Anda di halaman 1dari 72

TERAPI ANTIBIOTIK DAN ANTISEPTIK SALURAN KEMIH

1. Infeksi Saluran Kemih

a. Definisi:

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat berkembang biaknya


mikroorganisme di dalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal air kemih
tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain. Dengan demikian air
kemih di dalam sistem saluran kemih biasanya steril. Walaupun demikian ujung
uretra bagian bawah dapat dihuni oleh bakteri yang jumlahnya berkurang di
bagian uretra yang dekat dengan kandung kemih1. Beberapa istilah infeksi saluran
kemih yang sering dipergunakan di dalam klinik ialah:

1. Asymptomatic Significant Bacteriuria (ASB) ialah bakteriuria yang bermakna


tanpa disertai gejala.

2. Bacterial cyititis ialah sindrom yang terdiri dari:

a. sakit waktu kencing

b. sering kencing (siang maupun malam)

3. Abacterial cystitis (urethra syndrome) ialah sindrom yang terdiri dari:

a. sakit waktu kencing

b. sering kencing tanpa disertai bakteri di dalam kandung kemih

2. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih

Dari segi anatomi infeksi saluran kemih dapat diklasifikasikan menjadi 2


macam yaitu infeksi saluran kemih bagian atas dan infeksi saluran kemih bagian
bawah. Infeksi sa luran kemih bagian bawah terdiri dari sistitis (kandung kemih),
uretritis (uretra), serta prostatitis (kelenjar prostat). Infeksi saluran kemih bagian
atas terdiri dari pielonefritis yaitu infeksi yang melibatkan ginjal1 .

Infeksi saluran kemih (ISK) dari segi klinik dibagi menjadi:

1
1. Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi (simple/ uncomplicated urinary
tract infection), yaitu bila infeksi saluran kemih tanpa faktor penyulit dan
tidak didapatkan gangguan struktur maupun fungsi saluran kemih1.

2. Infeksi saluran kemih terkomplikasi (complicated urinary tract


infection), yaitu bila terdapat hal – hal tertentu sebagai infeksi saluran
kemih dan kelainan struktur maupun fungsional yang merubah aliran urin
seperti obstruksi aliran urin ; batu saluran kemih, kista ginjal, tumor ginjal,
abses ginjal, residu urin dalam kandung kemih1.

3. Etiologi

Kuman penyebab utama pada infeksi saluran kemih adalah golongan basil
gram negatif yang aerobik dimana dalam keadaan normal bertempat tinggal di
dalam traktus digestitifus (saluran pencernaan). Sebagai urutan etiologi kuman
penyebab infeksi saluran kemih adalah sebagai berikut :

1) Escherichia coli (90 % penyebab infeksi saluran kemih)

2) Proteus mirabilis

3) Klebsiella pneumonia

4) Golongan B beta-hemalytik streptokokkus

5) Pseudomonas aeroginosa

Meskipun hampir setiap organisme berhubungan dengan ISK, tertentu


organisme mendominasi sebagai akibat dari faktor virulensi tertentu. Itu penyebab
paling umum dari UTI tanpa komplikasi adalah Escherichia coli, yang
menyumbang 85% dari infeksi diperoleh masyarakat. Penyebab tambahan
organisme pada infeksi tanpa komplikasi termasuk Staphylococcus saprophyticus
(5% sampai 15%), Klebsiella pneumoniae, Proteus spp., Pseudomonas
aeruginosa, dan Enterococcus spp (5% sampai 10%). Karena Staphylococcus
epidermidis sering diisolasi dari saluran kemih, harus dipertimbangkan awalnya
kontaminan untuk membantu mengkonfirmasi organisme sebagai patogen yang
nyata1.

2
4. Patogenesis

Secara umum mikroorganisme dapat masuk ke dalam saluran kemih


dengan beberapa cara yaitu:

1. Asenden yaitu jika masuknya mikroorganisme adalah melalui uretra


dan cara inilah yang paling sering terjadi.
2. Hematogen (desenden), disebut demikian bila sebelumnya terjadi
infeksi pada ginjal yang akhirnya menyebar sampai ke dalam saluran
kemih melalui peredaran darah.
3. Jalur limfatik, jika masuknya mikroorganisme melalui sistem limfatik
yang menghubungkan kandung kemih dengan ginjal namun yang
terakhir ini jarang terjadi.
4. Pengunaan kateter seringkali menyebabkan mikroorganisme masuk ke
dalam kandungan kemih. Hal ini biasanya disebabkan kurang
higienisnya alat ataupun tenaga kasehatan yang memasukkan kateter1.

5. Gejala klinis

Beberapa pasien dengan infeksi saluran kemih (ISK) asimtomatik,


sedangkan yang lain datang dengan dysuria, sering berkemih (frequency), ragu-
ragu berkemih (hesitancy), hematuria, dan rasa tidak nyaman di abdomen bawah.
Nyeri di pinggang, demam, menggigil, mual, dan malaise menandakan
pielonefritis1. Gejala klinis infeksi saluran kemih bergantung umur penderita
sebagai berikut :

 0 – 1 bulan : Gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah dan diare,


kejang, koma, panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, ikterus
(sepsis)
 1 bulan – 2 bulan : Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya,
gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, diare, kejang, koma,
kolik (anak menjerit keras), air kemih berbau/berubah warna,
kadang-kadang disertai nyeri/pinggang.
 2 - 6 tahun : Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, tidak
dapat menahan kencing, polakiseria, dysuria, enuresis, air kemih

3
berbau dan berubah warna, diare, muntah, gangguan pertumbuhan
serta anoreksia.
 6 - 18 tahun : Nyeri perut/pinggang, panas tanpa diketahui
sebabnya, tak dapat menahan kencing, polakisuria, dysuria,
enuresis, air kemih berbau dan berubah warna

6. Tatalaksana

 Infeksi Saluran Kemih Bawah

Pada ISK bagian bawah nonkomplikata dan sederhana,


trimetropimsulfametoksazol (TMP-SMX) dapat digunakan, tetapi resistensi
terhadap TMPSMX menjadi dua kali lipat dalam dekade terakhir pada beberapa
keadaan. Nitrofurantion juga efektif. Infeksi saluran kemih bagian bawah tanpa
komplikasi biasanya memberikan respons terhadap ampisilin, asam nalidiksat,
nitrofurantoin, atau trimetoprim yang diberikan 5-7 hari. Alternatif untuk infeksi
oleh kuman yang resisten terhadap penisilin adalah koamoksiklav, sefalosporin
oral, fluorokuinolon .Infeksi pada wanita hamil mungkin tidak menimbulkan
gejala, tetapi harus segera diobati agar tidak berkembang menjadi pielonefritis
akut. Penisilin dan sefalosporin aman untuk wanita hamil, sedangkan trimetoprim,
sulfonamid, kuinolon, dan tetrasiklin harus dihindari.. Prinsip manajemen ISK
bawah meliputi intake cairan yang banyak, antibiotic yang adekuat , dan kalau
perlu terapi simptomatik untuk alkalinisasi urin1 :

-Hampir 80% pasien memberikan respon setelah 48 jam dengan antibiotic


tunggal seperti ampisilin 3 gram, trimetropin 200 mg

-Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalis diperlukan terapi


konvensional selama 10 hari

- Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan apabila


semua gejala hilang.

4
 Infeksi Saluran Kemih Atas

Pada ISK bagian atas, diperlukan pemberian terapi quinolon selama 14


hari. The infection disease society of American menganjurkan satu dari tiga
alternative terapi antibiotic IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum
diketahui mikroorganisme penyebabnya yaitu flurokuinolon, aminoglikosida
dengan atau tanpa ampisilin, sefalosporin dengan atau tanpa aminoglikosida .
Pada setiap pasien dengan tanda sistemik toksisitas, dianjurkan melakukan
penggantian terapi yang dimulai dengan hidrasi intravena ditambah
aminoglikosida atau sefalosporin generasi ketiga diikuti terapi qoinolon
parenteral. Pasien dengan penyakit komplikata, atau yang gagal membaik dalam
24 jam, harus dirawat di rumah sakit untuk pemberian terapi antibiotik intravena.

Berikut ini adalah deskripsi beberapa farmakologi yang umum digunakan dalam
terapi ISK:

1) Trimetropim-Sulfametoksazol (Kotrimoksazol)
a. Farmakokinteik
Trimetropim diserap baik oleh usus dan tersebar luas dalm tubuh
dan jaringan termasuk cairan serebrospinal. Karena trimetropim lebih
larut lemak daripada sulfametoksazol , obat ini memiliki volume
distribusi yang lebih besar daripada yang terakhir.trimetropim
mengalami pemekatan pada cairan prostat dan vagina , yang lebih
asam daripada plasma. Karena itu obat ini memiliki aktivitas
antibakteri yang lebih besar dalam cairan prostat dan cairan vagina
daripada obat antimikroba yang lain2.
b. Pemakaian Klinis
BSO DOSIS
Kotrimoksazol 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg
tablet oral trimetroprim atau 800 mg
sulfametoksazol dan 160 mg
trimethoprim
Untuk anak tersedia 200 mg sulfametoksazol dan 40 mg

5
suspensi oral trimetoprim/5 ml

Tablet pediatrik 100 mg sulfametoksazol dan 20 mg


trimethoprim
IV tersedia infus 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg
trimetoprim per 5 ml

Dosis dewasa pada umumnya ialah 800 mg sulfametoksazoldan


160 mg trimetoprim setiap 12 jam. Pada infeksi yang berat diberikan
dosis lebih besar. Pada pasien dengan gagal ginjal, diberikan dosis biasa
bila klirens kreatinin lebih dari 30 mL/menit; bila klirens kreatinin 15-
30 mL/menit, dosis 2 tablet diberikan setiap 24 jam dan bila klirens
kreatinin kurang dari 15 mL/menit, obat ini tidak boleh diberikan2,3.

Dosis yang dianjurkan pada anak ialah trimetoprim 8


mg/kgBB/hari dan sulfametoksazol 40mg/kgBB/hari yang diberikan
dalam 2 dosis. Pemberian pada anak di bawah usia 2 tahun dan pada ibu
hamil atau menyusui tidak dianjurkan. Trimetroprim juga terdapat
sabagai sediaan tunggal dalam bentuk tablet 100 dan 200 mg2,3

Spektrum antibiotik trimetropim sama dengan sulfametoksazol,


meskipun daya antibiotiknya 20 - 100 kali lebih kuat daripada
sulfametoksazol. Mikroba yang peka terhadap kombinasi trimetropim-
sulfametoksazol adalah Strep. Pneumoniae, C. diphatheriae, dan N.
meningitis, 50 – 95 % strain S. aureus, E.coli, Enterobacter, Salmonella,
Shigella, dan Klebsiella spesies. Aktivitas antibakteri kortimoksazol
berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi
enzimatik untuk membentuk asam tetrahidrofolat. Sulfonamid
menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat
dan trimetropim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat
menjadi tetrahidrofolat2,3.

6
c. Efek Samping

Trimetropim menyebabkan efek samping yang diperkirakan karena


efek antifolatnya, khususnya anemia megaloblastik, leukopenia, dan
granulositopenia. Paisen dengan AIDS dan pneumonia pneumosistis
menunjukkan frekuensi efek samping yang tinggi terhadap
trimetropim-sulfametoksazol terutama berupa demam, ruam
leukopenia, diare, hiperkalemi, dan hiponatremia2.

2) Amoksisilin

Amoksisilin adalah antibiotik infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis,


bronchitis kronis, salmonellosis invasive dan gonore dan juga untuk profilaksis
endocarditis. Amoksisilin merupakan antibiotik golongan penisilin bekerja dengan
cara menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis
dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, penisilin akan
menghasilkan efek bakterisid. Dosis amoksisilin oral untuk dewasa 250 – 500 mg
tiap 8 jam, anak 20-40 mg/kg/BB/hari tiap 8 jam, anak umur kurang dari 7 tahun
dosisnya 125 mg 3x sehari dan anak umur 7-13 tahun diberikan dosis 250-500 mg
tiap 8 jam2

3) Aminoglikosida

Aminoglikosida adalah golongan antibiotik bakterisidal yang dikenal


toksik terhadap saraf otak VIII komponen vestibuler maupun akustik (ototoksik)
dan terhadap ginjal (nefrotoksik). Antibiotika ini merupakan produk berbagai
spesies Streptomyces atau fungus lainnya. Sejak tahun 1943 sampai sekarang
berbagai derivat aminoglikosida telah dikembangkan, misalnya streptomisin,
neomicin, kanamicin, paramomisin, getamisin, tobramisin, amikasin, sisimisin,
dan netilmisin. Senyawa aminoglikosid dibedakan dari dari gugus amino yang
terikat pada aminosiklitol. ESO: semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan
nefrotoksik lebih besar kemungkinannya bila pengobatan terjadi lebih dari 5 hari,
pada dosis tinggi, pada usia lanjut da pada pasien dengan insufisiensi ginjal2,3.

7
4) Sefotaksim

Uji klinik menunjukkan bahwa sefotaksim adalah salah satu dari


sefalosporin generasi ketiga. Obat ini sangat aktif terhadap berbagai kuman gram
positif maupun gram negatif aerobik. Aktivitasnya terhadap B. fragilis sangat
lemah dibandingkan dengan klindamisin dan metronidazole. Dosis obat untuk
orang dewasa ialah 2 – 12 g/hari IM atau IV yang dibagi dalam 3 – 6 dosis. Dosis
untuk anak ialah 75 – 150 mg/kg BB/hari yang dibagi dalam 3 – 4 dosis. Dalam
gagal ginjal diperlukan penyesuaian dosis2,3.

5) Siprofloksasin

Obat golongan kuinolon ini bekerja dengan menghambat DNA gyrase


sehingga sintesa DNA kuman terganggu. Siprofloksasin terutama aktif terhadap
kuman Gram negatif termasuk Salmonella, Shigella, Kampilobakter, Neiseria, dan
Pseudomonas. Obat ini juga aktif terhadap kuman Gram positif seperti Str.
pneumonia dan Str. faecalis, tapi bukan merupakan obat pilihan utama untuk
Pneumonia streptococcus2.

6) Nitrofurantoin

Nitrofurantoin adalah antiseptik saluran kemih derivate furan.


Nitrofurantoin merupakan bakterisidal untuk bakteri gram positif dan negative.
Obat ini efektif untuk kebanyakan kuman penyebab infeksi saluran kemih seperti
E. coli, Proteu species, Klepsiella, Enterobacter, Enterocoocus, Streptococcus,
Clostridia dan B. subtilis. Untuk Proteus mirabilis dan Pseudomonas obat ini
kurang efektif2.

8
Tidak terdapat resistensi silang antara nitrofurantoin dan obat antimikroba lain,
dan resistensi muncul secara perlahan. Karena resistensi terhadap trimethoprim-
sulfometksazol dan flurokuinolon semakin sering dijumpai pada E.colli
,nitrofurantoin kini menjadi obat oral alternative penting untuk mengobati infeksi
saluran kemih non-komplikata. Nitrofurantoin tersedia dalam bentuk kapsul atau
tablet 50 dan 100 mg. Dosis untuk orang dewasa ialah 3– 4 kali 50 – 100 mg/hari.
Untuk anak diberikan dosis 5 – 7 mg/kg/hari yang dibagi dalam beberapa dosis.
Nitrofurantoin efektif untuk mengobati bakteriuria yang disebabkan oleh infeksi
saluran kemih bagian bawah. Hidroksimetil nitrofurantoin digunakan yang sama
dengan nitrofurantoin. Dosisnya 4 kali 40 mg sehari peroral2,3.

9
OBAT DIURETIK

Pada saluran kemih sering adanya kelainan volume cairan dan komposisi
elektrolit. Obat-obat yang meningkatkan volume urin sudah dikenal sejak dulu
sebagai penghambat fungsi transpor spesifik tubulus ginjal. Tetapi di tahun 1937
baru ditemukan pertama kali inhibitor kabonat anhidrase dan ditahun 1957
ditemukan obat diuretik yang memiliki bioavalibilitas yang baik (klorotiazid)2.

Diuretik adalah obat yang mempercepat pembentukan urin. Istilah diuresis


memiliki arti yaitu meningkatkan volume urin dan menunjukkan jumlah
pengeluaran zat-zat terlarut dalam air2.

Mekanisme Transport Tubulus Ginjal2

Gambar 1 Sistem transpor tubulus dan tempat kerja diuretika

10
TABEL 1 Segmen-segmen utama nefron dan fungsinya2

Segmen Fungsi Permeabilitas Pengangkutan Diuretik


air utama dan dengan kerja
sasaran obat utama
di membran
apikal
Glomerulus Pembentukan Sangat Tinggi Tidak ada Tidak ada
filtrat
glomerulus
Tubulus Reabsorbsi Sangat Tinggi Na/H1 Inhibitor
kontortus 65% (HNE3), karbonat
proksimal Na+/K+/Ca2+, karbonat anhidrase.
(PCT) dan Mg2+; anhidrase Antagonis
85% adenosin
NaHCO3, dan (sedang
hampir 100% dalam
glukosa dan penelitian)
asma amino
yang
terfiltrasi.
Reabsorbsi
isosmotik air.
Tubulus Sekresi dan Sangat Tinggi Pengangkut Tidak ada
proksimal, reabsorpsi asam dan basa
bagian lurus asam dan
basa organik,
termasuk
asam urat dan
sebagian
besar

11
diuretika
Pars Reabsorbsi Tinggi Akuaporin Tidak ada
descendens pasif air
tipis ansa
henle
Pars Reabsorbsi Sangat Tinggi Na/K/2Cl Loop
ascendens aktif 15-25% (NKCC2) diuretics
tebal ansa Na+/K+/Cl+
henle yang
terfiltrasi;
reabsorbsi
sekunder Ca2+
dan Mg2+
Tubulus Reabsorbsi Sangat Tinggi Na/Cl (NCC) Tiazida
kontortus aktif 4-8%
distal (DCT) Na+ dan C‾
yang
terfiltrasi;
reabsorbsi
Ca2+ dibawah
kontrol
hormon
paratiroid
Tubulus Reabsorbsi Bervariasi2 Saluran Na Diuretik
koligentes Na+ (2-5%) (EnaCl), hemat K+,
kortes (CCT) yang daluran K1, antagonis
dipasangkan pengangkut adenosin
dengan H+1, akuaporin (sedang
sekresi K+ dalam
dan H+ penelitian)
Duktus Reabsorbsi Bervariasi2 Akuaporin Antagonis
koligentes air di bawah vasopresin

12
medula kontrol
vasopresin
1
Bukan sasaran obat yang sekarang tersedia

2
Dikontrol oleh aktiviras vasopresin

FARMAKOLOGI DASAR OBAT DIURETIK

Obat yang meningkatkan volume urin (Diuretika)

1. Inhibitor Karbonat Anhidrase


Karbonat anhidrase paling bayak terdapat di bagian nefron, dan paling
dominan lokasi enzim ini pada sel epitel tubulus kontortus proksimal (PCT).
Dimana sebagai tempat enzim untuk mengatalisis dehidrasi H2CO3 menjadi
CO2 di membran luminal dan rehidrasi CO2 menjadi H2CO3 di sitoplasma.
Inhibitor dalam menghambat karbonat anhidrase dapat mengurangi reabsorbsi
NaHCO3 dan menyebabkan diuresis.
Inhibitor karbonat anhidrase adalah obat diuretik pertama dan ditemukan
pada tahun 1937 ketika sulfonamid bakteriostatik diketahui menyebabkan
diuresis alkali dan asidosis metabolik hiperkloremik. Prototipe inhibitor
karbonat anhidrase adalah asetazolamid2.
a. Farmakokinetik
Asetazolamid diberikan per oral. Asetazolamid mudah diserap
melalui saluran cerna, kadar maksimal dalam darah dicapai dalam 2 jam
dan menetap selama 12 jam setelah satu dosis. Eksresi obat adalah melalui
sekresi di segmen S2 tubulus proksimal. Pada insufiensi ginjal dosis obat
perlu dikurangi2.
b. Farmakodinamik
Penghambatan aktivitas karbonat anhidrase dapat menekan
reabsorbsi dari HCO3‾ di PCT. Pada dosis aman 85% reabsorbsi HCO3‾ di
PCT superficial akan terhambat. Tetapi HCO3‾ sebagian di rearbsosi pada
bagian nefron lain oleh mekanisme independen-karbonat-anhidrase.
Sehingga keseluhan efek dosis asetazolamid maksimal menghambat 45%
dari reabsorbsi HCO3‾ ginjal keseluruhan. Karena berkurangnya HCO3‾ di

13
filtrat glomerulus dan kenyataann bahwa penyusutan HCO3‾ menyebabkan
peningkatan reabsorbsi NaCl oleh bagian nefron sisanya, maka efek
diuretik asetazolamid akan menurun signifikan setelah digunakan
beberapa hari.
Korpus siliaris mata mensekresikan HCO3‾ dari darah ke dalam
aqueos humor. Pembentukan cairan serebrospinal oleh korpus koroideus
melibatkan sekresi HCO3‾, meskipun proses ini melibatkan sekresi HCO3‾
dari darah yang berbanding terbalik dengan yang terjadi pada tubulus
proksimal, mereka juga di hambat oleh inhibitor karbonar anhidrase2.
c. Indikasi klinis dan dosis
 Glaukoma
Penurunan intraokulus pada pengurangan aqueous humor oleh inhibitor
karbonat anhidrase dapat digunakan untuk menangani glaukoma. Obat
topikal yang tersedia untuk menurunkan tekanan intraokulus tanpa
menimbulkan efek pada ginjal atau sistemik, antara lain2,3:
Obat Dosis Oral
Diklorfenamid 50mg 1-3 kali sehari
Metazolamid 50-100mg 2-3 kali sehari

 Alkalinisasi Urin
Asam urat dan sistin dapat membentuk batu dalam urin yang asam.
Penggunaan inhibitor karbonat anhidrase dapat meningkatkan pH urin
dari 7,0 menjadi 7,5. Pada asam urat hanya perlu ditingkatkan 6.0 atau
6,5. Tanpa pemberian HCO3‾, efek asetazolamid hanya mampu
bertahan 2-3 hari. Penambahan HCO3‾ oral adalah untuk penggunaan
jangka panjang. Alkalinisasi urin berlebihan dapat menyebabkan
pembentukan batu garam kalsium, sehingga pH harus dipantau saat
pemberian asetazolamid2.
 Alkalosis metabolik
Alkalosis metabolik dapat dikoreksi kelainan K+ tubuh total, volume
intravaskular, atau kadar mineralokortikoid. Asetazolamid dapat
digunakan untuk mengoreksis alkalosis dan menimbulkan diuresis

14
ringan untuk mengeluarkan kelebihan cairan. Juga dapat mengorkesi
alkalosis metabolik yang timbul setelah perbaikan asidosis respiratotik2.
 Mountain Sickness Akut
Pendaki gunung yang mendaki diketinggian lebih dari 3000 m, sering
mengalami otot lemah, pusing, insomnia, nyeri kepala, dan mual. Pada
kasus serius dapat terjadi edema paru atau otak progresif mengancam
nyawa. Pengurangan cairan serebrospinal dan menurunkan pH cairan
serebrospinal asetazolamid dapat meningkatkan ventilasi dan gejala
tersebut. Pada asidosis metabolik ringan di otak dan cairan
serebrospinal dapat mengobati apnu tidur2.
d. Sediaan Obat
Obat Sediaan
Asetazolamid Tablet 125 mg dan 250 mg
Diklorfenamid Tablet 50 mg
Metazolamid Tablet 25 mg dan 50 mg
e. Toksisitas
 Asidosis Metabolik Hiperkloremik
Pengurangan berlebihan HCO3‾ tubuh dapat menyebabkan asidosis
metabolik hiperkloremik karna penggunaan inhibitor karbonat
anhidrase dan menurunkan efektifitas seat 2 atau 3 hari2.
 Batu Ginjal
Eksresi faktor-faktor pelarut oleh ginjal berkurang pada penggunaan
berlebih. Garam-garam kalsium tidak larut pada pH basa dan otomatis
meningkatkan pembentukan batu ginjal dari garam-garam ini2.
f. Kontraindikasi
Asetazolamid sebaiknya tidak digunakan pada ibu hamil karena
pada hewan percobaan dapat menyebabkan teratogenik. Alkalinasi urin
akibat anhidrase mengurangi sekresi NH4+ urin dan juga menyebabkan
hiperamobenia dan ensefalipati hati pada pasien sirosis2.
2. Loop Diuretics
Loop diuretik bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium, klorida, dan
kalium pada segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi

15
pembawa klorida. Obat ini termasuk asam etakrinat, furosemid da bumetanid,
dan digunakan untuk pengobatan hipertensi, edema, serta oliguria yang
disebabkan oleh gagal ginjal. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan
selama menggunakan obat ini.
Termasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat, furosemid dan
bumetanid, dan torsemid. Asam etakrinat termasuk diuretik yang dapat
diberikan secara oral maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan.
Furosemid atau asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfomail antranilat masih tergolong
derivat sulfonamid2.
a. Farmakokinetik
Keempat obat mudah diserap melalui saluran cerna. Obat ini
dieliminasi oleh ginjal melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus.
Torsemid oral lebih cepat 1 jam diserap dibandingkan furosemid 2-3 jam.
Efek tosemid biasanya 4-6 jam dan waktu paruh dipengaruhi oleh fungsi
ginjal. Efek loop diuretics dapat berkurang karna pemberian bersamaan
OAINS atau probenesid, yang bersaing untuk sekresi asam lemak di
tubulus proksimal2.

b. Farmakodinamik
Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik kuat mempunyai
mula kerja dan lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat
terutama bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan
epitel tebal dengan cara menghambat kotranspor Na+/K+/Cl‾ dari membran
lumen pada pars ascenden ansa henle, karena itu reabsorpsi Na+/K+/Cl‾
menurun2.
c. Indikasi klinis dan dosis
Dosis lazim loop diuretics
Obat Dosis Oral Harian Total1
Bumetanid 0,5-2 mg
Asam etakrinat 50-200 mg
Furosemid 20-80 mg
Anak-anak 2mg/kgBB (jika perlu

16
ditingkatkan 6mg/kgBB)
Torsemid 5-20 mg
1
sebagai dosis tunggal atau terbagi dua
 Hiperkalemia
Diberikan tindakan lopp diuretics untuk meningkatkan eksresi K+ di
urin pada hiperkalemia ringan atau akut. Rospon dapat ditingkatkan
dengan diberikan NaCl dan air2,3.
 Gagal ginjal akut
Loop diuretics dapat meningkatkan aliran urin dan eksresi K+ pada
gagal ginjal aku tetapi buakn untuk mencegah atau mempersingkat
durasinya. Loop diuretics dapat membantu membilas silinder
intratubulus dan mengatasi obstruksi disana2,3.
d. Sediaan Obat3
Obat Sediaan
Bumetanid Tablet 0,5 mg dan 1 mg
IV atau IM dosis awal antara 0,5-1
mg, dosis diulang 2-3 jam
maksimum 10mg/kg.
Asam etakrinat Tablet 25 mg dan 50 mg
Furosemid Tablet 20mg, 40 mg dan 80 mg
Tablet salut selaput
Cairan injeksi
Larutan infus
Kaplet

e. Toksisitas
 Alkalosis Metabolik Hiperkalemi
Dengan menghambart garam di TAL, Loop diuretics meningkatkan Na+
ke duktus koligentes. Hal ini menyebabkan peningkatan K+ dan H+
yang dapat menyebabkan alkalosis metabolik hiperkalemi.

17
 Hiperurisemia
Loop diuretics dapat meningkatkan reabsorbsi asam urat di tubulus
prosimal yang berkaitan dengan hipovolemia sehingga menyebabkan
hiperurisemia dan memicu serangan gout. Al ini dapat di atasi dengan
menggubakan dosis rendah dan menghindari hipovolemia.
f. Kontraindikasi
Furosemid, bumetanid, dan torsemid mungkin bisa menyebabkan
alergi bagi beberapa orang, dan uni sangat jarang, tetapi penggunaan obat
siuretik berlebihan berbahaya bagi pasien dengan sirosis hati, gagal ginjal
borderline, atau gagal jantung2.
3. Tiazida
Diuretik tiazid ditemukan pada tahun 1957. Tiazid menghambat transpor
NaCl, bukan NaHCO3‾ efek obat ini aktif pada tubulus kontortus distal, bukan
pada tubulus kontortus proksimal. Ptototipe dari tiazid ini adalah
hidroklorotiazid (HCTZ) 2.
a. Farmakokinetik
Tiazid memiliki gugus sulfonamid. Semua tiazid dapat diberikan
per-oral. Pemberian klorotiazid harus dalam dosis besar karena tidak dapat
larut dalam lemak. HCTZ yang lebih poten dapat diberikan dalam dosis
rendah. Klortaridon diserap perlahan dan memiliki kerja panjang.
Indapidamik yang banyak disekresikan dalam empedu bentuk aktifnya
dapat membantu dalam efek diuretik tubulus kontortus distal.
Semua tiazid disekresikan oleh sistem sekresi asam organik di
tubulus proksimal dan bersaing dengan sekresi asam urat oleh sistem itu.
Akibatnya, pemberian tiazid dapat mengurangi asam urat dan
meningkatkan kadar asam urat darah2.
b. Farmakodinamik
Tiazid menghambat reabsorbsi NaCl pada sel epitel tubulus
kontortus distal dan menghambat pengangkutan Na+/Cl‾. Berbeda pada
ansa henle ascenden dimana loop diuretcs yang menghambat reabsorbsi
Ca2+ pada tiazid justru meningkatkan Ca2+. Peningkatan ini terjadi karena
pada tubulus kontortus proksimal pengurangan volume yang ditimbulkan

18
oleh tiazid menyebabkan peningkatan reabsorbsi Na+ dan reabsorbsi pasif
Ca2+. Pada tubulus kontortus distal penuurnan Na+ intraseloleh blokade
masuknya Na+ yang dipicu oleh tiazid meningkatkan Na+/Ca2+ di
membran basolateral, dan meningkatkan keseluruhan reabsorbsi Ca2+.
c. Indikasi klinis dan dosis2
Obat Dosis Oral Harian Frekuensi Pemberian
Total Harian
Bendroflumetiazid 2.5-10 mg Dosis tunggal
Klorotiazid 0.5-2 g Dosis terbagi dua
Klortalidon 25-50 mg Dosis tunggal
Hidroklorotiazid 25-100 mg Dosis tunggal
Hidroflumetiazid 12,5-50 mg Dosis terbagi dua
Indapamid 2,5-10 mg Dosis tunggal
Metiklotiazid 2,5-10 mg Dosis tunggal
Metolazon 2,5-10 mg Dosis tunggal
Politiazid 1-4 mg Dosis tunggal
Kuinetiazon 25-100 mg Dosis tunggal
Triklometiazid 1-4 mg Dosis tunggal

Indikasi utama untuk tiazid adalah, antara lain2:


 Hipertensi
 Gagal jantung
 Nefrolitiasis karena hiperkalsiuria idiopatik
 Diabetes insipidus nefrogenik
d. Sediaan Obat
Obat Sediaan
Bendroflumetiazid Tablet 2,5 mg 5 mg dan 10 mg
Klorotiazid Tablet 250mg dan 500mg
Klortalidon Tablet 25 mg, 50 mg, 100 mg dan
200 mg
Hidroklorotiazid Tablet 25 mg dan 50 mg

19
Hidroflumetiazid Tablet 50 mg
Indapamid Tablet 2,5 mg
Metiklotiazid Tablet 2,5 dan 5 mg
Metolazon Tablet 2,5 mg, 5 mg dan 10 mg
Politiazid Tablet 1mg, 2 mg dan 4 mg
Kuinetiazon Tablet 50 mg
e. Toksisitas
 Alkalosis Metabolik Hipokalemi dan Hiperurisemia
Dengan menghambart garam di TAL, Loop diuretics meningkatkan Na+
ke duktus koligentes. Hal ini menyebabkan peningkatan K+ dan H+
yang dapat menyebabkan alkalosis metabolik hiperkalemi.
 Reaksi Alergik
Meskipun jarang terjadi fotosensitivitas atau dermatitis generalisata.
Reaksi alergik serius sangat jarang. Pernah dilaporkan adanya anemia
hemolitik, trombositopenia, dan pankreatitis nekrotikans akut
f. Kontraindikasi
penggunaan obat siuretik berlebihan berbahaya bagi pasien dengan
sirosis hati, gagal ginjal borderline, atau gagal jantung.
4. Diuretik Hemat-Kalium
Diuretik hemat-kalium cegah sekresi K+ dengan melawan efek-efek
aldosteron pada duktus koligentes. Yang termasuk dalam klompok ini antara
lain aldosteron, traimteren dan amilorid. Aldosteron adalah
mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan utama aldosteron ialah
memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida di tubuli serta memperbesar
ekskresi kalium. Yang merupakan antagonis aldosteron adalah spironolakton
dan bersaing dengan reseptor tubularnya yang terletak di nefron sehingga
mengakibatkan retensi kalium dan peningkatan ekskresi air serta natrium. Obat
ini juga meningkatkan kerja tiazid dan diuretik loop. Diuretik yang
mempertahankan kalium lainnya termasuk amilorida, yang bekerja pada
duktus pengumpul untuk menurunkan reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium
dengan memblok saluran natrium, tempat aldosteron bekerja. Diuretik ini
digunakan bersamaan dengan diuretik yang menyebabkan kehilangan kalium

20
serta untuk pengobatan edema pada sirosis hepatis. Efek diuretiknya tidak
sekuat golongan diuretik kuat2.
a. Farmakokinetik
Spironolakton adalah steroid sintetik bekerja sebagai antagonis
kompetitif pada aldosteron. Masa kerja ditentukan oleh respon aldosteron
di jaringan sasaran.inaktivasi substansial terjadi di hati.spironolakton
memiliki kerja yang lambat, sehingga memerlukan beberapa hari untuk
mendapatkan efeknya. Dan efek sampingnya sedikit
Amilorid dan triamteren adalah inhibitor langsung influk Na+ di
duktus pengumpul. Triamteren di metabolis di hati tetapi aktif pada eksresi
ginjal. Kerja obat lebih singkat sehingga lebih banyak digunakan dari pada
amilorid2.
b. Farmakodinamik
Diuretik hemat kalium mengalami absorbsi di tubulus dan duktus
kolektif, absorbsi Na+ dan sekresi K+ pada duktus dan tubulus kolektif
ginjal diatur oleh hormon aldosteron. Golongan obat antagonis aldosteron
mengganggu aktifitas aldosteron secara fisiologis. Sementara amilorit dan
triamteren tidak memblokade aldosteron namun mengganggu masuknya
Na+ melalui epitelial Na+ channels (EnaC) di membran apikal tubulus
kolektivus dimana sekresi K+ bekerja berpasangan dengan aktifitas
ini.Aksi dari antagonis aldosteron bergantung kepada produksi
prostaglandin di renal, dan aksi dari diuretik hemat kalium dihambat oleh
NSAID bila diberikan secara bersamaan2.
c. Indikasi klinis dan dosis
Nama Dagang Diuretik Hemat-Kalium
Aldactazide Spironolakton 25 mg
Aldactone Spironolakton 25 mg, 50 mg, atau
100 mg
Dyazide Triamteren 37,5 mg
Dyrenium Triamteren 50 mg atau 100 mg
Inspira1 Eplerenon 23 mg, 50 mg, atau 100
mg

21
Maxzide Triamteren 75 mg
Maxzide- 25 mg Triamteren 37,5 mg
Midamor Amilorid 5 mg
Moduretic Amilorid 5 mg
Spironolakton

 Dosis dewasa 25-200mg


 Dosis efektif sehari rata-rata 100mg (Dosis tunggal atau terbagi)
 Sediaan kombinasi tetap (spironolakton 25 mg dan hidraoklortiazid 25
mg) serta (spironolakton 25 mg dan tiabutazid 2,5 mg

Trimteren

 Dosis 100-300 mg per hari


 Untuk tiap penderita harus ditetapkan dosis penunjang tersendir

Amilorid

 Dosis 5-10 mg per hari


 Sediaan kombinasi tetap antara amilorid 5 mg dan hidroklortiazid 50
mg terdapat dalam bentuk tablet dengan dosis sehari antara 1-2 tablet.
Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi
dan udem yang refrakter. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik lain
dengan maksud mengurangi ekskresi kalium, disamping memperbesar
diuresis3,4.
d. Sediaan obat
Obat Sediaan
Spironolakton Tablet 25, 50 dan 100 mg.
Triamteren Kapsul 100mg
Amilorid Tablet 5 mg

22
e. Toksisitas
 Hiperkalemia
Obat diuretik ini dapat menyebabkan hiperkalemia ringan hingga
mengancam nyawa karena mengurangi eksresi k+ urin dan diperparah
oleh pasien dengan insufisiensi ginjal. Pada kombinasi obat tetap
diuretik hemat kalium dengan tiazid,hipokalemia dan alkalosis
metabolik yang disebabkan oleh tiazid teratasi. Namun karne komposisi
dari kandungan tiapobat ini nyatanya efek obat tiazid yang sering
mendominasi. Sehingga dianjurkan dua obat ini diberikan dalam dosis
terpisah2.
 Gagal Ginjal Akut
Kombinasi triamteren dan indomestasin pernah dilaporkan
menyebabkan gagal injal akut. Hal ini belum pernah dilaporkan padan
diuretika hemat-kalium lainnya.
 Batu Ginjal
Triamteren hanya sedikit larut dan dapat mengendap di urin sehingga
menyebabkan batu ginjal.
f. Kontraindikasi
Diuretik hemat-kalium dapat menyebabkan hiperkalemia berat, bahkan
mematikan. Pasien dengan insufisiensi ginjal kronik merupakan yang
paling rentan sebaiknya tidak diberi diuretik ini. Pemberian obat lain
memperlemah sistem renin-angiotensin sehingga memungkinkan
peningkatan hiperkalemia2.
5. Diuretik Osmotik
Diuresis osmotik merupakan zat yang secara farmakologis lembam, seperti
manitol (satu gula). Diuresis osmotik diberikan secara intravena untuk
menurunkan edema serebri atau peningkatan tekanan intraoukular pada
glaukoma serta menimbulkan diuresis setelah overdosis obat. Diuresis terjadi
melalui tarikan osmotik akibat gula yang lembam (yang difiltrasi oleh ginjal,
tetapi tidak direabsorpsi) saat ekskresi gula tersebut terjadi, prototipe dari
diuretik osmotik adalah manitol2

23
Diuretik osmotik mempunyai tempat kerja :
Tubuli proksimal
Diuretik osmotik ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya.
Ansa enle
Diuretik osmotik ini bekerja pada ansa henle dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium
dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula menurun.
Duktus Koligentes
Diuretik osmotik ini bekerja pada Duktus Koligentes dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out,
kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.
a. Farmakokinetik
Menitol diberikan secara intravena karena kurang diserap oleh saluran
cerna. Jika diberikan per oral bahan ini dapat menyebabkan diare osmotik
daripada diuresis. Manitol tidak dimetabolisme dan diekresikan oleh filtrasi
glomerulus dalam 30-60 menit, tampa reabsorbsi atu sekresi signifikan di
tubulus. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal pemberian obat dilakukan
secara hati-hati2.
b. Farmakodinamik
Diuretik osmotik bekerja pada tubulus proksimal dan pars ascendens ansa
henle. Efek osmotik melawan efek ADH yang ada di tubulus koligentes.
Adanya monitol yang merupakan zat terlarut yang tidak dapat direabsorbsi
dapat menghambat absorbsi normal air dengan melawan gaya osmotik.
Sehingga volume air meningkat. Kontak cairan dengan epitel berkurang
karna laju urin yang cepat sehingga reabsorbsi Na+ maupun air berkurang.
Natriuresis lebih ringan dibanding diuresis air akhirnya terjadi pengeluaran
air yang berlebihan dan hipernatremia2.
c. Indikasi klinis dan dosis
 Menigkatkan Volume Urin
Diuretik osmotik berguna untuk meningkatkan eksresi air dari pada
eksresi natrium. obat ini berfungsi mempertahankan volume dan

24
mencegah anuria. Pada pasien oligouria obat ini tidak dapat digunakan.
Oleh karena itu suatu dosis manitol (12,5 g intravena) diberikan
sebelum infus kontinyu. Berhentikan manitol kecuali laju aliran urin
lebih daripada 50 ml/jam selama 3 jam setelah diberikan. Manitol dapat
diberikan 1-2 jam (12,5-25 g intravena) untuk pertahankan urin
100ml/jam. Tidak dianjurkan pemberian manitol secara terus
menerus2,3,4.
 Mengurangi Tekanan Intrakranial atau Intraokulus
Diuretik mengurangi volume air intrasel. Digunakan untuk mengurangi
teanan intrakranium pada penyakit neurologik dak menurunkan tekanan
intraokulus sebelum oftalmologik. Dosis manitol yang diberikan (1-2
g/kg intravena) 2,3,4.
d. Toksisitas
 Hiponatermia
Manitol tidak dapat dieksresikan dan tertahan di dalam vena,
menyebabkan ekstraksi osmotik air di sel sehingga bisa hiponatermia
pada pasien dengan gangguan ginjal berat.
 Ekspansi Volume Ekstrasel
Manitol cepat tersebar di kompartemen ekstrasel dan mengekstrasi air
dari sel. Hal ini dapat memperberat gagal jantung dan memicu edema
paru berat. Pengobatan diuretik osmotik sering menyebabkan nyeri
kepala, mual, dan muntah.

Obat yang menurunkan volume urin (Antidiuretik)

1. Agonis Hormon Antidiuretik (ADH, Vasopresin)


Vasopresin dan desmopresin digunakan untuk mengobari diabetes insipidus
sentral. Efek pada ginjal oleh reseptor ADH V2, meskipun reseptor V1a juga
mungkin terlibat2.
2. Antagonis Hormon Antidiuretik
Obat yang sdigunkan adalah demoksiklin dan litium tetapi mekanisme
kerja kedua obat ini belumdiketahui secara sempurna. Demoksiklin digunakan
lebih sering dari pada litium, tetapi sekarang demoksiklin digantikan oleh

25
angonis spesifik reseptor ADH (golongan vaptan), dengan hasil klinis yang
baik.
Ada tiga reseptor vasopresin yaitu V1a, V1b, dan V2. Reseptor V1
diekspresikan di pembuluh darah dan SSP. Reseptor V2 di ekspresikan secara
spesifik di ginjal. Konivaptan obat ini tersedia dalam pemberian intrvena
memperlihatkan aktivitas pada reseptor V1a dan V2 sedangkan obat oral
tolvaptan, liksivaptan, dan satavaptan selektif pada V2. Tolvaptan diakui
sebagai standar pengobatan pasien hiponatermia dan pasien dengan terapi
diuretik pada congestive heart failure (CHF) 2.
a. Farmakokinetik
Waktu paruh konivaptan dan demelosiklin 5-10 jam, untuk tolvaptan
waktunya 12-24 jam2.
b. Farmakodinamik
Obat ini hambat ADH di tubulus koligentes. Konivaptan dan tolvaptan
adalah obat antagonis langsung reseptor ADH, sedangkan litim dan
demeklosiklin mengurangi cAMP yang ditimbulkan oleh ADH melalui
mekanisme yang belum diketahui2.
c. Indikasi dan Dosis
Obat Indikasi Dosis Sediaan
Tolvaptan Hiponatremia  15 mg satu kali Tablet
sekunder karena sehari (dapat
gangguan sekresi dinaikkan
hormon menjadi 30 mg
antidiuretik sekali sehari
(syndrome of minimal
inappropriate setelah 24 jam)
antidiuretic  Dosis
hormone maksimum 60
secretion), mg satu kali
hiponatremia sehari.
hipervolume yang
tidak bisa

26
ditangani dengan
pembatasan
cairan (natrium
dalam serum
<125 mEq/L atau
hiponatremia
yang memberikan
gejala pada
pasien gagal
jantung).
demeklosiklin lihat tetrasiklin. 150 mg tiap 6
Lihat juga jam atau 300 mg
gangguan sekresi tiap 12 jam2,4.
hormon
antidiuretik.

d. Toksisitas
 Gagal ginjal
Litium dan demelosiklin pernah dilaporkan menyebabkan gagal ginjal
akut. terapi litium jangka panjang juga dapat sebabkan nefritis
interstitium kronik2.
 Lain-lain
Mulut kering dan haus sering terjadi akibat pemberian obat-obat ini.
Tolvaptan menyebabkan hipotensi. Demoksiklin perlu dihindari oleh
pasien dengan penyakit hati dan anak berusia kurang 12 tahun2.

27
NEFROTOKSIK

A. FISIOLOGI GINJAL

Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron yang
masing-masing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk urin. Ginjal
tidak dapat membentuk nefron baru, oleh sebab itu, pada trauma, penyakit ginjal,
atau penuaan ginjal normal akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap.
Setelah usia 40 tahun, jumlah nefron biasanya menurun setiap 10 tahun.
Berkurangnya fungsi ini seharusnya tidak mengancam jiwa karena adanya proses
adaptif tubuh terhadap penurunan fungsi faal ginjal Setiap nefron memiliki 2
komponen utama yaitu glomerulus dan tubulus. Glomerulus (kapiler glomerulus)
dilalui sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah sedangkan tubulus merupakan
saluran panjang yang mengubah cairan yang telah difiltrasi menjadi urin dan
dialirkan menuju keluar ginjal. Glomerulus tersusun dari jaringan kapiler
glomerulus bercabang dan beranastomosis yang mempunyai tekanan hidrostatik
tinggi (kira-kira 60mmHg), dibandingkan dengan jaringan kapiler lain.9

Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus


dilingkupi dengan kapsulaBowman. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus

28
masuk ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal,
yang terletak pada korteks ginjal. Dari tubulus proksimal kemudian dilanjutkan
dengan ansa Henle (Loop of Henle). Pada ansa Henle terdapat bagian yang
desenden dan asenden. Pada ujung cabang asenden tebal terdapat makula densa.
Makula densa juga memiliki kemampuan kosong untuk mengatur fungsi nefron.
Setelah itu dari tubulus distal, urin menuju tubulus rektus dan tubulus koligentes
modular hingga urin mengalir melalui ujung papilla renalis dan kemudian
bergabung membentuk struktur pelvis renalis. Terdapat 3 proses dasar yang
berperan dalam pembentukan urin yaitu filtrasi glomerulus reabsorbsi tubulus, dan
sekresi tubulus. Filtrasi dimulai pada saat darah mengalir melalui glomerulus
sehingga terjadi filtrasi plasma bebas-protein menembus kapiler glomerulus ke
kapsula Bowman. Proses ini dikenal sebagai filtrasi glomerulus yang merupakan
langkah pertama dalam pembentukan urin. Setiap hari terbentuk ratarata 180 liter
filtrat glomerulus. Dengan menganggap bahwa volume plasma rata-rata pada
orang dewasa adalah 2,75 liter, hal ini berarti seluruh volume plasma tersebut
difiltrasi sekitar enam puluh lima kali oleh ginjal setiap harinya. Apabila semua
yang difiltrasi menjadi urin, volume plasma total akan habis melalui urin dalam
waktu setengah jam. Namun, hal itu tidak terjadi karena adanya tubulus-tubulus
ginjal yang dapat mereabsorpsi kembali zat-zat yang masih dapat dipergunakan
oleh tubuh. Perpindahan zat-zat dari bagian dalam tubulus ke dalam plasma
kapiler peritubulus ini disebut sebagai reabsorpsi tubulus. Zat-zat yang
direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin, tetapi diangkut oleh kapiler
peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan.
Dari 180 liter plasma yang difiltrasi setiap hari, 178,5 liter diserap kembali,
dengan 1,5 liter sisanya terus mengalir melalui pelvis renalis dan keluar sebagai
urin. Secara umum, zat-zat yang masih diperlukan tubuh akan direabsorpsi
kembali sedangkan yang sudah tidak diperlukan akan tetap bersama urin untuk
dikeluarkan dari tubuh. Proses ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu pada
perpindahan selektif zat-zat dari darah kapiler peritubulus ke lumen tubulus.
Sekresi tubulus merupakan rute kedua bagi zat-zat dalam darah untuk masuk ke
dalam tubulus ginjal. Cara pertama adalah dengan filtrasi glomerulus dimana
hanya 20% dari plasma yang mengalir melewati kapsula Bowman, sisanya terus

29
mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Beberapa zat,
mungkin secara diskriminatif dipindahkan dari plasma ke lumen tubulus melalui
mekanisme sekresi tubulus. Melalui 3 proses dasar ginjal tersebut, terkumpullah
urin yang siap untuk diekskresi.9

Ginjal memainkan peranan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya


dengan menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga
dengan menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh, mengontrol
tekanan darah, dan menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah. Ginjal
mempunyai kemampuan untuk memonitor jumlah cairan tubuh, konsentrasi dari
elektrolit-elektrolit seperti sodium dan potassium, dan keseimbangan asam-basa
dari tubuh. Ginjal menyaring produk-produk sisa dari metabolisme tubuh, seperti
urea dari metabolisme protein dan asam urat dari uraian DNA. Dua produk sisa
dalam darah yang dapat diukur adalah Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin
(Cr). Ketika darah mengalir ke ginjal, sensor-sensor dalam ginjal memutuskan
berapa banyak air dikeluarkan sebagai urin, bersama dengan konsentrasi apa dari
elektrolit-elektrolit. Contohnya, jika seseorang mengalami dehidrasi dari latihan
olahraga atau dari suatu penyakit, ginjal akan menahan sebanyak mungkin air dan
urin menjadi sangat terkonsentrasi. Ketika kecukupan air dalam tubuh, urin adalah
jauh lebih encer, dan urin menjadi bening. Sistem ini dikontrol oleh renin, suatu
hormon yang diproduksi dalam ginjal yang merupakan sebagian daripada sistem
regulasi cairan dan tekanan darah tubuh .

B. DEFINISI NEFROTOKSIK9

Nefrotoksik adalah yang beracun untuk jaringan ginjal. obat-obatan yang


bersifat nefrotoksik. yakni, obat yang bersifat 'meracuni' atau mengganggu fungsi
ginjal. meski bersifat nefrotoksik, bukan berarti obat-obatan itu tidak boleh
digunakan. Obat-obatan itu tetap bisa dipakai mereka yang membutuhkan, tetapi
dengan pengawasan dokter, tidak boleh sembarangan.

Beberapa golongan antibiotik yang sering menyebapkan gangguan fungsi


ginjal antara lain: golongan aminoglikosida, betalactam, vancomisin, golongan
sulfanamid kotrimoksazol golongan azyclovir ,golongan amphotericin B

30
,golongan rifampisin.berdasarkan aktivitas antibiotik terhadap kuman gram
positif dan garam negative,maka aktivitas antibiotic terhadap gram negative
relative lebih bersifat nefrotksis.9

Obat antibiotic sebagian di eksekresikan lewat ginjal,bila ginjal


mengalami gangguan fungsi maka pemberian obat tentunya harus disesuaikan
untuk itu kita perlu mengetahui perubahan farmakokinetiknya pengaturan
penggunaan obat, memerlukan dosis yang sesuai dengan kemampuan fungs ginjal
karenanya perlu ditentukan pengaturan loading dose ,maintenance dose serta
perubahan mentenance dose bila bersihan obat berubah. Mekanisme terjadinya
gangguan fungsi ginjal akibat penggunaan antibiotic antara lain dengan cara
penurunan ekskresi narium dan air,perubahab aliran darah, obstruksi pada saluran
air kemih serta karena perubahan umur seseorang menjadi tua.

C. MACAM – MACAM ANTIBIOTIK NEFROTOKSIS

A. Golongan Aminoglikosida 9,10

Aminoglikosida merupakan antibiotic yang penggunaanya sangat luas


terutama untuk pengobatan infeksi gram negative,namun demikian
penggunaannya dibatasi karena bersifat nefrotoksis.kegagalan fungsi ginjal akibat
pemakaian amino glikosida terjadi apabila kenaikan kadar kreatinitin plasma
hingga > = 45 umol/L selama atau setelah terapi angka kejadiannya 10-37% setara
dengan dosis dan pemakaiannya,bahkan ada yang mengatakan 50% dalam waktu
14 hari atau lebih pemakaian .walaupin sifat nefrotoksisnya reversible,tetapi terapi
dialysis kadang dipelukan karena beratnya kegagalan ginjal.Aminoglikosida
berikatan dengan sel epitel membrane lumen – tubulus ginjal- release enzim
lisosom ke sitosol – disfungsi dan kematian sel Mekanisme terjadinya nefrotoksis
aminoglikosida masuk ke dalam ginjal mencapai maksimal dikorteks ginjal dan
sel tubulus,melalui proses endositosis, aminoglikosida berikatan dengan lisosom
membentuk myloid body / lisosom sekunder dan fosfolipidosis. Kemudian
membrane lisosom pecah dan melepaskan asam hidrolases dan mengakibatkan
kematian sel . mekanisme lain dapat diketahui lewat permukaan sel G protein
bergabung dengan Ca ++ ( polyvalent cation )- sensing receptor (Ca R) di mana

31
reseptor ini berada di nefron distalis serta lumen tubulus proksimalis ,dan
dikatakan bahwa CaR ini terlibat dalam proses kerusakan sel Faktor resiko
aminoglikosida lain adanya antara depletion ion natrium dan kalium,iskemia
ginjal ,karena usia lanjut ,penggunaan diuretika , penyakit hati dan obat lain yang
nefrotoksis.10

Adapun urutan toksitasinya golongan aminoglikosida dari yang paling


toksin adalah (1.Neomisin 2.Gentamisin 3. Tobramisin 4. Amikasin
5.Streptomisin )Pencegahan dan pengelolahan toksistas aminoglikosida bias
dengan alternative yaitu: Menggunakan obat dengan dosis tunggal sehari untuk
waktu yang pendek pada terapi empiris. Deteksi toksitasis subklinik dengan
mengetahui gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa Memonitoring
serum kretinin setiap hari kalua perlu dengan memberikan dosis obat berdasarkan
GFR, khisusnya pada orang tua ,serta monitoring serum kalium dan natrium tiap
hari 4 apabila serum keatinin > 1,5mg/dl,obat dihentikan dan dipikirkan
alternative terapi. Monitoring produksi air kemih dan mulai pemberian cairan
yang adekuat serta elektrolit khususnya pada kalium NaCl serta calcium dan
magnesium.9,10

B.Streptomisin:9,11
Streptomisin adalah aminoglikosida yang pertama diterapkan secara klinis
dan berhasil digunakan untuk melawan bakteri gram negatif. dan Lebih
mempengaruhi sistem vestibular daripada sistem pendengaran. Kerusakan
Vestibular akibat streptomisin adalah umum dengan penggunaan jangka panjang
dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Karena sifatnya yang ototoksik
agen ini jarang digunakan saat ini. Namun, penggunaan streptomisin meningkat
untuk pengobatan TBC.
• Gentamicin: Seperti streptomisin, gentamisin memiliki kecenderungan untuk
mempengaruhi sistem vestibular. Indeks terapi sebesar 10-12 mcg / mL pada
umumnya dianggap aman tapi masih dapat bersifat ototoksik pada beberapa
pasien. Hati-hati dalam pemberian dosis pada pasien dengan penyakit ginjal.

• Neomycin: Agen ini adalah salah satu yang paling cochleotoxic bila diberikan
secara peroral dan dalam dosis tinggi, karena itu, penggunaan sistemik umumnya

32
tidak dianjurkan. Neomisin merupakan salah satu aminoglikosida yang paling
lambat untuk mempengaruhi Perilimfe; akibatnya dapat muncul 1-2 minggu
setelah konsumsi ataupun dapat terjadi kemudian setelah penghentian terapi.
Neomisin Meskipun umumnya dianggap aman bila digunakan topikal dalam
saluran telinga atau pada lesi kulit kecil, sama efektifnya alternatif yang tersedia.

• Kanamycin: Meskipun kurang bersifat ototoksiks dibandingkan neomisin,


kanamycin cukup bersifat ototoxic. Kanamycin memiliki kecenderungan
mendalam menyebabkan kerusakan sel rambut koklea, ditandai frekuensi tinggi
gangguan pendengaran, dan lengkap tuli. Efek yang merusak terutama ke koklea,
sedangkan sistem vestibular biasanya terhindar dari cedera. penggunaan klinis
saat ini sudah dibatasi. Sepertihalnya dengan neomisin, penggunaan secara
parenteral umumnya tidak dianjurkan.

• Amikasin: Amikasin adalah turunan dari kanamycin dan memiliki toksisitas


sangat sedikit terhadap organ vestibular. Efek yang merugikan terutama yang
melibatkan sistem pendengaran, namun itu dianggap kurang ototoxic dari pada
gentamisin.

• Tobramycin: Ototoxicity dari tobramisin adalah serupa dengan amikasin;


menyebabkan tuli pada nada berfrekuensi tinggi. Seperti halnya dengan
kanamycin, jarang menyebabkan terjadinya ototoksik terhadap organ vestibuler.
Tobramisin sering digunakan secara otic dan topikal. Terapi Topikal digunakan,
umumnya dianggap aman Penatalaksanaan Saat ini, tidak ada pengobatan yang
dapat mengembalikkan kerusakan telinga yang terjadi karena konsumsi obat-
obatan golongan Aminoglikosida. Bila pada waktu pemberian obat-obatan
ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam (dalam diketahui secara
audiiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera
dihentikan. Berat ringannya ketulian tergantung dari jenis obat, jumlah, dan
lamanya penggunaan obat. Hal tersebut lebih rentan terjadi pada pasien dengan
insufisiensi ginjal dan jenis obat itu sendiri.Pengobatan yang tersedia saat ini
ditujukan untuk mengurangi dampak kerusakan dan merehabilitasi fungsi.
Individu dengan gangguan pendengaran dapat dibantu dengan alat bantu dengar,

33
psikoterapi, auditory training, termasuk dengan mengguanakn sisa pendengaran
dewngan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan blajar bahasa isyarat.
Dan mereka yang mengalami gangguan pendengaran bilateral yang sudah
mendalam dapat diatasi dengan melakukan implan koklea. Dalam kasus
kehilangan fungsi keseimbangan, terapi fisik merupakan hal yang sangat bernilai
bagi banyak individu. Tujuannya adalah untuk membantu otak menjadi terbiasa
dengan informasi yang berubah dari telinga bagian dalam dan untuk membantu
individu dalam mengembangkan cara lain untuk menjaga keseimbangan.

Tetapi dalam kasus-kasus tertentu yang terjadi karena rusaknya organ


vestibuler seperti terjadinya tinnitus, vertigo, ataupun kehilangan keseimbangan
rupanya juga dapat ditanggulangi dengan obat aminoglikosida, dengan
mempengaruhi system vestibuler yang sebenarnya sudah mengalami kelainan
pada awalnya. kelainan awal di organ vestibuler yang sudah terbentuk
mekanismenya di rusak oleh aminoglikosida yang bersifat ototoksik terhadap
organ vestibuler, sehingga gejala awal seperti tinnitus ataupun vertigo menjadi
berkurang, walaupun pada akhirnya dapat memberikan efek ototoksik pada organ
vestibuler lainnya atau organ akustik yang lainPencegahan Berhubung tidak ada
pengobatan untuk tuli akibat ototoksik , maka pencegahan menjadi lebih penting
Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan
pengguanaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor
efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala ototoksisitas
pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang pendengaran dan
vertigo.Pada pasien yang menunjukan mulai ada gejala-gejala tersebut harus
dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan pengobatanPrognosis Prognosis
sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah , lamanya pengobatan, dan
kerentanan pasien. Pada umumnya prognosis tidak begitu baik.

C. Golongan Sulfonamida10,11

Penggunaan obat golongan sulfonamide meningkatkan adanya AIDS, bila


dikombinasikan dengan beberapa obat dapat digunakan unruk pengobatan malaria
( sulfadoksin dan pyrimethamine). Hampir semua obat golongan sulfonamide
diekskresikan melalui ginjal, baik dalam bentuk asetik maupun bentuk bebas masa

34
paruh obat tergantung dari fungsi ginjal .
a. Mekanisme kerja

 Menjadi impermeabel terhadap asam folat, banyak bakteri harus


tergantung pada kemampuannya untuk mensintesis asam folat dari PABA,
pteridin dan glutamat.
 Sebaliknya, manusia tidak dapat mensintesis asam folat dan folat didapat
dari vitamin dan makanannya.
 Karena strukturnya mirip PABA, sulfonamida berkompetisi dengan
substrat ini untuk sintetase enzim dihidropteroat.
 Hal ini menghilangkan kofaktor esensial sel terhadap purin, pirimidin dan
sintesis asam amino.

b. Farmakokinetik

 Pemberian: Kebanaykan obat sulfa diabsorpsi secara baik setelah


pemberian oral. Karena resiko sensitasi sulfa biasanya tidak diberikan
secara topikal.
 Distribusi: Gol. Sulfa didistribusikan ke seluruh cairan tubuh dan
penetrasinya baik ke dalam cairan serebrospinal. Obat ini juga dapat
melewati sawar plasenta dan masuk ke dalam ASI. Sulfa berikatan dengan
albumin serum dalam sirkulasi.
 Metabolisme: Sulfa diasetilasi pada N4, terutama di hati. Produknya tanpa
aktivitas antimikroba, tetapi masih bersifat potensial toksik pada PH netral
atau asam yang menyebabkan kristaluria dan karena itu, dapat
menimbulkan kerusakan ginjal.

c. Efek Samping

 Kristaluria: Nefrotoksisitas berkembang karena adanya kristaluria. Hidrasi


dan alkalinasi urin yang adekuat mencegah masalah tersebut dengan
menurunkan konsentrasi obat dan menimbulkan ionisasinya.sulfisoksazol
dan sulfametoksazol >> larut pada pH urin dibandingkan sulfa yang lama.

35
D. Amphotericin B

Mekanisme disfungsi ginjal termasuk toksisitas sel epitel tubulus secara


langsung denganpeningkatan permeabilitas tubulus dan nekrosis, hingga terjadi
vasokonstriksi arteri san iskemia. Permeabilitas membrane tubulus meningkat
tehadap Na dan K ketika amfoterisin berikatan dengan membrane dan bekerja
sebagai inophore. Vasokonstriksi ginjal terjadi dari mekanisme yang tidak sesuai,
mungkin termasukefek dari amfoterisin B pada influk Ca seluler dan aktivasi
vasokonstriktor prostaglandin .Diatas semua itu, kombinasi efek dari
ditingkakanya energy sel dan kebutuhan oksigen menyebabkan penigkatan
permeabilitas membrane sel, dan pengurangan penghantaran oksigen pada saat
vasokonstriksi renal menghasilkan nekrosis sel epitel tubulus dan kerusakan renal.

Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan sefalosporin


(sefaleksin,sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan monosiklik,
dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin). Penisilin adalah suatu agen
antibakterial alami yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium. Antibiotik
golongan kloramfenikol, kloramfenikol mempunyai spektrumluas. Berkhasiat
bakteriostatis terhadap hampir semua kuman gram positifdan sejumlah kuman
gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkanperintangan sintesa polipeptida
kuman. Contohnya kloramfenikol.11

36
OBAT OTONOM ADRENERGIK

A. Anatomi Sistem Saraf Otonom

Sistem saraf otonom dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu divisi simpatis
(thoracolumbal) dan divisi parasimpatis (kraniosakral). Kedua divisi ini diawali
dari inti/pusat dalam sistem saraf pusat dan memunculkan serabut saraf eferen
preganglionik yang keluar dari batang otak atau medula spinalis dan berakhir pada
ganglion motorik. Pada umumnya serabut preganglionik simpatis berakhir pada
ganglia yang terletak sepanjang rantai paravertebral dikiri dan kanan koumna
spinalis. Sisa ganglia simpatis ini terletak pada ganglia vertebral dibagian depan
vertebra. Dari ganglia tersebut, keluar serabut pasca ganglionik simpatis yang
mempersarafi jaringan. Beberapa serabut preganglionik parasimpatis berakhir
pada ganglia parasimpatis yang terletak diluar organ yang dipersarafi: seperti
ganglia siliaris, pterigopalatinum, submandibular, otik, dan beberapa ganglia
pelvis. Sebagian besar serabut preganglionik parasimpatis berakhir pada sel-sel
ganglion yang tersebar atau berbentuk anyaman dalam dinding organ yang
dipersarafi.5

B. Fisiologi Sistem Saraf Otonom

Fisiologi Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem simpatis dan


parasimpatis memperlihatkan fungsi yang antagonistik. Secara umum dapat
dikatakan bahwa sistem parasimpatis berperan dalam fungsi konservasi dan
reservasi tubuh. sedangkan sistem simpatis berfungsi mempertahankan diri
terhadap tantangan dari luar tubuh dengan reaksi berupa perlawanan atau
pertahanan diri yang dikenal dengan fight or flight reaction. Sistem parasimpatis
fungsinya lebih terlokalisir, tidak difus seperti sistem simpatis, dengan fungsi
utama menjaga dan memelihara sewaktu aktifitas organisme minimal. Sistem ini
mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah pada fungsi basal,
menstimulasi sistem pencernaan berupa peningkatan motilitas dan sekresi getah
pencernaan, meningkatkan absorbsi makanan, memproteksi retina terhadap

37
cahaya berlebihan, mengosongkan rektum dan kandung kemih. Dengan demikian
saraf parasimpatis tidak perlu bekerja secara serentak.5

C. Kimiawi Neurotransmiter Sistem Saraf Otonom5

Suatu klasifikasi penting saraf otonom yang penting adalah molekul


transmiter utamanya asetilkolin (Ach) atau norepinefrin (NE) yang dilepas dari
gelembung kecil akhiran sarafnya. Sejumlah besar serabut SSO perifer mensintesa
dan melepas ACh sehingga disebut serabut kolinergik, yaitu bekerja dengan
melepas ACh. Umumnya serabut pascaganglionik simpatis melepas NE
(noradrenalin) sehingga disebut “noradrenergik” atau lebih sering disebut
adrenergik yaitu bekerja dengan melepaskan NE. Sebagian kecil serabut simpatis
melepas ACh. Sel-sel medula adrenalis, yang secara embriologi analog dengan
neuron pascaganglionik simpatis, melepas campuran epinefrin dan norepinefrin.
Ada empat kunci dari fungsi neurotransmiter yang merupakan sasaran potensial
terapi farmakologi yaitu: sintesis, penyimpanan, pelepasan dan terminasi kerja
neurotransmiter tersebut.

38
D. Transmisi Adrenergik

1. sintesis dan Penyimpanan Neurotransmiter

Neuron adrenergik mengngkut suatu molekul prekursor kedalam ujung


saraf, kemudian mensintesis transmiter dan akhirnya menyimpannya dalam
vesikel bermembran. Pada medula adrenal dan bagian otak tertentu, NE
dikonversi menjadi epinefrin (E). Beberapa proses penting dalam ujung saraf
noradrenergik adalah tempat-tempat potensial dari kerja obat. Salah satu
diantaranya konversi tirosin menjadi dopamin, yang merupakan tahap dengaan
dengan kecepatan terbatas dari sintesa NE. Dapat dihambat oleh tirosin analog
metirosin. Suatu pembawa berafinitas tinggi untuk katekolamin yang terletak pada
dinding vesikel penyimpan dapat dihambat oleh alkaloid reserpin. Sehingga
terjadi pengosongan simpanan neurotransmiter. Suatu pembawa lain membawa
NE dan molekul yang mirip masuk kedalam sitoplasma sel. Proses ini dihambat
oleh kokain dan obat antidepresi trisiklik sehingga timbul peningkatan afinitas
transmiter dalam celah sinaptik.

2. Pelepasan Simpanan Transmiter

Pelepasan simpanan transmiter vesikular pada ujung araf adrenergik


bergantung pada kalsium yang dilepaskan kedalam sel.selain NE sebagai trasmiter
utama juga dilepas kotrasmiter seperti ATP, dopamin b-hidroksilase dan peptida
tertentu kedalam celah sinaptik. Simpatomimetik yang bekerja tidak langsung
misalnya, tiramin dan amfetamin juga mampu melepaskan simpanan transmiter
dari ujung saraf noradrenergik. Obat ini merupakan agonis lemah. Didalam ujung
saraf, obat ini akan menggeser Nei simpanannya dalam vesikel, menghambat
Monoamin oksidase (MAO), dan mempunyai efek lain yang yang meningkatkan
aktivitas NE dalam celah sinaptik. Kerjanya tidak membutuhkan eksositosis
vesikel dan tidak tergantung dengan kalsium.

39
Gambar: gambaran skematik transmisi adrenergik
3. Terminasi Kerja Neurotransmiter5
NE dan E dimetabolisir oleh beberapa enzim. Akibat aktivitas tinggi MAO
dalam mitokondria pada ujung saraf, maka perubahan NE mudah terjadi walaupun
dalam keadaan istirahat. Selama hsil metabolik diekskresikan kedalam urin, maka
perkiraan perubahan katekolamin dapat diperoleh dari analisa laboratorium
terhadap metabolit total. Namun metabolisme bukan merupakan mekanisme
utama dari akhir kerja NE yang secara fisiologis dilepas dari saraf noeadrenergik.
Pengakhiran transmisi noradrenergik terjadi dengan beberapa cara, termaksud
penyebaran secara mudah dari tempat reseptor (dengan metabolisme yang terjadi
dalam plasma atau hepar) dan ambilan kembali kedalam ujung saraf(ambilan I)
atau kedalam glia perisinaptik atau sel otot polos (ambilan II).

E. Reseptor Adrenergik5

Reseptor saraf noradrenergik (reseptor adrenergik) dikenal dengan istilah


adreneseptor yaitu reseptor yang bereaksi terhadap katekolamin seperti
norepinefrin. Adreneseptor dapat dibagi menjadi tipe alfa-adreneseptor dan beta-
adreneseptor sesuai dengan selektivitas agonis dan antagonisnya. Terdapat
subklas dalam alfa-adreneseptor dan beta-adreneseptor yaitu reseptor α1 dan α2
serta β1, β2, dan β3 untuk membedakann selektivitas agonis dan antagonis.

40
Tabel: tipe reseptor otonom adrenergik dengan efek yang telah diketahui atau
kemungkinan efeknya pada jaringan efektor otonom perifer

Adrenoseptor Lokasi khusus Hasil ikatan ligan


Alfa-1 Sel efektor Pembentukan IP3 dan DAG,
pascasinaptik, meningkatkan kadar kalsium
terutama otot polos intraseluler
Alfa-2 Ujung saraf Penghambat adenisil siklase,
adrenergik menurunkan cAMP
presinaptik, platelet,
liposit, otot polos
Beta-1 Sel efektor Merangsang adenilsiklase,
pascasinaptik, meningkatkan cAMP
terutama jantung,
liposit, otak, ujung
saraf adrenergik
presinaptik dan
kolinergik
Beta-2 Sel efektor Merangsang adenilsiklase dan
pascasinaptik, meningkatkan cAMP
terutama otot polos
dan otot jantung
Beta-3 Sel efektor Merangsang adenil siklase,
pascasinaptik, meningkatkan cAMP
terutama liposit

F. Obat Adrenergik Berdasarkan Cara Kerjanya6,7

a. Obat adrenergik kerja langsung

Sebagian obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor


adrenergik di membran sel efektor. Misalkan epinefrin bekerja langsung pada
reseptor α1,α2,β1,β2, dan β3 sedangkan norepinefrin bekerja langsung pada

41
reseptor α1,α2, dan β1 dan kurang pada reseptor β2. Contoh obat lain yang
tergolong kedalam obat adrenergik kerja langsung adalah isoproterenol, dopamin,
dobutamin, phenylefrine, methoxamine, clonidine, metaproterenol, albuterol,
terbutaline, salmeterol dan lain-lain. Ciri obat adrenergik kerja langsung adalah
bahwa responnya tidak berkurang setelah terlebih dahulu diberikan reserpin atau
guanetidin yang menyebabkan deplesi NE dari saraf simpatis, tetapi bahkan
meningkat karena adanya peningkatan sintesis reseptor sebagai mekanisme
kompensasi terhadap hilangnya neurotransmiter.

b. Obat Adrenergik Kerja Tidak Langsung

Contoh obat adrenergik yang bekerja secara tidak langsung adalah


amfetamin, tiramin. Arti bekerja secara tidak langsung adalah menimbulkan efek
adrenergik melalui pelepasan NE yang tersimpan dalam ujung saraf adrenergik.
Karena itu, efek obat-obatan ini menyerupai efek NE tetapi timbulnya lebih
lambat dan masa kerjanya lebih lama. Obat-obatan ini mengalami ambilan
kedalam ujung saraf adrenergik melalui ambilan 1 (norepinefrin transporter=NET)
kedalam gelembung sinaps melalui vesicular monoamine transporter (VMAT-2)
dan menggantikan NE dalam tempat penyimpanannya.7

c. Pengaruh Refleks

Respon suatu organ otonom terhadap obat adrenergik ditentukan tidak hanya oleh
efek langsung obat tersebut, tetapi juga oleh reflek homeostasis tubuh.
Rangsangan adrenergik α1 menimbulkan vasokonstriksi yang meningkatkan
tekanan darah. Ini menimbulkan reflek kompensasi melalui baroreseptor pada
lengkung aorta dan sinus karotis, sehingga tonus simpatis berkurang dan tonus
parasimpatis (vagal) bertambah. Akibatnya terjadi bradikardia, dan vasokonstriksi
oleh obat adrenergik α1 berkurang. Metoksamin adalah contoh obat yang
mempunyai efek adrenergik α1 yang hampir murni. Sebaliknya epinefrin selain
efek α dan β1 yang berupa perangsangan, juga mempunyai efek β2 yang
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otot rangka sehingga peningkatan
tekanan darah tidak begitu besar. Refleks vagal yang timbul tidak begitu kuat,
sehingga biasanya hasil akhirnya tetap takikardi. Penyakit seperti aterosklerosis

42
mengganggu mekanisme baroreseptor akibatnya efek obat simpatomimetik akan
diperkuat.7

G. Jenis Obat Adrenergik6,7

A. Adrenergik Katekolamin

1. Dopamin

Dopamin disintesa pada ganglion simpatik, substansia nigra otak tengah dan
bagian hipotalamus dan retina. Dopamin tidak dapat melewati sawar darah otak.
Efeknya di SSP terjadi karena adanya produk lokal. Prekursor dopamindapat
melewati sawah darah otak sehingga berguna untuk pengobatan parkinson.
Terdapat 2 macam dopamin, yaitu:

- reseptor D1 (efek-efeknya diperantai oleh adenilat siklase)


- reseptor D2 ( kerjanya tidak bergantung pada adenilat siklase)

efek dopamin sebagai agonis α1, antara lain:

 menghambat pelepasan prolaktin, menstimulasi SSP, dan memodifiaksi


tonus otot.
 Merangsang chemoreseptor triger zone (CTZ) di medula oblongata yang
menimbulkan mual dan muntah.
 Pada jantung dopamin memilik efek inotropik dan kronotropik (α1) pada
dosis sedang sampai tinggi
 Pada pembuluh arteri ginjal (mempunyai reseptor dopamin) memberikan
efek: vasodilatasi dan peningkatan GFR pada dosis rendah dan
vasokonstriksi dan penurunan GFR pada dosis tinggi.

Indikasi klinis: dopamin digunakan untuk mengatasi syok, pengobatan oliguri


sekunder yang disebabkan oleh menurunnya aliran darah ginjal, efek
dopaminergik untuk meningkatkan aliran darah ke ginjal tanpa menaikkan
tekanan darah sistemik yang diperoleh dengan pemberian dopamin dosis rendah
(1-4 ug/kg/menit)/infus, dosis kisaran beta (4-12 ug/kg/menit)/infus meningkatkan
aliran darah ginjal, meningkatkan kontraksi otot jantung, kronotropik, yang pada

43
dosisi tinggi dapat menyebabkan vasodilatasi ringan, dosis kisaran α (>12
ug/kg/menit)/infus meningkatkan tekanan darah sistemik, kontraksi otot jantung,
kronotropik yang pada dosis tinggi dapat menurunkan aliran darah ginjal karena
efek vasokonstriksi.

Toksisitas: dosis tinggi dapat menyebabkan penurunan perfusi ke ginjal,


ekstravasasi dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis lokal, takikardi, angina,
aritmia, dan hipertensi.

2. Epinefrin

Epinefrin merupakan prototipe obat kelompok adrenergik yang bekerja direseptor


adrenergik: α1, α2, β1, dan β2.

Farmakodinamik: pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf


addrenergik. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmiter pada saraf
adrenergik adalah NE. Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung,
otot polos pembuluh darah dan otot polos lain. Efek vascular epinefrin terutama
pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga
dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa, dan ginjal mengalami konstriksi
karena dalam organ-organ tersebut reseptor α dominan. Pembuluh darah otot
rangka mengalami dilatasi oleh epinefrin rendah, akibat aktivasi reseptor β2 yang
mempunyai afinitas lebih besarpada epinefrin dibandingkan dengan reseptor α.
Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu penghambat reseptor α, maka
pemberian epinefrin hanya menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan
darah yang disebut epinefrin reversal. Epinefrin juga meningkatkan aliran darah
koroner. Pada jantung, epinefrin meningkatkan reseptor β1 di otot jantung, sel
pacu jantung dan jaringan konduksi. Pemberian epinefrin pada manusia secara SK
dan IV lambat menyebabkan kenaikan tekanan darah sistolik yang sedang dan
penurunan tekanan diastolik. Pada otot polos, efek epinefrin tergantung pada jenis
reseptor adrenergik otot polos yang bersangkutan. Pada proses metabolik epi
menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor α2
yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor β2 yang menstimulasi sekresi
insulin. Sekresi glukagon ditingkatkan melalui reseptor β pada sel α pankreas.

44
Farmakokinetik: 1) absorbsi. Pemberian oral kurang efektif karena sebagian
besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding
usus dan hati. Penyuntikan SK lambatkarena vasokonstriksi lokal. Absorbsi paling
cepat pada penyuntikan IM .

2)biotrasnformasi dan eksresi: epinefrin stabil dalam darah. Degradasi epinefrin


terjadi dalam hati yang banyak mengandung enzim COMT dan MAO dan
jaringan lain juga ammpu merusak zat ini. Setelah degradasi, lalu terjadi rekasi
reduksi oksodasi menajdi metanefrin, asam-3-metoksi-4-hidroksimandelat, 3-
metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol dan bentuk konjugasi glukoronat dan sulfat.
Metabolit ini bersama epi yang tidak diubah dikeluarkan dalam urin.

Efek Samping Obat: pemberian epi dapat menimbulkan gelisah, nyeri kepala
berdenyut, tremor, dan palpitasi. Gejala-gejala ini mereda dengan cepat setelah
istirahat. Dosis epinefrin yang besar atau penyuntikan IV cepat yang tidak
disengaja dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah
yang hebat. Epinefrin dapat menimbulkan aritmia ventrikel.

Kontraindikasi: epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat β-


bloker nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α,
pembuluh darah dapat menyebakan hipertensi yang berat dan perdarahan otak.

Penggunaan klinis: penggunaan utama epinefrin adalah untuk mengatasi dengan


cepat rekasi hipersensitivitas, termasuk anafilaksis, memperpanjang masa kerja
anastesi lokal , merangsang jantung pada pasien dengan henti jantung oleh
berbagai sebab. Secara lokal obat ini digunakan untuk menghentikan perdarahan
kapiler.

Posologi dan Sediaan: epinefrin dalam sediaan adalah isomer levo. 1) Suntikan
epinefrin: 1 mg/mL (1:1000), dosis dewasa 0.2-0.5 mg. 2) Inhalasi
epinefrin:adalah larutan tidak steril 1% epinefrin HCL atau 2% epi bitartat dalam
air untuk inhalasi oralyang digunakan untuk bronkokonstriksi. 3) Epinefrin tetes
mata: adalah larutan 0.1-2% epinefrin HCL 0.5-2% epinefrin borat dann2%epi
bitartat.

45
3. Norepinefrin (Levaterenol)

Fisiologis dan farmakologis: Norepinefrin (NE) disebut juga sebagai


noradrenalin yaitu senyawa yang disintesis oleh serabut simpatis pascaganglion
dan sel di locus cereleus dan pon, tidak dapat melewati sawar darah otak, reseptor
α memberikan efek fisiologis:

- α1terutama pada membran pascasinaptik memberikan sensitivitas terhadap


epinefrin=NE, >isoproterenol
- α2 terutama pada membran prasinaptik, sensitivitas
epinefrin=NE>isoproterenol

reseptor beta memberikan efek fisiologis, NE reseptor β1 lebih poten dibanding


β2.

4. Isoproterenol

Mempunyai efek kuat terhadap reseptor β1 dan β2., umumnya tidak mempunyai
efek terhadap reseptor alfa. Aktivitas reseptor b2 oleh isoprotenol merelaksasi
hampir semua jenis. Efek ini terutama jelas untuk pasien yang sebelumnya
tonusnya tinggi dan paling jelas terlihat pada bronkus dan saluran cerna.
Pemberian isoproterenol pada otot pembuluh darah dapat menurunkan tekanan
darah diastolik. Efek inokotropik dan kronotropik positif menyebabkan curah
jantung meningkat. Pada Efek inokotropik dan kronotropik. Pada otot polos
saluran cerna dan uterus, Isoproterenol dapat menurunkan tonus motilisas usus
dan uterus. Pada SSP , obat ini menstimulasi SSP.

Indikasi klinik: 1)mengatasi bronkospasme diberikan secara inhalasi, 2)


perangsang jantung, diberikan IV untuk pengobatan syok, 3)mengatasi bradikardi
yang disertai dengan hipotensi dan angina.

5.Dobutamin

Farmakologis:merupakan stimulan β1 yang selektif. Efeknya lebih sedikit pada


reseptor β2, α, dan dopamin. Dobutamin mempunyai efek inotropik sama seperti
dopamin tetapi efek kronotropik kurang kuat, lebih sedikit menyebabkan aritmia,

46
dan iskemik kardiak daripada dopamin, tidak menghasilkan vassodilatasi pada
dosis rendah (dopamin menimbulkan vassodilatasi pada dosis rendah), dan efek
vasokonstriksinya minimal.

Indikasi klinik: dobutamin digunakan untuk lemah jantung kongesif pada


periode insufisiensi mitral, dengan miokarditis atau kardiomigrafi, dan setelah
open heart surgery. Obat ini dapat meningkatkan curah jantung dengan sedikit
perubahan pada O2 miokardial.

Efek samping: mual, muntah, sakit kepala, palpitasi, angina, dan aritmia.

B. Adrenergik Nonkatekolamin5,7

Obat yang termasuk kedalam adrenergik nonkatekolamin antara lain:


efedrin, fenilefrin, amfetamin, metamfetamin, mefentermin, hidroksiamfetamina,
metaraminol, metoksamin, dan agonis β2(orsiprenalin, salbutamol, terbutalin,
fenoterol, ritodrin, isoetarin, kuinterenol, dan soterenol).

Aktivitas agonis simpatetik dapat dihasilkan dari pembebasan simpanan


NE atau stimulasi langsung reseptor adrenergik. Kebanyakan obat adrenergik
nonkatekolamin dapat diberikan peroral, dan banyak diantaranya memiliki masa
kerja yang lama, karena resistensi obat ini terhadap COMT dan MAO dan
dosisnya relatif lebih besar. Efek sentral kuat karena dapat melewati sawar darah
otak.

1.Tiramin

Tiramin banyak ditemukan dalam anggur merah, bir, keju, coklat, dan
banyka makanan lain. Tiramin diambil oeh neuron simpatik dan belerja sebagai
transmiter palsu untuk membebaskan katekol. Dalam keadaan normal, senyawa
ini didegradasi oleh MAO. Senyawa ini tidak digunakan dalam terapi.

Toksisitas: bila tramin dimakan oleh orang yang sedang menggunakan MAO
inhibitor, inhibisi MAO inhibitor akan menurun, dan kadar tiramin yang tinggi
dalam serumnya akan membebaskan katekolamin secara mendadak sehingga
menginduksi terjadinya hipertensi krisis dan aritmia berat.

47
2.Amfetamin

Efek farmakologis: amfetamin meimbulkan pembebasan NE (efek alfa dan beta


yang kuat) dan dopamian. Ekskresinya melalui urin, dan umumnya dalam bentuk
tidak berubah. Stimulasi SSP menimbulkan iritabilitas, takipneu, euforia, dan
penekanan nafsu makan, peningkatan aktivitas motorik, dan dosis tinggi dapat
menimbulkan psikosis yang dapat diobati dengan obat blokade dopamin.

Indikasi klinis: penyakit kurang perhatian pada anak (disfungsi otak yang
minimal, hiperaktivitas), sebagai narkolepsi, penekan nafsu makan, hanya
digunakan untuk jangka pendek karena efek adiksinya. Adanya rebound weight
gain menghilangkan manfaat obat ini.

Efek Samping: lemah, disfori, tremor, pusing, insomnia, sakit kepala, rekasi
psikotik, palpitasi, takikardi, hipertensi, diare dan konstipasi, dosis yang
berlebihan menimbulkan konfusi, delirium, paranoia, psikosis, aritmia jantung,
hipertensi, dan hipotensi, nyeri abdomen, penyalahgunaan obat ini menyebabkan
ketergantungan.

3.Metaraminol

Efek farmakologis: bekerja sebagai neurotransmiter palsu dan agonis adrenergik,


stimulasi reseptor α1 dan α2 (efek langsung dan tidak langusng), peningkatan
tekanan darah sistolik dan diastolik serta sering menimbulkan bradikardi.

Indikasi klinis: untuk mengatasi hipotensi

Efek samping: sama dengan NE

4. Efedrin

Farmakodinamik: farmakodinamik efedrin sama seperti amfetamin tetapi efek


sentral lebih rendah. Efedrin dapat diberikan peroral, masa kerjanya jauh lebih
lama, efek sentralnya kuat, untuk terapi diperlukan jauh lebih besar dibanding
epinefrin. Efedrin bekerja merangsang reseptor α, β1 dan β2. Efek perifer bekerja
langsung dan tidak langsung pada efektor sel. Efdrin menimbulkan bronkodilatasi
seperti epinefrin tetapi efeknya lebih lemah dan berlangsung lama. Hal ini

48
digunakan untuk terapi asma bronkial. Penetesan lokal pada mata menimbulkan
midriasis, pada uterus dapat mengurangi aktivitas uterus, dan efek ini
dimanfaatkan untuk dismenore.

Indikasi Klinis: dekongestan diberikan peroral atau intranasal, penggunaan yang


terus menerus menimbulkan toleran. Pencegahan enuresis karena efeknya
meningkatkan tonus sfingter vesica urinaria, midriatika untuk pemeriksaan mata,
pengobatan bronkospasme.

Efek Samping: sama seperti amfetamin tetapi efek samping pada SSP lebih
ringan.

5.Metoksamin

Adalah suatu agonis α1 relatif murni, bekerja langsung pada efektor sel.efek
sentral hampir tidak ada. Efek vasokonstriksinya cukup kuat, menimbulkan
kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik, disertai dengan efek bradikardi
yang kuat dan perlambatan konduksi AV.

Toksisitasnya: sama dengan fenilefrin

6. Agonis β2 selektif

Obat yang termaksud golongan ini adalah orsiprenalin (metaproterenol-inhalasi),


salbutamol (agonis β2 paling kuat, pemberian inhalasi atau peroral), fenoterol,
ritodrin, isoetarin (onset cepat, masa kerja pendek, hanya inhalasi), kuinterenol,
soterenol dan lain-lain. Dalam dosis kecil efeknya pada reseptor β2 jauh lebih
kuat dibanding β1. Bila dosis dinaikkan , selektivitas ini dapat hilang. Efek
perangsangan β2 pada paru menimbulkan bronkodilatasi, sedangkan pada uterus
dan pembuluh darah otot rangka menimbulkan vasodilatasi. Setiap obat agonis β2
mempunyai seletivitas yang berbeda-beda.

Efek samping: dapat berupa mual muntah, takikardi, palpitasi, hipertensi,


disritmia, sakit kepala dan tremor.

49
Indikasi klinik: Agonis β2 selektif terutama digunakan untuk terapi simtomatis
bronkospasme (asma bronkial). Untuk serangan asma bronkial akut, dapat
digunakan epinefrin subkutan 0.2-0.5 mg atau secara inhalasi.

H. Obat-obat Antiadrenergik6

Obat-obat antiadrenergik (bloker adrenergik = antagonis


adrenergik=adrenolitik) ialah obatyang bekerja dengan menghambat
perangsangan adrenergik. Berdasarkan tempat bekerjanya, obat-obat ini dibagi
atas tiga golongan yaitu:

1. antagonis adreneseptor α (α-bloker)


2. antagonis adreneseptor β (β-bloker)
3. penghambat saraf adrenergik

Bloker Cara kerja subdivisi Sediaan


adrenergik
α-bloker α1-bloker non- α1-bloker Fenoksibenzamin
selektf nonselektf Dibenamin
nonkompetitif
α1-bloker non- Fentolamin
selektif kompetitif Tolazolin

α1-bloker selektf derivat kuinazolin Prasozin


Tersozin
Doksasozin
Trimasizon
Bunasozin
α2-bloker selektf Yohimbin

Β-bloker kompetitif Propranolol


antagonis NE dan Asebutolol
epinefrin endogen Atenolol
dan eksogen pada Labetalol

50
reseptor β Metoprolol
efek α-bloker Nadolol
><agonis Pindolol
adrenergik Timolol

bekerja
Bloker saraf mengganggu Guanetin
adrenergik sintetis, simpanan Guanadrel
dan pelepasan Reserpin
neurotransmitter Metirosin
diterminal
adrenergik

menghambat
Bloker adrenergik perangsangan Klonidin
sentral neuron adrenergik metildopa
di SSP

1.Antagonis adreneseptor α (α-bloker)

1.1 α-bloker nonselektif

Ada 3 kelompok: 1) derivat haloalkilamin, 2) derivat imidazolin, 3) alkaloid ergot.

1. Derivat Haloalkilamin

`obat yang termaksud golongan ini ialah fenoksibenzamin dan dibenamin.


Fenoksibenzamin 6-10 kali lebih potensial dari dibenamin.

Farmakodinamik: dalam darah senyawa ini terurai menjadi etilenimonium yang


mempunyai efek inhibisi kompetitif yang reversible. Selanjutnya, etilenimonium
akan terurai membentuk ion karbonium yang sangat reaktif sehingga membentuk
ikatan kovalen yang stabil dengan α-adreneseptor yang mempunyai hambatan
nonkompetitif dan ireversible. Onset obat ini lambat dengan masa kerja lama.

51
Oleh karena itu, golongan obat ini disebut α-bloker nonkompetitf dengan masa
kerja lama. Fenoksibenzamin merupakan α1-bloker dengan selektivitas sedang.

Farmakokinetik: diabsorbsi dengan baik dari semua tempat, tetapi karena efek
iritasi lokal hanya diberikan secara oral atau IV.

Indikasi klinik: fenoksibenzamin diindikasikan untuk hipertensi sekunder akibat


dosis berlebihan agonis adrenergik atau inhibitor MAO, feokromositoma yaitu
tumor anak ginjal yang melepskan sejumlah besar norepinefrin dan epinefrin
kedalam sirkulasi dan menimbulkan hipertensi episodik yang berat. hiperrefleksi
otonomik karena trauma pada medula spinalis, profilaksis pada penyakit Raynud.

Dosis: untuk: episode hipertensi berat, dosis awal 10 mg 2x sehari1-3 minggu


sebelum operasi. dosis ditingkatkan 2 hari sekali sampai dicapai tekanan darah
yang di inginkan. Dosis total sehari biasanya 40-120 mg dibagi dalam 2-3 kali
pemberian.

Efek samping: berupa takikardi, hipotensi ortostatik, miosis, hidung tersumbat,


dan hambatan ejakulasi.

2. Derivat Imidazolin

Yang digunakan adalah fentolamin (α1 α2-bloker non-selektif) dan tolazolin (α-
bloker selektif).

Farmakodinamik: masa kerja blokeran kompetitifnya lebih pendek dari


fenoksibenzamin. Respon terhadap serotonin juga dihambat. Toksisitasnya lebih
besar dari fenoksibenzamin. Dosis rendah menimbulkan vasodilatasi karena kerja
langsung pada otot polos pembuluh darah.

Indikasi klinis: untuk krisis hipertensi yang disebabkan oleh feokromisitoma,


mengatasi pseudo-obstruksi usus pada feokromisitoma, mencegah nekrosis kulit
akibat ekstravasasi a-agonis, disfungsi ereksi. Tolazolin jarang digunakan lagi.

Dosis terapi: 5 mg sebagai infus yang lambat. Fentolamin oral atau bukal
mungkin juga efektif untuk disfungsi ereksi.

52
Efek samping: gejala stimulasi pada jantung berupa takikardi, aritmia, dan
angina. Gejala stimulasi saluran cerna berupa nausea, vomiting, nyeri abdomen,
diare,kambuh ulkus peptikum.

3. Alkaloid Ergot

Alkaloid ergot secara klinis sudah tidak dapat digunakan sebagai a-bloker karena
efek ini baru timbul pada dosis besar yang tidak dapat ditolerir oleh manusia.

1.2 α1-Bloker Selektif

1. Derivat Kuinazolin

Yang termasud kelompok ini adalah prosozin, terasozin, doksazosin, alfulozin,


dan tamsuzolin.

Farmakodinamik: efeknya yang utama adalah hasil hambatan reseptor α1 pada


otot polos arteriol dan vena yang menimbulkan vaaso dan venodilatasi sehingga
menurunkan resistensi perifer dan alir balik vena/ penurunan resistensi perifer
biasanya menyebabkan penurunan tekanan darah tapi tidak sampai menyebabkan
reflek takikardi. Karena efek vasodilatasinya, maka aliran darah di organ vital
(otak, jantung, ginjal) dapat dipertahankan. Kelompok obat ini mempunyai efek
yang baik terhadap lipid serum, menurunkan koesterol LDL, dan trigliserid serta
meningkatkan kadar kolesterol HDL.

Farmakokinetik: diabsorbsi baik dengan pemberian oral, terikat kuat dengan


protein plasma, mengalami metabolisme yang ekstensif di hati dan hanya sedikit
yang diekskresi utuh melalui ginjal.

Sediaan: semua derivat kuinazolin diberikan peroral. Prozasin dalam bentuk


tablet 1 mg dan 2 mg, begitu juga dengan terasozin, dan doksazosin. Tamsuzolin
kapsul 0.2 mg sedaangkan alfusozin tbalet ER 10 mg.

Indikasi klinis: untuk mengatasi hepertensi, gagal jantung sistolik, penyakit


vaskuler perifer, hiperplasia prostat benigna (BPH).

53
1.3 α2-Bloker Selektif

Yang paling dikenal adalah yohimbin. Senyawa ini merupakan α2 bloker yang
kompetitif yang cukup selektif untuk α2 reseptor. Obat ini dapat meningkatkan
pembebasan NE endogen pada dosis yang lebih rendah daripada yang diperlukan
untuk memblok α1 reseptor di perifer.obat ini mudah meleawati sawar darah
otak.efek sentral berupa kenaikan tekanan darah dan denyut jantung, hipermotorik
dan tremor, antidiuresis, mual dan muntah.

2. Antagonis Adreneseptor β (β-bloker)6

Farmakodinamik: β-bloker menghambat secara kompetitif efek NE dan


epinefrin endogen dan obat adrenergik eksogen pada reseptor beta. Asebutol,
atenolol, dan metoprolol disebut β-bloker kardiselektif karena dapat menghambat
β1 reseptor pada jantung. β-bloker lain disebut β-bloker nonselektif karena
memiliki afinitas yang sama dengan β1 dan β2 reseptor.interaksi β-bloker dengan
β adreneseptor tanpa disertai obat adrenergik akan menimbulkan efek adrenergik
yang nyata walaupun lemah, dan aktivitas ini disebut agonis parsial (parsial
agonis activity) atau ISA (intrinsik symptomymetic activity). Yang tergolong
kedalamnya dalah pindolol, karteolol, oksprenolol, alprenolol, dan asebutol.
Beberapa β-bloker memiliki efek MSA (membran sstabilizing activity) seperti
oksprenolol, alprenolol, asebutol, metoprolol, karteolol, dan labetalol.

Indiaksi klinik: untuk penyakit jantung iskemik/angina pektoris, feokromisitoma,


hipertensi, kardiomiopati obstuktif hipertensi, profilaksis pada migren,
hipertiroidisme, tremor esensial yang belum diketahui penyebabnya, pencegahan
perdarahan dalam perut pada pasien sirosis, ansietas, dan glaukoma.

54
Sediaan: bentuk sediaan β-bloker adalah sebagai berikut:

1. Propanolol : tablet 10 dan 40 mg


2. Metoprolol : tablet 50 dan 100 mg
3. Karvedilol : tablet 6.25 mg dan 25 mg
4. Betaksolol : tetes mata 0.5%
5. Timolol : tetes mata 0.25% dan 0.5%
6. Bisoprolol : tablet 2.5 mg dan 5 mg
7. Asebutolol : kapsul 200 mg dan tablet 400 mg
8. Pindolol : tablet 5 mg dan 10 mg
9. Karteolol : tablet 5 mg
10. Sotalol : tablet 80 mg
11. Nadolol : tablet 40 dan 80 mg
12. Atenolol : tablet 50 dan 100 mg

Efek samping: gagal jantung kongesif, bradikardi, gejala putus obat, misalnya
penghentian obat secara mendadak dapat timbulkan angina, hipertensi, atau
insufisiensi mitral. Bronospasme, pada penderita asma dan PPOM, depresi dan
lain-lain.

Kontraindiaksi: pada penderita gagal jantung bendungan, hipotensi, asma, dan


blok AV.

3.Penghambat Saraf Adrenergik7

Blokade saraf adrenergik menghambat aktivitas saaraf adrenergik dengan


menggangu sintesis, penyimpanan dan pembebasan norepinefrin dan epinefrin
diterminal saraf adrenergik. Obat yang termaksud golongan ini adalah guanetidin
dan derivatnya (betanidin, guanadrel, bretilium) dan reserpin.

1. Guanetidin dan bretilium

Bekerja dengan efek anastesi lokalnya menstabilkan membran ujung saraf


prasinaptik sehingga ujung saraf ini tidak memberikan respon terhadap
perangsangan saraf adrenergik. Hambatan ini apat total dan dan berlangsung cepat

55
sekali. Obat ini tidak digunakan lagi sebagai antihipertensi karena efeksamping
kumulatif dan dapat terjadi hipotensi ortostatik yang berat, dan sudah digantikan
oleh obat lain. Guanetidin tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan 25 mg.

Betanidin, debrisokuin merupakan obat anti hipertensi dengan cara kerja yang
sama tapi masa kerja pendek. Obat ini hanya dapat digunakan secara parenteral
untuk pengobatan takiaritmia ventrikuler atau untuk mengatasi fibrilasi
ventrikuler berat yang tidak responsif terhadap obat lain.

2. Reserpin

Farmakodinamik: cara kerja reserpin adalah menghambat secara reversible


mekanisme transport aktif NE dan amin lain paada membran vesikel adrenergik,
menghambat ambilan NE dari sitoplasma, menghambat sintesis NE melalui
blokeran ambilan dopamin dari vesikel, reserpin digunakan sebagai antihipertensi
dan memiliki efek sentral. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 0.1 mg dan 0.25
mg.

Efek samping: terutama terhadap SSP dan saluran cerna. Dapat berupa sedasi,
depresi mental, gangguan ekstrapiramidal, peningkatan tonus dan motilitas
saluran cerna, peningkatan berat badan, kemerahan, dan kongesti nasal dan lain-
lain.

Kontraindikasi: penderita riwayat depresi mental, riwayat ulkus peptikum.

56
OBAT OTONOM KOLINERGIK

A. Kimiawi Neurotransmiter Sistem Saraf Otonom

Berdasarkan pelepasan molekul transmiterutama Saraf Otonom dari


gelembung kecil akhir saraf yaitu Asetil colin (ACh) atau norepinefrin (NE)
terdapat sejumlah besar serabut SSO perifer mensintesa dan melepas Ach disebut
serabut Kolinergik.Serabut kolinergik ini bekerja dengan melepas ACh .Yang
termasuk serabut kolinergik adalah semua serabut preganglionik eferen otonom
dan juga serabut motoric somatic yang menuju keotot rangka.Hampir sebagian
besar serabut eferen yang meninggalkan SSP adalah kolinergik dan semua serabut
pascaganglionik simpatis maupun parasimpatis termasuk kolinergik.5

Ada 4 kunci fungsi neurotransmitter untuk mencapai sasaran potensial


terapi farmakologi yaitu sintesis,penyimpanan, pelepasan,dan terminasi kerja
neutrotransmiter.5

B. TRANSMISI KOLINERGIK
1. Sintesa Dan Penyimpanan Neurotransmiter5
Terdapat sejumlah besar vesikel kecil yang ada diujung neuron
kolinergik melekat pada membran dan menumpuk dibagian
sinaptik,sedangkan vesikel yang ukurannya lebih besar dan sedikit terletak
sedikit lebih jauh dari membrane sinaptik.Vesikel diawali dari sintesa
dalam neuron soma dan diangkut keujung,dimana saat konsentrasi tinggi
vesikel ini mengandung Ach dan molekul lainnya (seperti peptide) yang
bekerja sebagai kontransmiter.
 Ach yang disintesa dalam sitoplasma berasal dari asetil–koA dan kolin
melaui kerja katalitik enzim kolin -transferase (ChAT).
 Asetil-KoA disintesa dalam mitokondria yang banyak terdapat pada
ujung saraf.
 Kolin ditransportasi dari cairan ekstraseluler kedalam ujung saraf yang
tergantung dan Pembawa Na membrane(sodium dependent membrane
carrier).Kerja dari pembawa ini dapat dirintangi oleh kelompok obat
yaitu

57
Hemikolinium.

Kemudian ACh yang disintesa diangkut dari sitoplasma kedalam vesikel oleh
suatu antiporter yang menggeser proton.Pengangkutan ini dapat dirintangi oleh
Vesamikol.Sintesa Ach dapat membantu pelepasan transmiter yang sangat cepat.

Penyimpanan ACh diramu dapat dilakukan dengan memampatkn “kuanta”


molekul ACh yang umumnya sekitar 1000-50.000 molekul setiap vesikel.

2.Pelepasan transmitter5

Pelepasan simpanan transmiter tergantung pada kalsium ekstraseluker dan


terjadi jika potesial kerja mencapai akhiran saraf dan memicu masuknya ion
kalsium.Bergabungnya membrane vesikel dengan membrane ujung saraf terjadi
dengan ekspulsi eksositosik pada saraf motor somatic beberapa ratus kuanta Ach
kecelah sinaptik.Jumlah transmiter yang dilepas oleh depolarisasi ujung saraf
pascaganglionik sangat kecil sehingga satu atau lebih Ko-transmiter dilepas untuk
menjadi penguat ACh.Proses pelepasan Ach dapat dihambat oleh Toksik
Botulinum melalui interaksi dengan protein vesikel lain,Sinaptobrevin.

3.Terminasi kerja Neurotransmiter5

Setelah molekul Ach lepas dari ujung presinaptik kemudian terikat dan
mengaktifkan reseptor ACh (kolinoseptor).Ternyata semua ACh yang lepas akan
larut dengan molekul asetil kolinesterase(AChE).Lalu AChE ini memecah Ach
menjadi kolin dan asetat yang efek transmiternya tidak ada lagi sehingga kerja
transmiternya berhenti.Karena sinaps kolinergik banyak mengandung AChE
sehingga waktu paruh Ach diluar vesikel kecil

RESEPTOR KOLINERGIK5

Reseptor asetilkolin utama dinamakan menurut alkaloid yang biasanya


digunakan untuk identifikasi muskarin dan nikotin.Muskarin dan nikotin ini
dikonversi menjadi reseptor muskarinik dan nikotiniK.Terdapat istilah
Kolinoseptor yaitu reseptor yang bereaksi terhadap Ach.Di Amerika Utara
reseptor dinyatakan sesuai dengan saraf yang menginervasinya seperti Reseptor
Kolinergik.

58
Tabel: tipe reseptor otonom kolinergik dengan efek yang telah diketahui atau
kemungkinan efeknya pada jaringan efektor otonom perifer5

Kolinoreseptor Lokasi khusus Hasil ikatan ligan


Neuron SSP,neuron
Pembentukan IP3 dan
pascaganglionik
Muskarinik M1 DAG,meningkatkan kadar
simpatis,beberapa tempat
kalsium dalam intrasel.
presinaptik.
Membuka kanal
Miokard,otot polos,beberapa
Muskarinik M2 penghambatan adenilil
tempat presinaptik.
skilase
Pembentukan IP3 dan
Kelenjar eksokrin,pembulh
Muskarinik M3 DAG,meningkatkan kalsium
darah (otot pols dan endotel)
intraseluler
Neuron Membuka kanal
Nikotinik NN pascaganglionik,beberapa Na+,K+,,Depolarisasi.
ujung kolinergik presinaptik.
Cekungan neuromuscular otot Membuka kanal
Nikotinik NM
rangka. Na+,K+,,Depolarisasi.

C. NEURON NONKOLINERGIK 5

Diketahui bahwa jaringan efektor otonom mengandung serabut saraf yang


tidak memperlihatkan sifat histokimia pada serabut kolinergik dan adenergikdan
ditemukan pula serabut motoris dan sensoris nonadrenergik
dan,nonkolinergik.substansi lain seperti purin juga dapat ditemukan pada ujung
saraf .Tambahan lain juga ditemukan kapsaicin (capsaicin),suatu neurotoksin dari
cabe,yang dapat menyebabkan pelepasan transmitter dari neuron ini,dan dalam
dosis yang tinggi akan menimbulkan kerusakan neuron.

Sistem enteric pada dinding usus sedang diteliti kandunga


nonadrenergik,kolinergiknya disamping serabut adrenergic dan koinergik.Sistem
ini “menginterprestasi keluaran motor SSO dan membagi sikronisasi impuls yang

59
penting ,seperti gerakan propulsi usus kedepan bukan kebelakang dan melemas
sfinkter bila dinding usus berkontraksi.

Serabut sensoris Nonkolinergik lebih tepat disebut serabut “eferen


sensorik” atau “eferen sensorik local” karena bila diaktivasi oleh masukan
sensorik maka mampu melepas transmitter peptide dari ujung sensoris.

OBAT OBAT KOLINERGIK8

Obat-obat kolinergik (agonis kolinergik) adalah obat yang bekerja secara


langsung atau tidak langsung meningkatkan fungsi neurotransmitter
asetilkolin.Karena kerjanya mirip dengan perangsagan system saraf parasimpatik
sehingga sering disebut parasimpatomimetik.

Obat-obat kolinergik memiiki 3 indikasi utama yaitu

1. Menurunkan tekanan intraocular pada pasien glaucoma atau operasi mata


2. Mengobati atoni saluran cerna atau vesika urinaria
3. Mendiagnosis dan pengobatan miastenia gravis

Klasifikasi obat-obat kolinergik yaitu ada (1)berdasarkan spectrum efeknya ,yaitu


muskarinik atau nikotin;(2)berdasarkan mekanisme kerjanya ,yaitu reseptor
asetilkolin yang bekerja secara langsung atau secara tidak langsung melalui
penghambatan asetilkolinesterase.

Tabel 2. Penggolongan obat-obat kolinergik beserta prototype, analog


utama2

Cara kerja Golongan Prototip Analog utama Obat penting


lain
Kerja Agonis Asetilkolin Muskarin, Karbamalkolin
langsung muskarinik betanekol, Metakolin
pilokarpin Arekolin
Karbamikolin

60
Kerja Tidak Agonis Asetilkolin Nikotin Neostigmin
Langsung nikotinik Suksinilkolin

Penghambat Neostigmin Edrofonium Piridostigmin


aktif Fisostigmin
kolinesteras Karbaril
e(reversibel
)
Kolinergik Penghambat Ekotiofat Paration Isofluorofat
Lain kolinesteras (diisopropil
e fluorofosfat;D
(irreversible Malation FP)Diklorvos
)
Metokloprami
d
Sisaprid

1. Esterkolin (Kolinergik kerja langsung)8

Golongan ini meliputi esterkolin (asetilkolin,metakolin,korbamoilkolin,dan


betanekol) dan alkaloid alamiah (muskarin,pilokarpin,nikotin,lobelin),serta obat
sintetik (oksotremorin,dimetilfenilpipera,DMPP) yang masih perlu diteliti,namun
diantara obat tersebut terdapat perbedaan dalam spectrum efek (potensi stimulasi
muskarinik dan nikotinik) dan farmakokinetiknya yang bisa memengaruhi
penggunaan kliniknya.

FARMAKOKINETIK Obat ini jarang diberikan secara intramuscular(IM) atau


intravena (IV) karena akan dihancurkan oleh kolinesterase yang berada didalam
ruang intertisial dan intravascular.Efek yang terjadi sangat cepat bila diberikan
secara IM dan IV sehingga menimbulkan krisis kolinergik.Biasanya obat-obat

61
kolinergik diberikan secara intra,oral atau subkutan (SK) karena memberikan
respon yang lebih cepat dan efektif.

FARMAKODINAMIK Obat Agonis kolinergik bekerja dengan berikatan pada


membrane sel-sel organ target,mengubah permeabilitas membrane sel dan
mempermudah pengaliran.

INTERAKSI OBAT Efek agonis kolinergik diperkuat dengan obat-obat


antikolinesteraseyang menghambat pemecahan Ach ditempat reseptornya.Kerja
obat ini juga dibatasi oleh interaksinya dengan obat-obat antimuskarinik,seperti
atropine memblok kerja agonis kolinegik pada efektor otonom.Simpatomimetik
memberikan respos yang berlawanan pada reseptor-reseptor muskarinik terhadap
agonis kolinergik.

Efek samping : Efek samping Agonis kolinergik dihasilkan dari efek-efek


nonspesifiknya pada system saraf parasimpatik yang akan menimbulkan efek
parasimpatik seperti mual,kembung,muntah,kram usus,dan diare, penglihatan
kabur dan pengurangan akomodasi,respon pada kardiovaskular berupa
Vasodilatasi,penurunan denyut jantung,dan penurunan kontraksi
jantung,Hipotensi.Obat bronkokonstriktor menimbulkan nafas pendek,pada
kandung kemih akan meningkatkan frekuensi berkemih .Semakin Besar dosis
semakin besar efek yang terjadi.

Sediaan Agonis Kolinergik

A. Asetilkolin (Ach)

Ach merupakan senyawa ammonium kuartener dengan aktivitas muskarinik


dan nikotinik yang tidak dapat menembus membrane sel.senyawa ini ridak
dapat digunakan karena kerjanya sangat cepat dan akan diinaktifkan oleh
enzim asetilkolinesterase.

62
Efek samping Ach:

 Mengurangi denyut dan curah jantung.Pemberian Ach intravena dengan


cepat akan menurunkan denyut jantung karena efek penghambatannya
terhadap letupan nodus sinoatrial(nodus SA) dijantung
 Menurunkan tekanan darah a.Jika Ach diberikan per injeksi menyebabkan
vasodilatasidan penurunan tekanan darah.\
 Pada saluran cerna Ach akan meningkatkan sekresi saliva,memacu sekresi
dan gerakan usus,meningkatkan tonus otot detrusor saluran
genitourinaris.Pada mata akan memacu kontraksi otot siliaris untuk
melihat dekat,mengkontriksi otot sfingter pupil dan menimbulkan miosis
kuat.
B. Metakolin

Sifat farmakologinya yaitu masa kerjanya lebih lama,resisten terhadap


hirolisis oleh kolinesterase non-spesifik.Efek yang paling besar adalah
pada reseptor muskarinik kardiovaskular ,potensi nikotinik kurang dari
Ach.

Indikasi penggunaan:Asetikolin biasa digunakan dalam pengobatan


gawat darurat glaucoma untuk menurunkan tekanan intraocular,dan uji
diagnostic pasien yang diduga mengidap asma (presipitasi bronkopsme).

Toksisitas:Aktivitas muskarinik yang berlebihan dapat diobati dengan


atropine.Toksisitas yang terjadi dapat berupa depresi kardiovaskular yang
serius ,brakikardi,SA node arrest,efek inotropik
negative,vasodilatasi,sinkop,mual,muntah,dan nyeri
abdomen,diaphoresis,sakit kepala,dan urinary urgency.

Kontraindikasi:Penderita asma,penyakit arteri koroner,ulkus


peptikum,dan hipertirodisme.

C. Karbakol (karbamolkolin)

Karbakol adalah ester asam karbamat dan substrat yang tidak cocok untuk
asetilkolinesterase.Karbakol bekerja sebagai muskarinik dan nikortinik.

63
Efek : Obat ini memacu ganglion kemudian mendepresinya.Obat ini
mempunyai kemampuan mengeluarkan epinefrin dari medulla adrenal
karena kerja nikoyiniknya.Pada mata akan menimbulkan miosis.

Efek samping : pada terapi pada oftamologi memberikan efek atau tidak
sama sekali.

D. Betanikol

Betanikol merupakan demetilasi kolin dan substitusi gugs asetat dengan


karbamat yang memiliki struktur kimia yang berkaitan dengan Ach.Efek
utama obat ini adalah terhadap otot polos kandung kemih dan saluran
cerna.

Mekanisme kerja : Betanikol memacu reseptor muskarinik sehingga


meningkatkan tonus dan motilitas usus,meningkatkan tonus otot detrusor
kandung kemih,dan merelaksasi trigonum dan sfingter sehingga berefek
pengeluaran urine.

Indikasi klinik : Pengobatan atonia kandung kemih pascapersalinan atau


pascabedah.

Efek Samping : Betenekol dapat menimbulkan stimulasi umum


kolinergik,banyak berkeringat,salvias,kemerahan,penurunan tekanan
darah,mual,nyeri abdomen,diare dan bronkospasme.

E. Pilokarpin

Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier yang stabil terhadap


hidrolisis oleh asetilkolinesterase.Aktivitas utamanya adalah muskarinik
dan digunakan untuk oftalmologi.Pada mata menimbulkan spasme
akomodasi,penglihatan akan terfokus pada jarak tertentu.Pilokarpin
termasuk pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar
keringat,kelenjar saliva dan kelenjar air mata.

64
2. Antikolinesterase (Kolinergik kerja tidak langsung)8
Antikolinesterase menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga
Ach menumpuk ditempat reseptor.

Obat ini dibagi menjadi 2 Golongan:

a) Golongan Karbamat (ester asam karbamat) atau disebut juga golongan


antikolinesterase reversible ,kecuali edrofonium yang bukan ester.Obat
yang termasuk golongan ini ada abenonium,edrofonium
klorida,neostigmin,fisostigmin salisilat,dan piridostigmin.
b) Golongan Fosfat (ester asam fosfat) atau disebut juga golongan
irreversible karena memiliki kerja yang lama.

Indikasi klinik : Golongan karbamat yang sering dipakai dalam pengobatan


yaitu neostigmin,fisostigmin,ambenonium,dan piridostigmin.Golongan
organofosfat sering dipakai dalam bidang pertanian.

Farmakokinetik : Reversibel dan ireversibel menyatakan lamanya blockade


berlangsung.Obat yang reversible,blockade berlangsung beberapa menit
hingga jam sementara obat yang bersifat ireversibel masa blockade nya
berlangsung beberapa hari hingga minggu.Sebagian besar obat
antikoinesterase dapat diserap dengan baik kecuali neostigmin dan senyawa
ammonium kuartener yang sukar diabsorbsi di saluran cerna dan perlu dalam
dosis yang tinggi jika diberikan per oral namun dapat berakibat kelebihan
dosis.

Hanya fisostignin yang mudah melewati sawar-sawar otak.Kebanyakan


antikolinesterase dimetabolisme oleh esterase plasma dan diekskresi ke dalam
urine.

 Ambenomium bekerja dalam 20-3- menit dan berlanjut hingga 3-8 jam
 Edrofonium memiliki efek 2-10 menit pemberian secara IM dan
berlanjut hingga -3- menit..Dengan IV sekitar 30-60 menit mulai
bekerja dan berlangsung selama 10 menit.

65
 Neostigmin oral memiliki waktu pruh 40-60 menit,mulai bekerja 45-75
menit,konsentrasi puncaknya dalam 1-2 jam,dan lama kerja adalah 2-4
jam.Suntikan neostigmin memiliki Wktu paruh 50-90 menit.Bila
secara IM fek akan timbul setelah 30 menit,konsentrasi puncak 30
menit dan akan berlanjut selama 2-4 jam.Pemberian IV ,bekerja
setelah 4-8 menit dan kadar puncak dicapai 20-30 menit dan akan
berlangsung selama 2-4 jam.
 Fisostigmin memiliki kadar puncak dalam 5 menit pada pemberian IV
dengan durasi 30 menit hingga 5 jam.Bila diberikan secara IM akan
bereaksi dalam kurang dari 15 menit dengan durasi 2-4 jam.Bila secara
IV onsetnya (mulai kerja) 2-5 menit dan durasi 2-4 jam

Farmakodinamik :Obat antikolinesterase meningkatkan kadar dan efek


Ach dalam SSP.Obat ini memberikan efek stimulasi atau efek depresi pada
reseptor kolinergik.

Interaksi obat : Kombinasi obat harus digunakan secara hati-hati Karena


Agonis kolinergik dan penghambat lain bekerja pada kedua reseptor untuk
mencegah efek toksik.Obat-obat antimuskarinik,seperti atropine
memengaruhi obat-obat antikolinesterase di Sistem saraf pusat dan perifer
dan obat ini dapat digunakan sebagai antidotum.Obat-obat blokade
ganglion mengantagonis efek obat ini hanya pada reseptor nikotinik.

Efek samping : Obat antikolinesterase merupakan hasil kerja asetilkolin


pada reseptor parasimpatik,motor,dan SSP.Reaksi ini sulit dikontrol saat
dosis tinggi.Dosis esterkolin yang diberikan secara IV sangat berbahaya
kecuali lama kerjanya sangat singkat.Kombinasi dengan prostigmin atau
dengan obat kolinergik lain tidak boleh diberikan karena akan
menyebabkan potensiasi yang berakibat buruk.Efek dari muskarinik dan
nikotinik akan menimbulkan gejala keracunan dengan efek samping yang
umum yaitu efek parasimpatometik.Efek samping terhadap SSP yaitu
berupa iritabilitas,ansietas atau rasa takut(beberapa kasus),dan terjadi
kejang.

66
1. Fisostigmin

Fisostigmin berupa amin tersier suatu alkaloid.Obat ini adalah


substrat asetilkolinesterase yang membentuk senyawa perrantara
enzim-substrat yang relative stabil yang berfungsi mengaktifkan
secara reversible Ach.

2. Edrofonium
Edrofonium adalah amin kuartener yang memiliki kerja mirim
neostigmin namun lebih cepat diserap dibanding neostigmin
dengan masa kerja singkat (sekitar 10-20 menit).Suntikan intravena
dapat meningkatkan kekuatan kontraksi otot.Kelebihan dosis
memberikan efek krisis kolinergik.Bila terjadi keracunan dapat
diberikan atropine sebagai antidotum.

OBAT-OBAT ANTIKOLINERGIK8

Obat antagonis kolinergik atau antikolinergik atau penyekat kolinergik


ialah obat yang berikatan reseptor kolin (kolinoseptor) tetapi tidak memicu efek
intraseluler sehingga persarafan parasimpatik menjadi terganggu.

Berdasarkan lokasi tempat kerja dibagi atas 3 golongan,yaitu:

1. Bloker secara selektif sinaps muskarinik pada saraf


parasimpatik,yang disebut antimuskarinik.
2. Bloker ganglionik,yang lebih banyak bekerja pada reseptor
nikotinik pada ganglia simpatik dan parasimpatik.
3. Penyekat neuromuskular yang menggangu transmisi impuls eferen
yang menuju otot rangka.

OBAT ANTIMUSKARINIK2

Obat yang termauk golongan muskarinik ada atropine,skopolamin,dan


ipratropium bromide.Obat ini menyekat reseptor muskarinik sehingga fungsi

67
muskarinik diambat.Obat ini jugta menyekat neuro simpatik yang menuju kelenjar
keringat.Obat ini tidak menyekat reseptor nikotinik sehingga tidak banyak
memengaruhi ganglion otonom atau sambungan saraf-otot rangka.

1. Atropin

Atropin adalah alkaloid belladonna dengan afinitas yang kuat terhadap


reseptor muskarinik.Obat ini bekerja secara kompetitif antagonis dengan Ach
untuk menempati kolinoreseptor.Umunya memiliki masa kerja 4 jam.

Farmakokinetik :
Mudah diabsorbsi,sebagian dimetabolisme dalam hepar dan diekskresi ke
dalam urine.Waktu paruhnya 4 jam
Farmakodinamik :
Efek antikolinergik dapat menstimulasi ataupun mendepresitergantung organ
target.Pada otak dalam dosis rendah merangsang sedangkan dalam dosis
tinggi mendepresi.Obat ini Pada SSP terlihat sebagai stimulator pada
beberapa kasus. Pada Saluran kemih ,Atropin digunakan untuk menurunkan
hipermotilitas kandung kemih,dan kadang digunakan pada anak yang
mengompol untuk enuresis.
Indikasi klinis :
Obat ini dapat digunakan sebagai antisekretori saat operasi,antispasmodic
saluran cerna dan kandung kemih,antidotum obat-obat kolinergik.

Efek samping :
Atropin dapat menyebabkan mulut kering,penglihatan kabur,mata rasa
berpasir(sandy eyes),takikardi,dan konstipasi.Efek samping pada SSP erupa
capek,bigung,halusinasi,delirium yang berlanjut menjadi depresi,kolaps
sirkulasi,depresi napas,dan kematian.

2. Skopolamin
Obat ini termasuk alkaloid belladonna dengan masa kerjanya yang lebih
lama.Obat ini merupakan obat anti mabuk,dapat menimbulkan efek

68
penumpulan daya ingat jangka pendek,dan dapat menimbulkan sedasi dan
rasa kantuk.

3. Ipratropium
Ipratropium bromide adalah turunan kuartener atropine yang banyak
digunakan pada pengobatan asma bronchial dan penyakit paru obstruksi
menahun (PPOM),khususnya pasien yang tidak cocok dengan pemakaian
agonis adrenergic.
BLOKER GANGLION8
Bloker ganglionik adalah obat antinikotinik yang secara spesifik bekerja pada
reseptor nikotik di ganglion simpatik ataupun parasimptik.Obat ini tidak selektif
pada ganglion simpatik ataupun parasimpatik saja.Obat ini efektif sebagai
antagonis neuromuscular.Penyekat ganglionik ini sangat jarang digunakan
,hanya untuk eksperimen farmakologi.
 Nikotin
Nikotin memiliki efek tergantung dosisnya.Awalnya nikotin memacu
ganglion,lalu diikuti oleh kelemahan dan paralisis semua ganglia.Nikotin
dapat berefek meningkatkan denyut jantung akibat pengaruh pelepasan
transmitter di medulla adrenal.Pada dosis yang tinggi menyebabkan otot
kandung kemih berhenti.
 Trimetafan
Trimetafan merupakan penyekat ganglionik yang bekerja singkat dan
kompetitif.Pemberian harus secara IV.Trimetfan digunakan untuk
menurunkan hipersensitivitas akibat udema pau atau pecahnya aneurisme
aorta .
 Mekamilamin
Mekamilamin bekerja kompetitif antagnis pada ganglion nikotik.Pada dosis
tunggal bekerja sekitar 10 jam.Absorbsi mekamilin baik pada pemberian per
oral.

69
BLOKER NEURO MUSKULAR8

Bloker neuromuscular atau neuromuscular blocking agent (NMBA) yang


menghambat transmisi kolinergik diantara ujung saraf motorik reseptor nikotinik.

Sifat-sifat farmakologis

-Struktur NMBA berkaitan dengan Ach

-NMBA berisi nitrogen sehingga bersifat hidrofiik

Mekanisme kerja:

 Blokade nondepolarisasibekerja dengan penghambatan


kompetitif,berikatan dengan reseptor nikotinik,mencegah Ach berkombinasii
dengan reseptor
 Blokade depolarisasiberikatan dengan reseptor Ach dan menyebabkan
depolarisasi.

Mekanismenya ada 2 Fase ,yaitu:

 Fase I (depolarizing) blockberikatan lebih lama dengan reseptor dan


menghasilkan depolarisasi persisten sehingga nenbran tidak merespon lagi
impuls-impuls baru.
 Fase II (desensitizing) blockmembran menjadi repolarisasi,tetapi tidak
merespon impuls baru.

Antibiotik khususnya aminoglikosid dapat memperkuat potensi NMBA.

Indikasi penggunaan : Obat ini digunakan dalam merelaksasi otot skelet sebagai
otot tambahan pada anestesi pembedahan pada pasien.

Toksisitas:

Efek pelepasan histamine (hipotensi,bronkospasme,peningkatan sekresi


bronchial)kesalahan yang paling penting adalah tubokurarin ,kemudian
atrakurium.

70
Nondepolarizing Muscle Relaxant 8

a. Tubokurarin (Curare)
Sifat farmakologi : menyebabkan bronkospasme karena tejadi pelepasan
histamine,aktivitas ganglioniknya dalam batas sedang pada reseptor
nikotinik,ikatan protein plasma 50%,metabolism hepar minor yaitu 50%
diekskresi oleh ginjal dengan bentuk yang tidak berubah ,sekitar 10-30%
diekskresi oleh empedu dalam bentuk yang tdak berubah.

b. Atrakurium
Sifat farmakologis : Hidrolisis ester dan eliminasi Hofmann(kerusakan
bergantung bardasarkan temperature yang memerlukan fungsi ginjal atau
hepar sehingga obat ini relaksan yang terpilih untuk gagal ginjal atau
hepar,dan maa kerjanya kurang.

Depolarizing Muscle Relaxant

Prototipe golongan ini adalah suksinilkolin.Terikat ke reseptor Ach


nikotinik,menyebabkn depolarisasi .

Efek samping yang potensial :


a. Kontraindikasi secara ketat pada pasien dengan hipertermi malignan dan
distrofi miotinik.
b. Kontraksi otot pada pemakaian suksinilkolin dapat menimbulkan mialgia
berat pada pasien normal.

71
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
Hal 1008-1015.
2. Bertram G.Katzung. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi 12. Jakarta.
EGC; 2014. Vol 1. Hal 281-297.
3. ISO. 2016. ISO Indonesia Informasi Spesialite Obat. Volume 50. PT. ISFI
Penerbitan. Jakarta.
4. Badan Pom RI. Obat Antagonis Antidiuretik. diakses pada 11 oktober
2017. http://pionas.pom.go.id/monografi.
5. Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI.
Penerbit Buku Kedokteran:EGC. Hal 79-88.
6. Rianto Setiabudy, penyunting. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi V.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Kakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal. 63-104.
7. Staf pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran: EGC. Hal 358-377.
8. Staff Pengajar Departemen Farmakologi Kedokteran Universitas
Sriwijaya.2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hal. 340-348
9. Guyton,A.C & Hall,J.E.(1996).Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran.(ed.9).Jakarta:EGC
10. Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi II.
Penerbit Buku Kedokteran:EGC. Hal 933-936.
11. Chasani, Shofa. 2008. Antibiotik Nefrotoksik : Penggunaan Pada
Gangguan Fungsi Ginjal Semarang

72

Anda mungkin juga menyukai