ABSTRAK
Duku di Provinsi Jambi mengalami gejala penyakit kanker batang Phytophthora
palmivora, tercatat pada 2011 sebesar 47,63% tanaman bergejala dari populasi 365.729
pohon duku. Penyakit ini sudah menyebar di beberapa wilayah kabupaten sentra duku di
Provinsi Jambi. Sementara sampai saat ini belum diinformasikan adanya gejala penyakit
yang sama terhadap duku di pulau Jawa. Fenomena ini sebagai kekayaan diversitas duku
yang memiliki sifat polimorfisme sehingga dapat dimanfaatkan dalam pengendalian penyakit
kanker batang. Kajian ini bertujuan untuk 1). Memperoleh informasi genotipe beberapa
kultivar duku di Provinsi Jambi, dan sentra duku di Pulau Jawa, dan 2). Memperoleh
informasi kultivar duku yang memiliki ketahanan terhadap penyakit kanker batang. Kajian
merupakan penelitian eksplorasi, dan pengujian skala rumah kasa, menggunakan rancangan
acak lengkap. Variabel pengamatan terdiri dari masa inkubasi penyakit, dan gejala penyakit
seiring dengan waktu pengamatan. Data dianalisis pada kekerabatan kultivar duku, dan
potensinya dalam pengendalian penyakit. Hasil kajian menunjukkan bahwa duku kultivar
Jambi dari 6 kabupaten wilayah sentra duku, kultivar Palembang dari Komering, dan duku
dari Jawa Tengah kultivar Kalikajar (Purbalingga), Blimbing (Purworejo), dan Matesih
(Karanganyar), dan duku kultivar Bantul, memiliki kekerabatan yang berbeda-beda. Kultivar
duku yang berasal dari wilayah Jawa Tengah memiliki kekerabatan yang jauh terhadap duku
Jambi, terutama duku Bantul, dan Matesih. Selanjutnya pengujian skala rumah
kasamenunjukkan P. palmivora mampu menginfeksi setiap kultivar duku yang diujikan, dan
perbedaan genotipe duku dapat mengakibatkan perbedaan laju infeksi P. palmivora.
Perbedaan genotipe dalam satu jenis tanaman berpotensi dapat digunakan untuk
memperoleh ketahanan lebih tinggi terhadap P. Palmivora..
PENDAHULUAN
Duku (Lansium domesticum Corr.) sebagai buah unggulan Provinsi Jambi,
merupakan tanaman warisan dari generasi sebelumnya, yang tumbuh secara alami, sehingga
petani pemilik belum menerapkan budidaya duku sehat. Duku tidak dirawat secara optimal,
dibiarkan tumbuh begitu saja, bahkan pemeliharaannya hanya dilakukan ketika menjelang
dan pada saat panen (Antony, 2010). Meskipun demikian, duku memiliki peranan penting
dalam perekonomian daerah sebagai sumber penghasilan petani. (Endrizal et al., 2009).
Produksi buah duku di Provinsi Jambi dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi.
Selama kurun tahun 2002—2011, terjadi penurunan tajam mulai tahun 2007. Dilaporkan
pada tahun 2004 jumlah produksi buah duku Provinsi Jambi mencapai 88.877 ton, dan pada
tahun 2011 hanya sebesar 5.575 ton. Hal ini dipengaruhi oleh iklim yang berubah dan
perubahan musim, dan diakibatkan oleh kematian duku karena penyakit mati meranggas
atau yang lebih dikenal dengan kanker batang yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora
(Handokoet al., 2013).
Tiga faktor utama yaitu patogen, inang, dan lingkungan menentukan terjadinya
epidemi penyakit tumbuhan di alam. Faktor inang merupakan faktor potensi yang terbawa
dalam tanaman yang bersangkutan. Keterkaitan genetika dalam suatu individu tanaman
memiliki pengaruh dalam terjadinya infeksi patogen, dalam perkembangannya
menimbulkan penyakit.
530
Meskipun penyakit kanker batang duku telah terjadi meluas di Provinsi Jambi,
tetapi keberadaan penyakit kanker batang duku belum dilaporkan terjadi di beberapa
daerah sentra duku lainnya, seperti di Provinsi Sumatera Selatan (Kabupaten Ogan Ilir), di
Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, dan Kabupaten
Karanganyar), dan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Bantul). Diduga
kultivar duku yang memiliki genotipe yang berbeda dapat mempengaruhi terjadinya infeksi
jamur P. palmivora yang menyebakan terjadinya penyakit kanker batang.
METODE PENELITIAN
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penularan penyakit
kanker batang duku kultivar Jambi terhadap duku kultivar lainnya. Percobaan dilakukan
menggunakan bibit duku yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta (kultivar Bantul),
Jawa Tengah (kultivar Purbalingga, kultivar Purworejo, dan kultivar Matesih Karanganyar),
dan Sumatera Selatan (kultivar Komering), dan dari Jambi (kultivar Batanghari).
Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap, kultivar duku sebagai perlakuan.
Setiap perlakuan diulang tiga kali, masing-masing ulangan terdiri atas 5 tanaman. Inokulum
patogen yang digunakan yaitu Phytophthora sp. yang berasal dari Kabupaten Batanghari.
Medium tanam berupa tanah yang berasal dari masing-masing daerah asal kultivar duku.
Pelaksanaan percobaan dilakukan di dua lokasi yaitu dataranrendah(113 m dpl; 31 0C; 76%),
dan di datarantinggi (615 m dpl; 260C; 84%). Data pengamatan yang berupa intensitas gejala
penyakit dianalisis dengan sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil analisis yang
menunjukkan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Jarak Ganda Duncan pada tingkat
kepercayaan 95%.
Pengujian lanjutan tentang kekerabatan antar kultivar duku dilakukan dengan
metode amplifikasi DNA menggunakan Primer OPA 1, OPA 4, dan OPB 1, dan mesin
Polymerase Chain Reaction (PCR) Thermocycler Amplitron®-1 dengan program: tahap
denaturasi pada suhu 95oC selama 15 detik, tahap pemasangan (annealing) pada suhu 55oC
selama 15 detik, dan tahap pemanjangan (extention) pada suhu 72oC selama 20 detik. Reaksi
PCR berlangsung sebanyak 35 siklus, kemudian ditambah perpanjangan 72 oC selama 2
menit. Campuran reaksi PCR terdiri atas 1,25 µl masing-masing primer; 1,00 µl DNA templet;
12,50 µl unit polimerase DNA Taq dan H2O sampai volume 25,00 µl.
Untuk mengetahui keberhasilan amplifikasi DNA, hasil PCR dielektroforesis
menggunakan gel agarose 1%, dengan tegangan 50 V, selama 30 menit. Gel kemudian difoto
di transiluminator UV. Pita yang muncul disusun dalam bentuk bilangan binner, dan
dianalisis menggunakan Program NT-Sys versi 2.1, sehingga dapat disusun pohon
dendogram yang menunjukkan kekerabatan duku.
531
Gambar 1. Gejala penyakit kanker batang pada beberapa kultivar duku umur 20 minggu
setelah inokulasi, yang diinkubasikan di rumah kasa datarantinggi(615 m dpl;
260C; 84%), (a) control negatif, (b) kultivar Palembang, (c) kultivar
Purbalingga, (d) kultivar Purworejo, (e) kultivar Bantul, (f) kultivar Matesih,
(g) kontrol positif(kultivar Jambi)
532
genotipe dalam satu jenis tanaman dapat digunakan untuk memperoleh tanaman yang
memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap Phytophthora spp.
Gambar 2. Kekerabatan duku kultivar Jambi dengan duku kultivar Palembang, Purbalingga,
Purworejo, Karanganyar (Matesih), dan Bantul
Kultivar Palembang
Kultivar Jambi;
Kultivar Purworejo
24; 57.50
Kultivar
Kultivar
Kultivar
KultivarPalembang; Jambi;
Purbalingga 24;
Palembang;
45.00 23;
23;
Kultivar Jambi; 42.50
Kultivar 40.00
Matesih
22; 35.00
Kultivar Jambi; KultivarKultivar
Kultivar
Kultivar Bantul;
Kultivar Bantul
Kultivar Matesih;
21; 22.50
Kultivar Palembang;
Purbalingga;
Purworejo;
24;22;
22.5024;
Kultivar
Kultivar JambiKultivar Jambi Kultivar Jambi Kultivar Jambi Kultivar Jambi Kultivar 24;
Kultivar
Jambi20.00
Jambi
Kultivar
Palembang; 20.00
21;Kultivar 20.00
20.00
Kultivar Bantul;
Purworejo; A
23;
tidak
Kultivar
Kultivar
Kultivar
diinokulasi
tidak
Kultivar
Kultivar
Kultivar
diinokulasi
tidak
Kultivar
Kultivar
Kultivar
diinokulasi
tidakKultivar
Kultivar
Kultivar
diinokulasi
tidakKultivar
Kultivar
diinokulasi
tidak Kultivar
Kultivar
diinokulasi
tidak Matesih;
diinokulasi
Purbalingga; 23;
Kultivar Jambi; 12.50 23; 10.00
12.50
Purbalingga;
Palembang;
Purworejo;
(kontrol)
Kultivar ; 17;
Palembang;
Purbalingga;
Purworejo;
17;
Jambi;(kontrol)
17;
Matesih;
Bantul;
Kultivar ; 18;
Palembang;
Purbalingga;
Purworejo;
Jambi;18;
(kontrol)
18;
Matesih;
Bantul;
Kultivar Palembang;
; 19;
Purbalingga;
Purworejo;
Jambi;19;
(kontrol)
19;
Matesih;
Bantul;
Kultivar
Pengamatan 20;
; 20;
Purbalingga;
Purworejo;
Bantul;(kontrol)
20; (minggu)
Matesih;
Kultivar Kultivar
Purworejo;
; 21; Bantul;
Purbalingga;
(kontrol) 23;
21; (kontrol)
Matesih;
Bantul;
Kultivar 22;
7.50; 24;
;10.00
22;
Matesih; 23;
20; 5.00
0.00
0.00
17;
17;0.00
17;0.00
0.00
0.00 18;18;0.00
0.00
0.00
18;0.00
0.00
0.00 19; 19;0.00
0.00
0.00
19;0.00
0.00
0.00 20; 5.00
0.00
0.00
20;0.00
0.00 21; 0.00
0.00
21;0.00
0.00 22;
22; 2.50
5.00
2.50
0.00
0.000.00
533
Kultivar Jambi
tidak diinokulasi
Intensitas Penyakit (%) KultivarKultivar
Jambi; 23;
Jambi; 24;
(kontrol)
Kultivar Jambi
86.67 86.67
Pengamatan (minggu)
Gambar 3. Perkembangan gejala kanker batang pada beberapa kultivar duku yang
diinokulasi P. palmivora isolat Djb1, A) lokasi inkubasi di dataranrendah(113
m dpl; 310C; 76%); B) lokasi inkubasi di datarantinggi (615 m dpl; 260C; 84%)
Gambar 3 menunjukkan bahwa gejala penyakit kanker batang pada bibit duku yang
diinkubasikan di rumah kasa dataranrendahmulai muncul pada minggu ke-20 pada duku
kultivar Jambi dan Palembang, sedangkan duku kultivar lainnya, gejala baru muncul pada
minggu ke-22. Bibit duku yang diinkubasikan di rumahkasadatarantinggisudah muncul
gejala penyakit pada minggu ke-18 , pada semua kultivar duku. Hal ini menunjukkan pada
kelembapan udara kurang dari 80% dan suhu udara rerata 30 oC memperlambat terjadinya
infeksi P. palmivora isolat Djb1 pada bibit duku kultivar Purworejo, kultivar Purbalingga,
kultivar Matesih, dan kultivar Bantul. Jika terjadi sebaliknya yaitu kelembapan udara
meningkat sampai lebih dari 80% dan suhu udara turun sampai rerata 26 oC, infeksi P.
palmivora isolat Djb1 segera terjadi, dan tidak dipengaruhi asal kultivar duku yang diujikan.
Perkembangan penyakit terlihat adanya perbedaan. Di rumah kasa dataranrendah,
menunjukkan intensitas penyakit pada duku kultivar Palembang paling tinggi dibandingkan
duku kultivar lainnya, dan tidak berbeda dengan kultivar Jambi (kontrol), sementara duku
kultivar lainnya menunjukkan intensitas penyakit yang lebih rendah, dan saling tidak
berbeda nyata. Di rumah kasa dataran tinggi, menunjukkan intensitas penyakit pada duku
kultivar Palembang tetap paling tinggi, tetapi tidak berbeda dengan duku kultivar Purworejo,
dan kultivar Purbalingga. Intensitas paling rendah terdapat pada duku kultivar Bantul, dan
kultivar Matesih.
Berdasarkan perbedaan masa inkubasi, dan intensitas penyakit yang muncul antara
di rumah kasa dataran rendah, dan rumah kasa datarantinggi, dapat dikemukakan bahwa
infeksi penyakit kanker batang duku diduga dipengaruhi oleh genotipe kultivar duku,
sementara suhu udara, dan kelembapan udara di lokasi inkubasi menjadi faktor lingkungan
yang mempercepat terjadinya infeksi dan perkembangan penyakit. Hal ini menunjukkan
bahwa P. palmivora mampu menginfeksi semua kultivar duku yang diujikan, meskipun
dengan intensitas yang berbeda-beda. Pengaruh perbedaan genotype duku yang
mengakibatkan perbedaan infeksi pathogen sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan
oleh Skelsey et al., (2005), bahwa perbedaan genotipe inang dalam satu spesies akan
memunculkan respons terhadap patogen yang berbeda juga. Genotipe duku dalam sifat
polimormisme dapat mengakibatkan tingkat infeksi yang berbeda.
534
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di muka, dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1. Kultivar duku yang berbeda memiliki respon yang berbeda terhadap infeksi jamur P.
palmivora,
2. Perbedaan genotipe yang pada setiap kultivar duku memiliki potensi dalam
pengembangan duku sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition. Academic Press. New York.
Crouzillat, D., W. Phillips, P. J. Fritz, & V. P´etiard. 2000. Quantitative trait loci analysis in
Theobroma cacaousing molecular markers. Inheritance of polygenic resistance to
Phytophthora palmivorain two related cacao populations. Euphytica 114: 25—36.
Endrizal, Adri, Muzirman, N. Asni, D. Sitanggang, & A. Meilin, 2009. Analisis Kebijakan
Pembangunan Pertanian Di Provinsi Jambi. Laporan Akhir Tahun 2009. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian RI. Jambi.
Erwin, D.C. & O.K. Ribeiro. 1996. Phytophthora Diseases Worldwide. The American
Phytopathological Society. USA.
Handoko, S., B. Hadisutrisno, A. Wibowo, & J. Widada. 2013. Identifikasi Patogen Utama
Penyakit Kanker Batang pada Duku di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi,
Indonesia. (Unpublished).
O’Gara, E., L. Vawdrey, T. Martin, S. Sangchote, H. van Thanh, L. N. Binh, & D.I. Guest. 2004.
Screening for Resistance to Phytophthora In: A. Drenth & D.I. Guest (Eds) Diversity and
Management of Phytophthora in Southeast Asia. Australian Centre for International
Agricultural Reseacrh (ACIAR) Monograph 114.
Skelsey, P., W. A. H. Rossing, G. J. T. Kessel, J. Powell, & W. van der Werf. 2005. Influence of
host diversity on development of epidemics: An evaluation and elaboration of mixture
theory. Phytopathology 95: 328—338.
Song, B.K., M.M. Clyde, R. Wickneswari, & M.N. Normah. 2000. Genetic Relatedness among
Lansium domesticum Accessions Using RAPD Markers. Annals of Botany 86: 299—307.
535
IDENTIFIKASI DAN DOMINANSI GULMA PADA PERTANAMAN
PADI SAWAHDI KABUPATEN REJANG LEBONG
PROVINSI BENGKULU
Yong Farmanta1), Siti Rosmanah2), dan Alfayanti2)
ABSTRAK
Gulma merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produksi padi karena dapat
menurunkan produksi antara 6-87%. Pengetahuan tentang daur hidup gulma, faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan gulma, dan cara perkembang biakan gulma sangat penting
diketahui untuk menentukan cara pengendalian terutama pegendalian di pertanaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan dominansi gulma yang terdapat pada
pertanaman padi sawah di Kabupaten Rejang Lebong. Penelitian dilaksanakan di Desa Kota
Pagu Kecamatan Bermani Ulu Raya Kabupaten Rejang Lebong pada bulan Desember sampai
Februari 2016. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut
(m dpl). Pengumpulan data dilakukan dengan analisis vegetasi menggunakan metode
kuadrat. Pengambilan contoh gulma dilakukan dengan menggunakan kuadrat berukuran 1 x
1 m sebanyak 5 kali pada lahan seluas 1 ha yang dilakukan secara acak. Data yang
dikumpulkan meliputi nama jenis gulma, jumlah individu dan kelindungan masing-masing
jenis gulma. Data yang diperoleh berdasarkan hasil pengambilan gulma digunakan untuk
mengetahui kerapatan relatif, frekuensi relatif, Summed Dominance Ratio (SDR) serta indeks
dominansi menggunakan Indeks Simpson. Hasil identifikasi diperoleh sebanyak 10 jenis
yang tersebar pada 6 famili dengan nilai SDR tertinggi pada jenis gulma Drymaria cordata
(20,78%). Berdasarkan hasil analisis dominansi diperoleh nilai sebesar 0,12 yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat psesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur
komunitas dalam keadaan stabil.
PENDAHULUAN
536
dikendalikan (Moenandir, 1993). Menurut Woolley et al (1993) dalam Pane dan Jatmiko
(2009) bahwa awal periode kritis persaingan gulma dapat ditentukan berdasarkan fase
pertumbuhan tanaman, yaitu pada saat tingkat kerugian hasil akibat persaingan dengan
gulma sebesar 5%. Akhir periode kritis persaingan ditandai dengan oleh batas lamanya
tanaman bebas dari persaingan gulma untuk mencegah penurunan hasil sebesar 5%.
Umumnya periode kritis persaingan gulma dimulai sejak tanaman tumbuh sampai sekitar ¼-
1/3 pertama dari siklus hidup tanaman. Pada padi periode kritis persaingan dengan gulma
umumnya terjadi sampai umur 40 hari pertama dari siklus hidupnya. Pada fase ini kanopi
tanaman padi belum menutup, intensitas cahaya ke permukaan tanah masih tinggi karena
kanopi masih terbuka. Pertumbuhan gulma setelah umur tersebut, persaingan dengan gulma
biasanya tidak menyebabkan tingkat persaingan dan penurunan hasil yang nyata.
Pengendalian gulma efektif dilakukan apabila telah mengetahui jenis-jenis gulma
pada lahan sawah. Menurut Sundaru (1976), terdapat beberapa jenis gulma utama pada
lahan sawah di Indonesia yaitu Cyperus iria L, Cyperus difformis L., Echinochloa cruss galli (L)
Beauv, Echinochloa colonum (L.) Link, Marsilea crenata Presl, Fimbristylis miliacea (L.) Vahl,
Pasapalum vaginatum Berg, Monochoria vaginalis (Burm. F.) L, Salvinia molesta D.S. Mitchel,
Scirpus juncoides Roxb, Scirpusmucronatus L., Althernanthera sassilis L. (D.C.). Gulma spesifik
pada lahan sawah dapat menyebabkan kehilangan hasil yang sangat besar diantaranya
adalah Leersia hexandra 60%, Echinochloa colonum dan Paspalum distichum 85 %, dan
Echinochloa crus-gall) bisa mencapai 100% (Rukmana dan Sugandi, 1999 dalam Miranda et
al., 2011).
Menurut Kastanja (2011) keberhasilan pengendalian gulma harus didasari
dengan pengetahuan yang cukup dan benar dari sifat biologi gulma melalui identifikasi,
mencari dalam pustaka tentang refensi gulma tersebut, atau bertanya pada para pakar atau
ahli gulma. Ketiga cara tersebut merupakan langkah pertama untuk menjajaki kemungkinan
pengendalian yang tepat (Sukma dan Yakup, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dominansi gulma yang terdapat pada pertanaman padi sawah di Kabupaten
Rejang Lebong.
METODE PENELITIAN
537
SDR = NP/3
Tabel 1. Hasil identifikasi gulma pada pertanaman padi sawah di Desa Kota Pagu
Kecamatan Bermani Ulu Raya Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu pada
tahun 2015.
Jumlah
No. Nama Jenis Famili Golongan
individu
1. Pistia stratiotes L. Araceae 7 Berdaun lebar
2. Drymaria cordata Caryophyllaceae 51 Berdaun lebar
3. Cyperus killingia Cyperaceae 14 Teki-tekian
4. Cyperus rotundus Cyperaceae 1 Teki-tekian
5. Eragrostis atrovirens Gramineae 10 Rumput-rumputan
6. Echonochloa colonum Gramineae 14 Rumput-rumputan
7. Digitaria adscendens Gramineae 4 Rumput-rumputan
Eichhornia crassipes (Mart.) Rumput-rumputan
8.
Solms Gramineae 24
9. Monochloa vaginalis Pontederiaceae 16 Berdaun lebar
10. Hedyotis corymbosa (L.) Lam Rubiaceae 15 Berdaun lebar
Sumber : Data primer diolah, 2015
538
Dominansi Gulma
Berdasarkan nilai SDR terdapat satu jenis gulma yang mempunyai nilai tertinggi
yaitu Drymaria cordata (20,78%), akan tetapi nilai dominansinya rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa luas area yang ditumbuhi oleh gulma jenis ini lebih sedikit. Nilai SDR
tinggi yang diperoleh oleh gulma Drymaria cordata disebabkan jumlah individunya yang
banyak serta frekuensinya yang ditemukan hampir pada seluruh petak pengambilan sampel.
Struktur gulma pada lahan sawah di Kabupaten Rejang Lebong pada Tabel 2.
Dibandingkan dengan jenis gulma lain, Drymaria cordata merupakan salah satu jenis
gulma yang termasuk golongan berdaun lebar yang memiliki luas daun lebih kecil
dibandingkan dengan gulma yang lain. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya dominansi nisbi
pada spesies tesebut, dimana nilainya paling rendah dibandingkan dengan gulma berdaun
lebar lainnya.
Dilihat dari nilai dominasi, jenis gulma Eragrostis atrovirens dan Digitaria
adscendens merupakan jenis gulma yang mempunyai nilai dominansi lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis gulma yang lain. Hal ini disebabkan karena kedua jenis gulma
tersebut menutupi area lebih luas dibandingkan dengan jenis gulma lain. Menurut
Tjitrosoedirdjo et al (1984), menyatakan bahwa dominasi merupakan berapa luas area yang
ditumbuhi oleh jenis tumbuhan, atau kemampuan suatu jenis tumbuhan dalam hal bersaing
terhadap jenis lain. Dominasi juga dinyatakan dengan istilah kelindungan (coverage), atau
luas basal atau biomassa atau volume.
Pengendalian gulma yang dilakukan oleh petani pada lokasi penelitian adalah
pengendalian secara manual, akan tetapi cara tersebut membutuh waktu dan biaya yang
lebih tinggi. Pengendalian gulma secara manual dengan cara mencabut efektif untuk
mengendalikan gulma semusim atau dua musim. Untuk gulma tahunan pengendalian dengan
cara memcabut akan menyebabkan pemotongan bagian tanaman (rhizom, stolon dan umbi
akar) yang tertinggal di dalam tanah. Sisa tanaman tersebut merupakan bagian yang efektif
untuk tumbuh dan berkembang kembali (Pane dan Jatmiko, 2009).
KESIMPULAN
1. Teridentifikasi sebanyak 10 jenis gulma yang tersebar pada 6 famili pada lahan sawah
di Kabupaten Rejang Lebong.
2. Jenis gulma yang mendominasi pada lahan sawah di Kabupaten Rejang Lebong adalah
Eragrostis atrovirens dan Digitaria adscendens.
539
DAFTAR PUSTAKA
Desvayanti, G. 2002. Struktur dan komposisi gulma pada padi sawah dengan sistem tanam
benih sebar langsung (Tabela) di Desa Pauh Kecamatan Pariaman Tengah Kabupaten
Padang Pariaman. Skripsi Sarjana Biologi FMIPA Universitas Andalas. Padang.
Indriana, R. 2009. Keanekaragaman jenis tumbuhan pada area Bantaran Kali pembuangan di
Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Demak. Skripsi IKIP PGRI. Semarang.
Kastanja, A. Y. 2011. Identifikasi jenis dan dominansi gulma pada pertanaman padi gogo
(Studi kasus di Kecamatan Tobelo Barat, Kabupaten Halmahera Utara). Jurnal
Agroforestri Volume VI Nomor 1 : 40-46.
Lubis, A. 1992. Kelapa sawit (Elaeis quineensis Jacq.). Pusat Penelitian Perkebunan. Bandar
Kuala Pematang Siantar Sumatera Utara.
Miranda, N., I. Suliansyah, dan I. Chaniago. 2011. Eksplorasi dan identifikasi gulma pada padi
sawah lokal (Oryza sativa L.) di Kota Padang. Jerami Volume 4 No. 1 : 45-54.
Moenandir, J. 1993. Ilmu gulma dalam sistem pertanian. PT. Grafindo Persada. Jakarta.
Soerjandono, N.B. 2005. Teknik pengendalian gulma dengen herbisida persistensi rendah
pada tanaman padi. Buletin Teknik Pertanian Volume 10 Nomor 1 : 5-8.
Sukma, Y. Dan Yakup. 2002. Gulma dan teknik pengendalianya. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Wicaksono, K.P. 2006. Analisis rona agroekosistem pengembangan daerah irigasi Mbay
Kabupaten Bajawa Flores, Nusa Tenggara Timur. Jurna Habitat 17 (1) : 63.
Yussa, I. P., Chairul dan Z. Syam. 2015. Analisis vegetasi gulma pada kebun kopi Arabika
(Coffea arabica L.) di Balingka, Agam, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas
Andalas (J. Bio. UA) 4 (1) : 83-89.
540
RESPONS KOLONI WERENG HIJAU (Nepotettix virescens)
PADA BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI TAHAN TUNGRO
Nur Rosida, Ani Mugiasih, dan Khaerana
Loka Penelitian Penyakit Tungro
ABSTRAK
Tungro merupakan penyakit penting pada tanaman padi yang disebabkan oleh virus
dan paling efektif ditularkan oleh wereng hijau (Nephotettix virescens Distant). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui respons wereng hijau pada beberapa galur harapan padi
tahan tungro. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Loka Penelitian Penyakit Tungro pada
bulan Januari – Apil 2015. Varietas yang digunakan adalah 50 galur harapan padi tahan
tungro dan 2 varietas pembanding. Wereng hijau yang digunakan adalah hasil koleksi di
rumah kaca Loka Penelitian Penyakit Tungro Lanrang. Percobaaan dilakukan dalam dua
tahap, tahap pertama adalah padi ditanam pada baki bundar, 5 tanaman per varietas lalu.
Imago dilepas di tengah-tengah baki (500 ekor) dengan umur tanaman 2 minggu setelah
semai lalu disungkup dengan plastik mika. Baki disusun berdasarkan rancangan acak
kelompok dengan tiga kali ulangan. Pengamatan jumlah wereng hijau yang hinggap pada
setiap varietas dilakukan pada 1 – 3 hari setelah infestasi dengan interval waktu 2 hari.
Tahap kedua adalah masing-masing galur disemai pada ember plastik. Setelah umur 1
minggu, tanaman dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi kapas basah 5 bibit per
tabung. Ke dalam setiap tabung diinfestasikan 10 ekor nimfa instar tiga lalu ditutup dengan
kapas dan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan 3 kali ulangan.
Pengamatan dilakukan 1 - 4 hari setelah infestasi, dengan menghitung jumlah wereng yang
masih hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wereng hijau tidak mampu bertahan
hidup pada 15 galur uji. Rata-rata populasi wereng hijau adalah 0 – 3 ekor/galur tidak
berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Inpari 9 ( 3 ekor).
PENDAHULUAN
Wereng hijau ( Nephotettix virescens) meruapakan salah satu jenis serangga hama
pada tanaman padi. Selain sebagai hama, wereng hijau juga berperan sebagai vektor
penyakit tungro, sehingga keberadaannya di pertanaman berpotensi mengakibatkan
kerugian yang lebih besar Tungro adalah penyakit penting pada tanaman padi yang
disebabkan oleh dua jenis virus, yaitu Rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan Rice tungro
spherical virus (RTSV) (Rahim dan Nasrudin 2010).
Penyakit tungro tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah
sentra produksi beras nasional seperti di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi,
dan Kalimantan Selatan (BB Padi 2010). Pada tahun 2012 area Penyakit tungro tersebar
hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah sentra produksi beras nasional
seperti di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Kalimantan Selatan (BB Padi
2010). Pada tahun 2012 area serangan tungro seluas 7.747 ha dan meningkat menjadi
10.250 ha pada tahun 2013 yang tersebar di 24 propinsi di Indonesia (Pusdatin, 2014).
Penyebaran penyakit tungro sangat bergantung pada populasi dan aktivitas serangga
vektornya. Penyakit tungro seringkali dilaporkan menimbulkan kerugian yang besar. Antara
tahun 1980 – 1985 dilaporkan bahwa penyakit tungro merusak area pertanaman padi di
Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur berturut-turut seluas 3939 ha, 1632 ha, dan 2120
ha. Gejala utama penyakit tungro antara lain tampak pada perubahan warna daun muda
menjadi kuning-oranye dimulai dari ujung daun, jumlah anakan berkurang dan tanaman
menjadi kerdil, dan beberapa mengalami klorosis intervenal (Bunawan et al. 2014).
Tinggi rendahnya intensitas penyakit tungro berkorelasi positif dengan fluktuasi
populasi wereng hijau apabila tersedia sumber inokulum (Suzuki et al., 1992). Kemampuan
wereng hijau (N.virencens) dalam menularkan virus tungro mencapai 81% (Supriyadi et al.,
541
2008). Wereng hijau menularkan RTSV secara bebas, tetapi menularkan RTBV tergantung
pada keberadaan RTSV (Ahmad & Tissera, 2001). Wereng hijau dapat memperoleh dan
menularkan RTSV dan RTSV secara bersama-sama atau RTSV saja dan tidak dapat
memperoleh dan menularkan RTBV jika tidak memperoleh RTSV sebelumya (Choi et
al.2009).Segera setelah makan dari tanaman yang terinfeksi virus tungro, wereng hijau akan
menularkan virus tersebut pada tanaman baru.
Wereng hijau menggunakan tanaman padi sebagai tempat bertelur, berlindung dan
sebagai pakan. Pada tanaman yang tahan (tidak disenangi wereng hijau), kemungkinan besar
tidak terjadi penularan virus (makan inokulasi) sehingga penggunaan varietas tahan
merupakan salah satu alternatif untuk pengendalian penyakit tungro. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui respons wereng hijau terhadap beberapa galur harapan tahan
tungro.
METODOLOGI
542
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji preferensi menunjukkan bahwa hampir tidak ditemukan wereng hijau
hinggap pada galur (no.12) BP3770A-1-219-LRG-3-5-2-8 (no.12), BP3856A-2-743-LRG-9-6-
2-6 (no.17), P3860A-2-842-LRG-1-9-1-7 (20) dan BP3860A-2-842-LRG-1-9-1-7 (no.37). Hal
ini membuktikan bahwa wereng hijau yang hinggap pada setiap galur berebera-beda
tergantung dari tingkat kesukaannya. Menurut Schoonhoven et al. (2005), seleksi tanaman
inang oleh serangga termasuk wereng hijau meliputi aktivitas mencari, orientasi, kemudian
hinggap, lalu melakukan seleksi penusukan hingga penetrasi stilet.
Tabel 1. Preferensi hinggap wereng hijau pada berbagai galur harapan padi tahan tungro
Jumlah Wereng Hijau yang hinggap
No Galur/varietas
1 HIS 3 HIS 5HSI
1 BP3734A-3-15-LRG-5-8-2-5 4.3 6.7 5.7 b-h
2 BP3736A-1-43-LRG-3-7-1-10 2.0 1.0 1.7 abcd
3 BP3742A-3-97-LRG-8-6-2-8 2.7 1.0 1.7 abcd
4 BP3744A-1-100-LRG-2-1-2-6 0.7 1.3 3.0 abcde
5 BP3744A-1-104-LRG-5-2-1-7 2.0 0.7 2.0 abcd
6 BP3744A-2-110-LRG-1-1-2-6 4.0 1.0 0.7 ab
7 BP3762A-5-149-LRG-1-5-1-8 2.3 10.0 7.0 d-h
8 BP3762A-5-157-LRG-9-1-2-9 12.0 8.0 8.3 f-h
9 BP3764A-3-185-LRG-8-5-1-8 6.0 5.0 4.7 a-h
10 BP3768A-2-214-LRG-8-10-2-7 0.0 1.7 0.7 ab
11 BP3770A-1-218-LRG-2-3-1-9 2.7 0.7 2.0 abcd
12 BP3770A-1-219-LRG-3-5-2-8 0.7 2.0 0.0 a
13 BP3770A-2-234-LRG-8-1-1-9 7.3 7.3 6.3 c-h
14 BP3840A-6-253-LRG-8-6-2-8 3.0 1.7 0.3 ab
15 BP3846A-7-425-LRG-10-3-1-9 12.3 9.0 8.7 gh
16 BP3846A-8-428-LRG-3-3-2-6 10.7 3.7 9.0 h
17 BP3856A-2-743-LRG-9-6-2-6 0.0 0.3 0.0 a
18 BP3860A-2-842-LRG-1-1-1-7 0.0 0.3 1.0 abc
19 BP3860A-2-842-LRG-1-6-1-7 1.3 1.7 3.7 a-g
20 BP3860A-2-842-LRG-1-9-1-7 0.7 0.0 0.0 a
21 BP3860A-4-853-LRG-2-1-1-7 3.3 0.3 3.7 a-g
22 BP3862A-8-938-LRG-7-1-1-9 8.0 5.0 4.7 a-h
23 BP3862A-15-999-LRG-8-1-1-8 7.3 3.7 2.3 abcde
24 BP3862A-16-1005-LRG-4-3-1-9 5.0 3.0 0.3 ab
25 BP3862A-18-1026-LRG-7-10-1-7 2.3 1.7 4.3 a-h
26 BP3862A-19-1037-LRG-8-1-1-8 1.3 7.0 2.3 abcde
27 BP3862A-21-1054-LRG-5-1-1-6 0.7 0.3 1.0 abc
28 BP3862A-23-1078-LRG-9-6-2-7 2.0 1.7 0.7 ab
29 BP3864A-6-1131-LRG-2-5-1-8 8.3 4.0 3.0 abcde
30 BP3864A-7-1146-LRG-7-6-2-6 14.0 5.7 7.0 d-h
31 BP3864A-8-1151-LRG-3-7-2-8 2.7 2.7 2.0 abcd
32 BP3866A-1-1175-LRG-7-3-2-7 2.0 4.3 1.3 abc
33 BP3866A-3-1193-LRG-5-5-2-3 2.3 0.0 1.3 abc
34 BP3866A-4-1200-LRG-2-5-2-7 2.3 1.3 2.3 abcde
35 BP3866A-4-1207-LRG-9-3-2-7 2.0 3.3 2.0 35
36 BP3866A-5-1211-LRG-3-8-1-7 1.7 2.0 1.0 abc
37 BP3866A-5-1213-LRG-5-2-1-7 0.0 0.0 0.0 a
38 BP3866A-5-1219-LRG-1-3-2-4 4.0 3.3 4.3 a-h
39 BP3866A-6-1227-LRG-9-4-2-6 0.7 2.0 1.7 abcd
40 BP3866A-8-1244-LRG-9-5-1-7 1.0 2.7 1.0 abc
41 BP3868A-5-1283-LRG-8-1-2-7 4.0 0.7 1.3 abc
42 BP3868A-8-1307-LRG-2-2-1-7 4.3 2.3 5.0 a-h
543
43 BP3870A-4-1357-LRG-2-3-1-7 2.0 3.0 2.0 abcd
44 BP3870A-4-1363-LRG-8-1-1-7 1.0 1.0 2.7 abcde
45 BP3870A-6-1383-LRG-8-1-1-8 4.0 2.3 4.3 a-h
46 BP3870A-6-1385-LRG-10-2-1-7 1.3 2.0 3.0 abcde
47 BP3870A-7-1387-LRG-2-1-1-7 4.7 1.3 3.3 a-f
48 BP3872A-1-1396-LRG-1-2-2-7 6.3 9.0 7.3 e-h
49 TN1 6.0 5.0 3.7 a-g
50 INPARI 9 1.3 1.0 3.3 a-f
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan (α = 0.05).
Hasil uji survival menunjukkan bahwa sudah terjadi kematian nimfa wereng hijau
pada 1 HSI di semua galur/varietas sebanyak 1 - 9 ekor bahkan terlihat tidak ada nimfa yang
hidup pada 3 HSI yang terjadi pada beberapa galur yaitu B10525E-KN-37-2-3-7-SI-2-MR-3-
2-1-1-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-1-2-3-2-1,B11742-RS*2-4-MR-31-1-4-SI-4-1-MR-3-
2-1-2-2, B12519-3-SI-2-1-MR-3-3-2-1-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-1-2-3-2-1,
IR71145-153-3-3-1-2-3-1-3 dan IR71710-78-2-2-2-3-3-1 (Tabel ). Nimfa wereng hijau masih
beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan ketersediaan pakan yang baru (di dalam
sungkup) pada 1 HSI dan pada hari-hari berikutnya akan mulai menyesuaikan untuk dapat
bertahan hidup menjadi dewasa. Semakin banyak wereng hijau yang mampu bertahan
hingga menjadi dewasa maka semakin rendah tingkat ketahanan galur/varietas terhadap
wereng hijau, namun diperlukan kajian lebih lanjut untuk melihat adanya pengaruh senyawa
antibiotik dari setiap galur/varietas terhadap kematian wereng hijau. Wereng hijau akan
membentuk generasi selanjutnya jika tersedia pakan yang sesuai, sehingga akan terjadi
penularan sekunder di lapangan jika ditanam suatu varietas yang tidak tahan terhadap
wereng hijau.Lama hidup, fluktuasi populasi, laju reproduksi, dan laju pertumbuhan wereng
hijau dipengaruhi oleh sumber makanan (tanaman inang) (Win et al. 2011).
Beradasarkan jumlah wereng hijau yang masih hidup atau mampu bertahan hingga
5 HSI maka galur-galur B10525E-KN-37-2-3-7-SI-2-MR-3-2-1-1-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-
SI-2-MR-1-2-3-2-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-2-2-2-2-2, Beradasarkan jumlah wereng
hijau yang masih hidup atau mampu bertahan hingga 5 HSI maka galur-galur B10525E-KN-
37-2-3-7-SI-2-MR-3-2-1-1-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-1-2-3-2-1, B11597-RS*2-3-2-
14-1-SI-2-MR-2-2-2-2-2, B11597-RS*2-3-2-16-5-SI-2-MR-2-2-2-3-1, B11742-RS*2-4-MR-31-
1-4-SI-4-1-MR-3-2-1-2-2, B12519-3-SI-2-1-MR-3-3-2-1-1, B11597-RS*2-3-2-14-1-SI-2-MR-
1-2-3-2-1,B11597-RS*2-3-2-9-5-SI-3-MR-2-1-2-2-1, IR71138-49-2-2-1-2-2-4-4, IR71145-
153-3-3-1-2-1-3-1, IR71138-49-2-2-1-2-2-4-4, IR71145-153-3-3-1-2-3-1-3 dan IR71710-78-
2-2-2-3-3-1 mempunyai tingkat ketahanan yang lebih tinggi terhadap wereng hijau
dibandingkan galur-galur yang lain. Menurut Sahjahan et al. (1990), varietas tahan
mengandung gen ketahanan, dimana gen yang mengatur ketahanan terhadap virus tungro
dikontrol oleh lebih dari satu gen (polygenic) dan ketahanan terhadap vektornya dikontrol
oleh satu gen (monogenic). Selain itu, ketebalan epidermis maupun kelebatan bulu serta
kasar pada helaian daun menyebabkan vektor (N.virescens) bermigrasi ke tempat lain dan
memilih varietas yang lebih disenangi (Pakki S., 2010).
544
Tabel 2. Kemampuan bertahan hidup (Respons) wereng hijau pada berbagai galur harapan
padi tahan tungro
Jumlah wereng hijau yang betahan
hidup
No Galur/varietas (menjadi dewasa)
1 HIS 3 HSI 5HSI
1 BP3734A-3-15-LRG-5-8-2-5 2.0 0.7 0.0 a
2 BP3736A-1-43-LRG-3-7-1-10 4.3 1.3 0.7 ab
3 BP3742A-3-97-LRG-8-6-2-8 4.3 0.3 0.3 a
4 BP3744A-1-100-LRG-2-1-2-6 5.0 1.0 0.7 ab
5 BP3744A-1-104-LRG-5-2-1-7 8.0 2.0 1.0 ab
6 BP3744A-2-110-LRG-1-1-2-6 7.7 1.7 0.3 a
7 BP3762A-5-149-LRG-1-5-1-8 8.0 6.3 1.0 ab
8 BP3762A-5-157-LRG-9-1-2-9 8.0 7.0 5.0 c
9 BP3764A-3-185-LRG-8-5-1-8 0.0 0.0 0.0 a
10 BP3768A-2-214-LRG-8-10-2-7 6.0 3.7 1.0 ab
11 BP3770A-1-218-LRG-2-3-1-9 3.3 1.7 1.0 ab
12 BP3770A-1-219-LRG-3-5-2-8 6.0 0.0 0.0 a
13 BP3770A-2-234-LRG-8-1-1-9 8.7 3.3 1.3 ab
14 BP3840A-6-253-LRG-8-6-2-8 3.0 1.3 0.3 a
15 BP3846A-7-425-LRG-10-3-1-9 9.0 4.7 1.3 ab
16 BP3846A-8-428-LRG-3-3-2-6 3.3 0.7 0.0 a
17 BP3856A-2-743-LRG-9-6-2-6 0.0 0.0 0.0 a
18 BP3860A-2-842-LRG-1-1-1-7 5.7 1.7 0.7 a
19 BP3860A-2-842-LRG-1-6-1-7 9.7 4.3 1.3 ab
20 BP3860A-2-842-LRG-1-9-1-7 0.0 0.0 0.0 a
21 BP3860A-4-853-LRG-2-1-1-7 6.3 1.3 0.3 a
22 BP3862A-8-938-LRG-7-1-1-9 7.3 0.3 0.0 a
23 BP3862A-15-999-LRG-8-1-1-8 7.7 1.7 0.7 ab
24 BP3862A-16-1005-LRG-4-3-1-9 7.7 2.0 0.3 a
25 BP3862A-18-1026-LRG-7-10-1-7 2.3 0.0 0.0 a
26 BP3862A-19-1037-LRG-8-1-1-8 7.3 0.7 0.0 a
27 BP3862A-21-1054-LRG-5-1-1-6 1.7 0.0 0.0 a
28 BP3862A-23-1078-LRG-9-6-2-7 8.0 2.7 0.0 a
29 BP3864A-6-1131-LRG-2-5-1-8 9.0 4.0 1.0 ab
30 BP3864A-7-1146-LRG-7-6-2-6 6.3 2.0 0.3 a
31 BP3864A-8-1151-LRG-3-7-2-8 7.3 2.0 0.3 a
32 BP3866A-1-1175-LRG-7-3-2-7 9.7 2.0 0.3 a
33 BP3866A-3-1193-LRG-5-5-2-3 7.3 0.3 0.0 a
34 BP3866A-4-1200-LRG-2-5-2-7 6.3 2.7 0.3 a
35 BP3866A-4-1207-LRG-9-3-2-7 7.0 6.0 1.0 ab
36 BP3866A-5-1211-LRG-3-8-1-7 7.7 1.0 0.3 a
37 BP3866A-5-1213-LRG-5-2-1-7 7.3 0.7 0.3 a
38 BP3866A-5-1219-LRG-1-3-2-4 8.0 2.0 1.3 ab
39 BP3866A-6-1227-LRG-9-4-2-6 5.7 2.0 0.7 ab
40 BP3866A-8-1244-LRG-9-5-1-7 7.0 2.0 0.0 a
41 BP3868A-5-1283-LRG-8-1-2-7 7.7 2.3 0.7 ab
42 BP3868A-8-1307-LRG-2-2-1-7 6.3 4.3 0.7 ab
43 BP3870A-4-1357-LRG-2-3-1-7 8.0 1.0 0.7 ab
44 BP3870A-4-1363-LRG-8-1-1-7 6.7 0.7 3.0 bc
45 BP3870A-6-1383-LRG-8-1-1-8 5.0 2.3 0.3 a
46 BP3870A-6-1385-LRG-10-2-1-7 8.0 4.0 0.7 ab
47 BP3870A-7-1387-LRG-2-1-1-7 9.0 1.3 0.0 a
48 BP3872A-1-1396-LRG-1-2-2-7 0.0 0.0 0.0 a
49 TN1 10.0 6.0 3.7 a
50 Inpari 9 Elo 0.0 0.0 0.0 a
545
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan (α = 0.05)
KESIMPULAN
Respons (hasil uji preferensi dan survival test) menunjukkan bahwa terdapat 15 galur
uji yang disenangi (hinggap dan bertahan hidup) oleh wereng hijau yaitu galur BP11780-1f-
Kn-9-2-1*B-Lrg-1-17-3, BP11820-5f-Kn-9-3-1*B-LR-8-5,BP11820-5f-Kn-9-3-1*B-LR-9-12,
BP11820-5f-Kn-10-2-1*B-LR-8-2, BP11820-5f-Kn-10-2-1*B-LR-17-12, BP11858-1f-Kn-1-2-
1*B-Lrg-1-16-2, BP11592f-1-Kn-1-1*B-Lrg-1-4-15, BP11660f-3-Kn-3-1*B-Lrg-1-11-18,
BP11778-3f-5-Kn-1-1*B-Lrg-1-1-7, BP11778-3f-5-Kn-1-1*B-Lrg-1-1-8, BP11848-3f-8-Kn-1-
1*B-Lrg-1-2-7, BP11870-1f-3-Kn-2-1*B-Lrg-1-19-20, BP11922-1f-9-Kn-3-1*B-Lrg-1-1-9,
BP5480-3f-Kn-30-2-6*B-lrg.1-18-10, dan BP10868f-Kn-1-1-2*B-lrg.1-17-3. Populasi wereng
hijau adalah 0 – 3 ekor/galur tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding tahan Inpari
9 ( 3 ekor).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad A.S and Tissera N. 2001. Plant Virology: Rice Tungro Disease. Institute for Plant
Biology, Section for Plant Pathology. The Royal Veterinary and Agricultural
University. http://www.dias.kvl.dk/plantvirology/rtdvforweb.htm [9 Desember
2013].
Bunawan H., L. Dusik, S.N. Bunawan, and N.M. Matamin. 2014. Rice Tungro Disease: From
Identification to Disease Control. World Applied Science Journal 31 (6): 1221-1226.
Heinrichs, E.A., F.G. Medrano, H.R. Rapusas.1985. Genetic Evaluation for Insect Resistance in
Rice. Int. Rice Res. Inst., Los Banos, Philippines. 356 p.
Pakki, S. 2010. Peran Faktor Ekobiologi Terhadap Dinamika Populasi Vektor dan Penyakit
Tungro. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX
Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. hal 107-113.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Statistik iklim, Organisme Penganggu
Tanaman, dan Dampak Perubahan Iklim 2011-2013. Kementerian Pertanian.
Rahim MD, Nasrudin A. 2010. Efisiensi penularan virus tungro oleh Nephotettix virescens
(Homopterra: Cicadellidae) dengan berbagai umur inokulum. Jurnal Fitomedika.
7(2):125-129.
Sahjahan, M.B.S. Jaelani, A.H. Zakri, T.Imbee, and Othman. 1990. Inheritance of tolerance to
rice tungro bacilliform virus (RTBV) in rice. Theor. Appl. Genect (1990).
Schoonhoven, L.M., J.J.A van Loon, and M. Dicke. 2005. Insectplant Biology. 2nd Ed. Oxford
University Press.
Siwi, S. S., Arifin Kartohardjono, Suartini Harnoto, dan Alit Diratmaja. 1987. The green
leafhopper, genus nephotettix matsumura. In Proceedings of the Workshop onRice
Tungro Virus. Ministry of Agriculture.
Supriadi, Untung K, Trisyono A& Yuwono T. 2008. Keragaman populasi wereng hijau,
nephotettix virescens distant (Hemiptra:Cicadellidae) asal wilayah endemis dannon
endemispenyakit tungro padi. Seminar Nasional V PerhimpunanEntomologi (PEI)
Cabang Bogor. Bogor:18-19 Maret 2008.
546
Suzuki, Y., I K.R. Widrawan, I G.N. Gede, I N. Raga, Yasis, and Soeroto. 1992. Field
epidemiology and forecasting technology of rice tungro disease vectored by green
leafhopper. JARQ 26: 98−104.
Win, S.S., R. Muhammad, Z abiding, M. Ahmad, and N A. Adam. 2011. Life table and
population parameters of Nilaparvata lugens Stal (Homoptera: Delphacidae) on rice.
Tropical Life Sciences Research 22(1): 25-35.
547
KAJIAN PENERAPAN MODEL TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA
TIKUS DI LAHAN PASANG SURUT MENDUKUNG UPSUS PAJALE
KABUPATEN TANJUNG TABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI
Sigid Handoko, Adri, Busyra B.S
ABSTRAK
Potensi sawah pasang surut di Kabuaten Tanjung Jabung Timur yaitu seluas 200.000
ha, sementara lahan yang telah dapat digunakan untuk pertanaman tanaman pangan seluas
90.000 ha. Pemanfaatan sebagai lahan sawah tanaman pangan didominasi oleh pertanaman
padi pada musim penghujan (MT I), dan pertanaman jagung pada musim kemarau (MT II).
Selain keberadaan air menjadi faktor pembatas dalam usaha tani padi, serangan hama tikus
seringkali menjadi faktor utama kegagalan panen padi. Beberapa cara pengendalian hama
tikus sawah berbasis penggunaan pestisida dalam bentuk umpan beracun dan pengemposan,
diperoleh hasil kurang efektif di lapangan karena pelaksanaan aplikasinya setelah muncul
serangan dalam kategori kerusakan sedang atau berat. Pengendalian hama tikus secara
terpadu diperlukan dengan tujuan memperoleh keberhasilan dalam usaha tani padi dengan
menekan kehilangan hasil di lapangan. Pengendalian hama tikus yang dilakukan yaitu: 1.
Penggunaan teknik Trap barrier system (TBS) awal musim tanam, 2. Penggunaan teknik
Linear trap barrier system (LTBS).Hasil kajian di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan
teknik Trap barrier system (TBS) awal musim tanam dapat memerangkap 296 ekor tikus
dengan perbandingan tikus jantan : betina sebesar 3:7. Penggunaan teknik Linear trap
barrier system (LTBS) dapat memerangkap tikus yang melakukan migrasi antara lahan
sawah dan habitat tikus, atau sebaliknya. Pengendalian hama tikus terpadu menggunakan
TBS, LTBS, dan fumigasi dapat mengendalikan tikus di pertanaman padi pada musim tanam
II tahun 2015, sehingga dapat terbebas dari serangan hama tikus.
Kata Kunci: pengendalian, hama, tikus, TBS, LTBS, pasang surut
PENDAHULUAN
Potensi sawah rawa pasang surut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi
Jambi yaitu seluas 200.000 ha, sementara lahan yang telah dapat digunakan untuk
pertanaman tanaman pangan seluas sekitar 90.000 ha (Busyra & Hendri 2015).
Pemanfaatan sebagai lahan sawah tanaman pangan didominasi oleh pertanaman padi pada
musim penghujan (MT I), dan pertanaman jagung pada musim kemarau (MT II) (Busyra et al.
2014; Busyra & Hendri 2015). Selain keberadaan air menjadi faktor pembatas dalam usaha
tani padi, serangan hama tikus seringkali menjadi faktor utama kegagalan panen padi,
berasal dari kebun sawit yang berbatasan langsung dengan sawah. Beberapa cara
pengendalian hama tikus sawah berbasis penggunaan pestisida dalam bentuk umpan
beracun dan fumigasi, diperoleh hasil kurang efektif di lapangan karena kondisi lahan
pasang surut, dan pelaksanaan aplikasinya setelah muncul serangan dalam kategori
kerusakan sedang atau berat. Teknik pengendalian hama tikus alternatif diperlukan dengan
tujuan memperoleh keberhasilan dalam usaha tani padi dengan menekan kehilangan hasil di
lapangan.
TBS merupakan salah satu teknologi pengendalian tikus sawah yang terbukti efektif
menangkap tikus dalam jumlah banyak. Tangkapan tikus dapat berlangsung terus menerus
sejak tanaman perangkap ditanam hingga panen (Singleton et al. 1997; Sudarmaji et al.
2003). Jumlah tangkapan tikus pada setiap unit TBS dipengaruhi oleh tingkat populasi tikus
dan stadium padi tanaman perangkap. Tangkapan tikus tertinggi terjadi ketika tanaman
perangkap berumur 3 minggu setelah tanam (MST) atau bertepatan dengan periode tanam
petani di sekitarnya (Sudarmaji 2001 & 2002). Dengan banyaknya tikus yang tertangkap di
548
awal pertanaman, populasi tikus di lapangan dapat ditekan sehingga tingkat kerusakan
tanaman padi menurun dan lebih banyak hasil panen dapat diselamatkan.
LTBS merupakan salah satu komponen pengendalian tikus sawah yang efektif,
ramah lingkungan dan mudah dalam pemakaiannya di lapangan (Leung &Sudarmaji1999).
LTBS berupa bentangan pagar plastik sepanjang minimal 100 m, tanpa tanaman perangkap,
dilengkapi bubu perangkap pada kedua sisinya secara berselang-seling sehingga mampu
menangkap tikus dari dua arah (habitat dan sawah). Pemasangan LTBS dilakukan di dekat
habitat utama tikus sawah seperti tepi kampung, sepanjang tanggul irigasi, semak belukar,
dan tanggul jalan/pematang besar. LTBS juga efektif menangkap tikus migran, yaitu dengan
memasang LTBS pada jalur migrasi yang dilalui tikus sehingga tikus dapat diarahkan masuk
bubu perangkap. Jumlah tangkapan tikus pada setiap unit TBS dipengaruhi oleh tingkat
populasi tikus dan stadium padi tanaman perangkap (Singleton et al. 1997; Sudarmaji et al.
2003).
METODOLOGI
Kajian yang dilakukan menggunakan metode Demonstrasi Plot yang terdiri atas: a)
Teknik Trap Barrier System (TBS) yaitu petak pertanaman padi yang berukuran 25 m x 25
m, yang ditanam 3 minggu sebelum tanaman padi lainnya. Varietas padi yang digunakan
sama dengan varietas sekitarnya yaitu Inpari 30. Dipersiapkan kelengkapan jaring burung,
yang dipasang pada saat padi keluar malai. Petak perangkap dibuatkan parit kecil
mengelilingi (lebar sekitar 0,5 m), kemudian dipasang pagar plastik mengelilingi di sebelah
dalam parit, dan di setiap sisinya dipasang bubu perangkap di sebelah dalam, menghadap
keluar, dan b) Penggunaan teknik Linear trap barrier system (LTBS) yaitu memasang pagar
plastik yang memisahkan habitat tikus dengan sawah yang dilengkapi dengan bubu
perangkap yang dipasang secara berselang-seling. Pemasangan pagar
Gambar 1. Sketsa pemasangan pagar perangkap. (a) Tata letak pemasangan TBS, (b) teknik
pemasangan pagar perangkap, dan peletakan bubu perangkap (sumber:
Anggara 2008)
549
berpotensi menjadi 80 ekor pada akhir musim tanam padi, lebih kurang selama 4 bulan.
Keadaan ini menjadi indikator keberhasilan penerapan teknologi TBS.
Dari bubu perangkap dalam setiap sisi petak perangkap TBS, menunjukkan adanya
perbedaan jumlah tikus yang terperangkap. Sisi yang menghadap langsung dengan semak
belukar terlihat dapat memerangkap lebih banyak dibandingkan dengan sisi lainnya. Hal ini
dapat terjadi diduga tikus yang berasal dari semak belukar berjumlah lebih banyak pada saat
lahan bera, dan dapat segera tertarik dan mendatangi petak perangkap TBS. Tikus yang
berusaha masuk ke dalam petak perangkap memperoleh jalan terdekat antara semak
belukar dan petak perangkap. Menurut Anggara (2008), pada saat lahan bera, tikus
menjalani fase bertahan dengan kembali ke perkampungan, semak, dan pematang sawah.
Pada saat telah terdapat padi yang tumbuh, maka tikus akan segera mendatangi padi, untuk
memenuhi kebutuhan pelengkap hormon perkembangbiakan yang terdapat di pangkal tunas
padi. Dari kondisi ini menunjukkan pengendalian tikus sawah menggunakan teknologi TBS
dapat efektif digunakan.
a b
Gambar 2. (a)Petak perangkap TBS ditanam 3 minggu sebelumnya dari sekitarnya, dan
(b)Tikus terperangkap dalam bubu
Hasil penggunaan teknologi LTBS menunjukkan bahwa dari letak perangkap yang
terdapat berbatasan dengan semak belukar saja yang dapat memerangkap tikus, yaitu
sebanyak 9 ekor. Hal ini dapat terjadi mungkin disebabkan tikus telah tertarik dengan
tanaman perangkap dalam TBS dan lebih awal dapat terperangkap dalam bubu. Kondisi
letak petak perangkap TBS yang berdekatan dengan semak belukar dapat efektif
memerangkap tikus sejak fase awal tanam. Keadaan ini menunjukkan potensi pengendalian
tikus sawah yang mengadakan migrasi dari habitatnya (semak belukar) menuju ke sawah
dapat efektif digunakan.
Kesimpulan
1. Pemerangkapan tikus menggunakan teknik TBS menggambarkan potensi pengendalian
tikus yang dapat berkembang sesuai dengan dukungan faktor genotipe dan
lingkungannya.
2. Tikus yang dapat diperangkap sebanyak 296 ekor (85 jantan dan 211 betina). Hal ini
menunjukkan potensi tikus yang dapat dikendalikan yaitu sebesar 16.880 ekor dalam 1
musim tanam.
3. Sisi petak perangkap TBS yang menghadap ke arah semaK belukar dapat memerangkap
tikus lebih banyak.
4. Penggunaan teknik LTBS menunjukkan potensi pengendalian tikus sawah yang
mengadakan migrasi dari habitat menuju sawah, dan sebaliknya.
Saran
1. Penerapan teknologi TBS dibuat 1 petak perangkap dapat melindungi lebih kurang 15
ha, sehingga di lahan yang berbatasan dengan semak belukar sebaiknya dibuat lebih dari
1 petak perangkap.
550
2. Dalam penerapan TBS dan LTBS dalam sawah yang berbatasan semak belukar sebaiknya
digunakan pagar plastik yang lebih tinggi, yaitu lebih kurang 80 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Anggara, A.W. 2008. Pengendalian Hama Tikus Terpadu.Balai Besar Penelitian Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Busyra B.S., Adri, Endrizal. 2014. Optimalisasi Lahan Sub Optimal Rawa Pasang Surut Melalui
Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Peningkatan Indek Pertanaman.
Sudarmaji. 2005. Permasalahan hama tikus dan penanganannya pada padi (hibrida).
Makalah pada Training Produksi Benih Padi Hibrida di Balitpa Sukamandi, 16-18
Mei 2005. pp:1-16.
551
IMPACT OF COMMUNITY BIODIVERSITY MANAGEMENT AS A
CONCEPT OF MODERN AGRICULTURE TOWARDS DIVERSITY
OF TROPICAL FRUIT TREE, ECOSYSTEM SUSTAINABILITY AND
COMMUNITY INCOME IN INDONESIAN SUPPORTING AEC
INTRODUCTION
The ASEAN Economic Community (AEC) is a big challenge and opportunity for
Indonesia to encourage the economic growth. The AEC is the realization of the end goal of
economic integration, based on a convergence of interests of ASEAN Member Countries to
deepen and broaden economic integration through existing and new initiatives with clear
timelines. The AEC will establish ASEAN as a single market and production base making
ASEAN more dynamic and competitive with new mechanisms and measures to strengthen
the implementation of its existing economic initiatives; accelerating regional integration in
the priority sectors (ASEAN Secretariat, 2008).
The high level of competitiveness is an important key for Indonesia to conquer the
global competition. One of most valuable assets owned by Indonesian is specific genetic
resources. It is related with Indonesia as a mega biodiversity countries and an archipelagic
country, with its thousands of islands scattered between two continents (Asia and Australia)
and two oceans (Pacific and Indian). Indonesia is endowed with very rich and unique
biological resources. More than 329 native and introduced fruit species have been
documented and described in Indonesia as potential sources of food, nutrition and medicine
(Uji, 2007). The Indonesian Ministry of Agriculture (2010) has prioritized mango and
Citrusas commodities and has targeted production of some 2.5 million tons of mango and 2.3
million tons of Citrus. However, the programs are threatened by farm land conversions. The
rate of farm land conversions in Indonesia is around 100.000 hectares per year and caused
by the rapid population growth in the last 15 years that increased around 1,49% per year
(Indonesian Statistic Agency, 2014).
Diversifying the agricultural sector has become now an important strategic interest
for the Indonesian Government, which requires also a conservation strategy to maintain a
viable population of species and the intra-specific diversity within species as the
fundamental source for improved planting material. To diversify and improve the
agricultural sector, the conservation of fruit trees is urgently needed by the Indonesian
government (Hanani et al., 2009), especially for fruit trees which have recalcitrant seeds and
cannot be conserved in cold storage. The prevention of erosion of native fruit genetic
resources should be highlighted as a national priority. Loosing plant genetic resources means
that Indonesia will lose national assets to develop new products or compete in the global
market, whereas the competitiveness level of Indonesian fruits in Asia is already low.
On-farm conservation entails the active participation of local communities in the
documentation, multiplication, utilization and safeguarding of unique species and varieties
found on their farms. In-situ and on-farm conservation is ineffective without local community
552
participation (Isager et al.,2001). Community-based Biodiversity Management (CBM), is an
example of a conservation approach that empowers the community through participation so
that their access to and control over genetic resources are secured (Rechlin et al., 2008).
Sthapit et al., (2008) described CBM method entails several steps and type of interventions.
Firstly, sites and communities are selected with high level of unique inter or intra-specific
diversity, followed by full understanding of the local context to determine if on-farm
conservation is appropriate and feasible. The next steps are: raising awareness, set-up
institutional modalities, strengthen capacities and skills, development and implementation of
action plans for utilization and conservation, mobilize CBM funds, and facilitating social
learning in which local stakeholders lead and drive the CBM process (Sthapit et al.,2008).
On-farm conservation activities and interventions include the organization of
diversity fairs, the documentation and description of local species and varieties in a
catalogue or register, establishment of nurseries for multiplication and distribution of
unique plant or seed material, the promotion of nutritional values and traditional recipes,
the development of enterprises and market linkages for the sales of products or services
based on local unique crop diversity and the protection/conservation of most important
source trees or seed material (Arsanti, 2013). Thus, CBM approaches can be classified as a
new concept of modern agriculture system since the community participations have been
placed as an important part and the project also osculate the upstream and downstream
aspects of conservation, so that the community can generate the economic welfare.
METHODOLOGY
As an impact assessment, this studies were focused on the benefit of the diversity
project’s activities in enhancing the number of tropical fruit tree diversity, ecosystem
sustainability, and community income. The methodology used in this study are survey and
literature review. The study had been held in 2014 at two sub district in South Kalimantan
(Telaga Langsat for mango, Cerbon for Citrus) and two sub district in East Java Province
(Tiron for mango and Bibis for Citrus). The locations were selected out have been part of the
UNEP/GEF funded project namely “Sustainable use of wild and cultivated tropical fruit tree
diversity, improving livelihoods, ecosystem services and food security”. The project used the
CBM approach to strengthen local on-farm conservation practices for mango and Citrus
species and varieties in selected villages. Data was collected by enumerators using pen and
paper questionnaire including multiple choice questions and few open questions regarding
their participation of project interventions. Respondents were selected by purposive random
sampling, selecting 383 people from six locations. Interviews were conducted at the end of
the UNEP/GEF project for on-farm conservation after completion of all field activities. The
variables used in this study are community participation in the conservation of tropical fruit
trees, the number of tropical fruit tree ownership, and income of community related to their
conservation activities.
Characteristic of Respondents
The study shows that the average age of respondents was 48.5 years old. It reflected
that most of farmers respondents are in productive age. They actively worked in their farm
to cultivate paddy, vegetable, fruit, and also raised cattle. They also still involved in the
farmers group activities. By interacting with the other farmers they benefitted from the
information related to their mango and Citrus farming.
The 62% respondents are male and 38% are women. It showed that the project has
prioritized the involvement of woman farmers in the project. Gender is an important issue
and involving woman farmers in conservation programs is necessary as they have significant
knowledge on conservation issues and hence should have the same right as men to be
553
involved in any decision making process regarding on-farm conservation activities
(Kurniasih, 2007). The woman farmers were also actively involved in the farmer group
activities, conservation activities and the training workshops provided by government
agencies or Non-Government Organizations (NGOs). Woman also got involved through a
woman farmer group that established a business unit for the processing of mango and Citrus
fruits.
Most of the respondents did not have high level education such as pursuing a
bachelor or master’s degree. About 62% of the respondents were formally educated (under 9
years), meaning they just finished a primary or secondary school. Others respondents or
38% are well educated as they finished a high school or bachelor degree. Education
strengthens capacities and gives knowledge and ideas to the participants to access more
information and technologies that are useful to improve their farming system.
Community Participation
This study conducted in the final phase of a community-based on-farm conservation
project showed that farmers’ participation in project activities had a major positive effect on
their perceptions about on-farm conservation, and thus increased the likelihood that
practices are adopted and continued within their farming system. In the diversity fair activity
the study showed that 27% respondents attended the diversity fair, 14% respondents
stated that they actively participated in the diversity fair as a guide and promoted the CBM
activities to the visitors. They visitors stated that diversity fair is new method of
dissemination since they can get a lot of information about the richness of genetic
resources and CBM activities.
In this study, 40% of farmers indicated that they participated actively in community
nursery. They produce the mango and Citrus planting materials in community nursery that
were established by the project. Unfortunately, community nurseries have not been able to
fulfill the planting materials demand because of its limitation of rootstocks. This issue should
be taken by the government and it should develop faculties so that the access to seedlings of
species/varieties by farmers is improved. This may be done through establishing nurseries
by formal sector or by promoting community nurseries.
The result also showed that 15% respondents stated that they involve to build the
diversity block. They conserved the wild relatives of mango and Citrus trees in some place
and they use it to serve the material planting in grafting activities. To increase the farmers
capabilities in nursery, the project also give assistant for the farmers in grafting or seedling
technologies.
The existing conservation activities that are part of the CBM approach, such as
biodiversity block or garden, community biodiversity register or fruit catalogue, community
nursery, diversity fair, processing product of mango and Citrus, and marketing training, are
effective to encourage farmers’ participation and perception on conservation of mango and
Citrus. Therefore, these activities should be continued to get increased participation not only
in the project location but also in the other places in Indonesia.
554
Table 1. Distribution of Mango Tree Diversity in Tiron Before and After The Project
Before After
No Varieties Number of Number of Number of Number of
% %
farmers Trees farmers Trees
Podang
1 52 1233 55 5,77 1270 3,0
Urang
Podang
2 6 42 7 16,67 104 147,6
Lumut
3 Golek 18 47 19 5,56 50 6,4
4 Gadung 29 291 30 3,45 302 3,8
5 Jaran 2 2 3 50,00 10 400,0
6 Madu 15 28 16 6,67 56 100,0
Santok
7 7 8 8 14,29 30 275,0
Buto
8 Kopyor 13 20 15 15,38 45 125,0
9 Manalagi 6 15 10 66,67 17 13,3
400,0
10 Dodonilo 1 1 5 6 500,0
0
150,0
11 Arumanis 4 17 10 55 223,5
0
Total 153 1704 178 16,34 1945 14,1
In Bibis Magetan at the beginning of the project has been identified 6 different
species (C. grandis, C. sinensis, C. hystrix, C. reticulata, C. aurantifolia, C. limon), 3 varieties of C.
reticulata, and 9 varieties of C. grandis are known within the community. Almost all
indigenous varieties of C. grandis such as Adas, Adas Duku, Nambangan, Sri Nyonya, Pamelo
Magetan, Jeruk Gulung, and Jeruk Jowo, are commercial varieties.
After the project, the study identified that the number of Citrus trees in Bibis had
increase by 15,79% that shows at Table 2.
555
Table 2. Distribution of Citrus Tree Diversity in Bibis Before and After The Project
Before After
No Varieties Number Number
Number of Number
of of % %
Trees of Trees
farmers farmers
1 Adas Duku 51 2891 53 7,84 2892 21,07
2 Nambangan 36 2827 37 94,44 2828 1,80
3 Sri Nyonya 51 476 53 13,73 480 34,24
4 Bali Merah 28 452 29 3,57 453 34,96
Pamelo
5 9 150 9 0,00 18,67
Magetan 150
6 Sunkis 6 20 6 0,00 22 75,00
7 Jeruk nipis 2 2 3 50,00 3 200,00
Keprok
8 10 72 13 30,00 43,06
Manis 73
9 Jeruk Gulung 1 3 4 100,00 4 233,33
10 Jeruk Jowo 17 172 19 11,76 175 15,12
11 Jeruk Pecel 1 14 2 0,00 15 128,57
12 Jeruk Purut 1 2 1 0,00 2 400,00
Total 213 7081 229 24,88 7097 15,79
556
Table 3. Distribution of Mango Tree Diversity in Telaga Langsat Before and After The Project
Before After
No Varieties Number
Number Number of Number of
of % %
of Trees farmers Trees
farmers
1 Kasturi 8 12 13 62,50 13 8,33
Mangga
2 2 3 150,00 33,33
gadung 5 4
3 Binjai 2 4 2 0,00 4 0,00
4 Hambawang 4 6 5 25,00 7 16,67
5 Hampalam 10 14 11 10,00 15 7,14
6 Kuini 2 3 3 50,00 3 0,00
7 Mangga Golek 6 7 8 33,33 8 14,29
8 Mangga Apel 2 3 3 50,00 6 100,00
9 Mangga Madu 1 1 1 0,00 2 100,00
Total 37 53 51 37,84 62 16,98
In Cerbon site, the number of citrus tree conserved by the community is also raising
about 13,56%. At the beginning of the project, there were 47 varieties are maintained per
household and in total 7 different species; 2 varieties of C. reticulata; 3 varieties of C.
sinensis; and 2 varieties of C. grandis are known within the community. Commercial
Indigenous varieties such as Limau Sambal, Limau Bali, Limau Purut, and Limau Nipis. The
number of farmers and Citrus tree enhancement after the project intervention in Cerbon site
can be seen in Table 4.
557
Table 4. Distribution of Citrus Tree Diversity in Cerbon Before and After The Project
Before After
No Varieties Number
Number of Number of Number
of % %
Trees farmers of Trees
farmers
Podang
1 52 1233 55 5,77 11,76
Urang 1378
Podang
2 6 42 8 33,33 16,67
Lumut 49
3 Golek 18 47 23 27,78 52 10,64
4 Gadung 29 291 32 10,34 312 7,22
5 Jaran 2 2 3 50,00 5 150,00
6 Madu 15 28 18 20,00 35 25,00
7 Santok Buto 7 8 11 57,14 9 12,50
8 Kopyor 13 20 23 76,92 38 90,00
9 Manalagi 6 15 11 83,33 17 13,33
10 Dodonilo 1 1 1 0,00 8 700,00
11 Arumanis 4 17 5 25,00 32 88,24
Total 153 1704 190 24,18 1935 13,56
In average, the number of fruit trees in 4 project sites was raising about 15% after 6 years
CBM intervention. This study identified that this condition was caused by : (1) the project
gave sapling and training for the community; (2) farmers’ knowledge were raising since the
interventions; (3) community nurseries were developed properly, so that the farmers’ can
access the seed easily; and (4) the added value of fruit trees product was increasing since the
farmers got several training on processing fruit.
Community Income
Based on the analysis of the base line data, it was observed that mango contributes
just 1,3% in South Kalimantan, and 13.9 percent in Tiron, Kediri, East Java. After the
intervention of the project, the house hold income were raising about 10% in Telaga Langsat
and 20,6% in Tiron (Table 5).
Table 5. House Hold Income and Contribution of Mango Before and After the Project
Before After
Telaga Telaga Langsat,
Particulars Tiron, EJ Tiron, EJ
Langsat, SK SK
HH Net income (Rp) 11.122.870 10.757.192 14.459.731 12.908.630
Contribution/Share of
1.549.978 (13,9) 144.175 (1,3) 2.991.946 (20,6) 1.075.719 (10)
Mango (Rp/%)
Meanwhile for Citrus, the study identified that based on baseline survey, the intervention
also raised the community income. In Bibis site the house hold income were raising about
558
15% and in Cerbon site the project can lead the community to raise the income from Citrus
until
Table 5. House Hold Income and Contribution of Citrus Before and After the Project
Before After
Particulars
Bibis, EJ Cerbon, SK Bibis, EJ Cerbon, SK
The raising of community income was led by the processing was led by several factor such
i.e. : (1) The ownership of fruit trees were raising and the community can generate more
money by selling the fresh fruit; (2) The development of processing product by woman
farmers group, so they can earn more income by adding the value of the fruit; (3) the
community nurseries were develop properly, so the community can generate the income by
selling the planting material.
Conclusion
The community biodiversity management approach and its activities, as used in the
project, seems an appropriate approach to influence farmers’ perceptions related to
conservation activities, especially when incentives and needs of farmers are recognized and
addressed. Creating access to planting material of unique fruit species and varieties, the
provision of additional agronomic and technical support and the creation of benefits through
income generation seem all important aspects for a community-based biodiversity
management approach.
With efficient and effective government assistance, farming communities in high
diversity areas may be able to position themselves as agent of change to ensure the
sustainable utilization and conservation of fruit tree diversity. Maintaining the diversity is a
must since the genetic resources of tropical fruit tree are comparative advantages for
Indonesia to win the global economic competition especially to face the AEC.
Some outcome that emerge from this study that can be implemented by
stakeholders are:
1. The importance of identifying and working through custodian households within the
community as entry point for interventions and agents of change to document and
spread knowledge, practices and saplings across the community.
2. The importance of having a long timeframe of 5-8 years of on-farm conservation
projects to understand the context, identify key stakeholders, plan interventions to be
able to influence and change perceptions and behaviors regarding the utilization and
safeguarding of local fruit tree species.
3. The existing conservation activities that are part of the CBM approach, such as
biodiversity block or garden, community biodiversity register or fruit catalogue,
community nursery, diversity fair, processing product of mango and Citrus, and
marketing training, are effective to encourage farmers’ participation and perception on
conservation of mango and Citrus. Therefore, these activities should be continued to get
increased participation not only in the project location but also in the other places in
Indonesia.
559
References
Arsanti IW and Dian Kurniasih (2013). Putting theories into practices: community based
biodiversity management on podangurang (Mangifera indica) in Kediri, East Java. Proc.
of Int. Con. on Trop. Hor., 2-4 October 2013,ICHORD, Jakarta, Indonesia.
ASEAN Secretariat. 2008. ASEAN Economic Community Blue Print 2015. The ASEAN
Secretariat. Jakarta
Indonesian Ministry of Agriculture (2010). Indonesian Ministry of Agriculture Strategic Plan.
Jakarta, Indonesia.
Indonesian Statistic Agency (2014). Trends of Selected Socio Economic Indicators of Indonesia.
Jakarta, Indonesia.
Isager, L, I Theilade, L and Thomson (2001). People's participation in forest conservation:
considerations and case studies. Proc. of the Southeast Asian Moving Workshop on
Conservation, Management and Utilization of Forest Genetic Resources, 25 February-10
March 2001, FAO.
Hanani, N, R Hartono and LPA Ratnadi (2009) Competitiveness analysis of Indonesian fruits
export level. Jurnal AgrisE, 9: 1-8.
Kurniasih, D (2007) Pengaruh daya dukung lahan dan faktor sosial ekonomi terhadap
perilaku petani dalam konservasi lahan sawah di Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Agro
Ekonomi, 14(1): 35-48
Rechlin, MA, D Taylor, J Lichatowich, P Hoon, and B Leon (2008). Community-Based
Conservation. is it More Effective, Efficient, and Sustainable?, The Gordon and Betty
Moore Foundation.
Sthapit BR, PK Shrestha, A Subedi, P Shrestha, MP Upadhyay and P Eyzaguirre (2008)
Mobilizing and empowering communities in biodiversity management. Thijsen M H, Z
Bishaw, A Beshir and WS de Boef (Eds.). Farmers, seeds and varieties: Supporting
informal seed system in Ethiopia. Wageningen, Wageningen International.
Uji, T (2007) Review: The diversity of Indonesian indigenous fruits and its potency. Journal
Biodiversity, 8: 157-167.
Winarno, BA Kuntoro, and R Achmad (2013) Baseline Report: UNEP-GEF Project on
“Conservation and Sustainable Use of Cultivated and Wild Tropical Fruit Diversity:
Promoting Sustainable Livelihoods, Food Security and Ecosystem Services. Jakarta,
Indonesia, (Unpublished).
560
INOVASI TEKNOLOGI LAHAN RAWA PASANG SURUT
MENDUKUNG KEDAULATAN PANGAN NASIONAL
(TECHNOLOGICAL INNOVATION TIDAL SWAMP LAND TO
SUPPORT NATIONAL FOOD SOVEREIGNTY)
ABSTRAK
Potensi lahan rawa pasang surut sangat besar, tersebar di Sumatera, Kalimantan,
Papua, dan Sulawesi. Sebagian lahan tersebut sudah dibuka dan diusahakan. Namun perlu
didukung oleh inovasi teknologi karena umumnya lahan rawa pasang surut memiliki
beberapa kendala meliputi aspek teknis, infrastruktur, dan aspek sosial ekonomi serta
kelembagaan. Dengan adanya sentuhan teknologi, lahan rawa pasang surut berpeluang besar
untuk meningkatkan produksi padi di lahan rawa pasang surut sehingga berkontribusi
signifikan terhadap produksi padi nasional, bahkan dapat dijadikan sebagai lumbung pangan
nasional. Beberapa inovasi teknologi budidaya padi di lahan rawa pasang surut yang terkait
dengan tanah dan air antara lain: penyiapan lahan, penataan lahan, pengelolaan air,
pengelolaan hara dan pupuk. Apabila dilakukan optimalisasi lahan rawa pasang surut
dengan dukungan inovasi teknologi pengelolaan dan budidaya yang baik, peningkatan
intensitas pertanaman (IP 200), maka dapat diperoleh tambahan produksi sebesar 3,5 juta
ton gabah per tahun. Pencapaian optimalisasi di atas dapat dilakukan secara bertahap,
penerapan asas prioritas, berkesinambungan, sistematis, dan fokus.
PENDAHULUAN
Lahan rawa pasang surut mempunyai peran dan kedudukan penting sebagai
penopang kehidupan jutaan masyarakat baik di kota maupun pedalaman. Lahan rawa
pasang surut mempunyai potensi sangat besar dengan luas sekitar 20,14 juta hektar,
diantaranya yang sesuai untuk pertanian 9,53 juta ha. Lahan rawa pasang surut yang telah
dibuka atau direklamasi oleh pemerintah baru sekitar 2,27 juta ha dan belum direklamasi
sekitar 7,26 juta ha. Sementara lahan rawa pasang surut yang telah dimanfaatkan untuk
pertanian secara umum diperkirakan baru sekitar 1,43 juta ha atau 53% dari luas yang telah
dibuka oleh pemerintah. Selain itu, terdapat lahan rawa pasang surut yang dibuka secara
swadaya oleh masyarakat setempat sekitar 3,0 juta ha (Haryono et al., 2013). Data lain
menunjukkan luas lahan rawa pasang surut yang tersebar di 30 provinsi sekitar 11,03 juta
ha, diantaranya 9,32 juta ha berpotensi atau sesuai untuk pertanian (Mulyani dan Sarwani,
2013).
Dalam rangka meningkatkan produksi pangan nasional seiring dengan meningkatnya
kebutuhan pangan masyarakat dan mengimbangi alih fungsi lahan yang masih tinggi, maka
upaya intensifikasi dan ekstensifikasi areal pertanian ke lahan yang tersedia seperti lahan
rawa pasang surut merupakan pilihan yang logis dan beralasan. Hasil analisis potensi
561
produksi dari lahan rawa pasang surut, apabila dilakukan optimalisasi (peningkatan
produktivitas, perluasan areal tanam, dan peningkatan intensitas tanam) dari 2,27 juta ha
yang tersebar di sepuluh provinsi (Jambi, Riau, Sumsel, Lampung, Kalsel, Kalteng, Kaltim,
Kalbar, Sulbar dan Sulteng) dapat diperoleh tambahan produksi sekitar 2,70 juta t
GKG/tahun (BBSDLP, 2011; Haryono, 2013). Namun demikian, sumbangan produksi padi
dari lahan rawa pasang surut pada saat ini masih tergolong rendah diperkirakan antara 600-
700 ribu ton gabah/ tahun atau sekitar 1,5% dari produksi nasional 62,56 juta ton gabah
dengan produktivitas antara 3,0-5,0 t GKG/ha atau rata-rata 4,5 t GKG/ha. Rendahnya
produktivitas yang dicapai di atas karena budidaya padi di lahan rawa menghadapi berbagai
masalah baik agro fisik lahan dan lingkungan, sosial ekonomi, budaya dan adat istiadat
budaya setempat (BBSDLP, 2011).
Makalah ini mengemukakan prospek pengembangan lahan rawa pasang surut untuk
mendukung kedaulatan pangan nasional dan beberapa inovasi teknologi budidaya padi di
lahan rawa pasang surut yang terkait dengan tanah dan air antara lain: penyiapan lahan,
penataan lahan, pengelolaan air, pengelolaan hara dan pupuk.
Penataan Lahan
Penataan lahan dapat diartikan suatu kegiatan mempersiapkan lahan yang dilakukan
bertujuan untuk menciptakan suatu kondisi atau membuat lahan sedemikian rupa sehingga
lahan tersebut memenuhi syarat sebagai media tumbuh bagi tanaman yang akan
dikembangkan (Nazemi et al., 2012).
Di lahan rawa pasang surut, ada tiga model sistem penataan lahan yang
dikembangkan, yaitu: (1) penataan lahan sistem sawah, (2) penataan lahan sistem tukungan
dan (3) penataan lahan sistem surjan.
Penataan lahan sistem sawah
Penataan lahan sistem sawah umumnya dikembangkan pada lahan rawa pasang surut
dengan tipe luapan air A. Penataan lahan dilakukan dengan cara membuat saluran kecil
untuk mengalirkan air dari sungai besar ke lahan usaha tani hingga sejauh 2-3 km dari
pinggir sungai, yang disebut “handil”. Saluran-saluran tersebut dimaksudkan untuk
mempercepat pembuangan kelebihan air yang masam dan memasukkan kembali air segar ke
lahan pertanaman.
562
terbentuk surjan. Wilayah bagian lahan yang ditinggikan disebut tembokan (raise bed),
sedangkan wilayah yang digali disebut tabukan (sunken beds). Lahan bagian bawah
(tabukan) ditanami padi, sedangkan lahan bagian atas (tembokan) dtanami tanaman
palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar), hortikultura,
dan juga perkebunan (Ismail et al., 1993).
Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan merupakan kegiatan yang paling awal dilakukan pada budidaya padi,
yang bertujuan untuk membersihkan semak belukar, termasuk gulma atau sisa-sisa tanaman
sebelum dilakukan pengolahan tanah. Oleh karena itu, penyiapan lahan dapat diartikan
suatu kegiatan untuk mempersiapkan lahan dan atau mengolah tanah agar tercipta kondisi
lahan yang baik bagi pertumbuhan tanaman padi. Sedangkan pengolahan tanah bertujuan
untuk melumpurkan tanah sawah supaya pembagian hara menjadi lebih merata, kecepatan
kehilangan air dapat dihambat sehingga perkembangan akar dan penyerapan hara oleh
tanaman dapat berlangsung secara optimal. Selain itu, penyiapan lahan juga bertujuan untuk
menekan pertumbuhan gulma sehingga dapat mengurangi persaingan tanaman dalam hal
penyerapan hara (Ar-Riza dan Saragih, 2004).
Di lahan sawah pasang surut, penyiapan lahan dan atau pengolahan tanah tidak bisa
dilakukan seperti sistem penyiapan lahan di lahan sawah irigasi. Hal ini dikarenakan
karakteristik lahan rawa pasang surut yang sangat spesifik yakni terdapatnya lapisan pirit di
dalam tanah. Oleh karena itu penyiapan lahan memerlukan cara yang spesifik dan hati-hati
agar tidak memberikan pengaruh buruk akibat oksidasi pirit tapi memberikan pengaruh
baik bagi pertumbuhan tanaman padi
Pirit tidak berbahaya apabila lahan tetap tergenang (submerged), akan tetapi apabila
pirit terekspose ke permukaan tanah dan teroksidasi akan memasamkan serta menghasilkan
senyawa racun bagi tanaman padi. Untuk menghindari pengaruh buruk dari pirit, maka
sistem penyiapan lahan dan atau cara pengolahan tanah setidak-tidaknya mengacu kepada
prinsip konservasi sumberdaya lahan, antara lain: (1) dapat mengambalikan bahan organik,
(2) pengolahan tanah tidak dalam, dan (3) lahan dalam kondisi berair.
Pengelolaan Air
Pengelolaan air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan
pertanian di lahan pasang surut dalam kaitannya dengan optimalisasi pendayagunaan dan
pelestarian sumberdaya lahannya (Widjaja Adhi dan Alihamsyah, 1998). Pengaturan tata air
ini bukan hanya untuk mengurangi atau menambah ketersediaan air permukaan, melainkan
juga untuk mengurangi kemasaman tanah, mencegah pemasaman tanah akibat
teroksidasinya lapisan
pirit, mencegah bahaya salinitas, bahaya banjir, dan mencuci zat beracun yang terakumulasi
di zona perakaran tanaman (Suryadi et al., 2010). Strategi pengendalian muka air ditujukan
kepada aspek upaya penahanan muka air tanah agar selalu di atas lapisan pirit dan
pencucian lahan melalui sistem drainase terkendali. Kondisi muka air yang diinginkan sangat
tergantung kepada jenis tanaman,jenis tanah, dan kondisi hidrologis wilayah setempat
(Imanudin dan Susanto, 2008).
Sistem tata air yang teruji baik di lahan pasang surut adalah sistem aliran satu arah
menggunakan flap-gate untuk lahan bertipe luapan air A dan sistem tabat menggunakan
stop-log untuk lahan bertipe luapan C dan D karena sumber airnya hanya berasal dari air
hujan serta kombinasi sistem aliran satu arah dan tabat untuk lahan bertipe luapan B
(Sarwani, 2001).Pada tipe luapan B yang tidak terluapi air pasang pada musim kemarau
diperlukan kombinasi antara sistem tata air satu arah dengan tabat konservasi (SISTAK),
sedangkan pada tipe luapan B yang terluapi air pasang di musim kemarau cukup diterapkan
tata air satu arah.
Sistem tata air yang memadukan antara sistem aliran satu arah dan sistem tabat
konservasi (SISTAK) memberikan peluang dalam meningkatkan hasil dan perbaikan sifat-
sifat tanah. Dalam sistem SISTAK, tabat lebih difungsikan pada musim kemarau untuk
konservasi air sehingga kebutuhan air pada musim kamarau terpenuhi. Penggalian
pembuatan saluran perlu diperhatian kedalaman lapisan pirit sehingga tinggi permukaan air
563
yang berada dalam saluran yang berada pada sisi kanan kiri tidak lebih rendah dari lapisan
pirit sehingga pirit mudah teroksidasi.
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) sebagai salah satu institusi penelitian
di bawah Badan Litbang Pertanian telah berhasil membuat formulasi pupuk hayati Biotara
yang adaptif dengan lahan rawa pasang surut dan mampu meningkatkan produktivitas
tanaman. Komposisinya terdiri dari konsorsia mikroba dekomposer (Trichoderma sp),
pelarut-P (Bacillus sp), dan penambat N (Azospirillium sp). Pupuk hayati ini dapat mengikat
N, meningkatkan ketersediaan hara P tanah, mempercepat perombakan sisa-sisa organik,
dan memacu pertumbuhan. Formula pupuk hayati Biotara tersebut telah teruji mampu
meningkatkan efisiensi pemupukan N dan P dan meningkatkan hasil padi. Pemberian pupuk
hayati Biotara sebesar 25 kg/ha dengan pupuk NPK Pelangi 400 kg/ha serta pemanfaatan
bahan organik in situ dapat meningkatkan hasil sebesar 35% (varietas Margasari) dan 48%
(varietas Inpara 1) dibandingkan cara petani (Mukhlis, 2011).
PENUTUP
Dengan dukungan inovasi teknologi pengelolaan dan budidaya yang baik maka
optimalisasi lahan rawa pasang surut dapat dilakukan dan intensitas pertanaman dapat
564
ditingkatkan (IP 200), sehingga diperoleh tambahan produksi sebesar 3,5 juta ton gabah per
tahun. Pencapaian optimalisasi ini dapat dilakukan secara bertahap, penerapan asas
prioritas, berkesinambungan, sistematis, dan fokus.
DAFTAR PUSTAKA
BBSDLP. 2011. State of the Art & Grand Design Pengembangan Lahan Rawa. 44 hlm. Bogor:
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor
Dierolf, T., T. Fairhurst, and E. Mutert. 2000. Soil fertility kit: A toolkit for acid, upland soil
fertility management in Southeast Asia. Handbook Series. 149 p.
Haryono, 2013. Lahan Rawa: Lumbung Pangan Masa Depan Indonesia. Cetakan ke 2. IAARD.
Jakarta.142 Hlm.
Haryono, M. Noor, M. Sarwani, dan H. Syahbuddin. 2013. Lahan Rawa: Penelitian dan
Pengembangan. Cetakan ke 2. IAARD Press. Jakarta. 102 hlm.
Imanudin, MS. and R.H. Susanto. 2008. Perbaikan sarana infrastruktur jaringan tata air pada
berbagai tipologi Lahan rawa pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar
Nasional Rawa (Banjarmasin, 4 Agustus 2008) Tema: Teknik Pengembangan Sumber
Daya Rawa. ISBN: 979985718-7.
Ismail, I.G., I.G.M. Subiksa., dan I.P.G Widjaya-Addi. 1997. Perkembangan dan hasil penelitian
pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk produksi pertanian. Hlm 101-114. Dalam
Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI Peragi. Perhimpunan Agronomi
Indonesia, Jakarta.
Ismail, I.G., T. Alihamsyah, IPG Widjaja Adhi, Suwarno, T. Herawati, R. Thahir, dan DE,
Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa: Kontribusi dan Prospek
Pengembangan. Proyek Swamps II. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Mukhlis.2011. Uji Keefektivan Pupuk Hayati Biotara Terhadap Tanaman Padi di Lahan Rawa
Sulfat Masam. Laporan Hasil Penelitian. Kerjasama Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa dengan PT. Pupuk Kaltim. Banjarbaru.
Mulyani, A. dan M.Sarwani. 2013. Karakteristik dan potensi lahan sub optimal untuk
pengembangan pertanian di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 7 (1): 47-55.
Nazemi, D., A. Hairani., dan Nurita. 2012. Prospek pengembangan penataan lahan sistem
surjan di lahan rawa pasang surut. Agovigor. Jurnal Agroteknologi. Vol. 5 No. 2.
Ramli, R., I. Ar-Riza., dan R. S. Simatupang. 1992. Teknologi sistem usahatani lahan sulfat
masam di Kalimantan Selatan. Dalam Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan
Pasang surut dan Lebak. Risalah Pert. Nas. Pengemb. Pertanian Lahan Rawa Pasang
Surut dan Lebak, Puslitbangtan, Badan Litbang, Deptan, Cisarua.
Sarwani, M. 2002. Penegelolaan air di Lahan Pasang Surut. Dalam Ar-Riza, M. Sarwani dan T.
Alihamsyah (eds). Monograf pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Balai
Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru.
Suryadi, FX., PHJ. Hollanders, and RH. Susanto. 2010. Mathematical modeling on the
operation of water control structures in a secondary block case study: Delta Saleh,
South Sumatra. Hosted by the Canadian Society for Bioengineering
(CSBE/SCGAB).Québec City, Canada June 13-17, 2010.
565
Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut ; Potensi,
Prospek, dan Kendala Serta Teknologi Pengelolaannya untuk Pertanian. Prosiding
Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komda HITI, 16-17 Desember 1998.
Widjaya-Adhi, I.G.P., K. Nugroho., D. Ardi. S., dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa;
potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Dalam S. Partohardjono., dan M. Syam (Eds.)
Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Pasang Surut dan Lebak. Risalah Pertemuan
Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Puslitbang
Tanaman Pangan, Cisarua, Bogor.
566
PENGEMBANGAN KOMODITAS PERTANIAN
YANG BERDAYA SAING
BERBASIS ZONA AGROEKOLOGI
DALAM MENDUKUNG MEA
DI KALIMANTAN BARAT
ABSTRAK
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan integrasi ekonomi dalam wilayah
kesatuan pasar dan basis produksi dengan tingkat kompetisi tinggi yang akan membuat arus
barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah besar. Kalimantan Barat berbatasan langsung
dengan Negara Malaysia dan Brunei Darussalam, menjadi kesempatan yang baik karena
hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut
akan berdampak pada peningkatn ekspor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP
Indonesia. Data dan informasi sumberdaya tanah/lahan mempunyai peranan penting di
sektor pertanian dalam mendukung keberhasilan MEA di Kalimantan Barat. Kalimantan
Barat mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan
yang berdaya saing. Disamping fasilitas infrastruktur, informasi detail potensi sumberdaya
lahan, baik komoditas pertanian unggulan maupun sentra-sentra pengembangan komoditas
pertanian, sangat diperlukan dalam rangka mempercepat laju pembangunan wilayah dalam
menghadapi MEA. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memanfaatkan data dan
informasi sumberdaya lahan yang berbasis Zona Agro Ekologi (ZAE). Hasil analisis
sumberdaya lahan dan analisis sosial ekonomi dituangkan kedalam peta ZAE yang
menginformasikan jenis komoditas unggulan yang berdaya saing. Data sumberdaya lahan
berbasis ZAE mampu memberikan informasi spasial tentang tingkat kesesuaian lahan,
distribusi, luasan, potensi, dan kendala fisik penggunaan lahan untuk pertanian unggulan,
serta alternatif teknologi pengelolaan lahan spesifik lokasi. Komoditas unggulan seperti lidah
buaya, jeruk, lada, kelapa sawit dan lain-lain dengan produk derivatnya mempunyai daya
saing yang tinggi. Data sumberdaya lahan berbasis ZAE dapat mendukung terbentuknya
kawasan pertanian terpadu dalam menghadapi MEA sebagai kawasan ekonomi dengan
tingkat kompetisi yang tinggi.
Kata Kunci : MEA, kempetisi tinggi, sumberdaya lahan, ZAE, komoditas unggulan, daya saing.
PENDAHULUAN
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan integrasi ekonomi dalam wilayah
kesatuan pasar dan basis produksi dengan tingkat kompetisi tinggi yang akan membuat arus
barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah besar. Pemberlakuan pasar bebas MEA, negara
ASEAN yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang tinggi akan lebih banyak
menikmati manfaat pasar tunggal ASEAN tersebut. Oleh karena itu untuk menyikapi hal
tersebut Indonesia perlu mangambil langkah strategis untuk melindungi produsen dalam
567
negeri, pemerintah perlu mengambil langkah terobosan untuk memperkuat kemampuan
inovasi dalam negeri diantaranya dengan menentukan komoditas dan produk pertanian
yang memiliki keunggulan dan berdaya saing. Daya saing komoditas pertanian juga
ditentukan oleh daya saing daerah yang mendukung komoditas pertanian unggulan tertentu.
Kalimantan Barat yang memiliki wilayah berbatasan langsung dengan negara Malaysia dan
Brunei Darussalam mempunyai daya saing daerah yang relatif tinggi, hal ini menjadi
kesempatan yang baik karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan
menjadi tidak ada yang akan berdampak pada peningkatan ekspor.
Posisi daya saing produk produk pertanian Indonesia diantara Negara ASEAN
apabila diukur dengan indeks daya saing yang disepakati bersama menunjukkan 81 produk
pertanian yang mempunyai daya saing. Komoditas yang mempunyai daya saing tinggi antara
lain adalah minyak inti sawit, minyak sawit, bungkil inti sawit dan karet alam kering
(Balitbangtan, 2014). Provinsi Kalimatan Barat, mempunyai beberapa komoditas berdaya
saing tinggi dan potensi ekspor hasil pertanian yang cukup besar seperti komoditas kelapa
sawit, lada, jeruk, lidah buaya (Aloe Vera) dan beberapa komoditas lainnya. Oleh karena itu
diperlukan informasi detail potensi sumberdaya lahan, baik komoditas pertanian unggulan
maupun sentra-sentra pengembangan komoditas pertanian, sangat diperlukan dalam rangka
mempercepat laju pembangunan wilayah dalam menghadapi MEA. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperoleh data/informasi sumberdaya lahan tersebut adalah dengan
mengetahui konoditas unggulan yang memiliki daya saing tinggi dengan memanfaatkan
informasi Zona Agro Ekologi (ZAE).
Zona Agro Ekologi adalah merupakan pengelompokan atau zonasi yang didasarkan
atas keseragaman kondisi biofisik pada suatu wilayah. Setiap wilayah dapat digolongkan
dalam zone agro-ekosistem tertentu berdasarkan kesamaan atau kemiripan faktor-faktor
alam (iklim, terain dan tanah) dan kegiatan pertanian yang dilakukan pada wilayah tersebut.
Hasil analisis sumberdaya lahan yang ditunjang dengan analisis sosial ekonomi dapat
dituangkan kedalam peta pewilayahan komoditas pertanian yang menginformasikan jenis
komoditas unggulan suatu wilayah yang sesuai dengan daya dukung lahannya, secara spasial
(Siswanto, et al.,. 2002).
Hasil analisis sumberdaya lahan dan analisis sosial ekonomi dituangkan kedalam
peta ZAE yang menginformasikan jenis komoditas unggulan yang berdaya saing. Data
sumberdaya lahan berbasis ZAE mampu memberikan informasi spasial tentang tingkat
kesesuaian lahan, distribusi, luasan, potensi, dan kendala fisik penggunaan lahan untuk
pertanian unggulan, serta alternatif teknologi pengelolaan lahan spesifik lokasi. Komoditas
unggulan seperti lidah buaya, jeruk, lada, kelapa sawit, karet dan lain-lain dengan produk
derivatnyadi Kalimantan Barat mempunyai daya saing yang tinggi. Data sumberdaya lahan
berbasis ZAE dapat mendukung terbentuknya kawasan pertanian terpadu dalam
menghadapi MEA sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi.
Seperti yang dilaporkan Erwidodo (2014) bahwa perkebunan kelapa sawit dan
karet yang terkonsentrasi di Sumatera dan Kalimantan, telah menempatkan wilayah-wilayah
tersebut pada posisi daya saing daerah yang tinggi. Kondisi demikian terjadi pula pada
komoditas pangan dan hortikultura. Demikian pula dengan Komoditas peternakan yang
semula banyak di hasilkan di wilayah timur sekarang sudah mulai bergeser ke arah barat.
Oleh karena itu, memperkuat daya saing komoditas tertentu yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan lebih lanjut dilakukan dengan memperbaiki daya saing daerah, mencakup
infrastruktur, kelembagaan pemerintahan, keuangan dan kualitas sumber daya manusia.
Mengingat daya saing komoditas pertanian sangat ditentukan oleh daya saing daerah yang
mendukung komoditas pertanian unggulan tertentu maka ada beberapa karakteristik daya
saing daerah yang perlu diperhatikan adalah peningkatan efisiensi budidaya, pemasaran,
dan adanya dukungan infrastruktur, serta pengembangan komoditas unggulan (modal,
kelembagaan), dan diversifikasi produk.
Data dan informasi sumberdaya tanah/lahan (soil/land resources) sebagai salah satu
komponen utama sumberdaya alam, mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menunjang keberhasilan program pembangunan suatu wilayah khususnya dalam
menghadapi MEA. Informasi dasar tentang sumberdaya tanah/lahan, terutama data spasial
yang menyajikan karakteristik tanah/lahan, potensi dan tingkat kesesuaian lahan, distribusi
dan luasannya sangat dibutuhkan dalam setiap perencanaan pembangunan, khususnya di
568
sektor pertanian. Dengan tersedianya data dasar sumberdaya tanah yang handal dan
mutakhir pada skala yang memadai, akan memudahkan dalam penyusunan Master Plan
pengembangan wilayah komoditas unggulan yang berdaya saing.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – Desember 2014 di beberapa
Kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan kegiatan survei lapang/lahan dan
analisis di laboratorium dengan melibatkan instansi terkait seperti Balai Besar Sumberdaya
Lahan Pertanian Bogor dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi
Kalimantan Barat.
Bahan dan alat yang digunakan antara lain :Seri Peta Rupa Bumi Indonesia skala
1:50.000 dari Badan Informasi Geospasial (2013). Peta Wilayah Administrasi Indonesia dari
Badan Pusat Statistik (2010). Peta sebaran lahan sawah Indonesia dari Kementerian
Pertanian (2012). Peta tanah tinjau skala 1:250.000 dari Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP 2007; 2010a; 2010b; 2011a; 2011b;
2011c; 2011d; 2012; 2013a; 2013c). SRTM DEM resolusi 30m x 30m (USGS (2004), Shuttle
Radar Topography Mission, 1 Arc Second scene Global Land Cover Facility, University of
Maryland, College Park, Maryland, February 2000), (Badan Litbang Pertanian. 2009). Peta
sumberdaya iklim skala 1:1.000.000 (Balitklimat, 2003). Serta peralatan survei tanah serta
bahan dan alat penolong lainnya.
Lingkup kegiatan diawali dengan penyusunan peta satuan lahan (land unit) skala
1:50.000 melalui pendekatan analisis terrain. Analisis terrain dilakukan dengan pendekatan
citra satelit (landsat) yang didukung oleh informasi peta rupabumi dan peta geologi untuk
mengetahui sebaran landform, relief, elevasi, dan jenis bahan induk tanah. Penarikan batas
poligon sebagai dasar untuk menyusun satuan peta lahan (land mapping unit). Peta satuan
lahan tersebut digunakan sebagai dasar untuk penelitian lapangan (Suharta dan Suratman.
2004).
Penelitian lapangan mencakup verifikasi lapangan, perbaikan delineasi satuan lahan
dilakukan berdasarkan hasil temuan di lapangan. Pengamatan tanah dilakukan pada setiap
satuan lahan representatif meliputi pengamatan sifat-sifat morfologi dan fisik tanah serta
sebarannya yang diperoleh dengan pembuatan minipit dan profil tanah pewakil. Untuk
mengetahui sifat fisik dan kimia tanah akan diambil contoh-contoh tanah dari lapisan
profil/minipit tanah pewakil setiap satuan tanah pada setiap satuan lahan untuk dianalisis di
laboratorium. Data tersebut digunakan untuk keperluan evaluasi lahan. Selain itu,
dikumpulkan pula data sekunder berupa data iklim dan data sosial ekonomi untuk
mendukung data sumberdaya lahan tersebut. Hasil pengamatan sifat-sifat tanah dan
keadaan fisik lingkungannya dicatat dalam formulir isian basisdata yang telah dibakukan.
Klasifikasi tanah ditetapkan menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2010). Evaluasi
lahan untuk berbagai komoditas pertanian diolah secara komputerisasi dengan program
SPKL (Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan) (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian,
2014).
Pengolahan data meliputi hasil analisis contoh tanah, entry data, dan interpretasi
data. Analisis contoh tanah meliputi penetapan sifat-sifat fisika dan kimia tanah, yang terdiri
atas penetapan tekstur 3 fraksi, pH tanah, kadar bahan organik, kadar P dan K, kadar kation
basa-basa (Ca, Mg, K dan Na), kapasitas tukar kation, kadar Al dapat ditukar (Soil Survey
Laboratory Staff (1991). Semua data hasil pengamatan lapangan dientry dalam basisdata.
Sedangkan peta satuan lahan setelah diperbaiki dan disempurnakan selanjutnya disimpan
dalam suatu sistem basisdata spasial sumberdaya lahan. Melalui pengelolaan basisdata
secara optimal, dan proses tumpang tepat dapat dihasilkan peta-peta tematik yang
dibutuhkan untuk perencanaan pembangunan daerah, antara lain peta kesesuaian lahan,
peta penggunaan lahan saat ini, peta pewilayahan komoditas pertanian yang diproses secara
komputerisasi.
569
EVALUASI LAHAN DAN ZONASI
PETA ZONASI
Gis Process OVERLAY
Penentuan simbol zonasi berdasarkan kelas lereng dan klasifikasi tanah. Terdapat
tujuh simbol zonasi yaitu pada Zona I sampai dengan III berdasarkan kelas lereng,
sedangkan untuk Zona IV sampai dengan VII berdasarkan kelas lereng dan klasifikasi tanah
(Tabel 1).
Hasil analisis sifat–sifat tanah baik dari lapangan maupun hasil dari analisis
laboratorium digunakan untuk menentukan kelas kesesuaian lahan untuk komoditas
pertanian. Analisis kelas kesesuaian lahan ditentukan dengan membandingkan persyaratan
penggunaan lahan (LUR) untuk tanaman dengan kualitas lahan (LQ) atau karakteristik lahan
(LC). Pada proses pembandingan hukum minimum dipakai untuk menentukan faktor
pembatas yang akan menentukan kelas atau subkelas kesesuaian lahan. Hasil klasifikasi
kesesuaian lahan kemudian didigitasi dengan teknik GIS untuk menghasilkan peta
kesesuaian lahan digital (digital map) (Bourogh, 1987; Albert dan Yeung. 2002).
Peta kesesuaian lahan yang dihasilkan berupa peta kesesuaian lahan aktual
(present) dan setelah dilakukan usaha perbaikan (improvement) terhadap peta kesesuaian
lahan aktual tesebut, maka diperoleh peta kesesuaian lahan potensial dengan menggunakan
perangkat lunak Sistem Penenilaian Kesesuaian Lahan (SPKL) Versi 1. (Gambar 2).
Penentuan komoditas unggulan berdasarkan kelas urutan ZAE pada urutan kelas kesesuaian
lahan dan bobot yang diberikan dikalikan hasil penilaian parameter ekonomi BCR/RCR dan
IRR.
570
Gambar 2. Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan (SPKL)
5,809,874 ha
(39,43%) Kawasan Budidaya
8,922,292 ha Pertanian
(60,57%) Kawasan Non Budidaya
Gambar 3. Luas Kawasan Budidaya dan Non Budidaya di Provinsi Kalimantan Barat
571
Kawasan budidaya pertanian menyebar di Zona II seluas 3.067.142 ha, Zona III
seluas 2.083.999 ha, dan Zona IV seluas 3.771.151 ha. Pada kawasan ini wilayah
pengembangan budidaya tanaman pangan dan hortikultura menyebar di subzone IIIax, IVaq,
IVax, dan IVbq. Subzona IIIax merupakan zona pengembangan budidaya tanaman pangan
dan hortikultura terluas di Kalbar, mencakup 14,15% dari total luas provinsi. Subzone ini
merupakan wilayah datar hingga berombak (0-8%) pada ketinggian 0-700 m di atas
permukaan laut (dpl), dengan drainase baik dan lembab. Arahan komoditas yang dapat
dikembangkan adalah: padi gogo, Jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, kacang
tunggak, ubijalar, ubi- kayu, tembakau, bawang merah, cabe rawit.
Selain subzona IVax, pengembangan budidaya tanaman pangan lahan kering dan
hortikultura lahan kering di dataran rendah yang cukup luas, juga dijumpai di subzone IIIax.
Subzona ini merupakan wilayah dengan ketinggian antara 0-700 m dpl pada kemiringan
lereng 8-15%, mencakup 15,55% dari total luas provinsi. Arahan komoditas yang dapat
dikembangkan di subzona ini adalah: blimbing, nangka, duku, durian, jambu, jeruk, manggis,
jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, kacang tunggak, ubijalar, ubikayu, dan pisang.
Subzona IVaq merupakan zona pengembangan budidaya tanaman pangan cukup luas
selanjutnya di Kalbar, mencakup 10,00% dari total luas provinsi. Subzona ini merupakan
wilayah dengan ketinggian antara 0-700 m dpl pada wilayah yang datar hingga berombak
(lereng < 8%), dengan draenase tanah terhambat hingga sangat terhambat. Arahan
komoditas yang dapat dikembangkan di subzona ini adalah: padi sawah, karena suplai air
yang cukup untuk pertumbuhan tanaman.
Selain di subzona IVaq di atas, zona pengembangan untuk padi sawah juga dijumpai
di subzona IVbq. Subzone ini merupakan wilayah bergelombang pada ketinggian 700-1.200
m dpl. Tanahnya tergolong kurang subur dari tipe Endoaquepst, berdraenase sangat
terhambat. Subzona ini tergolong sempit, mencakup areal 0,05% dari total luas wilayah.
Kawasan pengembangan untuk budidaya tanaman perkebunan menyebar di
subzone IIax, IIbx, dan IIcx. Subzone IIax merupakan zone pengembangan tanaman
perkebunan terluas di Kalbar, mencakup 20,73% dari total luas provinsi. Subzona ini
merupakan wilayah dataran rendah dengan ketinggian antara 0-700 m dpl pada wilayah
dengan kemiringan lereng 15-40%. Arahan komoditas yang dapat dikembangkan di subzona
ini adalah: sawit, karet, kelapa, kopi Robusta, lada, dan cengkeh. Selain di subzone IIax,
wilayah lainnya untuk pengembangan tanaman perkebunan adalah subzone IIbx. Wilayah ini
merupakan daerah dataran sedang (700-1.200 m dpl) dengan kemiringan lereng 15-40%,
mencakup areal 0,05% dari total luas wilayah. Arahan komoditas yang dapat dikembangkan
di subzona ini adalah: kopi Robusta, kakao, durian, jeruk, dan cengkeh. Wilayah
pengembangan lainnya mencakup areal yang lebih sempit (0,04%) dijumpai di di subzone
IIcx, dengan arahan komoditas yang dapat dikembangkan di subzona ini adalah: Kopi
Arabika, kayu manis, gambir, dan lengkeng,.
572
278,959 ha 414,156 ha
(1,89%) (2,81% )
1,300,853 ha
(8,83% ) Zona I (tumbuhan alami)
Zona V (tumbuhan alami)
Zona VI (tumbuhan alami)
Zona VII (tumbuhan alami)
3,616,698 ha
(24,55% )
Zona I adalah lahan dengan lereng > 40%, dengan tipe tanah yang sangat beragam,
yakni 6 tipe tanah mulai dari dystrudepts, haplohumults, hapludox, hapludults, kandi- udults,
dan Kanhapludults. Lereng yang sangat terjal ini dapat menyebabkan erosi yang tinggi dan
longsor. Komoditas diarahkan untuk vegetasi alami, yang sudah toleran dengan kondisi
wilayah tersebut. Kawasan non budidaya pertanian di zona ini merupakan paling luas yang
mencakup sekitar 24,55% dari total luas provinsi atau 3.616.698 ha.
Kawasan non budidaya pertanian berikutnya berada di Subzona V merupakan
wilayah tanah gambut dengan kedalaman > 3 m, yang berdraenase terhambat dari tipe tanah
Haplohemist. Tanah gambut ini Kubah gambut merupakan tanah yang miskin hara selain
lahan ini merupakan tempat penyimpanan air yang mengatur fungsi hidrologis kawasan.
Komoditas dibiarkan vegetasi alami yang sudah beradaptasi dengan kondisi tanah tersebut.
Kawasan non budidaya di zone sangat sempit, mencakup 8,83% dari total luasan provinsi
atau 1.300.8534ha.
Zona VII yang berupa tanah berpasir kwarsa. Tanah pasir kuarsa adalah tanah
berdraenae sangat cepat, sangat miskin hara. Komoditas dibiarkan vegetasi alami yang
sudah beradaptasi dengan kondisi tanah tersebut. Kawasan non budidaya di zone-zone ini
mencakup 2,81% dari total luasan wilayah atau 414.156 ha.
Perkebunan
Komoditas kelapa sawit, karet, kakao dan lada mempunyai daya saing yang lebih
baik dari komoditi pertanian lainnya. komoditas tersebut menjadi basis atau menjadi
sumber pertumbuhan yang memiliki keunggulan komparatif, hasilnya tidak saja dapat
memenuhi kebutuhan wilayah bersangkutan akan tetapi juga dapat diekspor ke luar wilayah.
Upaya peningkatan produktivitas tanaman perkebunan melalui inovasi teknis dan inovasi
kebijakan seperti: a) Membangun sistem industri penangkar/pembibitan lada di daerah
sentra produksi dan wilayah pengembangan baru, b) Mengembangkan lada yang
berdasarkan pewilayahan komoditas (AEZ), 3) Mendorong tumbuhnya agroindustri
diversifikasi produk lada, c) percepatan penerapan dan penguasaan teknologi dalam bentuk
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) tanaman lada melalui demonstrasi plot (demplot) dan
pembinaan pengolahan aneka produk. Terkait dengan inovasi kebijakan, pemerintah dan
pemerintah mendukung upaya peningkatan daya saing lada misalnya melalui pemberian
subsidi benih dan pengolahan pasca panen.
Hortikultura
Daya saing komoditi hortikultura di Kalimantan Barat cukup bagus seperti jeruk,
papaya, durian, manggis, langsat (duku) dan lidah buaya (aloe vera). Namun demikian masih
ada beberapa permasalahan untuk mengembangkan komoditas yang berdaya saing tersebut
573
seperti rendahnya kualitas SDM untuk inovasi iptek dan rekayasa sosial, belum optimalnya
mekanisme intermediasi iptek (inovasi) yang mampu menjembatani interaksi antara
kapasitas penyedia teknologi dengan kebutuhan pengguna, rendahnya kemampuan
memanfaatkan inovasi teknologi, dan lemahnya dukungan kebijakan pemerintah terhadap
Iptek dan inovasi teknologi hortikultura. Selain itu usahatani hortikutura yang diusahakan
oleh petani dengan skala kecil, tersebar dan merupakan pekerjaan sambilan merupakan
kendala untuk memperbaiki efisiensi usaha.
Tanaman Pangan
Komoditas tanaman pangan yang memiliki daya saing antara lain jagung, kedelai,
padi dan ubi kayu. Komoditas tanaman pangan tersebut menjadi basis atau menjadi sumber
pertumbuhan yang memiliki keunggulan komparatif. Produk olahan pangan mempunyai
peluang pasar termasuk ubikayu, pisang dan jeruk cukup besar, dan apabila tidak dikelola
dengan baik akan menjadi ancaman dengan banyaknya negara lain memasuki pasar
Indonesia. Walaupun produksi ketiga komoditas tersebut cenderung meningkat namun
seiring dengan peningkatan permintaan dalam bentuk segar, Oleh karena itu, kontinuitas
penyediaan dan jaminan kualitas bahan baku industri pengolahan pangan harus diupayakan
secara terpadu melalui berbagai program ektensifikasi, intensifikasi termasuk rekayasa
genetik, varietas unggul berdaya hasil tinggi dan toleran hama/penyakit utama, dan efisiensi
usahatani maupun biaya produksi olahan.
Peternakan
Komoditas peternakan mengalami defisit perdagangan dan menunjukkan ketidak
mampuan dalam bersaing dengan peternakan wilayah lain. Hanya ternak ayam buras yang
mampu bersaing, meskipun komoditas tersebut tergolong non basis, produksinya hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu diekspor. Komoditas
ini yang sebagian besar perukan ternak rakyat perlu didorong usahanya menjadi komoditas
yang memiliki keunggulan komparatif, dengan membina petani peternak yang ada atau
membuat peternakan baru. Disamping itu perlu mempercepat proses penerapan teknologi
yang dihasilkan seperti teknologi pembibitan, pakan dan nutrisi, kesehatan ayam dan
manajemen pemeliharaan dan disarankan lebih kepada penekanan penerapan teknologi
yang memecahkan permasalahan di lapangan.
KESIMPULAN
Pengembangan komoditas unggulan di Kalimantan Barat secara umum upaya yang
harus dilakukan untuk memperkuat posisi daya saing dalam kawasan ASEAN dan dalam
menghadapi MEA antara lain menyusun dan mengimplementasikan rencana program
peningkatan produksi dan produktivitas komoditi pertanian unggulan secara konsisten
dengan basis pewilayahan komoditas berdasarkan zona agroekologi. Oleh Karena itu peta
ZAE adalah langkah awal sebagai dasar dalam perencanaan pemanfaatan sumberdaya lahan
secara lebih produtif dan lestari.
Informasi sumberdaya ekonomi wilayah perlu dikumpulkan. pemilihan komoditas-
komoditas unggulan yang paling menguntungkan untuk diusahakan di suatu wilayah.
Pengembangan komoditas unggulan tesebut yang dapat meningkatkan pendapatan dan
keuntungan petani, membantu petani memperoleh pembiayaan, serta mendorong petani
untuk menghasilkan produk berkualitas dan memenuhi standar mutu dalam menghadapi
MEA.
DAFTAR PUSTAKA
Albert, K. and W. Yeung. 2002. Concepts and Techniques of Geographyc Information System,
Prentice Hall Inc. Upper Saddle River, New Jersey.
Badan Litbang Pertanian. 2009. Panduan Metodologi Analisis Zone Agro Ekologi (ZAE).
Departemen Pertanian. 11 p.
574
Badan Litbang Pertanian. 2014. Memperkuat Daya Saing Produk Pertanian . IAARD PRESS.
632 Halaman
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2010. Peta Sumberaya Tanah tingkat
tinjau provinsi Kalimantan Barat. Bogor.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2013. Petunjuk Teknis Penyusunan Peta
Pwilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan AEZ pada Skala 1:50.000 Dalam
Rangka Pendampingan Litkaji Pemetaan Sumberdaya Lahan. Bogor.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2013b. Modul ZAE versi 2013. Bogor.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2014. Petunjuk Teknis program SPKL
(Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan) Dalam Rangka Pendampingan Litkaji Pemetaan
Sumberdaya Lahan. Bogor.
Balitklimat. 2003. Peta sumberdaya iklim indonesia skala 1: 1.000.000. Bogor.
Bourogh, P. 1987. Principle of Geographic Information System for Land Resources
Assessment. Clarendon Press. Oxford.
Erwidodo. 2014. Masyarakat Ekonomi Asean dalam Memperkuat Daya Saing Produk
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Mulyani A. M. Hatta, Ade Supriatna dan Saefoel Bachri. 2013. Peta Zona Agro Ekologi Provinsi
Kalimantan Barat Skala 1 : 250.000. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Siswanto, A.B., Nata Suharta, Rhizatus. 2002. Laporan akhir peningkatan pendayagunaan
basisdata sumberdaya tanah untuk menunjang pertanian (Tidak dipublikasikan).
Soil Survey Laboratory Staff. 1991. Soil Survey Laboratory Methods Manual. SCS-USDA.
October 1991; 611p
Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. 9th ed. USDA Natural Resources Conservation
Service. Washington DC.
Suharta, N., dan Suratman. 2004. Karakterisasi dan evaluasi potensi sumberdaya lahan
tingkat tinjau untuk pengembangan wilayah di Kalimantan Barat. Laporan Akhir
Penelitian.
575
DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH
TERHADAP PRODUKSI PADI DI KABUPATEN BANTUL
ABSTRAK
Kebutuhan lahan untuk kegiatan sektor non pertanian terus mengalami
peningkatan, sehingga mendorong terjadinya konversi lahan pertanian. Peluang terbesar
konversi lahan pertanian terjadi pada lahan sawah dibandingkan pada lahan kering.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konversi lahan pertanian terutama lahan sawah
ke non pertanian dan menganalisis dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi di
Kabupaten Bantul. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bantul tahun 2015. Data yang
dikumpulkan adalah data sekunder, meliputi: konversi lahan sawah tahun 2010-2014,
jumlah penduduk, luas panen, produksi dan produktivitas padi. Data yang diperoleh
dianalisis secara diskriptif menggunakan tabulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
konversi lahan sawah ke non pertanian sebesar 213 ha dalam kurun waktu 5 (lima) tahun
terakhir (2010-2014) atau 42,61 ha/tahun. Perkiraan kehilangan produksi padi sebesar
2.727 ton atau 525 ton per tahun.
PENDAHULUAN
Kabupaten Bantul memiliki luas wilayah 50.685 ha dan secara administratif
Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan, 75 desa dan 933 pedukuhan. Luas lahan sawah
15.471 ha (30,5 %), luas lahan bukan sawah 14.125 ha (27,9 %) dan luas lahan bukan
pertanian 21.089 ha atau 41,6 % (BPS Kabupaten Bantul, 2014). Lahan bukan sawah terdiri
dari tegalan atau kebun 6.738 ha, hutan rakyat 3.418 ha dan lainnya 3.969 ha. Lahan bukan
pertanian terdiri dari tanah untuk bangunan dan pekarangan, hutan negara, lahan tidak
ditanami/rawa dan tanah lainnya. Lahan merupakan aset yang berharga bagi rumah tangga
petani. Luas penguasaan lahan per rumah tangga petani terus menurun karena
meningkatnya jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga petani (Sudaryanto dan Rusastra,
2006).
Bantul merupakan salah satu kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, letaknya cukup dekat dengan ibukota provinsi terus melakukan pembangunan.
Konsekuensi dari pembangunan tersebut adalah meningkatnya kebutuhan lahan untuk
industri, kantor, pergudangan, perumahan dan sebagainya. Disamping itu, pertumbuhan
penduduk juga mendorong meningkatnya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah
penduduk tahun 2002 adalah 789.745 jiwa dengan tingkat kepadatan 1.558 jiwa/km 2.
Jumlah penduduk tahun 2013 adalah 955.015 jiwa dengan tingkat kepadatan 1.884
jiwa/km2. Dalam kurun waktu 2002-2013, rata-rata peningkatan jumlah pendudukdan
kepadatan penduduk sebesar 1,75 %. Pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan
lahan untuk kegiatan non pertanian mendorong terjadinya alih fungsi lahan (konversi).
Menurut Irawan (2005), dari sudut pandang ekonomi konversi lahan pertanian
disebabkan oleh tarikan permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian dan dorongan
petani pemilik lahan. Faktor ekonomi, faktor sosial dan perangkat hukum merupakan faktor-
576
faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan. Sumaryanto (2010), untuk mengerem laju
penjualan lahan di kalangan petani adalah dengan peningkatan peran dan usahatani sebagai
andalan ekonomi pedesaan.
Kebutuhan lahan dipenuhi dari lahan pertanian, baik lahan sawah maupun lahan
kering. Alih fungsi lahan areal pertanian bukan hanya terjadi pada lahan sawah, lahan kering
juga mempunyai kecenderungan sama (Dariah, 2015). Menurut Irawan (2005), peluang
konversi lahan pertanian lebih besar terjadi pada lahan sawah. Lahan sawah relatif datar,
infrastrukturnya sekitar lahan sawah lebih tersedia dan memadai, sehingga lebih mudah
untuk melakukan kegiatan-kegiatan non pertanian. Dariah (2015), Laju alih fungsi lahan
pertanian utamanya lahan sawah selalu lebih tinggi dibanding perluasan lahan sawah.
Menurut Irawan dan Friyatno (2002), antara tahun 1981-1998 di Kabupaten Bantul
terjadi perubahan sawah ke non sawah sebesar 1.412 ha, sedangkan di Daerah Istimewa
Yogyakarta sebesar 20.000 ha. Menurut Sudirman (2012), selama kurun waktu tahun 1996-
2006 di Kabupaten Bantul luas lahan pertanian yang berubah permanen menjadi bangunan
adalah 3.863,50 ha, yaitu di Kecamatan Banguntapan, Kasihan, dan Sewon. Berdasarkan
uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis konversi lahan pertanian
terutama lahan sawah ke non pertanian dan menganalisis dampak konversi lahan sawah
terhadap produksi padi di Kabupaten Bantul.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bantul tahun 2015. Data yang dikumpulkan
adalah data sekunder, meliputi luas lahan sawah, luas lahan sawah yang terkonversi tahun
2010-2014, jumlah penduduk, luas panen, produksi dan produktivitas padi Kabupaten
Bantul. Data diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten Bantul. Pengumpulan data dilakukan melalui survei dan studi literatur.
Data yang telah dikumpulkan, kemudian dianalisis secara diskriptif menggunakan tabulasi
data.
Data luas lahan pertanian yang terkonversi yang diterbitkan oleh instansi kadang
berbeda satu dengan lainnya, karena metode pengukurannya yang berbeda. Irawan (2005),
perbedaan data ini disebabkan karena perbedaan organization interest dan juga metode
pengukuran yang digunakan berbeda. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui laju alih fungsi
lahan pertanian menggunakan data yang diterbitkan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Kabupaten Bantul. Kelebihan dari penggunaan data ini adalah bahwa lahan yang terkonversi
sudah memiliki kekuatan hukumnya, namun memiliki kelemahan yaitu aktual di tingkat
lapang alih fungsi lahannya belum tentu terjadi meskipun surat izinnya sudah ada.
Lahan-lahan yang dikonversi biasanya digunakan untuk rumah tinggal, perumahan,
rumah tinggal dan tempat usaha, tempat usaha, kantor, gudang, tower, sarana pendidikan
dan sarana kesehatan (rumah sakit). Konversi lahan terjadi di semua kecamatan di
Kabupaten Bantul, dengan laju konversi berbeda-beda setiap wilayahnya. Dari hasil analisis
diperoleh bahwa, konversi lahan pertanian terutama lahan sawah banyak terjadi di
577
kecamatan-kecamatan yang berada di bagian utara Kabupaten Bantul, yaitu Kecamatan
Banguntapan, Kasihan dan Sewon. Di wilayah bagian selatan konversi lahan pertanian
terutama lahan sawah relatif kecil.
Luas dan persentase peruntukan konversi lahan sawah disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas dan persentase peruntukan konversi lahan sawah ke non pertanian per
kecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2010-2014
Peruntukan Konversi Lahan Sawah ke Non Pertanian (ha)
Rumah
Sarana
Kecamatan Rumah Tingga
Perumah- Tempa Pendidika
Tingga l& Jumlah Persentase
an t Usaha n&
l Tempa
Kesehatan
t Usaha
Srandakan 0,1 - - 0,2 - 0,3 0,1
Sanden 0,1 - 0,1 0,1 - 0,3 0,1
Kretek 0,3 - 0,9 0,6 - 1,8 0,8
Pundong 0,2 - 0,4 - - 0,6 0,3
Bambang-
0,1 - - 0,2 - 0,3 0,1
lipuro
Pandak 0,4 - 0,3 - - 0,6 0,3
Bantul 4,5 1,1 2,9 2,0 0,4 10,9 5,1
Jetis 1,4 - 1,6 0,2 - 3,2 1,5
Imogiri 0,2 - 0,8 0,2 - 1,2 0,6
Dlingo - - 0,1 - - 0,1 -
Pleret 1,0 4,6 1,7 0,4 - 7,7 3,6
Piyungan 1,8 1,1 2,8 1,8 0,8 8,3 3,9
Bangun-
16,1 27,4 21,2 9,9 4,3 78,9 37,0
tapan
Sewon 7,7 5,1 12,9 8,1 0,3 34,0 16,0
Kasihan 6,8 10,9 12,8 7,6 1,0 39,1 18,4
Pajangan 0,7 5,0 5,0 1,6 - 12,2 5,7
Sedayu 0,9 6,4 2,1 4,2 0,2 13,7 6,4
Jumlah 42,1 61,6 65,3 37,0 7,0 213,0 100
Persentase 19,7 28,9 30,7 17,4 3,3 100
Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul, 2010-2014 (diolah)
Dalam kurun waktu 5 tahun (2010-2014), konversi lahan pertanian terutama lahan
sawah ke non pertanian terbesar terjadi di Kecamatan Banguntapan, yaitu seluas 78,9 ha
atau 37,0 %. Konversi lahan sawah terbesar kedua adalah Kecamatan Kasihan, yaitu seluas
39,1 ha atau 18,4 % dan kemudian Kecamatan Sewon seluas 34,0 ha atau 16,0 %. Sari
(2013) dan Suryani (2014), luas konversi di kabupaten Bantul dominan di Kecamatan
Banguntapan, Kasihan dan Sewon. Lahan sawah yang terkonversi digunakan untuk rumah
tinggal dan tempat usaha sebesar 65,35 ha (30,67 %), perumahan sebesar 61,60 ha (28,91
%) dan rumah tinggal sebesar 42,05 ha (19,74 %).
Beberapa faktor yang menyebabkan ketiga kecamatan tersebut, luas konversinya
paling besar adalah: 1). Jarak ketiga kecamatan tersebut dengan ibukota provinsi relatif lebih
dekat dibandingkan kecamatan lainnya (7-10 km), 2). Aksesibilitas dan infrastruktur baik,
3). Topografinya datar, dimana wilayah Kecamatan Banguntapan dan Sewon didominasi oleh
lahan datar dengan kelerengan 0-2 % dan 4 %). Jumlah penduduknya besar, dimana jumlah
penduduk Kecamatan Banguntapan paling besar, yaitu 131.584 jiwa (13,78 %) dari total
jumlah penduduk Kabupaten Bantul 955.015 jiwa, Kecamatan Kasihan 119.271 jiwa (12,49
578
%) dan Kecamatan Sewon 110.355 jiwa (11,56 %). Kepadatan penduduk ketiga kecamatan
tersebut paling besar dan di atas rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Bantul, yaitu
Kecamatan Banguntapan 4.620 jiwa/km 2, Kasihan 4.063 jiwa/km2 dan sewon 3.683
jiwa/km2. Trend jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di tiga kecamatan tersebut
cenderung meningkat. Dalam kurun waktu 12 tahun (2002-2013), jumlah penduduk dan
kepadatan penduduk di Kecamatan Banguntapan meningkat sebesar 5,41 %, sedangkan di
Kecamatan Kasihan meningkat sebesar 4,19 % dan di Kecamatan Sewon sebesar 3,79 %.
Konversi lahan sawah ke non pertanian terkecil terjadi di Kecamatan Dlingo, yaitu
0,1 ha. Faktor-faktor yang menyebabkan kecamatan Dlingo konversinya kecil karena: 1).
Jarak dengan dengan ibukota provinsi relatif lebih jauh dibandingkan kecamatan lainnya
(23-33 km), 2). Aksesibilitas dan infrastrukturnya kurang dibandingkan dengan kecamatan
lainnya, 3). Topografi wilayahnya didominasi oleh lahan miring atau topografi
berbukit/pegunungan dengan kelerengan >25 % seluas 2.729 (48,44 %) dari luas wilayah
Kecamatan Dlingo 5.634 ha dan 4). Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per km 2
rendah, yaitu 647 jiwa/km2. Perkembangan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di
tiga kecamatan disajikan pada Tabel 2.
Dari tahun 2010-2014, luas konversi lahan sawah ke non pertanian sebesar 213 ha
atau 42,61 ha/tahun. Dalam kurun waktu tersebut, konversi lahan sawah ke non pertanian
terbesar terjadi pada tahun 2011, yaitu sebesar 55,6 ha. Hal ini dimungkinkan karena izin
perubahan penggunaan tanah untuk perumahan mengalami peningkatan lebih dari 100 %
dibandingkan tahun 2010 dan izin perubahan penggunaan tanah untuk rumah tinggal dan
tempat usaha juga mengalami peningkatan sebesar 69,5 %. Konversi lahan sawah ke non
pertanian terkecil terjadi pada tahun 2014, yaitu sebesar 21,9 ha. Pada tahun 2014, izin
perubahan penggunaan tanah untuk perumahan mengalami penurunan 57,7 %
dibandingkan tahun 2013 dan izin perubahan penggunaan lahan untuk rumah tinggal dan
tempat usaha juga mengalami penurunan sebesar 39,9 %. Arianti (2015), rata-rata alih
fungsi lahan mencapai 40 ha/tahun.
Luas konversi lahan sawah disajikan pada Tabel 3.
579
Tabel 3. Luas konversi lahan sawah Kabupaten Bantul tahun 2010-2014
Tahun Luas Konversi (ha)
2010 44,3
2011 55,6
2012 50,4
2013 40,8
2014 21,9
Jumlah 213,0
Rata-rata 42,61
Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul,2010-2014 (diolah)
KESIMPULAN
Konversi lahan sawah terus terjadi dan sulit dikendalikan terutama di bagian utara
Kabupaten Bantul. Rata-rata konversi lahan sawah ke non pertanian sebesar 42,61 ha/tahun.
Konversi lahan sawah dapat mengurangi produksi padi, yaitu 545 ton/tahun. Kedepan, perlu
adanya kebijakan pemerintah dalam mengendalikan konversi lahan pertanian terutama
lahan sawah. Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) perlu dilakukan
untuk menjaga produksi dan ketahanan pangan melalui pemberian insentif.
580
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bantul
dan Bapak Salim selaku pejabat struktural di BPN yang telah membantu kegiatan penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
[BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul. 2010. Laporan Kegiatan Pembuatan
Pertimbangan Teknis Pertanahan Bulan Januari-Desember 2010. Kabupaten Bantul.
[BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul. 2011. Laporan Kegiatan Pembuatan
Pertimbangan Teknis Pertanahan Bulan Januari-Desember 2011. Kabupaten Bantul.
[BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul. 2012. Laporan Kegiatan Pembuatan
Pertimbangan Teknis Pertanahan Bulan Januari-Desember 2012. Kabupaten Bantul.
[BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul. 2013. Laporan Kegiatan Pembuatan
Pertimbangan Teknis Pertanahan Bulan Januari-Desember 2013. Kabupaten Bantul.
[BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul. 2014. Laporan Kegiatan Pembuatan
Pertimbangan Teknis Pertanahan Bulan Januari-Desember 2014. Kabupaten Bantul.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2002. Bantul Dalam Angka 2002. Bantul.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2003. Bantul Dalam Angka 2003. Bantul.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2004. Bantul Dalam Angka 2004. Bantul.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2005. Bantul Dalam Angka 2005. Bantul.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2006. Bantul Dalam Angka 2006. Bantul
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2007. Bantul Dalam Angka 2007. Bantul
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2008. Bantul Dalam Angka 2008. Bantul
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2009. Bantul Dalam Angka 2009. Bantul.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2010. Bantul Dalam Angka 2010. Bantul.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2011. Bantul Dalam Angka 2011. Bantul.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2012. Bantul Dalam Angka 2012. Bantul.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2013. Bantul Dalam Angka 2013. Bantul.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul. 2014. Bantul Dalam Angka 2014. Bantul.
Arianti, S. 2015. Alih Fungsi Lahan Hijau di Bantul Capai 40 Ha Pertahun.
http://jogja.tribunnews.com/2015/02/03/alih-fungsi-lahan-hijau-di-bantul-capai-
40-hektare-pertahun. Diakses tanggal 11 Mei 2016.
Badrudin, R. 2012. Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten/Kota Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Menggunakan Tipologi Klasen dan Location Quotient. JRMB.
7(1):17-37.
Dariah, A. 2015. Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion dari Pespektif Lingkungan
Hidup. Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion. IAARD Press. Jakarta.348 hlm.
Fahri, A., L.M. Kolopaking, dan D.B. Hakim. 2014. Laju Konversi Lahan Sawah Menjadi
Perkebunan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Serta DampaknyaTerhadap
Produksi Padi di Kabupaten Kampar, Riau. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. 17(1):69-79.
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor
Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23(1):1-18.
Irawan, B. dan S. Friyatno. 2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa Terhadap Produksi
Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan
Agribisnis. SOCA. 2(2):79-95.
Sari, D.P. 2013. Pengaruh Konversi Pertanian Terhadap Perubahan Sosial Petani di
Kabupaten Bantul.
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianD
etail&act=view&typ=html&buku_id=62666. Diakses tanggal 26 April 2016.
Sudaryanto, T. dan I.W. Rusastra. 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian Dalam Rangka
Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Litbang Pertanian.
25(4):115-122.
581
Sumaryanto. 2010. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Keputusan Petani
Menjual Lahan. Informatika Pertanian. 19(2):1-15.
Suryani, B. 2014. Sawah di Tiga Kecamatan di Bantul Susut Tercepat.
http://www.harianjogja.com/baca/2014/01/14/sawah-tiga-kecamatan-di-bantul-
susut-tercepat-481701. Diakses tanggal 26 April 2016.
582
KESESUAIAN LAHAN UNTUK PADI SAWAH DI KABUPATEN
JAYAPURAPROVINSI PAPUA
ABSTRAK
Tujuan kegiatan ini adalah mengetahui lahan yang sesuai dan potensial untuk
tanaman padi sawah di Kabupaten Jayapura berdasarkan peta AEZ (Agro Ecological Zone)
skala 1:50.000. AEZ merupakan pengelompokan wilayah kedalam zona-zona yang
mempunyai kesamaan/keseragaman karakteristik sumber daya lahan (biofisik). Penyusunan
peta kesesuaian lahan melalui tahapan metodologi yaitu inventarisasi sumber daya lahan
dan evaluasi kesesuaian lahan. Dari hasil evaluasi kesesuaian lahan, pengembangan padi
sawah dapat dilakukan di lahan basah, seluas 268.433 ha (18,89%) yang terdiri dari lahan
cukup sesuai (S2) seluas 254.299 ha (17,89%) dan lahan sesuai marjinal (S3) seluas 14.134
ha (0,99%). Setelah melalui tahapan evaluasi, selanjutnya dilakukan pewilayahan komoditas
pertanian untuk mendapatkan zonasi yang paling sesuai dengan tanaman padi yang bebas
dari status kawasan hutan. Sistem budidaya pertanian lahan basah untuk padi sawah
termasuk dalam zona IV seluas 109.721 ha (7,72%). Peningkatan produktivitas lahan bisa
dicapai dengan menyusun pola tanam yang tepat, jadwal tanam yang mempertimbangkan
resiko kegagalan panen, dan pemberian kebutuhan pupuk berimbang.
Kata kunci: kesesuaian lahan, padi sawah, AEZ
PENDAHULUAN
Kabupaten Jayapura memiliki potensi sumber daya lahan yang cukup besar untuk
mendukung budidaya pertanian khususnya padi sawah. Padi merupakan salah satu
komoditas strategis untuk mendukung ketahanan pangan melalui program UPSUS dan
Kabupaten Jayapura berpotensi untuk medukung program pemerintah dalam mendukung
swasembada padi. Berdasarkan BPS (2014), luas panen padi sawah di Kabupaten Jayapura
seluas 1.273 ha. Berdasarkan hasil analisis dan pewilayahan komoditas pertanian
berdasarkan zona agroekologi (AEZ), sistem budidaya pertanian lahan basah untuk padi
sawahseluas 109.721 ha (7,72%). Masih terdapat potensi lahan yang cukup besar untuk
budidaya padi sawah.
Untuk memenuhi target produksi padi, pemerintah Kabupaten Jayapura akan
mencetak sawah baru. Target cetaan sawah baru pada tahun 2016 oleh pemerintah
Kabupaten Jayapura seluas 1.225 ha. Untuk mendukung program pemerintah tersebut, maka
BPTP Papua melakukan analisis kesesuaian lahan untuk mendata lahan yang sesuai dan
dapat dikembangkan untuk budidaya padi sawah di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
583
METODOLOGI
584
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Inventarisasi Sumber daya Lahan
Menurut klasifikasi Koppen Kabupaten Jayapura dikelompokkan ke dalam 2 tipe iklim
yaitu Af dan Ams. Tipe iklim Af didefinisikan sebagai tipe iklim hujan hutan tropis dengan
penyebaran curah hujan bulanan hampir merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang
berarti. Tipe iklim Ams merupakan tipe iklim panas dengan musim kemarau berkisar antara
2 sampai dengan 3 bulan.
Berdasarkan hasil interpretasi, KabupatenJayapura dikelompokan kedalam 7 Grup
landform, yaitu: Aluvial, Marin, Fluviomarin, Gambut, Karst, Volkanik, dan Tektonik.
Sedangkan relief di Kabupaten Jayapura disajikan dalam Tabel 1.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan ditunjang dengan data hasil analisis
kimia dari laboratorium, tanah-tanah di Kabupaten Jayapura diklasifikasikan menurut Soil
Taxonomy (Soil Survey Staff, 2010) menjadi 6 Ordo, yaitu: Histosols, Entisols, Inceptisols,
Mollisols, Alfisol, dan Ultisols.
585
al., (2013) menunjukkan bahwa retensi hara merupakan faktor pembatas utama dalam
pengembangan padi sawah.
Lahan ini berpotensi untuk dikembangkan untuk tanaman pangan lahan basah
(persawahan). Pengembangan padi sawah pada wilayah ini dapat dilakukan 2x setahun.
Sedangkan lahan yang tidak sesuai untuk pengembangan padi sawah seluas 1.152.967 ha
(81,11%). Lahan ini mempunyai kendala sangat berat, yaitu berupa bahaya erosi akibat
lereng yang agak curam (>15%), ketersediaan oksigen karena lahan selalu tergenang terus
menerus, media perakaran akibat tektur tanah pasir, ketersediaan air akibat tidak terdapat
sumber air. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk
pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan
menahan air (Arsyad, 2000). Sesuai dengan hasil analisis, bahwa separuh wilayah di
Kabupaten Jayapura reliefnya berbukit-bergunung, seluas 851.170 ha (59,88 %). Dengan
kondisi tersebut, potensi terjadinya pengikisan tanah oleh aliran permukaan (run off) cukup
besar.
586
Gambar 2. Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Padi Sawah
Dalam peta tersebut di atas, zonasi untuk pada sawah diberi warna hijau dengan
simbol Wr, dengan sebaran antara lain di Distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk dan
Kemtuk Gresi.
Dengan melihat kondisi topografi dan sumberdaya lahan di Kabupaten Jayapura, maka
pemanfaatan lahan untuk pengembangan pertanian diperlukan suatu langkah strategis, yaitu
dengan menerapkan sistem pengeloloan lahan yang tepat. Sistem pengelolaan lahan tersebut
meliputi: a) pemilihan komoditas pertanian yang sesuai dengan daya dukungnya, b)
penerapan sistem usahatani yang tepat, c) peningkatan produktifitas lahan dengan
pemupukan dan usaha konservasi tanah dan air.Pola tanam padi sawah dapat
dikombinasikan dengan tanaman kedelai atau jagung pada saat musim kemarau. Awal masa
tanam padi sawah (MT I) dimulai tanggal 20-30 September, sedangkan masa tanam padi
sawah (MT II) dimulai tanggal 15-25 Januari tahun berikutnya, dengan anjuran pemupukan
adalah:
- Tanah dengan kandungan N rendah, kebutuhan pupuk Urea berkisar 225-250 kg/ha.
Tanah-tanah dengan kandungan N sedang, kebutuhan pupuk Urea berkisar 200-225
kg/ha.
- Tanah dengan kandungan P tinggi, kebutuhan SP-36 berkisar 50-75 kg/ha.
- Tanah dengan kandungan K sedang, kebutuhan KCl berkisar 50-75 kg/ha. Tanah
dengan kandungan K tinggi, kebutuhan KCl berkisar 25-50 kg/ha.
Dengan potensi lahan yang besar untuk pengembangan padi sawah, maka Kabupaten
Jayapura bisa berkontribusi dalam meningkatkan produksi padi untuk mendukung
swasembada pangan khususnya di Provinsi Papua pada masa mendatang. Kendala utama
yang dihadapi adalah mayoritas lahan tersebut masih berwujud semak belukar-hutan yang
tentunya membutuhkan biaya yang besar untuk proses pembukaan lahan. Selain itu, status
tanah di Papua berupa tanah adat yang tentunya memerlukan proses untuk dapat
dimanfaatkan sesuai peruntukannya.
KESIMPULAN
Dari hasil evaluasi kesesuaian lahan, pengembangan padi sawah dapat dilakukan di
lahan basah, seluas 268.433 ha (18,89%) yang terdiri dari lahan cukup sesuai (S2) seluas
254.299 ha (17,89%) dengan kendala lahan berupa retensi hara (nr) dan bahaya banjir (fh)
dan lahan sesuai marjinal (S3) seluas 14.134 ha (0,99%) dengan kendala berupa bahaya
banjir (fh) dan ketersediaan air (wa). Setelah dilakukan overlay dengan peta status kawasan
587
hutan dan penggunaan lahan, diperoleh sistem budidaya pertanian lahan basah untuk padi
sawah seluas 109.721 ha (7,72%) yang masuk dalam zona IV dengan kelerengan <3%.
DAFTAR PUSTAKA
588
POTENSI PENGEMBANGAN PADI GOGO BERDASARKAN
PEWILAYAHAN KOMODITAS PERTANIAN DI KABUPATEN
SARMI, PROVINSI PAPUA
Heppy Suci Wulanningtyas1, Afrizal Malik2 dan Busra BS3
1CalonPeneliti, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua
2Peneliti Madya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua
3Peneliti Madya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi
ABSTRAK
Tujuan kegiatan ini adalah menentukan dan memetakan lahan yang potensial untuk
pengembangan tanaman padi gogo berdasarkan pewilayahan komoditas pertanian di
Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.Penentuan wilayah potensial untuk padi gogo melalui
beberapa tahapan metodologi yaitu inventarisasi sumber daya lahan, evaluasi kesesuaian
lahan dan pewilayahan komoditas pertanian.Dari hasil analisis, pengembangan padi gogo
dapat dilakukan di lahan kering, seluas 86.677 ha (6,37 %) yang tersebar di beberapa distrik
antara lain Bonggo, Sarmi, Sarmi Selatan,Sarmi Timur, Pantai Timur, Pantai Barat, Pantai
Timur Barat, Apawer Hulu dan Tor Atas. Budidaya padi gogo dapat dikombinasikan dengan
tanaman pangan lainnya, tanaman hortikultura maupun tanaman perkebunan.Peningkatan
produktivitas lahan bisa dicapai dengan pemupukan dan usaha konservasi tanah dan air.
PENDAHULUAN
589
kestabilan ekonomi dan politik (Kasryno dan Pasandaran, 2004) dalam (Maulana dan
Rachman, 2011).
Pembangunan pertanian di Kabupaten Sarmi dihadapkan pada kendala keterbatasan
ketersediaan data/informasi sumber daya lahan pada skala operasional. Data tersebut
diperlukan untuk perencanaan pembangunan wilayah khususnya sektor pertanian yang
sesuai dengan pemanfaatan dan kemampuan lahannya.Untuk mendukung program
pemerintah tersebut, maka BPTP Papua melakukan pemetaan potensi lahan yang sesuai
untuk pengembangan padi gogo di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.
METODOLOGI
Kegiatan dilaksanakan pada tahun 2014 di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Bahan
yang diperlukan dalam analisis adalah seperangkat peta dan data antara lain Citra satelit
Landsat Thematic Mapper 7 ETM+ liputan tahun 2012, peta RBI skala 1:50.000 digital, Peta
AEZ Kabupaten Sarmi, skala 1:250.000, peta Geologi, lembar Jayapura, Rotanburg, Taritatu,
dan Sarmi, skala 1:250.000 digital, Digital Elevation Model (DEM) resolusi 30 m, peta status
kawasan hutan, data iklim dan data sosek/unggulan komoditas daerah.
Alat untuk kegiatan lapangan antara lain formulir isian pengamatan lapang dalam
format basisdata tanah, bor tanah tipe Belgia, buku Munsell Soil Color Chart, Buku Klasifikasi
Tanah (Soil Taxonomy) Edisi Tahun 2010, Kompas, Altimeter, GPS (Global Positioning
System), Abney level, pH-Truogh, pH Merck untuk mengukur pH tanah, kantong plastik dan
label, sekop dan cangkul.
Analisis data dengan seperangkat komputer dengan softwareArcView, ErMapper, ArcGis dan
SPKL versi 1.0.
Penyusunan peta kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas padi gogo dilakukan
melalui beberapa tahapan metodologi, yaitu: inventarisasi sumberdaya lahan, evaluasi
kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas.
590
kering, peternakan, perikanan, hutan lahan basah, dan hutan lahan kering. Alternatif
komofitas pertanian menyajikan jenis komoditas yang disarankan untuk dikembangkan.
Berdasarkan parameter karakteristik sumber daya lahannya, zona dibedakan menjadi
7 zona utama, yaitu: I, II, III, IV, V, VI, dan VII. Padi gogo merupakan sistem pertanian lahan
kering masuk dalam zona IV dan III.
591
Gambar 2. Peta Tanah Kabupaten Sarmi
Tanah terdiri dari tanah atasan (upland) dan tanah bawahan (lowland) yang
berkembang dari bahan aluvium (sungai dan marin), batupasir, batuliat, batupasir berkapur,
andesit, dan batugamping yang menghasilkan 5 Ordo, yaitu Histosols, Entisols, Inceptisols,
Alfisols, dan Ultisols.
Dari hasil analisis laboratorium, pH tanah masam-netral (4,5–7,0) dan cukup
mendukung untuk budidaya pertanian. Kandungan bahan organik secara umum rendah,
unsur hara nitrogen sebagian besar rendah, unsur hara fosfat sedang, dan unsur hara kalium
rendah-sedang.Penilaian status kesuburan tanah menunjukkan bahwa status kesuburan
tanah di daerah penelitian umumnya tergolong rendah sampai sedang.
592
a. Pertanian lahan kering, tanaman pangan
Seluas 518 ha (0,04%), termasuk dalam zona IV (IV/Df), kelerengan <3% dengan
komoditas yang disarankan adalah padi gogo, jagungdan umbi-umbian.Terdapat di
Distrik Apawer Hulu.
593
Gambar 3. Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian untuk Padi Gogo
594
Air juga menjadi faktor pembatas dalam usahatani padi gogo. (Toha, 2000)
menyatakan bahwa masalah umum yang dijumpai untuk peningkatan produktivitas padi
gogo antara lain sumber air hanya tergantung dari curah hujan dan sebarannya seringkali
tidak normal.
Kondisi kesuburan tanah di Kabupaten Sarmi tidak terlalu tinggi, akan tetapi padi
gogo masih dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Sumarno dan Hidayat (2007)
menyatakan bahwa tanaman padi gogo memiliki beberapa kelebihan antara lain mampu
memanfaatkan hara yang tersedia dalam tanah dengan efisien dan toleran terhadap pH
rendah. Toha (2007) menyatakan bahwa introduksi varietas unggul yang sesuai sebagai
komponen model PTT padi gogo dapat meningkatkan hasil dan pendapatan petani pada
agroekosistem lahan kering. Hasil padi gogo dengan penerapan PTT pada tahun pertama
berkisar antara 3,88-4,69 t/ha. Komponen PTT yang digunakan antara lain penggunaan
varietas unggul tahan hama penyakit, penambahan bahan organik tanah, pemupukan
berimbang berdasarkan status kesuburan tanah dan efisiensi pemupukan dengan cara
tanam jajar legowo, pemupukan dalam larikan dan waktu pemupukan yang tepat.
BPS Sarmi (2014) menyebutkan bahwa luas panen padi ladang di Kabupaten Sarmi
adalah 103 ha dengan produksi 255 ton. Hasil pewilayahan komoditas pertanian
menyatakan bahwa pengembangan padi gogo dapat dilakukan di lahan seluas seluas
143.494 ha. Terdapat potensi yang besar untuk budidaya padi gogo. Padi gogo dapat ditanam
secara monokultur maupun tumpangsari dengan tanaman pangan, hortikultura maupun
perkebunan. Tanaman pangan antara lain jagung, umbi-umbian, kedelai dan kacang tanah.
Tanaman hortikultura antara lain pisang dan jeruk. Tanaman perkebunan antara lain kelapa
sawit, karet dan kakao. Dewi et al. (2014) menyatakan bahwa pola tanam tumpangsari padi
gogo dengan jagung manis tidak mempengaruhi hasil tanaman padi gogo. Kombinasi
perlakuan varietas tanaman padi gogo dengan kacang tanah yang tepat memberikan
peningkatan hasil dibandingkan monokulturnya (Hotnida dan Kartina, 2003). Potensi kacang
tanah cukup besar dan produksi di Kabupaten Sarmi pada tahun 2013 sebesar 182 ton,
tertinggi ketiga setelah padi gogo dan ubi jalar (BPS Sarmi, 2014).
Jeruk sebagai komoditas hortikultura dapat ditanam bersandingan dengan tanaman
pangan. Beberapa varietas jeruk ditanam berdampingan dengan padi gogo dan kedelai. Jenis
varietas yang ditanam adalah varietas dataran rendah yang sesuai dengan kondisi daerah
yang ada. Tanaman-tanaman tersebut ditanam di sela-sela tanaman padi gogo (Balitjestro,
2016). Berdasarkan data pewilayahan komoditas pertanian, alternatif budidaya jeruk dapat
dilakukan pada lahan seluas 71.207 ha. Berdasarkan BPS Sarmi (2014), produksi kedelai
tahun 2013 sebesar 144 ton, berada pada urutan kelima diantara produksi tanaman pangan
yang lain, dan hal ini masih dapat ditingkatkan lagi antara lain dengan ditanam secara
tumpangsari bersama padi gogo.
Padi gogo juga dapat ditanam secara tumpangsari dengan kedelai dan ditanam
diantara tanama kakao. Tanaman kakao sendiri di Kabupaten Sarmi menghasilkan produksi
tertinggi kedua diantara komoditas perkebunan, sebesar 354,55 ton pada tahun 2013 (BPS
Sarmi, 2014). Selain dengan kakao, padi gogo dapat ditanam dengan karet dan kelapa sawit.
Pertanaman padi gogo sebagai tanaman tumpangsari perkebunan karet muda dapat
diusahakan sampai tahun ketiga, sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit sampai tahun
keempat. Tanaman tumpangsari padi gogo dapat membantu meningkatkan pendapatan
masyarakat sekitar perkebunan/hutan karena petani mendapat hasil padi sebelum tanaman
pokok menghasilkan. Penerapan pola tanam berbasis padi gogo yang intensif seperti
tersebut dapat berfungsi sebagai tindakan konservasi tanah secara vegetatif (Anonim1,
2016).
Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa status kesuburan tanah di Kabupaten
Sarmi adalah rendah-sedang. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman, maka
penambahan unsur hara melalui pemupukan mutlak diperlukan. Tujuan pemupukan adalah
meningkatkan pertumbuhan dan mutu hasil tanaman. Pemupukan diberikan pada saat
tanaman menunjukkan sejumlah kebutuhan unsur hara agar diperoleh keefisienan yang
maksimal (Anonim2, 2016). Pemupukan meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi gogo.
Budidaya padi gogo pada dataran sedang memberikan hasil tertinggi untuk varietas Situ
Bagendit, Situ Patenggang, Batutegi, BP720C-S-5-1-1-2 dan BP760F-2-2-1-1-PN masing-
masing 3,18 t/ha, 3,45 t/ha, 3,82 t/ha, 4,10 t/ha dan 4,46 t/ha GKG (Pirngadi, et al., 2008).
595
Upaya konservasi tanah dan air dilakukan untuk melindungi tanah dari degradasi
lahan. Konservasi tanah sangat penting untuk mengatasi degradasi lahan yang merupakan
salah satu dari empat ancaman utama terhadap pelaksanaan revitalisasi pertanian,
perikanan dan kehutanan khususnya pada sektor pertanian dimana ketahanan pangan
menjadi salah satu pilar utama (Adimihardja, 2008). Beberapa teknik konservasi tanah yang
dapat diterapkan dalam upaya pemanenan air hujan dan aliran permukaan adalah
pembuatan saluran peresapan, rorak, mulsa vertikal, embung dan sistem drainase
(Subagyono et al., 2004).
Usaha pertanian padi gogo memiliki nilai positif dalam mendukung ketahanan pangan
nasional karena musim panennya lebih awal, pada waktu cadangan beras di pasar sedang
menipis. Upaya peningkatan produksi beras guna memperkuat ketahanan pangan nasional
akan lebih berkesinambungan apabila dilakukan melalui program perluasan areal tanam
padi gogo di lahan bukaan baru. Upaya peningkatan produksi beras nasional melalui
perluasan areal tanam padi gogo dinilai lebih pasti, memihak rakyat miskin dan menciptakan
lapangan kerja baru, serta memberikan tambahan produksi beras yang lebih berkelanjutan
(Sumarno dan Hidayat, 2007). Padi gogo beradaptasi baik pada lahan kering yang baru
dibuka dan memiliki toleransi yang baik terhadap tanah masam yang mengandung
aluminium (Barbosa dan Yamada, 2002) dalam (Sumarno dan Hidayat, 2007).
KESIMPULAN
1. Pengembangan padi gogo dapat dilakukan di lahan kering seluas 86.677 ha (6,37 %),
termasuk dalam zona IV dan III yang tersebar di beberapa distrik antara lain Bonggo,
Sarmi, Sarmi Selatan, Sarmi Timur, Pantai Timur, Pantai Barat, Pantai Timur Barat,
Apawer Hulu dan Tor Atas.
2. Kendala dalam pengembangan padi gogo antara lain bahaya erosi, ketersediaan
oksigen, media perakaran, ketersediaan air, suhu udara dan retensi hara.
3. Budidaya padi gogo dapat dikombinasikan dengan tanaman pangan lainnya (jagung,
umbi-umbian, kedelai dan kacang tanah), tanaman hortikultura (pisang dan jeruk)
maupun tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao). Peningkatan
produktivitas lahan bisa dicapai dengan pemupukan dan usaha konservasi tanah dan
air.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, A. 2008. Teknologi dan Strategi Konservasi Tanah dalam Kerangka Revitalisasi
Pertanian. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. 1 (2) : 105-120.
Anonim1. 2016. Padi Gogo sebagai Tanaman Tumpangsari Perkebunan.
http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/2219/.Diakses pada tanggal 15 Mei
2016.
Anonim2. 2016. Teknik Budidaya Tanaman.
http://fp.uns.ac.id/~hamasains/BAB%20VIIIdasgro.htm. Diakses pada tanggal 14 Mei
2016.
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Balitjestro.. 2016. Jeruk Diantara Padi.http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/jeruk-
diantara-padi/. Diakses pada tanggal 15 Mei 2016.
BPS. 2014. Sarmi Dalam Angka. Sarmi.
BPTP Papua. 2014. Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi Skala
1:50.000 Kabupaten Sarmi-Provinsi Papua. Laporan. Jayapura.
596
Dewi, S.S., R. Soelistyono dan A. Suryanto. 2014. Kajian Pola Tanam Tumpangsari Padi Gogo
(Oryza sativa L.) dengan Jagung Manis (Zea mayssaccharata Sturt L.). Jurnal Produksi
Tanaman. 2(2): 144.
Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna
Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hotnida dan S. Kartina. 2003. Kajian Pertumbuhan dan Hasil Tumpangsari Padi Gogo dengan
Kacang Tanah.
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetai
l&act=view&typ=html&buku_id=23001.Diakses pada tanggal 14 Mei 2016.
Maulana, M. dan B. Rachman. 2011. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah-Beras Tahun
2010 : Efektivitas dan Implikasinya Terhadap Kualitas dan Pengadan oleh Dolog.
http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART9-4c.pdf. Diakses pada tanggal 14
Mei 2016.
Pirngadi, K., H.M. Toha dan B. Nuryanto. 2008. Pengaruh Pemupukan N tehadap
Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo Dataran Sedang.
http://www.litbang.pertanian.go.id/special/padi/bbpadi_2008_p2bn1_22.pdf.Diakses
pada tanggal 14 Mei 2016.
Ramadhan, R.A., S. Avivi dan Slameto. Studi Pertumbuhan Tanaman Tebu Toleran Cekaman
Air Berdasarkan Karakteristik Fisiologisnya.
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/71403/RIZKY%20ARIEZA
%20RAMADHAN.pdf?sequence=1.Diakses pada tanggal 16 Mei 2016.
Ritung, S., K. Nugroho, A. Mulyani dan E. Suryani. 2012. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan
untuk Komoditas Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Subagyono, K., U. Haryati dan S.H. Tala’ohu. 2004. Teknologi Konservasi Air pada Pertanian
Lahan
Kering.http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/buku%20laha
n%20kering/07tek_konser_lahan_kering.pdf. Diakses pada tanggal 14 Mei 2016.
Sumarno dan J.R. Hidayat. 2007. Perluasan Areal Padi Gogo sebagai Pilihan untuk
Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Buletin Iptek Tanaman Pangan. 2 (1) : 26-39.
Suryana, A., B. Rachman dan M.D. Hartono. 2014. Dinamika Kebijakan Harga Gabah dan
Beras dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Pengantar Inovasi
Pertanian. 7 (4) : 155.
Toha, H.M. 2000. Pengembangan Padi Gogo Mengatasi Rawan Pangan Wilayah
Marginal.http://new.litbang.pertanian.go.id/buku/Lahan-Kering-Ketahan/BAB-III-
4.pdf. Diakses pada tanggal 14 Mei 2016.
Toha, H.M. 2007. Peningkatan Produktivitas Padi Gogo Melalui Penerapan Pengelolaan
Tanaman Terpadu dengan Introduksi Varietas Unggul. Jurnal Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan. 26 (3) : 180.
597
REHABILITASI LAHAN MARGINAL DALAM RANGKA
MENINGKATKANPRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI AIR
ABSTRAK
Karakteristik lahan marginal dicirikan dengan tingkat kesuburannya sangat
menurun sehingga cepat atau lambat akan menjadi tidak berfungsi sebagai unsur produksi
pertanian dan tidak menguntungkan bagi petani; lahan tersebut kurang berfungsi sebagai
penyalur tata air dan perlindungan alam sekitar; dan lapisan olahnya dangkal yang sulit
sebagai tempat yang optimal untuk tumbuh tanaman. Rehabilitasi lahan marginal
merupakan tindakan perpaduan teknologi di dalam batas-batas alam dari suatu areal untuk
optimalisasi sumberdaya lahan, air, dan tanaman dalam rangka mencukupi kebutuhan
masyarakat secara berkelanjutan. Lahan marginal merupakan salah satu penyebab
kemiskinan, oleh karena itu perlu segera diatasi agar produktivitasnya dapat ditingkatkan.
Pengembangan agribisnis di lahan marginal tidaklah mudah, karena dihadapkan pada
beberapa kendala dan permasalahan yang cukup kompleks, diantaranya : (a) potensi erosi
relatif tinggi karena kondisi lereng umumnya curam, intensitas hujan cukup tinggi, tanah
kurang terlindungi oleh vegetasi permanen; (b) tingkat kesuburan tanah rendah karena
kurangnya usaha pengembalian bahan organik, lahan solumnya dangkal, dan praktek
penggunaan pupuk kimia yang kurang sesuai; (c) resiko kegagalan panen atau kematian
tanaman relatif tinggi karena ketidakpastian hujan atau pola hujan bervariasi, kekeringan
pada musim kemarau dan erosi pada musim hujan, penguasaan teknologi pada umumnya
masih bersifat subsisten; (d) keterbatasan modal para petani; dan (e) keterbatasan sarana
dan prasarana wilayah. Pola pembangunan di daerah marginal memerlukan koordinasi yang
mantap antar sektor, seperti sektor pertanian, kehutanan, dan prasarana wilayah.
Pengembangan komoditas haruslah diseleraskan dengan kondisi biofisik lahan marginal,
sosial ekonomi dan budaya setempat, serta potensi pasarnya.
PENDAHULUAN
Lahan di daerah tropis termasuk Indonesia, mudah mengalami degradasi. Degradasi
tanah adalah hilang atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan tanah dan
kehilangan atau kerusakan kemampuan (featur) tanah yang tidak dapat diganti. Menurut
FAO (1993), degradasi tanah adalah proses penguraian yang menyebabkan menurunnya
kapasitas tanah untuk mendukung suatu kehidupan. Lahan-lahan tersebut apabila dibiarkan
akan bertambah rusak, dan akhirnya menjadi kritis/marginal. Lahan marginal merupakan
salah satu penyebab kemiskinan, oleh karena itu perlu segera diatasi agar produktivitasnya
dapat ditingkatkan.
Lahan kering marginal yang terdegradasi sebagian besar tergolong jenis Ultisol dan
Oxisol. Merehabilitasi lahan yang telah terdegradasi memerlukan input yang tidak sedikit
untuk menyediakan pupuk organik dan pupuk anorganik (Abdulrachman dan Sutono, 1998).
Rehabilitasi lahan marginal merupakan tindakan perpaduan teknologi di dalam batas-batas
alam dari suatu areal untuk optimalisasi sumberdaya lahan, air, dan tanaman dalam rangka
mencukupi kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan
598
Pengelolaan lahan marginal melalui tindakan rehabilitasi bertujuan : (a)
memanfaatkan tanah, air hujan, tumbuhan dan menangkap kelebihan air tanah, (b)
mengembangkan usahatani konservasi yang berkelanjutan dan menstabilkan hasil produksi
tanaman dan ternak, (c) menutup areal lahan yang tidak produktif/kosong yang efektif
melalui penanaman tanaman hutan, perkebunan, buah-buahan, dan hijauan pakan ternak
berdasarkan kelas kemampuan lahan, (d) meningkatkan pendapatan petani dengan
usahatani terpadu dan ternak, serta memulihkan keseimbangan ekologi setempat.
Salah satu model untuk mendukung program utama pembangunan pertanian
kedepan adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian, termasuk lahan
marginal melalui perbaikan sistem usaha pertanian secara terpadu. Ide optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya pertanian di lahan marginal didasari oleh mulai menurunnya
produktivitas lahan yang mengakibatkan daya saing hasilnya semakin rendah dan
kesejahteraan keluarga petani relatif menurun.
PERMASALAHAN
Karakteristik kondisi lahan marginal dicirikan dengan kekritisan lahannya.
Pengertian lahan kritis dibagi ke dalam beberapa kategori, yaitu a) ekonomis kritis, yaitu
lahan yang kesuburannya sangat menurun sehingga cepat atau lambat akan menjadi tidak
berfungsi sebagai unsur produksi pertanian dan tidak menguntungkan lagi bagi petani; b)
aktual kritis, yaitu lahan yang tidak mampu lagi secara efektif sebagai unsur produksi
pertanian, sebagai media penyalur tata air maupun sebagai media perlindungan alam
lingkungan; c) hidrologis kritis, yaitu lahan yang kurang berfungsi sebagai penyalur tata air
dan perlindungan alam sekitar; dan d) fisik teknis kritis, yaitu lahan yang lapisan olahnya
tinggal batuan induk yang sulit sebagai tempat tumbuh tanaman/vegetasi (P3HTA, 1994).
Pengembangan agribisnis di lahan marginal tidaklah mudah, karena dihadapkan
pada beberapa kendala dan permasalahan yang cukup kompleks, diantaranya : a) Potensi
erosi relatif tinggi karena kondisi lereng umumnya curam, intensitas hujan cukup tinggi,
tanah kurang terlindungi oleh vegetasi permanen, b) Tingkat kesuburan tanah rendah
karena kurangnya usaha pengembalian bahan organik, lahan solumnya dangkal, dan praktek
penggunaan pupuk kimia yang kurang sesuai; c) Resiko kegagalan panen atau kematian
tanaman relatif tinggi karena ketidakpastian hujan atau pola hujan bervariasi, kekeringan
pada musim kemarau dan erosi pada musim hujan, penguasaan teknologi pada umumnya
masih bersifat subsisten; d) Keterbatasan modal para petani, serta e) Keterbatasan sarana
dan prasarana wilayah.
Kunci strategisnya adalah menemukan pola pengembangan yang sesuai, yakni
melalui investasi di sub-sektor pertanian, perkebunan, hortikultura, dan peternakan melalui
usaha swasta dan pertanian rakyat. Beberapa masalah yang harus dihadapi antara lain
lemahnya kemampuan investasi, tantangan pasar seperti kualitas produk. Di lahan marginal
dengan kesuburan lahan yang memadai, terjadi pergeseran pola pengembangan melalui
diversifikasi tanaman pangan dengan hortikultura dan ternak, meskipun masih sering terjadi
konflik terhadap kelestarian lingkungan. Di wilayah seperti itu, perusahaan swasta mulai
masuk, misalnya dengan mengembangkan produksi jagung hibrida, sayuran, dan
penggemukan sapi atau usaha ternak ayam.
Masalah strategis yang sesungguhnya berkaitan dengan pola pengembangan
pertanian lahan marginal di daerah padat penduduk dengan curah hujan yang terbatas. Pada
umumnya daerah seperti itu merupakan prioritas bagi kegiatan penghijauan dan reboisasi
oleh Departemen Kehutanan dengan tingkat produktivitas yang marginal, sehingga
masyarakat tetap tidak bisa keluar dari kemiskinan dan kecenderungan semakin memburuk
akibat semakin rusaknya ekosistem oleh tekanan penduduk. Proses erosi terus berlanjut,
bahaya banjir, dan keberlanjutan ketersediaan air untuk keperluan masyarakat dan irigasi
semakin terancam.
Pola pembangunan di daerah kritis memerlukan koordinasi yang mantap antar
sektor, seperti sektor pertanian, kehutanan, dan prasarana wilayah. Justru koordinasi inilah
yang merupakan titik rawan, karena masing-masing sektor cenderung bekerja sendiri-
sendiri, bahkan antar sub-sektor (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan),
599
koordinasi tetap merupakan titik rawan, sehingga menghalangi terjadinya sinergisme antar
sub-sektor dalam rangka pembangunan sistem pertanian industrial. Beberapa
permasalahan mendasar yang berkaitan dengan program pengembangan lahan kering
marginal selama ini diantaranya adalah :
d. Tim Pendamping Untuk Kelompok Tani belum Secara Definitif Ditentukan pada Tingkat
Operasional di Lapangan
Para petani yang tergabung dalam kelompok tani pengelola lahan marginal
setelah selesai kegiatan proyek secara otomatis ditinggalkan oleh petugas teknis yang
selama ini mendampingi mereka. Pada kelompok-kelompok yang sudah mantap dan
mandiri aktivitas dapat tetap berjalan, namun untuk para petani yang kelompoknya belum
mantap sampai saat ini belum jelas siapa yang bertanggung jawab untuk pendampingannya,
sehingga aspek pembinaan kelompok tidak pernah disentuh. Petugas Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL) ataupun Petugas Kehutanan Lapangan (PKL) lebih banyak melakukan
pembinaan secara sektoral dan pendekatannya pada satu hamparan pemukiman bukan
hamparan lahan. Walaupun dalam pedoman pengelolaan lahan marginal disebutkan bahwa
fasilitasi di lapangan dilakukan oleh PPL dan PKL, akan tetapi dalam pelaksanaannya justru
yang banyak berperan adalah “sukarelawan desa” yang umumnya terdiri dari individu-
individu petani yang menonjol dalam kelompoknya. Oleh karena itu, program pendampingan
kelompok tani akan lebih efektif dan berhasil apabila memanfaatkan “penyuluh swakarsa”
dari petani-petani kunci (key farmers) setempat yang dilatih dan dibina secara khusus untuk
berperan sebagai fasilitator secara permanen di lokasi binaan.
600
bantuan. Hasilnya menunjukkan bahwa tanpa persiapan yang matang mengenai kemampuan
dan kapasitas kelompok petani, pendekatan tersebut ternyata kurang efektif dan berdampak
pada menguatnya ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah. Berdasarkan
pengalaman tersebut, maka strategi pendekatan yang ditempuh seyogyanya adalah: 1)
partisipatif, 2) fleksibilitas, 3) perspektif gender, 4) keberlanjutan, dan 5) desentralisasi.
Dalam pengembangan lahan marginal, pengelolaannya perlu dilakukan melalui
pendekatan partisipatif dengan melibatkan masyarakat pengguna secara penuh baik laki-laki
maupun perempuan, memotivasi munculnya inisiatif dan keswadayaan masyarakat dengan
tidak selalu bergantung pada subsidi dan bantuan pemerintah. Pengelolaan lahan marginal
secara swadaya kelompok lebih menjamin keberlanjutan. Perspektif gender akan menjamin
tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dan dapat membuka akses kaum perempuan desa
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lahan marginal yang selama ini masih didominasi
oleh laki-laki. Capacity building harus sudah dirintis mulai dari awal, berupa pembangunan
pranata baru yang memupuk keswadayaan secara partisipatif, berwawasan gender, dan
lebih menjamin keberlanjutan.
Prinsip-prinsip pengelolaan lahan marginal : a) memanfaatkan lahan sesuai dengan
kapasitasnya; b) adanya tanaman penutup (cover crops) yang memadai selama musim hujan;
c) menahan sebanyak mungkin air hujan pada tempat jatuhnya; d) mengalihkan kelebihan
air hujan dengan kecepatan yang cukup aman dan menampung air tersebut pada kolam
penampungan untuk kebutuhan mendatang di musim kemarau; e) menghindari pembuatan
teras pada lahan yang solumnya dangkal untuk mencegah longsor/gully dan erosi tanah; f)
memaksimalkan produktivitas per unit lahan, waktu dan per unit air; g) meningkatkan
intensitas tanaman dan rasio pengolahan lahan melalui pola tanam tumpang sari atau
pergiliran tanaman; h) menjamin biodiversitas ekosistem dengan memanfaatkan karagaman
vegetasi dan hewan; i) memaksimalkan pendapatan petani dan menurunkan resiko
kegagalan selama situasi cuaca menyimpang dari kebiasaan; j) meningkatkan fasilitas sarana
dan prasarana yang berkaitan dengan transportasi, kelembagaan keuangan, pasar dan
pemasaran.
Beberapa Langkah Upaya yang Dapat Dilakukan dalam Rehabilitasi Lahan dan Konservasi
Air :
1. Usahatani Koservasi
Usahatani konservasi merupakan salah satu konsep yang dapat diterapkan untuk
mengantisipasi permasalahan tersebut di atas. Sukmana et al. (1990), menyatakan bahwa
usahatani konservasi merupakan suatu bentuk pengusahaan pertanian yang
mengkombinasikan teknik konservasi, baik mekanik maupun vegetatif dengan tujuan
memaksimumkan tujuan rumah tangga petani dan kelestarian sumberdaya lahannya.
Disamping untuk keberlanjutan produksi. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam
usahatani konservasi adalah : (1) kemiringan lahan, (2) kedalaman tanah, (3) kepekaan
tanah terhadap erosi (erodibilitas), dan (4) sistem pertanaman atau pola usahatani.
Konservasi lahan merupakan tindakan untuk mencegah kerusakan dan mencegah
erosi, memperbaiki lahan yang rusak serta menetapkan tindakan-tindakan yang diperlukan
agar lahan dapat dipergunakan untuk waktu yang tidak terbatas atau berkalanjutan. Setiap
perlakuan yang diberikan terhadap sebidang lahan akan mempengaruhi perilaku tata air
daerah tersebut (Astuti dan Suryoatmojo, 2002). Kesadaran akan perlunya konservasi lahan
sebenarnya sudah sejak lama dirasakan, akan tetapi selalu saja ada kesenjangan antara
keinginan para pemilik lahan dengan pakar konservasi lahan karena biasanya adanya
keterbatasan biaya dari para petani pemilik lahan untuk melaksanakan perlakuan-perlakuan
yang diperlukan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya masih banyak mengikuti
pendekatan lama. Pada pendepakatan lama konsentrasi kegiatan konservasi ada pada
pembuatan bangunan-bangunan teras, saluran-saluran dan bangunan lainnya dan sering
dilakukan dengan cara melarang orang bertanam di lahan miring. Pendekatan baru dalam
kegiatan konservasi lahan adalah yang disebut land husbandrys yang diwujudkan dalam
601
usahatani dengan pendekatan konservasi (Sabarnurdin, 2002). Selanjutnya dilkatakan
bahwa, pendekatan baru ini memberikan peluang bagi digunakannya sistem agroforestry.
Program-program pemberdayaan masyarakat lokal seperti pengembangan Hutan
Industri Terpadu (HIT) melalui program Penanaman Hutan Bersama Masyarakat (PHBM),
pengembangan kebun produktif dengan Multi Purpose Tree Species (MPTS), yang dipadukan
dengan pengembangan peternakan merupakan alternatif yang sesuai untuk wilayah lahan
marginal. Model pengelolaan tanaman terpadu pola multistrata seperti wanatani
(agroforestry) dalam bentuk kombinasi tanaman perkebunan (farm forestry), kombinasi
tanaman kayu-kayuan dengan tanaman semusim (agrosilviculture) atau kombinasi antara
tanaman semusim, kayu-kayuan/industri/buah-buahan dan hijauan pakan ternak
(agrosilvopasture) dalam bentuk tiga strata. Disamping itu, model-model pengelolaan
agroforestry yang sudah ada di masyarakat seperti model wanatani rotasi (rotation
agroforestry), tanaman lorong (alley cropping), wanatani multi strata (multi storey
agroforestry), kebun pekarangan (communal tree farming) dan kebun penggembalaan
(silvipasture) perlu dioptimalkan dalam rangka peningkatan produktivitas lahan dan
usahatani serta pendapatan petani.
Rehabilitasi lahan dengan penanaman Mucuna sp dan pemupukan P ternyata
memberikan dampak positif terhadap perbaikan produktivitas lahan (Adiningsih dan
Mulyadi, 1993). Penelitian yang telah berlangsung selama 3 tahun tersebut mampu
meningkatkan produksi padi gogo, kedelaidan jagung. Tanaman Mucuna sp mempunyai
toleransi yang baik terhadap kejenuhan Al yang tinggi (Hairiah, 1992) dan mampu bersaing
dengan alang-alang dan meningkatkan populasi bakteri Azotobacter (Sudharto et al., 1992
dan 1993), serta dalam waktu singkat dapat memperbaiki sifat fisik, kimia tanah (Suwardjo
et al, 1989).
602
Tabel 1. Penataan ruang pada sistem usahatani konservasi di lahan kering
Kedalaman Tanah (Solum )
Kemiringan
> 90 cm 90-40 cm < 40 cm Komposisi Tanaman
Lahan
Erodibilitas Semusim Tahunan
(%)
Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi (%) (%)
<15 B B B B C C 75 25
15 – 30 B B B C C C 50 50
30 – 45 B C C C C D 25 75
> 45 D D D D D D 0 100
Keterangan :
B = teras bangku dengan tampingan ditanami rumput + 75 % tanaman semusim + 25
tanaman tahunan + ternak
C = teras gulud ditanami ditanami dengan rumput dan leguminosa pohon (LTC) + 25 %
tanaman semusim + 75 % tanaman tahunan + ternak
D = Alley Cropping dengan tanaman LTC + leguminosa penutup tanah (LCC) + 100 %
tanaman tahunan + ternak
Hasil pengkajian penerapan sistem usahatani konservasi di lahan kering yang
dilakukan di desa Sumberkembar, Blitar yang dilakukan selama 5 tahun (Tabel 2). Nampak
bahwa penerapan sistem usahatani konservasi mampu menekan erosi dan meningkatkan
pendapatan petani. Pendapatan petani cenderung meningkat setelah beberapa tahun, karena
adanya kontribusi panenan dari tanaman tahunan dan ternak.
603
untuk dikembangkan, yaitu: mempunyai resiko kecil, teknologi budidayanya relatif mudah
dan memerlukan input rendah, berpeluang baik untuk dipasarkan, cocok ditumpangsarikan
dengan tanaman pangan dan hortikultura, produk dihasilkan tahan lama agar dapat
memberikan jangka waktu pemasaran yang panjang, serta cepat berproduksi, serta sesuai
dengan minat dan keinginan petani.
Pemilihan tingkat kesesuaian komoditi secara agroekologi memerlukan 4 macam
masukan, yaitu : karakteristik tanah, topografi, iklim, dan syarat tumbuh tanaman.
PENUTUP
1. Program rehabilitasi lahan marginal perlu diprioritaskan terlebih dahulu pada upaya
peningkatan produktivitas lahan dan konservasi air dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
2. Dalam upaya rehabilitasi lahan marginal, salah satu alternatif model yang dapat
dikembangkan adalah sistem usahatani konservasi atau model pengembangan
agribisnis terpadu tanaman-ternak berbasis usahatani konservasi.
3. Secara bertahap di wilayah lahan marginal perlu disiapkan pula kegiatan agroindustri
hasil-hasil pertanian dan perkebunan untuk mengolah bahan baku menjadi produk
perdagangan sebagai hasil utama, sedangkan produk samping atau limbahnya dapat
dimanfaatkan untuk mendukung bahan baku pakan dan pemanfaatan untuk pupuk
organik.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, S dan H. Suryoatmojo. 2002. Pembangunan kawasan Gunung Kidul dengan konservasi
lahan yang berwawasan lingkungan. Makalah dalam lokakarya pengembangan
agribisnis berbasis sumberdaya lokal dalam mendukung pengembangan ekonomi
kawasan selatan Jawa, Malang, 22 Oktober 2002. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Jawa Timur.
Chuzaemi. S. 2002. Arah dan sasaran penelitian nutrisi sapi potong di indonesia. makalah
dalam workshop sapi potong, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan
Loka Penelitian Sapi Potong, Grati. Malang 11-12 April 2002.
Exsa International Co. Ldt. 1992. Studi Dampak Proyek Pertanian Lahan Kering dan
konservasi Tanah. main Report. Bogor.
P3HTA. 1994. Penelitian pengembangan usahatani konservasi di daerah aliran sungai bagian
hulu. Proses Perencanaan dan Pelaksanaan. Proyek Penelitian Penyelematan Hutan
Tanah dan Air (P3HTA), Badan Litbang Pertanian.
604
Kawasan Selatan Jawa Timur. Kerjasama antara Pemda Kabupaten Blitar dengan
BPPT Jakarta.
Wijaya D. 2002. Prioritas dan strategi baru pembangunan ekonomi jawa timur. buletin
litbang dwi bulanan “Teropong” Nomor 02 Edisi Desember 2001-Januari 2002, Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah, Propinsi Jawa Timur, Surabaya.
605
EFEKTIVITAS KULTUR CAMPURAN BAKTERI PENAMBAT N-
BEBAS DAN PELARUT FOSFAT PADA TOMAT
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pupuk hayati yang
mengandung kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat pada tanaman tomat.
Perlakuan penelitian terdiri atas pemupukan menggunakan campuran kultur penambat N-
bebas dan pelarut fosfat (PKC), pupuk PKC disertai dengan NPK setengah takaran
rekomendasi (PKC+NPK50), pupuk PKC disertai dengan NPK takaran rekomendasi
(PKC+NPK 100) dan sebagai pembanding adalah perlakuan pemupukan menggunakan NPK
takaran rekomendasi (NPK 100), serta pupuk hayati sejenis yang telah diperjual-belikan
secara bebas di pasaran yang disertai NPK setengah takaran rekomendasi (PHS). Petak
perlakuan diatur menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 3 kali ulangan.
Peubah pengamatan terdiri atas tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, serta jumlah
danberat buah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pengaruh pupuk kultur campuran
penambat N-bebas dan pelarut fosfat setara pupuk hayati pembanding sejenis, namun
dengan lebih rendah dibandingkan pupuk NPK takaran rekomendasi. Efektivitas agronomis
(RAE) pupuk PKC dan PKC+NPK50 masing-masing mencapai 76,8% dan 88,5%, sedangkan
pupuk PKC+NPK 100 mencapai 121,5%.
PENDAHULUAN
Tomat merupakan salah satu jenis sayuran buah penting dan sangat dikenal oleh
masyarakat Indonesia.Buah tomat kaya senyawa likopen yang memiliki daya antioksidan
tinggi dan mampu melawan radikal bebas akibat polusi dan radiasi sinar ultra violet
(Khachick et al., 2002; Aghel et al., 2012). Menurut Etisna et al., ( 2013), hasil produksi
tanaman tomat di Indonesia masih tergolong rendah, baik kualitas maupun kuantitasnya.
Salah satu penyebab rendahnya produksi tomat tersebut adalah belum terpenuhinya
kebutuhan unsur hara makro, khususnya nitrogen (N) dan fosfor (P).
Tanaman tomat memerlukan unsur N dan P dalam jumlah relatif tinggi. Fungsi unsur
tersebut diantaranya adalah sebagai pembentuk protein, inti sel, lemak, serta karbohidrat,
mendukung pertumbuhan perakaran, meningkatkan resistensi tanaman terhadap hama dan
penyakit serta memperbaiki kualitas hasil tanaman (Subhan et al., 2009). Pada sebagian
besar tanah pertanian di Indonesia, pemenuhan unsur N dan P umumnya dilakukan
menggunakan pupuk kimia sintetik.Namun demikian, penggunaan pupuk kimia sintetik
memiliki efisiensi yang rendah serta dapat menyebabkan peningkatan laju degradasi
senyawa organik dan emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (Widawati et al,,
2012).
Salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemupukkan N dan P
adalah melalui pemanfaatan pupuk hayati. Salah satu peran bakteri penambat N dan pelarut
fosfat adalah dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara N dan P dalam tanah
sebagaimana telah dilaporkan oleh Supriyadi et al., 2004; Son et al., 2006; Aditya et al.,
606
2009).Beberapa hasil penelitian telah membuktikan pengaruh pupuk hayati yang
mengandung penambat N-bebas danpelarut fosfat dalam meningkatkan produksi tanaman,
diantaranya dilaporkan oleh Abbasniayzare et al., 2012; Umesha et al., 2014; Derkowska et
al., 2015.
Penambat N-bebas mampu mengikat N2secara non simbiosis sehingga meningkatkan
ketersediaan N dalam tanah, sedangkan pelarut fosfat dapat melarutkan fosfat anorganik
dari bentuk yang tidak tersedia menjadi fosfat yang tersedia bagi tanaman (Ahmad et al.,
2008; Khan et al., 2009; Surtiningsih dan Mariam, 2010; Antonius dan Agustiyani, 2011;
Walpola dan Yoon, 2012; Mirza et al., 2014). Penelitian penggunaan kultur campuran antara
penambat N-bebas dan pelarut fosfat telah banyak dipublikasikan. Namun demikian, hasil
pengujian tersebut pada tanaman tomat belum dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari efektivitas kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat dalam
mendukung pertumbuhan dan hasil tomat pada skala lapang.
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang digunakan meliputi pupuk hayati campuran penambat N-bebas
dan pelaruf fosfat, benih tomat varietas Ratna (Panah Merah), pupuk NPK granular 15:15:15,
pupuk hayati yang telah diperjual-belikan di pasaran, dan pupuk kandang ayam. Alat yang
digunakan meliputi alat ukur tinggi tanaman, jangka sorong, serta timbangan.
Pelaksanaan Percobaan
Percobaan terdiri atas lima perlakuan pemupukan yaitu campuran kultur penambat
N-bebas dan pelarut fosfat tanpa pupuk NPK (PKC), kultur campuran penambat N-bebas dan
pelarut fosfat yang disertai dengan NPK setengah takaran rekomendasi (PKC+NPK50), kultur
campuran mikroba dan pelarut fosfat yang disertai dengan NPK takaran rekomendasi
(PKC+NPK 100) dan sebagai pembanding adalah perlakuan pemupukan menggunakan NPK
takaran rekomendasi (NPK 100) serta pupuk hayati sejenis yang telah diperjual-belikan
secara bebas di pasaran (PHS) (Tabel 1).
2 PKC + NPK 50 Campuran kultur penambat N-bebas dan pelarut fosfat + NPK
15:15:15, 150 kg/Ha
3 PKC + NPK 100 Campuran kultur penambat N-bebas dan pelarut fosfat + NPK
15:15:15, 300 kg/Ha
4 NPK 100 Pemupukan menggunakan NPK 15:15:15, 300 kg/Ha
5 PHS + NPK 50 Pupuk hayati sejenis yang telah diperjual-belikan secara bebas di
pasaran + NPK 15:15:15, 150 kg/Ha
607
Peubah pengamatan meliputi tinggi tanaman, jumlah dan ukuran daun, diameter
batang, serta berat hasil panen. Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis Varian
yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan masing-masing pada tingkat
kepercayaan 95%. Penilaian keefektifan pupuk juga dilakukan berdasarkan nilai efektifitas
agronomis relatif atau Relative Agronomic Effectiveness(RAE) terhadap pupuk standar(Bolan
et al., 1990). Suatu pupuk dinyatakan efektif secara agronomis apabila memiliki nilai RAE
lebih dari 100.
Tabel 2. Pengaruh kultur campuran bakteri penambat N-bebas dan pelarut fosfat terhadap
pertumbuhan tanaman tomat
Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Daun Diameter Batang (mm)
Perlakuan 14 HST 21 28 HST 14 HST 21 HST 28 HST 14 HST 21 28 HST
HST HST
PKC 26,5b 39,5b 62,2c 7,9a 12,3b 19,1b 0,6a 0,7a 0,8a
PKC + NPK 50 24,8a 37,1a 62,6c 8,7b 12,5b 20,4c 0,6a 0,7a 0,8a
PKC + NPK 100 26,8b 36,1a 59,8a 7,8a 11,8a 17,2a 0,6a 0,7a 0,8a
NPK 100 26,8b 38,3b 61,6b 7,8a 11,5a 18,4b 0,6a 0,7a 0,8a
PHS + NPK 50 27,7b 36,8a 61,0b 7,5a 12,8b 19,1b 0,6a 0,7a 0,8a
Keterangan : Angka-angka sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%
Jumlah dan berat buah tomat pada perlakuan PKC nyata lebih sedikit dibandingkan
perlakuan PKC yang disertai NPK setengah rekomendasi (PKC+NPK 50).Jumlah buah
perluasan 100 m2 pada perlakuan PKC+NPK50 tersebut secara statistik tidak berbeda nyata
dengan PHS+NPK50 dan NPK takaran rekomendasi (NPK 100). Jumlah buah dan berat buah
terbanyak terdapat pada perlakuan PKC+NPK 100 yaitu sebanyak 10.590 buah/100m 2 atau
setara 288,44 kg/100m2.
Nilai efektivitas agronomis relatif (RAE) pupuk kultur campuran penambat N-bebas
dan pelarut fosfat hanya mencapai 76,8%, sedangkan pupuk PKCyang disertai NPK setengah
takaran rekomendasi mencapai 88,5% dan 121,5% untuk perlakuan PKC+NPK 100 (Gambar
608
1). Hal tersebut menunjukkan bahwa efektivitas agronomis relatif pupuk PKC tersebut lebih
rendah dibandingkan pupuk standar (NPK takaran rekomendasi). Sementara itu, kombinasi
PKC dan NPK takaran rekomendasi mampu meningkatkan efektivitas pupuk melebihi pupuk
NPK rekomendasi. Apabila melihat dari hasil tersebut maka diduga pemberian PKC yang
disertai dengan NPK 3/4 takaran rekomendasi akan sebanding dengan pupuk NPK
rekomendasi. Artinya pemberian PKC akan mampu menggantikan 25% jumlah pupuk NPK
pada tanaman tomat.
Nilai
PKC
PKC+NPK 50
PKC+NPK100
Perlakuan
Gambar 1. Efektivitas agronomis relatif (RAE) pupuk kultur
campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat
pada tanaman tomat
Berdasarkan hasil penelitian di atas, ditemukan tiga hal menarik. Pertama, pupuk
kultur campuran penambat N-bebas dan pelaruf fosfat yang diaplikasikan setara dengan
pupuk pembanding sejenis yang telah dijual bebas di pasaran. Kedua, pupuk kultur
campuran N-bebas dan pelarut fosfat secara tunggal tidak memberikan pengaruh cukup
signifikan dibandingkan pupuk kimia NPK takaran rekomendasi. Ketiga, kombinasi pupuk
penambat N-bebas dan pelarut fosfat dan NPK mampu meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pemupukkan pada tomat.
Kultur campuran bakteri penambat N-bebas dan pelarut fosfat yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri atas beberapa strain. Strain-strain bakteri tersebut secara tunggal telah
diuji dan dipilih sebagai penambat N-bebas ataupun sebagai pelarut fosfat yang memiliki
kemampuan cukup baik dalam penyediaan N dan P untuk tanaman. Oleh sebab itu,
kemampuan kultur campuran tersebut dalam mendukung penyediaan N dan P untuk
tanaman sebanding dengan produk serupa yang telah dijual bebas di pasaran.
Rendahnya kemampuan kultur campuran tersebut apabila dibandingkan dengan
perlakuan pupuk NPK takaran rekomendasi disebabkan belum seimbangnya antara
kebutuhan tanaman terhadap penyediaan unsur hara yang difasilitasi oleh mikroba
penambat N-bebas dan pelarut fosfat yang diaplikasikan. Hasil analisis tanah menunjukkan
bahwa karakteristik kimia tanah cukup potensial untuk mendukung penyediaan hara untuk
tanaman. Akan tetapi rendahnya unsur karbon (Tabel 4) kemungkinan besar menjadi
penyebab utama tidak optimalnya kinerja kultur mikroba tersebut. Beberapa penelitian
terdahulu telah membuktikan peran unsur karbon terhadap kinerja mikroba fungsional,
diantaranya Sastro et al., 2008; Steinbeiss et al., 2009; Abdullahi et al., 2013; Bowles et al.,
2014; Lange at al., 2015; Merino et al., 2015.
Peningkatan efektivitas pupuk kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat
pada saat dikombinasikan dengan pupuk NPK disebabkan adanya sinergisme antara bakteri
dengan ketersediaan nitrogen, fosfat, dan kalium aktual akibat perlakuan pemupukan.
Beberapa peneliti telah melaporkan keterkaitan kombinasi aplikasi mikroba dengan pupuk
sintetik terhadap ketersediaan hara dan pertumbuhan tanaman, meliputi Abdelaziz et al.,
2007; Yazdani et al., 2009; Javaid, 2010; Dinesh et al., 2012; Berger et al., 2013; Abbas et al.,
2013; Haggag et al., 2015.
609
Tabel 4. Karakteristik kimia tanah lahan penelitian
pH Bahan Organik (%) P2O5 K2O
pH- pH- C N C/N P2O5-HCl P2O5- K2O-HCl K2O-
H2O KCl 25% Bray-1 25% Morga
(mg/100g) (ppm) (mg/100g) n
(ppm)
5,0 4,3 1,7 0,1 12 157 175,5 34 334
5 5
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Kemampuan pupuk kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat dalam
mendukung pertumbuhan dan hasil tomat sebanding dengan pupuk hayati komersial
sejenis.
2. Tingkat efektivitas pupuk kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat dalam
mendukung pertumbuhan dan hasil tomat lebih rendah dibandingkan pupuk kimia NPK
dosis rekomendasi.
3. Efektivitas kultur campuran penambat N-bebas dan pelarut fosfat dalam mendukung
pertumbuhan dan hasil tomat meningkat apabila dikombinasikan dengan pupuk kimia
NPK sehingga mampu menggantikan hingga 25% takaran NPK dosis rekomendasi.
.
UCAPAN TERIMAKSIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian atas pembiayaan
penelitian, Kepala Balai Pengkajian Teknologi (BPTP) Jakarta atas izin dan fasilitasi sarana
penelitian, serta petani kooperator Bapak Emod dan Tim Teknisi BPTP Jakarta, meliputi
Muhamad Nur dan Winarto yang telah membantu mulai persiapan hingga pelaksanaan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Z., M.A.Zia, S. Ali, Z. Abbas, A. Waheed, A. Bahadur, T. Hameed, A. Iqbal, I. Muhammad,
S. Roomi, M.Z. Ahmad and T. Sultan. 2013. Integrated effect of plant growth promoting
rhizobacteria, phosphate solubilizing bacteria and chemical fertilizers on growth of
maize. Intl J Agri Crop Sci. 6(13):913-921
610
Abdelaziz, M., R. Pokluda, and M. Abdelwahab. 2007. Influence of compost, microorganisms
and NPK fertilizer upon growth, chemical composition and essential oil production of
Rosmarinus officinale. Not. Bot. Hort. Agrobot, 35(1):86-90.
Abdullahi, R., H.H. Sheriff, and S. Lihan. 2013. Combine effect of bio-fertilizer and poultry
manure on growth, nutrients uptake and microbial population associated with sesame
Sesamumindicum L) inNorth-eastern Nigeria. Journal of Environmental Science,
Toxicology and Food Technology 5 (5): 60-65.
Aditya, B., A. Ghosh, and D. Chatopadyay. 2009. Co-Inoculation effects of nitrogen fixing and
phosphate solubilizing microorganism on teak (Tectona grandis) and Indian redwood
(Chukrasia tubalaris). Journal of Biological Science 1(1): 23-32.
Aghel, N., Z. Ramezani, and S. Amirfakhrian. 2011. Issolation and quantification of Lycopene
from tomato cultivated in Dezfoul, Iran. Journal of Natural Pharmaceutical Products
6(1): 9-15.
Ahmad, F., I. Ahmad, and M.S. Khan. 2008. Screening of free-living rhizospheric bacteria for
their multiple plant growth promoting activities. Microbiological Research 163: 173-
181.
Antonius, S and Dwi Agustiyani. 2011. Effects of biofertilizer containing microbial of N-fixer,
P solubilizer and plant growth factor producer on cabbage (Brassica Oleraceae Var.
Capitata). Berk. Penel. Hayati 16 : 149–153.
Berger, L.R., N.P. Stamford, C.E.R.S. Santos, A.D.S. Freitas, L.O. Franco, and T.C.M. Stamford.
2013. Plant and soil characteristics affected by biofertilizers from rocks and organic
matter inoculated with diazotrophic bacteria and fungi that produce chitosan. Journal
of Soil Science and Plant Nutrition 13(3):592-603
Bolan, N. S., R.E. White, and M.J. Hedley. 1990. A review of the use of phosphate rocks as
fertilizers for direct application in Australia and New-Zealand. Australian Journal of
Experimental Agriculture 30(2): 297-313.
Bowles, T.M., V. Acosta-Martínez, F. Calderón, and L.E. Jackson. 2014. Soil enzyme activities,
microbial communities, and carbon and nitrogen availability in organic
agroecosystems across an intensively-managed agricultural landscape. Soil Biology &
Biochemistry 68:252-262.
Dinesh, R., M. Anandaraj, A. Kumar, V. Srinivasan, Y.K. Bini, K.P. Subila, R. Aravind, and S.
Hamza. 2013. Effects of plant growth-promoting Rhizobacteria and NPK fertilizers on
biochemical and microbial properties of soils under ginger (Zingiber officinale)
Cultivation. Agric. Res. 2(4):346–353
Etisna, A., Undang, Yaya Sunarya. 2013. Pengaruh Takaran Pupuk Kompos Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tomat (Lycopersicon esculentum Mill) VarietasPermata F1.
Haggag, L.F., M.F.M. Shahin, H.A. Mahdy, K.G. Amira, Atteya, and H.S.A. Hassan. 2015.
Beneficial effect of NPK, pigeon manure tea and microbial fertilizers as soil application
on growth of "Toffahi" and "Picual" olive seedlings. Journal of Agricultural Technology
11(7):1565-1582.
611
Javaid. A. 2011. Effects of biofertilizers combined with different soil amendment on potted
rice plant. Chilean Journal of Agricultural Research 71(1):157-163.
Khachik, F., L. Carvalho, P.S. Bernstein, G.J. Muir, D. Zhao, and N.B. Katz. 2002.
Chemistry,distribution and metabolism of tomato carotenoids and their impact on
human health. Exp. Biol. Med. 227: 845–851.
Khan, A.A., G. Jilani, M.S. Akhtar, S.M.S. Naqvi, and M. Rasheed. 2009. Phosphorus solubilizing
bacteria: Occurrence, mechanisms and their role in crop production.J. Agric. Biol. Sci. 1
(1):48-58.
Lange, M., N. Eisenhauer, C.A. Sierra, H. Bessler, C. Engels, R.I. Griffiths, P.G.M. Va´zquez1, A.A.
Malik, J. Roy, S. Scheu, S. Steinbeiss, B.C. Thomson, S.E. Trumbore, and G. Gleixner1.
2015. Plant diversity increases soil microbial activity and soil carbon storage. Nature
Communication. DOI: 10.1038/ncomms7707.
Merino, C., P. Nannipieri, and F. Matus. 2015. Soil carbon controlled by plant, microorganism
and mineralogy interactions. Journal of Soil Science and Plant Nutrition, 15 (2), 321-
332
Mirza,B.S., C. Potisap, K. Nüsslein, B.J.M. Bohannan, J.L.M. Rodriguesa. 2014. Response of free-
living nitrogen-fixing microorganisms to land use change in the Amazon
rainforest.Applied and Environmental Microbiology 80 (1): 281–288.
Son, T.T.N., C.N. Diep and T.T.M. Giang. 2006. Effect of Bradyrhizobium and phosphate
solubilizing bacteri application on soybean in rotational system in Mekong Delta.
Omonrice 14: 48-57.
Steinbeiss, S., G. Gleixner, M. Antonietti. 2009. Effect of biochar amendment on soil carbon
balance and soil microbial activity. Soil Biology & Biochemistry xxx:1–10.
Subhan, N. Nurtika, dan N. Gunadi. 2009. Respons tanaman tomat terhadap penggunaan
pupuk majemuk NPK 15-15-15 pada tanah Latosol pada musim kemarau. Jurnal
Hortikultura 19(1):40-48.
Supriyadi, Jauhari S, dan Yunita I. 2004. Pengaruh pengkayaan kompos sampah kota dengan
bakteri penambat N-bebas, bakteri pelarut fosfat dan EM-4 terhadap laju dekomposisi
dan kualitas pupuk. Sains Tanah 3(1) : 11-16.
Surtiningsing, T. dan S Mariam. 2010. Efektifitas campuran pupuk hayati dengan pupuk
kimia pada pertumbuhan tanaman Selada Bokor (Lactuca sativa, L.) var.Crispa. Jurnal
Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamVol 14:. 2 : 4–8.
Umesha, S., M. Srikantaiah, K.S. Prasanna, K.R. Sreeramulu, M. Divya, and R.N. Lakshmipathi.
2014. Comparative effect of organics and biofertilizers on growth and yield of maize
(Zea mays. L). Current Agriculture Research Journal 2(1): 55-62.
Walpola, B.C. and M. Yoon. 2012. Prospectus of phosphate solubilizing microorganisms and
phosphorus availability in agricultural soils: A review. African Journal of Microbiology
Research 6(37): 6600-6605.
Widawati, S., Sudiana, Sukara, dan Muharam, 2012. Teknologi budidaya tanaman tomat
melalui inverted gardening dan conventional gardening berbasis pemanfaatan bakteri
indigenus. Jurnal Hortikultura22(3):224-232.
612
Yazdani, M., M.A. Bahmanyar, H. Pirdashti, and M.A. Esmaili. 2009. Effect of phosphate
solubilization microorganisms (PSM) and plant growth promoting rhizobacteria
(PGPR) on yield and yield components of corn (Zea mays L.).Engineering and
Technology 49:90-92.
613
IDENTIFIKASI SEBARAN TIMBAL (Pb) PADA LAHAN SAWAH
DATARAN TINGGI DI KABUPATEN WONOSOBO DAN
SERAPANNYA PADA TANAMAN PADI
Dolty Mellyga (1), Sukarjo (2), Anik Hidayah (3), Prihasto Setyanto (4)
ABSTRAK
Timbal (Pb) secara alami terdapat di dalam kerak bumi dan tersebar di alam dalam
jumlah kecil melalui proses alami termasuk letusan gunung berapi dan proses geokimia.
Sumber-sumber timbal antara lain cat usang, debu, udara, air, makanan yang terkontaminasi
dan bahan bakar bertimbal (SNI 7387:2009). Penelitian ini untuk mengetahui sebaran Pb
pada tanah sawah di Kabupaten Wonosobo dan konsentrasi Pb pada tanaman padi (jerami
dan beras). Metode pengambilan sampel menggunakan metode survey. Satuan peta
dideliniasi dengan bantuan program ArcGIS berdasarkan kemiringan lahan. Terdapat 312
titik lokasi sampel namun hanya 13 sampel yang terdeteksi mengandung logam Pb. Unsur-
unsur logam berat di dalam contoh tanah dan tanaman dapat ditetapkan dengan alat
Spektrofotometri Serapan Atom setelah sebelumnya diekstrak melalui proses destruksi
menggunakan asam campur yang terdiri dari HNO 3, HClO4 dan H2SO4. Logam berat dari
ekstrak jernih diukur langsung dengan menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom,
menggunakan deret standar logam berat sebagai pembanding. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pola sebaran Pb pada lahan sawah dataran tinggi Dieng terdistribusi normal dan
menyebar. Konsentrasi Pb tanah terukur antara 9,32 ppm - 14,82 ppm, konsentrasi di jerami
0,18 ppm - 4,1 ppm, konsentrasi di beras 0,28 ppm - 1,32 ppm. Hanya ada 13 sampel yang
terdeteksi
PENDAHULUAN
Timbal memiliki lambang Pb dalam tabel periodik unsur kimia dengan nomor atom
82. Timbal mempunyai massa jenis atom 11,34 g/cm3 termasuk dalam kategori logam berat
karena bermassa jenis atom lebih dari 6 gr/cm3. Timbal terdapat secara alami di dalam
kerak bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui proses alami termasuk letusan
gunung berapi dan proses geokimia. Pb merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-
biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5 ºC dan titik didih 1.740 ºC pada
tekanan atmosfer. Sumber-sumber timbal antara lain cat usang, debu, udara, air, makanan,
tanah yang terkontaminasi dan bahan bakar bertimbal (SNI 7387 : 2009).
Sumber pencemaran timbal dari transportasi berasal dari bahan bakar yang
dicampur timbal dengan tujuan untuk meningkatkan angka oktan. Sumber dari perairan
Timbal (Pb) dan persenyawaannya dapat berada di dalam badan perairan secara alamiah
dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Pb yang masuk ke dalam perairan sebagai
dampak aktivitas kehidupan manusia diantaranya adalah air buangan dari pertambangan
bijih timah hitam, buangan sisa industri baterai dan bahan bakar angkutan air. Secara
alamiah, Pb dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan
614
bantuan air hujan (Puskak3aceh, 2014). Dalam makanan, timbal berasal dari kontaminasi
kaleng makanan dan minuman dan solder yang bertimbal (Puskak3aceh, 2014).
Pupuk fosfat dan pupuk organik mengandung logam berat. Logam berat yang
terdapat dalam pupuk fosfat sebagai unsur ikutan (impurities). Hasil analisis berbagai pupuk
fosfat, selain mengandung unsur utama P2O5 pupuk, juga mengandung unsur hara sekunder
Ca, Mg, dan unsur mikro Fe, Mn, Cu, Zn, dan logam berat Cd, Cr, Pb, Cu, Hg dalam jumlah yang
bervariasi yaitu Cd (0,1-170 ppm), Cr (66-245 ppm), Pb (40-2000 ppm), dan Cu (1-300 ppm)
(Setyorini dalam Sukarjo, 2015)
Anak yang terpapar Pb akan mengalami degradasi kecerdasan alias idiot. Pada
orang dewasa Pb mengurangi kesuburan, bahkan menyebabkan kemandulan atau keguguran
pada wanita hamil, kalaupun tidak keguguran, sel otak tidak bisa berkembang. Dampak Pb
pada ibu hamil selain berpengaruh pada ibu juga pada embrio/ janin yang dikandungnya.
Selain penyakit yang diderita ibu sangat menentukan kualitas janin dan bayi yang akan
dilahirkan juga bahan kimia atau obat-obatan, misalnya keracunan Pb organik dapat
meningkatkan angka keguguran, kelahiran mati atau kelahiran premature (Puskak3aceh,
2014).
Senyawa-senyawa timbal organik relatif lebih mudah untuk diserap tubuh melalui
selaput lendir atau melalui lapisan kulit bila dibandingkan dengan senyawa-senyawa timbal
anorganik. Namun hal itu bukan berarti semua senyawa timbal dapat diserap oleh tubuh,
melainkan hanya sekitar 5 – 10% dari jumlah timbal yang masuk melalui makanan dan
atau sebesar 30% dari jumlah timbal yang terhirup yang akan diserap oleh tubuh. Dari
jumlah yang terserap itu hanya 15% yang akan mengendap pada jaringan tubuh, dan
sisanya akan turut terbuang bersama bahan sisa metabolisme seperti urin dan fese
(Puskak3aceh, 2014).
Deskripsi Wilayah
DAS Serayu terletak dibagian selatan Jawa Tengah. Sungai Serayu dari hulu hingga
hilir mempunyai luas 3.759 km 2 dan secara geografis terletak pada koordinat 07o05‘ s.d.
07o4‘ LS dan 108o56‘ s.d. 110o05‘ BT. Adapun batas-batas wilayah DAS Serayu yaitu sebelah
timur berbatasan dengan Rangkaian Gunung api Sumbing dan Gunung api Sindoro, sebelah
utara berbatasan dengan Pegunungan Besar, pegunungan Rogojembangan, Gunungapi
Slamet, sebelah selatan berbatasan dengan Pegunungan Serayu Selatan dan sebelah barat
berbatasan dengan Perbukitan yang melintang sepanjang perbatasan Banyumas dan Cilacap
(Sukarjo, 2015).
Berdasarkan PP No. 42 Tahun 2008, Wilayah Sungai mengelola satu atau lebih DAS.
Kali Serayu atau Sungai Serayu adalah salah satu sungai di Jawa Tengah. Membentang
kurang lebih. 181 km, sungai ini melintasi lima kabupaten yakni Kabupaten Wonosobo,
Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, hingga bermuara di
Samudra Hindia di wilayah Kabupaten Cilacap (Sukarjo, 2015).
Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah yang terletak pada 70.43’.13” dan 70.04’.40” garis Lintang Selatan (LS) serta
1090.43’.19” dan 1100.04’.40” garis Bujur Timur (BT), dengan luas 98.468 ha (984,68 km2)
atau 3,03 % luas Jawa Tengah. Kabupaten Wonosobo terbagi menjadi 15 kecamatan. Berada
pada rentang 250 dpl – 2.250 dpl. Daerah dengan ketinggian 500–1.000 m dpl seluas 50,00%
dari seluruh areal dan daerah dengan ketinggian > 1.000 m dpl seluas 16,67% dari seluruh
wilayah, sehingga menjadikan ciri dataran tinggi sebagai wajah Kabupaten (NN, 2014).
Wonosobo beriklim tropis dengan dua musim yaitu kemarau dan penghujan. Suhu
udara rata-rata 24 – 30o C di siang hari, turun menjadi 20 o C pada malam hari. Pada bulan
Juli – Agustus turun menjadi 12 – 15 o C pada malam hari dan 15 – 20 o C di siang hari. Rata-
rata hari hujan adalah 196 hari, dengan curah hujan rata-rata 3.400 mm (NN, 2014).
Berdasarkan adanya indikasi logam berat dalam produk pertanian, maka diperlukan
adanya penelitian di lahan-lahan sawah yang tercemar menurut tingkat pencemarannya.
Umumnya lahan pertanian yang berada dekat dengan kawasan industri, kota padat
penduduk, pertanian intensif berpeluang tercemar logam berat As, Pb, Cd, Cr, Cu, Mn, Zn, Fe,
Ni dan residu pestisida. Limbah cair industri paling sering merusak lingkungan dengan
indikator kematian ikan, keracunan pada manusia dan ternak, kematian plankton, akumulasi
dalam daging ikan dan moluska. Dengan pertimbangan tersebut maka dilakukan penelitian
615
ini untuk mengetahui sebaran Pb dalam tanah dan serapannya pada tanaman (jerami) dan
beras di lahan sawah dataran tinggi Kabupaten Wonosobo.
(Sumber : http://kripik-jamur-dieng.blogspot.co.id/2012/08/peta-wisata-kabupaten-
wonosobo.html)
Gambar 1. Peta Administrasi Kabupaten Wonosobo
METODE
Metode pengambilan unit pengamatan digunakan metode survei. Pengumpulan data
primer dilakukan pada titik-titik sampel penelitian yang ditentukan secara gridpada satuan
(unit) lahan sawah pada peta Rupa Bumi Indonesia. Satuan peta dideliniasi dengan bantuan
program ArcGIS berdasarkan kemiringan lahan. Lahan datar (kemiringan <3%) satu titik
sampling dapat mewakili luasan 50-100 hektar, dan lahan dengan kemiringan > 3% satu titik
sampling mewakili luasan 50 hektar (Hazelton dan Murphy, 2007; Schoknecht et al., 2008).
Pengambilan sampel tanah menggunakan alat bor tanah. Sampel tanah yang diambil pada
lapisan olah pada kedalaman 20 cm. Ada 312 sampel yang diambil. Satu titik sampling terdiri
dari 10-15 contoh individual (subcontoh), dengan jarak pengambilan tiap subcontoh 25-50
m di lapang.
Sampel tanah yang diambil kemudian dikeringanginkan, digiling kemudian disaring
menggunakan saringan ukuran 0,2 mm. Unsur-unsur logam berat di dalam contoh tanah
dapat ditetapkan dengan alat Spektrofotometri Serapan Atom setelah sebelumnya diekstrak
dengan melalui proses destruksi menggunakan asam campur yang terdiri dari HNO 3, HClO4
dan H2SO4.
Pereaksi yang perlu disiapkan adalah : (1) Asam Campur. Cara membuatnya
campurkan 750 ml HNO3 pekat, 300 ml HClO4 pekat, 150 ml H2SO4 pekat didalam botol
pereaksi. Aduk dengan perlahan-lahan sampai merata. (2) Standar Pokok 1000 ppm Pb (3)
Larutan Standar 0 (HClO4 10%). Cara membuatnya pipet 10 ml HClO 4 pekat (60%) ke dalam
labu ukur 100 ml yang sudah berisi aquades. Aduk perlahan-lahan, encerkan dan impitkan
sampai tanda garis dengan aquades. (4) Standar 100 ppm Pb. Cara membuatnya pipet 10 ml
Standar Pokok Pb kedalam labu ukur 100 ml. Encerkan dengan larutan standar 0 hingga
tepat 100 ml, lalu dikocok. (5) Deret Standar Pb (0.5; 1.0; 2.0; 5.0; 10.0; 20.0 ppm) cara
membuatnya pipet 0.5; 1.0; 2.0; 5.0; 10.0; 20.0 ml standar Pb 100 ppm ke dalam labu ukur
100 ml, encerkan dengan larutan standar 0 hingga 100 ml, lalu dikocok.
616
Setelah seluruh pereaksi yang diperlukan tersedia maka selanjutnya dilakukan
destruksi. Langkah pertama menimbang 2.0 gram contoh tanah yang telah dihaluskan ke
dalam labu Kjehdahl/ Digestion. Kemudian tambahkan 10 ml Asam Campur (dilakukan di
dalam ruang asam). Destruksi dengan suhu rendah (± 100 ºC), kemudian naikkan suhu
menjadi lebih tinggi. Pada saat uap kuning muncul, labu digestion digoyang-goyangkan
perlahan. Setelah uap kuning habis, suhu dinaikkan menjadi ± 200 ºC. Destruksi diakhiri bila
sudah keluar uap putih dan cairan dalam labu tersisa sekitar 0,5 ml. Dinginkan, kemudian
cairan diencerkan, dibilas dan disaring dengan kertas saring Whatman No. 41 kedalam labu
ukur 25 ml. Pembilasan dilakukan 4 x dan corong juga dibilas.Encerkan dengan aquades
menjadi tepat 25 ml.Kocok dengan alat pengocok atau biarkan semalam agar tercipta larutan
yang jernih.
Setelah didapatkan larutan yang jernih maka dapat langsung dilakukan
pengukuran menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom, menggunakan deret standar
logam berat sebagai pembanding.
Perhitungan
Kadar Logam Berat(ppm) = ppm kurva x fp
Keterangan :
ppm kurva = Kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar
deretstandar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.
fp = Faktor pengenceran (kalau ada)
617
Tabel 1. KonsentrasiPbyang terdeteksi pada tanah sawah, jerami dan beras Kabupaten
Wonosobo
No Titik Sampling Beras Jerami Tanah
(Desa, Kecamatan) (ppm) (ppm) (ppm)
1 Semayu, Selomerto 1,11 1,28 14,73
2 Sindupaten, Kertek 1,18 0,71 14,82
3 Gunungtawang, Selomerto 0,28 1,68 12,75
4 Wulungsari, Selomerto 0,89 1,74 10,08
5 Sumberdalem, Kertek 0,75 0,18 9,32
6 Bojosari, Kertek 1,20 0,24 11,25
7 Selomerto, Selomerto 1,05 0,95 10,50
8 Kalibeber, Mojotengah 0,63 1,11 10,72
9 Mojosari, Mojotengah 0,89 0,77 11,39
10 Sojokerto, Leksono 1,32 0,73 10,38
11 Jebengplampitan, Leksono 0,97 0,95 14,75
12 Wonosobo, Wonosobo 0,95 4,10 10,80
13 Kalikajar, Kalikajar 1,09 1,24 10,60
.
Tabel 2. Hasil analisis statistik deskriptif unsur Pb dalam tanah di lahan sawahKabupaten
Wonosobo
Parameter Statistik Tanah (ppm)
Mean 11,69923
Standard Error 0,53151
Median 10,8
Standard Deviation 1,916387
Sample Variance 3,672541
Kurtosis -0,71564
Skewness 0,880716
Range 5,5
Minimum 9,32
Maximum 14,82
Count 13
VMR 0,313933
Hasil analisa konsentrasi Pb dalam beras sebesar 0,28 ppm hingga 1,41 ppm.
Batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan yang ditetapkan oleh BPOM
(2009) kadar Pb dalam beras belum disebutkan secara jelas, namun dapat dikategorikan
dalam serealia dan produk serealia yaitu sebesar 0,3 ppm. Dengan demikian dari sampel
yang terdeteksi Pb hanya ada 1 sampel yang masih aman untuk dikonsumsi karena nilainya
dibawah ambang batas yaitu beras yang diambil dari desa Gunungtawang kecamatan
Selomerto dengan konsentrasi Pb sebesar 0,28 ppm, sedangkan 12 sampel lain yang
terdeteksi Pb sudah melebihi dari batas aman konsumsi yang ditetapkan.
Secara keseluruhan sampel kadar Pb tertinggi berada di tanah dengan konsentrasi
9,32 ppm hingga 14,82 ppm. Hampir seluruh contoh tanah mengandung Pb yang tinggi hal
ini diduga dikarenakan selain dari bahan batuan pembentuk tanah juga ada penambahan Pb
dari udara dan air. Ketika hujan turun Pb yang ada di udara maupun di tanaman terlarut dan
turun ke dalam tanah. Selain itu adanya penambahan pupuk dari kotoran hewan juga dapat
menjadi penyumbang Pb dalam tanah. Sehingga Pb terakumulasi di dalam tanah. Nilai
ambang batas tanah normal 2-300 mg/kg, kritis 100-400 mg/kg (Alloway, 1995)
618
Konsentrasi Pb pada Beras
1.4
1.2
1
Pb (ppm)
0.8
0.6 Beras
0.4 Nilai Ambang Batas
0.2
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Titik Sampel
Pb yang berada di batang berasal dari Pb yang terakumulasi di tanah yang terlarut dalam air
kemudian terangkut ke atas seiring dengan proses fotosintesa tanaman terutama dalam
pergerakan air. Konsentrasi terendah di batang 0,18 ppm dan tertinggi mencapai 4,1 ppm.
Konsentrasi yang terukur di batang masih dalam nilai ambang batas yang diperbolehkan.
Alloway, 1995 menyebutkan kandungan Pb yang diperbolehkan pada tanaman adalah 0,2 –
20 mg/kg.
KESIMPULAN
1. Konsentrasi Pb tanah pada lahan sawah di Kabupaten Wonosobo antara 9,32 ppm
hingga 14,82 ppm dengan pola sebaran terdistribusi normal.
2. Serapan Pb pada tanaman padi antara 0,18 ppm hingga 4,1 ppm pada jerami dan
0,28 ppm hingga 1,32 ppm pada beras.
619
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fitra Purnarianto, A.Md. A.K. yang telah
membantu dalam pengukuran logam berat menggunakan AAS, dan Slamet Rianto yang telah
membantu proses destruksi contoh tanah untuk analisis Pb.
DAFTAR PUSTAKA
Alloway, B.J. 1995. Heavy metals in soils. 2nd Ed. Blackie Academic & Professional, London.
Anonymous. 2007. Review of National Standard on Toxic Chemichal in Food Item. National
Agency For Food and Drug.
Balittanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Petunjuk Teknis. Edisi 2.
Balai Penelitian Tanah. Bogor. ISBN: 978-602-8039-21-5
SNI 7387:2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan. Badan Standardisasi
Nasional.
Sukarjo, dkk. 2015. Laporan Akhir Penelitian Deliniasi Sebaran Residu Pestisida dan Logam
Berat di Lahan Pertanian. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Balai Besar
Penelitian dan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementrian Pertanian.
620
Pengaruh Pemberian Beberapa Amelioran terhadap Hasil
Kedelai di Lahan Kering Masam
ABSTRAK
Tanah masam umumnya berkembang dari bahan induk tua dan mempunyai kendala
kemasaman tanah yang berhubungan dengan pH tanah kurang dari 5,5 dan tingginya
aluminium yang dapat ditukar (Al-dd) dalam tanah. Pemberian amelioran berupa dolomit
atau zeolit dapat mengurangi keracunan Al dalam tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian beberapa amelioran terhadap hasil kedelai di lahan kering
masam. Penelitian dilakukan di rumah kaca, menggunakan rancangan acak kelompok, tiga
ulangan. Perlakuan pemberian dolomit didasarkan pada metode Halley (1992) dan
kejenuhan Al mencapai 20%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dolomit
secara nyata meningkatkan hasil kedelai. Pemberian dolomit dengan dosis 1400 kg/ha
menghasilkan berat biji paling tinggi. Takaran dolomit akan turun menjadi 1000 kg/ha jika
dilakukan penambahan pupuk kandang dengan takaran 1000 kg/ha. Penambahan pupuk
kandang sebesar 1000 kg/ha meningkatkan efisiensi penggunaan dolomit.
PENDAHULUAN
Areal lahan kering di Indonesia cukup luas, lebih dari 70 juta ha, sehingga
memberikan peluang yang sangat besar untuk perluasan tanaman palawija terutama kedelai
dan jagung (Abdurachman, ed al., 1998). Ragam kesuburan lahan kering sangat besar
mengacu kepada ragam topo-geografisnya. Lahan kering masam dengan ciri Ultisol dan
Oxisol yang sebagian besar terdapat di pulau Sumatra, Kalimantan, dan Irian Jaya memiliki
kendala produktivitas berupa kemasaman tinggi, Al-dd (Aluminium dapat ditukar) serta
kadar senyawa besi (Fe) bebas sangat tinggi sehingga meracuni tanaman, kadar bahan
organik rendah, kadar unsur hara secara umum rendah, derajat kejenuhan basa rendah,
kapasitas tukar kation rendah, daya sangga tanah rendah, dan daya menahan air rendah.
Taufiq et al.,(2004) melaporkan bahwa masalah utama di lahan kering Lampung Tengah dan
Tulang Bawang untuk budidaya kedelai adalah pH rendah (< 5), kejenuhan Al tinggi (12,0 –
40,1 % di Lampung dan 18,4 – 47,6 % di Tulang Bawang), Fe tersedia tinggi (41,30 – 73,43
ppm), status P dan K tersedia rendah. Toleransi tanaman kedelai terhadap kejenuhan Al
adalah 20 % (Hartatik et al., 1987).
Penggunaan kapur pertanian baik dalam bentuk CaCO 3 maupun Dolomit dan bahan
organik untuk meningkatkan produktivitas lahan masam telah lama dianjurkan dan
dikerjakan (Kamprath, 1972; Mengel et al., 1987, Prasetya dan Suriadikarta, 2006,
Sudaryono et al., 2011). Pengapuran akan efektif jika kejenuhan kemasaman (Al+H) > 10 %
dan pH tanah < 5 (Wade et al., 1986). Penelitian perbaikan kondisi lahan kering masam di
Lampung Utara menunjukkan bahwa pemberian kapur 1 t/ha dan pupuk kandang 5 t/ha
meningkatkan hasil rata-rata sebesar 87%, dan di lahan kering masam Sitiung pemberian
621
kapur 1,7 t/ha meningkatkan hasil rata-rata sebesar 267%. Efek residunya masih
memberikan peningkatan hasil sebesar 80% di Lampung Utara dan sebesar 594% di Sitiung
(Arsyad, 2000). Paket teknologi budidaya yang dianjurkan oleh Balitkabi (1999) dan Subandi
(2007) untuk lahan kering masam Ultisol dengan komponen teknologi meliputi 1 t kapur
pertanian +50 kg Urea + 75 kg SP-36 + 50 kg KCl /ha dapat mencapai hasil > 1,5 t biji
kedelai/ha. Sudaryono (2003) melaporkan bahwa teknik budidaya kedelai di lahan masam
dengan komponen teknologi 50 kg Urea+75 kg SP-36+75 kg KCl + 3000 kg Dolomit + 2000
kg pupuk kandang + PPC Gandasil D dan B 2 g/l dengan varietas Tanggamus dapat mencapai
hasil 1,71 – 2,52 t/ha, sedang apabila memakai varietas Sibayak mencapai 1,30 – 2,02 t/ha.
Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa pengapuran sangat penting untuk
dilakukan dilahan kering masam. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui penentuan dosis kapur berdasarkan beberapa metode yang telah ada.
METODOLOGI
Contoh tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah Ultisol dari Desa
Sari Bakti 2, Kecamatan Seputih Banyak, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.
Penelitian di rumah kaca dilaksanakan tahun 2010 di Balitkabi, Malang. Reaksi tanah yang
digunakan percobaan adalah agak masam (pH 5,15), C-organik : rendah (1,07%), P : rendah
(4,28 ppm P2O5), N-total : rendah (0,05%), Al-dd : 2,17 me/100g, kejenuhan Al : 59%.
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 6 ulangan. Perlakuan
terdiri atas : 1. Penentuan kapur berdasarkan metode Halliday, 2. Kejenuhan Al, 3. 400 kg/ha
(Sudaryono, 2005), 4. Zeolit 300 kg/ha (Sudaryono, 2005).
Penetapan amelioran didasarkan pada dua konsep berikut ini :
1. Halliday (1992) menganjurkan penetapan amelioran menurut rumus :
(70 – V1) x KTK
Kebutuhan amelioran = ----------------------- x f x 1 t/ha
100
adapun : V1 = persen kejenuhan basa
KTK = kapasitas tukar kation efektif
F = reaktifitas amelioran (nilai umum 1,5)
Berdasarkan rumus no 1 dengan kejenuhan basa 9,6% dan KTK efektif 1,7
me/100 g maka kebutuhan amelioran ideal adalah : 1,03 t/ha dan dibulatkan 1
t/ha.
2. Berdasarkan Kejenuhan Al (20%)
Kebutuhan amelioran = (Aldd – Y.KTKef.) x 1,65 t dolomit/ha
Adapun : Y = batas kritis toleransi kedelai terhadap Al (20%)
KTKef = kapasitas tukar kation efektif ((Ca+K+Mg+Na+H+Al)
1,65 t/ha = kebutuhan dolomit ideal (equivalen 1 Aldd). Sudaryono et.al.
(2005a) melaporkan bahwa pada tanah lapis atas (0-20 cm) di wilayah
kecamatan Rumbia memiliki kadar Aldd rata-rata 1,16 me/100 g tanah, dan
kation tertukar K, Ca, Mg dan Na berturut-turut sebesar 0,08, 1,09, 0,41, dan 0,12
me/100 g tanah. Menurut data ini maka kebutuhan amelioran dolomit yang ideal
berdasarkan rumus kedua adalah 1,353 t/ha dan dibulatkan 1,4 t/ha.
3. Sudaryono et.al., (2005b) melaporkan bahwa :
Kebutuhan dolomit optimal untuk tanaman kedelai adalah 300-450 kg/ha.
4. Kebutuhan Zeolit optimal = 150-300 kg/ha.
Pengamatan dilakukan pada musim tanam ke 3 dengan parameter yang diamati
adalah tinggi tanaman fase berbunga, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, bobot 100 biji
dan hasil biji per polibag.
Analisis statistik meliputi analisis ragam dan apabila berbeda nyata dilanjutkan
dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5%.
622
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis statistik tinggi tanaman pada umur 45 hst menunjukkan bahwa terjadi
interaksi antara pemberian pupuk kandang dengan amelioran. Pemberian pupuk kandang
yang disertai dengan pemberian dolomit 1400 kg/ha atau zeolit 300 kg/ha memberikan
tinggi tanaman yang terbaik (Tabel 1). Pemberian pupuk kandang mampu meningkatkan
tinggi tanaman lebih baik dibandingkan dengan tanpa pupuk kandang. Sedangkan pada saat
panen, pemberian pupuk kandang dan amelioran tidak memberikan pengaruh tidak nyata
terhadap tinggi tanaman (Tabel 2).
Tabel 1. Pengaruh amelioran tanah terhadap tinggi tanaman pada umur 45 hst, Rumah Kaca
2010.
Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Rata-rata
Tanpa pukan Dengan pukan
Dolomit (400 kg/ha) 36,2 f 40,1 bc 35,5
Dolomit (1000 kg/ha) 37,9 e 41,4 b 38,1
Dolomit (1400 kg/ha) 39,7 cd 43,9 a 39,7
Zeolit (300 kg/ha) 35,1 f 45,5 a 41,8
Kontrol 32,7 g 38,1 de 40,3
Rata-rata 36,3 41,8
Keterangan: angka sekolom yang didampingi huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
dengan uji BNT 5%. Dosis pupuk kandang; 1 t/ha, kk : 3,22%
Pemberian pupuk kandang dan amelioran memberikan pengaruh yang nyata terhadap
jumlah polong isi per tanaman. Jumlah polong isi terbanyak diperoleh dengan perlakuan
tanpa pemberian pupuk kandang dan pemberian dolomit 1400 kg/ha, dan diikuti dengan
perlakuan pemberian pupuk kandang yang disertai dengan pemberian dolomit 1000 kg/ha
(Tabel 3). Peningkatan jumlah polong isi mencapai 266% bila dibandingkan dengan
perlakuan kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan dolomit, untuk memperoleh hasil yang sama apabila
tanpa pupuk kandang diperlukan dolomit sebesar 1400 kg/ha, akan tetapi bila
menggunakan pupuk kandang makakebutuhan dolomit hanya 1000 kg/ha.
Tabel 2. Pengaruh amelioran tanah terhadap tinggi tanaman pada saat panen, Rumah Kaca
2010.
Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Rata-rata
Tanpa pukan Dengan pukan
Dolomit (400 kg/ha) 49,8 43,6 44,0
Dolomit (1000 kg/ha) 45,7 51,5 46,7
Dolomit (1400 kg/ha) 46,2 45,5 48,6
Zeolit (300 kg/ha) 46,3 50,0 45,8
Kontrol 41,7 46,3 48,2
Rata-rata 45,9 47,4
Keterangan: angka sekolom yang didampingi huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
dengan uji BNT 5%. Dosis pupuk kandang; 1 t/ha, kk : 8,94%
Penggunaan dolomit 400 kg/ha baik dengan pupuk kandang maupun tanpa pupuk
kandang belum mampu mendukung pertumbuhan tanamankedelai di lahan kering masam.
Hal ini dicirikan dengan hasil yang masih relatif rendah. Sedangkan penggunaan zeolit
mempunyai potensi untuk digunakan di lahan kering masam, dengan cara memperbesar
dosis yang diaplikasikan.
Pemberian pupuk kandang meningkatkan jumlah polong isi per tanaman kecuali
pada pemberian amelioran dolomit 1400 kg/ha, pemberian pupuk kandang menurunkan
jumlah polong per tanaman (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dolomit
dalam jumlah besar yang disertai dengan pemberian pupuk kandang memberikan pengaruh
yang negatif terhadap pertumbuhan generatif tanaman. Hal ini mungkin karena dengan
623
jumlah dolomit yang semakin tinggi maka kelarutan Ca juga akan semakin tinggi, sehingga
tujuan semula pemberian bahan organik pada lahan masam untuk menetralkan Al melalui
mekanisme pengkhelatan menjadi kurang efektif karena terjadi proses pengkhelatan dengan
Ca. Meskipun Al mempunyai muatan 3 positif karena kelarutan Ca lebih banyak maka yang
berlaku adalah hukum massa.
Pemberian pupuk kandang dan amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah polong hampa per tanaman. Akan tetapi ada kecenderungan jumlah polong hampa
lebih tinggi pada pemberian pupuk kandang.
Tabel 3. Pengaruh amelioran tanah terhadap jumlah polong isi per tanaman, Rumah Kaca
2010.
Perlakuan Jumlah polong isi Rata-rata
Tanpa pukan Dengan pukan
Dolomit (400 kg/ha) 11,0 e 12,5 d 11,8
Dolomit (1000 kg/ha) 14,2 c 17,7 ab 19,9
Dolomit (1400 kg/ha) 18,3 a 13,7 cd 16,0
Zeolit (300 kg/ha) 14,2 c 16,5 b 15,4
Kontrol 5,0 g 7,2 f 6,1
Rata-rata 12,5 13,5
Keterangan: angka sekolom yang didampingi huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
dengan uji BNT 5%. Dosis pupuk kandang; 1 t/ha. kk : 8,86%
Pemberian pupuk kandang dan amelioran juga memberikan pengaruh yang nyata
terhadap berat biji per tanaman (Tabel 5). Pengaruhnya sama dengan yang terjadi pada
jumlah polong isi. Berat biji tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian dolomit 1400
kg/ha, tanpa pupuk kandang atau dengan menggunakan pupuk kandang yang disertai
dengan dolomit1000 kg/ha. Hasil ini juga menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang
mampu meningkatkan efisiensi penggunaan dolomit. Pada hasil yang sama, apabila tanpa
menggunakan pupuk kandang maka diperlukan dolomit sebesar 1400 kg/ha akan tetapi bila
menggunakan pupuk kandang maka kebutuhan dolomit hanya 1000 kg/ha saja. Hasil
percobaan Taufiq et al (2003) menunjukkan bahwa penambahan kapur dolomit setara ½ Al-
dd disertai dengan pemupukan NPK meningkatkan produktivitas kedelai menjadi 2 hingga 4
kali. Jika disertai dengan pupuk kandang 2,5 t/ha maka dosis kapur dapat dikurangi menjadi
setara ¼ x Al-dd.
Tabel 4. Pengaruh amelioran tanah terhadap jumlah polong hampa per tanaman, Rumah
Kaca 2010.
Perlakuan Jumlah polong hampa Rata-rata
Tanpa pukan Dengan pukan
Dolomit (400 kg/ha) 0,8 1,3 0,9
Dolomit (1000 kg/ha) 0,8 1,3 1,1
Dolomit (1400 kg/ha) 0,7 1,5 1,1
Zeolit (300 kg/ha) 1,0 0,7 1,1
Kontrol 0,7 1,2 0,8
Rata-rata 0,8 1,2
Keterangan: angka sekolom yang didampingi huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
dengan uji BNT 5%. Dosis pupuk kandang; 1 t/ha. Kk : 37,52%
624
Tabel 5. Pengaruh amelioran tanah terhadap berat biji per tanaman (g), Rumah Kaca 2010.
Perlakuan Berat biji per tanaman (g) Rata-rata
Tanpa pukan Dengan pukan
Dolomit (400 kg/ha) 5,23 e 7,17 d 6,20
Dolomit (1000 kg/ha) 7,07 d 12,20 a 9,64
Dolomit (1400 kg/ha) 11,87 a 10,33 b 11,10
Zeolit (300 kg/ha) 8,40 c 8,63 c 8,52
Kontrol 3,53 f 3,97 f 3,75
Rata-rata 7,27 8,41
Keterangan: angka sekolom yang didampingi huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
dengan uji BNT 5%. Dosis pupuk kandang; 1 t/ha. Kk : 8,19%.
Untuk kelestarian lahan kering masam maka teknologi ameliorasi yang tepat untuk
diterapkan adalah dengan menggunakan kombinasi antara pupuk kandang/bahan organik
dengan dolomit/kapur (Budianta, 2001, Melati et al., 2008) . Penggunaan dolomit/kapur
bertujuan untuk meningkatkan pH tanah, selain dapat meningkatkan pH tanah, pengapuran
juga dapat meningkatkan ketersediaan kalsium, fosfor, mengurangi keracunan Al serta
meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) (Wahyudin, 2006). Telah banyak dilaporkan
bahwa pengapuran dapat meningkatkan produksi tanaman kedelai. Tanggap tanaman
kedelai terhadap pengapuran karena (a) dinetralkannya Al, (b) tersedianya Ca dan Mg yang
cukup, (c) peningkatan ketersediaan Mo, (d) penurunan Mn yang larut, (e) ketersediaan P
meningkat dan (f) peningkatan pH lingkungan yang sesuai untuk pembentukan bintil dan
aktivitas Rhizobium japonicum. Penambahan kapur setara dengan 0,5 x Al-dd meningkatkan
bobot kering biji kedelai dari 3,62 g menjadi 4,05 g/tanaman (Sitorus, 1972). Pengapuran
sebanyak 1-2 x Al-dd pada tanah Podsolik Sitiung yang mempunyai pH 4,3, KTK 9,1 me/100
g dan kejenuhan Al 85,2% sudah mampu menurunkan kejenuhan Al hingga di bawah batas
toleransi kedelai yaitu <20% (Hartatik dan Adiningsih, 1987).
Sedangkan penggunaan bahan organik untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Ditinjau dari kesuburan tanah, pemberian bahan organik mempunyai manfaat ganda yaitu
selain memperbaiki sifat fisik tanah, hasil pelapukan bahan organik juga merupakan sumber
hara yang cukup potensial. Peranan bahan organik yang sangat dibutuhkan adalah untuk
menambah unsur hara dan meningkatkan kapasitas tukar kation. Peningkatan kapasitas
tukar kation ini dapat mengurangi kehilangan unsur hara yang ditambahkan melalui
pemupukan, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan (Hairiah et al., 2000).
Perbaikan kesuburan lahan kering masam dapat dilakukan dengan tepat apabila
terlebih dahulu dilakukan ameliorasi lahan,karena tanpa ameliorasi lahan terlebih dahulu
maka pemupukan akan kurang efektif. Pemupukan pada lahan kering masam kurang efektif
karena kelarutannya akan rendah yang disebabkan oleh rendahnya pH tanah dan tingginya
Al atau Fe. Akan tetapi apabila sudah dilakukan ameliorasi dengan kapur, dolomit dan pupuk
kandang maka pemupukan akan lebih efektif karena ameliorasi telah mampu menetralkan
pH tanah serta menurunkan kelarutan Al atau Fe.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, D.M. 2000. Pengaruh residu perbaikan kondisi lahan masam terhadap kedelai.
Makalah Seminar Regional Ilmu Tanah, Univ. Jember 29 Juli 2000.
625
Budianta, D. 2001. Response of Soybean on the Application of Lime and Green Manure
Derived from Velvet Bean Planted in an Ultisol. J. Tanah Tropika 13: 1-9.
Halliday, D.J. dan M.E.Trenkel, 1992. IFA World Fertilizer Use Manual. International Fertilizer
Industry association (IFA). Paris.
Hartatik, W. dan J. S. Adiningsih. 1987. Pengaruh pengapuran dan pupuk hijau terhadap hasil
kedelai dan pada tanah Podsolik Sitiung di Rumah Kaca. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk.
No. 7 : 1-4.
Kamprath, E.J. 1972. Exchangeable Al as a criterion for liming leached mineral soil. Soil Sci.
and Amer. Proc. 34 : 252-254.
Melati, M., A. Asiah, dan D. Rianawati. 2008. Aplikasi pupuk organik dan residunya untuk
produksi kedelai panen muda Buletin Agron. 36 (3) : 204 -213.
Mengel, D.B., W. Segars and G.W.Rehnm. 1987. Soil fertility and liming. P: 461-496. In J.R.
Wilcox (ed) Soybean, Improvement and Uses. Second Ed. ASA, Madison.
Prasetyo, B.H. dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, dan Teknologi Pengelolaan
Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. J. Litb. Pert..
25(2): 39-46.
Subandi. 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan Kedelai pada Lahan Kering
Masam. Iptek Tanaman Pangan Vol. 2 (1): 12-24.
Sudaryono, Andy Wijanarko, dan Suyamto. 2011. Efektivitas Kombinasi Amelioran dan
Pupuk Kandang dalam Meningkatkan Hasil Kedelai pada Tanah Ultisol. Jurnal
Penelitian Pertanian 30 (01) : 49 -57.
Taufiq , A, H. Kuntyastuti dan A.G. Mansuri. 2004. Pemupukan dan ameliorasi lahan kering
masam untuk peningkatan produktivitas kedelai. Lokakarya Pengembangan Kedelai
Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu. BPTP Lampung. Hal. 21-40.
Wade, M.K., M. Al-Jabri dan M. Sudjadi. 1986. The effect of liming on soybean yield and soil
acidity parameters of three Red-Yellow Podsolic soils of west Sumatera. Pemberitaan
Pen. Tanah dan Pupuk (6) : 1-8.
Wahyudin, U.M. 2006.Pengaruh pemberian kapur dan kompos sisa tanaman terhadap
aluminium dapat ditukar dan produksi tanaman kedelai pada tanah Vertic Hapludult
dari Gajrug, Banten. Bul. Agron. 34:141-147.
626
Evaluasi Kesesuaian Lahan Tanaman Kelapa Sawit di
Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu
ABSTRAK
Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang dominan di Kabupaten
Mukomuko. Komoditas ini dikembangkan hampir diseluruh tipologi lahan dengan
penerapan teknologi budidaya yang kurang tepat sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dan
berproduksi dengan maksimal. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk
kelapa sawit di Kabupaten Mukomuko. Metode yang digunakan metode survei dan analisis
laboratorium untuk menyusun karakteristik lahan sebagai bahan penilaian kesesuai lahan.
Hasil penelitian diperoleh pengelompokan grup landform dalam grup aluvial, marin, fluvio-
marin, gambut, volkan, dan aneka. Hasil evaluasi kesesuaian lahan komoditas kelapa sawit
Kabupaten Mukomuko termasuk cukup sesuai (S2) dengan faktor pembatas ketersediaan
air, retensi hara, media perakaran, dan bahaya erosi. Sesuai marginal (S3) dengan faktor
pembatas media perakaran, temperatur, dan bahaya erosi.
PENDAHULUAN
Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan
perekonomian Provinsi Bengkulu, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) yang cukup besar yaitu sekitar 24,00 % pada tahun 2011
dengan nilai Rp 7,73 triliun meskipun mengalami penurunan menjadi 23,30 % pada tahun
2014 namun nilainya naik menjadi Rp 10,54 triliun (BPS, 2015). Sektor pertanian juga
merupakan sektor yang cukup kuat menghadapi goncangan ekonomi.
Salah satu sub sektor yang cukup besar potensinya adalah sub sektor perkebunan.
Kontribusi sub sektor perkebunan dalam PDRB Provinsi Bengkulu tahun 2014 sekitar 4,76
atau Rp 2,15 triliun yang merupakan terbesar kedua setelah sub sektor tanaman pangan.
Selain itu sub sektor ini merupakan penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap
tenaga kerja, dan penghasil devisa.
Dari sisi penggunaan lahan, sub sektor perkebunan diusahakan pada lahan seluas
537.460 hektar atau 26,98% pada tahun 2014 yang dikelola oleh 380.619 kepala keluarga,
meskipun secara keseluruhan memiliki tren pertumbuhan negatif sebesar 5,13% pertahun.
Salah satu komoditas yang banyak diusahakan adalah kelapa sawit, terutama di Kabupaten
Mukomuko, Bengkulu Utara, dan Seluma.
Produktivitas kelapa sawit rakyat di Provinsi Bengkulu masih relatif rendah, yaitu
3,54 ton/ha/tahun (BPS, 2015). Menurut Anwar, et al., (2014), produktivitas kelapa sawit
pada umur 3-8 tahun mencapai 12,66 ton/ha/tahun. Kondisi ini dipengaruhi oleh
pengelolaan yang tidak sesuai dengan anjuran, baik dari sisi teknis budidaya, pengelolaan,
dan kesesuian lahan.
Evaluasi kesesuaian lahan merupakan salah satu kunci keberhasilan pengembangan
suatu komoditas. Rayes (2007), menyatakan bahwa pemanfaatan lahan yang sesuai dengan
syarat tumbuh tanaman akan memberikan hasil yang optimum dan menjaga keberlanjutan
pemanfaatan lahan. terkait dengan merancang pengelolan lahan. Kesesuaian lahan adalah
627
kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu (Arsyad, 1989 dan Sitorus, 1985). Kelas
kesesuaian lahan disusun dengan memperbandingkan (matching) antara karakteristik
lahan/iklim pada masing-masing satuan peta dengan kriteria kesesuaian lahan (persyaratan
tumbuh tanaman). Kelas kesesuaian lahan tersebut dibedakan menjadi tiga yaitu sesuai atau
suitable (S), sesuai bersyarat atau conditionally suitable (CS), dan lahan yang tidak sesuai
atau not suitable (N).
Pengembangan komoditas kelapa sawit perlu dilihat kesesuaian Lahannya
disebabkan biaya investasi yang cukup tinggi dan periode produksi yang panjang.
Kesesuaian lahan berkaitan dengan kualitas lahan dan syarat penggunaan lahan. Persyaratan
penggunaan lahan mempunyai batas kisaran minimum, optimum, dan maksimum. Kualitas
lahan yang optimum merupakan batasan bagi kelas kesesuaian lahan yang paling sesuai (S1).
Sedangkan kualitas lahan yang di bawah optimum merupakan batasan kelas kesesuaian
lahan antara kelas yang cukup sesuai (S2), dan atau sesuai marginal (S3). Di luar batasan
tersebut lahan secara fisik tergolong tidak sesuai (N) (Djaenudin et al., 2003).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelas kesesuaian lahan tanaman kelapa
sawit di Kabupaten Mukomuko sebagai bahan acuan oleh para pengguna seperti petani,
Pemerintah Daerah maupun pihak pengusaha dalam pengembangan kelapa sawit.
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan di seluruh wilayah Kabupaten Mukomuko Provinsi
Bengkulu, pada bulan Maret-Oktober 2014. Bahan dan peralatan yang digunakan, antara
lain: peta satuan lahan, peta geologi, peta penggunaan lahan, peta rupa bumi, peta kontur,
GPS (Global Posisition System), munsell soil color chart, dan peralatan survei lainnya.
Penelitian ini menggunakan metode survei dan analisis laboratorium. Kegiatan survei
berupa karakterisasi dan identifikasi lahan, pengamatan tubuh tanah dengan membuat profil
dan pengambilan contoh tanah untuk dianalisis di laboratorium. Kegiatan survei lapangan
berdasarkan peta kerja skala 1 : 50.000 yang telah disiapkan sebelumnya, kemudian
dilakukan pengecekan di lapangan (groundcheck) dan pengamatan faktor fisik lingkungan
seperti lereng, vegetasi, penggunaan lahan, keadaan batuan di permukaan, dan genangan.
Perbaikan delineasi satuan lahan dilakukan berdasarkan hasil temuan di lapangan.
(Sunarminto, 2000; 2003; Soil Survey Division Staff, 2007).
Pengamatan tanah meliputi sifat-sifat morfologi, fisika tanah, kimia tanah dan
sebarannya yang diperoleh dengan membuat profil tanah, serta pengambilan contoh tanah
untuk di analisis di laboratorium. Metode pengamatan tubuh tanah mengikuti FAO (1978;
2006) dan klasifikasi tanah ditetapkan menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2006).
Analisis sifat tanah antara lain meliputi penetapan tekstur tanah, pH, Corganik, N-total, P dan
K-tersedia, KTK, Kejenuhan Basa, dan Al-dd. Hasil analisis digunakan untuk menentukan
kualitas lahan dan karakteristik lahan. Analisis kelas kesesuaian lahan ditentukan dengan
menggunakan Program Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan (SPKL versi 1).
Kesuburan tanah
Status kesuburan tanah yang dinilai adalah status kesuburan kimiawi berdasarkan
hasil analisis contoh tanah dari laboratorium. Kesuburan tanah alami ditentukan oleh tingkat
perkembangan tanah dan komposisi bahan pembentuk tanah. Tingkat perkembangan tanah
628
diantaranya dicerminkan oleh nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB).
Tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut mempunyai KTK dan KB yang
rendah. Sebaliknya pada tanah-tanah muda atau belum mengalami perkembangan lanjut
mempunyai KTK dan KB tinggi, sehingga tingkat kesuburan tanahnya relatif lebih tinggi.
Tanah-tanah di Kabupaten Mukomuko yang berkembang dari bahan aluvial, gambut,
sedimen, dan volkan mempunyai cadangan mineral relatif rendah. Penilaian status
kesuburan tanah menunjukkan bahwa status kesuburan tanah di daerah penelitian
umumnya tergolong rendah.
629
yang mempunyai tekstur halus (liat berpasir, liat, liat berdebu), agak halus (lempung berliat,
lempung liat berpasir, lempung liat berdebu), dan sedang (lempung berpasir sangat halus,
lempung, lempung berdebu, debu), serta mempunyai kandungan bahan kasar tidak lebih
dari 55% (Djaenudin et al., 2000).
KESIMPULAN
Karakteristik sumberdaya lahan Kabupaten Mukomuko dikelompokan dalam enam
grup landform, yaitu aluvial, marin, fluvio-marin, gambut, volkan, dan grup aneka. Tingkat
kesuburan tanah berkisar antara rendah-agak rendah berdasarkan hasil analisis
laboratorium. Hasil penilaian kesesuaian lahan menunjukkan kelas cukup sesuai (S2) dan
sesuai marginal (S3) untuk komoditas kelapa sawit dengan luas masing-masing 153.936 ha
dan 105.794 ha.Upaya perbaikan kelas kesesuaian lahan dapat dilakukan dengan perbaikan
teknologi pengelolaan lahan dan air seperti pembuatan guludan, teras, tata air mikro,
pemberian bahan amelioran berupa kapur dan bahan organik serta pemupukan berimbang
dapat meningkatkan produksi
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Rusli Anwar, Santun R. P.
Sitorus, Anas Miftah Fauzi, Widiatmaka, Machfud. 2014. Technical Culture and
Productivity of Oil Palm in Several Plantations in East Kalimantan. International Journal
of Latest Research in Science and Technology Volume 3, Issue 2: Page No19-24
,March-April, 2014.
Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.
Djaenudin, D., M. Marwan, H. Subagyo, Anny Mulyani Dan N. Suharta. 2000. Kriteria
Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah Dan
Agroklimat, Bogor.
630
Gandasasmita, K., B. Sumawinata, dan S. Nurmala. 2009. Hubungan Karakteristik Lahan
Dengan Produktivitas Tbs (Studi Kasus pada PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang,
Bogor) . Jurnal Tanah dan Lingkungan,Vol. 11 No. 1, April 2009:21-31.
Mulyani, A., Agus, F., A. Abdurachman. 2003. Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit Di
Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit - Sapi
Soil Survei Staff. 2006. Keys to Soil Taxonomy. 9th ed. USDA Natural Resources Conservation
Service. Washington DC.
Soil Survey Division Staff. 2007. Soil Survey Manual. United States Department of Agriculture.
Hand Book No. 18.
Sunarminto, B.H. 2003. Konservasi Air Tanah dan Lingkungan Secara Terpadu di Kecamatan
Cangkringan. Kabupaten Sleman. Laporan Research Grant KKN Tematik. DUE-Like
Batch IV UGM.
Sunarminto, B.H., 2000. Transportasi Bahan Sedimen Oleh Agensia Air Darat. Jurnal tanah dan
air, F. Pertanian UPN. Yogyakarta. ISSN 1411-5719. Hal 12-19 Vol I/I. Jun 2000.
631
UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS USAHATANI PADI
DI KABUPATEN BUNGO JAMBI
Bustami
ABSTRAK
Pengembangan teknologi pertanian umumnya atau tanaman pangan khusus selalu
mengalami perkembangan dalam upaya peningkatan produksi. Tanaman pangan yaitu padi,
jagung dan kedelai adalah komoditas strategis, sehingga upaya-upaya yang bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas selalu dilaksanakan . Kabupaten Bungo merupakan salah satu
kabupaten yang mempunyai lahan persawahan yang potensial untuk pengembangan
tanaman padi karena mempunyai irigasi tekhnis seluas 4000 ha. Telah dilakukan berbagai
upaya untuk meningkatan produktivitas usaha tani padi 5 (lima) tahun terakhir (2011-2014)
oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi di Kabupaten Bungo yaitu melalui
kegiatan Primatani, SL-PTT dan perbenihan. Hasil kegiatan adalah Indek Pertanaman (IP)
sebelum Primatani 100 meningkat menjadi 250 %, Varietas Unggul Baru (VUB) yang
berkembang hingga tahun 2014 adalah Mekongga, Inpara 3 IR 42 Batang Piaman, Mira,
Ciherang dan padi lokal setelah uji varietas adalah Mekongga, Inpari 12 dan Inpara 3,
Penerapan system tanam jarwo 45 % diiringi dengan pemanfaatan pupuk kandang dapat
peningkatkan produksi mencapai 2 - 2,5 ton/ha.
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian semakin mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan pertambahan penduduk dari tahun ketahun yang semakin meningkat,
sehingga memerlukan kebutuhan pangan juga semakin meningkat, sebaliknya pengalihan
fungsi lahandi Propinsi jambi pertahun semakin meningkat, Untuk meningkatkan
produkstivitas pertanian diperlukan pengembangan teknologi agar buddaya padi semakin
baik dan efisien.
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas padi sawah di Propinsi jambi adalah
adanya penggunaan varietas yang berulang, , sehingga tidak mampu lagi berproduksi lebih
tinggi karena kemampuan genetiknya terbatas. Disamping itu benih padi yang unggul dan
bermutu kurang tersedia di lokasi penanaman. Untuk mengatasi permasalahan ketersediaan
benih varietas unggul baru (VUB) yang adaptif,perlu dibangun sistem perbenihan VUB padi,
sehingga dapat menjamin ketersediaan VUB padi pada waktu yang tepat.
Varietas yang berkembangan di Kabupaten bungo hingga 2014 adalah, Ciherang, IR
42, Batang Piaman dan varietas local.Produktivitas varietas tersebut lebih rendah jika
dibandingkan varietas baru. Untuk menggantikan varietas tersebut, diperlukan uji varietas
dengan pertimbangan rasa nasi dan produktivitas. Untuk itulah perlu dilaksanakan uji
varietas.
Potensi lain yang dapat meningkatkan produktivitas adalah sistem pengairan.
Lahan sawah di kabupaten Bungo umumnya sudah mengunakan irigasi Tekhnis dan
setengah teknis yang dapat meningkatkan indek pertanaman. Luasan pada masing-masing
kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1.
632
MATERI DAN METODE
Tulisan ini merupakan reviu dari pengkajian yang dilakukan BPTP Jambi di
kabupaten Bungo dari tahun 2011 hingga 2014, yang bertujuan meningkatkan produktivitas
usahatani padi, kegiatan tersebut adalah : (I). Primatani (2008-2012),(II). SL-PTT (2011-
2013) dan (III). UPBS 2011-2013). Kegiatan BPTP jambi yang dilaksanakan di dua
kecamatan yaitu kec.Tanah sepenggal dan Kecamatan Jujuhan Ilir. Tulisan ini merupakan
rangkuman dari laporan pelaksanaan kegiatan dalam rangka upaya untuk meningkatkan
produktivitas padi. Dua kecamatan tersebut mempunyai fasilitas irigasi teknis dan semi
teknis, Kecamatan Jujuhan dan Jujuhan Ilir.Irigasi “Batang hari” yang berhulu di Propinsi
Sumatera Barat dan kecamatan Tanah sepenggal dan Tanah tumbuh adalah “irigasi Batang
Uleh” yang berhulu di Kabupaten Bungo.
Tujuan
Tujuan Tulisa ini adalah memberikan informasi dari kegiatan-kegitan yang telah
dilaksanakan BPTP jambi yang dapat meningkatkan produktivitas padi di Kabupaten Bungo.
Baik secara teknis dankelembagaan kelompok tani.
a. Pembinaan Kelembagaan.
Kelembagaan yang mendukung secara langsung terhadap Sistem Usaha Pertanian
(SUP),adalah Gabungan kelompok tani ( Gapoktan),Kelompok tani, Persatuan Petani
Pemakai Air (P3A).Kelembagaan adalah komunikasi antar anggota kelompok, Organisasi
kelompok tani, terdiri dari Ketua Wakil ketua sekretaris, bendahara dan anggota
633
Terbentuknya suatu kelompok tani di suatu desa tertentu tidak serta merta
kebutuhan kelompok dan permasalahan anggota kelompok tani dapat terselesaikan dengan
mudah. Kelompok tani sebagai institusi/lembaga yang membawahi langsung pelaku
pertanian di berbagai sektor komoditas, harus selalu senantiasa dihidup-hidupkan,
dihimpun, dibina, dikuatkan dan diberdayakan agar proses transformasi pengetahuan dan
teknologi dapat dengan mudah dilakukan kepada anggota kelompok selain itu tentunya
menjadi sarana anggota memecahkan permasalahan kelompok. Menurut (Dimyati 2007),
Permasalahan yang melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di Indonesia adalah.
1. Masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen
produksi dan manajemen pemasaran..
2. Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis karena masih
terfokus pada kegiatan produksi.
3. Peran dan fungsi kelembagaanpetani sebagai wadah organisasi belum berjalan
secara optimal.Untuk mengatasi masalah tersebut perlu upaya pengembangan
pemberdayaan dan penguatan kelembagaansalah satunya adalah penguatan
permodalan sehingga dapat meningkatkan posisi tawar petani.
Kelembagaan yang ideal di pedesaan adalah koperasi atau kelompok tani, dimana
tujuan awal pembentukan dari koperasi/kelompok tani ini adalah untuk meningkatkan
produksi pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Pemberdayaan petani dalam
kelembagaan koperasi, merupakan suatu bentuk alternatif dari model pembangunan
masyarakat pedesaan dapat meningkatkan kesejahteraannya, sebagian besar
bermatapencaharian sebagai petani/buruh tani. Koperasi dan Lembaga keuangan mikro
(LKM) contohnya Bantuan PUAP, dalam hal ini memberikan jaminan keuntungan bagi
anggota baik dari segi sosial dan ekonomi, selain itu yang utama adalah peningkatan posisi
tawar petani dapat ditingkatkan sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk menentukan
harga produk pertaniannya. Program Kelembagaan
Pertemuan rutin Ketua kelompok Tani dan anggota di klinik Teknologi .
Gotong royong.
Pengadaan pupuk anorganik dan saprodi pendukung lainnya.
Musim Tanam padi Serempak.
Kesepakatan menggunaan pupuk organik dan anorganik
Bantuan dari instansi Pemerintah.
Penggunaan benih bermutu.
Bimbingan teknologi dr instansi terkait (Pemda dan BPTP)
Berbagai peran penyuluhmampu mengungkit kemandirian pangan, petani memerlukan
reformasi sistem penyuluhan pada belajar bersama dan pengambilan keputusan secara
parsitipatif (Kurnia, 2014).
634
2. SL-PTT
Kegiatan SL-PTT dilaksanakan pada tahun 2012 dan 2013 Di kec Tanah sepenggal
dan Kecamatan Jujuhan Ilir. Varietas yang diuji cobakan adalah Mekongga, inpari 10, Inpari
12, inpari 13, cimelati dan inpara 3. Tingkat adopsi teknologi melalui kegiatan SLPTT masih
tergolong rendah. Namun, terdapat kecenderungan peningkatan penggunaan varietas unggul
baru (VUB) padi. Penerapan beberapa komponen teknologi seperti penggunaan pupuk yang
sesuai, pengurangan penggunaan pupuk urea, penggunaan pupuk organik, cara pemupukan,
sistem tanam dan jarak tanam sudah mendekati anjuran dibandingkan sebelumnya.
Meskipun demikian perbaikan penggunaan VUB padi oleh petani seperti penggunaan
varietas Unggul Baru memperlihatkan kecenderungan peningkatan
produktivitas.(Bulu.2012)
Tabel 3. Keragaan Introduksi teknologi yang berkembang higga saat ini (2014)
No Uraian Teknologi Tanah Sepenggal Jujuhan ilir
1 Uji Varietas Varietas Inpara 3 Varietas Mekongga diperkenalkan thn
yang dipernalkan 2009
Th 2013 Thn 2008-2011.
635
Tabel 4. Keragaan usaha tani padi di dua kecamatan
Uraian Kec Tanah Sepenggal Kec. Jujuhan Ilir
Luas Lahan 1.974 Ha (30%) 527 ha (5,36%)
Etnis Petani Lokal Petani local dan Jawa
Varietas Intrduksi Varitasd Inpara 3,Inpari 12 dan Inpari 12 Mekongga,
existing IR 42.Cisokan dan lokal Batang piaman, Mira, IR
66,Cisokan dan Ciherang
Indek Pertanaman 150% 250%
Pemupukan anorganik 50% 100 %
Pupuk kandang 20 % 100 %
Pestisida 100 % 100 %
Pengolahan lahan Hand traktor Hand Traktor
Produksi g 3 - 4 ton/ha 4 - 4,5 ton/ha
Produksi Introduksi 5,8 – 6,3 ton/ha 6,1 – 6,8 ton/ha
Dalam penentuan persepsi petani tentang Varietas inpari 12. Adalah melakukan
wawancara terhadap petani yang melaksanakan introduksi dan petani disekitar lokasi
kegiatan display VUB. Hasil wawancara menyatakan semua responden (100%) menyatakan
akan menanam Varietas Inpari 12 pada musim tanam berikutnya. Alasannya adalah setelah
melihat produksi lebih tinggi dan waktu pemeliharaan lebih singkat dan merasakan rasa
nasinya pera. Rasa nasi 20 responden (66,67%) menyatakan IR 42 lebih enak. Namun
demikian responden tetap memolih Inpari 12 untuk mengembangkannya karena produksi
lebih tinggi dan waktu pemeliharaannya hanya 85 hari lebih pendek jika dibandingkan
dengan IR 42 selama 120 hari.
636
Dampak lain dari Primatani adalah meningkatkanya indek pertanaman (IP) dari 100
menjadi 200, hal merupakan tujuan dari Primatani yaitu mengoptimalisasi potensi yang ada
dilapangan dengan mengintroduksikan teknologi tepat guna, Kasdi dan Ketut (2012)
melaporkan. Pengembangan Primatani menyebabkan meningkatkan penggunaan lahan.
Tabel 3. Dosis pupuk urea, SP-36, dan KCl untuk tanaman padi sawah di Jujuhan Ilir
berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS)thn 2009 dalam kg/ha
Lokasi Urea SP-36 KCl
Sawah rawa 250 75 50
Sawah bukaan baru 250 100 50
Sawah lama tergenang terus 250 75 50
Sawah lama tidak tergenang 250 75 50
Sumber Bustami 2010.
2. Perbenihan
Produktivitas usahatani padi sangat dipengaruhi oleh varietas dan benih yang
adaptif dengan rasa nasi disukai oleh petani, upaya untuk persediaan benih berkualitas di
tingkat petani sangat diperlukan. Beberapa upaya yang dilakukan oleh BPTP jambi di
Kabupaten Bungo yaitu memperbyak benih Mekongga di desa Sari Mulya dan Inpara 3 di
desa Teluk Pandak.
Kedua varietas tersebut berkembang hingga saat ini, dan menyebar didesa-
sekitarnyanya. Jumakir 2012. melaporkan Benih mekongga yang berasal dari Sari Mulya
menyebar ke kecamatan Kota Baru Propinsi Sumatera Barat, desa Bukit sari dan desa
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi Inbrida
padi sawah Irigasi (Inpari), Inbrida padi Gogo (Inpago), Inbrida padi Rawa (Inpara)
dan Hibrida Padi (Hipa).2013
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Deskripsi Varietas Padi. Badan Penelitian
637
BPS.2011. Bungo dalam Angka. Biro Pusat Statistik Kabupaten Bungo.
Burbey.2006. Pemberian Bahan Organik dan Pemupukan NPK pada padi Sawah.Prosiding
Seminar Nasional Peternakan. 11 -12 September 2006. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sumatera Barat. Padang
Bustami, Adri da Eva Salvia. Introduksi dan Analisa usahatani Varietas Ungul Baru (VUB)
padi Inpara 3 di Teluk Pandak Kabupaten bungo.Prosiding Seminar Nasional hari
Pangan Sedunia ke 33. Optimalisasi Sumberdaya lokal melalui Diversifikasi pangan
menuju kemandirian pangan dan perbakan gizi masyarakat menyongsong
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.2014
Didi Ardi Suriadikarta dan Wiwik hartalik. 2004. Teknologi pengelolaan hara lahan sawah
bukaan baru dalam Tanah sawah dan pengelolaannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.Bogor.
Jumakir, Rima Purmayani, Bustami dan Endrizal. Produktivitas dan Percepatan difusi
Varietas padi Unggul Inpara 1 dan 3 di lahan pasang surut. Prosiding Seminar
Nasional Inovasi Teknologi. Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian.2012.
Kasdi Subagiono dan Ketut Kariyasa. Jurnal Pengkajian dan pengembangan Pertanian. Badan
i Penelitian dan Pengembangan pertanian Volume 15 No.1 2012.
Kurnia Suci Indraningsih 2014. Peran penyuluhan dalam mendukung pertanian terpadu
untuk mewujudkan kemandisrian pangan. Prosiding Seminar Nasional Ke 34.
Pertanian Bioindustri berbasis pangan lokal potensial. Makasar 2014. IAARD Press.
Onong Uchjana Effendy 2009. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek.Remaja Rosdakarya
Bandung.
Suparwoto, Abdul Kodir dan Waluyo. 2010.Peningkatan produksi padi melalui sistem tanam
legowo di lahan rawa lebak propinsi sumatera selatan. Prosiding Seminar Nasional
638
Hasil Penelitian padi.Inovasi teknologi untuk mempertahankan swasembada dan
mendorong akspor beras.Balai Besa Penelitian Tanaman Padi Badanlitbang
pertanian.
639
Serangan Wereng Batang Cokelat di Provinsi Jambi dan
Strategi Pengendaliannya
1PenelitipadaBalaiPengkajianTeknologiPertanian Jambi
Jl. Samarinda Paal Lima, Kotabaru, Jambi
Email: araz_meilin@yahoo.com
2POPT UPTD BPTPH Dinas Pertanian Provinsi Jambi
ABSTRAK
Wereng Batang Cokelat (WBC) merupakan hama utama pada beberapa wilayah
pertanaman padi di Indonesia terutama di jalur pantura Pulau Jawa. Saat ini juga sudah
mengancam beberapa pertanaman padi di Provinsi Jambi. Tulisan ini bertujuan untuk
menginformasikan tingkat serangan wereng batang cokelat di Provinsi Jambi dan strategi
pengendaliannya. Penelitian dilaksanan dengan cara desk study dan survei lapang. Data
dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Serangan Wereng Batang
Cokelat pada awal tahun 2016 terjadi pada 3 (tiga) Kabupaten yaitu Tebo, Bungo dan
tanjung Jabung Timur. Jumlah desa yang mengalami serangan WBC berturut-turut di Tebo,
Bungo dan Tanjung Jabung Timur adalah 5, 3, dan 7 desa. Luas serangan tertinggi terjadi di
Kabupaten Tebo yaitu 242 ha dan luas terancam 260,5 ha yang terjadi di Kecamatan Tebo Uu
dan VII Koto. Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur luas serangan 52,5 ha dengan luas
terancam 310,55 ha terjadi di Kecamatan Berbak dan Sabak Barat. Di kabupaten Bungo
serangan paling sedikit yaitu 13,75 ha dan terancam 56,25 ha di Kecamatan Jujuhan Ilir,
Pelepat dan Tasep Lintas. Intensitas serangan ada yang mencapai 100%, dan jumlah populasi
WBC mencapai lebih dari 100 per rumpun. WBC ditemukan pada padi fase vegetatif dan
generatif. Varietas yang diserang adalah Mekongga, Batang Piaman, Ciherang dan lokal.
Serangan WBC telah mengakibatkan minimal 7 ha pertanaman padi menjadi puso. Strategi
pengendalian yang direkomendasikan adalah penanaman padi serentak, penggunaan
varietas tahan dan pergiliran varietas, pemasangan lampu perangkap, penyesuaian waktu
persemaian, pengamatan populasi sedini mungkin, pengendalian dengan menuntaskan WBC
generasi 1 (satu), dan penggunaan insektisida dengan cara bijaksana.
PENDAHULUAN
Wereng batang cokelat merupakan hama global yang tersebar luas dan menyerang
pertanaman padi di wilayah Palaeartik, Oriental, dan Australian. Serangan hama ini
merintangi peningkatan produksi padi karena wereng cokelat selalu ada setiap tahun, akibat
tanam tidak serempak, terutama di daerah endemik yang sering terjadi ledakan (Baehaki
dan Mejaya, 2014). Hama wereng cokelat di samping merusak langsung dengan mengisap
cairan sel tanaman dengan alat mulut yang khusus untuk menusuk dan menghisap, juga
sebagai vektor penularan penyakit virus kerdil hampa, virus kerdil rumput tipe I, virus kerdil
rumput tipe II (Baehaki dan Mejaya, 2014).
Provinsi Jambi merupakan wilayah potensi tanaman pangan. Luas lahan sawah di
Provinsi Jambi pada tahun 2014 seluas 151.544 hektar. Jika dilihat dari sistem irigasinya,
27,34 persen merupakan irigasi tadah hujan dan 27,39 persen irigasi pasang surut. Lahan
sawah terluas di Provinsi Jambi terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (31.939
hektar) (BPS Provinsi Jambi, 2015). Wereng batang cokelat belum pernah dilaporkan
sebagai hama utama di pertanaman padi Provinsi Jambi. Awal serangan wereng batang
640
cokelat pernah dilaporkan terjadi di Desa Sari Muya, Jujuhan Kabupaten Bungo pada tahun
2012.
Usaha strategis pengendalian wereng cokelat yang dilakukan pemerintah Indonesia
meliputi penelitian pembentukan varietas padi tahan wereng, program aksi tanam padi
serempak berdasar triangle strategy, pemakaian lampu perangkap sebagai alat monitoring
dan reduksi populasi hama dinilai sudah tepat (Baehaki dan Mejaya, 2014). Strategi
pengendalian wereng cokelat di setiap negara berbeda, berdasarkan sosial-budaya petani
padi, biotipe hama dan penyakit ikutan yang menyertai wereng cokelat. Tulisan ini
bertujuan untuk menginformasikan tingkat serangan wereng batang cokelat di Provinsi
Jambi pada awal tahun 2016 dan strategi pengendaliannya.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan dengan cara desk study dan survei lapang. Data diperoleh
dari UPTD BPTPH Provinsi Jambi dan survei lapang serangan wereng Batang Cokelat di
Kabupaten Bungo tahun 2012 dan Tebo tahun 2016. Data yang digunakan adalah data
primer dan sekunder. Data dianalisis secara deskriptif.
641
Tabel 1. Sebaran dan Tingkat Serangan Wereng Batang Cokelat (WBC) Tahun 2016 di
Provinsi Jambi
No. Keterangan Kabupaten Tebo Kabupaten Kabupaten Tanjung
Bungo Jabung Timur
1. Jumlah Kecamatan 2 3 2
2. Jumlah Desa 5 3 7
3. Luas serangan (Ha) 242 13,75 52,5
4. Luas Terancam (Ha) 260,5 56,25 310,55
5. Intensitas Serangan (%) 10 - 99 24 - 92,83 30 - 99
6. Jumlah Populasi WBC 2 - >100 2 - 18 5 - 99
(WBC per rumpun)
7. Umur Tanaman Terserang 36 - 76 40 - 86 55 - 130
(HST)
8. Varietas yang diserang Batang Piaman, Mekongga, Mekongga, Lokal,
Ciherang, Lokal Lokal, Ciliwung Campur Sari
9. Waktu Serangan Januari-April Januari-April Januari-April 2016
2016 2016
Sumber: BPTPH, 2016 (data diolah)
Gambar 1. Serangan Wereng Batang Cokelat di Desa Bukit Sari, Jujuhan, Bungo pada Tahun
2012
642
Gambar 2. Serangan Wereng Batang Cokelat di Desa Bungo Tanjung, Tebo Ulu,
Kabupaten Tebo pada Tahun 2016
643
2011a). Pengendalian wereng cokelat dapat dilakukan berdasarkan hasil tangkapan melalui
lampu perangkap atau berdasarkan monitoring di pertanaman. Pengendalian dengan
triangle strategies yaitu strategi sosial (sosiologi), strategi teknologi (SOP pengendalian
wereng cokelat), dan strategi kebijakan pemerintah perlu diterapkan (Baehaki dan Mejaya.
2014). Teknik pengendalian wereng cokelat terbaru ini yang harus diterapkan adalah
menerapkan tiga strategi pengendalian (triangle strategies), juga telah diuraikan dalam
pengendalian Penyakit Dalam Rangka Swasembada Pangan Berkelanjutan (Baehaki, 2013).
Wereng batang cokelat yang menyerang daerah Kabupaten Bungo dan Tebo serta
Tanjung Jabung Timur diduga merupakan wereng batang cokelat yang dapat beradaptasi
dengan varietas padi yang ditanam secara terus menerus. Untuk itu, beberapa strategi
pengendalian yang dapat dilakukan adalah :
644
Tabel 2. Varietas padi irigasi yang telah dirakit di Balai Besar Padi yang tahan terhadap
biotipe wereng batang cokelat
No. Varietas Padi Ketahanan terhadap No. Varietas Padi Ketahanan terhadap
Biotipe Biotipe
645
mereduksi populasi hama imigran atau hama emigrant. Pengamatan lampu perangkap harus
dilakukan setiap hari untuk mengetahui puncak tangkapan.
Penetapan waktu pesemaian dan pertanaman hendaknya dilakukan 15 hari setelah
puncak imigran. Bila datangnya wereng terdiri dari generasi yang tumpang tindih, maka
akan terjadi pertumbuhan populasi bimodal (dua puncak). Oleh karena itu, pesemaian dan
waktu tanam hendaknya dilakuk 15 hari setelah puncak tangkapan hama kedua (Baehaki
dan Mejaya, 2014).
Seorang pengamat hama perlu menentukan puncak populasi imigrasi awal sebagai
generasi nol (G0); pada 25-30 hari kemudian migran I akan menjadi imago wereng cokelat
generasi ke-1, pada 25-30 hari kemudian akan menjadi imago wereng cokelat generasi ke-2,
pada 25-30 hari kemudian akan menjadi imago wereng cokelat generasi ke-3. Setelah
generasi ke-3 hama wereng cokelat menyerang secara berat tanaman padi dan populasinya
akan menurun karena persediaan makanan telah rusak (Baehaki dan Mejaya, 2014). Untuk
mengatasi tidak terjadi ledakan hama diperlukan pengendalian tuntas pada generasi ke-1
atau paling lambat harus tuntas pada generasi ke-2. Bila dilakukan pada generasi ke-3 dapat
dipastikan pengendalian tidak akan berhasil (Baehaki, 2011b).
DAFTAR PUSTAKA
Baehaki SE. dan IMJ Mejaya. 2014. Wereng Cokelat sebagai Hama Global Bernilai Ekonomi
Tinggi dan Strategi Pengendaliannya. Iptek Tanaman Pangan
9 (1) : 1-12.
Baehaki, S.E. 2011b. Strategi fundamental pengendalian hama wereng batang cokelat dalam
pengamanan produksi padi nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 4(1):63-75.
Baehaki, SE. 2011a. Inovasi Pengendalian Hama Wereng. Agroinovasi. Sinar Tani Edisi 20-26
Juli 2011. No.3415. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Baehaki,.S.E. 2013. Budi daya tanam padi berjamaah suatu upaya meredam ledakan hama
dan penyakit dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan. Badan Litbang
Pertanian, p. 230.
646
BPS Provinsi Jambi. 2015. Jambi Dalam Angka 2015. Biro Pusat Statistik Provinsi Jambi.
Jamil A, Satoto, P Sasmita, Y Baliadi, A Guswara, Suharna. 2015. Deskripsi Varietas Unggul
Padi. Badan Litbang Kementerian Pertanian. Jakarta.
647
KAJIAN KESUBURAN TANAH LAHAN SAWAH
DI KECAMATAN SELUMA SELATAN
PENDAHULUAN
Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan
pertambahan jumlah penduduk, sehingga pemerintah berupaya meningkatkan produksinya.
Salah satunya melalui pengelelolaan tanaman terpadu (PTT) padi yang spesifik lokasi.
Tanaman padi pada umumnya dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tetapi untuk tanaman
padi di lahan persawahan memerlukan syarat-syarat tertentu karena tidak semua jenis
tanah dapat dijadikan lahan tergenang air. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman
padi sawah memiliki tekstur halus sampai agak halus.
Dilain pihak banyak permasalahan yang mempengaruhi peningkatan produksi padi
diantaranya konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim,
gejala kelelahan teknologi, penurunan kualitas sumberdaya lahan yang berdampak terhadap
penurunan dan atau pelandaian produktivitas (Pramono et al, 2005).
Salah satu penyebab penurunan kualitas sumberdaya lahan adalah apabila lahan
tersebut diusahakan terus menerus sehingga penambahan unsur hara melalui pemupukan
mutlak diperlukan agar diperoleh hasil pertanian yang menguntungkan. Karena kesuburan
tanah berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman, maka penilaian kesuburan
suatu tanah mutlak diperlukan. Menurut Nyakpa et al (1988) salah satu cara untuk menilai
status hara dalam menilai kesuburan hara yaitu dengan analisis tanah. Dengan konsep
bahwa tanaman akan respon terhadap pemupukan bila kadar hara tersebut kurang atau
jumlah yang tersedia tidak cukup untuk pertumbuhan yang optimal sehingga dari analisa ini
akan diperoleh rekomendasi pemupukan.
Produktivitas tanaman padi di Provinsi Bengkulu masih rendah yaitu 4,24 ton/ha
Sementara itu rata-rata produktivitas nasional yaitu 5,13 ton/ha (BPS, 2015). Di sini terlihat
bahwa rata-rata produktivitas tanaman pangan di Provinsi Bengkulu relatif lebih rendah
dibandingkan dengan produktivitas rata-rata nasional, ini disebabkan masih banyak inovasi
teknologi budidaya yang belum diterapkan. sehingga ada peluang peningkatan melalui
penerapan inovasi teknologi, salah satunya pengelolaan lahan sawah.
Namun informasi mengenai pengelolaan lahan sawah masih sangat sedikit terutama
tingkat kesuburan tanahnya sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menentukan tingkat
kesuburan lahan sawah di Provinsi Bengkulu. Diketahuinya tingkat kesuburan tanah
diharapkan pengelolaan lahan sawah dapat dilakukan dengan efisien supaya tingkat
produktivitasnya menjadi tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kesuburan
tanah sawah Kecamatan Seluma Selatan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2015 di Kecamatan
Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Pengambilan sampel tanah dilakukan
pada Desa Rimbo Kedui. Jenis tanah yang diambil adalah sampel tanah terganggu untuk
dianalisis sifat fisika tanah meliputi tekstur tanah dan sifat kimia tanah meliputi pH tanah, C-
Organik serta unsur hara lainnya (N,P,K, Ca dan Mg).
648
Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit yaitu merupakan suatu teknik
pengambilan sampel tanah pada beberapa titik pengambilan pada kedalaman 0 – 20 cm.
Metode yang digunakan yaitu simple random sampling (SRS). Menurut Suganda et al,
(2006) metode SRS tidak ada batasan dalam menentukan jumlah contoh tanah yang dipilih,
semua titik pengambilan contoh memiliki peluang yang sama dan saling bebas satu sama
lainnya.
Sampel tanah yang diperoleh selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk analisa sifat
fisika dan kimia tanah sebagai berikut : (1) Penetapan tekstur tanah (metode hydrometer),
(2) penetapan pH tanah (metode kalorometri), (3) penetapan C-Organik (metode
spektrofotometer), (4) penetapan P dan K ekstrak HCl 25 %, (5) penetapan kation-kation
(N,P,K, Ca, Na, Mg, KTK, Al dan Kejenuhan Basa).
Secara umum kelas tekstur tanah pada daerah penelitian termasuk liat, pH H 2O
(5,57) tergolong agak masam ; kandungan C-organik (2,79 %) tergolong sedang; nisbah C/N
(10,33) tergolong sedang; kandungan N (0,27 %) tergolong sedang, P 2O5 tersedia (3,62) dan
potensial (13,61) masing-masing tergolong sangat rendah dan sedang, K potensial (31,21)
tergolong sedang. Sementara itu kation yang dipertukarkan K dan Na tergolong sedang, Ca
dan Mg tergolong rendah dan tinggi. Kapasitas tukar kation (KTK) termasuk sedang. Hasil
analisis dapat dilihat pada Tabel 1.
Tekstur
Hasil analisis tanah mengenai tekstur tanah menunjukkan bahwa kandungan fraksi
liat 2,79 persen, fraksi debu 35,19 persen dan fraksi liat 62,54 persen. Berdasarkan diagram
segitiga tekstur menurut USDA dalam Luki (1989) maka kelas tekstur tanah tersebut adalah
liat. Fraksi liat memiliki kemampuan besar dalam memegang air dibanding dengan fraksi
pasir. Hal ini disebabkan pada tanah yang bertekstur halus memiliki lebih banyak ruang pori
total yang sebagian besar terdiri dari pori mikro sehingga kapasitas memegang air besar.
Pada tanah berpasir disamping ruang pori total rendah juga memiliki jumlah pori mikro
lebih rendah dibanding pori makro sehingga sulit menahan air. Tanah yang sulit menahan air
kurang cocok dijadikan lahan persawahan sebaliknya tanah yang sulit dilewati air sangat
cocok dibuat lahan persawahan.
Tekstur tanah yang baik atau sangat sesuai untuk tanaman padi sawah adalah liat
berpasir, liat, liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir dan lempung liat berdebu
sedangkan tanah yang cukup sesuai untuk tanaman padi sawah yang memiliki tekstur
649
lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu dan berdebu (Djaenudin et al,
2003). Menurut Hidayanto et al (2004) tanah yang memiliki tekstur agak kasar atau kasar
seperti lempung berpasir, pasir dan pasir berlempung bersipat porous sehingga tidak dapat
menahan air serta miskin unsur hara.
Bahan Organik
650
pada bahan organik yang dirombak, merupakan cara untuk menunjukkan gambaran
kandungan nitrogen relatif. Rasio C/N dari bahan organik merupakan petunjuk
kemungkinan kekurangan nitrogen. Pada daerah penelitian rasio C/N tergolong sangat
tinggi, hal ini menunjukkan bahwa tingkat perombakan/ dekomposisi bahan organik belum
lanjut atau baru mulai. Suatu dekomposisi bahan organik yang lanjut dicirikan oleh C/N
yang rendah. Suatu masalah akan timbul apabila kandungan nitrogen dari perombakan
bahan organik kecil dalam arti rasio C/N tinggi maka akan terjadi persaingan antara
tanaman dan mikroorganisme dalam mendapatkan nitrogen yang tersedia di tanah. Menurut
Foth (1998) Bahan organik dengan rasio kecil atau rendah relatif kaya nitrogen, sedangkan
bila tinggi atau luas relatif miskin nitrogennya.
Pertukaran kation
Kejenuhan Basa
Persentase kejenuhan basa (KB) suatu tanah adalah perbandingan antara jumlah me
kation basa dengan me KTK. Pada daerah penelitian KB 36 persen artinya 36/100 bagian
dari seluruh kapasitas tukar ditempati oleh kation basa (Ca, Mg, Na dan K) yang artinya
kesuburan tanahnya tergolong rendah. Menurut Tan (1998) Tanah yang subur bila KB > 80
%, kesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50 – 80 % dan tanah tidak subur jika KB <
50 %. Hal ini didukung oleh Hardjowigeno (1993) yang menyatakan bahwa daerah dengan
curah hujan tinggi, suhu tinggi dan landscape tua umumnya mempunyai KB kurang dari 35
persen pada tanah Ultisol.
651
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Tekstur tanah sangat sesuai untuk tanaman
padi sawah dengan kelas tekstur tanah liat dan derajat pH termasuk agak masam, (2) Dari
kesuburannya termasuk sedang dengan penciri bahan organik sedang, kandungan P
tersedia tergolong sedang, kapasitas tukar kation tergolong sedang namun kejenuhan basa
termasuk rendah.
DAFTAR PUSTAKA
652
OPTIMALISASI LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI PROVINSI
SUMATERA UTARA
Siti Fatimah Batubara1, Khadijah EL Ramija2, dan Andriko Noto Susanto3)
1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. Jend. Besar AH. Nasution No 1 B. Medan 20143
Email : sifa.cha@gmail.com
ABSTRAK
Padi merupakan komoditas pangan strategis yang produksinya perlu terus
ditingkatkan untuk mengimbangi pertambahan jumlah penduduk yang kian pesat dimana
beras menjadi sumber makanan pokok. Sementara itu alih fungsi lahan sawah, perubahan
iklim, degradasi sumberdaya dan eksploitasi yang kontinu menyebabkan penurunan
produktivitas lahan, sehingga lahan-lahan sub optimal seperti lahan rawa pasang surut
merupakan alternatif untuk mempertahankan produksi padi. Penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas padi di lahan rawa pasang surut melalui penerapan teknologi
spesifik lokasi dengan aplikasi pemupukan dan varietas padi yang adaptif. Penelitian
dilaksanakan di Desa paluh Manan Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang
pada bulan januari sampai Desember 2014menggunakan rancangan faktorial dua faktor
dengan dua ulangan yaitu faktor varietas V1 (Inpara 2), V2 (Inpara 3), V3 (Indragiri), dan
faktor pemupukan P1 (Pemupukan Petani), P2 (Pemupukan Berdasarkan analisis tanah), P3
(Pemupukan berdasarkan rekomendasi PUTR). Respons tanaman yang diamati meliputi
tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang malai, jumlah gabah bernas dan hampa per malai,
berat gabah 1000 butir, dan produktivitas. Analisis menggunakan ANOVA dan uji lanjut BNJ.
Hasil penelitian menunjukkan Varietas padi Inpara 3 menunjukkan pertumbuhan tanaman
terbaik dan produktivitas tertinggi dengan produktivitas 5,78 ton/ha dengan pemberian
pupuk berdasarkananalisis tanah dengan dosis Urea Urea 175 kg/ha, SP36 100 kg/ha, KCl 75
kg/ha, dan ZA 50 kg/ha.
Kata Kunci :lahan rawa pasang surut, produktivitas padi, optimalisasi lahan
PENDAHULUAN
653
2011).Berdasarkan data tersebut peluang untuk melaksanakan ekstensifikasi pertanian
khususnya untuk tanaman padi ke lahan rawa pasang surutmasih terbuka luas.
Produktivitas lahan rawa pasang surut sangat beragam dan tergantungpada kondisi
tanah, tata air sertapenerapan teknologi terutamateknologi pengeloloaan lahan dan varietas
yang ditanam. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi produksipadi pada
masing-masing tipologi lahanberkisar 6,3-7,0 t GKGha-1,pada lahan sulfat masam potensial
4,5-6.0 tGKGha-1, lahan sulfat masam aktual4,0-5,0 t GKGha-1(Sutanto, 2009). Introduksi
teknologi yang adaptif (sesuai dengan kondisi lingkungan dan kemampuan petani setempat),
efektif dan efisien dalam meningkatkan hasil sangat diperlukan. Teknologi pengelolaan air
dan tanah yang tepat akan mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa pasang surut tersebut.
Penelitian ini bertujuanuntuk meningkatkan produktivitas padi di lahan rawa pasang
surut melalui aplikasi pemupukan dan uji varietas di Desa Paluh Manan, Kecamatan
Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.
METODOLOGI
654
Hasil analisis sidik ragam terhadap jumlah anakan produktif (Tabel 1) menunjukkan
bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata, sedangkan perlakuan pemupukan dan
kombinasi perlakuan varietas berpengaruh tidak nyata. Rata-rata jumlah anakan produktif
yang tertinggi terdapat pada perlakuan V3P3 (Varietas Indragiri) yaitu 23 dan terendah pada
perlakuan V1P2 (Varietas Inpara 2) yaitu 16,33. Berdasarkan hasil uji lanjut terhadap
parameter jumlah anakan produktif diketahui bahwa perlakuan V1P2 berbeda nyata
terhadap perlakuan V3P3 dan tidak berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya sedangkan
perlakuan pemupukan tidak berbeda nyata antara P1, P2, dan P3 pada masing-masing
varietas.
Hasil analisis sidik ragam terhadap parameter panjang malai (Tabel 1) menunjukkan
bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata, sedangkan perlakuan pemupukan dan
kombinasi perlakuan varietas dan pemupukan berpengaruh tidak nyata. Rata-rata panjang
malai yang tertinggi terdapat pada perlakuan V2P3 (Varietas Inpara 3) yaitu 26,88 cm dan
terendah pada perlakuan V1P1 (Varietas Inpara 2) yaitu 20,77 cm. Berdasarkan hasil uji
lanjut terhadap parameter panjang malai diketahui bahwa perlakuan varietas berbeda nyata
antara V1 dengan V2 dan V3, namun V2 tidak berbeda nyata dengan V3 sedangkan
perlakuan pemupukan, perlakuan V1P1 berbeda nyata terhadap kombinasi perlakuan
lainnya. Bervariasinya penampilan tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, dan panjang
malai yang diuji disebabkan oleh faktor genetik tanaman. Dari ketiga varietas yang diuji
yakni Indragiri, Inpara 2, dan Inpara 3, varietas Inpara 2 dan Inpara 3 menunjukkan
pertumbuhan yang baik di lahan pasang surut di Desa Paluh manan, Kecamatan Hamparan
Perak Kabupaten Deli Serdang. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Inpara 2 dan Inpara 3
sesuai untuk ditanam di lahan rawa pasang surut di Desa Paluh Manan, Kecamatan
Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian
sebelumnya bahwa varietas Inpara memiliki kemampuan beadaptasi lebih tinggi di lahan
rawa dibandingkan varietas unggul padi sawah irigasi lainnya ( Nugraha et al, 2011).
655
gabah bernas dan hampa per malai kedua faktor varietas dan pemupukan tidak berpengaruh
nyata. Rata-rata berat gabah 1000 butir yang tertinggi terdapat pada perlakuan V1P3
(Varietas Inpara 2) yaitu 27,73 g dan terendah pada perlakuan V3P2 (Varietas Indragiri)
yaitu 22,63 g. Varietas Inpara 3 menunjukkan hasil tertinggi dengan produktivitas 5,8
ton/ha, diikuti Varietas Indragiri dengan produktivitas sebesar 4,75 ton/ha, dan hasil
terendah yaitu pada Varietas Inpara 2 dengan produktivitas hanya 3,7 ton/ha (Tabel 2).
Produktivitas yang tinggi pada Varietas Inpara 3 juga didapatkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Sasmita dan Ernawanto (2011) di lahan yang terkena banjir dan rendaman
dimana produktivitas Varietas Inpara 3 mencapai 5,2 ton/ha.
Adaptasi Varietas Inpara di lahan pasang surut cukup bervariasi. Hasil observasi
lapang menunjukkan bahwa adaptasi varietas Inpara 2, Inpara 3, dan Inpara 4 cukup baik.
Varietas Inpara 3 memiliki adaptasi yang luas, dapat ditanam dengan hasil yang baik di lahan
pasang surut sulfat masam dan bergambut, lahan lebak, lahan tadah hujan dan lahan irigasi.
Pada lahan lebak dengan kendala genangan air Varietas Inpara 3 mampu tumbuh dan
memberikan hasil yang baik. Demikian pula pada lahan pasang surut dengan kendala
kemasaman tanah dan keracunan besi, Varietas Inpara 3 juga mampu tumbuh dengan hasil
baik (Koesrini dan Nursyamsi, 2008). Produktivitas 5,8 ton/ha di Desa Paluh Manan
Kabupaten Deli Serdang, menunjukkan bahwa Varietas Inpara 3 cocok ditanam di lahan
pasang surut di Desa paluh Manan Kabupaten Deli Serdang dan mampu memberikan hasil
yang baik. Penanaman Varietas Inpara 3 merupakan alternatif yang sangat baik bagi petani
untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut di Desa Paluh Manan,
Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.
656
Tabel 2. Pengaruh varietas dan pemupukan terhadap komponen hasil dan produktivitas padi
di lahan rawa pasang surut Desa Paluh Manan Kecamatan Hamparan Perak
Kabupaten Deli Serdang
Jumlah gabah Jumlah gabah Berat 1000 butir Produktivitas
Perlakuan
bernas/malai hampa/malai (g) (t/ha)
KESIMPULAN
Varietas padi Inpara 3 menunjukkan pertumbuhan tanaman terbaik dan produktivitas
tertinggi dengan produktivitas 5,78 ton/ha dengan pemberian pupuk berdasarkan analisis
tanah dengan dosis Urea 175 kg/ha, SP36 100 kg/ha, KCl 75 kg/ha, dan ZA 50 kg/ha.
657
DAFTAR PUSTAKA
jdih.bpk.go.id/wp/tulisan-hukum-ketahanan-pangan.pdf. 2012 Kebijakan pemerintah dalam
Januari 2012].
Koesrini, dan D. Nursyamsi. 2008. Inpara : Varietas Padi Adaptif Rawa. Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa. http://Balittra.Litbang.Pertanian.go.id.
Nugraha Yudhistira, Priatna and Abdelbagi MI. 2011. Performance of sub1 NILs nedium deep
stagnant conditions. Makalah Seminar Pemuliaan Berbasis Potensi Kearifal Lokal
Menghadapi Tantangan Globalisasi, PERIPI Komda Banyumas, UNSOED Purwokerto,
8-9 Juli 2011.
Ritung, S. 2011. Karakteristik dan sebaran lahan sawah di Indonesia. Hlm 83-98. Dalam.
Prossiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan lahan
Terdegradasi. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Bogor.
Sasmita, P., dan Q. D. Ernawanto. 2011. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Padi
Rawa Adaptif Pada Lahan Banjir dan Rendaman.
http://jatim.litbang.pertanian.go.id/ind/phocadownload/p1.pdf
Sutanto, R. H. 2009. Review Hasil Pembahasan Workshop Pengembangan dan Pengelolaan
Rawa dalam Mendukung Upaya Ketahanan Pangan Nasional. 16 Desember 2009, Hotel Nikko
Jakarta. 27 hal.
658
SERANGAN PENYAKIT KARAT DAUN (Puccinia horiana )
SERTA PERAN KHITOSAN DALAM PENGENDALIANNYA
PADA ADAPTASI KRISAN DI GUNUNGKIDUL
ABSTRAK
Upaya pengendalian penyakit utama pada budidaya krisan (karat daun) lebih
difokuskan pada pengendalian hama terpadu (PHT), yang salah satu komponennya adalah
melakukan penekanan inokulum awal dengan merompes (menghilangkan) daun pada awal
pertumbuhan. Ekologi penyakit karat serta keragaan tanaman krisan yang diadaptasikan di
Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum pernah dilaporkan.Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengkaji keragaan tanaman krisan serta ekologi penyakit utamanya yakni
penyakit karat daun yang disebabkan oleh Puccinia horiana, serta mempelajari teknik
pengendalian dengan bahan alami berupa Khitosan, yang diduga dapat memberikan efek
kekebalan pada krisan.Penelitian dilakukan di screenhouse pada lokasi Taman Teknologi
Pertanian (TTP) di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, DIY.
Ketinggian lokasi berada pada 430 mdpl, penelitian dimulai sejak bulan Desember 2015
sampai dengan April 2016. Aplikasi pengendalian penyakit karat disusun dalam rancangan
lingkungan yang sesuai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas serangan penyakit
karat pada daun di bagian bawah berkisar 40 – 70%, sedangkan pada daun atas hanya
berkisar 10 – 30%; intensitas serangan paling tinggi mencapai 30% pada saat tanaman
berumur 6 mst; Rerata intensitas serangan penyakit karat pada perlakuan Khitosan sebesar
21,53%, sedangkan pada perlakuan kontrol (tanpa Khitosan) sebesar 36,13%; serta
penggunaan bahan alami berbahan aktif khitosan efektif mengendalikan serangan penyakit
karat daun krisan (Puccinia horiana).
Kata Kunci :serangan, penyakit, karat, Puccinia horiana, PHT, Khitosan, Krisan
LATAR BELAKANG
Permintaan bunga potong krisan dari tahun ke tahun terus meningkat.Hal ini dapat
dilihat dari produksi bunga potong krisan pada tahun 2006 menempati urutan pertama
sebesar 63.716.256 tangkai.Angka ini di atas mawar, sedap malam, gladiol dan anggrek.
Tahun 2008 produksinya meningkat hingga 99.158.942 tangkai, jauh di atas anggrek dengan
produksi 15.343.040, mawar 39.161.603 tangkai dan sedap malam 21.180.043 tangkai.
Tahun 2009 total produksinya sudah mencapai 107.847.072 tangkai, dan tahun 2010
mencapai 185.232.970 tangkai. Permintaan pasar akan produk bunga krisan ini rata-rata
meningkat 10% per tahun (Soedarjo dkk., 2009).
Performa fisik tanaman dan bunga merupakan hal yang sangat menentukan dalam
sortasi dan grading yang pada akhirnya berpengaruh pada harga jual produk bunga
krisan.Salah satu faktor penghambat dalam peningkatan produksi krisan adalah penyakit
karat hitam yang disebabkan oleh Pucciana horiana.Penyakit ini berkembang baik pada
kelembaban tinggi terutama dengan pertanaman rapat dan dapat menyebabkan kerusakan
daun krisan hingga 100% (Maaswinkel, 2005).Gejala penyakit tampak pada bagian daun
tanaman.Pada sisi bawah daun terdapat bintil-bintil coklat/hitam dan terjadi lekukan-
lekukan mendalam yang berwarna pucat pada permukaan daun bagian atas.Bila serangan
hebat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bunga.Daun-daun yang terserang karat
menyebabkan rendahnya kualitas tangkai bunga dan nilai ekonomisnya (Marwoto,
659
2005).Pengendalian terhadap penyakit yang dapat menurunkan kualitas krisan ini sangat
diperlukan, apalagi mengingat perlunya memenuhi keinginan konsumen untuk
mendapatkan krisan dengan kualitas yang disukai.
Kualitas bunga yang baik, ditentukan pula oleh kandungan unsur hara. Jika
kekurangan salah satu kandungan unsur hara, dapat mengakibatkan terjadinya
pertumbuhan dan produktivitas tanaman akan terganggu (Syekhfani, 2003).Untuk
mengatasi keadaan tersebut perlu dilakukan penambahan hara dari luar yaitu dengan
pemupukan melalui daun (Pupuk Pelengkap Cair/PPC).Pemupukan ditujukan untuk
menyediakan bahan nutrient, yang secara langsung atau tidak langsung dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman(Sanusi dan Riyanto, 2003).Salah satu pupuk yang
digunakan untuk meningkatkan produksi krisan antara lain pupuk Fitosan. Pupuk Fitosan
merupakan hasil dari pemanfaatan limbah kulit udang yang diproses dengan radiasi gamma
dan berkas elektron menjadi Oligochitosan. Fitosan mengandung zat penumbuh Gibberellin
(Ga), Zeatin, Indole acetic acid yang bermanfaat antara lain untuk meningkatkan daya
tumbuh tanaman, mencegah dan mengurangi penyakit tanaman dan meningkatkan imunitas
serta produktivitas tanaman.
Adanya seranganpenyakit karat dapat menganggu konsisi performa fisik tanaman,
sehingga kualitas pertumbuhan tanaman menurun. Untuk itu perlu dilakukan perlindungan
tanaman sesuai dengan sistem pengendalian hama terpadu (PHT), pengendaliannya dapat
dilakukan secara fisik, mekanis biologis, genetik, kimia, dan perbaikan budidaya.
Penggunaan pupuk yang dapat memberikan efek samping perlindungan tanaman, dirasa
sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan penyebarluasan inovasi teknologi di
lapangan.Keinginan petani untuk melakukan aktivitas yang tidak membutuhkan tenaga
tinggi, serta efektif perlu dipertimbangkan sehingga penggunaan dan pemilihan pupuk
tambahan bagi tanaman krisan harus tepat.
Lokasi kegiatan penelitian pengujian pupuk cair berbahan aktif khitosan
dilaksanakan di Taman Teknologi Pertanian (TTP) Nglanggeran, Gunungkidul.Ekologi
penyakit karat serta keragaan tanaman krisan yang diadaptasikan di Gunungkidul, Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) belum pernah dilaporkan.Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengkaji keragaan tanaman krisan serta ekologi penyakit utamanya yakni penyakit karat
daun yang disebabkan oleh Puccinia horiana, serta mempelajari teknik pengendalian dengan
bahan alami berupa Khitosan,
METODOLOGI
Σn
IP = ---------- x 100%
660
Keterangan :
IP = Intensitas Penyakit
Tabel 1. Rata-rata tinggi 5 varietas tanaman krisan dengan tiga jenis pupuk
Pupuk Pupuk
Varietas Pupuk Hyponex
Extragreen Fitosan
PN 519.67 abc 480.67 ab 478.33 ab
DK 545.67 bcd 549.33 bcd 540.67 bcd
Pasopati 494.67 ab 454 a 550.67 bcd
Kinanti 700.33 f 684.67 ef 660.67 efg
SK 611 def 632.67 efg 600 cde
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada DMRT 5%
Hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman krisan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
interaksi antara jenis pupuk dengan keragaman varietas krisan berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman krisan.Dari masing-masing perlakuan, hasil tertinggi ditunjukkan oleh
varietas Kinanti, dan hasil yang terendah yaitu varietas Pasopati.Tanaman krisan yang
ditanam dengan jenis pupuk Hyponex menujukkan hasil tertinggi untuk seluruh varietas,
diikuti pupuk Extragreen, dan pupuk Fitosan.
Hasil penelitian lain di Balai Penelitian Tanaman Hias menunjukan bahwa pemberian
pupuk pelengkap cair Hyponex cukup baik untuk pertumbuhan vegetatif tanaman anggrek
hibrida (Wuryaningsih, 1992).Pemberian pupuk memberikan perbedaan yang nyata pada
pertumbuhan tanaman anggrek pada fase vegetatif, hal ini dapat dimengerti karena pupuk
yang diberikan dapat mensuplai ketersediaan hara (NPK), yang dilepaskan dari pupuk
sehingga dapat menjaga atau memenuhi kebutuhan tanaman selama pertumbuhan.
Pendapat Simatupang (1997) bahwa tingginya hasil suatu varietas dikarenakan
varietas tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan. Walaupun secara genetik varietas
lain mempunyai potensi hasil yang baik, tetapi masih dalam tahap adaptasi, maka hasilnya
lebih rendah dari pada yang seharusnya. Penelitian Hermiati (2000) yang menyatakan
bahwa setiap varietas memiliki perbedaan dalam hal kemampuannya untuk
mempertahankan hidup dan pertumbuhan individu dari iklim yang berbeda.Faktor genetik
tanaman dan adaptasinya terhadap lingkungan menghasilkan pertumbuhan yang berbeda-
beda, hal ini dapat dilihat varietas memberi pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan
hasil kubis bunga.
661
Waktu panen atau umur berbunga tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor internal
dan eksternal. Data hasil pengukuran waktu panen tanaman krisan yang ditanam dengan
tiga jenis pupuk disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 2. Rata-rata waktu panen 5 varietas tanaman krisan dengan tiga jenis pupuk.
Pupuk
Varietas Pupuk Hyponex Pupuk Fitosan
Extragreen
PN 121.33 c 123 c 112.33 b
Hasil analisis sidik ragam waktu panen tanaman krisan dengan pengaruh tiga jenis
pupuk pada Tabel 2, menunjukkan adanya beda nyata untuk waktu panen yang dipengaruhi
oleh jenis pupuk, di mana penggunaan pupuk Fitosan memberikan efek paling cepat
berbunga. Rata-rata untuk periode berbunga tanaman krisan tercepat ditunjukkan oleh
varietas Pasopati yang disemprot Fitosan dengan waktu panennya umur 102 hari setelah
tanam, diikuti oleh varietas Kinanti, Puspita Nusantara, Dwina Kencana, dan Swarna
Kencana.
Dalam penelitian ini perbedaan lamanya waktu panen dengan deskripsi yang
dikeluarkan oleh Balithi (2015) disebabkan oleh perbedaan lokasi ketinggian tempat atau
elevasi penanaman, dan jenis pupuk pelengkap cair yang digunakan.Ketinggian tempat yang
mempengaruhi iklim mikro di lingkungan pertumbuhan tanaman inilah yang menyebabkan
perbedaan waktu panen.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh varietas lebih lama
berbunga.Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Marwoto (2005), bahwa
intensitas cahaya matahari yang penuh, justru dapat menunda pembungaan.Menurut
Sanjaya (1997) bahwa setiap varietas memiliki ketahanan yang berbeda-beda, beberapa
tanaman dapat melakukan adaptasi dengan cepat, namun sebaliknya ada tanaman yang
membutuhkan waktu lama untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan.
Pembahasan mengenai intensitas serangan penyakit karat daun krisan dilakukan
berdasarkan analisis data pengamatan minggu ke 2, 4, 6, 8, dan 10. Kisaran umur tanaman
itu merupakan fase-fase kritis tanaman yang berhubungan dengan fase pertumbuhan
vegetatif tanaman dengan pemberian hari panjang (2-6 minggu setelah tanam / mst), dan
fase pertumbuhan generatif tanaman (6-10 mst). Pengaruh serangan penyakit karat daun
pada fase-fase pertumbuhan tersebut berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan
produksi tanaman.Pengaruh serangan penyakit terhadap tanaman diukur melalui
perkembangan gejala penyakit karat dihubungkan dengan tingkat kerusakan daun.
Gambar 1. Gejala serangan penyakit karat daun (P. horiana) pada daun krisan
662
Pengamatan terhadap kerusakan daun pada penyakit karat ditandai dengan gejala
pada bagian sisi bawah daun terdapat bintil-bintil coklat atau hitam dan terjadi lekukan-
lekukan mendalam yang berwarna pucat pada permukaan daun bagian atas.Serangan
penyakit karat dimulai dari daun yang tua hingga daun muda.Serangan paling parah dapat
menyebabkan tanaman mati sebelum berbunga.Bila serangan hebat menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan bunga dan batang. Infeksi biasanya nampak seperti karat,
berwarna jingga, kuning, atau bercak putih sebagai hasil dari pecahnya epidermis,
pembengkakan dan bahkan gall (Agrios, 1996).
Dari hasil pengamatan bagian tanaman yang terserang di lapangan terlihat bahwa
daun di sebelah bawah merupakan bagian yang paling banyak diserang bila dibandingkan
dengan daun atas.Intensitas serangan pada daun-daun dari 1/3 bagian tanaman pada posisi
bawah berkisar 50-70%, sedangkan pada daun-daun dari 1/3 bagian tanaman pada posisi
tengah berkisar 25-50%.Sedangkan pada daun-daun dari 1/3 bagian tanaman pada posisi
atas hanya berkisar 10-25%.Daun bagian bawah lebih banyak diserang karat daun karena
kelembaban yang lebih tinggi dibanding daun yang terletak di bagian tengah dan atas.Oleh
karena itu pengaturan jarak tanam juga menjadi salah satu alternatif menekan keparahan
serangan penyakit karat daun. Tanaman krisan yang ditanam dalam jarak yang terlalu
berdekatan dapat mempengaruhi iklim mikro, misalnya kelembaban relatif menjadi lebih
tinggi. Kondisi demikian sangat menguntungkan bagi pertumbuhan, perkembangan, dan
penyebaran patogen (Marwoto, 2005). Jamur Pucciana horiana yang menginfeksi satu daun
akan lebih mudah menginfeksi daun lainnya karena kontak langsung secara fisik.
Pengamatan intensitas serangan penyakit karat dilakukan pada umur 30 hari setelah
tanam, mengingat pada periode tersebut merupakan periode awal terbentuknya knop bunga
(fase generatif di mana kondisi tanaman akan mengalami depresi sebagai akibat
dikuranginya periode terang (Martini, 2014). Selain itu peningkatan intensitas serangan
terjadi penyebabnya karena inokulum yang patogenik, bentuk morfologi, dan genetik
tanaman yang cocok, serta didukung oleh kondisi cuaca yang lembab disertai angin yang
sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan patogen.Cuaca yang cukup sejuk dan
lembab menyebabkan konidiofor dapat terbawa angin dan embun, kemudian menempel
pada jaringan daun dan berkecambah.Menurut Chester, 1946 (dalam Hanudin et al., 2004),
P. horiana menginfeksi tanaman melalui stomata, kemudian hifa masuk diantara sel (intra
seluler) dan membentuk haustorium.Haustorium berfungsi untuk mengambil makanan dari
inangnya.
Perlakuan Varietas
pupuk
Pasopati PN DK SK Kinanti
Fitosan 30.76c 7.69a 15.38b 30.76c 23.07c
Ekstragreen 46.53e 5.84a 43.84e 49.53e 38.46d
Hyponex 46.53e 3.46a 38.46d 48.53e 40.15de
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada DMRT 5%
Hasil analisis sidik ragam terhadap presentase penyakit karat dengan perlakuan
fitosan menunjukkan hasil yang beda nyata dan memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap intensitas serangan penyakit karat, di mana patogennya bersifat parasit obligat. Hal
ini sesuai dengan penelitian Uthairatanakij (2007) yaitu Fitosandigunakansebagaiantivirus
untuk tanamanchlilliyangdiserangolehvirusdaun keritingpada usia25hari setelah tanam.
Haltersebut sesuai dengan penelitian Batan (komunikasi pribadi)yaitu kitosan memiliki
mekanisme kerja yaitu dengan caramenginaktivasi replikasi yang dapat menyebabkan
terhentinya multiplikasi dan penyebaran parasit obligat sehingga dapat menghambat infeksi
virus. Selain itu nano partikel pada kitosan mampu menyebabkan kerusakan pada virus
karena kitosan dapat mengikat asam nukleat pada saat virus melakukan penetrasi. Kitosan
663
juga mampu menonaktifkan sintesis mRNA yang dikodekan oleh gen untuk metabolik dan
infeksi dari virus.
Varietas Puspita Nusantara memiliki daya tahan terhadap penyakit karat lebih tinggi
dibandingkan keempat varietas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi tanaman
terhadap patogen berbeda, bergantung pada faktor genetik dari tanaman itu. Pada umumnya
gejala penyakit akan timbul apabila terjadi interaksi antara inang, patogen, dan lingkungan,
sehingga dikenal dengan sebutan segi tiga penyakit. Resistensi pada setiap varietas terhadap
patogen disebabkan oleh struktur pertahanan jaringan tanaman yang meliputi ukuran, letak,
dan bentuk stomata (Agrios, 1996).
Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa serangan karat daun paling tinggi
mencapai 49,53% pada varietas Swarna Kencana, sesuai dengan deskripsi Balithi (2015)
yang menyebutkan bahwa varietas tersebut rentan terhadap serangan karat daun. Semakin
banyak atau tinggi intensitas serangan karat daun pada tanaman maka proses fotosintesis
tanaman semakin terganggu. Jumlah daun sehat yang semakin banyak atau tinggi
menyebabkan tanaman lebih banyak menyerap radiasi matahari dan karbondiosida yang
merupakan bahan dasar utama bagi berlangsungnya proses fotosintesis, sehingga proses
fotosintesis diharapkan meningkat. Menurut Gardner et al. (1985) dengan bertambahnya
tinggi maupun ukuran daun pada masa vegetatif yang disertai dengan kemampuan akar
menyerap unsur hara dan air, akan semakin meningkatkan kemampuan tanaman untuk
berfotosintesis. Hasil fotosintesis yang berupa karbohidrat berperan dalam mendorong
pertumbuhan tanaman yang dapat menyebabkan terinisiasinya kuncup bunga (knop). Pada
varietas dengan kerusakan berat atau jumlah pustul yang banyak pada daun, maka luas
permukaan daun untuk fotosintesis menjadi lebih sempit. Dari bahasan tersebut, dapat
diketahui bahwa pada varietas yang memiliki intensitas serangan karat tinggi, akan
mengalami penurunan laju fotosintesis, yang tentu saja akan merugikan, yang berakibat
pada turunnya performa tanaman, baik pada parameter tinggi tanaman, bahkan hingga
waktu panen bunga.
KESIMPULAN
1. Intensitas penyakit karat daun pada daun-daun di 1/3 bagian tanaman pada posisi
bawah berkisar 50 – 70%, sedangkan pada daun-daun di 1/3 bagian tanaman pada
posisi tengah berkisar 25 – 50%, serta pada daun-daun di 1/3 bagian tanaman pada
posisi atas hanya berkisar 10 – 25%.
2. Rerata intensitas serangan penyakit karat pada perlakuan Khitosan sebesar 21,53%,
sedangkan pada perlakuan kontrol (tanpa Khitosan) sebesar 36,13%; serta ternyata
perlakuan penggunaan bahan alami berbahan aktif khitosan efektif mengendalikan
serangan penyakit karat daun krisan (Puccinia horiana).
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, GN. 1996. Plant pathology. 3rd Ed. New York: Academic Press, Inc.
Balai Penelitian Tanaman Hias (BALITHI), 2015. Standar Oprasional Prosedur (SOP)
Produksi Bunga Potong Krisan (Dendrathema grandiflora, Tzvlev Syn.). Segunung,
Cianjur.
Gardner, FP., RB. Pearce, and RL. Mitchell. 1985. Physiology of crops plants. Terjemahan
Herawati Susilo, 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta.
664
Hanudin, K. Kardin, dan Suhardi. 2004. Evaluasi ketahanan klon-klon krisan terhadap
penyakit karat putih. Jurnal Hortikultura 14:430–435. Badan Litbang Pertanian.
Puslitbang Hortikultura. Jakarta.
Martini T.2014. Teknologi Budidaya Krisan di DIY. Buku Kumpulan Rekomendasi Teknologi
Pertanian. Komisi Teknologi Pertanian Provinsi DIY – Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah DIY.
Safuan, L. O dan Andi, B. 2012.Pengaruh Bahan Organik Dan Pupuk Kalium Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Melon (Cucumis melo L.).Jurusan
Agroteknologi. Vol 2 (2) :69-76
Salisbury, F.B., dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi tumbuhan.Jilid 1Terjemahan Diah R. Lukman
dan Sumaryo.ITB : Bandung.
Sanjaya, L. 1997. Pengaruh nitrogen dan jumlah bunga per tangkai terhadap kualitas bunga
seruni.Prosiding Seminar Tanaman Hias. Sub Balai Penelitian Hotikultura Cipanas.
Jawa Barat.
Soedarjo, M., Shintiavira, H., Supriyadi.Y dan Nasihin, Y. 2009.Teknologi Budidaya Untuk
Menghasilkan Bunga Krisan yang Berkualitas dan Berdaya Saing Secara
Komersial.Sinartani 7 (37) : 10-16
Unterstenhoffer G. 1976. The basic principles of crop protection field trials. Leverkusen:
Pflanzenshutz-Nachricten Bayer AG.
Wuryaningsih, S. 1992. Pengaruh Dosis NPK dan Jumlah Bunga per Tanaman Bunga Krisan
Lokal Putih (Chrysanthemum morifolium Ram).J.Hort (2)(4):26-34.
665
PENGENDALIAN PENYAKIT EMBUN TEPUNG Oidium nephelii
PADA RAMBUTAN DENGAN BEBERAPA JENIS FUNGISIDA
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jl. Solok – Aripan Km. 8, Solok 27301 Sumatera Barat
Telp. (0755) 20137; e-Mail: ha_sahlan@yahoo.com.
ABSTRAK
Penelitian pengendalian penyakit embun tepung dengan beberapa bahan aktif fungisida
dilakukan di KP. Percobaan Aripan dari bulan Juli – Desember 2014. Buah rambutan yang
digunakan adalah kultivar rambutan Korong Gadang yang merupakan koleksi plasma nutfah
rambutan yang telah berumur sekitar 20 tahun yang berasal dari sambungan. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan metode ini bukan rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari
tujuh perlakuan penyemprotan bahan aktif fungisida dengan dosis 2 gram/liter yaitu: A.
Mancozeb 80%; B. Carbendazim 59.4%;. C. Clorotalonil 75.%; D. Campuran Carbendazim 6.2%
dan Mancozeb 73.8%; E. Propineb 70%; F. Difenokonazol 25% dan G. Kontrol. Setiap kali
penyemprotan datambahkan bahan perekat sebanyak 1 ml/lt larutan semprot. Penyemprotan
dilakukan sebanyak 4 kali dengan interval seminggu sekali. Setiap perlakuan menggunakan
100 buah rambutan yang berukuran sekitar sebesar jagung yang terinfeksi penyakit embun
tepung dan di ulang 3 kali. Parameter pengamatan meliputi persentase buah rusak dan
intensitas kerusakan pada rambut, dan berat rata-rata buah yang dilakukan setelah buah
masak dan dipanen. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kerusakan rambut dan persentase
buah rusak terserang sebagai akibat dari penyemprotan fungisida masing-masing tinggal
21,25%-35,00 % dan 50,34%-66,34%, sementara pada kontrol masing-masing mencapai
90,34% dan 67,91% Meskipun demikian, penyemprotan fungisida tidak berpangaruh nyata
terhadap berat rata-rata buah yang dipanen.
Kata kunci : Rambutan, O. nephelli. Fungisida. Intensitas serangan. Persentase buah rusak.
PENDAHULUAN
Buah rambutan memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi, diantaranya karbohidrat,
protein, lemak, fosfor, kalium, kalsium, vitamin B 1, B2, B3, B5, B6, B12, folat, mangan, magne-
sium, zat besi dan vitamin C. Di dalam 100 g buah rambutan, terdapat kandungan kalori 69
kalori, 66,75 mg vitamin C. Selain itu dilaporkan juga bahwa kadar seratnya juga tinggi, yaitu
2 g per 100 g buah, sehingga sangat cocok untuk orang yang ingin diet menurunkan berat
badan.
Kulit buah rambutan mengandung tanin dan saponin, yang dapat digunakan untuk
obat disentri dan demam. Sementara itu bijinya mengandung lemak dan polifenol yang dapat
digunakan untuk mengatasi diabetes mellitus atau penyakit kencing manis. Daun
mengandung tannin dan saponin. Kulit batang mengandung tannin, saponin, flavonida, asam
pektat, dan zat besi dan dapat dibuat sebagai obat kumur sebagai obat sariawan.
Sejak lima sampai sepuluh tahun terakhir buah rambutan di berbagai daerah
terserang berat penyakit embun tepung. Bahkan serangan penyakit embun tepung initelah
mencapai tingkatepidemi. Namun demikian, sampai saat ini secara kuantitas belum
diketahui secara pasti berapa kerugian akibat serangan penyakit embun tepung ini. Yang
jelas, penampilan buahnya setelah matang sangat tidak menarik karena rambut-rambutnya
menjadi pendek dan cenderung gundul.
666
Penyakit embun tepung dilaporkan untuk pertama kalinyadiIndonesia menyerang
tanaman rambutan di Bogor dan Jakarta oleh T. Hadiwijaya pada tahun 1949. Penyebab
penyakit ini adalah jamur spesiesOidium sp.Karenajamur ini diduga hanya menyerang
tanaman rambutan, maka diberi nama O.nepheliinov.sp. Hadiwijaya. (Hadiwidjaja, 1950).
Untuk saat ini, jamurembun tepungmerupakansalah satu kelompok penyebab penyakit yang
paling banyak tersebar danmerusak pertanaman rambutan di seluruh dunia seperti Sri
Langka, Thailand, Malaysia, Philipina dan Indonesia (Braun etal., 2002). Garcia,
1983;Coatesetal, 2003).
Penyakit embun tepung pada rambutan ini terutama menyerang bagian
vegetatifdanreproduksi yang masih mudadanaktif tumbuh(tunas, bungadan buah-buah
muda) sementaradaun tuadanbuah–buah yangtidak terserang. Infeksiawal penyakit embun
tepung pada buah-buah muda akan menyebabkanperkembangan buahnya menjadi lambat,
terjadinya deformasi, nekrosisdan rambut-rambut buah menjadi memendek (Gambar 1 dan
2). Akibat serangan penyakit embun tepun ini akan menyebabkan terjadinya perubahan
warna pada rambut menjadi coklat(Rajapaksee etal. 2006).
Gambar 1 Penampilan gejala buah rambutan muda terserang penyakit embun tepung.
667
Gambar 2. Penampakan buah rambutan muda yang terserang penyakit embun tepung.
Tampak rambutnya memendek dan kulitnya berwarna coklat kehitaman.
Berbagai upaya pengendalian penyakit embun tepung ini telah dilakukan di beberapa
negara, seperti Srilangka, Thailand dan Philipina. Laporan menyebutkan bahwa serangan
penyakit embun tepungpadapohon rambutan dapat dikendalikan secara efektif
denganpenyemprotanbelerang, senyawa fungida sistemik yang mengandung sterol
inhibitingsepertibitertanol, etaconazoledantriforine, fungisidachlorothalonil500SC,
Thiophanatemetil70WPatauSulphur80WP dengan interval 7- 10 hari begitu penyakit embun
tepung ditemukan(Agrios, 1997; Tindall, 1994; Alahakoon etal. 2010), penyemprotan
dengan azadirachtinEC, produk alami dari nimba(Azadirachta indica) (Singh danPrithiviraj,
1997). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan satu komponen pengendalian penyakit
embun tepung pada rambutan.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan di KP. Percobaan Aripan dari bulan September – Desember 2014.
Buah rambutan yang digunakan adalah kultivar rambutan Korong Gadang yang merupakan
koleksi plasma nutfah rambutan yang telah berumur sekitar 20 tahun yang berasal dari
sambungan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap
yang terdiri dari tujuh perlakuan penyemprotan bahan aktif fungisida dengan dosis 2
gram/liter yaitu: A. Mancozeb 80%; B. Carbendazim 59.4%; C. Chlorotalonil 75.%; D.
Campuran Carbendazim 6.2% dan Mancozeb 73.8%; E. Propineb 70%; F. Difenokonazol
25% dan G. Kontrol. Setiap kali penyemprotan datambahkan bahan perekat sebanyak 1
ml/lt larutan semprot. Penyemprotan dilakukan sebanyak 4 kali dengan interval seminggu.
Setiap perlakuan menggunakan 100 buah rambutan yang berukuran sekitar sebesar jagung
yang terinfeksi penyakit embun tepung dan di ulang 3 kali. Pengamatan terhadap serangan
embun tepung dilakukan pada saat buah rambutan berukuran sekitar sebesar biji jagung.
668
Variabel pengamatan meliputi saat panen pengamatan terhadap persentase buah
rusak dan Intensitas penyakit kerusakan rambut akibat serangan embun tepung pada
permukaan kulit buah yang dipanen.
a. Persentase buah yang rusak terserang penyakit embun tepung dihitung dengan
rumus :
A
P = ------ X 100 %,
B
dimana P : Persentase buah terserang,
A : Jumlah buah terserang
B : Jumlah total buah yang diamati
b.Intensitas serangan penyakit tiap perlukan dihitung berdasarkan jumlah buah yang
menunjukkan gejala serangan embun tepung dengan rumus sebagai berikut:
Σ nb
I = -------- x 100 %
(N-1)T
dimana n = Jumlah buah yang diamati
b = Nilai skala setiap kategori serangan
N = Total skore yang digunakan
T = Total jumlah buah yang di amati.
Nilai skala kategori serangan (Lampiran I):
0 = Rambut sehat/utuh
1 = < 10 % rambut pada kulit buah rusak
2 = 11 – 25 % rambut pada kulit buah rusak
3 = 26 – 50 % rambut pada kulit buah rusak
4 = > 51 % rambut pada kulit buah rusak
Hasil pengamatan pada saat panen terhadap jumlah buah rambutan yang rusak akibat
terserang penyakit embun tepung menunjukkan bahwa semua bahan aktif fungisida yang
digunakan efektif untuk mengendalikan penyakit (Gambar 3). Buah rambutan yang tidak
disemprot pada saat dipanen rata-rata tingkat kerusakannya mencapai 90.34% dan berbeda
nyata dengan yang dilakukan penyemprotan. Rata-rata masih tingginya buah yang
mengalami kerusakan pada rambutnya diduga disebabkan oleh terlambatnya waktu
dilakukannya penyemprotan dan rendahnya dosis fungisida. Rajapaksee etal. (2006)
melaporkan bahwa penyemprotan senyawa sulfur sebanyak 5g/l pada 10 dan 20 hari
setelah pembuahan dapat mengendalikan penyakit embun tepung rambutan.
Meskipun penyemprotan dapat menghentikan laju kerusakan pada rambut buah
rambutan akibat infeksi penyakit embun tepung, akan tetapi rambut buah yang sudah
mengalami nekrosis dan mengering sudah tidak dapat lagi untuk meregenerasi kembali
sehingga rambut buah menjadi kembali utuh. Di sisi lain, penyemprotan yang terlalu awal
misalnya sebelum bunga mekar dikhawatirkan akan dapat mengganggu serangga polinator
atau serangga penyerbuk bunga sehingga proses penyerbukan tidak maksimal yang pada
akhirnya buah-buah tidak terserbuki berkurang sehingga buah yang jadipun akan menjadi
jauh berkurang.
669
100 A= Mancozeb 80%
90 B= Carbendazim 59,40%
C= Chlorothalonil 75,00%
Jumlah buah rusak (%)
80 D= Carbendazim 6.2% + Mancozeb 73,80%
70 E= Propineb 70,00 %
F= Difekonazole 25%
60 G= Kontrol
a b
50
a a
40 a a a
30
20
10
0
A B C D E F G
JENIS FUNGISIDA
Gambar 3. Pengaruh bahan aktif fungisida terhadap jumlah buah rusak (%)
Ket : *) gambar balok-balok yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
Uji Nyata Berjarak Duncan pada taraf uji 0,05.
a
a
a a a a
670
70
60
50
40
30
20
10
0
A B C D E F G
JENIS FUNGISIDA
Gambar 4. Pengaruh bahan aktif fungisida terhadap tingkat keparahan rambut buah yang
Rusak (%)
Ket : *) gambar balok-balok yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
menurut Uji Nyata Berjarak Duncan pada taraf uji 0,05.
Dilihat dari segi penampilan buah, buah-buah rambutan yang terserang penyakit
embun tepung rambut-rambut buahnya akan menjadi rusak dan memendek bahkan pada
tingkat kerusakan yang parah buah rambutan menjadi gundul Hal ini disebabkan karena
permukaan kulit buah yang terinfeksi embun tepung akan mengalami nekrosis, berubah
warnanya menjadi keocklat-coklatan dan mengering. Infeksi embun tepung pada
permukaan rambut buah disamping menjadi nekrosis dan berwarna kecolat-coklatan juga
menyebabkan jaringan rambut tersebut menjadi mati dan mengering, rapuh dan akhirnya
gugur. Akibatnya sedikit atau banyak rambut-rambutnya menjadi memendek mendekati
gundul (Gambar 5.). Karena itu serangan penyakit embun tepung ini yang paling merugikan
secara kualitas adalah rusaknya keindahan buah-buah rambutan tersebut karena menjadi
gundul sehingga tampilannya jadi sangat tidak menarik.
671
Gambar 5. Penampilan buah rambutan masak terserang berat penyakit embun
tepung. Tampak rambutnya memendek sehingga mendekati gundul.
Pengamatan terhadap berat buah rata-rata menunjukkan bahwa berat rata-rata buah
yang disemprot dengan kontrol tidak menunjukkan beda yang nyata. Dari data ini
menunjukkan bahwa infeksi penyakit embun tepung tidak berpengaruh terhadap bobot
buah yang terserang (Gambar 6). Secara makroskopis menunjukkan bahwa infeksi O.
nephelli hanya menginfeksi permukaan kulit buah dan rambut, tidak masuk menginfeksi
kedalam daging buah sehingga daging buah masih dapat dikonsumsi.
50
45 A= Mancozeb 80% B= Carbendazim 59,40%
C= Chlorothalonil 75,00%
40
D= Carbendazim 6.2% + Mancozeb 73,80%
35 E= Propineb 70,00 % F= Difekonazole 25%
Berat buah (gr)
30 G= Kontrol
25
20
15
10
5
0
A B C D E F G
JENIS FUNGISIDA
Gambar 6. Pengaruh bahan aktif fungisida terhadap berat rata-rata buah (gr)
Ket : *) tidak ada beda nyata menurut Uji Nyata Berjarak Duncan pada taraf uji 0,05.
672
Secara keseluruhan menunjukkan bahwa enam jenis bahan aktif fungisida yang
digunakan untuk mengendalikan penyakit embun tepung pada buah rambutan menunjukkan
efektifitas yang sama. Sebaliknya, hasil penelitian sebelumnya pada tanaman lain
menggunakan berbagai bahan aktif fungisida menunjukkan hasil yang bervariatif. Hanzada
et al. (2005) melaporkan bahwa Carbendazim sangat efektif untuk mengendalikan penyakit
dieback dan layu pada tanaman mangga serta dapat memacu pertumbuhan fegetatif
tanaman. Rawal (1998) melaporkan bahwa penyakit die-back pada mangga dapat
dikendalikan dengan cara menyemprotkan Carbendazim 0.1%, Methyl-ethiophanate @ 0.1%
atau Chlorothalonil 0.2% dengan interval dua minggu sekali.
Senyawa fungisida dithiocarbamat seperti Zineb, Mancozeb, Maneb, Ziram, Ferbam,
Thiram, Nabam diketahui sebagai fungisida yang aman dan efektif digunakan dan relative
murah serta kurang beresiko terhadap munculnya resistensi pada penyakit tanaman, kecuali
Mancozeb dan Propineb (Prakash and Misra, 1986; Persley et al., 1989; Saleem, 1999;
Chavan et al., 2009). Sementara fungisida yang mengandung Sulfur baik dalam bentuk
serbuk atau cairan sangat efektif untuk mengedalikan penyakit embun tepung pada mangga
(Palti et al., 1974; Gupta and Yadav, 1984; Prakash and Misra, 1986; Kawate, 1993; Prakash
and Raoof, 1994; Desai, 1998; Chavan et al., 2009), akan tetapi pada cuaca panas di atas 300C
fungisida ini dapat menyebabkan kerusakan bunga dan buah-buah mangga muda (Peterson
et al., 1991).
Pada tanaman tomat, senyawa mancozeb dengan 12 g/L dan 16 g/L air dengan
interval waktu penyemprotan 7, 14, 21 dan 28 hari sangat efektif mengendalian penyakit
Leaf Blight Alternaria. (Gondal et al, 2012., Mheswari et al, 1991; Sobolewski and Robak,
2004). Akem (2006) melaporkan bahwa senyawa benzimidazoles, terutama benomyl dan
carbendazim sangat efektif untuk mengendalikan penyakit anthracnose dan embun tepung
pada mangga (McMillan, 1973; Gupta and Dang, 1980; Gupta and Yadav, 1984; Chavan et al.,
2009). Wicks & Lee (1982) melaporkan bahwa senayawa Mancozeb sangat efektif
menghambat perkecambahan spora Plasmopara viticola yang menyerang tanaman
anggur.Khan et al (2014) pada penelitiannya mendapatkan bahwa senyawa Chlorothalonil
lebih efektif dari pada Mancozeb dan Propineb untuk mengendalikan penyakit becak daun
Cercospora pada kacang tanah, sementara Sunkad et al. (2005) melaporkan bahwa
penyemprotan Chlorothalonil (0.2%), Propiconazole (0.1%) dan Mancozeb (0.1%) untuk
mengedalikan becak daun Cercospora pada kacang tanah mendapatkan bahwa senyawa
Chlorothalonil lebih efektif daripada Propiconazole dan Mancozeb.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Akem, C.N. 2006. Mango anthracnose disease: Present status and future researchpriorities.
PlantPathology Journal 5:266-273.
673
Alahakoon, P. W. N. H. Jayawardana, K.C. Madushani and R.K.Nilmini. 2010. Introduction of
bio-fungicides for controlling powdery mildew disease of rambutan. Proceedings of the
International Forestry and Environment Symposium 2010 of the Department of Forestry
and Environmental Science, University of Sri Jayewardenepura, Sri Lanka. Pp: 303-308.
Anonimous 2013. Notices Federal Register Vol. 78, No. 26 Thursday, February 7, 2013.
Braun U, Cook TA, Inman AJ, Shin HD (2002). The taxonomy of the powdery mildew fungi, 13-
55 p. In: Belanger RR, Bushnell WR, Dik AJ, Carver TLW (Eds.). The Powdery Mildews:
A comprehensive Treatise. APS Press, St. Paul, MN.
Chavan, R.A., Deshmukh, V.D., Tawade, S.V., Deshmukh, J.D., 2009. Efficacy of fungicides for
managing powdery mildew of mango. Int. J. Plant Prot. 2, 71-72.
Coates, L. M., S. Sangchote, D. I. Jononson and C. Sittigul . 2003. Diseases of Longan, Lychee
and Rambutan. Diseases of tropical fruit crops Edited by R. C. Ploetz. CABI Publishing,
307-325.
Desai, S.A., 1998. Tridemefon in the control of powdery mildew of mango. Karnataka J. Agric.
Sci. 11, 244-245.
Garcia, A. S. 1983. The powdery mildew disease of rambutan. Philippine PhytoPathology, Vol.
19, Pp15-16
Gondal AS, Ijaz M, Riaz K, Khan AR (2012) Effect of Different Doses of Fungicide (Mancozeb)
against Alternaria Leaf Blight of Tomato in Tunnel. J Plant Pathol Microb 3:1-3.
Gupta, J.H., Yadav, A.S., 1984. Chemical control of powdery mildew of mango. Indian J. Mycol.
Plant Pathol. 14, 297-298.
Gupta, P.C., Dang, J.K., 1980. Occurrence and control of powdery mildew of mango in
Haryana. Indian Phytopathol. 33, 631-632
Hanzada, MA, AM. Lodhi and S. Shahzad 2005. The causal agent of mango decline in Sindh .
Pak. J. Bot., 37(4): 1023-1030.
Kawate, M., 1993. Pesticides registered for mango. In: Chia, C.L., Evans, D.O. (Eds.),
Proceedings: Conference on Mango in Hawaii, March 9e11, 1993. University of Hawaii
at Manoa, pp. 25-27.
Khan, A.R., Ijaz, M., I.U. Haq, A. Farzand and M. Tariqjaved 2014. Management of Cercospora
leaf spot of groundnut (Cercospora arachidicola&Cercosporidium personatum) through
the use of systemic fungicides. Cercetari Agronomice în MoldovaVol. XLVII , No. 2: 97-
102
Maheswari SK, Gupta and PC, Gandhi SK (1991) Evaluation of different fungitoxicants against
early blight of tomato. Agricultural Science Digest 11: 201-202.
McMillan Jr., R.T., 1973. Control of anthracnose, powdery mildew of mango with systemic
and non-systemic fungicides. Trop. Agric. (Trinidad) 50, 245-248.
Palti, J., Pinkays, Y., Chorin, M., 1974. Powdery mildew of mango. Plant Dis. Rep. 58, 45-49.
Persley, D.M., Pegg, K.G., Syme, J.R., 1989. Queensland Department of Primary Industries
Information Series: 188018. Fruit and Nut Crops- a Disease Management Guide.
674
Peterson, R.A., Schipke, L.G., Clarkson, P.C., 1991. Significance of two mango flower diseases in
the dry tropics. In: Proceedings of the 3rd International Mango
Prakash, O., and Misra, A.K., 1986. Evaluation of Mango Germplasm Against Powdery Mildew
Under Natural Condition. Annual Report. CIHNP, Lucknow, pp. 62-63.
Prakash, O., and Raoof, M.A., 1994. Studies on powdery mildew (Oidium mangiferae) disease
of mango: distribution, perpetuation, losses and chemical control. Biol. Mem. 20,
31e45.
Saleem, A., 1999. Recent developments in the management of mango diseases. In: Proceedings
of the 2nd National Conference of Plant Pathology, September, 27-29, 1999. University
of Agriculture, Faisalabad, pp. 6-11.
Sobolewski J, Robak J (2004) New products used for complex disease control on tomato
growing in open field. Progressive Plant Protection 44: 1105-1107.
Sunkad G., Mesta R.K., Mahadevareddy, 2005 - Field efficacy of some fungicides for effective
and economical control major foliar diseases of groundnut. Karnataka J. Agric. Sci.,Vol.
18 no. 4 pp: 995997.
Tindall, H. D. 1994. Rambutan cultivation. In: FAO plant production and protection paper No.
121, pp 135-141.
Wicks T, and Lee TC (1982) Evaluation of fungicides applied after infection for control of
Plasmopara viticola on grapevine. Plant Disease 66:839-841.
675
KEANEKARAGAMAN SERANGGA TANAH PADA LAHAN
SAYURAN DI KECAMATAN KAYU ARO, KABUPATEN KERINCI,
PROVINSI JAMBI
ABSTRAK
Beberapa jenis serangga permukaan tanah dapat digunakan sebagai petunjuk
(indikator) terhadap kesuburan tanah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
kenekaragaman serangga tanah di lahan sayuran di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci.
Pengambilan sampel serangga tanah dilakukan di tiga desa yaitu Desa Koto Tuo, Sangir
Tengah dan Tanjung Bungo, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi dengan
metode perangkap jebak (pitfall trap). Perangkap dipasang sebanyak 10 titik secara acak dan
menyebar pada tiap desa. Perangkap jebakan dipasang selama 2 malam. Serangga yang
terkumpul disortasi dan diidentifikasi serta dhitung jumlahnya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat 2.120 individu yang termasuk dalam 10 ordo dan 35 spesies serangga. Indeks
keanekaragaman Shannon-Wiener 2.27 – 2.93 atau termasuk sedang. Keanekaragaman
serangga yang paling tinggi ditemukan di desa Sangir Tengah. Sedangkan nilai indeks Eveness
yang diperoleh berkisar 0.92 – 0.94 yang berarti penyebarannya semakin merata. Kelompok
serangga yang ditemukan sebagai indikator kesehatan lingkungan karena dapat menunjukkan
sensitivitas atau toleransi terhadap kondisi lingkungan adalah semut. Semut hanya ditemukan
sebanyak 19 perjumpaan dari 30 titik yang ada. Hal ini mengindikasikan bahwa secara kimia
lahan tersebut terdegradasi.
PENDAHULUAN
676
keanekaragaman hayati memainkan peranan penting dalam kestabilan ekosistem dari
interaksi spesies hewan dan tumbuhan dalam ekosistem (Tilman 2002).
Salah satu bagian dari studi keanekaragaman hayati adalah biomonitoring.
Biomonitoring memiliki tujuan utama menggunakan organisme hidup dalam suatu
ekosistem untuk memantau dampak gangguan terhadap pengelolaan suatu ekosistem.
Misalnya untuk menunjukkan bahwa gangguan berupa infestasi bahan kimia pada tanah
terhadap keanekaragaman hayati dalam suatu agrosistem yang berakibat pada penurunan
produktivitas. Serangga termasuk taksa yang dapat digunakan sebagai indikator suatu
agroekosistem karena memiliki amplitudo yang sempit terhadap perubahan iklim mikro.
Untuk itu dengan meneliti keanekaragaman serangga tanah, keanekaragaman serangga yang
memiliki peranan yang berbeda dapat diekplorasi.
Serangga yang seringkali digunakan sebagai biomonitoring adalah Semut
(Hymenoptera: Formicidae) merupakan kelompok serangga yang paling dominan di habitat
terrestrial (Hölldobler dan Wilson 1990). Hal inilah yang menjadikan semut sangat sesuai
untuk melihat tingkat gangguan yang terjadi di permukaan tanah.
Kabupaten Kerinci dikenal sebagai sentra sayuran yang diduga sudah mengalami
jenuh pupuk dan pestisida. Kondisi ini adalunescoah akibat aplikasi bahan kimia melalui
pemupukan dan pestisida yang tidak seimbang serta pola budidaya konservasi yang tidak
dilakukan oleh petani, akibatnya produktivitas menurun bahkan dapat menyebabkan
kegagalan panen. Untuk dapat lebih memahami proses-proses yang terjadi berkenaan
dengan penurunan produktivitas, diperlukan berbagai penelitian mengenai dampak residu
pestisida terhadap keanekaragaman hayati. Salah satu indikator penting yang dapat
digunakan adalah serangga tanah karena serangga cukup sensitif terhadap perubahan
habitat disekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari keanekaragaman
serangga pada lahan sayuran, (2) mempelajari peranan serangga tanah pada lahan sayuran.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada lahan sayuran yaitu pertanaman kentang di Desa Koto Tuo
dan Desa Tanjung Bungo, serta pertanaman kubis di Desa Sangir Tengah, Kecamatan Kayu
Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Waktu penelitian mulai dari Februari sampai dengan
Mei 2016. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah perangkap jebak (pitfall)
(Gambar 1) dan GPS. Bahan yang digunakan yaitu air sabun, alkohol 70%, plastik, ependorf
tube 5 ml dan kertas label.
677
Gambar 1. Konsep perangkap jebak (pitfall trap)
Pitfall trap dipasang secara acak dengan jarak 1 meter antar jebakan. Untuk setiap
lahan diambil sepuluh titik. Ke dalam pitfall trap dimasukkan larutan air sabun dan alkohol
dengan perbandingan 3 : 1 sebagai perangkap untuk serangga yang terjatuh. Pifall trap
tersebut dipasang selama 2 malam, setelah itu serangga yang terjatuh di dalam pifall trap
dikoleksi. Semua spesimen dibawa ke laboratorium dan disimpan dalam ependorf tube 5 ml
yang telah diisi dengan alkohol 70% dan dilabeli. Identifikasi dilakukan sampai pada tingkat
ordo dan jika memungkinkan sampai family.
Data morfospesies yang terkumpul dianalisis untuk mendapatkan kurva akumulasi
spesies untuk pendugaan keseluruhan spesies yang ada diperoleh dari nilai estimasi
S(observasi) dengan EstimateS v.5 (Colwell dan Coddington 1994). Keanekaragaman alfa
ditunjukkan dengan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang disarikan dari Magurran
(2003). Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan software R Statistic (R-
Development 2013).
Kurva akumulasi spesies yang berupa nilai estimasi S(est) yang diperoleh dari data
menunjukkan jumlah keseluruhan spesies yang dikumpulkan dari semua titik contoh
memperlihatkan adanya peningkatan dan pada akhirnya melandai (Gambar 2).
Hal ini menunjukkan bahwa titik dimana jumlah spesies tidak mengalami
pertambahan, diawali pada titik ke 5 atau 6, sehingga penambahannya sudah stabil sehingga
sampel serangga tanah dianggap mewakili ekosistem tanah pada lahan sayuran.
678
10
0
1 5 9 13 17 21 25 29 33
Serangga yang diperoleh dari keseluruhan plot pada pertanaman kentang terdiri dari
2.120 individu yang termasuk dalam 10 ordo dan 35 morphospesies (Gambar 2).
Orthoptera
Lepidoptera
Hymenoptera
Hemiptera
Diptera
> 200 individu
Collembola
Coleoptera
Arachnidae
Tanjung Bungo Sangir Tengah Koto Tuo
Arachnida
Acarina
Gambar 2. Jumlah individu dan ordo serangga pada lahan sayuran di Kecamatan Kayu Aro
679
Tabel 1 Keanekaragaman serangga di Kecamatan Kayu Aro pada pertanaman kentang
Indeks
Indeks Keanekaragaman
Desa Jumlah Spesies Kemerataan
Shannon-Wiener (H’)
Evennes (E)
Koto Tengah 11 2.274241 0.948432
Sangir Tengah 24 2.933446 0.923032
Tanjung Bungo 22 2.877007 0.930756
Berdasarkan peranannya total individu serangga tanah dapat dilihat dari diagram
(Gambar 3). Jumlah spesies serangga herbivora pada kedua lokasi pengamatan memiliki
jumlah tertinggi yaitu 10 spesies di Koto Tuo dan 18 spesies di Sangir Tengah. Serangga
herbivora dapat dikategorikan sebagai hama apabila serangga tersebut mengakibatkan
kerugian yang melebihi ambang ekonomi. Namun demikian seringkali petani tidak mau
mengambil risiko tersebut, sehingga seringkali mengaplikasikan insektisida sesegera
mungkin ketika menemukan beberapa serangga. Sering juga ditemui, petani belum bisa
membedakan mana serangga yang berperan sebagai hama atau musuh alami yang penting
bagi pengendalian hama.
Predator atau parasitoid lebih banyak ditemukan di Desa Tanjung Bungo yaitu 23
spesies. Lokasi pengamatan di Desa Tanjung Bungo merupakan pertanaman kentang milik
Balai Benih Induk Kentang (BBI Kentang) yang menjadi percontohan bagi petani dalam
pengolahan tanah maupun pengendalian hama terpadu. Sehingga dalam pengelolaannya, BBI
Kentang mengaplikasikan pestisida sesuai dengan cara dan dosis yang sesuai dengan
prosedurnya. Jika hal tersebut dilakukan maka hama sasaran akan dapat dikendalikan dan
serangga musuh alami tetap bertahan hidup.
Serangga herbivora yang mendominasi lahan lokasi pengamatan adalah dari Ordo
Coleoptera, Hemiptera, Thysanoptera dan Acrididae. Serangga-serangga tersebut menjadi
hama pada pertanaman kentang, karena menyerang daun, batang dan akar. Contohnya pada
pertanaman kentang di Desa Tanjung Bungo, ditemukan thrips yang menyerang tanaman
dengan cara menghisap cairan daun, sehingga daun tanaman terserang tampak mengeriput
lalu keriting. Bagian bawah daun berwarna keperakan karena bagian dalam daun berongga
setelah cairannya terhisap. Serangga Hemiptera yang ditemukan adalah sejenis kutu-kutuan,
yang mulutnya berfungsi menusuk maupun menghisap bagian tanaman sayuran, seperti
daun, bunga, buah, maupun kuncup tunas.
680
Tanjung Bungo
Dari 30 titik pengamatan di ketiga lokasi, sangat jarang ditemui Semut (Hymenoptera:
Formicidae) yang merupakan salah satu kelompok serangga sosial yang kosmopolitan
karena memiliki kekayaan dan kelimpahan jenis yang tinggi. Rubiana et al. (2015)
menggunakan semut sebagai bioindikator terhadap dampak transformasi habitat di Jambi.
Hal tersebut karena semut mudah dikoleksi serta sensitif pada perubahan lingkungan. Selain
itu, semut juga digunakan sebagai biomonitoring untuk tujuan konservasi dan pengelolaan
kawasan.
Semut hanya ditemukan sebanyak 19 perjumpaan dari 30 titik yang ada. Semut
tersebut dari genus Myrmicinae semut berukuran kecil seperti Pheidole dan semut
berukuran besar seperti Tetraponera. Pheidole dikenal banyak ditemui di serasah yang
termasuk dalam fungsi group generalized myrmicinae adalah semut umum yang bersifat
generalis yang menurut penelitian umum ditemukan di persawahan (Setiani et al. 2010).
Perbedaan ini disebabkan oleh metode pengambilan contoh semut yang berbeda.
Rendahnya spesies semut yang diperoleh di lahan pengamatan diduga karena aplikasi
pestisida pada lahan sayuran tersebut.
Aplikasi pestisida maupun pupuk kimia meninggalkan residu dan memiliki pengaruh
besar pada keanekaragaman hayati, bersamaan hilangnya habitat dan perubahan iklim.
Residu pestisida dapat memiliki efek toksik jangka pendek secara langsung terkena
organisme, dan efek jangka panjang yang mempengaruhi perubahan habitat, rantai
makanan, serta struktur tanah.
KESIMPULAN
Biomonitoring yang dilakukan di Kecamata Kayu Aro memiliki peranan penting untuk
mengetahui keanekaragaman serangga pada lahan sayuran. Pengetahuan ini berguna
khususnya untuk melihat keanekaragaman serangga indikator semut untuk melihat
degradasi kesuburan tanah, keanekaragaman herbivroa yang berpotensi sebagai hama serta
681
keanekaragaman predator dan parasitoid yang berpotensi sebagai agens hayati. Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam pengelolaan habitat pertanian
khususnya dalam aplikasi teknologi yang berguna untuk meningkatkan produktivitas hasil
pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Chapin F.S. III, Reynolds HL, D’Antonio CM, dan Eckhart VM. 1996. The functional role of
species in terrestrial ecosystems. Di dalam: B. Walker and W. Steffen, editor. Global Change
and Terrestrial Ecosystems. Cambridge University Press, Cambridge, pp.403–428.
Colwell RK, Coddington JA. 1994. Estimating terrestrial biodiversity through extrapolation.
Philosophical Transactions: Biological Sciences 345(1311): 101-118.
Hölldobler B, Wilson EO. 1990. The Ants. Cambridge: Harvard University Press.
Magurran AE. 2003. Ecological diversity and its measurement. New Jersey (US): Princeton
University Press.
R Core Team. 2014. R: A Language and Environment for Statistical Computing. Vienna,
Austria: R Foundation for Statistical Computing.
Setiani ES, Rizali A, Moerfiah, Sahari B, dan Buchori D. 2010. Keanekaragaman Semut pada
Persawahan di Daerah Urban: Investigasi Pengaruh Habitat Sekitar dan Perbedaan Umur
Tanaman Padi. Journal Entomologi Indonesia. September 2010, Vol. 7, No. 2, 88-99.
Tilman D, Knops J, Wedin D, dan Reich P. 2002. Experimental and observational studies of
diversity, productivity, and stability. Di dalam The Functional Consequences ofBiodiversity,
Kinzig AP, Pacala SW, dan Tilman D, editor. Princeton University Press, Princeton, pp. 42–70.
UNESCO. 2010. International Year of Biodiversity 2010: Biodiversity is life, Biodiversity is our
life. United Nations Education, Scientific, and Culture Organization. Paris:
Perancis.http://www.unesco.org/mab/doc/iyb/ UNESCOandIYB.pdf. Diakses 29 April 2016.
682
APLIKASI FUNGISIDA KIMIA UNTUK PENGENDALIAN
PENYAKIT BUSUK BATANG BUAH NAGA
ABSTRAK
Penyakit busuk batang tanaman buah naga menjadi masalah yang sangat penting di
sentra pertanaman buah naga di Sumatra Barat dan Kepulauan Riau. Penanganan segera
terhadap penyakit ini diperlukan untuk menghindari penurunan produksi secara signifikan.
Salah satu langkah pengendalian penyakit yang disebabkan oleh cendawan adalah dengan
menggunakan fungisida kimia yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis
fungisida kimia yang tepat dalam mengendalikan penyakit busuk batang tanaman buah naga
di lapangan. Penelitian dilaksanakan di kebun buah naga milik petani di Pariaman, Sumatera
Barat yang telah terserang penyakit busuk batang dengan intensitas ringan-sedang mulai
bulan Januari sampai Desember 2013. Penelitian ini disusun menggunakan rancangan acak
kelompok terdiri dari 7 perlakuan dan 3 ulangan dengan 20 tiang tanaman sebagai uni.
Percobaan adalah a). bubur Bordo, b). Propineb 70%, c). Tembaga hidroksida 77%, d).
Siklus aplikasi fungisida (Thiram 30% dan Karbendazim 15% – Propineb 70% - bubur Bordo
– Tembaga Hidroksida 77%), e). Siklus aplikasi fungisida (Azoxistrobin 200 g/l dan
Difenoconazole 125 g/l - Propineb 70% - bubur Bordo – Tembaga Hidroksida 77%) dan f).
Siklus aplikasi fungisida (Difenoconazole 250 g/l - Propineb 70% - Bubur Bordo – Tembaga
Hidroksida 77%). Pemangkasan dilakukan pada bagian tanaman yang terserang kemudian
diaplikasikan fungisida sesuai perlakuan dengan dosis anjuran pada interval setiap 2
minggu. Peubah yang diamati adalah intensitas penyakit busuk batang pada tanaman buah
naga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan aplikasi fungisida dapat
menurunkan intensitas serangan 4 penyakit utama tanaman buah naga jika dibandingkan
dengan kontrol dengan jenis fungisida yang terbaik adalah bubur Bordo.
PENDAHULUAN
Buah naga merupakan salah satu komoditasbuah yang mulai banyak dibudidayakan
secara luas di Indonesia akhir-akhir inidan jenis yang banyak ditanam adalah buah naga
merah (Hylocereus polyrhizus). Sumatera Barat merupakan salah satu daerah sentra
penanaman buah naga terutama di Kabupaten Padang Pariaman dan kabupaten Pasaman.
Harga jual dan preferensi konsumen yang sangat tinggi menyebabkan buah ini berpeluang
untuk dikembangkan sebagai komoditas penunjang agribisnis.
Penanaman suatu komoditas pertanian secara luas dan monokultur berpeluang
menyebabkan terjadinya ledakan hama atau penyakit tertentu. Masalah yang dihadapi
petani buah naga saat ini adalah serangan hama dan penyakit yang semakin berkembang
seiring semakin banyaknya sentra penanaman buah naga dalam skala luas. Tanaman buah
683
naga di berbagai sentra pengembangan di Sumatra Barat dan Kepulauan Riau diserang oleh
tiga penyakit utama yaitu busuk batang kuning, kudis/bintik batang dan antraknosa dengan
intensitas yang beragam (Jumjunidang et.al, 2016). Penyakit busuk batang dilaporkan juga
menyerang pertanaman buah naga di Taiwan (Wang & Lin, 2005), Jepang(Taba et al., 2007)
dan Israel (Ben-Ze’evet al.,2011). Buah naga yang diimpor dari Vietnam juga dilaporkan
terserang penyakit yang sama (He et al., 2012).
Beberapa cendawan patogen penyebab penyakit busuk batang kuning adalah
Bipolaris cactivora (He et al., 2012),Fusarium proliferatum (Hawaet al., 2013)dan F.
solani(Ritaet al., 2013). Tanaman buah naga di Taiwan(Chuang et al., 2012), China daratan
(Lan & He, 2012) dan Malaysia (Mohdet al., 2013) terserang penyakit bintik batang yang
disebabkan oleh cendawan Neoscytalidium dimidiatum. N. dimidiatum juga menyebabkan
penyakit busuk batang hitam/coklat di bagian dalam buah naga di Israel (Ezra et al., 2013)
dan China (Yiet al., 2015). Cendawan dari jenis Colletotrichum spp menyebabkan penyakit
antraknos pada tanaman buah naga di Malaysia (Masyahit et al., 2009); (Vijaya et al., 2015),
China (Guo et al., 2014) dan Thailand (Meetumet al., 2015).
Mengingat sebagian besar mikroba yang menyerang tanaman buah naga berasal
dari golongan cendawan, perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas fungisida yang
tersedia di Indonesia untuk pengendalian penyakit tersebut. Hasil penelitian (Emilda dkk,
2013) menyatakan bahwa fungisida yang terbaik dalam mengendalikan 5 jenis cendawan
patogen penyebab busuk batang buah naga termasuk di dalamnya cendawan Fusarium sp.
dan Colletotrichum sp. adalah fungisida yang berbahan aktif thiram 30% + karbendazim 15%
(terdapat dalam perlakuan D) dan bubur Bordeaux pada pengujian secara in vitro.
Penggunaan fungisida kimia dimaksudkan untuk penanganan segera penyakit tanaman buah
naga namun untuk jangka panjang perlu dicari alternatif pengendalian penyakit yang lebih
ramah lingkungan.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakandi kebun buah naga di Pariaman, Sumatra Barat yang
terserang penyakit busuk batang dengan intensitas sedang, mulai Januari sampai Desember
2013. Penelitian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 7 perlakuan dan
3 ulangan, masing-masing perlakuan terdiri dari 20 tiang. Perlakuan adalah 6 jenis fungisida
dan 1 kontrol (tanpa aplikasi fungisida) yaitu :
A). Bubur Bordo, dibuat dengan cara mencampurkan CuSO4, kapur dan air dengan
perbandingan 1:1:100 (w:w:v).
B).Propineb 70% (fungisida kontak , Antracol 70 WP, Bayer)
C). Tembaga hidroksida 77% (fungisida kontak, Kocide 54 WG 2.8 g/l, Dupont)
D). Siklus aplikasi fungisida (Thiram 30% dan Karbendazim 15% (fungisida sistemik, Tuo-Fu
45WP, Taiwan China Safe Technology) – Propineb 70% - Bubur Bordo – Tembaga Hidroksida
77%).
E). Siklus aplikasi fungisida (Azoxistrobin 200 g/l dan Difenoconazole 125 g/l (fungisida
sistemik, Amistar Top 325 SC, Syngenta) - Propineb 70% - Bubur Bordo – Tembaga
Hidroksida 77%).
F). Siklus aplikasi fungisida (Difenoconazole 250 g/l (fungisida sistemik, Score 250 EC,
Syngenta) - Propineb 70% - Bubur Bordo – Tembaga Hidroksida 77%).
G). Kontrol. positif
Untuk perlakuan D, E dan F merupakan aplikasi fungisida yang dilaksanakan dalam
suatu siklus dimana masing-masing fungisida diaplikasikan setiap 2 minggu dan aplikasi
kembali ke awal setelah selesai satu siklus.
Dosis fungisida yang digunakan sesuai dengan dosis anjuran dan diaplikasikan 2
minggu sekali. Batang tanaman yang memperlihatkan gejala penyakit busuk ditandai dengan
perubahan warna menjadi kuning kecokelatan dan batang lunak. Sebelum mengaplikasikan
fungisida, bagian batang yang bergejala tersebut dibuangatau dikorek sehingga tersisa
batang tanaman yang berkayu atau empulurnya. Fungisida diaplikasikan dengan cara
disemprotkan ke seluruh permukaan tanaman buah naga.
684
Perawatan Tanaman
Perawatan tanaman dilakukan sesuai dengan anjuran terdiri dari penyiraman,
pemupukan, pengendalian hama dan penyakit selain busuk batang akibat cendawan. Hama
dikendalikan dengan menyemprotkan insektisida dan bakteri patogen dikendalikan dengan
bakterisida dengan dosis sesuai anjuran dan tergantung gejala serangan yang ditemukan di
lapangan.
Peubah yang diamati adalah intensitas penyakit yang menyerang tanaman buah
naga. Intensitas penyakit dihitung dengan membuat kriteria keparahan serangan penyakit
sebagai berikut : 0 = tidak ada gejala serangan pada tanaman, 1 = serangan ringan (tanaman
terserang busuk batang pada 1-10 titik lokasi dengan panjang ≤ 5 cm), 2 = serangan sedang
(1-10 titik lokasi dengan panjang 6-10 cm atau 10-20 titik dengan panjang ≤ 5 cm atau 5-10
titik dengan panjang 10-20 cm), 3 = serangan parah (>10 titik lokasi dengan panjang ≥ 20
cm). Penghitungan dilakukan untuk setiap tanaman sampel.
Untuk menunjang penelitian dilakukan juga pengumpulan data jumlah hari hujan dan
intensitas curah hujan di lokasi penelitian yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Klas II
Sicincin Padang.
Pada tahap awal penelitian dilakukan pemangkasan cabang-cabang yang terserang penyakit
pada semua tanaman sampel. Kemudian dilaksanakan aplikasi fungisida mulai Bulan April
2013 setiap 2 minggu sekali sesuai perlakuan selama 6 bulan sehingga terdapat 12 kali
aplikasi fungisida dan pengamatan intensitas penyakit sedangkan pengamatan ke -13
dilakukan satu bulan setelah aplikasi fungisida dihentikan. Intensitas penyakit dari 4 jenis
penyakit utama yang ditemui pada pengamatan setiap 2 minggu dapat dilihat pada Gambar
1.
685
Gambar 1. Intensitas penyakit busuk hitam tanaman buah naga dengan aplikasi 6 jenis
fungisida dan kontrol di lapang setiap 2 minggu selama 6 bulan dan pengamatan ke-
13 pada 1 bulan setelah aplikasi fungisida dihentikan.
Jaringan batang yang terinfeksi penyakit busuk kuning mengalami perubahan warna
batang dari hijau menjadi kuning kemudian coklat dan lunak, jika jaringan yang berwarna
kuning dibuka akan terlihat pembuluh batang yang masih sehat. Sedangkan penyakit busuk
hitam, jaringan batang yang terinfeksi berubah warna menjadi hitam dan dapat menjadi
lunak maupun tidak. Gejala penyakit busuk kuning mirip dengan gejala serangan penyakit
yang disebabkan oleh Fusarium sp. (Rita et al., 2013). Hasil pengamatan di Laboratorium
Hama dan Penyakit Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika juga diperoleh cendawan
Fusarium sp dari hasil isolasi bagian jaringan tanaman yang terinfeksi penyakit tersebut.
Penyakit bintik batang terutama menyerang cabang-cabang muda dari tanaman buah naga
dimana gejala awalnya berupa titik-titik berwarna putih dan agak cekung di bagian
tengahnya. Cabang yang terserang akan menguning kemudian menjadi kecokelatan dan
mengering. Penyakit bintik batang dan antraknos dapat menyerang batang dan buah. Gejala
serangan antraknosa berupa busuk batang atau buah yang berbentuk seperti lingkaran
berwarna kecoklatan dan cekung di bagian tengahnya. Jaringan yang terserang menjadi
busuk dan lunak.
Tabel 1. Intensitas penyakit rata-rata pada 4 jenis penyakit utama tanaman buah naga di
lapang untuk setiap perlakuan selama 12 kali pengamatan
Intensitas Penyakit dan Standar Deviasi
Perlakuan Busuk Hitam Busuk Kuning Bintik Batang Antraknos
A 2.9±1.8 bc*) 22.2±9.3 c 25.6±13.0 c 16.7±7.5 b
B 3.1±2.8 bc 26.0±9.5 bc 27.1±13.8 c 18.7±8.3 b
C 4.0±4.9 abc 25.4±8.5 bc 25.2±13.7 c 18.2±8.4 b
D 2.3±2.0 c 24.5±8.2 bc 28.4±17.4 c 18.1±10.1 b
E 3.4±4.2 bc 28.1±9.1 b 32.4±13.4 b 16.4±9.2 b
F 4.9±4.0 ab 25.5±8.8 bc 31.7±15.1 b 17.9±6.4 b
K 6.3±5.8 a 42.0±14.2 a 62.2±17.9 a 23.6±10.3 a
CV 33.46 10.37 8.04 13.67
*)
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji LSD taraf 5%
Intensitas penyakit dari ke-4 jenis penyakit utama tanaman buah naga sangat
berfluktuasi (Gambar 1) namun secara umum perlakuan fungisida yang diaplikasikan dapat
menurunkan intensitas penyakit dibandingkan tanaman kontrol terutama pada penyakit
busuk kuning dan bintik batang. Semua perlakuan fungisida yang digunakan dapat
menurunkan intensitas penyakit jika dibandingkan dengan kontrol. Untuk pengendalian ke-4
jenis penyakit terlihat bahwa aplikasi fungisida bubur Bordeaux (perlakuan A) memberikan
hasil yang terbaik namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan B, C dan D (Tabel 1).
Propineb (perlakuan B) dan Difenoconazole (terdapat dalam perlakuan E dan F) digunakan
dalam pengendalian penyakit tanaman buah naga di Taiwan (Hoa, 2012). Pengendalian
penyakit busuk batang di Malaysia juga dilakukan dengan memangkas bagian tanaman yang
terserang dan aplikasi fungisida dengan cara disemprotkan ke seluruh bagian tanaman
dengan jenis fungisida yang berbahan aktif tembaga sedangkan untuk pengendalian penyakit
antraknos menggunakan fungisida berbahan aktif Mancozeb atau Maneb (Mohd Yunus,
2013).
Dari Tabel 2 diketahui bahwa pada lokasi penelitian selama penelitian berlangsung
sering terjadi hujan dengan intensitas ringan-sedang. Hal ini mendukung pertumbuhan
cendawan patogen dimana cendawan patogen menyukai kondisi lembap dan basah
disamping itu percikan hujan juga dapat menyebarkan spora cendawan sehingga
meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit. Dalam kondisi seperti ini terlihat aplikasi
fungisida yang dilakukan cukup efektif dalam mengendalikan penyakit.
686
Tabel 2. Intensitas hujan dan jumlah hari hujan di lokasi penelitian selama bulan Maret –
Oktober 2013*)
No Bulan (2013) Intensitas Hujan (mm) Jumlah Hari Hujan
1. Maret 255 14
2. April 380 15
3. Mei 262 15
4. Juni 233 9
5. Juli 159 10
6. Agustus 370 13
7. September 276 17
8. Oktober 399 19
*)
Data diperoleh dari Stasiun Klimatologi Klas II Sicincin Padang
Intensitas penyakit busuk batang tanaman buah naga sangat berkurang saat
pengendalian dilaksanakan namun efek pengendalian tersebut akan hilang setelah beberapa
waktu aplikasi fungisida dihentikan. Pada Gambar 2 terlihat penyakit busuk batang kembali
merebak setelah 1 bulan aplikasi fungisida dihentikan.
Gambar 2. Penampilan tanaman buah naga saat pengendalian dilakukan (A) dan
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk tanaman buah naga yang terserang
penyakit akibat patogen dari golongan cendawan yang perlu pengendalian segera namun
aplikasi fungisida kimia harus dilakukan secara selektif dan terkontrol untuk mengurangi
dampak negatif dari aplikasi fungisida kimia terhadap manusia dan lingkungan.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mencari fungisida alternatif yang lebih
ramah lingkungan namun efektif dalam mengendalikan penyakit utama pada tanaman buah
naga.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Bapak Subiakto dan Ibu Subhana yang telah
membantu teknis pelaksanaan kegiatan penelitian di lapangan.
687
DAFTAR PUSTAKA
Ben-Ze’ev, IS, Assouline, I, Levy, E, & Elkind, G (2011). First report of Bipolaris cactivora
causing fruit blotch and stem rot of dragon fruit (pitaya) in Israel. Phytoparasitica,
39, 195-197. doi: 10.1007/s12600-011-0143-y
Chuang, MF, Ni, HF, Yang, HR, Shu, SL, & Lai,SY (2012). First Report of Stem Canker Disease of
Pitaya (Hylocereus undatus and H. polyrhizus) Caused by Neoscytalidium dimidiatum
in Taiwan. Plant Disease, 96(6), 906.
Emilda, D, Jumjunidang, Riska, & Istianto, M (2013). Skrining fungisida untuk pengendalian
cendawan penyebab busuk batang pada buah naga. Artikel telah disampaikan pada
Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Padang.
Ezra, D, Liarzi, O, Gar, T, & Hershcovich, M (2013). First report of internal black rot caused by
Neoscytalidium dimidiatum on Hylocereus undatus (Pitahaya) fruit in Israel. Plant
Disease, 97, 1513.
Guo, LW, Wu, YX, Ho, HH, Su, YY, Mao, ZC, He, PF, & He, YQ (2014). First Report of Dragon
Fruit (Hylocereus undatus) Anthracnose Caused by Colletotrichum truncatum in
China. Journal of Phytopathology, 162, 272-275. doi: 10.1111/jph.12183
Hawa, MM, Salleh, B, & Latiffah, Z (2013). Characterization and pathogenicity of Fusarium
proliferatum causing stem rot of Hylocereus polyrhizus in Malaysia. Annals of Applied
Biology, 163, 269-280. doi: 10.1111/aab.12057
He, PF, Ho, H, Wu, XX, Hou, MS, & He, YQ (2012). Bipolaris cactivora causing fruit rot of
dragon fruit imported from Vietnam. Plant Pathology & Quarantine, 2(1), 31-35. doi:
10.5943/ppq/2/1/5/
Hoa, VN (2012). Current Research Activities and the Development of Good Agricultural
Practice (GAP) for Pitaya in Vietnam: Southern Horticultural Research Institute
(SOFRI).
Jumjunidang, Riska, Emilda, D, Sudjijo, & Muas, I (2016). Distribusi dan tingkat serangan
penyakit utama tanaman buah naga di beberapa sentra pengembangan di Indonesia.
Dalam Proses Penerbitan.
Lan, GB, & He, PF (2012). First Report of Brown Spot Disease Caused by Neoscytalidium
dimidiatum on Hylocereus undatus in Guangdong, Chinese Mainland. Plant Disease,
96(11), 1702.
Masyahit, M, Sijam, K, Awang, Y, & Mohd Satar, MG (2009). The First Report of the
Occurrence of Anthracnose Disease Caused by Colletotrichum gloeosporioides (Penz.)
Penz. & Sacc. on Dragon Fruit (Hylocereus spp.) in Peninsular Malaysia. American
Journal of Applied Sciences, 6(5), 902-912.
Meetum, P, Leksomboon, P, & Kanjanamaneesathian, M(2015). First report of Colletotrichum
aenigma and C. siamense, the causal agents of anthracnose disease of dragon fruit in
Thailand. Journal of Plant Pathology, 97(2), 402.
Mohd, MH, Salleh, B, & Latiffah, Z (2013). Identification and Molecular Characterizations of
Neoscytalidium dimidiatum Causing Stem Canker of Red-fleshed Dragon Fruit
(Hylocereus polyrhizus) in Malaysia. Journal of Phytopathology, 161, 841-849. doi:
10.1111/jph.12146
Mohd Yunus, AKB (2013). Pitaya pest and diseases management: Unit Perlindungan
Tanaman dan Kuarantin Tumbuhan, Jabatan Pertanian Johor Bahru.
Rita, WS, Suprapto, DN, Sudana, IM, & Swantara, IMD (2013). First Report on Fusarium solani,
a Pathogenic Fungus Causing Stem Rot Disease on Dragon Fruits (Hylocereus sp.) in
Bali. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare, 3(17), 93-99.
Taba, S, Miyahira, N, Nasu, K, Takushi, T, & Moromizato, Z-i (2007). Fruit rot of Strawberry
pear (pitaya) caused by Bipolaris cactivora. J Gen Plant Pathol, 73, 374-376. doi:
10.1007/s10327-007-0032-x
Vijaya, SI, Mohd Anuar, IS, & Zakaria, L (2015). Characterization and Pathogenicity of
Colletotrichum truncatum Causing Stem Anthracnose of Red-Fleshed Dragon
Fruit(Hylocereus polyrhizus) in Malaysia. Journal of Phytopathology, 163, 67-71. doi:
10.1111/jph.12261
688
Wang, CL, & Lin, CC (2005). Fruit rot of pitaya and stem rot of cacti in Taiwan. Plant
Pathology Bulletin, 14(4), 269-274.
Yi, RH, Lin, QL, Mo, JJ, Wu, FF, & Chen, J (2015). Fruit internal brown rot caused by
Neoscytalidium dimidiatum on pitahaya in Guangdong province, China. Australasian
Plant Disease Notes, 10(13), 12-15. doi: 10.1007/s13314-015-0166-1
689
RESPON KETAHANAN BEBERAPA JENIS/KLON TANAMAN
BUAH NAGA TERHADAP PENYAKIT KUDIS STEM CANKER,
BUSUK BATANG DAN ANTRAKNOS
ABSTRAK
Serangan bersama penyakit kudis/stem canker, busuk batang dan antraknos pada
tanaman buah naga dapat menurunkan produksi sampai 80%, bahkan telah menyebabkan
kematian tanaman di beberapa lokasi pengembangan. Penggunaan varietas tahan/toleran
merupakan salah satu teknik pengendalian yang sangat efektif dan efisien. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui respon ketahanan beberapa jenis/klon tanaman buah naga
terhadap penyakit utama (kudis/stem canker, busuk batang dan antraknos). Penelitian
dilakukan pada lahan endemis penyakit di Kabupaten Padang Pariaman sejak bulan Januari
sampai Agustus 2014. Rancangan yang digunakan adalah acak kelompok 7 perlakuan dan 4
ulangan, masing-masing unit perlakuan terdiri atas 5 tiang. Perlakuan adalah: A=Hylocereus
polyrhizus lokal (kulit dan daging buah merah), B=H. polyrizus var. SM (kulit dan daging buah
merah), C=H. undatus lokal (kulit merah daging buah putih), D=H. undatus var. SP (kulit
merah daging buah putih), E=H. costaricensis klon 03 (kulit merah daging buah super
merah), F=H. costaricensis klon 02 (kulit merah daging buah super merah) dan G=H.
costarisensis klon 01 (kulit merah daging buah super merah). Pengamatan dilakukan setiap
bulan terhadap persentase dan indeks keparahan penyakit. Hasil penelitian menunjukkan
bahwaenam jenis/klon tanaman buah naga yang diuji rentan terhadap serangan penyakit
utama kudis/stem canker dan antraknos. Jenis/klon H. costaricensis klon 01, menunjukkan
respon yang relatif lebih tahan terhadap ketiga penyakit utama dibanding dengan jenis/klon
lainnya, sehingga jenis ini dapat dikembangkan di wilayah endemis panyakit.
PENDAHULUAN
Buah naga atau dragon fruit merupakan tanaman tropis yangberasal dari Meksiko,
Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian utara yangtermasuk ke dalam genus Hylocereus
dan Selenicereus (Mc Mahon 2003; Kristanto 2003). Penduduk Indian sering memanfaatkan
buah yang berasa manis agak asam ini sebagai buah meja atau buah yang dikonsumsi segar.
Walaupun buah naga berasal dari Amerika, namun, tanaman ini lebih dikenal sebagai
tanaman dari Asia. Hal ini disebabkan karena buah naga (Cactaceae: Hylocereus)
dikembangkan besar-besaran di Asia seperti Vietnam dan Thailand (Kristanto 2003).
690
Buah naga memiliki cukup banyak khasiat bagi kesehatan diantaranya sebagai
penyeimbang kadar gula darah, menguatkan ginjal, menyehatkan lever, mengurangi keluhan
panas dalam dan sariawan, menstabilkan tekanan darah, mengurangi kolesterol, dan lain-
lain. Buah ini mengandung 80% air dan kandungan vitamin C yang tinggi. Zat nutrisi lain
yang terkandung di dalam buah naga ialah serat, kalsium, zat besi dan fosfor. Buah naga yang
berdaging merah juga baik untuk memperbaiki penglihatan mata karena mengandung
karotenoid yang tinggi, titokimia yang terkandung dalam buah naga juga diketahui dapat
menurunkan resiko kanker (Mahadianto (2007; Simatupang (2007).
Saat ini buah naga telah dikembangkan secara komersial di beberapa wilayah di
Indonesia, seperti Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, pulau Jawa, NTB dan
beberapa provinsi lainnya, bahkan saat ini luasan pertanaman buah naga di Provinsi
Kalimantan Timur mencapai 1500 Ha. Masalah yang dihadapi petani buah naga saat ini
adalah serangan hama dan penyakit yang semakin berkembang seiring semakin banyaknya
sentra penanaman buah naga dengan skala luas. Provinsi Kepulauan Riau menyatakan
bahwa buah naga merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten Bintan dan mulai
dikembangkan secara luas di daerah tersebut (BPS Provinsi Kepulauan Riau 2010), selain
untuk pasar dalam negeri produksi buah naga ini juga diperuntukkan untuk pasar ekspor
seperti ke Singapura. Namun dilaporkan tanaman buah naga ini mulai terserang oleh
penyakit yang menyebabkan tanaman menjadi menguning dan membusuk sejak tahun 2012.
Masalah ini telah menyebabkan penurunan produksi buah naga sampai 80% (Batam Pos 25
Januari 2012).
Teknik pengendalian terhadap penyakit buah naga baik di Indonesia maupun di luar
negeri masih tertumpu pada penggunaan pestisida kimia (Anonimus 2010; Hoa 2012).
Pengendalian hama/penyakit tanaman dengan penanaman tanaman tahan/toleran
merupakan salah satu teknik pengendalian yang efektif dan efisien. Berdasarkan survei
distribusi penyakit yang telah dilakukan di beberapa daerah pengembangan buah naga di
Indonesia, ditemukan beberapa jenis/klon buah naga yang relatif toleran. Untuk itu
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan tujuan untuk mengetahui respon ketahanan
beberapa jenis/klon tanaman buah naga terhadap penyakit utama di daerah endemis.
691
METODE PENELITIAN
Sistim tanam yang digunakan adalah sistim tiang tunggal dengan jumlah benih yang
ditanam untuk setiap tiang adalah 4 tanaman, ditanam di empat sisi tiang. Tiang yang
digunakan adalah tiang beton dengan ukuran 10x10x200 cm, sedangkan benih berasal dari
perbanyakan vegetatif dengan tinggi ± 40cm. Jarak tanam 3x3 m dengan lubang tanam
berukuran (60x 60) cm.
Perawatan tanaman dilakukan sesuai dengan petunjuk teknik Budidaya Buah Naga
yang dikeluarkan Balitbu Tropika terdiri dari penyiangan, penyiraman, pemupukan dan
pengendalian hama dengan menggunakan insektisida sesuai dengan jenis hama yang
ditemukan menyerang tanaman saat pengamatan di lapangan.
1. Jumlah tanaman terserang masing-masing jenis penyakit pada setiap tiang tanaman.
Persentase tanaman terserang dihitung dengan menggunakan rumus:
T1
P= = 100%
T2
692
2. Jumlah tanaman dengan gejala masing-masing penyakit berdasarkan kriteria kerusakan/
keparahan yang sudah ditentukan. Kriteria dari masing-masing serangan tersebut adalah:
0=tidak ada gejala serangan pada tanaman, 1=serangan ringan (gejala awal-busuk/bintik
batang pada ≤2 titik lokasi dengan panjang <5cm), 2=serangan sedang (1-2 titik lokasi
dengan panjang 5-10 cm) dan 3=serangan parah (busuk/bintik menyelimuti >50%
permukaan batang). Untuk penyakit antraknos: 1=serangan ringan (1-2 bercak
awal/kecil), 2=serangan sedang (1-2 bercak yang melebar atau 3-5 bercak awal),
3=serangan berat (>5 bercak awal atau >3 bercak yang melebar. Kriteria ini dibuat
berdasarkan kondisi tanaman saat penelitian.
I (Indeks keparahan) = ∑ (nilai skala x jumlah tanaman dari setiap nilai skala)
Persentase serangan dan keparahan oleh masing-masing penyakit dihitung setiap bulan.
Data dianalisis dengan sidik ragam. Jika antar perlakuan terdapat perbedaan yang nyata,
maka dilakukan uji DNMRT.
Hasil pengujian 7 jenis/klon tanaman buah naga pada lahan endemis penyakit di
Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat menunjukkan bahwa
jenis/klon tanaman buah naga yang diuji menunjukkan respon ketahanan yang berbeda
terhadap penyakit utama. Pada Tabel 2 terlihat bahwa respon semua jenis/klon tanaman
buah naga terhadap penyakit busuk batang relatif sama. Serangan penyakit busuk batang
kuning dan hitam sudah mulai terlihat saat tanaman berumur satu bulan setelah tanam,
kecuali pada jenis/klon H. costaricensis 01, namun demikian persentase serangan dan
tingkat keparahan penyakit tidaklah terlalu tinggi. Umumnya serangan penyakit busuk
batang terjadi pada bagian pangkal batang yang bersentuhan dengan tanah. Pengamatan
pada bulan-bulan berikutnya sampai tanaman berumur 4 bulan terlihat bahwa persentase
serangan tidak terlalu tinggi dan perkembangan indeks keparahan penyakit sangat lambat
(Gambar 1A).
693
Tabel 2. Persentase dan tingkat keparahan serangan penyakit busuk batang, bintik batang
dan antraknospada 7 jenis/klon buah naga, umur 4 bulan setelah tanam
Kategoriserangan
Angka-angka pada lajur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata
menurut DNMRT pada taraf nyata 5%
Respon semua jenis/klon tanaman buah naga terhadap penyakit kudis/stem canker
dan antraknos menunjukkan hal yang berbeda jika dibandingkan dengan responnya
terhadap penyakit busuk batang. Dalam Tabel 2 terlihat bahwa enam dari tujuh jenis/klon
tanaman buah naga yang diuji sudah terserang penyakit ini sejak bulan pertama setelah
tanam. Penyakit berkembang sangat cepat sampai bulan keempat setelah tanam dengan
indeks keparahan penyakit yang sangat tinggi (2,80-3,00). Beberapa hasil penelitian
menyatakan bahwa penyakit ini merupakan penyakit yang paling berbahaya pada tanaman
buah naga, tunas-tunas muda yang terserang akan mati mengering (Mohd et al. 2013;
Jumjunidang et al. 2016) .
694
A B
Gambar 1. Grafik perkembangan indeks keparahan penyakit busuk batang (A), kudis/stem
canker (B) dan antraknos (C) pada 7 jenis/klon tanaman buah naga selama 4
bulan
Berbeda dengan enam jenis/klon tanaman buah naga yang lain, jenis/klon H.
costaricensis klon tahan 01 asal Sumatera Barat memperlihatkan respon relatif lebih
tahan/toleran terutama terhadap penyakit paling berbahaya stem canker dan penyakit
antraknos. Terlihat pada Tabel 2, indeks keparahan penyakit pada jenis/klon ini lebih
rendah dan berbeda nyata dengan enam jenis/klon lainnya, laju perkembangan indeks
keparahan penyakit juga lebih lambat (Gambar 1B dan 1C).Dugaan bahwa H. costarisensis
klon 01 asal Sumatera Barat ini lebih tahan/toleran adalah ketika dilakukan
pengamatan/konfirmasi di tempat jenis/koln buah naga ini dikembangkan. Tanaman
695
tersebut yang telah berumur 2-3 tahun masih tetap sehat dan mampu berproduksi baik,
padahal ditanam di lokasi serangan berat beberapa penyakit (lahan endemis) pada jenis H.
polyrhizus.
A B C D
A=H.polyrizuslocal
B=H.polyrizus SM
C=H.undatus Lokal
E F G D=H.undatus SP
E=H.costarisensis 03
F=H.costarisensis 02
G=H.costarisensis 01
Gambar 2. Serangan beberapa penyakit pada 7 jenis/klon buah naga 3 bulan setelah
penanaman
Penyakit kudis/stem canker umumnya menyerang tunas muda, gejala terlihat berupa
bercak bulat kecil berwarna putih dan cekung (seperti ada tusukan halus di tengan bercak).
Pada serangan lanjut, bercak kecil ini menyatu dan mengeras dengan warna kuning sampai
coklat, permukaan batang menjadi kasar seperti kudis, akibatnya tunas menjadi mengering
dan akhirnya mati (Ezra et al. 2013; jumjunidang et al. 2016). Penyakit antraknos
menyerang baik pada tunas yang baru keluar maupun pada batang utama, gejala serangan
seperti disampaikan oleh Masyahit et al. (2009), berupa bercak coklat-hitam yang dikelilingi
oleh lingkaran kuning/coklat. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahan ketiga jenis
penyakit ini menyerang secara bersama-sama pada satu tanaman buah naga, sehingga
696
menyebabkan kerusakan parah dan kematian tanaman menjadi semakin cepat. Serangan
bersama ketiga penyakit pada 7 jenis/klon tanaman buah naga disajikan pada Gambar 2.
Adanya perbedaan respon ketahanan yang berbeda dari semua jenis/klon tanaman
buah naga yang diuji dapat dipengaruhi faktor perbedaan karakter morfologi (pertahanan
mekanik), kimia (pertahanan kimia) dan genetik dari tanaman itu sendiri. Secara morfologi
ketiga jenis/klon H. costaricensis yang diuji memiliki permukaan batang yang berlilin cukup
tebal, terutama jenis/klon H. costaricensis 01. Menurut Agrios (1997), lapisan lilin pada
permukaan tanaman dapat menghalangi infeksi mikro organisme pada tanaman dan
berfungsi sebagai mekanisme ketahanan mekanik/morfologi.
KESIMPULAN
Enam jenis/klon buah naga yang diuji rentan terhadap serangan penyakit utama
kudis/stem canker dan antraknos. Jenis/klon H. costaricensis klon 01, menunjukkan respon
yang relatif lebih tahan terhadap ketiga penyakit utama dibanding dengan jenis/klon
lainnya, sehingga jenis ini dapat dikembangkan di wilayah endemis panyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Fourth Edition. Academic Press London.
Anonimus. 2010. Studies on investigation and control of major pitaya diseases in Guizhou
Province. China papers posted on 25 januari 2010. mt.china_papers.com/i/?P=158518.
Ezra D, Liarzi O, Gar T & Hershcovich M. 2013. First report of internal black rot caused by
Neoscytalidium dimidiatum on Hylorereus undatus (Pitahaya) fruit in Israel. Plant
Dis.97:1513.
Hoa VN. 2012. Current Research Activities and the Development of Good Agricultural
Practice (GAP) for Pitaya in Vietnam. Southern Horticultural Research Institute
(SOFRI). (17 Juni 2012).
Hoa VN, Hieu NT, Hanh TTM, Uyen DTK & Dien LQ. 2015. Emerging infectious diseases an
insect pests of dragon fruit, passion fruit, citrus, longan. Workshop on Increasing
Production and Market Access for Tropical Fruit in Southeast Asia. 13-17 October
2014. Southern Horticultural Research Institute (SOFRI) Long Dinh, Chau Thanh, Tien
Giang, Viet Nam, p 87-100
Isnaini M, Muthahanas I, Jaya KD. 2011. Studi pendahuluan tentang penyakit busuk batang
pada tanaman buahnagadikabupatenLombokUtara .Hal109-
114.P.unram.ac.id/data/Profil % 20Jurusan
p.unram.ac.id/data/Profil%20Jurusan/.../Mulat_Kdamar_ok.pdf
Jumjunidang, Riska, Emilda D, Sudjijo, dan Muas I. 2016. Distribusi dan Tingkat Serangan
Penyakit Utama Tanaman Buah Naga di Beberapa Sentra Pengembangan Di Indonesia.
Jurnal Hortikultura. (inpress).
697
Kristanto D. 2003. Buah Naga Pembudidayaan di Pot dan di Kebun. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Masyahit M, Sijam K, Awang Y, Mohd Satar MG. 2009. The first report of the occurrence of
antrhraccnose disease caused by Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Penz.&Sacc.
on dragon fruit (Hylocereus spp.) in Peninsular Malaysia. American Journal of App. Sci.
6(5):902-912
Mc. Mahon G. 2003. Pitaya (Dragon Fruit).Departemen of Primary Industry, Fisheries and
Mines. Darwin. www.horticulture.nt.grov.au. Diakses 25 September 2012.
Mohamed AA, Mak C, Liew KW & Ho YW. 1999. Early evaluation of banana plants at nursery
stage for Fusarium wilt tolerance, banana Fusarium wilt management: towards
sustainable cultivation. Proceedings of the International Workshop on the Banana
Fusarium Wilt Disease, Malaysia, pp. 174-86.
Mohd MH, Salleh B & Zakaria L. 2013. Identification and Molecular Characterization of
Neoscytalidium dimidiatum Causing Stem Canker of Red-fleshed Dragon Fruit
(Hylocereus polyrhizus) in Malaysia. J. Phytopathology 161:841-849.
Simatupang L. 2007. Buah Naga Segar dan Nikmat. http://food_details.php [1 Juni 2012]
698
PENYAKIT UTAMA PADI DI LAHAN PASANG SURUT
KECAMATAN TANJUNG LAGO KABUPATEN BANYUASIN YANG
DITAMAN DENGAN TABELA
ABSTRAK
Serangan penyakit pada pertanaman padi pasang surut dapat menimbulkan kerugian
cukup besar Beberapa penyakit seperti busuk leher malai (neck blast) dapat menyebabkan
gagal panen . Banyak faktor yang turut mendukung berkembangnya berbagai penyakit di
areal pertanaman padi pasang surut di kecamatanTanjung Lago diantaranya jarak tanam
yang terlalu rapat dan pemupukan yang tidak berimbang .Berbagai cara dapat dilakukan
untuk mengendalikan penyakit seperti cara biologi, fisik, kimiawi dan kultur teknis.
Keberhasilan pengendalian sangat ditentukan oleh ketepatan identifikasi penyakit yang
menyerang. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
menginventarisasi jenis jenis penyakit yang menyerang padi di Desa Telang Sari Kecamatan
Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin. Pengamatan dilakukan dengan mengamati gejala
serangan dan diidentifikasi di laboratorium Fakultas Pertanian UIBA. Perhitungan intensitas
penyakit berdasarkan scooring IRRI (2002) .Dari hasil penelitian ditemukan lima macam
penyakit yaitu blas daun yang disebabkan oleh Pyricularia oryzae, busuk leher malai (neck
blast) yang juga disebabkan Pyricularia oryzae, hawar upih daun yang disebabkan
Rhizoctonia solani, bercak coklat yang disebabkan Dreschlera oryzae, dan bercak coklat
sempit yang disebabkan Cercospora oryzae.
Kata kunci: identifikasi penyakit, penyakit utama padi, dan pasang surut, .
LATAR BELAKANG
Salah satu masalah yang penting diperhatikan pada budidaya tanaman padi pasang
surut adalah serangan penyakit. Penyakit penyakit tersebut menyerang pada berbagai
stadia pertumbuhan tanaman. Tingkat kerugian yang ditimbulkan bervariasi tergantung
pada tingkat ketahananan tanaman. Menurut Amir (2001) infeksi Pyriculatria oryzae yang
menyebabkan penyakit blas dan busuk leher malai mengakibatkan kehilangan hasil 50-90%
pada varietas yang rentan,bahkan dapat menyebabkan gagal panen. Banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman padi seperti cara fisik,
mekanis, kimiawi, hayati dan kultur teknis (Suryanto,2010). Tetapi kenyataannya di
lapangan petani banyak mengandalkan pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan
pestisida.. Penggunaan fungisida yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan dan dapat memicu terbentuknya ras ras baru patogen. Menurut
699
Semangun (2004), cendawan P. oryzae mudah membentuk ras baru sehingga cenderung
resisten terhadap fungisida.
METODOLOGI
Bahan yang digunakan adalah media PDA, akuades, dan alkohol Sedangkan alat yang
dipakai adalah mikroskop, lampu bunsen , otoklaf petridish, kamera dan pinset.
HASIL DANPEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap gejala penyakit padi di Desa Telang Sari ditemukan lima
jenis penyakit yaitu blas daun disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae, busuk leher
malai (neck blast) yang juga disebabkan cendawan Pyricularia oryzae, hawar upih daun yang
disebabkan cendawan Rhizoctonia solani, bercak coklat yang disebabkan cendawan
Dreschlera oryzae, bercak coklat sempit yang disebabkan cendawan Cercospora oryzae
Tabel 1. Penyakit penyakit yang menyerang tanaman padi pasang surut di Desa
2 Busuklehermalai Pyriculariaoryzae 80 %
(neck blast)
3 Hawarupihdaun Rhizoctoniasolani 60 %
4 Bercakcoklat Dreschleraoryzae 35 %
5 Bercakcoklatsempit Cercosporaoryzae 25
700
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penyakit blas (blas daun
dan busuk leher malai) merupakan penyakit penting pada pertanaman padi pasang surut di
desaTelang Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin.Gejala mulai terlihat sejak
padi berumur 45 hari . Intensitas serangan terus meningkat sampai memasuki fase generatif.
Dari hasil penelitian ditemukan lima jenis penyakit yaitu blas daun (Pyricularia
oryzae), busuk leher malai ( Pyricularia oryzae), hawar upih daun ( Rhizoctonia solani,) ,
bercak coklat ( Dreschlera oryzae) , dan bercak coklat sempit (Cercospora oryzae).
Dalam upaya mengurangi intensitas serangan penyakit pada padi pasang surut di desa
Telang Sari Kecamatan Tanjung Lago maka dianjurkan petani melakukan pemupukan yang
berimbang yaitu pupuk N, P dan K. Sistem tanam juga sebaiknya menggunakan jarak tanam
sehingga kelembaban dapat dikurangi. Ketahanan tanaman padi dapat ditingkatkan dengan
mengaplikasikan abu sekam karena abu sekam mengandung unsur Kalium dan Silikat. Di
lokasi penelitian sekam padi tersedia dalam jumlah yang banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2015. Unsur hara, Hama dan Penyakit.
http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/info-teknologi/content/247-
unsur-hara-hama-dan-penyakit-padi. Diakses tanggal 11 April 2016
Ou, S.H. 1985. Rice Diseases. Second Edition. Commonwealth Mycological Institute,
KewSurrey, England
701
Semangun, H. 2004. Penyakit Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada
University Press, Yogyakarta
702
KAJIAN ANTIFUNGAL Bacillus subtilis BR2 TERHADAP
PENYEBAB PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG KELAPA
SAWIT (Ganoderma sp.)
Rustam
ABSTRAK
Kata kunci: Bacillus subtilis, kelapa sawit, busuk pangkal batang, Ganoderma sp.
PENDAHULUAN
Kelapa sawit merupakan jenis tanaman perkebunan andalan Indonesia saat ini. Luas
tanaman kelapa sawit secara nasional hampir mencapai 10,5 juta ha, dengan daerah
perkebunan utama kelapa sawit berada di Provinsi Riau (2,19 juta ha), Sumatera Utara (1,34
juta ha), Kalimantan Tengah (1,1 juta ha), dan Sumatera Selatan (1,06 juta ha) (BPS 2015).
Perkebunan kelapa sawit telah mampu menyerap tenaga kerja yang banyak, meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, dan menjadikan Indonesia sebagai produsen
utama CPO dunia.
703
(bercak daun) pada kentang yang disebabkan oleh cendawan Phytophtora infestans (Agrios
2005).
Penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh cendawan Ganoderma sp.
merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan kerugian besar di perkebunan
kelapa sawit, khususnya di Indonesia dan Malaysia (Darmono 1998). Di beberapa
perkebunan kelapa sawit, penyakit dapat menyebabkan kerusakan hingga 80% (Susanto
2011). Gejala penyakit biasanya terlihat setelah 6-12 bulan setelah infeksi (Darmono 1996).
Pangkal batang tanaman terinfeksi akan membusuk dan tumbang sebelum masa produktif
berakhir. Selama ini serangan cendawan banyak terjdi pada tanaman yang sudah tua tetapi
belakangan ini serangan cendawan juga diditemukan pada tanaman stadia pembibitan
(Naher et al. 2013)
Bakteri antagonis B. subtilis BR2 (isolat BR2) merupakan koleksi isolat penulis sendiri
yang diisolasi dari perakaran rumput-rumputan di daerah Ciampea, Bogor. Isolat tersebut
telah diketahui memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan beberapa cendawan
patogen seperti Fusarium oxysporum (penyebab penyakit layu pada tanaman semangka),
Helminthosporium maydis (penyebab penyakit bercak daun pada tanaman jagung),
Pyricularia oryzae (penyebab penyakit blast pada tanaman padi), dan Rhizoctonia solani
(penyebab penyakit hawar daun pada tanaman padi) (Rustam, 2011).
704
Tabel 1. Beberapa karakter morfologi dan biokimia isolat BR2
Morfologi koloni
- Ukuran (mm) 4
- Bentuk Tidak beraturan
- Elevasi Datar
- Pinggiran Berombak
- Warna putih susu
- Permukaan Licin
Morfologi sel Batang
Reaksi Gram +
Ukuran sel (μm) 0,25 x 1,75
Endospora + (terminal)
Motil Tidak
Biokimia
- Uji kitinase +
- Uji katalase +
- Uji sitrat -
- Dekarboksilase (lisin) Non enterobakter
- Produksi H2S -
- Uji indol -
- Uji metil red +
- Motilitas -
- Reduksi nitrat +
- Hidrolisis urea -
- Voge-proskauer -
- Glukosa +
- Sukrosa +
- Dekstrosa -
- Sorbitol -
- Manitol +
- Fitotoksisitas -
- Produksi siderofor +
- Pelarutan fosfat +
Keterangan: + = terjadi reaksi, - = tidak ada reaksi
Pengujian daya hambat isolat BR2 terhadap patogen (Ganoderma sp.) dilakukan
dengan menggunakan metode biakan ganda pada medium PDA. Potongan koloni cendawan
Ganoderma sp. dengan diameter 0,5 cm dipindahkan pada medium PDA dengan jarak 3 cm
dari tepi cawan petri. Sebagai perlakuan, pada arah berlawanan dengan jarak 3 cm dari tepi
705
cawan petri dipindahkan sebanyak 10 μl suspensi biakan isolat BR2 (populasi 10 6 sel/ml)
atau isolat Escheria coli DH5α yang tidak memiliki gen penyandi antibiosis, tidak
mengekspresikan senyawa antibiotik (koleksi Laboratorum Bakteriologi, Depertemen
Proteksi Tanaman). Pengujian dilakukan sebanyak 5 ulangan. Persentase daya hambat
isolat BR2 terhadap pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. dihitung dengan rumus:
R1 – R2
Persentase daya penghambatan = x 100%
R1
Hasil
Tabel 1. Daya hambat isolat BR2 terhadap pertumbuhan cendawan Ganoderma sp.
706
BR2
Ktr
+DH5α
+BR2
Isolat BR2 ternyata juga menekan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. dalam
medium cair. Penekanan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. oleh isolat BR2
ditunjukkan dengan berkurangnya berat basah dan berat kering koloni cendawan yang
diperoleh. Adapun berat basah dan berat kering koloni cendawan Ganoderma sp. yang
diperoleh dari perlakuan isolat BR2 masing-masing 0,4 gr dan 0,11 gr (Tabel 2). Dengan
demikian terjadi penghambatan pertumbuhan koloni cendawan Ganoderma sp. oleh isolat
BR2 sebesar 97 % dan 78 %, masing-masing berdasarkan berat basah dan berat kering
koloni cendawan.
Tabel 2. Berat basah dan berat kering miselium cendawan Ganoderma sp.setelah diinkubasi
Angka-angka pada lajur yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama adalah berbeda
tidak nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%.
Pembahasan
707
daun pada tanaman jagung. Daya hambat isolat BR2 terhadap cendawan-cendawan
tersebut sekitar 36-52%. Hal yang sama dilaporkan Szczech and Shoda (2005) bahwa
Bacillus subtilis RB14-C dapat menekan perkembangan cendawan R. solani dan beberapa
mikroba tanah lainnya.
Beberapa hasil penelitian penggunaan mikroba antagonis untuk pengendalian
Ganoderma sp. menunjukkan keberhasilan. Wibowo (2011) melaporkan bahwa isolat bakteri
BK17 cukup efektif menekan pertumbuhan penyebab busuk pangkal batang tanaman kelapa
sawit yang disebabkan oleh Ganoderma boninense Pat. Namun belum dilaporkan hasil
identifikasi isolat bakteri BK17 tersebut. Rustam et al. (2011) dan Rustam (2012)
menginformasikan bahwa berdasarkan analisis sekuens 16S rRNA, sifat morfologi, biokimia,
dan karakter pertumbuhannya maka isolat BR2 yang memiliki sifat antifungal terhadap
cendawan Ganoderma sp. teridentifikasi sebagai Bacillussubtilis. Sementara itu penelitian
penggunaan mikroba lainnya dilakukan oleh Herliyana et al. (2011) yang mendapatkan
cendawan Trichoderma T38 dan T39 memiliki sifat antifungal terhadap beberapa isolat
Ganoderma.
Senyawa antifungal dapat diproduksi oleh isolat BR2 baik pada medium padat
maupun pada medium cair. Efikasi senyawa antifungal yang dihasilkan isolat BR2 dalam
medium cair dilaporkan Rustam (2013), bahwa aktifitas antifungal isolat BR2 meningkat
hingga 72 jam pertama, mengikuti peningkatan pertumbuhan sel bakteri tersebut. Hasil
penelitian Liu et al. (2007) menyimpulkan bahwa pertumbuhan sel bakteri antagonis
Acinetobacter baumanni LCH001 berkorelasi erat dengan aktivitas antifungalnya. Lebih jauh
dilaporkan Rustam (2013a) bahwa senyawa antifungal pada isolat BR2 dapat diekstrak
menggunakan pelarut etil asetat dengan daya hambat ekstrak ini hampir 78% terhadap
cendawan R. solani. Adapun nilai minimum inhibitory concentration (MIC) ekstrak etil asetat
sebesar 10 mg/l (10-3 %). Namun stabilitas senyawa antifungal tersebut sangat dipengaruhi
oleh suhu, yakni semakin tinggi suhu maka aktifitas senyawa antifungal juga menurun.
Sebaliknya stabilitas senyawa antifungal relatif stabil pada kondisi asam, netral, dan basa
(Rustam 2013b).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa isolat Bacilus subtilis BR2 dapat
menekan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. penyebab penyakit busuk pangkal batang
pada tanaman sawit. Potensi penghambatan pertumbuhan cendawan Ganoderma sp. oleh
isolat B. Subtilis BR2 secara in vitro sekitar 78-97%.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. San Diego: Academic Press.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Luas Tanaman Perkebunan Menurut Propinsi dan Jenis
Tanaman, Indonesia (000 Ha), 2012-2014*.
http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/838. (30 September 2015).
Darmono TW. 1996. Pendekatan bioteknologi untuk mengatasi masalah penyakit Busuk
Pangkal Batang Kelapa Sawit Akibat Serangan Ganoderma Warta Puslit Biotek
Perkebunan 1, 17-25.
708
Darmono TW. 1998. Development and survival of Ganoderma sp. In oil palm tissue.
International Oil Palm Conference. Bali, Indonesia: Indonesian Oil Palm Research
Institute.
Herliyana EN, Darmono TW, Minarsih H, Firmansyah MA, Dendang B. 2011. Pengendalian
serangan Ganoderma spp. (60-80%) pada tanaman sengon sebagai pelindung
tanaman kopi dan kakao. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia16: 14-27.
Liu CH, Chen X, Liu TT, Lian B, Yucheng Go, Caer V, Xue YR, Wang BT. 2007. Study of the
antifungal activity of Acinetobacter baumannii of its antifungal components. Appl
Microbiol Biotechnol 76: 459-466.
Naher L, Yusuf UK, Ismail A, Tan SG, Mondal MMA. 2013. Ecological status of Ganoderma and
basal stem rot disease of oil palms (Elaeis guineensis Jacq.). AJCS 7 : 1723-1727.
Nur Ain Izzati MZ, Abdullah F. 2008. Disease suppression Ganoderma-infected oil palm
seedlings treated with Trichoderma harzianum. Plant Protect. Sci. 44: 101-107.
Rustam, Giyanto, Suryo Wiyono, Dwi Andreas Santosa, Slamet Susanto. 2011. Seleksi dan
identifikasi bakteri antagonis sebagai agens pengendali hayati penyakit hawar
pelepah padi. Jurnal Penelitian Pertanian 30 (3): 164-171.
Rustam. 2011. Potensi isolat Bacillus yang bersifat kitinolitik sebagai agens hayati dan
produksi massal pada limbah organik. Di dalam Prosiding Seminar Nasional, Inovasi
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi, Bogor, 19-20 Nopember 2011.
Rustam. 2012. Characterization and Identification of Bacteria as Biological Agents to Control
the Rice Sheath Blight Disease. Prosiding International Seminar of Rice Technology
Innovation for Increasing Production and Conserving Enviroment Under, Global
Climate Change, Subang-Indonesia, July 11-12, 2012.
Rustam. 2013a. Efikasi senyawa bioaktif anticendawan Bacillus subtilis BR2 terhadap
pertumbuhan Rhizoctonia solani penyebab penyakit hawar pelepah padi. Di dalam
Prosiding Seminar Nasional: Akselerasi Inovasi dan Diseminasi Teknologi Menuju
Kemandirian dan Ketahanan Pangan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal, Palu, 18
Maret 2013. Bogor: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Rustam. 2013b. Fitotoksisitas dan stabilitas senyawa bioaktif anticendawan dari beberapa
isolat bakteri agens hayati terhadap penyebab penyakit hawar pelepah padi. Di dalam
Prosiding Seminar Nasional: Akselerasi Inovasi dan Diseminasi Teknologi Menuju
Kemandirian dan Ketahanan Pangan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal, Palu, 18
Maret 2013. Bogor: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Susanto A. 2011. Ganoderma di perkebunan kelapa sawit dari waktu ke waktu. Simposium
Nasional dan Lokakarya Ganoderma: Sebagai Patogen Penyakit Tanaman dan Bahan
Baku Obat Tradisional. Bogor, 2-3 November 2011.
Szczech M, Shoda M. 2005. The influence of Bacillus subtilis RB14-C on the development of
Rhizoctonia solani and indigenous microorganisms in the soil. Canadian Journal of
Microbiology 51: 405-411.
Wibowo RH. 2011. Pengendalian serangan busuk pangkal batang (Ganoderma boninense
Pat.) pada bibit tanaman kelapa sawit (elaeis guineensis Jacq.) menggunakan isolat
bakteri kitinolitik. Tesis Universitas Sumatera Utara.
709
POTENSI KETERSEDIAAN HIJAUAN PAKAN LIMBAH
TANAMAN JAGUNG MANIS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU .
1)Supriadi , 2)Lutfi Izhar, dan 3)Oktariani Indri Safitri .
1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jogjakarta
2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
3)Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau .
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Sektor pertanian adalah sektor yang berbasis pada sumber daya alam, oleh sebab itu
keberhasilan pengembangan pertanian tergantung pada keberhasilan pengoptimalan
pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki. Pada setiap provinsi masih tesedia areal
pertanian yang potensial sebagai wilayah sumber hijauan pakan ternak, seperti di Provinsi
Kepulauan Riau pada tahun 2011 memiliki lahan sawah seluas 453 ha, lahan kebun/tegalan
(bukan sawah) seluas 537.661 ha dan lahan padang penggembalaan atau lahan rumput
seluas 29.977ha pada tahun 2010, dengan demikian lahan tersebut secara keseluruhan
adalah lahan yang dapat mendukung ketersediaan hijauan pakan ternak (BPS Kepri 2012).
Subsektor peternakan diharapkan pada milinium ketiga ini dapat tumbuh sebesar 7–
8% pertahun, sebagai andalan utamanya adalah peningkatan produktivitas ternak diatas
60% dan perkembangan populasi sekitar 40% dari laju kenaikan produksinya (Mentan,
710
2000). Harapan terserbut dapat dicapai dengan upaya pemanfaatan sumberdaya alam secara
optimal dan rasional serta efisiensi pakan dan peningkatan produktivitas hijauan pakan.
Berkaitan dengan efisiensi pakan dan harapan pertumbuhan produktivitas ternak
serta upaya optimalisasi sumberdaya lokal, sebaiknya terlebih dahulu dikaji potensi
sumberdaya yang ada di daerah yang akan menjadi sasaran pengembangan peternakan.
Seperti halnya Provinsi Kepulauan Riau, daerah ini diharapkan dapat dikembangkan usaha
peternakan. Guna mencapai hal itu perlu dilakukan upaya pengembangan produktivitas dan
populasi ternak khususnya ternak ruminansia yang diawali dengan inventarisasi potensi
sumber ketersediaan pakan hijauan.
Bahan pakan ternak ruminansia adalah hijauan, yang berasal dari rumput- rumputan
maupun dari daun dan ranting pohon-pohon berkayu. Secara garis besarnya jenis hijauan
pakan ternak ruminansia yang biasa diberikan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok
besar yaitu: rumput-rumputan; daun-daunan dari pohon berkayu atau disebut juga ramban;
dan limbah pertanian atau hasil ikutan dari produksi pertanian seperti jerami padi, jerami
jagung dan jerami kacang-kacangan.
Banyak peternak yang mengalami kendala kesulitan mendapatkan hijauan pakan,
terlebih lagi pada musim kemarau, hal ini tidak lain karena terlalu banyak ternak yang
dipelihara saat itu melampaui kemampuan alam untuk menyediakan hijauan pakan, keadaan
ini sangat tidak baik terhadap usaha peningkatan populasi ternak.
Akibat kendala pakan, kelainan reproduksi sering dijumpai adalah uterus terlalu kecil,
menurut para ahli ilmu nutrisi kelainan bentuk uterus terlalu kecil ini kemungkinan
disebabkan kekurangan gizi pakan (mal nutrition) dalam jangka waktu yang cukup panjang
terutama pada saat ternak dalam masa pertumbuhan (anonimuos 1997). Kait mengkait
antara usaha peningkatan populasi ternak dengan kendala yang ada seperti kesulitan
penyediaan pakan yang baik dan kontinu serta sering terjadi kelainan reproduksi,
mendorong harus diketahuinya berapa besar potensi sumber ketersedian hijauan pakan
yang ada dan berapa banyak populasi yang sebaiknya dipelihara agar dapat menguntungkan
dan dijamin keberlanjutannya.
Apabila potensi ini diketahui dengan baik, maka dapat diproyeksikan berapa besar
populasi ternak yang seharunya dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan potensi hijauan
pakan yang tersedia agar usaha ternak dapat menguntungkan.
METODA PENELITIAN
Pengkajian ini dilakukan di Kabupaten Bintan, Kecamatan Kawal, Desa Malang Rapat
dengan titik koordinat lokasi pengkajian 01˚04ˈ40.48" LU, 104˚37ˈ21.29" BT. Pengkajian
dilakukan dari Bulan Juli sampai dengan Bulan Agustus 2014. Kabupaten ini diperkirakan
memiliki potensi sumber ketersediaan hijauan pakan yang tinggi terutama limbah dari
tanaman jagung manis namun pemanfaatannya belum optimal. Adapun data yang
dikumpulkan adalah data hasil pengukuran tanaman jagung sebanyak 10 ulangan yang
diambil dari 10 titik kebun jagung manis.
Kebun tanaman jagung manis seluas 0,5 hektar dengan lahan miring sekitar 3%-5%,
penanaman jagung dilakukan pada bedengan dengan lebar bedengan 80 cm panjang sekitar
20m, 2 lubang tanaman diantara lebar bedengan dan diantara bedengan dipisahkan dengan
parit saluran air selebar 80 cm serta adanya tanggul-tanggul pemisah sebagai jalan setapak
beriksar 5% dari luas lahan yang digunakan, jumlah bedengan dikonfersikan dalam satu
hektar adalah sebanyak 59 bedengan, sebelum ditanami bedengan dilapisi dengan plastik
mulsa.
Penanaman jagung dilakukan pada bedengan dengan jarak tanam 60 x 70 cm, setiap
lubang ditanam dua benih jagung, pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali, pemupukan
pertama terdiri dari 50 kg Urea/ha dan 100 kg ponska/ha, pemupukan kedua terdiri dari
urea 100 kg/ha dan ponska 100 kg/ha. Panen jagung manis dilakukan pada umur 70 hari
setelah tanam (HST).
711
Data yang dikumpulkan berupa tinggi tanaman, berat total tanaman, berat hijauan
tanaman, berat tongkol utuh, berat kulit tongkol (Klobot) dan berat tongkol jagung. Potensi
ketersediaan hijauan pakan akan ditinjau berdasarkan Agro-ekosistem dan peluang
pengembangan ternak berdasarkan ketersedian pekan yang baik dan kuntinue, perhitungan
ketersediaan pakan ternak berdasarkan kriteria penelitian Soewardi, (1986) dalam Musofie,
(1990). Analisis finansial dihitung secara sederhana melalui perhitungan output-input.
1. Karakterisasi Wilayah.
Berdasarkan peta pewilayahan komodits unggulan di Kabupaten Bintan yang dibuat
pada tahun 2012 (AEZ 2012), Pulau Bintan tersusun dari 4 formasi geologi yaitu Goungon
(Qtg), Granit (Tg), Andesit (Tma) dan Aluvial (Qa), yang paling dominan adalah formasi
Goungon yang membentang dari bagian barat-utara sampai ke bagian tengah. Wilayah
penelitian masuk kedalam formasi Batuan Granit dengan komposisi felsfar, kwarsa,
horblenda dan biotit. Bentuk wilayah didominasi wilayah datar sampai bergelombang
(lereng <15%) dengan tanah masuk kedalam subgroup typic kanhapludults, typic hapludox
dan oxic dystrudepts.
Kesesuaian lahan untuk tanaman sayuran dan tanaman jagung/jagung manis di
wilayah penelitian masuk kedalam sesuai marginal dengan fator pembatas retensi hara
(S3nr), oleh sebab itu untuk mencukupi kebutuhan unsur hara pada tanaman jagung manis
biasanya petani memberikan pupuk urea hingga 150 kg/ha, ponska sebanyak 200 kg/ha
ditambah dengan 4 ton/ha pupuk kandang.
712
Tabel 1. Rata-rata Produksi Hijauan pakan pada Tanaman Jagung Manis di Kecamatan Kawal
2014.
Jagung manis yang di tanaman di Desa Malang rapat memilki rata-rata tinggi tanaman
177,35 cm (Tabel 1), rata-rata berat jagung glondong yaitu jagung yang masih terbungkus
dengan kulit jagung adalah 0,427 kg, berat hijauan tanaman yaitu tanaman jagung yang
sudah diambil jagungnya adalah 0,460 kg dan berat kulit jagung yaitu kulit yang
membungkus tongkol jagung atau sering disebut dengan klobot adalah 0,134 kg. Limbah
jagung yang menjadi pakan ternak adalah hijauan tanaman, klobot dan gilingan tongkol
jagung yang sudah diambil biji jagungnya atau yang sering disebut dengan janggel jagung,
tetapi pada penelitian ini gilingan janggel jagung belum diperhitungkan karena keterbatasan
alat pengering dan penggilingan.
Dari pembahasan Tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa produktivitas tanaman sangat
dipengaruhi oleh keadaan biofisik lahan pertanian seperti kondisi tanah dan ketersediaan
pengairan yang umumnya mengandalkan air hujan untuk mendukung budidaya tanaman
pangan, hortikultura maupun palawija. Hal ini menyebabkan rendahnya produksi pertanian
yang berarti pula rendahnya produksi limbah pertanian sebagai tulang punggung sumber
hijauan pakan ternak. Jerami jagung merupakan hasil ikutan tanaman jagung dengan tingkat
produksi mencapai 4-5 ton/ha. Kandungan nutrisi jerami jagung diantaranya protein 5,56%,
serat kasar 33,58%, lemak kasar 1,25, abu 7,28 dan BETN 52,32% (Budimulya. 2012).
Tanaman jagung yang dapat dijadikan pakan ternak ruminansia yaitu dari hijauannya
sedangkan tongkolnya dimanfaatkan untuk pangan. Kapasitas tampung ternak dari hijauan
jagung (tebon) yang tersedia dapat dihitung berdasarkan bobot kering atau bobot basah
hijauan. Secara teoritis seekor ternak dapat mengkonsumsi bahan kering sebanyak 2-3 %
atau bahan basah sebanyak 10% dari bobot badannya. Satu Unit Ternak (UT) seberat 350 kg
dapat mengkonsumsi bahan kering sebanyak 7-10,5 kg, atau bahan basah sebanyak 35 kg.
Berdasarkan perhitungan bahan kering tanaman jagung mengandung 22% bahan kering
(Supriadi et al., 2009) maka daya tampung ternak pada penanaman jagung manis di
Kecamatan Kawal, Kabupaten Bintan adalah sebagai berikut:
713
Tabel 2. Rata-rata Produksi Hijauan pakan pada Tanaman Jagung Manis di Kecamatan Kawal.
2014.
Berat Berat
Tinggi Berat Berat
jagung hijauan Berat klobot
Uraian tanaman tanaman tongkol
glondong tanaman (kg)
(cm) (kg) (kg)
(kg) (kg)
kapasitas
UT/ha 1.21 0.35
Keterangan : ha = Hektar
Th = Tahun
Berdasarkan produksi bahan basah (segar), semakin banyak hasil bahan segar yang
diproduksi akan semakin besar atau semakin banyak ternak yang dapat ditampung.
Kapasitas tampung ternak pada lahan tanaman jagung manis seluas 1 hektar berdasarkan
bahan segar yang terdiri dari hijauan tanaman dan kulit tongkol jagung (klobot) dapat
menampung ternak sebanyak 1,5 unit ternak setiap tahunnya. Lahan tersebut biasanya
dalam satu tahun ditanami jagung manis sebanyak 3 kali, sehingga kapasitas tampung ternak
dalam satu tahun adalah sebesar 4,6 unit ternak.
Analisis Finansial
Model analisis usaha tani yang paling sederhana adalah pendekatan proses produksi
dengan menggunakan estimasi marjin kotor. Analisis yang lebih sederhana diperoleh dengan
cara mengurangi biaya variabel dari pendapatan kotor (Soekartawi et al., 1986, dalam
Soeharsono et al., 2004). Analisis finansial usahatani tanaman jagung manis di Kecamatan
Kawal, Desa Malang rapat ditunjukkan Tabel 3.
Batasan perhitungan hasil produktivitas dari usahatani penanaman jagung manis
yang dikaji diuraikan dibawah ini. Penanaman dibatasi hanya satu kali periode penanaman
pada lahan seluas 0,5 hektar ditanaman secara monokultur selama 70 haripanen berupa
tongkol jagung manis dan produk samping berupa hijauan tanaman jagung. Biaya sewa lahan
dan ikutannya tentang lahan belum diperhitungkan. Besaran upah kerja yang berlaku di
wilayah pengkajian sebesar Rp 50.000,-/ OH, harga tongkol jagung manis dalam keadaan
segar (basah)
Rp 5000,-/kg, harga limbah hijauan tanaman segar Rp 500,-/kg. Rata-rata hasil produksi
yang diperoleh dan analisis output dikurangi input untuk penanaman jagung manis dapat
dilihat pada Tabel 3.
714
Tabel 3. Analisis usaha tanaman jagung manis di Kecamatan Kawal, 2014. (per ha)
Pupuk
10.995.000
A. Total biaya
Hasil
59.405.500
B. Pendapatan
C. Keuntungan (B- 48.410.500
A)
Ratio R/C 4.402955889
Bonus panen diberikan pada pekerja yang ikut sejak dari pengolahan tanah hingga
panen, tetapi bonus ini sebetulnya belum bisa dimasukkan pada perhitungan biaya produksi
secara umum, karena tidak semua petani penanam jagung manis memberikan bonus kepada
pekerjanya, disamping itu besaran dan jumlah pekerja yang diberikan bonus panen tidak
tetap setiap kali penanaman.
Hijauan jagung segar belum dimanfaatkan oleh pemiliknya tetapi diberikan secara
cuma-cuma kepada petani yang membutuhkan pakan ternak yang biasanya datang dari luar
kecamatan. Hampir semua petani penanam jagung manis tidak memiliki ternak ruminansia
kecuali ternak ayam kampung.
Perbandingan R/C pada usaha penanaman jagung manis tergolong tinggi yaitu 4.4 hal
ini apabila hijauan segar dari limbah tanaman diperhitungkan sebagai komoditas yang
diperjual-belikan, tetapi apabila hijauan pakan ini belum diperhitungkan maka R/C adalah
sebesar 3,5. keuntungan yang diperoleh petani dari penanaman jagung manis seluas 1 hektar
selama 70 hari adalah sebesar Rp. 48.410.500,-
715
KESIMPULAN
Pertanaman jagung manis merupakan sumber hijauan pakan dari produk samping
yang berupa hijauan tanaman dan kulit tongkol jagung (klobot). Satu hektar pertanaman
jagung manis dapat menghasilkan hijauan pakan sebanyak 20.026,7 kg yang mampu
menampung ternak ruminansia sebanyak 1,5 unit ternak untuk setahun. Dalam 1 tahun,
lahan dapat ditanami jagung manis sebanyak 3 kali. Berdasarkan hitungan output-input
pertanaman jagung manis dalam 1 hektar mendapatkan keuntungan sebanyak Rp
48.410.500,- dengan R/C ratio sebesar 4,4.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 1997. Laporan Akhir. Peranan Rumput, Legum dan Limbah Pertanian Untuk
Konservasi Tanah dan Sumber Pakan di Daerah Aliran Sungai Jratunseluna:
Kemampuan Adaptasi Rumput – Legum dan Pola Pemberian Pakan. Kerjasama
Fakultas Peternakan UGM dengan Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan
Air (P3HTA). Badan Litbang Pertanian.
Anonimus, 2012. Agro Ecological Zone (AEZ). Loka Pengkajian Tenologi Pertanian Kepulauan
Riau. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau (BPS). 2012. Kepulauan Riau Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau.
Budimulya. 2012. Teknologi Pembuatan Silase Jagung Untuk Pakan Sapi Potong.
http://www.total-fm.co.id/index.php/the-news/639-teknologi-pembuatan-silase-
jagung-untuk-pakan-sapi-potong. download 14 /10 2012.
Menteri Pertanian 2000. Memposisikan Pertanian Sebagai Poros Penggerak Perekonomian
Nasional. Departemen Pertanian. Januari 2000.
Musofie.A, 1990. Optimasi Penggunaan Hijauan Pakan Dalam Ransum Sapi Perah Rakyat.
Proc. Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah . Sub
Balai Penelitian Ternak Grati.
Soeharsono, A. Musofie, Prajitno, Supriadi, H. Hanafi, S. Rustijarno,S.B. Lestari, Kurnianita
dan Sukar. 2004. Pengkajian Sistem Usahatani Integrasi Tanaman - Ternak di
Agroekosistem Lahan Kering. Laporan Pengkajian Proyek Pembinaan Kelembagaan
Litbang Pertanian D.I.Yogyakarta.
Supriadi dan Murwati. 2009. Model penyediaan hijauan pakan ternak (HMT) melalui
penanaman jagung pola rapat di lahan kering. Proseding. Seminar Nasional
Kebangkitan Peternakan. Pemberdayaan masyarakat melalui usaha peternakan
berbasis sumberdaya lokal dalam rangka peningkatan ketahanan pangan nasional
bekelanjutan. Univ. Diponegoro. Semarang.
Suwandyastuti .S.N.O, 1988. Pemanfaatan limbah agro-industri untuk meningkatkan nilai
nutrisi jerami padi. Proceeding. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor.
716
PEMODELAN DOWNSCALLING LUARAN GCM MENGGUNAKAN
METODE PCR DAN PLS UNTUK PREDIKSI CURAH HUJAN DI
JAWA TENGAH
Salwati1)
1Peneliti Muda, Bidang Sumber Daya Lingkungan
Abstrak
Statistical downscalling adalah metoda untuk memperoleh informasi pada skala lokal dari
skala yang lebih besar dengan menarik kesimpulan dari hubungan-hubungan antar skala,
sedangkan fungsi yang digunakan adalah fungsi acak atau deterministik. Metode ini dapat
diaplikasikan diantaranya untuk prediksi curah hujan. Data GCM yang digunakan adalah
peubah luaran curah hujan dari ECHAM3 dengan resolusi 2,8 o x 2,8o. Sedangkan data lokal
curah hujan bulanan digunakan dari 12 stasiun hujan di Kabupaten Subang, yaitu Stasiun
Ciasem, Cibandung, Cinangling, Ciseuti, Curugagung, Dangdeur, Kasomalang, Pamanukan,
Pawelutan, Ponggang, Subang dan Tanjungsari dengan periode data dari tahun 1986-2002.
Model SD disusun dengan menggunakan data curah hujan dari tahun 1986-2000, demikian
pula data GCMnya. Reduksi data global GCM dilakukan dua tahap. Tahap pertama adalah
reduksi klimatologis dengan cropping domain (grid) prediktor dengan asumsi bahwa kondisi
iklim di wilayah stasiun-stasiun di Kabupaten Subang dipengaruhi oleh data GCM pada
98o44’BT – 118o13’BT dan 1o39’LU – 18o14’LS, dengan grid 8x8 sehingga terdapat 64 grid.
Reduksi tahap dua dilakukan dengan metode statistik yaitu PCR (Principle Component
Regression), PSL (Partial Least Squares) dan MARS (Multivariate Adaptive Regression
Spline). Untuk analisis dua metode yang pertama digunakan Minitab ver. 14.1, sedangkan
untuk metode yang terakhir digunakan MARS ver 2.0. Hasil uji prediksi curah hujan lokal
dengan menggunakan prediktor curah hujan hasil ECHAM melalui pemodelan dengan PCR,
PLS dan MARS, menunjukkan bahwa PLS memiliki nilai root mean square error prediction
(RMSEP) dan mean absolute error prediction (MAEP) yang kecil dengan korelasi validasi
yang lebih besar dibanding PCR ataupun MARS. Hal ini menunjukkan bahwa PLS merupakan
model yang lebih akurat dibanding kedua metode lainnya. Sementara MARS masih lebih
baik dibanding PCR meskipun pada nilai yang lebih bervariasi, tetapi dari nilai rata-rata,
hasil RMSEP dan MAEP MARS lebih kecil dari PCR, dengan korelasi validasi yang sedikit
lebih besar dibanding PCR. Sehingga untuk pembentukan model, PLS dapat dipilih, karena
selain memiliki model yang lebih akurat, juga bersifat multi respon sehingga
pelaksanaan pembentukan model pada banyak prediktan dapat dilakukan sekaligus, lebih
cepat dibanding PCR ataupun MARS.
PENDAHULUAN
General Circulation Model (GCM) merupakan alat yang sangat penting untuk
mempelajari perubahan iklim dan membuat peramalan iklim untuk masa yang akan datang
(Benestad, 2004). GCM merupakan alat prediksi utama iklim dan cuaca secara
717
numerik dan sebagai sumber informasi primer untuk menilai pengaruh
perubahan iklim (Wigena 2006). GCM mempunyai hubungan fungsional dengan data
yang berasal dari stasiun cuaca (Uvo et al. 2001).
Model iklim GCM mempunyai bentuk luaran grid grid yang berukuran 100-500 km,
menurut garis lintang dan bujurnya. Model ini dapat digunakan untuk menduga perubahan
unsur-unsur cuaca (von Stroch et al. 1993 dalam Sutikno, 2008). GCM mensimulasikan tiap
peubah iklim dengan tingkat akurasi yang berbeda-beda dan hanya menggambarkan
keadaan iklim berskala besar (resolusi rendah), sehingga diperlukan suatu teknik untuk
pengamatan peubah iklim secara lokal.
Secara umum, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan GCM
menjadi informasi skala lokal yaitu Dynamical Downscaling dan Statistical Downscaling.
(Benestad 2004). Statistical Downscaling (SD) merupakan model statistik yang
menggambarkan hubungan antara data pada grid-grid berskala besar (GCM) dengan data
pada grid berskala lebih kecil. Pada SD pola hubungan antara kedua peubah dapat
diasumsikan linier dan nonlinier (Zorita dan Storch 1999).
Teknik SD membutuhkan suatu domain atau peubah iklim skala besar (peubah
penjelas/prediktor : X) yang akan dihubungkan dengan data pada suatu stasiun cuaca atau
peubah lokal (peubah respon/prediktan : Y). Domain berisi peubah-peubah curah hujan dari
data GCM. Bentuk model SD secara umum adalah sebagai berikut : y = f(x) dengan y
merupakan vektor yang berisi peubah iklim lokal dalam jangka waktu t (misal: curah hujan)
dan x merupakan matriks yang berisi gugus peubah luaran GCM (misal: curah hujan).
Salah satu tahapan dalam teknik SD adalah penentuan domain. Domain adalah lokasi
dan luasan area permukaan atmosfir pada GCM yang akan dijadikan sebagai daerah yang
berisi gugus peubah prediktor untuk menduga curah hujan di stasiun lokal. Pemilihan
domain GCM akan menentukan hasil peramalan dan merupakan faktor kritis dalam
pemodelan SD (Wilby & Wigley 2000 dalam Wigena 2006).
Metode Partial Least Square (PLS) merupakan metode statistik yang menggeneralisasi
dan mengkombinasikan antara metode analisis faktor, Principal Component Analysis (PCA)
dan multiple regression (Abdi, 2007). Tujuan dari metode PLS adalah membentuk komponen
yang dapat menangkap informasi dari variabel independen yang digunakan untuk
memprediksi variabel dependen. Model dari metode Partial Least Square (PLS) terdiri dari
hubungan eksternal dan hubungan internal. Hubungan eksternal merupakan hubungan
kelompok X dan Y secara individual. PLS merupakan prosedur regresi yang menghubungkan
suatu set prediktor untuk dikalikan dengan variabel respon. PLS dikembangkan untuk
digunakan pada kondisi data tertentu (prediktor mempunyai korelasi yang tinggi atau
melebihi observasi).
Menurut Maitra dan Yan (2008), PCA sebagai metodologi dimensi reduksi,
diaplikasikan tanpa menganggap adanya korelasi antara variabel bebas dan variabel tak
bebas, sedangkan PLS diaplikasikan berdasarkan korelasi. Maka, PCA disebut sebagai
unsupervised dimension reduction methodology, dan PLS disebut sebagai supervised
dimension reduction methodology. Meskipun demikian, keduanya memiliki persamaan dalam
analisis regresi, yaitu keduanya mempunyai teknik yang digunakan untuk merubah sebuah
set variabel yang berkorelasi tinggi menjadi set dari variabel independen dengan
menggunakan transformasi linier dan teknik yang digunakan keduanya adalah untuk
mereduksi variabel.
718
Metode statistical downscaling merupakan metode yang cepat dan murah untuk
dikerjakan dibanding metode downscaling lain. Tapi permasalahan yang sering muncul pada
teknik SD yaitu menentukan domain (grid) dan pereduksian dimensi, mendapatkan variabel
independen yang mampu menjelaskan keragaman variabel dependen, dan mendapatkan
metode statistik yang sesuai karakteristik data, sehingga bisa menggambarkan hubungan
antara variabel independen dan variabel dependen, serta dapat mengakomodasi kejadian
ekstrim. Penggunaan metode statistik memungkinkan cepatnya diperoleh hasil yang
dimaksud. Tulisan ini bertujuan melakukan pemodelan downscalling untuk memprediksi
curah hujan lokal di wilayah Jawa Tengah dari data curah hujan luaran GCM menggunakan
metode PCR dan PLS dan divalidasi dengan menggunakan data curah hujan 6 stasiun di Jawa
Tengah.
METODOLOGI
Data
Data curah hujan yang digunakan sebagai peubah respon (prediktan) adalah data
curah hujan lokal dari 6 stasiun klimatologi di Jawa Tengah yaitu : Stasiun Sukorejo,
Kebumen, Banjar Negara, Lumbir, Ngadirejo, dan Brebes, merupakan data bulanan dari
tahun 1990-2005. Sebagai peubah penjelas (prediktor) digunakan data curah hujan luaran
GCM dari National Centers for Environmental Predicition and the National Center for
Atmospheric Research (NCEP/NCAR) reanalysis berukuran 2.50 x 2.50 atau sekitar 300 x 300
km, dapat diakses melalui situs http://www.esrl.noaa.gov/psd.
Metode
Model SD disusun menggunakan data curah hujan lokal dan data curah hujan luaran
GCM dari tahun 1990-2003. Reduksi data global GCM dilakukan dengan cropping domain dan
metode statistik PCR dan PLS. Analisis metode PCR dan PLS dilakukan dengan menggunakan
Minitab ver. 15.1.30.0
Cropping domain (grid) dilakukan untuk memilih domain GCM yang akan digunakan
sebagai peubah prediktor. Pereduksian dilakukan terhadap dimensi spasial yaitu lintang dan
bujur atau disebut grid pada semua variabel di setiap level serta pada setiap domain.
Analisis komponen utama dilakukan dengan menggunakan data luaran GCM tahun
1990-2003, lalu digunakan untuk menghitung skor komponen utama (z) dan diambil
kumulatif eigenvalue hingga 90%. Selanjutnya skor komponen (z) yang didapat untuk tahun
1990-2003 digunakan sebagai prediktor pada pemodelan PCR. Dilakukan regresi untuk
melihat keterkaitan antara z dengan curah hujan stasiun. Model yang diperoleh adalah
regresi yang dihasilkan. Untuk memperoleh nilai dugaan model, dilakukan substitusi z data
tahun 2004-2005 pada model yang dihasilkan. Nilai hasil dugaan model kemudian
dibandingkan dengan data curah hujan observasi
PLS yang digunakan pada penelitian ini merupakan regresi satu respon (RKTP satu
respon atau PLSR satu respon). Sebagai prediktan digunakan data curah hujan bulanan dari
tahun 1990-2003 yang diaplikasikan sekaligus dengan prediktor data curah hujan hasil
NCEP-NCAR (1990-2003), dengan memasukkan prediktor data curah hujan hasil NCEP-NCAR
untuk prediksi (2004-2005). Hasil prediksi diperoleh dari nilai PFIT yang diperoleh dari
keluaran. Nilai PFIT merupakan nilai dugaan dari model.
Untuk membandingkan hasil validasi antara PCR dan PLS digunakan tiga metode
statistik, yaitu Root Mean Square Error prediction (RMSEP), Mean Absolute Error Prediction
719
(MAEP) dan korelasi (r) antara data observasi dan data hasil dugaan model, menggunakan
data dua tahun terakhir 2004 dan 2005.
Np
RMSEP y yˆ i N p ,
2
i
i 1
MAEP y i yˆ i / N p .
i 1
Nilai korelasi menunjukkan tingkat keeratan hubungan linier antara dua peubah atau
lebih. Semakin besar nilai koefisien korelasi yang bernilai positif maka semakin kuat
hubungan positif antara nilai dugaan dengan nilai aktual. Hal ini menunjukkan pola dari nilai
dugaan semakin mendekati nilai aktual.
-5
-10
-15
98.75:121.25
720
Gambar 1. Peta domain Jawa tengah
Pemilihan grid 10 x 10 sudah dapat mencangkup seluruh wilayah Jawa Tengah, tepat
berada di atas lokasi target pendugaan, sehingga memberikan hasil yang lebih stabil atau
konsisten dan tidak terlalu sensitif terhadap data pencilan. Ketepatan pemilihan domain,
baik luasan maupun lokasinya, akan menghasilkan pendugaan curah hujan yang lebih akurat.
Principal Component Analysis: x4902; x4903; x4904; x4905; x4906; x4907; x4908;
Eigenvalue 196.97 35.03 8.27 0.94 0.81 0.68 0.35 0.18 0.17
Proportion 0.807 0.144 0.034 0.004 0.003 0.003 0.001 0.001 0.001
Cumulative 0.807 0.951 0.985 0.989 0.992 0.995 0.996 0.997 0.998
150
Eigenvalue
100
50
1 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Component Number
Pada screeplot terlihat bahwa titik belok terdapat pada Komponen Utama (KU) ke-3,
namun di sini hanya digunakan 2 KU saja, karena proporsi keragaman kumulatif telah
mencapai > 90% , dan pada screeplot dapat dilihat bahwa penurunan nilai akar ciri setelah
KU-2 relatif kecil.
Tabel 1 menunjukkan bahwa keeratan hubungan antar grid diperoleh hingga 2 PCA.
Sutikno (2008) menjelaskan bahwa banyaknya komponen utama menunjukkan hubungan
keeratan antar peubah-peubah yang dilakukan reduksi dimensi. Semakin sedikit jumlah
721
komponen yang mempunyai persentase keragaman yang besar menunjukkan antar peubah
yang dilakukan reduksi sangat erat dan sebaliknya.
Umumnya untuk suatu model yang dibangun dengan PCA membutuhkan paling
sedikit 80% kontribusi PCA. Semakin tinggi kontribusi terhadap model, diharapkan error
akan lebih rendah.Prosedur PCA pada dasarnya bertujuan untuk menyederhanakan variabel
yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan
cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas
asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan
principal component. Setelah beberapa komponen hasil PCA yang bebas multikorelinearitas
diperoleh, maka komponen-komponen tersebut menjadi variabel bebas baru yang akan
diregresikan atau dianalisa pengaruhnya terhadap variabel tak bebas (Y) dengan
menggunakan analisis regresi (Soemartini, 2008). Setelah metode PCA dillakukan metode
PCR, keluaran dari model PCR disajikan pada Tabel 2.
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
722
Residual Error 165 3736867 22648
Berdasarkan hasil regresi diperoleh persamaan pada stasiun Sukorejo, y = 282 + 9.97
z1 – 13.6 z2, dengan y mewakili curah hujan lokal sebagai prediktan/peubah respon dan z1
dan z2 yang mewakili GCM sebagai prediktor/peubah penjelas. Tabel 3 menyajikan koefisien
determinasi terkoreksi (R2) dan RMSE dari model PCR.
Tabel 3. Model PCR dengan RMSE dan R2 terkoreksi pada 6 stasiun di Jawa Tengah
Tabel 3 terlihat R2 terkoreksi tertinggi terdapat pada stasiun Sukorejo (53.2%) dan
terendah stasiun Brebes (41.5%). Dapat dijelaskan bahwa untuk Stasiun Brebes hanya
sebanyak 41.5% yang diterangkan oleh data, sedangkan sisanya bisa disebabkan oleh faktor
lain. Tabel 3 terlihat RMSE tertinggi terdapat pada stasiun Ngadirejo (47423) dan terendah
berturut-turut terdapat pada stasiun Sukorejo (22648), Kebumen (22142), dan Brebes
(11994). Hasil analisis dengan PCR dapat dikatakan bahwa stasiun Sukorejo mewakili
stasiun yang R2 terkoreksinya paling tinggi dengan RMSE yang juga cukup rendah.
Hasil analisis of variance (Anova) pemodelan SD dengan metode PLS disajikan pada
Tabel 4.
723
Tabel 4. Sidik ragam (Anova) keluaran PLSR
Hasil analisis dengan metode PLS juga dapat dikatakan bahwa stasiun Sukorejo
mewakili stasiun yang R2 paling tinggi sebesar 65.4% dengan RMSE yang juga cukup
rendah. Dapat disimpulkan bahwa stasiun Sukorejo memiliki prediksi yang paling akurat
dibanding stasiun lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi stasiun atau
kelengkapan data pada stasiun Sukorejo dibanding stasiun lainnya..
Pada contoh model seleksi dan validasi untuk stasiun Sukorejo diperoleh variasi X
dari 0.55 sampai 0.99, sedangkan R2 diperoleh dari 0.41 sampai 0.49 (Tabel 5).
724
Tabel 5. Contoh model seleksi dan validasi untuk stasiun Sukorejo
Hasil validasi pemodelan SD dengan metode PCR dan PLS disajikan pada Tabel 6 dan
nilai minimum, maksimum serta rataan RMSEP, MAEP dan korelasi validasi model
berdasarkan PCR dan PLS disajikan pada Tabel 7.
725
Tabel 6. Hasil RMSEP, MAEP dan korelasi validasi (r) model 6 stasiun di Jawa Timur
Tabel 6 terlihat nilai RMSEP hasil pemodelan dengan metode PLS lebih rendah
dibanding nilai PCR dengan nilai minimum sebesar 93.69, kecuali pada stasiun Sukorejo dan
Kebumen. PLSR rata-rata MAEP juga lebih kecil dibanding PCR pada semua stasiun dengan
nilai minimun sebesar 64.49. Korelasi r validasi juga menunjukkan metode PLS mempunyai
nilai korelasi yang lebih tinggi dibanding PCR pada keseluruhan stasiun, dengan nilai
tertinggi 0.82 dan terendah 0.59. Berdasarkan nilai RMSEP, MAEP, dan korelasi r yang
diperoleh dari validasi kedua model, menunjukkan bahwa metode PLS lebih baik dari PCR
Tabel 7. Nilai minimum, maksimum dan rataan RMSEP, MAEP dan korelasi validasi model
berdasarkan PCR dan PLS
PCR PLSR
Dari Tabel 7 juga terlihat nilai minimum metode PLS yang labih rendah dari metode
PCR, serta nilai korelasi r maksimum yang lebih tinggi dari metode PCR.
726
Gambar 2a. Hasil validasi dan korelasi PCR dan PLS Stasiun Sukorejo dan Kebumen
Gambar 2b. Hasil validasi dan korelasi PCR dan PLS stasiun Banjar Negara dan Lumbir
Gambar 2c. Hasil validasi dan korelasi PCR dan PLS stasiun Sukorejo dan Brebes
727
Tabel 8. Nilai observasi, dugaan dan sisaan stasiun Sukorejo dengan menggunakan PCR
dan PLS
PCR PLSR
Y-observasi
Y-dugaan Sisaan Y-dugaan Sisaan
0 104.1904 -104.19 0 0
Gambar 2a, 2b, dan 2c di atas memperlihatkan pola curah hujan validasi yang hampir
berhimpit antara nilai observasi dengan pola curah hujan yang dihasilkan dari model PCR
728
dan PLS untuk stasiun Sukerejo dan Brebes dibanding stasiun lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa stasiun Sukorejo dan Brebes memberikan hasil validasi yang baik dibanding stasiun
lainnya.
Dari Gambar 2a, 2b, dan 2c juga terlihat PLS memberikan nilai korelasi r yang tinggi
dibanding PCR untuk semua stasiun yang digunakan. Analisis dengan metode PLS lebih cepat
memberikan hasil, karena keseluruhan prediktan maupun prediktor dapat langsung
dimasukkan dalam proses analisis dan hasil keseluruhannya dapat langsung diperoleh.
KESIMPULAN
Hasil uji prediksi curah hujan lokal menggunakan prediktor curah hujan luaran GCM
melalui pemodelan DS dengan metode PCR dan PLS menunjukkan bahwa RMSEPPLSR<
RMSEPPCR, dan MAEPPLSR< MAEPPCR serta dan korelasiPLSR> korelasiPCR. Sehingga dapat
disimpulkan jira dilihat dari kriteria RMSEP, MAEP dan korelasi (r) model yang dibangun
dengan metode PLSR menunjukan hasil yang lebih unggul dibandingkan dengan PCR.
Pemodelan DS dengan metode PLS merupakan model yang akurat digunakan untuk
prediksi curah hujan. Metode PLS selain memiliki model yang lebih akurat, juga bersifat
multi respon sehingga pelaksanaan pembentukan model pada banyak prediktan dapat
dilakukan sekaligus, lebih cepat dibanding PCR. Metode PCR dengan pra-pemrosesan PCA
dapat digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas pada pemodelan SD untuk
peramalan curah hujan bulanan.
DAFTAR PUSTAKA
Haryoko U. 2004. Pendekatan reduksi dimensi luaran GCM untuk penyusunan model
Statistical Downscalling. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Maitra S, Yan J. 2008. Principle Component Analysis and Partial Least Squares: Two Dimension
Reduction Techniques for Regression. Casualty Actuarial Society, 2008 Discussion Paper
Program
Sutikno. 2002. Penggunaan Regresi Splines Adaptif Berganda untuk Peramalan Indeks ENSO
dan Hujan Bulanan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Sutikno. 2008. Statistical downscaling luaran GCM dan pemanfaatannya untuk peramalan
produksi padi. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Wigena AH. 2006. Pemodelan Statistical Downscalling dengan Regresi Projection Pursuit
untuk Peramalan Curah Hujan Bulanan, Kasus Curah Hujan Bulanan di Indramayu.
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
729
Soemartini, 2008. Principal Component Analysis (PCA) Sebagai Salah Satu Metode
UntukMengatasi Masalah Multikolearitas. Jurusan Statistika. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjajaran.
730
TINGGI MUKA AIR TANAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP
TINGKAT PRODUKSI TANAMAN DUKU (Lansium Domesticum
Corr) DI KABUPATEN MUARO JAMBI
Hendri Purnama1dan Desi Hernita2
ABSTRAK
Duku termasuk salah satu tanaman hortikultura dan primadona buah tropis serta
mempunyai nilai komersial yang cukup tinggi. Kabupaten Muaro Jambi khususnya
kecamatan Kumpeh Ulu merupakan penghasil terbesar duku di Propinsi Jambi, dimana
dikenal dengan nama duku Kumpeh, yang mempunyai rasa manis, biji kecil dan daging buah
yang tebal. Lahan pertanaman duku di Kumpeh Ulu adalah di dominasi oleh jenis tanah
Entisol dengan kadar hara yang rendah. Tetapi walaupun kadar hara pertanaman duku ini
relatif sama, tetapi produksi duku di tiap desa tidak sama per pohonnya, sehingga perlu
diketahui faktor yang menyebabkan perbedaan dalam hal produksi tanaman duku ini.
Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Muaro Jambi tepatnya di sentra duku yaitu di
kecamatan Kumpeh Ulu, di desa Arang-arang, Lopak Alai, Pemunduran dan Teluk Raya.
Penelitian dilaksanakan selama 3 Tahun Yaitu dari tahun 2009 sampai tahun 2011. Metode
penelitian yang digunakan yaitu dilapangan menggunakan purposive sampling dengan
mengambil sampel tanaman duku yang berumur sama (30 tahun) sebanyak 20 pohon per
desa, dan selanjutnya di ambil sampel tanah untuk dianalisis serta melakukan pengukuran
tinggi muka air tanah setiap bulan selama tiga tahun di setiap sampel tanaman tersebut, dan
setiap tahun dihitung produksi tanaman sampel. Selanjutnya dilakukan metode analisis data
menggunakan metode statistikuntuk membandingkan antara tingkat produksi dengan
keadaan tinggi muka air tanah dan hara tanah. Dari hasil penelitian diketahui ternyata di
daerah penelitan pH dan kadar hara adalah sama yaitu pH tanah masam, unsur N, P, K dan
bahan organik rendah, yang mempengaruhi produksi tanaman duku secara langsung adalah
tinggi muka air tanah. Produksi optimum pada tanaman duku dicapai yaitu pada ketinggian
muka air tanah 141,73 cm dengan produksi rata-rata 277,50 kg/pohon.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Duku termasuk salah satu tanaman hortikultura dan primadona buah tropis serta
mempunyai nilai komersial yang cukup tinggi. Kabupaten Muaro Jambi khususnya
kecamatan Kumpeh Ulu merupakan penghasil terbesar duku di Propinsi Jambi, dimana
dikenal dengan nama duku Kumpeh, yang mempunyai rasa manis, biji kecil dan daging buah
yang tebal. Namun saat ini petani kurang tertarik untuk menanam duku dibandingkan untuk
penggunaan lain karena masa berbuah duku yang memerlukan waktu yang lama setelah
tanam, kurangnya pengetahuan petani tentang budidaya duku, serta lahan yang ada
semakin terdesak oleh pembangunan pemukiman.
Menurut Sunarjono (2005) salah satu sebab mengapa Indonesia sulit untuk
menghadapi persaingan buah-buahan tropis adalah buah-buahan Indonesia masih dikelola
dalam skala pekarangan dan kurang mendapat perawatan yang seimbang yaitu dari segi
pembibitan, pemeliharaan tanaman, pemupukan dan pengelolaan hama dan penyakit
731
tanaman. Selain itu, areal buah-buahan dan sentra produksinya tersebar dengan areal
pengelolaan yang sempit sehingga produksinya sulit memenuhi permintaan pasar.
Berdasarkan ke tiga faktor tersebut untuk daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh
faktor tanah dan iklim.Lahan pertanaman duku di Kumpeh Ulu adalah di dominasi oleh jenis
tanah Entisol dengan kadar hara yang rendah. Tetapi walaupun kadar hara pertanaman
duku ini relatif sama dan hampir tidak pernah dipupuk tetapi produksi duku di tiap desa
tidak sama per pohonnya, sehingga perlu diketahui faktor yang menyebabkan perbedaan
dalam hal produksi tanaman duku ini sehingga ke depan dapat lebih mendorong masyarakat
untuk lebih bergairah dalam melakukan budidaya tanaman duku.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tinggi muka air tanah dan pengaruhnya
terhadap tingkat produksi tanaman duku.
Manfaat
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah diketahuinya tinggi muka air tanah dan
pengaruhnya terhadap tingkat produksi tanaman duku
METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) peta dan data sekunder (Peta
Administrasi Provinsi Jambi, peta topografi Provinsi Jambi, Peta Tanah, data iklim dan bahan-
bahan literatur dan kepustakaan lain yang menunjang).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan lapang (abney
level, altimeter, pisau, bor tanah, meteran, kompas dan alat-alat pendukung survey di
lapangan)
Pelaksanaan
732
hubungan antara tinggi muka air tanah dengan tingkat produktivitas tanaman duku.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer yaitu data produksi duku dan data tinggi muka air
tanah.Pengamatan dilakukan melalui survey lapang. Setiap lokasi pengamatan mewakili 1 –
5 kebun duku yang mempunyai umur tanaman yang sama, dan dari setiap lokasi
pengamatan ini diambil masing – masing 10 pohon sebagai sampel. Pengambilan sampel
muka air tanah dilakukan dengan membuat lubang bor dengan menggunakan bor tanah
sampai kedalaman 1.5 meter. Kemiringan lereng (persen) setiap lokasi pengamatan diukur
dengan menggunakan abney level.
Analisis Data
Jenis analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear. Sedangkan Penarikan
batas dilakukan berdasarkan dengan Boundary Line Method.Penetapan batasan untuk
selang kelas menggunakan pendekatan produktivitas tanaman. Batasan kelas yang
digunakan mengacu dan mengadopsi pada metoda DRIS dimana menurut Jones et al. (1991),
untuk menormalisasi sebaran kurva, komponen produktivitas dibagi menjadi produktivitas
tinggi dan rendah. Untuk produktivitas tinggi ditetapkan paling sedikit 10 % dari
keseluruhan populasi sehingga produktivitas tinggi terdistribusi secara normal.Dalam
penelitian ini diperoleh batas produktivitas tinggi yaitu > 330 kg/pohon. Sedangkan batas
nilai produktivitas rendah pada penelitian ini mengacu pada nilai produksi pada ambang
batas ekonomis pengusahaan (break even point – BEP) yang dihitung berdasarkan
data rata-rata selama 35 tahun, yang mengacu pada hasil penelitian Anto ny (2010)
pada tanaman duku di kabupaten Muaro Jambi dimana batas terendah diperoleh
pada nilai 263,02 kg/pohon.
Dari hasil penelitian telah didapatkan data tinggi muka air tanah dan data unsur hara
makro untuk daerah penelitian, keadaan lahan duku di kabupaten Muaro Jambi merupakan
tanaman yang diambil hasilnya setahun sekali, dan umumnya petani tidak melakukan
pemupukan, untuk itu data analisis tanah yang diambil adalah pada awal dilakukan
penelitian yaitu keadaan lahan duku milik petani yang tidak dilakukan pemupukan ini, hasil
analisa tanah di daerah penelitian dapat dilihat pada tabel 1.
733
Tabel 1. Rata-rata Hasil Analisa Tanah di daerah penelitian*
Teluk Raya 4.5 (M) 0.08 (SR) 3.7 (SR) 0.05 (SR) 0.7 (SR)
Pemunduran 4.6 (M) 0.07 (SR) 4.4 (SR) 0.06 (SR) 0.9 (SR)
Arang-arang 4.7 (M) 0.05 (SR) 5.3 (R) 0.05 (SR) 1.0 (SR)
Lopak Alai 4.5 (M) 0.05 (SR) 4.3 (SR) 0.09 (SR) 0.8 (SR)
Hasil analisis tanah menunjukkan keadaan lahan di daerah penelitian unsur haranya
relatif sama yaitu sangat rendah, hal ini karena memang lahan tidak pernah atau sangat
jarang dipupuk oleh petani, hanya ada perlakuan yaitu dibersihkan dari semak dan alang-
alang hanya setahun sekali ketika akan panen. Menurut Stefanelli et al.2010, Marzouk &
Kassem, 2011, pemupukan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan hasil,
kualits dan kandungan hara pada tanaman hortikultura.Dari hasil analisis ini juga dapat
diketahui bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi tingkat produksi duku di daerah
penelitian.
Mengingat daerah penelitian ini merupakan daerah Aliran Sungai, maka faktor tinggi
muka air tanah akan mempengaruhi produksi tanaman. Tinggi muka air tanah selain
dipengaruhi oleh pasang surut air baik air sungai maupun air laut juga sangat dipengaruhi
oleh faktor curah hujan di wilayah tersebut.Karakteristik lahan duku yang terkait dengan
ketersediaan air diantaranya adalah curah hujan,jumlah bulan kering dan bulan basah
(Purnama, 2011).
Beberapa data iklim telahdikumpulkan untuk mengetahui kondisi curah hujan dan
dan iklim di wilayah Kabupaten Muaro Jambi.Data iklim diperoleh merupakan pencatatan
dari tahun 2001 – 2011.Iklim di sebagian besar wilayah Kabupaten Muaro Jambi
berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman merupakan tipe iklim B2 dengan curah hujan rata-
rata sebesar 2.411 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata 14 hari. Sebaran hujan rata-
rata di Kabupaten Muaro Jambi disajikan pada Gambar 1.
265,7 259,7
245,0
216,7 227,9 226,4
180,4 173,8 162,9 150,7 164,3
137,9
734
Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa rata-rata curah hujan di Kabupaten Muaro
Jambi berkisar antara 137,9 (juni) sampai dengan 265,7 mm (April). Secara umum terlihat
tidak adanya perbedaan yang berarti antara curah hujan pada musim kemarau maupun di
musim hujan. Hal ini sangat berkaitan dengan data tinggi muka air tanah di daerah penelitian
yang tidak terlalu berbeda jauh antara bulan januari – desember.
Hubungan antara produksi dan tinggi muka air tanah di daerah penelitian disajikan
pada gambar 2 berikut :
Gambar 2. Hubungan antara Produksi Tanaman dan Tinggi Muka Air Tanah pada Tanaman
Duku (data Diolah)
Kelas produksi tanaman dan hubungannya dengan tinggi muka air tanah diperoleh
dari proyeksi perpotongan garis batas terluar dengan sekat produksi, Persamaan garis
batas terluar dari data-data hubungan antara produksi
duku dengan tinggi muka air tanah mempunyai pola polynomial (pada suatu batas
tertentu akan mencapai ketinggian maksimum dan selanjutnya akan menurun),
yaitu dengan persamaan matematiknya: y = -0.2049x2 + 55.36x - 3259.7.
Menurut Hernita, et al, 2012 Tanaman duku mempunyai perakaran yang dalam, hasil
survey di lapangan ditemukan bahwa semakin tua umur duku maka semakin banyak akar yang
muncul ke permukaan. Untuk tinggi muka air tanah yang lebih dari 150 cm dari permukaan
tanah, produksi tanaman duku tidak optimal lagi dan mulai menurun, hal ini karena
kemampuan akar tanaman duku untuk menyerap air sudah berkurang karena akar tidak
735
mampu untuk menyerap air tanah yang sudah semakin jauh di bawah permukaan tanah
tersebut.
Hasil penelitian Purnama (2011) kedalaman tanah dan kelas tekstur tanah merupakan
karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap kualitas daerah perakaran tanaman.
Setiap tanamanmemerlukan kedalaman tanah yang cukup dan kelas tekstur yang
sesuai agar perakarannya dapat berkembang dengan baik. Tanah yang terlalu tipis
atau mempunyai kandungan pasir/liat terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan
perakaran tanaman dan pada akhirnya berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan
dan produktivitas tanaman.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tinggi muka air tanah di daerah
penelitian berkisar dari 90 – 150 cm dari permukaan tanah, adapun pengaruh tinggi muka
air tanah ini terhadap produksi tanaman duku dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas
yaitu:
DAFTAR PUSTAKA
736
2002, Thailand.
Purnama, H. 2011. Hubungan Karakteristik Lahan dengan Produktivitas Duku (lansium
domesticum Corr) di Provinsi Jambi. [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Stefanelli, D, Goodwin, I. & Jones, R. 2010. Minimal Nitrogen and water use in horticulture
effects on qualitu and content of selected nutrients. Food Res Int, Vol 43, pp. 1833-
1843
Sunarjono HH. 2005. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Penebar Swadaya Jakarta.
Verheij EWM, dan CoronelRE. 1997. Prosea. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2, Buah-
Buahan yang Dapat Dimakan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Bekerja Sama
dengan Prosea Indonesia dan European Commision. Jakarta.
Walworth JL, Letzsh WS, and Sumner ME. 1986. Use boundary lines in
establishing diagnostic norms. Soil Sci Soc. Am. J. 50: 123-128
Widyastuti YE. dan Kristiawati R. 2000. Duku Jenis dan Budidaya. Penebar Swadaya. Jakarta.
737
EVALUASI KUALITAS AIR IRIGASI PADA BUDIDAYA PADI IP
400 DI KABUPATEN SIMALUNGUN
ABSTRAK
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman
padi guna memenuhi swasembada pangan adalah dengan meningkatkan indeks pertanaman
padi. IP padi 400 diartikan dengan menanam dan memanen padi empat (4) kali setahun.
Penanaman yang intensif dibarengi dengan pemupukan yang intensif akan mempengaruhi
kualitas air di lahan sawah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas air pada
budidaya padi IP 400 di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara yang dilaksanakan
pada bulan Januari sampai Desember 2012 di Desa Purbaganda Kecamatan Pematang Bandar
Kabupaten Simalungun. Dari hasil analisis terhadap sifat kimia air irigasi diketahui bahwa pH
air mengalami penurunan selama empat musim tanam, daya hantar listrik mengalami
peningkatan pada MT II, dan stabil kembali pada MT III dan IV, N-total air menurun pada MT
II, kemudian meningkat pada MT III, dan kembali stabil pada MT IV, namun secara umum
relatif stabil, P-air secara umum mengalami peningkatan, K air relatif stabil, dan Fe air
berfluktuasi selama empat musim tanam. Dari nilai F hitung secara umum memperlihatkan
bahwa perlakuan pengairan dan pemupukan serta interaksi pengairan dan pemupukan
terhadap kualitas air tidak berbeda nyata selama emapat musim tanam. Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa budidaya padi intensif selama empat musim tanam (IP 400) tidak
menurunkan kualitas air irigasi sehingga tetap aman untuk dimanfaatkan sebagai sumber air
pada budidaya padi selanjutnya.
Kata Kunci : Kualitas Air, IP 400, Simalungun
PENDAHULUAN
IP Padi 400 artinya petani dapat menanam dan memanen padi sebanyak empat kali
secara rotasi dalam satu tahun, secara terus menerus pada hamparan lahan yang sama
dengan konsekuensi penerapan penggunaan bibit padi berumur genjah dan variatif
(komposisi penggunaan bibit unggul padi berumur genjah). Jadi Indeks Pertanaman padi
menuju 400 atau IP Padi 400 tidak hanya merupakan jumlah frekuensi pertanaman padi
dalam satu hamparan atau lahan dalam satu tahun namun merupakan salah satu terobosan
baru dengan memadukan seluruh komponen teknologi sehingga peningkatan intensitas
tanam dapat dilaksanakan.
Rekayasa Teknologi untuk peningkatan produksi padi dengan penerapan IP Padi
400 yaitu pemanfaatan sumberdaya lahan dan sumberdaya teknologi. Rekayasa teknologi
pada IP Padi 400 dengan menggunakan varietas unggul yang berumur sangat genjah (ultra
genjah) yaitu berumur 90-104 hari mampu berproduksi tinggi, teknologi hemat air dengan
pengairan berselang (intermittent), tanam benih langsung, persemaian dapog atau culikan,
serta pengembangan sistem monitoring dini (sebelum tanam, saat ada padi di pertanaman,
dan sesudah panen).
738
Pada sistem pertanian intensif tanaman padi, pemberian pupuk sebagai penambah
unsur hara yang ada dalam tanah merupakan keharusan agar tanaman dapat mencukupi
kebutuhannya. Perkembangan perhatian terhadap keberlanjutan usaha tani
(sustainabilitas), kebutuhan akan pemupukan menjadi bertambah agar unsur-unsur hara
yang ada di dalam tanah tidak terkuras habis. Sementara itu, pemupukan yang dilakukan
secara terus menerus akan memberikan pengaruh terhadap kualitas lahan dan air irigasi di
lahan sawah.
Pada budidaya padi sawah, ketersediaan air merupakan persyaratan utama. Sumber
air irigasi harus memenuhi syarat kualitas agar tidak berbahaya bagi tanaman yang akan
diairi, karena dalam jangka panjang dapat berpengaruh terhadap kualitas hasil atau produk
pertanian. Schwab dan Flevert, 1981 mensyaratkan kualitas air irigasi sangat tergantung
dari kandungan sedimen atau lumpur dan kandungan unsur-unsur kimia dalam air tersebut.
Sedimen atau lumpur dalam air pengairan berpengaruh terhadap tekstur tanah, terutama
pada penampang tanah akibat pori-pori tanah terisi atau tersumbat sedimen tersebut, dan
menurunkan kesuburan tanah. Sedimen atau lumpur yang mengendap di dalam saluran
irigasi akan mengurangi kapasitas pengaliran air dan memerlukan biaya tinggi untuk
pembersihannya.
Sifat-sifat kimia air pengairan berpengaruh terhadap kesesuaian air untuk berbagai
penggunaan, sehingga aman untuk setiap pemakaian. Sifat-sifat kimia pengairan yang sangat
penting diketahui dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian diantaranya adalah (1)
konsentrasi garam total yang terlarut; (2) proporsi garam (Na) terhadap kation lainnya
(sodium adsorption ratio =SAR); (3) konsentrasi unsur-unsur racun potensial yang dapat
mencemari atau merusak tanah; dan (d) konsentrasi bikarbonat, yang berkaitan erat dengan
Ca dan Mg. Bila sifat-sifat kimia air tersebut melebihi konsentrasi yang diizinkan,
pertumbuhan tanaman akan terhambat dan akan mengalami penurunan hasil (Subagyono et
al., 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas air irigasi pada budidaya padi
IP 400 di Kabupaten Simalungun. Pada penelitian ini standart kualitas air yang digunakan
sebagai acuan baik atau tidaknya kualitas air dan tidak membahayakan lingkungan mengacu
pada Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tanggal 14 Desember 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran air.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Desember 2012 di Desa
Purbaganda, Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten Simalungun. Data yang dikumpulkan
meliputi data biofisik dan sosial ekonomi masyarakat, dilakukan dengan cara pengamatan
langsung maupun studi pustaka, pengumpulan laporan dan data pengukuran lembaga
penelitian. Sumber data berasal dari responden yang terpilih untuk diwawancarai secara
mendalam untuk memperoleh data dan informasi status sosial ekonomi. Data biofisik
diperoleh dengan cara observasi, percobaan dan pengukuran secara insitu, data dari
laboratotium terutama data hasil pengolahan bahan atau sampel lapangan diolah atau
proses di laboratorium.
739
awal menunjukkan kualitas air tergolong dalam kelas III yaitu air yang peruntukannya dapat
digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut dan tergolong aman untuk budidaya tanaman padi (kegiatan pertanian)
berdasarkan Peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001 tanggal 14 Desember 2001, tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Tabel 1. Sifat kimia air awal di Desa Purbaganda, Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten
Simalungun
No. Jenis Analisis Nilai Satuan Metode
1 Suhu 31,8 0C Pemuaian
2 TDS 76,8 mg/lt Gravimetric
3 TSS 55 mg/lt Grafimetric
4 pH 7,0 mg/lt Potensiometric
5 BOD 6,9 mg/lt Potensiometric
6 COD 12 mg/lt Potensiometric
7 DO 6,8 mg/lt Potensiometric
8 EC 71,48 µs/m Potensiometric
9 N (Total) 1,2 mg / lt JIS K0102-45.2
10 P 0,42 mg / lt Spectrophotometric
11 K 1,5 mg / lt Atomisasi
12 Ca 0,015 mg/lt Spectrophotometric
13 Mg 0,14 mg/lt Titrimetric
14 Fe 0,19 mg/lt Spectrophotometric
15 NO3-N 0,9 mg/lt Spectrophotometric
mg/lt Titrimetric:pemben tukan
16 NH3-N 0,40 azo dye
17 Chlorin 1,45 mg / lt Titrimetric
18 Sianida (CN) 0,001 mg / lt Spectrophotometric
19 Fluorida 0,69 mg / lt Titrimetric
20 Nitrit sbg N 0,002 mg / lt Spectrophotometric
21 Sulfat (SO4) 2,0 mg / lt Spectrophotometric
22 CL2 0,01 mg / lt Spectrophotometric
23 Belerang sebagai H2S 0,004 mg/lt Spectrophotometric
Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Air, 2011
pH
Sifat-sifat kimia air pengairan berpengaruh terhadap kesesuaian air untuk
berbagai penggunaan. Sifat-sifat kimia pengairan sangat penting diketahui dalam
kaitannya dengan kegiatan pertanian. Bila sifat-sifat kimia air tersebut melebihi
konsentrasi yang diizinkan, pertumbuhan tanaman akan terhambat dan akan mengalami
penurunan hasil (Subagyono et al., 2005).
Hasil analisis sifat kimia air awal menunjukkan nilai pH air 7 yang tergolong dalam
kriteria baik untuk pertanian. Nilai pH pada MT I, MT II, MT III, dan MT IV berkisar 6–7 yang
juga masih tergolong baik untuk pertanian. Penanaman padi selama empat musim tanam
terjadi penurunan pH air (Gambar 1). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena
pemupukan yang intensif, terutama pemupukan N dengan menggunakan urea. Menurut
740
Setyanto, 2004, pemberian Urea (CO(NH2)2 akan menghasilkan Amonium (NH4+) yang
diserap oleh tanaman padi akan diseimbangkan dengan pelepasan H +, sehingga
menyebabkan pH air menurun.
7.20 A1B1
A1B2
A1B3
7.00 A1B4
A1B5
6.80 A1B6
A1B7
A1B8
pH
6.60 A2B1
A2B2
A2B3
6.40 A2B4
A2B5
6.20
6.00
GS1 GS2 GS3 GS4
Musim Tanam
Gambar 1. Grafik pH Air selama empat musim tanam
741
A1B1
135.00 A1B2
A1B3
125.00 A1B4
A1B5
A1B6
115.00
A1B7
Ec (µs/m)
A1B8
105.00 A2B1
A2B2
95.00 A2B3
A2B4
85.00 A2B5
A2B6
75.00 A2B7
A2B8
65.00
MT1 MT2 MT3 MT4
Musim Tanam
Gambar 2. Grafik EC Air selama empat musim tanam
N-total
Kandungan N-total air cenderung menurun pada MT II dan meningkat kembali pada
MT III, kemudian stabil pada MT IV (Gambar 3). Secara umum kandungan N-total air adalah
cenderung stabil. Hal ini terjadi karena kandungan N yang terlarut di dalam air telah diserap
tanaman dan sebagian menguap menjadi amoniak.
P-air
Fluktuasi kandungan P-air meningkat pada MT II, kemudian menurun pada MT III,
dan mengalami peningkatan pada MT IV (Gambar 4). Secara umum rata-rata kandungan P-
air selama empat musim tanam mengalami sedikit peningkatan. Hal ini terjadi karena analisa
P-air merupakan analisa P-total air, terjadinya peningkatan karena meningkatnya P yang
terikat dengan Fe. Berbanding tebalik dengan P-tersedia tanah yang semakin menurun
disebabkan oleh meningkatnya P yang terikat dengan Fe.
742
A1B1
7.00 A1B2
A1B3
6.00 A1B4
A1B5
A1B6
5.00 A1B7
N Total (%)
A1B8
4.00 A2B1
A2B2
A2B3
3.00 A2B4
A2B5
2.00 A2B6
A2B7
A2B8
1.00
0.00
GS1 GS2 GS3 GS4
Musim Tanam
Gambar 3. Grafik N-total air selama empat musim tanam
A1B1
2.00 A1B2
A1B3
1.80 A1B4
1.60 A1B5
A1B6
P-tersedia (mg.l-1)
1.40 A1B7
1.20 A1B8
A2B1
1.00 A2B2
A2B3
0.80 A2B4
0.60 A2B5
A2B6
0.40 A2B7
0.20 A2B8
0.00
MT1 MT2 MT3 MT4
Musim Tanam
Gambar 4. Grafik P-Air selama empat musim tanam
K-air
Secara umum rata-rata kandungan K-air selama empat musim tanam cenderung
stabil. Kandungan K-air pada intermittent lebih tinggi daripada pengairan yang tergenang.
Kandungan K-air yang tertinggi terjadi pada perlakuan A2B3 yakni pemupukan 112,5 N+27
P2O5+30 K2O + probiotik dan pengairan intermittent, sedangkan yang terendah terdapat
pada perlakuan A2B7 yakni pemupukan analisis lab (70% dosis) + probiotik dengan
penggenangan (Gambar 5). Hal ini terjadi karena kandungan K-air yang tergenang akan ikut
tercuci, sedangkan pada intermittent kandungan K lebih lama bertahan.
743
A1B
1
3.00 A1B
2
A1B
2.50 3
A1B
4
A1B
2.00
K (mg.l-1)
5
A1B
6
A1B
1.50
7
A1B
8
1.00 A2B
1
0.50
MT1 MT2 MT3 MT4
Musim Tanam
Gambar 5. Grafik K- Air selama empat musim tanam
Fe
Kandungan Fe berfluktuasi untuk setiap musim tanam. Kandungan Fe masih
termasuk dalam interval toleransi untuk tanaman padi. Secara umum kandungan Fe pada
pengairan intermittent mengalami penurunan terjadi pada perlakuan A2B3, A2B5 (Gambar
6).Pengaturan kondisi sawah dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian akan
mencegahnya timbulnya keracunan besi (Fe) dan disisi lain serapan hara P, K, Ca, dan Mg
tanaman meningkat. Besi merupakan salah satu unsur yang mengalami perubahan pada
kondisi tergenang yaitu dapat mengalami reduksi dari Fe3+ menjadi Fe2+. Dari aspek
ketersediaan hara perubahan ini menguntungkan bagi tanaman, karena besi lebih tersedia
dan dapat diserap oleh tanaman yaitu dalam bentuk fero (Fe 2+), namun apabila reduksi
berlebih maka besi tersebut dapat larut melebihi dari kebutuhan tanaman, sehingga
mengakibatkan keracunan tanaman (Kasno et al., 1987).
0.60
A1B1
A1B2
0.50 A1B3
A1B4
A1B5
0.40 A1B6
A1B7
A1B8
Fe (mg.l-1)
0.30 A2B1
A2B2
A2B3
0.20 A2B4
A2B5
A2B6
0.10 A2B7
A2B8
0.00
GS1 GS2 GS3 GS4
Musim Tanam
Gambar 6.Grafik kandungan Fe air selama empat musim tanam
744
Nilai F Hitung Kualitas air
Nilai F hitung secara umum memperlihatkan perlakuan pengairan dan pemupukan
serta interaksi pengairan dan pemupukan terhadap kualitas air tidak berbeda nyata selama
empat musim tanam, kecuali kandungan N-total dan P air. Hal ini menunjukkan bahwa
budidaya padi intensif dengan empat musim tanam tidak menurunkan kualitas air.
Abas et al. (1985) melaporkan bahwa efisiensi penggunaan air pada lahan yang
diirigasi secara macak-macak hampir 2-3 kali lebih tinggi dibanding dengan lahan yang
digenangi terus-menerus. Setiobudi (2001; 2010), bahwa dengan irigasi macak-macak dari
sejak tanam sampai 7 hari menjelang panen pada musim kemarau maupun musim hujan
dapat menghemat penggunaan air 40% dibanding dengan penggunaan secara kontinu,
pengairan dengan metode alternasi basah kering atau intermittent dengan menggunakan
paralon dinding berlubang merupakan langkah operasional yang strategis dalam
meningkatkan efisiensi penggunaan air pada pertanaman padi sawah di tingkat tertier.
Metode ini sangat efektif dalam penerapan IP padi 400. Pengairan dengan metode alternasi
basah kering mampu menghemat air 1.000-3000 m3/ha/musim dan secara konsisten
meningkatkan efisiensi produksi, baik pada musim kemarau dan musim hujan.
Ghosh (2003) juga menyatakan bahwa sistem penggenangan juga berpengaruh
terhadap effisiensi penggunaan air. Genangan dalam (10-15 cm) seperti yang dilakukan
petani pada umumnya dapat menyebabkan tingginya kehilangan air lewat perkolasi sebesar
12.612,8 cu.m ha-1 yang di dalamnya juga terdapat unsur yang bersifat mobile, sehingga
tingkat kehilangan hara juga menjadi tinggi dan hasil yang diperoleh sebesar 7,8 t ha -1.
Penurunan genangan menjadi 5-7 cm selain dapat menurunkan tingkat kebutuhan air irigasi
sebesar 8.918,4 cu.m ha-1 dan juga dapat meningkatkan hasil tanaman hingga 10,5 t ha-1.
Tabel 2. Nilai F hitung parameter kualitas air selama empat musim tanam
Musim Tanam I Musim Tanam II
Parameter
A B AxB A B AxB
Ph 2.44 tn 11.11 ** 1.58 tn 0.39 tn 1.41 tn 0.53 tn
Ca 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn
745
Teknik irigasi dengan sistem rotasi dapat menghemat penggunaan air 20-30% tanpa
menyebabkan terjadinya penurunan hasil serta mendukung lebih baiknya pertumbuhan
tanaman dan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan penggunaan tenaga kerja
(Bhuiyan, 1980). Hasil penelitian yang dilakukan di Nueva Ecija, Filipina juga menunjukkan
bahwa pemberian air dengan sistem rotasi tidak menyebabkan terjadinya penurunan hasil,
bahkan nampak adanya kecenderungan peningkatan hasil panen.
Dengan penerapan irigasi berselang hasil padi meningkat hampir 7% dibanding
dengan hasil pada lahan yang terus-menerus digenangi, sementara hasil padi dengan irigasi
bergilir meningkat 2%. Lebih jauh Krishnasamy et al. (2003) melaporkan bahwa
produktivitas lahan pada sistem irigasi berselang lebih tinggi 6,73% dibanding
penggenangan.
KESIMPULAN
1. Perlakuan pengairan dan pemupukan serta interaksi pengairan dan pemupukan terhadap
kualitas air tidak berbeda nyata selama empat musim tanam, kecuali kandungan N-total
dan P air.
2. Budidaya padi intensif selama empat musim tanam tidak menurunkan kualitas air irigasi.
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.I. dan A. Abdurrahman. 1985. Pengaruh Pengelolaan Air dan Pengelolaan Tanah
Terhadap Efisiensi Penggunaan Air Padi Sawah di Cihea, Jawa Barat. Pemberitaan.
Penelitian. Tanah dan Pupuk 4:1-6.
Bhuiyan, S.I. 1980. Water Allocation, Distribution, and Use Criteria For Irrigation System
Design and Management: Selected Research Findings. P. 139-157. In IRRI (1980)
Report of a Planning Workshop on Irrigation Water Management. International Rice
Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines.
Ghosh, K. 2003. Overflow Irrigation In Bengal: Lessons from The Past.pp 172-178. In Takara
and Kojima (Eds). Proceeding of The 1 st International Conference on Hydrology and
Water Resources in Asia Pasific Region. Volume 1. Pa-lu-lu Plaza. Kyoto. Japan, 13-15
March 2003.
746
Kasno, A., Sulaeman dan Mulyadi, 1999. Pengaruh Pemupukan dan Pengairan Terhadap Eh,
pH, Ketersediaan P dan Fe Serta Hasil Padi pada Tanah Sawah Bukaan Baru. J. Tanah
dan Iklim:17: 72-81 dan Zaini, Z., Burbey, N. Jalid, dan A. Kaher. 1987. Teknologi
Pengendalian Keracunan Besi Pada Sawah Bukaan Baru. Dalam Risalah Ahli
Teknologi. Balittan Sukarami 14-15 September 1987. Hal 16-21.
Krishnasamy, S., F.P. Amerasinghe, R. Sakthivadivel, G.Ravi, S.C. Tewari, dan W. Van Der
Hoek. 2003. Strategies for Conserving Water and Effecting Mosquito Vector Control
in Rice Ecosystems. International Water Management Intitute (IWMI). Working
Paper 56.21 Pp.
Kurnia, U., D. Erfandi., S. Sutono, dan H. Kusnadi. 2003. Penelitian Rehabilitasi dan Reklamasi
Tanah Sawah Tercemar Limbah Industri Tekstil di Kabupaten Bandung. Bagian
Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah dan Proyek Pengkajian Teknologi Partisipatif
(PAATP). Balai Penelitian Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
37. Hal.
Ramadhi. 2002. Idntifikasi Pencemaran Lahan Sawah Akibat Limbah Industri Tekstil (Studi
Kasus di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung). Laporan. Program Analisis
Lingkungan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB.
Schwab, G.O., dan R.K. Flevert, 1981. Soil and Water Conservation Engineering. Willaey.
New York. US.
Setiobudi, D. 2001. Strategi Peningkatan Efisiensi Pendistribusian Air Irigasi dalam Sistem
Produksi Padi Sawah Berkelanjutan. P. 116-128 dalam Prosiding Lokakarya Padi,
Implementasi Kebijakan Strategis untuk Peningkatan Produksi Padi Berwawasan
Agribisnis dan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Bogor.
--------- 2010. Optimalisasi Penggunaan Air pada Tanaman Padi Sawah Mendukung
Implementasi IP Padi 400. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan, Buku 1.
Puslitbang Tanaman Pangan Bogor.
Subagyono, K., U. Haryati, Dan S.H. Tala’ohu. 2005. Teknologi Konservasi Air pada Pertanian
di Lahan Kering. Diusulkan Sebagai Salah Satu Bab dalam Buku Konservasi Tanah
dan Air.
747
Potensi Tandan Kosong Kelapa Sawit sebagai Pupuk Organik
dengan Berbagai Dekomposer
ABSTRAK
Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan limbah padat yang
jumlahnya cukup besar, namun pemanfaatannya masih terbatas. Pengolahan TKKS menjadi
pupuk organik menjadi salah satu alternatif pemanfaatan limbah TKKS yang menumpuk dan
secara ekonomis sebagai suplai unsur hara organik bagi tanaman. Lamanya waktu yang
dibutuhkan pada proses pengomposan TKKS akan menimbulkan permasalahan, sehingga
dibutuhkan strategi untuk mempercepat proses biodekomposisi bahan organik yaitu dengan
memanfaatkan aktivator/dekomposer. Pengkajian ini dilaksanakan di areal petani plasma di
Desa Muara Delang Kecamatan Tabir Selatan Kabupaten Merangin dari bulan Januari-Desember
2011. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan, terdiri
dari: kontrol, jenis dekomposer orlitani, dekomposer M-Dec, dekomposer Promi dan
dekomposer Stardec. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa jenis dekomposer berpengaruh
nyata terhadap rasio C dan N, serta berpengaruh tidak nyata terhadap rendemen pupuk
organik dan kandungan hara P, K, Ca dan Mg. Hasil Uji Duncan menyatakan bahwa
perlakuan kontrol dengan jenis dekomposer orlitani, promi dan stardec berbeda tidak nyata
tetapi berbeda nyata dengan jenis dekomposer M-Dec. Hal ini menunjukkan bahwa jenis
dekomposer M-Dec belum mampu menurunkan rasio C/N dalam masa dekomposisi selama
3 bulan.Hasil analisis sidik ragam rendemen TKKS menunjukkan bahwa pengaruh jenis
dekomposer ini berbeda tidak nyata.Hasil uji lanjutan Duncan, bahwa jenis dekomposer
orlitani, promi dan kontrol berbeda tidak nyata tetapi ketiganya berbeda nyata dengan jenis
dekomposer stardec dan M-dec. Bahan organik hasil dekomposisi dengan menggunakan M-
Dec memiliki kandungan C-organik yang tertinggi (32,81%). Kualitas pupuk organik asal
TKKS ini digambarkan dengan kandunganhara makro tersedia yaitu 1,08% N-total, 1,32 ppm
P-tersedia, 75,07 ppm K-tersedia, 731,26 ppm Ca-tersedia dan 61,64 ppm Mg-tersedia.
PENDAHULUAN
Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit Indonesia dalam periode 10 tahun terakhir
ini lebih berkualitas dari sebelumnya (Sipayung, 2012). Hal ini ditunjukkan oleh
pertambahan luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 367 ribu hektar tiap
tahunnya selama periode 2000-2010. Selain itu, peran perkebunan kelapa sawit rakyat
makin besar. Pangsa kelapa sawit rakyat meningkat dari 28% menjadi 42,4% dari tahun
2000 sampai 2010. Perkebunan kelapa sawit mampu menumbuhkan pusat pertumbuhan
ekonomi baru di kawasan perdesaan. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi yaitu
484.137 ha terdiri dari perkebunan negara, perkebunan swasta dan perkebunan rakyat,
dengan jumlah petani sekitar 168.053 rumah tangga (BPS, 2009).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan adanya pertumbuhan luas lahan kelapa sawit
ini, maka terjadi kenaikan produksi TBS (Tandan Buah Segar) dan CPO (Crude Palm Oil )
yang menyebabkan tingginya potensi pengembangan industri hilir kelapa sawit. Di sisi lain,
748
juga menyebabkan semakin tingginya potensi limbah sawit yang belum termanfaatkan
menjadi komoditas yang mempunyai nilai ekonomis.
Jenis limbah kelapa sawit pada generasi pertama adalah limbah padat yang terdiri
dari tandan kosong, pelepah, cangkang dan lain-lain. Potensi limbah tersebut mempunyai
nilai ekonomi yang tidak sedikit, salah satunya adalah dapat dimanfaatkan sebagai unsur
hara yang mampu menggantikan pupuk buatan. Limbah TKKS merupakan limbah padat yang
jumlahnya cukup besar, yaitu sekitar 6 juta ton, namun pemanfaatannya masih terbatas.
Limbah tersebut selama ini dibakar dan sebagian ditebarkan di lapangan sebagai mulsa
(Ditjen PPHP, 2006).
Saat ini TKKS berpotensi sebagai pupuk kompos, pulp dan kertas, karbon dan media
tumbuh. Selama ini tankos dibiarkan melapuk di lahan kebun sawit. Hal ini sebenarnya
mengganggu pertumbuhan sawit yang akan ditanam selanjutnya karena tankos
membutuhkan waktu yang lama untuk terurai, kemungkinan bisa sampai 6 bulan jika tanpa
bantuan dekomposer. (Lasmayadi, 2008). Hal tersebut disebabkan TKKS merupakan bahan
organik yang sulit terdekomposisi karena strukturnya yang keras dan ukurannya yang besar
serta kandungan lignin 17,1 % (Baharuddin et al., 2009). Lignin merupakan polimer
struktural fenilpropan pada tanaman vascular yang membuat kekakuan tanaman dan
mengikat serat dinding sel bersama-sama, berfungsi menurunkan permeasi air melintasi
dinding jaringan xilem dan membuat kayu resisten terhadap serangan mikoba. Lignin
berikatan dengan hemiselulosa dan selulosa membentuk segel fisik di antara keduanya, yang
merupakan barier yang mencegah penetrasi larutan dan enzim (Howard et al,2013). Lignin
merupakan penghalang akses enzim selulolitik pada degradasi bahan berlignoselulose
sehingga menghambat proses dekomposisi, sehingga sering menyebabkan penumpukan
bahan organik. Sisa tanaman yang mengandung lignin lebih banyak akan mengalami proses
dekomposisi lebih lambat dibanding tanaman yang mengandung lignin lebih sedikit.
(Saraswati, 2011), sehingga TKKS membutuhkan waktu sangat lama untuk menjadi pupuk
organik,
Lamanya waktu yang dibutuhkan pada proses pengomposan TKKS akan
menimbulkan permasalahan, karena semakin lama proses pengomposan berlangsung maka
semakin luas area yang dibutuhkan untuk pengomposan, biaya yang dikeluarkan untuk
pengomposan TKKS juga akan semakin besar. Untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut,dibutuhkan suatu teknik pengomposan yang tepat agar proses pengomposan dapat
berjalan dengan optimal (Arafotullah, 2011). Strategi untuk mempercepat proses
biodekomposisi bahan organik dilakukan dengan memanfaatkan aktivator. Aktivator adalah
mikroba dekomposer yang berperan sebagai katalisator untuk mempercepat proses
pengomposan dan membuat hasil pengomposan menjadi sempurna dengan mutu yang baik,
karena mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. (Widawati, 2005).
Penggunaan dekomposer tersebut dapat mempercepat proses pengomposan dari 4 – 6
bulan menjadi 3 – 4 minggu. Ada beberapa aktivator kompos yang mengandung berbagai
mikroorganisme dekomposer di pasaran. Balai Besar Sumber Daya Lahan dan Balai Besar
Bioteknologi dan Genetika Pertanian juga telah melepas produk mikroorganisme
dekomposer sebagai hasil penelitiannya.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensi tandan kosong kelapa sawit
sebagai pupuk organik melalui berbagai dekomposer untuk mendukung pembangunan
pertanian.
METODOLOGI
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di areal perkebunan plasma di Desa Muara Delang
Kecamatan Tabir Selatan Kabupaten Merangin dari bulan Mei – November 2011.
749
Metode
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan,
terdiri dari dekomposer yang diproduksi Badan Litbang Pertanian dan lembaga penelitian
pemerintah lainnya serta instansi swasta, yaitu:
1. Tanpa dekomposer sebagai kontrol.
2. Dekomposer Orlitani (kandungan: Trichoderma koningii , T. Harzianum, T. Hamatum)
dengan dosis 1 kg per 200 kg
3. Dekomposer M-Dec (kandungan: Trichoderma sp., Aspergillus, Trameters) dengan
dosis 1 kg/ton
4. Dekomposer Promi (Kandungan: Trichoderma harzianum DT 38,T. pseudokoningii DT
39 , Aspergillus sp) dengan dosis 1 kg/ton
5. Dekomposer Stardec (kandungan: koloni mikroorganisme aerob lignolitik, selulotic,
proteolitik, lipolitik dan aminolitik) dengan dosis 2 kg/ton
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan Uji
Duncan.
Pelaksanaan
1. Pencacahan, bertujuan untuk memperkecil ukuran TKKS dan memperluas luas
permukaan area TKKS. Pencacahan ini dilakukan secara manual.
2. Inokulasi dengan dekomposer:
disusun tandan kosong kelapa sawit sebanyak 200 kg,
ditambahkan dengan 60 kg pupuk kandang
ditaburi 30 kg dolomit
disiram dengan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) sebanyak 20 liter
dinkubasikan selama sehari
disemprot dengan dekomposer untuk dekomposer yang aplikasinya harus
dicairkan. Khusus untuk Stardec, ditaburkan secara merata di atas bahan
tumpukan TKKS
disiram dengan air secukupnya sampai kelembaban merata
Agar aktivator bisa merata ke seluruh permukaan TKKS perlu dilakukan
pembalikan.
3. Inkubasi: tumpukan tankos ditutup dengan menggunakan terpal yang cukup tebal
dan kuat serta tahan UV. Tutup terpal berfungsi untuk menjaga kelembaban dan
suhu agar optimal untuk proses dekomposisi tankos. Proses dekomposisi dilakukan
selama 3 bulan.
4. Pemeliharaan dan pengambilan data: Pemeliharaan dilakukan dengan cara tumpukan
dibolak-balik. Pembalikan ini dilakukan dalam periode dua minggu sekali. Data yang
diambil berupa suhu dan sampel TKKS untuk dianalisis rasio C dan N.
5. Pemanenan kompos: kompos yang sudah matang segera dipanen. Ciri-ciri kompos
yang sudah matang yaitu: warna menjadi coklat kehitaman, suhu sudah turun
mendekati suhu awal proses pengomposan, jika diremas TKKS mudah putus serat-
seratnya.
Pengamatan
Data yang diamati adalah analisis awal TKKS (N, P, K, Ca, Mg), rasio C dan N, suhu
setiap 2 minggu dan analisis kompos (N, P, K, Ca, Mg)
750
sebelum dekomposisi adalah 29,35 yang berarti bahan organik sudah termasuk dalam
kategori matang. Setelah mengalami dekomposisi, rasio C dan N TKKS pada tiap pengujian
jenis dekomposer setiap dua minggu sampai waktu panen dapat dilihat pada Gambar 1.
Hasil pengamatan rasio C/N terlihat bahwa rasio C/N sangat bervariasi tiap periode
pengamatan. Hal ini diduga karena pengambilan sampel yang tidak seragam. Jadi ada
beberapa bagian yang termasuk bahan mudah terdekomposisi misalnya bagian luar TKKS
tetapi ada juga bagian yang masih keras seperti bagian tengah TKKS. Seharusnya, semakin
lama masa dekomposisi maka rasio C dan N akan semakin menurun seiring dengan
berjalannya waktu, karena semakin lama waktu dekomposisi maka semakin banyak bahan
yang terurai. Bahan yang terurai ini menyebabkan rasio C dan N menurun.
Nilai rasio C dan N ini menunjukkan bahwa belum ada dekomposer yang mampu
mendekomposisikan TKKS secara cepat dalam waktu kurang dari 2 bulan. Hal ini terlihat
pada Minggu ke-8, rasio C dan N masih berkisar > 20, sedangkan rasio C dan N yang baik
untuk pupuk organik adalah maksimal 20 berdasarkan Food and Fertilizer Technology
Center (1997). Menurut SK Mentan No 2 Tahun 2006, salah satu persyaratan teknis pupuk
organik adalah memiliki rasio C dan N 10 - 25 (Suriadikarta, 2011)
Minggu 2
Minggu 4
Minggu 6
Minggu 8
Minggu 10
Minggu 12
Darihasil analisis sidik ragam, rasio C/N pada tiap jenis dekomposer menunjukkan
hasil yang berbeda nyata. Hasil Uji Duncan menyatakan bahwa perlakuan kontrol dengan
jenis dekomposer orlitani, promi dan stardec berbeda tidak nyata tetapi berbeda nyata
dengan jenis dekomposer M-Dec (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa jenis dekomposer
M-Dec belum mampu menurunkan rasio C/N dalam masa dekomposisi selama 3 bulan.
Selain itu, diduga karena jenis dekomposer yang diaplikasikan pada pengkajian ini tidak
mengandung mikrooriganisme pendegradasi lignin. Sedangkan TKKS banyak mengandung
lignin yang sulit terdekomposisi. Perlakuan tanpa dekomposer (kontrol) memiliki rasio C/N
yang terendah. Diduga aplikasi LCPKS yang berpengaruh terhadap nilai rasio C/N ini.
Tabel 1. Hasil analisa Uji Duncan terhadap rasio C/N pada akhir dekomposisi
Jenis Dekomposer Rasio C/N
Kontrol 19,43 a
Orlitani 20,29 ab
Promi 21,84 ab
Stardec 28,67 b
M-dec 42,67 c
*Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Efektivitas dekomposer ini juga dapat dilihat dari perubahan suhu yang terjadi
selama masa dekomposisi. Proses dekomposisi akan mengakibatkan peningkatan suhu
karena dekomposer bekerja aktif mendekomposisikan bahan. Peningkatan suhu ini pun
tidak boleh melebihi 60oC karena akan mengakibatkan dekomposer mati. Menurut Rynk et
751
al (1992) dalam Arafatullah (2011), suhu dekomposisi yang dianjurkan adalah 45 – 60oC.
Pengamatan suhu dilakukan setiap 2 minggu sekali yang datanya dapat dilihat pada
Gambar 2.
Menurut Arafatullah (2011), proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme
akan menimbulkan peningkatan suhu, yang akan terus meningkat dalam suasana anaerob.
Hal tersebut dapat terjadi karena panas yang dihasilkan oleh proses metabolisme mikrobia
akan terisolasi di dalam tumpukan kompos hingga melebihi panas yang dapat dilepaskan ke
lingkungan. Proses degradasi material organik dengan laju tertinggi (optimal) biasanya
terjadi pada suhu antara 35 dan 55°C.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, selama sebulan pertama suhu tidak
mengalami peningkatan akibat kurang tingginya tumpukan TKKS. Setelah
tumpukan TKKS dirubah, baru terjadi peningkatan suhu yang diamati pada minggu
ke-6. Hal ini berarti dekomposer mulai aktif dalam mendekomposisikan TKKS.
Suhu tertinggi dicapai pada minggu ke-6 dan mulai menurun setelah itu (Gambar 2).
Selanjutnya suhu berangsur turun sejalan dengan penurunan jumlah makanan dan
penurunan aktivitas mikroba. Pemanenan kompos dilaksanakan pada suhu berkisar
35-37oC.
K
M
Suhu (oCelcius)
O
P
S
752
K-total (ppm) 449,65
Ca-total (ppm) 173,12
Mg-total (ppm) 240,19
Tabel 3 menyajikan kandungan C-organik pada akhir dekomposisi. Hasil uji lanjutan
Duncan, memperlihatkan bahwa jenis dekomposer orlitani, promi dan kontrol berbeda tidak
nyata tetapi ketiganya berbeda nyata dengan jenis dekomposer stardec dan M-dec. Bahan
organik hasil dekomposisi dengan menggunakan M-Dec memiliki kandungan C-organik yang
tertinggi, diduga karena bahan tersebut belum terdekomposisi secara sempurna. Hal ini
berkaitan dengan rasio C/N dari hasil dekomposisi M-Dec memiliki nilai tertinggi.
753
N-total (%);
N-total (%)
K; 1.27 N-total (%); N-total (%);
N-total (%); O; 1.12
P; 1.08 N-total (%);
M; 0.94 S; 0.99
Gambar 3. Kandungan N-total (%) pada pupuk organik hasil dekomposisi TKKS
Gambar 4. Kandungan unsur hara P2O5 (%) dalam pupuk organik TKKS
K2
O
Gambar 5. Kandungan hara K2O, CaO dan MgO (%) pada pupuk organik TKKS
Secara rata-rata kualitas pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposisi TKKS ini
adalah 1,08% N-total, 0,000301 % P2O5, 0,018093% K2O, 0,102376% Cao dan dan 0,010273
% MgO. Kandungan hara ini berkriteria rendah kecuali kandungan N-total. Hal ini diduga
karena TKKS belum terdekomposisi sempurna sehingga pelepasan potensi unsur hara
makro yang terkandung dalam TKKS belum banyak. Ditinjau dari hasil analisis awal TKKS,
maka bahan ini banyak memiliki potensi kandungan unsur hara makro yang cukup tinggi.
Jika waktu dekomposisi ditambah, diduga unsur hara makro yang tersedia lebih tinggi dari
sekarang.
Pengolahan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menghasilkan TKKS. Persentase
TKKS terhadap TBS adalah sekitar 20%. Potensi pabrik menghasilkan TKKS tergantung dari
754
kapasitas pabrik (ton/jam). Kapasitas pabrik selama 60 ton/jam akan menghasilkan TKKS
sebanyak 62.400 ton/tahun. Jumlah pabrik di Provinsi Jambi sekitar 78 buah, sehingga
dapat diperkirakan jumlah TKKS yang dihasilkan mencapai 3.744.000 ton/tahun. Dengan
rendemen TKKS menjadi pupuk organik sekitar 50%, maka akan dihasilkan pupuk organik
TKKS sebanyak 1.872.000 ton/tahun. Potensi tandan kosong sebagai pupuk organik ini
merupakan alternatif pemupukan pada perkebunan kelapa sawit itu sendiri maupun
budidaya tanaman lainnya.
Saran
Untuk mempercepat proses dekomposisi TKKS, pencacahan TKKS harus dilakukan
dengan mesin pencacah sehingga luas permukaan TKKS menjadi lebih kecil dan
mempercepat proses dekomposisi.
DAFTAR PUSTAKA
Arafatullah, NA. Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit. www.bangunindonesia.com.
Diakses tanggal 24 November 2011.
Baharuddin, AS., Wakisake, M., Shirai, Y., Aziz, S.Abd., Rahman, NAA., dan Hassan, MA. 2009.
Com-composting of Empty Fruit Bunches and Partially Treated Palm Oil Mill Effluents
I Pilot Scale. International Journal of Agricultural Research 4(2): 69-78. ISSN 1816-
4897.
Ditjen PPHP. 2006. Pedoman Pengolahan Limbah Industri Kelapa Sawit. Subdit Pengelolaan
Lingkungan. Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian.
755
Lasmayadi, Edy. 2008. Tankos sebagai Alternatif Pemenuhan Kebutuhan Unsur Hara
Tanaman Kelapa Sawit.
Suriadikarta, DA dan D. Setyorini. 2011. Baku Mutu Pupuk Organik. Pupuk Organik dan
Pupuk Hayati. http://Balitanah.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 26 Desember
2011.
Widawati, Sri. 2005. Daya Pacu Aktivator Fungi Asal Kebun Biologi Wamena terhadap
Kematangan Hara Kompos, serta Jumlah Mikroba Pelarut Fosfat dan Penambat
Nitrogen. Jurnal Biodiversitas 6(4) : 240-243. ISSN 1412-033X
756