A. Penjelasan Umum
Praktikum Skills Lab dilakukan di Mini Hospital PSIK FKIK UMY sesuai jadwal yang telah
ditentukan. Mahasiswa akan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dengan jumlah mahasiswa
sebanyak maksimal 10 mahasiswa per kelompok. Masing-masing kelompok akan dibimbing secara
intensif oleh instruktur praktikum dengan fasilitas yang tersedia di Mini Hospital. Mahasiswa
dituntut untuk berperan aktif dalam proses praktikum dan diharapkan semua mahasiswa mampu
mendemonstrasikan skill yang sedang dipraktikumkan. Selain kegiatan praktikum dibawah
bimbingan instruktur, mahasiswa juga mempunyai kesempatan untuk belajar mandiri sesuai jadwal
yang telah ditentukan.Diakhir kegiatan praktikum, mahasiswa wajib untuk mengikuti ujian skills
(OSCE).
C. Sistem Penilaian
Penilaian praktikum meliputi :
1. Ujian OSCE sebesar 60 %
2. Praktikum sebesar 40 %
a. Pretes : 15 %
b. Proses Praktikum : 25 %
TOPIK-TOPIK PRAKTIKUM:
1. Pemasangan Infus
2. Pemasangan Tranfusi Darah dan Warmer, Jenis Cairan, Penghitungan Kebutuhan Cairan,
Penghitungan TPM
3. Pengukuran JVP dan CTR
4. Pemasangan EKG
5. Perawatan Trakeostomi dan Suction
6. Perawatan WSD
7. Terapi Oksigen dan Nebuliser
8. Pemasangan dan Pelepasan Kateter
9. Bladder Training, Perawatan Kateter, Irigasi Kateter
10. Terapi Panas Dingin
1st Topic
PEMASANGAN INFUS
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
1. Menghitung tetesan infus yang dibutuhkan
2. Melakukan pemasangan infus dengan benar
Scenario
A patient comes into the ER with gastroenteritis and is dehydrated from vomiting and diarrhea.
Acutely, he receives a fluid bolus to expand her intravascular volume. His blood chemistry shows
that his electrolytes are a bit off, so the IV fluid is adjusted to bring them within normal
parameters. He is also given medication for nausea via his IV. He will remain on maintenance IV
fluids until he is able to drink adequate amounts of fluids.
Pertanyaan mInimal:
1. Sebutkan indikasi pemasangan infus
2. Jelaskan jenis-jenis cairan dan penggunaannya
3. Jelaskan komplikasi pemasangan infus
Masalah keperawatan:
1. Resiko deficit volume cairan
2. Defisit volume cairan
3. Resiko infeksi
A. PENGERTIAN
Memasukkan alat infus ke dalam vena untuk memberikan jalan masuk bagi pengobatan secara
parenteral.
B. INDIKASI
▪ Penggantian cairan
▪ Pemberian darah/produk darah
▪ Obat – obat intravena
C. PEMILIHAN VENA
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan vena , antara lain :
a. Riwayat kesehatan klien
b. Usia, kondisi umum dan tingkatan/kemmapuan klien dalam beraktifitas
c. Kondisi vena
d. Jenis cairan yang akan diberikan
e. Rencana lamanya pemberian terapi intaravena
f. Kemampuan perawat dalam melakukan vena pungsi
D. PRINSIP PEMILIHAN VENA ADALAH :
a. Vena pada bagian distal terlebih dahulu
b. Vena pada tangan non dominan
Sedangkan vena yang harus dihindari, yaitu :
a. Vena pada jari, karena mudah terjadi komplikasi (flebitis, infiltrasi) dan dekat dengan
persarafan.
b. Vena yang terletak dibawah vena yang terjadi flebitis dan infiltrasi
c. Vena yang mengalami trombosis
d. Area kulit yang mengalami inflamasi, lebam dan terluka
e. Lengan dimana dilakukan mastektomi radikal, edema, infeksi, arteriovenous shunt, fistula
E. BEBERAPA CARA UNTUK MELAKUKAN PENUSUKAN VENA :
1. Approaching the vein from the top. Insert the cannula at a 5- to 15-degree angle (depending on
vein depth; for example, use a 5- to 10-degree angle for a superficial hand vein). Take care not to
insert it too far into the lumen or it may penetrate the back wall.
2. Approaching the vein from the side. Position the cannula tip adjacent to the vein, aimed toward
it. This method, which is preferred if you’ve injected a local anesthetic, reduces the risk of
piercing the vein’s back wall.
3. Approaching a vein that’s palpable and visible for only a short segment. This technique may
help you cannulate a vein that extends into deeper tissues, where you can’t see or feel it. Insert
the cannula about 1 to 2 cm below the vein’s visible segment, then tunnel the cannula through
the tissue to enter the vein. Tunneling may reduce trauma to the vein wall on insertion.
Note: Avoid performing venipuncture in areas where valves are palpated or where two veins bifurcate.
The insertion site should be proximal to a valve or a bifurcation, according to the INS.
Untuk pemilihan kanula, tergantung pada vena digunakan. Untuk pemasangan infus, kanula
sebaiknya berukuran ¾ - 1 ¼ inchi. Saat akan memilih ukuran kanula, pertimbangkan kondisi pasien dan
jenis cairan yang akan diberikan. Dibawah ini adalah ukuran kanul serta penggunaannya :
a. 24 – 22 : untuk anak – anak dan lansia
b. 24 – 20 : untuk klien penyakit dalam dan post operasi
c. 18 : untuk pasien yang operasi dan diberikan tranfusi darah
d. 16 : untuk pasien yang trauma dan memerlukan rehidrasi yang cepat
TIP!
Some local policies advocate the use of local anaesthetic prior to insertion of IV cannula.
Anaesthetic cream should be applied at least 20–90 minutes before procedure (depending on the type
used) to allow for full effect; check the manufacturer instructions regarding this. Local anaesthetic cream
may be particularly useful for patients who are afraid of needles. Injecting local anaesthetic may be as
painful as siting the cannula, and the resultant localized swelling may obscure the vein (Dougherty 1998).
Figure 7.1 Types of IV clamp. Figure 7.2 Connecting IV bag Figure 7.3 Running through
Roller clamp. Slide clamp and administration set.
Administration set aseptically.
J. KOMPLIKASI
a. Phlebitis (peradangan pembuluh darah vena), tanda – tanda: kemerahan, hangat, merah, bengkak
di daerah luka tusukan, nyeri atau tidak nyaman saat penyuntikan obat. Penyebab: kurangnya
aliran darah di sekitar kanula, gesekan dari kanula di dalam vena, clotting pada ujung kanula.
Intervensi: ganti kanula, gunakan kompres hangat, gunakan krem heparin, laporkan dokter untuk
pemberian analgesik anti inflamasi. Terdapat 3 jenis phlebitis yaitu mechanical phlebitis, chemical
phlebitis, dan infective phlebitis.
• Mechanical phlebitis: terjadi akibat pergerakan benda asing (kanula IV/abocath) didalam
pembuluh darah yang menyebabkan inflamasi pada pembuluh darah. Biasanya phlebitis ini
disebabkan oleh pemilihan ukuran kanul yang terlalu besar pada vena yang dipasang kanul.
Untuk mencegah terjadinya phlebitis jenis ini, dianjurkan untuk memilih kanul mulai dari ukuran
yang paling kecil meskipun tetap harus menyesuaikan dengan tujuan pemasangan kanul, sebagai
contoh pada pasien yang memerlukan rehidrasi secara cepat, pemilihan kanul ukuran besar
merupakan pilihan yang sesuai.
• Chemical phlebitis: disebabkan oleh obat atau cairan yang dimasukkan melalui kanul/abocath.
Faktor-faktor seperti pH dan osmolaritas cairan/obat memiliki pengaruh signifikan terhadap
kejadian flebitis jenis ini. Cairan antibiotik menyebabkan phlebitis jenis ini karena rendahnya pH
(bersifat asam). Cairan isotonik lebih sedikit menyebabkan phlebitis dibandingkan dengan cairan
hipertonik yang menyebabkan terjadinya respon inflamasi pada vena.
• Infective phlebitis: terjadi karena masuknya bakteri ke dalam vena. Biasanya hal ini terjadi
ketika proses perlukaan akibat pemasangan infus yang mengakibatkan inflamasi vena dan
memungkinkan terjadinya kolonisasi bakteri dan menyebabkan infeksi. Faktor lain yang
menyebabkan terjadinya phlebitis jenis ini adalah karena teknik membersihkan area insersi
kanul yang kurang sempurna saat akan memasang kanul. Phlebitis ini dapat menyebabkan sepsis
sistemik yang mungkin berujung pada kematian pasien.
b. Hematoma. Tanda – tanda: tenderness, memar. Penyebab: vena tertembus, jarum tidak pada
tempatnya, dan darah mengalir. Intervensi: kanula dipindahkan, gunakan tekanan dan kompres,
cek kembali tempat keluar darah.
c. Infiltrat. Infiltrat merupakan kebocoran cairan infus ke jaringan sekitar. Biasanya ditandai
dengan: kepucatan, bengkak, dingin, nyeri, dan terhentinya tetesan infus. Tindakan yang dapat
dilakukan adalah: kaji tingkat keparahan, lepas infus, dan tinggikan ekstremitas yang terpasang
infus.
L. GAMBAR PROSEDUR PEMASANGAN INFUS
CEKLIST PEMASANGAN INFUS
8 Buka penutup ujung infus set, tusukkan ujung infus set pada botol infus ditempat yang telah 0 1 3 1 3
ditentukan dengan mempertahankan sterilitas
9 Gantung slang infus pada tiang infus 0 1 1 1 1
10 Isi tabung pengontrol ½ bagian (atau sesuai tanda) dengan cairan infuse 0 1 3 1 3
11 Alirkan cairan dengan membuka klem dan pastikan slang infus bebas dari udara sampai ke ujung 0 1 2 3 3 18
jarum
12 Klem ditutup kembali 0 1 3 1 3
13 Pakai sarung tangan bersih 0 1 3 2 6
14 Pasang pengalas dibawah tempat yang akan ditusuk 0 1 1 1 1
15 Tentukan vena tempat penusukan 0 1 3 2 6
16 Pasang tourniquet 10-15 cm arah proksimal dari area yang akan ditusuk 0 1 2 1 2
17 Pastikan vena tampak dengan jelas, bila perlu raba vena yang akan ditusuk, gunakan tempat 0 1 2 3 3 18
paling distal pada lengan non dominan bila mungkin
18 Minta klien menggenggam jari (jempol didalam) 0 1 1 1 1
19 Lakukan desinfeksi pada area yang akan ditusuk menggunakan alcohol swab dengan gerakan 0 1 3 1 3
melingkar dari arah dalam keluar sampai area seluas 5 cm dan biarkan kering
20 Buka tutup jarum, pegang jarum dengan posisi 100-300 sejajar vena, mata jarum menghadap ke 0 1 2 3 3 3 27
atas, tusuk vena perlahan dan pasti. Jika jarum tepat mengenai vena, darah akan masuk melalui
lubang jarum.
Raw score C D Score
Tahapan Prosedur Actual Max
0,1,2,3,4,5 1,2,3 1,2,3
Score Score
21 Rendahkan posisi jarum sejajar kulit, dorong sedikit jarum (untuk memastikan bawa IV kateter 0 1 2 3 4 3 3 36
sudah masuk kepembuluh darah) tarik mandrin sedikit, lalu dorong kanul masuk ke dalam vena*
22 Lepaskan mandrin dari IV catheter, stabilkan IV catheter dengan tangan non dominan tanpa 0 1 2 3 4 5 3 3 45
menyentuk tempat insersi IV catheter, lalu hubungan selang infus dengan IV catheter yang telah
dipasang, tidak boleh ada udara pada slang, Lepaskan tourniquet, kemudian alirkan cairan infus
dengan membuka klem pada slang infus *
23 Bersihkan area insersi dengan alkohol swab dan tutup tempat insersi dengan plester transparan 0 1 2 3 2 12
24 Fiksasi IV catheter sedemikian rupa menggunakan plester hypafix (tidak boleh disambungan 0 1 2 2 2 8
antara IV catheter dan selang infus) dan di lengan
25 Atur tetesan infus sesuai dengan program pengobatan* 0 1 2 3 2 12
26 Pasang label di plester tempat fiksasi: tangal & jam pemasangan 0 1 3 1 3
27 Pasang label di selang: tanggal dan jam 0 1 3 1 3
28 Pasang label di botol infus: tetesan per menit, botol ke berapa, obat tambahan 0 1 3 1 3
29 Rapikan pasien dan alat 0 1 2 1 1 2
30 Baca Hamdalah (Alhamdulillahirobbil’aalamiin) setelah kegiatan selesai 0 1 2 1 2
31 Cuci tangan (handwash) setelah tindakan 0 1 3 1 3
Terminasi 1 Simpulkan hasil kegiatan 0 1 2 1 2
2 Berikan edukasi setelah dilakukan pemasangan infus (tanda phlebitis, letak botol infus jangan di 0 1 2 1 2
bawah jantung)
3 Evaluasi respon pasien 0 1 2 1 2
4 Berikan reinforcement sesuai dengan kemampuan pasien 0 1 1 1 1
5 Doakan kesembuhan pasien 0 1 2 2 4
Raw score C D Score
Tahapan Prosedur Actual Max
0,1,2,3,4,5 1,2,3 1,2,3
Score Score
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan indikasi dilakukannya transfusi darah
2. Melakukan pemasangan blood warmer dengan benar
Scenario
A 34 years old man, 50 kg with cruris dextra fracture. He had surgery tomorrow and he get
low hemoglobin. The hemoglobin level is 6,4 g%. Is he need the blood transfusion? If he need
to blood transfussion, how much we can give for him?
Pertanyaan mInimal:
1. Sebutkan indikasi dilakukannya transfusi darah!
2. Berapa jumlah darah yang harus diberikan?
Masalah keperawatan:
1. Deficit fluid volume
”TRANSFUSI DARAH DENGAN “BLOOD WARMER”
Yanuar Primanda, S.Kep., Ns., MNS
Fitri Arofiati, S. Kep., Ns, MAN., Ph.D
Erfin Firmawati,S.Kep., Ns., MNS
Transfusi darah baik darah keseluruhan atau komponen darah saja merupakan suatu langkah
penanganan untuk menstabilkan kondisi haemodinamik tubuh. Dua indikasi diperlukanya tranfusi darah
yaitu :
1. Kehilangan darah dalam jumlah banyak, seperti pada kecelakaan dengan trauma hemoragik atau
pada saat operasi laparatomi.
2. Terjadi penurunan komponen darah yang signifikan (Hb, Trombosit)
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses transfuse darah, antara lain:
1. Pemberian darah tidak boleh terlalu cepat karena ada kemungkinan jantung tidak dapat
mengkompensasi pertambahan volume darah tersebut. Kerja jantung akan semakin berat yang pada
suatu waktu akan dapat menimbulkan gambaran kepayahan jantung dalam memompa darah.
2. Apabila terjadi salah pemberian, dimana jenis dan tipe darah tidak sesuai maka akan dapat
menimbulkan reaksi patologis seperti alergi atau bahkan koagulasi transfusi.
3. Adanya kontaminasi bakteri atau parasit pada saat proses transfusi atau yang berasal dari darah
pendonor akan dapat menimbulkan reaksi yang fatal pada resipien donor.
Secara anatomi-fisiologis, jumlah darah yang terkandung dalam tubuh manusia yaitu 80 cc/Kg BB. Jika
terjadi kehilangan darah, maka setiap 1 cc darah yang hilang dapat digantikan dengan 2-4 cc larutan RL/Nacl.
Namun secara umum penentuan jumlah darah yang akan ditransfusikan memakai menggunakan rumus
berikut :
Administration/Nursing
Component What's in it Why use it
Considerations
Whole one unit contains 500 mL Increases blood volume
Blood of all blood components: and oxygen carrying
RBCs, WBCs, plasma, capacity after hemorrhage
- must be ABO and Rh compatible
platelets, clotting factors
- one unit must be infused within a 4-
(some clotting factors are
hour time period
not viable after 24 hours of
- use a Y-type blood administration set
storage)
with filter (to remove microaggregates
Packed Red one unit contains 250 mL Increases red blood cell
of degenerating platelets and fibrin
Blood Cells of whole blood (RBCs, mass and oxygen carrying
strands)
(RBCs) WBCs, platelets and capacity in chronic anemia
- one unit increases Hgb by 1 gm/dL
plasma) with 80% of the not due to nutritional or
plasma removed drug therapy and other
bleeding conditions
White Blood one unit contains 150 mL Sepsis that has been - must be ABO and Rh compatible
Cells of WBCs or leukocytes unresponsive to antibiotics - can use a straight-line or component
(WBCs) suspended in 20% of the with positive blood drip IV administration set with an in-
plasma cultures, persistent fever, line blood filter
and granulocytopenia - periodically agitate the bag of cells to
prevent the WBCs from settling and to
prevent accidental bolus of white
blood cells
- fever and chills in the patient is an
expected occurrence
- may reduce flow rate per MD order for
patient comfort if fever and chills
occur
- give antipyretics or premedicate with
Benadryl if ordered
Platelets one unit contains 35 to 50 Bleeding due to - must be ABO compatible when
mL of platelet sediment thrombocytopenia, possible and Rh compatible is
from RBCs or plasma, may decreased platelet counts preferred
have small numbers of or presence of abnormal - use a filtered component drip
RBCs and WBCs platelets; leukemia; administration set
blood bank may pool up to aplastic anemia; DIC; post- - infuse at rate of 100mL per 15 minutes
8 units for one infusion transfusion - should not be given if patient has a
thrombocytopenia fever
- platelet count should be drawn 1 to 3
hours after platelet transfusion
Fresh one unit contains 200 to Bleeding, coagulation - must be ABO compatible; Rh match is
Frozen 250 mL of plasma and all factor deficiencies, not required
Plasma clotting factors Warfarin reversal, - use a straight-line IV administration
(FFP) thrombotic set
thrombocytopenic purpura - infuse rapidly
- hypocalcemia can occur with multiple
transfusions of FFP due to presence of
citric acid in the FFP which binds
serum calcium
5% Albumin one unit of 5% Albumin Replaces volume lost by - ABO/Rh compatibility is NOT
(buffered contains 12.5 grams of shock in burns, trauma, necessary
saline) albumin in 250 mL surgery or infections; - manufacturer usually supplies the
10% one unit of 10% Albumin hypoproteinemia administration set you should use
Albumin contains 12.5 grams of - rate and volume infused dictated by
(salt poor) albumin in 50 mL patients response
- watch for circulatory overload in
patients with cardiac or pulmonary
disease
PANDUAN UMUM TRANSFUSI DARAH
A. Informed Consent
➢ Sebelum dimulai pemberian transfusi, pasien harus mendapatkan penjelasan tentang indikasi,
kemungkinan resiko, keuntungan, alternative, dan konsekuensi dari transfuse
➢ Informed consent harus didokumentasikan di dalam catatan medis pasien
➢ Pada kondisi kegawatdaruratan, dokter harus membuat justifikasi bahwa pasien akan menyetujui
untuk dilakukan transfuse
➢ Transfusi tidak boleh ditunda pada saat kondisi gawat darurat dan mengancam jiwa dan proses
pemberian transfuse pada saat kritis ini harus didokumentasikan dalam catatan medis
CAIRAN TUBUH
KESEIMBANGAN CAIRAN
Keseimbangan cairan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keseimbangan antara input dan
output cairan di dalam tubuh untuk menghasilkan proses metabolic tubuh berjalan dengan tepat (Welch,
2010). Tiga komponen dalam melakukan penghitungan keseimbangan cairan dan status hidrasi adalah: 1).
Pemeriksaan tanda klinis, berat badan dan keluaran urin; 2). Menghitung kembali catatan keseimbangan
cairan; 3). Pemeriksaan kimia darah.
A. Pemeriksaan Tanda-tanda Klinis
1. Merasa haus
2. Sulit berbicara, bingung atau depresi
3. Membran mukosa mulut kering, bibir pecah-pecah
4. Observasi tanda-tanda vital: nadi, tekanan darah, dan frekuensi nafas akan berubah saat pasien
dehidrasi (takikardi, hipertensi postural, dan peningkatan frekuensi nafas jika kehilangan cairan
sangat buruk)
5. Capillary refill time (CRT)
Cara ini sangat efektif untuk mengetahui status cairan intravascular. Cara paling tepat adalah dengan
memegang tangan pasien di posisi jantung, lanjutkan dengan menekan daerah dasar kuku jari tengah
selama lima detik. Setelah lima detik, tekanan dilepas, maka warna normal akan kembali dalam dua
detik.
6. Elastisitas kulit
Elastisitas kulit (turgor kulit) merupakan indikator status cairan pasien. Cara sederhana yang dapat
dilakukan adalah dengan mencubit kulit. Status hidrasi yang baik dapat dilihat pada pengembalian
lipatan kulit segera setelah cubitan dilepaskan. Daerah cubitan yang direkomendasikan adalah di
atas sternum atau paha bagian dalam. Namun hal ini tidak berlaku untuk orang lanjut usia yang
elastisitas kulitnya berkurang akibat penuaan.
7. Berat badan
Perubahan berat badan yang cepat dapat menjadi indikasi status hidrasi. Pengukuran berat badan
sebaiknya dilakukan setiap hari, di waktu yang sama, dengan alat yang sama yang sudah dikalibrasi.
8. Keluaran urin
Pada pasien dehidrasi ditemukan urin berwarna gelap dan volumenya menurun. Normal keluaran
urin adalah sekitar 1 ml/kg BB/jam dengan rentang normal 0.5-2ml/kg/jam. Jika pasien terpasang
kateter urin, dan keluaran urin nya rendah, periksa apakah terdapat sumbatan pada kateter.
Memahami jenis cairan intravena dan fungsinya merupakan aspek penting bagi perawat, hal ini karena setiap
jenis cairan intravena memiliki efek yang berbeda pada tubuh dan memiliki indikasi tertentu sesuai
kebutuhan pasien. Secara umum, terdapat 3 macam jenis cairan yaitu koloid, kristaloid, dan darah serta
produk darah.
1. Koloid
Cairan koloid merupakan cairan yang mengandung larutan berbentuk molekul protein yang besar
atau molekul lain seukuran protein. Protein dan molekul tersebut sangat besar sehingga tidak dapat
melewati dinding kapiler pembuluh darah menuju sel. Oleh sebab itu, cairan koloid akan terys berada
dalam pembuluh darah dalam periode yang lama dan dapat secara signifikan meningkatkan volume
intravaskuler (volume darah). Protein ini juga memiliki kemampuan untuk menarik cairan dari sel
menuju pembuluh darah. Meskipun perpindahan cairan dari sel ke dalam pembuluh darah ini memiliki
manfaat penting dalam jangka waktu pendek, perpindahan terus menerus cairan intra sel kedalam
pembuluh darah bisa menyebabkan sel kehilangan banyak air dan sel menjadi dehidrasi.
Cairan koloid sangat bermanfaat untuk mempertahankan volume darah, tetapi penggunaannya di
lapangan masih sangat terbatas. Cairan koloid mahal, memiliki prosedur penyimpanan tertentu, dan
memiliki jangka waktu batas kadaluarsa yang terbatas, sehingga penggunaan produk ini lebih cocok
digunakan di setting rumah sakit. Beberapa cairan yang termasuk koloid adalah plasma protein
fraction, salt poor albumin, dextran, dan hetastarch
.
2. Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan yang paling sering digunakan terutama pada fase pre-hospital.
Cairan ini mengandung elektrolit seperti sodium, potasium, calcium, dan chloride tetapi sangat sedikit
mengandung protein dan molekul besar seperti yang terkandung di cairan koloid. Cairan kristaloid ini
dibagi menjadi beberapa jenis tergantung tonisitasnya. Tonisitas cairan kristaloid menggambarkan
konsentrasi elektrolit (zat terlarut) yang larut di dalam air, dibandingkan dengan cairan plasma (cairan
yang berada di sekitar sel). Cairan kristaloid dapat mempengaruhi distribusi cairan di dalam tubuh
tergantung konsentrasinya melalui mekanisme osmosis, dimana cairan tubuh berpindah dari
konsentrasi yang rendah menuju konsentrasi yang lebih tinggi melalui membran semi permeabel sel.
Perpindahan cairan tubuh ini akan berhenti jika konsentrasi cairan antara kedua bagian yang dibatasi
oleh membran semi permeabel tersebut memiliki konsentrasi yang sama. Berdasarkan tonisitasnya,
cairan kristaloid dibagi menjadi:
a. Isotonis
Cairan kristaloid isotonis memiliki tonisitas yang sama dengan plasma tubuh. Ketika
diberikan pada pasien dengan status hidrasi normal, cairan ini tidak akan menyebabkan
perpindahan cairan yang signifikan antara pembuluh darah dan sel. Sehingga, tidak terjadi atau
sangat minimal terjadi proses osmosis. Pasien yang mengalami kekurangan volume darah sangat
memerlukan cairan jenis ini.
b. Hipertonis
Cairan hipertonis memiliki tonisitas lebih tinggi daripada plasma tubuh. Pemberian cairan
kristaloid hipertonis menyebabkan perpindahan cairan dari ekstravaskuler menuju pembuluh
darah dan meningkatkan volume vaskular darah. Proses osmosis terjadi dimana tubuh berusaha
mengencerkan konsentrasi elektrolit yang ada di dalam pembuluh darah dengan memindah cairan
dari intra sel menuju intra vaskuler. Cairan ini bermanfaat terutama pada pasien yang mengalami
kekurangan volume darah.
c. Hipotonis
Cairan hipotonis memiliki tonisitas yang lebih rendah daripada plasma tubuh. Pemberian
cairan ini menyebabkan perpindahan air dari ruang intra vaskuler menuju ekstra vaskuler, yang
pada akhirnya akan bermuara di dalam sel. Karena pemberian cairan kristaloid hipotonis ini,
lingkungan ekstra vaskuler menjadi lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan lingkungan intra
vaskuler. Proses osmosis menyebabkan cairan intra vaskuler keluar menuju ekstra vaskuler dan
pada akhirnya akan meningkatkan jumlah cairan intra sel. Pasien dengan dehidrasi seluler sangat
memerlukan cairan jenis ini.
Masalah pemenuhan kebutuhan cairan harus dipenuhi sesuai kebutuhan pasien berdasarkan algoritma .
Modal awal dalam penghitungan kebutuhan cairan adalah berat badan pasien. Sehingga mengetahui berat
badan pasien adalah mutlak.
1. Cairan Resusitasi
Dalam kegawatdaruratan, cairan resusitai diberikan dengan indikasi pasien mengalani syok
hypovolemia dengan tanda gejala: tekanan darah sistolik <100mmHg, frekuensi nadi >90x/menit,
kapilari refill >2detik, perifer teraba dingin, frekuensi nafas >20x/menit.
Terapi awal adalah pemberian cairan kristaloid 500 ml dalam waktu tidak lebih dari 15 menit.
Monitor dan laporkan pada ahlinya jika tidak ada perbaikan atau pemberian cairan sudah lebih dari
2000ml.
2. Maintenace Rutin
Jika tidak menunjukkan gejala syok hipovolemi, maka pastikan apakah pasien mampu mencukupi
pemenuhan kebutuhan cairan lewat oral atau enteral. Jika tidak mampu maka lanjutkan dengan
pemberian cairan maintenance dengan penghitungan: 25-30 ml/kg/hari.
Pasien laki-laki berusia 35 tahun, dengan berat badan 70 kg, hanya mampu minum sedikit (500cc).
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, penyakit jantung, ataupun gangguan fungsi ginjal. Pasien
mengeluh mual dan tidak mampu makan. Berapakah kebutuhan cairan pasien saat ini?
Jumlah cairan yang dibutuhkan (ml) x Faktor tetes (tetes/menit) = Tetes per menit
Contoh: Dokter menginstruksikan pemberian cairan sebanyak 1200ml dalam 12 jam, dengan menggunakan
set infus makro (15ml/menit). Berapakah tetes infus per menit yang diberikan ke pasien?
Dmitrieva, N. I., & Burg, M. B. (2011). Increased Insensible Water Loss Contributes to Aging Related
Dehydration. PLoS ONE, 6(5), e20691. http://doi.org/10.1371/journal.pone.0020691
National Institute for Health and Care Excellence. (2016). Algorithms for IV Fluid therapy.
3rd Topic
Pemasangan
Electro Cardiography
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan indikasi pemeriksaan EKG
2. Melakukan pemasangan EKG dengan benar
Scenario
A patient had a history of Acute Myocardial Infark since 5 years ago. Right now the patients ia being
admitted in your medical unit because of pain in his left chest. You will check the patient’s ECG
result.
Pertanyaan mInimal:
1. Sebutkan indikasi pemeriksaan EKG?
2. Alat apa saja yang dibutuhkan untuk pemeriksaan EKG?
Masalah keperawatan:
1. Penurunan curah jantung
2. Kerusakan pertukaran gas
EKG (ELEKTROKARDIOGRAM)
Fitri Arofiati, S.Kep., Ns., M.A
I. DEFINISI
EKG adalah merupakan grafik hasil catatan potensial listrik yang dihasilkan oleh denyut jantung
(Mervin J. Goldman).
II. TUJUAN
1. Untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung/aritmia
2. Untuk mengetahui adanya kelainan miokardium seperti infark, hipertropi atrial atau
ventrikel
3. Untuk mengetahui pengaruh/efek obat-obat jantung terutama digitalis
4. Untuk mengetahui adanya gangguan elektrolit
5. Untuk mengetahui adanya perikarditis
III. SISTEM KONDUKSI
1. SA Nodes
Frekwensi 60 – 100 x/menit, iramanya sinus (sinus rhythm)
2. AV Nodes
Frekwensi 40 – 60 x/menit, iramanya junctional rhythm
3. Berkas His
4. Serabut Purkinye
Frekwensi 20 – 40 x/menit, iramanya idioventrikuler rhythm
IV. UKURAN KERTAS EKG
Gambaran EKG akan tergores horisontal dan vertikal pada kertas grafik dengan kotak-
kotak kecil berukuran 1 x 1 milimeter (mm). Tiap milimeter pada sumbu horizontal menyatakan
interval waktu 0,04 detik dan tiap milimeter pada sumbu vertikal menyatakan kekuatan listrik
sebesar 0,1 milivolt (mV). Umumnya pada setiap lima kotak sedang terdapat satu garis tanda yamg
menunjukkan panjang kertas EKG, ialah 5 x 5 mm = 25 mm.
Pada rekaman EKG baku telah ditetapkan bahwa :
a. Kecepatan rekaman : 25 mm/detik
b. Kekuatan voltage : 1 mV = 10 mm
Jadi berarti ukuran kertas EKG :
a. Pada garis horizontal
- Tiap satu mm = 1/25 detik = 0,04 detik
- Tiap lima mm = 5/25 detik = 0,20 detik
- Tiap 25 mm = 1,00 detik
b. Pada garis vertikal
- 1 mm = 0,10 mV
- 10 mm = 1,00 mV
V. SANDAPAN EKG
Untuk rekaman rutin, terdapat 12 sandapan yaitu :
a. Tiga buah bipolar standard lead (I, II, dan III)
- Sandapan I : Menggambarkan perbedaan potensial antara lengan kanan (RA) dan lengan
kiri (LA), dimana LA bermuatan lebih positif dari RA
- Sandapan II : Menggambarkan perbedaan potensial antara lengan kanan dan
tungkai kiri (LL), dimana LL bermuatan lebih positif dari RA
- Sandapan III : Menggambarkan perbedaan potensial antara lengan kiri dan tungkai kiri,
dimana LL bermuatan lebih positif dari LA
b. Tiga buah unipolar limb lead (aVR, aVL, aVF)
Sandapan unipolar limb lead adalah rekaman
perbedaan potensial antara lengan kanan, lengan kiri
atau tungkai kiri terhadap elektroda indifferen yang
berpotensial nol.
- Sandapan aVR = sandapan unipolar lengan kanan
yang diperkuat (augmented)
- Sandapan aVL = sandapan unipolar lengan kiri
yang diperkuat (augmented)
- Sandapan aVF = sandapan unipolar tungkai kiri
yang diperkuat (augmented)
Keterangan Gambar:
Gelombang P: menggambarkan aktivitas depolarisasi atrium. Repolarisasi atrium tidak
tergambarkan karena terlalu kecil dan tertutup oleh kompleks QRS.
Gelombang Q: menggambarkan awal fase depolarisasi ventrikel dan merupakan defleksi negatif
pertama dari kompleks QRS.
Gelombang R: menggambarkan fase depolarisasi ventrikel dan merupakan defleksi positif
pertama dari kompleks QRS.
Gelombang S: menggambarkan fase depolarisasi ventrikel dan merupakan defleksi negatif
sesudah gelombang R
Kompleks QRS: menggambarkan seluruh fase depolarisasi ventrikel
Gelombang T: menggambarkan fase repolarisasi ventrikel
Interval PR: merupakan penjumlahan waktu depolarisasi atrium dan waktu perlambatan dari
simpul AV ( AV nodes delay ), yang dihitung dari permulaan gelombang P sampai dengan
permulaan kompleks QRS. Batas normal nilainya adalah 0,12 – 0,20 detik
Interval QRS: menggambarkan lamanya aktivitas depolarisasi ventrikel, yang dihitung dari
permulaan gelombang Q sampai akhir gelombang S. Nilai normalnya < 0,12 detik
Interval QT: jarak permulaan gelombang Q sampai dengan akhir gelombang T, yang
menggambarkan lamanya aktivitas depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Nilai normalnya 0,42
detik.
Segment ST dimulai dari akhir gelombang S sampai dengan awal gelombang T. Normalnya
isoelektris berkisar antara – 0,5 mm sampai + 2 mm.
CHECK LIST PEMASANGAN EKG
4 0 1 2 2 4
Terminasi
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
1. Melakukan pengukuran JVP
SKENARIO
A man 60 years old admitted in medical ward because of left heart failure. Physical
examination: blood pressure 180/100 mmHg, respiration rate 24 times/min, pulse 120
beats/min, irregular, and jugularis vena portae (JVP) 13. Chest X-Ray showed cardiomegaly,
cardio thorax ratio (CTR)>50%.
Pertanyaan mInimal:
1. Bagaimana mengukur JVP?
2. Bagaimana mengukur CTR?
Masalah keperawatan:
1. Decreased cardiac output
Pengukuran Jugularis Vena Pressure (JVP)
Erfin Firmawati, S.Kep., Ns., MNS
A. Definisi
JVP merupakan gambaran tekanan atrium kanan dimana sebagai salah satu indikator dari
fungsi jantung dan hemodinamik jantung kanan. Pengukuran JVP merupakan tindakan mengukur
besarnya jarak pertemuan dua sudut antara pulsasi vena jugularis dan sudut sternum tepatnya di
Angle of Louis yang berguna untuk mengetahui tentang fungsi jantung klien.
Pengukuran JVP lebih dilakukan di vena jugularis interna sebelah kanan karena vena
jugularis interna kanan mempunyai hubungan anatomi secara langsung dengan atrium kanan. JVP
normal kurang lebih 3 cm di atas sudut sternum saat klien berbaring dengan posisi 30 o-45o.
Vena jugularis tidak terlihat pada orang normal dengan posisi tegak, baru terlihat pada posisi
berbaring di sepanjang permukaan musculussternocleidomastoideus. JVP yang meningkat adalah
tanda klasik hipertensi vena (seperti gagal jantung kanan). Distensibilitas vena-vena di leher dapat
memperlihatkan adanya perubahan volume dan tekanan di dalam atrium kanan.Peningkatan JVP
dapat dilihat sebagai distensi vena jugularis, yaitu JVP tampak hingga setinggi leher; jauh lebih tinggi
daripada normal.
Pengukuran JVP dilakukan ketika terdapat tanda permasalahan atau kegagalan jantung pada
seorang klien, seperti hipertrofi ventrikel kanan, stenosis katup trikuspid, stenosis pulmonal,
hipertensi pulmonal, inkompetensi katup trikuspid, tamponade jantung, perikarditis, dan masalah
jantung lain
Catatan :
Angka 5 berasal dari jarak atrium kanan ke titik Angulus sterni ludovici yaitu kira-kira 5 cm.
Cardio-Thorax Ratio (CTR)
Erfin Firmawati, S.Kep., NS., MNS
A. Definisi
Cardio-thorax ratio (CTR) adalah suatu cara pengukuran besarnya jantung dengan
mengukur hasil perbandingan antara lebar jantung dengan lebarnya rongga dada pada foto
thorax proyeksi posterior-anterior (PA). Pengukuran CTR dilakukan pada klien dengan
cardiomegali/gagal jantung.
B. Tujuan
Pengukuran CTR digunakan untuk mengetahui adanya pemebesaran jantung
Rumus:
CTR = a + b
c
Keterangan:
a = Jarak antara garis median dengan batas terluar cor dextra
b = Jarak antara garis median dengan batas terluar cor sinistra
c = Jarak antara median dengan batas terluar pulmo dextra dan sinistra
Contoh :
Pada sebuah foto thorax, setelah dibuat garis-garis untuk menghitung Cardiothoracic Ratio, di dapat
nilai-nilai sebagai berikut :
Panjang garis A = 6 cm
Panjang garis B = 13 cm
Panjang garis C = 30 cm
Dari nilai-nilai di atas, apakah jantung pada pasien tersebut dapat dikategorikan sebagai
Cardiomegally atau tidak?
Jawab :
Sesuai dengan rumus perbandingan yang telah dijelaskan, maka kita masukan nilai-nilai tersebut di
atas.
6+13/30 = 0,63
Karena nilai ratio nya melebihi 0,5 (50%) maka jantung pasien tersebut dapat dikategorikan
Cardiomegally (terjadi pembesaran jantung).
No Komponen
1. Persiapan alat:
- Penggaris
2. Tahap kerja:
- Buat garis lurus dari pertengahan thorax (mediastinum) mulai dari atas sampai ke
bawah thorax.
- Tentukan titik A, yaitu titik terluar dari kontur jantung sebelah kanan.
- Tentukan titik B, yaitu titik terluar dari kontur jantung sebelah kiri.
- Buat garis lurus yang menghubungkan antara titik A dan B
- Tentukan titik C, yaitu titik terluar bayangan paru kanan dan kiri
- Ukur CTR
5th Topic
TERAPI OKSIGEN
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
1. Menentukan jenis terapi oksigen yang dibutuhkan
2. Melakukan terapi oksigen dengan benar
Scenario
Seorang perempuan, 26 tahun, mengeluh sesak napas. Setelah dilakukan pemeriksaan AGD dan
dinilai kebutuhan oksigen, perawat akan melakukan kolaborasi dalam pemberian oksigen
dengan NRM 10 lpm
Pertanyaan mInimal:
1. Bagaimanakah pemberian terapi oksigen pada pasien tersebut ?
Masalah keperawatan:
1. Gangguan pertukaran gas
TERAPI OKSIGEN
Yanuar Primanda, MNS
Erfin Firmawati, S.Kep., Ns., MNS
Romdzati, S.Kep., Ns., MNS
Definisi
Terapi oksigen merupakan tindakan yang dilakukan dengan cara memberikan oksigen (O 2) sebagai
upaya koreksi kondisi hipoksia atau hipoksemia (O’Driscoll, et.al., 2015). Terapi oksigen diberikan
untuk mencapai angka normal atau mendekati angka normal saturasi oksigen. Pemberian oksigen
termasuk tindakan pengobatan sehingga perlu ada instruksi dari dokter (Hilton, 2008).
Indikasi
➢ Pemberian terapi oksigen adalah untuk pencegahan hipoksia seluler karena hipoksemia
(PaO2 rendah) sehingga dapat mencegah kemungkinan kerusakan ireversibel pada organ
vital akibat hipoksemia. (PaO2 < 60 mmHg, SaO2 < 92 %
➢ Terapi oksigen diberikan pada kasus seperti:
▪ Hipoksemia akut : pneumonia, shock, asthma, heart failure, emboli pulmonal
▪ Ischemia : myocardial infarction, tetapi hanya jika berhubungan dengan hipoksemia
▪ Ketidaknormalan kualitas hemoglobin : kehilangan darah akut dari saluran
pencernaan atau keracunan karbon monoksida.
▪ Pneumothorax
▪ Kondisi post operatif (anastesi general dapat menurunkan kapasitas residual pada
paru-paru, terutama pada post operasi dada dan abdomen yang berakibat hipoksemia.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan insiden infeksi pada luka post
operasi dengan terapi oksigen jangka pendek setelah operasi usus.
➢ Cardiac and respiratory arrest
➢ Low cardiac output and metabolic acidosis (HCO3 > 18 mmol/L)
Kontra indikasi
➢ Tidak ada kontraindikasi pasti pada terapi oksigen. Tujuan dari terapi oksigen adalah untuk
mencapai oksigenasi jaringan yang adekuat dengan menggunakan FiO2 serendah mungkin.
➢ Pemberian suplementasi oksigen harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien yang
mengalami keracunan dan dengan inhalasi zat asam atau riwayat cedera pari akibat
bleomycin.
Saturasi Oksigen
Saturasi Oksigen dapat diukur menggunakan alat pulse oximetry. Alat ini seharusnya
tersedia di semua pelayanan kesehatan yang mengelola pemberian terapi oksigen (Beasley, et.al.,
2015). Target saturasi oksigen dapat bervariasi nilainya. Pada sebagian besar pasien, target
saturasi berada pada rentang 94-98%, sedangkan pada pasien yang berisiko mengalami
hiperkapnea, target saturasi berada pada rentang 88-92%. Hasil pengukuran saturasi oksigen
pada sebagian lanjut usia di atas 70 tahun bisa menunjukkan angka kurang dari 94%, padahal
dalam keadaan normal sehingga tidak membutuhkan terapi oksigen. Terapi oksigenasi dapat
dihentikan jika target saturasi telah tercapai (O’Driscoll, 2015).
Guideline Pemberian Terapi Oksigen
Menentukan Dosis Oksigen
www.healtheappointments.com
www.allthingsphysicianassistant.com/tag www.aam.ucsf.edu/article/simple-
/respiratorytherapy/ facemask-hudson-mask
Sumber: Fundamental of Nursing
Masalah yang ditimbulkan terkait penggunaan alat ini:
a) Masker perlu dibuka saat makan dan minum
b) Dapat timbul iritasi akibat perlekatan yang erat
c) Rasa cemas terutama pada anak
d) Dapat timbul claustrophobia (rasa takut pada ruangan sempit dan tertutup)
4) Sungkup Muka dengan Kantong Rebreathing
▪ Aliran yang diberikan 8 – 12 liter/menit dengan konsentrasi 60 – 80 %
▪ Udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara ekspirasi 1/3 bagian volume
ekhalasi masuk ke kantong, 2/3 bagin volume ekhalasi melewati lubang pada bagian
samping
www.allthingsphysicianassistant.files. www.utswim.wordpress.com
wordpress.com
www.utswim.wordpress.com
Sumber: www.klikparu.com
2. Sungkup CPAP
Continuous Positive Airway Pressure merupakan mode ventilator mekanik yang sering
digunakan untuk menengani masalah sleep apneu, pada pasien kritis dengan gagal
nafas.
Indikasi: pasien gagal jantung, COPD
Keuntungan:
▪ Dapat memberikan aliran udara yang tinggi dengan konsentrasi yang tinggi dan bersifat
stabil
Kerugian:
▪ Dapat menyebabkan gangguan ortodentik dan menggeser gigi pada tulang rahang
▪ Dapat menyebabkan efek samping pusing, infeksi sinus, bronchitis
▪ Tidak nayaman bagi pasien
Hal-hal yang harus diperhatikan:
▪ Sebelum pemasangan, perawat harus memastikan kulit pasien benar-benar bersih
▪ Perawat harus memperhatikan kelembapan kulit pasien sebelum pemasangan CPAP
Perangkat Terapi Oksigen
(sumber: www.fairview.org)
Perhatian
➢ Pada pasien yang mengalami retensi karbon dioksida, pemberian oksigen dapat
menyebabkan peningkatan karbon dioksi dan asidosis respirasi lebih lanjut. Kondisi ini
dapat terjadi pada pasien dengan COPD, gangguan neuromuscular, morbid obesity, atau
gangguan musculoskeletal.
➢ Pemberian terapi oksigenasi tidak boleh berlebihan karena dapat menimbulkan bahaya bagi
pasien terutama pada pasien dengan penyakit paru kronis dan bayi. Pada pasien dengan
penyakit paru kronis, CO2 banyak yang tertahan di dalam tubuh, sedangkan pada bayi, terapi
yang berlebihan dapat berisiko terjadi retinopati (Hilton, 2008).
➢ Komplikasi yang mungkin terjadi pada terapi oksigen:
▪ Mukosa kering pada area hidung dan pharyngeal
▪ Keracunan oksigen (oxygen toxicity)
▪ Absorption atelectasis
▪ Iritasi kulit
▪ Kemungkinan kabakaran
▪ Kemungkinan inadekuat aliran oksigen yang mengakibatkan FiO2 lebih rendah akibat
peningkatan kebutuhan inspirasi atau alat- alat yang tidak sesuai atau kerusakan alat
Penyapihan atau Penghentian Terapi Oksigen
➢ Sebagian besar pasien yang stabil dan sadar akan secara bertahap diturunkan menjadi 2
l/min via nasal cannule sebelum benar-benar dilepas dari terapi oksigen. Pasien yang
beresiko mengalami kegagalan respirasi hipercapnic dapat diturunkan secara bertahap
hingga 1 l/min via nasal cannule atau 24% Venturi mask 2 l/min sebelum dilepas dari terapi
oksigen.
➢ Terapi oksigen harus dihentikan saat pasien sudah stabil kondisi klinisnya dengan oksigen
dosis rendah dan saturasi oksigen berada dalam rentang yang diharapkan pada 2 x observasi
berturut-turut. Pemberian oksigen juga harus dihentikan jika pasien telah memenuhi waktu
pemberian oksigen sesuai protocol yang berlaku.
➢ Saturasi oksigen dengan menggunakan oksigen ruangan harus di monitor untuk 5 menit
pertama setelah terapi oksigen dihentikan. Jika kondisi tetap stabil, pemeriksaan saturasi
oksigen harus dilakukan 1 jam kemudian.
➢ Jika saturasi oksigen menurun setelah penghentian terapi oksigen, berikan oksigen dengan
dosis terendah yang dapat menjaga kadar saturasi oksigen yang ditargetkan dan monitor
selama 5 menit. Jika saturasi oksigen membaik dan mencapai target saturasi oksigen yang
diharapkan, maka lanjutkan terapi oksigen dengan dosis tersebut dan lakukan usaha
penyapihan dari terapi oksigen pada hari berikutnya saat kondisi pasien stabil.
➢ Jika pasien membutuhkan terapi oksigen kembali dengan dosisi yang lebih tinggi daripada
dosis sebelum dilakukan penyapihan untuk menjaga kadar saturasi oksigen tetap dalam
rentang normal, maka pasien harus mendapatkan pemeriksaan lengkap untuk
mengidentifikasi kemungkinan penyebab keadaan ini.
➢ Jika terapi oksigen telah dihentikan, maka terapi oksigen harus dihapus dari chart obat
pasien di rekam medis dan didokumentasi dengan baik.
Referensi:
Anonym. (n.d.). Infant Oxygen Hood. Medical Expo. Diakses dari
http://www.medicalexpo.com/prod/ginevri/product-68599-432357.html pada 7 Desember
2016
Beasley, R. et.al. (2015). Thoracic Society of Australia and New Zealand Oxygen Guidelines for Acute
Oxygen Use in Adults: “Swimming between the Flags”: Respirology.
British Thoracic Society & Emergency Oxygen Guideline Group. (2008). Guideline for Emergency
Oxygen Use in Adult Patients. Thorax An International Journal of Respiratory Medicine:
October 2008 Vol 63 Supplement VI. Diakses dari thorax.bmj.com
DeLaune, SC., Ladner, PK. (2005). Fundamental of Nursing: Standards and Practice. 2nd edition.
Hillton, Penelope Ann.(Ed.) (2005). Fundamental Nursing Skills. Whurr Publishers: London.
Permatasari, Y., Romdzati., Arianti. 2015. Buku Panduan Blok Respirasi. Yogyakarta: PSIK FKIK UMY
CHECK LIST TERAPI OKSIGEN
4 0 1 2 2 4
Terminasi
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
1. Memberikan nebulasi pada pasien
Scenario
Seorang perempuan berusia 45 tahun dengan asma bronchiale mengeluh sesak napas dan batuk
berdahak. Pasien mengatakan susah mengeluarkan dahaknya. Suara nafas terdengar wheezing,
frekuensi nafas 24x/menit. Perawat akan memberikan nebulisasi sesuai kolaborasi.
Pertanyaan minimal:
1. Apa yang harus perawat siapkan sebelum pemberian terapi nebulasi?
2. Bagaimanakah pemberian terapi nebulasi?
Masalah keperawatan:
Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
PEMBERIAN NEBULASI
Falasifah Ani Yuniarti, Ns, MAN
Erfin Firmawati, S.Kep., Ns., MNS
PENGERTIAN NEBULASI
Nebulasi merupakan salah satu terapi inhalasi dengan menggunakan nebulizer. Nebulizer
mengubah cairan menjadi doplet aerosol sehingga dapat dihirup oleh pasien. Nebulizer merupakan
suatu alat pengobatan dengan cara pemberian obat-obatan dengan penghirupan, setelah obat-obat
tersebut dipecahkan terlebih dahulu menjadi partikel-partikel yang lebih kecil melalui cara aerosol
atau humidifier.
Terapi Nebulizer merupakan terapi topikal untuk saluran pernapasan. Ada berbagai macam
obat yang dapat diberikan, seperti: antibiotik, anti kolinergik, bronkodilator, kortiksteroid, kromolin,
dan mukolitik. Nebulizer dapat juga diberikan untuk melakukan profokasi untuk mendiagnosis suatu
penyakit, dengan menggunakan obat Histamin atau metakolin.
Nebulizer dapat mengubah larutan obat menjadi partikel kecil (aerosol) secara terus
menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang Ultrasonik. Saat ini
pemberian bronkodilator menggunakan nebulizer merupakan metoda terpilih pada bayi dan anak
kecil karena efektivitasnya yang sama dengan pemberian intravena dengan efek samping yang jauh
lebih kecil. Steroid yang diberikan secara inhalasi dalam jangka panjang dapat berguna untuk
pencegahan serangan asma, sehingga pemberian steroid sistemik dapat dibatasi hanya saat
eksaserbasi saja atau pada penderita tertentu dengan asma berat saja.
4 0 1 2 2 4
Terminasi
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
a. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang indikasi perawatan
trakeostomi
b. Mahasiswa mampu mendemonstrasikan prosedur perawatan pada
pasien yang terpasang trakeostomi
c. Mahasiswa mampu melakukan suction pada pasien yang terpasang
trakeostomi
Scenario
Seorang pria usia 35 tahun mengalami penurunan kesadaran dan terpasang ventilasi mekanik. Pasien telah dilakukan tindakan trakeotomi 24 jam yang
lalu. Saat ini tampak adanya akumulasi sekret di area stoma. Kemampuan melakukan batuk menurun. Auskultasi paru ditemukan wheezing.
Pertanyaan mInimal:
1. Apa indikasi dilakukan pemasangan trakeostomi ?
2. Bagaimana langkah melakukan perawatan trakeostomi ?
Masalah keperawatan:
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
PERAWATAN TRAKHEOSTOMI
Arianti, M.Kep., Ns., Sp.Kep.MB
Resti Yulianti Sutrisno, M.Kep., Ns., Sp.Kep.MB
Fahni Haris, S.Kep., Ns., M.Kep
Definisi
Trakeostomi merupakan prosedur dimana dibuat lubang ke dalam trakea. Ketika selang indwelling
dimasukkan ke dalam trakea, maka istilah trakeostomi digunakan. Trakeostomi dilakukan untuk memintas
suatu obstruksi jalan napas atas, untuk membuang sekresi trakeobronkial, untuk memungkinkan penggunaan
ventilasi mekanik jangka panjang, untuk mencegah asspirasi sekresi oral atau lambung pada pasien yang
tidak sadar atau paralise (dengan menutup trakea dari esofagus), dan untuk mengganti selang endotrakeal.
Lubang trakeostommi dibuat pada cincin trakea kedua dan ketiga. Setelah trakea terpajan, selang
trakeostomi balon dengan ukuran yang sesuai dimasukkan. Cuff trakeostomi adalah perlekatan yang dapat
mengembang pada trakeostomi yang dirancang untuk menyumbat ruang antara dinding trakea dengan
selang untuk memungkinkan ventilasi mekanik yang efektif. Selang trakeostomi dipasang di tempatnya
dengan plester pengencang mengelilingi leher pasien. Biasanya kasa segi empat steril diletakkan di antara
selang dan kulit untuk mencegah infeksi dan menyerap drainase.
Dampak psikologis:
- Gangguan body image
- Perubahan komunikasi verbal
Perawatan Trakeostomi
1. Pengisapan trakea
Saat selang trakeostomi atau endrotrakea terpasang, biasanya diperlukan pengisapan sekresi pasien
karena keefektifan mekanisme batuk menurun. Pengisapan trakea dilakukan ketika bunyi napas
tambahan terdeteksi atau ketika terdapat banyak sekresi. Pengisapan yang tidak diperlukan
menyebabkan bronkospasme dan menyebabkan trauma pada muko trakea. Semua peralatan yang
kontak langsung dengan jalan napas bawah pasien harus steril untuk mencegah infeksi paru dan
sistemik yang membahayakan.
2. Penatalaksanaan balon
Sebagai aturan umum, balon pada selang endotrakea atau trakeostomi harus mengembang. Tekanan di
dalam balon harus serendah mungkin sehingga memungkinkan pengiriman volume tidal yang adekuat
dan mencegah aspirasi pulmonal. Biasanya tekanan dipertahankan di bawah 25 cm H 2O untuk
mencegah cedera dan di atas 20 cm H2O untuk mencegah aspirasi. Tekanan cuff harus dipantau
sedikitnya setiap 8 jam dengan menempelkan diameter tekanan genggam pada pilot balon selang.
Dengan intubasi jangka panjang, tekanan yang lebih tinggi diperlukan untuk mempertahankan
penutupan yang adekuat.
3. Perawatan trakeostomi
Tujuan perawatan trakeostomi adalah membersihkan akumulasi sekresi pada stoma untuk
meminimalkan risiko infeksi dengan menggunakan teknik steril. Indikasi perawatan dapat dilakukan
minimal 2 kali sehari atau dapat dilakukan lebih sering tergantung pada kondisi pasien (akumulasi
sekresi, infeksi).
Referensi
British Columbia Rehabilitation (1994). Tracheostomy and ventilator management training manual.
Vancouver, BC.
Hagler, DA, & Traver, GA (1994). Endotracheal saline and suction catheters: Sources of lower airway
contamination. American Journal of Critical Care, 3(6), 444-447.
Lewis, SM, Collier, IC, and Heitkemper, MM (1996). Medical-surgical nursing: assessment and management of
clinical problems. TO: Mosby.
Permatasari, Y., Romdzati., Arianti. 2015. Buku Panduan Blok Respirasi. Yogyakarta: PSIK FKIK UMY
Smeltzer, SC & Bare, BG. (2005). Brunner & Suddarth’s Textbook of medical nursing. Philadelphia: Lippincott
Vancouver General Hospital (1992). Tracheostomy module. Patient services
CHECK LIST PERAWATAN TRAKEOSTOMI
Raw Score C D Score
Persiapan alat:
Bengkok
4 Bak instrument berisi: pinset anatomis 2, pinset chirugis, kom kecil, gunting, klem 0 1 2 3 1 6
Kassa steril
Kanul trakeostomi
Stetoskop
Spuit 3 cc
Identifikasi pasien dengan bertanya nama dan umur pasien atau nama dan alamat
2 0 1 2 2 1 4
pasien, serta cek gelang identitas pasien
3 Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien/keluarga 0 1 2 2 1 4
Lakukan tindakan pengurangan nyeri (non farmakologis/farmakologis) pada saat
4 0 1 2 1 2
tindakan invasif dilakukan *
5 Kontrak waktu 0 1 1 1 1
c. Monitor saturasi oksigen, bila saturasi oksigen kurang dari 90 beri oksigenasi
0 1 2 2 2 8
dengan ambubag 10-12*/menit; Buka perlahan sumber oksigen (kanul)
PERAWATAN TRAKEOSTOMI
10 Ganti pita kanul, pegang kanul pada waktu mengganti pita kanul 0 1 3 2 6
Fixasi pita kanul dari sayap kanan sampai kiri. Letakkan simpul pita kanul di sayap
11 0 1 3 3 9
kanul samping
12 Keluarkan udara dan cuff trakeostomi, biarkan beberapa menit 0 1 2 3 1 6
15 Rapikan pasien 0 1 2 1 2
19 Cuci tangan (gerakan 6 langkah cuci tangan dengan menggunakan hand rub) 0 1 3 1 3
5 0 1 2 2 4
Respon (Respon klien, O: 1. suara napas 2 produk cairan 3. kondisi kulit dan
4 0 1 2 3 4 2 1 8
kepatenan trakeostomy)
Raw Score C D Score
1 Empati 0 1 2 1 2
2 Teliti 0 1 2 1 2
3 Hati-hati 0 1 2 1 2
Soft Skills
4 Komunikasi verbal dan non verbal 0 1 2 1 2
TOTAL 267
7th Topic
PERAWATAN WSD
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang prinsip kerja WSD
2. Mahasiswa mampu menyebutkan tentang indikasi pemasangan WSD
3. Mahasiswa mampu menjelaskan fungsi WSD
4. Mahasiswa mampu menyebutkan tentang komplikasi yang mungkin
muncul pada pasien yang terpasang WSD (kondisi kedaruratan)
5. Mahasiswa mampu melakukan prosedur perawatan rutin pada pasien
yang terpasang WSD (dressing daerah insersi, monitor produk, mengganti
tabung sekret).
Scenario
Seorang laki-laki usia 45 tahun post pemasangan WSD atas indikasi hemothorax. Pasien
mengeluh nyeri pada area insersi. Sesak napas sudah berkurang. Tampak rembesan pada kasa
WSD. Produk drain berwana merah, undulasi (+), buble (+).
Pertanyaan mInimal:
1. Apa indikasi pasien dipasang WSD?
2. Apa prinsip WSD ?
3. Bagaimana perawatan WSD ?
4. Apa indikasi pelepasan WSD?
Masalah keperawatan:
1. Pola Napas Tidak Efektif
2. Gangguan Pertukaran Gas
PERAWATAN WSD (WATER SEAL DRAINAGE)
Resti Yulianti Sutrisno, M.Kep., Ns., Sp.Kep.MB
Definisi
WSD adalah suatu unit yang memungkinkan cairan atau udara keluar dari rongga pleura dan mencegah
aliran balik ke pleura.
Fungsi WSD:
1. Memungkinkan cairan (darah, pus, efusi pleura) keluar dari rongga dada
2. Memungkinkan udara keluar dari rongga pleura
3. Mencegah udara masuk kembali (terhisap) ke rongga pleura yang dapat menyebabkan
pneumothorax
4. Mempertahankan agar paru tetap mengembang dengan jalan mempertahankan tekanan negatif
pada intra pleura
Paru-paru sebenarnya mengapung dalam rongga toraks, dikelilingi oleh cairan pleura yang menjadi
pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga toraks. Tekanan pleura adalah tekanan cairan dalam
rongga sempit antara pleura parietalis dan viseralis. Normalnya rongga pleura memiliki tekanan negatif
yang membuat paru tetap mengembang. Pada saat inspirasi tekanan dalam rongga dada makin negatif.
Tekanan pleura normal saat dimulainya inspirasi adalah -5 s/d -8 cmH2O, yang merupakan nilai hisap
yang diperlukan untuk mempertahankan paru agar tetap mengembang.
Cairan Pleura
Pleura parietalis dan viseralis adalah membran serosa mesenkim yang memiliki pori-pori dan dapat
mengeluarkan sejumlah kecil transudat cairan intertitial secara terus menerus. Produksi cairan pleura
dalam keadaan normal adalah 0,1 ml/KgBB/jam. Jumlah cairan dalam rongga pleura sangat kecil yaitu 0,3
ml/KgBB. Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari cukup untuk memisahkan kedua pleura, kelebihan
tersebut akan dipompakan keluar oleh pembuluh limfatik dari rongga pleura ke dalam mediastinum,
permukaan superior diafragma dan permukaan lateral dari pleura parietal. Keberadaan darah, cairan,
dan udara dalam rongga pleura mengganggu proses pengembangan paru pada saat inspirasi. Jika
jumlahnya cukup banyak, maka gangguan proses pengembangan paru akan memberikan gejala berupa
sesak napas, nyeri dada,
Prinsip WSD :
1. Gravitasi
Udara da cairan mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan lebih rendah
2. Tekanan Negatif
Udara atau cairan menghasilkan tekanan positif (763 mmHg atau lebih) dalam rongga pleura. Udara
dan cairan water sealed pada selang dada menghasilkan tekanan positif yang kecil (761 mmHg)
3. Suction
Kekuatan tarikan yang lebih kecil dari tekanan atmosfer (760 mmHg). Suction dengan kekuatan
negative 20 cmH2O menghasilkan tekanan sub atmosfer 746 mmHg sehingga udara atau cairan
berpindah dari tekanan lebih tinggi ke rendah.
4. Water Sealed
Tujuan utama water sealed adalah membiarkan udara kelluar dari rongga pleura dan memncegah
udara dari atmosfer masuk ke rongga pleura. Botol water sealed diisi dengan cairan steril yang
didalamnya terdapat selang yang ujungnya terendam sekurang-kurangnya 2 cm di bawah
permukaan air, untuk mencegah hubungan langsung antara rongga pleura dengan udara luar. Cairan
ini memberikan batasan antara tekanan atmosfer dan sub atmosfer (normal 745-748 mmHg)
Jenis WSD:
1. Botol drainage dengan kedap air (water seal) satu botol
b. Digunakan sebuah botol dengan kapasitas 1 – 2 liter dan harus steril
c. Diisi dengan air steril sehingga ujung pipa terendam ± 1-2 cm dibawah permukaan air
d. Ekspansi kembali paru dipengaruhi oleh daya rentan keaktifan pasien.
2. Botol drainage dengan continous suction dilengkapi dengan manumeter
a. Botol pertama untuk menampung sekret
b. Botol kedua untuk mengatur besarnya tekanan negatif
c. Dihubungkan dengan pompa hisap ringan bertekanan 100 cmH2O
d. Untuk penderita dewasa, besarnya skala tekanan negatif 12-15 cmH2O untuk anak-anak 8 – 10
cm H2O
e. Dengan hisapan kontinue ekspansi paru tidak perlu secara aktif
3. Botol drainage dengan sistem 3 botol
Gabungan antara sistem water seal 2 botol dan sistem hisapan kontinu. Keuntungannya bila listrik
mati akan terjadi keadaan seperti water seal 2 botol.
Indikasi Pemasangan WSD:
1. Pneumothorax:
b. Terbuka: penetrasi dinding dada dan rongga pleura
c. Tertutup: penetrasi melalui dinding dada yang memungkinkan udara masuk ke rongga pleura dari
paru.
d. Tension
2. Hemothorax
3. Hemopneumothorax
4. Thoracostomy
5. Phyothorax/emphyema
6. Chylothorax
7. Hydrothorax
8. Pleural Efusion
REFERENSI
1. Chulay & Burn, 2006, AACN, Essentials of Critical Care Nursing, International
Edition, Mc Graw Hill, USA
2. Instalasi Rawat Intensif, 2005, Materi Pelatihan Keperawatan Intensif, RS. dr.
Sardjito Yogyakarta
3. Nugroho, A., Sauar., R. 2012. Manual Pemasangan WSD. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI
CHECKLIST KETERAMPILAN PERAWATAN WSD
Anjurkan klien untuk tarik napas dan hembuskan, cek adanya undulasi. Kemudian
9 0 1 2 2 2 8
minta pasien batuk, cek adanya gelembung udara di cairan botol
13 Buka set steril, siapkan NaCl dan kasa di dalam set steril 0 1 2 3 1 6
14 Gunakan sarung tangan STERIL * 0 1 3 2 6
Bersihkan dengan kasa yang sudah dibasahi NaCl di bagian sekitar insersi dan selang
15 dada sepanjang 8 – 10 cm, keringkan dengan kassa kering, kemudian tutup dengan 0 1 2 3 3 3 27
kassa steril. (Hati-hati terhadap benang jahitan, jangan sampai tertarik simpulnya)
Raw Score C D Score
2 Teliti 0 1 2 1 2
3 Hati-hati 0 1 2 1 2
TOTAL 225
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
1. Melakukan persiapan alat untuk pemasangan kateter dengan tepat
sesuai indikasi
2. Melakukan pemasangan kateter urin dengan benar
Scenario
A man, 70 years old is admitted to hospital because of difficult to urinate for 2 days. This patient is
diagnosed with Benign Prostate Hyperplasia. In order to help the patient to urinate, you are
ordered to insert urine catheter.
Pertanyaan mInimal:
1. Sebutkan indikasi pemasangan kateter urin!
2. Sebutkan tujuan pemasangan kateter urin!
Masalah keperawatan:
1. Altered urinary elimination
2. Urinary retention
3. Risk for infection
4. Dependence on urinary catheter
PEMASANGAN KATETER
Fahni Haris, S.Kep., Ns., M.Kep
Shanti Wardaningsih, Ns., M.Kep., Sp.Jiwa
Yanuar Primanda, Ns., MNS., HNC
Erfin Firmawati, Ns.,MNS
A. DEFINISI
Kateterisasi urin adalah pemasukan selang yang terbuat dari plastik atau karet melalui uretha
menuju ke kandung kemih (vesica urinaria).
B. TUJUAN
Kateterisasi urin bertujuan:
¤ Melancarkan pengeluaran urin pada klien yang tidak dapat mengontrol miksi atau mengalami
obstruksi pada saluran kemih.
¤ Memantau pengeluaran urin pada klien yang mengalami gangguan hemodinamik.
Karena kateterisasi urin beresiko untuk mengalami Urinaria Tractus Infection (UTI) atau Infeksi
Saluran Kemih (ISK) dan menyebabkan trauma pada uretra, maka kateterisasi lebih dianjurkan
untuk pemasangan sementara.
F. TIPE KATETER
1. One-way catheter/single lumen catheter/kateter 1 jalur
Kateter ini hanya mempunyai saluran yang berfungsi untuk mengeluarkan urin, tidak
memeiliki balon untuk fiksasi dan tersedia dalam sediaan berlapis silicon atau tidak dan biasa
disebut dengan kateter langsung. Tipe ini tidak digunakan dalam jangka waktu lama di kandung
kemih tetapi sangat berfungsi untuk:
▪ Kateterisasi intermitten atau sementara dan
pengambilan specimen urin
▪ Mengatasi striktur urethra
▪ Memasukkan obat ke dalam vesica urinaria
▪ Proses pemeriksaan penunjang seperti
urodinamik
▪ Kateterisasi suprapubik tanpa balon
G. JENIS KATETER
¤ Kateter plastik: digunakan sementara karena mudah rusak dan tidak fleksibel
¤ Kateter Latex/Karet: berbahan dasar karet, fleksibel tetapi kurang nyaman karena gesekan
permukaan, mudah terjadi pengerakan akibat mineral yang terkumpul dari urin, dan alergi yang
menyebabkan urethritis dan urethral stricture. Digunakan untuk pemakaian dalam jangka waktu
pendek.
¤ Kateter Silicon murni (100% silicon): sangat lembut untuk jaringan dan hipoalergenik. Ukuran
lumen/saluran besar karena tidak ada lapisan karet dan tidak mudah menggumpal. Kerugiannya
adalah mudahnya balon mengempes sehingga sering terjadi kateter terlepas atau tidak sesuai
pada tempatnya lagi. Kateter ini lebih sering digunakan untuk penggunaan jangka waktu selama
2-3 bulan.
¤ PTFE (Polytetrafluoroethylene)/teflon: PTFE-coated latex catheter adalah kateter latex yang
dilapisi teflon pada bagian dalam maupun luar. Kateter ini lebih lembut daripada kateter latex
karena adanya lapisan Teflon yang membantu mencegah pengerakan dan iritasi. Jangan
menggunakan jenis ini untuk pasien yang alergi terhadap latex.
¤ Silicone-coated/silicone elastomer-coated: adalah kateter latex yang dilapisi silicon pada bagian
dalam dan luar. Kateter ini memiliki kekuatan dan fleksibilitas sejenis kateter latex tetapi lebih
awet dan tidak mudah mengerak seperti jenis silicon murni (100% silicon).
¤ Hydrogel-coated: merupakan kateter yang lembut dan biocompatible. Kateter ini bersifat
hidrofilik sehingga menyerap cairan yang akan membentuk kerak di sekitar kateter dan karena
tidak terlalu banyak gesekan maka tidak menyebabkan iritasi.
¤ Silver-coated catheter: merupakan jenis kateter dengan kombinasi lapisan silver alloy dan
hydrogel yang berfungsi sebagai antiseptic. Silver-hydrogel coated catheter tersedia dalam bahan
dasar latex dan silicon. Jenis ini terbukti menurunkan insiden bekteriurea asimtomatik dalam
jangka waktu 1 minggu.
¤ Kateter Logam: digunakan untuk pemakaian sementara, biasanya pada pengosongan kandung
kemih pada ibu yang melahirkan
Jenis Kateter, Keuntungan, dan Kerugiannya
H. UKURAN KATETER
Prinsip pemilihan ukuran kateter adalah memilih ukuran yang terkecil yang mampu
mengalirkan urin secara adekuat. Meskipun demikian, ukuran kateter tetap harus disesuaikan
dengan indikasi dan kondisi klinis pasien. Ukuran kateter bervariasi antara 5 – 24 French (Fr). Secara
umum, ukuran yang disarankan adalah:
¤ Anak : 8 – 10 Fr
¤ Wanita : 12 – 14 Fr
¤ Laki-laki : 16 – 18 Fr
¤ Hematuria : 20 – 24 Fr
Pasien yang mengalami hematuria sebaiknya menggunakan kateter 3 jalur sehingga
memungkinkan dilakukannya irigasi kandung kemih tanpa mengganti kateter.
I. PANJANG KATETER
Panjang kateter terdiri dari 3 ukuran: ukuran anak, anak, perempuan, dan laki-laki. Ukuran
kateter laki-laki standar dengan panjang 41-45 cm dapat digunakan untuk laki-laki dan perempuan,
tetapi ukuran perempuan yang lebih pendek yaitu 25 cm dianggap lebih nyaman pada beberapa
wanita yang bisa beraktivitas dan membutuhkan pemasangan kateter dalam jangka waktu yang lama.
Ukuran wanita yang pendek tidak sesuai untuk wanita yang obese atau imobilisasi karena akan
mudah terlepas dan menyebabkan trauma pada kandung kemih.
J. UKURAN BALON
Kembangkan balon dengan ukuran yang sekecil mungkin. Hal ini akan mencegah adanya residu
urine di kandung kemih, menurunkan resiko spasme kandung kemih dan meminimalkan trauma
pada leher kandung kemih. Ukuran balon berkisar antara 5 – 30 ml tergantung produksi pabrikan.
Ukuran yang biasa digunakan adalam 10 ml. kembangkan balon sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh pabrik pembuatnya. Ukuran balon 30 ml digunakan untuk haemostat post
prosedur urologi dan tidak dianjurkan untuk peggunaan rutin. Gunakan air steril untuk
mengembangkan balon.
K. SISTEM DRAINASE
Sistem drainase tertutup dimana saluran yang menghubungkan antara kateter dan urin bag
selalu tersambung dan urin dikeluarkan dari urine bag melalui saluran pembuangan pada urin bag,
menurunkan resiko infeksi, tetapi efektifitas system ini tergantung pada kebersihan dan perawatan
kateter.
Sistem drainase yang baik dapat mencegah munculnya infeksi akibat pemasangan kateter
(CaUTI). Manajemen system drainase yang baik adalah sebagai berikut:
1. Jaga agar system drainase atau urin bag tetap berada di bawah/lebih rendah daripada kandung
kemih
2. Minimalkan kontaminasi dari urine bag dan hindarkan kontak antara urin bag dengan lantai atau
dengan permukaan lainnya
3. Kaji secara rutin kondisi urin bag dang anti jika perlu
4. Kosongkan urin bag secara rutin atau jika telah mencapai 2/3 kantong untuk mencegah reflux dan
mencegah urine bag terlalu berat
5. Saat mengosongkan urin bag, jangan sampai konektor pembuangan pada urin bag menyentuh
penampung. Gunakan penampung yang bersih dan terpisah antara satu pasien dengan pasien
yang lainnya
6. Anjurkan pasien untuk banyak minum jika tidak ada kontraindikasi secara klinis
Persiapan Alat:
- Gunting - Aquabidest 30 ml
- Perban/plester
- Pinset anatomis
Raw Score C D Score
- Pinset sirurgis
4 Buka 1 spuit 10cc, masukkan ke dalam bak instrument dengan menjaga kesterilan spuit 0 1 2 1 4
2
Tampung jelly ke dalam kom steril yang ada di bak instrument, jaga kesterilan saat
5 0 1 2 1 2
mengeluarkan jelly dari tube dan menampung dalam bak instrument
Buka 1 spuit 50cc dan isi dengan aquadest untuk fiksasi folley catheter, letakkan di luar bak
6 0 1 2 1 2
instrument
Identifikasi pasien dengan bertanya nama dan umur pasien atau nama dan alamat pasien, serta
2 0 1 2 2 1 4
cek gelang identitas.
Orientasi
4 Berikan edukasi pengurangan nyeri (non farmakologis) pada saat pemasangan kateter 0 1 2 1 2
5 Kontrak waktu 0 1 1 1 1
Sambungkan ujung folley catheter dengan urine bag, buka sedikit pembungkus luar dari folley
7 0 1 2 2 2 8
catheter dan jaga kesterilan folley catheter
Persiapkan jelly:*
9 - Untuk klien laki-laki: ambil 1 buah spuit 3ml, lepaskan jarumnya, isi dengan 0 1 2 3 3 2 18
lydocain jelly yang ada di kom steril sebanyak 5 – 10 ml untuk diinjeksikan kedalam
urethra*
Raw Score C D Score
- Untuk klien perempuan, ambil jelly yang ada pada kom steril dengan menggunakan
kassa steril*
- Klien laki-laki: Penis dipegang dengan tangan non dominan. Penis dibersihkan
dengan menggunakan kapas steril/ kassa steril yang diolesi Chlorhexidine oleh tangan
dominan dengan gerakan memutar dari meatus ke luar dengan menggunakan pinset,
dilanjutkan dengan membersihkan gland penis. Tindakan bisa dilakukan beberapa kali
hingga bersih. Kemudian pinset diletakkan dalam bengkok*
10 0 1 2 3 3 2 18
- Klien perempuan: Gunakan tangan yang tidak dominan untuk membuka labia
mayora, dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk. Kemudian bersihkan labia mayora
dengan menggunakan kapas sublimat atau kassa steril yang diolesi chlorhexidine
dengan menggunakan pinset dari arah atas kebawah, dilanjutkan ke daerah labia
minora, dan selanjutnya meatus urethra (dari luar ke dalam), sekali usap pada satu sisi
kapas atau kassa. Tindakan bisa dilakukan beberapa kali hingga bersih. Kemudian
pinset diletakkan dalam bengkok*
Pasang duk steril dengan menggunakan tangan kanan dan tangan kiri memegang penis, jaga
11 0 1 2 2 1 4
kesterilan duk
12 Pasang selang kateter:* 0 1 2 3 4 5 3 3 45
Raw Score C D Score
- Klien laki-laki: pegang penis dengan tangan non dominan, injeksikan jelly ke dalam
uretra klien tanpa menggunakan jarum. Keluarkan folley catheter dengan hati-hati dan
menjaga kesterilannya. Pegang penis dengan tangan non dominan dengan posisi penis
tegak lurus, masukkan kateter kedalam uretra secara perlahan-lahan sampai urine
keluar. Pasien diminta tarik napas dalam selama pemasangan *
- Klien perempuan: oleskan jelly yang telah disiapkan di kassa pada ujung kateter
dengan menggunakan kassa steril minimal sepanjang 6 inchi dari ujung kateter.
Gunakan tangan yang tidak dominan untuk membuka labia mayora, dengan
menggunakan ibu jari dan telunjuk temukan meatus uretra. Masukkan kateter kedalam
uretra secara perlahan-lahan sampai urine keluar. Pasien diminta tarik napas dalam
selama pemasangan*
Masukkan cairan aquades 20-30 cc dimasukkan atau sesuai ukuran yang tertulis untuk
13 0 1 2 3 2 12
fiksasi kateter di dalam vesica urinaria. Kateter sedikit ditarik sampai ada tahanan*
Lepaskan duk dengan menarik ke bawah, hati-hati saat melewati urin bag. Jika urine bag
14 0 1 1 1 1
penuh, urin bag dikosongkan dulu dengan membuang urine di bengkok atau pispot
- Untuk wanita ke paha atau dengan longgar diatas kaki tanpa fiksasi
18 Bantu pasien untuk posisi yang nyaman dan rapikan kembali pakaian pasien 0 1 1 1 1
19 Bereskan alat 0 1 1 1 1
2 Teliti 0 1 2 1 2
3 Hati-hati 0 1 2 1 2
TOTAL 232
9th Topic
BLADDER TRAINING, IRIGASI,
DAN PELEPASAN KATETER
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
1. Melatih bladder training sesuai indikasi
2. Melakukan bladder training
Scenario
A man, 70 years old is admitted to hospital because of post TURP procedure. This patient is
diagnosed with Benign Prostate Hyperplasia. The nurse will open the Foley catheter. Before, nurse
open the catheter, nurse will train of bladder training to patient.
Pertanyaan mInimal:
1. Sebutkan indikasi latihan bladder training!
Masalah keperawatan:
4. Resiko deficit volume cairan
5. Defisit volume cairan
6. Resiko infeksi
BLADDER TRAINING, IRIGASI, DAN PELEPASAN KATETER
Pada pasien yang terpasang kateter dalam jangka waktu yang lama, pasien mungkin mengalami
penurunan sensasi ingin berkemih atau miksi. Jika hal ini terjadi, maka pasien dapat mengalami kesulitan
mengontrol rasa berkemih sehingga mengompol atau mengalami inkontinensia urin. Untuk mencegah hal
itu terjadi, maka pasien perlu menerima bladder training.
Bladder training merupakan prosedur yang dilakukan untuk mengembalikan kontrol terhadap
keinginan berkemih. Secara umum, bladder training dilakukan sejak sebelum kateter hingga setelah
kateter dilepas.
Secara umum, panduan bladder training sebelum kateter dilepas adalah sebagai berikut:
1. Perawat harus mengkaji rencana perawatan pasien termasuk kemungkinan durasi terpasang
kateter
2. Prosedur bladder training harus dengan persetujuan dokter
3. Jadwal pelaksanaan baldder training perlu didiskusikan dengan pasien
4. Bladder training bisa memakan waktu hingga 4 hari atau setelah pasien mampu mengontrol miksi
dengan baik
5. Kosongkan urin bag saat selang penghubung kateter ke urin bag di klem
6. Saat klem dilepas, catat warna, kejernihan, dan jumlah urin.
7. Sebelum benar-benar dilepas, pasien harus mampu mentoleransi minimal 250 cc urin di kandung
kemih
Alat yang digunakan:
1. Klem kateter/klem arteri
2. Penampung urin
3. Sarung tangan bersih
Prosedur bladder training:
1.Jaga privacy pasien
2. Cuci tangan dengan 6 langkah, gunakan sarung tangan bersih
3. Jelaskan prosedur pada pasien
4. Pada hari pertama, klem selang kateter 1-2 jam (disarankan bisa mencapai waktu 2 jam kecuali
pasien merasa kesakitan)
5. Kosongkan urin bag
6. Cek dan evaluasi kondisi pasien, jika pasien merasa kesakitan atau tidak toleran terhadap waktu 2
jam yang ditentukan, maka kurangi waktunya dan tingkatkan secara bertahap
7. Lepaskan klem setelah 2 jam dan biarkan urine mengalir dari kandung kemih menuju urine bag
hingga kandung kemih kosong
8. Biarkan klem tidak terpasang sekitar 15 menit, setelah itu klem lagi 1-2 jam.
9. Lanjutkan prosedur ini hinggal 24 jam pertama
10. Pada hari kedua, tingkatkan lama klem menjadi 2-3 jam, lepaskan klem 15 menit dan klem ulang.
Lakukan prosedur ini higga 24 jam
11. Pada hari ketika, tingkatkan lagi lama klem menjadi 3-4 jam, lepaskan klem 15 menit dan klem
ulang. Lakukan prosedur ini higga 24 jam
12. Pada hari ke 4, lepas kateter dan amati seksama respon pasien setelah kateter dilepas
13. Anjurkan pasien untuk ke toilet setiap 2 jam
14. Setelah kateter dilepas, maka lakukan proses selanjutnya yaitu dengan melakukan: kegel exercise,
penundaan berkemih, dan penjadwalan berkemih
15. Kegel exercise adalah latihan untuk penguatan otot pelvis agar mampu menghentikan aliran urin.
Berikut langkah-langkah melakukan kegel exercise:
16. Penundaan berkemih: pada pasien yang mengalami inkontinensia, penundaan berkemih dapat
membantu mengontrol urin. Caranya, saat merasa ingin berkemih, tunda berkemih selama 5 menit.
Jika berhasil, maka tingkatkan waktu penundaan berkemih misalnya menjadi 10 menit. Lakukan
hal tersebut secara bertahap hingga mencapai waktu 3-4 jam. Jika keinginan berkemih sering
muncul sebelum batas waktu yang anda targetkan, lakukan teknik relaksasi. Tarik nafas anda
dalam-dalam dan pelan. Kegel exercise bisa diakukan juga untuk membantu menunda berkemih
17. Penjadwalan berkemih: beberapa orang mengontrol inkontinensia dengan pergi berkemih secara
teratur. Hal ini berarti bahwa pasien pergi berkemih pada jam yang telah ditentukan meskipun
belum merasa ingin berkemih. Pasien bisa dijadwalkan berkemih setiap jam, lalu secara bertaham
ditingkatkan hingga waktu yang sesuai untuk pasien.
18. Perawat dapat menganjurkan pasien untuk:
a. Minum secara normal, minimal 6-8 gelas per hari (1000-1500ml) kecuali ada anjuran lain dari
dokter. Pasien harus minum dengan normal dan tidak mengurangi jumlah minum. Mengurangi
asupan cairan tidak akan memperbaiki inkontinensia, tetapi justru akan membuat urin menjadi
sangat pekat. Hal ini dapat mengiritasi kandung kemih dan membuatnya semakin sering ingin
berkemih sementara urin yang tertampung dalam kandung kemih sangat sedikit. Kondisi ini
juga dapat menyebabkan infeksi saluran kemih.
b. Minum secara bertahap. Hindari minum banyak dalam sekali waktu. Minum banyak dalam
sekali waktu, keinginan untuk berkemih akan lebih susah dikendalikan karena kandung kemih
segera penuh, sehingga keinginan berkemih akan segera muncul setelah minum banyak.
c. Beberapa minuman dapat mengiritasi kandung kemih dan menyebabkan keinginan untuk
berkemih semakin sering. Minuman beralkohon dan mengandung kafein harus dihindari.
Minuman jenis lain yaitu minuman bersoda, coklat, dan minuman berkabonasi.
d. Hindari banyak minum 2 jam menjelang tidur karena banyak minum sebelum tidur akan
meningkatkan keinginan berkemih saat malam hari.
19. Anjurkan pasien untuk segera mencari pertolongan medis jika setelah dilepas kateternya pasien
mengalami:
a. Tidak dapat berkemih selama 6 jam
b. Ada perasaan ingin berkemih tetapi tidak dapat berkemih
c. Mengalami nyeri hebat di punggung (back pain)
d. Perut membesar
e. Demam (> 37.5oC)
f. Mual dan muntah
PELEPASAN KATETER
Erfin Firmawati, Ns., MNS
Pengertian:
Melakukan tindakan perawatan melepaskan kateter uretra dari kandung kemih
Indikasi:
1. Pasien yang terpasang kateter lebih dari 7 hari
2. Pasien yang tidak memerlukan pemasangan kateter menetap
Peralatan:
1. Perlak
2. Sarung tangan
3. Kom kecil berisi Cairan NaCl
4. Kassa
5. Pinset chirurgis
6. Spuit 10 atau 20 cc
7. Bengkok/nierbeken
8. Kantung plastik
Pelaksanaan:
1. Mengucapkan basmalah
2. Cuci tangan dengan 6 langkah
3. Menjaga privacy pasien
4. Menyiapkan pasien dengan posisi dorcal recumbent dan melepaskan pakaian bawah pasien
5. Memasang perlak/pengalas
6. Memakai sarung tangan
7. Melepas plester dan membersihkan sisa plester
8. Melakukan aspirasi balon kateter hingga habis isinya
9. Mengarahkan penis keatas (laki-laki)/ memegang selang kateter sejajar dengan meatus urethra
(perempuan)
10. Menarik kateter perlahan-lahan hingga lepas, pasien diminta nafas dalam dan rileks
11. Buang kateter dan urin bag kedalam kantong plastik
12. Bersihkan ujung penis/meatus urethra dengan kasa yang dibasahi NaCl dan keringkan
13. Observasi ujung penis/meatus urethra adanya kemerahan, discharge, dan bengkak. Tanyakan kepada
pasien adanya nyeri, demam
14. Melepas sarung tangan
15. Merapikan pasien dan alat
16. Cuci tangan dengan 6 langkah
17. Mengucapkan Alhamdulillah setelah selesai kegiatan
IRIGASI KATETER
Fahni Haris, S.Kep., Ns., M.Kep
Pengertian:
Tindakan kolaboratif pengaliran cairan ke dalam kandung kemih baik dengan cara manual maupun
berkelanjutan untuk menghindari, menghilangkan sumbatan ataupun terapi dari dokter.
Tujuan:
1. Kepatenan aliran kateter terjaga (produk darah, secret dll)
2. Pasien nyaman (tidak terjadi nyeri kandung kemih)
3. Mengurangi resiko infeksi saluran kemih (ISK) / urinary tract infection (UTI)
4. Mengurangi formasi gumpalan darah
Indikasi:
1. Pasien post TURP (24 jam pertama)
2. Hematuria
Peralatan:
1. Three-way catheter
2. Urine bag
3. 0.9% NaCl
4. Penampung cairan
5. Alcohol swab
6. Sarung tangan non steril
7. APD (masker, google, apron)
8. Underpad
9. Selang infus
Pelaksanaan:
1. Menjaga privasi pasien
2. Menjelaskan prosedur tindakan
3. Mengatur kenyamanan pasien (pastikan posisi mudah untuk mengakses kateter)
4. Siapkan cairan NaCl dan selang (jaga kesterilan ujung selang), sambung ke dalam selang kateter
three-way
5. Pakai APD (google, masker dan apron)
6. Handrub (cuci tangan) dan gunakan sarung tangan non steril
7. Bersihkan kateter dengan alcohol swab sampai kering
8. Buka dan sambungkan ujung selang NaCl (dalam posisi off ter klem) ke dalam sambungan
kateter three-way
9. Pastikan aliran kateter paten sebelum melakukan irigasi secara continues
10. Lepas klem selang infus dan ukur cairan sesuai order
Irigasi kateter manual dilakukan untuk menghilangkan kloting (gumpalan/ sumbatan) yang ada di selang
kateter daripada membersihkan selang kateter dari kerak atau endapan. Jika terdapat endapan kateter,
hal tersebut merupakan indikasi kateter harus diganti.
Perhatian dilakukan irigasi manual pada pasien dengan operasi kandung kemih terbuka karena akan
mengakibatkan tekanan dikandung kemih dan juga ekstravasasi (rembesan urin) pada area suture
(jahitan) sehingga bisa dilakukan irigasi manual dengan gentle (lembut).
Irigasi otomatis
- Set irigasi
• Underpad
• Alkohol swab
• Bengkok
Raw Score C D Score
5 Kontrak waktu 0 1 1 1 1
8 Dekatkan alat 0 1 1 1 1
Irigasi otomatis
6 Buka selang irigasi dan pastikan klem selang dalam posisi off 0 1 2 2 2 8
Sambung selang irigasi di ujung botol NaCl/Aquades dan alirkan NaCl/Aquades kemudian
7 0 1 2 3 2 1 6
alirkan air sampai udara di selang irigasi tidak ada, klem selang irigasi
Buka penutup saluran irigasi di selang kateter three-way; Sambungkan ujung selang
8 0 1 2 2 1 4
irigasi dengan saluran three-way catheter,
9 Atur cairan NaCl/Aquades yang keluar sesuai dengan instruksi dokter 0 1 2 1 2
10 Pantau air yang keluar melalui kateter menuju urin bag sampai berwarna pink atau jernih 0 1 2 2 4
Irigasi manual
Siapkan perlak, underpad, bengkok di sekitar kateter (dibawah pantat pasien) dan urine
13 0 1 2 3 1 1 3
bag
14 Pakai APD (google, apron atau masker) 0 1 2 3 2 1 6
17 Lepas selang urine bag, kemudian pasang spuit berisi NaCl 50 cc. 0 1 2 2 2 8
Semprotkan NaCl dengan tekanan sebanyak 50 cc; kemudian tarik spuit dan rasakan ada
18 0 1 2 3 3 2 18
hambatan atau tidak; lakukan
19 Buang produk cairan/ sumbatan kateter ke dalam bengkok 0 1 2 1 2
Raw Score C D Score
25 Bantu pasien untuk posisi yang nyaman dan rapikan kembali pakaian pasien 0 1 2 1 1 2
26 Bereskan alat 0 1 1 1 1
28 Cuci tangan (gerakan 6 langkah cuci tangan dengan menggunakan hand scrub) 0 1 3 1 3
2 Manajemen post prosedur (nyeri masih terasa, akan hilang dengan berjalannya waktu) 0 1 2 1 2
2 Data 0 1 2 2 1 4
3 Action 0 1 2 1 2
4 Respon 0 1 2 2 1 4
1 Empati 0 1 2 1 2
2 Teliti 0 1 2 1 2
TOTAL 171
Checklist Bladder Training & Pelepasan Kateter
3 Persiapkan diri 0 1 1 1 1
Persiapan Alat:
Bladder training:
Pelepasan kateter:
5 0 1 3 1 3
- Perlak
- Sarung tangan
- Kassa
- Pinset chirurgis
- Spuit 10 atau 20 cc
Raw Score C D Score
- Kantung plastic
8 Dekatkan alat 0 1 1 1 1
8 Biarkan klem tidak terpasang sekitar 15 menit, setelah itu klem lagi 1-2 jam. 0 1 2 3 1 6
Pada hari ketiga, tingkatkan lagi lama klem menjadi 3-4 jam, lepaskan klem 15 menit
11 0 1 2 3 2 12
dan klem ulang. Lakukan prosedur ini higga 24 jam
Pada hari keempat, lepas kateter dan amati seksama respon pasien setelah kateter
12 0 1 2 3 2 12
dilepas
Pelepasan kateter
20 Menarik kateter perlahan-lahan hingga lepas, pasien diminta nafas dalam dan rileks 0 1 2 3 2 12
22 Bersihkan ujung penis/meatus urethra dengan kasa yang dibasahi NaCl dan keringkan 0 1 2 3 1 6
26 Bantu pasien untuk posisi yang nyaman dan rapikan kembali pakaian pasien 0 1 2 1 1 2
27 Bereskan alat 0 1 1 1 1
2 Data 0 1 2 2 1 4
Dokumentasi 3 Action 0 1 2 1 2
4 Respon 0 1 2 2 1 4
1 Empati 0 1 2 1 2
2 Teliti 0 1 2 1 2
TOTAL 199
10th Topic
TERAPI PANAS DINGIN
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
1. Mendefinisikan penerapan terapi panas dan dingin
2. Menyebutkan indikasi penerapan terapi panas dan dingin
3. Menyebutkan kontraindikasi penerapan terapi panas dan dingin
4. Menjelaskan tindakan pencegahan khusus saat menerapkan terapi
panas dan dingin
5. Memeragakan penerapan terapi panas dan dingin
Scenario
Seorang perempuan, 45 tahun, dirawat di bangsal penyakit dalam dengan diagnosis myalgia.
Pasien mengeluhkan nyeri di kaki kanan skala 4. Perawat berencana akan memberikan terapi
kompres hangat pada pasien.
Pertanyaan minimal:
1. Sebutkan indikasi penerapan terapi panas dingin
2. Sebutkan kontraindikasi penerapan terapi panas dingin
Masalah keperawatan:
1. Hipertermi
2. Nyeri Akut
TUGAS PRAKTIKUM
Setiap Kelompok Membawa Jurnal Dan Memahami Intervensi Yang Dilakukan Pada Penelitian
Tersebut Untuk Terapi Rendam Hangat, Kompres Hangat, Kompres Dingin
TERAPI PANAS DINGIN
Erna Rochmawati, SKp., M.NSc., M.Med.Ed., Ph.D
Terapi panas
Terapi panas sering diterapkan pada perawatan klien secara umum. Panas dapat menyebabkan
vasodilatasi (pembesaran pembuluh darah), meningkatkan aliran darah ke daerah tertentu. Hal ini
meningkatkan oksigen, nutrisi, dan berbagai sel darah yang dikirim ke jaringan tubuh. Vasodilatasi juga
membantu menghilangkan limbah dari jaringan yang terluka, seperti puing-puing dari fagositosis.
a. Meringankan rasa sakit, kekakuan, atau nyeri lokal, terutama pada otot dan persendian
b. Membantu penyembuhan luka
c. Mengurangi peradangan dan infeksi
d. Buat klien yang lebih dingin lebih nyaman
e. Angkat suhu tubuh untuk membantu mempertahankan normothermia
f. Mempromosikan drainase (menarik bahan yang terinfeksi keluar dari luka)
Agar efektif, terapi yang dilakukan panas harus cukup tinggi suhunya. Hal ini dapatkan mengakibatkan
luka bakar jika panas diaplikasikan dengan tidak semestinya atau terlalu lama. Aplikasi harus cukup
panas untuk mencapai tujuannya, namun dalam rentang suhu yang aman. Kotak 54-1 menyediakan
rentang suhu untuk aplikasi panas dan dingin. Panas yang diterapkan di tempat yang luas memberi lebih
banyak kehangatan; Namun, potensi cedera lebih besar daripada panas yang diterapkan di area kecil.
Lindungi klien dari kemungkinan luka bakar dengan mengamati tindakan pencegahan keselamatan.
Terapi Dingin
Pengertian
Terapi dingin dikenal sebagai cryotherapy yang bekerja pada prinsip pertukaran panas. Hal ini terjadi
ketika menempatkan objek pendingin dalam kontak langsung dengan objek suhu yang lebih hangat,
seperti es terhadap kulit. Objek dingin akan menyerap panas dari objek yang lebih hangat. Setelah cedera,
pembuluh darah akan memberikan oksigen dan nutrisi kepada sel-sel yang rusak. Sel-sel di sekitar cedera
meningkatkan metabolisme dalam upaya mengkonsumsi lebih banyak oksigen. Ketika seluruh oksigen
digunakan, sel-sel akan mati serta pembuluh darah yang rusak tidak bisa membuang sampah. Sel darah
dan cairan meresap ke dalam ruang di sekitar otot yang mengakibatkan pembengkakan dan memar. Saat
es ditempelkan akan menyebabkan suhu jaringan yang rusak menurun melalui pertukaran panas dan
menyempitkan pembuluh darah lokal. Hal ini memperlambat metabolisme dan konsumsi oksigen,
sehingga mengurangi laju kerusakan. Proses tersebut menghentikan transfer impuls ke otak yang
mendaftar sebagai nyeri. Kebanyakan terapis dan dokter menyarankan untuk tidak menggunakan terapi
panas setelah cedera, karena hal ini akan memiliki efek sebaliknya dari terapi dingin. Panas
meningkatkan aliran darah dan melemaskan otot-otot. Hal itu baik untuk meredakan ketegangan otot,
tetapi hanya akan meningkatkan rasa sakit dan pembengkakan cedera dengan mempercepat
metabolisme. Terapi dingin harus selalu digunakan sesegera mungkin setelah cedera terjadi. Terapi
dingin dilakukan sekitar 15 hingga 20 menit selama 48 jam.
b. Pijat Es
Es merupakan material dari teknik terapi dingin. Es adalah sebuah air bersih yang dimasukkan
ke dalam wadah lalu dibekukan di dalam lemari es samapi benar-benar beku. Langkah pertama
yang harus dilakukan dalam teknik ini yaitu sedikit demi sedikit membuka es lalu pijatkan ke
area yang sakit dengan menggunakan gerakan melingkar konstan. Jangan meletakkan es di satu
daerah selama lebih dari 3 menit karena hal ini dapat menyebabkan radang dingin. Terapi dingin
harus dihentikan setelah kulit terasa mati rasa.
Kerugian
a. Es sebagai bahan dari terapi dingin mudah jatuh sendi serta sulit untuk menjaga es di tempat
b. Es cepat mencair dan dapat membuat berantakan terutama jika melakukan terapi dingin di
tempat tidur.
c. Es diterapkan pada permukaan sendi secara terbatas.
d. Tidak ada kompresi yang diterapkan.
e. Hanya dapat diterapkan untuk jangka waktu yang singkat (10-20 menit).
f. Sulit digunakan untuk cedera yang lebih besar atau setelah operasi karena berbagai alasan.
CHECK LIST TERAPI RENDAM HANGAT