Anda di halaman 1dari 362

BAB I

PENDAHULUAN

I
lmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan
modern baru muncul pada 1970-an. tetapi pemikiran
tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu
diturunkan melalui Nabi Muhammmad SAW, karena rujukan
utama pemikiran islami adalah Alquran dan Hadits maka
pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan
diturunkannya Al-quran dan masa kehidupan Rasulullah SAW.
Kegiatan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan manusia kegiatan yang berupa
produksi, distribusi dan konsumsi ini dilakukan dalam rangka
memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Setiap tindakan
manusia didasarkan pada keinginanannya untuk memenuhi

1
kebutuhan hidup aktivitas ekonomi dimulai dari zaman Nabi
Adam hingga detik ini. Meskipun dari zaman ke zaman
mengalami perkembangan setiap masa manusia mencari cara
untuk mengembangkan proses ekonomi ini sesuai dengan
ketentuan kebutuhannya. Islam pada awal kejayaannya di masa
Rasulullah juga memiliki konsep sistem ekonomi yang patut
dijadikan bahan acuan untuk mengatasai permasalahan
ekonomi yang ada saat ini.

Istilah ekonomi syariah dalam wacana pemikiran ekonomi


Islam kontemporer kerap diidentifikasi dengan berbagai
sebutan yang berbeda.

Ada yang menyebutnya dengan istilah “Ekonomi Islam”,


“Ekonomi Ilahiyah”, atau “ekonomi qurani”. Bahkan ada pula
yang menyebutnya “Ekonomi rahmatan lil „alamin”.

Dalam pengkajian ilmu ekonomi, subjek tentang sejarah


memiliki porsi yang sangat penting. Sejarah pemikiran
ekonomi memiliki signifikasi yang sangat kuat dalam
pengembangan ilmu ekonomi. Pembahasan tentang sejarah
pemikiran ini dimaksudkan untuk melihat perkembangan
pemikiran dan korelasinya antara satu generasi dengan
pemikiran generasi berikiutnya. Bagaimanapun, produk
pemikiran pemikiran yang muncul pada hakikatnya merupakan
perkembangan pemeikiran ekonomi sebelumnya. Hal yang
sama terjadi pada perkembangan pemikiran ekonomi islam, di

2
mana pemikiran ekonomi islam melalui rangkaian sejarah yang
sangat panjang. Perkembangan pemikiran ekonomi islam itu
dimulai sejak abad ke-2 H atau abad ke-8 M. Perkembsngsn
pemikirsn ini terus tumbuh hingga sampai abad ke-8 H atau
abad ke-14 M. Berbagai produk pemikiran yang tercermin
dalam kitab telah muncul, baik dalam koteks ekonomi makro
ataupun mikro (Yadi Janwari, pemikiran ekonomi Islam,
hlm:2).

3
BAB II
SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI
PADA MASA RASULULLAH SAW

A. Pemikiran Ekonomi Islam Masa Rasulullah Saw


Membicarakan Rasulullah SAW dari sudut pandang
manapun tidak akan ada habisnya, termasuk membicarakan dari
sudut pandang ekonomi. Oleh karena itu pemaparan dalam paket
ini hanya point-point pentingnya saja dari pemikiran ekonomi
Islam yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Sebenarnya fase
Rasulullah SAW dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW
sampai wafatnya Beliau (11 H./632 M.). Namun latar belakang
budaya dan kehidupan Nabi SAW pada masa kecil sangat
mempengaruhi corak pemikiran ekonomi Islam yang kemudian
berkembang. Oleh karena itu masa sebelum kenabian mesti
dibahas pula dalam paket ini. Yang dimaksud budaya disini
adalah perilaku masyarakat yang telah turun temurun dilakukan,

4
misalnya masyarakat Arab ketika berbisnis lebih menekankan
pada perdagangan, seperti dilukiskan dalam surat Quraish;
َّ‫اِنَّ َعلَ ْينَا َج ْمعَهَّ َوقُ ْر ٰانَهَّ َّۚ فَ ِاذَا قَ َرأْ ٰن َّهُ فَاتبِ َّْع قُ ْر ٰانَه‬

“karena kebiasaan orang-orang Quraish (yaitu) kebiasaan


mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas..” (QS Al
Quraish: 1-2) Perjalanan yang dilakukan oleh orang-orang
Quraish adalah perjalan dagang. Pada musim panas mereka
mengadakan perjalan ke negeri Syam dan pada musim dingin
mereka mengadakan perjalanan ke negeri Yaman.
Demikianlah Rasulullah SAW ketika masih kecil hidup di
lingkungan perdagangan sehingga beliau juga memulai profesi
bisnisnya sebagai pedagang. Oleh karena itu kita bahas lebih
dahulu bagaimana perilaku bisnis Nabi SAW ketika masih kecil
hingga menjelang kenabian.
Magang (usia 12
tahun)
Sebelum Menikah
Sebelum (Project Manager)
Kenabian
Setelah Menikah
(Joint Owner &
Aspek Supersior)
Prekonomian
Rasulullah Periode Makkah
(untuk
perjuangan)
Setelah
Kenabian Periode Madinah
(Membangun
Ekonomi)

5
Bisnis Nabi Muhammad SAW sebelum kenabian sudah
maklum bahwa Muhammad SAW sejak kecil tinggal di
lingkungan Quraish. Secara umum, bangsa Quraish memiliki
rute perjalanan dagang yang didasarkan pada perubahan
cuaca. Pada musim panas, dilakukan perjalan dagang ke
utara, antara lain ke Syria, Yordania, Palestina dan Lebanon.
Bahkan sampai Turki dan perbatasan Eropa Barat. Sementara
pada musim dingin, mereka melakukan perjalanan dagang ke
selatan, yaitu ke Yaman dan Ethiopia karena cuaca lebih
hangat.

Selanjutnya, karena tumbuh dalam lingkungan dagang,


maka Muhammad SAW pun berprofesi sebagai pedagang.
Profesi ini diawali dari aktifitas magang (internship) pada
usia 12 tahun saat mengikuti kafilah dagang pamannya yaitu
kafilah Abu Thalib ke Syam. Perdagangan ini menempuh
jarak lebih dari 1.500 kilometer dan melewati lebih dari tiga
negara. Dalam perjalanan dagang tersebut, Muhammad SAW
melewati Madyan, Wadil Qura serta peninggalan bangunan-
bangunan Tsamud. Di Syam, Muhammad SAW juga
mendapatkan banyak berita tentang kerajaan Romawi, agama
Kristen serta Injil. Jadi walaupun baru berusia 12 tahun,
beliau sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa,
kecerdasan, ketajaman otak, mempunyai pengamatan yang
mendalam serta ingatan yang kuat.

Untuk anak usia 12 tahun, magang dagang ke wilayah


Syam merupakan hal yang istimewa karena Syam merupakan

6
kota besar dan salah satu kota perdagangan dunia saat itu.
Pengalaman dagang inilah yang kelak akan membentuk
pribadi Muhammad SAW sebagai seorang entrepreneur sejati
dengan segala sikap positif yang dimilikinya.

Pada usia 17 tahun Muhammad SAW mulai membuka


usaha sendiri di Mekkah. Pada saat itu beliau membeli barang
dari pasar dan di jual kepada orang yang membutuhkan.
Beliau telah menjadi seorang business manager. Pada usia 24
tahun, beliau sudah mulai mengelola modal dari para
investor, seperti Khadijah ra dan titipan dari anak-anak yatim
kaya yang tidak mampu mengelola hartanya. Mereka sangat
mempercayai Muhammad SAW sehingga mereka menyebut
Muhammad SAW sebagai al Amīn. Dalam dunia bisnis
modern, posisi ini disebut investment manager.

Pada usia 25 tahun saat beliau menikah dengan Khadijah


ra, beliau tetap menjalankan bisnisnya dan mengelola bisnis
istrinya. Sekalipun demikian beliau juga tetap menjalin
aliansi bisnis dengan para investor Mekkah. Pada saat itu
beliau sebagai joint owner and business supervisor.

Meskipun berbaur dan berinteraksi dengan kaum


Quraish, namun dalam aplikasinya praktek dagang yang
dilakukan Muhammad SAW terbebas dari nilai-nilai
jahiliyah, seperti riba, judi, menipu, menyembunyikan cacat,
mencuri, merampok, dan lain-lain. Pada saat itu

7
justru Nabi melakukan praktek jual beli yang benar serta
praktek syirkah mudharabah yang pernah dilakukannya
bersama dengan Khadijah ra.

Baik sebelum menikah maupun setelah menikah, Nabi


SAW tetap berprofesi sebagai pedagang. Hanya saja terdapat
perbedaan status dalam usaha perdagangan beliau. Jika
sebelum menikah, maka posisi Nabi SAW sebagai project
manager atau mudharib bagi Khadijah. Setelah menikah,
beliau menjadi joint owner dan supervisor bagi agen-agen
dagang Khadijah.

Pada usia 37 tahun beliau secara ekonomi telah


mengalami financial freedom atau kebebasan finansial.
Artinya beliau tidak perlu lagi bekerja karena investasi bisnis
yang beliau lakukan telah menghasilkan banyak pemasukan.
Pada saat itu tersedia cukup banyak waktu bagi beliau untuk
memikirkan masyarakat jahiliyah hingga beliau diutus
menjadi seorang Rasul.

B. Titik Tolak Penerapan Ekonomi Islam

Masa kenabian selama berada di Makkah setelah


kenabian, posisi Nabi SAW sebagai pemimpin jamaah
dakwah. Belum banyak kebijakan publik yang beliau
sampaikan. Beliau masih fokus pada penanaman aqidah dan
penguatan ruh keIslaman. Oleh karena itu persoalan ekonomi
di masa itu masih sebatas pada aktifitas yang menekankan

8
pada kejujuran dan saling membantu perekonomian sesama
muslim. Keadaan jamaah Nabi SAW makin hari makin
tertekan karena himpitan, penentangan, provokasi dan boikot
dari Quraish. Pada saat seperti ini justru kondisi perekonomian
Nabi SAW semakin memprihatinkan. Bahkan pada masa sulit
ini paman beliau Abdul Muthalib dan istri tercinta beliau
Khadijah wafat. Tidak hanya beliau, kondisi para sahabat juga
sangat mengkhawatirkan.

Namun keadaan mulai berubah ketika beberapa kelompok


penduduk kota Yatsrib yang terdiri dari kaum Aus dan Khajraj
yang selama ini bertikai berinisiatif menemui Nabi
Muhammad SAW yang terkenal dengan sifat alamin
(terpercaya) untuk memintanya agar menjadi pamimpin
mereka. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan
diri Nabi SAW dan para pengikutnya serta ikut memelihara
dan mengembangkan Islam. Maka berdasarkan perintah Allah
SWT, Muhammad SAW dan para sahabat beliau berhijrah dari
kota Makkah ke kota Yatsrib. Sesuai dengan perjanjian di kota
yang bertanah subur ini Rasulullah SAW disambut hangat
serta diangkat sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib. Sejak
saat itu, kota Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah.

Keberadaan Rasulullah SAW sebagai kepala negara


Madinah membawa perubahan drastis dalam kehidupan
masyarakat Madinah. Kehidupan menjadi lebih teratur dan
tertata dengan baik. Hal utama yang dilakukan oleh Rasulullah

9
SAW adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik
dilingkungan keluarga, masyarakat, institusi, maupun
pemerintahan yang bersih dari berbagai tradisi, ritual dan
norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.

Adapun sebagian langkah-langkah yang dilakukan oleh


Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:

1) Membangun masjid

Di masjid inilah Rasulullah SAW menjalankan roda


pemerintahan dan mengatur kehidupan masyarakat Madinah.

2) Memberdayakan kaum Muhajirin


Rasulullah SAW memberdayakan kaum muhajirin dengan
cara memperbaiki tingkat kehidupan sosial dan ekonomi
mereka. Di kota Madinah, Rasulullah SAW
mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum
Anshar. Dengan demikian peningkatan kesejahteraan kaum
Muhajirin lebih cepat diraih karena persaudaraan tersebut.
Bahkan beberapa orang Muhajirin yang sangat terampil dalam
berdagang menjadi pesat perekonomiannya. Diantara mereka
adalah Usman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf.

3) Membuat konstitusi negara

Rasulullah SAW menyusun konstitusi negara yang


menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah
negara. Dalam konstitusi negara Madinah ini, pemerintahan

10
menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap
warga negara, baik muslim maupun non muslim, serta sistem
pertanahan dan keamanan negara. Pada tataran ini Rasulullah
SAW telah membangun sebuah sistem ekonomi yang menjadi
pondasi bagi pembangunan sistem ekonomi pada masa-masa
selanjutnya. Bagaimanapun juga, sebuah sistem ekonomi akan
selalu berkaitan dengan sistem-sistem lainnya seperti sistem
sosial, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan sistem politik.
Diantara sistem ekonomi yang konstitusional adalah perlakuan
terhadap anfal, ghanimah, fa‟i, dan kharaj.

4) Meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara lebih


spesifik Rasulullah SAW meletakkan dasar-dasar sistem
keuangan negara sesuai dengan ketentuan al-Quran.
Seluruh paradigma berpikir dibidang ekonomi serta
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam dihapus dan digantikan dengan
paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qur‟ani,
yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan.
Oleh karena itu segala jenis perekonomian dan transaksi
keuangan yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an dihapuskan
seperti praktek jual beli yang tidak jelas atau gharar, jual
beli ribawi, hutang piutang ribawi, dan sebagainya.

11
C. Bangunan Sistem Ekonomi Islam Di Masa
Rasulullah SAW
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk. Oleh
karena itu, peletakan dasar-dasar system keuangan negara yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW merupakan langkah yang
sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa
itu sehingga Islam sebagai sebuah agama dapat berkembang
dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.

Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW


berakar dari prinsip-prinsip Qur‟ani. Al-Qur‟an merupakan
sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan
sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam
melakukan aktivitas disetiap aspek kehidupannya, termasuk
dibidang ekonomi. Dalam pandangan Islam, kehidupan
manusia tidak bisa dipisah-pisahkan menjadi kehidupan
ruhiyah dan jasmaniyah, melainkan sebagai satu kesatuan yang
utuh yang tidak terpisahkan, bahkan setelah kehidupan di
dunia ini. Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah
manusia diberi kebebasan unutuk mencari nafkah sesuai
dengan hokum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Hal
ini merupakan salah satu kewajiban asasi dalam Islam.

Islam memandang bahwa setiap orang mempunyai hak


penuh untuk dapat memiliki penghasilan atau memperoleh
harta kekayaan secara legal sehingga dapat menunaikan
kewajiban agamanya dengan baik.

12
Disamping itu, al-Qur‟an memerintahkan kepada
seseorang yang memiliki harta berlimpah agar berwasiat
sebelum meninggal dunia. Dari keseluruhan jumlah harta
kekayaannya, seseorang diperkenankan berwasiat sebanyak
sepertiga dan sisinya yang berjumlah dua pertiga harus
dibagibagikan kepada para ahli warisnya sesuai dengan syariah
Islam.

Berdasarkan pandangannya yang paling prinsip tentang


status manusia di muka bumi, Islam dengan tegas melarang
segala bentuk praktik ribawi atau bunga uang. Berbagai
pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh
dengan cara-cara ribawi adalah sah jelas merupakan
pendapatan yang keliru dan menyesatkan karena praktik –
praktik ribawi merupakan bentuk eksploitasi yang nyata. Islam
melarang eksploitasi dalam bentuk apapun.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa


prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam yang
dijelaskan al-Qur‟an sebagai berikut:

a. Allah SWT adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik


absolute seluruh alam semesta.
b. Manusia hanyalah khalifah Allah SWT di muka bumi,
bukan pemilik yang sebenarnya.
c. Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas
rahmat Allah SWT.

13
d. Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
e. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya merupakan
riba yang harus dihilangkan.
f. Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi
kekayaan yang dapat mengeliminasi berbagai konflik
individu.
g. Menetapkan berbagai bentuk sedekah baik yang bersifat
wajib maupun sukarela, terhadap para individu yang
memiliki harta kekayaan yang banyak untuk membantu
para anggota masyarakat yang tidak mampu.

Selanjutnya berkaitan dengan bangunan sistem ekonomi


Islam ini, Rasulullah telah menetapkan berbagai kebijakan
fiskal sebagai bagian dari politik ekonomi pada saat itu. Secara
sederhana kebijakan fiskal di masa Nabi SAW tergambar
dalam sistem sebagai berikut:

1. Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin


dengan kaum Ansar.
2. Kaum Ansar dihimbau oleh Rasulullah untuk
membukakan lapangan pekerjaan bagi kaum Muhajirin,
sehingga meningkatkan pendapatan negara dengan
mengimplementasikan akad muzara‟ah, musaqah, dan
mudarabah.
3. Kebijakan pajak pada para pedagang dari luar Madinah
menyebabkan terciptanya kestabilan harga dan
mengurangi tingkat inflasi.

14
4. Pengaturan APBN yang dilakukan Rasulullah SAW secara
cermat, efektif dan efisien, menyebabkan jarang terjadi
defisit anggaran meskipun sering terjadi peperangan.
5. Rasulullah menerapkan kebijakan meminta bantuan kaum
Muslimin secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan
kaum Muslimin serta menerapkan kebijakan insentif untuk
menjaga pengeluaran dan meningkatkan partisipasi kerja
dan produksi kaum muslimin.
D. Harta Negara Di Masa Rasulullah SAW
Pada masa ini karakteristik pekerjaan masih sangat
sederhana dan tidak memperlukan perhatian yang penuh.
Rasulullah SAW sendiri adalah seorang kepala Negara yang
juga merangkap sebagai ketua Mahkamah Agung, mufti besar,
panglima perang tertinggi, serta penanggung jawab seluruh
administrasi Negara.

Pada masa Rasulullah SAW ini, ketentuan yang mengatur


tata cara pembagian harta rampasan perang (ghanimah)
sepenuhnya ditentukan oleh Rasulullah SAW berdasarkan
wahyu. Sedangkan pengaturan keuangan secara umum dapat
dijelaskan sebagai berikut.

Sumber-sumber pendapatan negara, sumber-sumber


pendapatan Negara pada masa Rasulullah SAW adalah zakat
dan ushr. Keduanya berbeda dengan pajak sehingga tidak
diperlakukan seperti pajak. Zakat dan ushr merupakan
kewajiban agama dan salah satunya termasuk rukun Islam.

15
Pengeluaran untuk keduanya sudah diuraikan secara jelas
dalam alQuran.

Pada masa Rasulullah SAW zakat dikenakan pada hal


berikut:

1. Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin,


perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
2. Benda logam yang terbuat dari perak seperti: koin,
perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
3. Binatang ternak seperti: unta, sapi, domba, kambing.
4. Berbagai jenis barang dagangan, termasuk budak dan
hewan
5. Hasil pertanian termasuk buah-buahan.
6. Luqathah, harta benda yang ditinggalkan musuh
7. Barang temuan

Selain sumber-sumber pendapatan Negara tersebut,


terdapat beberapa sumber pendapatan lainnya yang bersifat
tambahan, antara lain sebagai berikut:

1. Uang tebusan pada tawanan perang, khususnya perang


Badar.
2. Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Mekkah) untuk
pembayaran diyat kaum muslimin bani Judzaimah atau
sebelum pertempuran Khawazin sebesar 30.000 dirham dari
Abdullah

16
3. Rabi‟ah serta meminjam beberapa pakaian dan hewan
tunggangan dari Abu Sofyan bin Umayyah.
4. Khums atas rikaz atau harta karun.
5. Amwal fadhilah yakni harta yang berasal dari harta benda
kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris/ harta
seorang muslim yang telah murtad dan pergi meninggalkan
negaranya.
6. Waqaf, yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang
muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatnya
akan disimpan di bayt al-māl.
7. Nawaib yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum
mulimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran
Negara selama masa darurat yang pernah terjadi pada masa
perang Tabuk.
8. Zakat fitrah.
9. Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kafarat.
E. Pos-Pos Pengeluaran Negara
Setalah turunnya surat al-Anfal pada tahun kedua hijriyah,
maka tata cara pembagian harta ghanimah ditentukan dengan
formulasi sebagai berikut:

a. Seperlima bagian untuk Allah SWT dan Rasul-Nya, dan


untuk para kerabat, anak-anak yatim, orang miskin dan
para musafir. Bagian seperlima ini dikenal dengan sebutan
atau istilah khums. Rasulullah SAW membaginya menjadi
tiga bagian yaitu: bagian pertama untuk dirinya dan

17
keluarganya, bagian kedua untuk kerabatnya, dan bagian
ketiga untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
para musafir.
b. Empat seperlima bagiannya diberikan kepada anggota
pasukan yang terlibat peperangan. Penunggang kuda
memperoleh dua bagian, yakni untuk dirinya sendiri dan
kudanya.
Pada masa Rasulullah SAW catatan keuangan masih
belum terperinci. Namun demikian hal ini tidak berarti
menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada
pada masa itu tidak berjalan dengan baik dan benar.

Setiap perhitungan yang ada disimpan dan diperiksa


sendiri oleh Rasulullah SAW dan setiap hadiah yang diterima
oleh para pengumpul zakat akan disita, seperti yang terjadi
pada kasus al-lutbighah, pengumpul zakat dari bani Sulaim.

Berkaitan dengan pengumpulan zakat ini Rasulullah SAW


sangat menaruh perhatian terhadap zakat harta, terutama zakat
unta. Dalam masa ini setiap pembagian disesuaikan dengan
kondisi materialnya. Bagi orang yang sudah menikah
memperoleh bagian dua kali lebih besar daripada orang yang
belum menikah.

F. Bayt Al-Māl Di Masa Rasulullah Saw

Sebelum Islam hadir, pemerintahan suatu negara


dipandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan

18
perbendaharaan Negara. Dalam negara Islam kekuasaan
dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan
sesuai dengan perintah al-Quran. Hal ini telah dipraktekkan
oleh Rasulullah SAW. Sebagai seorang kepala Negara,
Rasulullah SAW tidak menggangap dirinya sebagai raja, tetapi
sebagai seorang yang diberi amanat untuk mengatur urusan
Negara dan umat manusia secara keseluruhan.

Pada masa Rasulullah, harta yang merupakan sumber


pendapatan Negara disimpan di Masjid dalam jangka waktu
singkat untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat
hingga tidak tersisa sedikitpun. Pada masa itu, bayt al-māl
belum memiliki bagian-bagian tertentu, walaupun beliau SAW
telah mengangkat para penulis yang bertugas mencatat harta.
Pada saat itu beliau telah mengangkat Mu‟aiqib bin Abi
Fatimah ad-Dausiy sebagai penulis harta ghanimah, al-Zubair
bin al-Awwam sebagai penulis harta zakat, Hudzaifah bin al-
Yaman sebagai penulis harga hasil pertanian daerah Hijaz,
Abdullah bin Rawahah sebagai penulis harga hasil pertanian
daerah Khaibar, al-Mughirah bin Syu‟bah sebagai penulis
hutang piutang dan aktivitas muamalah yang dilakukan oleh
negara, serta Abdullah bin Arqam sebagai penulis urusan
masyarakat yang berkenaan dengan keperluan kabilah-kabilah
termasuk kondisi pengairannya. Namun demikian, saat itu
belum terbentuk bagian-bagian Baitul Mal, dan juga belum ada

19
tempat tertentu yang dikhususkan untuk penyimpanan arsip
maupun ruangan bagi para penulis.

Pada perkembangan berikutnya institusi ini berperan


penting dalam bidang keuangan dan administrasi Negara
terutama pada masa pemerintahan khulafa‟ al-rasyidin. Inilah
cikal bakal adanya bayt al-māl dalam sistem ekonomi Islam
yang selanjutnya dikembangkan oleh para penerus beliau

G. Kesimpulan
Ilmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan
modern baru muncul pada 1970-an. tetapi pemikiran tentang
ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu diturunkan melalui
Nabi Muhammmad SAW.

Adapun sebagian langkah-langkah yang dilakukan oleh


Rasulullah SAW adalah sebagai berikut. 1) Membangun
masjid, 2) Memberdayakan kaum Muhajirin, 3) Membuat
konstitusi negara. 4) Meletakkan dasar-dasar sistem keuangan
negara lebih spesifik.

Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW


berakar dari prinsip-prinsip Qur‟ani. Al-Qur‟an merupakan
sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan
sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam
melakukan aktivitas disetiap aspek kehidupannya, termasuk
dibidang ekonomi. Dalam pandangan Islam, kehidupan
manusia tidak bisa dipisah-pisahkan menjadi kehidupan

20
ruhiyah dan jasmaniyah, melainkan sebagai satu kesatuan yang
utuh yang tidak terpisahkan, bahkan setelah kehidupan di
dunia ini. Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah
manusia diberi kebebasan unutuk mencari nafkah sesuai
dengan hokum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Hal
ini merupakan salah satu kewajiban asasi dalam Islam

21
BAB III

SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI


PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN

A. Pembentukan Khilafah

Pembentukan khilafah terjadi setelah rosululloh saw afatpada


tahun 632 M. sebagai konsekuensi dari ajaran islam, dimana tidak
boleh ada kekosongan kepemimpinan, maka setelah rasululloh
saw wafat dikursus tentang pengganti rasululloh sebagai
pemimpin umat sudah dimulai. Bahkan jenazah rasululloh tdak
dikebumikan sebelum dia diangkat seorang khalifah pengganti
sebagai kepemimpina n rasululloh saw. Pada masa itu perdebatan
sengit terjadi antara dua kelompok umat islam, yakni kaum
anshar madinah dan muhajirin mekah. Perdebatan ini selesai
setelah abu bakar disepakati dan diangkat menjadi khalifah
pertama pada masa khulafaur rasyidin.

Dari sekian banyak kekhalifahan yang telah datang dan pergi


selama empat belas abad atau lebih, khulafaur rasyidin adalah
yang paling dihargai dan dihormati dalam pikiran umat islam. Ini
adalah khalifah yang benar benar dibimbing, sebagaimana

22
dimaksud oleh umat islam, dan satu-satu nya masa khalifah
terkait dengan kebenaran dan nilai-nilai yang spiritual. Khulafaur
rasyidin berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, yang terdiri
dari abu bakar berkuasa elama 2 tahun, umar bin khattab
berkuasa selama 10 tahun, usman bin affan yang berkuasa selama
12 tahun, dan ali bin abi thalib berkuasa selama tahu,. Keeempat
khalifah ini adalah sahabat dekat rasulullah saw. Bahkan khalifah
terakhir ali bin abi thalib adalah sepupu yang sekaligus menantu
rasulullah saw. Abu bakar dan umar adalah ayah mertua
rasulullah saw, sedangkan utsman adalah menantu rasulullah saw.

Peran para khalifah khulafaur rasyidin dalam pengembangan


kosnep-konsep perekonomian dalam islam.hukum islam
didalmnya termasuk asalah eknomi, pertama kali muncul dan
disaksikan pada masa khulafaur rasyidin ini kemunculan regulasi
isami terkait dengan ekonomi ini sangat dibutuhkan. Berbagai
khalifah meerikan konstribusi terhadap pengembangan hukum
ekonomi dalm beberapa cara and tingkatan yag berbeda satu
dengan yang lain.

B. Pemikiran Ekonomi Abu Bakar

Khalifah abu bakar adalah khalifah yang lembut hati, murah


hati, sangat dekat dengan sahabat lain dan saleh,. Semua
kutamaan dalam islam selalu dikaitkan dengan dirinya. Abu
bakar aalah manusia pertama atau salah seorang dari tiga orang
yang memeluk agama isla. Gelar “al-siddiq” selalu melekat pada

23
dirinya, yakni orang yang percaya kepada Nabi tanpa syarat dan
apa yang dai katakana tanpa bayang-baang keraguan, terutama
setelah informasi isra’ dan mi’raj dari mekah eru salem terus ke
surge dan kembali lagi ke mekah dalam satu malam (perjalanan
malam). Abu bakar adalah salah satu sahabat terdekat nabi dan
orang yang dipilih oleh Muhammad saw. Untuk menemaninya
pada saat hijrah ke Madinah kehormatan penting berikutnya
datang ketika Nabi Muhammad saw memilihna untuk menjadi
imam dlam shalat bejamaah ketika nabi Muhammad saw sakit.

Setelah memeluk islam, abu bakar menghabiksan seluruhh


kekayaan nya dijalan Allah. Bahkan ketika menghadapi perang
suci (jihad), maka menyerahkan seluruh kekayaannya. Abu bakar
selalu berkata “aku memerccayakan mereka kepada rasulullah
dan Rasul-Nya” ketika ditanya oleh rasulullah tentan apa yang
diberikan kepada keluaganya setelah menyumbangkan seua
hartanya di jalan Allah.

Masa kekhalifahan Abubakar itu haya berlagsung selama 2


tahun. Meskipun kekhalifahannya itu pendek, namun abu bakar
telah berhail mendirikan kepemimpinanya pada masa yang
krusial di awal islam setelah kematian rasulullah. Di adalah
pemimpin yang kharismatik yang membantu mendapatkan
penerimaan umum dari umat islam. Kekarismaan ini disebabkan
karena kedekatanya dengan rasullah saw selama hidpnya, respons
awalnya terhadap panggilan islam sebagai orang pertama yang

24
memeluk islam, pengabdian penuh kepada gerakan islam sejak
masa awal, memiliki rasulullah saw. Menjadi imam shalat selama
rasulullah saw sakit, dan fakta bahwa ia telah disebut dalam al-
qur’an pada lebih dari satu kesempatan. Fakta-fakta ini tlah
memberi abu bakar prasyarat untuk melahirkan karakter
pemimpin yang karismatik.

Persoalan pertama, yang dihadapi abu bakar etelah diangkat


menjadi khalifah adalah kemurtadan yang dilakukan oleh
sebagian umat slam, riddah. Setelah rasalullah saw dinyatakan
meninggal, maka beberapa saat kemudian suku membeerontak
dan membantah untuk membayar zakat. Menurut abu bakar,
tindakan ini tidak dapat diterima dan memandang gerakan
tersebut sebagai acaman bagi islam, ancaman bagi persatuan
umat islam, dan ancama terhadap itegritas agama. Dengan
demikian, abu bakar mengamil keputusan untuk memerangi
mereka yang berontak dan tida mau membayar zakat.

Keputusan khalifah abu bakar pertama untuk memerangi


pemberontak meskipun mereka itu muslim harus dilihat dari
beberapa perspektif. Pertama faktor agama, dimana abu bakar
melihat para pemberontak sepertinya bertujuan untuk memecah
nilai-nilai dasar islam sebagai sebuah agama. Kedua, ada sebuah
kebutuhan untuk menyatukan semenanjung Arab, khususnya
dalam transisi masa Negara islam, dan untuk mengalihkan badui
sebagai sebagai entitas politik yang koheren. Ketiga pertarungan

25
tak terletakkan untuk meneknkan peran khusus zakat sebagai alat
alokasi dalam proses distribusi kekayaa dan kepedulian social.
Zakat merupakan pajak yang mmengalokasikan pendapatan yang
akan dibelanjaka dengan cara tertentu yang ditentukan dalam al-
qur’an. Keempat sumber daya keuangan Negara saat itu sangat
terbatas. Negara islam pada khulafaur rasyidin tidak sangat kaya,
sementara zakat merupakan sumber keuangan Negara saat itu.
Padahal pada saat yang yang sama umat islam saat itu sangat
membutuhkan bantuan keuangan yang berasal dari keuangan
Negara.

C. Pemikiran Ekonomi Umar Bin Khatab

Mekanisme pengangkatan Umar Bin Khattab sebagai


khalifah berbeda dengan mekanisme pengangkatan Khalifah Abu
Bakar. Umar Bin Khattab diangkat menjadi khalifah dengan cara
ditunjuk oleh khalifah sebelumnya. Kebijakan ini diambil oleh
Abu Bakar dalam upaya meminimalisasi terjadinya konflik.
Dengan begitu setelah Abu Bakar wafat secara otomatis Umar
diangkat dan ditetapkan menjadi khalifah kedua sebagai
pengganti Khalifah Abu Bakar. Umar Bin Khattab Lahir menjadi
pemimpin yang paling terkemuka dan populer dalam sejarah
Islam. Umar Bin Khattab adalah teladan untuk kesalehan,
kesederhanaan, menjunjung tinggi keadilan dan kewajaran.
Kefasihan bicara dan kemampuan intelektual yang sangat
dihormati oleh umat Islam.

26
Pemikiran dan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh
Umar Bin Khattab sebenarnya merupakan refleksi dari pikirannya
sendiri. Pemikiran dan kebijakannya itu terkadang sesuai dengan
kebijakan Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar, tetapi terkadang
pula menyimpang dari kebijakan-kebijakan yang populis.
Perbedaan itu adalah perbedaan pendapat bukan perpecahan
prinsip. Semangat Islam sebagai agama dan sistem ekonomi
selalu diamati. Pemikiran ekonomi Umar Bin Khattab secara
global dapat dieksplorasi sebagai berikut.

1. Pemilikan sumber daya ekonomi

Pemikiran dan kebijakan Umar Bin Khattab terkait dengan


pemilihan sumber daya ekonomi merupakan bentuk pembaharuan
dalam sejarah pemikiran ekonomi. kebijakan Umar Bin Khattab
yang populer terkait dengan tanah taklukan perang dengan
menjadikan sebagai faktor produksi. Dalam
mengimplementasikan kebijakannya ini, Umar Bin Khattab
memilih harta rampasan kepada dua bagian utama yakni harta
bergerak dan harta tidak bergerak. Untuk harta bergerak Umar
bin khatab memberlakukan ketentuan dalam Alquran, yakni
seperlima untuk negara dan 4 per 5 nya lagi dibagikan kepada
para prajurit.

Untuk harta tidak bergerak seperti tanah ditetapkan untuk


menjadi milik negara seluruhnya hak kepemilikan berada
ditangan negara, sementara pengelolaan dan pemberdayaan

27
diserahkan kepada pemilik asal. Kemudian pengelola tanah
dibebani kewajiban membayar pajak berupa pajak kharaj. Ada
beberapa pertimbangan Mengapa Umar Bin Khattab menetapkan
tanah rampasan perang menjadi hak negara.

a. Penyerahan tanah Taklukan kepada tentara muslim akan


mengubah masyarakat Islam menjadi masyarakat feodal.
b. Kebijakan Umar Bin Khattab itu dimaksudkan untuk
menciptakan keseimbangan distribusi kekayaan.
c. Kebijakan Umar bin khatab mempertimbangkan
kesejahteraan generasi yang akan datang.
d. Kebijakan Umar Bin Khattab itu didasari pada pertimbangan
untuk menciptakan jaminan sosial.
e. Kebijakan Umar Bin Khattab ini tampaknya mencerminkan
bahwa Umar Bin Khattab menyukai bentuk sosialisme
berdasarkan ajaran Islam.
f. Kebijakan Umar bin khattab ini juga berimplikasi ekonomi
terutama dapat menjadi sumber pendapatan negara.
2. Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi dalam konteks peningkatan utilitas


sebenarnya sangat tampak dalam kebijakan Umar Bin Khattab
itu. Kebijakan Umar Bin Khattab untuk menyerahkan
Pengelolaan tanah kepada pemilik asal adalah dalam upaya
meningkatkan utilitas lahan sebagai faktor produksi. Apabila hak
milik dan Pengelolaan tanah itu diserahkan kepada tentara
muslim, maka utilitas lahan tidak akan didapat karena tentara

28
muslim akan disibukkan terus dengan urusan ekspansi wilayah
dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengelola tanah.
Akibatnya tanah akan menganggur dan tidak produktif. Deskripsi
sejarah ini jelas menunjukkan bahwa Umar Bin Khattab telah
menegaskan pentingnya sumber daya alam sebagai alat produksi
dan berusaha untuk memaksimalkan kemanfaatan yang
dihasilkan dari sumber daya tersebut.

Sebagai bentuk implementasi kepedulian terhadap


pembangunan ekonomi melalui penekanan pada tenaga kerja dan
modal, maka Umar Bin Khattab mengambil kebijakan untuk
menyerahkan tanah tandus kepada rakyat yang membutuhkan.
Rakyat yang belum memiliki pekerjaan diberi kesempatan untuk
bekerja dengan cara mengelola tanah yang diberikan oleh negara
selain itu Umar Bin Khattab berkali-kali menawarkan dan
memberikan bantuan keuangan kepada mereka yang
membutuhkan bantuan untuk mengolahnya.

3. Distribusi Kekayaan

Selain pemikiran tentang pembangunan ekonomi Umar Bin


Khattab pun mengajukan pemikiran tentang distribusi kekayaan
ada dua pemikiran yang diajukan Umar Bin Khattab terkait
dengan distribusi Kekayaan ini, yakni maksimalisasi zakat dan
sistem tunjangan. zakat fitrah maupun Mal merupakan media
distribusi kekayaan dari orang kaya kepada pihak lain yang
membutuhkan.

29
Selain zakat khums yaitu seperlima harta rampasan perang
dijadikan pula sebagai media untuk pendistribusian kekayaan
sebagaimana zakat alokasi harta khums juga telah ditetapkan oleh
Alquran, yakni "seperlima untuk Alla, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnussabil." QS. Al-
Anfal ayat 41.

Alat kedua distribusi kekayaan di masyarakat yang


diperkenalkan Umar Bin Khattab adalah sistem jaminan sosial
Umar Bin Khattab menggunakan pendapatan kharaj dalam
membangun sistem jaminan dengan cara memberikan umat Islam
dua jenis tunjangan yakni tunjangan moneter dan tunjangan
dalam bentuk lain.

4. Struktur Pajak

Dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan, Umar Bin


Khattab telah mampu merumuskan struktur pajak-pajak yang
dikembangkan dan diimplementasikan Umar Bin Khattab adalah
pajak dalam bentuk zakat, jizyah, khums, kharaj, dan usyur/bea
masuk. tiga bentuk yang pertama sudah diimplementasikan
sebelumnya baik pada masa Rasulullah SAW maupun pada masa
Khalifah Abu Bakar. Dua pajak berikutnya harus dan unsur
diperkenalkan oleh Umar Bin Khattab dan merupakan bagian dari
pemikiran ekonomi Umar Bin Khattab.

Pada perkembangan berikutnya, pengenaan pajak usyur tidak


hanya diberikan kepada pedagang non muslim. Pajak usyur

30
dikenakan pada seluruh pedagang luar muslim maupun non-
muslim yang memasuki wilayah kekuasaan Islam. Namun tarif
pajak antara Muslim dan nonmuslim dibedakan oleh Umar Bin
Khattab bagi pedagang muslim dikenakan pajak sebesar 2,5%
sedangkan kepada pedagang muslim dikenakan pajak sebesar 5%.

Ada beberapa pertimbangan yang diperhatikan Umar Bin


Khattab ketika menetapkan pengenaan pajak yang berbeda antara
pedagang muslim dan pedagang non muslim. bagi pedagang
muslim, selain harus membayar pajak usyur juga ada kewajiban
membayar zakat, sementara bagi pedagang non muslim tidak
memiliki kewajiban membayar zakat. Selain itu pengenaan pajak
5% kepada pedagang non-muslim merupakan respon terhadap
penguasa non muslim yang mengenakan pajak kepada pedagang
muslim sebesar 5%.

5. Belanja Negara

Jenis belanja publik pada saat Khalifah Umar Bin Khattab


dapat dipilah menjadi 3 Jenis utama: pengeluaran kepedulian
sosial, biaya operasional negara dan pengeluaran investasi.

a. Pengeluaran kepedulian sosial dimaksudkan untuk


membantu rakyat yang mengalami kesulitan secara ekonomi.
Rakyat miskin menjadi prioritas untuk mendapatkan bagian
dari dana kepedulian sosial ini.
b. Biaya operasional adalah biaya negara yang berkaitan dengan
biaya-biaya yang diperlukan untuk menjalankan urusan

31
kenegaraan. Biaya administrasi negara dan perjalanan dinas
kenegaraan merupakan bagian dari belanja negara jenis biaya
operasional.
c. Pengeluaran investasi digunakan untuk melakukan
pembangunan fisik. Pembangunan jembatan, pemeliharaan
Jalan, menggali kanal dan sungai sungai merupakan jenis
belanja investasi. Pembangunan fisik itu dimaksudkan untuk
memperoleh keuangan di masa depan karena membangun
infrastruktur berarti mempelajari mekanisme bisnis.
D. Pemikiran Ekonomi Utsman Bin Affan

Pemilihan dan pengangkatan Utsman bin Affan menjadi


khalifah dilakukan melalui sistem formatur. Ada 6 orang yang
diangkat menjadi tim formatur, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin
Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin al-Awwam, Sa’ad bin Abi
waqas, dan Abdurrahman bin Auf. Hasil musyawarah tim
formatur itu menetapkan Utsman bin Affan sebagai khalifah
ketiga yang menggantikan Khalifah Umar Bin Khattab.

Dalam hal pribadi, Utsman bin Affan ini lebih mirip dengan
Abu Bakar daripada Umar Bin Khattab. Ada dua kepribadian
yang paling menonjol dari diri Utsman bin Affan, yakni lemah
lembut dan kedermawanan. Utsman bin Affan dikenal karena
toleransinya, kedekatannya, sifat lembut dan kerendahan hati
dengan sentuhan rasa malu dalam hal keutamaan memeluk Islam,
Khalifah Usman lebih dekat kepada khalifah pertama daripada

32
yang kedua. Ia adalah salah satu muslim awal dan di atas
semuanya Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang dipilih oleh
Nabi Muhammad SAW. untuk menulis ayat-ayat al-quran ketika
diwahyukan. Keunggulan utama dari Utsman bin Affan di bila
dibandingkan dengan yang lain adalah kepemilikan kekayaan.
Utsman bin Affan termasuk orang kaya pada zamannya

Pemimpin kepemimpinan Utsman bin Affan dituduh


nepotisme, terutama pada masa kepemimpinan 6 (enam) tahun
kedua, ketika usia Utsman bin Affan semakin menua dan
penguasaan kerabatnya di lingkungan kekuasaan semakin
menguat. Namun demikian, ada beberapa program monumental
yang bisa dicapai oleh Khalifah Usman bin Affan, diantaranya
menyelesaikan kodifikasi Al-Quran dan perluasan wilayah.
Hingga akhir masa jabatannya, wilayah kekuasaan Islam meluas
hingga ke Sigistan di Timur, Georgia antara Laut Kaspia dan
Laut hitam di utara dan selanjutnya di pantai Afrika Utara di
sebelah barat.

Dalam bidang ekonomi, kepemimpinan Utsman bin Affan


termasuk yang tidak inovatif. Oleh karena itu, kebijakan-
kebijakan ekonomi umumnya merupakan kelanjutan dari
pendahulunya. Memang, khalifah sebelumnya Khalifah Umar Bin
Khattab telah meninggalkan body yang kokoh tentang kebijakan
ekonomi dan keuangan yang akan sulit untuk berubah tanpa

33
pembenaran. Dengan demikian, kebijakan ekonomi Utsman bin
Affan tinggal melanjutkan kebijakan khalifah sebelumnya.

Sumber utama keuangan publik sebagaimana masa Umar Bin


Khattab terdiri dari zakat,khums, jizyah, kharaj dan usyur.
Demikian pula dengan Belanja Negara persis sama dengan
kebijakan Umar Bin Khattab yakni kepedulian sosial dan
pengeluaran tunjangan, biaya operasional, dan pengeluaran
investasi.

Keadaan ekonomi yang paling menonjol pada masa Utsman


bin Affan adalah kepemilikan negara atas tanah. Negara saat itu
banyak menguasai tanah dan sekaligus menjadi sumber
pendapatan negara yang sangat melimpah. Pemerintahan Utsman
bin Affan telah memiliki lahan pertanian yang diwarisi dan
pemilik sebelumnya yang melarikan diri dari Irak dan Suriah
setelah penaklukan Islam. Meskipun tanah yang disebut tanah
sawah yg telah dianggap sebagai milik umat Islam pada
umumnya, pandangan Umar bin khotob tampaknya selalu
dipertahankan bahwa tanah tersebut diletakkan di bawah
administrasi Negara.

Namun pada perkembangan berikutnya, Kebijakan Utsman


bin Affan terkait dengan penguasaan negara atas tanah itu
mengalami perubahan yang drastis. Utsman bin Affan
berpandangan bahwa tanah dapat ditransfer dari negara kepada
individu untuk pemberdayaan atas dasar sewa. Oleh karena itu,

34
pada masa Utsman bin Affan banyak individu-individu yang
menguasai tanah tanah milik Negara. Di satu sisi memang
mendatangkan kemajuan karena tanah tanah negara menjadi
produktif, tetapi disisi lain Kebijakan Utsman bin Affan ini telah
melahirkan sel dan isme di dunia Islam.

Kebijakan Utsman bin Affan untuk menyewakan tanah


kepada individu-individu itu didasarkan pada beberapa
pertimbangan ekonomi yang masuk akal. Utsman bin Affan
berpendapat bahwa tanah itu diberikan kepada individu dengan
cara sewa dan bukan menjadi hak milik. Dengan sewa yang
berbasis pada prinsip bagi hasil akan mendatangkan keuntungan
dan sekaligus menambah pemasukan bagi keuangan Negara. Pada
saat yang bersamaan penyewaan tanah kepada individu itu dapat
meningkatkan produktivitas tanah sebagai salah satu faktor
produksi. Selain itu, Utsman bin Affan juga berargumen bahwa
menyewakan tanah kepada individu dapat mengurangi
pengeluaran publik dan biaya administrasi negara dari
Pengelolaan tanah.

Pada perkembangan berikutnya, sebagaimanapun, Kebijakan


Utsman bin Affan ini telah melahirkan beberapa kerugian,
terutama bagi umat Islam secara keseluruhan. Kebijakan Utsman
bin Affan itu awalnya hanya sewa, tetapi kemudian terjadi
pemindahan hak milik. Tanah-tanah yang semula disewakan
berubah menjadi hak milik individu, terutama oleh kerabat dekat

35
khalifah. Pernyataan ini Kemudian berimplikasi pada nepotisme
dalam skala yang lebih besar.

Dalam konteks ekonomi modern, kebijakan ekonomi Utsman


bin Affan ini secara keseluruhan cenderung mendukung
privatisasi. Hal ini berbeda dengan kebijakan Umar Bin Khattab
yang lebih mendukung Peran ekonomi kepada Negara. Dengan
kata lain, Kebijakan Utsman bin Affan cenderung bersifat
kapitalis, sementara Umar Bin Khattab cenderung bersifat
sosialis.

E. Pemikiran Ekonomi Ali Bin Abi Thalib

Pengangkatan Ali bin Abi Thalib berlangsung sesaat setelah


Utsman bin Affan wafat. Masa-masa kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib disibukkan dengan upaya melumpuhkan berbagai
pemberontakan. Pemberontakan yang paling sengit dilakukan
oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Pemberontakan ini diselesaikan
melalui mekanisme tahkim, yang menempatkan Ali bin Abi
Thalib dalam posisi yang kalah. Setelah tahkim itulah kekuasaan
Ali bin Abi Thalib berakhir dan kemudian wafat.

Ali bin Abi Thalib memiliki kepribadian yang berbeda dan


sekaligus kelebihannya dibandingkan dengan khalifah yang lain.
Kepribadian utama Ali bin Abi Thalib adalah kebenaran,
pengetahuan, dan keberanian. Fitur kebenaran Ali bin Abi Thalib
tercermin dari kosistensinya dalam menopang perjuangan

36
Rasulullah Saw dan para khalifah sebelumnya. Sedangkan aspek
pengetahuan, Ali bin Abi Thalib termasuk sahabat yang cerdas
bahkan rasulullah Saw menyebutnya sebagai “Gerbang
Pengetahuan”. Demikian pula dengan fitur keberaniannya,
Rasulullah Saw menyebutnya sebagai “Singa Allah”.

Pemikiran ekonomi Khalifah Ali bin Abi Thalib yang terbaik


diringkas dalam dokumen yang lengkap berupa instruksi kepada
gubernur yang baru diangkat di Mesir, Malik al-Asytar.
Dibandingkan dengan instruksi yang diberikan kepada gubernur
oleh khalifah sebelumnya dalam acara-acara serupa, dokumen
khalifah Ali agak panjang dan lebih komprehensif. Dokumen ini
mencerminkan pemikiran Ali bin Abi Thalib yang konstitusional
dan komprehensif yang meliputi masalha ekonomi dan
administrasi di negara bagian.

Pesan pertama yang disampaikan Khalifah adalah


“mencarikan barang bagi rkayat dan membuat kota-kota menjadi
makmur’.instruksi khalifah ini hanya bisa dilakukan dengan cara
menunaikan kewajiban Allah, perlindungan Hak Asasi Manusia,
pemeliharaan fakir miskin, memberikan pertolongan kepada
orang yang teraniaya, menciptakan keamanan dan perdamaian,
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dari instruksi ini jelas
bahwa substantif Khalifah Ali bin Abi Thalib memiliki pemikiran
terkait dengan politik ekonomi yang berujung pada kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat.

37
Hal lain yang bisa ditangkap dari dokumen itu bah Ali bin
Abi Thalib telah membuat struktur dalam kehidupan masyarakat.
Struktur yang dibangun itu terdiri dari sektor tentara, hakim,
pejabat eksekutif dan pegawai, petani, pedagang, industriawan
dan miskin, kaum fakir, kaum miskin dan orang cacat. Dalam
konteks ekonomi modern, struktur masyarakat yang dimaksudkan
oleh Ali bin Abi Thalib ini mirip dengan profesi dalam kehidupan
masyarakat. Menurutnya, antara satu sektor dengan sektor yang
lain saling ketergantungan bagaikan sebuah sistem.

Setelah menyoroti struktur umum dari masyarakat dan


pentingnya integrasi, maka Ali bin Abi Thalib terus membahas
setiap sektor dalam kehidupan masyarakat. Pertanian adalah
sektor yang paling awal dikemukakan. Khalifah Ali bin Abi
Thalib memberikan penekanan yang lebih pada sektor ini karena
berhubungan dengan pendapatan negara. Pendapatan negara akan
bertambah apabila ada kenaikan penghasilan dari sektor
pertanian. Oleh karena itu, Khalifah menginstruksikan kepada
gubernur untuk betul-betul memperhatikan pembangunan di
sektor pertanian.

Sektor ekonomi selanjutnya yang mendapatkan perhatian Ali


bin Abi Thalib adalah sektor perdagangan dan industri. Negara
memiliki tanggung jawab terhadap pedagang dan pelaku industri
dengan memberinya pelayanan dan informasi yang profesional.
Pedagang dan pelaku industri adalah sumber kemanfaatan,

38
keuntungan dan kemakmuran, baik bagi masyarakat maupun bagi
negara. Para pedagang adalah distributor harta, sementara pelaku
industri adalah produsen yang menciptakan dan mengadakan
barang. Apabila para pedagang dan pelaku industri itu
menyalahgunakan kekuatan ekonominya melalui kegiatan
monopoli yang dapat merugikan masyarakat, maka negara
memiliki kewajiban bertindak untuk menghentikannya dan
memperbaiki keadaan.

Pada bagian lain, Ali bin Abi Thalin memiliki pemikiran


tentang kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat itu bergantung
kepada tiga masalah utama, yakni nilai moral, pembangunan
ekonomi, dan distribusi sumber daya ekonomi. Nilai moral
berdasarkan pada ajaran Islam memiliki peran yang sangat
penting bagi kesejahteraan rakyat, terutama untuk menghindari
terjadinya penyalahgunaan kemakmuran ekonomi dan untuk
mempertahakan struktur sosial yang sehaat. Sedangkan
pembangunan ekonomi bergantung pada pengakuan tentang
pentingnya berbagai sektor dalam masyarakat dan kebutuhan
untuk mencapai integrasi ekonomi di antara sektor-sektor
tersebut. Selain itu, kesejahteraan rakyat bergantung kepada
distribusi sumber daya ekonomi. Distribusi ini sangat penting
untuk menciptakan kesejahteraan bersama agar kekayaan tidak
hanya beredar diantara orang kaya saja.

39
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa Ali bin Abi
Thalib telah menawarkan berbagai produk pemikiran terkait
dengan masalah ekonomi. Pemikiran yang utama adalah
pemikiran tentang sektor-sektor ekonomi yang muncul dalam
masyarakat. Sektor ekonomi itu, pada intinya, dapat dipilih pada
dua bagian besar, yakni sektor produksi barang dan jasa. Sektor
produksi barang bisa dalam bentuk pertanian dan industri,
sedangkan sektor jasa bisa dalam profesi sebagai tentara, hakim,
dan pegawai negeri lainnya.

Ali bin Abi Thalib wafat pada tahun 661 M. Kematian Ali
bin Abi Thalib ini bukan saja mengakhiri masa kepemimpinan
Khalifah yang keempat, tetapi juga akhir dari kepemimpinan
Khulafa’ al-Rasyidin. Kepemimpinan umat Islam berikutnya
berada dibawah kendali dinasti, dimana kepemimpinan
diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya, yakni Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.

F. Kesimpulan

Pemikiran ekonomi pada masa khulafa al-rasyidin


sebenarnya merupakan lanjutan dari pemikiran ekonomi yang
muncul pada masa Rasulullah saw. Karakteristik pemikiran
ekonomi yang muncul di dua periode sejarah ini, Rasulullah dan
Khulafaur Rasyidin dalam banyak hal memiliki kemiripan.

40
Namun demikian, dari masing-masing Khalifah Abu Bakar,
Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib
memiliki variasi dan spesifikasi tersendiri dalam kebijakan
ekonomi yang diambil. Pada masa Abu Bakar tidak begitu
banyak kebijakan ekonomi yang diambil karena pada masa
kepemimpinannya lebih banyak digunakan untuk menyelesaikan
masalah riddah, orang yang tidak mau membayar zakat, dan
orang yang mengaku sebagai nabi. Kebijakan ekonomi baru
banyak diambil oleh Umar Bin Khattab. Bahkan, Umar Bin
Khattab memiliki keberanian mengambil kebijakan yang berbeda
dengan kebijakan Rasulullah, seperti dalam kasus distribusi
Tanah Kharaj. Kebijakan ekonomi juga banyak diambil oleh
Utsman bin Affan terutama pada 6 tahun pertama kekuasaannya.
Namun kebijakan ekonomi ini semakin surut ketika Ali Bin Abi
Thalib menjadi khalifah karena kebijakan Ali bin Abi Tholib
lebih banyak untuk menyelesaikan konflik di antara umat Islam.

41
BAB IV
SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI
PADA MASA DINASTI UMAYYAH

A. Ekspansi Perluasan Wilayah Islam Dinasti


Umayyah
Ekspansi gelombang kedua ini dimulai di zaman Dinasti
Umayyah setelah era Khulafaur Rasyidin berakhir. Mu’awiyah
bin Abi Sufyan, sebagai pendiri dan khalifah pertama pada dinasti
itu, melanjutkan kebijakan ekspansi Islam yang sempat terhenti
sejak tahun-tahun akhir kekuasaan Usman bin Affan hingga
kekuasaan Ali bin Thalib tumbang.
Mu’awiyah mengutus Uqbah bin Nafi untuk mengadakan
ekspansi Islam ke wilayah Afrika Utara hingga berhasil merebut
Tunis. Di sanalah pada tahun 50 H, Uqbah mendirikan kota baru
bernama Qairawan yang selanjutnya terkenal sebagai salah satu
pusat kebudayaan Islam. Tidak cukup sampai di situ, Mu’awiyah

42
juga berhasil mengadakan perluasan wilayah Islam dari Khurasan
sampai Sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan
laut Muawiyah juga dengan gagah berani menyerang
Konstantinopel, ibu kota Bizantium.
Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan
kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul
Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus
dan berhasil menundukkan Balkanabad (Turkeministan), Bukhara
(Uzbekistan), Khwarezmia (Iran), Fergana (Uzbekistan) dan
Samarkand (Uzbekistan). Tentaranya bahkan sampai ke India dan
menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke
Multan (Pakistan).
Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa
Bani Umayyah, Muawiyah selalu mengerahkan segala kekuatan
yang dimilikinya untuk merebut kekuasaan di luar Jazirah Arab,
antara lain upayanya untuk terus merebut kota
Konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabakan Muawiyah
terus berusaha merebut Byzantium. Pertama, karena kota tersebut
adalah merupakan basis kekuatan Kristen Ortodoks, yang
pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua,
orang-orang Byzantium sering melakukan pemberontakan ke
daerah Islam. Ketiga, Byzantium termasuk wilayah yang
memiliki kekayaan yang melimpah. Pada waktu Bani Umayyah
berkuasa, daerah Islam membentang ke berbagai negara yang
berada di benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah, juga terus

43
memperluas peta kekuasannya ke daerah Afrika Utara pada masa
Kholifah Walid bin Abdul Malik.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada
zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid
adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat
Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang
berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi
militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua
Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko
dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,
dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara
Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu
tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal
Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian,
Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Dalam peperangan
tersebut, tentara Kristen Spanyol di bawah pimpinan Raja
Roderick pun dapat dikalahkan oleh pasukan Islam yang
dipimpin Tariq bin Ziad. Dengan kekalahan itu, pintu untuk
memasuki Spanyol menjadi terbuka lebar. Toledo –yang
notabene ibukota Spanyol waktu itu—berhasil direbut.
Sedangkan kota-kota lain seperti Sevilla, Malaga, Elvira dan
Cordova, juga tak luput dari penaklukan tentara Islam.
Selanjutnya, Cordova kemudian menjadi ibukota
pemerintahan Islam yang tetap menginduk ke pusat pemerintahan

44
Islam di Kufah. Spanyol yang telah menjadi daerah Islam lantas
dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan Al-Andalus. Pasukan
Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat
kekejaman penguasa.
Pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik, pasukan
Islam juga berupaya melakukan ekspansi ke wilayah Perancis.
Saat itu, upaya ekspansi terutama dipimpin oleh Abdurrahman
bin Abdullah al-Ghafiqi. Ekspansi tersebut juga dilakukan al-
Ghafiqi karena termotivasi oleh kesuksesan penaklukan atas
Spanyol oleh Thariq bin Ziad dan Musa bin Nushair.
Bersama balatentaranya, al-Ghafiqi menyerang kota-kota
seperti Bordeux dan Poitiers. Dari kota Poiters, al-Ghafiqi
berangkat untuk menyerang kota Tours. Tetapi dalam perjalanan
itu antara kedua kota itu, ia ditahan oleh Charles Martel. Ekspansi
ke Perancis pun gagal. Al-Ghafiqi bersama pasukannya akhirnya
mundur kembali ke Spanyol. Meski sempat gagal karena ditahan
Charles Martel, pasukan Islam tetap berupaya menyerang
beberapa wilayah di Perancis, seperti Avignon dan Lyon pada
tahun 743 M.
Pada zaman Dinasti Umayah pula, pulau-pulau yang terdapat
di Laut Tengah, Majorca, Corsica, Sardinia, Crete, Rhodes,
Cypurs dan sebagian Sicilla juga berhasil ditaklukkan oleh
imperium Islam. Ekspansi yang dilakukan Dinasti Umayyah
inilah yang membuat Islam menjadi imperium besar pada zaman

45
itu. Berbagai bangsa yang melintasi berbagai ras dan suku di
berbagai pelosok dunia bernaung dalam satu pemerintahan Islam.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di
timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani
Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak,
sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Turkmenistan,
Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
B. Reformasi Administrasi Dinasti Umayyah
Pada masa pemerintahan khulafaur rasyidin (632-661 M),
pimpinan pemerintahan pusat hanya terdiri atas khalifah,
didampingi seorang pejabat yang disebut al-Katib (sekretaris). Di
samping khalifah ada majelis penasehat yang terdiri atas sahabat-
sahabat Nabi Muhammad. Al-Katib bertugas mencatat
penerimaan dan pengeluaran perbendaharaan negara. Mengurus
surat menyurat dengan pembesar setempat, mendata nama-nama
tentara dan penghasilannya.
Pada masa Dinasti Bani Umayyah, telah muncul persoalan-
persoalan yang cenderung membawa ketidakstabilan dan
perpecahan umat, seperti hancurnya teokrasi yang telah
mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, munculnya
anarkisme dan ketidak disiplinan kaum nomad. Di sisi lain
wilayah kekuasaan umat Islam pada masa Dinasti Umayyah,
menurut Annemarie Schimel: “Telah sampai ke Atlantic,
perbatasan Bizantium, Selat Gibraltar, (Jabal Tarik) tahun 711.

46
Pada tahun itu juga mereka juga menguasai Transoxiana, Sind,
serta Indusvalley (sekarang arah selatan Pakistan).
Adanya persoalan intern dan ekstern tersebut di atas
mengakibatkan terjadinya perkembangan administrasi
pemerintahan sesuai dengan perkembangan wilayah dan
perkembangan urusan kenegaraan yang semakin lama semakin
kompleks.
Pengelolaan administrasi dalam struktur pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah adalah merupakan penyempurnaan dari
pemerintahan khulafaur rasyidin yang diciptakan oleh Khalifah
Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu, sebagaimana periode
Madinah dibagi menjadi wilayah provinsi. Setiap provinsi
dikepalai oleh seorang gubernur atau amir yang diangkat oleh
khalifah. Gubernur didampingi seseorang atau beberapa orang
katib (sekretaris), seorang hajib (pengawal), dan pejabat-pejabat
penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib
al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepala keagamaan
dan hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh khalifah
dan bertanggung jawab kepadanya.
Pada tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lebaga
dan departemen, al-katib, al-hajib, dan diwan. Lembaga al-katib
terdiri dari katib al-rasail (sekretaris negara), katib al-kharaj
(sekretaris pendapatan negara), katib al-jund (sekretaris militer),
katib al-syurthat (sekretaris kepolisian), katib al-qadhi (panitera).

47
Para katib bertugas mengurusi administrasi negara secara
baik dan rapi untuk mewujudkan kemaslahatan negara. Al-hajib
(pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur
para pejabat atau siapapun yang bertemu dengan khalifah.
Lembaga ini belum dikenal di zaman negara Madinah, karena
siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan khalifah
tanpa melalui birokrasi. Tapi ada tiga orang yang boleh langsung
bertemu dengan khalifah tanpa hajib, yaitu muazin untuk
memberi tahukan waktu shalat pada khalifah, shahib al-barid
(pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk khalifah,
dan shahib al-tha’am, petugas yang mengurus hal ikhwal
makanan dalam istana.
Dalam bidang pelaksanaan hukum yaitu al-Nidzam al-
Qadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha dipimpin seorang
qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan membuat
peraturan-peraturan yang digali langsung dalam al-Qur’an,
sunnah Rasul, Ijma’, atau berdasarkan ijtihad. Badan ini bebas
dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum,
baik terhadap pejabat atau pagawai negara yang melakukan
pelanggaran. Pejabat badan al-Hisbat disebut al-Muhtasib,
tugasnya menangani kriminal yang perlu penyelesaian segera.
Sedang pejabat al- Mazhalim disebut qadhi al-mazhalim atau
shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi dari al-
qadha dan al-hisbat, karena badan ini bertugas meninjau kembali

48
akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang
dibuat oleh qadhi dan muhtasib.
Jika terjadi kasus tentang perkara yang keputusannya
dianggap perlu ditinjau kembali, baik rakyat maupun pejabat
yang menyalah gunakan jabatan, badan ini menyelenggarakan
mahkamah al-mazhalim yang mengambil tempat di masjid.
Sidang inni dihadiri oleh lima unsur lengkap yaitu para pembantu
sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib, dan para saksi.
Di dalam tubuh pemerintahan Bani Umayyah terdapat
beberapa diwan atau departeman yaitu:
1) Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat
negara dari khalifah kepada gubernur atau menerima surat-
surat dari gubernur. Departemen ini memiliki dua sekretariat,
untuk pusat menggunakan bahasa Arab, dan daerah
menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia.49 Philip K.
Hitti mengatakan bahwa:
The Arabization in changing the language of the public
registers (diwan) from Greek to arabic in Damascus and
from Pahlavi to Arabic in Al-Iraq and Easten provinces and
in the creation of an Arabic coinage with the charge in
personal naturally took place.
Berdasarkan kepada pendapat Philip K. Hitti di atas,
menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Abdul Malik
telah diterapkan peraturan gerakan Arabisasi yaitu dengan
hanya menggunakan bahasa Arab dalam penulisan surat-

49
surat negara. Bahkan pengaruh gerakan Arabisasi masih
terlihat hingga sekarang, sebagaimana yang dikemukakan
oleh M.A. Shaban: “this was most evident froom the fact that
the language of public record, which until then had been
copric, Greek, or Pahlavi change to Arabic”.
2) Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas
menyalin dan meregistrasi semua keputusan khalifah atau
oereturan- peraturan pemerintah untuk dikirim pada
pemerintah daerah.
3) Diwan al-Kharaj, departemen pendapatan negara yang
diperoleh dari kharaj, zakat, ghanimah, dan sunmber-sumber
lain. Semua pwmasukan dari sumber-sumber itu disimpan di
Baitul Mal.
4) Diwan al-Barid, departemen pelayanan pos, bertugas
malayani informasi tentang berita-berita penting dari daerah
kepada pemerintah pusat dan sebaliknya. Pelayanan ini sudah
diperkenalkan pada masa Mu’awiyah.
5) Diwan al-Jund, departemen pertahanan yang bertugas
mengorganisir militer.
Berangkat dari uraian di atas, terlihat bahwa perkembangan
administrasi pada masa Dinasti Bani Umayyah sudah
semakin kompleks, mengingat munculnya berbagai persoalan
yang crusial yang menuntut adanya kebijaksanaan-
kebijaksanaan. Namun secara prinsip kebijaksanaan yang
dilakukan Bani Umayyah adalah merupakan pengembangan

50
dan penyempurnaan dari administrasi ynang pernah
diciptakan oleh Khalifah Umar ibn Khattab.
C. Kebijakan Ekonomi Dinasti Umayyah
Sekalipun tidak langsung berhubungan dengan ekonomi,
dinasti umayyah telah mengambil beberapa kebijakan yang bias
memperlancar mekanisme ekonomi. Sebut saja kebijakan
mendirikan lembaga layanan pos dan pendirian biro negara tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan ekonomi. Tetapi
kehadiran dua pranata tersebut ternyata bisa memperlancar
mekanisme ekonomi, baik bagi negara maupun bagi masyarakat
pada umumnya . Namun demikian , ditemukan pula beberapa
kebijakan dinasti umayyah yang berhubungan langsung dengan
masalah ekonomi,seperti kebijakan moneter.
1. Munculnya Layanan Pos
Pada masa umayyah juga dibangun layanan pos sebagai alat
pertukaran informasi. Dengan adanya sistem ini, masyarakat bisa
dimudahkan untuk menyampaikan beberapa informasi kepada
keluarganya yang jauh. Layanan ni juga berdampak pada
komunikasi yang baik dalam bidang ekonomi. Jasa pos yang
digagas Muawiyyah ini kemudian ditata secara rapih pada masa
Abd-Malik. Pada saat itu jasa pos yang ditawarkan adalah antara
Damaskus dan Ibu kota provinsi lainnya.
Adapun media yang digunakan dalam proses pengantaran
surat-surat dandokumen lainnya dilakukan dengan menggunakan
hewan. Adapun hewan yang digunakan adalah ‘ fresh animals,

51
mules and horses in Persia, and camels in Syriaand Arabia’ Kuda
dan unta memang menjadi hewan yang biasa digunakansebagai
alat transportasi pada jaman tersebut. Namun memang proses
pengiriman tidak begitu singkat, melainkan butuh waktu yang
cukup lama untuk bisa menyampaikan sebuah surat.Selain
mengantarkan paket kiriman, para petugas pos pada masa tersebut
juga ditugasi untuk mencatat dan mengirimkan kepada khalifah
beberapa pristiwa penting yang terjadi di wilayah mereka masing-
masing. Dengan kata lain, dalam sistem pos yang digunakan
tidak sepenuhnya bersifat rahasia, namun ada beberapa kebijakan
untuk wajib lapor kepada khalifah.
2. Pendirian Biro Negara
Pembentukan biro negara bisa dikatakan telah dimulai oleh
khalifah umar bin khattab. Dengan kompleksitas administrasi
negara selama umayyah dan abbasiyah sebagai akibat dari
ekspansi negara, maka ada kebutuhan untuk membangun sistem
administrasi. Administrasi baru didirikan seperti biro
korespondensi (diwan al-rasail), dan biro segel (diwan al-khatim).
Fungsi utama biro korespondensi adalah: (a) mengawasi
korespondensi antara khalifah dan gubernur provinsi, (b)
menyimpan salinan dari surat keluar khalifah dalam file khusus
untuk kontrol dan referensi di masa mendatang, (c) mengawasi
arsip negara, (d) mengatur pengumuman dan pernyataan publik
yang dikeluarkan oleh khalifah untuk rakyatnya. Tujuan dari biro
segel yaitu: (a) mencegah penyalahgunaan cap persetujuan

52
khalifah, (b) memastikan bahwa surat khalifah yang di segel cap
khusus dan akibatnya, (c) mencegah operator dari membuka surat
dan mengubah isinya.
Sistem administrasi ini diorganisasi lebih lanjut pada masa
dinasti abbasiyah biro yang pertama terkait dengan urusan
administrasi, sedangkan biro yang terakhir berkaitan dengan
aspek pengawasan keuangan dan akuntansi berbagai kegiatan.
3. Reformasi Moneter
Seiring dengan perluasan wilayah kekuasaan, perubahan
signifikan dalam bidang moneter telah terjadi pada masa khalifah
umar bin khattab. Perubahan atau reformasi moneter pada masa
abdul malik, yang merupakan refleksi dari pembentukan
konsolidasi negara pada dinasti umayyah memilik konsekuensi
politik dan ekonomi. Diantara konsekuensi politik dan ekonomi
tersebut adalah: (1) penguatan kedaulatan negara sebagaimana
tercermin dalam mata uang sendiri yang independen, (2)
pengumpulan pajak pada unit moneter terpadu bukan mata uang
persia dan romawi di siria dan mesir, (3) penekanan lebih pada
kebutuhan akan penukaran uang, (4) munculnya bentuk
operasional perbankan, (5) penyebaran instrumen keuangan
seperti ruq’a (perintah pembayaran) dan sakk (penarikan uang).
4. Reformasi Budaya Pertanian
Dalam bidang pertanian, ada kebijakan reformasi yang cukup
hebat membantu warga dalam mengolah tanahnya. Hal ini
dilakukan dengan baik setelah dilakukan kebijakan pembatasan

53
urbanisasi. Pemerintahan pada masa Abd-al Malik membangun
perubahan atau mereformasi bidang pertanian. Jika sebelumnya
warga mengolah lahan pertanian mereka dengan bergantung pada
musim hujan,kini praktek bertani bisa dilakukan kapan saja
karena ketersediaan air yang cukup melimpah.Kebijakan yang
dilakukan adalah dengan menggali sejumlah kanal yang dialirkan
dari Sungai Tigris dan Efrat. Tanah rawa yang ada kemudian di
keringkan agar kemudian bisa dibajak. Selain itu, beberapa tanah
kering yang terlantar juga diairidan dioptimalkan sebagai lahan
pertanian.
Kebijakan ini memang cukup berpengaruh signifikan
terhadap kondisi prekonomian warga sehingga bisa menghasilkan
keuangan yang melimpah. Tidak hanya untuk warga namun juuga
masuk pada kas keuangan negara. Tekhnik pengairan yang
dilakukan pada zaman umayyah ini adalah yang terbaik dan tak
tertandingi pada masa itu khususnya di dinia timur. Kita maih
bisa lihat peninggalannya hingga saat ini yang masih berfungsi
dengan baik.
Oasis subur dan taman-tamannya yang indah adalah hasil
peninggalan pada dinasti umayyah. Disana, ada kanal yang
namanya Nahr-Yazid sebagai penghargaan terhadap khalifah
yazid sebagai pemimpin yang membuat kanal tersebut untuk
menyempurnakan irigasi di wilayah Gutah

54
5. Reformasi Fiskal
Pada masa umayah, ada juga kebijakan reformasi fiskal
degan merubah tata kelola keuangan. Reformasi fiskal ini
dilakukan setelah adanya pembatasan urbanisasi dan reformasi
budaya pertanian. Sebelumnya, memang ada kemudahan yang
diberikan pada umat islam khususnya warga arab asli seperti
bebas pajak. Berbeda dengan warga non muslim yang diwajibkan
untuk membayar pajak lebih besar.
Namun kemudian, ada kebijakan reformasi dimana hampir se
mua pemilik tanah baik muslim maupun non muslim diwajibkan
membayar pajak tanah.Kemudian, pada masa Umar bin Abdul
Aziz, beliau memiliki pandangan bahwa menciptakan
kesejahteraan masyarakat bukan dengan cara mengumpulkan
pajak,melainkan dengan mengoptimalkan kekayaan alam yang
ada. Umar percaya jika hal itu bisa dilakukan dengan
mengelola keuangan negara dengan efektif danefisien. Umar bin
Abdul Aziz tidak hanya layak disebut sebagai pemimpin negara,
tetapi juga sebagai fiskalis muslim. Dia mempunyai
kemamampuan untuk merumuskan, mengelola, dan memutuskan
kebijakan fiskal dengan baik.Kebijakan fiskal ini cukup
berdampak pada perekonomian warga sehingga banyaky ang
mendapatkan manfaat. Dalam bidang ekonomi, Umar bin Abdul
Aziz telah memberikan banyak sumbangan pemikiran yang
sangat bagus apalagi pemikiran tersebut telah berhasil diterapkan
dalam sistem ekonomi yang berkadilan.Dikabarkan pada masa

55
ini, Umar bin Abdul azis kesulitan untuk mendapatkan penerima
zakat. Ini bisa dijadikan indikator keberhasilan pemerintahannya
dalam menyejahterakan rakyatnya.
6. Urbanisasi dan Kegiatan Ekonomi
Kebijakan ini muncul akibat banyaknya orang yang baru
masuk islam terutama yang tinggal di Irak dan Khurasan, mereka
meninggalkan desa tempat mereka berkerja sebagai petani.
Mereka berbondong-bondong pergi ke kota dengan harapan bisa
bergabung menjadi prajurit. Tentu fenomena ini memberikan
dampak yang buruk terhadap pembendaharaan negara dimana
pemasukan keuangan menjadi berkurang. Al-Hajjaj (wakil Abd
Malik di irak kemudian membuat kebijakan untuk
mengembalikan orang-orang tersebut ke ladang-ladang mereka
untuk mengolah pertaniannya. Mereka kemudian kembali
diwajibkan untuk membayar pajak.
Warga irak berbondong-bondong ingin menjadi prajurit
dikarenakan mereka melihat ada keuntungan yang lebih yang
didapatkan oleh para prajurit waktu itu.Selain itu, mereka juga
melihat ada ketidakadilan dalam pembayaran pajak dimana pada
waktu itu oang-orang Islam-arab lebih mendapatkan
keistimewaan dibanding dengan islam wilayah lainnya. Namun
dengan adanya penyelesaian kasus ini, maka kemudian orang
Arab-Islam-pun kembali diwajibkan untuk membayar pajak
tanah.

56
D. Pranata Ekonomi Di Masa Bani Ummayah
Pada masa pra-Islam, uang Romawi dan Persia digunakan di
Hijaz, di samping beberapa uang perak Himyar yang bergambar
burung hantu Attic. Umar, Muawiyah, dan para khalifah
terdahulu lainya merasa cukup dengan mata uang asing yang
beredar, dan mungkin pada beberapa kasus, terdapat kutipan ayat
Al Quran tetentu pada koin-koin itu. Sejumlah uang emas dan
perak pernah dicetak sebelumnya pada masa Abd Al Malik, tetapi
cetakan itu hanyalah tiruan dari mata uang Bizantium dan Persia.
Pada tahun 695, Abd Al Malik mencetak dinar emas dan dirham
perak yang murni hasil karya orang Arab.
Di samping membuat uang Islam, dan melakukan arabisasi
administrasi keeajaan, Abd Al Malik juga mengembangkan
sistem layanan pos, dengan menggunakan kuda antara Damaskus
dan ibukota provinsi lainya. Layanan itu dirancang, terutama
untuk memenuhi kebutuhan transportasi para pejabat
pemerintahan dan persoalan surat-menyurat mereka. Semua
kepala pos bertugas untuk mencatat dan mengirimkan kepada
khalifah semua peristiwa penting yang terjadi di wilayah mereka
masing-masing.
Dalam kaitanya dengan perubahan mata uang, kita perlu
memperhatikan pembaruan sistem keuangan dan administrasi
yang terjadi pada masa ini. Pada dasarnya, tidak ada seorang
muslim pun, dari bangsa mana pun, yang dibebani membayar
pajak, selain zakat ataupun santunan untuk orang miskin,

57
meskipun pada praktikya, hak-hak istimewa sering diberikan
kepada segelintir orang Islam-Arab.
Bersadarkan teori itu, banyak orang yang baru masuk Islam,
terutama dari Irak dan Khursan, mulai meninggalkan desa tempat
mereka berkerja sebagai petani, dan pergi ke kota-kota, dengan
harapan bisa bergabung menjadi prajurit mawali. Fenomena ini
akhirnya menyebabkan kerugian ganda bagi perbendaharaan
kerajaan. Hal tersebut karena setelah masuk Islam, pendapatan
pajak sangat berkurang, dan setelah menjadi prajurit, mereka
berhak mendapatkan subsidi. Al Hajj kemudian membuat
kebijakan penting untuk mengembalikan orang-orang ke ladang-
ladang mereka, dan kembali mewajibkan mereka membayar
pajak tanah dan pajak kepala. Ia bahkan mengharuskan orang-
orang Arab yang menguasai tanah di wilayah wajib pajak untuk
membayar pajak tanah.
Setelah Daulah Umawiyah berhasil menguasai wilayah yang
cukup luas maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang
layak. Lalu lintas darat melalui jalan Sutera kr Tiongkok guna
memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan
wewangian. Perkembangan perdagangan itu telah mendorong
meningkatnya kemakmuran bagi Daulah Umawiyah Bidang-
bidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah
terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan
terhadap pembangunan sektor pertanian, beliau telah

58
memperkenalkan sistem pengairan bagi tujuan meningkatkan
hasil pertanian.
Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraf tangan
telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, kebijakan ekonomi
banyak dibentuk berdasarkan ijtihad para fuqoha dan ulama
sebagai konsekuensi semakin jauhnya rentang waktu (lebih
kurang satu abad) antara zaman kehidupan Rasulullah saw dan
masa pemerintahan tersebut.
Beberapa tradisi dan praktek yang di lakukan oleh Bani
Umayyah pada masa daulah al-Islam, yaitu:
a) Ketika diangkat menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz
mengumpulkan rakyat dan mengumumkan serta
menyerahkan seluruh harta kekayaan pribadi dan
keluarganya yang diperoleh secara tidak wajar kepada baitul
maal, seperti; tanah-tanah perkebunan di Maroko, berbagai
tunjangan yang di Yamamah, Mukaedes, Jabal Al Wars,
Yaman dan Fadak, hingga cincin berlian pemberian Al
Walid.
b) Selama berkuasa beliau juga tidak mengambil sesuatupun
dari baitul maal, termasuk pendapatan Fai yang telah menjadi
haknya.
c) Memprioritaskan pembangunan dalam negeri. Menurutnya,
memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan negeri-negeri
Islam adalah lebih baik daripada menambah perluasan

59
wilayah. Dalam rangka ini pula, ia menjaga hubungan baik
dengan pihak oposisi dan memberikan hak kebebasan
beribadah kepada penganut agama lain.
d) Dalam melakukan berbagai kebijakannya, Khalifah Umar bin
Abdul Aziz lebih bersifat melindungi dan meningkatkan taraf
hidup masyarakat secara keseluruhan.
e) Menghapus pajak terhadap kaum muslimin, mengurangi
beban pajak kaum Nasrani, membuat aturan takaran dan
timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa.
f) Memperbaiki tanah pertanian, menggali sumur-sumur,
pembangunan jalan-jalan, pembuatan tempat-tempat
penginapan musafir, dan menyantuni fakir miskin. Berbagai
kebijakan ini berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat
secara keseluruhan hingga tidak ada lagi yang mau menerima
zakat.
g) Menetapkan gaji pejabat sebesar 300 dinar dan dilarang
pejabat tersebut melakukan kerja sampingan. Selain itu pajak
yang dikenakan kepada non-muslim hanya berlaku kepada
tiga profesi, yaitu pedagang, petani, dan tuan tanah.
Dari perspektif Sejarah Peradaban Islam, pemerintahan Bani
Umayyah disebut sebagai masa keemasan pencapaian kejayaan
pemerintahan Islam. Meskipun masa pemerintahannya tidak
cukup satu abad (90-91 tahun), tetapi berbagai kemajuan yang
dicapai selama pemerintahan ini dapat dikatakan sangat luar biasa
termasuk ke dalamnya adalah kesuksesan dalam perluasan

60
wilayah pemerintahan Islam dan jumlah penduduk yang masuk
Agama Islam. Sebaliknya, disamping dicap sebagai pemerintahan
yang membidani lahirnya pemerintahan monarchie heredetis
(kerajaan turun temurun) juga seperti disebut oleh Dr.
Muhammad Quthb, bahwa pada masa kekhalifahan Umayyah
telah terjadi kemunduran Islam, sehingga pada saat berakhirnya
masa pemerintahaan ini muncul anggapan bahwa Islam akan
hilang dari permukaan bumi.
Dibandingkan dengan bidang-bidang keilmuan lain,
sumbangan pemerintahan kekhalifahan Bani Umayyah di bidang
ekonomi memang tidak begitu monumental, karena pada zaman
pemerintahan ini, pemikiran-pemikiran ekonomi lahir bukan
berasal dari ekonom murni intelektual muslim, tetapi berasal dari
hasil interpretasi kalangan ilmuan lintas-disiplin yang berlatar
belakang fiqh, Tasawuf, filsafat, sosiologi, dan politik. Namun
demikian, terdapat beberapa sumbangan pemikiran mereka
terhadap kemajuan ekonomi Islam, di antaranya adalah perbaikan
terhadap konsep pelaksanaan transaksi salam, murabaha, dan
muzara'ah, serta kehadiran Kitab al Kharaj yang ditulis oleh Abu
Yusuf yang hidup pada masa pemerintahan khalifah Hasyim
secara eksklusif membahas tentang kebijaksanaan ekonomi,
dipandang sebagai sumbangan pemikiran-pemikiran ekonomi
yang cukup berharga.
Perbaikan sistem politik negara pada masa Bani Umayyah
dilakukan dengan pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan.

61
Hal itu banyak membawa pengaruh positif bagi kehidupan
masyarakat terutama dengan dibentuknya Lembaga Keuangan
Negara (Nizam Mal), yang tugasnya adalah sbb :
a) Mengatur gaji tentara dan pegawai negara
b) Mengatur biaya tata usaha negara
c) Megatur biaya pembangunan sarana pertanian, seperti
penggalian terusan dan perbaikan sarana irigasi
d) Mengatur biaya untuk orang-orang hukuman dan tawanan
perang
e) Mengatur biaya untuk perlengkapan perangMengatur hadiah
untuk ulama dan satrawan negara
Dengan adanya lembaga keuangan tersebut pemerintah
mempu membangun panti untuk orang jompo, dan anak yatim.
Selain itu dibangun sarana-sarana umum, seperti masjid, jalan,
dan saluran air.
E. Kemajuan dan Kemunduran Perekonomian
pada Masa Dinasti Umayyah
Kemajuan pemerintahan bani umayah telah terjadi di
berbagai bidang, salah satunya yaitu bidang ekonomi. Di bidang
perekonomian, selama masa bani umayyah telah melahirkan
berbagai kebijakan yang membawanya pada arah kemajuan,
namun juga membawa pada arah kemunduran. Untuk lebih
mengetahui bagaimana perekonomin bani umayah terutama yang
membawanya pada kemajuan dan kemunduran, kali ini kami

62
akan membagikan keadaan ekonomi pada masa bani
umayyaheadaan Ekonomi Pada Masa Bani Umayyah
Ketika pemerintahan bani umayyah berada di tangan
Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan, kondisi dinasti umayah ini
relative stabil. Kondisi ini terjadi, karena bani Umayyah
mendapatkan dukungan al-hajjaj, seorang panglima penakluk
mekah yang bertangan besi, memimpin wilayah sebelah timur
yang merupakan propinsi yang sangat berbahaya dari segi
keamanan.
Dengan adanya kerjasama tersebut, menghasilkan
pemerintahan yang kuat yang ditandai dengan meningkatkan
anggaran pemerintahan untuk berbagai macam pekerjaan umum,
diantaranya adalah pembangunan prasarana dan masjid-masjid
diberbagai propinsi, dan yang terbesar ialah pembangunan Doem
of the rock (Qubbah al-Sahra) di atas masjid al-aqsha di
Jerusalem.
Upaya pembangunan prasarana di atas, menjadikan pertanian
dapat berkembang dengan pesat hasil uang menonjol seperti
gandum, padi, tebu, jeruk, kapas, dan sebagainya. Demikian juga,
industri kulit, dan tenun mengalami kemajuan yang cukup bagus.
Hasil pertanian dan perindrustrian dipasarkan sampai ke india dan
Asia Tenggara.
Pengganti khalifah Abd al-Malik adalah anaknya yang
bernama Walid ibn Abd al-Malik, yang mewarisi dua hal penting.
Pertama, kekayaan yang melimpah dari hasil berbagai

63
penaklukan. Kedua, mata uang arab yang telah dibakukan.
Karena itu, masa pemerintahan Walid ini dipandang sebagai
puncak kejayaan dinasti umayah, sedangkan pada masa-masa
kekalifahan sesudahnya mulai terlihat tanda-tanda kemerosotan
dan hampir tak terlihat lagi peristiwa-peristiwa penting yang
dapat dikatakan sebagai kemajuan ekonomi. Di zaman walidlah
ekspansi pasukan islam ke wilayah barat dilakukan.
1. Faktor Kemajuan Ekonomi Pada Masa Daulah Bani
Umayyah
Selama dinasti bani Umayyah memerintah, kemajuan di
bidang ekonomi didukung oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mendukung kemajuan bani Uamyyah antara lain:
a. Kemajuan perekonomian dari sektor perdagangan.
Setalah daulah Umayyah berhasil menguasai wilayah yang
cukup luas, maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang
layak, baik melalui jalan darat maupun laut. Pada jalan darat umat
islam mendapatkan keamanan untuk melewati jalan sutra menuju
tiongkok guna memperlancar perdagangan sutra, keramik, obat-
obatan, dan wangi-wangian. Pada jalur laut kea rah negeri-negeri
belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi,
permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan. Sehingga dengan
demikian basrah di teluk Persia pada saat itu menjadi pelabuhan
dagang yang cukup ramai.

64
b. Kemajuan perekonomian dari sektor pertanian dan industry.
Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan
terhadap pembagunan di sector pertanian, beliau telah
memperkenalkan sistem irigrasi (pengairan) yang bertujuan
meningkatkan hasil pertanian.
c. Kemajuan perekonomian dari sektor reformasi fiscal.
Selama pemerintahan Umayyah semua pemilik tanah baik
yang muslim dan nonmuslim, diwajibkan membayar pajak tanah,
sementara itu pajak kepala tidak berlaku lagi bagi penduduk
muslim, sehingga banyak penduduk yang masuk islam secara
ekonomi hal ini yang melatar belakangi berkurangnya
penghasilan Negara. Namun demikian, dengan keberhasilan
Umayyah melakukan penaklukan imperium Persia dan
Byzantium maka sesungguhnya kemakmuran daulah ini sudah
melimpah ruah. Pada masa umar bin abdul aziz, beliau memiliki
pandangan bahwa menciptakan kesejahteraan masyarakat bukan
dengan cara mengumpulkan pajak sebanyak-banyaknya seperti
yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelum Umar,
melainkan dengan mengoptimalkan kekayaan alam yang ada, dan
mengelola keuangan Negara dengan efektif dan efisien.
Keberhasila dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat inilah
yang membuat Umar Bin Abdul Aziz tidak hanya disebut sebagai
pemimpin Negara, tetapi juga sebagai fiskalis muslim yang
mampu merumuskan, mengelola, dan mengeksekusi kebijakan
fiskal pada masa kekhalifahannya.

65
d. Kemajuan perekonomian dari sektor pembuatan mata uang.
Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86H),
beliau membuat kebijakan untu memakai mata uang sendiri.
Pemrintah saat itu mendirikan tempat percetakan mata uang di
Daar idjard. Mata uang dicetak secara terorganisir dengan control
pemerintah, kemudian pada tahun 77H/697M, khalifah Abdul
Malik mencetak dinar khusus yang bercorak islam yang khas,
berisi teks islam, ditulis dengan tulasan kufi. Gambar-gambar
dinar lam diubah dengan lafadz-lafadz islam seperti Allahu Ahad,
Allah Baqa’. Sejak saat itulah umat islam memiliki dinar dan
dirham islam sebagai mata uangnya dan meninggalkan dinar
Bezantium dan dirham Kirsa.
2. Faktor Kemunduran Ekonomi Pada Masa Daulah Bani
Umayyah
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dinasti bani
umayyah telah mengalami kemunduran dan kehancuran. Ada
beberapa faktor yang menjadi alasan kemunduran dan
kehancuran bani umayyah, antara lain:
a. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan. Sistem
pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu
yang baru bagi tradisi arab yang lebih menekankan aspek
senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan system
pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.

66
b. Pertentangan etnis antara suku Arab Utara (Bani Qays) dan
Arabia selatan (Bani Kalb). Pada masa kekuasaan Bani
umayyah, pertentangan etnis antara suku Arab Utara (Bani
Qays) dan Arabia selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak
zaman sebelum islam, makin meruncing. Perselisihan ini
mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat
kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di
samping itu, sebagian besar golongan mawali (non-Arab),
terutama di irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa
tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu
inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa arab yang
diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
c. Gerakan para golongan syi’ah dan khawarij. Latar belakang
terbentuknya dinasti umayyah tidak bisa dipisahkan dari
konflik-konflik politik yang terjadi yang terjadi dimasa Ali.
Sisa-sisa syi’ah (para pengikut Ali) dan khawarij terus
menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka, seperti di masa
awal dan akhir maupun secara sembunyi seperti dimasa
pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan
gerakan-garakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
d. Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan
Al-Abbas ibn Abd Al-Almunthalib. Penyebab langsung
tergulingnya kekuasaan dinasti umayyah adalah munculnya
kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn
Abd Al-Almunthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh

67
dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawali
yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Umayyah.
e. Sikap hidup yang mewah di lingkungan istana. Lemahnya
pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh
sikap hidup yang mewah di lingkungan istana sehingga anak-
anak khalifah tidak sanggup mewarisi kekuasaan. Di
samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena
perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat
kurang.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi
satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti
Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan Orang-orang
Bani Abbasiyah yang menjalar-jalar dan membunuh setiap orang
dari Bani Umayyah yang dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin
Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifahan
sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang
melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah
diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyah pada Masa Khalifah
Marwan bin Muhammad pada tahun 127 H/744 M, (Khalifah
terakhir dari Bani Umayyah).
F. Kesimpulan
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah
merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi
(sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani

68
Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya,
tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana
dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin.
Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun
mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan
jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam
pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Kekuasaan Bani
Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali
dilanjutkan oleh Dinasti umayyah. Sehingga kekuasaan Islam
betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol,
Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan,
dan Kirgistan di Asia Tengah.
Perkembangan dalam bidang administrasi dinasti umayyah
sudah semakin kompleks. Namun secara prinsip perkembangan
dan kebijaksanaan administrasi pada dinasti ini adlah merupakan
penyempurnaan administrasi yang pernah dikelola oleh Khalifah
Umar ibn Khattab.
Dinasti Umayyah telah mengambil beberapa kebijakan yang
bisa memperlancar mekanisme ekonomi baik bagi Negara
maupun bagi masyarakat pada umumnya. Yaitu kebijakan
mendirikan lembaga layanan pos dan pendirian biro Negara, tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan ekonomi. Kebijakan

69
dinasti umayyah yang berhubungan langsung dengan masalah
ekonomi seperti kebijakan moneter.
Pada masa Daulah Umayyah keadaan ekonominya
tergantung pada pemasukan pertanian, seperti gandum, padi,
tebu, jeruk, kapas, dan sebagainya. Pembangunan prasarana dan
masjid-masjid diberbagai propinsi, dan yang terbesar ialah
pembangunan Doem of the rock (Qubbah al-Sahra) di atas masjid
al-aqsha di Jerusalem. Ini semua disebabkan kerjasama yang
dilakukan dengan baik antara Abd al-Malik dan al-hajjaj. Setelah
Abd al-Malik lengser dari jabatannya sebagai khalifah kemudian
digantikan oleh anaknya yang bernama Walid ibn Abd al-Malik.
Yang mana pada masa perintahannya mengalami puncak
kejayaan Daulah Umayyah.
Ada beberapa factor yang menjadi penyebab kemajuan
daulah Umayyah. Secara garis besar yaitu pada bidang
perdagangan, bidang Pertanian dan industry, Reformasi fiscal dan
Pembuatan mata uang. Sedangkan factor yang menjadi penyebab
runtuhnya Daulah Umayyah adalah system pemerintahan yang
turun temurun, gaya hidup mereka yang bermewah-mewahan,
terjadinya peperangan yang sangat panjang sehingga
menyebabkan krisis ekonomi. Dan munculnya kekuatan baru
yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-
Almunthalib.

70
G. Kesimpulan
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah
merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi
(sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani
Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya,
tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana
dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin.
Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun
mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan
jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam
pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Kekuasaan Bani
Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali
dilanjutkan oleh Dinasti umayyah. Sehingga kekuasaan Islam
betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol,
Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan,
dan Kirgistan di Asia Tengah.
Perkembangan dalam bidang administrasi dinasti umayyah
sudah semakin kompleks. Namun secara prinsip perkembangan
dan kebijaksanaan administrasi pada dinasti ini adlah merupakan
penyempurnaan administrasi yang pernah dikelola oleh Khalifah
Umar ibn Khattab.
Dinasti Umayyah telah mengambil beberapa kebijakan yang
bisa memperlancar mekanisme ekonomi baik bagi Negara

71
maupun bagi masyarakat pada umumnya. Yaitu kebijakan
mendirikan lembaga layanan pos dan pendirian biro Negara, tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan ekonomi. Kebijakan
dinasti umayyah yang berhubungan langsung dengan masalah
ekonomi seperti kebijakan moneter.
Pada masa Daulah Umayyah keadaan ekonominya
tergantung pada pemasukan pertanian, seperti gandum, padi,
tebu, jeruk, kapas, dan sebagainya. Pembangunan prasarana dan
masjid-masjid diberbagai propinsi, dan yang terbesar ialah
pembangunan Doem of the rock (Qubbah al-Sahra) di atas masjid
al-aqsha di Jerusalem. Ini semua disebabkan kerjasama yang
dilakukan dengan baik antara Abd al-Malik dan al-hajjaj. Setelah
Abd al-Malik lengser dari jabatannya sebagai khalifah kemudian
digantikan oleh anaknya yang bernama Walid ibn Abd al-Malik.
Yang mana pada masa perintahannya mengalami puncak
kejayaan Daulah Umayyah.
Ada beberapa factor yang menjadi penyebab kemajuan
daulah Umayyah. Secara garis besar yaitu pada bidang
perdagangan, bidang Pertanian dan industry, Reformasi fiscal dan
Pembuatan mata uang. Sedangkan factor yang menjadi penyebab
runtuhnya Daulah Umayyah adalah system pemerintahan yang
turun temurun, gaya hidup mereka yang bermewah-mewahan,
terjadinya peperangan yang sangat panjang sehingga
menyebabkan krisis ekonomi. Dan munculnya kekuatan baru

72
yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-
Almunthalib.
LATIHAN SOAL

73
BAB V

SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM


PADA MASA DINASTI ABBASYAH

A. Sejarah Kelahiran Dinasti Abbasyah

Awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah ditandai dengan


pembangkangan yang dilakukan oleh Dinasti Umayyah di
Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-Rahman al-Dakhil
bergelar Amir (jabatan kepala wilayah ketika wilayah ketika itu),
tidak tunduk kepada khalifah yang ada di Baghdad.
Pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani Abbas
mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh Muawiyah
terhadap Ali Bin Abi Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti
Abbasiyah termasuk lama yaitu sekitar lima abad. Kekuasaan
Dinasti Abbasiyah atau khalifahAbbasiyah, melanjutkan
kekuasaan dinasti Umayyah. Dinamakan khalifah Abbasiyah

74
karena para pendiri dan penguasa ini adalah keturunan al-Abbas
paman nabi Muhammad SAW.

Kelahiran bani Abbasiyah erat kaitannya dengan gerakan


oposisi yang di lancarkan oleh golongan syi’ah terhadap
pemerintahan Bani Umayyah. Golongan Syi’ah selama
pemerintahan Bani Umayyah merasa tertekan dan tersingkir
karena kebijakan-kebijakan yang di ambil pemerintah. Hal ini
bergejolak sejak pembunuhan terhadap Husein Bin Ali dan
pengikutnya di Karbela.

Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Bani Abbasiyah


telah melakukan usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbasiyah
telah mulai melakukan perebutan kekuasaan sejak
masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M)
berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi
kepada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh
saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin
Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam yang semuanya
mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang
bersifat politik. Sementara itu, Ibrahim meninggal dalam penjara
karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurrungan karena
melakukan gerakan makar, barulah usaha perlawanan itu berhasil
di tangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap
seluruh Bani Umayyah, termasukkhalifah Marwan II yang sedang
berkuasa.

75
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani
Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari
cabang Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat dengan Nabi
Muhammad SAW. Menurut mereka, orang Bani Umayyah secara
paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh
karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka
mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan pemberontakan
terhadap Bani Umayyah.

Disebut dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah


menjelang berakhirnya Bani Umayyah terjadi bermacam-macam
kekacauan antara lain:

1. Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan


Bani Hasyim.
2. Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab.
3. Pelanggaran terhadap agama Islam dan hak-hak asasi
manusia dengan cara terang-terangan.

Gerakan oposisi terhadap Bani Umayyah dikalangan orang


syi’ah dipimpin oleh Muhammad Bin Ali, ia telah di bai’ah oleh
orang-orang syi’ah sebagai imam. Tujuan utama dari perjuangan
Muhammad Bin Ali untuk merebut kekuasaan dan
jabatankhalifah dari tangan Bani Umayyah, karena menurut
keyakinan orang syi’ah keturunan Bani Umayyah tidak berhak
menjadi imam atau khalifah, yang berhak adalah keturunan dari
Ali Bin Abi Thalib, sedangkan Bani Umayyah bukan berasal dari

76
keturunan Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya golongan ini
memakai nama Bani Hasyim, belum menonjolkan nama Syi’ah
atau Bani Abbas, tujuannya adalah untuk mencari dukungan
masyarakat. Bani Hasyim yang tergabung dalam gerakan ini
adalah keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Abbas Bin Abdul
Muthalib. Keturunan ini bekerjasama untuk menghancurkan Bani
Umayyah.

Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan


gerakan rahasia untuk menumbangkan Bani Umayyah. Gerakan
ini menghimpun:

1. Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;


2. Keturunan Abbas (Abbasiyah), pemimpinnya Ibrahim al-
Iman;
3. Keturunan bangsa Persia, pemimpinnya Abu Muslim al-
Khurasany.

Strategi yang digunakan untuk menggulingkan Bani


Umayyah ada dua tahap :

1. Gerakan secara rahasia

Propoganda Abbasiyah dilaksakan dengan strategi yang


cukup matang sebagai gerakan rahasia, akan tetapi Imam Ibrahim
pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan
Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifahUmayyah terakhir,
Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh

77
pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum
akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul
Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika ia telah
mengetahui bahwa ia akan di eksekusi dan memerintahkan untuk
pindah ke Koufah.

2. Tahap terang-terangan dan terbuka secara umum

Tahap ini dimulai setelah terungkap surat rahasia Ibrahim bin


Muhammad yang ditujukan kepada Abu Musa Al-Khurasani
Agar membunuh setiap orang yang berbahasa Arab di Khurasan.
Setelah khalifah Marwan bin Muhammad mengetahui isi surat
rahasia tersebut ia menangkap Ibrahim bin Muhammad dan
membunuhnya. Setelah itu pimpinan gerakan oposisi dipegang
oleh Abul Abbas Abdullah bin Muhammad as-saffah, saudara
Ibrahim bin Muhammad.

Abdul Abbas sangat beruntung, karena pada masanya


pemerintahan Marwan bin Muhammad telah mulai lemah dan
sebaliknya gerakan oposisi semakin mendapat dukungan dari
rakyat dan bertambah luas pengaruhnya. Keadaan ini tambah
mendorong semangat Abul Abbas untuk
menggulingkan khalifah Marwan bin Muhammad dari
jabatannya. Untuk maksud tersebut Abul Abbas mengutus
pamannya yaitu Abdullah bin Ali untuk menumpas pasukan
Marwan bin Muhammad. Pertempuran akhirnya terjadi antara
pasukan yang dipimpin olehkhalifah Marwan bin Muhammad

78
dengan pasukan Abdullah bin Ali di tepi sungai Al-Zab Al-
Shagirdi, Iran. Marwan bin Muhammad terdesak dan melarikan
diri ke Mosul, kemudian ke palestina, Yordania dan terakhir di
Mesir.

Dalam peristiwa tersebut salah seorang pewaris tahta


kekhalifahan Umaiyah, yaitu Abdurrahman yang baru berumurt
20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol. Tokoh ini
yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani
Umayyah di seberang lautan, yaitu di Keamiran Cordova. Di sana
dia berhasil mengembalikan kejayaan kekhalifahan Umayyah
dengan nama kekhalifahan Andalusia. Pada awalnya
kekhalifahan Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat
pemertintahan dengan Abu Abbas As-Safah (750-754m) sebagai
khalifah pertama. Kemudian khalifah penggantinya Abu Jakfar
Al-Mansur (750-775m) memindahkan pusat pemerintahan ke
Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah
imperium besar yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad
lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah.

Abdullah bin Ali terus mengejar pasukan Marwan bin


Muhammad sampai ke Mesir dan akhirnya terjadi pertempuran
disana. Marwan bin Muhammad pun akhirnya tewas karena
pasukannya sudah sangat lemah yaitu pada tanggal 27 Zulhijjah
132 H/750 M. Pada tahun 132 H/ 750 M Abul Abbas Abdullah

79
bin Muhammad diangkat dan dibai’ah menjadi khalifah, dalam
pidato pembaitan tersebut, ia antara lain mengatakan:

“Saya berharap semoga pemerintahan kami (Bani Abbas)


akan mendatangkan kebaikan dan kedamaian pada kalian. Wahai
penduduk Koufah, bukan intimidasi, kezaliman, malapetaka dan
sebagainya. Keberhasilan kami beserta ahlul Bait adalah berkat
pertolongan Allah SWT. Hai penduduk Koufah, kalian adalah
tumpuan kasih sayang kami, kalian tidak pernah berubah dalam
pandangan kami, walaupun penguasa yang zalim (Bani
Umayyah) telah menekan dan menganiaya kalian. Kalian telah
dipertemukan oleh Allah dengan Bani Abbas, maka jadilah
kalian orang-orang yang berbahagia dan yang paling kami
muliakan..... ketahuilah, hai penduduk Koufah, saya adalah al-
Saffah”.

Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti


Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua
dinasti ini berlatar belakang agama Islam, akan tetapi dalam
pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang
dalam sejarah Islam.

Setelah Abul Abbas resmi menjadi khalifah ia tidak lagi


mengambil Damaskus sebagai pusat pemerintahan tetapi ia
memilih Koufah sebagai pusat pemerintahannya, dengan
beberapa pertimbangan sebagai berikut:

80
1. Para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal
di Damaskus.
2. Kota Koufah jauh dari Persia, walaupun orang-orang Persia
merupakan tulang punggung Bani Abbas dalam
menggulingkan Bani Umayyah
3. Kota Damaskus terlalu dekat dengan wilayah kerajaan
Bizantium yang merupakan ancaman bagi
pemerintahannnya, akan tetapi pada masa
pemerintahankhalifah Al-Mansur (754-775 M) dibangun
kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbas yang
baru.

Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan


Usaha ini, pada tahun 132 H/750 M, tumbanglah Bani Umayyah
dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad, khalifah terakhir
Bani Umayyah. Atas pembunuhan Marwan, mulailah berdiri
Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya khalifah yang pertama,
yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu a-Abbas ash-
Shaffah, pada tahun 132-136 H/750-754 M.

B. Masa Awal Dinasti Abbasiyah


Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh
Abul Abbas Ash-shaffah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama.
Kekuasaan Bani Abbasiyah melewati rentang waktu yang sangat
panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258
M. Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan

81
pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim
(alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan
bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan
anak-anaknya. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial dan budaya.
Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan
Koufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas as-
Saffah (750-754 M) sebagai khalifah pertama. Akan tetapi
pemerintahannya begitu singkat, as-Saffah meninggal (754-755
M) karena terkena cacar air ketika berusia
30an. Kemudian khalifah penggantinya adalah saudara sendiri
Abu Ja’far An-Mansur (754-755 M) memindahkan pusat
pemerintahan ke Baghdad. Kekhilafaan ini lahir setelah
melakukan perjuangan panjang dan revolusi sosial melawan
kehilafahan Dinasti Umayyah. Pendirian dinasti ini sebagai
bentuk reaksi terhadap kehilafahan Bani Umayyah yang
mengalami kemerosotan dimata rakyat. Obsesi kehilafahan ini
adalah jika Dinasti Umayyah pemerintahannya bercorak Arab,
Militeristik dan sekularistik. Maka pemerintahan Dinasti
Abbasiyah bercorak pluralistik etnis, saintifik dan religius.
Pada Masa pemerintahan dua khalifah yang pertama Abu
Abbas As-Saffah (750-754 M) dan saudaranya Abu Ja’far Al-
Mansur (754-775 M) merupakan masa pembentukan dan
konsolidasi orientasi pemerintahan. Di antara kedua khalifah ini

82
Al-Mansurlah yang paling gigih dan pembina yang sesungguhnya
di Dinasti Abbasiyah. Untuk memantapkan posisi Dinasti ia
menghadapi lawan-lawannya dengan keras seperti Bani
Umaiyyah, Khawarij dan Syi’ah. Untuk mengokohkan posisi
dinastinya, Al-Mansur mulai mengambil strategi yang berbeda
dengan Dinasti Umayyah yang bercorak ke Arab-an. Ia
mengambil hubungan dengan Persia dan melengkapi struktur
pemerintahan. Pertama ia memindahkan ibukota dari Damaskus
ke Baghdad, dekat ibukota Persia, Ctesiphon, pada 762
M. Kedua tentara pengawal tidak lagi diambil lagi dari orang-
orang Arab tetapi dari orang-orang Persia. Ketiga seperti dalam
administrasi pemerintahan Persia, Al-Mansur membuat tradisi
baru mengangkat wazir (Menteri) yang membawahi kepala-
kepala Departemen yaitu Khalid Bin Barmak seorang dari Balkh
di Persia. Keluarga Khalid bin Barmak ini kelak menjadi salah
satu sumber perkembangan ilmu pengetahuan di Bani Abbas.
Saat propaganda Abbasiyah sampai ke khurasan, Khalid bin
Barmak merupakan propagandis Abbasiyah paling besar.
Kemudian Abu Abbas As-saffah mengangkatnya sebagai menteri
sehingga Khalid Bin Barmak memegang banyak kedudukan
dengan catatan baik dan ia memegang pemerintahan dengan
terpuji hingga meninggal dunia tahun 163 H.
Pada 7 Oktober 775 M, Al-Mansur meninggal di dekat
Mekkah dalam perjalanan ibadah haji ketika usianya lebih dari 60
tahun. Pengganti Al-Mansur yakni Al-Mahdi (775-785)M, Al-

83
Mahdi mempercayakan pendidikan anaknya, Harun kepada putra
Khalid Bin Barmak yakni Yahya bin Khalid Al-Barmaki.
Kemudian Khalifah Al-Mahdi meninggal ketika sedang berburu
dan jatuh dari kuda yang ditungganginya.
Pengganti Al-Mahdi ialah Al-Hadi sebagaimana wasiat yang
diterima dari Ayahnya bahwa sepeninggalnya dialah yang
menjadi khalifah sedangkan saudaranya yang bernama harun Ar-
Rasyid akan memangku jabatan khalifah pada masa berikutnya.
Al-Hadi meninggal pada malam sabtu 16 Rabiul Awal 170 H
yakni pada umur 26 tahun, Sesudah memerintah dinasti
Abbasiyah selama satu tahun tiga bulan akibat diracun oleh
ibunya sendiri Khaizuran. Sebelum khalifah Al-Hadi meninggal
khalifah Al-Hadi berbuat tidak jujur dan menyalahi wasiat
ayahnya. Dengan keinginannya untuk mengangkat anaknya
sendiri bernama Ja’far yang masih dibawah umur sebagai
penggantinya nanti dan mengucilkan Harun. Semula maksudnya
itu disetujui oleh pembesar-pembesar istananya. Hanya seorang
dari mereka yang tidak menyetujuinya yaitu Yahya bin Khalid
Al-Barmaki yang berani menasehati agarkhalifah Al-Hadi
mengurungkan niatnya karena Ja’far masih kanak-kanak. Akan
tetapi nasehat itu tidak diindahkannya. Bahkan Yahya sendiri
dimasukkan ke dalam penjara dan akan dibunuhnya. Akan tetapi
beruntung niat khalifah Al-Hadi tidak terlaksana
karena khalifah Al-Hadi telah menemui ajalnya. Kemudian
kepemimpinan dinasti Abbasiyah digantikan oleh khalifah Harun

84
Ar-Rasyid. Bukan anaknya Khalifah Al-Hadi karena anak Al-
Hadi masih kecil.
Ketika Harun menjadi khalifah ia juga mengangkat
keturunan Barmak yang tetap ia panggil bapak dengan penuh
hormat, yakni Yahya bin Khalid bin Barmak sebagai wazir
dengan kekuasaan yang terbatas. Yahya bin Kalid bin Barmak,
putra khalid bin Barmak adalah manusia paling tinggi moralnya,
keutamaannya dan kemurahan hatinya. Ia menduduki jabatan
sejak tahun 158 H, ia dicintai dan dia sendiri yang berperan
mendidik Harun Ar-Rasyid, Yahya juga adalah sosok yang
memberi kuasa kepada Harun Ar-Rasyid menjadi khalifah
meskipun ia tidak disukai Al-Hadi.
C. Masa Kekuasaan Bani Abbasiyah
Selama dinasti Bani Abbasiyah berdiri pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerinthan itu, para
sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada
empat periode :
1) Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya Dinasti
Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai
meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
2) Masa Abbasiayah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil
pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya Daulah
Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.

85
3) Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya Daulah
Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai masuknya kaum
Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M.
4) Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya kaum saljuk di
Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya Baghdad
ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan
pada tahun 656 H/1258 M.
a. Masa Abbasiyah I ( 132 H/750 M-232 H/847 M )
Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan
berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya khalifah Al-
Watsiq. Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan Bani
Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena keberhasilannya
memperluas wilayah kekuasaan.
Wilayah kekuasaannya membentang dari laut Atlantik
hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga ke sungai Nil.
Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi
dalam penyebaran Islam mereka adalahkhalifah Abul Abbas ash-
shaffah(750-754 M), Al-Mansyur ( 754-775 M), Al-Mahdi (775-
785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M),
Al-Amin (809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Ibrahim (817 M),
Al-Mu’tasim (833-842 M), dan Al-Wasiq (842-847 M).
b. Masa Abbasiyah II ( 232 H/847 M-334 H/946 M)
Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq
dan berakhir ketika keluarga Buwaihiyah bangkit memerintah.

86
Sepeninggal Al-asiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi khalifah,
masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki.
Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para jendral yang
berasal dari Turki berhasil mengontrol pemerintahan. Ada empat
khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol pemerintahan dari
pada pemerintahanyang efektif, keempat pemerintahan itu adalah
Al-Muntasir (861-862 M ), Al-Musta’in (862-866 M), Al-Mu’taz
(866-896 M), dan Al-Muhtadi (869-870 M). Masa pemerintahan
ini dinamakan masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar keseluruh
wilayah sehinngga banyak wilayah yang memisahkan diri dari
wilayah Bani Abbas dan menjadi wilayah merdeka seperti
Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.
c. Masa Abbasiyah III (334 H/946 M -447 H/1055 M)
Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah,
yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah Al-Muktafi (946 M)
sampai dengan khalifah Al-Qaim (1075 M). Kekuasaaan
Buwaihiyah sampai ke Iraq dan Persia barat, sementara itu Persia
timur, Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah
kekuasaan Dinasti Samaniah beralih kepada Dinasti Gaznawi.
Kemudian sejak tahun 869 M, dinasti Fatimiyah berdiri di Mesir.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa
Turki. Untuk keselamatan, khalifah meminta bantuan kepada
Bani Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa
karena mereka masih menguasai Baghdad yang merupakan pusat
dunia islam dan menjadi kediaman Khalifah

87
Pada akhir Abad kesepuluh, kedaulaulatan Bani Abbasiyah
telah begitu lemah hingga tidak memiliki kekuasaan diluar kota
Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah menjadi
dinasti Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di
Khurasan (874-965 M), dinasti Hamdaniayah di Suriah (924-
1003 M), dinasti Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti
Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dan dinasti Gaznawi di
Afganistan (962-1187 M).
d. Masa Abbasiyah IV (447 H/1055 M -656 H/1258 M )
Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan
mengambil alih pemerintahan Abbasiyah. Masa seljuk berakhir
pada tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol
menyerang serta menaklukkan Baghdad dan hampir seluruh
dunia Islam terutama bagian timur.
D. Perkembangan Ekonomi Dinasti Abbasiyah
1. Kegiatan Ekonomi
Pada masa dinasti Abbasiyah ini telah terjadi spesialisasi dari
profesi sebagai konsekuensi dari perbedaan kondisi geografis.
Pada kondisi geografis wilayahnya berupa padang pasir, maka
kegiatan ekonomi yang banyak ditekuni masyarakat adalah
perdagangan. Dengan sendirinya di daerah ini profesi yang paling
banyak adaah profesi pedagang. Di wilayah yang subur kegiatan
ekonomi yang banyak ditekuni masyarakat adalah pertanian,
perkebunan, dan perternakan. Sebagai konsekuensi logis dari
bervariasinya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat

88
maka produk yang dihasilkannya menjadi bervariasi. Keragaman
ini dapat dikaitkan dengan dua alasan utama; lokasi geografis
yang luas dan perdagangan yang aktif. Lokasi geografis yang luas
dari negara memungkinkan penggabungan berbagai musim dan
kondisi cuaca yang pada gilirannya memungkinkan menghasilkan
berbagai produk.
Di samping itu, perluasan perdagangan antardaerah serta
dengan negara lain telah membantu untuk menciptakan kondisi
bagi keragaman aktivitas ekonomi dan produk yang dihasilkan.
Jalur perdagangan yang membentang dari India di Timur hingga
ke Mesir di Barat telah menampilkan berbagai aktivitas ekonomi
dan menawarkan sejumlah komoditas yang bervariasi. Pada ute
perdagangan itu, terutama di pasar-pasar sebagai tempat
bertemunya penjual dan pembeli, akan ditemukan
keanekaragaman komoditas yang diperjualbelikan.
Keanekaragaman komoditas ini, pada gilirannya, mencerminkan
variasi kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat dalam
kapasitasnya sebagai produsen.
2. Peningkatan Kekayaan Negara
Peningkatan penerimaan negara dari zaman Khulafa al-
Rasyidin sampai dinasti Abbasiyah, mencapai apa yang dikenal
sebagai zaman keemasan, pendapatan negara mengalami
peningkatan yang sangat dramatis. Kenaikan ini mereflesikan
pertumbuhan ekonomi, baik negara secara keseluruhan maupun
masyarakat secara personal-personal. Kekayaan negara, terutama

89
yang bersumber dari pajak, pada masa dinasti Abbasiyah
mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Persoalan pajak
pada masa ini tampaknya telah mendapatkan perhatian yang
sangat serius. Hal ini disebabkan karena masalah regulasi pajak
semakin hari semakin bias. Ada ketidakjelasan terkit dengan
masalah tarif pajak, basis pajak, efesiensi pengumpulan pajak,
alokasi beban pajak, efesiensi distribusi penerimaan pajak, dan
sebagainya.
3. Perubahan Struktur Kepemilikan Tanah
Ada tiga isu utama yang muncul pada masa Dinasti
Abbasiyah yang terkait dengan struktur kepemilikan tanh antara
Muslim dan non-Muslim. Perrtama, hak umat Islam untuk
memperoleh tanah dari non-Muslim, hak pengelolaan menjadi
lebih penting selama Bani Ummayah dan Abbasiyah. Kedua, hak
khalifah untuk memberikan tanah muslim sebagai penghargaan
atas jasa. Ketiga, hak kepemilikan atas tanah yang tidak ada
pemilik sebelumnya yang diabikan oleh siapa pun untuk
dihidupkan kembali. Penggeserah gak milik ini, akan mengubah
pula jenis pajak yang akan diterima oleh negara. Apabila tanah
itu milik negara dan dikelola oleh individu, maka pajak yang
diterima oleh negara adalah pajak Kharaj.
Perkembangan peradaban Islam terjadi pada banyak sektor
terutama pada periode awal Dinasti Abbasiyah. Upaya ke arah
kemajuan ini sebenarnya sudah mulai sejak masa pemerintah al-
Mansur. Yaitu dengan dipinahkannya pusat pemerintahan ke

90
Baghdad tiga tahun setelah dia dilantik
menjadi khalifah. Dijadikannya kota Baghdad sebagai pusat
kendali pemerintahan itu mempunyai arti tersendiri bagi
perkembangan dan kemajuan di bidang ekonomi. Baghdad
merupakan sebuah kota yang terletak di daerah yang sangat
strategis bagi perniagaan dan perdagangan. Sungai Tigris bisa
dilayari sampai kota ini. Begitu juga terdapat jalur pelayaran ke
sungai Eufrat yang cukup dekat, sehingga barang-barang
perdagangan dan perniagaan dapat diangkut mengalir menghilir
sungai Eufrat dan Tigris dengan menggunakan perahu-perahu
kecil. Di samping itu, yang terpenting adalah terdapatnya jalan
nyaman dan aman dari semua jurusan.
Baghdad akhirnya menjadi daerah yang sangat ramai karena
di samping sebagai ibukota kerajaan juga sebagai kota niaga yang
cukup marak pada masa itu. Dari situlah negara akan dapat devisa
yang sangat besar jumlahnya.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban pada masa
Dinasti Abbasiyah, diiringi pula dengan bertambahnya jumlah
penduduk , yang di mana semakin pesat pertumbuhan penduduk
maka semakin besar dan banyak pula faktor permintaan
pasar (demand). Hal ini pada gilirannya memicu produktivitas
ekonomi yang tinggi.
Adapun komoditi yang menjadi primadona pada masa itu
adalah bahan pakaian atau tekstil yang menjadi konsumsi pasar
asia dan eropa. Sehingga industri di bidang penenunan seperti

91
kain, bahan-bahan sandang lainnya dan karpet berkembang pesat.
Bahan-bahan utama yang digunakan dalam industri ini adalah
kapas, sutra dan wol. Industri lain yang juga berkembang pesat
adalah pecah belah, keramik dan parfum. Di samping itu
berkembang pula industri kertas yang dibawa ke Samarkand oleh
para tawanan perang Cina tahun 751 M. Di Samarkand inilah
produksi dan ekspor kertas dimulai. Hal ini rupanya mendorong
pemerintah pada masa Harun al-Rasyid melaluiwazirnya Yahya
untuk mendirikan pabrik kertas pertama di Baghdad sekitar tahun
800M. Komoditas lain yang berorientasi komersial selain logam,
kertas tekstil, pecah belah, hasil laut dan obat-obatan.
Kemajuan di bidang ekonomi tentunya berimbas pada
kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Puncak kemakmuran
rakyat dialami pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan
putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang melimpah
pada masa ini digunakan untuk kegiatan-kegiatan di berbagai
bidagn seperti sosial, pendidikan, kebudayaaan, ilmu
pengetahuan, kesehatan, kesusastraan dan pengadaan fasilitas-
fasilitas umum. Pada masa inilah berbagai bidang-bidang tadi
mencapai puncak keemasannya.
E. Kesimpulan
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh
Abul Abbas Ash-shaffah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama.
Kekuasaan Bani Abbasiyah melewati rentang waktu yang sangat
panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258

92
M. Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan
pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim
(alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan
bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan
anak-anaknya. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial dan budaya.
Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam
yang merupakan masa keemasan dan kejayaan dari peradaban
Islam yang pernah ada. Pada masa Bani Abbasiyah kekayaan
negara melimpah ruah dan kesejahteraan rakyat sangat tinggi.
Pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang pesat sehingga
pada masa ini banyak muncul para tokoh ilmuan dari kalangan
Ummat Islam, baik itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum
seperti ilmu kedokteran yang telah mencetak dokter seperti Ibnu
Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lainnya, sehingga pada masa ini telah
ada lebih dari 800 dokter yang berada di kota Baghdad. Dalam
bidang matematika melahirkan ilmuan bernama Al-Khawarizmi
yang merupakan penemu angka Nol. Demikian juga dari biang
ilmu agama, adanya perkembangan ilmu tafsir, ilmu kalam,
filsafat Islam, dan ilmu tashawuf, yang juga melairkan tokoh-
tokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa pemerintahan
khalifah Harun Al-rasyid kesejahteraan ummat sangat terjamin,
karena pada masa inilah puncak dari kejayaan Bani Abbasiyah,

93
pembangunan dilakukan dimana-mana, baik pembangunan rumah
sakit, irigasi, dan pemandian-pemandian umum.
Dinasti Abbasiyah menjadikan Islam sebagai pusat
perkembangan ilmu pengetahuan dan hal itu menjadi faktor
berkembangnya perekonomian Islam pada masa itu. Dapat
dikatakan bahwa, ada suatu kisah yang tak terharga nilainya dari
peninggalan sejarah Dinasti Abbasiyah. Hal ini harus menjadi
motivasi untuk membangun visi umat dalam mengembangkan
perekonomian dunia.
LATIHAN SOAL

94
BAB VI
SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
PADA MASA ABAD PERTENGAHAN
(DINASTI MAMLUK DAN UTSMANI)

A. Dinasti Mamluk
1. Sejarah Terbentuknya Dinasti Mamluk (648 H/1250 M-
923 H/1517 M)

Kata Mamluk berarti budak dan hamba yang di beli dan di


didik dengan sengaja agar menjadi tentara dan pegawai
pemerintahan. Seorang mamluk berasal dari ibu-bapak yang
merdeka (bukan budak atau hamba). Ini berbeda dengan abd yang
berarti hamba sahaya yang di lahirkan oleh ibu-bapak yang juga
berstatus hamba dan kemudian dijual. Perbedaan lain adalah
mamluk berkulit putih dan abd yang berkulit hitam. Sebagian
mamluk berasal dari mesir, dari golongan hamba yang dimiliki
oleh para sultan dan amir pada kesultanan bani ayub. Para

95
mamluk dinasti Ayubi’yah berasal dari Asia Kecil, Persia (Iran),
Turkistan dan Asia Tengah (Transoksiana), mereka terdiri atas
suku-suku bangsa Turki, Syracuse, Sum, Rusia, Kurdi, dan
bagian kecil dari bangsa Eropa.

Dinasti Mamluk atau mamalik didirikan oleh para budak.


Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh
penguasa Dinasti Ayubi’yah sebagai budak, kemudian dididik
dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok
tersendiri yang terpisah dari masyarakat, oleh penguasa
Ayubi’yah yang terakhir, Al-Malik Al-Shaleh, mereka dijadikan
pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada
masa penguasa, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam
ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan materiil. Di Mesir,
mereka di tempatkan di pulai Raudhah di sungai Nil untuk
menjalani latihan militer dan keagamaan, karena itulah mereka
dikenal dengan Mamluk Bahri (laut). Saingan mereka dalam
ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku
kurdi.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dinasti mamluk dibagi


menjadi dua periode berdasarkan daerah asalnya. Golongan
pertama di sebut dengan Mamluk Bahri, golongan pertama ini
berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan), Mongol dan
Kurdi, tetapi kebanyakan dari budak/budak ini berasal dari
Mongol dan turki. Mereka di tempatkan dipulau Raudhoh di

96
pinggiran sungai Nil. Disinilah mereka menjalani pelatihan
militer dan pelajaran keagamaan. Karena penempatan inilah
mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri (budak laut atau
air).

Sementara itu, golongan yang kedua dinamakan Mamluk


Burji. Para budak ini berasal dari etnik Syracuse di wilayah
Kaukakus. Golongan kedua inilah yang berhasil bertahan untuk
berkuasa pada Dinasti Mamluk. Kelompok ini dibentuk oleh
Qallawun, raja mamluk bahri (1279-1290). Ketika Al-Malik Al-
Salih meninggal (1249 M), anaknya Turansyah naik tahta sebagai
sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah
lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Pada
tahun 1250 M, Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars
berhasil membunuh Turansyah. Istri Al-Malik Al-Salih, Syajarah
Al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamluk
berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan
kesepakatan golongan Mamalik. Kepemimpinan Syajaruh Al-
Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian kawin dengan
seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan menyerahkan
tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus
berkuasa di belakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak
membunuh Syajaruh Al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali
pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang
keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai Sultan
Syar’I (formal) di samping dirinya bertindak sebagai penguasa

97
yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak.
Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal
dari kekuasaan dinasti Mamluk.

Kaum Mamluk berkuasa di Mesir sampai tahun 1517 M.


merekalah yang membebaskan Mesir dan Suria dari peperangan
Salib dan juga membendung serangan-serangan kaum Mongol di
bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk, sehingga Mesir
terlepas dari penghancuran-hancuran seperti yang terjadi di dunia
Islam lain. Dinasti Mamluk adalah kerajaan Islam yang mampu
bertahan dari serangan Mongol dan Timur Lenk serta mereka
juga mampu memporak-porandakan tentara Salib. Dengan
kemenangan itu Dinasti Mamluk mampu menyatukan kembali
Mesir dan Syam di bawah naungan Dinasti Mamluk.

Dinasti Mamluk berkuasa kurang lebih selama 265 tahun


yang dimulai pada tahun 1250 M sampai tahun 1517 M. Di mana
jumlah sultannya sebanyak 47 sultan. System pemerintahan
dinasti ini bersifat oligarki militer dan ada juga yang bersifat
turun temurun. Kerajaan Dinasti Mamluk terbagi menjadi dua
periode yaitu periode pertama dinamakan dengan Mamluk Bahri
yang berkuasa mulai tahun 1250 – 1389 M. Pada masa ini banyak
sultan-sultan yang terkenal diantaranya adalah Quruz, Baybars,
Qalawun dan Nasir Muhammad bin Qalawun. Namun diantara
sultan-sultan tersebut yang paling lama memerintah adalah
Baybars yang mampu berkuasa selama tujuh belas tahun.

98
Kemudian periode kedua yaitu Mamluk Burji yang berkuasa
mulai tahun 1389 – 1517 M.

2. Karya-karya serta kemajuan pada Dinasti Mamluk


1) Bidang Ekonomi

Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamluk membuka hubungan


dagang dengan Perancis dan Itali melalui perluasan jalur
perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fatimiyyah di Mesir
sebelumnya.

Disamping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan


dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan
pengangkutan dan komunikasi antara kota, baik laut maupun
darat. Keteguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu
pengembangan ekonominya. Kemajuan dalam bidang ekonomi
yang dicapai oleh dinasti Mamluk lebih besar diperoleh dan
sektor perdagangan dan pertanian. Di sektor perdagangan,
pemerintah dinasti Mamluk memperluas hubungan dagang yang
telah dibina sejak masa Fatimiyah, misalnya dengan membuka
jalur dagang dengan Italia dan Prancis. Setelah jatuhnya Bagdad,
Kairo menjadi kota yang penting dan strategis karena jalur
perdagangan dan Asia Tengah dan Teluk Persia hampir
dipastikan melalui Bagdad. Keadaan ini menjadikan
berlimpahnya devisa negara terutama dan sektor perdagangan.

Untuk mendukung kelancaran sektor ini, dinasti Mamluk


memperbaiki sarana transportasi untuk memperlancar perjalanan

99
pedagang-pedagang terutama antara Kairo dan Damaskus. Dalam
sektor pertanian, pemerintah mengambil kebijakan pasar bebas
kepada petani, artinya petani diberi kebebasan untuk memasarkan
sendiri hasil pertaniannya.

Sultan Al-Mansur Qalawun (678 H-689 H/1280M -1290 M)


juga telah menyumbangkan jasanya dalam pengembangan
administasi pemerintah, perluasan hubungan luar negeri untuk
memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan
internasional.

2) Bidang Pembangunan

Dinasti Mamalik juga banyak mengalami kemajuan di


bidang pembangunan. Banyak juru bina dibawa ke Mesir untuk
membangunkan sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah.
Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini di
antaranya adalah, rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa,
kubah, dan menara masjid.

Situs yang dapat dilihat sampai sekarang dari dinasti Mamluk


yaitu Masjid Qal’ah (Benteng) yang berada di Yerussalem.
Masjid yang dibangun oleh Sultan al-Nashir Muhammad bin
Qalawun, salah satu penguasa Dinasti Mamluk ini pada 1310 M,
kini diubah menjadi Museum Benteng Dawud oleh Zionis Israel
setelah direbut dari rakyat Palestina pada Perang 1967. Lokasi
situs bersejarah ini terletak di dalam benteng kawasan kampung
lama, Yerussalem, di Perempatan Armenia.

100
3) Bidang Ilmu Pengetahuan

Di dalam ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian


ilmuan-ilmuan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol.
Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir.
Seperti sejarah, perobatan, astromi, matematika dan ilmu agama.
Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar seperti Ibn
Khalikan, Ibn Taghribardi dan Ibn Khaldun. Di bidang astronomi
dikenal nama Nasir Al-Din Al-tusi. Di bidang perobatan Abu
Hasan ‘Ali Al-Nafis. Sedangkan, dalam bidang ilmu keagamaan,
tersohor nama Ibn Taimiyah, Al-Sayuthi, dan Ibn Hajar Al-
‘Asqalani.

4) Bidang Militer

Pemerintahan dinasti ini dilantik dari pengaruhnya dalam


militer. Para Mamluk yang dididik haruslah dengan tujuan untuk
menjadi pasukan pendukung kebijaksanaan pemimpin. Ketua
Negara atau sultan akan diangkat di antara pemimpin tentera
yang terbaik, yang paling berprestasi, dan mempunyai
kemampuan untuk menghimpun kekuatan. Walaupun mereka
adalah pendatang di wilayah Mesir, mereka berhasil menciptakan
ikatan yang kuat berdasarkan daerah asal mereka.

Dinasti Mamalik juga menghasilkan buku mengenai ilmu


militer.Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan
mereka untuk mempersembahkan sebuah karya kepada para
sultan yang menjadi penguasa saat itu.Perbahasan yang sering

101
dibahas adalah mengenai seluk-beluk yang berkaitan dengan
serangan bangsa Mongol. Pada lingkungan ketenteraan Dinasti
ini, menghasilkan banyak karya tentang ketenteraan, khususnya
keahlian menunggang kuda.

5) Bidang Budaya Politik

Daulah Mamalik atau Dinasti Mamluk membawa warna baru


dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat
oligarki militer, Bentuk pemerintahan oligarki militer adalah
suatu bentuk pemerintahan yang menerapkan kepemimpinan
berdasarkan kekuatan dan pengaruh, bukan melalui garis
keturunan, kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qalawun
(1280-1290 M) menerapkan pergantian sultan secara turun
temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya empat tahun, karena
kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295- 1297 M). Sistem
pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan
di Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir
berkompetisi dalam prestasi, karena mereka merupakan kandidat
sultan. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam bebagai bidang,
seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu
pengetahuan.

Sistem Oligarki Militer lebih mementingkan kecakapan,


kecerdasan, dan keahlian dalam peperangan. Sultan yang lemah
bisa saja disingkirkan atau diturunkan dari kursi jabatannya oleh
seorang Mamluk yang lebih kuat dan memiliki pengaruh besar di

102
tengah-tengah masyarakat. Kelebihan lain dari sistim oligarki
militer ini adalah tidak adanya istilah senioritas yang berhak atas
juniornya untuk menduduki jabatan sultan, melainkan lebih
berdasarkan keahlian dan kepiawaian seorang Mamluk tersebut.

6) Bidang Agama

Ajaran sunni dikembangkan di kalangan masyarakat oleh


ulama-ulama dan mubaligh yang dididik di universitas Al-Azhar.
Untuk melayani perkara yang muncul, pemerintahan dinasti
mamluk mangangkat Qadhi atau Hakim untuk tiap-tiap mazhab
fiqh sunni, yaitu: qadhi Mazhab hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali.

3. Berakhirnya Dinasti Mamluk

Setelah memiliki kemajuan-kemajuan diberbagai bidang,


yang tercapai berkat kepribadian dan wibawa sultan yang tinggi,
solidaritas sesama militer yang kuat dan stabilitas negara yang
aman dari gangguan.

Namun faktor-faktor tersebut menghilang, dinasti Mamluk


sedikit demi mengalami kemunduran. Semenjak masuknya
budak-budak dari Sirkasia yang kemudian dikenal dengan nama
Mamluk Burji, yang untuk pertama kalinya dibawa oleh
Qalawun, solidaritas antarsesama militer menurun, terutama
setelah Mamluk Burji berkuasa. Banyak penguasa Mamluk Burji
yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan.

103
Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya di kalangan penguasa
menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat
menurun dan perekonomian negara tidak stabil. Di samping itu,
ditemukannya Tanjung Harapan oleh Eropa melalui Mesir
menurun fungsinya. Kondisi ini diperparah oleh datangnya
kemarau panjang dan berjangkitnya wabah penyakit.

Di pihak lain, suatu kekuatan politik baru yang besar muncul


sebagai tantangan bagi Mamalik, yaitu kerajaan Usmani.
Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di Mesir.
Dinasti Mamalik kalah melawan pasukan Usmani dalam
pertempuran menentukan di luar kota Kairo tahun 1517 M. Sejak
itu wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan Kerajaan Utsmani
sebagai salah satu provinsinya.

B. Dinasti Utsmani
1. Sejarah Singkat Terbentuknya Dinasti Utsmani

Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari Kabilah Oghuz


(Ughuj) yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri
Cina. Pada abad ke-13 M, Jengis Khan mengusir orang-orang
Turki dari Khurasan dan sekitarnya. Kemudian, mereka
bermukim di Asia kecil. Di sana mereka mengabdi di bawah
pimpinan Sultan Alauddin Kaikobad, yang berperang melawan
Bizantium (Romawi Timur). Saat Mongol menyerang Sultan
Alauddin di Angkara, Ertogrul (Al-Thugril) membantu mengusir
Mongol. Atas bantuannya juga, Alaudin Kaikobad menang

104
melawan Bizantium. Sehingga berkat jasanya itu, Alauddin
memberikan daerah Iski Shahr dan sekitarnya. Ertogrul,
mendirikan ibukota bernama Sungut, di sana lahir anak pertama
bernama Usman pada 1258 M. Al-Thugril meninggal pada 1288
M. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Pada
tahun 1300 M, Sultan Alauiddin Kaikobad terbunuh saat
melawan bangsa Mongol. Kerajaan terpecah-belah, akhirnya
Usman mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan, maka sejak
itulah berdiri Dinasti Turki Usman.

2. Perkembangan Pemikiran Ekonomian Utsmani

Sebutan dari Bani Utsmani adalah Turki Utsmani yang biasa


disebut bangsa Eropa sebagai Ottoman. Menurut Ash-Shalabi
keadaan ekonomi Turki Utsmani di periode akhir
pemerintahannya justru terbalik dengan saat-saat awal
pemerintahannya. Terungkap pada kisah saat delegasi Yahudi
Theodore Hertzl meminta kepada Sultan Abdul Hamid II agar
kaum Yahudi dibolehkan untuk menduduki tanah Palestina
dengan menawarkan dengan berbagai tawaran. Sejarah
perekonomian Utsmani dibagi kedalam dua periode.

Pertama periode klasik yang mana berbasis kepada pertanian,


khalifah utsmani memberikan keleluasaan kepada setiap wilayah
untuk mengembangkan potensi pertaniannya. Kedua era
reformasi yaitu era perbaikan pengaturan sistem pemerintahan,
terdiri dari perbaikan sistem administrasi publik dan perubahan

105
sistem politik pada masa itu dari tangan militer kepada publik,
tujuannya untuk memberikan fungsi layanan publik yang lebih
baik.

Sumber pendapatan Utsmani banyak diperoleh dari perluasan


wilayah (ekspansi militer) serta dari sektor fiskal yaitu pajak.
kekuatan ekonomi khilafah Utsmani berasal dari sumber daya
ekonomi yang terdapat di wilayah Utsmani, berikut ini adalah
berbagai kekuatan ekonomi di wilayah Turki :

a. Daratan

Di Anatolia, Khalifah Utsmani diwarisi sebuah jalur


Caravanserai dari pendahulu mereka yaitu Seljuk Turks. Jalur ini
menjadi semacam keuntungan bagi Utsmani, karena menjamin
keamanan pengantaran barang dan rombongan karapan dagang
dengan disediakannya penginapan bagi para pedagang serta
hewan-hewan tunggangannya di wilayah Jalur Caravanserai.

b. Laut

Dibawah kepemimpinan Sultan Bayazid II, Utsmani


mempunyai kekuatan angkatan laut yang kuat. Angkatan laut ini
ditugaskan untuk memberantas perompak. Secara dimplomatik,
dengan kekuatan angkatan laut maka akan menguntungkan para
pedagang baik dari dalam maupun dari luar, sehingga
pengembangan perekonomian bisa dilakukan.

106
c. Pertanian

Khilafah Utsmani adalah negara pertanian karena


mempunyai lahan yang subur, hal ini bisa dilihat dari pajak yang
dihasilkan pertanian sekitar 40% bagi pendapatan pajak negara.
Daerah yang menjadi sumber pertanian Utsmani ini diantaranya
Anatolia.

Dari penjelasan diatas, maka dapat dilihat bahwa


pemerintahan Bani Utsmani masih meneruskan kegiatan
perekonomian di masa sebelumnya. Berikut beberapa pemikir
dalam masa Utsmani yang berkontribusi pada pemikiran-
pemikiran ekonomi diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Hajji Khalifah

Bangsa Turki mengenalnya dengan katib chelebi. Pada tahun


1630 M, bersama Kocu Bey menulis tentang feomena ekonomi
Utsmani dalam perdagangan internasional serta ekonomi
domestik.

b. Cemal Kafadar

Salah seorang pemikir Utsmani yang cenderung pada


pemikirian ekonomi ialah Cemal Cafadar walaupun belliau tidak
sehebat Ibn Khaldun atau Al-Maqrizi. Kafadar mengkritik
kebijakan penurunan nilai terhadap mata uang logam yang
diterapkan oleh pemerintah pusat Utsmani untuk mengatasi
Inflasi.

107
c. Mustafa Ali

Mustafa Ali mengkritik kebijakan ekonomi pemerintahan


pusat Utsmani yang terlalu bergantung pada jumlah perputaran
uang beredar dalam mengendalikan iflasi, melalui pemikiran
politik, sosial dan analisis sejarah.

3. Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal Utsmaniyah


a. Kebijakan Moneter

Pada abad ke-16 merupakan era kecemerlangan daulah


Ustmaniyah sebagai sebuah daulah Islam yang besar dan
dianggap sebagai pemimpin dunia Islam. Pada masa itu pula kita
bisa menyaksikan pencapaian daulah Ustmaniyah dalam
perluasan kuasa politik yang meliputi benua Asia dan Eropa,
pembangunan sosial dan juga ekonomi. Skop ekonomi terfokus
membincangkan sejarah mata uang daulah Ustmaniyah dari segi
pembuatan, penggunaan material, nilai mata uang dan juga
transaksi yang dilakukan. Di samping itu, tinjauan juga dilakukan
terhadap penggunaan mata uang daulah Ustmaniyah serta
hubungannya terhadap perkembangan sistem mata uang Eropa.

b. Kebijakan Fiskal

Sumber pemasukan uang hasil pajak pada pemerintahan


Ustmaniyah bersumber dari 3 sektor, yaitu: pajak langsung, pajak
tidak langsung dan keuntungan ekonomi. Pajak langsung
merupakan pendapatan utama kerajaan Ustmaniyah yang

108
diperoleh dari pajak sektor pertanian, pendapatan, kambing
Agnam dan lain sebagainya. Sedangkan pajak tidak langsung
hanya mampu dijadikan sebagai pemasukan tingkat ketiga, yang
mana pajak ini bersumber dari biaya masuk petani tembakau
selain penduduk Istanbul. Pajak terakhir dari keuntungan
ekonomi bersumber dari produksi garam, penjualan hasil
tambang, hutan dan perikanan. Pada hakikatnya pendapatan dari
ke 3 sektor ini akan bertambah, apabila pada masa bersamaan
kerajaan Ustmaniyah mampu menguasai wilayah baru, sehingga
pendapatan akan bertambah.

C. Kesimpulan

Dinasti Mamluk adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh


para budak yang berasal dan Turki yang dijadikan tentara oleh
Malik as-Shalih Najamuddin Ayyub sebagai pengawal kerajaan,
akan tetapi mereka diberi kebebasan dan kesempatan yang luas
untuk mencapai kedudukan dalam jajaran militer. Mereka
akhimya mendirikan suatu kelompok militer yang terorganisir
lalu kemudian merebut kekuasaan, sehingga menjadikan Syajarat
al-Dur sebagai orang pertama yang memegang jabatan sultan
pada dinasti Mamluk.

Dinasti Mamluk juga membawa warna baru dalam sejarah


politik Islam. Pemerintahan dinasti yang bersifat oligarki militer
dapat memberikan kemajuan-kemajuan di capai dalam berbagai

109
bidang, seperti konsiladasi pemerintahan, perekonomian, dan
Ilmu pengetahuan.

Peran dinasti Mamluk dalam menjaga peradaban di Mesir


dibuktikan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa
pemerintahannya. Pada masa dinasti Mamluk berkuasa benyak
kemajuan yang dicapai, hal tersebut memberikan sumbangan
yang besar bagi perkembangan dunia Islam. Adapun kemajuan
yang dicapai pada saat itu adalah di bidang militer, politik,
ekonomi, pendidikan dan ilmu pengetahuan dan seni arsitektur.
Pada masa itulah banyak sekali ilmuan handal yang lahir dan
memberi sumbangan pemikiran yang begitu besar terhadap
peradaban Islam.

Kemunduran dinasti Mamluk dikarenakan berbagai faktor


antara lain faktor internal yaitu perebutan kekuasaan, kehidupan
yang bermewa-mewahan dikalangan pemimpin, korupsi,
merosotnya sistem ekonomi. Dan faktor eksternal penyebab
kemunduran dinasti Mamluk adalah munsulnya gejolak politik
baru yakni Turki usmani kemudian menguatnya Turki Usmani
dalam berbagai bidang sehingga dapat memukul mundur
kekuatan dinasti mamalik sampai menghancurkannya. Sehingga
berakhirlah kekuasaan dinasti Mamalik.

Kerajaan Turki Utsmani merupakan kerajaan yang dipimpin


oleh 40 sultan. Pada abad pertengahan memang masa yang paling
bersejarah bagi bangsa arab, bahkan kemunduran bagi bangsa

110
barat, dalam segi pandang kerajaan, kekuasaan wilayah adalah
yang penting. Turki Utsmani yang memimpin selama kurang
lebih 6 abad memberi bukti kejayaan nya sampai ke Eropa, akan
tetapi dari stagnisasi bangsa Utsmani mereka lebih memajukan
kemiliteran nya adalah satu hal yang terpenting yang harus
dimiliki seorang pemimpin, dengan orientasi penaklukan
konstatinopel, membuat mereka menjadi bersemangat menjadi
kerajaan Turki Utsmani menjadi simbol kejayaan Islam.

Karya-karya serta Kemajuan Dinasti Mamluk

di Berbagai Bidang

Bidang ➢ membuka hubungan dagang dengan


Ekonomi Perancis dan Itali melalui perluasan
jalur perdagangan yang sudah dirintis
oleh dinasti Fatimiyyah di Mesir
sebelumnya.
➢ pembangunan jaringan pengangkutan
dan komunikasi antara kota, baik laut
maupun darat, memperbaiki sarana
transportasi untuk memperlancar
perjalanan pedagang-pedagang terutama
antara Kairo dan Damaskus
➢ Dalam sektor pertanian, pemerintah
mengambil kebijakan pasar bebas
kepada petani, artinya petani diberi

111
kebebasan untuk memasarkan sendiri
hasil pertaniannya.
Bidang ▪ membangunkan sekolah-sekolah dan
masjid-masjid yang indah, rumah sakit,
Pembangunan
museum, perpustakaan, villa-villa,
kubah, dan menara masjid.
▪ Situs yang dapat dilihat sampai sekarang
dari dinasti Mamluk yaitu Masjid
Qal’ah (Benteng) yang berada di
Yerussalem.
Bidang Ilmu • Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama
Pengetahuan besar seperti Ibn Khalikan, Ibn
Taghribardi dan Ibn Khaldun. Di bidang
astronomi dikenal nama Nasir Al-Din
Al-tusi.
• Di bidang perobatan Abu Hasan ‘Ali Al-
Nafis. Sedangkan, dalam bidang ilmu
keagamaan, tersohor nama Ibn
Taimiyah, Al-Sayuthi, dan Ibn Hajar Al-
‘Asqalani.
Bidang ❖ Sistem pemerintahan oligarki ini banyak
mendatangkan kemajuan di Mesir.
Budaya
Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam
Politik bebagai bidang, seperti konsolidasi
pemerintahan, perekonomian, dan ilmu
pengetahuan.
❖ Kelebihan lain dari sistim oligarki
militer ini adalah tidak adanya istilah
senioritas yang berhak atas juniornya
untuk menduduki jabatan sultan,
melainkan lebih berdasarkan keahlian
dan kepiawaian seorang Mamluk

112
tersebut.
Bidang • mangangkat Qadhi atau Hakim untuk
Agama tiap-tiap mazhab fiqh sunni, yaitu: qadhi
Mazhab hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali.
Bidang ✓ Pada lingkungan ketenteraan Dinasti ini,
Militer menghasilkan banyak karya tentang
ketenteraan, khususnya keahlian
menunggang kuda.
Perkembangan Pemikiran Ekonomian Utsmani

Periode berbasis kepada pertanian, khalifah utsmani


klasik memberikan keleluasaan kepada setiap wilayah
untuk mengembangkan potensi pertaniannya.
Era era perbaikan pengaturan sistem pemerintahan,
reformasi terdiri dari perbaikan sistem administrasi publik
dan perubahan sistem politik pada masa itu dari
tangan militer kepada publik, tujuannya untuk
memberikan fungsi layanan publik yang lebih
baik.
Kebijakan - Penemuan Uang Akce, Studi kasus kebijakan
Moneter moneter masa Ustmaniyah ditemukan pada tahun
2000 M, berupa ditemukannya 60.000 koin
Akce,1[1] tepatnya di wilayah Becin Kalesi Turki

113
oleh Prof Unal, Ege University Of Izmir. (Agoston
& Masters, 2009, p. 616) Arkeologi berhipotesis
bahwa koin ini merupakan uang Akce pada masa
pemerintahan Ustmaniyah yang diproduksi pada
abad ke-16 dan ke-17 M, -Kemerosotan Mata
Uang Ustmaniyah
Kebijakan Sumber pemasukan uang hasil pajak pada
Fiskal pemerintahan Ustmaniyah bersumber dari 3 sektor,
yaitu: pajak langsung, pajak tidak langsung dan
keuntungan ekonomi.

Latihan Soal

1. Apa kelebihan dari sistem pemerintahan yang bersifat


oligarki militer?
2. Apakah inti dari pemikiran ekonomi pada masa dinsti
Utsmani?

114
BAB VII

SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI


ISLAM PADA MASA PARA FUQAHA

(IMAM ABU HANIFAH, IMAM MALIK, IMAM


SYAFI’I & IMAM AHMAD BIN HANBAL)

A. Pengertian Ekonomi

Kata Ekonomi berasal dari bahasa yunani (Greelj: Oikos


dan Nomos, Oikos berarrti rumah tangga (house-hold),
sedangkan Nomos berararti aturan, kaidah, atau pengelolaan.
Dengan demikian secara sederhana ekonomi dapat diartikan
sebagai kaidah-kaidah, aturan-aturan, atau cara pegelolahan
rumah tangga.

115
Dalam bahsa Arab, ekonomi sering di terjemahkan dengan
Al-iqtishadi yang berarrti hemat, dengan penghitungan, juga
mengandung makna rasionalitas dan nilai secara implisit. Jadi,
ekonomi adalah mengatur urusan rumah tangga, dimana anggota
keluarga yang mampu, ikut terlibat dalam menghassilkan barang-
barang berharga dan membantu menberikan jasa, lalu seluru yang
ada, ikut menikmati apa yang mereka.

Dari pengetian di atas sejalan denga tuuan ekonomi islam


yang menurut Nik Mustafa, islam berorientasi pada tujuan (goal
oriented). Prinsip-prinsip yang mengarahka dan kolektif
bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan menyeluruh dalam tata
sosial islam dan pengorganisasian kegiatan-kegiatan ekonomi
pada tingkat individu Yusuf Al-Qardawi menyatakan bahwa
ekonomi islam adalah ekonomi yang berasaskan ketuhanan,
berasaskan kemanusiaan, berahklaq, dan ekonomi pertengahan.
Dari pengertian yang di kemukakan oleh yusuf Al-Qardawi
muncul 4 nilai-nilai utama yang terdapat dalam ekonomi islam
sehingga menjadi karakteristik ekonomi islam, yaitu :

1. Iqtishad rabbani (Ekonomi Ketuhanan)


2. Iqtishad Akhlaqi (Ekonomi Akhlaq)
3. Iqtishad Insani (Ekonomi Kerakyatan)
4. Iqtishad Washati (Ekonomi pertengahan)

116
B. Sejarahwan Ekonomi dalam islam

Sejalan dengan ajaran islam tentang pemberdayaan akal


pikiran dengan tetap berpegang teguh pada al-qur'an dan hadist
nabi, konsep dan teori ekonomi dalam islam pada hakikatnya
merupan respon para cendikiawan muslim terhadap berbagai
tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti
bahwa pemikiran ekonomi islam sesuai islam itu sendiri. Karana
pada hakikatnya ekonomi islam adalah metamorfosa nilai-nilai
islam yang digunakan untuk menepis anggapan bahwa islam tak
hanya membahas tentang ubudiyah atau komonikasi vertikal
antara Allah dengan manuisa.

Dari kutipan di atas terlihat bahwa pemikian ekonomi Islam


di zaman klasik sangat maju dan berkembang sebelum para
ilmuwan barat membahasnya di abad 18-19. Fakta ini harus
diperhatikan para ahli ekonomi kontemporer tidak saja ekonom
muslim tetapi juga yang non muslim di seluruh dunia.

Dalam kajian ekonomi islam banyak terjadi perbedaan


pendapat dari beberapa lmuan baik dari ilmuan muslim maupun
dari ilmuan non muslim. Sebagai mana yang di jela maha pemilik
seluruh apa dan siapa di dunia ini, langit bumi, manusia, hewan
tumbuhan, batu-batuan, dan sebagainya, baik benda hidup
maupun benda mati yang terlihat ataupun yang tidak terlihat,
"Dan hanya kepunyaan allah-lah apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi." (an-Najam: 3)

117
Semangat berijtihad di kalangan ulam sangat menonjol pada
masa ini Kondisi ini mendorong pesatnya perkembangan
berbagai ilmu pengetahuan termasuk bidang fiqih. Para fuqaha
pada saat ini melakukan ijtihad untuk mencari formulasi fiqih
guna menghadapi persoalan-persoalan sosial yang kompleks,
dengan menggali dan menyikap sinar ajaran islam yang ada
dalam al qur'an dan sunnah, mengenai masalah hukum yang ada
termasuk masalah ekonomi. Periode keemasan ini di tandai
dengan penyusunan beberapa kitab-kitab fiqih dan usul fiqih,
seperti kitab muawatta' karya imam malik, kitab al umm karya
imam syafi'i.

C. Sejarah pemikiran ekonomi islam para fuqaha

Untuk mendukung perkembangan ekonomi islm pada abad


pertengahan yang di sebut dengan masa keemasan ini, para
ulamak fiqih juga melakukan beberapa ijtihad, sehingga
munculah beberpa kitab yang sudah di jelasakan di atas, setelah
habis masa keemasan, muncul masa kemunduran fiqih yang
diawali dengan melemahnya semangat ijtihad di kalangan ulama
fiqih.

Hal ini terjadi karena sikap taqlid dan tingginya rasa


fanatisme madzhab dikalanagan mereka yang diperkuat dengan
munculnya statemen bahwa pintu ijtihad telah tertup.

118
1. Imam Hanifah
a. Biografi Imam Hanifah

Abu Hanifah Abu hanifah al-nu'man ibn sabit bin zauti, ahli
hukum agama islam dilahirkan dikufah pada 699 M masa
pemerintahan abdul malik birn Marwan. Ia banyak meninggalkan
karya tulis, antara lain AI-makharif fi Al-fiqh, Al-musnad, dan
Al-figh Al-akbar. Abu hanifah menyumbangkan beberapa konsep
ekonomi, salah satunya adalah salam Namun abu hanifah lebih di
kenal sebagai Imam Madzhab hukum yang sangat rasionalitas
dan dikenal juga sebagai penjahit pakayan dan pedagang dari
khufah.

Semula Abu hanifah adalah seorang pedagang, sesudah tu ia


beralih ke bidang ilmu pengetahuan. la seorang yang amanah
pemah mewakili perdagangan pada waktu itu, ia berhasil meraih
ilmu pengetahuan dan perdagangan sekaligus. Abu Hanifah
menyumbangkan beberapa konsep ekonomi salah satunya adalah
salam, yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual
dan pembeli sepakat bila barang yang di beli di kirimkan setelah
di bayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati.

Abu hanifah mengkeritik prosedur kontrak tersebut yang


cendrung mengarah kepada perselisihan antara yang memesan
barang dengan cara membayar dulu, beliau mencoba
menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih jauh apa
yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam

119
kontrak, seerti jenis komoditi, kualitas, waktu, dan tempat
pengiriman.

Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditi tersebut


harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan waktu
pengiriman Abu Hanifah meninggal pada tahun 150 H, tahun
dimana masa imam Syafi'i lahir, beliau di makamkan di
pemakaman umum khaizaran. Beliau meninggalkan beberpa
karya tulis diantaranya, al-makharif fi al fiqh, al-musnad, sebuah
kitab hadist yang di kumpulkan oleh murid muridnya dan al-fiqh
al-akbar.

2. Imam Malik
a. Biografilik Imam Malik

Abu abdulillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin
Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Justail bin Amr bin al-Haris
Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al
Munawwaroh.

Imam Malik adalah seorang imam dari kota madinah dan


imam bagi penduduk hijaz, beliau salah seorang dari ahli fiqih
yang terahir bagi kota Madinah dan juga yang terahir bagi fuqaha
Madinah. Dalam buku giografi yang ditulis oleh Abu Zahra
dijelaskan bahwa Malik bin Anas adala pendiri sekolah Hukum
Islam dan a pakar tradisi kehidupan madinah. Beliau berumur
hampir 90 tahun. Dan di lahirkan tiga belas tahun sesudah
kelahiran Abu Hanifah, di suatu tempat yang benama Zulmarwah

120
disebelah utara kota Madinah dan kemudian beliau tinggal di Al-
Akik untuk sementara waktu yang kemudian beliau menetap di
madinah.

Imam Malik hidup di dua masa pemerintahan yaitu Bani


Umayyah dan Bani Abbasyiyah, dimana pada masa itu terjadi
perselisihan di antara kedua pemerintahan tersebut. Di samping tu
pula beliau dapat menyaksikan percampuran antara bangsa dan
keturunan yaitu orang arab persi, romawi, dan hindia.

Beliau meninggal dunia pada masa pemerintahan Harun Al-


rasyid di masa pemerintahan Abbasyiyah. Meninggal di madinah,
pada tanggal 14 bulan Rabi ul Awwal tahun 179 H. Ada juga
yang berpendapat beliau meninggal pada 11, 13 dan 14 bulan
Rajab.

3. Imam Syafi'i
a. Biografiafi imam syaf’i

Imam syafi'i di lahirkan di kota Ghazzah dalam palestina pada


tahun 105 H. Pendapat ini yang termasyhur di kalangan ahli
sejarah Tatkala umurnya mencapai dua tahun, ibunya
memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya
berasal dari Yaman.Ada pula yang berpendapat beliau di lahirkan
di Asqalan yaitu sebuah kota yang jauhnya kurang lebih tiga
kilometer dari kota Gozzah dan tidak jauh dari Baitul Makdis,
dan ada juga pendapat beliau dilahirkan di kota Yaman.

121
Imam Syafi'i sejak kecil hidup dalam kemiskinan, ketika
beliau diserahkan ke bangku pemdidikan, para pendidik tidak
mendapat upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran.
Kecerdasan dan ketajaman akalnya yang memilikinya sanggup
menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setelah
menginjak umur yang ketujuh Imam Syafi'i telah menghafal
seluruh al-qur'an dengan baik. Imam Syafi'i jug mempunyai suara
yang sangat merdu, tatkala beliau menginjak umur ke tiga belas
beliau memperdengarkan bacaan-bacan alqur'annya di masjid al-
haram. Hakim mengeluarkan hadist yang yang di riwayatkan oleh
Bahr ingin menangis kami mengatakan kepada sesama kami,
"pergilah kepada pemuda syaf" apabila kami telah sampai
kepadanya ia mulai membuka al-qur'an dan membaca al-qur'an
sehingga manusia yang ada di sekelilingnya banyak yang
berjatuhan di hadapannya karna kerasnya menangis. Kami
terkagum-kagum dengan kemerduan suara yang dimilikinya,
sedemikian tingginya ia memahami al qur'an sehingga sangat
berkesan bagi para pendengarnya."

Pada masa remaja Imam Syafi'i memegang jabatan di


"Najran" setelah orang Quraisy memberitahukan kepada gubenur
Yaman untuk mengambil Imam syafi'i untuk bekerja di Negri
Yaman. Keadailan dan kejujuran Imam syafi'i di ketahui oleh
orang banyak. Banyak dari penduduk Najran yang mencoba
mengusir kedudukan beliau, tetapi mereka tidak berhasil. Imam
Syafi'i berkata apabila gubenur datang kepada mereka,mereka

122
mencari muka mencoba sedimikian dengan ku, tetapi mereka
gagal.

4. Imam ahmad bin Hambal


a. Biografi imam ahmad bin Hambal

Ahmad bin Hambal di lahirkan di kota baghdad, pada bulan


Rabiul Awwal tahun 164 H, yaitu setelah ibunya berpindah dari
kota Murwa tempat tinggal ayahnya.

Beliau ialah: Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin


Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyin bin
Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Syaiban, mendapat gelar
Al-Mururi kemudian Al- Baghdadi. Keturunan Ibnu Hambal
bertemu dengan keturunan Rasulullah. Bapaknya adalah seorang
pejuang yang handal sementara datuknya adalah seorang gubenur
di wilayah Sarkhas dalam jajahan Kharasan, di masa
pemerintahan Umawiyyin.

Ibnu Hambal mengalami sakit yang membawa kepada


kematian yang membuat hatinya Ketika beliau dalam keadan
sakit tidak ada perkara selalu berfikir kecuali beberapa perkara:
yaitu sholat, memikirkan tentang permbagian hart padanya.
Beliau terkena penyakit demam panas pada hari pertama di bulan
Rabi'ul awwal tahun 240 H, sehingga beliau tidak bisa keman-
mana kecuali dengan pertolongan.

123
Ahmad bin Hambbal meninggal dunia pada pagi hari jum'at
tanggal 12 bulan Rabi'ul Awwal tahun 241 H, mayatnya di
mandikan oleh Abu Bakar Ahmad bin Al-hujjaj Al-Maruzi,
beliau sangat terkesan dengan kematiannya. Jenazahnya di
kebumikan setelah sholat jum'at di Baghdad dan juga di iringi
oleh puluhan rakyat jelata.

D. Studi komparasi pemikiran abu hanifah, imam


malik, imam syafi'i, imam ahmad ibnu hambal

Komparasi pemikiran adalah sebuah perbandingan pemik


antara satu para fuqaha tidak memberikarn ngan yang lainnya.
Setelah abat kedua sumbangsi pemikirannya tentang ekonomi
secara utuh. Para fuqaha hanya menganalis isi bagaimana
transaksi yang di lakukuan oleh rasul melalui leteratur fiqih dan
berdasarkan Al-qur'an dan hadist. Kama Al-qur'an dan hadis
banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya ummat
islam berperilaku sebagai produsen, konsumen, dan pemilik
modal. Oleh kama itu para fuqaha mengkaji lebih mendalam lagi
melalui prosedur ijtihad yang sudah di tetapkan oleh syara
hususnya masalah akad dalam transaksi. Karna Transaksi yang
berlandaskan syari'ah sangat di tentukan dengan akad dan ni
yang membedakan dengan transaksi secara komersial, yang
tidak terlalu mempermasalahkan dengan akad.

124
Dalam bertransaksi (Mu'amalah) para ulamak fiqih berbeda-
beda dalam mendefinisikan di antaranya :
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam jual beli "menjual
barang dengan salah satu mata uang mas dan perak" imam
Hanifah memandang akan terjadi jual beli secara syah jika jual
beli tersebut menggunakan mas dan perak tidak dengan barter.
Imam Malik mengatakan dalam jual beli "sesuatu yang di
pahami dari jual beli secara mutlak.
Imam Syafi'i mengatakan dalam jual beli "jual beli adalah
tukar menukar barang pada saat tertentu" maksudnya adalah jual
beli secara syara' adalah tukar menukar barang dengan apa saja
yang bermilai akan tetapi menghususkan harus ada sebuah tempat
dan waktu, karna madzhab imam syaff'i melarang jual beli jika di
antara keduanya tidak ada kejelasan.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan dalam jual beli "jual
beli adalah tukar menukar barang pada saat tertentu kecual riba
dan hutang.
Dalam mendefinisikan jual beli para ulamak fiqih sudah
berbeda pandangan, sudah barang tentu dalam masalah akad
perbedaan ni akan terjadi namun pada dasarnya perbedaan ini
tidak akan melenceng dari praktek yang sudah di tetapkan, hanya
saja para ulama' berbeda dalam menafsiri ayat-ayat alqur'an dan
hadis nabi.

125
1. Pemiikiran fuqaha tentang harta

Harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting dan


merupakan salah satu perhiasan dunia. Secara literal harta (al-
mal) berarti sesuatu yang naluri manusia condong kepadanya.
Dalam terminologi fiqh Para imam mazhab memiliki pandangan
yang berbeda tentang harta.

Imam Hanafi menekankan batasan harta pada term "dapat


disimpan Hal ni mengisyaratkan pengecualian aspek manfaat.
Manfaat bukan merupakan bagian dari konsep harta, melainkan
masuk dalam konsep milkiyah. Berdasarkan pendapat ini, harta
diartikan sebagai sesuatu (yang selain manusia) yang manusia
mempunyai keperluan terhadapnya dapat disimpan untuk
ditasharufkan (digunakan pada saat diperlukan).

Jumhur fuqaha (imam Malik, imam Syafi'i, dan imam


Hambali) berpendapat bahwa harta tidak hanya terbatas pada
materi tetapi juga manfaat. Menurut pandangan jumhur,
kegunaan atau manfaat barang merupakan unsur terpenting dari
harta karena nilai harta sangat bergantung pada kualitas dan
kuantitas manfaatnya.

2. Pemikiran Fuqaha tentang riba

Dalam penetapan hukum bahwa riba itu haram, seluruh


ulama telah sepakat tentang hal tersebut. Banyak pandangan yang
berbeda di kalangan ulama fiqh mengenai konsep riba, dalam

126
tulisan ini hanya dikemukakan dua perbedaan pendapat yang
dianggap paling berdampak pada praktik keuangan baik dalam
dimensi pemikiran klasik maupun kontemporer. Hal tersebut
adalah tentang pembagian riba dan alasan (illat) pengharaman
riba.

Imam Hanafi, imm Malik dan imam Hambali membagi riba


menjadi dua bagian, yaitu riba fadhI jaul beli barang sejenis
dengan adanya tambahan pada salah satunya) dan riba nasi'ah
menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak,
dengan pembayaran diakhirkan). Sedang imam Syaff'i membagi
riba menjadi tiga bagin, yaitu riba fadhl (menjual barang dengan
sejenisnya tetapi yang satu dilebihkan), riba yad (jual beli dengan
mengakhirkan penyerahan barang tanpa harus timbang terima),
dan riba nasi'ah jual beli yang pembayarannya diakhirkan tetapi
harganya ditambah).

Pendapat yang berbeda juga terdapat pada alasan (illat) yang


dikemukakan dalam pengharaman riba. Menurut imam Syafi’i
dan imam Hambali: dalam emas dan perak, alasannya berkisar
masalah perbedaan harga atau sejenisnya. Sedang dalam gandum,
kurma dan sejenisnya, karena itu merupakan bahan makanan
(yang mengandung rasa manis dan minyak), dapat ditakar atau
dapat ditimbang. Menurut imam Hanafi: illat riba dalam emas
dan perak, karena keduanya termasuk barang yang bisa ditimbang
maka riba masuk dalam segala barang yang bisa ditimbang,

127
termasuk gandum, kurma dan sejenisnya. Sedang menurut imam
Malik: dalam masalah gandum, kurma dan sejenisnya, illat
ribanya adalah karena merupakan bahan kebutuhan pokok. Imam
Syafi'i menemukan dua hal/barang riba (barang ribawi), yaitu
mata uang dan maknn. Imam Malik menambahkan sifat tertentu
pada makanan: bahan makanan pokok dan yang dapat diawetkan
Imam Hanafi dan imam Hambali hanya melihat satu sebab,
barang-barang yang dijual dengan ditimbang (bobot) atau ditakar
(isi).

3. Pemikiran Fuqaha Tentang Jual Beli

Jual beli disyari'atkan berdasarkan konsensus kaum


muslimin. Karena kehidupan manusia tidak bisa lepas dari
aktivitas tersebut. Jual beli diklasifikasikan dalam banyak
pembagian dengan sudut pandang yang berbeda.

Ada beberapa perbedaan pandangan antar ulama yang


menjadi landasan penetapan hukum jual beli pada masa dahulu
dan praktiknya terus berjalan hingga sekarang dengan berbagai
bentuk modifikasi.

Tentang jual beli yang dilakukan hanya dengan serah terima


barang tanpa kata akad terdapat perbedaan pandangan. Imam
Hanafi, imam Syafi'i dan mam Hambali menyatakan jual beli
tersebut tidak sah berdasarhan hadits, "jual beli dilakukan atas
dasar saling rela". Rela adalah persoalan hati yang samar, tidak
bisa diketahui kecuali diucapkan. Sedang menurut imam Malik

128
jual beli tersebut sah meski tanpa akad karena serah terima
barang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah rela dan
menerima hal tersebut.

Dalam jual beli dikenal adanya khiar Tentang hal ini juga ada
perbedaan pandangan. Menurut imam Syafi'i dan imam Hambali
jika kesepakatan jual beli terjadi, masing-masing penjua dan
bembeli punya hak khiyar (hak pilih) selama belum berpisah atau
punya hak untuk memastikan jadi tidaknya transaksi. Sedang
menurut imam Hanafi dan imam Malik jika transaksi jual be
terjadi, mas ing-masing penjual dan pembeli sudah tidak
mempunyai hak khiyar Transaksi telah sempurna dan telah terjadi
dengan adanya akad.

Lebih jauh, tentang khiyardalam hal jual beli benda yang


ghaib (tidak ada di tempat) atau belum pernah diperiksa menurut
imam Hanafi, imam Malik dan mam Hambali pembeli
mempunyai hak khiyar untuk membatalkan atau meneruskan
akad jual beli ketika melihatnya. Sedang menurut imam Syafi'i
jual beli terhadap benda yang ghaib tidak sah sehingga tidak ada
hak khiyar di dalamnya.

4. Pemikiran Fuqaha dalam Usaha Kemitraan

Kerjasama usaha yang umum dilakn dalam bisnis


diantaranya syirkah mudharabah, wakalah dan sebagainya. Di
sini akan dikemukakan tentang perbedaan pendapat di antara
ulama dalam beberapa aspek kerjasama usaha.

129
Tentang pembagian keuntungan yang tidak sama dalam
sirkah, imanm Malik dan imam Syafi'i menyatakan bahwa dalam
syirkah 'inan, jika modal masing-masing sama tetapi pembagian
keuntungan tidak sama, maka syirkah tersebut menjadi rusak
(batal) Menurut Syafi'i, dalam syirkah 'inan modal masing-
masing harus dicampur sampai tidak bisa dibedakan lagi satu
dengan lainnya dan tidak ditentukan pembagian hasilnya. Sedang
menurut imam meski modal masing-masing pihak sama adalah
boleh, jika memang telah ditentuk an demikian. Pembagian
Hanafi pembagian keuntungan yang tidak sama, keuntungan tidak
hanya didasarkan atas modal, tapi juga atas masa kerja, besarmya
tanggung jawab dan lainnya.

Dalam mudharabah, terdapat beberapa perbedaan pendapat


dalanm beberapa aspek. Tentang pembatasan masa kerjasama,
menurut imam Malik imam Syafl'i dan imam Hambali tidak
dibolehkan karena tujuan mudharabah adalah untuk mendapatkan
keuntungan. Batasan waktu akan menghilangkan tujuan tersebut.
Sedang menurut imam perjanjian kerjasama mudharabah boleh
dilakukan dalam jangka waktu tertentu karena pemilik modal
mempunyai hak untuk menghentikan atau membatalkan
perjanjian kapan saja.

Selain itu, tentang kerugian yang disebabkan oleh p engelola


imam Malik, imam Syafi'i dan imam Hambali berpendapat bahwa
kerugian itu adalah tanggung jawab pengelola bukan pemilik

130
modal. Sedang menurut imam Hanafi, tanggung jawab atas
kerugian ada pada pemilik modal bukan pada pengelola karena
itu adalah kelalaian pemilik modal yang menyerahkan modal
tanpa memperhitungkan kemungkinan baik buruknya.

Dalam pengelolaan usaha mudharabah, menurut imam


Hanafi dan imam Syaff'i pemilik modal boleh ikut bekerja.
Kerugian dan keuntungan yang diakibatkan adalah tanggung
jawabnya sendiri. pengelola tidak ikut menanggung kerugian dan
tetap mendapat upah atas kerjanya. Sedang menurut imam Malik,
pemilik modal tidak boleh ikut bekerja karena akan mempersulit
posisi pengelolah.

Dalam penentuan kegiatan pengelola (manajerial usaha),


imam Malik dan imam Syafi'i berpendapat bahwa pemilik modal
tidak boleh membatasi gerak kegiatan pengelola karena pemilik
modal belum tentu lebih pandai dari pengelola. Sedang imam
Hanafi dan imam Hambali berpendapat bahwa pemilik modal
boleh membatasi gerak kegiatan bisnis pengelola sebab pemilik
modal pasti lebih mengerti daripada pengelola.

5. Pemikiran fuqaha tentang Gadai

Dalam operasional gadai terdapat bebe cara pandang berbeda


pada kalangan ulama. Menurut Imam Malik; jaminan dengan
akad (janji) saja telah dianggap cukup, meski barang yang
dijadikan jaminan tidak diserahkan pada pihak pemberi utang. Ini
untuk orang-orang tertentu yang bisa dipercaya kata-kata dan

131
janjinya. Sedang menurut imam Hanafi, Syaffi dan Hambali akad
jaminan atau gadai tidak sah tanpa penyerahan barangnya. Ini
untuk masyarakat kebanyakan yang biasanya sering berbuat
sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diucapkn. Mereka
biasanya hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa
memperhatikan rapa aspek esensial yang membawa orang lain.

Tentang penguasaan kreditur atas barang jaminan terdapat


perbedaan pandangan. Menuut Imam Syafi'i penguasaan kreditur
atas barang jaminan (gadaian) tidak termasuk syarat akad gadai.
Ini untuk orang kebanyakan yang biasanya kurang
memperhatikan persoalan keadilan dan agama. Sedang Menurut
Imam Hanafi dan Malik; kreditur harus menguasai barang yang
digadaikan barang yang dijadikan jaminan utang). la termasuk
syarat sah gadai. Jika barang gadai lepas dari tangannya, batal
akad gadainya. Tetapi, jika kembalinya barang kepada pemberi
gadai tersebut karena persoalan utang atau titipan, akad gadai
memperhatikan agama dan keadilan. Sungguh, kreditur tidak
mengambil barang kecuali sebagai jaminan atas hak-haknya. Jika
barang yang digadaikan (yang dijadikan jaminan) lepas dari
tangannya berarti sama dengan tidak menerima jaminan dan ia
tidak dapat ganti rugi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di
kemudian hari. Sedemikian, sehingga penguasaan kreditur atas
barang jaminan termasuk syarat sah akad gadai.

132
Dalam praktek gadai, jika terjadi satu barang dipergunakan
sebagai jaminan atas dua macam utang, maka Menurut imam
Hanafi, Syaff'i’i dan Hambali barang gadaian tetap hanya
menjadi jaminan atas utang yang pertama, tidak termasuk utang
kedua. Sedang menurut Imam Malik menjadikan barang jaminan
untuk dua macam utang pada orang yang sama adalah boleh, jika
pihak kreditur memang mau menerima hal tersebut. Apalagi bagi
orang-orang yang jujur dan bisa dipercaya. Mereka bahkan mau
menerima meski tanpa ada jaminan sekali pun.

Tentang pemanfaatan barang gadai, menurut Imam Syafi'i


dan Imam Malik; kedua Imam tersebut sependapat bahwa
manfaat dari barang jaminan itu adalah hak yang menggadaikan
(pemilik barang). Murtahin tidak dapat mengambi manfaat
daripadanya, kecuali atas izin dari pihak yang menggadaikan.
Menurut imam Hambali penerima gadai tidak dapat mengambil
manfaat dari barang gadaian apabila barang yang digadaikan itu
hewan yang tidak bisa ditunggangi dan diperah. Sedangkan
apabila barang yang digadaikan itu hewan yang dapat
ditunggangi dan diperah, maka penerima gadai dapat mengambil
manfaat dengan menunggangi dan memerah susunya sesuai
dengan biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan. Sedang
menurut Imam Hanafi manfaat dari barang gadaian adalah hak
penerima gadai, karena barang gadaian berada di tangan dan
kekuasaan penerima gadai.

133
E. Pengaruh Pemikiran 4 Imam Mazhab tentang

Ekonomi Terhadap Perkembangan Pemikiran


Ekonomi Kontemporer
1. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Harta

Perbedaan konsep tentang harta dari para imam mazhab ini


menimbulkan pengaruh yang berbeda pula. Contohnya: tentang
pemanfaatan seseorang terhadap harta orang lain (ghasab), jika
mengikuti pendapat jumhur fuqaha (imam Malik, imam Syafi'i
dan imam Hambali) maka pemilik barang berhak menuntut ganti
rugi atas pemanfaatan tersebut. sedang menurut imam Hanafi,
pemilik tidak berhak menuntut ganti rugi karena aspek manfaat
tidak termasuk dalam harta.

Contoh lain adalah tentang wakaf Menurut imam Hanafi


kepemilikan barang yang diwakafkan tidak harus lepas dari wakif
dan dibenarkan bagi wakifuntuk menariknya kembali serta boleh
menjualnya. Sedang menurut jumhur fuqaha, harta wakaf tidak
lagi menjadi milikwakif melainkan secara hukum menjadi milik
Allah atau secara terminologi sosiologis harta wakaf menjadi
milik masyarakat umum dan wakif tidak boleh menariknya
kembali apalagi menjualnya.

2. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Riba

Semua mazhab menyatakan bahwa larangan riba berlaku


bagi barang yang memiliki satu (sub) sebab tunggal. Imam

134
Hanafi dan imam Hambali melarang ual beli makanan dengan
tembaga secara kredit (keduanya ditimbang) namun
membolehkan jual beli makanan dengan garam secara kredit
(salah satunya ditimbang dan yang lain ditakar). Imam Malik dan
imam Syafi'i, karena hanya memperhatikan pertukaran di antara
makanan atau mata uang, mempunyai pendapat yang
bertentangan dengan Imam Hanafi dan imam Hambali. Yang
lebih kontemporer misalnya tentang minyak mentah. Menurut
imam Hanafi dan imam Hambali minyak mentah termasuk
ribawi, tetapi tidak menurut Syaff'i dan Maliki.

Masih dalam konteks riba, pandangan para ulama fiqh ini


paling tidak mempengaruhi pemikiran para pakar dalam
menetapkan dalil riba di kemudian hari di samping Al-Qur'an dan
Hadits yang sudah ada. Ibnu Rushdy dari mazhab Maliki yang
condong pada pendapat Hanafi tentang riba, kesamaan ukuran.
Menurut ibnu Rushdy. yang berada di balik ketentuan riba adalah
tujuan untuk menjunjung tinggi keadilan dalam pertukaran. Ini
juga yang kemudian mempengaruhi pemikiran bahwa pinjaman
qard tanpa bunga sah sedang jual beli dengan penangguhan
barang ribawi untuk memperoleh barang ribawi lain dengan harga
sama yang dihutang tidak sah. Ketidakabsahan itu karena
masuknya unsur ketidak setaraan dalam jual beli yang akan
memicu ketidakadilan. Sedang dalam analisis teknis fiqh,
pinjaman selalu siap dibayar, dapat diminta sewaktu-waktu,

135
sebuah ketentuan yang menguntungkan pemberi pinjaman dan
mengurangi risiko pasamya.

Ibn Qayyim dari mazhab Hambali juga memaparkan bahwa


dali bagi pelarangan adalah untuk mencegah eksploitasi dari
kaum yang kuat atas kaum yang lemah, memaksa investor
menanggung risiko investasi, meminimalkan perdagangan uang
dan bahan makanan, serta mengaitkan keabsahan tungan dengan
pengambilan risiko.

3. Implikasi perbedaan Konsep tentang Jual Beli

Pada masa kini praktik jual beli telah mengalami berbagai


perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat sesuai dengan
perubahan zaman. Perbedaan pendapat tentang keabsahan jual
beli hanya dengan serah terima barang tanpa akad dalam praktik
kekinian memunculkan implikasi yang berbeda pula. Jika
menurut jumhur, maka praktik jual beli dengan sistem swalayan
seperti dilakukan di minimarket /supermarket departement store
yang hanya dilakukan dengan melihat, memilih dan diakhiri
dengan pembayaran tanpa akad adalah tidak sah. Jika ada
percekcokan antara penjual dan pembeli di kemudian hari, hakim
tidak bisa memeriksa dan menyelesaikan persoalan itu karena
tidak ada saksi atau bukti. Dalam konteks kekinian dengan kian
maraknya unsur wanprestasi dalam perjanjian jual beli kata-kata
akad saja belum memadai dan didukung bukt lain seperti kuitansi,
akte dan sejenisnya untuk memperkuat akad. Sedang jika

136
menurut imam Malik jual beli dengan sistem swalayan sah karena
dengan adanya serah terima barang berarti sudah menunjukkan
kerelaan untuk berjual beli, jika tidak rela mereka tidak akan
melakukannya.

Praktik jual beli pada masa modem tidak lagi selalu


mengikuti tradisi masa lalu yang dilakukan di suatu tempat
tertentu (pasar) antara penjual dan pembeli yang bertemu dan
bertransaksi. Kini, jual beli dilakukan tanpa harus
mempertemukan penjual dan pembeli dalam satu majelis. Jual
beli dapat dilakukan melalui telepon nternet, dan berbagai sarana
komunikasi/perhubungan lainnya. Jika mengikuti pendapat imam
Syafi'i, praktik jual beli tersebut tidak sah karena tidak berada
dalam satu majelis dan barangnya pun tidak ada di tempat akad.
Namun jika menurut jumhur, praktik tersebut sah dan diikuti oleh
hak khiyar bagi pembeli untuk membatalkan atau meneruskan
akad saat barang dilihatnya.

4. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Kerjasama


Usaha (Kemitraan)

Dalam aktivitas ekonomi terutama bidang keuangan dan


perbankan konsep kerjasama usaha (kemitraan) ini akan selalu
ada. Dalam praktik pembiayaan musyarakah di bank Syariah dua
pendapat berbeda ini sama-sama memberikan kontribusi yang
berpengaruh terhadap kebijakan penetapan nisbah bagi hasl dan
risiko kerugian antara pihak bank dan nasabah. Jika menurut

137
pendapat imam Hanaf pembagian keuntungan yang berbeda
dibolehkan. Ini diterapkan dalam pembagian keuntungan secara
unproporsional sesuai kesepakatan. Jadi dapat terjadi antar pihak
yang bekerjasama menperoleh alokasi keuntungan yang tidak
sama. Menurut pendapat imam Malik dan imam Syaffi
keuntungan harus dibagi sama karena modal usaha pihak-pihak
yang bekerjasama sudah menyatu dan tidak terpisah lagi. Namun
jika dianalisis lebih lanjut, mekanisme pembagian keuntungan
usaha dalam musyarakah lebih cenderung mengikuti pendapat
imam Hanafi, yaitu boleh berbeda sesuai dengan kontribusi
(modal atau tenaga) yang diberikan.

Dalam praktik mudharabah, teknis yang diterapkan


diperbankan mengikuti pendapat imam yariah untuk penetapan
jangka waktu kerjasama Hanafi yakni kerjasama tersebut harus
ditentukan batas waktunya dan bukan unlimited time agreement.

Dalam hal penanggungan risiko kerugian yang disebabkan


kesalahan pengelola, ketetapan bank mengikuti pendapat imam
Malik, imam Syafi'i dan imam Hambali yaitu menjadi tanggung
jawab pengelola bukan pemilik dana.

Teknis lain di bank Syariah tentang keikut sertaan pemilik


dana dalam operasional usaha. Dalam mudharabah pemilik dana
tidak turut dalam pengelolaan usaha. Pengelolaan sepenuhnya
dilakukan pengelola dana. Ini merupakan implikasi dari pendapat
imam Malik.

138
Mudharabah dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah mutlaqah
(jenis usaha/kegiatan pengelolaan dana tidak dibatasi/ditentukan
oleh pemilik dana) Ini menurut pendapat mam Malik dan imam
Syafi'i. Selain tu, ada mudharabah muqayyadah di mana pemilik
dana boleh menetapkan jenis usaha/kegiatan pengelola
(managerial). Ini sealan dengan pendapat imam Hanafi dan imam
Hambali. Kedua pendapat mpunyai implikasi yang sama terhadap
kebijakan mudharabah di bank Syariah karena kedua jenis
mudharabah tersebut dipraktikkan.

5. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Gadai

Gadai mempunyai dua nilai akad yang berjalan beriringan.


Di satu sisi, diberikan penggadai kepada penerima gadai tidak
ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan penerima gadai kepada
penggadai adalah utang, bukan penukar atas barang yang
digadaikan. Di sisi lain, dapat dimengerti bahwa akad ni juga
bersifat berakad tidak boleh saling merugikan. Kebolehan
memanfaatkan barang jaminan meski dengan syarat tertentu juga
mengisyaratkan adanya unsur tersebut dalam akad ini. Dikenakan
biaya jasa untuk prosedur gadai di pegadaian juga menunjukkan
indikasi komersialnya akad ini. Pengenaan biaya jasa ini
kemudian tidak menjadikan praktek ini berbeda dengan praktek
pinjam meminjam uang di bank.

Secara umum praktik gadai tidak terpengaruh oleh perbedaan


pendapat para ulama. Yang menjadi esensi implikasi pendapat

139
para ulama fih ini terhadap praktik gadai kontemporer adalah
mengenai penguasaan dan pemanfaatan barang gadai. Yang
umum dipraktikkan di Indonesia adalah barang gadai (yang
menjadi jaminan) dikuasai oleh kreditur mengikuti pendapat
imam Hanafi dan imam Malik. Yang berbeda dalam praktiknya
adalah tentang pemanfaatan barang gadai. Umumnya, yang
dipraktikkan adalah pihak penerima gadai selalu memanfaatkan
barang gadai yang dikuasainya. Ini mengikuti pendapat imam
Hanafi.

Implikasi pendapat para imam fiqh ni banyak dijumpai dalam


kehidupan sehari-hari di masyarakat, di mana praktik gadai
bukanlah sesuatu yang tabu. Aktivitas gadai dilakukan dalam
hubungan orang perorang dan kelembagaan. Yang sedikit
membedakan adalah dari sisi pemanfaatan barang gadai, di
pegadaian barang gadai yang dikuasai tidak dimanfaatkan dan
hanya disimpan sampai ditebus kembali oleh yang
menggadaikan. Ini mengikuti pendapat imam Malik, imam Syafi'i
dan imam Hambali.

140
JUAL BELI MENURUT MAZHAB PARA IMAM

MAZHAB IMAM PENJELASANNYA


Memiliki 2 pengertian yaitu :
1). Pengertian untuk seluruh
satuan ba'I (jual beli)
yang mencakup akad
sharaf,salam dan lain
sebagainya.
1 IMAM MALIK
2).Pengertian untuk satu satuan
dari beberapa satuan dari
beberapa
satuan yaitu sesuatu yang
dipahamkan dari lafal ba'I
secara mutlak menurut
Menukarkan harta dengan harta
atau dengan menukarkan
2 IMAM HANBALI manfaat yang mubah
dengan suatu manfaat yang
mubah pula untuk selamanya.
Mengandung 2 makna yaitu :
1). Makna khusus yaitu
menukarkan barang dengan 2
mata uang, yakni emas
3 IMAM HANAFI
dan perak atau sejenisnya.
2). Makna umum yaitu terbagi
dalam 12 macam dan
diantaranya ada makna khusus
Adalah suatu perjanjian tukar
4 IMAM SYAFII
menukar benda yang

141
mempunyai nilai ,atas dasar
kerelaan antar dua belah pihak
sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang
dibenarkan oleh syara'.

Latihan Soal

1. Bagaimana pengapkasian berbagai riba pada kehidupan


sehari-hari?
2. Bagaimana pengaruh, cara, serta dampak jual beli minyak
mentah jika pelaku berbeda madzhab?
3. Apakah maksud dari ekonomi pertengahan?
4. Jelaskan mengenai apa itu makna umum dan makna
khusus pada jual beli menurut imam Hanafi!

142
BAB VIII

PEMIKIRAN EKONOMI ABU YUSUF DAN


MOH. AL-SYALBANI

A. Abu Yusuf
1. Riwayat Hidup Abu Yusuf
Nama lengkap Abu Yusuf adalah Abu Yusuf Ya’qub bin
Ibrahim al-Ansari (113/731-182/798), seorang murid dan seorang
teman Abu Hanifah pendiri Madzhab Hanafi. Ia berasal dari suku
Bujailah, salah satu suku Arab. Keluarganya disebut Anshari
karena pihak Ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum
Anshar (pemeluk Islam pertama dan penolong Nabi Muhammad
SAW di Madinah) di masa hidupnya di Kufah, yang terkenal

143
sebagai daerah pendidikan yang diwariskan oleh Abdullah Ibnu
Mas’ud (w. 32 H) seorang sahabat besar Nabi Muhammad SAW.
Sebagai seorang penganut mazhab rasional Hanafi, ahl al-
ra’y, Abu Yusuf mengambil metode penalaran hukum dalam hal
yang berkaitan dengan isu-isu duniawi. Hal ini dilakukan apabila
sumber hukum islam utama, Al-Qur’an dan Sunnah, juga Ijma’,
tidak mengungkapkannya secara Sharih. Namun demikian,
penalaran hukum yang digunakan Abu Yusuf itu tidak bebas dari
pembatasan. Apabila sebuah persoalan tidak ditemukan pada
ketiga sumber hukum itu, maka penetapan hukumnya harus
didasarkan pada prinsip-prinsip penalaran analogis (qiyas),
preferensi hukum (istihsan), dan kemaslahatan umum (istisla).
Pendekatan Hanafi tercermin dalam bukunya yaitu Kitab al-
Kharaj. Ketika mendiskusikan masalah yang kontroversial akan
ditemukan keputusan Abu Yusuf yang didahului atau dilanjutkan
dengan ungkapan “menurut saya’. Selain itu, ditemukan pula
ungkapan Abu Yusuf, “jika hal ini mengarah pada kemajuan
rakyat”, ketika menyarankan tindakan untuk khalifahnya yang
mungkin berbeda dari pemikiran sebelumnya, yang menujukkan
efek dari prinsip kemaslahatan umum (istislah) dalam mencapai
keputusan.
Abu Yusuf mengungkapan pendapat yang berbeda dengan
gurunya. Hal ini ditemukan dalam deskripsi yang menyatakan
persetujuanya terhadap guru tetapi kemudian Abu Yusuf memilih
pendapat yang lain. Dengan perbedaan ini tidak menjadikan dia

144
keluar dari Madzhab Hanafi tetapi menujukkan independensi
berfikir Abu Yusuf dan menunjukkan perbedaan dengan tingkat
intensitas dan frekuensi yang tinggi tidak menciptakan jurang
atau menimbulkan kontroversi antara murid dan guru. Hal ini
juga disebabkan karena faktor profesinya sebagai hakim.
Sebagai seorang ulama Abu Yusuf menyimpulkan
pernyataanya dengan “Allah Maha Tahu yang terbaik”, ketika
ada perbedaan pendapat antara dirinya dan gurunya. Adapun
Khalifah, itu terserah dia, penguasa, untuk mengambil tindakan
yang dilihatnya cocok, “Aku telah menjelaskan hal tersebut
kepada Anda Amiru Mukminin dan terserah kepada Anda,
dengan kebijaksanaan Anda, untuk mengambil tindakan yang
akan bermanfaat bagi umat Islam”. Ungkapan yang selalu
digunakan dalam bukunya. Metode penyajian yang digunakan
Abu Yusuf adalah metode edukatif.
Abu Yusuf tampaknya menikmati penghargaan yang
diberikan dari khalifahnya. Hal ini disimpulkan dari dua poin
dalam bab pengantar dari bukunya. Pertama, ketika ia mengacu
pada tindakan yang ditugaskan oleh khalifah-Nya, maka
ditemukan ungkapan menggunakan kata kerja “minta”, misalnya
Amirul Mu’minin telah meminya saya”. Hanya pada bagian akhir
saja Abu Yusuf menggunakan kata “memerintahkan” muncul.
Rasa hormat, sopan santun, etika dan seni diplomasi diperlihatkan
oleh Abu Yusuf kepada khalifah dei sepanang bukunya. Hal ini

145
sebagai implikasi dari penghargaan khalifah yang begitu tinggi
kepada seorang hakim atau ahli hukum Islam.
Kedua, Abu Yusuf tampaknya telah mengambil peran
sebagai penasihat, pengacara, dan bahkan penceramah bagi
khalifah dalam bukunya. Karena Abu Yusuf dalam bukunya terus
menerus mengingatkan khalifah akan tanggung jawab, tugas, dan
kewajibannya terhadap rakyatnya, perintah Allah dan Nabi-Nya
yang berkaitan dengan “gembala, rakyat, dan pemilik rakyat”,
dan pahala serta sanksi Allah dalam segala hal yang berkaitan.
2. Karya Abu Yusuf
Karya utama Abu Yusuf adalah Kitab al-Kharaj. Buku ini
adalah karya yang ditugaskan oleh Khalifah Harun al-Rasyid
kepada Abu Yusuf. Hal ini ditunjukan dalam paragraf kedua dari
bab pengantarnya, “Amirul Mukminin, semoga Allah
meguatkannya, telah meminta saya untuk menulis baginya”.
Buku ini lahir sebagai akibat dari Abu Yusuf yang ditugaskan
oleh khalifah Harun al-Rasyid (786-809) ketika beliau ingin
mengatur sistem baitul mal, sumber pendapatan negara seperti
kharaj, usyur, dan jizyah. Demikian pula cara pendistribusian
harta-harta tersebut untuk kepentingan penguasa.
Tema besar buku ini adalah untuk memberikan kajian yang
komprehensif tentang “… pengumpulan kharaj, persembahan,
‘usyur, jizyah, sedekah dan hal-hal lain yang dari apa yang ia
(khalifah) harus lihat ke dalam dan bertindak berdasarkan”, dan

146
tujuannya adalah untuk “menghindari penekanan dari rakyatnya,
dan menguntungkan kepentingan mereka”.
Buku yang diarahkan kepada khalifah sendiri, Abu Yusuf
memberikan aturan syariah, saran dan pendapat, bukankeputusan.
Keputusan diberikan kepada khalifah “terserah Anda, wahai
Amirul Mukminin, untuk memutuskan apa yang dilihat untuk
diikuti”; Abu Yusuf selalu mengakhiri keputusannya.
Pendekatan Abu Yusuf untuk menulis tentang masalah al-
kharaj adalah pendekatan pragmatis. Dia melihat pada praktik
yang berlaku, memeriksa aplikasi terakhir, mempelajari masalah
yang timbul dari kebijakan sekarang dan masa lalu, meneliti
aturan al-qur’an, hadis dan yurisprudensi untuk memastikan
sesuai dengan syariah dan kemudian mencapai suatu pendapat
yang akan menyediakan dalam pandangannya satu jawaban yang
masuk akal. Pendekatan deduktif yang digunakannya adalah
untuk membuktikan titik, perdebatan masalah, membela ide, atau
mengkritik penghakiman. Namun pendekatan pragmatis ilmiah
umum yang diikutinya. Dalam arti bahwa hal itu dapat dikatakan
bahwa Abu Yusuf adalah penulis pertama tentang ekonomi islam
secara “ilmiah” dan merupakan subjek yang tepat untuk
penelitian ilmiah.
3. Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
a. Pengeluaran Negara dan Distribusi Pendapatan
Pembagian rampasan perang adalah titik awal perlakuan Abu
Yusuf tentang topik ini. Alasannya :

147
1) Bagaimana proporsi Nabi Muhammad SAW dan kerabatnya
yang tidak berhak menerima zakat, tetapi kemudian
diberikan setelah Nabi wafat. Pada pertanyaan ini ia
menyatakan bahwa jatah Nabi Muhammad SAW harus
dibagikan kepada sanak saudaranya.
2) Apakah variasi dari apa yang dialami oleh Khulafa’ al-
Rasyidin, terutama Umar bin Khathab dapat diadopsi. Pada
penrtanyaan ini setelah menjelaskan beberapa masalah yang
timbul setelah Nabi Muhammad SAW dan Khulafa; al-
Rasyidin, mengusulkan distribusi yang sedikit bervariasi dari
apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab.
Abu Yusuf menekankan tiga poin tentang masalah distribusi
pendapatan zakat :
1) Pendapatan zakat tidak boleh dicampur dengan pendapatan
dari pendapatan lainnya.
2) Pendapatan dari zakat harus secara ketat didistribusikan
sebagaimana diatur dalam al-Qur’an.
3) Pendapatan ini harus didistribusikan kepada penerima local
di tempat, kota, atau wilayah darimana zakat itu
dikumpulkan.
Pengumpul zakat (amilin) juga harus diberikan bagiannya
dari pendapatan sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an, tetapi
tidak cukup untuk memberi mereka, sumber umum zakat atau
bahkan sumber lain dapat digunakan untuk membayar mereka
secukupnya.

148
Berbeda dengan hakim dan pejabat, upah mereka harus
dibayar dari keuangan pusat. Hal ini akan menjamin bahwa
layanan yang diberikan tidak akan terbatas pada pedapatan yang
dikumpulkan dari daerah, sehingga semua daerah akan
mendapatkan layanan yang sama.
b. Pajak Tanah
Abu Yusuf membagi pajak tanah kepada dua bagian, yakni
pajak kharaj dan pajak ‘usy’ur. ‘Usy’ur adalah pajak yang
dikenakan pada tanah milik umat islam sedangkan kharaj adalah
pajak atas tanah dibawah pendudukan non muslim yang muncul
setelah penaklukan Islam. Namun demikian, pemahaman ini tidak
selalu terjadi karena tanah di tangan non- muslim bisa dikenakan
pajak ‘usy’ur´ juga. Ketentuan ini dikenakan pada tanah milik
Ahli Kitab di Arab, yaitu Kristen dan Yahudi, dan masyarakat
lain di luar Arab yang memiliki perjanjian perdamaian dengan
tentara Muslim menetapkan ‘usy’ur sebagai upeti. Demikian pula
tanah milik umat Islam juga bisa dikenakan pajak kharaj, jika
umat islam membeli tanah dari pemilik yang dikenakan pajak
kharaj.
1) Pajak Kharaj
Argumen yang digunakan Abu Yusuf adalah pada saat itu
tanah tersebut mampu menanggung pajak Kharaj yang dikenakan
padanya. Selain itu, Abu Yusuf berargumen dengan riwayat
menjelaskan bahwa sekembalinya Hudzaifah dan Utsman,
administrator Khalifah Umar, dari survei tanah dan pengadaan

149
pajak. Dalam penentuan tarif pajak penguasa memiliki hak untuk
menurunkan atau menaikkan pajak kharaj tetapi ia harus
menghindari membebani pembayar pajak tanah dengan pajak
secara berlebihan.
Abu Yusuf berpendapat bahwa tarif pajak atas tanah kharaj
itu harus ditetapkan berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketika Nabi
Muhammad SAW menaklukkan Khabyar dengan kekuatan,
beliau tidak memungut pajak kharaj atas tanah dalam bentuk
pajak moneter tetap. Sebaliknya, ia memberikannya kepada
penjaga tanah, orang-orang Yahudi, atas kesepakatan musaqamah
dimana setengah dari hasil itu harus diambil dalam bentuk pajak.
Dalam pajak ini bagi hasil proporsional, Abu Yusuf mengusulkan
tingkat variabel yang bergantung pada kemampuan lahan untuk
membayar pajak dan beban yang harus ditanggung saat bertani.
Dia menyarankan harga menjadi sebagai berikut :
a) Dua perlima (40%) pada gandum dan jelai dari tanah yang
diairi secara alami, yaitu dengan curah hujan dan air dari
mata air alami.
b) Satu setengan per sepuluh (15%), dan tiga per sepuluh (30%)
pada tanaman dari lahan yang diairi artifisial, tergantung
pada jumlah kerja keras yang ditanggung dan metode irigasi
yang diperlukan.
c) Sepertiga pada pohon-pohon palem, kebun-kebun anggur,
sayuran dan buah-buahan, tetapi hanya seperempat akan
diambil dari tanaman pada musim panas.

150
d) Sepersepuluh pada tanah qatha’i yang diairi secara alami dan
satu dua puluh pada artisifal irigasi. Tanah qatha’i itu, seperti
yang dijelaskan sebelumnya, tanah yang diberikan oleh
khalifah untuk layanan pembedaan penyerahan untuk negara
Islam.
e) Sepersepuluh (10%) dan zakat pada tanah ‘usy’ur yang
dimiliki oleh umat islam, jika tanah diairi secara alami dan
setengah sepuluh (5%) jika irigasi artisifal.
Selain menentukan porsi bagi hasil dalam menentukan pajak,
Abu Yusuf juga menentukan ambang batas atau batas minimal
bayar pajak. Pajak itu hanya dikenakan pada 5 wasaq, maka tidak
ada pajak yang dikenakan. Dalam menghitung ambang batas,
kuantitas produk yang berbeda itu ditambahkan jika tanah
menghasilkan dua setengah wasaq gandum dan dua setengah
wasaq jelai (total 5 wasaq) atau jika produk tersebut terdiri dari
satu wasaq gandum, salah satu jelai, salah satu beras, salah satu
kurma, dan salah satu dari kismis (total 5 wasaq), maka pajak itu
dikenakan. Jika total tidak 5 wasaq, maka tidak ada pajak yang
dikenakan kecuali untuk produk yang mahal, seperti kunyit, yang
dikenakan pajak dengan tarif di atas, sekalipun produk itu kurang
dari 5 wasaq asalkan nilai produk itu setara dengan 5 wasaq dari
produk tanah termurah.
Untuk memperjelas unit pengukuran, pengukuran timbangan
ditetapkan langkah-langkah berikut : 1 wasaq terdiri dari 60’sha,
sedangkan 1 ‘sha terdiri dari 5 ruti dan 1 ruti sama dengan 1 pon

151
berat dari biji gandum. Dengan kata lain, ambang berat sekitar
1600 pon gandum. Jika ada £ 2,2 dalam 1kg, ambang batas akan
menjadi setara dengan sekitar 727kg gandum sekarang.
Ada pengecualian yang diberikan Abu Yusuf dalam
menambah atau mengurangi tarif kharaj, yakni tanah yang berada
di bawah perjanjian damai. Tanah ini harus dikenakan pajak
sesuai dengan ketentuan perjanjian perdamaian, yang tidak boleh
diubah. Satu-satunya faktor yang akan menyebabkan perubahan
adalah jika orang-orang tanah itu memeluk Islam maka tariff
pajak dikenakan sesuai kesepakatan.
2) Pajak ‘Usy’ur
Pajak ‘Usy’ur adalah pajak lahan dengan tariff pajaknya
sebesar sepersepuluh atau setengah dari itu, seperdua puluh,
tergantung pada keadaan tanah dan irigasi. Tanah-tanah yang
dimasukan pada pajak ini adalah :
a) Tanah milik umat Islam
Dasar pajak tanah ini dikenalan tarif pajak sebesar 10% jika
tanah diairi secara alami, dengan curah hujan atau kanal. Tetapi
jika pengairan tanah dilakukan secara artisifal seperti dengan
menggunakan tenaga kerja dan mesin, maka tariff pajak hanya
dikenakan seperlima (5%).
b) Tanah milik ahl al-kitab – Yahudi dan Nasrani-
Penentuan tarif pajak ini berbeda dengan tanah yang dimiliki
oleh orang yang tidak memiliki agama monoteis, di mana tarif

152
pajaknya ditetapkan hanya sepersepuluh (10%) tidak ada tarif
seperlima (5%).
c) Tanah qatha’i
Dasar pajak tanah ini dikenakan tarif pajak sebesar
sepersepuluh (10%) bahkan, penguasa deberikan hak untuk
menentukan tarif pajak lebih tinggi, seperti seperlima (20%).
Pertimbangan yang digunakan dalam penentuan tarif lebih tinggi
adalah bahwa tanah qatha’i diberikan tanpa pengorbanan
keuangan kembali dan tidak ada modal disetor dalam
perolehannya.
d) Tanah yang dihidupkan kembali
Penentuan tarif ini Abu Yusuf menetapkan sesuai dengan
status dari tanah itu sendiri. Pada tanah yang dihidupkan kembali
setelah digarap, maka dikenakan tarif pajak ‘usy’ur (10%) jika
tanah milik itu dikategorikan pada tanah ‘usy’ur. Sedangkan
apabila status tanah yang dihidupkan kembali itu tanah kharaj,
maka atas tanah itu pun dikenakan tarif pajak kharaj. Demikian
pula jika tanah itu sebagian dari harta rampasa perang yang
didistribusikan kepada para prajurit, maka dikenakkan tarif pajak
‘usy’ur (10%) atau setengahnya tergantung keadaan irigasi.
c. Administrasi Pajak Tanah
Hal yang paling menarik dari dari administrasi pajak tanah
ini bahwa tidak ada satu otoritas pun yang berwenang untuk
mengubah status hukum tanah. Status tanah kharaj tidak boleh
diubah menjadi tanah ‘usy’ur begitupun sebaliknya. Menurut Abu

153
Yusuf,konversi status tanah baru diperbolehkan apabila seorang
pemilik tanah ‘usy’ur membeli tanah kharaj dan menggabungkan
kedua tanah itu menjadi satu dan kemudian membayar pajak
‘usy’ur atasnya.
Abu Yusuf berpendapat bahwa tidak ada administrator
kharaj atau gubernur diberi hak untuk membebaskan seseorang
dari pajak kharaj tanpa izin dari Khalifah. Demikian pula tidak
ada seorang pun yang diizinkan untuk menerima pembebasan dari
pajak kharaj yang dikenakan padanya tanpa ada izin yang
diberikan dari otoritas untuk melepaskannya. Pembebasan dari
pajak kharaj dapat diberikan kepada seseorang jika hal itu
dilakukan demi kepentingan masyarakat umum. Selain itu Abu
Yusuf juga menentang adanya perantara dalam pembayaran pajak
tanah khususnya dan pajak secara umum.
d. Pajak atas Produk yang Dihasilkan
1) Produk yang berasal dari pertanian
2) Produk yang diambil dari tanah
3) Produk yang dihasilkan dari laut
Untuk produk yang berasal dari pertanian Abu Yusuf
mengalihkan pada produk sperti madu dan kacang-kacangan dan
menjelaskan bagaimana itu harus dikenakan pajak. Khususnya
Abu Yusuf menyarankan bahwa tidak ada yang harus dikenakan
pajak atas tebu, kayu bakar, rumput, jerami, atau atas dahan
kelapa, kecuali untuk kayu manis karena itu adalah tanaman yang
berguna meskipun tidak dapat dimakan dan tebu yang dapat

154
dimakan. Juga tidak dikenakan pajak atas minyak bumi, tar,
merkuri, atau aspal, yang ditemukan didalam tanah.
Berkenaan dengan barang yang dikeluarkan dari laut seperti
perhiasan dan tambang, Abu Yusuf menetapkan tarif pajak
sebesar seperlima (khums). Bahkan, dalam kesimpulan besarnya
Abu Yusuf mengatakan bahwa semua yang dihasilkan dari laut,
apapun itu, harus dikenakan tarif pajak sebesar seperlima (khums)
atau 20% dari penghasilan.
e. Zakat
Abu Yusuf menekankan beberapa isu penting berkaitan
dengan administrasi zakat.
1) Ketika zakat dikenakan pada hewan, maka hal yang harus
dipertimbangkan :
a) Dasar pajak tidak boleh diperbesar atau dikurangi oleh
kolektor untuk mendapatkan keuntungan dan tunjangan
ambang batas
b) Zakat pada ternak yang dimiliki bersama akan dibagi
samarata diantara para pihak.
c) Tidak ada zakat yang dikenakan pada hewan yang digunakan
untuk budidaya.
2) Perlunya mengamati efisiensi administrasi dalam
pengumpulan dan distribusi pendapatan zakat. Abu Yusuf
berpendapat :
a) Orang yang bertugas sebagai pengumpul dan pengelola pajak
haruslah orang yang jujur dan diangkat oleh khalifah.

155
b) Pengumpul dan pengelola yang jujur di tingkat pusat harus
memilih orang yang jujur disetiap kota yang dipercaya untuk
mengumpulkan zakat
c) Administrasi pengumpulan zakat harus dipisahkan dari
lainnya karena pendapatan zakat harus didistribusikan
dengan cara tertentu dalam Al-Qur’an.
d) Pendapatan zakat yang berasal dari wilayah yang berbeda
harus digabungkan bersama-sama dan secara khusus
digunakan untuk para mustahik.
e) Pengumpul zakat harus dibayar secara cukup untuk
mempertahankan mereka
f. Jizyah
Pajak jizyah ini dibebankan kepada non-Muslim. Berkenaan
tarif pajak jizyah, Abu Yusuf menetapkan 48 dirham per tahun
bagi orang kaya, 24 dirham bagi golongan menengah, dan 12
dirham bagi buruh kecuali dia punya kekayaan. Anak-anak,
perempuan, kaum miskin dan penerima zakat, biarawan kecuali
yang kaya dibebaskan.
g. Iuran Khusus
Aspek yang paling penting yang dikemukakan Abu Yusuf
adalah terkait dengan masalah tarif pajak, dasar pajak, ambang
batas, dan peristiwa pajak. Kriteria subjektif mungkin akan
diandalkan, maka penekanan Abu Yusuf pada keadilan dan para
pejabat takut akan Tuhan. Selain itu, Abu Yusuf juga menetapkan

156
ambang batas wajib pajak, yang berbeda dengan praktik modern,
dimana pajak itu dikenakan setiap tahunnya.
Dalam menetapkan barang kena pajak, Abu Yusuf
memberikan pengecualian pada hewan yang tidak dimaksudkan
untuk menjadi perdagangan, seperti domba, sapi dan unta yang
tidak digembalakan. Dalam penentuan ini para pihak yang terlibat
harus mengambil sumpah menurut agamanya untuk menyatakan
bahwa barang itu bukan untuk perdagangan.
h. Masalah Lain
1) Sewa
Abu Yusuf focus pada penyewaan lading dan kebun sawit,
dengan referensi khusus pada pengolahan tanah tandus atas dasar
sewa. Abu Yusuf menjelaskan bahwa para ahli hukum di Hijaz
(Maliki) memiliki pandangan yang berbeda dari para ulama di
Kufah. Di Hijaz dan Madinah, para ulama tidak membolehkan
sewa lahan tandus atas dasar bagi hasil, karena mereka
berpendapat bahwa tanah tandus tidak seperti kebun dan taman-
taman lainnya dimana mereka membolehkan sewa dengan prinsip
bagi hasil.
Pandangan Abu Yusuf semua sewa diperbolehkan dna valid.
Ia menganggapnya sebagai bagi hasil dalam kontrak kemitraan di
mana salah satu pihak berpartisipasi dalam kemitraan dengan
modal dan yang lain dengan pekerjaan dan keahliannya.
Keuntungan bahkan jika itu masih belum diketahui dibagi atas
dasar profit and loss sharing. Bentuk kemitraan ini secara bulat

157
diterima oleh para ulama. Untuk menegakkan pandangannya,
Abu Yusuf mengandalkan atas preseden Nabi Muhammad SAW
di tanah Khaybar. Menurut Abu Yusuf, hadits yang mendukung
noleh sewa lebih kuat dan umum daripada hadist yang tidak
membolehkan. Abu Yusuf menjelaskan berbagai kontrak sewa
dimana ia menjelaskan hubungan antara mitra dalam kontrak dan
posisi pajak masing-masing.
2) Pekerjaan Umum
Abu Yusuf menekankan pentingnya pekerjaan umum oleh
negara dalam memperbaiki kondisi pertanian. Ini akan memiliki
tiga efek yaitu:
a) Membantu penyusutan luas lahan yang produktif
b) Membantu peningkatan produktivitas lahan budidaya
c) Membantu peningkatan penerimaan pajak.
Abu Yusuf menyatakan bahwa pekerjaan umum adalah salah
satu tugas utama negara karena pekerjaan umum membutuhkan
biaya besar melampaui kemampuan pemilik lahan tanah.
Dalam menandaskan prinsip-prinsip islam, Abu Yusuf
mengacu pada kepemilikan publik dari tiga jenis barang khas
yaitu air, api, dan padang rumput.
3) Harga, Kelangkaan, dan Nilai
Aturan penentuan harga oleh kekuatan pasar juga ditegaskan
oleh Abu Yusuf. Pemikirannya tentang ini adalah persediaan
(supply) tidak memengaruhi harga : pasokan barang bisa tinggi
dan barang melimpah, namun harga bisa tinggi, sementara

158
persediaan dapat rendah dan barang tidak dalam kelimpahan dan
harga bisa rendah.
Ketika berhadapan dengan harga, Abu Yusuf menyentuh titik
yang sangat penting di bidang ekonomi, yakni hubungan antara
barang, kelangkaan, dan nilai ekonomi. Dalam membahas
masalah ini, Abu Yusuf memberikan ilustrasi dengan air sungai.
Abu Yusuf menjelaskan ada tiga faktor penting yang akan
menciptakan nilai yang baik, yakni kelangkaan, biaya peralatan,
dan biaya transportasi.
B. Al-Syaibani
1. Riwayat Hidup Al-Syaibani
Abu Abdilah Muhamad Bin Al Hasan bin Fargad Al
Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota washit, ibu kota
irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyah. Ayahnya
berasal dari negeri Syaiban di jazirah Arab. Bersama orang
tuanya, Asy Syaibani pindah ke kota Kuffah yang ketika itu
merupakan salah satu kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar
fiqh, sastra, bahasa, dan hadis kepada para ulama setempat,
seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin Dzar, dan
Malik bin Maqhul Pada usia 14 tahun Asy Syaibani berguru
kepada Abu Hanifah selama 4 Tahun. Setelah itu Ia berguru
kepoada Abu Yusuf.
Setelah memperoleh ilmu yang memadai, Asy Syaibani
kembali ke Bagdad yang pada saat itu berada pada kekuasaan
Daulah Bani Abasiyah. Ia mempunyai peranan penting dalam

159
majelis ulama dan kerap didatangi penuntut ilmu. Berkat
keluasan ilmunya tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal dunia,
Khalifah Harun Al Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kota
Riqqah, Irak. Hal ini hanya berlangsung singkat karena ia
kemudian mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada
pengajaran dan penulisan fiqh. Asy Syaibani meninggal dunia
pada tahun 189 H (804 M) di kota Al-Ray, dekat Teheran, dalam
usia 58 tahun.

160
2. Karya Al-Syaibani

Asy-Syaibani cukup produktif dalam menulis buku. Kitab-


kitab yang ditulisnya dapat diklasifikasi dalam dua golongan
berikut:

a. Zhahir al-Riwayah

Yakni Buku-buku yang ditulis berdasarkan pelajaran yang


diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah tidak
meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok
pikirannya dalam ilmu fiqh. Namun, pokok-pokok pikiran Abu
Hanifah itu direkam dan diresume oleh al-Syaibani dalam Zhahir
al-Riwayah. Buku zhahir al-Riwayah terdiri atas enam judul,
yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-jami’ al-Shagir, al-Siyar
al-Kabir, al-Siyar al-Shagir, dan al-Ziyadat.

Keenam buku ini berisikan pendapatan Imam Abu Hanifah


tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, ushul al-fiqh,
ilmu kalam, dan sejarah. Keenam buku ini kemudian dihimpun
oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-
Maruzi (w.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab
Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi.
b. Al-Nawadir
Yakni buku-buku yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan
pandangannya sendiri. Buku-buku yang termasuk dalam an-
Nawadir adalah ‘Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-
Syaibani tentang berbagai masalah fikih), ar Ruqayyat (himpunan

161
keputusan terhadap masalah hilah dan jalan keluarnya) ditulis
ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak). Ar-Radd ‘ala ahl al-
Madinah (penolakan pandangan orang-orang Madinah), al-
Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam
keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya
setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Atsar. Kitab yang terakhir ini
melahirkan polemik tentang hak-hak non-muslim di negara Islam
dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm. Imam asy-
Syafi’I menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-
Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad bin
Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan
asy-Syaibani).
Asy-Syaibani telah menulis beberapa buku antara lain Kitab
al-Iktisab fiil rizq al-Mustahab (book on Earning a clean living)
dan Kitab al-Asl. Buku yang pertama banyak membahas berbagai
aturan syari’at tentang ijarah (sewa-menyewa) yaitu suatu
transakasi terhadap suatu manfaat yang dituju,tertentu, bersifat
mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu., tijarah
(perdagangan) yaitu suatu tansaksi dengan cara tukar-menukar
sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu
yang bermanfaat , zira’ah (pertanian) yaitu suatu usaha dengan
bercocok tanam untuk memenuhi kebutuha hidup, dan sina’ah
(industri).
Perilaku konsumsi ideal orang muslim menurutnya adalah
sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka

162
meminta-minta. Buku kedua membahas berbagai bentuk
transasksi atau kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya saham
(prepaid order), syirkah (partnership), dan mudharabah. Buku
yang ditulis Al-Syaibani ini mengandung tinjauan normative
sekaligus positif.
Dan buku al-Siyar al-Kabir adalah buku karangannya yang
terakhir. Pembahasannya mencakup semua hal yang berkaitan
dengan peperangan dan kaitannya dengan kaum musyrikin,
musuh kaum muslim, dan hukum-hukumnya. Selain itu, bukunya
membahas tentang tawanan perang (laki-laki, perempuan, dan
anak-anak), masuk Islamnya orang musyrik, keamanan mereka,
utusan yang diutus memasuki Dar al-islam dari Dar al-harb,
kuda-kuda perang yang dipakai oleh mereka, rampasan perang,
perdamaian dan perjanjiannnya, tebusan dan hukum senjata,
budak, tanah yang dikuasai oleh musuh di negeri musuh, orang
Islam yang berada di negeri musuh, pelanggaran perjanjian,
kejahatan dalam perang, dan beratus masalah yang berkaitan
dengan musuh dan hubungan kaum muslimin dan mereka pada
saat perang maupun damai.
Asy-Syaibani bersandar sepenuhnya kepada alquran dan
hadis yang meriwayatkan peperangan Rasul yang berbicara
tentang peristiwa yang betul-betul terjadi, dan hukum-hukum
yang terjadi pada saat terjadinya peperangan kaum Muslim dan
penaklukan wilayah yang mereka lakukan. Dia juga
menggunakan perbandingan kepada masa-masa tertentu. Harun

163
al-Rayid terheran-heran ketika menyimak isi buku ini dan
memasukkan ke dalam daftar hal-hal yang patut dibanggakan
pada masa kekahalifahannya. Perhatian terhadap buku ini juga
terlihat pada masa daulah Utsmaniyah, karena buku ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, dan dijadikan sebagai
dasar bagi hukum-hukum pejuang daulah Utsmaniyah ketika
mereka berperang melawan negara-negara Eropa. selain itu
Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani adalah salah seorang tokoh
penulis dalam hukum internasional.
3. Pemikiran Ekonomi Al-Syatibi
Secara garis besar, pemikiran ekonomi Asy Syaibani dibagi
menjadi 4 kelompok yaitu antara lain:
a. Al-Kasb (Kerja)
Dalam pembahasan ekonomi dalam al-kasb, al-syaibani
memulainya dengan memberikan definisi tentang kasb (kerja) itu
sendiri. Kasb merupakan usaha untuk mencari perolehan harta
dengan berbagai cara yang halal. Kerja dalam kerangka mikro
merupakan bagian dari aktivitas produksi. Penjelasan ini
menegaskan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi
dalam ekonomi Islam berbeda dengan aktivitas produksi dalam
ekonomi konvensional yang tidak membedakan apakah hasil
produksi itu halal atau haram. Dalam perspektif ekonomi
konvensional, kerja sebagai bagian dari aktivitas produksi itu
hanya diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan semata.
Dalam ilmu ekonomi dinyatakan bahwa produksi dilakukan

164
karena barang atau jasa itu mempunyai nilai guna, sedangkan di
dalam Islam bahwa suatu barang atau jasa itu mempunyai nilai
guna jika mempunyai unsur kemaslahatan. Seorang muslim
memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki tujuan
maslahah. Pandangan Islam tersebut berbeda dengan konsep
ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang
atau jasa mempunyai nilai-guna selama masih ada orang yang
menginginkannya. Dengan kata lain, dalam ekonomi
konvensional nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh
keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif.
Selanjutnya, al-Syaibani menyatakan bahwa sesuatu yang
dapat menunjang terlaksananya yang wajib, maka sesuatu itu
menjadi wajib pula hukumnya. Dalam konteks kerja, menurut al-
Syaibani, untuk menunaikan berbagai kewajiban, maka seseorang
memerlukan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri
akan muncul apabila mengonsumsi makanan yang diperoleh
melalui kerja. Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang
sangat penting dalam menunaikan sebuah kewajiban. Oleh karena
itu, hukum bekerja adalah wajib, seperti halnya kewajiban
thahârah ketika akan melaksanakan shalat. Hukum kerja itu wajib
didasarkan pada dali-dalil sebagai berikut.
Firman Allah Swt:Al-Jumu'ah 62:10
۟ ‫َّوٱذْ ُك ُر‬
ً ِ‫واَّٱَّللََّ َكث‬
‫يرا‬ ْ َ‫َّمنَّف‬
َ ِ‫ض ِلَّٱَّلل‬ ِ ‫وا‬۟ ُ‫َّوٱ ْبتَغ‬
َ ‫ض‬ ِ ‫ىَّٱْل َ ْر‬ ۟ ‫ضيَتَِّٱلصلَ ٰوةَُّفَٱنتَش ُِر‬
ْ ِ‫واَّف‬ ِ ُ‫فَإِذَاَّق‬

َ ‫ل َعل ُك ْمَّت ُ ْف ِل ُح‬


َّ‫ون‬

165
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah
kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak agar kamu beruntung.”

Sabda Rasulullah Saw :

َ ‫ضةٌَّ َع‬
َّ‫لىَّ ُك ِلَّ ُم ْس ِل َِّم‬ َ ‫بَّفَ ِرَّ ْي‬ َ ‫بَّاْل َك‬
ِ ‫س‬ َُّ َ‫طل‬
َ
“Mencari pendapatan adalah wajib bagu setiap Muslim”

Umar ibnu Al-Khattab r. a. lebih mengutamakan derajat kerja


daripada jihad. Sayidina Umar menyatakan dirinya lebih
menyukai meninggal pada saat berusaha mencari sebagian
karunia Allah Swt. di muka bumi daripada terbunuh di medan
perang, karena Allah Swt. mendahulukan orang-orang yang
mencari sebagian karunia-Nya daripada para mujahidin melalui
firman-Nya:

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu


berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula)
segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah
menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa
kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-
waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia
mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang
sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi

166
berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berikanlah pinjaman Kepada Allah pinjaman yang
baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu
niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai
balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan
mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."

Al-Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan


ajaran para rasul terdahulu dan kaum muslimin diperintahkan
untuk meneladani cara hidup para rasul tersebut. Bahkan al-
Syaibani mengatakan bahwa kerja dalam Islam itu hukumnya
wajib. Orientasi kerja dalam perspektif al-Syaibani adalah hidup
untuk meraih keridhaan Allah Swt, baik dunia maupun di akhirat.
Dengan demikian, kerja dalam perspektif al-Syaibani adalah
keseimbangan, terutama keseimbangan duniawi dan ukhrawi.
Kerja yang dilakukan tidak hanya diorientasikan untuk tujuan
duniawi semata, tetapi juga harus ada orientasi ukhrowi.
Demikian pula sebaliknya, kerja tidak hanya diorientasikan untuk
tujuan ukhrawi semata, tetapi juga harus ada orientasi duniawi.

b. Teori produksi
Konsep kasb yang dikemukakan al-Syaibani di atas
sebenarnya merupakan benih-benih bagi lahirnya teori produksi
karena hakikat dari produksi adalah kerja. Dalam kajian ekonomi

167
kontemporer, kerja merupakan salah satu faktor produksi yang
paling dominan. Dalam teori ekonomi modern, faktor produksi
itu terdiri dari tenaga kerja, modal, dan sumber daya alam. Pada
perkembangan berikutnya, faktor-faktor produksi itu dipilah
menjadi dua, yakni faktor produksi asli dan faktor produksi
turunan. Faktor produksi asli terdiri dari sumber daya manusia
dan sumber daya alam, sedangkan faktor produksi turunan terdiri
dari sumber daya modal dan kewirausahaan.
Sebagai produksi yang paling dominan, kerja (sumber daya
manusia) telah mendapatkan perhatian serius dari al-Syaibani.
Menurut al-Syaibani usaha produktif (iktisâb) adalah usaha untuk
menghasilkan harta melalui cara-cara yang diperbolehkan
berdasarkan syar'i (halal). Pengertian ini menjelaskan bahwa
iktisâb merupakan salah satu cara untuk mendapatkan harta atau
kekayaan. Cara perolehan kekayaan itu baru dikategorikan
kepada iktisâb apabila tidak bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan Syara. Ketentuan Syara menjadi pengendali bagi usaha
pencarian harta yang dilakukan oleh seorang Muslim.
Dalam ekonomi konvensional, produsen dikatakan rasional
dengan melakukan usaha produktif dengan satu tujuan, yaitu
memaksimalkan profit. Dengan menggunakan pendekatan
rational economic man, seorang produsen akan berusaha secara
maksimal untuk memperoleh keuntungan. Maksimalisasi
keuntungan dalam kegiatan ekonomi merupakan bagian dari self
interest yang akan selalu diperjuangkan seorang produsen dalam

168
perspektif ekonomi konvensional. Berbeda dengan pandangan
konvensional tentang produksi, al-Syaibani mengatakan bahwa
tujuan utama dari usaha produktif adalah bukan hanya sekadar
mengejar keuntungan semata, tetapi juga untuk membantu orang
lain melakukan ketaatan dan ibadah dengan niat menolong diri
sendiri dan orang lain dalam melaksanakan ketaatan kepada
Allah. Dengan niat luhur tersebut dalam usaha produktif,
produsen tidak hanya mendapatkan keuntungan yang bersifat
duniawi, tetapi juga mendapatkan balasan kebaikan dari Allah.
Dengan kata lain, pendekatan yang digunakan dalam memperoleh
harta adalah pendekatan Islamic man. Pada saat yang sama,
orientasi yang dibangun dalam kegiatan ekonomi adalah
keseimbangan antara self interest dengan public interest atau
altruistic.
Dalam Kitâb al-Kasb, al-Syaibani menyatakan "Mencari
(rezeki) dengan usaha produktif (kasb) adalah kewajiban bagi
setiap Muslim. Ini merupakan penjelasan bahwa seseorang yang
melakukan kasb akan dapat mencapai derajat di atasnya.
Kedudukan di atasnya ini tidak mungkin dapat dicapai kecuali
dengan melakukan kewajiban. Dan oleh karena, tidak mungkin
melakukan suatu kewajiban kecuali dengan melakukan hal
tersebut (kasb), maka kasb hukumnya adalah wajib ain seperti
kewajiban untuk melakukan thahârah untuk menunaikan shalat.
Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa jalan, di antaranya
orang dapat melaksanakan kewajiban agama dengan kekuatan

169
badannya. Kekuatan badan tidak akan dapat dicapai kecuali
dengan makan dan makan hanya dapat dipenuhi dengan kasb.
Demikian juga, shalat tidak dapat ditunaikan kecuali dengan
menutup aurat. Menutup aurat tidak mungkin bisa direalisasikan
kecuali dengan kasb. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak
memungkinkan dipenuhinya suatu kewajiban kecuali dengan
sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib juga".
c. Teori Konsumsi
Dalam kajian konsumsinya, al-Syaibani memulai dengan
membagi kebutuhan pokok manusia (dharůriyah) menjadi empat,
yakni makanan minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Al-
Syaibani menyatakan, "Kemudian Allah Swt. menciptakan anak
cucu Adam dengan suatu ciptaan di mana tubuh (fisik) mereka
tidak akan dapat hidup kecuali dengan empat perkara yaitu
makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal (rumah).
Pemikiran tentang basic human needs yang dikemukakan oleh al-
Syaibani tampaknya selaras dengan pemikiran ekonomi
kontemporer yang menyatakan bahwa keempat hal itu merupakan
kebutuhan dasar manusia.
Al-Syaibani lebih lanjut menyatakan, "Adapun tempat
tinggal, maka mereka telah diciptakan dengan suatu ciptaan di
mana fisiknya tidak mampu menahan teriknya panas sehingga
dapat menunaikan amanat Allah Ta'ala yang dipikulnya dan hal
itu tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan terpenuhinya

170
kebutuhan tempat tinggal. Dengan demikian, kebutuhan ini sama
kedudukannya dengan kebutuhan makan dan minum".
Berdasarkan tulisan al-Syaibani tersebut, dapat dipahami
bahwa inti konsumsi dalam Islam itu tidak hanya untuk
memenuhi dan melampiaskan kebutuhan hidup semata. Menurut
al-Syaibani, hakikat konsumsi adalah agar tetap prima sehingga
bisa melaksanakan kewajiban utama manusia di dunia, yaitu
beribadah kepada Allah. Konsumsi (nafaqah) sangat pokok
karena selain untuk memenuhi kebutuhan pokok untuk bertahan
hidup juga ada keterkaitannya dengan penunaian kewajiban yang
lain. Dengan demikian, konsumsi dapat diposisikan sebagai
wasilah untuk bisa melaksanakan ibadah kepada Allalh wt. Oleh
karena hukum ibadah itu wajib, maka pemenuhan terhadap
kebutuhan dasar manusia juga menjadi wajib hukumnya.
Selanjutnya, al-Syaibani merumuskan tingkatan konsumsi
yang berbeda dengan rumusan ulama sebelumnya yang mengacu
pada dharuriyah, hajah, dan tahsiniyah. Al-Syaibani menjelaskan
tingkatan konsumsi itu lebih rinci dan mendetail. Tingkat
pemenuhan kebutuhan menurut al Syaibani terbagi menjadi tiga.
Pertama, konsumsi dilakukan dengan kadar yang memungkinkan
dapat melangsungkan ibadah dan ketaatan. Menurut al-Syaibani,
tahapan ini hukumnya fardh ‘ain karena dengan tidak memenuhi
konsumsi ini seseorang tidak bisa menjalankan ibadah. Kedua,
tingkatan kecukupan (kifayah) yang dimulai dari batas teratas
tingkatan pertama taqtir (kikir) dan berakhir pada tingkatan israf

171
(berlebih-lebihan) batas atas. Hukum dari tingkatan konsumsi ini
adalah mubah (boleh). Sekalipun demikian, al-Syaibani
cenderung mengutamakan pemenuhan tuntutan konsumsi yang
lebih dekat kepada batas bawah dari tingkatan kifayah. Ketiga,
israf (berlebih-lebihan) yang dimulai dari ujung atas dari
tingkatan kedua. Keseluruhan wilayah ini tidak diperbolehkan
bagi hamba yang beriman dan menyerahkan dirinya kepada Allah
swt.
Pada tingkatan konsumsi pertama, al-Syaibani membagi
konsumsi kepada dua, yakni mutadanni dan sad al-ramq.
Tingkatan mutadanni adalah tingkat konsumsi yang tidak
melakukan konsumsi sedikitpun. Sedangkan tingkatan konsumsi
terendah kedua adalah konsumsi hanya sebatas kebutuhan perut
dengan takaran yang memungkinkan untuk bisa menjalankan
ibadah saja.
d. Klasifikasi dan Hukum Usaha
Menurut al-Syaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi
menjadi empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan,
pertanian, dan perindustrian. Rumusan usaha perekonomian ini
berbeda dengan usaha perekonomian yang dirumuskan oleh
ekonom kontemporer yang membagi usaha perekonomian
menjadi tiga macam, yaitu pertanian, industri, dan jasa. Di antara
keempat usaha perekonomian tersebut, al-Syaibani lebih
memprioritaskan usaha pertanian dari usaha yang lain, karena
pertanian memproduksi berbagai kebutuhan primer manusia yang

172
menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya. Usaha
pertanian ini dianggap unggul karena pada masa al-Syaibani
dipandang sebagai usaha yang paling banyak yang dilakukan oleh
masyarakat. Sewa-menyewa dan perdagangan al-Syaibani
tampaknya dikategorikan ke dalam bisnis jasa perspektif ekonom
kontemporer ini.
Jika dilihat dari segi hukumnya, al-Syaibani membagi usaha-
usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardh kifayah dan fardh
ain. Usaha perekonomian termasuk fardh kifayah ketika dalam
usaha perekonomian tersebut telah ada orang yang
mengusahakannya atau menjalankannya, maka aktivitas
perekonomian itu akan terus berjalan . Sebaliknya, jika tidak ada
seorangpun yang menjalankannya, tatanan aktivitas
perekonomian akan berjalan tidak baik yang berakibat pada
semakin banyaknya orang yang hidup dalam kemerosotan
ekonomi. Pada jenis usaha yang sama sekali tidak ada orang yang
melakukannya, maka pada saat itu usaha perekonomian diberi
hukum fardh kifayah.
Sedangkan usaha perekonomian yang diberi hukum fardhu
'ain apabila usaha-usaha perekonomian itu hanya dilakukan oleh
seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan
orang yang ditanggungnya. Jika tidak dilakukan usaha
perekonomian itu, maka kebutuhan diri dan orang-orang yang
ditanggungnya tidak akan terpenuhi, sehingga akan menimbulkan

173
kebinasaan bagi diri dan tanggungannya. Dalam keadaan seperti
ini, hukum usaha perekonomian menjadi fardhu 'ain.
C. Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa Sebagai seorang penganut
mazhab rasional Hanafi, ahl al-ra’y, Abu Yusuf mengambil
metode penalaran hukum dalam hal yang berkaitan dengan isu-
isu duniawi. Hal ini dilakukan apabila sumber hukum islam
utama, Al-Qur’an dan Sunnah, juga Ijma’, tidak
mengungkapkannya secara Sharih. Al-Syaibani salah satu rekan
sejawarat Abu Yusuf disekolah Abu Hanifah. Kerja kerasnya
tetap menyisakan begitu banyak ide perekonomian yang belum
tergali. Tetapi ia tetap diperhitungka sebagai ahli ekonomi Islam.
Risalahnya yang kecil membahas pendapatan dan belanja rumah
tangga. Dan pada kahirnya ia menilai bahwa pertanian sebagai
lapangan pekerjaan yangterbaik padahal masyarakat Arab pada
saat itu lebih tertarik untuk berniaga, itu dikarenakan kondisi dan
keadaan di Arab yang membuat masyarakat memilih untuk
berdagang.
Tabel Pemikiran Ekonomi
Nama Karya – Pemikiran
Cara Berfikir
Tokoh Karya Ekonomi Islam
Abu Kitab al- • metode • Berkaitan
Yusuf Kharaj penalaran dengan
hukum perpajakan
dalam hal • Pengeluaran

174
yang dan distribusi
berkaitan pendapatan
dengan isu- pajak
isu duniawi • Pajak tanah
• penetapan kharaj
hukumnya • Ushr
didasarkan • Reformasi
pada prinsip- Administrasi
prinsip perpajakan
penalaran tanah
analogis • Pajak lainnya
(qiyas), atas produk
preferensi turunan
hukum • Zakat
(istihsan), • Jizyah
dan • Iuran Adat
kemaslahatan
• Hukum dan
umum ketertiban
(istisla).
• Sewa tanah
• Barang dan
fasilitas
publik
• Harga,
kelangkaan
dan nilai

175
Al – • Zhahir al- • lebih • Lebih
Syaibani Riwayah mengedepan cenderung
• Al- kan istihsan pada
Nawadir dalam ekonomi
• al-Iktisab istinbath al- mikro
fiil rizq ahkam • Diawali
al- dengan
Mustahab menyajikan
• Kitab al- konsep
Asl. “kerja”.
• al-Siyar • Hukum kerja
al-Kabir itu adalah
wajib
• Sewa-
menyewa
(ijarah)
• Perdagangan
(tijarah)
• Pertanian
(zira’ah)
• Perindustrian
(sina’ah)
• Teori
produksi
• Teori

176
Konsumsi
• Klasifikasi
dan Hukum
Usaha

Latihan Soal

1. Jelaskan apa yang menjadi pada masa Al-Syalbani cara


berfikirnya lebih mengedepankan istihsan dalam istimbath
al-ahkam
2. Jelaskan mengapa pemikiran ekonomi pada masa Aal-
Syaibani lebih cenderung pada ekonomi mikro dari pada
ekonomi makro
3. Apakah jizyah itu wajib bagi seluluh umat non muslim,
dan apa sanksinya apabila tidak membayar pajak jizyah
tersebut

177
BAB IX
PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID DAN
AL-MAWARDI

A. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

1. Riwayat Hidup Abu Ubaid


Nama lengkap Abu Ubaid adalah Abu Ubaid al-Qasim bin
Sallam (w. 224 H / 838 M), Seperti penulis sebelumnya,
merupakan seorang hakim meskipun tidak mencapai posisi
hakim seperti Abu Yusuf. Keberadaan Abu Ubaid sangat dihargai
oleh orang sezamannya karena kesalehan dan pengetahuannya
tentang hukum, sunnah, sejarah, dan sastra Arab.
Dari Kitab al-Amwâl, tidak tampak secara nyata
pemikirannya itu berasal dari mazhab tertentu. Dalam
deskripsinya, Abu Ubaid melihat kebiasaan orang-orang Irak
yang menganut Mazhab Hanafi dan juga memperhatikan Mazhab
Maliki, yang kemudian memunculkan pendapatnya sendiri.
Dalam arti bahwa Abu Ubaid adalah seorang inovator atau

178
seorang pengikut. Dia menulis banyak buku tentang al-Quran,
Sunnah, hukum, dan syair, selama satu masa jabatan Abu Ubaid
telah mampu mencurahkan seluruh waktu untuk menulis, yang
dibantu dengan dukungan keuangan seorang Gubernur kaya.
Gubernur tampaknya mengapresiasi atas kemampuan, kemuliaan,
dan pengetahuan yang dimiliki oleh Abu Ubaid.

2. Karya Abu Ubaid

Dalam sebuah karya tiga kali ukuran Kitâb al-Kharåj karya


Abu Yusuf, Abu Ubaid menulis Kitâb al-Amwål . Buku ini
memiliki tiga ciri khas yang tidak dikehendaki oleh buku-buku
sebelumnya tentang kharaj. Pertama, tidak fokus pada satu jenis
kekayaan, meleluasakan segala sesuatu yang dapat diperoleh dari
pertanian, perdagangan, atau lain. Misalnya, berbeda dengan
karya sebelumnya, terlihat menjadi kekayaan yang dihasilkan dari
perdagangan, serta pertanian, dan aturan pajak yang dikenakan
dalam arti. Dalam arti buku ini lebih komprehensif dalam
memadukan ekonomi makro dan mikro dibandingkan karya-
karya sebelumnya.

Kedua, buku ini telah menjadi lebih baik dokumentasinya isi


yang lain. Isi buku tersebut telah digunakan dengan jelas isnad,
kutipan dari rantai informan dari sabda dan perilaku Rasul, surat
yang dikirim oleh Nabi Muhammad Saw. dan Khulafa 'al-
Rasyidin untuk pejabat dan pemimpin musuh-musuh mereka, dan
memeriksa perjanjian antara Muslim dan non-Muslim. Hal ini

179
sangat baik dilakukan dokumentasi. Dalam arti bahwa Abu Ubaid
lebih banyak waktu untuk memberikan bukti apa yang
dipraktikkan di masa lalu Dan mungkin harus dipraktikkan di
masanya. Dokumentasi inilah yang menjadi unggulan utama
karya Abu Ubaid ini dibandingkan dengan karya-karya
sebelumnya atau bahkan dengan karya sesudahnya.

Ketiga, buku ini memberikan berbagai informasi yang luas


dan luas tentang subjek yang dibahas. Hal ini disebabkan oleh
fakta bahwa tulisan Abu Ubaid berasal dari yang lain, sekitar tiga
puluh tahun atau empat puluh tahun setelah Abu Yusuf. Selama
ini, tentu saja, lebih dari sekedar sosial, khususnya di bidang
ekonomi, dimungkinkan sudah lebih besar lagi. Buku karya Abu
Ubaid ini telah dapat memenuhi kebutuhan sumber secara
meluas, bukan saja bagi negara dalam konteks makro, tetapi juga
bagi masyarakat dalam konteks mikro.

Kitâb al-Amwál karya Abu Ubaid adalah sebuah manual


tentang keuangan masyarakat. Rincian praktis dijelaskan dan di
dokumentasikan dengan baik, dengan apa yang seharusnya
dikenakan pajak, faktor-faktor yang membenarkan pengenaan
pajak, dan bagaimana orang harus mendistribusikan di antara
kategori pengeluaran. Secara keseluruhan buku ini menunjukkan
bahwa pemikiran Abu Ubaid dalam bidang keuangan sangat
instruktif. Selain itu, karya-karya Abu Ubaid ini banyak
membahas tentang masalah ekonomi yang terjadi dalam

180
kehidupan masyarakat luas. Bahkan, Abu Ubaid memberikan
kesan khusus yang berhubungan dengan masalah pertanian,
karena pada masa itu pertanian adalah bidang yang menyediakan
kebutuhan dasar dan sumber utama pendapatan negara.

3. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid


Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa
pemikiran ekonomi Abu Ubaid dapat ditemukan karyanya yang
berjudul Kitab al-Amwál. Ada banyak pemikiran ekonomi Abu
Ubaid yang bisa diketahui dari Kitâb al-Amwál di dapat
diuraikan sebagai berikut.
a. Filsafat Ekonomi
Pemikiran awal yang disajikan Abu Ubaid adalah
memberikan landasan filosofi bagi pemikiran ekonomi
selanjutnya. Fisafat ekonomi merupakan fondasi bagi pemikiran
ekonomi, baik dalam kerangka makro maupun mikro ekonomi.
Dalam pandangan Abu Ubaid, pengembangan pemikiran
ekonomi tanpa dilandasi oleh landasan filosofis yang kuat, maka
pemikiran ekonominya akan kehilangan fondasi.
Pemikiran ekonomi yang dikemukakan Abu Ubaid diakui
bermuara pada konsep keadilan. Keadilan bagi Abu Ubaid
merupakan prinsip utama dalam filsafat ekonomi, yang dapat
diimplementasikan akan membawa ke dalam ekonomi dan
keselarasan sosial. Keadilan dalam perspektif Abu Ubaid adalah
keseimbangan antara hak individu, masyarakat dan negara.
Namun demikian, kepentingan publik merupakan tujuan prioritas,

181
yang bertujuan untuk individu-individu yang berkeyakinan
dengan kepentingan publik, maka yang harus didahulukan adalah
kepentingan publik.
Dalam konteks negara, Abu Ubaid memberikan kebebasan
kepada kepala negara (khalifah) untuk mengambil berbagai
kebijakan berdasar pada ajaran islam dan berorientasi pada
kemanfaatan umat islam. Sebagai ilustrasi, Abu Ubaid
berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada
negara atau penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas
harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban
agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Ilustrasi lainnya dapat dilihat pada pemikiran Abu Ubaid
tentang pembagian tanah taklukan kepada para penakluk atau
pemiliknya pada penduduk setempat atau lokal. Pemikirannya
yang menarik tentang hal ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa
pemerintah memiliki hak dalam memperluas batasan-batasan
yang telah ditetapkan dalam alokasi khams apabila kepentingan
publik sangat mendesak. Sehubungan dengan itu, maka
perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau
kemanfaatan publik bukan untuk kepentingan pribadi.
Keadilan sebagai hakikat dari filsafat ekonomi Abu Ubaid
juga mengeluarkan dalam pemikiran tentang tarif dan persentase
untuk pajak tanah. Menurut Abu Ubaid, dalam memberlakukan
tarif pajak hendaknya Memperhatikan keseimbangan antara
kekuatan finansial dari subjek non-Muslim, capacity to pay dalam

182
finansial modern, dan kepentingan umat Islam sebagai penerima
(mustahiq). Pasukan Islam yang lewat di atas tanah non-Muslim
dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang
diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa inti dari filsafat
ekonomi Abu Ubaid yang terangkum dalam konsep keadilan.
Hak ini tercermin dalam pandangannya bahwa dalam hal
pengumpulan kharáj, jizyah, dan zakat tidak bisa menyiksa pihak
wajib pajak dan pada sisi lain, para wajib pajak harus memenuhi
syarat keuangan secara teratur dan pantas. Hal ini arti bahwa Abu
Ubaid tidak menghendaki terjadinya diskriminasi atau penindasan
dalam perpajakan. Selain itu, Abu Ubaid juga memberikan ruang
ijtihad tersebut didasarkan pada nash yang ada dalam al-Quran
dan al -Sunnah.
b. Sumber Pendapatan dan Belanja Keuangan Negara
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Kitâb
al-Amwál karya Abu Ubaid itu lebih memusatkan perhatiannya
sekitar keuangan masyarakat (keuangan publik). Dalam buku ini
dideskripsikan tentang praktik yang dilakukan Rasulullah Saw.
dan Khulafa 'al-Rasyidin, terutama Umar bin Khathab sebagai
contoh ideal dalam pengelolaan keuangan masyarakat. Semua
keuangan publik ditampung dalam sebuah gerakan yang disebut
dengan Baitul Mal. Sedangkan keuangan publik pada mulanya
hanya berasal dari zakat, ghanimah, shadaqah dan fa'i. Setelah
melalui perkembang beberapa saat kemudian sumber penerimaan

183
keuangan publik pun bertambah, seperti kharáj, usyùr dan khums.
Pada masa Khalifah Umar bin Khathab Sumber pendapatan
negara hanya terdiri dari shadaqah, fa'i dan khums. Kemudian
sumber pendapatan keuangan yang dilakukan lebih jauh oleh Abu
Ubaid yang berisi kharaj, jizyah, khumus, dan usyùr.
Dalam membahas tentang pembelanjaan keuangan publik,
Abu Ubaid mengutip pendapat Umar bin Khathab yang
diriwayatkan Aslam sebagai berikut: "Telah mengatakan Umar ra
bahwa tidak muslim akan hak atas harta untuk menerima atau
menolaknya" Setelah itu Umar membacakan surah al-Hasyr ayat
7-10 dan mengatakan Umar, "Ayat ini memuat semuanya
(manusia) dan tidak termasuk seorang muslim kecuali ia
mendapatkan hak akan harta itu (harta fa 'i). Menurut riwayat
Ibnu Syibah yang menyatukan Umar membagi dewan membagi
12.000 dirham untuk para istri Rasulullah Saw., Bagian
juwairiyah dan shafiyah 6.000 dirham (karena keduanya dari
Allah untuk Rasul-Nya) kaum Muhajirin syahid Badar masing-
masing 5.000 dirham dan kaum Anshar yang syahid 4.000
dirham”.
Sehubungan dengan pendapatan publik yang berasal dari
zakat, Abu Ubaid menekankan pembelanjaannya pada delapan
golongan yang disebut dalam al-Quran. Sedangkan dalam
pendistribusian pengeluaran dari penerimaan khums (khums
ghanimah, khums barang tambang dan rikaz serta khums lainnya)
adalah ketentuan dari Rasulullah Saw. dan pendistribusiannya

184
kapan dan untuk siapa tentu juga dengan ketentuan Rasulullah
Saw. Karena keuangan publik adalah kekayaan publik, maka
dialokasikan bagi masyarakat seperti kesejahteraan anak-anak,
korban bencana, santunan dan lainnya.
c. Dikotomi Badui dan Masyarakat Kota
Persoalan menarik lainnya yang dibahas oleh Abu Ubaid
adalah masalah dikotomi masyarakat Badui dan masyarakat kota,
terutama ketika menyoroti alokasi pendapatan fa'i. Abu Ubaid
menegaskan bahwa antara kaum urban (masyarakat kota)
memiliki perbedaan dengan masyarakat badui. Masyarakat kota,
menurut Abu Ubaid, memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:

1) lkut berpartisipasi dalam keberlangsungan negara dengan


berbagi kewajiban administrasi.
2) Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui
mobilisasi jiwa dan harta mereka.
3) Menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui
pembelajaran dan pengkajian al-Quran dan al-Sunnah dengan
menyebar keunggulan kualitas isinya.
4) Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui
pembelajaran dan penerimaan hudud (Akhir yang
ditentukan).
5) Memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat
berjamah pada waktu Jumat.

d. Kepemilikan Publik

185
Abu Ubaid mengakui keberadaan pribadi dan publik karena
pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal
dan dibahas luas oleh banyak ulama. Pengakuannya ini dibuat
dalam pernyataan: "Saya ingin mengatakan hal yang dapat
mencukupi yang pertama dan yang terakhir". Pernyataan Abu
Ubaid ini mengisyaratkan bahwa keuntungan yang dihasilkan
dapat digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.
e. Kepemilikan Kebijakan Pertanian
Abu Yusuf tampaknya telah membangun formulasi
hubungan kepemilikan dengan kebijakan negara tentang
perbaikan pertanian. Menurutnya, kebijakan pemerintah tentang
perbaikan tanah gurun dan pernyataan resmi tentang kepemilikan
individu atas tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan
kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk
meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan
untuk ditanami itu mesti dibebaskan dari pajak yang digunakan
sebagai insentif, maka tanah yang diberikan untuk ditanami itu
mesti dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.
Apabila tanah sebagai insentif untuk meningkatkan produksi
pertanian dijalankan dengan benar, makan atas tanah itu
Dibebaskan dari kewajiban dibayar pajak. Tetapi jika tanah itu
dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, maka
harus dikenakan denda dan kemudian kepemilikan dialihkan
kepada orang lain oleh penguasa. Bahkan tanah gurun milik
pribadi yang tidak diberdayakan dan ditanami dalam waktu yang

186
sama dapat dialihkan kepemilikannya kepada orang lain dengan
proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya dilakukan pada
saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus,
kering, atau rawa-rawa. Ada beberapa hukum pertanahan yang
dikemukakan oleh Abu Ubaid, diantaranya adalah sebagai
berikut.

1) lqtha

Iqtha adalah tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada


seorang rakyat untuk menguasainya dengan mengabaikan yang
lainnya. Dalam Kitab al-Amwál, Abu Ubaid menjelaskan bahwa
tanah yang dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan
penghuninya sehingga keputusan hukum tanah itu menjadi kepala
negara. Kebolehan iqtha 'karya pada surat Umar bin Khathab
yang dikirim kepada Abu Musa, "Jika tanah itu tidak tanah yang
dialiri air jizyah, maka aku akan mengiqha tanah itu baginya”.
Hal ini selaras dengan peristiwa yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. Ketika meng -'iqtha-kan tanah kepada Zubair yang ada
pohon kurma dan pepohonan. Kami melihat tanah itu pernah
Rasulullah Saw. iqtha-kan kepada kaum Anshar untuk mengelola
dan mendiaminya. Kemudian tanah itu kosong, Rasulullah meng-
'iqtha-kannya kepada Zubair. Namun demikian, menurut Abu
Ubaid, pemerintah seharusnya tidak meng-iqtha tanah kharaj
karena tanah kharaj adalah tanah yang produktif yang dapat
memberikan hasil dan menambahkan devisa negara.

187
2) Ihya al-Mawât

Ihya 'al-mawât adalah menghidupkan kembali tanah yang


mati, tandus, tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak
digunakan dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan
bangunan dan menanam kembali benih-benih kehidupan pada
tanah tersebut. Dalam hal ini negara berhak menguasai tanah
tersebut dengan menjadikannya milik umum dan manfaatnya
diserahkan untuk kemaslahatan umat. Kebolehan ihya 'al-mawâat
ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Hisyam, Rasulullah Saw.
bersabda, "siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah
itu menjadi miliknya dan tidak ada hak untuk irai zhalim.

3) Hima (perlindungan)

Hima adalah lahan yang tidak berpenduduk untuk negara


yang menggembala hewan-hewan ternak. Tanah hima ini adalah
tanah yang mendapat perlindungan dari pemerintah, tetapi hasil
yang ada pada tanah tersebut seperti air, rumput dan tanaman,
dapat dimanfaatkan oleh umat. Hal-hal ini didasarkan pada sabda
Rasulullah Saw.” Orang muslim adalah saudara bagi muslim
yang lain, yang memberi mereka keleluasaan udara dan rumput "
f. Fungsi Uang
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak
memiliki nilai intrinsik, yaitu sebagai standar dari nilai tukar
(standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran
(medium of exchange). Dengan pendekatan ini, tampak bahwa

188
Abu Ubaid menggunakan teori ekonomi uang logam. Ia merujuk
pada kegunaan umum dan relatif konstan Nilai emas dan perak
dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda
digunakan sebagai komoditas yang lain, maka nilainya tidak
akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut
keduanya akan peran yang berbeda sebagai barang yang harus
dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya.
Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan
nilai (store of value) dari emas dan perak ia secara implisit
mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang
jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan
jumlah zakatnya.
g. Ekspor Impor
Pemikiran abu ubaid tentang ekspor impor ini dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu tidak adanya nol tarif dalam
perdagangan internasional, cukai bahan makanan pokok lebih
murah, dan ada batas tertentu untuk dikenakan cukai. Tidak
adanya nol tarif dalam perdagangan internasional dikarenakan
tidak adanya pungutan cukai atas muslim dan mujahid. Berkaitan
dengan bahan makanan pokok, abu ubaid berpendapat bahwa
cukai untuk minyak dan gandum yang merupakan bahan
makanan pokok banyak berdatangan ke madinah sebagai pusat
pemerintahan saat itu. sedangkan berkaitan dengan batas tertentu
untuk cukai, abu ubaid berpendapat bahwa tidak semua barang
dagangan dipungut cukainya. Yaitu, pada setiap du puluh dinar

189
mesti dikenakan ukai sebanyak satu dinar. Apabila kadarnya
kurang dari jumlah tersebut, maka hitunglah dengan kadar
kekurangannya, sehingga ia mencapai sepuluh dinar. Apabila
barang dagangannya kurang dari sepertiga dinar, maka janganlah
engkau memungut apapun darinya.

B. Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi


1. Riwayat Hidup al-Mawardi

Nama lengkap al-Mawardi adalah Ali bin Muhammad bin


Habib al-Mawardi al-Basri, al-Syafie. Para ahli sejarah dan
tabâqat memberi gelar untuk beliau dengan sebutan al-Mawardi,
Qâdi al-Qudhât, al-Basri dan al-Syáfi'i. Nama Al-Mawardi
dinisbahkan kepada udara mawar al-wardi) oleh bapak dan
datuknya adalah penjual udara mawar. Gelar Qudi al-Qudhât
bahwa beliau adalah ketua Qâdi yang alim dalam bidang fikih.
Gelar ini diterima pada tahun 429 hijrah. Gelar al-Basri adalah
karena beliau lahir di Basrah. Sementara nama penggantinya
(nama kinayah) adalah Abu Hassan.

Al-Mawardi dilahirkan di Basrah pada tahun 364 H


bertepatan dengan tahun 974 M. Beliau dibesarkan dalam
keluarga yang memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu
pengetahuan. Al-Mawardi wafat pada tanggal 30 bulan Rabi'ul
Awwal tahun 450 H bertepatan dengan 27 Mei 1058 M dalam
waktu ke-86. Jenazah Al-Mawardi dimakamkan di pekuburan
Bab Harb di Baghdad. Kewafatannya terpaut 11 hari dari

190
kewafatan Qadi Abu Taib. Setelah mengawali pendidikannya di
kota Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia berkelana di
berbagai negeri Islam untuk menuntut ilmu Di antara guru-guru
Al-Mawardi adalah al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali ,
Muhammad bin Adi bin Zuhar al-Manqiri, Jafar bin Muhammad
bin Al-Fadhl Al-Baghdad, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi,
Muhammad bin Al Ma "ali Al-Azdi, dan Ali Abu Al-Asyfarayini.

Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar Mazhab


Syaf'i ini dipercaya memangku jabatan Qadi (hakim) di berbagai
negeri secara bergantian.17 Setelah itu al-Mawardi kembali ke
kota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian diangkat sebagai
hakim agung di masa pemerintahan al-Qaim bin Amrillah Al-
Abbasi.

Sekalipun hidup di dunia Islam terbagi ke dalam tiga dinasti


yang saling bermusuhan, yaitu Dinasti Abbasiyah di Mesir,
Dinasti Umayyah di Andalusia dan Dinasti Abbasiyah di
Baghdad, al-Mawardi diangkat kedudukan yang tinggi di mata
para penguasa di masanya; Bahkan, para penguasa Bani Buwaih,
selaku pemegang kekuasaan pemerintah Baghdad,
menjadikannya sebagai mediator mereka dengan musuh-
musuhnya. Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap
aktif mengajar dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali
al-Khatib al-Baghdadi dan Abu al-zza Ahmad bin Kadasy
merupakan dua orang dari sekian banyak murid al-Mawardi.

191
Temukan banyak pekerjaan yang mencakup berbagai bidang
kajian dan bernilai tinggi telah ditulis oleh al-Mawardi, seperti:
Tofsir al-Qur'án al-Karim al-amtsal, wa al-Hikâm al-Hówi al-
Kabir, al-iqna, Adab al-Dunyá wa al-Din, Siyâsâh al-Maiki,
Nasihat al-Mulük, alAhkâm al Sulthaniyyah, al-Nukat wa al-
Uyůn, dan Siyâsâh al-Wizárah wa a-Siyâsâh al-Måliki.

2. Karya al-Mawardi
Pemikiran ekonomi al-Mawardi tercermin pada tiga buah
karya tulisnya, yaitu Adab a-Dunyá wa al-Din, al-Hawi al-Kabir,
dan al -Ahkâm al-Sulthâniyyah wa Wilâyah al-Diniyah. Dalam
Adab al-Dunyah wa al-Din, al-Mawardi memaparkan tentang
perilaku ekonomi muslim dan empat jenis mata pencaharian
utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan, dan industri.
Dalam al-Háw al-Kabîr, salah satu bagiannya, al-Mawardi secara
khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan
berbagai mazhab. Dalam al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa Wilayah
al-Diniyah, al-Mawardi banyak menguraikan tentang sistem
pemerintahan dan administrasi, seperti hak dan kewajiban
pemerintahan rakyat, berbagai lembaga Negara, penerimaan dan
bergulir negara, serta babak hibah.
Namun, buku Yang paling representatif menjelaskan arti
ekonomi Islam al-Mawardi adalah al-Ahkâm al-Sulthâniyyah.
Tema besar yang diusung oleh al-Mawardi dalam bukunya itu
berhubungan dengan masalah keuangan, terutama masalah
sumber pendapatan dan belanja. Diskusi tentang zakat, ghanimah,

192
jizyah, dan kharáj, mendapatkan porsi yang sangat luas tentang
ekonomi Islam.

3. Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi

a. Negara dan Kegiatan Ekonomi


Menurut Al- Mawardi negara memiliki peran penting dalam
mewujudkan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Bahkan,
peran negara ini bukan saja dari perspektif ekonomi, tetapi juga
menjadi sesuatu yang bermoral dan agama yang memiliki tugas
untuk melakukan pembangunan ekonomi dan menciptakan
kesejahteraan rakyat. Salah satu alternatif yang bisa diambil
tetapi adalah menyediakan infrastruktur yang luas. Menurut al-
Mawardi, jika hidup di kota menjadi tidak mungkin karena tidak
berfungsinya fasilitas air minum, atau Rusaknya kota, maka
negara harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan jika
tidak memiliki dana, negara harus menemukan jalan untuk
memerolehnya.
Menurut al-Mawardi, layanan terhadap masyarakat
merupakan kewajiban sosial (fardh kifâyah). Oleh karena itu,
pemenuhan terhadap kebutuhan dan biaya publik merupakan
kewajiban negara. Hal ini disebabkan karena individu-individu
masyarakat tidak mungkin dapat memenuhi layanan dan
kebutuhan tersebut. Dalam upaya layanan dan kebutuhan, negara-
negara menggunakan dana yang tersedia di Baitul Mal.
Lebih lanjut, al-Mawardi menyebutkan tugas-tugas dalam
pemenuhan kebutuhan dasar sebagai berikut: (1) melindungi

193
agama; (2) menegakkan hukum dan stabilitas; (3) menjaga batas
negara Islam; (4) menyediakan iklim ekonomi yang kondusif; (5)
menyediakan administrasi publik, peradilan, dan pelaksanaan
hukum Islam; (6) mengumpulkan dari berbagai sumber yang
tersedia dan ditingkatkan dengan menerapkan pajak baru jika
pikiran menuntutnya; dan (7) membelanjakan dana Baitul Mal
untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajiban.
Oleh karena negara memiliki tugas untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, menciptakan kesejahteraan rakyat, dan
membangun ekonomi pada umumnya, mewujudkan tugas yang
membutuhkan sumber pendanaan atau pendapatan. Sehubungan
dengan itu, al-Mawardi menyatakan bahwa Islam telah
memberikan banyak alternatif yang dapat digunakan sebagai
sumber pendapatan. Di antara orang-orang semacam ini adalah
zakat, ghanimah, kharaj, jizyah, dan usyür.
Dalam pembahasan tentang zakat, al-Mawardi memilah
kekayaan yang tampak dengan kekayaan yang tidak tampak.
Kekayaan yang muncul adalah kesan yang berbeda secara umum.
Adalah aset yang sulit ditemukan umum. Pengumpulan zakat atas
kekayaan yang tampak, seperti hewan dan hasil pertanian harus
dilakukan langsung oleh negara. Selain itu, tidak ada yang lain,
seperti perhiasan dan barang dagangan, termasuk untuk kaum
Muslimin.
Menurut al-Mawardi, Ghanimah adalah harta rampasan yang
bersinar pada Islam melalui peperangan. Al-Mawardi

194
menjelaskan bahwa harta ghanimah itu ada empat macam yaitu:
harta, tanah, tawanan perang, dan tawanan anak-anak atau wanita.
Distribusi harta dan tanah telah diatur dalam Islam, yaitu
seperlima bagi negara dan empat perlima bagi para tentara
lamanya. Untuk tawanan perang, para ulama telah menyediakan
keputusan untuk keputusan kepemimpinan. Sedangkan untuk
tawanan anak-anak atau wanita tidak boleh dibunuh jika mereka
termasuk ahlul kitab. Sedangkan selain ahlul kitab, kedua
tawanan ini memungkinkan mereka untuk tetap bertahan dalam
kekafirannya.
Kharaj adalah pungutan yang harus dibayar atas tanah. Oleh
karena tidak ada ketentuan yang pasti dalam al-Quran dan Hadis,
maka ketentuan-ketentuan yang digunakan untuk memerintah.
Menurut al-Mawardi, pemerintah berhak untuk pajak dan kondisi
masyarakat, dan pajak ini menjadi wajib bagi negara
membutuhkan. Al-Mawardi membagi tanah yang dikenakan
pajak itu menjadi dua macam, yaitu: (1) tanah wakaf, yaitu tanah
yang ditinggalkan oleh pemiliknya tanah yang direbut oleh kaum
muslimin tanpa melalui peperangan, dan tanah yang ditempati
oleh pemiliknya, mereka berdamai dengan pasukannya Iblam dan
bersedia membayar kharaj.
Jizyah adalah sesuatu yang diwajibkan terhadap harta yang
dimilik setiap individu dari golongan ahli dzimmah (non-Muslim)
yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam dan telah mengikat
perjanjian dengan pemerintahan. Berkaitan dengan jizyah ini,

195
menurut al-Mawardi, orang-orang yang termasuk golongan
dzimmah, terutama ahi al-kitab, memungkinkan mereka tinggal
di wilayah Islam dan memenuhi haknya, seperti tidak
menganiaya dan juga melindunginya.
Sumber pendapatan negara terakhir adalah usyur. Usyur
adalah pungutan sejenis cukai bagi barang-barang yang masuk ke
wilayah padatnya Islam dari wilayah lain. Usyùr adalah pungutan
terhadap para ahli yang berasal dari daerah ardh al-harb atau dari
negara Islam itu sendiri. Pemungutan itu dilakukan sepersepuluh
dari modal (barang) dagangan para kafir yang berasal dari dar al-
harb. usyür hanya diberlakukan untuk kafir harb dan kafir zimmi,
karena mereka tidak dikenakan kewajiban zakat.
Selanjutnya, al-Mawardi mengatakan bahwa sumber-sumber
yang ada atau yang lebih tinggi akan digunakan untuk
menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman publik. Secara
historis, hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. untuk
membiayai kepentingan dan kebutuhan sosial di masa awal
pemerintahan Madinah.
Menurut al-Mawardi, masyarakat umum harus berurusan
dengan kepentingan publik. Namun demikian, tidak semua
kepentingan masyarakat dapat dibiayai dari dana belanja
masyarakat. Al-Mawardi menyatakan bahwa ada dua jenis biaya
untuk kepentingan masyarakat, yaitu biaya untuk pelaksanaan
fungsi-fungsi dan biaya untuk umum. Dana pinjaman publik
hanya dapat digunakan untuk berbagai fungsi keuangan. Sebagai

196
jelas, al-Mawardi menyatakan bahwa ada beberapa tanggung
jawab yang timbul dari pembayaran berdasarkan biaya, biaya dan
biaya. Kewajiban seperti ini harus tetap berhubungan terlepas
dari apakah keuangan negara mencukupi atau tidak. Sumber dana
yang ada tidak mencukupi, negara dapat melakukan pinjaman
kepada publik untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Oleh karena itu, pinjaman publik dapat dilakukan oleh
negara hanya untuk membiayai kewajiban Negara yang bersifat
mandatory functions. Adapun terhadap jenis kewajiban yang
bersifat lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat,
negara dapat memberikan pembiayaan yang berasal dari dana-
dana lain, seperti pajak. Hal ini berarti bahwa implementasi
pinjaman publik baru dapat dilakukan dalam keadaan benar-
benar defisit anggaran. Selain itu, pinjaman publik tidak dapat
digunakan untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.
b. Regulasi Pajak Tanah
Beberapa ulama sebelumnya, telah dikemukakan pada bab-
bab sebelumnya, telah banyak berbicara tentang pajak tanah -
kharáj Hal yang mirip dengan yang dikemukakan pula oleh al-
Mawardi. Menurut al-Mawardi, atas fakta-fakta ini harus
bervariasi sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan
kemampuan dalam kamar, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman,
dan sistem irigasi. Kesuburan tanah merupakan faktor yang
sangat penting dalam melakukan pengukuran karena kesuburan
tanah sangat menentukan pada tingkat hasil produksi tanah itu

197
sendiri. Jenis tanaman juga mempengaruhi terhadap ketebalan
karena berbagai jenis bangunan dan harga yang berbeda.
Sedangkan masalah irigasi sebagai faktor utama karena biaya
operasional yang dikeluarkan.
Faktor-faktor lain yang dapat digunakan dalam al-Mawardi
adalah jarak antara tanah garapan kharâj dengan pasar di mana
hasil produksi itu dijual. Hal ini berarti biaya distribusi
merupakan salah satu variabel yang menentukan pada tingkat
harga. Jika jarak tempuh distribusi dekat, maka biaya akan lebih
sedikit, sehingga penilai kharaj bisa jadi biaya lebih tinggi.
Namun sebaliknya, jika jarak tempuh distribusi jauh, akan lebih
banyak, lebih mudah. Regulasi ini dilakukan untuk menciptakan
efek bagi para wajib pajak kharáj.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam
penetapan tarif pajak, yaitu: (1) metode masaih al-ardh, yaitu
metode penetapan kharáj berdasarkan ukuran tanah secara
keseluruhan; (2) metode mosa ih al-zar’i, yaitu penetapan kharaj
berdasarkan ukuran tanah yang ditanami; dan (3) metode
muqásomah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan jumlah
dari hasil produksi. Menurut al-Mawardi, penguasa atau pejabat
pemungut pajak, seminkanlah satu demi satu dari berbagai
alternatif pajak.
Metode pertama, metode masá'ih al-ardh- adalah metode mu
'tabar yang dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. Dan dilanjutkan
oleh Umar bin Khathab. Pada masa ini pajak ditetapkan pada

198
tingkat yang berbeda dan tetap atas setiap tanah yang produktif.
Metode kedua -metode masa'ih al-zar- juga dimungkinkan oleh
Umar bin Khathab yang diberlakukan atas tanah-tanah tertentu,
terutama tanah yang berlokasi di Syiria. Sedangkan metode
ketiga metode muqasamah untuk pertama kalinya diterapkan
pada masa Dinasti Abbasiyah, terutama pada masa Khalifah al-
Mahdi dan Harun al-Rasyid.
c. Bayt al-Mal
Bayt a-mál adalah lembaga atau pihak yang memiliki tugas
Khusus menangani harta, baik berupa pendapatan negara. Selain
itu, bayt al-mál juga dapat diartikan secara fisik sebagai tempat
untuk menyimpan dan mengelola berbagai macam harta yang
menjadi pendapatan negara. Dalam konteks negara itu sendiri
bayt al-mal adalah lembaga negara yang mengelola penerimaan
dan belarja negara yang bersumber dari zakat, kharaj, jizyah, fa’i,
ghanimah, dan lainnya yang dibenarkan Syara dan digunakan
untuk kepentingan umat.
Menurut al-Mawardi, negara keuangan yang ada di Bayt al-
mål dapat digunakan untuk membiayai belanja negara dalam
rangka kebutuhan dasar setiap warganya. Kewenangan fungsi
sumber pendapatan dari selain zakat -kharaj, jizyah, fa'l,
ghanimah, dan lain-lain yang bersumber daya dalam upaya
menciptakan kesejahteraan rakyat dan mobilitas negara.
Sedangkan sumber pendapatan dari zakat hanya digunakan untuk
bagian yang telah ditentukan oleh al-Quran.

199
Pada bagian lain, al-Mawardi menyatakan bahwa pendapatan
bayt al-mål di daerah yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan belanja masyarakat di daerahnya masing-masing. Jika
ada kelebihan barulah Pendapatan daerah itu disetor ke bayt al-
mal pusat. Jika pembayaran lebih dari satu kali, maka biaya
tersebut akan dibebankan ke daerah lain yang mengalami defisit.
Sebagai intuisi keuangan Negara, maka bayt al-mal memiliki
beberapa tanggung jawab. Berkaitan dengan tanggung jawab bayt
al-mal ini, Al-Mawardi membaginya kepada dua klasifikasi
tanggung jawab, yaitu: (1) tanggung jawab yang Muncul sebagai
nilai yang lebih tinggi (bada), seperti untuk pembayaran gaji para
tentara dan pembiayaan senjata dan (2) tanggung bertanggung
jawab atas dana bantuan dan pertanggungjawaban umum.
Tanggung jawab pertama dalam rangka jaminan lingkungan atas
jalannya Alokasi dana yang dikeluarkan dari bayt al-mál ini
sebagai biaya operasional pemerintahan. Sedangkan tanggung
jawab bayt al-mal bagi kami untuk perubahan Rakyat negara bayt
al-mål kedua digunakan untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat.
Kata kunci dalam kebijakan Negara dalam mengalokasikan
sumber keuangan bayt al-mal adalah mashlahah. Negara hanya
boleh menggunakan dana bayt a-mål untuk kemaslahatan umum.
Belanja harta bayt al-mál hanya diorientasikan untuk
pembangunan dalam rangka untuk semua orang. Memungkinkan

200
mengalokasikan harta bayt al-mal hanya untuk kepentingan
tertentu atau bagi komunitas tertentu.
Menurut al-Mawardi, untuk menjamin pendistribusian harta
bayt al-mál sesuai dengan ketentuan dan tepat sasaran, sudah
bertentangan pemberdayaan dewan hisbah. Oleh karena itu, salah
satu fungsi muhtasib adalah orang-orang yang berkepentingan
dengan kebutuhan umum dan proyek-proyek untuk masyarakat
umum. Atas rekomendasi muhtasib, negara harus menjamin
tersedianya fasilitas umum yang diperbolehkan oleh masyarakat
luas. Selain itu, negara juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan
minimal dari masyarakat miskin. Kewajiban orang-orang yang
memenuhi kebutuhan individu-individu, tidak ada yang menjadi
bersumber dari bayt a-mal.

C. Kesimpulan

Pemikiran ekonomi Abu Ubaid tercermin dalam karyanya


yang berjudul Kitab al-Amwal. Pertama, Abu Ubaid menyajikan
tentang filsafat hukum ekonomi dengan pokok pikiran sebagai
berikut : 1. Prinsip utama dalam filsafat hukum ekonomi adalah
keadilan, 2. Kevdilan yaitu keseimbangan antara hak-hak
individual, publik, dan negara, 3. Implementasi keadilan akan
membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial.
Sumber pendapatan negara, Abu Ubaid menetapkan kharaj,
jizyah, khums, dan ‘usyur. Menurut Abu Ubaid, uang memiliki
tiga fungsi utama, yaitu Standard of Exchange Value, Medium of
Exchange, dan Store of Value.

201
Pemikiran ekonomi al- Mawardi tercermin dalam karyanya
yang berjudul Adab al-Dunya wa al-Din, al-Hawi al-Kabir, dan
al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa Wilayah al-Diniyah. Menyatakan
bahwa negara dan kegiatan ekonomi memiliki korelasi yang kuat,
yaitu sebagai berikut : 1. Pembentukan imamah merupakan suatu
keharusan demi terpeliharanya agama dan kepentingan
masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan
ekonomi, 2. Negara harus menyediakan infrastuktur yang
diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan
umum, 3. Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan
dasar setiap warga negara, 4. Negara wajib mengatur dan
membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik,
5. Negara dapat menggunakan dana baitul mal atau
membebankan kepada individu-individu yang kaya untuk
mengadakan proyek pemenuhan umum, 6. Negara diperbolehkan
untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman kepada
publik.

Tabei Pemikiran Ekonomi

No. Tokoh Karya Pemikiran Ekonomi


1. Abu Ubaid Kitab Al-Amwal • Filsafat ekonomi,
(keuangan bermuara pada
publik) konsep keadilan.
• Sumber pendapatan
negara berasal dari

202
kharaj, jizyah,
khums, dan ‘usyur.
• Pembelanjaan negara
terdapat dua bagian
besar: 1. Pendapatan
publik berasal dari
zakat
dialokasikanpada 8
asnaf, 2. Pendapatan
publik yang berasal
dari khums
dialokasikan untuk
kesejahteraan publik.
• Dikotomi badui dan
masyarakat kota
(antara kaum urban
memiliki perbedaan
dengan masyarakat
badui).
• Kepemilikan publik
(keuntungan yang
dihasilkan dapat
dimanfaatkan untuk
kemaslahatan umat
islam).

203
• Kebijakan pertanian
meningkatkan
produksi pertanian,
maka tanah yang
diberikan untuk
ditanami itu mesti
dibebaskan dari
kewajiban membayar
pajak. Beberapa
hukum pertahanan
yaitu Iqtha, Ihya al-
Mawat, Hima
(perlindungan).
• Fungsi uang : 1.
Sebagai standar dari
nilai pertukaran, 2.
Sebagai media
pertukaran.
• Ekspor impor : 1.
Tidak adanya nol
tarif dalam
perdagangan
internasional, 2.
Cukai bahan
makanan pokok lebih

204
murah, 3. Ada batas
tertentu untuk
dikenakan cukai.
2. Al- Adab al-Dunya • Negara
Mawardi wa al-Din menyediakan
(perilaku infrastuktur yang
ekonomi dibutuhkan
seorang muslim masyarakat luas.
dan 4 jenis mata • Sumber pendapatan
pencaharian). berasal dari zakat,
Al-Hawi al- ghanimah, kharaj,
Kabir jizyah, dan ‘usyur.
(Mudharabah • Regulasi pajak
dalam tanah, untuk
perbandingan meniptakan keadilan
berbagai bagi para wajib
mazhab). pajak kharaj.
Al-ahkam al- Beberapa metode
Sultaniyyah wa yang digunakan
Wilayah al- yaitu 1. Metode
Diniyah (Sistem masa’ih a l-ardhi
pemerintahan (penetapan kharaj
dan berdasarkan ukuran
administrasi). tanah secara
keseluruhan, 2.

205
Metode masa’ih al-
zar’i (penetapan
kharaj berdasarkan
ukuran tanah yang
ditanami) 3. Metode
muqasamah
(penetapan kharaj
berdasarkan
persentase dari hasil
produksi).
• Keuangan negara
yang terdapat di
bayt al-mal dapat
digunakan untuk
membiayai belanja
negara dalam rangka
memenuhi
kebutuhan dasar
setiap warganya.

Latihan Soal

1. Apa yang dimaksud konteks melinfdungi agama


2. Bagaimana jika salah satu tugas yang terdapat dalam
pemikiran ekonomi Al-Mawardi tidak terpenuhi?

206
BAB X

PEMIKIRAN EKONMI ISLAM AL-


GHAJALI DAN IBN RUSYD

A. Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali


1. Biografi Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Tusi Al-Ghazali
lahir di Tus sebuah kota kecil di Khurasan Iran pada tahun 450H
(1058M). Karena ayahnya penjual benang, ia diberi nama
panggilan Ghazali yang dalam bahasa Arab berarti “pembuat
benang”. Sejak kecil, imam Ghazali hidup dalam dunia tasawuf.
Beliau tumbuh dan berkembang dalam asuhan seorang sufi,
setelah ayahnya yang juga seorang sufi menggal dunia.
Sejak muda Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu
pengetahuan. Ia pertama-tama belajar bahasa arab dan fiqih di
kota Tus, kemudian pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar
Ushul Fiqh. Setelah kembali ke kota Tus selama beberapa waktu,
ia pergi ke Naisabur untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya. Al-

207
Ghazali belajar kepada Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al-
Juwaini. Setelah itu ia berkunjung ke kota Baghdad, ibu kota
Daulah Abbasyah, dan bertemu dengan Wazir Nizham Al-Mulk.
Darinya Al-Ghazali mendapat penghormatan dan penghargaan
yang besar. Pada tahun 483 H (1090 M), ia diangkat menjadi
guru di madrasah Nizhamiyah. Pekerjaan ini dilaksanakan dengan
sangat berhasil, sehingga para ilmuan pada masanya itu
menjadikannya sebagai referensi utama.
Al-Ghazali juga melakukan bantahan-bantahan terhadap
berbagai pemikiran batiniyah, ismailiyah, filosof, dan lain-lain.
Pada masa ini, sekalipun telah menjadi guru besar, ia masih
merasakan kehampaan dan keresahan dalam dirinya. Akhirnya,
setelah merasakan bahwa hanya kehidupan Sufistik yang mampu
memenuhi kebutuhan rohaninya, Al-Ghazali memutuskan untuk
menempuh tasawuf sebagai jalan hidupnya.
Pada tahun 488 H (1050 M), atas desakan penguasa pada
masa itu, yaitu Wazir Fakhr Al-Mulk, Al-Ghazali kembali
mengajar di madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Akan tetapi,
pekerjaanya itu hanya berlangsung selama dua tahun. Ia kembali
lagi ke kota Tus untuk mendirikan sebuah madrasah bagi para
Fuqaha dan Mutashawwifin. Al-Ghazali memilih kota ini
sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya untuk
menyebarkan ilmu pengetahuan, hingga meninggal dunia pada 14
Jumadil Akhir H (Desember 1111 M).

208
2. Karya-karya Al-Ghazali
Selain dikenal sebagai ulama sufi, Al-ghazali juga banyak
memikirkan fiqih berbagai bidang termasuk diantaranya fiqih
muamalah. Beliau merupakan sosok ilmuan dan penulis yang
sangat produktif. Berbagai tulisannya banyak menarik perhatian
dunia, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Al-
ghazali diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya yang
meliputi berbagai disiplin ilmu seperti logika, filsafat, moral,
tafsir, fiqih, ilmu-ilmu Al-Qur’an, tasawuf, politik, administrasi,
dan pelaku ekonomi. Namun demikian, yang ada hingga kini
hanya 84 buah. Diantaranya adalah Ihya’ Ulum al-Din, al-
Munqidz min al-Dhalal, Tahafut al-Falasifah, Minhaj Al-‘Abidin,
Qawa’id Al-‘Aqaid, al-Mushtasfamin ‘Ilm al-Ushul, Mizan al-
‘Amal, Misykat al-Anwar, Kimia al-Sa’adah, al-Wajiz, Syifa al-
Ghalil, dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk.
3. Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali
Sebagaimana halnya para cendekiawan muslim terdahulu,
perhatian Al- Ghazali terhadap kehidupan masyarakat tidak
terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia. Pemikiran ekonomi Al- Ghazali didasarkan
pada pendekatan Tasawuf. Corak pemikiran ekonominya tersebut
dituangkan dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, al- Mustashfa, Mizan
Al- ‘Amal, dan At- Tibr al Masbuk fi Nasihat Al- Muluk.
Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah
konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial” yakni

209
sebuah konsep yangmencakup semua aktifitas manusia dan
membuat kaitan yang erat antara indifidu dengan masyarakat.
Fungsi kesejahteraan ini sulit diruntuhkan dan telah dirindukan
oleh para ekonomi kontemporer.
Al-Ghazali telah mengidentifikasikan semua masalah baik
yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid
(disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial.
Menurut Al-Ghazali, kesejahteran (maslahah) dari suatu
masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima
tujuan dasar, yakni agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs)
keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (mal), dan
intelek atau akal (aql). Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan
wahyu, tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk
mencapai kebaikan di dunia dan akhirat (maslahat al-dinwa al-
dunya).
Al-Ghazali juga mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi
kesejahteraan sosialnya dalam sebuah kerangka hierarki utilitas
individu dan sosial yang tripartie yakni kebutuhan (daruriat),
kesenangan atau kenyamanan (hajat), dan kemewahan
(tahsinaat). Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi
peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan
oridinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap
barang-barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang-barang
psikis.

210
Menurut Al-Ghazali, kegiatan ekonomi merupakan kebajikan
yang dianjurkan oleh islam. Al-Ghazali membagi manusia dalam
tiga kategori, yaitu: pertama, orang yang mementingkan
kehidupan duniawi golongan ini akan celaka. Kedua, orang yang
mementingkan tujuan akhirat daripada tujuan duniawi golongan
ini kan beruntung. Ketiga, golongan yang kegiatan duniawinya
sejalan dengan tujuan-tujuan akhirat.
Al-Ghazali menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus
dilakukan secara efisien karena merupakan bagian dari
pemenuhan tugas keagamaan seseorang. Ia mengidentifikasi tiga
alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktivitas
ekonomi, yaitu:[7]pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup
yang bersangkutan. Kedua, untuk mensejahterakan
keluarga. Ketiga, untuk membantu orang lain yang
membutuhkan.
Manusia dipandang sebagai maximizers dan selalu ingin
lebih. Al-Ghazali tidak hanya menyadari keinginan manusia
untuk mengumpulkan kekayaan tetapi juga kebutuhannya untuk
persiapan dimasa depan. Namun demikian ia memperingatkan
bahwa jika semangat selalu ingin lebih ini menjurus kepada
keserakahan dan pengejaran nafsu pribadi, hal itu pantas dikutuk.
Dalam hal ini, ia memandang kekayaan sebagai ujian terbesar.
Lebih jauh, Al-Ghazali menyatakan bahwa pendapatan dan
kekayaan seseorang berasal dari tiga sumber, yaitu pendapatan
melalui tenaga individual, laba perdagangan, dan pendapatan

211
karena nasib baik. Namun, ia menandaskan bahwa berbagai
sumber pendapatan tersebut harus diperoleh secara sah dan tidak
melanggar hukum agama.
Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai
pembahasan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya’ Ulum al-
Din. Bahasan ekonomi Al-Ghazali dapat dikelompokkan
menjadi: pertukaran sukarela dan evolusi pasar, produksi, barter
dan evolusi uang, serta peranan negara dan keuangan publik.
a. Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar
Pasar merupakan suatu tempat bertemunya antara penjual
dengan pembeli. Proses timbulnya pasar yang beradasarkan
kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga
dan laba. Tidak disangsikan lagi, Al-Ghazali tampaknya
membangun dasar-dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai
“Semangat Kapitalisme”. Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi
sebagai bagian dari ‘’hukum alam’’ segala sesuatu, yakni sebuah
ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling
memuaskan kebutuhan ekonomi.
Menurut Ghazali setiap perdagangan harus menggunakan
cara yang terhormat. Sesungguhnya para pedagang pada hari
kiamat nanti akan dibangkitkan seperti para pelaku dosa besar,
kecuali yang bertaqwa pada Allah,berbuat kebajikan dan jujur.
Penimbunan barang merupakan tindakan kriminal terhadap moral
dan sosial. Hal tersebut merupakan jalan pintas untuk memakan
harta orang lain,dengan cara bathil. Kejahatan paling

212
membahayakan yang dilakukan para pelaku bisnis pada zaman
modern ini adalah membakar sebagian hasil pertanian sehingga
harganya di pasar tidak menurun, justru akan melonjak tinggi.
1) Permintaan, Penawaran, Harga, dan Laba
Sepanjang tulisannya, Al- Ghazali berbicara mengenai
“harga yang berlaku seperti yang ditentukan oleh praktek-praktek
pasar”, sebuah konsep yang dikemudian hari dikenal sebagai al-
tsaman al- adil(harga yang adil) dikalangan ilmuan Muslin
atau equilibrium price (harga keseimbangan) dari kalangan
ilmuan Eropa kontemporer.
Bagi Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan
alami”. Ia menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Al-
Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan mengenai perdagangan
regional. Waleupun Al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan
dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa tulisannya
jelas menjelaskan bentuk kurva permintaan dan penawaran.
Untuk kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan
atas” dinyatakan oleh dia sebagai “jika petani tidak mendapatkan
pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang
lebih murah”. Sementara itu untuk kurva permintaan yang “turun
dari kiri atas ke kanan bawah” dijelaskan oleh beliau sebagai
“harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”.
Al-Ghazali juga telah memehami konsep elastisitas
permintaan, yang dinyatakan dengan “Mengurangi margin
keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan

213
meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan
meningkatkan keuntungan”. Al-Ghazali juga menyadari
permintaan “harga inelastis”.
Al-Ghazali bersikap sangat kritis terhadap laba yang
berlebihan. Ia menyatakan bahwa laba normal berkisar antara 5
sampai 10 persen dari harga barang. Lebih jauh ia menekankan
bahwa penjual seharusnya didorong oleh laba yang akan
diperoleh dari pasar yang hakiki yakni akhirat.
2) Etika Perilaku Pasar
Dalam pandangan Al- Ghazali, pasar harus berfungsi
berdasarkan etika dan moral para pelakunya. Secara khusus,
ia memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara
menimbun makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya,
memberikan informasi yang salah mengenai berat, jumlah dan
harga barangnya, melakukan praktik-praktik pemalsuan,
penipuan dalam mutu barang dan pemasaran, serta melarang
pengendalian pasar melalui perjanjian rahasia dan manipulasi
harga.
Pasar harus berjalan dengan bebas dan bersih dari segala
bentuk penipuan, serta para perilaku pasar harus mencerminkan
kebajikan seperti bersikap lunak ketika berhubungan dengan
orang miskin dan fleksibel dalam transaksi utang, bahkan
membebaskan utang orang-orang miskin tertentu.

214
b. Aktivitas Produksi
Al Ghazali memberikan perhatian yang cukup besar ketika
menggambarkan berbagai macam aktifitas produksi dalam sebuah
masyarakat, termasuk hirarki dan karakteristiknya. Fokus
utamanya adalah tentang jenis aktifitas yang sesuai dengan dasas-
dasar ekonomi islam.
1) Produksi Barang-barang Kebutuhan Dasar Sebagai
Kewajiban Sosial
Seperti yang telah dikemukakan, Al Ghazali menganggap
kerja adalah sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara
khusus ia memandang bahwa produksi barang barang kebutuhan
dasar sebagai kewajiban sosial (fard al- kifayah). Hal ini jika
telah ada sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha
yang memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang
mencukupi kebutuhan masyarakat, maka kewajiban masyarakat
telah terpenuhi. Namun jika tidak ada seorangpun yang
melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah yang
diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat semua akan
dimintai pertanggungjawabananya di akhirat. Dalam hal ini, pada
prinsipnya negara harus bertanggung jawab dalam menjamin
kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan barang-barang pokok.
2) Hierarki Produksi
Secara garis besar, Al-Ghazali membagi aktifitas produksi
kedalam tiga kelompok:

215
• Industri dasar, yakni industri-industri yang menjaga
kelangsungan hidup manusia
• Aktivitas penyokong, yaitu aktifitas yang bersifat tambahan
bagi industri dasar.
• Aktivitas komplementer, yaitu aktivitas yang berkaitan
dengan industri dasar
Kelompok pertama adalah kelompok yang paling penting
dan peranan pemerintah sebagai kekuatan mediasi dalam
kelompok ini cukup krusial. Ketiga kelompok ini harus
ditingkatkan secara aktif untuk menjamin keserasian lingkungan
sosioekonomi.
3) Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitannya
Adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk
tersebut dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan produksi yang
beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi, dan
kerja sama. Beliau juga menawarkan gagasan mengenai
spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga.
Al-Ghazali mengidentifikasi tiga tingkatan persaingan, yakni
persaingan yang wajib yaitu persaingan yang berhubungan
dengan kewajiban agama dalam rangka memperoleh
keselamatan. Persaingan yang disukai yaitu yang berhubungan
dengan perolehan barang kebutuhan pokok, pelengkap, dan juga
membantu pemenuhan kebutuhan orang lain. Sedangkan
persaingan yang tidak diperbolehkan yaitu yang berhubungan
dengan barang-barang mewah.

216
c. Barter dan Evolusi Uang
Salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian adalah
uang. Al-Ghazali menjelaskan bagaimana uang mengatasi
permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran barter, akibat
negatif dari pemalsuan dan penurunan nilai mata uang, serta
observasi yang mendahului observasi serupa beberapa abad
kemudian yang dilakukan oleh Nicholas Oresme, Thomas
Gresham, dan Richard Cantilon.
1) Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap Uang
Al-Ghazali mempunyai wawasan terhadap mengenai
berbagai problema barter yang dalam istilah modern disebut
sebagai:
• Kurang memiliki angka penyebut yang sama (Lack of
common denominator)
• Barang tidak dapat dibagi-bagi (Indivisibility of goods)
• Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double
coincidence of wants)
Pertukaran barter menjadi tidak efisien karena adanya
perbedaan karakteristik barang-barang. Al-Ghazali menegaskan
bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan
kebiasaan (konvensi) yakni tidak akan ada masyarakat tanpa
pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa
ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan
dengan tepat bila ada ukuran yang sama.

217
2) Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan
dengan Hukum Ilahi
Uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Uang baru
akan memiliki nilai jika digunakan dalam pertukaran. Ghazali
menyatakan bahwa salah satu tujuan emas dan perak adalah
untuk dipergunakan sebagai uang. Beliau juga mengutuk mereka
yang menimbun keping-kepingan uang.
3) Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang
Uang dapat diproduksi secara pribadi hanya dengan
membawa emas dan perak yang sudah ditambang ke percetakan.
Standar uang komoditas, dulunya muatan logam suatu koin sama
nilainya dengan nilai koin tersebut sebagai uang. Jika ditemukan
emas dan perak lebih banyak, persediaan uang akan naik. Harga
juga akan naik, dan nilai uang akan turun.
Perhatiannya ditujukan pada problem yang muncul akibat
pemalsuan dan penurunan nilai, karena mencampur logam kelas
rendah dengan koin emas atau perak, atau mengikis muatan
logamnya. Pemalsuan uang bukan hanya dosa perorangan tetapi
berpotensi merugikan masyarakat secara umum. Penurunan nilai
uang karena kecurangan pelakunya harus dihukum.
Namun, bila pencampuran logam dalam koin merupakn
tindakan resmi negara dan diketahui oleh semua penggunanya,
hal ini dapat diterima. Beliau membolehkan kemungkinan uang
representatif (token money) yang disebut sebagai teori uang
feodalistik yang menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk

218
mengubah muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli
penguasa foedal.
4) Larangan Riba
Riba merupakan praktik penyalahgunaan fungsi uang yang
berbahaya, sebagaimana penimbunan barang untuk kepentingan
individual. Seperti halnya para ilmuan Muslim dan Eropa, pada
umumnya mengasumsikan bahwa nilai suatu barang tidak terkait
dengan berjalannya waktu. Terdapat dua cara bunga dapat
muncul dalam bentuk yang tersembunyi. Bunga dapat muncul
jika ada pertukaran emas dengan emas, tepung dengan tepung,
dan sebagainya, dengan jumlah yang berbeda atau dengan waktu
penyerahan yang berbeda. Jika waktu penyerahan tidak segera
dan ada permintaan untuk melebihkan jumlah komoditi,
kelebihan ini disebut riba al-nasiah. Jika jumlah komoditas yang
diperlukan tidak sama, kelebihan yang diberikan dalam
pertukaran tersebut disebut riba al-fadl. Menurut Ghazali kedua
bentuk transaksi tersebut hukumnya haram.
Jika pertukaran melibatkan komoditas dengan jenis yang
sama, seperti logam (emas dan perak) atau bahan makanan
(gandum atau gerst), hanya riba al-nasiah yang dilarang,
sementara riba al-fadl diperbolehkan. Bila pertukarannya antara
komoditas dengan jenis yang berbeda (logam dan makanan)
keduanya diperbolehkan.

219
d. Peran Negara dan Keuangan Publik
Negara dan agama merupakan tiang yang tidak dapat
dipisahkan. Negara sebagai lembaga yang penting bagi
berjalannya aktivitas ekonomi. Sedangkan agama adalah
fondasinya dan penguasa yang mewakili negara adalah
pelindungnya. Apabila salah satu dari tiang tersebut lemah,
masyarakat akan runtuh.
1) Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan
Stabilitas
Untuk meningkatkan kemakmuran perekonomian,negara
harus menegakkan keadilan, kedamaian, keamanan, serta
stabilitas. Apabila terjadi ketidakadilan dan penindasan, maka
penduduk akan berpindah ke daerah lain dan mereka tentunya
akan meninggalkan sawah dan ladang. Hal itu mengakibatkan
pendapatan publik menurun dan kas negara kosong, sehingga
kebahagiaan dan kemakmuran menghilang.
Al-Ghazali menekankan bahwa negara juga harus mengambil
tindakan untuk menegakan kondisi keamanan secara internal dan
eksternal. Diperlukan seorang tentara untuk melindungi rakyat
dari kejahatan. Diperlukan pula peradilan untuk menyelesaikan
sengketa, serta hukum dan peraturan untuk mengawasi perilaku
orang-orang agar mereka tidak berbuat seenaknya.
Al-Ghazali juga mendukung al-hisabah – sebuah badan
pengawas yang dipakai banyak negara Islam pada waktu itu, dan
berfungsi mengawasi praktik pasar yang merugikan. Praktik-

220
praktik yang perlu diawasi diantaranya seperti timbangan serta
ukuran yang tidak benar, iklan palsu, pengakuan laba palsu,
transaksi barang haram, kontrak yang cacat, kesepakatan yang
mengandung penipuan, dan lain-lain.
2) Keuangan Publik
Dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali mendefinisikan
bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai
sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap
tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh
karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak
mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis
warna.
a) Sumber Pendapatan Negara
Hampir seluruh pendapatan yang ditarik oleh para penguasa
dizaman Ghazali melanggar hukum. Sumber-sumber yang sah
seperti zakat, sedekah, fa’i, dan ghanimah tidak ada. Hanya
diberlakukan jizyah tetapi dikumpulkan dengan cara yang tidak
legal. Dalam memanfaatkan pendapatan negara, negara
seharusnya bersifat fleksibel serta berlandaskan kesejahteraan.
Al-Ghazali menjelaskan: “kerugian yang diderita orang
karena membayar pajak lebih kecil bila dibandingkan dengan
kerugian yang muncul akibat resiko yang mungkin timbul
terhadap jiwa dan harta mereka jika negara tidak dapat menjamin
kelayakan penyelenggaranya.”

221
Yang dikemukakan Ghazali merupakan cikal bakal dari apa
yang sekarang disebut sebagai analisis biaya-manfaat, yakni
pajak dapat dipungut untuk menghindari kerugian yang lebih
besar di masa yang akan datang.
b) Utang Publik
Utang publik diizinkan jika memungkinkan untuk menjamin
pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan datang.
Contoh utang seperti ini adalah Revenue Bonds yang digunakan
secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.
c) Pengeluaran Publik
Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang
direkomendasikan Al-Ghazali bersifat agak luas dan longgar,
yakni penegakan sosioekonomi, keamanan dan stabilitas negara,
sera pengembangan suatu masyarakat yang makmur. Walaupun
memilih pembagian sukarela sebagai suatu cara untuk
meningkatkan keadilan sosioekonomi, Al-Ghazali membolehkan
intervensi negara sebagai pilihan bila perlu, untuk mengeliminasi
kemiskinan dan kesukaran yang meluas. Mengenai
perkembangan masyarakat secara umum, Al-Ghazali menunjukan
perlunya membangun infrastruktur sosioekonomi. Ia berkata
bahwa sumber daya publik “seharusnya dibelanjakan untuk
pembuatan jembatan-jembatan, bangunan keagamaan (masjid),
pondok, jalan, dan aktivitas lainnya yang senada yang
manfaatnya dapat dirasakan oleh rakyat secara umum.”

222
Al-Ghazali menekankan kejujuran dan efisiensi dalam urusan
di sektor publik. Ia memandang perbendaharaan publik sebagai
amanat yang dipegang oleh penguasa, yang tidak boleh bersikap
boros.
B. Pemikiran Ekonomi Ibn Rusyd
1. Biografi Ibn Rusyd
Nama asli Ibn Rusyd adalah Abu al-Wahid Muhammad ibn
Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Beliau lahir di Cordova pada
tahun 520 H/1126 M. Memiliki keluarganya yang terkenal alim
dalam hal ilmu Fiqh. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala
pengadilan di Andalausia. Latar belakang keagamaan inilah yang
memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan yang tinggi
dalam studi-studi keislaman.
Ibn Rusyd hidup dalam situasi politik yang sedang
berkecamuk. Dia lahir pada masa pemerintahan Almurafiah yang
digulingkan oleh golongan Almuhadiah di Marrakusy pada tahun
542 H/1147 M, yang menaklukkan Cordova pada tahun 543 H /
1148 M. Gerakan Almuhadiah dimulai oleh Ibn Tumart yang
menyebut dirinya sebagai Al-Mahdi. Dia berupaya meniru
golongan Fatimiyah, yang muncul seabad sebelumnya dan
berhasil mendirikan sebuah kekaisaran di Mesir dalam hal
semangat berfilsafat mereka. Penafsiran-penafsiran rahasia
mereka serta kehebatan mereka dalam bidang astronomi dan
astrologi. Tiga orang pewarisnya, dari golongan Almuhadiah
‘Abd Al-Mu’min, Abu Ya’qub, dan Abu Yusuf, yang diabdi oleh

223
Ibn Rusyd, terkenal karena semangat berilmu dalam berfilsafat
mereka. Dia lebih dikenal dan dihargai di Eropa Tengah daripada
di Timur dikarenakan beberapa sebab, antara lain:
a. Tulisan-tulisannya yang banyak jumlahnya itu diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin dan diedarkan serta dilestarikan,
sedangkan teks asli dalam bahasa Arab dibakar atau dilarang
diterbitkan lantaran mengandung semangat anti filsafat dan
filosof.
b. Eropa pada zaman Renaissance dengan mudah menerima
filsafat dan metode ilmiah sebagaimana yang dianut Ibn
Rusyd, sedangkan di Timur ilmu dan filsafat mulai
dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis
dan keagamaan.
Aib dan siksaan yang diterimanya serta diusirnya dia dari
tanah kelahirannya pada tahun 593 H/1196 M merupakan akibat
dari pertentangan. Pertarungan antara kaum agamawan dan
filosof untuk mendapatkan kekuasaan politik, tidak pernah reda
sejak abad ke-3 H/ke-9 M. Beberapa penjelasan mengenai
dibuangnya ibn Rusyd ke Lucena, dekat Cordova. Tipu daya
yang dilancarkan oleh kaum agamawan itu berhasil. Hal itu
mengakibatkan Ibn Rusyd bukan saja dihukum buang tapi juga
tulisan-tulisannya dibakar dimuka umum. Tapi aib yang diderita
oleh ibn Rusyd tidak berlangsung lama. Ibn Rusyd pergi ke
Marrakusy, dan dia meninggal pada tahun 595 H/1198 M.

224
2. Karya-Karyanya
Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat,
Ibn Rusyd juga telah membuat sebuah karya dalam tulisannya.
Karya-karya Ibn Rusyd benar-benar memuat sudut pandang ke
arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut :
a. Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan
menyanggah butir demi butir keberatan terhadap al-Ghazali
tentang keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas
akal yang dikaitkan dengan agama yang murni rasional.
b. Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-
Ittishal (Kitab ini berisikan tentang hubungan antara
filsafat dengan agama)
c. Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat,
(berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan
sufi)
d. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan
uraian-uraian di bidang fiqih).
Dan masih banyak lagi.

3. Pemikiran Ekonomi Ibn Rusyd


a. Mudharabah dalam Pandangan Ibn Rusyd
Ibn Rusyd menyamakan istilah mudharabah (dormant
partnership) dengan qiradh atau muqaradhah. Ibn Rusyd, ketika
memulai perbincangannya tentang akad al-mudharabah tidak
mendefinisikannya secara khusus. Baik dari sudut bahasa maupun
istilah fiqh sebagaimana kebiasaan para ulama’ fiqh yang lain.

225
Namun, menurut pendapat al-Imam al-Sarakhsi, al-
mudharabah dari sudut bahasa diambil dari ayat “al-dharb fi al-
ard”. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan adanya perjalanan,
usaha, dan aksi oleh pelaku bisnis atau usahawan (mudarib) yang
berhak atas kadar tertentu dari keuntungan yang diperoleh dari
hasil usaha perjalanannya dalam penyertaan modal (shahib al-
mal/rabb al-mal).
Dasar akad mudharabah adalah ijab (offer) dan qabul
(acceptance). Jika pemilik harta, dana, atau modal (rabb al-maal)
berkata kepada seseorang (usahawan atau agen) untuk mengambil
modal dan menginvestasikannya dalam usaha tertentu, dan
sepakat untuk berkongsi dalam kadar keuntungan tertentu seperti
½ : ½ atau 50:50 atau 70:30, maka akad al-mudharabah antara
kedua belah pihak telah terjadi.
Secara umum, mudharabah merupakan akad perkongsian
antara pemilik modal (rabb al-mal) atau beberapa orang pemilik
(arbab al-amwal) dengan usahawan, pekerja, atau siapapun (amil,
mudharib, muqaridh) yang diamanahkan untuk menjalankan
usaha dengan modal tersebut kemudian mengembalikan kapital
kepada pemilik harta dengan kadar keuntungan yang disetujui
bersama. Bagian keuntungan yang dimiliki oleh usahawan adalah
dalam kadar tertentu yang disetujui bersama semasa akad.
Kerugian yang dialami oleh usahawan ialah kerugian dari sudut
waktu dan tenaga yang dicurahkan dalam aktivitas usaha yang
tidak mendapat keuntungan apa-apa.

226
Dalam hal mengemukakan konsep dan teori mudharabah,
pandangan Ibn Rusyd sama persis dengan penjelasan di atas.
Dalam pandangannya, semua umat Islam sepakat atas kebolehan
akad ini.
b. Legitimasi Akad Mudharabah
Dalam keabsahan akad mudharabah, Ibn Rusyd tidak
mengemukakan dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah
SAW yang menjadi dasar keabsahan sebagaimana kebiasaan
fuqaha’ lain dalam penulisan mereka. Namun demikian, dapat
dipahami dari pandangannya bahwa hadits-hadits yang
dikemukakan oleh para ulama tidak perlu diungkap lagi karena
sudah disetujui dan digunakan secara umum di kalangan fuqaha’.
Menurut para ahli fikih (fuqaha’), keabsahan akad ini
mensyaratkan adanya kemampuan manajerial yang bertendensi
pada profit atau laba (al-ribhu). Menurut al-Sarakhsi, masyarakat
memerlukan akad ini karena adanya simbiosis mutualisme antara
pemilik modal yang ingin berinvestasi dan pekerja atau manajer
yang cakap dalam mengurus modal. Jadi, akad mudharabah ini
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (growth)
yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat luas.
c. Modal Investasi Mudharabah
Berkenaan dengan modal al-mudharabah, Ibn Rusyd
menyatakan bahwa fuqaha’ telah bersepakat membolehkan modal
akad al- mudharabah dalam bentuk uang atau alat tukar (al-
dananir dan al-darahim). Sementara, mereka berbeda pendapat

227
jika modal yang diinvestasikan dalam bentuk barang (al-‘arud/al-
sila’). Para Fuqaha’ dan penulis menyatakan alasan mengapa
uang dijadikan modal dalam mudharabah karena memiliki nilai
yang bisa dijadikan alat transaksi abadi. Berdasarkan alasan
inilah para fuqaha’ dalam mazhab Maliki, termasuk Ibn Rusyd
dan Syafi’I tidak membolehkan penggunaan al-fulus (mata uang
lokal) atau jenis mata uang yang tidak diakui sebagai modal
dalam akad al-mudharabah. Dalam hal modal investasi barang
dan jasa, Ibn Rusyd menyatakan bahwa Jumhur Fuqaha’ tidak
membolehkannya. Argumen atau hujjah yang digunakan yakni
karena bisa membawa kepada unsur gharar dan ketidakpastian
dalam akad. Ini berlaku apabila barang yang dijadikan modal
dinilai berdasarkan jumlah atau harga yang berbeda oleh orang
lain. Ketidakpastian nilai barang (modal) akan menimbulkan
perselisihan ketika akhir transaksi. Selain Ibn Rusyd, dalam hal
ini para fuqaha’ mengemukakan alasan bahwa kemungkinan
harga barang tidak stabil dalam pasar yang hanya akan
menguntungkan satu pihak (instabilitas). Misalnya, jika harga
barang naik, ia akan memberi keuntungan lebih kepada pekerja,
hal yang sama juga berlaku jika harga barang jatuh, maka pihak
pemilik modal dan pekerja akan rugi.
Menurut Ibn Rusyd, Imam Malik dengan jelas menyatakan
bahwa akad al-qiradh (al-mudharabah) sah jika modal investasi
menggunakan mata uang (al-dananir dan al-darahim) dan tidak
boleh dalam bentuk barang (‘urud) ataupun (sila’). mazhab

228
Maliki lainnya membenarkan penggunaan barang sebagai modal
dengan syarat investor meminta pekerja menjual barang itu
terlebih dahulu dan menggunakan uang tunai hasil penjualan
sebagai modal.
d. Bentuk Akad Mudharabah
Dalam fikih, dikenal banyak usaha dan transaksi yang
berkaitan dengan aktifitas investasi sebagai upaya untuk
mendapatkan laba yang halal bagi semua pihak. Dengan
menggunakan modal dari shahib al-mal, seperti mudharabah,
musyarakah, rahn, dan sebagainya. Dalam tulisannya, Ibn Rusyd
telah menyentuh perkara tersebut secara ringkas sebagaimana
fuqaha’ lain dalam mazhab Maliki dan Syafi’i. Hanya fuqaha’
mazhab Hanafi telah menjelaskan dengan detail tentang peranan
dan kebebasan yang bisa dimainkan oleh pekerja semasa
mengoperasikan atau memutar modal shahib al-mal dan
meletakkannya dalam kategori mudharabah muthlaqah (unlimited
mudharabah) dan mudharabah muqayyadah (limited
mudharabah).
Ibn Rusyd menegaskan bahwa setiap usaha dari pemilik
modal atau investor untuk menentukan atau membatasi aktifitas
perputaran modal hanya akan menyusahkan dan menyempitkan
peranan pekerja atau usahawan. Oleh karena itu, dapat dipahami
manakala beliau membagi jenis akad al-mudharabah ke dalam
dua jenis sebagaimana pemikiran mazhab Hanafi, walau ia
sendiri bermazhab Maliki. Dan sebaliknya, meletakkan akad ini

229
dalam kategori yang umum atau unlimited mudharabah. Fuqaha’
kalangan Syafi’iyah mempunyai pemikiran yang berbeda
sehubungan dengan akad mudharabah secara dua peringkat (two-
tier mudharabah) seperti yang dibincangkan oleh fuqaha’ Hanafi
dan Maliki. Mereka berpendapat bahwa pekerja atau mitra
shahibul mal tidak dibenarkan terlibat dalam akad seperti ini. Jika
hal itu dilakukan, akad dianggap batal. Namun, walaupun trend
umum pemikiran Syafi’iyah seperti itu, terdapat sebagian kecil
ulama Syafi’iyah yang membenarkan.
Kalangan Hanafiyah membagi jenis akad mudharabah ke
dalam dua jenis. Mudharabah muthlaqah (unlimited mudharabah)
dan mudharabah al- muqayyadah (limited mudharabah).
Mudharabah muthlaqah ialah mudharabah yang pemilik
modalnya memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pekerja
atau usahawan untuk melakukan investasi. Kebebasan yang
dimaksud seperti:
1) Membeli dan menjual semua jenis barang maupun jasa;
2) Membeli dan menjual secara tunai;
3) Menjadikan modal (barang) sebagai deposit atau barang
gadai dalam al-rahn;
4) Mengangkat pekerja/karyawan jika diperlukan;
5) Membeli atau menyewa peralatan;
6) Membawa modal dalam perjalanan;Mencampurkan modal
mudharabah dengan modal kepemilikan;

230
7) Menginvestasikan modal mudharabah dengan pihak ketiga;
dan
8) Menginvestasikan modal mudharabah dalam akad
musharakah dengan pihak ketiga.
Dengan kata lain, perbincangan mudharabah dalam kategori
ini memperbolehkan pekerja atau mitra untuk mengurus modal
dalam perniagaan yang tidak terikat dengan tempat, lokasi,
waktu, industri, dan pelanggan tertentu. Sesuai dengan konteks
dan kesepakatan yang biasa dilakukan. Sementara, mudharabah
muqayyadah (limited mudharabah) berlaku sebaliknya,
ditentukan dan dibatasi di awal.

e. Pembiayaan dan Pembagian Untung-rugi


Dalam hal pembiayaan (expenses) dalam “memutar” modal
mudharabah seperti tempat tinggal, makan, minum dan ongkos
perjalanan, Ibn Rusyd menyatakan pendapat fuqaha’ terbagi ke
dalam tiga pandangan:
1) Dipelopori oleh Imam Syafi’i, usahawan tidak perlu
diberikan biaya kecuali atas izin dan sepengetahuan pemilik
modal;
2) Usahawan boleh diberikan biaya sebagaimana pendapat
Ibrahim al-Nakha’i dan al-Hasan al-Basri;
3) Usahawan berhak terhadap biaya hidup sehari-hari seperti
pakaian dan makanan jika musafir. Sebaliknya, jika
bermukim di suatu kawasan, maka tidak perlu diberikan.

231
Pandangan ini dikutip dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
dan mayoritas ulama. Mayoritas fuqaha’ termasuk Ibn Rusyd
menyepakati bahwa keuntungan yang diperoleh dalam akad al-
mudharabah dibagi antara pemilik modal dan pekerja berdasarkan
persetujuan bersama dengan prosentase 50 : 50, 70 : 30 dan
sebagainya. Sebagaimana praktik yang ditunjukkan oleh
Rasulullah SAW dalam bertransaksi mudharabah dengan
Khadijah binti Khuwaylid sebelum masa kenabian.
Prinsip umum yang diaplikasikan dalam akad mudharabah
ialah kedua pihak menanggung resiko. Oleh karena itu, kadang-
kadang akad mudharabah disebut juga sebagai “partnership in
profit” atau “profit-sharing” atau “profit and loss-sharing”. Dalam
kitab-kitab fikih, sangat sedikit disinggung tentang penyelesaian
akad mudharabah. Secara umum, perkongsian mudharabah
diselesaikan sesegera mungkin oleh kedua pihak yang terlibat
dalam kontrak yaitu setelah tujuan (keuntungan) tercapai atau
diketahui dengan pasti jumlah kerugian (jika ada).
f. Hukum Kausalitas Pemikiran Ekonomi Ibn Rusyd
Ibn Rusyd membahas mengenai hukum kausalitas (sebab-
akibat) yang menyinggung pada sektor perekonomian yaitu
mengenai permintaan dan penawaran suatu barang secara umum,
namun secara terperinci akan dibahas oleh tokoh selanjutnya
seperti Ibn Khaldun, dan tokoh lainnya.

232
g. Fungsi Uang
Ariestoteles telah menyebutkan bahwa uang memiliki tiga
fungi yaitu: (1) sebagai alat tukar; (2) sebagai alat mengukut
nilai; (3) sebagai cadangan di masa depan. Ibn Rusyd
menyumbangkan pemikirannya mengenai fungsi uang yang
keempat yaitu (4) sebagai alat simpanan daya beli konsumen, hal
tersebut menekankan bahwa uang dapat digunakan kapan saja
oleh konsumen untuk membeli kebutuhan hidup.
Disisi lainnya Ibn Rusyd membantah pemikiran dari
Ariestoteles mengenai teori uang yang mengatakan bahwa nilai
uang tidak boleh berubah-ubah. Ibn Rusyd dengan bantahannya,
beliau memiliki dua alasan, yaitu: (1) uang merupakan alat untuk
mengukur nilai, Allah tidak berubah-ubah karena Allah Maha
Pengukur. Maka uang sebagai alat pengukur tidak boleh berubah-
ubah pula; (2) fungsi cadangan untuk konsumsi masa depan,
sangat tidak adil jika terjadi perubahan. Nilai nominal yang
tertera pada uang harus sama dengan nilai intrinsik yang
terkandung dalam nilai dari uang tersebut.
Berdasarkan pemikirannya mengenai uang, Ibn Rusyd
mengatakan bahwa uang emas mempunyai nilai intrinsik dan
nominalnya sama. Hal ini berbeda dengan uang dinar yang akan
naik sesuai dengan kandungannya
C. KESIMPILAN
Bahwa pemikiran Al-Ghazali mengenai perekonomian Islam
yaitu Pemikiran sosioekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah

233
konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial”. Al-
Ghazali telah mengidentifikasikan semua masalah baik yang
berupa mashalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitas,
kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Menurut
Al-Ghazali, kesejahteran (maslahah) dari suatu masyarakat
tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar,
yakni agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs) keluarga atau
keturunan (nasl), harta atau kekayaan (mal), dan intelek atau akal
(aql).
Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai
pembahasan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.
1. Pertukaran sukarela dan evolusi pasar, yang meliputi;
a. Permintaan,penawaran,harga,dan laba
b. Etika perilaku dasar
2. Produksi barang, yang meliputi;
a. Produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban
sosial
b. Hierarki produksi
c. Tahapan produksi,spesialisasi,dan keterkaitannya
3. Barter dan Evolusi barang, yang meliputi;
a. Problema Barter dan kebutuhan terhadap uang
b. Uang yang tidak bermanfaat dan penimbunan bertentangan
dengan hukum illahi.
c. Pemalsuan dan penurunan nilai uang
d. Larangan Riba’

234
4. Peran Negara dan Keuangan Publik,yang meliputi;
a. Kemajuan ekonomi melalui keadilan, kedamaian, dan
stabilitas
b. Keuangan publik ( sumber negara, utang publik, dan
pengeluaran publik)
Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama
ensiklopedis yang disegani, telah memberikan sumbangan
pemikiran yang amat besar terhadap bidang ekonomi Islam.
Utamanya dalam bab yang sedang diperbincangkan, yaitu akad
mudharabah secara khusus, dan bidang kajian fikih muamalah
secara umum. Sebagaimana tertuang dalam kitabnya Bidayah al-
Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, walaupun dalam diskursus
yang cukup ringkas dalam perspektif perbandingan mazhab fikih.
Sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh ulama dari
kalangan Hanafi, seperti al-Sarakhsi dalam kitabnya al-Mabsut.
Sumbangan pemikiran dan kontribusi Ibn Rusyd ini sangat
penting bagi perkembangan dan pertumbuhan sektor keuangan
dan ekonomi Islam atau sektor muamalah secara umum,
utamanya jika dikaitkan dengan implementasinya dalam negara
“Islam” yang sedang menggeliat seperti Indonesia, Malaysia,
Pakistan, dan Iran. Dan yang lebih penting lagi, sistem ini akan
menjadi rujukan bagi negara-negara non Muslim lainnya, dan
akan berlaku secara global.
1. Akad, legistimasi, dan modal investasi Mudharabah,
meliputi:

235
a. Pentingnya akad karena adanya simbiosis mutuaslisme antara
pemilik modal yang ingin berinvestasi dan pekerja dalam
mengurus modal
b. Modal bisa dalam bentuk uang/alat tukar
2. Pembiayaan dan pembagian untung dan rugi
a. Usahawan boleh diberikan biaya
b. Usahawan tidak perlu diberikan biaya kecuali atas izin
pemilik modal
c. Usahawan berhak terhadap biaya hidup
3. Sebab- akibat mengenai Hukum Permintaan dan Penawaran
4. Fungsi Uang
a. Alat pengukur nilai, Allah tidak berubah-ubah karena Allah
Maha Pengukur. Maka uang sebagai alat pengukur tidak
boleh berubah-ubah pula.
b. Fungsi cadangan untuk konsumsi masa depan, sangat tidak
adil jika terjadi perubahan

Tabel Pemikiran Ekonomi

PEMIKIRAN EKONOMI AL- PEMIKIRAN


GHAZALI EKONOMI IBN
RUSYD
1. Pertukaran sukarela dan 1. Akad, legistimasi, dan
evolusi pasar, yang meliputi; modal investasi
A. Mudharabah, meliputi :
Permintaan,penawaran,harga,dan A. Pentingnya akad

236
laba karena adanya simbiosis
B. Etika perilaku dasar mutuaslisme antara
pemilik modal yang
ingin berinvestasi dan
pekerja dalam
mengurus modal
B. Modal bisa dalam
bentuk uang/alat tukar
2. Produksi barang, yang 2. Pembiayaan dan
meliputi; pembagian untung dan
d. A. Produksi barang-barang rugi
kebutuhan dasar sebagai A. Usahawan boleh
kewajiban sosial diberikan biaya
e. B. Hierarki produksi B. Usahawan tidak
f. C.Tahapan produksi, spesialisasi, perlu diberikan biaya
dan keterkaitannya kecuali atas izin pemilik
modal
C. Usahawan berhak
terhadap biaya hidup
3. Barter dan evolusi barang, 3. Sebab- akibat
yang meliputi; mengenai Hukum
A. Problema barter dan Permintaan dan
kebutuhan terhadap uang Penawaran
B.Uang yang tidak bermanfaat
dan penimbunan bertentangan

237
dengan hukum ilahi

4. Peran negara dan keuangan 4. Fungsi Uang


publik yang meliputi; A. Alat pengukur nilai,
A. Kemajuan ekonomi melalui Allah tidak berubah-
keadilan, kedamaian, dan ubah karena Allah
stabilitas Maha Pengukur. Maka
B. Keuangan publik (sumber uang sebagai alat
negara, utang politik, pengukur tidak boleh
pengeluaran publik) berubah-ubah pula.
B. Fungsi cadangan
untuk konsumsi masa
depan, sangat tidak adil
jika terjadi perubahan

Latihan Soal

1. Apa yang menjadi pondasi tentang kebutuhan individu


dan sosial menurut Ibn Rasyd?
2. Mengapa Al-Ghazali lebih menganjurkan spesialisasi
aktivitas produksi?
3. Jelaskan pemikiran ekonomi menurut Ibn Rasyd dan Al-
Ghazali yang dari dulu sampai sekarang masih
diaplikasikan?

238
BAB XI
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IBNU
TAIMIYAH DAN AL-MAQRIZI

A. Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiya


1. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah

Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiy al-Din Abd al-


‘Abbas Ahmad Ibnu Abd Al-Halim ibnu Abd al-Salam ibnu Abi
al-Qasim ibnu Muhammad ibnu Taimiyah al-Harrani al-
Dimasyqi. Ia lahir di Harran pada 22 Januari 1263 M (10 Rabi
‘al-Amwal, 661 H). Keluarganya telah lama dikenal untuk
pembelajarannya. Ayahnya ‘Abd al-Halim, paman Fakhr al-Din
dan kakek Majd al-Din seorang ulama besar dari Mazhab Hanbali
dan penulis banyak buku. Orangtuanya membawa Ibnu Taimiyah
ke Damaskus ketika berusia 7 tahun karena Khurasan diserang
oleh pasukan Tartar Mongol dibawah komando Hulagu Khan
(1256-1265 M).

239
Ibnu Taimiyah berasal dari keluarga intelektual islam, sebuah
keluarga yang dihargai dan dihormati masyarakat luas pada saat
itu. Ayahnya Syihabuddin bin Abd al-Abbas Ahmad bin Abd al-
Halim ibnu Taimiyah (1284 m). Kakeknya Majuddin Abul
Birkan Abdussalam bin Abdulloh binTaimiyah al Harrani adalah
seorang ulama yang menguasai fiqh, hadits, tafsir, ilmu ushul,
dan penghafal al-quran (hafidz).

Beliau hijrah ke Damaskus bersama orangtua dan


keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan
tentara Tartar atas negerinya. Begitu tiba di Damaskus, Ibnu
Taimiyah segera menghafalkan al-Quran dan mencari berbagai
cabang ilmu kepada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits
negeri itu. Diantara guru Taimiyah adalah ‘Abd al-Da’im, al-
Qasim al-Irbili, al-Muslim bin ‘Allan, Zainuddin Ibnu al-Munja,
al-Majd ibnu ‘Asakir, dan Ibnu abi ‘Umar serta para syaikh
lainnya yang bahkan sebagian mereka telah sampai pada
tingkatan mujtahid. Diantara murid Ibnu Taimiyah yang paling
terkenal dan paling banyak mewarisi ilmunya adalah Ibnu
Qayyim al-Jauziyah.

Ibnu Taimiyah meninggal di penjara Qal’ah Damaskus yang


disaksikan oleh seorang muridnya Ibnu Qayyim, ketika dia
sedang membaca Al-Quran surah al-Qamar yang berbunyi “inna
al-Muttaqina fi jannatin wanaharin”. Ia berada di penjara ini
selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit.

240
Dia dipenjara karena berseberangan dengan pemerintah di
zamannya. Ibnu Taimiyah wafat pada tanggal 20 Djulhijjah 728 h
dan dikuburkan pada waktu Ashar disamping kuburan
saudaranya, Syaikh Jamal al-Islam Syarafuddin. Jenazahnya
dishalatkan di masjid Jami’ Bani Umayyah sesudah shalat Zuhur
yang dihadiri oleh para pejabat pemerintah, ulama, tentara, serta
para penduduk.

2. Karya Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah meninggalkan karya sekitar 500 jilod dalam


berbagai disiplin ilmu yang mayoritas masih bias dibaca sampai
saat ini. Ibnu al-Wardi (d. 749 H) menyatakan bahwa dalam satu
hari dan malam, Ibnu Taimiyah dapat menulis empat buku.
Tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah mencakup berbagai bidang ilmiah
seperti tafsir, hadits, ilmu hadits, fiqh, ushul fiqh, akhlak,
tasawuf, mantiq (logika), filsafat, politik, tauhid (kalam),
ekonomi dan lain-lain. Sebagian karyanya telah dikumpulkan
dalam “majmu al-Fatawa” sebanyak 37 volume, tidak termasuk
beberapa karyanya yang dikategorikan sebagian besar sebagai
Minhaj al-Sunnah” dan lain-lain.

Karya-karya Ibnu Taimiyah meliputi berbagai bidang


keilmuan, anatara lain di bidang politik terdapat al-Siyasah al-
Syar’iyyah fi Islah wa al-Ra’iyyah, dalam bidang tauhid terdapat
Iqtida’ al-Rasa’il al-Kubra, al-Fatawa, Minhaj al-Sunnah, al-

241
Nabawiyyah fi Naqd al-Kalam al-Syi’ah wa al-Qadhariyah, dan
dalam bidang tafsir terdapat Tafsir Al-Kabir.

Disamping itu, ditemukan pula karya Ibnu Taimiyah yang


cenderung mengkritisi fenomena keagamaan yang terjadi di
zamannya. Karya Ibnu Taimiyah yang bersifat polemic dan
bernada panas adalah Kitab al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin, Ma’arij
al-Wusul, Minhaj al-Sunnah dan Kitab Bughyah al-Murtad.
Buku-buku ini dianggap polemic karena ditulis oleh Ibnu
Taimiyah sebagai koreksi dan kritik terhadap berbagai teori
keagamaan yang dipandang tidak benar, tidak sesuai dengan al-
Quran dan al-Sunnah.Buku lain yang dianggap ‘panas” adalah
Jawab fi al-Ijma’ wa al-Khabr al-Mutawatir. Buku ini membahas
tentang metode pengambilan keputusan hukum berdasarkan nash
dan ijma’ yang merupakan sanggahan terhadap mereka yang
berpendapat bahwa dilalah lafziyyah tidak memberikan
pengetahuan yang meyakinkan.

Sedangkan pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah terkandung di


dalam karya monumentalnya, yakni Majmu al-Fatwa, al-Siyasah
al-Syari’iyyahfi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah dan al-Hisbah fi
al-Islam. Kitab Majmu’ al-Fatwa sebenarnya bukan buku khusus
tentang ekonomi, tetapi merupakan berbagai kumpulan fatwa
keagamaan dari Ibnu Taimiyah. Hanya saja dalam beberapa
bagian secara farsial Ibnu Taimiyah menyampaikan gagasannya
tentang ekonomi. Demikian pula dengan al-Siyasah al-Syar’iyyah

242
fi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah bukan buku khusus tetang
ekonomi. Namun, didalam buku tersebut ditemukan pemikiran
ekonomi terutama terkait dengan keuangan Negara. Buku khusus
tentang ekonomi tampak dalam al-Hisbah fi al-Islam.

3. Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah


a. Harga yang Adil, mekanisme Pasar, dan Regilasi Harga
1) Harga yang Adil

Konsep tentang “harga yang adil” merupakan kontribusi


terbesar dari pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah. Ada dua tema
penting dalam pembahasan masalah tentang harga yang adil.
Pertama, kompensasi yang setara atau adil (‘iwadh al-mitsl) dan
harga yang setara atau adil (tsaman al-misl). Kompensasi setara
diukur dan dinilai oleh hal-hal yang sama dan itu merupakan
esensi dari keadilan (nafs al-‘adl). Kompensasi yang adil adalah
pengganti sepadan yang merupakan harga yang sama dengan nilai
dari suatu objek menurut adat. Kompensasi setara diukur dan
dinilai oleh barang serupa tanpa penambahan dan pengurangan,
dan ini merupakan esensi dari leadilan. Kedua, harga yang setara
sebagai harga yang adil. Kesederhanaan adalah kuantitas objek
tertentu dalam penggunaan umum dikaitkan dengan nilai dasar
(rate/si’r) dan adat (‘urf). Evaluasi hak untuk kompensasi yang
adil dan perkiraan berdasarkan analogi barang dengan barang lain
yang setara (ekuivalen).

243
Menurut Ibnu Taimiyah, kompensasi yang adil (‘iwad al-
mitsl) dan harga yang adil (tsaman al-mitsl) itu tidak sama.
Pertanyaan tentang kompensasi yang adil atau “kompensasi
setara” muncul ketika keluarnya kewajiban moral atau hukum
yang menjadi masalah, mungkin (tetapi tidak harus) sehubungan
dengan barang-barang. Bagi Ibnu Taimiyah, prinsip ini terlibat
dalam kasus-kasus berikut. (1) ketika seorang dimintai
pertanggungjawaban karena menyebabkan melukai kehidupan
(nufus) yang lain, atau harta (amwal), atau keperawanan, atau
keuntungan (manafi) orang lain; (2) ketika seseorang dibawah
kewajiban untuk membayar barang atau keuntungan yang setara,
atau untuk membalas cedera beberapa bagian tubuh (ba’dh al-
Nafs0; dan (3) ketika seseorang diminta untuk menyelesaikan
kontrak yang tidak sah (‘uqud al-fasidah) dan kontrak yang sah
(‘uqud al-shohihah) dalam hal cacat (arsy) dalam kehidupan dan
harta.

Karena kompensasi yang setara adalah konsep moral dan


hukum, ia berbicara minimum secara hukum yang diperlukan,
dan yang diinginkan atau moral yang sangant baik. Dia
mengatakan:

“Untuk mengimbangi sesuatu dengan yang setara adalah


keadilanwajib (wajib ‘adl) dan jika pembayaran secara sukarela
meningkat, itu jauh lebih baik dan kebajikan yang diinginkan
(ihsan mustahab), tetapi untuk mengurangi kompensasi adalah

244
ketidakadilan yang dilarang. Demikian juga, untuk melawan
sesuatu yang buruk dengan setaranya adalah keadilan yang
diizinkan (‘adl ja’iz), tetapi untuk meningkatkan kerusakan
adalah melanggar hukum (muharram), dan untuk menguranginya
adalah kebajikan yang diinginkan (ihsan mustahab).

Pada perbedaan antara kompensasi tyang setara dan harga


yang setara, ia mengamati: “jumlah yang tercatat dalam kontarak
terdiri dari dua jenis. Pertama, jumlah dengan mana orang yang
akrab dan yang terbiasa. Ini adalah kompensasi adat umum yang
diterima. Kedua adalah jenis yang jarang (nadir), yang dating
sebagai hasil kenaikan atau penurunan kemauan (roghbah) atau
beberapa factor lain. Hal ini dinyatakan sebagai harga yang
setara”. Tampak jelas bahwa bagi Ibnu Taimiyah kompensasi
yang setara adalah fenomena yang relative tahan lama, yang
dihasilkan dari penegakan adat, sedangkan harga yang setara
adalah sebuah variabel yang ditentukan oleh kekuatan penawaran
dan permintaan dan dipengaruhi oleh kehendak dan keinginan
dari orang yang bersangkutan.

Bagian lain dari al-Hisbah mengungkapkan bahwa dengan


harga yang setara ia berarti, lebih tepatnya, bahwa harga yang
ditetapkan oleh permainan kekuatan pasar yang bebas-penawaran
dan permintaan. Misalnya, menggambarkan perubahan harga
pasar, ia menulis: “jika orang berurusan dengan barang-
barangnya dengan cara yang normsl (wajh ma;ruf) tanpa keadilan

245
dibagian mereka dan harga naik baik karena kekurangan barang,
yaitu penurunan pasokan atau karena peningkatan populasi, yaitu
peningkatan permintaan, maka itu adalah dari Allah swt. Dalam
kasus tersebut, untuk memaksa penjuah agar menjual barang-
barannya dengan harga tertentu adalah tekanan yang salah (ikrah
bi ghayr haqq).

Selain berbicara tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyah juga


membahas tentang upah yang adil dan upah yang setara. Ibnu
Taimiyah menyebutnya sebagai harga yang berlaku di pasar
tenaga kerja (tas’ir fi al-a’mal) dan menggunakan istilah “upah
yang setara” (ujrah al-mitsl). Seperti harga, prinsip-prinsip dasar
yang harus diamati adalah definisi penuh tentang kuantitas dan
kualitas: Upah dan harga, ketika mereka tidak pasti ditentukan,
atau tidak terlihat, atau jenis mereka tidak diketahui, maka itu
merupakan ketidakpastian dan perjudian, (harus diingat bahwa
selam beberapa hari, upah serta harga yang kadang-kadang
dibayar dalam bentuk barang).

Karena “upah yang setara” diatur oleh aturan yang sama


dengan “harga yang setara”, maka dapat disimpulkan bahwa
pencari nafkah atau buruh diperbolehkan dalam kondisi normal
untuk mengenakan upah yang ditentukan oleh tawar-menawar
kedua belah pihak antara majikan dan karyawan. Dengan kata
lain, tenaga kerja diperlakukan sebagai komoditas, tunduk pada
hukum ekonomi yang sama dari penawaran dan permintaan,

246
dalam kasus ketidaksepurnaan di pasar, “upah yang setara” akan
tetap dengan cara yang sama sebagai “harga yang setara”.
Misalnya, jika seseorang yang membutuhkan jasa penggarap atau
mereka yang terlibat dalam produksi tekstil atau konstruksi, tetapi
merek tidak siap untuk memberikan layanannya, pihak
berwenang dapat memperbaiki “upah yang setara” sehingga
majikan tidak dapat mengurangi upah pekerja maupun
permintaan pekerjaan lebih dari mendirikan upah yang adil”.

Hal lain yang disinggung oleh Ibnu Taimiyah adalah laba


yang setara atau laba yang adil. Penentuan laba, menurut Ibnu
Taimiyah, seorang penjual mesti mendapatkan keuntungan
dengan cara yang umum diterima (ribh ma’ruf) tanpa ,erusak
kepentingannya sendiri maupun kepentingan konsumen.

Ketika merumuskan harga yang adil, maka secara otomatis


akan disinggung masalah keuntungan yang adil atau “keuntungan
yang stara” sebagai keuntungan yang normal yang umumnya
diperoleh dalam perdagangan dengan tanpa merugikan orang lain.
Ibnu Taimiyah tidak menyetujui tingkat profit yang tidak normal,
eksploitatif (ghabn fahisy) dari sebuah situasi dimana orang tidak
mengetahui kondisi pasar (mustarsil). Dia menulis: “Seseorang
yang memperoleh barang untuk memperoleh pendapatan dan
berdagang dengannya dilain waktu diizinkan untuk
melakukannya tetapi ia tidak memungut biaya dari orang miskin
(nuhtaj) sebuah keuntungan yang lebih tinggi daripada harga

247
yang umum (ribh al-mu’tad), dia seharusnya tidak meningkatkan
harga karena kebutuhannya (dhsrursh)”. Dan lagi: “Seorang
pedagan tidak boleh menambah biaya dari orang yang tidak
menyadari keuntungan yang lebih tinggi daripada yang ia
tetapkan dari orang lain. Dalam cara yang sama, jika ada orang
miskin (mudta) yang terikat untuk membeli barang untuk
memenuhi kebutuhannya, yaitu permintaannya akan barang
adalah benar-benar in elastic, penjual harus menetapkan
keuntungan setara dengan keuntungan yang ditetapkan dari
seseorang yang tidak begitu terikat”.

Ibnu Taimiyah menganggap bahwa keuntungan itu sebagai


penciptaan tenaga kerja dan modal bersama-sama. Oleh karena
itu, pemilik dari kedua factor produksi berhak untuk berbagi
keuntungan. Memberikan pendapatnya tentang masalah yang
disengketakan Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa keuntungan
akan dibagi sesuai dengan mode umum yang diterima oleh kedua
belah pihak, salah satu pihak menginvestasikan tenaga kerja dan
yang lain yang menginvestasikan uangnya. Ibnu Taimiyah
menulis: “karena keuntungan adalah tambahan yang disebabkan
oleh kerja dari satu pihak dan modal (mal) dari pihak yang lain,
sehingga ditribusinya akan dengan cara yang sama seperti setiap
kenaikan diciptakan oleh dua faktor”.

248
2) Mekanisme Pasar

Ibnu Taimiyah memiliki pemahaman yang jelas tentang


bagaimana dalam sebuah pasar bebas harga ditentukan oleh
kekuatan permintaan dan penawaran. Pemikirannya dapat
ditangkap dari pernyataannya, “naik turunnya harga tidak selalu
disebabkan karena ketidakadilan (zhulm) oleh orang-orang
tertentu. Kadang-kadang alas an untuk itu adalah kekurangan
produksi atau penurunan impor barang dalam permintaan. Jadi,
jika keinginan terhadap barang itu berkurang, maka harga akan
naik. Disisi lain, jika ketersediaan barang meningkat dan
keinginan pada barang berkurang, maka harga akan turun.
Kelangkaan atau kelimpahan ini mungkin tidak disebabkan oleh
tindakan dari perorangan, mungkin karena penyebab yang tidak
melibatkan keadilan apapun atau kadang-kadang mungkin
memiliki penyebab yang tidak melibatkan keadilan. Ini adalah
Allah swt. yang menciptakan keinginan dalam hati orang-orang”.

Menurut Ibnu Taimiyah, harga di pasar itu ditentukan oleh


kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dalam
hal pasokan Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber pasokan
produksi, yakni produksi local dan barang impor. Untuk
mengungkapkan permintaan akan barang tertentu, ia
menggunakan frase “roghbat fi al-syai’”, yaitu keinginan akan
sesuatu. Keinginan akan sesuatu mencerminkan kebutuhan atau

249
“rasa” yang merupakan salah satu penentu yang paling penting
dari permintaan.

Menurut Ibnu Taimiyah, kenaikan harga itu antara


laindisebabkan karena adanya penurunan komoditas dan
pertumbuhan penduduk. Penurunan komoditas dapat secara tepat
dimaknai sebagai penurunan pasokan, sedangkan pertumbuhan
penduduk dapat dimaknai dengan peningkatan permintaan.
Kenaikan harga karena penurunan pasokan atau kenaikan
permintaan ditandai sebagai kehendak Allah untuk menunjukan
sifat dari mekanisme pasar.

Dalam membedakan antara kenaikan harga karena kekuatan


pasar dan satu lagi karena ketidakadilan, seperti penimbunan,
Ibnu Taimiyah telah meletakkan sebuah landasan pada regulasi
harga oleh pemerintah.

Pada kesempatan lain, Ibnu Taimiyah merinci beberapa


faktor yang memengaruhi permintaan dan akibatnya terhadap
harga: keinginan masyarakat (raghbah), jumlah permintaan
(thulab), kekuatan atau kelemahan dari kebutuhan akan barang
(qilah al-hajah wa katsrauha atau quwwah al-hajah wad
ha’fuha), kualitas pelanggan atau partner transaksi (mu’awid),
jenis uang yang dibayarkan dalam pertukaran (naqd ra’ij atau
naqd ghayr ra’ij), kualitas pelaku transaksi (al-taghabudh min al-
tharapayn), dan biaya yang dikeluarkan (qimah al-manfaah).

250
3) Regulasi Harga

Pada masa Ibnu Taimiyah telah terjadi penurunan nilai mata


uang secara berulang kali. Ibnu Taimiyah memina penguasa saat
itu untuk memeriksa penurunan nilai mata uang itu yang telah
mengganggu roda perekonomian. Menurutnya penguasa harus
mencetak koin (selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang
adi dari transaksi masyarakat. Penguasa mesti merumuskan
kebijakan yang rinci tentang pengendalian harga dengan tujuan
untuk menjaga keadilan dan memungkinkan orang untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya.

Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga,


yakni “harga tidak adil atau tidak sah” dan “harga yang adil dan
sah”. Penetapan harga yang dilarang dan tidak adil adalah yang
telah berlaku di tengah kenaikan harga yang disebabkan oleh
permainan kekuatan pasar kompetitif yang bebas kekurangan
pasokan atau kenaikan permintaan.

Meskipun Ibnu Taimiyah tidak menggunakan istilah


“kompetisi” secara eksplisit, tetapi tampak dalam penjelasannya
mengenai kondisi persaingan sempurna dan tidak menyebutkan
semua kondisi persaingan sempurna (prefect competition),
khususnya ketika membahas tentang fungsi pasar. Hal ini tampak
pada pernyataannya, “Memaksa masyarakat untuk menjual
barang-barang dagangan tanpa ada pasar yang mewajibkannya
merupakan sebuah kezaliman yang diharamkan”. Hal ini berarti

251
bahwa setiap orang memiliki kebebasan penuh untuk masuk atau
keluar dari pasar. Ibnu Taimiyah mendukung untkuk
mengesampingkan unsure monopoli dalam pasar. Selain itu, Ibnu
Taimiyah juga menekankan pentingnya pengetahuan tentang
pasar dan komoditas. Penjual dan pembeli dituntut mengetahui
kualitas barang yang ada di pasar sehingga terhindar dari
penipuan, ketidakjujuran dan ketidakadilan, serta memiliki
kebebasan untuk memilih.

Tapi di saat-saat darurat, seperti kelaparan, Ibnu Taimiyah


merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah dan
penjualan paksa atas komoditas yang merupakan hajat hidup
orang banyak. Ibnu Taimiyah menyatakan, “Ini adalah bagi
penguasa untuk memaksa seseorang untuk menjual barang-
barangnya dalam sebuah harga yang adil ketika orang yang
membutuhkannya. Misalnya ketika ia memiliki kelebihan
makanan dan orang didekatnya dalam kelaparan, dia akan
dipaksa untuk menjual pada harga yang adil”.

Dalam melakukan penetapan harga, harus dibedakan antara


pedagang local yang memiliki persediaan barang dengan para
importer. Dalam hal ini, para importer tidak boleh dikenakan
kebijakan tersebut. Namun, mereka dapat diminta untuk menjual
barang dagangannya seperti halnya rekanan importirnya.
Penetapan harga akan menimbulkan dampak yang merugikan
persediaan barang-barang impor mengingat penetapan harga tidak

252
diperlukan terhadap barang-barang yang tersedia di tempat itu
karena akan merugikan para pembeli.

b. Pasar Tidak Sempurna

Menurut Ibnu Taimiyah, dalam kondisi tertentu pemerintah


memiliki kewenangan untuk menetapkan harga apabila
ketidaksempurnaan memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual
di pasar tidak mau menjual barangnya kecuali dalam harga yang
lebih tinggi dari harga yang normal (qimah ma’rufah) dan pada
saat yang bersamaan masyarakat luas sangat membutuhkan
barang-barang tersebut. Dalam keadaan ini, maka pemerintah
berhak memaksa para pedagang untuk menjual barangnya dengan
“harga yang setara’.

Masih menurut Ibnu Taimiyah, apabila di pasar telah terjadi


monopoli maka bias dipastikan bahwa pasar itu tidak sempurna.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus menetapkan harga
(qimah al-mitsl) atas jual beli di pasar. Praktik monopoli ini tidak
boleh dibiarkan karena akan mendatangkan ketidakadilan, “Jika
penhapusan seluruh ketidakadilan tidak mungkin, seseorang
diwajibkan untuk menghilangkannya sejauh dia bias”. Apabila
praktik monopoli itu tidak dapat dicegah sama sekali, maka
minimalisasi kerugian rakyat menjadi kewajiban pemerintah,
sehingga regulasi harga oleh pemerintah menjadi tak terelakkan.

Untuk menghindari terjadinya pasar tidak sempurna, maka


Ibnu Taimiyah menentang diskriminasi harga terhadap pembeli

253
atau penjuayang tidak tahu harga yang berlaku di pasar. Menurut
Ibnu Taimiyah, “seorang penjual tidak memungut biaya harga
selangit, tidak umum dalammasyarakat, dari orang yang tidak
menyadari (mustarsil) tetapi harus menjual barangnya dengan
harga adat (qimh mu’tadah) atau dekat dengan itu. Jika pembeli
telah mengenakan harga selangit seperti itu, ia memiliki hak
untuk meninjau kontrak bisnisnya. “… seseorang diketahui
melakukan diskriminasi dengan cara ini harus dihukum dan
kehilangan hak untuk masuk pasar”.

c. Musyawarah dalam Penetapan Harga

Sepertinya Ibnu Taimiyah tidak menghendaki pemerintah


untuk menjadi otoriter dalam bentuk apapun, termasuk
didalamnya saat menentukan harga pasar. Oleh karena itu, Ibnu
Taimiyah memberikan rekomendasi agar pada saat menetapkan
harga pemerintah perlu melakukan musyawarah terlebih dahulu
dengan pihak-pihak terkait. Menurut Ibnu Taimiyah, “Imam
(pemerintah) harus menyelenggarakan musyawarah dengan para
tokoh yang merupakan wakildari pelaku pasar (wujuh ahl
al0suq). Anggota masyarakat lainnya juga diperkenankan untuk
menghadiri musyawarah tersebut sehingga dapat membuktikan
pernyataan mereka. Setelah melakukan musyawarah dan
penyelidikan terhadap pelaksanaan transaksi jual beli mereka,
pemerintah harus meyakinkan mereka pada suatu tingkat harga
yang dapat membantu mereka dan masyarakat luas, hingga dapat

254
menyetujuinya. Harga tersebut tidak boleh ditetapkan tanpa
persetujuan dan izin mereka.

Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah ini didasarkan pada


logika dalam musyawarah dalam penetapan harga ini
dimaksudkan agar para pihak tidak merasa dirugikan, keinginan
penjual bias terakomodasi dan kebutuhan pembeli bias terealisasi.
Apabila harga ditetapkan tanpa melalui musyawarah terlebih
dahulu akan berbahaya, karena penjual bias menahan barang
untuk tidak dijual di pasar. Hal ini akan menyebabkan kelangkaan
barang di pasar dan berimplikasi pada kenaikan harga. Apabila
terjadi kenaikan harga, maka pihak yang akan merasa dirugikan
adalah masyarakat luas. Dengan demikian, Ibnu Taimiyah telah
menunjukan dengan jelas tentang kelemahan dan bahaya dari
penetapan harga yang sewenang-wenang. Sebab menurutnya,
pada tingkatan tertentu akan berdampak pada munculnya pasar
gelap.

d. Uang dan Kebijakan Moneter


1) Fungsi Uang

Menurut Ibnu Taimiyah, ada dua fungsi penting dari uang,


yakni sebagai alat pengukur nilai dan alat tukar. Ibnu Taimiyah
menyatakan, “Harga (tsaman), yaitu harga atau yang dibayar
sebagai harga, uang dan sebagainya yang dimasudkan untuk
menjadi pengukuran nilai barang (mi’yar al-amwal), melalui
jmlah benda nilai (maqadir al-amwal) dikenal, dan uang tidak

255
boleh dimaksudkan untuk dikonsumsi”. Dengan demikian, fungsi
penting dari uang adalah untuk mengukur nilai barang dan harus
dibayar dalam pertukaran untuk jumlah barang yang berbeda.

Berkaitan dengan fungsi uang ini, Ibnu taimiyah menentang


perdagangan uang. Hal ini disebabkan karena telah mengalihkan
fungsi uang sebagai alat tukar menjadi komoditas. Menurut Ibn
Taimiyah, apabila uang harus ditukar dengan yang lain. Maka
dilakukan secara simultan (taqabud) dan tanpa penundaan
(hulul). Jika ada dua orang saling menukar uang, dimana salah
satu dari mereka membayar tunai sementara [ihak lain berjanji
untuk membayar kemudian belakangan, maka orang pertama
tidak akan dapat menggunakan uang yang dianjikan untuk
transaksi sampai dia benar-benar dibayar. Menurut Ibnu
Taimiyah, ini adalah alas an mengapa Nabi melarang transaksi
tersebut.

2) Penurunan nilai mata uang

Pada masa Sultan Mamluk, Mesir berulangkali dilanda


penurunan nilai mata uang. Ibnu Taimiyah meminta Sultan untuk
mengevaluasi penyusutan nilai uang tersebut yang telah
menyebabkan gangguan, terutama dalam bidang perekonomian.
Ibnu Taimiyah termasuk ekonom pada zamannya yang sangat
khawatir dengan terjadinya penurunan nilai mata uang ini.
Sehubungan dengan itu, Ibnu Taimiyah menyatakan “penguasa
harus mencetak koin (selain emas dan perak) sesuai dengan nilai

256
transaksi masyarakat, yang tidak berdampak pada ketidakadilan
didalam masyarakat”.

Menurut Ibnu Taimiyah, ada hubungan yang signifikan


antara kuantitas uang, volume transaksi dan tingkat harga.
Kuantitas uang yang dicetak harus sesuai dengan volume
transaksi yang terjadi dalam masyarakat untuk memastikan harga
yang adul dapat terealisasi. Hal ini berarti bahwa nilai intrinsic
dari mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di
pasar. Menuerut Ibnu Taimiyah, pemerintah tidak boleh
mencetak mata uang selama tidak ada kenaikan daya serap sector
riil terhadap uang yang dicetak tersebut.

3) Uang Jelek Mengalahkan Uang Baik

Dalam kajian ekonomi konvensional sangat mengenal


Hukum Gresham yang dikemukakan Thomas Gresham pada
tahun 1857. Hukum ini menyatakan bahwa dua koin memiliki
nilai nominal yang sama tetapi terbuat dari niali logam yang
berbeda, yang lebih murah cenderung akan mengalahkan yang
lain dari peredaran. Hal ini disebabkan karena ada kecenderungan
untuk menimbun uang baik atau dilebur kemudian diekspor untuk
medapatkan keuntungan lebih.

Dalam persoalan ini, Ibnu Taimiyah menyatakan, “Apabila


penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan
mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan
merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jathnya

257
nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah
melakukan kezaliman karena telah menghilangkan nilai tinggi
yang semula mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai-nilai
intrinsic mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah
sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan
mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan nilai mata
uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya dengan
mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa ke
daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat
akan menjadi hancur”.

Dalam pernyataan tersebut mengandung makna bahwa mata


uang yang jelek (bad money) akan menggeser keberadaan mata
uang yang baik (good money). Apabila keadaan ini terjadi, pada
perkembangan berikutnya bad money ini akan diperlakukan
sebagai komoditas yang mungkin tidak memiliki nilai yang sama
seperti ketika digunakan debagai mata uang. Disisi lain, orang
akan mendapatkan harga yang lebih rendah untuk barang-
barangnya dalam hal uang baru.

e. Peranan Negara dalam Kehidupan Ekonomi

Neara merupakan sebuah organ yang sangat dibutuhkan


dalam kehdupan masyarakat dan manusia pada umumnya.
Sehubungan dengan itu, Ibnu Taimiyah menyatakan, “Perlu
dicatat untuk mengatur urusan rakyat adalah salah satu
persyaratan yang paling penting dalam agama (wajibat al-din).

258
Benar-benar bericara, din tidak dapat dibangun tanpa Negara.
Kesejahteraan anak-anak Adam tidak dapat dicapai melalui
organisasi masyarakat yang baik (ijtima’), karena mereka
membutuhkan satu sama lain, dan untuk masyarakat seperti itu,
penguasa sangat diperlukan”. Namun demikian, menuerut Ibnu
Taimiyah, kekuasaan yang dilakukan oleh Negara itu tidak
mutlak, tetapi merupakan makna dari Allah dan harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
syari’ah.

Peran Negara dalam kehidupan rakyat itu meliputi berbagai


aspek kehidupan politik, ekonomi, social, budaya, dan lain
sebagainya. Aspek ekonomi merupakan bidang yang paling
penting karena akan berimplikasi pada bidang-bidang yang
lainnya. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah memiliki beberapa
pemikiran terkait dengan pemikiran Negara dalam bidang
ekonomi ini, diantaranya sebagai berikut.

1) Pemberantasan Kemiskinan

Menurut Ibnu Taimiyah, Negara memiliki kewajiban untuk


menyejahterakan rakyatnya. Kekuasaan sebagai amanah
menghendaki eharusn mengelola kekayaan Negara secara
proposional dan bertanggungjawab untuk kemaslahatan rakyat
yang sebenar-benarnya.

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, Negara memiliki tugas


untuk menciptakan kesejahteraan dan menghindarkan diri dari

259
kemiskinan. Sehubungan dengan itu, rakyat miskin memiliki hak
atas kekayaan yang diperoleh dan dimiliki oleh Negara.
Pendapatan Negara harus dialokasikan utuk menciptakan
kesejahteraan dan memberantas kemikinan. Rakyat yang lemah
dan tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya wajib dibantu oleh Negara. Bantuan yang diberikan
Negara itu baik dalam bentuk bantuan yang bersifat konsumtif
maupun yang bersifat produktif.

Peranan Negara dalam bidang ekonomi bukan hanya


memenuhi standar kebutuhn minimal rakyat, melainkan standar
hidup yang layak dan juga membantu rakyat untuk menjadi
mandiri. Konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Taimiyah adalah
pengembangan institusi zakat, kafarat atau denda, shodaqoh dan
hibah oleh pemerintah. Menurut Ibnu Taimiyah: Negara atau
pemerintah dituntut untuk bisa membedakan antara layak dan
tidak layak dan untuk meakukan keadilan dalam distribusi mata
pencaharian dan jabatan public. Redistribusi pendapatan antara
kaya dan miskin demi keadilan dan tingkat emerataan adalah
tanggungjawab khusus Negara. Negara bertugas untuk
mengumpulkan uang dan menggunakannya secara adil dan tepat
sasaran.

2) Regulasi Pasar

Diskursus tentang masalah ini telah dikemukakan pada


bahasan sebelumnya. Ibnu Taimiyah memiliki pandangan bahwa

260
Negara memiliki hak untuk melakukan intervensi di pasar apabila
pasar telah berjalan secara tidak normal. Misalnya, harga di pasar
menjadi tinggi akibat disengaja oleh pihak-pihak tertentu
sehingga mempersulit kehidupan konsumen. Dalam kondisi
seperti ini, maka Negara berhak melakukan intervensi. Namun,
menurut Ibnu Taimiyah, penetapan harga oleh Negara itu tetap
harus didahului oleh musyawarah dengan perwakilan dari
produsen dan konsumen, sehingga penetapan harga oleh Negara
itu bisa diterima oleh semua pihak dan terhindar dari eksis negatif
dari penetapan harga tersebut.

Menurut Ibnu Taimiyah, selain penetapan harga Negara juga


perlu menetapkan standar upah. Penetapan upah oleh Negara ini
dimaksudkan untuk mengindari terjadinya konflik antara majikan
dan karyawannya. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa tenaga
kerja itu sebagai bagian dari produk jasa akan memengaruhi
harga pasar. Oleh karena itu, perlakuan terhadap upah dapat
dianalogikan pula pada penetapan harga :harha tenaga kerja”
(ta’sir fi al-‘amal). Menurut Ibnu Taimiyah, sebenarnya
penetapan upah itu harus diserahkan kepada kekuatan pasar. Hal
ini berlangsung apabila penetapan upah di pasar terjadi secara
normal.

3) Kebijakan Moneter

Sebagaiman telah dikemukakan diatas Ibnu Taimiyah


berpendapat bahawa Negara memiliki tanggungjawab untuk

261
mengendalikan ekspansi mata uang dan mengevaluasi penurunan
nilai mata uang. Apabila dalam sebuah Negara telah terjadi
ekspansi mata uang, maka akan berdampak pada terjadinya
inflasi dan merupakan trust terhadap mata uang.

Tanggungjawab lain dari Negara terkait dengan kebijakan


moneter adalah mengendalikan mata uang agar tidak dijadikan
sebagai komoditas. Apabila mata uang telah dijadikan sebagai
komoditas, maka akan menyebabkan ketidakstabilan moneter
yang memungkinkan terjadinya krisis moneter. Oleh karena itu,
dapat dipahami bahwa Ibnu Taimiyah memiliki perhatian yang
serius terkait dengan stabilitas ekonomi. Stabilitas nilai mata
uang sangat penting karena mata uang merupakan ukuran nilai
dan alat tukar. Berbagai perilaku ekonomi yang mengganggu
fungsi uang ini sangat berbahaya bagi kehidupan ekonomi.

4) Perencanaan Ekonomi

Ibnu Taimiyah memiliki pemikiran ekonomi terkait dengan


perencanaan pembangunan ekonomi. Perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi merupakan persyarat bagi
sebuah Negara yang stabil. Perencanaan pembangunan ekonomi
ini sangat penting agar pembangunan ekonomi itu dapat
dilaksanakan secara sistematis dan struktur, sehingga
hasilpembangunan dapat menyentuh kebutuhan masyarakat,
terutama tersedianya fasilitas umum. Menurut Ibnu Taimiyah,

262
sebagian besar dari pendapatan Negara harus dibelanjakan untuk
pembangunan kanal, jembatan, jalan dan sebagainya.

Hal yang paling menarik dari gagasan Ibnu Taimiyah terkait


dengan perencanaan pembangunan ekonomi ini adalah pemikiran
tentang pembangunan dalam bidang pendidikan. Peningkatan
kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan merupakan
tanggungjawab Negara. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah, Negara
harus mengatur untuk pendidikan dan pelatihan generasi
mudanaya untuk mempersiapkan orang-orang untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, pendidikan dan
pelatihan perlu diberikan kepada para calon pejabat Negara
sehingga mereka memiliki kualifikasi penting yang dibutuhkan
untuk kinerja urusan Negara dan lainnya.

f. Institusi Hisbah

Institusi hisbah (wilayah al-hisbah0 adalah lembaga yang


memiliki wewenang untuk menjalankan amar ma’ruf dannahyi
munkar selain dari wewnang peradilan, pejabat administrasi, dan
yang sejenis dengan itu. Menurut Ibnu Taimiyah, “yang
dimaksud dengan muhtasib adalah yang diberi wewenang untuk
menjalankan amar ma’ruf dan nahyi munkar tidak termasuk
wewenang peradilan, pejabat administrasi, dan sejenisnya.

Institusi hisbah ini merupakan wakil Negara yang berwenang


untuk mengontrol praktik perdagangan dan ekonomi. Secara
rinci, institusi hisbah ini bertugas dan berfungsi sebagai berikut.

263
1) Persediaan dan Pengadaan Kebutuhan

Muhtasib bertugas memeriksa ketersediaan barang yang


merupakan kebutuhan pokok. Ketersediaan sandang dan pangan
merupakan prioritas yang harus diawasi oleh muhtasib. Demikian
pula dengan ketersediaan jasa, seperti jasa konstruksi, budidaya
dan pembuatan koin, merupakan tugas pertama dari muhtasib.

2) Pengawasan Industri

Muhtasib bertugas mengawasi standar produk industry.


Selain itu, muhtasib juga berwenanguntuk memberlakukan
larangan pada industry yang berbahaya bagi masyarakat umum.
Demikian pula muhtasib berwenang untuk menyelesaikan
perselisihan antara pengusaha dan karyawannya.

3) Pengawasan pelayanan

Muhtasib bertugas untuk memeriksa apakah pemberi produk


jasa layanan melaksanakan pekerjaannya dengan baik atau tidak.
Profesi dokter, ahli bedah, farmasi, guru, penggiling, dan
penginapan merupakan objek yang harus diawasi dan dikontrol
oleh muhtasib.

4) Pengawasan Perdagangan

Muhtasib bertugas untuk mengawasi pasar pada pada


umumnya dan praktik perdagangan yang berbeda pada
khususnya. Pengawasan terhadap standardisasi transaksi dan

264
kualitas produk merupakan tugas utama muhtasib. Pengawasan
yang dilakukan muhtasib ini diarahkan agar pasar terhindar dari
monopoli, penimbunan, dan tindakan ekonomi lain yang dapat
merugikan baik untuk konsumen maupun bagi pedagang itu
sendiri.

g. Keuangan Publik

Secara teoritis, keuangan public adalah salah satu cabang


ekonomi yang membahas tentang pengadaan, pemeliharaan, dan
pengeluaran sumber-sumber yang dibutuhkan untuk menjalankan
tugas-tugas pemerintahan. Selain itu, sumber bisnis atau usaha
pemerintah yang hasilnya bertujuan untuk menyejahterakan
rakyat juga merupakan wilayah kajian keuangan publik.
Keuangan publik juga berhubungan dengan peran Negara dalam
menganalisis dampak-dampak perpajakan dan pembelanjaan
Negara terhadap situasi ekonomi individu dan lembaga, juga
menyelidiki dampaknya terhadap situasi ekonomi individu dan
lembaga, juga menyelidiki dampaknya terhadap ekonomi secara
keseluruhan. Dalam konteks ini, ibnu Taimiyah telah memiliki
pemikiran terkait dengan sumber pendapatan Negara dan belanja
Negara. Selain itu, Ibnu Taimiyah menawarkan beberapa regulasi
terkait dengan masalah ini.

1) Pendapatan Negara

Masalah pendapatan Negara ini, sebenarnya telah banyak


oleh ekonom Muslim sebelumnya. Bahkan, hamper semua

265
ekonom Muslim menyajikan pemikiran tentang pendapatan
Negara ini. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah sendiri ikut
mendiskusikannya sekalipun tidak terlalu rinci dan mendetail.
Menurut Ibnu Taimiyah, Negara berhak untuk mendapatkan
sumber-sumber penghasilan dan pendapatan yang diperlukan
untuk melaksanakan kewajibannya. Sumber utama dari kekayaan
Negara adalah zakat, ghanimah, dan fa’i. selain dari sumber ini,
Negara juga bisa menambah pemasukannya dengan menerapkan
pajak-pajak lain ketika kebutuhan mendesak muncul.

a) Zakat

Menurut Ibnu Taimiyah, zakat merupakan landasan dari


fiskal Negara berbasis Islam. Kewajban zakat ini hanya
dibebankan kepada orang kaya yang memiliki kemampuan untuk
menunaikannya. Zakat ini dikenakan pada kekayaan berupa
tanaman, hewan, barang dagangan, serta dua logam berharga;
emas dan perak.

Palam prespektif Ibnu taimiyah, seluruh pajak dalam islam


termasuk didalamnya zakat disyariatkan dalam rangka
menunaikan dua tujuan utama, yakni memenuhi keuangan Negara
dan pengurangan kesenjangan antara kaya dan miskin. Oleh
karena itu, zakat menjadi kewajiban rakyat kepada negaranya.
Penunaian zakat merupakan bukti komitmen rakyat terhadap
negaranya. Rakyat yang tidak menunaikan zakat berarti telah
melakukan pembangkangan terhadap Negara.

266
b) Ghanimah

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ghanimah (harta


rampasan perang) adalah kekayaan yang diperoleh dari non-
Muslim setelah perang. Keabsahan ghanimah didasarkan pada al-
quran surat al-Anfal ayat 41: “Ketahuilah, sesungguhnya apa
saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Alah, Rasul, Kerabat Rasul, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari
bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”

Ghanimah adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari


kaum kafir melalui peperangan. Inilah sumber pendapatan utama
dari Negara islam pada periode awal. Al-Quran surat al-anfal ayat
41 menetapkan bahwa ghanimah itu didistribusikan sebagai
berikut: 4/5 adalah hak pasukan, dan 1/5 dibagi untuk Allah swt.,
Rasulullah dan kerabatnya, anak yatim, miskin dan ibnussabil.
Dari ghanimah inilah dibayar gaji tentara, biaya perang, biaya
hidup Nabi dan keluarganya, dan alat-alat perang, serta berbagai
keperluan umum.

c) Fa’i dan Pendapatan Lain

Berbeda dengan ghanimah dan zakat yang dialokasikan


untuk kategori orang tertentu, distribusi pendapatan dari fa’I lebih

267
luas bagi seluruh rakyat. Bagi Ibnu Taimiyah, semua pendapatan
selain ghanimah dan zakat termasuk kategori ini. Diantara
pendapatan Negara berupa fa’i terdiri dari: (1) jizyah yang
dikenakan kepada orang Yahudi dan Nasrani; (2) upeti yang
dibayarkan oeh musuh; (3) hadiah yang diberikan kepada kepala
Negara; (4) bea cukai (‘usyr) atau pajak yang dikenakan kepada
pedagang dari Negara lain; (5) denda berupa uang; (6) kharaj;
97) harta yang tidak ada pemiliknya (luqathah); (8) harta warisan
yang tidak ada ahli warisnya; (9) simpanan atau uang atau barang
rampasan yang pemilik sebenarnya tidak diketahui lagi dank
arena itu tidak bisa dikembalikan lagi; (10) shadaqah; (11)
wakaf; (12) kifarat.

Selain mengemukakan sumberpendapatan Negara diatas,


Ibnu Taimiyah juga memberikan ruang kepada Negara untuk
menentukan jenis pajak lain. Pendapatan pajak baru, menurut
Ibnu Taimiyah, baru boleh dilakukan apabila situasi dan kondisi
Negara benar-benar membutuhkan. Selain itu, penetapan pajak
baru inipun apabila sumber pendapatan diatas tidak bisa
memenuhi kebutuhan keuangan Negara.

2) Belanja Negara

Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa sumber


pendapatan Negara, menurut Ibnu Taimiyah, terdiri dari zakat,
ghanimah, dan fa’i. Oleh karena itu, belanja Negara juga harus
bersumber dari pendapatan tersebut. Bagi pendapatan zakat dan

268
ghanimah telah ditentukan secara pasti di dalam al-Quran,
sedangkan pendapatan Negara dari fa’i diserahkan sepenuhna
kepada pemerintah.

Berkaitan dengan belanja Negara bersumber dengan zakat


telah ditetapkan didalam al-quran. Allaah swt. berfirman,
“sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
kafir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan
Maha Bijaksana”. Berdasarkan ayat ini maka pendapatan yang
berasal dari zakat dialokasi untuk delapan ashnaf, yakni: (1)
fakir, yaitu orang yang sangat sengsara hidupnya, tidak
mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya;
(2) miskin, yaitu orang yang tidak cukup penghidupannya dan
dalam keadaan kekurangan; (3) pengurus zakat (amilin), yaitu
orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan
zakat; (4) muallaf, yaitu orang yang kafir yang ada harapan
masuk islam dan orang yang baru masuk islam yang imannya
masih lemah; (5) memerdekakan budak; (6) orang yang
berhutang (gharimin), yaitu orang yang berhutang karena untuk
kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup
membayarnya; (7) untuk jalan Allah (fisabilillah), yaitu untuk
keperluan pertahanan islam dan kaum muslimin; dan (8) ibnu al-

269
sabil, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan
maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Demikian pula dengan belanja yang berasal dari pendapatan


ghanimah telah ditetapkan di dalam al-Quran Swt. berfirman,
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk
Alah, Rasul, Kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan
kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Berdasarkan ayat ini, pendapatan yang berasal dari ghanimah
dialokasikan sebesar 20% (1/5) bagi Allah, rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miski dan ibnussabil, dan 80%
(4/5) bagi bala tentara yang ikut terlibat dalam peperangan.

Sedangkan belanja Negara yang berasal dari pendapatan fa’i,


menurut Ibnu Taimiyah, sepenuhnya diserahkan kepada Negara
atau pemerintah. Pendapatan Negara yang berasal dari fa’i
digunakan untuk biaya operasional Negara, gaji pegawai, dan
pembangunan fasilitas umum. Pembangunan infrastruktur
misalnya, sumber pendanaannya tidak boleh diambil dari zakat
dan ghanimah, tetapi harus diambil fa’i. demikian pula dengan
upaya meningkatkan kesejahteraan umum harus diambil dari
pendapatan fa’i.

270
h. Regulasi Pajak

Ibnu Taimiyah memiliki beberapa pemikiran terkait dengan


regulasi pajak. Pertama, para wajib zakat dan kolektor tidak
diperbolehkan melakukan ketidakadilan. Ketidakadilan yang
dilakukan oleh para wajib pajak adalah dengan cara menghindar
atau menguragi kewajiban bayar pajak. Sedangkan ketidakadilan
yang dilakukan oleh kolektor adalah melakukannya dengan
menekan para wajib pajak dan harus membayar di atas
kewajibannya sendiri.

Ibnu Taimiyah melarang penggelapan pajak terutama ketika


pajak dikenakan secara kolektif pada kelompok. Alasan untuk ini
adalah bahwa jika seseorang menhindari bagiannya dari pajak,
bagian itu akan jatuh pada orang lain dalam kelompoknya,
sehingga orang lain memiliki beban yag lebih besar. Istilah yang
digunakan oleh Ibnu Taimiyah adalah muzhalim musytarakah
(ketidakadilan kolektif). Menurutnya, orang-orang tersebut
berada dalam kelompok yang tidak adil dan dipaksa untuk
membayar sejumlah tertentu diluar kewajibannya.

Ibnu Taimiyah menyarankan otoritas pajak berlaku adil


dalam prosedur perpajakannya dan tidak boleh merekrut pajak
secara illegal. Mereka harus mengenakan pajak atas setiap orang
yang bertanggungjawab untuk membayar dan tidak membuat
pengecualian atau pembebasan kepada orang-orang tertentu yang
disebabkan karena telah memberikan sesuatuatau pertimbangan

271
lainnya. Oleh karena itu, Negara memiliki kewajiban untuk
mengangkat para kolektor pajak yang amanah dan dapat
menunaikan kewajibannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
syariah.

Pada saat yang bersamaan, Ibnu Taimiyah juga


mengingatkan tentang pentingnya administrasi perpajakan.
Pertama, Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa pajak yang
dipungut oleh Negara harus sesuai dengan ketentuan syariah.
Ketiga sumber pajak zakat, ghanimah dan fa’I harus menjadi
sumber pendapatan Negara utama. Kecuali apabila dari ketiga
sumber pendapatan Negara ini tidak bisa memenuhi keuangan
Negara, maka Negara boleh menetapkan pajak baru. Kedua,
dalam pengalokasianpendapatan atau belanja Negara harus sesuai
dengan ketentuan syariah. Bagi pendapatan Negara yang berasal
dari zakat dan ghanimah harus dilokasikan sesuai dengan
ketentuan yang ada di dalam al-quran, sedangkan untuk
pendapatan Negara yang berasal dari fa’i sepenuhnya diserahkan
kepada pemerintah. Menurut Ibnu Taimiyahm pemerintah
memiliki kewenangan yang bebas dalam menjalankan tertib
administrasi pajak dan mengangkat para pejabat pajak. Para
pejabat yang diangkat hendaklah orang-orang yang jujur dan
mampu merealisasikan tugas dan kewajibannya dengan baik.

272
B. Pemikiran Ekonomi Al-Maqrizi
1. Riwayat Hidup Al-Maqrizi

Nama lengkap Al-Maqrizi adalah Tqiyuddin Abu Al-Abbas


Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir Al-Husaini. Ia lahir di desa
Barjuwan, Kairo, pada tahun 766 H (1364-1365). Keluarganya
berasal dari Maqarizah sebuah desa yang terletak di kota
Ba’lakbak. Maqarizah bermakna terpencil dari kota sehingga ia
cenderung dikenal sebagai al-Maqrizi. Sejak kecil ia gemar
melakukan rihlah ilmiah seperti fiqh, hadits dan sejarah dari para
ulama besar yang hidup pada masanya. Tokoh terkenal yang
sangat memengaruhi pemikirannya adalah Ibnu Khaldun (seorang
ulama besar, penggagas ilmu sosila dan ekonomi). Interaksinya
dengan Ibnu Khaldun dimulai ketika Ibnu Khaldun dimulai ketika
Ibnu Khaldun ini menetap di Kairo dan memangku jabatan hakim
agung (Qadhi Al-Qudah) Mazhab Maliki pada masa
pemerintahan Sultan arquq (784-801 H).

Pada usia 22 tahun tepatnya pada tahun 788 H (1386 M), al-
Maqrizi memulai kirahnya sebagai pegawai di Diwan Al-Insya
semacam sekretaris Negara pada masa pemerintahan dinasti
mamluk. Pada tahun 791 H (1389 M), Sultan Barquq mengangkat
Al-Maqrizi sebagai muhtasib di Kairo. Pada tahun 811 H (1408
M), al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administrasi wakaf di
Qalanisiyah, sambil bekerja di rumah sakit An-nuri, Demaskus.

273
Pada tahun yang sama, ia menjadi guru hadits di Madrasah
Asyrafiyyah dan Madrasah Iqabliyyah.

Pada tahun 834 H (1430 M), al-Maqrizi bersama keluarganya


menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekah selama
beberapa waktu untuk menuntuk ilmu serta mengajarkan hadits
dan menulis sejarah. Al-Maqrizi meninggal dunia di Kairo pada
tanggal 27 Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan tanggal 9
Februari 1442.

Al-Maqrizi adalag seorang sejarawan Mesir lebih dikenal


sebagai a-Maqrizi atau Makrizi. Meskipun ia adalh “seorang
sejarawan Mamluk dan dirinya seorang Muslim Sunni, tetapi
dalam konteks ini dia luar biasa tajam di dinasti Ismaili Fatimiyah
dan perannya dalam sejarah Mesir.

2. Karya Al-Maqrizi

Menurut Shakir Mustafa, ada sekitar 27 buku yang ditulis


oleh al-Maqrizi yang saat ini bisa ditemukan. Buku-buku tersebut
adalah al-Mawa’izh wa al-I’tibar bi Dzikr al Kithath wa al-Atsar,
al-Suluk fi Ma’rifah Duwal al-Muluk, Itti’azh al-Hunafa bi Akbar
al-A’immah al-Fatimiyyin al-Khulafa, kitab al-Muqaffa fi
Tarajum Ahl Mishr wa al-Waridin ilayha, kitab Syudzur al-‘Uqud
fi Dzikr al-Nuqud, Ighatsah al-‘Ummah bi Kasyf al-Ghummah,
al-Khabar ‘an al-Basyar, Imna al-Asma’mfi ma li al-Rasul min
al-Hafadah wa al-Atba’, al-Ilmam bi man fi Ardh al-Habasyah
min Muluk al-Islam, al-Turfah al-Gharibah fi Akhbar Hadrmawt

274
al-‘Ajibah, al-Bayan wa al-I’rab ‘amma fi Ardh Mishr mi al-
A’rab, al-Dzihb al-Masbuk fi Dzikr man Hajja min al-Khulaffa
wa al-Muluk, al-Niza wa al-Takhasum fi ma bayn Bani Umayyah
wa Bani Hasyim, al-Duwar al-Mudi’ah fi Tarikh al-Duwal al-
Islamiyyah, al-Du’ al-Sari fi Khabr Tamim al-Dari, Dawr al-
Uqud al-Faridah fi Tarajum al-A’mal al-Mufidah, ‘Aqd al-
Jawahir al-Asfath fi Akhbar Madinah al- Fusthath, Muntakhab
al-Tadhkirah fi al-Tarikh, Nubdzah Tarikhiyyah, Mukhtashar al-
Kamil fi al-Du’affa’, Risalah fi al-Mawazin wa al-Makayil,
Tarajum Muluk al-‘Arab, Dzikr ma Warada fi Bani Umayyah wa
Bani al-‘Abbas mi al-Aqwal, Ma’rifah ma Yajib li Al al-Bayt mi
al-Haq ‘ala man “Adahum, Izalah al-Ta’b wa al-‘Ina fi Ma’rifah
Hal al-ghina, Dzikr Bina’ al-Ka’bah wa al-Bayt al-Haram, dan
al-Bayan al-Mufid fi al-Farq Bayn al-Tawhid wa al-Talhid.

Dari buku-buku terebut, buku al-Maqrizi yang membahas


masalah ekonomi adalah Ighatsah al-‘Ummah bi Kasyf al-
hummah, Kitab Syudzur al-‘Uqud fi Dzikr al-Nuqud, dan Risalah
fi al-Mawazin wa al-Makayil. Namun demikian, hal ini tidak
berarti bahwa hanya dalam kitab-kitab ini saja al-Maqrizi
berbicara tentang ekonomi. Bahkan, dalam karyanya al-Suluk fi
Ma’rifah Duwal al-Muluk dan al-Mawa’izh wa al-I’tibar bi Dzikr
al-Khithath wa al-Atsar banyak ditemukan pemikirannya
mengenai teori-teori ekonomi terutama ketika menceritakan krisis
yang terjadi saat itu.

275
3. Pemikiran Ekonomi Al-Maqrizi

Al-Maqrizi berada pada fase kedua dalam sejarah pemikiran


ekonomi Islam, sebuah fase yang mulai terlihat tanda-tanda
melambatnya berbagai kegiatan intelektual yang inovatif dalam
dunia islam. Al-Maqrizi merupakan pemikir ekonomi Islam yang
melakukan studi khusus tentang uang dan inflasi. Fokus perhatian
Maqrizi terhadap dua aspek ini, tampaknya dilatarbelakangi oleh
semakin banyaknya penyimpangan nilai-nilai islam yang
dilakukan oleh para pemerintahan Bani Umayyah dan
selanjutnya.

Al-Maqrizi telah melakukan studi khusus tentang uang dan


kenaikan harga yang terjadi secara berkala ditengah terjadinya
kelaparan dan kekeringan. Rafuq al-Misri mencatat bahwa selain
kelangkaan alam yang disebabkan oleh kegagalan hujan, al-
Maqrizi mengidentifikasi penyebab fenomena ini, yakni korupsi
dan administrasi yang buruk, beban berat dari pajak pada petani,
dan peningkatan pasokan uang selain emas dan perak. Membahas
penyebab ketiga, Maqrizi menekankan bahwa emas dan perak
adalah satu-satunya uang yang bisa menjadi standar nilai. Harga
jarang naik dalam hal emas batangan, meskipun emas dalam
bentuk mata uang melambung tinggi. Solusi yang tepat, menurut
Maqrizi, untuk membatasi pasokan mata uang adalah
minimalisasi penggunaan kecuali untuk transaksi dalam skala
kecil.

276
a. Konsep Uang

Pemikiran al-Maqrizi tentang uang ini dimulai dengan


pembahasan tentang sejarah dan fungsi uang, implikasi
penciptaan uang buruk, dan daya beli uang.

1) Sejarah dan Fungsi Uang

Menurut al-Maqrizi, baik pada masa sebelum maupun setelah


kedatangan islam, mata uang sudah digunakan oleh umat manusia
untuk menentukan berbagai harga barang dan upah tenaga kerja.
Untuk mencapai tujuan ini, mata uang yang dipakai hanya terdiri
dari emas dan perak. Menurut al-Maqrizi, emas dan perak itu
merupakan uang riil dan alami. Al-Maqrizi mendukung
pendiriannya oleh fakta bahwa setiap bangsa digunakan sebagai
uang. Nabi Muhammad Saw. menyebutkan zakat dalam istilah
dirham perak.

Umumnya kedua mata uang itu berbentuk dinar dengan


menggunakan bahan emas dan dirham dari bahan perak.
Sedangkan mata uang yang telah umum diterima di Mesir adalah
fulus. Mata uang ini digunakan dalam pertukaran untuk segala
macam yang dimakan, semua jeni minuman, dan barang-barang
umum lainnya. Fulus juga diterima untuk pembayaran pajak
tanah, persepuluhan pada keuntungan pedagang, dan pungutan
lain karena sultan. Mereka digunakan untuk memperkirakan
biaya tenaga kerja untuk semua karya, apakah signifikan atau

277
tidak signifikan. Memang orang-rang Mesir tidak memiliki mata
uang selain fulus, dengan fulus inilah kekayaan mereka diukur.

Dalam sejarah perkembangannya, bangsa Arab


menggunakan dinar emas dan dinar perak sebagai mata uang
mereka yang diadopsi dari Romawi dan Persia. Penggunaan mata
uang emas dan perak ini kemudian dijustifikasi oleh Rasulullah
Saw. bahkan penggunaan kedua mata uang tersebut terus
berlanjut tanpa perubahan sedikitpun sehingga tahun 18 H ketika
Khalifah Umar bin Khattab menambahkan lafz-lafaz islam pada
kedua mata uang tersebut. Perubahan yang sangat signifikan
terjadi pada tahun 76 H. khalifah Abdul Malik bin Marwan
melakukan reformasi moneter dengan mencetak dinar dan dirham
islam.

Dalam sejarah islam, perkembangan uang sempat mengalami


kekacauan. Kekacauan melanda masalah uang ini terjadi karena
pencetakan mata uang dilakukan dengan bahan campuran, tidak
lagi murni terbuat dari emas atau perak. Pencetakan mata uang
seperti ini terjadi sejak pemerintahan Dinasti Ayyubiyah Sultan
Muhammad al-Kamil ibnu al-Adil al-Ayyubi sebagai alat tukar
terhadap barang-barang yang tidak signifikan. Pasca
pemerintahan Sultan al-Kamil, pencetakan mata uang tersebut
terus berlanjut hingga pejabat di tingkat provinsi terpengaruh laba
yang besar dari aktivitas ini. Kebijakan sepihak mulai diterapkan
dengan meningkatkan volume percetakan. Akibatnya, rakyat

278
mengalami banyak kerugian karena harga barang-barang yang
dulu berharga ½ dirham menjadi 1 dirham. Keadaan ini semakin
buruk ketika aktivitas percetakan uang meluas pada masa
pemerintahan Sultan al-Adil Kitbugha dan Sultan al-Zahir
Barquq yang mengakibatkan penurunan nilai mata uang dan
kelangkaan barang-barang. Menurut al-Maqrizi, sirkulasi
berlimpah fulus menghancurkan hubungan nilai antara logam dan
ditambahkan ke bencana umum.

Memang, al-Maqrizi menyatakan bahwa perbahan standar


moneter dari emas dan perak kepada mata uang tembaga pada
masa pemerintahan Muhammad al-Kamil bin al-‘Adil (615-35
H/1218-1238 M) di mesir dan Suriah, yang salah satu alas an
untuk cobaan berat yang dihadapi Mesir pada waktu itu, termasuk
inflasi dan kelangkaan kebutuhan hidup yang membawa kepada
hilangnya kegembiraan hidup dan kehancuran kekayaan serta
membawa masyarakat pada serba kekurangan, kemiskinan dan
kebinaan.

Berdasar fakta sejarah uang diatas, dapat dipahami bahwa


kekacauan mata uang itu muncul apabila mata uang dicetak
bukan berbahan emas dan perak. Sehubungan dengan itu, al-
Maqrizi , mata uang yang dapat diterima sebagai standar nilai,
baik menurut hukum, logika, maupun tradisi, hanya yang terdiri
dari emas dan perak. Menurut al-Maqrizi, mata uang yang
menggunakan bahan selain kedua logam ini tidak layak sebagai

279
mata uang. Keberadaan mata uang ini tetap siperlukan sebagai
alat tukar terhadap barang-barang dan untuk berbagai biaya
kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, penggunaan mata uang
hanya diizinkan dalam berbagai transaksi yang berskala kecil.
Penggunaan mata uang emas dan perak tidak serta merta
menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi juga
dapat terjadi akibat faktor alam dan tindakan sewenang-wenang
dari penguasa.

2) Implikasi Penciptaan Mata Uang Buruk

al-Maqrizi menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan


kualitas yang buruk (bad money) akan menyelapkan mata uang
yang berkualitas baik (good money). Menurutnya, hal tersebut
tidak terlepas dari pengaruh pergantian penguasa dan dinasti yang
menerapkan kebijakan yang berbeda dalam pencetakan bentuk
serta nilai dinar dan dirham. Konsekuensinya, terjadi
ketidakseimbangan dalam kehidupan ekonomi ketika persediaan
logam bahan mata uang tidak mencukupi untuk memproduksi
sejumlah unit mata uang. Begitu pula, ketika harga emas atau
perak mengalami penurunan.

Al-Maqrizi melihat bahwa pada masa Sultan Shalahuddin al-


Ayubi dicetak mata uang dengan kualitas yang sangat rendah
dibandingkan dengan mata uang yang telah ada di peredaran.
Pada saat itu, masyarakat pada umumnya memilih untuk
menyimpan mata uang yang berkualitas baik dan meleburnya

280
menjadi perhiasan serta melepaskan mata uang yang berkualitas
buruk ke dalam peredaran. Melebur mata uang yang baik untuk
menjadi perhiasan lebih mengntungkan daripada menjadikan
uang sebagai alat tukar. Oleh karena itu, uang yang beredar dalam
masyarakat hanyalah mata uang yang berkualitas rendah.

3) Konsep Daya Beli Uang

Menurut al-maqrizi, pencetakan uang oleh Pemerintah perlu


dipertimbangkan secara matang dan tidak dilakukan secara
sembarangan. Pencetakan mata uang oleh Pemerintahan ini harus
ditindaklanjuti dengan menggunakannya dalam bisnis
selanjutnya. Apabila tidak diperhitungkan secara saksama,
sehingga ada ketidakseimbangan antara jumlah uang dengan
aktivitas produksi, maka akan berimplikasi pada penurunan daya
beli riil dari uang itu sendiri.

Ada hubungan yang signifikan antara stabilitas pemerintah


dengan kondisi ekonomi. Pemerintahan yang buruk akan
berdampak pada keterpurukan ekonomi Negara. Apabila pejabat
administrasi public korup dan tidak berjalan secara efektif, maka
akan terjadi stagnasi dalam pertumbuhan ekonomi. Apalagi
ketika terjadi pemaksaan dan penindasan dalam bidang pajak,
maka pelaku ekonomi akan menghentikan aktivitas ekonominya.
Hal ini kemudian berimplikasi pada menurunnya produktivitas.
Kemudian produktivitas itu tidak seimbang dengan pertumbuhan
penduduk, sehingga pada gilirannya akan terjadi kelangkaan

281
pasokan dan kelangkaan pasokan akan berdampak pada eskalasi
harga. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk
mempertahankan kualitas daya beli dari uang yang dicetaknya.

b. Teori Inflasi

Secara umum, inflasi adalah keadaan perekonomian yang


ditandai oleh kenaikan harga secara cepat sehingga berdampak
pada menurunnya daya beli. Selain itu, inflasi juga sering
diartikan sebagai kecenderungan kenaikan harga secara umum
dan terus menerus, dalam waktu dan tempat tertentu.
Keberadaannya sering diartikan sebagai salah satu masalah utama
dalam perekonomian Negara, selain pengangguran dan
ketidakseimbangan neraca pembayaran.

Menurut al-Maqrizi, inflasi terjadi ketika harga-harga secara


umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus menerus. Al-
Maqrizi menyatakan bahwa peristiwa inflasi pada fenomena
social ekonomi adalah sebuah fenomena alam yang menimpa
kehidupan masyarakat. Inflasi menurutnya, terjadi ketika harga
secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus
menerus dalam jangka waktu tertentu. Persediaan barang
mengalami kelangkaan dan konsumen harus mengeluarkan lebih
banyak uang untuk sejumlah barang yang sama.

Selanjutnya, al-Maqrizi membagi inflasi kepada dua jenis,


yakni inflasi akibat berkurangnya persediaan barang (natural
inflation) dan inflasi akibat kesalahan manusia (hunman error

282
inflation). Ilustrasi yang diberikan oleh al-Maqrizi terkait dengan
jenis inflasi yang pertama ini bahwa ketika sebuah bencana alam
terjadi akan menyebabkan gagal panen sehingga persediaan
barang akan mengalami penurunan yang sangat drastic dan terjadi
kelangkaan. Namun, pada saat yang bersamaan permintaan
terhadap berbagai permintaan barang it uterus mengalami
peningkatan. Oleh karena barang langka sementara permintaan
tinggi, maka harga kemudian akan naik dengan cepat dan tinggi,
jauh melebihi daya beli masyarakat. Hal ini akan berimplikasi
pada kenaikan harga berbagai barang dan jasa lainnya.
Akibatnya, transaksi ekonomi mengalami kemacetan, bahkan
berhenti sama sekali, yang pada akhirnya menimbulkan bencana
kelaparan, wabah penyakit, dan kematian di kalangan
masyarakat.

Sekalipun bencana alam sudah berlalu, menurut al-Maqrizi,


inflasi dalam bentuk kenaikan harga bisa jadi terus berlangsung
karena bencana alam itu masih memengarui pada aktivitas
ekonomi., terutama pada sector produksi. Produksi barang belum
bisa secara efektif, sehingga menyebabkan terjadinya kelangkaan
pasokan barang. Tetapi pada saat yang bersamaan, permintaan
masyarakat terhadap barang tetap berlangsung dan bahkan
meningkat. Akibatnya, harga barang-barang mengalami kenaikan
yang kenudian diikuti oleh kenaikan harga berbagai jenis barang
dan jasa lainnya, termasuk upah dan gaji para pekerja. Oleh

283
karena itu, penyelesaian inflasi yang disebabkan oleh bencana ala
mini membutuhkan waktu yang relative lama.

Menurut al-Maqrizi, untuk jenis inflasi yang kedua sama


dengan penyeabab yang mendasari terjadinya krisis di Mesir,
yakni korupsi dan administrasi pemerintahan yang buruk, pajak
berlebihan yang memberatkan petani, dan jumlah mata uang yang
berlebihan. Pemikiran al-Maqrizi ini tampak lebih komprehensif
bila dibandingkan dengan pemikiran yang dikemukakan oleh
Milton Friedman (bapaknya kaum monetaris) yang menganggap
bahwa inflasi hanyalah semacam fenomena moneter.

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat dan buruknya


administrasi pemerintah merupakan salah satu penyebab dari
terjadinya inflasi. Menurut, al-Maqrizi, pemborosan dan
penyalahgunaan keuangan public oleh para penguasa menjadi
sebab terjadi di Mesir. Karpet sutra yang ditetapkan bagi
penguasa ultan agar berjalan diatasnya sementara rakyat
menderita dan harus menjalani hidup dengan keras.

Al-maqrizi melihat efek yang merugikan dari pajak yang


berlebihan dan penurunan dalam pengumpulan sebuah gagasan
yang kemudian dikenal sebagai Laffer’s Curves pada abad ke-20
ini. Ketika penduduk terbebani dengan meningkatkan pajak,
pengumpulan pendapatan berkurang karena orang meninggalkan
budidaya, meninggalkan pertanian dan berimigrasi dari daerah.

284
Selain itu, pencetakan mata uang yang berlebih juga bisa
menjadi penyebab terjadinya inflasi. Beredarnya mata uang yang
berlebihan mendapat perhatian khusus dari al-Maqrizi. Dalam
pengamatannya, ternyata kenaikan harg-harga (inflasi) yang
terjadi dalam bentuk terlalu banyaknya jumlah mata uang.
Misalnya, untuk pakaian yang sama ternyata dibutuhkan lebih
banyak uang. Akan tetapi apabila nilai barang diukur dengan
dinar atau emas, jarang terjadi kenaikan harga. Untuk itulah al-
Maqrizi menyarankan agar sejumlah uang dubatasi secukupnya
saja, sekedar untuk melayani transaksi pecahan kecil.

Kajian dampak inflasi, menuru al-Maqrizi, dengan membagi


masyarakat Mesir menjadi tujuh kelompok sastra social. Dengan
pembagian itu, tampaknya ia ingin melihat segmen masyarakat
mana yang paling parah terkena dampak inflasi yang menggila
itu. Upaya semacam ini merupakan gagasan orisinilnya yang
sangat boleh jadi belum pernah dilakukan oleh ilmuwan
sebelumnya, antaralain: (1) penguasa dan para pembantunya; (2)
para penguasa, pedagang besar dan orang yang hidupnya mewah;
(3) golongan menengah dari penguasa dan pedagang besar
termasuk kaum professional; (4) petani yang umumnya hidup di
pedesaan; (5) golongan fakir yang menurut al-Maqrizi adalah
semua fuqaha; (6) mahasiswa dan prajurit; (7) para pekerja kasar
dan para nelayan; (8) golongan papa dan meminta-minta.

285
Setelah membagi sastra masyarakat Mesir menjadi tujuh
kelompok, al-maqrizi kemudian melihat satu persatu kelompok
tersebut dan menegaskan intensitas kepedihan dan penderitaan
yang dialaminya akibat inflasi yang sangat hebat. Golongan
pertama, mereka menerima nominal income lebih tinggi, tetapi
purchasing power mereka menurun drastic karena real income
mereka merosot tajam akibat inflasi. Golongan ini tidak terlalu
parah terkena inflasi. Golongan kedua yang terdiri dari para
pedagang dan penguasa besar ini, menurut al-Maqrizi, aset
mereka mengalami penurunan karena dimakan oleh biaya yang
terus membengkak dan inflasi. Golongan yang ketiga yang
merupakan kaum professional mendapat upah yang mengikat
secara nominal, tetapi karena melonjaknya harg-harga yang
menyebabkan tingkat kehidupannya tetap seperti sebelumnya.
Untuk golongan keempat, al-maqrizi membaginya menjaf=di dua
kelompok yaitu petani menengah atas dan petani menengah
bawah. Kelompok pertama diuntungkan oleh krisis moneter
sehingga aset kekayaan mereka meningkat. Sedangkan kelompok
yang kedua, sangat dirugikan karena harga yang begitu tinggi
tidak sebanding dengan gasil pertanian mereka. Golongan kelima
yang terdiri dari para guru, fuqaha, mahasiswa dan tentara ini,
golongan yang paling menderita dari lima golongan yang
pertama. Hal ini umumnya disebabkan karena pendapatan mereka
yang berupa gaji dan upah bersifat tetap. Golongan yang keenam
dan ketujuh mereka adalah segmen masyarakat yang tidak saja

286
terparah penderitaannya bahkan kebanyakan dari mereka
terutama golongan ketujuh mati kelaparan.

Berdasarkan pada penggolongan sastra masyarakat Mesir ini


dapat dipahami dampak krisis moneter pada masa itu bergantung
pada hakikat pendapatan (income) dan kekayaan (wealth)
masing-masing golongan itu. Jika pendapatan bersifat tetap atau
meningkat tetapi lebih rendah dari laju inflasi, maka kondisinya
akan terasa sangat parah. Namun, sebaliknya apabila
pendapatannya meningkat lebih tinggi dari laju inflasi, maka
kesejahteraan material mereka akan meningkat. Begitu juga
kekayaan yang berupa uang, mereka juga akan mengalami
kerugian disamping itu juga harus meningkatkan biaya dalam
rangka untuk memenuhi kebutuhan yang harganya terus
mengalami kenaikan.

C. Kesimpulan

Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak di jelaskan


mengenai harga yang adil, mekasnisme pasar, dan regulasi harga.
Beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan akibatnya
terhadap harga: keinginan masyarakat (raghbah), jumlah
permintaan (thulab), kekuatan atau kelemahan dari kebutuhan
akan barang (qilah al-hajah wa katsrauha), kualitas pelanggan
atau partner transaksi (mu’awid), jenis uang yang dibayarkan
dalam pertukaran (naqd ra’ij atau naqd ghayr ra’ij), kualitas
pelaku transaksi (al-taghabudh), dan biaya yang di keluarkan

287
(qimah al-manfaah). Pemikiran ekonomi lain dari Ibnu Taimiyah
yaitu mengenai pasar tidak sempurna, musyawarah dan penetapan
harga, uang dan kebijakan moneter, peranan negara dalam
kehidupan ekonomi, institusi hibah, keuangan publik dan regulasi
harga.

Pemikiran ekonomi al-Maqrizi lebih menekankan kepada


masalah uang dan inflasi, dimana al-Maqrizi berpendapat bahwa
emas dan perak merupakan uang riil dan alami serta penciptaan
mata uang dengan kualitas yang buruk (bad money) akan
melenyapkan mata uang yan berkualitas (good money).

Tabel Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah dan Al-


Maqrizi

Nama
Karya Pemikiran Ekonomi Islam
Tokoh
Ibnu • Al-Siyasah al- • kompensasi yang adil (iwad
Taimiyah Syar’iyyah fi al-mitsl) dan harga yang adil
Islah wa al- (tsaman al-mitsl)
Ra’iyyah • upah yang adil dan upah
• Iqtidha al- yang setara (ujrah al-mitsl)
Rasa’il al- • laba yang setara atau laba
Kubra, al- yang adil dengan diterima
Fatawa, (ribh ma’ruf) tanpa merusak
Minhaj al- kepentingan sendiri maupun

288
Sunnah, al konsumen
Nabawiyyah fi • harga di pasar ditentukan
Naqd al- oleh kekuatan penawaran
Kalam al- (suppl) dan permintaan
Syi’ah wa al- (demand)
Qadhariyah • kenaikan harga di sebabkan
• Tafsir al-Kabir karena adanya penurunan
• Kitab al-Radd komoditas dan pertumbuhan
‘ala al- penduduk
Mantiqiyyin • beberapa faktor yang
• Ma’arij al- mempengaruhi permintaan
Wusul dan akibatnya terhadap
• Minhaj al- harga: keinginan masyarakat
Sunnah (raghbah), jumlah permintaan
• Bughyah al- (thulab), kekuatan atau
Murtad kelemahan dari kebutuhan
• Jawab fi al- akan barang (qilah al-hajah
Ijma wa al- wa katsrauha), kualitas
Khabar al- pelanggan atau partner
Mutawatir transaksi, jenis uang yang

• Majmu’ al- dibayarkan dalam pertukaran,

Fatawa, al- kualitas pelaku transaksi, dan

Siyasah al- biaya yang di keluarkan

Syar’iyyah fi • penetapan dua jenis harga


Ishlah al-Ra’i yakni “harga tidak adil atau

289
wa al- tidak sah” dan “harga yang
Ra’iyyah dan adil dan sah”
al-Hisbah fi • menekankan pentingnya
al-Islam pengetahuan tentang pasar
dan komoditas
• perekomendasian penetapan
harga oleh pemerintah dan
penjualan paksa di saat-saat
darurat
• apabila telah terjadi
monopoli maka bisa di
pastikan bahwa pasar itu
tidak sempurna
• musyawarah dalam
penetapan harga
• Uang dan Kebijakan
Moneter: Fungsi uang,
Penurunan nilai mata uang
dan uang jelek mengalahkan
uang baik
• Peranan negara dalam
kehidupan ekonomi:
Pemberantasan kemiskinan,
regulasi pasar, kebijakan
moneter, dan

290
perencanaanekonomi
• Institusi Hisbah: Persediaan
dan oengadaan kebutuhan,
pengawasan industri,
pengawasan pelayanan,
pengawasan perdagangan
• Keuangan publik: pendapatan
negara (zakat, Ghanimah, fa’i
dan pendapatan lain), belanja
negara
• Regulasi pajak : pelarangan
penggelapan pajak terutama
ketika pajak dikenakan
secara kolektif kepada
kelompok

Latihan Soal
1. Apa solusi al-Maqrizi setelah adanya inflasi ekonomi
pada masanya?
2. Jelaskan perbedaan mengenai uang jelek dan uang baik
beserta contohnya!
3. Jelaskan perbedaan harga yang adil dan yang tidak adil
beserta contohnya!

291
BAB XII
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IBNU
KHALDUN DAN AL-SYATIBI

A. PEMIKIRAN EKONOMI IBNU KHALDUN


1. Riwayat Hidup Ibnu Khaldun
Nama lengkap dari Ibnu Khaldun adalah Abu Zayd ‘Abd al-
Rahman ibnu Muhammad ibnu Khaldun al-Hadrami. la lahir di
Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M dan
meninggal pada 19 Maret 1406 M dalam usia 73 tahun. Saat kecil
ia biasa dipanggil dengan nama Abdurrahman. Sedangkan lbnu
Zaid adalah panggilan keluarganya. la bergelar Waliyudin dan
nama populernya adalah lbnu Khaldun. Gelar Waliyudin
merupakan gelar yang diberikan orang sewaktu lbnu Khaldun
memangku jabatan hakim (qâdhi) di Mesir.
Ibnu Khaldun berasal dari keturunan bangsawan Bani
Khaldun. Bani Khaldun ini bermigrasi ke Tunisia setelah

292
jatuhnya Saville ke tangan Reconquista pada pertengahan abad
ke-13 M. Pada awalnya, keluarga Ibnu Khaldun terlibat dalam
jabatan-jabatan politik, namun belakangan menarik diri dari dunia
politik tersebut dan menjalani spiritual.
Seperti tradisi Arab lainnya, lbnu Khaldun juga dibesarkan
dalam keluarga ulama dan terkemuka. Dari ayahnya ia belajar
ilmu qira'at. Sementara ilmu hadis, bahasa Arab, dan fikih
diperoleh dari para gurunya, Abu al-Abbasal Qassar dan
Muhammad bin Jabir al-Rawi. la juga belajar kepada lbnu 'Abd
al-Salam, Abu Abdullah bin Haidarah, al-Sibti dan lbnu 'Abd al-
Muhaimin. Kemudian memperoleh ijazah hadis dari Abu al-
Abbas al-Zawawi, Abu Abdullah al-lyli, Abu Abdullah
Muhammad, dan lain-lain. la pernah mengunjungi Andalusia dan
Maroko. Di kedua negara itu ia sempat menimba ilmu dari para
ulamanya, antara lain Abu Abdullah Muhammad al-Muqri, Abu
al-Qosim Muhammad bin Muhammad al-Burji, Abu al-Qasim al-
Syarif al-Sibti, dan lain-lain. Kemudian mengunjungi Persia,
Granada, dan Tilimsin.
Pada perkembangan berikutnya, Ibnu Khaldun lebih banyak
menghabiskan waktu, tenaga, dan kepandaiannya untuk terjun ke
dunia politik praktis. Ia pernah bekerja untuk Pemerintah Tunisia
dan Fez (Maroko), Granada (Islam Spanyol) dan Biaja (Afrika
Utara). Pada tahun 1375, lbnu Khaldun melarikan diri dari Afrika
Utara, karena ketidakjelasan situasi di sana. Ia lalu menuju kota
Granada di Spanyol dengan maksud mengasingkan diri. Namun,

293
karena kegiatan politiknya di masa lalu, Pemerintah Granada
menolak kedatangannya. lbnu Khaldun kemudian menuju
Aljazair dan tinggal di sebuah desa kecil bernama Qalat lbnu
Slama empat tahun. Di sana Ibnu Khaldun mulai menulis karya
sastra terbesarnya, Muqaddimah. Karya ini kelak menempatkan
namanya di antara nama besar para sejarawan, Qalat Ibnu Salama
sosiolog, dan filsuf dunia.
2. Karya lbnu Khaldun
Karya-karya Ibnu Khaldun termasuk karya-karya yang
monumental. lbnu Khaldun menulis banyak buku, antara lain
Syarh al-Burdah, sejumlah ringkasan atas buku-buku karya lbnu
Rusyd, sebuah catatan atas buku Mantik, ringkasan (mukhtasor)
kitab al-Mahsul karya Fakhr al-Din al-Razi (Ushul Fiqh), sebuah
buku lain tentang matematika, sebuah buku lain lagi tentang
ushul fiqh dan buku sejarah yang sangat dikenal luas. Buku
sejarah tersebut berjudul al-‘lbar wa Diwân al-Mubtada’ wa al-
Khabár fi Tarikh al- Arab wa al-Ajam wa al-Barbar. Ibnu
Khaldun melalui buku ini benar-benar menunjukkan
penguasaannya atas sejarah dan berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Di samping kitab tersebut, al-Muqaddimah Ibnu
Khaldun merupakan karya monumental yang mengundang para
pakar untuk meneliti dan mengkajinya.
Karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi di
antaranya, at-Ta-rif bi lbnu Khaldun (sebuah kitab autobiografi,
catatan dari kitab sejarahnya), Muqaddimah (pendahuluan atas

294
kitab al-Ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis),
Lubáb al-Muhassal fi Ushůl ad-Din (sebuah kitab tentang
permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan
ringkasan dari kitab "Muhassal Afkâr al-Mutaqaddimin wa al-
Muta'akhirin" karya Imam Fakhruddin al-Razi).
Karya terbesar Ibnu Khaldun adalah Muqaddimah, yakni
sebuah buku terlengkap pada abad ke-14 M yang telah
diterjemahkan ke beberapa bahasa memuat pokok-pokok pikiran
tentang gejala-gejala sosial kemasyarakatan, sistem pemerintahan
dan politik di masyarakat, ekonomi, bermasyarakat dan
bernegara, gejala manusia dan pengaruh faktor lingkungan
geografis serta pedagogik dan ilmu pengetahuan beserta alatnya.
Kontribusi pemikiran dalam ekonomi telah dituangkannya dalam
buku Muqaddimah yang sekaligus merupakan karya monumental
bagi perkembangan keilmuan menuju reformasi ekonomi Islam.
3. Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun
Secara umum pemikiran Ibnu Khaldun cenderung rasional,
yang selalu ditunjang oleh bukti-bukti autentik. Apa yang terjadi
pada zamannya tidak selalu dijelaskannya sebagai kehendak
Allah. Menurut lbnu Khaldun, pada berbagai peristiwa yang
terjadi itu berlaku hukum kausalitas. Sebab, alam semesta itu
telah diatur oleh sistem yang akurat dimana berlaku hukum sebab
dan akibat. Sehubungan dengan itu, pemikiran ekonomi yang
ditawarkan oleh Ibnu Khaldun juga cenderung rasional. Berbagai
peristiwa ekonomi yang terjadi pada zamannya dianalisis sebagai

295
satu kesatuan yang utuh, dimana peristiwa yang satu
berhubungan dengan peristiwa yang lain.
a. Hubungan antara Ilmu Ekonomi dengan Ilmu Lain
Ketika membangun fondasi ekonomi tampaknya Ibnu
Khaldun telah menggunakan berbagai pendekatan. Pemikiran
ekonominya dinyatakan di tempat yang berbeda dari bukunya.
Ibnu Khaldun membahas banyak masalah ekonomi berdasarkan
pada apa yang sekarang dikenal sebagai fenomena sosial, fakta-
fakta tentang pembangunan manusia atau kondisi sosial manusia.
Ibnu Khaldun dianggap sebagai orang pertama yang membawa
ekonomi ke dalam sejarah. Dengan kata lain, ia menunjukkan
peran ekonomi yang signifikan dalam menafsirkan sejarah.
Namun, ini tidak berarti bahwa Ibnu Khaldun percaya bahwa
ekonomi adalah satu satunya paradigma yang akan digunakan
untuk menginterpretasikan sejarah. Sebaliknya, bentuk ekonomi
hanya salah satu bagian penting dari sejarah. Ibnu Khaldun
datang dengan ide-ide ekonomi brilian yang pantas mendapat
gelar ‘master ekonomi’. Atas dasar ini, tampaknya sudah cukup
untuk mengakui bahwa pandangan ekonomi lbnu Khaldun telah
mendahului Adam Smith sekitar empat abad sebelumnya.
Dengan demikian, ekonomi memiliki pengaruh yang besar
dalam menentukan sejarah. Misalnya, ada beberapa gerakan yang
diselenggarakan oleh orang miskin yang berhasil mengubah
sejarah. Selanjutnya, pemikiran ekonomi kadang-kadang

296
menciptakan persepsi ekonomi, masyarakat, politik dan
pengetahuan itu sendiri seperti komunisme dan kapitalisme.
Selain itu, Ibnu Khaldun juga menjelaskan ada hubungan
yang erat antara ilmu ekonomi déngan sosiologi. Dalam kajian
ekonominya, Ibnu Khaldun sering menelusuri reaksi antara
peristiwa ekonomi dan masalah- masalah sosial. Hal ini
disebabkan karena korelasi yang kuat antara ekonomi dengan
sosiologi sejauh bahwa seseorang tidak dapat disebut dalam
ketiadaan yang lain. Menurut Ibnu Khaldun, makna hidup adalah
terkait erat dengan kehidupan. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun
yang merupakan sosiolog, sejarawan dan filsuf, memiliki
kemampuan untuk belajar gerakan sosial secara mendalam untuk
mengeksplorasi unsur efektif, ideologi dan tujuan di belakangnya.
Metode ini diterapkan di seluruh bagian al-Muqaddimah.
Misalnya, ia mengatakan: "Sadarilah bahwa orang secara alami
membutuhkan makanan pada seluruh fase kehidupannya; sejak
masih bayi, pemuda dan sampai mereka menjad tua". Dia
mengadopsi pendekatan serupa dalam kategorisasi dan analis dari
jenis pendapatan.
b. Teori Nilai dalam Ekonomi
Teori Nilai membentuk dasar ekonomi politik klasik dan
Marxis. Sebuah diskusi tentang teori nilai hadir dalam al-
Muqaddimah tetapi tidak menempati seperti peran penting dalam
tulisan-tulisan Ibnu Khaldun seperti dalam sistem klasik dan
Marxis. Perlakuannya tentang faktor-faktor penentu nilai

297
komoditas dalam banyak hal menyerupai tetapi tidak serta-
berkembang seperti teori nilai oleh Smith, Ricardo, dan Marx.
Selain itu, sambutannya terhadap utilitas asosiasi yang berasal
dari properti dan harganya yang merupakan awal teori utilitas
nilai.
1) Teori Nilai Kerja
Meskipun penulis muslim telah menyinggung kerja sebagai
sumber penting dari nilai pada awal abad ke-7, Ibnu Khaldun
tampaknya telah mengembangkan dasar-dasar teori nilai kerja.
Kesejajaran antara teori nilai kerja Adam Smith dan teori nilai
kerja lbnu Khaldun sangat tampak. Smith memulai teori nilai
kerjanya dengan menyatakan: "Kerja adala harga pertama,
pembelian awal -uang yang dibayar segala sesuatu. Itu bukan
dengan emas atau perak, tapi oleh kerja bahwa semua kekayaan
dunia ini pada awalnya dibeli".
Ibnu Khaldun mengembangkan teori nilainya dengan
mengindikasikan: “Tidak ada di sini pada awalnya kecuali kerja,
dan kerja tidak diinginkan oleh dirinya sebagai yang diperoleh,
tetapi nilai menyadari darinya”. Ibnu Khaldun lebih memperluas
tema ini dengan menulis, "Pertukangan dan tenun, misalnya,
berhubungan dengan kayu dan benang (kerajinan masing-masing
diperlukan untuk produksinya). Namun, dalam dua kerajinan
(pertama disebutkan) kerja (yang memasukinya) lebih penting,
dan nilainya lebih besar”. Selanjutnya, lbnu Khaldun menulis,
"Ini telah demikian menjadi jelas bahwa laba atau keuntungan,

298
secara keseluruhan atau untuk sebagian besar, adalah nilai
realisasi dari kerja manusia".
Namun, di sini Ibnu Khaldun membagi produk total,
keuntungan, menjadi bagian-bagian yang digunakan dan tidak
digunakan. la menyebut bagian yang digunakan sampai "rezeki",
sebuah konsep yang disebutkan Karl Marx dengan "tenaga kerja
yang diperlukan". Dengan kata Ibnu khaldun "rezeki"…. adalah
(bagian dari keuntungan) yang digunakan. Untuk para pembaca
modern penggunaan istilah keuntungan Ibnu Khaldun adalah
problematik. Namun, itu menjadi jelas bahwa apa yang disebut
Ibnu Khaldun sebagai laba atau keuntungan sebenarnya adalah
produksi total. Dalam membahas bagian komponen dari laba,
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa keuntungan seseorang akan
dianggap sebagai kehidupannya jika mereka berhubungan dengan
kebutuhan dan keperluannya. Mereka akan mengakumulasikan
modal, jika mereka lebih besar dari kebutuhannya.
Oleh karena itu, pembagian Ibnu Khaldun terhadap produk
total kerja menjadi "rezeki" dan "akumulasi modal" mirip dengan
gagasan Markis tentang tenaga kerja yang "dibutuhkan" dan
"surplus". Dalam mempertimbangkan kerja sebagai komoditas,
lbnu Khaldun lebih dahulu daripada Karl Marx dalam hal lain.
Menurut Ibnu Khaldun, kerja adalah sebuah komoditas sebanyak
pendapatan dan keuntungan yang mewakili nilai kerja dari
penerimaannya.

299
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang aspek lain dari teori nilai
menyerupai ide David Ricardo. David Ricardo, dalam
pembangunan teori nilai kerja, secara sadar dalam pencarian
sebuah unit pengukuran "tetap" dan secara sembarangan memilih
emas sebagai komoditas yang dihasilkan oleh metode produksi
yang merupakan rata-rata dua ekstrem. "…. pertama modal tetap
sedikit yang digunakan, dan yang lainnya kerja sedikit digunakan,
dapat terbentuk hanya di antara mereka?”
Demikian pula dengan Ibnu Khaldun memilih emas dan
perak sebagai ukuran nilai "tetap". Menurut Ibnu Taimiyah, Allah
telah menciptakan dua bahan batu, emas dan perak, sebagai
ukuran nilai. Selanjutnya, emas dan perak merupakan jiwa dunia,
dengan preferensi, mempertimbangkan sebagai harta dan
kekayaan. Bahkan jika, dalam keadaan tertentu, hal-hal lain yang
diperoleh, hanya untuk memperoleh emas dan perak. Semua hal-
hal lain tergantung pada fluktuasi pasar, dimana emas dan perak
dibebaskan.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, tampak bahwa
Ibnu Khaldun memilki teori nilai kerja. Sekalipun, memang teori
nilai kerja yang dikemukakan Ibnu Khaldun ini belum sempurna.
Namun, pemikiran Ibnu Khaldun ini merupakan sebuah awal dari
teori yang konsisten, dirumuskan dengan baik, yang kemudian
disempurnakan oleh ekonom berikutnya.
2) Teori Nilai Utilitas

300
Selain teori nilai kerja, Ibnu Khaldun telah menyentuh
utilitas sebagai sumber nilai dan penentu harga produk. Ketika
membahas masalah fluktuasi nilai dan harga harta telah
menjelaskan bahwa Ibnu Khaldun telah menguraikan hubungan
antara utilitas dari sebuah harta dan harganya. Menurut Ibnu
Khaldun, menjelang akhir sebuah dinasti, kekayaan kehilangan
daya tarik karena orang miskin diberikan perlindungan oleh
negara sehingga utilitas berkurang dan harganya pun turun.
Ketika negara baru muncul dan stabil, serta kesejahteraan telah
kembali, maka harta kekayaan menjadi lebih menarik sekali
karena utilitas yang tinggi dan harganya naik.
Seperti dengan teori nilai kerja, teori nilai utilitas yang
dikemukakan oleh Ibnu Khaldun pun belum sempurna. Namun
demikian, pemikiran Ibnu Khaldun tentang utilitas telah
memberikan landasan bagi pengembangan teori utilitas
berikutnya. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut
Ibnu Khaldun, ada korelasi yang signifikan antara utilitas sebuah
barang dengan harga barang itu sendiri. Dengan pemikiran ini,
Ibnu Khaldun telah berupaya pula untuk mempertahankan teori
nilai kerja.
c. Teori Distribusi dan Pertumbuhan Pendapatan
Ibnu Khaldun telah menyajikan unsur-unsur teori distribusi
pendapatan yang agak mirip dengan teori produktivitas distribusi
pendapatan marginal. Dalam sebuah bagian yang dikutip
sebelumnya, Ibnu Khaldun menganggap kerja sebagai komoditas

301
dan menyatakan, “pendapatan dan keuntungan mewakili nilai
kerja penerimanya". Bahkan, di bagian lain Ibnu Khaldun
berpendapat bahwa "penghasilan seorang yang berasal dari
kerajinan, oleh karena itu adalah nilai dari kerjanya”.
Hal ini berarti bahwa tingkat upah riil itu sama dengan
produk kerja fisik marginal dalam keseimbangan. Namun
demikian, seseorang dapat membedakan dasar-dasar teori
tersebut dengan meninjau asosiasi Ibnu Khaldun dari nilai kerja
dan pendapatan buruh. Ibnu Khaldun tidak membedakan antara
pendapatan upah dan pendapatan keuntungan, terbukti dari
pernyataannya tentang kerja sebagai sumber pendapatan dan
keuntungan. Meskipun mengakui kontribusi modal yang beredar
pada proses produktif, Ibnu Khaldun tidak dapat membedakan
antara sumber pendapatan upah dengan keuntungan.
Selanjutnya, dalam membahas produksi pertanian umat Islam
di daerah dengan tanah yang tidak produktif, Ibnu Khaldun sekali
lagi menegaskan bahwa harga produk harus mencakup semua
biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi produk. Dalam
hubungan ini Ibnu Khaldun menulis bahwa umat Islam dipaksa
untuk menerapkan dirinya sendiri untuk meningkatkan kondisi
lahan dan pertaniannya. Hal ini mereka lakukan dengan
menerapkan kerja yang berharga dan pupuk kandang dan bahan
mahal lainnya. Semua ini menaikkan biaya produksi pertanian,
biaya yang mereka perhitungkan ketika memperbaiki harganya
untuk penjualan.

302
Secara umum, Ibnu Khaldun membahas akumulasi modal
dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Ibnu
Khaldun, akumulasi modal itu berhubungan dengan ekspansi
modal komersial melalui fluktuasi dalam harga komoditas yang
ditimbun dan peningkatan kekayaan. Berkaitan dengan akumulasi
modal ini, Ibnu Khaldun menulis, "... dicapai hanya dengan
beberapa dan jarang melalui fluktuasi pasar, perolehan banyak
(kekayaan), dan melalui peningkatan (kekayaan) seperti itu dan
bernilai di kota tertentu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun
telah merumuskan teori harga biaya produksi pada akhir abad ke-
14. Selanjutnya, Ibnu Khaldun memahami dengan cukup jelas
total produksi dibagi menjadi upah dan bagi hasil. Meskipun
teorinya sangat pendek, tetapi secara eksplisit menyatakan bahwa
berbagi faktor ditentukan oleh produktivitas marginal dari faktor-
faktor produksi. Secara kebetulan, hal tersebut merupakan
instruksi untuk melihat deskripsi Ibnu Khaldun tentang hubungan
antara kualitas lahan dan harga produk pertanian. Teorinya dapat
dibandingkan dengan Teori Sewa Ricardian yang menjelaskan
sewa sebagai keuntungan ekonomi murni yang diperoleh pada
pertanian yang subur. Menurut teori ini, harga pasar dari produk
pertanian ditentukan oleh biaya produksi marginal yang lebih
tinggi dari tanah yang subur sehingga tanah yang paling subur
dengan biaya marginal produksi yang lebih rendah mendapatkan

303
perbedan antara biaya dan harga pasar lebih tinggi sebagai sewa
atas lahan.
d. Teori Pembangunan Ekonomi
Ibnu Khaldun memiliki teori yang luar biasa tentang siklus
sosial- politik-ekonomi. Dia mulai teorinya dengan terlebih
dahulu menjelaskan bagaimana meningkatkan hasil produktivitas
dari spesialisasi, pembagian kerja, dan pertukaran. Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa produktivitas dan pertukaran yang lebih
tinggi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
memungkinkan para anggota ekonomi untuk memenuhi
kebutuhannya serta memungkinkan mereka untuk mengonsumsi
komoditas yang mewah. Ibnu Khaldun menguraikan teori ini
sebagai berikut: "Manusia sebagai individu tidak dapat dengan
sendirinya memperoleh semua kebutuhan hidupnya. Semua
manusia harus bekerja sama dengan yang lain dalam
peradabannya. Tapi apa yang diperoleh melalui kerja sama
sekelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan waktu lebih
dari diri sendiri. Selanjutnya, ‘Jika kerja dari penduduk sebuah
kota didistribusikan sesuai dengan keperluan dan kebutuhan
orang-orang penduduk, minimal kerja yang dibutuhkan’.
Akibatnya, dihabiskan untuk menyediakan kondisi dan kebiasaan
mewah dan untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota-kota lain.
Mereka mengimpor hal-hal yang mereka butuhkan dari orang
yang memiliki surplus melalui pertukaran atau pembelian.

304
Dari pernyataan ini, Ibnu Khaldun memunculkan dua konsep
penting. Dari konsep ‘kebutuhan' dan konsep 'kenyamanan'.
Konsep 'kebutuhan’ adalah sesuatu yang sangat diperlukan di
dalam kehidupan. Bahan makanan merupakan bagian dari
'kebutuhan' ini. Sedangkan konsep 'kenyamanan' adalah sesuatu
yang bisa melengkapi atau menyempurnakan 'kebutuhan’.
Bumbu, buah-buahan, pakaian, peralatan, kendaraan, semua
kerajinan, dan bangunan merupakan bagian dari ‘kenyamanan'
ini.
Deskripsi Ibnu Khaldun tentang proses produksi menyiratkan
fungsi produksi dengan variabel input tunggal, yakni variabel
kerja. Ibnu Khaldun berargumen bahwa input kerja dari sebuah
kota menentukan total output dari masyarakatnya. Ketika ada
lebih banyak tenaga kerja, maka nilai itu menyadari dari
peningkatan di antara penduduk. Keluaran yang tinggi berarti
output yang lebih tinggi dari barang-barang mewah. Selanjutnya,
pendapatan yang lebih tinggi berasal dari input tenaga kerja yang
lebih tinggi akan menghasilkan permintaan agregat yang efektif
yang menyerap seluruh surplus produk.
Peningkatan dalam kesejahteraan akan menyebabkan
peningkatan lebih lanjut dalam kegiatan ekonomi yang mengarah
pada peningkatan pendapatan dan kemewahan, keinginan baru
sehingga penciptaan akan mengarah pada penciptaan industri dan
layanan baru, dengan konsekuen peningkatan dalam pendapatan
dan kesejahteraan. Dan proses ini bisa berlangsung dua atau tiga

305
kali, karena semua kegiatan baru melayani pada kemewahan,
tidak seperti kegiatan asli yang melayani kebutuhan.
Ibnu Khaldun adalah benar dalam menyatakan bahwa
pendapatan dan belanja itu setara dalam pengertian expost,
dengan menyatakan bahwa pendapatan dan belanja itu seimbang
satu sama lain di setiap kota. Jika pendapatan besar, maka belanja
pun akan besar, dan demikian pula sebaliknya. Jika pendapatan
dan belanja besar, maka penduduk menjadi lebih beruntung, dan
kota pun akan tumbuh.
Kutipan sekarang sangat jelas menunjukkan bahwa Ibnu
Khaldun melihat permintaan agregat sebagai penentu yang
penting dari pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi,
sebuah konsep yang merupakan pusat Teori Keynesian Modern
tentang teori penentuan pendapatan nasional dan pertumbuhan.
e. Teori Moneter
Ibnu Khaldun, sebagaimana ulama-ulama sebelumnya,
memiliki pemahaman yang jelas tentang fungsi uang. Dia secara
eksplisit membahas uang dalam hal fungsinya sebagai tolok ukur
dan penyimpanan nilai. Menurutnya, Allah telah menciptakan dua
logam mulia, emas dan perak untuk melayani sebagai tolak ukur
nilai semua komoditas. Logam itu pun umumnya digunakan oleh
orang sebagai penyimpanan harta.
Kontribusi pemikiran Ibnu Khaldun tentang masalah ini
memang sangat terbatas. Namun demikian, ia memiliki wawasan
yang tajam terhadap peranan uang dalam memainkan sirkulasi

306
komoditas. Menurutnya, kuantitas uang beredar yang ada di
tangan orang-orang dan ditularkan dari satu generasi ke generasi
yang lain. Hal itu mungkin beredar dari satu daerah ke daerah lain
dan dari negara ke negara lain. Jadi jika kekayaan tersebut telah
turun di Afrika Utara, itu tidak berkurang di tanah kaum Frank
atau Slavia. Untuk itu adalah upaya sosial, pencarian keuntungan
dan penggunaan alat-alat yang menyebabkan kenaikan atau
penurunan kuantitas logam mulia yang beredar.
Pemikiran yang paling menarik dari lbnu Khaldun terkait
dengan moneter ini bahwa keberadaan uang itu tidak akan
merangsang kegiatan ekonomi. Menurut lbnu Khaldun, motif
keuntungan, organisasi dan upaya sosial, dan penggunaan modal
merupakan faktor yang menentukan volume perdagangan dan
karena itulah jumlah uang menjadi beredar. Untuk mendukung
teorinya ini, Ibnu Khaldun memberikan ilustrasi bahwa
adakalanya perekonomian sebuah negara itu makmur sekalipun
tidak memiliki tambang emas -tambang emas menjadi sumber
supply uang dan adakalanya sebuah negara dengan pasokan emas
(uang) yang banyak tetapi perekonomiannya tidak makmur.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun
memahami permintaan transaksi terhadap uang. Selanjutnya,
keterangan menyiratkan bahwa permintaan akan keseimbangan
riil berubah hanya dengan ekspansi pada tingkat kegiatan
ekonomi, dan meningkatnya permintaan akan saldo nominal
adalah karena tekanan inflasi. Tentu saja, Ibnu Khaldun tidak

307
menganggap inflasi menjadi fenomena moneter murni; baginya,
tariknya permintaan dan tekanan biayalah yang menyebabkan
inflasi. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa teori moneter Ibnu
Khaldun secara umum bertentangan dengan teori kuantitas uang.
Namun, Ibnu Khaldun membuat satu pernyataan yang
menyinggung persamaan pertukaran: "… uang yang dihabiskan di
setiap pasar sesuai dengan volume bisnis yang dilakukan di
dalamnya. Namun, sebagaimana disebutkan di atas, ia tidak
mengklaim bahwa ada korespondensi satu per satu atau bahkan
hubungan kasual antara jumlah uang dan tingkat harga umum.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pemikiran moneter
Ibnu Khaldun terkait dengan pemahamannya tentang fungsi uang,
uang memainkan peran dalam sirkulasi komoditas, dan
permintaan transaksi akan uang. Pemikiran penting dari Ibnu
Khaldun bahwa uang tidak memengaruhi kegiatan ekonomi
secara umum.
f. Teori Penawaran dan Permintaan
Dalam Muqaddimah, lbnu Khaldun mengaitkan pandangan
ekonomi dengan kondisi sosial. Tampaknya seolah-olah ia
bermaksud untuk menerapkan semua ilmu yang disebutkan dalam
Muqaddimah untuk melayani pembangunan manusia. Ibnu
Khaldun dianggap penggagas sosiologi. Pandangan ekonominya
biasanya berdasarkan pada pengalaman dan pengamatan daripada
anggapan dan tebakan. Dia menyadari sebelum Marx bahwa
harga akan naik apabila ada permintaan yang tinggi dan akan

308
turun ketika permintaan rendah: "Jika manufaktur berada dalam
permintaan dan biaya terpenuhi, maka produksi akan mirip
dengan barang-barang yang dibawa untuk dijual. Oleh karena itu,
orang akan melakukan yang terbaik untuk mempelajari bahwa
profesi untuk mencari nafkah. Namun, jika barang tidak dalam
permintaan dan biaya tidak terpenuhi, maka orang tidak akan
belajar profesi itu sehingga akan diabaikan".
Perlu dicatat bahwa lbnu Khaldun itu berpandangan jauh. Dia
bertujuan untuk menguraikan gambar tiga dimensi untuk
pembangunan dan peradaban berdasarkan manufaktur,
perdagangan, dan sifat manusia. Dia juga berfokus pada peran
ekonomi dalam mendorong orang untuk terlibat dalam profesi
sesuai dengan status pasar. Dia mengatakan: “Profesi biasanya
tersedia jika itu membutuhkan dan permintaan. Tapi jika negara-
negara mendapatkan kelemahan, pembangunan regresi dan
penduduk menjadi kurang, maka kemewahan menurun dan orang
menjadi membutuhkan kebutuhannya hanya untuk mengurangi
berbagai profesi yang biasanya hasil dari kemewahan".
g. Interjensi Pemerintah dalam Kegiatan Ekonomi
Ibnu Khaldun tidak setuju pada campur tangan pemerintah
dalam pemasaran untuk bertindak sebagai pedagang yang
membeli barang pada harga terendah kemudian menunggu
kesempatan untuk menjualnya dengan harga yang sangat tinggi
ketika ada kebutuhan akan produk. Menurutnya, ini merupakan
pelanggaran yang melanggar hukum pada uang rakyat. Dia

309
mengatakan: "Lebih buruk dari ketidakadilan dan korupsi di
negara-negara dan peradaban adalah kekerasan uang rakyat
melalui membeli barang di pasar untuk harga terendah kemudian
memaksakan pada mereka untuk harga yang jauh lebih tinggi …
Ini sering mengakibatkan jatuhnya negara dan efek
perkembangannya secara bertahap tanpa menyadari hal itu".
Hal ini merupakan analisis ekonomi secara tepat yang
menunjukkan peran pemerintah dalam kehidupan dan ekonomi
masyarakat dan hubungan langsung di antara keduanya. Aturan
ekonomi ini hadir sepanjang sejarah dan merupakan salah satu
fondasi bagi peradaban. Meskipun beberapa ulama Maroko
membahas aturan dan kondisi pemasaran, Ibnu Khaldun
membahas pengaruh ekonomi pada pembangunan dan sejarah.
Ibnu Khaldun sedang mencoba untuk menekankan
perdagangan bebas dari gangguan apapun yang dapat merusak
pasar dengan memasukkan objek yang tidak berhubungan dengan
teori penawaran dan permintaan dan unsur-unsurnya seperti
keberadaan pedagang dan barang serta keadaan tertentu pada
harga barang. Dia juga menekankan tentang larangan monopoli.
Lebih dari sekali Ibnu Khaldun mengungkapkan
ketidaksetujuannya pada gangguan negatif dari pemerintah dalam
proses jual beli. Sebagai contoh, ia mengatakan di salah satu bab
yang berjudul "Perdagangan Sultan Berbahaya bagi Rakyat dan
Korupsi Pajak". Sadar bahwa ketika pajak pemerintah menurun
karena barang mewah dan penghasilan dan pengeluaran yang

310
tinggi maka hanya akan mengumpulkan pajak sesuai dengan
kebutuhannya. Namun, jika membutuhkan lebih banyak uang dan
pengumpulan pajak maka akan lebih baik tempat pabean atas
barang dan pasar, seperti yang telah disebutkan dalam bab
sebelumnya masyarakat, memberikan judul yang berbeda adat,
pekerja saham dan pemungut pajak uang mereka ketika mereka
mendapatkan uang dalam jumlah besar dan kadang-kadang
berpura-pura perdagangan dan pertanian untuk Sultan bawah
judul kebiasaan ketika mereka menemukan pedagang dan petani
mendapatkan keuntungan meskipun sejumlah kecil uang dari
mereka. Keuntungan biasanya dihitung sesuai dengan modal.
Pemerintah percaya bahwa apa yang mereka lakukan adalah
dengan cara mengumpulkan lebih banyak pajak dan penurunan
keuntungan sedangkan sangat salah dan tidak dapat diterima
untuk melakukannya karena merugikan orang dari beberapa
aspek.
B. PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATHIBI
1. Riwayat Hidup Al-Syathibi
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq bin Musa bin
Muhammad al-Lakhmi al-Syathibi. Ia berasal dari suku Arab
Lakhmi. Ia tinggal di Granada yang waktu itu merupakan sebuah
kerajaan Islam yang berada di bawah pemerintahan Daulah
Umawiyah yang mengikuti aturan-aturan Andalusia selatan. Al-
Syathibi lahir menjadi seorang ulama dan cendekiawan yang
populer pada zamannya.

311
Sebagai penuntut ilmu, al-Syathibi memulai aktivitas
ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu
Abdillah Muhammad ibnu Fakhkarm Al-Biri dan Abu Ja’far
Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami
hadits dari Abu Qasim ibnu Bina dan Syamsudin al-Tilimsani,
ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu
ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad al-
Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad al-Syarif al-
Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta
berbagai ilmu lainnya seperti ilmu korespondensi untuk
meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti
mengirim surat kepada seorang sufi yaitu Abu Abdillah ibnu Ibad
al-Nafsi al-Rundi.
Sebagai pengembang ilmu, al-Syathibi bertindak sebagai
pengajar dan juga menulis beberapa buku. Meskipun mempelajari
dan mendalami berbagai disiplin ilmu, al-Syathibi lebih
cenderung untuk mempelajari bahasa Arab dan ushul fiqh.
Baginya ushul fiqih merupakan metodologi dan falsafah fiqih
yang merupakan faktor yang sangat mempengaruhi terhadap
kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan
sosial. Al-Syathibi wafat pada 790 H (1388 M).
2. Karya Al-Syathibi
Pemikiran al-Syathibi dapat ditelusuri melalui karya-karya
ilmiahnya. Dua karyanya yang diterbitkan dan beredar di
masyarakat luas yakni al-Muwafakat fi Ushul al-Syariah sebagai

312
kitab paling monumental sekaligus paling dikenal dan al-
I’tisham. Dalam al-Muwafakat ini, Syathibi telah
mempertemukan dua mazhab pemikiran, yakni mazhab Maliki
dan mazhab Hanafi. Ia mengangkat kedudukan Imam Malik dan
menjadikan Abu Hanifah sejajar dengan kedudukan Imam Malik.
Buku ini dilihat dari segi temanya terbagi ke dalam lima bagian,
yakni muqaddimah, ahkam, maqashid, adilah, dan ijtihad wa
tajdid. Sedangkan kitab al-I’tisham adalah buku yang mengupas
secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Dengan
demikian, dalam buku ini sama sekali tidak menyinggung
persoalan ekonomi sehingga tidak bisa dijadikan referensi dalam
kajian tentang pemikiran ekonomi al-Syathibi.
3. Pemikiran Ekonomi Al-Syathibi
Pemikiran al-Syathibi dalam bidang ekonomi adalah
kemampuan menghubungkan konsep maqashid al-syariah
dengan konsep kepemilikan harta, perpajakan, kebutuhan
produksi, distribusi, dan konsumsi. Al-Syathibi mampu
menjelaskan konsep kepemilikan harta melalui pendekatan
maqashid al-Syariah. Menurutnya, kepemilikan harta tidak boleh
beredar hanya di kalangan orang kaya agar terwujud keadilan
sosial dan ekonomi di antara umat. Komitmen al-Syathibi dengan
konsep maqashid al-Syariah juga tercermin ketika menjelaskan
bahwa pajak harus dibebankan kepada rakyat dan kemudian
digunakan untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umum.

313
Dalam bidang kebutuhan konsumsi, produksi, dan distribusi,
al- Syathibi berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan menjadi
tanggungjawab dan kewajiban bagi personal dan doktrin agama
untuk memenuhinya, baik yang bersifat primer (dharuriyah),
sekunder (hajiyah), dan tersier (tahsiniyah) demi terpeliharanya
nafs (jiwa) dari ancaman penyakit kematian.
a. Maqashid al-Syariah dan Ekonomi
Menurut al-Syathibi, tujuan dari syariah adalah kemaslahatan
umat manusia. Kemaslahatan yang dimaksud adalah segala
sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan
penghidupan manusia, dan perolehan apa yang dituntut oleh
kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian
yang mutlak. Sehubungan dengan itu bahwa ada korelasi antara
penerapan maqashid al-syariah dalam bentuk maslahah dengan
aktivitas ekonomi.
Hal ini bisa berarti bahwa semua aktivitas ekonomi itu bisa
dibenarkan sepanjang bisa mewujudkan maqashid al-syariah
lebih khusus menciptakan mashalih bagi umat manusia. Namun,
menurut al- Syathibi, kemaslahatan manusia itu dapat terealisasi
apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan
dan dapat dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Dalam kerangka ini, ia membagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Dharuriyat adalah segala aspek kehidupan yang bersifat
esensial sehingga wajib ada sebagai syarat mutlak bagi

314
terwujudnya kemaslahatan manusia, baik kemaslahatan di dunia
maupun di akhirat. Apabila tingkatan ini diabaikan, maka akan
menimbulkan kerusakan dan kerugian. Sehubungan dengan itu,
dalam berbagai aktivitas ekonomi hendaknya mempertimbangkan
tingkatan maqashid al-syariah dalam menegakkan kesejahteraan
manusia di dunia dan akhirat.
Hajiyat adalah segala sesuatu yang menjadi kebutuhan
primer kehidupan manusia agar tercipta kebahagiaan dan
kesejahteraan, serta terhindar dari kemelaratan baik di dunia
maupun di akhirat. Tingkatan ini dimaksudkan untuk
memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia,
menghilangkan kesulitan dan menjadikan pemeliharaan yang
lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Dalam
konteks aktivitas ekonomi, Islam telah memberikan beberapa
pranata ekonomi yang bisa memberikan kemudahan bagi
kehidupan manusia. Misalnya dalam melaksanakan aktivitas
ekonomi, khususnya kontrak ekonomi, diperbolehkan
menggunakan akad mudharabah dan musyarakah dalam
perniagaan dan musaqah, muzara’ah atau mukhabarah dalam
pertanian.
Tahsiniyat adalah suatu kebutuhan hidup yang sifatnya
komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan
kesejahteraan hidup manusia. Apabila kemaslahatan ini tidak
terwujud, maka kehidupan manusia menjadi kurang indah dan
kurang nikmat, tetapi tidak sampai kemudaratan dan kebinasaan

315
hidup manusia. Dalam konteks ekonomi, maka Islam
memberikan tuntunan yang mencakup kehalusan dalam berbicara
dan bertindak ekonomi, serta pengembangan kualitas produksi
dan hasil pekerjaan.
Secara umum, al-Syatibi menyatakan bahwa ketiga tingkatan
maqashid al-syariah ini memiliki korelasi antara satu dengan
yang lainnya. Dharuriyat merupakan dasar dari hajiyat dan
tahsiniyat. Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa
kerusakan pula pada hajiyat dan tahsiniyat. Namun tidak
sebaliknya, kerusakan pada hajiyat dan tahsiniyat tidak
berimplikasi secara signifikan pada kerusakan dharuriyat.
Kerusakan pada hajiyat dan tahsiniyat, barangkali hanya
mengurangi kualitas dari implementasi dharuriyat. Hal ini berarti
bahwa pemeliharaan hajiyat dan tahsiniyat tetap perlu
diwujudkan agar implementasi dharuriyat dapat dicapai secara
maksimal.
Konsep maqashid al-syariah yang dikemukakan al-Syatibi
dalam konteks ekonomi sebenarnya merupakan roh dari aktivitas
ekonomi. Dengan kata lain, maqashid al-syariah bisa
ditempatkan sebagai spirit dalam menjalankan seluruh aktivitas
ekonomi. Dalam konteks ekonomi modern, maqashid al-syariah
merupakan konsep motivasi. Setiap kebutuhan yang belum
terpenuhi akan menjadi motivasi bagi individu untuk melakukan
aktivitas ekonomi. Jadi maqashid al-syariah ini merupakan alat

316
ukur kebutuhan yang harus dipenuhi dan sekaligus menjadi
motivasi individu untuk melakukan aktivitas ekonomi tersebut.
Tingkatan maqashid al-syariah ini dalam konteks ekonomi
modern dikenal dengan kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
Kebutuhan primer merupakan kebutuhan yang dasar ataupun
kebutuhan minimal yang harus dipenuhi manusia agar layak
hidup. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka yang terjadi
adalah kelangsungan hidup manusia akan terganggu. Kebutuhan
sekunder adalah kebutuhan yang pemenuhannya setelah
kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan tersier atau kebutuhan
mewah adalah kebutuhan yang biasanya dipenuhi setelah
kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder dipenuhi.
Sementara terkait dengan unsur-unsur yang mesti dipenuhi
dalam maqashid al-syariah menurut al-Syatibi adalah agama
(din), jiwa (nafs), keturunan (nashl), akal (‘aql), dan harta (mal).
Terpenuhinya kelima unsur ini menjadi indikator untuk
menentukan tingkat kesejahteraan (mashlahah) yang diperoleh
oleh seseorang. Sedangkan dalam konteks ekonomi modern,
berkaitan dengan kebutuhan dasar yang dikemukakan oleh al-
Syatibi hampir selaras dengan teori kebutuhan dasar -hierarchy of
needs- yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Maslow
mengatakan bahwa garis hierarki kebutuhan manusia berdasarkan
skala prioritasnya terdiri dari kebutuhan fisiologi (physiological
needs), kebutuhan keamanan (safety needs), kebutuhan sosial

317
(social needs), kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), dan
kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs).
Kebutuhan fisiologi (physiological needs) adalah kebutuhan
dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi,
maka kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan
mengesampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya. Kebutuhan
keamanan (safety needs) adalah kebutuhan perlindungan terhadap
gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi. Kebutuhan
sosial (social needs) adalah kebutuhan akan cinta, kasih sayang,
dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan
memengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan akan
penghargaan (esteem needs) adalah kebutuhan terhadap
penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini
akan memengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang.
Kebutuhan aktualisasi diri ( self-actualization needs) adalah
kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri.
Teori hierarchy of needs yang dikemukakan oleh Maslow ini
tampaknya telah terakomodasi oleh teori maqhasid al-syariah
yang dikemukakan oleh al-Syatibi. Bahkan, maqhasid al-syariah
lebih universal dibandingkan dengan hierarchy of needs.
Keuniversalan ini tampak dalam menempatkan agama (din)
sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Dalam teori
hierarchy of needs, agama bukan merupakan kebutuhan dasar
manusia. Padahal agama dianggap sebagai sesuatu yang dapat

318
memberikan petunjuk kepada manusia dalam memenuhi
kebutuhan dasar, yakni keselamatan dunia dan akhirat.
b. Objek Kepemilikan
Dalam pandangan al-Syatibi, setiap individu memiliki hak
yang sama atas kekayaan. Hal ini berarti bahwa beliau mengakui
hak milik individu. Setiap individu memiliki hak untuk
menikmati hak miliknya, menggunakannya secara produktif,
memindahkannya dan melindunginya dari pemubaziran. Namun
pemilik juga terkena sejumlah kewajiban tertentu, seperti
membantu dirinya sendiri dan kerabatnya serta membayar
sejumlah kewajiban.
Namun demikian, al-Syatibi menolak kepemilikan individu
terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup
orang banyak. Pemilikan dan penguasaan sumber daya tersebut
harus diserahkan kepada masyarakat umum bukan dimiliki dan
dikuasai oleh individu. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek
kepemilikan dan penggunaan tidak bisa dimiliki oleh siapapun.
Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu air yang
tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air
sungai dan oase, dan air yang yang dapat dijadikan sebagai objek
kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari
sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa
tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai
dikarenakan adanya pembangunan dam. Hal ini didasarkan
kepada sabda Rasulullah Saw., “Tiga hal yang tidak boleh

319
dimiliki oleh siapapun, yaitu air, padang rumput, dan api”. Hal
yang sama juga terjadi pada fasilitas yang dipergunakan oleh
masyarakat umum, seperti jalan raya, sungai, masjid, dan lain-
lainnya tidak boleh dikuasai oleh individu dan kepemilikannya
diserahkan kepada umum.
c. Pajak
Pajak merupakan kewajiban setiap warga negara kepada
negaranya atau kewajiban rakyat kepada pemerintahannya.
Kewajiban itu dilakukan dalam bentuk menyerahkan sebagian
hartanya kepada negara sesuai dengan kuantitas kepemilikan
hartanya.
Menurut al-Syathibi, pemungutan pajak oleh negara terhadap
warga negaranya harus dilihat dari sudut pandang mashlahah
(kepentingan umum). Dalam pemikiran al-Syathibi bahwa
pemeliharaan kepentingan umum secara esensial merupakan
tanggungjawab masyarakat. Dalam kondisi masyarakat tidak
mampu melaksanakan tanggungjawab ini, maka tanggungjawab
ini dapat dialihkan ke Baitul Mal sebagai institusi keuangan
negara yang juga merupakan milik masyarakat umum.
Hal yang paling menarik dari pemikiran al-Syathibi tentang
pajak ini adalah bahwa al-Syathibi membolehkan negara untuk
mengenakan pajak-pajak baru terhadap warga negaranya
sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah
Islam. Negara diberikan kewenangan untuk menentukan jenis
pajak, baik tarif pajaknya, jenis pajak, maupun ruang lingkup

320
pajak lainnya. Literasi pajak yang pernah terjadi di dunia Islam
hanya merupakan referensi bagi pengembangan pajak berikutnya.
Penentuan pajak disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari
negara yang bersangkutan.
C. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut.
1. Pemikiran ekonomi menurut Ibnu Khaldun bermuara
pada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan teori
nilai, distribusi, pertumbuhan, dan perkembangan, uang,
harga, keuangan public, siklus bisnis inflasi, sewa, dan
manfaat dari perdagangan. Ada beberapa kontribusi Ibnu
Khaldun pada pemikiran ekonomi kontemporer.
Kontribusi teori ekonomi Ibnu Khaldun disebut dengan
“pemikiran ekonomi Islam” yang mewarnai pemikiran
ekonomi yang dikemukakan oleh Smith, Malthus,
Ricardo, Marx, dan Keynes. Pemikiran ekonomi Ibnu
Khaldun merupakan sebuah sistem yang logis, pikiran
kohesif yang didasarkan pada pengamatan ekonomi pada
abad ke-14. Ibnu Khaldun seorang pengamat fenomena
sosial, ekonomi, politik, dan sejarah. Dengan kekuatan
abstraksinya, Ibnu Khaldun telah mampu
mengidentifikasi dan mengartikulasikan hubungan antara
variabel penting dari realitas ekonomi. Hanya saja, karya
Ibnu Khaldun ini tidak diketahui secara cepat oleh para
ekonom barat. Padahal, bila terjemahan al-Muqaddimah

321
ke dalam bahasa Eropa itu dilakukan sejak awal, maka
pemikiran ekonomi Barat tidak akan terhindarkan.
2. Pemikiran ekonomi al-Syatibi tercermin dalam pemikiran
utamanya maqashid al-syariah. Hakikat dari Syariah
adalah maslahah (kemaslahatan atau kesejahteraan). Oleh
karena itu, aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia
diorientasikan dalam upaya perolehan maslahah tersebut.
Implementasi dari perolehan maslahah tersebut adalah
pemenuhan terhadap kebutuhan dasar (basic need)
manusia, yang oleh al-Syatibi dirumuskan menjadi lima
kebutuhan, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Pemikiran tentang basic need yang dikemukakan al-
Syathibi ini tampaknya lebih universal bila dibandingkan
oleh teori hierarchy of needs yang dikemukakan Maslow.
Maslow merumuskan hierarchy of needs dengan
kebutuhan fisiologi, kebutuhan keamanan, kebutuhan
sosial, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan
aktualisasi diri. Selain itu, al-Syatibi juga telah
merumuskan tingkatan kebutuhan hidup manusia dalam
aktivitas ekonominya. Menurut al-Syathibi, kebutuhan
manusia itu dapat dipilah menjadi tiga tingkatan yaitu
dharuriyah, hajjiyah, dan tahsiniyah. Tingkatan
kebutuhan ini tampaknya langsung atau tidak langsung
telah diakomodasi dalam kajian ekonomi kontemporer.
Dalam kajian ekonomi kontemporer, kebutuhan manusia

322
itu dipilah menjadi tiga yakni primer, sekunder dan
tersier. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pemikiran ekonomi yang dikemukakan oleh al-Syathibi
telah memengaruhi pemikiran ekonomi modern atau
kontemporer.

No. Tokoh Karya Pemikiran


1. Ibnu • Syarh al- • Peristiwa ekonomi
Khaldun Burdah. yang terjadi pada
• Al-‘Ibar wa zamannya dianalisis
Diwan al- sebagai satu
Mubtada’ wa kesatuan yang utuh.
al-Khabar fi • Beberapa gerakan
Tarikh al- yang
‘Arab wa al- diselenggarakan
Ajam wa al- oleh orang miskin
Barbar. berhasil mengubah
• At-Ta’rif bi sejarah ekonomi
Ibnu Khaldun. menjadi lebih baik
• Lubab al- (hubungan yang
Muhassal fi erat antara ilmu
Ushul ad-Din. ekonomi dengan
• Muqqadimah sosiologi).
(buku • Laba atau
terlengkap dan keuntungan (rezeki)

323
karya secara keseluruhan
terbesarnya). atau untuk sebagian
besar adalah nilai
realisasi dari kerja
manusia.
• Utilitas sebagai
sumber nilai dan
penentu harga
produk.
• Sumber pendapatan
berasal dari
kerajinan, oleh
karena itu adalah
nilai dari kerjanya.
• Pembangunan
ekonomi dengan
cara meningkatkan
produktivitas dan
pertukaran yang
lebih tinggi
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
• Fungsi uang
sebagai tolak ukur

324
dan penyimpanan
nilai.
• Harga akan naik
jika permintaan
tinggi dan akan
turun ketika
permintaan rendah.
• Tidak menyukai
adanya campur
tangan pemerintah
dalam pemasaran
untuk bertindak
sebagai pedagang
yang tidak baik.

Latihan Soal
1. Apakah fokus utama dai pemikiran ekonomi Ibnu
Khaldun dan Al Syathibi?
2. Apa korelasi antara teori nilai kerja dan teori nilai utilitas
dari pemikiran Ibnu Khaldun?

325
BAB XIII

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM


KONTEMPORER/MODERN

A
bad ke 20 m dipandang sebagai abad kebangkitan
kembali dunia Islam setelah terpuruk beberapa
abad yang lalu. kebangkitan dunia islam ini
ditandai dengan kemampuan umat Islam merdekakan negerinya
dari penjajahan yang dilakukan oleh bangsa barat. manifestasi
dari kebangkitan dunia Islam tersebut menurut Lothrop, berupa
tumbuhnya potensi luar biasa bagi pembentukan dunia baru.
Islam menurut Badri yatim kebangkitan dunia islam adalah
bangkitnya nasionalisme di dunia Islam dan tumbuhnya gerakan
multipartai yang memperjuangkan kemerdekaan negaranya.

kebangkitan dunia Islam pada abad ini lebih didominasi oleh


kebangkitan intelektual. pada abad ini muncul sejumlah pemikir

326
muslim dengan beberapa produk pemikirannya. di Arab Saudi
misalnya muncul Muhammad bin Abdul Wahab, di Mesir
muncul Muhammad Abduh, di India muncul Muhammad Iqbal,
di Aljazair muncul Muhammad Sanusi dan di Indonesia sendiri
muncul Ahmad Dahlan. secara umum gagasan mereka bermuara
pada dua persoalan pokok, yang diverifikasi dan pembaharuan.
purifikasi berarti memurnikan kembali ajaran Islam yang sesuai
dengan Alquran dan Sunnah, sedangkan pembaharuan adalah
muncul kan berbagai gagasan dan implementasi yang sesuai
dengan perkembangan zaman.

Di samping gagasan berupa pemikiran dan gerakan islam


kebangkitan Islam, pada abad ke-20 ini ditandai dengan lahirnya
beberapa karya yang monumental terkait dengan hazanah
intelektual umat Islam. pada bagian yang parsial, Khazanah
intelektual ini berkaitan pula dengan masalah ekonomi. dari
paruh kedua abad ke-20 sejumlah besar karya tentang ekonomi
Islam mulai berdampak pada pemikiran ekonomi, khususnya di
kalangan umat Islam Siddiqi mengutip sekitar 700 judul asli dan
karya komentar tentang ekonomi Islam, sebagian besar yang
ditulis pada periode awal 1950 an sampai tahun 1970 an. judul-
judul tersebut mencakup berbagai topik filosofi ekonomi Islam
(80 kutipan), sistem ekonomi Islam (418 judul), kritik Islam
terhadap ekonomi kontemporer (lebih dari 100), kutipan analisis
ekonomi dalam kerangka Islam (sekitar 50 kutipan), sejarah
pemikiran ekonomi dalam Islam (40 kutipan) dan bibliografi.

327
Uraian ini mempertegas bahwa pada abad ke 20 M atau masa
kontemporer ini telah muncul beberapa pemikir muslim dan
pemikirannya terkait dengan masalah ekonomi Islam. dengan
dengan itu pada deskriptif berikut akan disajikan beberapa
pemikir muslim dan pemikirannya tentang ekonomi Islam.

A. M Nejatullah Siddiqi
1. Riwayat hidup

Mohammad nejatullah siddiqi adalah seorang ekonom india


dan pemenang hadiah internasional raja faisal untuk studi islam.
Lahir di india pada tahun 1931, ia didik di Aligarh Muslim
university serta rampur university dan Azamgarh university. Ia
menjabat sebagai asosiasi profesor ekonomi di Aligarh Muslim
university dan sebagai profesor ekonomi di king abdul aziz
university, jeddah, Arab Saudi di pusat penelitian ekonomi islam.
Dia kemudian menjadi anggota di pusat studi timur dekat di
university of california, los angeles, dan setelah itu visiting
scholar di the islamic research dan training institut, islamic
development bank, jeddah.

Dia adalah seorang penulis yang produktif dalam Bahasa


Urdu dan bahasa Inggris. Menurut WorldCat, Ia memiliki 63
Karyadi 177 publikasi dalam 5 bahasa dan 1301 saham
perpustakaan. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab, Persia ,Turki, Indonesia, Malaysia, Thailand dan
lain-lain. Mungkin bukunya yang paling banyak dibaca adalah

328
banking without interest yang diterbitkan di 27 edisi antara tahun
1973 sampai 2000 dalam tiga bahasa dan dipegang oleh 2200
perpustakaan di seluruh dunia.

Selama karier akademis yang panjang, ia telah menyupervisi


sejumlah tesis Ph.D. di universitas di India, Arab Saudi dan
Nigeria. Dia telah dan terus dikaitkan dengan sejumlah jurnal
akademik sebagai editor atau penasihat. la telah bertugas di
berbagai komite dan berpartisipasi dalam banyak konferensi di
berbagai belahan dunia. Dia sangat membantu untuk semua dan
berbagi pengetahuan berharga di masyarakat. Saat ini ia tinggal di
Aligarh, India. Dia adalah Profesor Emeritus di Departemen Studi
Manajemen, Universitas Aligarh Muslim, India.

la telah menulis setidaknya 10 buku dalam bahasa Inggris.


Karyanya dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam lebih dari
100 edisi Karya-karya besarnya tentang perbankan Islam telah
ditulis dalam bahasa Ingris. Di antaranya adalah: Recent Theories
of Profit: A Critical Examination (1971) Economic Enterprise in
Islam (1972); Muslim Economic Thinking (1981) nking Without
Interest (1983); Issues in Islamic banking: selected papers (1983)
Partnership and profit-sharing in Islomic law (1985); Insurance in
an islamic Economy (1985); Teaching Economics in Islamic
Perspective (1996; Role of State in islamic Economy (1996);
Dialogue in Islamic Economics (2002); dan Islam's View on
Property (1969).4" b. Pemikiran Ekonomi Sebagai ekonom

329
Muslim kontemporer, Nejatullah Siddiqi telah menawarkan
beberapa pemikiran fundamental tentang ekonomi Islam.
Diskursus Siddiqi tentang ekonomi Islam diawali dengan
menyajikan tema tentang ciri-ciri ekonomi Islam.

2. Pemikiran Ekonomi

Sebagai ekonom muslim kontemporer, nejatulllah Siddiqi


telah menawarkan beberapa pemikiran fundamental tentang
ekonomi Islam diskursus sedikit tentang ekonomi Islam diawali
dengan menyajikan tema tentang ciri-ciri ekonomi Islam. Ciri
pertama ekonomi Islam adalah hak relatif dan terbatas bagi
individu, masyarakat, dan negara. Menurut Siddiqi, setiap orang
diberi kebebasan untuk memiliki, memanfaatkan dan mengatur
hak miliknya. Namun, semua hak itu memancar dari kewajiban
manusia sebagai kepercayaan dan khalifah Allah Swt. di muka
bumi. Dengan demikian, menurut Siddiqi, kepemilikan
merupakan suatu hak individual selama ia melaksanakan
kewajibannya serta tidak menyalahgunakan haknya itu.

Ciri kedua dari sistem ekonomi Islam menurut Siddiqi adalah


negara memiliki peranan yang positif dan aktif dalam kegiatan
ekonomi. Siddiqi memberikan dukungan yang kuat terhadap
peran aktif dan positif negara di dalam sistem ekonomi. Pada
prinsipnya, Siddiqi menyetujui dan membela bahwa sistem pasar
itu harus berfungsi dengan baik. Namun jika pasar gagal
mencapai keadilan, negara memiliki hak untuk intervensi. Dalam

330
keadaan ini negara berkewajiban menyediakan kebutuhan dasar
bagi semua orang. Selain itu, negara dalam bentuk lembaga
Hisbah juga berkewajiban melakukan amar ma'ruf nahyi munkar
apabila terjadi ketidak adilan di pasar.

Menurut Siddiqi, ciri ketiga dari sistem ekonomi Islam


adalah mengimplementasikan zakat dan pelarangan riba.
Implementasi kedua pranata ekonomi ini merupakan ciri khas
ekonomi Islam karena disebutkan secara eksplisit di dalam
alQuran dan Sunnah. Bahkan, siddiqi berpandangan secara pasti
bahwa bunga itu adalah riba, dan oleh karenanya harus
dilenyapkan Sebagai alternatifnya, Siddiqi mengusulkan akad
mudharabah. Dengan mengimplementasikan akad ini di
perbankan, maka bank tidak hanya berfungsi sebagai lembaga
perantara melainkan juga sebagai agen ekonomi dan harus
terlibat secara langsung dalam penciptaan kegiatan ekonomi.

Ciri keempat dari sistem ekonomi Islam menurut Siddiqi


adalah harus adanya jaminan kebutuhan dasar bagi manusia.
Pemikiran ekonomi penyediaan kebutuhan dasar ini mirip dengan
strategi kebutuhan dasar dan program-program kesejahteraan
dalam sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis. Jaminan kebutuhan
dasar ini dapat diimplementasikan dengan cara mendistribusikan
aset dan kekayaan yang berimplikasi pada perolehan pendapatan
yang adil dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

331
Setelah diskursus tentang ciri sistem ekonomi Islam,
Nejatullah Siddiqi melanjutkan pemikiran ekonominya yang
berkaitan dengan masalah distribusi. Bagi Siddiqi, distribusi
merupakan konsekuensi dari kegiatan konsumsi (permintaan) dan
produksi (penawaran). menurut Siddiqi, kepemilikan terbatas
dalam pengertian bahwa hak itu ada jika kewajiban-kewajiban
sosial sudah ditunaikan. Kekayaan swasta dipandang sebagai
suatu hal yang mengandung maksud tertentu yakni untuk
memberi kebutuhan materil kepada manusia pada waktu yang
sama bekerja bagi kebaikan masyarakat. Penggunaan kekayaan
swasta harus benar bersamaan dengan norma-norma kerja sama,
persaudaraan, simpati, dan pengorbanan diri. Setiap pelanggaran
terhadap semua persyaratan tersebut seperti penimbunan,
eksploitasi dan penyalahgunaan akan menyebabkan hilangnya
hak memiliki. Negara dan masyarakat adalah penjaga
kepentingan sosial dalam hal ini.

Tema lain yang disajikan dalam pemikiran ekonomi


Nejatullah Siddiq adalah masalah produksi. Pemikiran tentang
produkis yang dibangun Siddiqi mengalami transformasi dari
paradigma neoklasik. Baginya, memaksimalkan laba bukanlah
satu-satunya motif dan bukan pula motif utama produksi. Tujuan
utama produksi adalah pemenuhan kebutuhan seseorang secara
sederhana, mencukupi tanggungan keluarga, persediaan untuk
menghadapi kemungkinan-kemungkinan masa depan, persediaan

332
untuk keturunan dan pelayanan sosial, serta infak di jalan Allah
Swt.

B. M. Umer Chapra
1. Riwayat hidup

M. Umer Chapra, lahir di Bombay India 1 Februari 1933,


adalah salah seorang ekonom Muslim kontemporer yang paling
terkenal pada zaman modern, baik di Timur maupun di Barat. la
meraih gelar S2 dari Universitas Karachi pada tahun 1954 dan
1956 dengan gelar B.Com/B.BA (Bachelor of Business
Administration) dan M.Com/M.BA (Master of Business
Administration) dan gelar Ph. D. dari Universitas Minnesota.

M. Umer Chapra terlibat dalam berbagai organisasi dan pusat


penelitian yang berkonsentrasi pada ekonomi Islam. Saat ini dia
menjadi penasihat pada Islamic Research and Training Institute
(IRTI), Islamic Development Bank, Jeddah. Sebelumnya ia
menduduki posisi sebagai Penasihat Peneliti Senior di Saudi
Arabian Monetary Agency (SAMA), Riyadh selama hampir 35
tahun. Aktivitasnya di lembaga-lembaga ekonomi Arab Saudi ini
membuatnya diberi kewarganegaraan Arab Saudi oleh Raja
Khalid atas permintaan Menteri Keuangan Arab Saudi. Lebih
kurang selama 45 tahun dia menduduki profesi di berbagai
lembaga yang berkaitan dengan persoalan ekonomi di antaranya
2 tahun di Pakistan, 6 tahun di Amerika Serikat, dan 37 tahun di
Arab Saudi. Selain profesinya itu banyak kegiatan ekonomi yang

333
dikutinya, termasuk kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga
ekonomi dan keuangan dunia seperti IMF, IBRD, OPEC, IDB,
OIC dan lain-lain.

Telah banyak buku dan artikel tentang ekonomi Islam yang


sudah diterbitkan. Hingga saat ini telah terhitung sebanyak 11
buku, 60 karya ilmiah dan 9 resensi buku. Buku dan karya
ilmiahnya banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk
juga bahasa Indonesia. Buku yang telah ditulisnya dan sangat
populer adalah Toward a Just Monetary System (1985), islam and
Economic Challenge (1992), Isiam and the Economic
Development (1994) dan The Future of Economics, an islamic
Perspective (2000).

2. Pemikiran Ekonomi

Pemikiran ekonomi Umer Chapra sebenarnya tercermin


dalam buku-buku yang ditulisnya. Pemikiran pertama terkait
dengan masalah sistem moneter menurut Islam. Tema ekonomi
ini terefleksi dalam bukunya yang berjudul Towards a Just
Monetary System. Ada beberapa tema yang disajikan dalam buku
ini. Pertama, sasaran dan strategi sistem perbankan dan keuangan
dalam perekonomian Islam. Ada lima hal yang dibahas pada
bagian ini, yaitu (1) kesejahteraan ekonomi yang diperluas
dengan kesempatan kerja penuh dan laju pertumbuhan ekonomi
yang optimal; (2) keadilan sosioekonomi dan distribusi kekayaan
dan pendapatan yang merata: (3) stabilitas nilai mata uang untuk

334
memungkinkan alat tukar sebagai satuan unit yang dapat
diandalkan, standar yang adil bagi pembayaran yang
ditangguhkan, dan alat penyimpan nilai yang stabil; (4)
mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan
perekonomian dalam suatu cara yang adil sehingga pengembalian
keuntungan dapat dijamin bagi bersangkutan; dan (5)
memberikan semua bentuk pelayanan yang efektif yang secara
normal diharapkan berasal dari sistem perbankan.

Kedua, hakikat riba dalam Islam, baik yang terdapat di dalam


al- Quran dan Hadis maupun dalam literatur fikih. Menurut
Chapra, Islam melarang keras praktik riba dan sebagai solusinya
diberikan beberapa alternatif bagi riba, seperti pembiayaan lewat
penyertaan modal (equity financing), membuat saluran untuk
penyertaan modal (sole proprietorship), partnertship (kemitraan),
mudharabah, musyarakah, dan perusahaan perseroan, serta
koperasi.

Ketiga, reformasi fundamental sebagai solusi selanjutnya


untuk keluar daripraktik riba. Beberapa reformasi fundamental
tersebut adalahtabungan dan investasi, pembiayaan lewat
penyertaan modal, mengurangi kekuasaan bank, dan menciptakan
bursa yang sehat. Dengan pengenalan berbagai reformasi
fundamental tersebut, sistem perbankan dapat berfungsi untuk
mencapai sasaran-sasaran sosioekonomi Islam. Suatu perubahan
yan hanya menggantikan riba dengan bagi hasil tidak akan dapat

335
mencapai tujuan meskipun hal tersebut merupakan perubahan
yang perlu disambut sebagai cara yang digunakan oleh para
bankir muslim untuk mencari pengalaman menjalankan
perbankan bebas riba dan memberikan jalan bagi beberapa
reformasi di kemudian hari.

Keempat, M. Umer Chapra membantah para pihak yang


merasa keberatan akan pelarangan bunga bank. Keberatan
tersebut menurut Chapra, dianggap tidak berdasar karena bukti-
bukti empiris tidak menunjukkan adanya suatu korelasi positif
yang signifikan antara bunga dan tabungan bahkan di negara
industri sekalipun. Dampak suku bunga pada tabungan di negara-
negara berkembang ditemukan sangat kecil (negligible) dalam
banyak studi. Keberatan ketika yang dituduhkan adalah bahwa
keseluruhan sistem yang berbasis pada penyertaan modal akan
sangat tidak stabil. Tuduhan ini, oleh Umar Chapra dianggap
sebagai tuduhan yang tidak berdasar, tanpa dukungan empiris,
dan tidak logis. Keberatan yang selanjutnya adalah bahwa
prospek pertumbuhan akan redup dalam sebuah perekonomian
Islam setelah penghapusan bunga yang oleh Umar Chapra hal ini
dianggap sebagai kritikan yang tidak valid.

Kelima pendirian lembaga institusional yang secara prinsip


berbeda dengan institusi konvensional dalam hal lingkup dan
tanggung jawab. Selain itu, Umer Chapra juga membahas tentang
pengelolaan kebijakan moneter dalam lembaga yang baru.

336
Kemudian mengevaluasi program yang diajukan sesuai dengan
tujuan yang dibahas pada pembahasan sebelumnya.

Pemikiran ekonomi M. Umer Chapra lainnya terkait dengan


masalah islam dan tantangan ekonomi sebagaimana trcermin
dalam bukumya yang berjudul "Islam and Economic Challenge”
dalam buku ini, Chapra mengkaji tiga sistem ekonomi Barat yaitu
Kapitalisme, Sosialis dan gabungan dari dua sistem tersebut yaitu
"negara kesejahteraan”. Chapra mengemukakan neraca ketiga
sistem tersebut dan segi prestasi- prestasinya maupun kegagalan-
kegagalannya. Menurut Chapra, ketiga sistem yang gagal itu
harus dihindari oleh negara-negara Muslim jika ingin
mengaktualisasikan tujuan sosio-ekonominya.

Pada kajan selanjutnya, M Umer Chapra mengemukakan


pandangan dunia Islam dan strateginya dalam menyelesaikan
masalah ekonomi. Pandangan dunia Islam ini didasarkan pada
tiga prinsip yang paling pokok, yaitu tawhid, khilafah, dan
adalah. Pada bagian akhir, M. Umer Chapra menjelaskan
bagaimana cara menghidupkan faktor-faktor kemanusiaan. Di
antaranya dengan pemberian motivasi, keadilan sosioekonomi,
perbaikan kondisi pedesaan, dimensi moral, meningkatkan
kemampuan dengan memberikan pendidikan keuangan. dan
latihan serta memperluas akses kepada keuangan.

Pada buku lain, "Islam and the Economic Development”. M


Umer Chapra berbicara tentang Islam dan pembangunan

337
ekonomi. Gagasannya ini didasarkan pada empat pertanyaan: (1)
bagaimana jenis pembangunan yang dinginkan oleh Islam?. (2)
apakah jenis pembangunan ini dapat direalisasikan dengan
pendekatan sekuler yang percaya pada sistem pasar atau
sosialisme atau strategi-strategi yang diformulasikan oleh para
ekonom pembangunan dalam kerangka kerja dua sistem itu. (3)
bagaimana strategi Islam? Apakah dapat membantu negara-
negara muslim memformulasikan kerangka aktualisasi
pembangunan yang dinginkan oleh Islam dengan tujuan
menanggulangi ketidakseimbangan makro ekonomi? dan (4)
mengapa selama ini negara-negara muslim gagal merumuskan
dan mengimplementasikan strategi tersebut?

Menurut M. Umar Chapra, sistem Kapitalisme laissez-faire


dan Sosialisme telah gagal merealisasikan pemenuhan kebutuhan
dasar kesempatan kerja penuh, distribusi pendapatan, dan
kekayaan yang merata. Kedua sistem itu tidak dapat
mengantarkan perubahan struktural radikal yang diperlukan
untuk merealisasikan pertumbuhan dengan keadilan dan
stabilitas. Oleh karena itu, kedua sistem itu tidak mungkin dapat
berfungsi sebagai contoh bagi negara yang sedang berkembang,
khususnya negara-negara muslim karena komitmen Islam yang
tegas terhadap keadilan sosioekonomi. M. Umar chapra bukan
hanya mengkritik kedua sistem diatas tanpa solusi. la
menawarkan lima tindakan kebijakan sebagai solusi bagi
pembangunan yang disertai keadilan dan stabilitas. Kelima

338
kebijakan tersebut adalah: (1) memberikan kenyamanan kepada
faktor manusia, (2) mereduksi konsentrasi kekayaan; (3)
melakukan restrukturisasi ekonomi; (4) melakukan restrukturisasi
keuangan; dan (5) melakukan rencana kebijakan strategis. Bagi
Chapra, Islamlah satu-satunya alternatif untuk menggantikan
Kapitalisme dan Sosialisme.

C. Nawab Haider Naqvi


1. Riwayat Hidup

Syed Nawab Haider Naqvi lahir di Maraith, pada tahun 1935


kemudian pindah ke Karachi, Pakistan pada tahun 1950. Haider
Naqvi meraih gelar master dari Yale University pada tahun 1961
dan meraih gelar doktor dari Princeton University pada tahun
1966. Setelah menyelesaikan penelitian posdoktoralnya dari
Harvard University pada tahun 1970. Haider Naqvi mulai meniti
karier dengan menulis berbagai karya ilmiah yang berhubungan
dengan masalah ekonomi. Haider Naqvi pernah menjabat sebagai
Direktur Pakistan Institute of Development Economics (Lembaga
Ekonomi Pembangunan Pakistan), Penasihat Ekonomi Senior
pada National Electric Power Regulatory Authority (NEPRA)
dan Rektor Kausar University of Sciences, Islamabad.

Sebagai seorang akademisi, Haider Naqvi terlibat dalam


beberapa lembaga penelitian, di antaranya sebagai Penasihat
Ekonomi Senior pada National Electric Power Regulatory
Authority (NEPRA), Penasehat Ekonomi pada MCB Institute for

339
Development Research, Direktur Pakistan Institute of
Development Economics, Islamabad, Kepala Economic Affairs
Division, Government of Pakistan, serta Pejabat dan Ekonom
Peneliti Senior pada Pakistan Institute of Development
Economics. Selain itu, Haider Naqvi juga terlibat dalam
keanggotaan dan asosiasi, di antaranya yang penting adalah:
anggota National Geographic Society, Washington, D.C,
Presiden Pendiri Pakistan Society of Development Economists,
Islamabad, Ketua the Committee on Economic and Social well-
being for the Eighth Five Year Plan, Ketua Board of
Management, Asian and Pacific Development

center, The United Nations, Kuala Lumpur. Malaysia, Ketua


Asian Sub-link Center project, ESCAP. Bangkok Thailand, dan
Ketua Committee on islamization, appointed by the Finance
Minister, Government of Pakistan.

Selain keterlibatannya dalam lembaga penelitian dan


lembaga-lembaga kajian, Haider Naqvi terlibat dalam penerbitan
jurnal la pernah menjadi editor darı jurnal nasional dan
internasional, di antaranya The Pakistan Development Review.
Pakistan institute of Development Economics islamabad,
Managing International Development (M.I.D) The United
Nations New York, dan South Asia journal. The Sage Publishers.
New Delhi.

340
Telah banyak buku dan artikel tentang ekonomi Islam yang
sudah diterbitkan, di antaranya Perspectives on Morality and
Human well-being (2003), Development Economics Nature and
significance (2002). The Crisis of Development Planning in
Pakistan (2000), External Shocks and Domestic Adjustment
Pakistan's Case 1970-1990 (1997) islam Economics, and Society
(1994), Development Economics A New Paradigm (1993),
SAARC Link An Econometric Approoch (1992), Mocro-
Economic Framework for the Eighth Five Year Plan islamabad
Pakistan institute of Develo Economics (1992), On Raising the
Level of Economic and Social WelBeing of the People (1992),
Structure of Protection and Allocative Efficency in
Manufacturing San Francisco International Center for Economic
Growth (1991), Structural Change in Pakiston's Agriculture
(1989), Land Reforms in Pakistan A Historical Perspective
(1987), Preliminary Revised PIDE Macro-Econometric Model of
Pakistan's Economy (1986), dan Ethics and Economics. An
Islamic Synthesis (1981).

2. Pemikiran Ekonomi

Dalam tulisannya yang tersebar, Nawab Haider Naqvi


mengajukan beberapa pemikiran tentang ekonomi Pemikiran
pertama terkait dengan masalah hakikat ilmu ekonomi Islam.
Menurut Naqvi, ilmu ekonomi Islam merupakan suatu sistem
perekonomian yang diatur berdasarkan syariat Islam yang
representatif dalam masyarakat Musim. Ekonomi Islam dapat

341
didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan
hartabenda menurut perspektif islam. Secara epistemologis
menurut Naqvi ekonomi Islam dibagi menjadi dua disiplin limu
Pertama, ekonomi Islam normatif vaitu studi tentang hukum-
hukum syanah Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda.
Kedua ekonomı islam positif yaitu studi tentang konsep-konsep
Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda khususnya yang
berkaitan dengan produksi barang dan jasa. Cakupannya adalah
segala macam cara dan sarana vang digunakan dalam proses
produksi barang dan jasa.

Dalam kaitannya dengan ilmu ekonomi Islam normatif.


Haider Naqvi mengecam paradigma klasik dan neo-klasik yang
mengabaikan dimensi moral. Bahkan, Haider Naqvi mengatakan
bahwa kesuksesan atau tidaknya dunia ekonomı Islam ditentukan
oleh sejauh mana nilai-nilai etika-religius itu diwujudkan dalam
kehidupan ril. Di samping itu untuk melengkapi sagasannya
tentang ekonomi Islam juga telah ditulis karyanya Ethics and
Economics An islamic Synthesis. Haider Naqvi berhasil
mengembangkan suatu frame-work atau bingkai analitik-
sistematik yang bersi sebagian besar nila-etik-dasar islam, yang
bisa digunakan sebagai dasar dalam melakukan deduksi logis
pedoman kebijakan ekonomi.

Pada kajian berikutnya, Haider Naqvi melakukan


perbandingan sistem ekonomi. Sistem ekonomı Islam adalah

342
sebuah sistem yang berdasar pada ajaran agama. Ekonomi Islam
merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur berdasarkan
syariat Isiam, yang tentu saja berpedoman kepada al- Quran dan
Hadis Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi lain, Kapitalis dan
Sosialis, yang cenderung sekuler di mana ekonomi terpisah dan
ajaran agama Sistem ekonomı islam meletakkan syariah sebagai
landasan normatif bagi seluruh aktivitas ekonomi Sedangkan
sistem ekonomi Kapitalisme cenderung posítivistik.

Islam sebagai way of life, menurut Haider Naqvi memiliki


dua dimensı alam pada dirinya, yaitu alam materil dan alam
immateril (dunia dan akhirat) Kedua ini berimplikasi pada sebuah
tanggung jawab bagi penganutnya, yaitu reword atau punishment
dari Allah. Oleh karena itu dalam Islam segala hal yang terkait
dengan kepentingan umat diatur didalamnya, mulai dari
hubungan dengan Tuhan, hingga hubungan interaksi kepada
sesama umat manusia dan makhluk lainnya, dengan berbagai
aturan dan tata caranya yang disusun secara tertib dan rapi. Islam
dalam pengertian universal bahwa Islam tidak hanya mengatur
masalah ritual semata, yakni hubungan antara hamba dan
Tuhannya, tetapi juga mengatur masalah-masalah sosial yang
ada.

343
D. M. Abdul Manan
1. Riwayat Hidup

Muhammad Abdul Mannan lahir di Bangladesh pada tahun


1938. Abdul Mannan meraih gelar master di bidang ekonomi dari
Rajshahi University pada tahun 1960 Setelah menerima gelar
master di bidang ekonomi, ia bekerja di berbagai kantor ekonomi
pemerintah di Pakistan, di antaranya sebagai Asisten Pimpinan di
the Federal Planning Commission of Pakistan pada tahun 1960-
an Pada tahun 1970, Abdul Mannan melanjutkan studinya di
Michigan State University Amerika Serikat untuk program MA
dalam ilmu ekonomi Setelah mendapatkan gelar MA (economics)
pada tahun 1973, Abdul Mannan mengambil program doktor di
bidang industri dan keuangan pada universitas yang sama.

Setelah menyelesaikan program doktor, Abdul Mannan


menjadi dosen senior dan aktif mengajar di Papua New Guinea
University of Technology Pada tahun 1978, ia ditunjuk sebagai
profesor di Internasional Centre for Research in Islamic
Economics, King Abdul Azis University di leddah Selama
periode tersebut Mannan juga aktif sebagai visiting professor
pada Moeslim Institute di London dan Georgetown University di
Amerika Serikat Melalui pengalaman akademiknya yang
panjang, Abdul Mannan memutuskan bergabung dengan Istamic
Development Bank dan sejak 1984 ia menjadi ahli ekonomi
(Islam) senior di iDB Bahkan, ia merupakan seorang tokoh

344
ekonomi islam yang menganjurkan pembentukan Bank Dunia
Islam, Mustim World Bank lima tahun sebelum pembentukan
slamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di jeddah,
Arab Saudi.

Sebagai ilmuwan dan sekaligus akademisi, Abdul Mannan


telah menulis sejumlah buku. Buku yang paling popular dan
sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa adalah buku islamic
Economics Theory and Practice pada tahun 1970 di Pakistan Dari
penerbitan buku ini, Abdul Mannan mendapat penghargaan
pemerintah Pakistan sebagai Highest Academic Award of
Pakistan pada tahun 1974 Adapun hasil karya Mannan yang
lainnva adalah: An Introduction to Applied Economy (1963).
Economic Problem and Planning in Pakistan (1968), The Making
of islamic Economic Society Islamic Dimensions in Economic
Analysis (1984) dan The Frontier of Islamic Economics (1984),
Economic Development and Sosial Peace in Islam (1989),
Management of Zakah in Modern Society (1989),

Developing a System of Islamic Financial Instruments


(1990), Understanding Islamic Finance A Study of Security
Market in an Islamic Framework (1993), International Economic
Relation from Islamic Perspectives (1992), Structural
Adjustments and Islamic Voluntary sector with special reference
to Bangladesh (1995), The Impact of Single European Market on

345
OIC Member Countries (1996), dan Financing Development in
islam (1996)

2. Pemikiran Ekonomi

M. Abdul Mannan membangun pemikiran ekonominya


dengan merumuskan dulu asumsi dasar ekonomi Islam.
Menurutnya, ada lima asumsi dasar yang harus dibangun dalam
ekonomi Islam. Pertama, Abdul Mannan mengkritik konsep
harmony of interests yang terbentuk oleh mekanisme pasar
menurut Adam Smith. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai
naluri untuk menguasai terhadap yang lain. Hawa nafsu ini jika
tidak dikendalikan maka akan cenderung merugikan yang lain.
Oleh karena itu, Abdul Mannan menekankan pada perlunya
beberapa jenis intervensi pasar. Dari sini dapat dipahami bahwa
manusia secara pribadi tidak bisa menciptakan keadilan yang
sesungguhnya. Manusia cenderung menindas pada manusia yang
lain Oleh karena itu, ekonomi Islam diharapkan akan bekerja
pada irisan antara mekanisme pasar dan perencanaan terpusat.

Kedua, Abdul Mannan mengkritisi Marxis yang tidak akan


mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik Teori
Marxis ini cenderung tidak manusiawi karena mengabaikan
naluri manusia yang fitrah, di mana setiap manusia mempunyai
kelebihan antara satu dengan yang lainnya. Abdul Mannan
berpendapat bahwa hanya ekonomi 1slam yang dapat
memberikan perubahan yang lebih baik. Alasan utamanya, karena

346
ekonomi Islam memiliki nilai-nilai etika dan kemampuan
motivasional. Namun demikian, Abdul Mannan tidak
memberikan penjelasan yang signifkan tentang perbedaan antara
nilai etika Islam dan kemampuan motivasional tersebut dengan
nilai-nilai Maris beserta motivasinya.

Ketiga, Abdul Mannan mengkritisi paradigma ekonomi


kaum neoklasik sitivistik, di mana teori ekonomi dirumuskan
berdasarkan data dan fakta empirik Menurutnya, teori ekonomi
itu harus dirumuskan berdasarkarn data historis dan wahyu.
Abdul Mannan telah menempatkan wahyu sebagai penunjukan
dan pelengkap dalam arah penelitian ekonomi. Dengan demikian,
penelitian ekonomi mesti didasarkan pada norma-norma yang
dibe rikan oleh wahyu Oleh karena itu, ekonomi Islam harus
dibangun dari fondasi utama yaitu dalil-dalil Syara yang
bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah. Menurutnya, penelitian
ekonomi yang meninggalkan wahyu akan kehilangan roh dari
ekonomi Islam tersebut.

Keempat, Abdul Mannan menolak gagasan kekuasaan


produsen atau kekuasaan konsumen. Hal tersebut menurutnya
akan memunculkan dominasi dan eksploitasi. Dalam kenyataan,
sistem kapitalistik yang ada saat ini dikotomı kekuasaan produsen
dan kekuasaan konsumen tak terhindarkan. Oleh karena itu,
Mannan mengusulkan perlunya keseimbangan antara kontrol
pemerintah dan persaingan dengan menjunjung nila-nilai dan

347
norma-norma sepanjang dizinkan oleh syariah. Hanya saja,
mekanisme kontrol dengan upaya menjunjung nilal-nilaı dan
norma yang sesuai dengan syariah belum dijabarkan dengan baik.
Artinya, mekanisme ini akan sangat beragam sesuai dengan
persepsi dan sistem kekuasaan yang ada di tiap-tiap negara.

Kelima, Abdul Mannan berpendapat bahwa mengizinkan


pemilikan swasta sepanjang tunduk pada kewajiban moral dan
etik. Menurutnya, semua bagian masyarakat memiliki hak untuk
mendapatkan bagian dalam harta secara keseluruhan. Namun,
setiap individu tidak boleh menyalahgunakan kelas kepercayaan
yang dimilikinya dengan cara mengeksploitasi pihak lain
Menurut Abdul Mannan, kekayaan tidak boleh terkonsentrasi
pada tangan orang-orang kaya saja. Zakat dan shadagah
memegang peranan penting untuk memainkan peranan
distributifnya sehingga paham kapitalis yang mengarah pada
individualisme tidak ada dalam ekonomi Islam.

Keenam, dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam


langkah pertama Abdul Mannan adalah menentukan basic
economic functions yang secara sederhana meliputi tiga fungsi,
yaitu konsumsi, produksi, dan distribusi Ada lima prinsip dasar
yang berakar pada Syanah untuk basic economic functions
berupa fungsi konsumsi, yakni prinsip righteousness, cleanliness
moderation, beneficence dan morality Perilaku konsumsi
seseorang dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri yang secara

348
umum adalah kebutuhan manusia yang terdin dan necessities,
comforts, dan luxuries.

Setelah merumuskan asumsi dasar ekonomi Islam, Abdul


Mannan kemudian menjelaskan cin dan kerangka institusional
Menurut Abdul Mannan, sifat, ciri dan kerangka institusinal
ekonomi Islam, sebagai berikut (1) kerangka sosial Islam dan
hubungan yang terpadu antara individu, masyarakat, dan negara,
(2) kepemilikan swasta yang relatif dan kondisional: (3)
mekanisme pasar didukung oleh kontrol, pengawasan dan kerja
sama dengan perusahaan negara terbatas, dan (4) implementasi
zakat dan penghapusan riba.

Setelah menjelaskan ciri dan kerangka institusional,


kemudian Abdul Mannan menjelaskan tentang distribusi dan
produksi Menurut Abdul Mannan, distribusi merupakan basis
fundamental bagi alokasi sumber daya tslam menekankan pada
distribusi pendapatan secara merata dan merupakan pusat
berputarnya pola produksi dalam sebuah negara Islam Sementara
berkaitan dengan produksi, Abdul Mannan berpendapat bahwa
terkait dengan utilitas atau penciptaan nilai guna. Konsep islam
mengenai kesejahteraan berisi peningkatan pendapatan melalui
peningkatan produksi barang yang baik saja, melalui
pemanfaatan sumber sumber serta tenaga kerja dan modal serta
alam secara maksimal maupun melalui partisipasi jumlah
penduduk maksimal dalam proses produksi.

349
E. Monzer Kahf
1. Riwayat Hidup

Monzer Kahf dilahirkan di Damaskus, Syria, pada tahun


1940. Kahf menerima gelar B.A (setara 51) di bidang Bisnis dari
Damaskus University pada tahun 1962 serta memperoleh
penghargaan langsung dari presiden Syria sebagai lulusan terbaik.
Pada tahun 1975, Kahf meraih gelar Ph.D ilmu ekonomi untuk
spesialisasi ekonomi international dari University of Utah, Salt
Lake City, USA. Selain itu, Kahf juga pernah mengikuti kuliah
informal dalam training and knowledge of Islamic Jurisprudence
(Fiqh) and Islamic Studies di Syria.

Sejak tahun 1968, ia telah menjadi akuntan publik yang


bersertifikat. Pada tahun 2005, Monzer Kahf menjadi seorang
guru besar ekonomi Islam dan perbankan di The Graduate
Programm of Islamic Economics and Banking, Universitas
Yarmouk di Jordan. Lebih dari 34 tahun Kahf mengabdikan
dirinya di bidang pendidikan. Ia pernah menjadi asisten dosen di
fakultas ekonomi University of Utah, Salt Lake City (1971-1975).
Kahf juga pernah aktif sebagai instruktur di School of Business,
University of Damascus (Syria. 1962-1963). Pada tahun 1984,
Kahf memutuskan untuk bergabung dengan Islamic Development
Bank dan Sejak 1995 ia menjadi ahli ekonomi (Islam) senior di
IDB .

350
Monzer Kahf merupakan seorang penulis yang produktif
dalam menghasilkan pemikiran-pemikiran di bidang ekonomi,
keuangan, bisnis, fikih dan hukum, baik dalam bahasa Arab
maupun bahasa Inggris. Pada tahun 1978 Kahf menerbitkan buku
tentang ekonomi Islam yang berjudul The Islamic Economy:
Analytical Study of the Functioning of the Islamic Economic
System. Buku ini dianggap menjadi awal dari sebuah analisis
matematika ekonomi dalam mempelajari ekonomi Islam, sebab
pada tahun 1970-an, sebagian besar karya-karya mengenai
ekonomi Islam masih mendiskusikan masalah prinsip dan garis
besar ekonomi. Adapun hasil karya Kahf yang lain adalah: A
Contribution to the Theory of Consumer Behavior in an Islamic
Society (1984), Principles of Islamic Financing : A Survey
(19921) Zakah Monagement ih Some Muslim Societies (1993)
the Calculation of Zakah for Muslim in North Amenika (19961)
Financing Development in Islam (1996), dan The Demand Side
or Consumer in Ielarmic Perspective.

2. Pemikiran ekonomi
Pemikiran ekonomi yang paling utama dan terpenting dari
Monszer Kahf adalah pandangannya terhadap ekonomi sebagai
bagian tertentu dari agama. Selain itu, Monzer mengatualhasikan
analisis pengunaan beberapa institusi islam (seperti zakat)
terhadap agregat ekonomi, seperti simpanan, Ivestasi, konsumsi
dan pendapatan. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya yang

351
berjudul “The Islomic Econormy Anolytical Study of the
Functioning of the hlone Economic System”.

Dalam membangun pemikiran ekonominya, Monzer Kahf


mendanarkan pemiirannya pada asumsi islamic man. Islamic man
dianggap perlakunya rasional jka konsisten dengan prinsip-
prinsip Islam yang bertujuan untu menciptakan manyarakat yang
seimbang Tauhidnya mendorong untuk yakin, Alah-lah yang
berhak membuat aturan untuk mengantarkan kesuksesan hidup
Islamic man dalam mengonsumsi suatu barang tidak semata- mat
bertujuan memaksimalkan kepuasan, tetapi selalu memperhatikan
apakah barang itu halal atau haram, isyrof atau tabzir,
memudaratkan masyarakat atau tidak dan lain-lain. Islamic man
tidak materialistik, la senantiasa memperhatian anjuran syariat
untuk berbuat kebajkan untuk masyarakat Oieh karena itu, ia baik
hati, suka menolong, dan peduli kepada masyarakat sekitar, la
ählas mengorbankan kesenangannya untuk menyenanglan orang
lain (QS 2:215, QS 92: 18-19. Motifnya dalam berbuat kebajikan
kepada orang lain, baik dalam bentuk berderma, bersedekah,
menyantuni anak yatim, maupun mengeluarkan zakat harta, dan
sebagainya, tidak dlanda motif ekonomi sebagaimana dalam
doctrine of sosial responsibility, tetap orang lain, semata-mata
berharap keridhaan Allah SWT.

Selaras dengan itu, Monzer Kahf mengedepankan konsep


"slomic rationalism” rasionalismr dalam islam dinyatakan

352
sebagal alternatif yang konsisten dengan nillai-nilal Islam, unsur-
unsur pokok rasionalisme ini adalah sebagal berikut: (1) Islam
membenarkan individu untuk mencapal kesuksesan di dalam
hidupnya melalui tindakan ekonomí, baik kesuksesan materi
maupun kesuksesan di akhirat dengan mendapatkan keridhaan
dari Alah Swt (2) kehidupan di dunia itu bersifat sementara dan
ada kehidupan yang kekal, yatu kehidupan akhirat: (3) kekayean
dalam honsep islam adalah amanah dani Allah Swt dan sebagai
alat bag individu untuk mencapai kesuksesan di akhirat (4) dalam
mengunakan barang senanitiasa memperhatikan maqashid al-
syariah dan (5) Islam tidak melarang individu dalam
mengzunakan barang untuk mencapai kepuasan selama individu
tersebut tidak mengonsumsi barang yang haram dan berbahaya
atau merusak .

Selanjutnya, Monzer Kahf menyajikan etika konsumsi dalam


Islam mengembangkan pemikirannya tentang konsumsi dengan
memperkenalkan final spending (FS) sebagal variabel standar
dalam melihat kepuasaan maksimum yang diperoleh konsumen
muslim. Salah satunya dimulai dergan melihat adanya asumsi
bahwa secara khusus institusi zakat dasumsikan sebagai sebuah
bagian dari struktur sosioekonomi. Kahf berasumsi bahwa zakat
merupakan keharusan bagi muzakki Oleh karena tu, meskipun
rakat sebagai spending yang memberkan keuntungan, sifat dar
zakat yang tetap, maka diasumsikan d hi luar final spending.

353
Dalam masalah produksi menurut Monzer Kahf, teori
produksi memiliki aspek aspek sebagal berikut (1) motif-motit
Produksi yaitu pengambilan manfaat setiap partkel dari alam
semesta adalah tujuan ideologi umat islam (2) tujuan produksi
adalah sebagai upaya manusia untuk meningkatian kondisi
materialnya selaligus moralnya dan sebagai sarana untuk
mencapal tuuannya d Ahirst 3) tujuan badan usaha dalam proses
maksimalkan keuntungan dengan mengats namaka badan usaha
tidak boleh melanggar aturan- atturan permainan dalam ekonomi
(4) faktor faktor produksi(4) ; modal sebagai kerja yang
diakumulasikan dan (5) hak milk sebagai akibat wajar.

Monzer Kahf juga memiliki pemikiran ekonomi tentang


pasar. Menurut Monzer Kahf, ekonomi islam adalah ekonomi
yang bebas tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak dalam
bentuk (persaingan) individualisme dan kepedulian sosial begitu
erat terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain
merupakan cara paling memberikan harapan bagi pengembangan
daya guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah
Swt. Keterlibatan pemenintah dalam pasar hanyalah pada saat
tertentu atau bersifat temporer Sistem ekonomi Islam
menganggap islam sebagai sesuatu yang ada di pasar bersama-
sama dengan unit-unit elektronik lainnya berdasarkan landasan
yang tetap dan stabil ia dianggap sebagai perencana, pengawas,
produsen dan juga sebagai konsumen Dalam mekanisme pasar
dibutuhkan regulasi pasar yang dirumuskan oleh negara dengan

354
bersumber pada sumber hukum slam, yakni al-Quran dan al-
Sunnah.

Pada bagian akhir, Monzer Kahf juga berbicara tentang


ekonomi makro. Ada beberapa tema makro ekonomi yang
disajikan oleh Moneer Kahf. Menurutnya, implementasi zakat
dan larangan riba merupakan aspek terpenting dalam ekonomi
makro, di samping implementasi akad berbasis syariah lainnya.
Selain itu, Monzer Kahf juga berbicara tentang uang dan otoritas
moneter, struktur kredit dan keuangan Islam, hutane negara dan
hutang pasar uang, dan kebijakan ekonomi

F. Kesimpulan

Pada abad ke-20, sebagai abad kebangkitan kembali dunia


Islam, telah muncul beberapa ekonom Muslim. kebangkitan
dunia Islam in ditandai, antara lain dengan lahirnya beberapa
karya yang monumental terkait dengan khazanah intelektual umat
Islam. Pada bagian yang parsial, khazanah intelektual ini
berkaitan pula dengan masalah ekonomi. Dari paruh kedua abad
kedua puluh sejumlah besar karya tentang ekonomi Islam mulai
berdampak pada pemikiran ekonomi, khususnya di kalangan
umat Islam. Seiring dengan perkembangan karya tulis itu, maka
pada masa in muncul sejumlah pemikir atau ekonom Muslim. Di
antara ekonom yangpetisi erjalin yang orang rintah istem pasar
paling populer saat ini adalah Muhammad Nejatullah Siddiai M.
Umer Chapra, M. Abdul Mannan, Nawab Haider Naqvi, dan

355
Monzer Kahf Para ekonom Muslim ini telah menawarkan
ekonomi Islam sebagai alternatif bagi sistem ekonomi vang
selama ini ada Mereka telah menunjukkan berbagai kelebihan
sistem ekonomi Islam daripada sistem ekonomi yang lain
Berbagai aspek yang terkait dengan masalah ekonomi telah
menjad bagian dari produk pemikiran para ekonom Muslim
kontemporer. Mereka berbicara tentang mikro ekonomi berbasis
Islam, seperti produksi, konsums dan distribusi Selain itu, mereka
juga telah berbicara tentang makro ekonom Islam, seperti negara
dan pembangunan ekonomi, sumber pendapatan negara, alokasi
dana publik, fiskal, moneter, dan yang berbasis Islam. Namun,
secara umum, pemikiran dari para ekonom ini cenderung
menganut Mazhab Mainstream, yang mengonvergensik n
ekonomi yang berbasis Islam dengan ekonomi konvensional yang
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Tabel Pikiran Ekonomi Para Ekonom Modern

TOKOH PEMIKIR PIKIRAN EKONOMI


M. Nejatullah Siddiqi • peran aktif dan positif
negara dalam sistem
ekonomi
• hak relatif dan hak
terbatas bagi individu,
masyarakat dan negara
• mengimplementasikan

356
zakat dari pelarangan riba
• adanya jaminan
kebutuhan dasar bagi
manusia
M. Umar Capra • sasaran dan strategi
sistem perbankan dan
keuangan dalam
prekonomian islam
• solusi alternatif riba
• reformasi pundamental
sebagai solusi keluar dari
praktik riba
• pendirian lembaga
intitusional
Nawab Haider Naqvi • hskikst ilmu ekonomi
islam
• mengecam paradigma
klasik-neoklasik
• mengembangkan nilai
etik dasar islam
M. Abdul Manan • Mengkritik konsep
harmony of interests
• Mengkritisi marxis
• Mengkritisi paradigma
kaum neoklasik

357
positvistik
• Menolak gagasan
kekuasaanprodusen atau
konsumen
• Mengizinkan pemilikan
swasta sepanjang tunduk
pada kewajiban moral
dan etik
• Mengembangkan ilmu
ekonomi
Monzer Kahf • Mengedepankan konsep
islamic rationalism
• Menyajikan etika
konsunmsi dalam islam
teori produksi
• Struktur pasar akonomi
makro uang dan otoritas
moneter

Soal Latihan

1. Menurut pendapat anda dari kelima pemikiran ekonomi


islam kontemporer, tokoh manakah yang paling unggul?
2. Apa yang dimaksud dengan hak milik sebagai akibat?

358
DAFTAR PUSTAKA

• Adiwarman,Karim.2008.Sejarah Pemikiran Ekonomi


Islam.Jakarta:Raja Grafindo Persada
• Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam : Imperium
Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 2
• Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Depok:
Gramata Publishing, 2005.

• Amir , Faishol, Makalah Ekonom, http://makalah-


fifacom.blogspot. com/2018/11/28 /pem-ikiran-eekonomi-
al-syaibani.html

• Amzah Harun, Maidir dan


Firdaus, 2001, Sejarah Peradaban Islam, Padang : IAIN-
IB Press.
• Amzah.Hakim, Moh. Nur, 2004, Sejarah dan Peradaban
Islam, Jakarta: UMM Press.
• Antonio, Muhammad Syafi’i dan Tim TAZKIA,
2012 Ensiklopedia Peradaban Islam Baghdad, Jakarta:
Tazkia Publishing.
• Arab, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
• Asy’ari, Hasyim. 2017. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam.
• Asy-syurbasi, Ahmad. 2008. Sejarah dan Biografi Imam
Empat Mazhab. Jakarta

359
• As-Sirjani, Raghib, 2005, Ensiklopedi Sejarah
Islami, Jakarta: Muassasah Iqra, 2005.
• Biografi M umer Chapra daam “introduction Of Dr.M
Umer Chapra”, http://www.google.com/M.umer
chapra/biografi.htm
• Boedi,Abdullah.2011.Peradaban Pemikiran Ekonomi
Islam.Bandung:Pustaka Setia.
• Boedi,Abdullah.2011.Peradaban Pemikiran Ekonomi
Islam.Bandung:Pustaka Setia.
• Harun Nasution, islam ditinjau dari berbagai aspeknya
(jakarta : UI press, 2002)Badri yatim, sejarah peradaban
Islam, dirasa islamiyah ii (jakarta: Raja Grafindo persada,
2008)
• https://en.wikipedia.org/wiki/mohammad_najtullah_siddi
qui
• http://en.wikipedia.org/wiki/nawab_haider_naqvi
• http://ekonomipolitikislam.blogspot.co.id/2012/09/sejarah
-lahirnya-ekonomi-islam.html
• http://farikihsan.blogspot.co.id/2015/03/normal-0-false-
false-false-en-us-x-none_13.html
• J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan
Pemikiran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994).
• Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Umayyah I (Jakarta:
Bulan Bintang,1977).

360
• Janwari,Yadi. 2016. Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
• Khallaf, Abdul Wahab. 1968. ‘Ilm Ushul Fiqh. Kairo: Dar
al Kuwaitiyah
• Karim, Adiwarman Azhar. 2012. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
• Murodi. 2003. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang:
Karya Toha Putra.
• Munawir,Sjadzali.2003.Islam dan Tata Negara: Seri
Kajian Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta:UI Press.
• Muhammad Husei Haikal, H. M. (2002). Terjemah Ali
Audah . Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa.
• (n.d.)http://www.iaei-pusat.org/article/ekonomi-
syariah/peranan-negara-dalam-perekonomian-
perspektif-islam-part-1-1?language=id.

• Nasution, Zulfikar, Makalah Ekonom,


https://zulfikarnasution.wordpress.com/2018/11/28/pemik
iran-ekonomi-asy-syaibani/

• Nasir, Syed Mahmudun, Islam its Concept and History


(New Delhi: Kitab Bhavan, 1981)
• Philip K. Hitti, History of the Arab: Rujukan Induk dan
Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta , 2013) h. 271
• Philip K. Hitti, History of The Arab, Macmillan Press td.,
1970.

361
• Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993, Edisi
ke-5
• Sunanto, Musyrifah, 2003, Sejarah Islam Klasik, Bogor:
Prenada Media.
• Supriyadi, Dedi, 2008, Sejarah Peradaban
Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
• Su’ud, Abu Su’ud, 2003, Islamologi, Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
• Tazkia, M. S. ( 2010). Ensiklopedia Ledership and
Managemen Muhammad saw, The Super Leader Super
Manager, Jilid 2. Jakarta: Tazkia Publishing.
• Wahid, N. Abbas dan Suratno, 2009, Khazanah Sejarah
Kebudayyan Islam, Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri.
• Watt, W. Montogomery, 1990, Kejayaan Islam: Kajian
Kritis dari Tokoh Orientalis,Yogyakarta: Tiara Wacana.
• Thoir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan
Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
• Yatim, Badri, 1993, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
• Zubair. 2008. Kontribusi Abu Ubaid Ibn Salman Dalam
Pengembangan Ekonomi Islam. Jakarta: Rabbani Pers.
• Zallum, A. Q. (1983). Al Amwal fi Daulat al-Khilāfah .
Beirut: Darul Malayin.

362

Anda mungkin juga menyukai