Anda di halaman 1dari 37

Penatalaksanaan atau Terapi infeksi

Bakteri

Dosen: Romauli Anna Teresia Marbun, S.Farm., M.Si


Defenisi
Antibakteri terdiri atas antibiotik dan kemoterapi.
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh mikroba,
terutama fungi, yang dapat menghambat pertumbuhan
atau membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik juga
dapat dibuat secara sintetis. Kemoterapi ialah zat kimia
yang mampu menghambat pertumbuhan atau
membasmi mikroba tetapi tidak berasal dari suatu
mikroba atau fungi.
Prinsip penggunaan antibiotik
 Penyebab infeksi

Pemberian antibiotik yang paling ideal adalah berdasarkan hasil


pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Namun dalam
praktek sehari-hari, tidak mungkin melakukan pemeriksaan
mikrobiologis untuk setiap pasien yang dicurigai menderita suatu infeksi.
Di samping itu, untuk infeksi berat yang memerlukan penanganan
segera, pemberian antibiotik dapat segera dimulai setelah pengambilan
sampel bahan biologik untuk biakan dan pemeriksaan kepekaan kuman.
Pemberian antibiotik tanpa pemeriksaan mikrobiologis dapat didasarkan
pada educated guess. Tabel 5.1 memberikan pedoman pemilihan
antibiotik berdasarkan educated guess untuk berbagai jenis infeksi.
2. Faktor pasien
Diantara faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam
pemberian antibiotik antara lain fungsi ginjal, fungsi
hati, riwayat alergi, daya tahan terhadap infeksi (status
imunologis), daya tahan terhadap obat, beratnya infeksi,
etnis, usia, penggunaan pengobatan konkomitan, untuk
wanita apakah sedang hamil atau menyusui, atau
sedang mengkonsumsi kontrasepsi oral.
Terapi Farmakologi
cont
Terapi farmakologi
Cont
cont
Cont
Cont
Cont
Cont
Penggunaan antibiotik untuk profilaksis
Profilaksis antibiotik diperlukan dalam keadaan-keadaan berikut:
Untuk melindungi seseorang yang terpapar kuman tertentu: Misalnya
untuk pencegahan demam rematik pada orang yang terpapar kuman
Streptococcus hemolyticus grup A, diberikan fenoksimetilpenisilin 2 kali
250 mg per hari.
Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup
jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan risiko
bakteremia, misalnya pencabutan gigi, pembedahan dan lain-lain.
Amoksisilin: DEWASA: 1 g per oral, 3 jam sebelum tindakan. ANAK di
bawah 5 tahun: seperempat dosis dewasa. ANAK 5-10 tahun: setengah dosis
dewasa. Obat di atas diberikan dalam dosis tunggal.
Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu
yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila
terjadi infeksi pasca bedah.
Operasi lambung, esofagus, kolesistektomi pada
pasien dengan kemungkinan infeksi kandung
empedu: Gentamisin atau sefalosporin dosis tunggal.
Diberikan 2 jam sebelum operasi.
Reseksi kolon atau rektum: Gentamisin +
metronidazol dosis tunggal atau sefuroksim +
metronidazol, diberikan 2 jam sebelum operasi.
Histerektomi: Metronidazol supositoria atau intravena
dosis tunggal.
Antibiotik kombinasi:
Antibiotik kombinasi diberikan untuk 4 indikasi utama:
Pengobatan infeksi campuran, misalnya pasca bedah
abdomen.
Pengobatan awal pada infeksi berat yang etiologinya
belum jelas, misalnya sepsis, meningitis purulenta.
Mendapatkan efek sinergi.
Memperlambat timbulnya resistensi, misalnya pada
pengobatan tuberkulosis.
Klasifikasi antibakteri:
Penisilin
Sefalosporin dan antibiotik beta-laktam lainnya
Tetrasiklin
Aminoglikosida
Makrolida
Kuinolon
Sulfonamid dan trimetoprim
Antibiotik lain
Penisilin
Benzilpenisilin dan fenoksimetilpenisilin
Penisilin tahan penisilinase
Penisilin spektrum luas
Penisilin anti pseudomonas
Mesilinam
Sefalosporin dan antibiotik beta-laktam
lainnya
Sefalosporin merupakan antibiotik spektrum luas yang digunakan
untuk terapi septikemia, pneumonia, meningitis, infeksi saluran
empedu, peritonitis, dan infeksi saluran urin. Aktivitas
farmakologi dari sefalosporin sama dengan penisilin, diekskresi
sebagian besar melalui ginjal. Kemampuan sefalosporin melintas
sawar otak sangat rendah kecuali pada kondisi inflamasi;
sefotaksim merupakan sefalosporin yang baik untuk infeksi
sistem saraf pusat (misalnya meningitis). Efek samping utama dari
sefalosporin adalah hipersensitifitas dan sekitar 10% dari pasien
sensitif terhadap penisilin juga akan alergi terhadap sefalosporin.
Sefradin secara umum telah diganti oleh sefalosporin yang lebih
baru.
Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas yang kegunaannya
sudah menurun karena meningkatnya resistensi bakteri. Namun
obat ini tetap merupakan pilihan untuk infeksi yang disebabkan
oleh klamidia (trakoma, psitakosis, salpingitis, uretritis dan
limfogranuloma venereum), riketsia (termasuk Q-fever), brusela
(doksisiklin dengan streptomisin atau rifampisin) dan spiroketa,
Borellia burgdorferi (Lyme disease).
Tetrasiklin juga digunakan pada infeksi saluran pernafasan dan
mikoplasma genital, akne, destructive (refractory) periodontal
disease, eksaserbasi bronkitis kronis (karena aktivitasnya terhadap
Hemophilus influenzae), dan untuk leptospirosis pada pasien yang
hipersensitif terhadap penisilin (sebagai alternatif dari eritromisin).
Secara mikrobiologis, hanya sedikit jenis organisme yang dapat
diatasi dengan menggunakan golongan tetrasiklin, kecuali
minosiklin yang memiliki spektrum luas. Minosiklin sudah jarang
digunakan karena efek samping seperti vertigo dan pusing.
Infeksi pada rongga mulut. Pada dewasa dan anak di atas 12
tahun, tetrasiklin efektif terhadap kuman anaerob oral namun
sudah jarang digunakan karena resistensi. Obat ini masih
mempunyai peranan dalam terapi destructive (refractory) forms of
periodontal disease. Doksisiklin mempunyai lama kerja yang lebih
panjang daripada tetrasiklin, klortetrasiklin atau oksitetrasiklin dan
hanya perlu diberikan satu kali sehari; juga dilaporkan lebih aktif
terhadap anaerob dibandingkan tetrasiklin lainnya.
Doksisiklin digunakan dalam terapi recurrent
aphthous ulceration, herpes oral atau sebagai terapi
tambahan pada gingival scaling dan root planing
untuk periodontitis.
Aminoglikosida
Golongan ini meliputi amikasin, gentamisin, neomisin,
netilmisin, streptomisin dan tobramisin. Semua
aminoglikosida bersifat bakterisidal dan terutama aktif
terhadap kuman bakteri gram negatif. Amikasin,
gentamisin dan tobramisin juga aktif terhadap
Pseudomonas aeruginosa. Streptomisin aktif terhadap
Mycobacterium tuberculosis dan penggunaan-nya
sekarang sebagai cadangan untuk tuberkulosis.
Aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna
(walaupun ada risiko absorpsi pada inflammatory bowel
disease dan gagal hati), sehingga harus diberikan secara
parenteral untuk infeksi sistemik. Ekskresi terutama melalui
ginjal dan terjadi akumulasi pada gangguan fungsi ginjal.
Sebagian besar efek samping antibiotik golongan ini
tergantung dari dosis, oleh karena itu dosis perlu
diperhatikan dengan seksama dan pemberian obat
sebaiknya tidak lebih dari 7 hari. Efek samping utamanya
ototoksisitas dan nefrotoksisitas yang biasa terjadi pada
lansia atau pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Jika terjadi gangguan fungsi ginjal (atau kadar serum
yang tinggi sebelum pemberian obat), interval
pemberian harus diperpanjang. Jika gangguan fungsi
ginjal berat, maka dosis sebaiknya diturunkan.
Aminoglikosida dapat mengganggu transmisi
neuromuskular dan sebaiknya dihindari pada pasien
miastenia gravis. Dosis besar yang diberikan pada waktu
pembedahan dapat menimbulkan sindrom miastenia
yang bersifat sementara pada pasien dengan fungsi
neuromuskular normal.
Makrolida
Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang mirip dengan
penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pada pasien
yang alergi terhadap penisilin. Indikasi eritromisin mencakup infeksi
saluran napas, whooping cough, penyakit legionnaire dan enteritis
karena kampilobakter. Meskipun antibiotik ini aktif terhadap banyak
stafilokokus yang resisten terhadap penisilin, namun akhir-akhir ini
resistensi juga ditemukan terhadap eritromisin; Eritromisin memiliki
aktivitas yang lemah terhadap Hemophilus influenzae. Eritromisin juga
aktif terhadap klamidia dan mikoplasma.
Eritromisin menyebabkan mual, muntah dan diare pada beberapa
pasien. Untuk infeksi ringan hingga sedang, efek samping ini dapat
dihindarkan dengan pemberian dosis rendah (250 mg 4 kali sehari), tapi
untuk infeksi yang lebih serius seperti Legionella pneumonia
dibutuhkan dosis yang tinggi.
Azitromisin adalah makrolida yang aktivitas nya terhadap bakteri
Gram positif sedikit lebih lemah dibanding eritromisin, tetapi lebih
aktif terhadap bakteri Gram negatif seperti Hemophilus influenzae.
Kadar plasma azitromisin sangat rendah, tapi kadarnya dalam
jaringan jauh lebih tinggi. Waktu paruh azitromisin yang panjang
dalam jaringan memungkinkan obat ini diberikan dalam dosis satu
kali sehari. Azitromisin dapat digunakan untuk Lyme disease.
Klaritromisin merupakan derivat eritromisin dengan aktivitas yang
lebih kuat dibandingkan dengan senyawa induknya. Kadar dalam
jaringan lebih tinggi daripada kadar eritromisin. Obat ini diberikan
dua kali sehari.
Efek samping azitromisin dan klaritromisin pada saluran cerna lebih
sedikit dibandingkan dengan eritromisin.
Spiramisin juga termasuk makrolida.
Infeksi rongga mulut. Eritromisin merupakan antibiotik
pilihan untuk infeksi rongga mulut pada pasien yang alergi
terhadap penisilin atau infeksi yang penyebabnya adalah
bakteri penghasil beta-laktamase. Namun, sekarang banyak
organisme telah resisten atau segera terbentuk resistensi
terhadap eritromisin, sehingga penggunaannya dibatasi
hanya dalam jangka pendek. Metronidazol mungkin lebih
dipilih sebagai alternatif untuk penisilin.
Untuk profilaksis infeksi endokarditis pada pasien yang alergi
terhadap penisilin, digunakan klindamisin oral dosis tunggal.
Quinolon
Asam nalidiksat dan norfloksasin efektif untuk infeksi saluran kemih
tanpa komplikasi.
Siprofloksasin aktif terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Siprofloksasin terutama aktif terhadap kuman Gram negatif termasuk
salmonella, shigella, kampilobakter, neisseria, dan pseudomonas.
Siprofloksasin hanya memiliki aktivitas yang sedang terhadap bakteri
Gram positif seperti Streptococcus pneumoniae dan Enterococcus
faecalis karena itu tidak boleh digunakan untuk pneumonia
pneumokokus. Siprofloksasin aktif terhadap klamidia dan beberapa
mikobakteria. Sebagian besar kuman anaerob tidak sensitif terhadap
siprofloksasin. Penggunaan siprofloksasin termasuk untuk infeksi
saluran napas (tapi bukan pneumonia pneumokokus), saluran kemih,
sistem pencernaan (termasuk demam tifoid) dan gonore serta
septikemia oleh organisme yang sensitif.
Pada anak, siprofloksasin digunakan untuk infeksi pseudomonas
pada fibrosis sistik (pada anak di atas usia 5 tahun) dan juga untuk
mengatasi dan mencegah antrax inhalation. Jika manfaat pemberian
melebihi risiko yang dapat ditimbulkan, siprofloksasin dapat
digunakan untuk mengatasi infeksi saluran nafas, saluran kemih
dan sistem saluran cerna (termasuk demam tifoid). Selain itu juga
digunakan untuk mengobati septikemia yang disebabkan organisme
yang multi resisten (biasanya infeksi yang diperoleh di rumah sakit)
dan gonore (walaupun resistensi meningkat). Siprofloksasin juga
digunakan untuk mencegah penyakit meningokokus. Untuk anak,
tetes mata ofloksasin digunakan untuk infeksi mata. Data mengenai
pengunaaan kuinolon lain pada anak masih terbatas.
 Ofloksasin digunakan untuk infeksi saluran kemih, saluran napas
bagian bawah, gonore, uretritis dan servisitis non gonokokus.
Levofloksasin aktif terhadap organisme Gram positif dan Gram
negatif. Memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap pneumokokus
dibandingkan siprofloksasin. Levofloksasin diindikasikan untuk
community acquired pneumonia tapi sebagai terapi lini kedua. Di
Indonesia, ketiga obat ini tidak disetujui untuk pengobatan infeksi
kulit dan jaringan lunak karena banyak ditemukan stafilokokus yang
resisten. Penggunaan obat ini sebaiknya dihindarkan pada MRSA.
 Moksifloksasin sebaiknya digunakan untuk mengobati eksaserbasi
akut dari bronkitis kronis hanya bila terapi konvensional tidak berhasil
atau dikontraindikasikan dan sebagai terapi lini kedua dari community
acquired pneumonia. Moksifloksasin aktif terhadap organisme Gram
positif dan Gram negatif Moksifloksasin memiliki aktivitas yang lebih
besar dibandingkan siprofloksasin terhadap organisme Gram positif
termasuk pneumokokus. Moksifloksasin tidak aktif terhadap
Pseudomonas aeruginosa atau meticillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA).
Antrax inhalation atau gastrointestinal antrax pada
pasien dewasa atau anak di atas 12 tahun sebaiknya
diberi pengobatan awal siprofloksasin atau doksisiklin
dalam kombinasi dengan satu atau dua antibiotik lain
(seperti amoksisiklin, benzilpenisilin, kloramfenikol,
klaritromisin, klindamisin, imipenem dengan
silastatin dan vankomisin). Jika kondisi membaik dan
kepekaan bakteri B. antrax dipastikan, pengobatan
diganti ke antibiotik tunggal dan antibakteri
profilaksis sebaiknya dilanjutkan selama 60 hari.
Siprofloksasin atau doksisiklin dapat diberikan sebagai
post exposure prophylaxis setelah terjadi antraks. Jika
kontak terhadap antrax sudah dipastikan, antibakteri
profilaksis sebaiknya dilanjutkan selama 60 hari.
Antibakteri profilaksis dapat diganti amoksisilin setelah
10-14 hari jika strain Bacillus anthracis sensitif terhadap
amoksisilin. Vaksinasi antraks dapat memperpendek
pemberian antibakteri profilaksis.
Sulfonamid dan Trimetoprim
 Penggunaan sulfonamid semakin berkurang dengan semakin banyaknya
kuman yang resisten, dan digeser oleh antibiotik yang umumnya lebih efektif
dan kurang toksik.
 Sulfametoksazol dan trimetoprim digunakan dalam bentuk kombinasi (ko-
trimoksazol) karena sifat sinergistiknya. Namun, kotrimoksasol dapat
menyebabkan efek samping yang serius, walaupun jarang terjadi (sindrom
Stevens Johnson dan diskrasia darah, seperti penekanan sumsum tulang dan
agranulositosis) terutama pada lansia. Kotrimoksazol sebaiknya dihindari
diberikan pada bayi usia kurang dari 6 minggu (kecuali untuk pengobatan dan
profilaksis pneumosistis pneumonia) karena ada risiko kernikterus. Ada risiko
anemia hemolitik jika digunakan pada anak dewasa defisiensi G6PD. 
Kotrimoksazol sebaiknya dibatasi penggunaannya sebagai
pilihan utama untuk pneumonia yang disebabkan oleh
Pneumocystis carinii (Pneumocystis jiroveci).
Obat ini juga diindikasikan untuk toksoplasmosis dan
nokardiasis. Saat ini penggunaannya hanya dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi eksaserbasi akut dari
bronkitis kronis dan infeksi saluran kemih jika ada bukti hasil
uji sensitivitas bakteri terhadap kotrimoksazol dan alasan
kuat untuk menggunakan kombinasi ini daripada antibakteri
lain secara tunggal. Penggunaan obat ini untuk mengatasi
otitis media akut pada anak hanya dianjurkan jika ada alasan
kuat.
Antibakteri lainnya
Antibakteri yang akan dibicarakan pada bagian ini
adalah kloramfenikol, klindamisin, antibiotik
glikopeptida (vankomisin dan teikoplanin),
spektinomisin, polimiksin, kolistin; Linezolid.
Kloramfenikol
Klindamisin
Vankomisin dan teikoplanin
Spektinomisin
Polimiksin
Linezolid
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai