Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH ORGANISME PENGGANGGU

TUMBUHAN

KELOMPOK 11
PANRA SIDAURUK
JONATAN SIREGAR
JAYA SELVAN SIAGIAN
MUHAMAD ALFI GUNAWAN

DOSEN PENGAMPU:
Ir. SITI ZUBAIDAH, MP

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNVERSITAS PALANGKA RAYA
2017
I. PENDAHULUAN

Jagung merupakan salah satu tanaman serealia yang tumbuh hampir diseluruh
dunia dan tergolong spesies dengan variabilitas genetik yang besar dan dapat
menghasilkan genotipe baru yang dapat beradaptasi terhadap berbagai karakteristik
lingkungan. Dalam sejarah budidaya tanaman, jagung sudah ditanam sejak ribuan
tahun yang lalu dan diduga kuat bersal dari Benua Amerika. Berawal dari Peru dan
Meksiko, jagung berkembang terutama ke daerah Amerika Tengah dan Amerika
Selatan. Selanjutnya jagung menyebar ke daratan Eropa dan bagian Utara Afrika.
Pada abad ke- 16, jagung sampai ke India dan Cina. Di Indonesia, jagung sudah
dikenal kira-kira sejak 400 Tahun lalu melalui orang Portugis dan Spanyol. Di
Indonesia jagung merupakan bahan makanan pokok kedua setelah padi. Banyak
daerah di Indonesia yang mengkonsumsi jagung sebagai makanan utama, antara lain
Madura, pantai Selatan Jawa Timur, Jawa Tenagh, Yogyakarta dan Jawa Barat,
sulawesi Selatan bagian Timur, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Bollaang
Mongondow, Maluku Utara, Karo Dairi, Simalungun, Nusa Tenggara Timur dan
sebagian Nusa Tenggara Barat. Jagung sangat memadai dipakai sebagai bahan pangan
pengganti beras atau dapat juga dicampur dengan beras. Kehadiran gulma pada lahan
pertanaman jagung tidak jarang menurunkan hasil dan mutu biji. Penurunan hasil
bergantung pada jenis gulma, kepadatan, lama persaingan, dan senyawa allelopati
yang dikeluarkan oleh gulma. Secara keseluruhan, kehilangan hasil yang disebabkan
oleh gulma melebihi kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama dan penyakit.
Meskipun demikian, kehilangan hasil akibat gulma sulit diperkirakan karena
pengaruhnya tidak dapat segera diamati. Beberapa penelitian menunjukkan korelasi
negatif antara bobot kering gulma dan hasil jagung, dengan penurunan hasil hingga
95% (Violic 2000). Jagung yang ditanam secara monokultur dan dengan masukan
rendah tidak memberikan hasil akibat persaingan intensif dengan gulma (Clay and
Aquilar 1998). Jagung yang ditanam secara monokultur dan dengan masukan rendah
tidak memberikan hasil akibat persaingan intensif dengan gulma (Clay and Aquilar
1998). Secara konvensional, gulma pada pertanaman jagung dapat dikendalikan
melalui pengolahan tanah dan penyiangan, tetapi pengolahan tanah secara
konvensional memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Pada tanah dengan
tekstur lempung berpasir, lempung berdebu, dan liat, jagung yang dibudidayakan
tanpa olah tanah memberikan hasil yang sama tingginya dengan yang dibudidayakan
dengan pengolahan tanah konvensional (Widiyati et al. 2001, Efendi dan Fadhly
2004, Efendi et al. 2004, Fadhly et al. 2004, dan Akil et al. 2005).
Semua tumbuhan pada pertanaman jagung yang tidak dikehendaki
keberadaannya dan menimbulkan kerugian disebut gulma. Gulma yang tumbuh pada
pertanaman jagung berasal dari biji gulma itu sendiri yang ada di tanah. Jenis-jenis
gulma yang mengganggu pertanaman jagung perlu diketahui untuk menentukan cara
pengendalian yang sesuai. Selain jenis gulma, persaingan antara tanaman dan gulma
perlu pula dipahami, terutama dalam kaitan dengan waktu pengendalian yang tepat.
Jenis gulma tertentu juga perlu diperhatikan karena dapat mengeluarkan senyawa
alelopati (Tjitrosedirdjo, 1984).
II. TINJAUAN PUSTAKA

Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang
mendapat prioritas untuk dikembangkan karena kedudukannya disamping sebagai
sumber utama karbohidrat dan protein juga merupakan bahan baku utama industri
pakan ternak dan bahan baku industri lainnya, sehingga merupakan komoditas
penting dalam upaya diversifikasi pangan. Kebutuhan terhadap tanaman ini akan
terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Upaya untuk
memperbaiki produksi nasional salah satunya dengan memperbaiki teknik budidaya
tanaman (Kamaruddin, 2005).
Teknik budidaya tanaman bertujuan untuk menekan persaingan tanaman dengan
gulma. 6 Gulma merupakan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang tidak akan
pernah hilang dari pandangan petani, penyuluh, peneliti, dan pengambil kebijakan
karena keberadaannya lebih banyak merugikan daripada memberikan keuntungan.
Keberadaan gulma di suatu lahan pertanian tidak dikehendaki karena (1) menurunkan
hasil produksi akibat bersaing dalam pengambilan unsur hara, air, sinar matahari, dan
ruang tumbuh dengan tanaman pokok, (2) menurunkan kualitas hasil produksi
tanaman pokok, (3) menimbulkan senyawa beracun yang dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman, (4) menjadi inang alternatif bagi hama dan patogen, dan (5)
meningkatkan biaya usahatani (Rizal, 2004).
Persaingan (competition) diartikan sebagai perjuangan dua organism atau lebih
untuk memperebutkan obyek yang sama, baik gulma maupun tanaman mempunyai
keperluan dasar yang sama untuk pertumbuhan dan perkembangan normal yaitu
unsure hara, air, cahaya, bahan ruang tumbuh, dan CO2 (Fadhly, 2004).
Jagung yang ditanam secara monokultur dan dengan masukan rendah tidak
memberikan hasil akibat persaingan intensif dengan gulma (Clay and Aquilar,
1998).Pada stadia lanjut pertumbuhan jagung, gulma dapat mengakibatkan kerugian
jika terjadi cekaman air dan hara, atau gulma tumbuh pesat dan menaungi tanaman
(Lafitte, 1994). Di banyak daerah pertanaman jagung, air merupakan faktor pembatas.
Kekeringan yang terjadi pada stadia awal pertumbuhan vegetatif dapat
mengakibatkan kematian tanaman. Kehadiran gulma pada stadia ini memperburuk
kondisi cekaman air selama periode kritis, dua minggu sebelum dan sesudah
pembungaan. Pada saat itu tanaman rentan terhadap persaingan dengan gulma
(Kamaruddin, 2005).
III. PEMBAHASAN

a. Persaingan Tanaman dengan Gulma


Kemampuan tanaman bersaing dengan gulma tergantung pada spesies gulma,
kepadatan gulma, saat dan lama persaingan, cara budidaya dan varietas yang ditanam,
serta tingkat kesuburan tanah. Perbedaan spesies, akan menentukan kemampuan
bersaing karena perbedaan system fotosintesis, kondisi perakaran dan keadaan
morfologinya. Gulma yang muncul atau berkecambah lebih dulu atau bersamaan
dengan tanaman yang dikelola, berakibat besar terhadap pertumbuhan dan hasil panen
tanaman. Persaingan gulma pada awall pertumbuhan akan mengurangi kuantitas
hasil, sedangkan persaingan dan gangguan gulma menjelang panen berpengaruh besar
terhadap kualitas hasil (Kamaruddin, 2005).
Persaingannya berupa :
1. Persaingan dalam memperoleh air
Air di serap dari dalam tanah kemudian sebagian besar diuapkan (transpirasi),
hanya sekitar 1% saja yang dipakai untuk proses fotosintesis. Untuk setiap kilogram
bahan organik, gulma membutuhkan 330-1900 liter air. Kebutuhan yang besar
tersebut hampir dua kali kebutuhan tanaman.
2. Persaingan dalam memperoleh unsur hara
Gulma menyerap lebih banyak unsur hara dari pada tanaman. Pada bobot kering
yang sama gulma mengandung kadar nitrogen dua kali lebih banyak dari jagung.
3. Persaingan dalam memperoleh cahaya
Dalam keaadaan air dan hara yang cukup untuk pertumbuhan tanaman, maka
faktor pembatas berikutnya adalah cahaya matahari. Bila musim hujan, maka
berbagai tanaman akan berebut untuk memperoleh cahaya matahari.
4. Pengeluaran senyawa beracun
Tumbuhan juga dapat bersaing antara sesamanya dengan cara interaksi biokimia,
yaitu salah satunya dengan mengeluarkan senyawa beracun, yang akan menyebabkan
terganggunya pertumbuhan tanaman lain. Interaksi biokimia antara gulma dan
tanaman ini dapat menyebabkan gangguan perkecambahan biji, kecambah jadi
abnormal. Persaingan yang timbul akibat hal ini adalah dikeluarkannya zat racun dari
suatu tumbuhan yang disebut allelopathy (Kamaruddin, 2005).

b. Pengendalian Gulma
Keberhasilan pengendalian gulma merupakan salah satu faktor penentu
tercapainya tingkat hasil jagung yang tinggi. Gulma dapat dikendalikan melalui
berbagai aturan dan karantina; secara biologi dengan menggunakan organisme hidup;
secara fisik dengan membakar dan menggenangi, melalui budidaya dengan pergiliran
tanaman, peningkatan daya saing dan penggunaan mulsa; secara mekanis dengan
mencabut, membabat, menginjak, menyiang dengan tangan, dan mengolah tanah
dengan alat mekanis bermesin dan nonmesin, secara kimiawi menggunakan herbisida.
Gulma pada pertanaman jagung umumnya dikendalikan dengan cara mekanis dan
kimiawi. Pengendalian gulma secara kimiawi berpotensi merusak lingkungan
sehingga perlu dibatasi melalui pemaduan dengan cara pengendalian lainnya
(Tjitrosedirdjo, 1984).
IV. KESIMPULAN

Jagung adalah tanaman yang efisien dalam penggunaan sarana tumbuh. Semakin
besar jarak tanam maka semakin besar pula kesempatan gulma untuk tumbuh dan
berkembang serta memperolah hara. Sedangkan semakin kecil jarak tanam maka
persaingan antar tanaman pokok akan meningkat. Untuk meningkatkan daya saing
jagung terhadap gulma dan mengoptimumkan perolehan sarana tumbuh pada jagung
maka jarak yang dapat diterapkan yaitu P2 (80 cm x 20 cm) dan P3 (80 cm x 30 cm).
Jarak tanam ideal untuk jagung yaitu berada diantara P2 (80 cm x 20 cm) dan P3 (80
cm x 30 cm).
DAFTAR PUSTAKA

Akil, M., M. Rauf, I.U. Firmansyah, Syafruddin, Faesal, R. Efendi, dan A.


Efendi, R. dan A.F. Fadhly. 2004. Pengaruh sistem pengolahan tanah dan pemberian
pupuk NPKZn terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Risalah Penelitian
Jagung dan Serelaia Lain. 9:15-22.
Fadhly, A.F., R. Efendi, M. Rauf, dan M. Akil. 2004. Pengaruh cara penyiangan lahan
dan pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung pada tanah
bertekstur berat. Seminar Mingguan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros,
18 Juni 2004, 14p.
Hendrival, Zurrahmi Wirda, dan Abdul Azis. 2014. Periode Kritis Tanaman Kedelai
Terhadap Persaingan Gulma. Universitas Malikussaleh, Reuleut, Aceh Utara:
Jurnal Floratek Vol. 9: 6 – 13.
Kamaruddin. 2005. Teknologi budi daya jagung untuk pangan dan pakan yang efisien
dan berkelanjutan pada lahan marjinal. Balai Penelitian Tanaman Serealia,
Maros, p.15-23.
Rizal, A. 2004. Penentuan kehilangan hasil tanaman akibat gulma. Dalam: S.
Tjitrosemito, A.S. Tjitrosoedirdjo, dan I. Mawardi (Eds.) Prosiding Konferensi
Nasional XVI Himpunan Ilmu Gulma Indonesia, Bogor, 15-17 Juli 2003. 2:
105-118.
Tjitrosedirdjo, S., I.H. Utomo dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di
Perkebunan. Badan Penerbit Kerjasama Biotrop Bogor dan Gramedia, Bogor,
210 p.
Widiyati, N., A.F. Fadhly, R. Amir, dan E.O. Momuat. 2001. Sistem pengolahan tanah
dan efisiensi pemberian pupuk NPK terhadap petumbuhan dan hasil jagung.
Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. 5:15-20.

Anda mungkin juga menyukai