada lansia wanita, dan 0,5
pada lansia pria.2
Koreksi natrium:
- Maintanance = 2-4 meq x BB

- Koreksi = 0,6 x BB x (135- Na sekarang (serum))

- Kebutuhan Na = maintanaance + koreksi

- Na yang diperlukan = (Kebutuhan Na /kaandungan Nacl) x 1000

Konsentrasi natrium pada infus yaitu pada salin 3% = 513 mEq/L, salin
0.9% =154 mEq/L, salin 0.45% = 77 mEq/L. Rumus lainnya juga ada yang
memperhitungkan infus natrium yang mengandung kalium dan elektrolit
lainnya.2,7
Nonpeptide arginine vasopressin reseptor (AVP-R) antagonis adalah
kelas obat baru yang mempromosikan aquaresis, istilah yang digunakan
untuk menggambarkan ekskresi air bebas elektrolit tanpa ekskresi natrium
atau kalium. Sering disebut sebagai "vaptans" atau "aquaretics" untuk
menunjukan efek mereka yang kontras dengan diuretik, AVP-R antagonis
menghambat aksi AVP pada reseptornya secara langsung, khususnya
menargetkan pada V1A reseptor pembuluh darah sel-sel otot dan reseptor V2
pada sel duktus kolektivus ginjal. Saat ini hanya conivaptan aquaretic yang
disetujui oleh Food and Drug Administration AS, diindikasikan untuk
pengobatan simtomatik dan hiponatremia hipervolemik dan euvolemik pada
pasien rawat inap, khusus SIADH dan CHF. Karena haus adalah salah satu
efek samping dari obat ini, diperlukan restriksi cairan. 2,7
Tabel 7. Farmakoterapi untuk Hiponatremia Hipotonik.2
Nama Obat Indikasi Mekanisme Dosis
Demeklosiklin Gagal restriksi air Inhibisi cAMP
(antibiotik) pada hiponatremia Idiosinkronasi 2 x 300-600
hipotonik menginduksi mg
euvolemik kronis diabetes
(cth. SIADH) insipidus
nefrogenik
Furosemid hiponatremia Inhibisi Dosis
hipotonik kotransport bervariasi
hipervolemik renal 40 mg IV
kronis (cth : CHF) Na+/K+/Cl dalam 1-2
hiponatremia pada loop of menit; dapat
hipotonik henle diulang jika
euvolemik kronis asendens dan respons
(cth : SIADH) tubulus distal tidak sesuai
Per oral
Meningkatkan untuk
ekskresi dari maintenanc
H2O bebas e
bersama
dengan
natriuresis dan
kaliuresis
Conivaptan hiponatremia Antagonis 20 mg IV
hipotonik AVP-R loading
hipervolemik dose dalam
simtomatik (cth : Meningkatkan 30 menit;
CHF) ekskresi dari selanjutnya
hiponatremia elektrolit- H2O 20 mg IV
hipotonik bebas selama 24
euvolemik kronis jam
(cth : SIADH)
Dapat
ditingkatkan
sampai 40
mg selama
24 jam;
maksimal
dalam 1-4
hari
Fludrokortison Cerebral salt- Meningkatkan 1 x 0,05-0,2
wasting syndrome reabsorbsi mg perhari
natrium dan
kehilangan
kalium pada
tubulus distal
ginjal

Tatalaksana Hiponatremia Hipervolemik Hipotonik


Tujuan tatalaksana pada pasien hiponatremia hipervolemik hipotonik
adalah untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma dengan 1 sampai 2
mEq / L / jam baik menggunakan salin hipertonik atau salin isotonik, kadang-
kadang dalam kombinasi dengan diuretik, sampai gejala mayor (misalnya,
perubahan status mental yang berat, kejang) mereda. Yang penting untuk
diperhatikan adalah salin hipertonik merupakan kontraindikasi relatif pada
hipervolemia, sehingga penggunaan salin isotonik lebih direkomendasikan
pada pasien sebagai terapi inisial. Sekali gejala mayor membaik, pengobatan
harus kemudian menjadi kurang agresif dan diarahkan pada memperbaiki
penyebab dasar hiponatremia. Akhirnya, restriksi cairan adalah pengobatan
pilihan, dengan batas 0,5 sampai 1 L / hari, dengan atau tanpa diuretik,
mengoreksi tidak lebih dari 0,5 mEq/ L/jam. AVP-R antagonis dapat
diperlukan pada pasien simptomatik dengan CHF. Perawatan awal pasien
asimtomatik adalah restriksi air bebas dengan atau tanpa diuretik untuk
memperbaiki hiponatremia dan meningkatkan status volume. 2,7

Tatalaksana Hiponatremia Hipotonik Euvolemik


Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan gejala hiponatremia
hipotonik euvolemik adalah untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma
dengan 1 sampai 2 mEq/ L/ jam menggunakan salin hipertonik sampai gejala
mayor mereda, kemudian beralih ke salin isotonik 0,5-1 mEq/ L/ jam
setelahnya. Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi kelebihan cairan
selama pengobatan, tetapi penggunaannya harus diminimalkan. Setelah
kondisi telah asimtomatik, tata laksana dapat diganti menjadi restriksi air
bebas. Tatalaksana inisial pada pasien asimptomatik adalah restriksi cairan
0,5-1 L / hari, dengan koreksi tidak lebih dari 0,5 mEq / L / jam selama jangka
waktu beberapa hari.2,7
Terdapat manifestasi klinis yang luas dan bervariasi pada SIADH
karena spektrum luas dari penyebab yang teridentifikasi menyebabkan
disfungsi osmoregulator. Akibatnya, perbedaan respon terapi terhadap
masing-masing individu cukup signifikan. Pengobatan SIADH dapat berkisar
dari restriksi air bebas pada pasien asimtomatik, sampai pemberian infus
salin isotonik hipertonik pada pasien simtomatik berat, dan juga farmakoterapi
pada kasus tertentu. Untuk pasien yang tidak terdapat respons atau tidak
dapat mematuhi pembatasan air dapat diberikan farmakoterapi dengan
demeclocycline. Agen ini memberikan efek antagonis AVP pada tubulus
distal, pada dasarnya dapat menginduksi diabetes insipidus nefrogenik.
Namun, demeclocycline memiliki onset lambat,sehingga membatasi
kegunaannya pada SIADH kronis antagonis AVP-R diindikasikan untuk
pasien rawat inap dengan SIADH simptomatik. 2
BAB III

KESIMPULAN

Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam plasma lebih
rendah dari 135 mEq/L. Secara garis besar hiponatremia dapat diklasifikasikan
menurut osmolalitas plasma yaitu hiponatremia isotonik, hipotonik, dan hipertonik.
Dimana pada hiponatremia hipotonik dibagi lagi menurut status volumenya, yaitu
hipovolemik, euvolemik, dan hipervolemik.
Evaluasi hiponatremia membutuhkan pendekatan yang sistematis. Selain
anamnesis dan pemeriksaan fisik, pengukuran osmolalitas plasma merupakan
petunjuk diagnostik yang penting. Hiponatremia hipotonik membutuhkan penilaian
status volume yang akurat, dan pengukuran natrium urin dan osmolalitas yang dapat
mempersempit diagnosis banding penyebab yang mendasarinya.
Pasien dengan gejala simptomatis harus ditangani secara agresif untuk
mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. Jika dilakukan pemberian salin
hipertonik, harus diberikan dalam ruang perawatan intensif dengan konsultasi ahli.
Pasien hipervolemik asimtomatik diberikan tata laksana dengan restriksi air bebas,
dan sering dikombinasikan dengan pemberian diuretik. Pasien euvolemik
asimtomatik juga diberikan tata laksana dengan restriksi air bebas. Pasien
hipovolemik asimtomatik dirawat dengan penggantian volume yang tepat dengan
saline isotonik. Koreksi yang terlalu cepat dapat menyebabkan central mielinolisis
pontine dan kerusakan otak permanen dan dengan demikian harus dihindari.
DAFTAR PUSTAKA

1. Brenner B, Singer G. Fluid and electrolyte disturbances. In: Kasper DL,


Braunwald E, Fauci A, et al, editors. Harrison’s principles of internal medicine.
16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005:251–63.

2. Reynolds RM, Padfield PL, Seckl JR. Disorders of sodium balance. BMJ
2006; 332:702-5.

3. Horacio J.Adrogue, Nicolaos E.Madias. The Challenge of


Hyponatremia.JASN.2012

4. Rudolph et al. Hyponatremia. Hospital Physician. January 2009; 23–32.

5. Parikh C, Berl T. Disorders of water metabolism. In: Feehally J, Floege J,


Johnson RJ, editors. Comprehensive clinical nephrology. 3 rd ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2007:97.

6. Richard H.Sterns, Sagar U. The Treatment of Hyponatremia.UPHS.2009.

7. Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. 4rd ed. Jakarta:pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fakultas
kedokteran universitas indonesia; 2006: 136-137

8. Price SA. Wilson LM. Patofisiologi Konsep klinis proses-proses penyakit. 6 td


ed. Jakarta: EGC,2005; 335-339

9. Arto Y.Soeroto, Rudi Supriyadi, Ika Prasetya Wijaya, Laniyati Hamijoyo. Prosiding
Naskahlengkap Workshop KOPAPDI 2015. Bandung: pusat informasi ilmiah (PII)
Departemen SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung.
10. Widmaier E.P, Raff H. dan Strang K.T, ’The Kidney and Regulation of Water
and Inorganic Ions’ In: Vander Human Physiology: The Mechanisms of Body
th
Function, 9 Edition, McGraw Hill Publishing, 2004, pp. 513-557.

11. Singer G.G and Brenner B.M, ‘Fluid and Electrolyte Disturbances’ In:
th
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17 Ed., Vol. 1, McGraw Hill
Companies USA, 2008, pp. 274-287.
12. Ganong W.F, ’Fungsi Ginjal dan Miksi’ pada Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,
edisi ke-22, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2005, hh. 725-756.

13. Klutts J.S. and Scott M.G, ‘Physiology and disorders of Water, Electrolyte,
and Acid- Base Metabolism’ In: Tietz Text Book of Clinical Chemistry and
th
Molecular Diagnostics, 4 Ed. Vol.1, Elsevier Saunders Inc., Philadelphia,
2006, pp. 1747-1775.

th
14. Eaton D.C. and Pooler J.P, in: Vander’s Renal Physiology, 7 Ed, McGraw
Hill Companies Inc. Atlanta, 2009, pp. 77-154.

15. Emmett M. and Mederkehr M.K, ‘Disorders of Potassium Balance:


Hipokalemia and Hyperkalemia’ In: Lange Current Diagnosis and Treatment
Nephrology and Hypertension, McGraw Hill Companies Inc, 2009, pp. 32-
41.Sherwood L, ’The Urinary System’ In: Human Physiology from cells to
th
systems, 7 Ed. Brooks/Cole, USA, 2010, pp. 510-557.

16. Kee J.L,‘Uji Laboratorium’ dalam: Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan


Diagnostik, Edisi ke-6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2003, hh. 1-
484.

17. Reilly R.F and Perazella M.A, In: Lange Acid- Base Fluids and Electrolytes,
McGraw Hill Companies Inc.USA, 2007, pp. 21-170.

18. Priest G, Smith B and Heitz, ’9180 Electrolyte Analyzer Operator’s Manual’
st
1 Ed, AVL Scientifi Corporation, USA, 1996, pp. 1-120.

19. Velma Herwanto, Parlindungan Siregar, dkk. 2014. Syndrome of


Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion (SIADH) akibat Kemoterapi
pada Pasien Lansia dengan Keganasan. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai