Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

Infeksi saluran air kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi pada saluran air kemih, mulai dari uretra, buli-buli, ureter, piala ginjal sampai jaringan ginjal. (Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso, 2006).1

Infeksi saluran kemih pada bagian tertentu dari saluran perkemihan yang di sebabkan oleh bakteri terutama Escherichia coli: resiko dan beratnya meningkat dengan kondisi seperti refluksvesikouretral, obstruksi saluran perkemihan, statis perkemihan, pemakaian instrumen baru dan septikemia. (Susan Martin Tucker, dkk,1998).1 ISK dapat mengenai semua orang tetapi lebih sering ditemukan pada bayi atau anak kecil dibandingkan dengan dewasa. Pada bayi sampai umur tiga bulan, ISK lebih sering pada laki-laki daripada perempuan, tetapi pada dewasa lebih sering ditemukan pada wanita. Secara anatomi uretra wanita lebih pendek dari laki-laki sekitar 5 cm sehingga bakteri lebih mudah masuk ke saluran kemih, kurang kebersihan di daerah vagina dan kebiasaan mencebok yang salah setelah buang air besar yaitu dari bawah ke atas yang membuat bakteri saluran cerna masuk ke dalam saluran kemih.2 ISK merupakan penyakit yang sulit didiagnosis karena gejala klinisnya yang tidak khas dan menyerupai gejala penyakit lain. Walau kelihatannya penyakit ini sederhana tetapi ternyata ISK dapat menyebabkan kerusakan permanen yang serius pada ginjal bila tidak ditanggulangi secara benar bahkan sampai memerlukan tindakan cuci darah atau cangkok ginjal. 2 Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai seorang dokter untuk mengetahui cara penanganan ISK dengan tepat. Banyak obat antimikroba yang dapat digunakan untuk mengobati ISK, salah satunya adalah cotrimoksazol.3 Cotrimoksazol merupakan golongan antibiotik terdiri dari trimetropin dan sulfometoxazole. Kedua komponen memperlihatkan interaksi sinergistik. Kombinasi tersebut mempunyai aktivitas bakterisid yang besar karena menghambat pada dua tahap biosintesa asam nukleat dan protein yang sangat esensial untuk mikroorganisme.3

Cotrimoksazol mempunyai spektrum aktivitas luas dan efektif terhadap bakteri misalnya S.pneumoniae, C.diphtheriae dan N.meningitis, 50-60% strain S.aureus, S.epidermidis, S.pyogenes, S.viridans, S.fecalis, E.coli, P.morganii, Enterobacter, Aerobacter spesies dan Klebsiella spesies. Juga beberapa strain stafilokokus yang resisten terhadap metisilin, trimetoprim atau sulfanetoksazole sendiri, peka terhadap kombinasi tersebut.3 Penemuan kombinasi ini sangat penting bagi dunia kedokteran dalam upaya untuk meningkatkan efektifitas klinik antimikroba, mengingat saat ini sudah banyak terjadi resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Pada makalah ini akan dibahas tentang peranan cotimoxazol pada terapi infeksi saluran kemih.

II. PATOFISIOLOGI INFEKSI SALURAN KEMIH Mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih dapat melalui berbagai cara diantaranya:4 1. Penyebaran endogen yaitu kontak langsung dari tempat infeksi terdekat (ascending) 2. 3. 4. Hematogen yaitu masuk melalui peredaran darah Limfogen yaitu masuk melalui saluran limfe Eksogen sebagai akibat pemakaian kateter. Dua jalur utama terjadinya ISK adalah melalui jalur hematogen dan ascending, tetapi dari kedua cara ini ascendinglah yang paling sering terjadi. Kuman penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang berasal dari flora normal usus dan hidup secara komensalisme di dalam introitus vagina, prepusium penis, kulit perineum, dan di sekitar anus.

Jalur mikroorganisme memasuki saluran kemih pada wanita dimulai dari ostium uretra eksterna menuju ke uretra, lalu naik ke vesika urinaria, kemudian menuju ke ureter dan terakhir menuju ginjal. Sedangkan jalur masuknya mikrorganisme pada pria di mulai dari ostium uretra eksterna menuju ke uretra, prostat, vesika urinaria, kemudian menuju ke ureter dan terakhir ke ginjal.5 Infeksi saluran kemih bisa terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antar mikroorganisme penyebab infeksi sebagai agent dan epitel saluran kemih sebagai host. Gangguan keseimbangan ini disebabkan oleh karena pertahanan tubuh dari host yang menurun atau virulensi mikroorganisme yang meningkat. Host mempunyai kemampuan untuk menahan mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih melalui beberapa mekanisme diantaranya adalah: 1. 2. pertahanan lokal dari host peranan dari sistem kekebalan tubuh yang terdiri atas imunitas humoral maupun seluler.5

Bakteri yang paling banyak menyebabkan infeksi saluran kemih adalah E.coli (70-95%). Bakteri lain yang ikut jadi penyebab adalah S.saprophyticus, Proteus sp, Klebsiella sp, Enterococcus faecalis. Sumber bakteri umumnya adalah flora dari feses penderita.6 Sedangkan infeksi saluran kemih nosokomial sebanyak 80% disebabkan oleh pemakaian kateter.7 Infeksi saluran kemih aktif pada anak sebagian besar asimptomatis. Jika ada keluhan, maka keluhan tersebut dapat atau tidak berkaitan dengan sistem kemih.6 Gejala klinis infeksi saluran air kemih bagian bawah secara klasik yaitu nyeri bila buang air kecil (disuria), sering buang air kecil (frekuensi), dan ngompol (urgensi). Gejala infeksi saluran kemih bagian bawah biasanya panas tinggi, gejala sistemik, nyeri di daerah pinggang belakang. Namun demikian sulit membedakan infeksi saluran kemih bagian atas dan bagian bawah berdasarkan gejala klinis saja.

III. 3.1

FARMASI-FARMAKOLOGI COTRIMOKSAZOL Sifat Fisiko-kimia Cotrimoxazole merupakan antimikroba gabungan dari sulfamethoxazole dan trimethoprim yang mempunyai aktivitas bakterisidal spectrum luas yang sangat esensial untuk mikroorganisme.3 Sulfamethoxazole berbentuk serbuk hablur, putih, tidak berbau, tidak larut dalam air, dalam eter, dan dalam kloroform tetapi mudah larut dalam aseton dan dalam larutan natrium hidroksida encer; agak sukar larut dalam etanol. Trimethoprim sangat sukar larut dalam air; larut dalam benzilalkohol, agak sukar larut dalam kloroform dan dalam metanol, sangat sukar larut dalam etanol dan dalam aseton; tidak larut dalam eter dan dalam karbon tetraklorida.8 Rumus kimia cotrimoksazol benzenesulfonamide adalah 4-amino-N-(5-methylisoxazol-3-yl)pyrimidine-2,4-diamine

5-(3,4,5-trimethoxybenzyl)

C10H11N3O3S, C14H18N4O3 dengan struktur kimia seperti gambar berikut :


4

Gambar 1: Struktur kimia trimetoprim dan sulfametoxazole (Sumber: www.answers.com/topic/sulfamethoxazole-trimethoprim-smx-tmp)

3.2

Dosis obat Dosis obat cotrimozaxole dihitung berdasarkan perbandingan dasar obat, dengan komposisi sulfametoxazole 800 mg dan trimethoprim 160 mg.8 1. Anak >2 tahun , dengan panduan : a. Pengobatan infeksi saluran urin 1. 2. Oral : 6-12 mg TMP/kg/hari dalam dosis terbagi setiap 12 jam. IV : 8-10 mg TMP/kg/hari dalam dosis terbagi setiap 6, 8 atau 12 jam selama 14 hari dengan infeksi serius. b. Pencegahan infeksi saluran urin 1. Oral : 2 mg TMP/kg/dosis harian atau 5 mg TMP/kg/dosis dua kali, mingguan. 2. Dosis dewasa: a. Infeksi saluran urin : 1. Oral: satu tablet (sulfametoxazole 800 mg dan trimethoprim 160 mg) setiap 12 jam. Lamanya pengobatan: Tidak ada komplikasi : 3-5 hari Dengan komplikasi : selama 7-10 hari Pyelonefritis : 14 hari
5

2.

Prostatitis akut : 2 minggu dan kronik : 2-3 bulan. IV : 8-10 mg TMP/kg/hari dalam dosis terbagi setiap 6, 8 atau 12 jam selama 14 hari untuk infeksi gawat.

Pasien dengan gangguan fungsi ginjal diberikan dosis biasa jika klirens kreatinin lebih dari 30 mL/menit; bila klirens kreatinin 15-30 mL/menit, dosis 2 tablet diberikan setiap 24 jam dan bila klirens kreatinin < 15 mL/menit, obat ini tidak boleh diberikan. 3 3.3 Bentuk sediaan obat Trimetoprim tersedia dalam bentuk tablet oral mengandung 400 mg sulfametoksazole dan 80 mg trimetropim atau 800 mg sulfametoksazole dan 160 mg trimetoprim. Untuk anak tersedia juga bentuk suspensi oral yang mengandung 200 mg sulfametoksazole dan 40 mg trimetoprim dalam 5 mL sediaan, serta tablet pediatrik yang mengandung 100 mg sulfametoksazole dan 20 mg trimetoprim. Cotrimoksazol juga tersedia dalam bentuk IV yang mengandung 400 mg sulfametoksazole dan 80 mg trimetoprim per 5 mL.3 Indikasi pemilihan bentuk sediaan cotrimoksaxole adalah menurut berat ringannya penyakit: 8 Melalui jalur oral untuk pengobatan infeksi saluran kemih yang disebabkan E.coli, Klebsella dan Enterobacter sp, M.morganii, P.mirabilis dan P.vulgaris; otitis media akut pada anak; eksaserbasi akut pada bronchitis kronis pasien dewasa yang disebabkan oleh bakteri yang sensistif seperti H.influenzae, atau S.pneumoniae; pencegahan dan pengobatan Pneumocitis carinii pneumoniae (PCP); traveler diarrhea yang disebabkan oleh enterotoksigenik E.coli; pengobatan entritis yang disebabkan oleh Shigella flexneri atau Shigella sonnei. Melalui jalur IV untuk pengobatan infeksi berat atau komplikasi ketika penggunaan oral sudah tidak mungkin misalnya pengobatan empiris PCP pada pasien immunocompromise; shigellosis; demam tifoid; infeksi Nacardia asteroides.

3.4

Penggunaan klinik Beberapa penggunaan klinik cotrimoksazol adalah: 3

1.

Infeksi Saluran Kemih Pengobatan dengan cotrimoksazol ternyata efektif bahkan untuk infeksi mikroba yang telah resisten terhadapa sulfonamid sendiri. Dosis 160 mg trimetoprim dan 800 mg sulfametoksazol setiap 12 jam selama 10 hari menyembuhkan sebagian besar pasien. Sediaan kombinasi ini terutama efektif untuk infeksi kronis dan saluran kemih berulang.

2.

Infeksi saluran nafas Cotrimoksazol tidak dianjurkan untuk mengobati faringitis akut oleh S.pyogenes,karena tidak dapat membasmi mikroba. Preparat ini efektif untuk mengatasi bonkitis kronis dengan eksaserbasi akut. Preparat kombinasi ini juga efektif untuk pengobatan otitis media akut pada anak dan sinusitis maksilaris akut pada orang dewasa yang disebabkan oleh H.influenzae dan S.pneumoniae yang masih sensitif.

3.

Infeksi saluran cerna Sediaan kombinasi ini berguna untuk pengobatan shigellosis karena beberapa strain mikroba penyebabnya telah resisten terhadap ampicillin. Namun belakangan ini juga dilaporkan adanya resistensi pada cotrimoksazol. Obat ini juga efektif untuk mengobati demam tifoid dengan dosis 160 mg trimetorpim dan 800 mg sulfametoksazole dua kali sehari selama 3 bulan,

4.

Infeksi oleh pneumocystis carinii Pengobatan dengan dosis tinggi efektif untuk pasien infeksi berat pada pasien AIDS.

5.

Infeksi genitalia Karena resistensi maka cotrimoksazole tidak dianjurkan lagi untuk pengobatan gonore.

3.5

Kontraindikasi Pada pasien uremia,ekresi dan kadar urine kedua obat ini menurun. Pasien

dengan penyakit hepar dan ginjal akan meningkatkan efek obat.3

3.6

Toksisitas obat Reaksi efek samping yang paling banyak adalah gangguan pencernaan dan

reaksi dermatologi (rash atau urticaria). Pada SSP menyebabkan depresi, halusinasi, kejang, peripheral neutritis, demam, ataxia dan ikterus pada janin. 8 Dermatologi: Rash, pruritus, urtikaria, fotosensitivitas; kejadian yang jarang termasuk erytema multiform, sindrom stevens-johnson, toxic epidermal necrosis, dermatitis eksfoliatif dan Henoch-schonlein purpura. Gastrointestinal: Mual, muntah, anorexia, stomatitis, diare,

pseudomembranous colitis dan pankreatitis. Hematologi: Trombositopenia, anemia megaloblastik, granulositopenia,

eosinophiia, pansitopenia, anemia aplastic, methemoglobinemia, hemolisis (G6PD defisiensi), agranulositosis. Hepar: Hepatotoxic (hepatitis, kolestasis, necrosis hepatic), hiperbilirubinemia, peningkatan enzim transaminase. Neuromuskular dan skeletal : Atralgia, myalgia, rabdomilisis. Renal : interstisial nephritis, kristaluria, gagal ginjal, neprotosis, diuresis. Pernafasan : batuk, dispepsia, infiltrasi pulmonal. 3.7 Interaksi obat dengan obat lain Sulfametoksazol Trimethoprim adalah inhibitor CYP2C8/9 (moderat) sedangkan dapat

merupakan

inhibitor

CYP2C8/9

(moderat)

sehingga

meningkatkan efek toksik dari metotreksat dan meningkatkan kadar obat procainamid. Penggunaan bersamaan dengan pyrimethamine (dengan dosis >25mg/minggu) kemungkinan dapat meningkatkan resiko terjadinya anemia megaloblastik.8 Kemungkinan meningkatkan kadar obat amiodaron, flueksetin, glimepirid, glipizid, nateglinid, phenytoin, pioglitazone, rosiglitazon, sertalin, warfarin, dapson dan substrat CYP2C8/9 lainya. Peningkatan efek hiperkalemia pada penggunaan

bersamaan obat ACE inhibitor, reseptor antagonis angiotensin atau diuresis hemat kalium. 8 Kemungkinan kadar obat kotrimoxazole akan diturunkan oleh: karbamazepin, fenobarbital, penitoin, rifampisin, rifapentine, secobarbital, dan inducer CYP2C8/9 lainnya. 8

IV. FARMAKODINAMIK Mekanisme Kerja Obat Aktivitas antimikroba kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol dihasilkan dari kerjanya pada dua tahap jalur enzimatik untuk sintesis asam tetrahidrofolat. Kuman memerlukan PABA (p-aminobenzoic acid) untuk membentuk asam folat yang digunakan untuk mengsintesis purin dan asam nukleat. Sulfonamide adalah penghambat kompetitif PABA dan trimetoprim mencegah reduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat merupakan senyawa folat yang penting bagi reaksi transfer satu karbon, contohnya sintesis timidilat dari deoksiurodilat. 3

Dihidropteroat sintetase

PABA

Sulfonamid berkompetisi dengan PABA

Dihidrofolat reduktase

Asam dihidrofolat
Trimetropin

Asam tetrafolat

Purin

DNA

Gambar 2: Mekanisme kerja cotrimoksazol 3

Efek antibakteri sulfonmid dihambat oleh adanya darah, nanah dan jaringan nekrotik, karena kebutuhan mikroba akan asam folat berkurang dalam media yang mengandung basa purin dan timidin. Mamalia tidak dipengaruhi oleh sulfonamid karena menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan (tidak mensintesis sendiri senyawa tersebut). 3

V.

FARMAKOKINETIK Pola Adsorbsi, Distribusi, Metabolime dan Eksresi Spektrum antibakteri trimetoprim sama dengan sulfametoksazole, meskipun daya antibakterinya 20-100 kali lebih kuat daripada sulfametoksazole. Rasio kadar sulfametoksazole dan trimetoprim yang ingin dicapai dalam darah ialah sekitar 20:1. Trimetoprim mempunyai karena 800 volume sifatnya mg dan distribusi yang yang lebih besar daripada

sulfametoksazole sulfametoksazole

lipofilik.

Dengan per

memberikan oral (rasio

trimetoprim

160mg

sulfametoksazole:trimetoprim = 5:1) dapat diperoleh rasio kadar obat tersebut dalam darah kurang lebih 20:1.3 Profil farmokokinetik sulfametoksazol dan trimetoprim hampir mirip namun tidak benar-benar cocok untuk mencapai rasio konstan 20:1 untuk konsentrasinya di dalam darah dan jaringan. Rasio dalam darah sering kali lebih besar dari pada 20:1 sedangkan rasionya dalam jaringan seringkali lebih kecil. Setelah pemberian sediaan kombinasi dalam dosis oral tunggal, trimetoprim diabsorpsi lebih cepat daripada sulfametoksazol. Pemberian kedua obat tersebut secara bersamaan tampaknya memperlambat absorpsi sulfametoksazol. Konsentrasi puncak trimetoprim dalam darah biasanya terjadi dalam waktu 2 jam pada sebagian besar pasien, sementara konsentrasi puncak sulfametoksazol terjadi dalam waktu 4 jam setelah dosis oral tunggal. Waktu paruh trimetoprim sekitar 11 jam dan sulfametoksazol sekitar 10 jam. 9 Ketika 800 mg sulfametoksazol diberikan bersama 160 mg trimetoprim (dalam rasio konvensional 5:1) dua kali sehari, konsentrasi puncak obat tersebut dalam plasma sekitar 40 dan 2 g/ml, yang merupakan rasio optimal. Konsentrasi

10

puncaknya setelah infus intravena 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim dalam waktu 1 jam hampir sama yaitu 46 dan 3,4 g/ml. 3 Trimetoprim dengan cepat terdistribusi dan terkonsentrasi dalam jaringan, dan sekitar 40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimetoprim hampir 9 kali volume distribusi sulfametoksazol. Obat ini dengan mudah memasuki sairan serebrospinal dan sputum. 65% sulfametioksazol terikat pada protein plasma. 3 Sekitar 60% trimetoprim dan 25% sulfametoksazol diekskresikan di dalam urin dalam waktu 24 jam. Dua pertiga sulfonamide berada dalam bentuk tidak terkonjugasi. Kecepatan ekskresi dan konsentrasi kedua senyawa dalam urin menurun secara signifikan pada pasien yang mengalami uremia. 3 Masing-masing

komponen dalam konsentrasi tinggi juga ditemukan dalam empedu. Kurang lebih

VI.

PENELITIAN EFEKTIFITAS COTRIMOKSAZOL PADA TERAPI INFEKSI SALURAN KEMIH

Beberapa

penelitian

telah

dilakukan

untuk

mengetahui

keefektifan

cotrimoksazol dibandingkan dengan obat lain dan dosis minimum cotrimoksazol yang efektif dalam mengobati ISK. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. S.G Flavell M pada tahun 1984 dengan membandingkan Augmentin (amoxicillin-asam clavulanic) dengan

cotrimoksazol pada 26 pasien didapatkan hasil bahwa seluruh pasien yang meminum Augmentin sembuh sedangkan dengan cotrimoksazol hanya 23 pasien (88%) saja yang sembuh. Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal umur, jenis kelamin, tanda dan gejala ISK tetapi dari segi lama terapi terdapat perbedaan dimana Augmentin membutuhkan terapi 2-5 hari dan cotrimoksazol 4-7 hari. Kedua obat tidak menimbulkan efek samping yang berarti. 2 pasien merasakan mual karena pemberian kedua obat tersebut dan 1 pasien mengeluh nyeri perut karena mengkonsumsi cotrimoksazol. Dari penemuan ini disimpulkan Augmentin lebih cepat dan efektif dalam mengobati ISK.10

11

Falakaflaki pada tahun 2007 meneliti nitrofurantoin dan cotrimoksazol, dalam menurunkan gejala, nitrofurantoin lebih baik jika dibandingkan cotrimoksazol. Begitu pula menurut Brendsrupt 1990 dimana nitrofurantoin lebih unggul dibandingkan dengan trimethoprim dalam membunuh kuman di urine sehingga pemerikasaan kultur urine menjadi negative setelah diberikan obat tersebut. Salah satu keunggulan trimethorpim dibandingkan nitrofurantoin adalah efek sampingnya lebih rendah. P.E.Gower dan P.R.W.Tasker melakukan penelitian double blind untuk membandingkan cotrimoksazol dan cephalexine yang dilakukan pada 100 wanita. Awalnya pasien diambil urinenya dengan cara aspirasi pubik untuk diperiksa lalu diberikan cephalexin 500 mg dan cotrimoksazol (80 mg trimetorphin dan 400 mg sulfametoksazole) selama 1 minggu 2 tablet 2 kali sehari. 47 orang menerima cephalexin dan 46 cotrimoksazol. Setelah itu, pasien di minta membawa urine porsi tengah sebanyak 3 kali yaitu a) selama masa pengobatan b) 2 minggu setelah pengobatan dan c) 6 minggu setelah pengobatan. Jika diduga urine tercemar maka dilakukan aspirasi suprapubik. Hasilnya dari 47 pasien yang diberikan cephalexin, 15 terkena recurrance infeksi; dari 46 pasien yang diberikan cotrimoksazol, 2 yang kambuh lagi. Perbedaan kedua obat ini dalam mencegah kekambuhan sangat berbeda jauh. Kesimpulan dari penelitian ini cotrimoksazol jauh lebih efektif dalam menyembuhkan ISK dan mencegah kekambuhan dibandingkan dengan cephalexin.11 Penelitian ISK pada anak yang dilakukan J. M. Stansfeld dalam British Medical Journal mengenai durasi pengobatan infeksi saluran kemih pada anak didapatkan hasil terapi yang sama antara anak yang diberikan cotrimoksazol selama 2 minggu dan anak yang diberikan cotrimoksazol selama 6 bulan. Adapun untuk pencegahan infeksi berulang, baik anak yang diberikan pengobatan contrimoxazole selama 2 minggu maupun 1 bulan juga mempunyai hasil yang kurang lebih sama dimana infeksi dapat berulang minimal 5 bulan setelah infeksi pertama. Kesimpulannya berilah dosis minimum yang efektif untuk mengobati ISK anak. Tidak perlu dosis yang besar karena hasilnya sama saja.12 Dosis minimun trimetoprim yang efektif untuk mengatasi infeksi saluran kemih menurut penelitian yang dilakukan oleh Victoria dkk terhadap 135 orang di

12

Inggris adalah 100 mg/kali selama 5-7 hari. Angka keberhasilan terapi sekitar 8595%.1 VII. PEMBAHASAN Secara teori cotrimoxazol efektif untuk mengatasi infeksi saluran kemih karena memiliki spektrum aktivitas luas terhadap bakteri misalnya Streptococcus, C.diphtheriae, 50-60% strain Staphylococcuss, Pseudomonas, Enterobacter, dan juga E.coli yang merupakan penyebab utama infeksi saluran kemih. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. S.G Flavell M. dengan membandingkan augmentin dengan cotrimoksazol didapatkan hasil augmentin lebih cepat dan efektif dalam mengobati ISK. Penelitian Falakaflaki juga menunjukkan nitrofurantoin lebih baik dalam menurunkan gejala dibandingkan cotrimoksazol, namun efek samping

cotrimoxazol lebih rendah. Sedangkan P.E.Gower dan P.R.W.Tasker melakukan penelitian dengan membandingkan cotrimoksazol dan cephalexine, hasilnya cotrimoksazol jauh lebih efektif dalam menyembuhkan ISK dan mencegah kekambuhan dibandingkan dengan cephalexin. Secara keseluruhan dapat disimpulkan augmentin dan nitrofurantoin lebih baik dalam mengatasi infeksi saluran kemih dibandingkan cotrimoxazole, tetapi cotrimoxazole baik digunakan untuk mencegah kekambuhan ISK.

VIII. KESIMPULAN

Saat ini pengunaan cotrimoksazol untuk mengobati penyakit infeksi saluran kemih bukan pilihan utama karena telah terjadi banyak resistensi terhadap bakteri penyebab ISK. Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan kurang efektifnya cotrimoksazol dibandingkan dengan antimikroba lainnya seperti amoxicillin dan nitrofurantoin. Namun demikian cotrimoxaxole masih efektif digunakan untuk mencegah kekambuhan ISK dibandingkan cephalexin. Lama pengobatan yang dianjurkan adalah minimal 5-7 hari dengan dosis 100 mg/kali.

13

DAFTAR PUSTAKA

1) Infeksi Saluran Kemih. http:www.infokesehatan.com. Updated 11 May 2008. Akses 30 April 2012. 2) Donna J Fisher, MD. Pediatric Urinary Tract Infection. http://emedicine.medscape.com/article/969643-overview#aw2aab6b2b4aa. Update:30 September, 2011. Akses 30 April 2012. 3) Rianto Setiabudi dan Yanti Mariana. Sulfonamid, Kontrimoxazole dan Antiseptik Saluran Kemih. Dalam: Departeman farmakologi dan terapeutik FK-UI. Farmakologi dan Terapi. Jakarta, 2009; 599-612. 4) Tessy A, Arharia, Suwanto. 2001. Infeksi Saluran Kemih. In: Suyono HS. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 3rd edition. Jakarta, FKUI. 5) Purnomo BB. 2003. Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto. 6) Richard E.Behrman dkk.. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 3. Jakarta:EGC. 7) John L Brusch, MD, FACP. Urinary tract infection in females. Updated: 23 Agustus 2011. Akses 30 April 2012. 8) www.dinkes.tasikmalayakota.go.id/indekPs.phd/informasi-obat/299kontrimoxazol.html. Akses 3 Mei 2012. 9) www.asromedika.blogspot.com/2011/08/trimetoprim-sulfametoksazol.html. Akses 3 Mei 2012. 10) Groby Road Hospital, Leicester LE3 9QE team dan Public Health Laboratory Leicester Royal Infirmary team. Auigmented (Amoxycillin-Clavulanic Acid) Compared With Co-Trimoxazole in Urynary Tract Infection. British Medical Journal 1984; 289; 82-83. 11) P.E. Gower dan P.R.W.Tasker. Comparative Double-Blind Study of Cephalexin dan Co-Trimozaxole in Urinary Tract Infection. British Medical Journal 1976; 20 (March): 684-686. 12) J.M.Stansfeld. Duration Of Treatment for Urinary Tract Infections in Children.

British Medical Journal 1975; 12 (July): 65-66. 13) Victoria Blacstone dan R.N. Gruneberg. Minimum Effective Dose of Trimethoprim for Urinary Tract Infection. Journal of the Royal College of general practitioners 1988; July: 320.

14

Anda mungkin juga menyukai