PENDAHULUAN
I
lmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan
modern baru muncul pada 1970-an. tetapi pemikiran
tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu
diturunkan melalui Nabi Muhammmad SAW, karena rujukan
utama pemikiran islami adalah Alquran dan Hadits maka
pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan
diturunkannya Al-quran dan masa kehidupan Rasulullah SAW.
Kegiatan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan manusia kegiatan yang berupa
produksi, distribusi dan konsumsi ini dilakukan dalam rangka
memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Setiap tindakan
manusia didasarkan pada keinginanannya untuk memenuhi
1
kebutuhan hidup aktivitas ekonomi dimulai dari zaman Nabi
Adam hingga detik ini. Meskipun dari zaman ke zaman
mengalami perkembangan setiap masa manusia mencari cara
untuk mengembangkan proses ekonomi ini sesuai dengan
ketentuan kebutuhannya. Islam pada awal kejayaannya di masa
Rasulullah juga memiliki konsep sistem ekonomi yang patut
dijadikan bahan acuan untuk mengatasai permasalahan
ekonomi yang ada saat ini.
2
mana pemikiran ekonomi islam melalui rangkaian sejarah yang
sangat panjang. Perkembangan pemikiran ekonomi islam itu
dimulai sejak abad ke-2 H atau abad ke-8 M. Perkembsngsn
pemikirsn ini terus tumbuh hingga sampai abad ke-8 H atau
abad ke-14 M. Berbagai produk pemikiran yang tercermin
dalam kitab telah muncul, baik dalam koteks ekonomi makro
ataupun mikro (Yadi Janwari, pemikiran ekonomi Islam,
hlm:2).
3
BAB II
SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI
PADA MASA RASULULLAH SAW
4
misalnya masyarakat Arab ketika berbisnis lebih menekankan
pada perdagangan, seperti dilukiskan dalam surat Quraish;
َّاِنَّ َعلَ ْينَا َج ْمعَهَّ َوقُ ْر ٰانَهَّ َّۚ فَ ِاذَا قَ َرأْ ٰن َّهُ فَاتبِ َّْع قُ ْر ٰانَه
5
Bisnis Nabi Muhammad SAW sebelum kenabian sudah
maklum bahwa Muhammad SAW sejak kecil tinggal di
lingkungan Quraish. Secara umum, bangsa Quraish memiliki
rute perjalanan dagang yang didasarkan pada perubahan
cuaca. Pada musim panas, dilakukan perjalan dagang ke
utara, antara lain ke Syria, Yordania, Palestina dan Lebanon.
Bahkan sampai Turki dan perbatasan Eropa Barat. Sementara
pada musim dingin, mereka melakukan perjalanan dagang ke
selatan, yaitu ke Yaman dan Ethiopia karena cuaca lebih
hangat.
6
kota besar dan salah satu kota perdagangan dunia saat itu.
Pengalaman dagang inilah yang kelak akan membentuk
pribadi Muhammad SAW sebagai seorang entrepreneur sejati
dengan segala sikap positif yang dimilikinya.
7
justru Nabi melakukan praktek jual beli yang benar serta
praktek syirkah mudharabah yang pernah dilakukannya
bersama dengan Khadijah ra.
8
pada kejujuran dan saling membantu perekonomian sesama
muslim. Keadaan jamaah Nabi SAW makin hari makin
tertekan karena himpitan, penentangan, provokasi dan boikot
dari Quraish. Pada saat seperti ini justru kondisi perekonomian
Nabi SAW semakin memprihatinkan. Bahkan pada masa sulit
ini paman beliau Abdul Muthalib dan istri tercinta beliau
Khadijah wafat. Tidak hanya beliau, kondisi para sahabat juga
sangat mengkhawatirkan.
9
SAW adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik
dilingkungan keluarga, masyarakat, institusi, maupun
pemerintahan yang bersih dari berbagai tradisi, ritual dan
norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
1) Membangun masjid
10
menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap
warga negara, baik muslim maupun non muslim, serta sistem
pertanahan dan keamanan negara. Pada tataran ini Rasulullah
SAW telah membangun sebuah sistem ekonomi yang menjadi
pondasi bagi pembangunan sistem ekonomi pada masa-masa
selanjutnya. Bagaimanapun juga, sebuah sistem ekonomi akan
selalu berkaitan dengan sistem-sistem lainnya seperti sistem
sosial, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan sistem politik.
Diantara sistem ekonomi yang konstitusional adalah perlakuan
terhadap anfal, ghanimah, fa‟i, dan kharaj.
11
C. Bangunan Sistem Ekonomi Islam Di Masa
Rasulullah SAW
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk. Oleh
karena itu, peletakan dasar-dasar system keuangan negara yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW merupakan langkah yang
sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa
itu sehingga Islam sebagai sebuah agama dapat berkembang
dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
12
Disamping itu, al-Qur‟an memerintahkan kepada
seseorang yang memiliki harta berlimpah agar berwasiat
sebelum meninggal dunia. Dari keseluruhan jumlah harta
kekayaannya, seseorang diperkenankan berwasiat sebanyak
sepertiga dan sisinya yang berjumlah dua pertiga harus
dibagibagikan kepada para ahli warisnya sesuai dengan syariah
Islam.
13
d. Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
e. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya merupakan
riba yang harus dihilangkan.
f. Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi
kekayaan yang dapat mengeliminasi berbagai konflik
individu.
g. Menetapkan berbagai bentuk sedekah baik yang bersifat
wajib maupun sukarela, terhadap para individu yang
memiliki harta kekayaan yang banyak untuk membantu
para anggota masyarakat yang tidak mampu.
14
4. Pengaturan APBN yang dilakukan Rasulullah SAW secara
cermat, efektif dan efisien, menyebabkan jarang terjadi
defisit anggaran meskipun sering terjadi peperangan.
5. Rasulullah menerapkan kebijakan meminta bantuan kaum
Muslimin secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan
kaum Muslimin serta menerapkan kebijakan insentif untuk
menjaga pengeluaran dan meningkatkan partisipasi kerja
dan produksi kaum muslimin.
D. Harta Negara Di Masa Rasulullah SAW
Pada masa ini karakteristik pekerjaan masih sangat
sederhana dan tidak memperlukan perhatian yang penuh.
Rasulullah SAW sendiri adalah seorang kepala Negara yang
juga merangkap sebagai ketua Mahkamah Agung, mufti besar,
panglima perang tertinggi, serta penanggung jawab seluruh
administrasi Negara.
15
Pengeluaran untuk keduanya sudah diuraikan secara jelas
dalam alQuran.
16
3. Rabi‟ah serta meminjam beberapa pakaian dan hewan
tunggangan dari Abu Sofyan bin Umayyah.
4. Khums atas rikaz atau harta karun.
5. Amwal fadhilah yakni harta yang berasal dari harta benda
kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris/ harta
seorang muslim yang telah murtad dan pergi meninggalkan
negaranya.
6. Waqaf, yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang
muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatnya
akan disimpan di bayt al-māl.
7. Nawaib yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum
mulimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran
Negara selama masa darurat yang pernah terjadi pada masa
perang Tabuk.
8. Zakat fitrah.
9. Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kafarat.
E. Pos-Pos Pengeluaran Negara
Setalah turunnya surat al-Anfal pada tahun kedua hijriyah,
maka tata cara pembagian harta ghanimah ditentukan dengan
formulasi sebagai berikut:
17
keluarganya, bagian kedua untuk kerabatnya, dan bagian
ketiga untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
para musafir.
b. Empat seperlima bagiannya diberikan kepada anggota
pasukan yang terlibat peperangan. Penunggang kuda
memperoleh dua bagian, yakni untuk dirinya sendiri dan
kudanya.
Pada masa Rasulullah SAW catatan keuangan masih
belum terperinci. Namun demikian hal ini tidak berarti
menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada
pada masa itu tidak berjalan dengan baik dan benar.
18
perbendaharaan Negara. Dalam negara Islam kekuasaan
dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan
sesuai dengan perintah al-Quran. Hal ini telah dipraktekkan
oleh Rasulullah SAW. Sebagai seorang kepala Negara,
Rasulullah SAW tidak menggangap dirinya sebagai raja, tetapi
sebagai seorang yang diberi amanat untuk mengatur urusan
Negara dan umat manusia secara keseluruhan.
19
tempat tertentu yang dikhususkan untuk penyimpanan arsip
maupun ruangan bagi para penulis.
G. Kesimpulan
Ilmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan
modern baru muncul pada 1970-an. tetapi pemikiran tentang
ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu diturunkan melalui
Nabi Muhammmad SAW.
20
ruhiyah dan jasmaniyah, melainkan sebagai satu kesatuan yang
utuh yang tidak terpisahkan, bahkan setelah kehidupan di
dunia ini. Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah
manusia diberi kebebasan unutuk mencari nafkah sesuai
dengan hokum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Hal
ini merupakan salah satu kewajiban asasi dalam Islam
21
BAB III
A. Pembentukan Khilafah
22
dimaksud oleh umat islam, dan satu-satu nya masa khalifah
terkait dengan kebenaran dan nilai-nilai yang spiritual. Khulafaur
rasyidin berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, yang terdiri
dari abu bakar berkuasa elama 2 tahun, umar bin khattab
berkuasa selama 10 tahun, usman bin affan yang berkuasa selama
12 tahun, dan ali bin abi thalib berkuasa selama tahu,. Keeempat
khalifah ini adalah sahabat dekat rasulullah saw. Bahkan khalifah
terakhir ali bin abi thalib adalah sepupu yang sekaligus menantu
rasulullah saw. Abu bakar dan umar adalah ayah mertua
rasulullah saw, sedangkan utsman adalah menantu rasulullah saw.
23
dirinya, yakni orang yang percaya kepada Nabi tanpa syarat dan
apa yang dai katakana tanpa bayang-baang keraguan, terutama
setelah informasi isra’ dan mi’raj dari mekah eru salem terus ke
surge dan kembali lagi ke mekah dalam satu malam (perjalanan
malam). Abu bakar adalah salah satu sahabat terdekat nabi dan
orang yang dipilih oleh Muhammad saw. Untuk menemaninya
pada saat hijrah ke Madinah kehormatan penting berikutnya
datang ketika Nabi Muhammad saw memilihna untuk menjadi
imam dlam shalat bejamaah ketika nabi Muhammad saw sakit.
24
memeluk islam, pengabdian penuh kepada gerakan islam sejak
masa awal, memiliki rasulullah saw. Menjadi imam shalat selama
rasulullah saw sakit, dan fakta bahwa ia telah disebut dalam al-
qur’an pada lebih dari satu kesempatan. Fakta-fakta ini tlah
memberi abu bakar prasyarat untuk melahirkan karakter
pemimpin yang karismatik.
25
tak terletakkan untuk meneknkan peran khusus zakat sebagai alat
alokasi dalam proses distribusi kekayaa dan kepedulian social.
Zakat merupakan pajak yang mmengalokasikan pendapatan yang
akan dibelanjaka dengan cara tertentu yang ditentukan dalam al-
qur’an. Keempat sumber daya keuangan Negara saat itu sangat
terbatas. Negara islam pada khulafaur rasyidin tidak sangat kaya,
sementara zakat merupakan sumber keuangan Negara saat itu.
Padahal pada saat yang yang sama umat islam saat itu sangat
membutuhkan bantuan keuangan yang berasal dari keuangan
Negara.
26
Pemikiran dan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh
Umar Bin Khattab sebenarnya merupakan refleksi dari pikirannya
sendiri. Pemikiran dan kebijakannya itu terkadang sesuai dengan
kebijakan Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar, tetapi terkadang
pula menyimpang dari kebijakan-kebijakan yang populis.
Perbedaan itu adalah perbedaan pendapat bukan perpecahan
prinsip. Semangat Islam sebagai agama dan sistem ekonomi
selalu diamati. Pemikiran ekonomi Umar Bin Khattab secara
global dapat dieksplorasi sebagai berikut.
27
diserahkan kepada pemilik asal. Kemudian pengelola tanah
dibebani kewajiban membayar pajak berupa pajak kharaj. Ada
beberapa pertimbangan Mengapa Umar Bin Khattab menetapkan
tanah rampasan perang menjadi hak negara.
28
muslim akan disibukkan terus dengan urusan ekspansi wilayah
dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengelola tanah.
Akibatnya tanah akan menganggur dan tidak produktif. Deskripsi
sejarah ini jelas menunjukkan bahwa Umar Bin Khattab telah
menegaskan pentingnya sumber daya alam sebagai alat produksi
dan berusaha untuk memaksimalkan kemanfaatan yang
dihasilkan dari sumber daya tersebut.
3. Distribusi Kekayaan
29
Selain zakat khums yaitu seperlima harta rampasan perang
dijadikan pula sebagai media untuk pendistribusian kekayaan
sebagaimana zakat alokasi harta khums juga telah ditetapkan oleh
Alquran, yakni "seperlima untuk Alla, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnussabil." QS. Al-
Anfal ayat 41.
4. Struktur Pajak
30
dikenakan pada seluruh pedagang luar muslim maupun non-
muslim yang memasuki wilayah kekuasaan Islam. Namun tarif
pajak antara Muslim dan nonmuslim dibedakan oleh Umar Bin
Khattab bagi pedagang muslim dikenakan pajak sebesar 2,5%
sedangkan kepada pedagang muslim dikenakan pajak sebesar 5%.
5. Belanja Negara
31
kenegaraan. Biaya administrasi negara dan perjalanan dinas
kenegaraan merupakan bagian dari belanja negara jenis biaya
operasional.
c. Pengeluaran investasi digunakan untuk melakukan
pembangunan fisik. Pembangunan jembatan, pemeliharaan
Jalan, menggali kanal dan sungai sungai merupakan jenis
belanja investasi. Pembangunan fisik itu dimaksudkan untuk
memperoleh keuangan di masa depan karena membangun
infrastruktur berarti mempelajari mekanisme bisnis.
D. Pemikiran Ekonomi Utsman Bin Affan
Dalam hal pribadi, Utsman bin Affan ini lebih mirip dengan
Abu Bakar daripada Umar Bin Khattab. Ada dua kepribadian
yang paling menonjol dari diri Utsman bin Affan, yakni lemah
lembut dan kedermawanan. Utsman bin Affan dikenal karena
toleransinya, kedekatannya, sifat lembut dan kerendahan hati
dengan sentuhan rasa malu dalam hal keutamaan memeluk Islam,
Khalifah Usman lebih dekat kepada khalifah pertama daripada
32
yang kedua. Ia adalah salah satu muslim awal dan di atas
semuanya Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang dipilih oleh
Nabi Muhammad SAW. untuk menulis ayat-ayat al-quran ketika
diwahyukan. Keunggulan utama dari Utsman bin Affan di bila
dibandingkan dengan yang lain adalah kepemilikan kekayaan.
Utsman bin Affan termasuk orang kaya pada zamannya
33
pembenaran. Dengan demikian, kebijakan ekonomi Utsman bin
Affan tinggal melanjutkan kebijakan khalifah sebelumnya.
34
pada masa Utsman bin Affan banyak individu-individu yang
menguasai tanah tanah milik Negara. Di satu sisi memang
mendatangkan kemajuan karena tanah tanah negara menjadi
produktif, tetapi disisi lain Kebijakan Utsman bin Affan ini telah
melahirkan sel dan isme di dunia Islam.
35
khalifah. Pernyataan ini Kemudian berimplikasi pada nepotisme
dalam skala yang lebih besar.
36
Rasulullah Saw dan para khalifah sebelumnya. Sedangkan aspek
pengetahuan, Ali bin Abi Thalib termasuk sahabat yang cerdas
bahkan rasulullah Saw menyebutnya sebagai “Gerbang
Pengetahuan”. Demikian pula dengan fitur keberaniannya,
Rasulullah Saw menyebutnya sebagai “Singa Allah”.
37
Hal lain yang bisa ditangkap dari dokumen itu bah Ali bin
Abi Thalib telah membuat struktur dalam kehidupan masyarakat.
Struktur yang dibangun itu terdiri dari sektor tentara, hakim,
pejabat eksekutif dan pegawai, petani, pedagang, industriawan
dan miskin, kaum fakir, kaum miskin dan orang cacat. Dalam
konteks ekonomi modern, struktur masyarakat yang dimaksudkan
oleh Ali bin Abi Thalib ini mirip dengan profesi dalam kehidupan
masyarakat. Menurutnya, antara satu sektor dengan sektor yang
lain saling ketergantungan bagaikan sebuah sistem.
38
keuntungan dan kemakmuran, baik bagi masyarakat maupun bagi
negara. Para pedagang adalah distributor harta, sementara pelaku
industri adalah produsen yang menciptakan dan mengadakan
barang. Apabila para pedagang dan pelaku industri itu
menyalahgunakan kekuatan ekonominya melalui kegiatan
monopoli yang dapat merugikan masyarakat, maka negara
memiliki kewajiban bertindak untuk menghentikannya dan
memperbaiki keadaan.
39
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa Ali bin Abi
Thalib telah menawarkan berbagai produk pemikiran terkait
dengan masalah ekonomi. Pemikiran yang utama adalah
pemikiran tentang sektor-sektor ekonomi yang muncul dalam
masyarakat. Sektor ekonomi itu, pada intinya, dapat dipilih pada
dua bagian besar, yakni sektor produksi barang dan jasa. Sektor
produksi barang bisa dalam bentuk pertanian dan industri,
sedangkan sektor jasa bisa dalam profesi sebagai tentara, hakim,
dan pegawai negeri lainnya.
Ali bin Abi Thalib wafat pada tahun 661 M. Kematian Ali
bin Abi Thalib ini bukan saja mengakhiri masa kepemimpinan
Khalifah yang keempat, tetapi juga akhir dari kepemimpinan
Khulafa’ al-Rasyidin. Kepemimpinan umat Islam berikutnya
berada dibawah kendali dinasti, dimana kepemimpinan
diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya, yakni Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
F. Kesimpulan
40
Namun demikian, dari masing-masing Khalifah Abu Bakar,
Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib
memiliki variasi dan spesifikasi tersendiri dalam kebijakan
ekonomi yang diambil. Pada masa Abu Bakar tidak begitu
banyak kebijakan ekonomi yang diambil karena pada masa
kepemimpinannya lebih banyak digunakan untuk menyelesaikan
masalah riddah, orang yang tidak mau membayar zakat, dan
orang yang mengaku sebagai nabi. Kebijakan ekonomi baru
banyak diambil oleh Umar Bin Khattab. Bahkan, Umar Bin
Khattab memiliki keberanian mengambil kebijakan yang berbeda
dengan kebijakan Rasulullah, seperti dalam kasus distribusi
Tanah Kharaj. Kebijakan ekonomi juga banyak diambil oleh
Utsman bin Affan terutama pada 6 tahun pertama kekuasaannya.
Namun kebijakan ekonomi ini semakin surut ketika Ali Bin Abi
Thalib menjadi khalifah karena kebijakan Ali bin Abi Tholib
lebih banyak untuk menyelesaikan konflik di antara umat Islam.
41
BAB IV
SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI
PADA MASA DINASTI UMAYYAH
42
juga berhasil mengadakan perluasan wilayah Islam dari Khurasan
sampai Sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan
laut Muawiyah juga dengan gagah berani menyerang
Konstantinopel, ibu kota Bizantium.
Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan
kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul
Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus
dan berhasil menundukkan Balkanabad (Turkeministan), Bukhara
(Uzbekistan), Khwarezmia (Iran), Fergana (Uzbekistan) dan
Samarkand (Uzbekistan). Tentaranya bahkan sampai ke India dan
menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke
Multan (Pakistan).
Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa
Bani Umayyah, Muawiyah selalu mengerahkan segala kekuatan
yang dimilikinya untuk merebut kekuasaan di luar Jazirah Arab,
antara lain upayanya untuk terus merebut kota
Konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabakan Muawiyah
terus berusaha merebut Byzantium. Pertama, karena kota tersebut
adalah merupakan basis kekuatan Kristen Ortodoks, yang
pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua,
orang-orang Byzantium sering melakukan pemberontakan ke
daerah Islam. Ketiga, Byzantium termasuk wilayah yang
memiliki kekayaan yang melimpah. Pada waktu Bani Umayyah
berkuasa, daerah Islam membentang ke berbagai negara yang
berada di benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah, juga terus
43
memperluas peta kekuasannya ke daerah Afrika Utara pada masa
Kholifah Walid bin Abdul Malik.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada
zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid
adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat
Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang
berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi
militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua
Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko
dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,
dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara
Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu
tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal
Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian,
Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Dalam peperangan
tersebut, tentara Kristen Spanyol di bawah pimpinan Raja
Roderick pun dapat dikalahkan oleh pasukan Islam yang
dipimpin Tariq bin Ziad. Dengan kekalahan itu, pintu untuk
memasuki Spanyol menjadi terbuka lebar. Toledo –yang
notabene ibukota Spanyol waktu itu—berhasil direbut.
Sedangkan kota-kota lain seperti Sevilla, Malaga, Elvira dan
Cordova, juga tak luput dari penaklukan tentara Islam.
Selanjutnya, Cordova kemudian menjadi ibukota
pemerintahan Islam yang tetap menginduk ke pusat pemerintahan
44
Islam di Kufah. Spanyol yang telah menjadi daerah Islam lantas
dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan Al-Andalus. Pasukan
Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat
kekejaman penguasa.
Pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik, pasukan
Islam juga berupaya melakukan ekspansi ke wilayah Perancis.
Saat itu, upaya ekspansi terutama dipimpin oleh Abdurrahman
bin Abdullah al-Ghafiqi. Ekspansi tersebut juga dilakukan al-
Ghafiqi karena termotivasi oleh kesuksesan penaklukan atas
Spanyol oleh Thariq bin Ziad dan Musa bin Nushair.
Bersama balatentaranya, al-Ghafiqi menyerang kota-kota
seperti Bordeux dan Poitiers. Dari kota Poiters, al-Ghafiqi
berangkat untuk menyerang kota Tours. Tetapi dalam perjalanan
itu antara kedua kota itu, ia ditahan oleh Charles Martel. Ekspansi
ke Perancis pun gagal. Al-Ghafiqi bersama pasukannya akhirnya
mundur kembali ke Spanyol. Meski sempat gagal karena ditahan
Charles Martel, pasukan Islam tetap berupaya menyerang
beberapa wilayah di Perancis, seperti Avignon dan Lyon pada
tahun 743 M.
Pada zaman Dinasti Umayah pula, pulau-pulau yang terdapat
di Laut Tengah, Majorca, Corsica, Sardinia, Crete, Rhodes,
Cypurs dan sebagian Sicilla juga berhasil ditaklukkan oleh
imperium Islam. Ekspansi yang dilakukan Dinasti Umayyah
inilah yang membuat Islam menjadi imperium besar pada zaman
45
itu. Berbagai bangsa yang melintasi berbagai ras dan suku di
berbagai pelosok dunia bernaung dalam satu pemerintahan Islam.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di
timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani
Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak,
sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Turkmenistan,
Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
B. Reformasi Administrasi Dinasti Umayyah
Pada masa pemerintahan khulafaur rasyidin (632-661 M),
pimpinan pemerintahan pusat hanya terdiri atas khalifah,
didampingi seorang pejabat yang disebut al-Katib (sekretaris). Di
samping khalifah ada majelis penasehat yang terdiri atas sahabat-
sahabat Nabi Muhammad. Al-Katib bertugas mencatat
penerimaan dan pengeluaran perbendaharaan negara. Mengurus
surat menyurat dengan pembesar setempat, mendata nama-nama
tentara dan penghasilannya.
Pada masa Dinasti Bani Umayyah, telah muncul persoalan-
persoalan yang cenderung membawa ketidakstabilan dan
perpecahan umat, seperti hancurnya teokrasi yang telah
mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, munculnya
anarkisme dan ketidak disiplinan kaum nomad. Di sisi lain
wilayah kekuasaan umat Islam pada masa Dinasti Umayyah,
menurut Annemarie Schimel: “Telah sampai ke Atlantic,
perbatasan Bizantium, Selat Gibraltar, (Jabal Tarik) tahun 711.
46
Pada tahun itu juga mereka juga menguasai Transoxiana, Sind,
serta Indusvalley (sekarang arah selatan Pakistan).
Adanya persoalan intern dan ekstern tersebut di atas
mengakibatkan terjadinya perkembangan administrasi
pemerintahan sesuai dengan perkembangan wilayah dan
perkembangan urusan kenegaraan yang semakin lama semakin
kompleks.
Pengelolaan administrasi dalam struktur pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah adalah merupakan penyempurnaan dari
pemerintahan khulafaur rasyidin yang diciptakan oleh Khalifah
Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu, sebagaimana periode
Madinah dibagi menjadi wilayah provinsi. Setiap provinsi
dikepalai oleh seorang gubernur atau amir yang diangkat oleh
khalifah. Gubernur didampingi seseorang atau beberapa orang
katib (sekretaris), seorang hajib (pengawal), dan pejabat-pejabat
penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib
al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepala keagamaan
dan hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh khalifah
dan bertanggung jawab kepadanya.
Pada tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lebaga
dan departemen, al-katib, al-hajib, dan diwan. Lembaga al-katib
terdiri dari katib al-rasail (sekretaris negara), katib al-kharaj
(sekretaris pendapatan negara), katib al-jund (sekretaris militer),
katib al-syurthat (sekretaris kepolisian), katib al-qadhi (panitera).
47
Para katib bertugas mengurusi administrasi negara secara
baik dan rapi untuk mewujudkan kemaslahatan negara. Al-hajib
(pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur
para pejabat atau siapapun yang bertemu dengan khalifah.
Lembaga ini belum dikenal di zaman negara Madinah, karena
siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan khalifah
tanpa melalui birokrasi. Tapi ada tiga orang yang boleh langsung
bertemu dengan khalifah tanpa hajib, yaitu muazin untuk
memberi tahukan waktu shalat pada khalifah, shahib al-barid
(pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk khalifah,
dan shahib al-tha’am, petugas yang mengurus hal ikhwal
makanan dalam istana.
Dalam bidang pelaksanaan hukum yaitu al-Nidzam al-
Qadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha dipimpin seorang
qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan membuat
peraturan-peraturan yang digali langsung dalam al-Qur’an,
sunnah Rasul, Ijma’, atau berdasarkan ijtihad. Badan ini bebas
dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum,
baik terhadap pejabat atau pagawai negara yang melakukan
pelanggaran. Pejabat badan al-Hisbat disebut al-Muhtasib,
tugasnya menangani kriminal yang perlu penyelesaian segera.
Sedang pejabat al- Mazhalim disebut qadhi al-mazhalim atau
shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi dari al-
qadha dan al-hisbat, karena badan ini bertugas meninjau kembali
48
akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang
dibuat oleh qadhi dan muhtasib.
Jika terjadi kasus tentang perkara yang keputusannya
dianggap perlu ditinjau kembali, baik rakyat maupun pejabat
yang menyalah gunakan jabatan, badan ini menyelenggarakan
mahkamah al-mazhalim yang mengambil tempat di masjid.
Sidang inni dihadiri oleh lima unsur lengkap yaitu para pembantu
sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib, dan para saksi.
Di dalam tubuh pemerintahan Bani Umayyah terdapat
beberapa diwan atau departeman yaitu:
1) Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat
negara dari khalifah kepada gubernur atau menerima surat-
surat dari gubernur. Departemen ini memiliki dua sekretariat,
untuk pusat menggunakan bahasa Arab, dan daerah
menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia.49 Philip K.
Hitti mengatakan bahwa:
The Arabization in changing the language of the public
registers (diwan) from Greek to arabic in Damascus and
from Pahlavi to Arabic in Al-Iraq and Easten provinces and
in the creation of an Arabic coinage with the charge in
personal naturally took place.
Berdasarkan kepada pendapat Philip K. Hitti di atas,
menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Abdul Malik
telah diterapkan peraturan gerakan Arabisasi yaitu dengan
hanya menggunakan bahasa Arab dalam penulisan surat-
49
surat negara. Bahkan pengaruh gerakan Arabisasi masih
terlihat hingga sekarang, sebagaimana yang dikemukakan
oleh M.A. Shaban: “this was most evident froom the fact that
the language of public record, which until then had been
copric, Greek, or Pahlavi change to Arabic”.
2) Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas
menyalin dan meregistrasi semua keputusan khalifah atau
oereturan- peraturan pemerintah untuk dikirim pada
pemerintah daerah.
3) Diwan al-Kharaj, departemen pendapatan negara yang
diperoleh dari kharaj, zakat, ghanimah, dan sunmber-sumber
lain. Semua pwmasukan dari sumber-sumber itu disimpan di
Baitul Mal.
4) Diwan al-Barid, departemen pelayanan pos, bertugas
malayani informasi tentang berita-berita penting dari daerah
kepada pemerintah pusat dan sebaliknya. Pelayanan ini sudah
diperkenalkan pada masa Mu’awiyah.
5) Diwan al-Jund, departemen pertahanan yang bertugas
mengorganisir militer.
Berangkat dari uraian di atas, terlihat bahwa perkembangan
administrasi pada masa Dinasti Bani Umayyah sudah
semakin kompleks, mengingat munculnya berbagai persoalan
yang crusial yang menuntut adanya kebijaksanaan-
kebijaksanaan. Namun secara prinsip kebijaksanaan yang
dilakukan Bani Umayyah adalah merupakan pengembangan
50
dan penyempurnaan dari administrasi ynang pernah
diciptakan oleh Khalifah Umar ibn Khattab.
C. Kebijakan Ekonomi Dinasti Umayyah
Sekalipun tidak langsung berhubungan dengan ekonomi,
dinasti umayyah telah mengambil beberapa kebijakan yang bias
memperlancar mekanisme ekonomi. Sebut saja kebijakan
mendirikan lembaga layanan pos dan pendirian biro negara tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan ekonomi. Tetapi
kehadiran dua pranata tersebut ternyata bisa memperlancar
mekanisme ekonomi, baik bagi negara maupun bagi masyarakat
pada umumnya . Namun demikian , ditemukan pula beberapa
kebijakan dinasti umayyah yang berhubungan langsung dengan
masalah ekonomi,seperti kebijakan moneter.
1. Munculnya Layanan Pos
Pada masa umayyah juga dibangun layanan pos sebagai alat
pertukaran informasi. Dengan adanya sistem ini, masyarakat bisa
dimudahkan untuk menyampaikan beberapa informasi kepada
keluarganya yang jauh. Layanan ni juga berdampak pada
komunikasi yang baik dalam bidang ekonomi. Jasa pos yang
digagas Muawiyyah ini kemudian ditata secara rapih pada masa
Abd-Malik. Pada saat itu jasa pos yang ditawarkan adalah antara
Damaskus dan Ibu kota provinsi lainnya.
Adapun media yang digunakan dalam proses pengantaran
surat-surat dandokumen lainnya dilakukan dengan menggunakan
hewan. Adapun hewan yang digunakan adalah ‘ fresh animals,
51
mules and horses in Persia, and camels in Syriaand Arabia’ Kuda
dan unta memang menjadi hewan yang biasa digunakansebagai
alat transportasi pada jaman tersebut. Namun memang proses
pengiriman tidak begitu singkat, melainkan butuh waktu yang
cukup lama untuk bisa menyampaikan sebuah surat.Selain
mengantarkan paket kiriman, para petugas pos pada masa tersebut
juga ditugasi untuk mencatat dan mengirimkan kepada khalifah
beberapa pristiwa penting yang terjadi di wilayah mereka masing-
masing. Dengan kata lain, dalam sistem pos yang digunakan
tidak sepenuhnya bersifat rahasia, namun ada beberapa kebijakan
untuk wajib lapor kepada khalifah.
2. Pendirian Biro Negara
Pembentukan biro negara bisa dikatakan telah dimulai oleh
khalifah umar bin khattab. Dengan kompleksitas administrasi
negara selama umayyah dan abbasiyah sebagai akibat dari
ekspansi negara, maka ada kebutuhan untuk membangun sistem
administrasi. Administrasi baru didirikan seperti biro
korespondensi (diwan al-rasail), dan biro segel (diwan al-khatim).
Fungsi utama biro korespondensi adalah: (a) mengawasi
korespondensi antara khalifah dan gubernur provinsi, (b)
menyimpan salinan dari surat keluar khalifah dalam file khusus
untuk kontrol dan referensi di masa mendatang, (c) mengawasi
arsip negara, (d) mengatur pengumuman dan pernyataan publik
yang dikeluarkan oleh khalifah untuk rakyatnya. Tujuan dari biro
segel yaitu: (a) mencegah penyalahgunaan cap persetujuan
52
khalifah, (b) memastikan bahwa surat khalifah yang di segel cap
khusus dan akibatnya, (c) mencegah operator dari membuka surat
dan mengubah isinya.
Sistem administrasi ini diorganisasi lebih lanjut pada masa
dinasti abbasiyah biro yang pertama terkait dengan urusan
administrasi, sedangkan biro yang terakhir berkaitan dengan
aspek pengawasan keuangan dan akuntansi berbagai kegiatan.
3. Reformasi Moneter
Seiring dengan perluasan wilayah kekuasaan, perubahan
signifikan dalam bidang moneter telah terjadi pada masa khalifah
umar bin khattab. Perubahan atau reformasi moneter pada masa
abdul malik, yang merupakan refleksi dari pembentukan
konsolidasi negara pada dinasti umayyah memilik konsekuensi
politik dan ekonomi. Diantara konsekuensi politik dan ekonomi
tersebut adalah: (1) penguatan kedaulatan negara sebagaimana
tercermin dalam mata uang sendiri yang independen, (2)
pengumpulan pajak pada unit moneter terpadu bukan mata uang
persia dan romawi di siria dan mesir, (3) penekanan lebih pada
kebutuhan akan penukaran uang, (4) munculnya bentuk
operasional perbankan, (5) penyebaran instrumen keuangan
seperti ruq’a (perintah pembayaran) dan sakk (penarikan uang).
4. Reformasi Budaya Pertanian
Dalam bidang pertanian, ada kebijakan reformasi yang cukup
hebat membantu warga dalam mengolah tanahnya. Hal ini
dilakukan dengan baik setelah dilakukan kebijakan pembatasan
53
urbanisasi. Pemerintahan pada masa Abd-al Malik membangun
perubahan atau mereformasi bidang pertanian. Jika sebelumnya
warga mengolah lahan pertanian mereka dengan bergantung pada
musim hujan,kini praktek bertani bisa dilakukan kapan saja
karena ketersediaan air yang cukup melimpah.Kebijakan yang
dilakukan adalah dengan menggali sejumlah kanal yang dialirkan
dari Sungai Tigris dan Efrat. Tanah rawa yang ada kemudian di
keringkan agar kemudian bisa dibajak. Selain itu, beberapa tanah
kering yang terlantar juga diairidan dioptimalkan sebagai lahan
pertanian.
Kebijakan ini memang cukup berpengaruh signifikan
terhadap kondisi prekonomian warga sehingga bisa menghasilkan
keuangan yang melimpah. Tidak hanya untuk warga namun juuga
masuk pada kas keuangan negara. Tekhnik pengairan yang
dilakukan pada zaman umayyah ini adalah yang terbaik dan tak
tertandingi pada masa itu khususnya di dinia timur. Kita maih
bisa lihat peninggalannya hingga saat ini yang masih berfungsi
dengan baik.
Oasis subur dan taman-tamannya yang indah adalah hasil
peninggalan pada dinasti umayyah. Disana, ada kanal yang
namanya Nahr-Yazid sebagai penghargaan terhadap khalifah
yazid sebagai pemimpin yang membuat kanal tersebut untuk
menyempurnakan irigasi di wilayah Gutah
54
5. Reformasi Fiskal
Pada masa umayah, ada juga kebijakan reformasi fiskal
degan merubah tata kelola keuangan. Reformasi fiskal ini
dilakukan setelah adanya pembatasan urbanisasi dan reformasi
budaya pertanian. Sebelumnya, memang ada kemudahan yang
diberikan pada umat islam khususnya warga arab asli seperti
bebas pajak. Berbeda dengan warga non muslim yang diwajibkan
untuk membayar pajak lebih besar.
Namun kemudian, ada kebijakan reformasi dimana hampir se
mua pemilik tanah baik muslim maupun non muslim diwajibkan
membayar pajak tanah.Kemudian, pada masa Umar bin Abdul
Aziz, beliau memiliki pandangan bahwa menciptakan
kesejahteraan masyarakat bukan dengan cara mengumpulkan
pajak,melainkan dengan mengoptimalkan kekayaan alam yang
ada. Umar percaya jika hal itu bisa dilakukan dengan
mengelola keuangan negara dengan efektif danefisien. Umar bin
Abdul Aziz tidak hanya layak disebut sebagai pemimpin negara,
tetapi juga sebagai fiskalis muslim. Dia mempunyai
kemamampuan untuk merumuskan, mengelola, dan memutuskan
kebijakan fiskal dengan baik.Kebijakan fiskal ini cukup
berdampak pada perekonomian warga sehingga banyaky ang
mendapatkan manfaat. Dalam bidang ekonomi, Umar bin Abdul
Aziz telah memberikan banyak sumbangan pemikiran yang
sangat bagus apalagi pemikiran tersebut telah berhasil diterapkan
dalam sistem ekonomi yang berkadilan.Dikabarkan pada masa
55
ini, Umar bin Abdul azis kesulitan untuk mendapatkan penerima
zakat. Ini bisa dijadikan indikator keberhasilan pemerintahannya
dalam menyejahterakan rakyatnya.
6. Urbanisasi dan Kegiatan Ekonomi
Kebijakan ini muncul akibat banyaknya orang yang baru
masuk islam terutama yang tinggal di Irak dan Khurasan, mereka
meninggalkan desa tempat mereka berkerja sebagai petani.
Mereka berbondong-bondong pergi ke kota dengan harapan bisa
bergabung menjadi prajurit. Tentu fenomena ini memberikan
dampak yang buruk terhadap pembendaharaan negara dimana
pemasukan keuangan menjadi berkurang. Al-Hajjaj (wakil Abd
Malik di irak kemudian membuat kebijakan untuk
mengembalikan orang-orang tersebut ke ladang-ladang mereka
untuk mengolah pertaniannya. Mereka kemudian kembali
diwajibkan untuk membayar pajak.
Warga irak berbondong-bondong ingin menjadi prajurit
dikarenakan mereka melihat ada keuntungan yang lebih yang
didapatkan oleh para prajurit waktu itu.Selain itu, mereka juga
melihat ada ketidakadilan dalam pembayaran pajak dimana pada
waktu itu oang-orang Islam-arab lebih mendapatkan
keistimewaan dibanding dengan islam wilayah lainnya. Namun
dengan adanya penyelesaian kasus ini, maka kemudian orang
Arab-Islam-pun kembali diwajibkan untuk membayar pajak
tanah.
56
D. Pranata Ekonomi Di Masa Bani Ummayah
Pada masa pra-Islam, uang Romawi dan Persia digunakan di
Hijaz, di samping beberapa uang perak Himyar yang bergambar
burung hantu Attic. Umar, Muawiyah, dan para khalifah
terdahulu lainya merasa cukup dengan mata uang asing yang
beredar, dan mungkin pada beberapa kasus, terdapat kutipan ayat
Al Quran tetentu pada koin-koin itu. Sejumlah uang emas dan
perak pernah dicetak sebelumnya pada masa Abd Al Malik, tetapi
cetakan itu hanyalah tiruan dari mata uang Bizantium dan Persia.
Pada tahun 695, Abd Al Malik mencetak dinar emas dan dirham
perak yang murni hasil karya orang Arab.
Di samping membuat uang Islam, dan melakukan arabisasi
administrasi keeajaan, Abd Al Malik juga mengembangkan
sistem layanan pos, dengan menggunakan kuda antara Damaskus
dan ibukota provinsi lainya. Layanan itu dirancang, terutama
untuk memenuhi kebutuhan transportasi para pejabat
pemerintahan dan persoalan surat-menyurat mereka. Semua
kepala pos bertugas untuk mencatat dan mengirimkan kepada
khalifah semua peristiwa penting yang terjadi di wilayah mereka
masing-masing.
Dalam kaitanya dengan perubahan mata uang, kita perlu
memperhatikan pembaruan sistem keuangan dan administrasi
yang terjadi pada masa ini. Pada dasarnya, tidak ada seorang
muslim pun, dari bangsa mana pun, yang dibebani membayar
pajak, selain zakat ataupun santunan untuk orang miskin,
57
meskipun pada praktikya, hak-hak istimewa sering diberikan
kepada segelintir orang Islam-Arab.
Bersadarkan teori itu, banyak orang yang baru masuk Islam,
terutama dari Irak dan Khursan, mulai meninggalkan desa tempat
mereka berkerja sebagai petani, dan pergi ke kota-kota, dengan
harapan bisa bergabung menjadi prajurit mawali. Fenomena ini
akhirnya menyebabkan kerugian ganda bagi perbendaharaan
kerajaan. Hal tersebut karena setelah masuk Islam, pendapatan
pajak sangat berkurang, dan setelah menjadi prajurit, mereka
berhak mendapatkan subsidi. Al Hajj kemudian membuat
kebijakan penting untuk mengembalikan orang-orang ke ladang-
ladang mereka, dan kembali mewajibkan mereka membayar
pajak tanah dan pajak kepala. Ia bahkan mengharuskan orang-
orang Arab yang menguasai tanah di wilayah wajib pajak untuk
membayar pajak tanah.
Setelah Daulah Umawiyah berhasil menguasai wilayah yang
cukup luas maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang
layak. Lalu lintas darat melalui jalan Sutera kr Tiongkok guna
memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan
wewangian. Perkembangan perdagangan itu telah mendorong
meningkatnya kemakmuran bagi Daulah Umawiyah Bidang-
bidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah
terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan
terhadap pembangunan sektor pertanian, beliau telah
58
memperkenalkan sistem pengairan bagi tujuan meningkatkan
hasil pertanian.
Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraf tangan
telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, kebijakan ekonomi
banyak dibentuk berdasarkan ijtihad para fuqoha dan ulama
sebagai konsekuensi semakin jauhnya rentang waktu (lebih
kurang satu abad) antara zaman kehidupan Rasulullah saw dan
masa pemerintahan tersebut.
Beberapa tradisi dan praktek yang di lakukan oleh Bani
Umayyah pada masa daulah al-Islam, yaitu:
a) Ketika diangkat menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz
mengumpulkan rakyat dan mengumumkan serta
menyerahkan seluruh harta kekayaan pribadi dan
keluarganya yang diperoleh secara tidak wajar kepada baitul
maal, seperti; tanah-tanah perkebunan di Maroko, berbagai
tunjangan yang di Yamamah, Mukaedes, Jabal Al Wars,
Yaman dan Fadak, hingga cincin berlian pemberian Al
Walid.
b) Selama berkuasa beliau juga tidak mengambil sesuatupun
dari baitul maal, termasuk pendapatan Fai yang telah menjadi
haknya.
c) Memprioritaskan pembangunan dalam negeri. Menurutnya,
memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan negeri-negeri
Islam adalah lebih baik daripada menambah perluasan
59
wilayah. Dalam rangka ini pula, ia menjaga hubungan baik
dengan pihak oposisi dan memberikan hak kebebasan
beribadah kepada penganut agama lain.
d) Dalam melakukan berbagai kebijakannya, Khalifah Umar bin
Abdul Aziz lebih bersifat melindungi dan meningkatkan taraf
hidup masyarakat secara keseluruhan.
e) Menghapus pajak terhadap kaum muslimin, mengurangi
beban pajak kaum Nasrani, membuat aturan takaran dan
timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa.
f) Memperbaiki tanah pertanian, menggali sumur-sumur,
pembangunan jalan-jalan, pembuatan tempat-tempat
penginapan musafir, dan menyantuni fakir miskin. Berbagai
kebijakan ini berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat
secara keseluruhan hingga tidak ada lagi yang mau menerima
zakat.
g) Menetapkan gaji pejabat sebesar 300 dinar dan dilarang
pejabat tersebut melakukan kerja sampingan. Selain itu pajak
yang dikenakan kepada non-muslim hanya berlaku kepada
tiga profesi, yaitu pedagang, petani, dan tuan tanah.
Dari perspektif Sejarah Peradaban Islam, pemerintahan Bani
Umayyah disebut sebagai masa keemasan pencapaian kejayaan
pemerintahan Islam. Meskipun masa pemerintahannya tidak
cukup satu abad (90-91 tahun), tetapi berbagai kemajuan yang
dicapai selama pemerintahan ini dapat dikatakan sangat luar biasa
termasuk ke dalamnya adalah kesuksesan dalam perluasan
60
wilayah pemerintahan Islam dan jumlah penduduk yang masuk
Agama Islam. Sebaliknya, disamping dicap sebagai pemerintahan
yang membidani lahirnya pemerintahan monarchie heredetis
(kerajaan turun temurun) juga seperti disebut oleh Dr.
Muhammad Quthb, bahwa pada masa kekhalifahan Umayyah
telah terjadi kemunduran Islam, sehingga pada saat berakhirnya
masa pemerintahaan ini muncul anggapan bahwa Islam akan
hilang dari permukaan bumi.
Dibandingkan dengan bidang-bidang keilmuan lain,
sumbangan pemerintahan kekhalifahan Bani Umayyah di bidang
ekonomi memang tidak begitu monumental, karena pada zaman
pemerintahan ini, pemikiran-pemikiran ekonomi lahir bukan
berasal dari ekonom murni intelektual muslim, tetapi berasal dari
hasil interpretasi kalangan ilmuan lintas-disiplin yang berlatar
belakang fiqh, Tasawuf, filsafat, sosiologi, dan politik. Namun
demikian, terdapat beberapa sumbangan pemikiran mereka
terhadap kemajuan ekonomi Islam, di antaranya adalah perbaikan
terhadap konsep pelaksanaan transaksi salam, murabaha, dan
muzara'ah, serta kehadiran Kitab al Kharaj yang ditulis oleh Abu
Yusuf yang hidup pada masa pemerintahan khalifah Hasyim
secara eksklusif membahas tentang kebijaksanaan ekonomi,
dipandang sebagai sumbangan pemikiran-pemikiran ekonomi
yang cukup berharga.
Perbaikan sistem politik negara pada masa Bani Umayyah
dilakukan dengan pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan.
61
Hal itu banyak membawa pengaruh positif bagi kehidupan
masyarakat terutama dengan dibentuknya Lembaga Keuangan
Negara (Nizam Mal), yang tugasnya adalah sbb :
a) Mengatur gaji tentara dan pegawai negara
b) Mengatur biaya tata usaha negara
c) Megatur biaya pembangunan sarana pertanian, seperti
penggalian terusan dan perbaikan sarana irigasi
d) Mengatur biaya untuk orang-orang hukuman dan tawanan
perang
e) Mengatur biaya untuk perlengkapan perangMengatur hadiah
untuk ulama dan satrawan negara
Dengan adanya lembaga keuangan tersebut pemerintah
mempu membangun panti untuk orang jompo, dan anak yatim.
Selain itu dibangun sarana-sarana umum, seperti masjid, jalan,
dan saluran air.
E. Kemajuan dan Kemunduran Perekonomian
pada Masa Dinasti Umayyah
Kemajuan pemerintahan bani umayah telah terjadi di
berbagai bidang, salah satunya yaitu bidang ekonomi. Di bidang
perekonomian, selama masa bani umayyah telah melahirkan
berbagai kebijakan yang membawanya pada arah kemajuan,
namun juga membawa pada arah kemunduran. Untuk lebih
mengetahui bagaimana perekonomin bani umayah terutama yang
membawanya pada kemajuan dan kemunduran, kali ini kami
62
akan membagikan keadaan ekonomi pada masa bani
umayyaheadaan Ekonomi Pada Masa Bani Umayyah
Ketika pemerintahan bani umayyah berada di tangan
Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan, kondisi dinasti umayah ini
relative stabil. Kondisi ini terjadi, karena bani Umayyah
mendapatkan dukungan al-hajjaj, seorang panglima penakluk
mekah yang bertangan besi, memimpin wilayah sebelah timur
yang merupakan propinsi yang sangat berbahaya dari segi
keamanan.
Dengan adanya kerjasama tersebut, menghasilkan
pemerintahan yang kuat yang ditandai dengan meningkatkan
anggaran pemerintahan untuk berbagai macam pekerjaan umum,
diantaranya adalah pembangunan prasarana dan masjid-masjid
diberbagai propinsi, dan yang terbesar ialah pembangunan Doem
of the rock (Qubbah al-Sahra) di atas masjid al-aqsha di
Jerusalem.
Upaya pembangunan prasarana di atas, menjadikan pertanian
dapat berkembang dengan pesat hasil uang menonjol seperti
gandum, padi, tebu, jeruk, kapas, dan sebagainya. Demikian juga,
industri kulit, dan tenun mengalami kemajuan yang cukup bagus.
Hasil pertanian dan perindrustrian dipasarkan sampai ke india dan
Asia Tenggara.
Pengganti khalifah Abd al-Malik adalah anaknya yang
bernama Walid ibn Abd al-Malik, yang mewarisi dua hal penting.
Pertama, kekayaan yang melimpah dari hasil berbagai
63
penaklukan. Kedua, mata uang arab yang telah dibakukan.
Karena itu, masa pemerintahan Walid ini dipandang sebagai
puncak kejayaan dinasti umayah, sedangkan pada masa-masa
kekalifahan sesudahnya mulai terlihat tanda-tanda kemerosotan
dan hampir tak terlihat lagi peristiwa-peristiwa penting yang
dapat dikatakan sebagai kemajuan ekonomi. Di zaman walidlah
ekspansi pasukan islam ke wilayah barat dilakukan.
1. Faktor Kemajuan Ekonomi Pada Masa Daulah Bani
Umayyah
Selama dinasti bani Umayyah memerintah, kemajuan di
bidang ekonomi didukung oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mendukung kemajuan bani Uamyyah antara lain:
a. Kemajuan perekonomian dari sektor perdagangan.
Setalah daulah Umayyah berhasil menguasai wilayah yang
cukup luas, maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang
layak, baik melalui jalan darat maupun laut. Pada jalan darat umat
islam mendapatkan keamanan untuk melewati jalan sutra menuju
tiongkok guna memperlancar perdagangan sutra, keramik, obat-
obatan, dan wangi-wangian. Pada jalur laut kea rah negeri-negeri
belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi,
permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan. Sehingga dengan
demikian basrah di teluk Persia pada saat itu menjadi pelabuhan
dagang yang cukup ramai.
64
b. Kemajuan perekonomian dari sektor pertanian dan industry.
Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan
terhadap pembagunan di sector pertanian, beliau telah
memperkenalkan sistem irigrasi (pengairan) yang bertujuan
meningkatkan hasil pertanian.
c. Kemajuan perekonomian dari sektor reformasi fiscal.
Selama pemerintahan Umayyah semua pemilik tanah baik
yang muslim dan nonmuslim, diwajibkan membayar pajak tanah,
sementara itu pajak kepala tidak berlaku lagi bagi penduduk
muslim, sehingga banyak penduduk yang masuk islam secara
ekonomi hal ini yang melatar belakangi berkurangnya
penghasilan Negara. Namun demikian, dengan keberhasilan
Umayyah melakukan penaklukan imperium Persia dan
Byzantium maka sesungguhnya kemakmuran daulah ini sudah
melimpah ruah. Pada masa umar bin abdul aziz, beliau memiliki
pandangan bahwa menciptakan kesejahteraan masyarakat bukan
dengan cara mengumpulkan pajak sebanyak-banyaknya seperti
yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelum Umar,
melainkan dengan mengoptimalkan kekayaan alam yang ada, dan
mengelola keuangan Negara dengan efektif dan efisien.
Keberhasila dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat inilah
yang membuat Umar Bin Abdul Aziz tidak hanya disebut sebagai
pemimpin Negara, tetapi juga sebagai fiskalis muslim yang
mampu merumuskan, mengelola, dan mengeksekusi kebijakan
fiskal pada masa kekhalifahannya.
65
d. Kemajuan perekonomian dari sektor pembuatan mata uang.
Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86H),
beliau membuat kebijakan untu memakai mata uang sendiri.
Pemrintah saat itu mendirikan tempat percetakan mata uang di
Daar idjard. Mata uang dicetak secara terorganisir dengan control
pemerintah, kemudian pada tahun 77H/697M, khalifah Abdul
Malik mencetak dinar khusus yang bercorak islam yang khas,
berisi teks islam, ditulis dengan tulasan kufi. Gambar-gambar
dinar lam diubah dengan lafadz-lafadz islam seperti Allahu Ahad,
Allah Baqa’. Sejak saat itulah umat islam memiliki dinar dan
dirham islam sebagai mata uangnya dan meninggalkan dinar
Bezantium dan dirham Kirsa.
2. Faktor Kemunduran Ekonomi Pada Masa Daulah Bani
Umayyah
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dinasti bani
umayyah telah mengalami kemunduran dan kehancuran. Ada
beberapa faktor yang menjadi alasan kemunduran dan
kehancuran bani umayyah, antara lain:
a. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan. Sistem
pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu
yang baru bagi tradisi arab yang lebih menekankan aspek
senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan system
pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
66
b. Pertentangan etnis antara suku Arab Utara (Bani Qays) dan
Arabia selatan (Bani Kalb). Pada masa kekuasaan Bani
umayyah, pertentangan etnis antara suku Arab Utara (Bani
Qays) dan Arabia selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak
zaman sebelum islam, makin meruncing. Perselisihan ini
mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat
kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di
samping itu, sebagian besar golongan mawali (non-Arab),
terutama di irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa
tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu
inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa arab yang
diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
c. Gerakan para golongan syi’ah dan khawarij. Latar belakang
terbentuknya dinasti umayyah tidak bisa dipisahkan dari
konflik-konflik politik yang terjadi yang terjadi dimasa Ali.
Sisa-sisa syi’ah (para pengikut Ali) dan khawarij terus
menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka, seperti di masa
awal dan akhir maupun secara sembunyi seperti dimasa
pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan
gerakan-garakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
d. Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan
Al-Abbas ibn Abd Al-Almunthalib. Penyebab langsung
tergulingnya kekuasaan dinasti umayyah adalah munculnya
kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn
Abd Al-Almunthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh
67
dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawali
yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Umayyah.
e. Sikap hidup yang mewah di lingkungan istana. Lemahnya
pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh
sikap hidup yang mewah di lingkungan istana sehingga anak-
anak khalifah tidak sanggup mewarisi kekuasaan. Di
samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena
perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat
kurang.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi
satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti
Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan Orang-orang
Bani Abbasiyah yang menjalar-jalar dan membunuh setiap orang
dari Bani Umayyah yang dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin
Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifahan
sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang
melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah
diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyah pada Masa Khalifah
Marwan bin Muhammad pada tahun 127 H/744 M, (Khalifah
terakhir dari Bani Umayyah).
F. Kesimpulan
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah
merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi
(sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani
68
Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya,
tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana
dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin.
Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun
mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan
jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam
pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Kekuasaan Bani
Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali
dilanjutkan oleh Dinasti umayyah. Sehingga kekuasaan Islam
betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol,
Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan,
dan Kirgistan di Asia Tengah.
Perkembangan dalam bidang administrasi dinasti umayyah
sudah semakin kompleks. Namun secara prinsip perkembangan
dan kebijaksanaan administrasi pada dinasti ini adlah merupakan
penyempurnaan administrasi yang pernah dikelola oleh Khalifah
Umar ibn Khattab.
Dinasti Umayyah telah mengambil beberapa kebijakan yang
bisa memperlancar mekanisme ekonomi baik bagi Negara
maupun bagi masyarakat pada umumnya. Yaitu kebijakan
mendirikan lembaga layanan pos dan pendirian biro Negara, tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan ekonomi. Kebijakan
69
dinasti umayyah yang berhubungan langsung dengan masalah
ekonomi seperti kebijakan moneter.
Pada masa Daulah Umayyah keadaan ekonominya
tergantung pada pemasukan pertanian, seperti gandum, padi,
tebu, jeruk, kapas, dan sebagainya. Pembangunan prasarana dan
masjid-masjid diberbagai propinsi, dan yang terbesar ialah
pembangunan Doem of the rock (Qubbah al-Sahra) di atas masjid
al-aqsha di Jerusalem. Ini semua disebabkan kerjasama yang
dilakukan dengan baik antara Abd al-Malik dan al-hajjaj. Setelah
Abd al-Malik lengser dari jabatannya sebagai khalifah kemudian
digantikan oleh anaknya yang bernama Walid ibn Abd al-Malik.
Yang mana pada masa perintahannya mengalami puncak
kejayaan Daulah Umayyah.
Ada beberapa factor yang menjadi penyebab kemajuan
daulah Umayyah. Secara garis besar yaitu pada bidang
perdagangan, bidang Pertanian dan industry, Reformasi fiscal dan
Pembuatan mata uang. Sedangkan factor yang menjadi penyebab
runtuhnya Daulah Umayyah adalah system pemerintahan yang
turun temurun, gaya hidup mereka yang bermewah-mewahan,
terjadinya peperangan yang sangat panjang sehingga
menyebabkan krisis ekonomi. Dan munculnya kekuatan baru
yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-
Almunthalib.
70
G. Kesimpulan
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah
merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi
(sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani
Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya,
tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana
dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin.
Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun
mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan
jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam
pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Kekuasaan Bani
Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali
dilanjutkan oleh Dinasti umayyah. Sehingga kekuasaan Islam
betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol,
Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan,
dan Kirgistan di Asia Tengah.
Perkembangan dalam bidang administrasi dinasti umayyah
sudah semakin kompleks. Namun secara prinsip perkembangan
dan kebijaksanaan administrasi pada dinasti ini adlah merupakan
penyempurnaan administrasi yang pernah dikelola oleh Khalifah
Umar ibn Khattab.
Dinasti Umayyah telah mengambil beberapa kebijakan yang
bisa memperlancar mekanisme ekonomi baik bagi Negara
71
maupun bagi masyarakat pada umumnya. Yaitu kebijakan
mendirikan lembaga layanan pos dan pendirian biro Negara, tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan ekonomi. Kebijakan
dinasti umayyah yang berhubungan langsung dengan masalah
ekonomi seperti kebijakan moneter.
Pada masa Daulah Umayyah keadaan ekonominya
tergantung pada pemasukan pertanian, seperti gandum, padi,
tebu, jeruk, kapas, dan sebagainya. Pembangunan prasarana dan
masjid-masjid diberbagai propinsi, dan yang terbesar ialah
pembangunan Doem of the rock (Qubbah al-Sahra) di atas masjid
al-aqsha di Jerusalem. Ini semua disebabkan kerjasama yang
dilakukan dengan baik antara Abd al-Malik dan al-hajjaj. Setelah
Abd al-Malik lengser dari jabatannya sebagai khalifah kemudian
digantikan oleh anaknya yang bernama Walid ibn Abd al-Malik.
Yang mana pada masa perintahannya mengalami puncak
kejayaan Daulah Umayyah.
Ada beberapa factor yang menjadi penyebab kemajuan
daulah Umayyah. Secara garis besar yaitu pada bidang
perdagangan, bidang Pertanian dan industry, Reformasi fiscal dan
Pembuatan mata uang. Sedangkan factor yang menjadi penyebab
runtuhnya Daulah Umayyah adalah system pemerintahan yang
turun temurun, gaya hidup mereka yang bermewah-mewahan,
terjadinya peperangan yang sangat panjang sehingga
menyebabkan krisis ekonomi. Dan munculnya kekuatan baru
72
yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-
Almunthalib.
LATIHAN SOAL
73
BAB V
74
karena para pendiri dan penguasa ini adalah keturunan al-Abbas
paman nabi Muhammad SAW.
75
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani
Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari
cabang Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat dengan Nabi
Muhammad SAW. Menurut mereka, orang Bani Umayyah secara
paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh
karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka
mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan pemberontakan
terhadap Bani Umayyah.
76
keturunan Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya golongan ini
memakai nama Bani Hasyim, belum menonjolkan nama Syi’ah
atau Bani Abbas, tujuannya adalah untuk mencari dukungan
masyarakat. Bani Hasyim yang tergabung dalam gerakan ini
adalah keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Abbas Bin Abdul
Muthalib. Keturunan ini bekerjasama untuk menghancurkan Bani
Umayyah.
77
pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum
akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul
Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika ia telah
mengetahui bahwa ia akan di eksekusi dan memerintahkan untuk
pindah ke Koufah.
78
dengan pasukan Abdullah bin Ali di tepi sungai Al-Zab Al-
Shagirdi, Iran. Marwan bin Muhammad terdesak dan melarikan
diri ke Mosul, kemudian ke palestina, Yordania dan terakhir di
Mesir.
79
bin Muhammad diangkat dan dibai’ah menjadi khalifah, dalam
pidato pembaitan tersebut, ia antara lain mengatakan:
80
1. Para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal
di Damaskus.
2. Kota Koufah jauh dari Persia, walaupun orang-orang Persia
merupakan tulang punggung Bani Abbas dalam
menggulingkan Bani Umayyah
3. Kota Damaskus terlalu dekat dengan wilayah kerajaan
Bizantium yang merupakan ancaman bagi
pemerintahannnya, akan tetapi pada masa
pemerintahankhalifah Al-Mansur (754-775 M) dibangun
kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbas yang
baru.
81
pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim
(alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan
bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan
anak-anaknya. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial dan budaya.
Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan
Koufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas as-
Saffah (750-754 M) sebagai khalifah pertama. Akan tetapi
pemerintahannya begitu singkat, as-Saffah meninggal (754-755
M) karena terkena cacar air ketika berusia
30an. Kemudian khalifah penggantinya adalah saudara sendiri
Abu Ja’far An-Mansur (754-755 M) memindahkan pusat
pemerintahan ke Baghdad. Kekhilafaan ini lahir setelah
melakukan perjuangan panjang dan revolusi sosial melawan
kehilafahan Dinasti Umayyah. Pendirian dinasti ini sebagai
bentuk reaksi terhadap kehilafahan Bani Umayyah yang
mengalami kemerosotan dimata rakyat. Obsesi kehilafahan ini
adalah jika Dinasti Umayyah pemerintahannya bercorak Arab,
Militeristik dan sekularistik. Maka pemerintahan Dinasti
Abbasiyah bercorak pluralistik etnis, saintifik dan religius.
Pada Masa pemerintahan dua khalifah yang pertama Abu
Abbas As-Saffah (750-754 M) dan saudaranya Abu Ja’far Al-
Mansur (754-775 M) merupakan masa pembentukan dan
konsolidasi orientasi pemerintahan. Di antara kedua khalifah ini
82
Al-Mansurlah yang paling gigih dan pembina yang sesungguhnya
di Dinasti Abbasiyah. Untuk memantapkan posisi Dinasti ia
menghadapi lawan-lawannya dengan keras seperti Bani
Umaiyyah, Khawarij dan Syi’ah. Untuk mengokohkan posisi
dinastinya, Al-Mansur mulai mengambil strategi yang berbeda
dengan Dinasti Umayyah yang bercorak ke Arab-an. Ia
mengambil hubungan dengan Persia dan melengkapi struktur
pemerintahan. Pertama ia memindahkan ibukota dari Damaskus
ke Baghdad, dekat ibukota Persia, Ctesiphon, pada 762
M. Kedua tentara pengawal tidak lagi diambil lagi dari orang-
orang Arab tetapi dari orang-orang Persia. Ketiga seperti dalam
administrasi pemerintahan Persia, Al-Mansur membuat tradisi
baru mengangkat wazir (Menteri) yang membawahi kepala-
kepala Departemen yaitu Khalid Bin Barmak seorang dari Balkh
di Persia. Keluarga Khalid bin Barmak ini kelak menjadi salah
satu sumber perkembangan ilmu pengetahuan di Bani Abbas.
Saat propaganda Abbasiyah sampai ke khurasan, Khalid bin
Barmak merupakan propagandis Abbasiyah paling besar.
Kemudian Abu Abbas As-saffah mengangkatnya sebagai menteri
sehingga Khalid Bin Barmak memegang banyak kedudukan
dengan catatan baik dan ia memegang pemerintahan dengan
terpuji hingga meninggal dunia tahun 163 H.
Pada 7 Oktober 775 M, Al-Mansur meninggal di dekat
Mekkah dalam perjalanan ibadah haji ketika usianya lebih dari 60
tahun. Pengganti Al-Mansur yakni Al-Mahdi (775-785)M, Al-
83
Mahdi mempercayakan pendidikan anaknya, Harun kepada putra
Khalid Bin Barmak yakni Yahya bin Khalid Al-Barmaki.
Kemudian Khalifah Al-Mahdi meninggal ketika sedang berburu
dan jatuh dari kuda yang ditungganginya.
Pengganti Al-Mahdi ialah Al-Hadi sebagaimana wasiat yang
diterima dari Ayahnya bahwa sepeninggalnya dialah yang
menjadi khalifah sedangkan saudaranya yang bernama harun Ar-
Rasyid akan memangku jabatan khalifah pada masa berikutnya.
Al-Hadi meninggal pada malam sabtu 16 Rabiul Awal 170 H
yakni pada umur 26 tahun, Sesudah memerintah dinasti
Abbasiyah selama satu tahun tiga bulan akibat diracun oleh
ibunya sendiri Khaizuran. Sebelum khalifah Al-Hadi meninggal
khalifah Al-Hadi berbuat tidak jujur dan menyalahi wasiat
ayahnya. Dengan keinginannya untuk mengangkat anaknya
sendiri bernama Ja’far yang masih dibawah umur sebagai
penggantinya nanti dan mengucilkan Harun. Semula maksudnya
itu disetujui oleh pembesar-pembesar istananya. Hanya seorang
dari mereka yang tidak menyetujuinya yaitu Yahya bin Khalid
Al-Barmaki yang berani menasehati agarkhalifah Al-Hadi
mengurungkan niatnya karena Ja’far masih kanak-kanak. Akan
tetapi nasehat itu tidak diindahkannya. Bahkan Yahya sendiri
dimasukkan ke dalam penjara dan akan dibunuhnya. Akan tetapi
beruntung niat khalifah Al-Hadi tidak terlaksana
karena khalifah Al-Hadi telah menemui ajalnya. Kemudian
kepemimpinan dinasti Abbasiyah digantikan oleh khalifah Harun
84
Ar-Rasyid. Bukan anaknya Khalifah Al-Hadi karena anak Al-
Hadi masih kecil.
Ketika Harun menjadi khalifah ia juga mengangkat
keturunan Barmak yang tetap ia panggil bapak dengan penuh
hormat, yakni Yahya bin Khalid bin Barmak sebagai wazir
dengan kekuasaan yang terbatas. Yahya bin Kalid bin Barmak,
putra khalid bin Barmak adalah manusia paling tinggi moralnya,
keutamaannya dan kemurahan hatinya. Ia menduduki jabatan
sejak tahun 158 H, ia dicintai dan dia sendiri yang berperan
mendidik Harun Ar-Rasyid, Yahya juga adalah sosok yang
memberi kuasa kepada Harun Ar-Rasyid menjadi khalifah
meskipun ia tidak disukai Al-Hadi.
C. Masa Kekuasaan Bani Abbasiyah
Selama dinasti Bani Abbasiyah berdiri pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerinthan itu, para
sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada
empat periode :
1) Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya Dinasti
Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai
meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
2) Masa Abbasiayah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil
pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya Daulah
Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
85
3) Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya Daulah
Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai masuknya kaum
Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M.
4) Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya kaum saljuk di
Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya Baghdad
ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan
pada tahun 656 H/1258 M.
a. Masa Abbasiyah I ( 132 H/750 M-232 H/847 M )
Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan
berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya khalifah Al-
Watsiq. Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan Bani
Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena keberhasilannya
memperluas wilayah kekuasaan.
Wilayah kekuasaannya membentang dari laut Atlantik
hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga ke sungai Nil.
Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi
dalam penyebaran Islam mereka adalahkhalifah Abul Abbas ash-
shaffah(750-754 M), Al-Mansyur ( 754-775 M), Al-Mahdi (775-
785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M),
Al-Amin (809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Ibrahim (817 M),
Al-Mu’tasim (833-842 M), dan Al-Wasiq (842-847 M).
b. Masa Abbasiyah II ( 232 H/847 M-334 H/946 M)
Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq
dan berakhir ketika keluarga Buwaihiyah bangkit memerintah.
86
Sepeninggal Al-asiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi khalifah,
masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki.
Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para jendral yang
berasal dari Turki berhasil mengontrol pemerintahan. Ada empat
khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol pemerintahan dari
pada pemerintahanyang efektif, keempat pemerintahan itu adalah
Al-Muntasir (861-862 M ), Al-Musta’in (862-866 M), Al-Mu’taz
(866-896 M), dan Al-Muhtadi (869-870 M). Masa pemerintahan
ini dinamakan masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar keseluruh
wilayah sehinngga banyak wilayah yang memisahkan diri dari
wilayah Bani Abbas dan menjadi wilayah merdeka seperti
Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.
c. Masa Abbasiyah III (334 H/946 M -447 H/1055 M)
Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah,
yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah Al-Muktafi (946 M)
sampai dengan khalifah Al-Qaim (1075 M). Kekuasaaan
Buwaihiyah sampai ke Iraq dan Persia barat, sementara itu Persia
timur, Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah
kekuasaan Dinasti Samaniah beralih kepada Dinasti Gaznawi.
Kemudian sejak tahun 869 M, dinasti Fatimiyah berdiri di Mesir.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa
Turki. Untuk keselamatan, khalifah meminta bantuan kepada
Bani Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa
karena mereka masih menguasai Baghdad yang merupakan pusat
dunia islam dan menjadi kediaman Khalifah
87
Pada akhir Abad kesepuluh, kedaulaulatan Bani Abbasiyah
telah begitu lemah hingga tidak memiliki kekuasaan diluar kota
Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah menjadi
dinasti Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di
Khurasan (874-965 M), dinasti Hamdaniayah di Suriah (924-
1003 M), dinasti Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti
Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dan dinasti Gaznawi di
Afganistan (962-1187 M).
d. Masa Abbasiyah IV (447 H/1055 M -656 H/1258 M )
Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan
mengambil alih pemerintahan Abbasiyah. Masa seljuk berakhir
pada tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol
menyerang serta menaklukkan Baghdad dan hampir seluruh
dunia Islam terutama bagian timur.
D. Perkembangan Ekonomi Dinasti Abbasiyah
1. Kegiatan Ekonomi
Pada masa dinasti Abbasiyah ini telah terjadi spesialisasi dari
profesi sebagai konsekuensi dari perbedaan kondisi geografis.
Pada kondisi geografis wilayahnya berupa padang pasir, maka
kegiatan ekonomi yang banyak ditekuni masyarakat adalah
perdagangan. Dengan sendirinya di daerah ini profesi yang paling
banyak adaah profesi pedagang. Di wilayah yang subur kegiatan
ekonomi yang banyak ditekuni masyarakat adalah pertanian,
perkebunan, dan perternakan. Sebagai konsekuensi logis dari
bervariasinya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat
88
maka produk yang dihasilkannya menjadi bervariasi. Keragaman
ini dapat dikaitkan dengan dua alasan utama; lokasi geografis
yang luas dan perdagangan yang aktif. Lokasi geografis yang luas
dari negara memungkinkan penggabungan berbagai musim dan
kondisi cuaca yang pada gilirannya memungkinkan menghasilkan
berbagai produk.
Di samping itu, perluasan perdagangan antardaerah serta
dengan negara lain telah membantu untuk menciptakan kondisi
bagi keragaman aktivitas ekonomi dan produk yang dihasilkan.
Jalur perdagangan yang membentang dari India di Timur hingga
ke Mesir di Barat telah menampilkan berbagai aktivitas ekonomi
dan menawarkan sejumlah komoditas yang bervariasi. Pada ute
perdagangan itu, terutama di pasar-pasar sebagai tempat
bertemunya penjual dan pembeli, akan ditemukan
keanekaragaman komoditas yang diperjualbelikan.
Keanekaragaman komoditas ini, pada gilirannya, mencerminkan
variasi kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat dalam
kapasitasnya sebagai produsen.
2. Peningkatan Kekayaan Negara
Peningkatan penerimaan negara dari zaman Khulafa al-
Rasyidin sampai dinasti Abbasiyah, mencapai apa yang dikenal
sebagai zaman keemasan, pendapatan negara mengalami
peningkatan yang sangat dramatis. Kenaikan ini mereflesikan
pertumbuhan ekonomi, baik negara secara keseluruhan maupun
masyarakat secara personal-personal. Kekayaan negara, terutama
89
yang bersumber dari pajak, pada masa dinasti Abbasiyah
mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Persoalan pajak
pada masa ini tampaknya telah mendapatkan perhatian yang
sangat serius. Hal ini disebabkan karena masalah regulasi pajak
semakin hari semakin bias. Ada ketidakjelasan terkit dengan
masalah tarif pajak, basis pajak, efesiensi pengumpulan pajak,
alokasi beban pajak, efesiensi distribusi penerimaan pajak, dan
sebagainya.
3. Perubahan Struktur Kepemilikan Tanah
Ada tiga isu utama yang muncul pada masa Dinasti
Abbasiyah yang terkait dengan struktur kepemilikan tanh antara
Muslim dan non-Muslim. Perrtama, hak umat Islam untuk
memperoleh tanah dari non-Muslim, hak pengelolaan menjadi
lebih penting selama Bani Ummayah dan Abbasiyah. Kedua, hak
khalifah untuk memberikan tanah muslim sebagai penghargaan
atas jasa. Ketiga, hak kepemilikan atas tanah yang tidak ada
pemilik sebelumnya yang diabikan oleh siapa pun untuk
dihidupkan kembali. Penggeserah gak milik ini, akan mengubah
pula jenis pajak yang akan diterima oleh negara. Apabila tanah
itu milik negara dan dikelola oleh individu, maka pajak yang
diterima oleh negara adalah pajak Kharaj.
Perkembangan peradaban Islam terjadi pada banyak sektor
terutama pada periode awal Dinasti Abbasiyah. Upaya ke arah
kemajuan ini sebenarnya sudah mulai sejak masa pemerintah al-
Mansur. Yaitu dengan dipinahkannya pusat pemerintahan ke
90
Baghdad tiga tahun setelah dia dilantik
menjadi khalifah. Dijadikannya kota Baghdad sebagai pusat
kendali pemerintahan itu mempunyai arti tersendiri bagi
perkembangan dan kemajuan di bidang ekonomi. Baghdad
merupakan sebuah kota yang terletak di daerah yang sangat
strategis bagi perniagaan dan perdagangan. Sungai Tigris bisa
dilayari sampai kota ini. Begitu juga terdapat jalur pelayaran ke
sungai Eufrat yang cukup dekat, sehingga barang-barang
perdagangan dan perniagaan dapat diangkut mengalir menghilir
sungai Eufrat dan Tigris dengan menggunakan perahu-perahu
kecil. Di samping itu, yang terpenting adalah terdapatnya jalan
nyaman dan aman dari semua jurusan.
Baghdad akhirnya menjadi daerah yang sangat ramai karena
di samping sebagai ibukota kerajaan juga sebagai kota niaga yang
cukup marak pada masa itu. Dari situlah negara akan dapat devisa
yang sangat besar jumlahnya.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban pada masa
Dinasti Abbasiyah, diiringi pula dengan bertambahnya jumlah
penduduk , yang di mana semakin pesat pertumbuhan penduduk
maka semakin besar dan banyak pula faktor permintaan
pasar (demand). Hal ini pada gilirannya memicu produktivitas
ekonomi yang tinggi.
Adapun komoditi yang menjadi primadona pada masa itu
adalah bahan pakaian atau tekstil yang menjadi konsumsi pasar
asia dan eropa. Sehingga industri di bidang penenunan seperti
91
kain, bahan-bahan sandang lainnya dan karpet berkembang pesat.
Bahan-bahan utama yang digunakan dalam industri ini adalah
kapas, sutra dan wol. Industri lain yang juga berkembang pesat
adalah pecah belah, keramik dan parfum. Di samping itu
berkembang pula industri kertas yang dibawa ke Samarkand oleh
para tawanan perang Cina tahun 751 M. Di Samarkand inilah
produksi dan ekspor kertas dimulai. Hal ini rupanya mendorong
pemerintah pada masa Harun al-Rasyid melaluiwazirnya Yahya
untuk mendirikan pabrik kertas pertama di Baghdad sekitar tahun
800M. Komoditas lain yang berorientasi komersial selain logam,
kertas tekstil, pecah belah, hasil laut dan obat-obatan.
Kemajuan di bidang ekonomi tentunya berimbas pada
kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Puncak kemakmuran
rakyat dialami pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan
putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang melimpah
pada masa ini digunakan untuk kegiatan-kegiatan di berbagai
bidagn seperti sosial, pendidikan, kebudayaaan, ilmu
pengetahuan, kesehatan, kesusastraan dan pengadaan fasilitas-
fasilitas umum. Pada masa inilah berbagai bidang-bidang tadi
mencapai puncak keemasannya.
E. Kesimpulan
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh
Abul Abbas Ash-shaffah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama.
Kekuasaan Bani Abbasiyah melewati rentang waktu yang sangat
panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258
92
M. Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan
pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim
(alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan
bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan
anak-anaknya. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial dan budaya.
Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam
yang merupakan masa keemasan dan kejayaan dari peradaban
Islam yang pernah ada. Pada masa Bani Abbasiyah kekayaan
negara melimpah ruah dan kesejahteraan rakyat sangat tinggi.
Pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang pesat sehingga
pada masa ini banyak muncul para tokoh ilmuan dari kalangan
Ummat Islam, baik itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum
seperti ilmu kedokteran yang telah mencetak dokter seperti Ibnu
Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lainnya, sehingga pada masa ini telah
ada lebih dari 800 dokter yang berada di kota Baghdad. Dalam
bidang matematika melahirkan ilmuan bernama Al-Khawarizmi
yang merupakan penemu angka Nol. Demikian juga dari biang
ilmu agama, adanya perkembangan ilmu tafsir, ilmu kalam,
filsafat Islam, dan ilmu tashawuf, yang juga melairkan tokoh-
tokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa pemerintahan
khalifah Harun Al-rasyid kesejahteraan ummat sangat terjamin,
karena pada masa inilah puncak dari kejayaan Bani Abbasiyah,
93
pembangunan dilakukan dimana-mana, baik pembangunan rumah
sakit, irigasi, dan pemandian-pemandian umum.
Dinasti Abbasiyah menjadikan Islam sebagai pusat
perkembangan ilmu pengetahuan dan hal itu menjadi faktor
berkembangnya perekonomian Islam pada masa itu. Dapat
dikatakan bahwa, ada suatu kisah yang tak terharga nilainya dari
peninggalan sejarah Dinasti Abbasiyah. Hal ini harus menjadi
motivasi untuk membangun visi umat dalam mengembangkan
perekonomian dunia.
LATIHAN SOAL
94
BAB VI
SEJARAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
PADA MASA ABAD PERTENGAHAN
(DINASTI MAMLUK DAN UTSMANI)
A. Dinasti Mamluk
1. Sejarah Terbentuknya Dinasti Mamluk (648 H/1250 M-
923 H/1517 M)
95
mamluk dinasti Ayubi’yah berasal dari Asia Kecil, Persia (Iran),
Turkistan dan Asia Tengah (Transoksiana), mereka terdiri atas
suku-suku bangsa Turki, Syracuse, Sum, Rusia, Kurdi, dan
bagian kecil dari bangsa Eropa.
96
pinggiran sungai Nil. Disinilah mereka menjalani pelatihan
militer dan pelajaran keagamaan. Karena penempatan inilah
mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri (budak laut atau
air).
97
yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak.
Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal
dari kekuasaan dinasti Mamluk.
98
Kemudian periode kedua yaitu Mamluk Burji yang berkuasa
mulai tahun 1389 – 1517 M.
99
pedagang-pedagang terutama antara Kairo dan Damaskus. Dalam
sektor pertanian, pemerintah mengambil kebijakan pasar bebas
kepada petani, artinya petani diberi kebebasan untuk memasarkan
sendiri hasil pertaniannya.
2) Bidang Pembangunan
100
3) Bidang Ilmu Pengetahuan
4) Bidang Militer
101
dibahas adalah mengenai seluk-beluk yang berkaitan dengan
serangan bangsa Mongol. Pada lingkungan ketenteraan Dinasti
ini, menghasilkan banyak karya tentang ketenteraan, khususnya
keahlian menunggang kuda.
102
tengah-tengah masyarakat. Kelebihan lain dari sistim oligarki
militer ini adalah tidak adanya istilah senioritas yang berhak atas
juniornya untuk menduduki jabatan sultan, melainkan lebih
berdasarkan keahlian dan kepiawaian seorang Mamluk tersebut.
6) Bidang Agama
103
Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya di kalangan penguasa
menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat
menurun dan perekonomian negara tidak stabil. Di samping itu,
ditemukannya Tanjung Harapan oleh Eropa melalui Mesir
menurun fungsinya. Kondisi ini diperparah oleh datangnya
kemarau panjang dan berjangkitnya wabah penyakit.
B. Dinasti Utsmani
1. Sejarah Singkat Terbentuknya Dinasti Utsmani
104
melawan Bizantium. Sehingga berkat jasanya itu, Alauddin
memberikan daerah Iski Shahr dan sekitarnya. Ertogrul,
mendirikan ibukota bernama Sungut, di sana lahir anak pertama
bernama Usman pada 1258 M. Al-Thugril meninggal pada 1288
M. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Pada
tahun 1300 M, Sultan Alauiddin Kaikobad terbunuh saat
melawan bangsa Mongol. Kerajaan terpecah-belah, akhirnya
Usman mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan, maka sejak
itulah berdiri Dinasti Turki Usman.
105
sistem politik pada masa itu dari tangan militer kepada publik,
tujuannya untuk memberikan fungsi layanan publik yang lebih
baik.
a. Daratan
b. Laut
106
c. Pertanian
a. Hajji Khalifah
b. Cemal Kafadar
107
c. Mustafa Ali
b. Kebijakan Fiskal
108
diperoleh dari pajak sektor pertanian, pendapatan, kambing
Agnam dan lain sebagainya. Sedangkan pajak tidak langsung
hanya mampu dijadikan sebagai pemasukan tingkat ketiga, yang
mana pajak ini bersumber dari biaya masuk petani tembakau
selain penduduk Istanbul. Pajak terakhir dari keuntungan
ekonomi bersumber dari produksi garam, penjualan hasil
tambang, hutan dan perikanan. Pada hakikatnya pendapatan dari
ke 3 sektor ini akan bertambah, apabila pada masa bersamaan
kerajaan Ustmaniyah mampu menguasai wilayah baru, sehingga
pendapatan akan bertambah.
C. Kesimpulan
109
bidang, seperti konsiladasi pemerintahan, perekonomian, dan
Ilmu pengetahuan.
110
barat, dalam segi pandang kerajaan, kekuasaan wilayah adalah
yang penting. Turki Utsmani yang memimpin selama kurang
lebih 6 abad memberi bukti kejayaan nya sampai ke Eropa, akan
tetapi dari stagnisasi bangsa Utsmani mereka lebih memajukan
kemiliteran nya adalah satu hal yang terpenting yang harus
dimiliki seorang pemimpin, dengan orientasi penaklukan
konstatinopel, membuat mereka menjadi bersemangat menjadi
kerajaan Turki Utsmani menjadi simbol kejayaan Islam.
di Berbagai Bidang
111
kebebasan untuk memasarkan sendiri
hasil pertaniannya.
Bidang ▪ membangunkan sekolah-sekolah dan
masjid-masjid yang indah, rumah sakit,
Pembangunan
museum, perpustakaan, villa-villa,
kubah, dan menara masjid.
▪ Situs yang dapat dilihat sampai sekarang
dari dinasti Mamluk yaitu Masjid
Qal’ah (Benteng) yang berada di
Yerussalem.
Bidang Ilmu • Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama
Pengetahuan besar seperti Ibn Khalikan, Ibn
Taghribardi dan Ibn Khaldun. Di bidang
astronomi dikenal nama Nasir Al-Din
Al-tusi.
• Di bidang perobatan Abu Hasan ‘Ali Al-
Nafis. Sedangkan, dalam bidang ilmu
keagamaan, tersohor nama Ibn
Taimiyah, Al-Sayuthi, dan Ibn Hajar Al-
‘Asqalani.
Bidang ❖ Sistem pemerintahan oligarki ini banyak
mendatangkan kemajuan di Mesir.
Budaya
Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam
Politik bebagai bidang, seperti konsolidasi
pemerintahan, perekonomian, dan ilmu
pengetahuan.
❖ Kelebihan lain dari sistim oligarki
militer ini adalah tidak adanya istilah
senioritas yang berhak atas juniornya
untuk menduduki jabatan sultan,
melainkan lebih berdasarkan keahlian
dan kepiawaian seorang Mamluk
112
tersebut.
Bidang • mangangkat Qadhi atau Hakim untuk
Agama tiap-tiap mazhab fiqh sunni, yaitu: qadhi
Mazhab hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali.
Bidang ✓ Pada lingkungan ketenteraan Dinasti ini,
Militer menghasilkan banyak karya tentang
ketenteraan, khususnya keahlian
menunggang kuda.
Perkembangan Pemikiran Ekonomian Utsmani
113
oleh Prof Unal, Ege University Of Izmir. (Agoston
& Masters, 2009, p. 616) Arkeologi berhipotesis
bahwa koin ini merupakan uang Akce pada masa
pemerintahan Ustmaniyah yang diproduksi pada
abad ke-16 dan ke-17 M, -Kemerosotan Mata
Uang Ustmaniyah
Kebijakan Sumber pemasukan uang hasil pajak pada
Fiskal pemerintahan Ustmaniyah bersumber dari 3 sektor,
yaitu: pajak langsung, pajak tidak langsung dan
keuntungan ekonomi.
Latihan Soal
114
BAB VII
A. Pengertian Ekonomi
115
Dalam bahsa Arab, ekonomi sering di terjemahkan dengan
Al-iqtishadi yang berarrti hemat, dengan penghitungan, juga
mengandung makna rasionalitas dan nilai secara implisit. Jadi,
ekonomi adalah mengatur urusan rumah tangga, dimana anggota
keluarga yang mampu, ikut terlibat dalam menghassilkan barang-
barang berharga dan membantu menberikan jasa, lalu seluru yang
ada, ikut menikmati apa yang mereka.
116
B. Sejarahwan Ekonomi dalam islam
117
Semangat berijtihad di kalangan ulam sangat menonjol pada
masa ini Kondisi ini mendorong pesatnya perkembangan
berbagai ilmu pengetahuan termasuk bidang fiqih. Para fuqaha
pada saat ini melakukan ijtihad untuk mencari formulasi fiqih
guna menghadapi persoalan-persoalan sosial yang kompleks,
dengan menggali dan menyikap sinar ajaran islam yang ada
dalam al qur'an dan sunnah, mengenai masalah hukum yang ada
termasuk masalah ekonomi. Periode keemasan ini di tandai
dengan penyusunan beberapa kitab-kitab fiqih dan usul fiqih,
seperti kitab muawatta' karya imam malik, kitab al umm karya
imam syafi'i.
118
1. Imam Hanifah
a. Biografi Imam Hanifah
Abu Hanifah Abu hanifah al-nu'man ibn sabit bin zauti, ahli
hukum agama islam dilahirkan dikufah pada 699 M masa
pemerintahan abdul malik birn Marwan. Ia banyak meninggalkan
karya tulis, antara lain AI-makharif fi Al-fiqh, Al-musnad, dan
Al-figh Al-akbar. Abu hanifah menyumbangkan beberapa konsep
ekonomi, salah satunya adalah salam Namun abu hanifah lebih di
kenal sebagai Imam Madzhab hukum yang sangat rasionalitas
dan dikenal juga sebagai penjahit pakayan dan pedagang dari
khufah.
119
kontrak, seerti jenis komoditi, kualitas, waktu, dan tempat
pengiriman.
2. Imam Malik
a. Biografilik Imam Malik
Abu abdulillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin
Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Justail bin Amr bin al-Haris
Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al
Munawwaroh.
120
disebelah utara kota Madinah dan kemudian beliau tinggal di Al-
Akik untuk sementara waktu yang kemudian beliau menetap di
madinah.
3. Imam Syafi'i
a. Biografiafi imam syaf’i
121
Imam Syafi'i sejak kecil hidup dalam kemiskinan, ketika
beliau diserahkan ke bangku pemdidikan, para pendidik tidak
mendapat upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran.
Kecerdasan dan ketajaman akalnya yang memilikinya sanggup
menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setelah
menginjak umur yang ketujuh Imam Syafi'i telah menghafal
seluruh al-qur'an dengan baik. Imam Syafi'i jug mempunyai suara
yang sangat merdu, tatkala beliau menginjak umur ke tiga belas
beliau memperdengarkan bacaan-bacan alqur'annya di masjid al-
haram. Hakim mengeluarkan hadist yang yang di riwayatkan oleh
Bahr ingin menangis kami mengatakan kepada sesama kami,
"pergilah kepada pemuda syaf" apabila kami telah sampai
kepadanya ia mulai membuka al-qur'an dan membaca al-qur'an
sehingga manusia yang ada di sekelilingnya banyak yang
berjatuhan di hadapannya karna kerasnya menangis. Kami
terkagum-kagum dengan kemerduan suara yang dimilikinya,
sedemikian tingginya ia memahami al qur'an sehingga sangat
berkesan bagi para pendengarnya."
122
mencari muka mencoba sedimikian dengan ku, tetapi mereka
gagal.
123
Ahmad bin Hambbal meninggal dunia pada pagi hari jum'at
tanggal 12 bulan Rabi'ul Awwal tahun 241 H, mayatnya di
mandikan oleh Abu Bakar Ahmad bin Al-hujjaj Al-Maruzi,
beliau sangat terkesan dengan kematiannya. Jenazahnya di
kebumikan setelah sholat jum'at di Baghdad dan juga di iringi
oleh puluhan rakyat jelata.
124
Dalam bertransaksi (Mu'amalah) para ulamak fiqih berbeda-
beda dalam mendefinisikan di antaranya :
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam jual beli "menjual
barang dengan salah satu mata uang mas dan perak" imam
Hanifah memandang akan terjadi jual beli secara syah jika jual
beli tersebut menggunakan mas dan perak tidak dengan barter.
Imam Malik mengatakan dalam jual beli "sesuatu yang di
pahami dari jual beli secara mutlak.
Imam Syafi'i mengatakan dalam jual beli "jual beli adalah
tukar menukar barang pada saat tertentu" maksudnya adalah jual
beli secara syara' adalah tukar menukar barang dengan apa saja
yang bermilai akan tetapi menghususkan harus ada sebuah tempat
dan waktu, karna madzhab imam syaff'i melarang jual beli jika di
antara keduanya tidak ada kejelasan.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan dalam jual beli "jual
beli adalah tukar menukar barang pada saat tertentu kecual riba
dan hutang.
Dalam mendefinisikan jual beli para ulamak fiqih sudah
berbeda pandangan, sudah barang tentu dalam masalah akad
perbedaan ni akan terjadi namun pada dasarnya perbedaan ini
tidak akan melenceng dari praktek yang sudah di tetapkan, hanya
saja para ulama' berbeda dalam menafsiri ayat-ayat alqur'an dan
hadis nabi.
125
1. Pemiikiran fuqaha tentang harta
126
tulisan ini hanya dikemukakan dua perbedaan pendapat yang
dianggap paling berdampak pada praktik keuangan baik dalam
dimensi pemikiran klasik maupun kontemporer. Hal tersebut
adalah tentang pembagian riba dan alasan (illat) pengharaman
riba.
127
termasuk gandum, kurma dan sejenisnya. Sedang menurut imam
Malik: dalam masalah gandum, kurma dan sejenisnya, illat
ribanya adalah karena merupakan bahan kebutuhan pokok. Imam
Syafi'i menemukan dua hal/barang riba (barang ribawi), yaitu
mata uang dan maknn. Imam Malik menambahkan sifat tertentu
pada makanan: bahan makanan pokok dan yang dapat diawetkan
Imam Hanafi dan imam Hambali hanya melihat satu sebab,
barang-barang yang dijual dengan ditimbang (bobot) atau ditakar
(isi).
128
jual beli tersebut sah meski tanpa akad karena serah terima
barang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah rela dan
menerima hal tersebut.
Dalam jual beli dikenal adanya khiar Tentang hal ini juga ada
perbedaan pandangan. Menurut imam Syafi'i dan imam Hambali
jika kesepakatan jual beli terjadi, masing-masing penjua dan
bembeli punya hak khiyar (hak pilih) selama belum berpisah atau
punya hak untuk memastikan jadi tidaknya transaksi. Sedang
menurut imam Hanafi dan imam Malik jika transaksi jual be
terjadi, mas ing-masing penjual dan pembeli sudah tidak
mempunyai hak khiyar Transaksi telah sempurna dan telah terjadi
dengan adanya akad.
129
Tentang pembagian keuntungan yang tidak sama dalam
sirkah, imanm Malik dan imam Syafi'i menyatakan bahwa dalam
syirkah 'inan, jika modal masing-masing sama tetapi pembagian
keuntungan tidak sama, maka syirkah tersebut menjadi rusak
(batal) Menurut Syafi'i, dalam syirkah 'inan modal masing-
masing harus dicampur sampai tidak bisa dibedakan lagi satu
dengan lainnya dan tidak ditentukan pembagian hasilnya. Sedang
menurut imam meski modal masing-masing pihak sama adalah
boleh, jika memang telah ditentuk an demikian. Pembagian
Hanafi pembagian keuntungan yang tidak sama, keuntungan tidak
hanya didasarkan atas modal, tapi juga atas masa kerja, besarmya
tanggung jawab dan lainnya.
130
modal. Sedang menurut imam Hanafi, tanggung jawab atas
kerugian ada pada pemilik modal bukan pada pengelola karena
itu adalah kelalaian pemilik modal yang menyerahkan modal
tanpa memperhitungkan kemungkinan baik buruknya.
131
janjinya. Sedang menurut imam Hanafi, Syaffi dan Hambali akad
jaminan atau gadai tidak sah tanpa penyerahan barangnya. Ini
untuk masyarakat kebanyakan yang biasanya sering berbuat
sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diucapkn. Mereka
biasanya hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa
memperhatikan rapa aspek esensial yang membawa orang lain.
132
Dalam praktek gadai, jika terjadi satu barang dipergunakan
sebagai jaminan atas dua macam utang, maka Menurut imam
Hanafi, Syaff'i’i dan Hambali barang gadaian tetap hanya
menjadi jaminan atas utang yang pertama, tidak termasuk utang
kedua. Sedang menurut Imam Malik menjadikan barang jaminan
untuk dua macam utang pada orang yang sama adalah boleh, jika
pihak kreditur memang mau menerima hal tersebut. Apalagi bagi
orang-orang yang jujur dan bisa dipercaya. Mereka bahkan mau
menerima meski tanpa ada jaminan sekali pun.
133
E. Pengaruh Pemikiran 4 Imam Mazhab tentang
134
Hanafi dan imam Hambali melarang ual beli makanan dengan
tembaga secara kredit (keduanya ditimbang) namun
membolehkan jual beli makanan dengan garam secara kredit
(salah satunya ditimbang dan yang lain ditakar). Imam Malik dan
imam Syafi'i, karena hanya memperhatikan pertukaran di antara
makanan atau mata uang, mempunyai pendapat yang
bertentangan dengan Imam Hanafi dan imam Hambali. Yang
lebih kontemporer misalnya tentang minyak mentah. Menurut
imam Hanafi dan imam Hambali minyak mentah termasuk
ribawi, tetapi tidak menurut Syaff'i dan Maliki.
135
sebuah ketentuan yang menguntungkan pemberi pinjaman dan
mengurangi risiko pasamya.
136
menurut imam Malik jual beli dengan sistem swalayan sah karena
dengan adanya serah terima barang berarti sudah menunjukkan
kerelaan untuk berjual beli, jika tidak rela mereka tidak akan
melakukannya.
137
pendapat imam Hanaf pembagian keuntungan yang berbeda
dibolehkan. Ini diterapkan dalam pembagian keuntungan secara
unproporsional sesuai kesepakatan. Jadi dapat terjadi antar pihak
yang bekerjasama menperoleh alokasi keuntungan yang tidak
sama. Menurut pendapat imam Malik dan imam Syaffi
keuntungan harus dibagi sama karena modal usaha pihak-pihak
yang bekerjasama sudah menyatu dan tidak terpisah lagi. Namun
jika dianalisis lebih lanjut, mekanisme pembagian keuntungan
usaha dalam musyarakah lebih cenderung mengikuti pendapat
imam Hanafi, yaitu boleh berbeda sesuai dengan kontribusi
(modal atau tenaga) yang diberikan.
138
Mudharabah dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah mutlaqah
(jenis usaha/kegiatan pengelolaan dana tidak dibatasi/ditentukan
oleh pemilik dana) Ini menurut pendapat mam Malik dan imam
Syafi'i. Selain tu, ada mudharabah muqayyadah di mana pemilik
dana boleh menetapkan jenis usaha/kegiatan pengelola
(managerial). Ini sealan dengan pendapat imam Hanafi dan imam
Hambali. Kedua pendapat mpunyai implikasi yang sama terhadap
kebijakan mudharabah di bank Syariah karena kedua jenis
mudharabah tersebut dipraktikkan.
139
para ulama fih ini terhadap praktik gadai kontemporer adalah
mengenai penguasaan dan pemanfaatan barang gadai. Yang
umum dipraktikkan di Indonesia adalah barang gadai (yang
menjadi jaminan) dikuasai oleh kreditur mengikuti pendapat
imam Hanafi dan imam Malik. Yang berbeda dalam praktiknya
adalah tentang pemanfaatan barang gadai. Umumnya, yang
dipraktikkan adalah pihak penerima gadai selalu memanfaatkan
barang gadai yang dikuasainya. Ini mengikuti pendapat imam
Hanafi.
140
JUAL BELI MENURUT MAZHAB PARA IMAM
141
mempunyai nilai ,atas dasar
kerelaan antar dua belah pihak
sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang
dibenarkan oleh syara'.
Latihan Soal
142
BAB VIII
A. Abu Yusuf
1. Riwayat Hidup Abu Yusuf
Nama lengkap Abu Yusuf adalah Abu Yusuf Ya’qub bin
Ibrahim al-Ansari (113/731-182/798), seorang murid dan seorang
teman Abu Hanifah pendiri Madzhab Hanafi. Ia berasal dari suku
Bujailah, salah satu suku Arab. Keluarganya disebut Anshari
karena pihak Ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum
Anshar (pemeluk Islam pertama dan penolong Nabi Muhammad
SAW di Madinah) di masa hidupnya di Kufah, yang terkenal
143
sebagai daerah pendidikan yang diwariskan oleh Abdullah Ibnu
Mas’ud (w. 32 H) seorang sahabat besar Nabi Muhammad SAW.
Sebagai seorang penganut mazhab rasional Hanafi, ahl al-
ra’y, Abu Yusuf mengambil metode penalaran hukum dalam hal
yang berkaitan dengan isu-isu duniawi. Hal ini dilakukan apabila
sumber hukum islam utama, Al-Qur’an dan Sunnah, juga Ijma’,
tidak mengungkapkannya secara Sharih. Namun demikian,
penalaran hukum yang digunakan Abu Yusuf itu tidak bebas dari
pembatasan. Apabila sebuah persoalan tidak ditemukan pada
ketiga sumber hukum itu, maka penetapan hukumnya harus
didasarkan pada prinsip-prinsip penalaran analogis (qiyas),
preferensi hukum (istihsan), dan kemaslahatan umum (istisla).
Pendekatan Hanafi tercermin dalam bukunya yaitu Kitab al-
Kharaj. Ketika mendiskusikan masalah yang kontroversial akan
ditemukan keputusan Abu Yusuf yang didahului atau dilanjutkan
dengan ungkapan “menurut saya’. Selain itu, ditemukan pula
ungkapan Abu Yusuf, “jika hal ini mengarah pada kemajuan
rakyat”, ketika menyarankan tindakan untuk khalifahnya yang
mungkin berbeda dari pemikiran sebelumnya, yang menujukkan
efek dari prinsip kemaslahatan umum (istislah) dalam mencapai
keputusan.
Abu Yusuf mengungkapan pendapat yang berbeda dengan
gurunya. Hal ini ditemukan dalam deskripsi yang menyatakan
persetujuanya terhadap guru tetapi kemudian Abu Yusuf memilih
pendapat yang lain. Dengan perbedaan ini tidak menjadikan dia
144
keluar dari Madzhab Hanafi tetapi menujukkan independensi
berfikir Abu Yusuf dan menunjukkan perbedaan dengan tingkat
intensitas dan frekuensi yang tinggi tidak menciptakan jurang
atau menimbulkan kontroversi antara murid dan guru. Hal ini
juga disebabkan karena faktor profesinya sebagai hakim.
Sebagai seorang ulama Abu Yusuf menyimpulkan
pernyataanya dengan “Allah Maha Tahu yang terbaik”, ketika
ada perbedaan pendapat antara dirinya dan gurunya. Adapun
Khalifah, itu terserah dia, penguasa, untuk mengambil tindakan
yang dilihatnya cocok, “Aku telah menjelaskan hal tersebut
kepada Anda Amiru Mukminin dan terserah kepada Anda,
dengan kebijaksanaan Anda, untuk mengambil tindakan yang
akan bermanfaat bagi umat Islam”. Ungkapan yang selalu
digunakan dalam bukunya. Metode penyajian yang digunakan
Abu Yusuf adalah metode edukatif.
Abu Yusuf tampaknya menikmati penghargaan yang
diberikan dari khalifahnya. Hal ini disimpulkan dari dua poin
dalam bab pengantar dari bukunya. Pertama, ketika ia mengacu
pada tindakan yang ditugaskan oleh khalifah-Nya, maka
ditemukan ungkapan menggunakan kata kerja “minta”, misalnya
Amirul Mu’minin telah meminya saya”. Hanya pada bagian akhir
saja Abu Yusuf menggunakan kata “memerintahkan” muncul.
Rasa hormat, sopan santun, etika dan seni diplomasi diperlihatkan
oleh Abu Yusuf kepada khalifah dei sepanang bukunya. Hal ini
145
sebagai implikasi dari penghargaan khalifah yang begitu tinggi
kepada seorang hakim atau ahli hukum Islam.
Kedua, Abu Yusuf tampaknya telah mengambil peran
sebagai penasihat, pengacara, dan bahkan penceramah bagi
khalifah dalam bukunya. Karena Abu Yusuf dalam bukunya terus
menerus mengingatkan khalifah akan tanggung jawab, tugas, dan
kewajibannya terhadap rakyatnya, perintah Allah dan Nabi-Nya
yang berkaitan dengan “gembala, rakyat, dan pemilik rakyat”,
dan pahala serta sanksi Allah dalam segala hal yang berkaitan.
2. Karya Abu Yusuf
Karya utama Abu Yusuf adalah Kitab al-Kharaj. Buku ini
adalah karya yang ditugaskan oleh Khalifah Harun al-Rasyid
kepada Abu Yusuf. Hal ini ditunjukan dalam paragraf kedua dari
bab pengantarnya, “Amirul Mukminin, semoga Allah
meguatkannya, telah meminta saya untuk menulis baginya”.
Buku ini lahir sebagai akibat dari Abu Yusuf yang ditugaskan
oleh khalifah Harun al-Rasyid (786-809) ketika beliau ingin
mengatur sistem baitul mal, sumber pendapatan negara seperti
kharaj, usyur, dan jizyah. Demikian pula cara pendistribusian
harta-harta tersebut untuk kepentingan penguasa.
Tema besar buku ini adalah untuk memberikan kajian yang
komprehensif tentang “… pengumpulan kharaj, persembahan,
‘usyur, jizyah, sedekah dan hal-hal lain yang dari apa yang ia
(khalifah) harus lihat ke dalam dan bertindak berdasarkan”, dan
146
tujuannya adalah untuk “menghindari penekanan dari rakyatnya,
dan menguntungkan kepentingan mereka”.
Buku yang diarahkan kepada khalifah sendiri, Abu Yusuf
memberikan aturan syariah, saran dan pendapat, bukankeputusan.
Keputusan diberikan kepada khalifah “terserah Anda, wahai
Amirul Mukminin, untuk memutuskan apa yang dilihat untuk
diikuti”; Abu Yusuf selalu mengakhiri keputusannya.
Pendekatan Abu Yusuf untuk menulis tentang masalah al-
kharaj adalah pendekatan pragmatis. Dia melihat pada praktik
yang berlaku, memeriksa aplikasi terakhir, mempelajari masalah
yang timbul dari kebijakan sekarang dan masa lalu, meneliti
aturan al-qur’an, hadis dan yurisprudensi untuk memastikan
sesuai dengan syariah dan kemudian mencapai suatu pendapat
yang akan menyediakan dalam pandangannya satu jawaban yang
masuk akal. Pendekatan deduktif yang digunakannya adalah
untuk membuktikan titik, perdebatan masalah, membela ide, atau
mengkritik penghakiman. Namun pendekatan pragmatis ilmiah
umum yang diikutinya. Dalam arti bahwa hal itu dapat dikatakan
bahwa Abu Yusuf adalah penulis pertama tentang ekonomi islam
secara “ilmiah” dan merupakan subjek yang tepat untuk
penelitian ilmiah.
3. Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
a. Pengeluaran Negara dan Distribusi Pendapatan
Pembagian rampasan perang adalah titik awal perlakuan Abu
Yusuf tentang topik ini. Alasannya :
147
1) Bagaimana proporsi Nabi Muhammad SAW dan kerabatnya
yang tidak berhak menerima zakat, tetapi kemudian
diberikan setelah Nabi wafat. Pada pertanyaan ini ia
menyatakan bahwa jatah Nabi Muhammad SAW harus
dibagikan kepada sanak saudaranya.
2) Apakah variasi dari apa yang dialami oleh Khulafa’ al-
Rasyidin, terutama Umar bin Khathab dapat diadopsi. Pada
penrtanyaan ini setelah menjelaskan beberapa masalah yang
timbul setelah Nabi Muhammad SAW dan Khulafa; al-
Rasyidin, mengusulkan distribusi yang sedikit bervariasi dari
apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab.
Abu Yusuf menekankan tiga poin tentang masalah distribusi
pendapatan zakat :
1) Pendapatan zakat tidak boleh dicampur dengan pendapatan
dari pendapatan lainnya.
2) Pendapatan dari zakat harus secara ketat didistribusikan
sebagaimana diatur dalam al-Qur’an.
3) Pendapatan ini harus didistribusikan kepada penerima local
di tempat, kota, atau wilayah darimana zakat itu
dikumpulkan.
Pengumpul zakat (amilin) juga harus diberikan bagiannya
dari pendapatan sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an, tetapi
tidak cukup untuk memberi mereka, sumber umum zakat atau
bahkan sumber lain dapat digunakan untuk membayar mereka
secukupnya.
148
Berbeda dengan hakim dan pejabat, upah mereka harus
dibayar dari keuangan pusat. Hal ini akan menjamin bahwa
layanan yang diberikan tidak akan terbatas pada pedapatan yang
dikumpulkan dari daerah, sehingga semua daerah akan
mendapatkan layanan yang sama.
b. Pajak Tanah
Abu Yusuf membagi pajak tanah kepada dua bagian, yakni
pajak kharaj dan pajak ‘usy’ur. ‘Usy’ur adalah pajak yang
dikenakan pada tanah milik umat islam sedangkan kharaj adalah
pajak atas tanah dibawah pendudukan non muslim yang muncul
setelah penaklukan Islam. Namun demikian, pemahaman ini tidak
selalu terjadi karena tanah di tangan non- muslim bisa dikenakan
pajak ‘usy’ur´ juga. Ketentuan ini dikenakan pada tanah milik
Ahli Kitab di Arab, yaitu Kristen dan Yahudi, dan masyarakat
lain di luar Arab yang memiliki perjanjian perdamaian dengan
tentara Muslim menetapkan ‘usy’ur sebagai upeti. Demikian pula
tanah milik umat Islam juga bisa dikenakan pajak kharaj, jika
umat islam membeli tanah dari pemilik yang dikenakan pajak
kharaj.
1) Pajak Kharaj
Argumen yang digunakan Abu Yusuf adalah pada saat itu
tanah tersebut mampu menanggung pajak Kharaj yang dikenakan
padanya. Selain itu, Abu Yusuf berargumen dengan riwayat
menjelaskan bahwa sekembalinya Hudzaifah dan Utsman,
administrator Khalifah Umar, dari survei tanah dan pengadaan
149
pajak. Dalam penentuan tarif pajak penguasa memiliki hak untuk
menurunkan atau menaikkan pajak kharaj tetapi ia harus
menghindari membebani pembayar pajak tanah dengan pajak
secara berlebihan.
Abu Yusuf berpendapat bahwa tarif pajak atas tanah kharaj
itu harus ditetapkan berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketika Nabi
Muhammad SAW menaklukkan Khabyar dengan kekuatan,
beliau tidak memungut pajak kharaj atas tanah dalam bentuk
pajak moneter tetap. Sebaliknya, ia memberikannya kepada
penjaga tanah, orang-orang Yahudi, atas kesepakatan musaqamah
dimana setengah dari hasil itu harus diambil dalam bentuk pajak.
Dalam pajak ini bagi hasil proporsional, Abu Yusuf mengusulkan
tingkat variabel yang bergantung pada kemampuan lahan untuk
membayar pajak dan beban yang harus ditanggung saat bertani.
Dia menyarankan harga menjadi sebagai berikut :
a) Dua perlima (40%) pada gandum dan jelai dari tanah yang
diairi secara alami, yaitu dengan curah hujan dan air dari
mata air alami.
b) Satu setengan per sepuluh (15%), dan tiga per sepuluh (30%)
pada tanaman dari lahan yang diairi artifisial, tergantung
pada jumlah kerja keras yang ditanggung dan metode irigasi
yang diperlukan.
c) Sepertiga pada pohon-pohon palem, kebun-kebun anggur,
sayuran dan buah-buahan, tetapi hanya seperempat akan
diambil dari tanaman pada musim panas.
150
d) Sepersepuluh pada tanah qatha’i yang diairi secara alami dan
satu dua puluh pada artisifal irigasi. Tanah qatha’i itu, seperti
yang dijelaskan sebelumnya, tanah yang diberikan oleh
khalifah untuk layanan pembedaan penyerahan untuk negara
Islam.
e) Sepersepuluh (10%) dan zakat pada tanah ‘usy’ur yang
dimiliki oleh umat islam, jika tanah diairi secara alami dan
setengah sepuluh (5%) jika irigasi artisifal.
Selain menentukan porsi bagi hasil dalam menentukan pajak,
Abu Yusuf juga menentukan ambang batas atau batas minimal
bayar pajak. Pajak itu hanya dikenakan pada 5 wasaq, maka tidak
ada pajak yang dikenakan. Dalam menghitung ambang batas,
kuantitas produk yang berbeda itu ditambahkan jika tanah
menghasilkan dua setengah wasaq gandum dan dua setengah
wasaq jelai (total 5 wasaq) atau jika produk tersebut terdiri dari
satu wasaq gandum, salah satu jelai, salah satu beras, salah satu
kurma, dan salah satu dari kismis (total 5 wasaq), maka pajak itu
dikenakan. Jika total tidak 5 wasaq, maka tidak ada pajak yang
dikenakan kecuali untuk produk yang mahal, seperti kunyit, yang
dikenakan pajak dengan tarif di atas, sekalipun produk itu kurang
dari 5 wasaq asalkan nilai produk itu setara dengan 5 wasaq dari
produk tanah termurah.
Untuk memperjelas unit pengukuran, pengukuran timbangan
ditetapkan langkah-langkah berikut : 1 wasaq terdiri dari 60’sha,
sedangkan 1 ‘sha terdiri dari 5 ruti dan 1 ruti sama dengan 1 pon
151
berat dari biji gandum. Dengan kata lain, ambang berat sekitar
1600 pon gandum. Jika ada £ 2,2 dalam 1kg, ambang batas akan
menjadi setara dengan sekitar 727kg gandum sekarang.
Ada pengecualian yang diberikan Abu Yusuf dalam
menambah atau mengurangi tarif kharaj, yakni tanah yang berada
di bawah perjanjian damai. Tanah ini harus dikenakan pajak
sesuai dengan ketentuan perjanjian perdamaian, yang tidak boleh
diubah. Satu-satunya faktor yang akan menyebabkan perubahan
adalah jika orang-orang tanah itu memeluk Islam maka tariff
pajak dikenakan sesuai kesepakatan.
2) Pajak ‘Usy’ur
Pajak ‘Usy’ur adalah pajak lahan dengan tariff pajaknya
sebesar sepersepuluh atau setengah dari itu, seperdua puluh,
tergantung pada keadaan tanah dan irigasi. Tanah-tanah yang
dimasukan pada pajak ini adalah :
a) Tanah milik umat Islam
Dasar pajak tanah ini dikenalan tarif pajak sebesar 10% jika
tanah diairi secara alami, dengan curah hujan atau kanal. Tetapi
jika pengairan tanah dilakukan secara artisifal seperti dengan
menggunakan tenaga kerja dan mesin, maka tariff pajak hanya
dikenakan seperlima (5%).
b) Tanah milik ahl al-kitab – Yahudi dan Nasrani-
Penentuan tarif pajak ini berbeda dengan tanah yang dimiliki
oleh orang yang tidak memiliki agama monoteis, di mana tarif
152
pajaknya ditetapkan hanya sepersepuluh (10%) tidak ada tarif
seperlima (5%).
c) Tanah qatha’i
Dasar pajak tanah ini dikenakan tarif pajak sebesar
sepersepuluh (10%) bahkan, penguasa deberikan hak untuk
menentukan tarif pajak lebih tinggi, seperti seperlima (20%).
Pertimbangan yang digunakan dalam penentuan tarif lebih tinggi
adalah bahwa tanah qatha’i diberikan tanpa pengorbanan
keuangan kembali dan tidak ada modal disetor dalam
perolehannya.
d) Tanah yang dihidupkan kembali
Penentuan tarif ini Abu Yusuf menetapkan sesuai dengan
status dari tanah itu sendiri. Pada tanah yang dihidupkan kembali
setelah digarap, maka dikenakan tarif pajak ‘usy’ur (10%) jika
tanah milik itu dikategorikan pada tanah ‘usy’ur. Sedangkan
apabila status tanah yang dihidupkan kembali itu tanah kharaj,
maka atas tanah itu pun dikenakan tarif pajak kharaj. Demikian
pula jika tanah itu sebagian dari harta rampasa perang yang
didistribusikan kepada para prajurit, maka dikenakkan tarif pajak
‘usy’ur (10%) atau setengahnya tergantung keadaan irigasi.
c. Administrasi Pajak Tanah
Hal yang paling menarik dari dari administrasi pajak tanah
ini bahwa tidak ada satu otoritas pun yang berwenang untuk
mengubah status hukum tanah. Status tanah kharaj tidak boleh
diubah menjadi tanah ‘usy’ur begitupun sebaliknya. Menurut Abu
153
Yusuf,konversi status tanah baru diperbolehkan apabila seorang
pemilik tanah ‘usy’ur membeli tanah kharaj dan menggabungkan
kedua tanah itu menjadi satu dan kemudian membayar pajak
‘usy’ur atasnya.
Abu Yusuf berpendapat bahwa tidak ada administrator
kharaj atau gubernur diberi hak untuk membebaskan seseorang
dari pajak kharaj tanpa izin dari Khalifah. Demikian pula tidak
ada seorang pun yang diizinkan untuk menerima pembebasan dari
pajak kharaj yang dikenakan padanya tanpa ada izin yang
diberikan dari otoritas untuk melepaskannya. Pembebasan dari
pajak kharaj dapat diberikan kepada seseorang jika hal itu
dilakukan demi kepentingan masyarakat umum. Selain itu Abu
Yusuf juga menentang adanya perantara dalam pembayaran pajak
tanah khususnya dan pajak secara umum.
d. Pajak atas Produk yang Dihasilkan
1) Produk yang berasal dari pertanian
2) Produk yang diambil dari tanah
3) Produk yang dihasilkan dari laut
Untuk produk yang berasal dari pertanian Abu Yusuf
mengalihkan pada produk sperti madu dan kacang-kacangan dan
menjelaskan bagaimana itu harus dikenakan pajak. Khususnya
Abu Yusuf menyarankan bahwa tidak ada yang harus dikenakan
pajak atas tebu, kayu bakar, rumput, jerami, atau atas dahan
kelapa, kecuali untuk kayu manis karena itu adalah tanaman yang
berguna meskipun tidak dapat dimakan dan tebu yang dapat
154
dimakan. Juga tidak dikenakan pajak atas minyak bumi, tar,
merkuri, atau aspal, yang ditemukan didalam tanah.
Berkenaan dengan barang yang dikeluarkan dari laut seperti
perhiasan dan tambang, Abu Yusuf menetapkan tarif pajak
sebesar seperlima (khums). Bahkan, dalam kesimpulan besarnya
Abu Yusuf mengatakan bahwa semua yang dihasilkan dari laut,
apapun itu, harus dikenakan tarif pajak sebesar seperlima (khums)
atau 20% dari penghasilan.
e. Zakat
Abu Yusuf menekankan beberapa isu penting berkaitan
dengan administrasi zakat.
1) Ketika zakat dikenakan pada hewan, maka hal yang harus
dipertimbangkan :
a) Dasar pajak tidak boleh diperbesar atau dikurangi oleh
kolektor untuk mendapatkan keuntungan dan tunjangan
ambang batas
b) Zakat pada ternak yang dimiliki bersama akan dibagi
samarata diantara para pihak.
c) Tidak ada zakat yang dikenakan pada hewan yang digunakan
untuk budidaya.
2) Perlunya mengamati efisiensi administrasi dalam
pengumpulan dan distribusi pendapatan zakat. Abu Yusuf
berpendapat :
a) Orang yang bertugas sebagai pengumpul dan pengelola pajak
haruslah orang yang jujur dan diangkat oleh khalifah.
155
b) Pengumpul dan pengelola yang jujur di tingkat pusat harus
memilih orang yang jujur disetiap kota yang dipercaya untuk
mengumpulkan zakat
c) Administrasi pengumpulan zakat harus dipisahkan dari
lainnya karena pendapatan zakat harus didistribusikan
dengan cara tertentu dalam Al-Qur’an.
d) Pendapatan zakat yang berasal dari wilayah yang berbeda
harus digabungkan bersama-sama dan secara khusus
digunakan untuk para mustahik.
e) Pengumpul zakat harus dibayar secara cukup untuk
mempertahankan mereka
f. Jizyah
Pajak jizyah ini dibebankan kepada non-Muslim. Berkenaan
tarif pajak jizyah, Abu Yusuf menetapkan 48 dirham per tahun
bagi orang kaya, 24 dirham bagi golongan menengah, dan 12
dirham bagi buruh kecuali dia punya kekayaan. Anak-anak,
perempuan, kaum miskin dan penerima zakat, biarawan kecuali
yang kaya dibebaskan.
g. Iuran Khusus
Aspek yang paling penting yang dikemukakan Abu Yusuf
adalah terkait dengan masalah tarif pajak, dasar pajak, ambang
batas, dan peristiwa pajak. Kriteria subjektif mungkin akan
diandalkan, maka penekanan Abu Yusuf pada keadilan dan para
pejabat takut akan Tuhan. Selain itu, Abu Yusuf juga menetapkan
156
ambang batas wajib pajak, yang berbeda dengan praktik modern,
dimana pajak itu dikenakan setiap tahunnya.
Dalam menetapkan barang kena pajak, Abu Yusuf
memberikan pengecualian pada hewan yang tidak dimaksudkan
untuk menjadi perdagangan, seperti domba, sapi dan unta yang
tidak digembalakan. Dalam penentuan ini para pihak yang terlibat
harus mengambil sumpah menurut agamanya untuk menyatakan
bahwa barang itu bukan untuk perdagangan.
h. Masalah Lain
1) Sewa
Abu Yusuf focus pada penyewaan lading dan kebun sawit,
dengan referensi khusus pada pengolahan tanah tandus atas dasar
sewa. Abu Yusuf menjelaskan bahwa para ahli hukum di Hijaz
(Maliki) memiliki pandangan yang berbeda dari para ulama di
Kufah. Di Hijaz dan Madinah, para ulama tidak membolehkan
sewa lahan tandus atas dasar bagi hasil, karena mereka
berpendapat bahwa tanah tandus tidak seperti kebun dan taman-
taman lainnya dimana mereka membolehkan sewa dengan prinsip
bagi hasil.
Pandangan Abu Yusuf semua sewa diperbolehkan dna valid.
Ia menganggapnya sebagai bagi hasil dalam kontrak kemitraan di
mana salah satu pihak berpartisipasi dalam kemitraan dengan
modal dan yang lain dengan pekerjaan dan keahliannya.
Keuntungan bahkan jika itu masih belum diketahui dibagi atas
dasar profit and loss sharing. Bentuk kemitraan ini secara bulat
157
diterima oleh para ulama. Untuk menegakkan pandangannya,
Abu Yusuf mengandalkan atas preseden Nabi Muhammad SAW
di tanah Khaybar. Menurut Abu Yusuf, hadits yang mendukung
noleh sewa lebih kuat dan umum daripada hadist yang tidak
membolehkan. Abu Yusuf menjelaskan berbagai kontrak sewa
dimana ia menjelaskan hubungan antara mitra dalam kontrak dan
posisi pajak masing-masing.
2) Pekerjaan Umum
Abu Yusuf menekankan pentingnya pekerjaan umum oleh
negara dalam memperbaiki kondisi pertanian. Ini akan memiliki
tiga efek yaitu:
a) Membantu penyusutan luas lahan yang produktif
b) Membantu peningkatan produktivitas lahan budidaya
c) Membantu peningkatan penerimaan pajak.
Abu Yusuf menyatakan bahwa pekerjaan umum adalah salah
satu tugas utama negara karena pekerjaan umum membutuhkan
biaya besar melampaui kemampuan pemilik lahan tanah.
Dalam menandaskan prinsip-prinsip islam, Abu Yusuf
mengacu pada kepemilikan publik dari tiga jenis barang khas
yaitu air, api, dan padang rumput.
3) Harga, Kelangkaan, dan Nilai
Aturan penentuan harga oleh kekuatan pasar juga ditegaskan
oleh Abu Yusuf. Pemikirannya tentang ini adalah persediaan
(supply) tidak memengaruhi harga : pasokan barang bisa tinggi
dan barang melimpah, namun harga bisa tinggi, sementara
158
persediaan dapat rendah dan barang tidak dalam kelimpahan dan
harga bisa rendah.
Ketika berhadapan dengan harga, Abu Yusuf menyentuh titik
yang sangat penting di bidang ekonomi, yakni hubungan antara
barang, kelangkaan, dan nilai ekonomi. Dalam membahas
masalah ini, Abu Yusuf memberikan ilustrasi dengan air sungai.
Abu Yusuf menjelaskan ada tiga faktor penting yang akan
menciptakan nilai yang baik, yakni kelangkaan, biaya peralatan,
dan biaya transportasi.
B. Al-Syaibani
1. Riwayat Hidup Al-Syaibani
Abu Abdilah Muhamad Bin Al Hasan bin Fargad Al
Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota washit, ibu kota
irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyah. Ayahnya
berasal dari negeri Syaiban di jazirah Arab. Bersama orang
tuanya, Asy Syaibani pindah ke kota Kuffah yang ketika itu
merupakan salah satu kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar
fiqh, sastra, bahasa, dan hadis kepada para ulama setempat,
seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin Dzar, dan
Malik bin Maqhul Pada usia 14 tahun Asy Syaibani berguru
kepada Abu Hanifah selama 4 Tahun. Setelah itu Ia berguru
kepoada Abu Yusuf.
Setelah memperoleh ilmu yang memadai, Asy Syaibani
kembali ke Bagdad yang pada saat itu berada pada kekuasaan
Daulah Bani Abasiyah. Ia mempunyai peranan penting dalam
159
majelis ulama dan kerap didatangi penuntut ilmu. Berkat
keluasan ilmunya tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal dunia,
Khalifah Harun Al Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kota
Riqqah, Irak. Hal ini hanya berlangsung singkat karena ia
kemudian mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada
pengajaran dan penulisan fiqh. Asy Syaibani meninggal dunia
pada tahun 189 H (804 M) di kota Al-Ray, dekat Teheran, dalam
usia 58 tahun.
160
2. Karya Al-Syaibani
a. Zhahir al-Riwayah
161
keputusan terhadap masalah hilah dan jalan keluarnya) ditulis
ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak). Ar-Radd ‘ala ahl al-
Madinah (penolakan pandangan orang-orang Madinah), al-
Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam
keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya
setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Atsar. Kitab yang terakhir ini
melahirkan polemik tentang hak-hak non-muslim di negara Islam
dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm. Imam asy-
Syafi’I menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-
Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad bin
Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan
asy-Syaibani).
Asy-Syaibani telah menulis beberapa buku antara lain Kitab
al-Iktisab fiil rizq al-Mustahab (book on Earning a clean living)
dan Kitab al-Asl. Buku yang pertama banyak membahas berbagai
aturan syari’at tentang ijarah (sewa-menyewa) yaitu suatu
transakasi terhadap suatu manfaat yang dituju,tertentu, bersifat
mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu., tijarah
(perdagangan) yaitu suatu tansaksi dengan cara tukar-menukar
sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu
yang bermanfaat , zira’ah (pertanian) yaitu suatu usaha dengan
bercocok tanam untuk memenuhi kebutuha hidup, dan sina’ah
(industri).
Perilaku konsumsi ideal orang muslim menurutnya adalah
sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka
162
meminta-minta. Buku kedua membahas berbagai bentuk
transasksi atau kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya saham
(prepaid order), syirkah (partnership), dan mudharabah. Buku
yang ditulis Al-Syaibani ini mengandung tinjauan normative
sekaligus positif.
Dan buku al-Siyar al-Kabir adalah buku karangannya yang
terakhir. Pembahasannya mencakup semua hal yang berkaitan
dengan peperangan dan kaitannya dengan kaum musyrikin,
musuh kaum muslim, dan hukum-hukumnya. Selain itu, bukunya
membahas tentang tawanan perang (laki-laki, perempuan, dan
anak-anak), masuk Islamnya orang musyrik, keamanan mereka,
utusan yang diutus memasuki Dar al-islam dari Dar al-harb,
kuda-kuda perang yang dipakai oleh mereka, rampasan perang,
perdamaian dan perjanjiannnya, tebusan dan hukum senjata,
budak, tanah yang dikuasai oleh musuh di negeri musuh, orang
Islam yang berada di negeri musuh, pelanggaran perjanjian,
kejahatan dalam perang, dan beratus masalah yang berkaitan
dengan musuh dan hubungan kaum muslimin dan mereka pada
saat perang maupun damai.
Asy-Syaibani bersandar sepenuhnya kepada alquran dan
hadis yang meriwayatkan peperangan Rasul yang berbicara
tentang peristiwa yang betul-betul terjadi, dan hukum-hukum
yang terjadi pada saat terjadinya peperangan kaum Muslim dan
penaklukan wilayah yang mereka lakukan. Dia juga
menggunakan perbandingan kepada masa-masa tertentu. Harun
163
al-Rayid terheran-heran ketika menyimak isi buku ini dan
memasukkan ke dalam daftar hal-hal yang patut dibanggakan
pada masa kekahalifahannya. Perhatian terhadap buku ini juga
terlihat pada masa daulah Utsmaniyah, karena buku ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, dan dijadikan sebagai
dasar bagi hukum-hukum pejuang daulah Utsmaniyah ketika
mereka berperang melawan negara-negara Eropa. selain itu
Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani adalah salah seorang tokoh
penulis dalam hukum internasional.
3. Pemikiran Ekonomi Al-Syatibi
Secara garis besar, pemikiran ekonomi Asy Syaibani dibagi
menjadi 4 kelompok yaitu antara lain:
a. Al-Kasb (Kerja)
Dalam pembahasan ekonomi dalam al-kasb, al-syaibani
memulainya dengan memberikan definisi tentang kasb (kerja) itu
sendiri. Kasb merupakan usaha untuk mencari perolehan harta
dengan berbagai cara yang halal. Kerja dalam kerangka mikro
merupakan bagian dari aktivitas produksi. Penjelasan ini
menegaskan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi
dalam ekonomi Islam berbeda dengan aktivitas produksi dalam
ekonomi konvensional yang tidak membedakan apakah hasil
produksi itu halal atau haram. Dalam perspektif ekonomi
konvensional, kerja sebagai bagian dari aktivitas produksi itu
hanya diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan semata.
Dalam ilmu ekonomi dinyatakan bahwa produksi dilakukan
164
karena barang atau jasa itu mempunyai nilai guna, sedangkan di
dalam Islam bahwa suatu barang atau jasa itu mempunyai nilai
guna jika mempunyai unsur kemaslahatan. Seorang muslim
memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki tujuan
maslahah. Pandangan Islam tersebut berbeda dengan konsep
ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang
atau jasa mempunyai nilai-guna selama masih ada orang yang
menginginkannya. Dengan kata lain, dalam ekonomi
konvensional nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh
keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif.
Selanjutnya, al-Syaibani menyatakan bahwa sesuatu yang
dapat menunjang terlaksananya yang wajib, maka sesuatu itu
menjadi wajib pula hukumnya. Dalam konteks kerja, menurut al-
Syaibani, untuk menunaikan berbagai kewajiban, maka seseorang
memerlukan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri
akan muncul apabila mengonsumsi makanan yang diperoleh
melalui kerja. Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang
sangat penting dalam menunaikan sebuah kewajiban. Oleh karena
itu, hukum bekerja adalah wajib, seperti halnya kewajiban
thahârah ketika akan melaksanakan shalat. Hukum kerja itu wajib
didasarkan pada dali-dalil sebagai berikut.
Firman Allah Swt:Al-Jumu'ah 62:10
۟ َّوٱذْ ُك ُر
ً ِواَّٱَّللََّ َكث
يرا ْ ََّمنَّف
َ ِض ِلَّٱَّلل ِ وا۟ َُّوٱ ْبتَغ
َ ض ِ ىَّٱْل َ ْر ۟ ضيَتَِّٱلصلَ ٰوةَُّفَٱنتَش ُِر
ْ ِواَّف ِ ُفَإِذَاَّق
165
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah
kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak agar kamu beruntung.”
َ ضةٌَّ َع
َّلىَّ ُك ِلَّ ُم ْس ِل َِّم َ بَّفَ ِرَّ ْي َ بَّاْل َك
ِ س َُّ َطل
َ
“Mencari pendapatan adalah wajib bagu setiap Muslim”
166
berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berikanlah pinjaman Kepada Allah pinjaman yang
baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu
niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai
balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan
mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."
b. Teori produksi
Konsep kasb yang dikemukakan al-Syaibani di atas
sebenarnya merupakan benih-benih bagi lahirnya teori produksi
karena hakikat dari produksi adalah kerja. Dalam kajian ekonomi
167
kontemporer, kerja merupakan salah satu faktor produksi yang
paling dominan. Dalam teori ekonomi modern, faktor produksi
itu terdiri dari tenaga kerja, modal, dan sumber daya alam. Pada
perkembangan berikutnya, faktor-faktor produksi itu dipilah
menjadi dua, yakni faktor produksi asli dan faktor produksi
turunan. Faktor produksi asli terdiri dari sumber daya manusia
dan sumber daya alam, sedangkan faktor produksi turunan terdiri
dari sumber daya modal dan kewirausahaan.
Sebagai produksi yang paling dominan, kerja (sumber daya
manusia) telah mendapatkan perhatian serius dari al-Syaibani.
Menurut al-Syaibani usaha produktif (iktisâb) adalah usaha untuk
menghasilkan harta melalui cara-cara yang diperbolehkan
berdasarkan syar'i (halal). Pengertian ini menjelaskan bahwa
iktisâb merupakan salah satu cara untuk mendapatkan harta atau
kekayaan. Cara perolehan kekayaan itu baru dikategorikan
kepada iktisâb apabila tidak bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan Syara. Ketentuan Syara menjadi pengendali bagi usaha
pencarian harta yang dilakukan oleh seorang Muslim.
Dalam ekonomi konvensional, produsen dikatakan rasional
dengan melakukan usaha produktif dengan satu tujuan, yaitu
memaksimalkan profit. Dengan menggunakan pendekatan
rational economic man, seorang produsen akan berusaha secara
maksimal untuk memperoleh keuntungan. Maksimalisasi
keuntungan dalam kegiatan ekonomi merupakan bagian dari self
interest yang akan selalu diperjuangkan seorang produsen dalam
168
perspektif ekonomi konvensional. Berbeda dengan pandangan
konvensional tentang produksi, al-Syaibani mengatakan bahwa
tujuan utama dari usaha produktif adalah bukan hanya sekadar
mengejar keuntungan semata, tetapi juga untuk membantu orang
lain melakukan ketaatan dan ibadah dengan niat menolong diri
sendiri dan orang lain dalam melaksanakan ketaatan kepada
Allah. Dengan niat luhur tersebut dalam usaha produktif,
produsen tidak hanya mendapatkan keuntungan yang bersifat
duniawi, tetapi juga mendapatkan balasan kebaikan dari Allah.
Dengan kata lain, pendekatan yang digunakan dalam memperoleh
harta adalah pendekatan Islamic man. Pada saat yang sama,
orientasi yang dibangun dalam kegiatan ekonomi adalah
keseimbangan antara self interest dengan public interest atau
altruistic.
Dalam Kitâb al-Kasb, al-Syaibani menyatakan "Mencari
(rezeki) dengan usaha produktif (kasb) adalah kewajiban bagi
setiap Muslim. Ini merupakan penjelasan bahwa seseorang yang
melakukan kasb akan dapat mencapai derajat di atasnya.
Kedudukan di atasnya ini tidak mungkin dapat dicapai kecuali
dengan melakukan kewajiban. Dan oleh karena, tidak mungkin
melakukan suatu kewajiban kecuali dengan melakukan hal
tersebut (kasb), maka kasb hukumnya adalah wajib ain seperti
kewajiban untuk melakukan thahârah untuk menunaikan shalat.
Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa jalan, di antaranya
orang dapat melaksanakan kewajiban agama dengan kekuatan
169
badannya. Kekuatan badan tidak akan dapat dicapai kecuali
dengan makan dan makan hanya dapat dipenuhi dengan kasb.
Demikian juga, shalat tidak dapat ditunaikan kecuali dengan
menutup aurat. Menutup aurat tidak mungkin bisa direalisasikan
kecuali dengan kasb. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak
memungkinkan dipenuhinya suatu kewajiban kecuali dengan
sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib juga".
c. Teori Konsumsi
Dalam kajian konsumsinya, al-Syaibani memulai dengan
membagi kebutuhan pokok manusia (dharůriyah) menjadi empat,
yakni makanan minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Al-
Syaibani menyatakan, "Kemudian Allah Swt. menciptakan anak
cucu Adam dengan suatu ciptaan di mana tubuh (fisik) mereka
tidak akan dapat hidup kecuali dengan empat perkara yaitu
makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal (rumah).
Pemikiran tentang basic human needs yang dikemukakan oleh al-
Syaibani tampaknya selaras dengan pemikiran ekonomi
kontemporer yang menyatakan bahwa keempat hal itu merupakan
kebutuhan dasar manusia.
Al-Syaibani lebih lanjut menyatakan, "Adapun tempat
tinggal, maka mereka telah diciptakan dengan suatu ciptaan di
mana fisiknya tidak mampu menahan teriknya panas sehingga
dapat menunaikan amanat Allah Ta'ala yang dipikulnya dan hal
itu tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan terpenuhinya
170
kebutuhan tempat tinggal. Dengan demikian, kebutuhan ini sama
kedudukannya dengan kebutuhan makan dan minum".
Berdasarkan tulisan al-Syaibani tersebut, dapat dipahami
bahwa inti konsumsi dalam Islam itu tidak hanya untuk
memenuhi dan melampiaskan kebutuhan hidup semata. Menurut
al-Syaibani, hakikat konsumsi adalah agar tetap prima sehingga
bisa melaksanakan kewajiban utama manusia di dunia, yaitu
beribadah kepada Allah. Konsumsi (nafaqah) sangat pokok
karena selain untuk memenuhi kebutuhan pokok untuk bertahan
hidup juga ada keterkaitannya dengan penunaian kewajiban yang
lain. Dengan demikian, konsumsi dapat diposisikan sebagai
wasilah untuk bisa melaksanakan ibadah kepada Allalh wt. Oleh
karena hukum ibadah itu wajib, maka pemenuhan terhadap
kebutuhan dasar manusia juga menjadi wajib hukumnya.
Selanjutnya, al-Syaibani merumuskan tingkatan konsumsi
yang berbeda dengan rumusan ulama sebelumnya yang mengacu
pada dharuriyah, hajah, dan tahsiniyah. Al-Syaibani menjelaskan
tingkatan konsumsi itu lebih rinci dan mendetail. Tingkat
pemenuhan kebutuhan menurut al Syaibani terbagi menjadi tiga.
Pertama, konsumsi dilakukan dengan kadar yang memungkinkan
dapat melangsungkan ibadah dan ketaatan. Menurut al-Syaibani,
tahapan ini hukumnya fardh ‘ain karena dengan tidak memenuhi
konsumsi ini seseorang tidak bisa menjalankan ibadah. Kedua,
tingkatan kecukupan (kifayah) yang dimulai dari batas teratas
tingkatan pertama taqtir (kikir) dan berakhir pada tingkatan israf
171
(berlebih-lebihan) batas atas. Hukum dari tingkatan konsumsi ini
adalah mubah (boleh). Sekalipun demikian, al-Syaibani
cenderung mengutamakan pemenuhan tuntutan konsumsi yang
lebih dekat kepada batas bawah dari tingkatan kifayah. Ketiga,
israf (berlebih-lebihan) yang dimulai dari ujung atas dari
tingkatan kedua. Keseluruhan wilayah ini tidak diperbolehkan
bagi hamba yang beriman dan menyerahkan dirinya kepada Allah
swt.
Pada tingkatan konsumsi pertama, al-Syaibani membagi
konsumsi kepada dua, yakni mutadanni dan sad al-ramq.
Tingkatan mutadanni adalah tingkat konsumsi yang tidak
melakukan konsumsi sedikitpun. Sedangkan tingkatan konsumsi
terendah kedua adalah konsumsi hanya sebatas kebutuhan perut
dengan takaran yang memungkinkan untuk bisa menjalankan
ibadah saja.
d. Klasifikasi dan Hukum Usaha
Menurut al-Syaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi
menjadi empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan,
pertanian, dan perindustrian. Rumusan usaha perekonomian ini
berbeda dengan usaha perekonomian yang dirumuskan oleh
ekonom kontemporer yang membagi usaha perekonomian
menjadi tiga macam, yaitu pertanian, industri, dan jasa. Di antara
keempat usaha perekonomian tersebut, al-Syaibani lebih
memprioritaskan usaha pertanian dari usaha yang lain, karena
pertanian memproduksi berbagai kebutuhan primer manusia yang
172
menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya. Usaha
pertanian ini dianggap unggul karena pada masa al-Syaibani
dipandang sebagai usaha yang paling banyak yang dilakukan oleh
masyarakat. Sewa-menyewa dan perdagangan al-Syaibani
tampaknya dikategorikan ke dalam bisnis jasa perspektif ekonom
kontemporer ini.
Jika dilihat dari segi hukumnya, al-Syaibani membagi usaha-
usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardh kifayah dan fardh
ain. Usaha perekonomian termasuk fardh kifayah ketika dalam
usaha perekonomian tersebut telah ada orang yang
mengusahakannya atau menjalankannya, maka aktivitas
perekonomian itu akan terus berjalan . Sebaliknya, jika tidak ada
seorangpun yang menjalankannya, tatanan aktivitas
perekonomian akan berjalan tidak baik yang berakibat pada
semakin banyaknya orang yang hidup dalam kemerosotan
ekonomi. Pada jenis usaha yang sama sekali tidak ada orang yang
melakukannya, maka pada saat itu usaha perekonomian diberi
hukum fardh kifayah.
Sedangkan usaha perekonomian yang diberi hukum fardhu
'ain apabila usaha-usaha perekonomian itu hanya dilakukan oleh
seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan
orang yang ditanggungnya. Jika tidak dilakukan usaha
perekonomian itu, maka kebutuhan diri dan orang-orang yang
ditanggungnya tidak akan terpenuhi, sehingga akan menimbulkan
173
kebinasaan bagi diri dan tanggungannya. Dalam keadaan seperti
ini, hukum usaha perekonomian menjadi fardhu 'ain.
C. Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa Sebagai seorang penganut
mazhab rasional Hanafi, ahl al-ra’y, Abu Yusuf mengambil
metode penalaran hukum dalam hal yang berkaitan dengan isu-
isu duniawi. Hal ini dilakukan apabila sumber hukum islam
utama, Al-Qur’an dan Sunnah, juga Ijma’, tidak
mengungkapkannya secara Sharih. Al-Syaibani salah satu rekan
sejawarat Abu Yusuf disekolah Abu Hanifah. Kerja kerasnya
tetap menyisakan begitu banyak ide perekonomian yang belum
tergali. Tetapi ia tetap diperhitungka sebagai ahli ekonomi Islam.
Risalahnya yang kecil membahas pendapatan dan belanja rumah
tangga. Dan pada kahirnya ia menilai bahwa pertanian sebagai
lapangan pekerjaan yangterbaik padahal masyarakat Arab pada
saat itu lebih tertarik untuk berniaga, itu dikarenakan kondisi dan
keadaan di Arab yang membuat masyarakat memilih untuk
berdagang.
Tabel Pemikiran Ekonomi
Nama Karya – Pemikiran
Cara Berfikir
Tokoh Karya Ekonomi Islam
Abu Kitab al- • metode • Berkaitan
Yusuf Kharaj penalaran dengan
hukum perpajakan
dalam hal • Pengeluaran
174
yang dan distribusi
berkaitan pendapatan
dengan isu- pajak
isu duniawi • Pajak tanah
• penetapan kharaj
hukumnya • Ushr
didasarkan • Reformasi
pada prinsip- Administrasi
prinsip perpajakan
penalaran tanah
analogis • Pajak lainnya
(qiyas), atas produk
preferensi turunan
hukum • Zakat
(istihsan), • Jizyah
dan • Iuran Adat
kemaslahatan
• Hukum dan
umum ketertiban
(istisla).
• Sewa tanah
• Barang dan
fasilitas
publik
• Harga,
kelangkaan
dan nilai
175
Al – • Zhahir al- • lebih • Lebih
Syaibani Riwayah mengedepan cenderung
• Al- kan istihsan pada
Nawadir dalam ekonomi
• al-Iktisab istinbath al- mikro
fiil rizq ahkam • Diawali
al- dengan
Mustahab menyajikan
• Kitab al- konsep
Asl. “kerja”.
• al-Siyar • Hukum kerja
al-Kabir itu adalah
wajib
• Sewa-
menyewa
(ijarah)
• Perdagangan
(tijarah)
• Pertanian
(zira’ah)
• Perindustrian
(sina’ah)
• Teori
produksi
• Teori
176
Konsumsi
• Klasifikasi
dan Hukum
Usaha
Latihan Soal
177
BAB IX
PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID DAN
AL-MAWARDI
178
seorang pengikut. Dia menulis banyak buku tentang al-Quran,
Sunnah, hukum, dan syair, selama satu masa jabatan Abu Ubaid
telah mampu mencurahkan seluruh waktu untuk menulis, yang
dibantu dengan dukungan keuangan seorang Gubernur kaya.
Gubernur tampaknya mengapresiasi atas kemampuan, kemuliaan,
dan pengetahuan yang dimiliki oleh Abu Ubaid.
179
sangat baik dilakukan dokumentasi. Dalam arti bahwa Abu Ubaid
lebih banyak waktu untuk memberikan bukti apa yang
dipraktikkan di masa lalu Dan mungkin harus dipraktikkan di
masanya. Dokumentasi inilah yang menjadi unggulan utama
karya Abu Ubaid ini dibandingkan dengan karya-karya
sebelumnya atau bahkan dengan karya sesudahnya.
180
kehidupan masyarakat luas. Bahkan, Abu Ubaid memberikan
kesan khusus yang berhubungan dengan masalah pertanian,
karena pada masa itu pertanian adalah bidang yang menyediakan
kebutuhan dasar dan sumber utama pendapatan negara.
181
yang bertujuan untuk individu-individu yang berkeyakinan
dengan kepentingan publik, maka yang harus didahulukan adalah
kepentingan publik.
Dalam konteks negara, Abu Ubaid memberikan kebebasan
kepada kepala negara (khalifah) untuk mengambil berbagai
kebijakan berdasar pada ajaran islam dan berorientasi pada
kemanfaatan umat islam. Sebagai ilustrasi, Abu Ubaid
berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada
negara atau penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas
harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban
agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Ilustrasi lainnya dapat dilihat pada pemikiran Abu Ubaid
tentang pembagian tanah taklukan kepada para penakluk atau
pemiliknya pada penduduk setempat atau lokal. Pemikirannya
yang menarik tentang hal ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa
pemerintah memiliki hak dalam memperluas batasan-batasan
yang telah ditetapkan dalam alokasi khams apabila kepentingan
publik sangat mendesak. Sehubungan dengan itu, maka
perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau
kemanfaatan publik bukan untuk kepentingan pribadi.
Keadilan sebagai hakikat dari filsafat ekonomi Abu Ubaid
juga mengeluarkan dalam pemikiran tentang tarif dan persentase
untuk pajak tanah. Menurut Abu Ubaid, dalam memberlakukan
tarif pajak hendaknya Memperhatikan keseimbangan antara
kekuatan finansial dari subjek non-Muslim, capacity to pay dalam
182
finansial modern, dan kepentingan umat Islam sebagai penerima
(mustahiq). Pasukan Islam yang lewat di atas tanah non-Muslim
dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang
diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa inti dari filsafat
ekonomi Abu Ubaid yang terangkum dalam konsep keadilan.
Hak ini tercermin dalam pandangannya bahwa dalam hal
pengumpulan kharáj, jizyah, dan zakat tidak bisa menyiksa pihak
wajib pajak dan pada sisi lain, para wajib pajak harus memenuhi
syarat keuangan secara teratur dan pantas. Hal ini arti bahwa Abu
Ubaid tidak menghendaki terjadinya diskriminasi atau penindasan
dalam perpajakan. Selain itu, Abu Ubaid juga memberikan ruang
ijtihad tersebut didasarkan pada nash yang ada dalam al-Quran
dan al -Sunnah.
b. Sumber Pendapatan dan Belanja Keuangan Negara
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Kitâb
al-Amwál karya Abu Ubaid itu lebih memusatkan perhatiannya
sekitar keuangan masyarakat (keuangan publik). Dalam buku ini
dideskripsikan tentang praktik yang dilakukan Rasulullah Saw.
dan Khulafa 'al-Rasyidin, terutama Umar bin Khathab sebagai
contoh ideal dalam pengelolaan keuangan masyarakat. Semua
keuangan publik ditampung dalam sebuah gerakan yang disebut
dengan Baitul Mal. Sedangkan keuangan publik pada mulanya
hanya berasal dari zakat, ghanimah, shadaqah dan fa'i. Setelah
melalui perkembang beberapa saat kemudian sumber penerimaan
183
keuangan publik pun bertambah, seperti kharáj, usyùr dan khums.
Pada masa Khalifah Umar bin Khathab Sumber pendapatan
negara hanya terdiri dari shadaqah, fa'i dan khums. Kemudian
sumber pendapatan keuangan yang dilakukan lebih jauh oleh Abu
Ubaid yang berisi kharaj, jizyah, khumus, dan usyùr.
Dalam membahas tentang pembelanjaan keuangan publik,
Abu Ubaid mengutip pendapat Umar bin Khathab yang
diriwayatkan Aslam sebagai berikut: "Telah mengatakan Umar ra
bahwa tidak muslim akan hak atas harta untuk menerima atau
menolaknya" Setelah itu Umar membacakan surah al-Hasyr ayat
7-10 dan mengatakan Umar, "Ayat ini memuat semuanya
(manusia) dan tidak termasuk seorang muslim kecuali ia
mendapatkan hak akan harta itu (harta fa 'i). Menurut riwayat
Ibnu Syibah yang menyatukan Umar membagi dewan membagi
12.000 dirham untuk para istri Rasulullah Saw., Bagian
juwairiyah dan shafiyah 6.000 dirham (karena keduanya dari
Allah untuk Rasul-Nya) kaum Muhajirin syahid Badar masing-
masing 5.000 dirham dan kaum Anshar yang syahid 4.000
dirham”.
Sehubungan dengan pendapatan publik yang berasal dari
zakat, Abu Ubaid menekankan pembelanjaannya pada delapan
golongan yang disebut dalam al-Quran. Sedangkan dalam
pendistribusian pengeluaran dari penerimaan khums (khums
ghanimah, khums barang tambang dan rikaz serta khums lainnya)
adalah ketentuan dari Rasulullah Saw. dan pendistribusiannya
184
kapan dan untuk siapa tentu juga dengan ketentuan Rasulullah
Saw. Karena keuangan publik adalah kekayaan publik, maka
dialokasikan bagi masyarakat seperti kesejahteraan anak-anak,
korban bencana, santunan dan lainnya.
c. Dikotomi Badui dan Masyarakat Kota
Persoalan menarik lainnya yang dibahas oleh Abu Ubaid
adalah masalah dikotomi masyarakat Badui dan masyarakat kota,
terutama ketika menyoroti alokasi pendapatan fa'i. Abu Ubaid
menegaskan bahwa antara kaum urban (masyarakat kota)
memiliki perbedaan dengan masyarakat badui. Masyarakat kota,
menurut Abu Ubaid, memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:
d. Kepemilikan Publik
185
Abu Ubaid mengakui keberadaan pribadi dan publik karena
pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal
dan dibahas luas oleh banyak ulama. Pengakuannya ini dibuat
dalam pernyataan: "Saya ingin mengatakan hal yang dapat
mencukupi yang pertama dan yang terakhir". Pernyataan Abu
Ubaid ini mengisyaratkan bahwa keuntungan yang dihasilkan
dapat digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.
e. Kepemilikan Kebijakan Pertanian
Abu Yusuf tampaknya telah membangun formulasi
hubungan kepemilikan dengan kebijakan negara tentang
perbaikan pertanian. Menurutnya, kebijakan pemerintah tentang
perbaikan tanah gurun dan pernyataan resmi tentang kepemilikan
individu atas tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan
kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk
meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan
untuk ditanami itu mesti dibebaskan dari pajak yang digunakan
sebagai insentif, maka tanah yang diberikan untuk ditanami itu
mesti dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.
Apabila tanah sebagai insentif untuk meningkatkan produksi
pertanian dijalankan dengan benar, makan atas tanah itu
Dibebaskan dari kewajiban dibayar pajak. Tetapi jika tanah itu
dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, maka
harus dikenakan denda dan kemudian kepemilikan dialihkan
kepada orang lain oleh penguasa. Bahkan tanah gurun milik
pribadi yang tidak diberdayakan dan ditanami dalam waktu yang
186
sama dapat dialihkan kepemilikannya kepada orang lain dengan
proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya dilakukan pada
saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus,
kering, atau rawa-rawa. Ada beberapa hukum pertanahan yang
dikemukakan oleh Abu Ubaid, diantaranya adalah sebagai
berikut.
1) lqtha
187
2) Ihya al-Mawât
3) Hima (perlindungan)
188
Abu Ubaid menggunakan teori ekonomi uang logam. Ia merujuk
pada kegunaan umum dan relatif konstan Nilai emas dan perak
dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda
digunakan sebagai komoditas yang lain, maka nilainya tidak
akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut
keduanya akan peran yang berbeda sebagai barang yang harus
dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya.
Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan
nilai (store of value) dari emas dan perak ia secara implisit
mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang
jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan
jumlah zakatnya.
g. Ekspor Impor
Pemikiran abu ubaid tentang ekspor impor ini dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu tidak adanya nol tarif dalam
perdagangan internasional, cukai bahan makanan pokok lebih
murah, dan ada batas tertentu untuk dikenakan cukai. Tidak
adanya nol tarif dalam perdagangan internasional dikarenakan
tidak adanya pungutan cukai atas muslim dan mujahid. Berkaitan
dengan bahan makanan pokok, abu ubaid berpendapat bahwa
cukai untuk minyak dan gandum yang merupakan bahan
makanan pokok banyak berdatangan ke madinah sebagai pusat
pemerintahan saat itu. sedangkan berkaitan dengan batas tertentu
untuk cukai, abu ubaid berpendapat bahwa tidak semua barang
dagangan dipungut cukainya. Yaitu, pada setiap du puluh dinar
189
mesti dikenakan ukai sebanyak satu dinar. Apabila kadarnya
kurang dari jumlah tersebut, maka hitunglah dengan kadar
kekurangannya, sehingga ia mencapai sepuluh dinar. Apabila
barang dagangannya kurang dari sepertiga dinar, maka janganlah
engkau memungut apapun darinya.
190
kewafatan Qadi Abu Taib. Setelah mengawali pendidikannya di
kota Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia berkelana di
berbagai negeri Islam untuk menuntut ilmu Di antara guru-guru
Al-Mawardi adalah al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali ,
Muhammad bin Adi bin Zuhar al-Manqiri, Jafar bin Muhammad
bin Al-Fadhl Al-Baghdad, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi,
Muhammad bin Al Ma "ali Al-Azdi, dan Ali Abu Al-Asyfarayini.
191
Temukan banyak pekerjaan yang mencakup berbagai bidang
kajian dan bernilai tinggi telah ditulis oleh al-Mawardi, seperti:
Tofsir al-Qur'án al-Karim al-amtsal, wa al-Hikâm al-Hówi al-
Kabir, al-iqna, Adab al-Dunyá wa al-Din, Siyâsâh al-Maiki,
Nasihat al-Mulük, alAhkâm al Sulthaniyyah, al-Nukat wa al-
Uyůn, dan Siyâsâh al-Wizárah wa a-Siyâsâh al-Måliki.
2. Karya al-Mawardi
Pemikiran ekonomi al-Mawardi tercermin pada tiga buah
karya tulisnya, yaitu Adab a-Dunyá wa al-Din, al-Hawi al-Kabir,
dan al -Ahkâm al-Sulthâniyyah wa Wilâyah al-Diniyah. Dalam
Adab al-Dunyah wa al-Din, al-Mawardi memaparkan tentang
perilaku ekonomi muslim dan empat jenis mata pencaharian
utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan, dan industri.
Dalam al-Háw al-Kabîr, salah satu bagiannya, al-Mawardi secara
khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan
berbagai mazhab. Dalam al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa Wilayah
al-Diniyah, al-Mawardi banyak menguraikan tentang sistem
pemerintahan dan administrasi, seperti hak dan kewajiban
pemerintahan rakyat, berbagai lembaga Negara, penerimaan dan
bergulir negara, serta babak hibah.
Namun, buku Yang paling representatif menjelaskan arti
ekonomi Islam al-Mawardi adalah al-Ahkâm al-Sulthâniyyah.
Tema besar yang diusung oleh al-Mawardi dalam bukunya itu
berhubungan dengan masalah keuangan, terutama masalah
sumber pendapatan dan belanja. Diskusi tentang zakat, ghanimah,
192
jizyah, dan kharáj, mendapatkan porsi yang sangat luas tentang
ekonomi Islam.
193
agama; (2) menegakkan hukum dan stabilitas; (3) menjaga batas
negara Islam; (4) menyediakan iklim ekonomi yang kondusif; (5)
menyediakan administrasi publik, peradilan, dan pelaksanaan
hukum Islam; (6) mengumpulkan dari berbagai sumber yang
tersedia dan ditingkatkan dengan menerapkan pajak baru jika
pikiran menuntutnya; dan (7) membelanjakan dana Baitul Mal
untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajiban.
Oleh karena negara memiliki tugas untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, menciptakan kesejahteraan rakyat, dan
membangun ekonomi pada umumnya, mewujudkan tugas yang
membutuhkan sumber pendanaan atau pendapatan. Sehubungan
dengan itu, al-Mawardi menyatakan bahwa Islam telah
memberikan banyak alternatif yang dapat digunakan sebagai
sumber pendapatan. Di antara orang-orang semacam ini adalah
zakat, ghanimah, kharaj, jizyah, dan usyür.
Dalam pembahasan tentang zakat, al-Mawardi memilah
kekayaan yang tampak dengan kekayaan yang tidak tampak.
Kekayaan yang muncul adalah kesan yang berbeda secara umum.
Adalah aset yang sulit ditemukan umum. Pengumpulan zakat atas
kekayaan yang tampak, seperti hewan dan hasil pertanian harus
dilakukan langsung oleh negara. Selain itu, tidak ada yang lain,
seperti perhiasan dan barang dagangan, termasuk untuk kaum
Muslimin.
Menurut al-Mawardi, Ghanimah adalah harta rampasan yang
bersinar pada Islam melalui peperangan. Al-Mawardi
194
menjelaskan bahwa harta ghanimah itu ada empat macam yaitu:
harta, tanah, tawanan perang, dan tawanan anak-anak atau wanita.
Distribusi harta dan tanah telah diatur dalam Islam, yaitu
seperlima bagi negara dan empat perlima bagi para tentara
lamanya. Untuk tawanan perang, para ulama telah menyediakan
keputusan untuk keputusan kepemimpinan. Sedangkan untuk
tawanan anak-anak atau wanita tidak boleh dibunuh jika mereka
termasuk ahlul kitab. Sedangkan selain ahlul kitab, kedua
tawanan ini memungkinkan mereka untuk tetap bertahan dalam
kekafirannya.
Kharaj adalah pungutan yang harus dibayar atas tanah. Oleh
karena tidak ada ketentuan yang pasti dalam al-Quran dan Hadis,
maka ketentuan-ketentuan yang digunakan untuk memerintah.
Menurut al-Mawardi, pemerintah berhak untuk pajak dan kondisi
masyarakat, dan pajak ini menjadi wajib bagi negara
membutuhkan. Al-Mawardi membagi tanah yang dikenakan
pajak itu menjadi dua macam, yaitu: (1) tanah wakaf, yaitu tanah
yang ditinggalkan oleh pemiliknya tanah yang direbut oleh kaum
muslimin tanpa melalui peperangan, dan tanah yang ditempati
oleh pemiliknya, mereka berdamai dengan pasukannya Iblam dan
bersedia membayar kharaj.
Jizyah adalah sesuatu yang diwajibkan terhadap harta yang
dimilik setiap individu dari golongan ahli dzimmah (non-Muslim)
yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam dan telah mengikat
perjanjian dengan pemerintahan. Berkaitan dengan jizyah ini,
195
menurut al-Mawardi, orang-orang yang termasuk golongan
dzimmah, terutama ahi al-kitab, memungkinkan mereka tinggal
di wilayah Islam dan memenuhi haknya, seperti tidak
menganiaya dan juga melindunginya.
Sumber pendapatan negara terakhir adalah usyur. Usyur
adalah pungutan sejenis cukai bagi barang-barang yang masuk ke
wilayah padatnya Islam dari wilayah lain. Usyùr adalah pungutan
terhadap para ahli yang berasal dari daerah ardh al-harb atau dari
negara Islam itu sendiri. Pemungutan itu dilakukan sepersepuluh
dari modal (barang) dagangan para kafir yang berasal dari dar al-
harb. usyür hanya diberlakukan untuk kafir harb dan kafir zimmi,
karena mereka tidak dikenakan kewajiban zakat.
Selanjutnya, al-Mawardi mengatakan bahwa sumber-sumber
yang ada atau yang lebih tinggi akan digunakan untuk
menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman publik. Secara
historis, hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. untuk
membiayai kepentingan dan kebutuhan sosial di masa awal
pemerintahan Madinah.
Menurut al-Mawardi, masyarakat umum harus berurusan
dengan kepentingan publik. Namun demikian, tidak semua
kepentingan masyarakat dapat dibiayai dari dana belanja
masyarakat. Al-Mawardi menyatakan bahwa ada dua jenis biaya
untuk kepentingan masyarakat, yaitu biaya untuk pelaksanaan
fungsi-fungsi dan biaya untuk umum. Dana pinjaman publik
hanya dapat digunakan untuk berbagai fungsi keuangan. Sebagai
196
jelas, al-Mawardi menyatakan bahwa ada beberapa tanggung
jawab yang timbul dari pembayaran berdasarkan biaya, biaya dan
biaya. Kewajiban seperti ini harus tetap berhubungan terlepas
dari apakah keuangan negara mencukupi atau tidak. Sumber dana
yang ada tidak mencukupi, negara dapat melakukan pinjaman
kepada publik untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Oleh karena itu, pinjaman publik dapat dilakukan oleh
negara hanya untuk membiayai kewajiban Negara yang bersifat
mandatory functions. Adapun terhadap jenis kewajiban yang
bersifat lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat,
negara dapat memberikan pembiayaan yang berasal dari dana-
dana lain, seperti pajak. Hal ini berarti bahwa implementasi
pinjaman publik baru dapat dilakukan dalam keadaan benar-
benar defisit anggaran. Selain itu, pinjaman publik tidak dapat
digunakan untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.
b. Regulasi Pajak Tanah
Beberapa ulama sebelumnya, telah dikemukakan pada bab-
bab sebelumnya, telah banyak berbicara tentang pajak tanah -
kharáj Hal yang mirip dengan yang dikemukakan pula oleh al-
Mawardi. Menurut al-Mawardi, atas fakta-fakta ini harus
bervariasi sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan
kemampuan dalam kamar, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman,
dan sistem irigasi. Kesuburan tanah merupakan faktor yang
sangat penting dalam melakukan pengukuran karena kesuburan
tanah sangat menentukan pada tingkat hasil produksi tanah itu
197
sendiri. Jenis tanaman juga mempengaruhi terhadap ketebalan
karena berbagai jenis bangunan dan harga yang berbeda.
Sedangkan masalah irigasi sebagai faktor utama karena biaya
operasional yang dikeluarkan.
Faktor-faktor lain yang dapat digunakan dalam al-Mawardi
adalah jarak antara tanah garapan kharâj dengan pasar di mana
hasil produksi itu dijual. Hal ini berarti biaya distribusi
merupakan salah satu variabel yang menentukan pada tingkat
harga. Jika jarak tempuh distribusi dekat, maka biaya akan lebih
sedikit, sehingga penilai kharaj bisa jadi biaya lebih tinggi.
Namun sebaliknya, jika jarak tempuh distribusi jauh, akan lebih
banyak, lebih mudah. Regulasi ini dilakukan untuk menciptakan
efek bagi para wajib pajak kharáj.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam
penetapan tarif pajak, yaitu: (1) metode masaih al-ardh, yaitu
metode penetapan kharáj berdasarkan ukuran tanah secara
keseluruhan; (2) metode mosa ih al-zar’i, yaitu penetapan kharaj
berdasarkan ukuran tanah yang ditanami; dan (3) metode
muqásomah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan jumlah
dari hasil produksi. Menurut al-Mawardi, penguasa atau pejabat
pemungut pajak, seminkanlah satu demi satu dari berbagai
alternatif pajak.
Metode pertama, metode masá'ih al-ardh- adalah metode mu
'tabar yang dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. Dan dilanjutkan
oleh Umar bin Khathab. Pada masa ini pajak ditetapkan pada
198
tingkat yang berbeda dan tetap atas setiap tanah yang produktif.
Metode kedua -metode masa'ih al-zar- juga dimungkinkan oleh
Umar bin Khathab yang diberlakukan atas tanah-tanah tertentu,
terutama tanah yang berlokasi di Syiria. Sedangkan metode
ketiga metode muqasamah untuk pertama kalinya diterapkan
pada masa Dinasti Abbasiyah, terutama pada masa Khalifah al-
Mahdi dan Harun al-Rasyid.
c. Bayt al-Mal
Bayt a-mál adalah lembaga atau pihak yang memiliki tugas
Khusus menangani harta, baik berupa pendapatan negara. Selain
itu, bayt al-mál juga dapat diartikan secara fisik sebagai tempat
untuk menyimpan dan mengelola berbagai macam harta yang
menjadi pendapatan negara. Dalam konteks negara itu sendiri
bayt al-mal adalah lembaga negara yang mengelola penerimaan
dan belarja negara yang bersumber dari zakat, kharaj, jizyah, fa’i,
ghanimah, dan lainnya yang dibenarkan Syara dan digunakan
untuk kepentingan umat.
Menurut al-Mawardi, negara keuangan yang ada di Bayt al-
mål dapat digunakan untuk membiayai belanja negara dalam
rangka kebutuhan dasar setiap warganya. Kewenangan fungsi
sumber pendapatan dari selain zakat -kharaj, jizyah, fa'l,
ghanimah, dan lain-lain yang bersumber daya dalam upaya
menciptakan kesejahteraan rakyat dan mobilitas negara.
Sedangkan sumber pendapatan dari zakat hanya digunakan untuk
bagian yang telah ditentukan oleh al-Quran.
199
Pada bagian lain, al-Mawardi menyatakan bahwa pendapatan
bayt al-mål di daerah yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan belanja masyarakat di daerahnya masing-masing. Jika
ada kelebihan barulah Pendapatan daerah itu disetor ke bayt al-
mal pusat. Jika pembayaran lebih dari satu kali, maka biaya
tersebut akan dibebankan ke daerah lain yang mengalami defisit.
Sebagai intuisi keuangan Negara, maka bayt al-mal memiliki
beberapa tanggung jawab. Berkaitan dengan tanggung jawab bayt
al-mal ini, Al-Mawardi membaginya kepada dua klasifikasi
tanggung jawab, yaitu: (1) tanggung jawab yang Muncul sebagai
nilai yang lebih tinggi (bada), seperti untuk pembayaran gaji para
tentara dan pembiayaan senjata dan (2) tanggung bertanggung
jawab atas dana bantuan dan pertanggungjawaban umum.
Tanggung jawab pertama dalam rangka jaminan lingkungan atas
jalannya Alokasi dana yang dikeluarkan dari bayt al-mál ini
sebagai biaya operasional pemerintahan. Sedangkan tanggung
jawab bayt al-mal bagi kami untuk perubahan Rakyat negara bayt
al-mål kedua digunakan untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat.
Kata kunci dalam kebijakan Negara dalam mengalokasikan
sumber keuangan bayt al-mal adalah mashlahah. Negara hanya
boleh menggunakan dana bayt a-mål untuk kemaslahatan umum.
Belanja harta bayt al-mál hanya diorientasikan untuk
pembangunan dalam rangka untuk semua orang. Memungkinkan
200
mengalokasikan harta bayt al-mal hanya untuk kepentingan
tertentu atau bagi komunitas tertentu.
Menurut al-Mawardi, untuk menjamin pendistribusian harta
bayt al-mál sesuai dengan ketentuan dan tepat sasaran, sudah
bertentangan pemberdayaan dewan hisbah. Oleh karena itu, salah
satu fungsi muhtasib adalah orang-orang yang berkepentingan
dengan kebutuhan umum dan proyek-proyek untuk masyarakat
umum. Atas rekomendasi muhtasib, negara harus menjamin
tersedianya fasilitas umum yang diperbolehkan oleh masyarakat
luas. Selain itu, negara juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan
minimal dari masyarakat miskin. Kewajiban orang-orang yang
memenuhi kebutuhan individu-individu, tidak ada yang menjadi
bersumber dari bayt a-mal.
C. Kesimpulan
201
Pemikiran ekonomi al- Mawardi tercermin dalam karyanya
yang berjudul Adab al-Dunya wa al-Din, al-Hawi al-Kabir, dan
al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa Wilayah al-Diniyah. Menyatakan
bahwa negara dan kegiatan ekonomi memiliki korelasi yang kuat,
yaitu sebagai berikut : 1. Pembentukan imamah merupakan suatu
keharusan demi terpeliharanya agama dan kepentingan
masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan
ekonomi, 2. Negara harus menyediakan infrastuktur yang
diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan
umum, 3. Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan
dasar setiap warga negara, 4. Negara wajib mengatur dan
membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik,
5. Negara dapat menggunakan dana baitul mal atau
membebankan kepada individu-individu yang kaya untuk
mengadakan proyek pemenuhan umum, 6. Negara diperbolehkan
untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman kepada
publik.
202
kharaj, jizyah,
khums, dan ‘usyur.
• Pembelanjaan negara
terdapat dua bagian
besar: 1. Pendapatan
publik berasal dari
zakat
dialokasikanpada 8
asnaf, 2. Pendapatan
publik yang berasal
dari khums
dialokasikan untuk
kesejahteraan publik.
• Dikotomi badui dan
masyarakat kota
(antara kaum urban
memiliki perbedaan
dengan masyarakat
badui).
• Kepemilikan publik
(keuntungan yang
dihasilkan dapat
dimanfaatkan untuk
kemaslahatan umat
islam).
203
• Kebijakan pertanian
meningkatkan
produksi pertanian,
maka tanah yang
diberikan untuk
ditanami itu mesti
dibebaskan dari
kewajiban membayar
pajak. Beberapa
hukum pertahanan
yaitu Iqtha, Ihya al-
Mawat, Hima
(perlindungan).
• Fungsi uang : 1.
Sebagai standar dari
nilai pertukaran, 2.
Sebagai media
pertukaran.
• Ekspor impor : 1.
Tidak adanya nol
tarif dalam
perdagangan
internasional, 2.
Cukai bahan
makanan pokok lebih
204
murah, 3. Ada batas
tertentu untuk
dikenakan cukai.
2. Al- Adab al-Dunya • Negara
Mawardi wa al-Din menyediakan
(perilaku infrastuktur yang
ekonomi dibutuhkan
seorang muslim masyarakat luas.
dan 4 jenis mata • Sumber pendapatan
pencaharian). berasal dari zakat,
Al-Hawi al- ghanimah, kharaj,
Kabir jizyah, dan ‘usyur.
(Mudharabah • Regulasi pajak
dalam tanah, untuk
perbandingan meniptakan keadilan
berbagai bagi para wajib
mazhab). pajak kharaj.
Al-ahkam al- Beberapa metode
Sultaniyyah wa yang digunakan
Wilayah al- yaitu 1. Metode
Diniyah (Sistem masa’ih a l-ardhi
pemerintahan (penetapan kharaj
dan berdasarkan ukuran
administrasi). tanah secara
keseluruhan, 2.
205
Metode masa’ih al-
zar’i (penetapan
kharaj berdasarkan
ukuran tanah yang
ditanami) 3. Metode
muqasamah
(penetapan kharaj
berdasarkan
persentase dari hasil
produksi).
• Keuangan negara
yang terdapat di
bayt al-mal dapat
digunakan untuk
membiayai belanja
negara dalam rangka
memenuhi
kebutuhan dasar
setiap warganya.
Latihan Soal
206
BAB X
207
Ghazali belajar kepada Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al-
Juwaini. Setelah itu ia berkunjung ke kota Baghdad, ibu kota
Daulah Abbasyah, dan bertemu dengan Wazir Nizham Al-Mulk.
Darinya Al-Ghazali mendapat penghormatan dan penghargaan
yang besar. Pada tahun 483 H (1090 M), ia diangkat menjadi
guru di madrasah Nizhamiyah. Pekerjaan ini dilaksanakan dengan
sangat berhasil, sehingga para ilmuan pada masanya itu
menjadikannya sebagai referensi utama.
Al-Ghazali juga melakukan bantahan-bantahan terhadap
berbagai pemikiran batiniyah, ismailiyah, filosof, dan lain-lain.
Pada masa ini, sekalipun telah menjadi guru besar, ia masih
merasakan kehampaan dan keresahan dalam dirinya. Akhirnya,
setelah merasakan bahwa hanya kehidupan Sufistik yang mampu
memenuhi kebutuhan rohaninya, Al-Ghazali memutuskan untuk
menempuh tasawuf sebagai jalan hidupnya.
Pada tahun 488 H (1050 M), atas desakan penguasa pada
masa itu, yaitu Wazir Fakhr Al-Mulk, Al-Ghazali kembali
mengajar di madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Akan tetapi,
pekerjaanya itu hanya berlangsung selama dua tahun. Ia kembali
lagi ke kota Tus untuk mendirikan sebuah madrasah bagi para
Fuqaha dan Mutashawwifin. Al-Ghazali memilih kota ini
sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya untuk
menyebarkan ilmu pengetahuan, hingga meninggal dunia pada 14
Jumadil Akhir H (Desember 1111 M).
208
2. Karya-karya Al-Ghazali
Selain dikenal sebagai ulama sufi, Al-ghazali juga banyak
memikirkan fiqih berbagai bidang termasuk diantaranya fiqih
muamalah. Beliau merupakan sosok ilmuan dan penulis yang
sangat produktif. Berbagai tulisannya banyak menarik perhatian
dunia, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Al-
ghazali diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya yang
meliputi berbagai disiplin ilmu seperti logika, filsafat, moral,
tafsir, fiqih, ilmu-ilmu Al-Qur’an, tasawuf, politik, administrasi,
dan pelaku ekonomi. Namun demikian, yang ada hingga kini
hanya 84 buah. Diantaranya adalah Ihya’ Ulum al-Din, al-
Munqidz min al-Dhalal, Tahafut al-Falasifah, Minhaj Al-‘Abidin,
Qawa’id Al-‘Aqaid, al-Mushtasfamin ‘Ilm al-Ushul, Mizan al-
‘Amal, Misykat al-Anwar, Kimia al-Sa’adah, al-Wajiz, Syifa al-
Ghalil, dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk.
3. Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali
Sebagaimana halnya para cendekiawan muslim terdahulu,
perhatian Al- Ghazali terhadap kehidupan masyarakat tidak
terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia. Pemikiran ekonomi Al- Ghazali didasarkan
pada pendekatan Tasawuf. Corak pemikiran ekonominya tersebut
dituangkan dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, al- Mustashfa, Mizan
Al- ‘Amal, dan At- Tibr al Masbuk fi Nasihat Al- Muluk.
Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah
konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial” yakni
209
sebuah konsep yangmencakup semua aktifitas manusia dan
membuat kaitan yang erat antara indifidu dengan masyarakat.
Fungsi kesejahteraan ini sulit diruntuhkan dan telah dirindukan
oleh para ekonomi kontemporer.
Al-Ghazali telah mengidentifikasikan semua masalah baik
yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid
(disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial.
Menurut Al-Ghazali, kesejahteran (maslahah) dari suatu
masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima
tujuan dasar, yakni agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs)
keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (mal), dan
intelek atau akal (aql). Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan
wahyu, tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk
mencapai kebaikan di dunia dan akhirat (maslahat al-dinwa al-
dunya).
Al-Ghazali juga mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi
kesejahteraan sosialnya dalam sebuah kerangka hierarki utilitas
individu dan sosial yang tripartie yakni kebutuhan (daruriat),
kesenangan atau kenyamanan (hajat), dan kemewahan
(tahsinaat). Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi
peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan
oridinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap
barang-barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang-barang
psikis.
210
Menurut Al-Ghazali, kegiatan ekonomi merupakan kebajikan
yang dianjurkan oleh islam. Al-Ghazali membagi manusia dalam
tiga kategori, yaitu: pertama, orang yang mementingkan
kehidupan duniawi golongan ini akan celaka. Kedua, orang yang
mementingkan tujuan akhirat daripada tujuan duniawi golongan
ini kan beruntung. Ketiga, golongan yang kegiatan duniawinya
sejalan dengan tujuan-tujuan akhirat.
Al-Ghazali menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus
dilakukan secara efisien karena merupakan bagian dari
pemenuhan tugas keagamaan seseorang. Ia mengidentifikasi tiga
alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktivitas
ekonomi, yaitu:[7]pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup
yang bersangkutan. Kedua, untuk mensejahterakan
keluarga. Ketiga, untuk membantu orang lain yang
membutuhkan.
Manusia dipandang sebagai maximizers dan selalu ingin
lebih. Al-Ghazali tidak hanya menyadari keinginan manusia
untuk mengumpulkan kekayaan tetapi juga kebutuhannya untuk
persiapan dimasa depan. Namun demikian ia memperingatkan
bahwa jika semangat selalu ingin lebih ini menjurus kepada
keserakahan dan pengejaran nafsu pribadi, hal itu pantas dikutuk.
Dalam hal ini, ia memandang kekayaan sebagai ujian terbesar.
Lebih jauh, Al-Ghazali menyatakan bahwa pendapatan dan
kekayaan seseorang berasal dari tiga sumber, yaitu pendapatan
melalui tenaga individual, laba perdagangan, dan pendapatan
211
karena nasib baik. Namun, ia menandaskan bahwa berbagai
sumber pendapatan tersebut harus diperoleh secara sah dan tidak
melanggar hukum agama.
Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai
pembahasan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya’ Ulum al-
Din. Bahasan ekonomi Al-Ghazali dapat dikelompokkan
menjadi: pertukaran sukarela dan evolusi pasar, produksi, barter
dan evolusi uang, serta peranan negara dan keuangan publik.
a. Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar
Pasar merupakan suatu tempat bertemunya antara penjual
dengan pembeli. Proses timbulnya pasar yang beradasarkan
kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga
dan laba. Tidak disangsikan lagi, Al-Ghazali tampaknya
membangun dasar-dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai
“Semangat Kapitalisme”. Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi
sebagai bagian dari ‘’hukum alam’’ segala sesuatu, yakni sebuah
ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling
memuaskan kebutuhan ekonomi.
Menurut Ghazali setiap perdagangan harus menggunakan
cara yang terhormat. Sesungguhnya para pedagang pada hari
kiamat nanti akan dibangkitkan seperti para pelaku dosa besar,
kecuali yang bertaqwa pada Allah,berbuat kebajikan dan jujur.
Penimbunan barang merupakan tindakan kriminal terhadap moral
dan sosial. Hal tersebut merupakan jalan pintas untuk memakan
harta orang lain,dengan cara bathil. Kejahatan paling
212
membahayakan yang dilakukan para pelaku bisnis pada zaman
modern ini adalah membakar sebagian hasil pertanian sehingga
harganya di pasar tidak menurun, justru akan melonjak tinggi.
1) Permintaan, Penawaran, Harga, dan Laba
Sepanjang tulisannya, Al- Ghazali berbicara mengenai
“harga yang berlaku seperti yang ditentukan oleh praktek-praktek
pasar”, sebuah konsep yang dikemudian hari dikenal sebagai al-
tsaman al- adil(harga yang adil) dikalangan ilmuan Muslin
atau equilibrium price (harga keseimbangan) dari kalangan
ilmuan Eropa kontemporer.
Bagi Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan
alami”. Ia menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Al-
Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan mengenai perdagangan
regional. Waleupun Al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan
dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa tulisannya
jelas menjelaskan bentuk kurva permintaan dan penawaran.
Untuk kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan
atas” dinyatakan oleh dia sebagai “jika petani tidak mendapatkan
pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang
lebih murah”. Sementara itu untuk kurva permintaan yang “turun
dari kiri atas ke kanan bawah” dijelaskan oleh beliau sebagai
“harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”.
Al-Ghazali juga telah memehami konsep elastisitas
permintaan, yang dinyatakan dengan “Mengurangi margin
keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan
213
meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan
meningkatkan keuntungan”. Al-Ghazali juga menyadari
permintaan “harga inelastis”.
Al-Ghazali bersikap sangat kritis terhadap laba yang
berlebihan. Ia menyatakan bahwa laba normal berkisar antara 5
sampai 10 persen dari harga barang. Lebih jauh ia menekankan
bahwa penjual seharusnya didorong oleh laba yang akan
diperoleh dari pasar yang hakiki yakni akhirat.
2) Etika Perilaku Pasar
Dalam pandangan Al- Ghazali, pasar harus berfungsi
berdasarkan etika dan moral para pelakunya. Secara khusus,
ia memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara
menimbun makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya,
memberikan informasi yang salah mengenai berat, jumlah dan
harga barangnya, melakukan praktik-praktik pemalsuan,
penipuan dalam mutu barang dan pemasaran, serta melarang
pengendalian pasar melalui perjanjian rahasia dan manipulasi
harga.
Pasar harus berjalan dengan bebas dan bersih dari segala
bentuk penipuan, serta para perilaku pasar harus mencerminkan
kebajikan seperti bersikap lunak ketika berhubungan dengan
orang miskin dan fleksibel dalam transaksi utang, bahkan
membebaskan utang orang-orang miskin tertentu.
214
b. Aktivitas Produksi
Al Ghazali memberikan perhatian yang cukup besar ketika
menggambarkan berbagai macam aktifitas produksi dalam sebuah
masyarakat, termasuk hirarki dan karakteristiknya. Fokus
utamanya adalah tentang jenis aktifitas yang sesuai dengan dasas-
dasar ekonomi islam.
1) Produksi Barang-barang Kebutuhan Dasar Sebagai
Kewajiban Sosial
Seperti yang telah dikemukakan, Al Ghazali menganggap
kerja adalah sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara
khusus ia memandang bahwa produksi barang barang kebutuhan
dasar sebagai kewajiban sosial (fard al- kifayah). Hal ini jika
telah ada sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha
yang memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang
mencukupi kebutuhan masyarakat, maka kewajiban masyarakat
telah terpenuhi. Namun jika tidak ada seorangpun yang
melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah yang
diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat semua akan
dimintai pertanggungjawabananya di akhirat. Dalam hal ini, pada
prinsipnya negara harus bertanggung jawab dalam menjamin
kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan barang-barang pokok.
2) Hierarki Produksi
Secara garis besar, Al-Ghazali membagi aktifitas produksi
kedalam tiga kelompok:
215
• Industri dasar, yakni industri-industri yang menjaga
kelangsungan hidup manusia
• Aktivitas penyokong, yaitu aktifitas yang bersifat tambahan
bagi industri dasar.
• Aktivitas komplementer, yaitu aktivitas yang berkaitan
dengan industri dasar
Kelompok pertama adalah kelompok yang paling penting
dan peranan pemerintah sebagai kekuatan mediasi dalam
kelompok ini cukup krusial. Ketiga kelompok ini harus
ditingkatkan secara aktif untuk menjamin keserasian lingkungan
sosioekonomi.
3) Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitannya
Adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk
tersebut dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan produksi yang
beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi, dan
kerja sama. Beliau juga menawarkan gagasan mengenai
spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga.
Al-Ghazali mengidentifikasi tiga tingkatan persaingan, yakni
persaingan yang wajib yaitu persaingan yang berhubungan
dengan kewajiban agama dalam rangka memperoleh
keselamatan. Persaingan yang disukai yaitu yang berhubungan
dengan perolehan barang kebutuhan pokok, pelengkap, dan juga
membantu pemenuhan kebutuhan orang lain. Sedangkan
persaingan yang tidak diperbolehkan yaitu yang berhubungan
dengan barang-barang mewah.
216
c. Barter dan Evolusi Uang
Salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian adalah
uang. Al-Ghazali menjelaskan bagaimana uang mengatasi
permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran barter, akibat
negatif dari pemalsuan dan penurunan nilai mata uang, serta
observasi yang mendahului observasi serupa beberapa abad
kemudian yang dilakukan oleh Nicholas Oresme, Thomas
Gresham, dan Richard Cantilon.
1) Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap Uang
Al-Ghazali mempunyai wawasan terhadap mengenai
berbagai problema barter yang dalam istilah modern disebut
sebagai:
• Kurang memiliki angka penyebut yang sama (Lack of
common denominator)
• Barang tidak dapat dibagi-bagi (Indivisibility of goods)
• Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double
coincidence of wants)
Pertukaran barter menjadi tidak efisien karena adanya
perbedaan karakteristik barang-barang. Al-Ghazali menegaskan
bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan
kebiasaan (konvensi) yakni tidak akan ada masyarakat tanpa
pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa
ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan
dengan tepat bila ada ukuran yang sama.
217
2) Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan
dengan Hukum Ilahi
Uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Uang baru
akan memiliki nilai jika digunakan dalam pertukaran. Ghazali
menyatakan bahwa salah satu tujuan emas dan perak adalah
untuk dipergunakan sebagai uang. Beliau juga mengutuk mereka
yang menimbun keping-kepingan uang.
3) Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang
Uang dapat diproduksi secara pribadi hanya dengan
membawa emas dan perak yang sudah ditambang ke percetakan.
Standar uang komoditas, dulunya muatan logam suatu koin sama
nilainya dengan nilai koin tersebut sebagai uang. Jika ditemukan
emas dan perak lebih banyak, persediaan uang akan naik. Harga
juga akan naik, dan nilai uang akan turun.
Perhatiannya ditujukan pada problem yang muncul akibat
pemalsuan dan penurunan nilai, karena mencampur logam kelas
rendah dengan koin emas atau perak, atau mengikis muatan
logamnya. Pemalsuan uang bukan hanya dosa perorangan tetapi
berpotensi merugikan masyarakat secara umum. Penurunan nilai
uang karena kecurangan pelakunya harus dihukum.
Namun, bila pencampuran logam dalam koin merupakn
tindakan resmi negara dan diketahui oleh semua penggunanya,
hal ini dapat diterima. Beliau membolehkan kemungkinan uang
representatif (token money) yang disebut sebagai teori uang
feodalistik yang menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk
218
mengubah muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli
penguasa foedal.
4) Larangan Riba
Riba merupakan praktik penyalahgunaan fungsi uang yang
berbahaya, sebagaimana penimbunan barang untuk kepentingan
individual. Seperti halnya para ilmuan Muslim dan Eropa, pada
umumnya mengasumsikan bahwa nilai suatu barang tidak terkait
dengan berjalannya waktu. Terdapat dua cara bunga dapat
muncul dalam bentuk yang tersembunyi. Bunga dapat muncul
jika ada pertukaran emas dengan emas, tepung dengan tepung,
dan sebagainya, dengan jumlah yang berbeda atau dengan waktu
penyerahan yang berbeda. Jika waktu penyerahan tidak segera
dan ada permintaan untuk melebihkan jumlah komoditi,
kelebihan ini disebut riba al-nasiah. Jika jumlah komoditas yang
diperlukan tidak sama, kelebihan yang diberikan dalam
pertukaran tersebut disebut riba al-fadl. Menurut Ghazali kedua
bentuk transaksi tersebut hukumnya haram.
Jika pertukaran melibatkan komoditas dengan jenis yang
sama, seperti logam (emas dan perak) atau bahan makanan
(gandum atau gerst), hanya riba al-nasiah yang dilarang,
sementara riba al-fadl diperbolehkan. Bila pertukarannya antara
komoditas dengan jenis yang berbeda (logam dan makanan)
keduanya diperbolehkan.
219
d. Peran Negara dan Keuangan Publik
Negara dan agama merupakan tiang yang tidak dapat
dipisahkan. Negara sebagai lembaga yang penting bagi
berjalannya aktivitas ekonomi. Sedangkan agama adalah
fondasinya dan penguasa yang mewakili negara adalah
pelindungnya. Apabila salah satu dari tiang tersebut lemah,
masyarakat akan runtuh.
1) Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan
Stabilitas
Untuk meningkatkan kemakmuran perekonomian,negara
harus menegakkan keadilan, kedamaian, keamanan, serta
stabilitas. Apabila terjadi ketidakadilan dan penindasan, maka
penduduk akan berpindah ke daerah lain dan mereka tentunya
akan meninggalkan sawah dan ladang. Hal itu mengakibatkan
pendapatan publik menurun dan kas negara kosong, sehingga
kebahagiaan dan kemakmuran menghilang.
Al-Ghazali menekankan bahwa negara juga harus mengambil
tindakan untuk menegakan kondisi keamanan secara internal dan
eksternal. Diperlukan seorang tentara untuk melindungi rakyat
dari kejahatan. Diperlukan pula peradilan untuk menyelesaikan
sengketa, serta hukum dan peraturan untuk mengawasi perilaku
orang-orang agar mereka tidak berbuat seenaknya.
Al-Ghazali juga mendukung al-hisabah – sebuah badan
pengawas yang dipakai banyak negara Islam pada waktu itu, dan
berfungsi mengawasi praktik pasar yang merugikan. Praktik-
220
praktik yang perlu diawasi diantaranya seperti timbangan serta
ukuran yang tidak benar, iklan palsu, pengakuan laba palsu,
transaksi barang haram, kontrak yang cacat, kesepakatan yang
mengandung penipuan, dan lain-lain.
2) Keuangan Publik
Dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali mendefinisikan
bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai
sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap
tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh
karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak
mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis
warna.
a) Sumber Pendapatan Negara
Hampir seluruh pendapatan yang ditarik oleh para penguasa
dizaman Ghazali melanggar hukum. Sumber-sumber yang sah
seperti zakat, sedekah, fa’i, dan ghanimah tidak ada. Hanya
diberlakukan jizyah tetapi dikumpulkan dengan cara yang tidak
legal. Dalam memanfaatkan pendapatan negara, negara
seharusnya bersifat fleksibel serta berlandaskan kesejahteraan.
Al-Ghazali menjelaskan: “kerugian yang diderita orang
karena membayar pajak lebih kecil bila dibandingkan dengan
kerugian yang muncul akibat resiko yang mungkin timbul
terhadap jiwa dan harta mereka jika negara tidak dapat menjamin
kelayakan penyelenggaranya.”
221
Yang dikemukakan Ghazali merupakan cikal bakal dari apa
yang sekarang disebut sebagai analisis biaya-manfaat, yakni
pajak dapat dipungut untuk menghindari kerugian yang lebih
besar di masa yang akan datang.
b) Utang Publik
Utang publik diizinkan jika memungkinkan untuk menjamin
pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan datang.
Contoh utang seperti ini adalah Revenue Bonds yang digunakan
secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.
c) Pengeluaran Publik
Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang
direkomendasikan Al-Ghazali bersifat agak luas dan longgar,
yakni penegakan sosioekonomi, keamanan dan stabilitas negara,
sera pengembangan suatu masyarakat yang makmur. Walaupun
memilih pembagian sukarela sebagai suatu cara untuk
meningkatkan keadilan sosioekonomi, Al-Ghazali membolehkan
intervensi negara sebagai pilihan bila perlu, untuk mengeliminasi
kemiskinan dan kesukaran yang meluas. Mengenai
perkembangan masyarakat secara umum, Al-Ghazali menunjukan
perlunya membangun infrastruktur sosioekonomi. Ia berkata
bahwa sumber daya publik “seharusnya dibelanjakan untuk
pembuatan jembatan-jembatan, bangunan keagamaan (masjid),
pondok, jalan, dan aktivitas lainnya yang senada yang
manfaatnya dapat dirasakan oleh rakyat secara umum.”
222
Al-Ghazali menekankan kejujuran dan efisiensi dalam urusan
di sektor publik. Ia memandang perbendaharaan publik sebagai
amanat yang dipegang oleh penguasa, yang tidak boleh bersikap
boros.
B. Pemikiran Ekonomi Ibn Rusyd
1. Biografi Ibn Rusyd
Nama asli Ibn Rusyd adalah Abu al-Wahid Muhammad ibn
Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Beliau lahir di Cordova pada
tahun 520 H/1126 M. Memiliki keluarganya yang terkenal alim
dalam hal ilmu Fiqh. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala
pengadilan di Andalausia. Latar belakang keagamaan inilah yang
memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan yang tinggi
dalam studi-studi keislaman.
Ibn Rusyd hidup dalam situasi politik yang sedang
berkecamuk. Dia lahir pada masa pemerintahan Almurafiah yang
digulingkan oleh golongan Almuhadiah di Marrakusy pada tahun
542 H/1147 M, yang menaklukkan Cordova pada tahun 543 H /
1148 M. Gerakan Almuhadiah dimulai oleh Ibn Tumart yang
menyebut dirinya sebagai Al-Mahdi. Dia berupaya meniru
golongan Fatimiyah, yang muncul seabad sebelumnya dan
berhasil mendirikan sebuah kekaisaran di Mesir dalam hal
semangat berfilsafat mereka. Penafsiran-penafsiran rahasia
mereka serta kehebatan mereka dalam bidang astronomi dan
astrologi. Tiga orang pewarisnya, dari golongan Almuhadiah
‘Abd Al-Mu’min, Abu Ya’qub, dan Abu Yusuf, yang diabdi oleh
223
Ibn Rusyd, terkenal karena semangat berilmu dalam berfilsafat
mereka. Dia lebih dikenal dan dihargai di Eropa Tengah daripada
di Timur dikarenakan beberapa sebab, antara lain:
a. Tulisan-tulisannya yang banyak jumlahnya itu diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin dan diedarkan serta dilestarikan,
sedangkan teks asli dalam bahasa Arab dibakar atau dilarang
diterbitkan lantaran mengandung semangat anti filsafat dan
filosof.
b. Eropa pada zaman Renaissance dengan mudah menerima
filsafat dan metode ilmiah sebagaimana yang dianut Ibn
Rusyd, sedangkan di Timur ilmu dan filsafat mulai
dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis
dan keagamaan.
Aib dan siksaan yang diterimanya serta diusirnya dia dari
tanah kelahirannya pada tahun 593 H/1196 M merupakan akibat
dari pertentangan. Pertarungan antara kaum agamawan dan
filosof untuk mendapatkan kekuasaan politik, tidak pernah reda
sejak abad ke-3 H/ke-9 M. Beberapa penjelasan mengenai
dibuangnya ibn Rusyd ke Lucena, dekat Cordova. Tipu daya
yang dilancarkan oleh kaum agamawan itu berhasil. Hal itu
mengakibatkan Ibn Rusyd bukan saja dihukum buang tapi juga
tulisan-tulisannya dibakar dimuka umum. Tapi aib yang diderita
oleh ibn Rusyd tidak berlangsung lama. Ibn Rusyd pergi ke
Marrakusy, dan dia meninggal pada tahun 595 H/1198 M.
224
2. Karya-Karyanya
Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat,
Ibn Rusyd juga telah membuat sebuah karya dalam tulisannya.
Karya-karya Ibn Rusyd benar-benar memuat sudut pandang ke
arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut :
a. Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan
menyanggah butir demi butir keberatan terhadap al-Ghazali
tentang keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas
akal yang dikaitkan dengan agama yang murni rasional.
b. Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-
Ittishal (Kitab ini berisikan tentang hubungan antara
filsafat dengan agama)
c. Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat,
(berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan
sufi)
d. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan
uraian-uraian di bidang fiqih).
Dan masih banyak lagi.
225
Namun, menurut pendapat al-Imam al-Sarakhsi, al-
mudharabah dari sudut bahasa diambil dari ayat “al-dharb fi al-
ard”. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan adanya perjalanan,
usaha, dan aksi oleh pelaku bisnis atau usahawan (mudarib) yang
berhak atas kadar tertentu dari keuntungan yang diperoleh dari
hasil usaha perjalanannya dalam penyertaan modal (shahib al-
mal/rabb al-mal).
Dasar akad mudharabah adalah ijab (offer) dan qabul
(acceptance). Jika pemilik harta, dana, atau modal (rabb al-maal)
berkata kepada seseorang (usahawan atau agen) untuk mengambil
modal dan menginvestasikannya dalam usaha tertentu, dan
sepakat untuk berkongsi dalam kadar keuntungan tertentu seperti
½ : ½ atau 50:50 atau 70:30, maka akad al-mudharabah antara
kedua belah pihak telah terjadi.
Secara umum, mudharabah merupakan akad perkongsian
antara pemilik modal (rabb al-mal) atau beberapa orang pemilik
(arbab al-amwal) dengan usahawan, pekerja, atau siapapun (amil,
mudharib, muqaridh) yang diamanahkan untuk menjalankan
usaha dengan modal tersebut kemudian mengembalikan kapital
kepada pemilik harta dengan kadar keuntungan yang disetujui
bersama. Bagian keuntungan yang dimiliki oleh usahawan adalah
dalam kadar tertentu yang disetujui bersama semasa akad.
Kerugian yang dialami oleh usahawan ialah kerugian dari sudut
waktu dan tenaga yang dicurahkan dalam aktivitas usaha yang
tidak mendapat keuntungan apa-apa.
226
Dalam hal mengemukakan konsep dan teori mudharabah,
pandangan Ibn Rusyd sama persis dengan penjelasan di atas.
Dalam pandangannya, semua umat Islam sepakat atas kebolehan
akad ini.
b. Legitimasi Akad Mudharabah
Dalam keabsahan akad mudharabah, Ibn Rusyd tidak
mengemukakan dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah
SAW yang menjadi dasar keabsahan sebagaimana kebiasaan
fuqaha’ lain dalam penulisan mereka. Namun demikian, dapat
dipahami dari pandangannya bahwa hadits-hadits yang
dikemukakan oleh para ulama tidak perlu diungkap lagi karena
sudah disetujui dan digunakan secara umum di kalangan fuqaha’.
Menurut para ahli fikih (fuqaha’), keabsahan akad ini
mensyaratkan adanya kemampuan manajerial yang bertendensi
pada profit atau laba (al-ribhu). Menurut al-Sarakhsi, masyarakat
memerlukan akad ini karena adanya simbiosis mutualisme antara
pemilik modal yang ingin berinvestasi dan pekerja atau manajer
yang cakap dalam mengurus modal. Jadi, akad mudharabah ini
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (growth)
yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat luas.
c. Modal Investasi Mudharabah
Berkenaan dengan modal al-mudharabah, Ibn Rusyd
menyatakan bahwa fuqaha’ telah bersepakat membolehkan modal
akad al- mudharabah dalam bentuk uang atau alat tukar (al-
dananir dan al-darahim). Sementara, mereka berbeda pendapat
227
jika modal yang diinvestasikan dalam bentuk barang (al-‘arud/al-
sila’). Para Fuqaha’ dan penulis menyatakan alasan mengapa
uang dijadikan modal dalam mudharabah karena memiliki nilai
yang bisa dijadikan alat transaksi abadi. Berdasarkan alasan
inilah para fuqaha’ dalam mazhab Maliki, termasuk Ibn Rusyd
dan Syafi’I tidak membolehkan penggunaan al-fulus (mata uang
lokal) atau jenis mata uang yang tidak diakui sebagai modal
dalam akad al-mudharabah. Dalam hal modal investasi barang
dan jasa, Ibn Rusyd menyatakan bahwa Jumhur Fuqaha’ tidak
membolehkannya. Argumen atau hujjah yang digunakan yakni
karena bisa membawa kepada unsur gharar dan ketidakpastian
dalam akad. Ini berlaku apabila barang yang dijadikan modal
dinilai berdasarkan jumlah atau harga yang berbeda oleh orang
lain. Ketidakpastian nilai barang (modal) akan menimbulkan
perselisihan ketika akhir transaksi. Selain Ibn Rusyd, dalam hal
ini para fuqaha’ mengemukakan alasan bahwa kemungkinan
harga barang tidak stabil dalam pasar yang hanya akan
menguntungkan satu pihak (instabilitas). Misalnya, jika harga
barang naik, ia akan memberi keuntungan lebih kepada pekerja,
hal yang sama juga berlaku jika harga barang jatuh, maka pihak
pemilik modal dan pekerja akan rugi.
Menurut Ibn Rusyd, Imam Malik dengan jelas menyatakan
bahwa akad al-qiradh (al-mudharabah) sah jika modal investasi
menggunakan mata uang (al-dananir dan al-darahim) dan tidak
boleh dalam bentuk barang (‘urud) ataupun (sila’). mazhab
228
Maliki lainnya membenarkan penggunaan barang sebagai modal
dengan syarat investor meminta pekerja menjual barang itu
terlebih dahulu dan menggunakan uang tunai hasil penjualan
sebagai modal.
d. Bentuk Akad Mudharabah
Dalam fikih, dikenal banyak usaha dan transaksi yang
berkaitan dengan aktifitas investasi sebagai upaya untuk
mendapatkan laba yang halal bagi semua pihak. Dengan
menggunakan modal dari shahib al-mal, seperti mudharabah,
musyarakah, rahn, dan sebagainya. Dalam tulisannya, Ibn Rusyd
telah menyentuh perkara tersebut secara ringkas sebagaimana
fuqaha’ lain dalam mazhab Maliki dan Syafi’i. Hanya fuqaha’
mazhab Hanafi telah menjelaskan dengan detail tentang peranan
dan kebebasan yang bisa dimainkan oleh pekerja semasa
mengoperasikan atau memutar modal shahib al-mal dan
meletakkannya dalam kategori mudharabah muthlaqah (unlimited
mudharabah) dan mudharabah muqayyadah (limited
mudharabah).
Ibn Rusyd menegaskan bahwa setiap usaha dari pemilik
modal atau investor untuk menentukan atau membatasi aktifitas
perputaran modal hanya akan menyusahkan dan menyempitkan
peranan pekerja atau usahawan. Oleh karena itu, dapat dipahami
manakala beliau membagi jenis akad al-mudharabah ke dalam
dua jenis sebagaimana pemikiran mazhab Hanafi, walau ia
sendiri bermazhab Maliki. Dan sebaliknya, meletakkan akad ini
229
dalam kategori yang umum atau unlimited mudharabah. Fuqaha’
kalangan Syafi’iyah mempunyai pemikiran yang berbeda
sehubungan dengan akad mudharabah secara dua peringkat (two-
tier mudharabah) seperti yang dibincangkan oleh fuqaha’ Hanafi
dan Maliki. Mereka berpendapat bahwa pekerja atau mitra
shahibul mal tidak dibenarkan terlibat dalam akad seperti ini. Jika
hal itu dilakukan, akad dianggap batal. Namun, walaupun trend
umum pemikiran Syafi’iyah seperti itu, terdapat sebagian kecil
ulama Syafi’iyah yang membenarkan.
Kalangan Hanafiyah membagi jenis akad mudharabah ke
dalam dua jenis. Mudharabah muthlaqah (unlimited mudharabah)
dan mudharabah al- muqayyadah (limited mudharabah).
Mudharabah muthlaqah ialah mudharabah yang pemilik
modalnya memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pekerja
atau usahawan untuk melakukan investasi. Kebebasan yang
dimaksud seperti:
1) Membeli dan menjual semua jenis barang maupun jasa;
2) Membeli dan menjual secara tunai;
3) Menjadikan modal (barang) sebagai deposit atau barang
gadai dalam al-rahn;
4) Mengangkat pekerja/karyawan jika diperlukan;
5) Membeli atau menyewa peralatan;
6) Membawa modal dalam perjalanan;Mencampurkan modal
mudharabah dengan modal kepemilikan;
230
7) Menginvestasikan modal mudharabah dengan pihak ketiga;
dan
8) Menginvestasikan modal mudharabah dalam akad
musharakah dengan pihak ketiga.
Dengan kata lain, perbincangan mudharabah dalam kategori
ini memperbolehkan pekerja atau mitra untuk mengurus modal
dalam perniagaan yang tidak terikat dengan tempat, lokasi,
waktu, industri, dan pelanggan tertentu. Sesuai dengan konteks
dan kesepakatan yang biasa dilakukan. Sementara, mudharabah
muqayyadah (limited mudharabah) berlaku sebaliknya,
ditentukan dan dibatasi di awal.
231
Pandangan ini dikutip dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
dan mayoritas ulama. Mayoritas fuqaha’ termasuk Ibn Rusyd
menyepakati bahwa keuntungan yang diperoleh dalam akad al-
mudharabah dibagi antara pemilik modal dan pekerja berdasarkan
persetujuan bersama dengan prosentase 50 : 50, 70 : 30 dan
sebagainya. Sebagaimana praktik yang ditunjukkan oleh
Rasulullah SAW dalam bertransaksi mudharabah dengan
Khadijah binti Khuwaylid sebelum masa kenabian.
Prinsip umum yang diaplikasikan dalam akad mudharabah
ialah kedua pihak menanggung resiko. Oleh karena itu, kadang-
kadang akad mudharabah disebut juga sebagai “partnership in
profit” atau “profit-sharing” atau “profit and loss-sharing”. Dalam
kitab-kitab fikih, sangat sedikit disinggung tentang penyelesaian
akad mudharabah. Secara umum, perkongsian mudharabah
diselesaikan sesegera mungkin oleh kedua pihak yang terlibat
dalam kontrak yaitu setelah tujuan (keuntungan) tercapai atau
diketahui dengan pasti jumlah kerugian (jika ada).
f. Hukum Kausalitas Pemikiran Ekonomi Ibn Rusyd
Ibn Rusyd membahas mengenai hukum kausalitas (sebab-
akibat) yang menyinggung pada sektor perekonomian yaitu
mengenai permintaan dan penawaran suatu barang secara umum,
namun secara terperinci akan dibahas oleh tokoh selanjutnya
seperti Ibn Khaldun, dan tokoh lainnya.
232
g. Fungsi Uang
Ariestoteles telah menyebutkan bahwa uang memiliki tiga
fungi yaitu: (1) sebagai alat tukar; (2) sebagai alat mengukut
nilai; (3) sebagai cadangan di masa depan. Ibn Rusyd
menyumbangkan pemikirannya mengenai fungsi uang yang
keempat yaitu (4) sebagai alat simpanan daya beli konsumen, hal
tersebut menekankan bahwa uang dapat digunakan kapan saja
oleh konsumen untuk membeli kebutuhan hidup.
Disisi lainnya Ibn Rusyd membantah pemikiran dari
Ariestoteles mengenai teori uang yang mengatakan bahwa nilai
uang tidak boleh berubah-ubah. Ibn Rusyd dengan bantahannya,
beliau memiliki dua alasan, yaitu: (1) uang merupakan alat untuk
mengukur nilai, Allah tidak berubah-ubah karena Allah Maha
Pengukur. Maka uang sebagai alat pengukur tidak boleh berubah-
ubah pula; (2) fungsi cadangan untuk konsumsi masa depan,
sangat tidak adil jika terjadi perubahan. Nilai nominal yang
tertera pada uang harus sama dengan nilai intrinsik yang
terkandung dalam nilai dari uang tersebut.
Berdasarkan pemikirannya mengenai uang, Ibn Rusyd
mengatakan bahwa uang emas mempunyai nilai intrinsik dan
nominalnya sama. Hal ini berbeda dengan uang dinar yang akan
naik sesuai dengan kandungannya
C. KESIMPILAN
Bahwa pemikiran Al-Ghazali mengenai perekonomian Islam
yaitu Pemikiran sosioekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah
233
konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial”. Al-
Ghazali telah mengidentifikasikan semua masalah baik yang
berupa mashalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitas,
kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Menurut
Al-Ghazali, kesejahteran (maslahah) dari suatu masyarakat
tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar,
yakni agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs) keluarga atau
keturunan (nasl), harta atau kekayaan (mal), dan intelek atau akal
(aql).
Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai
pembahasan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.
1. Pertukaran sukarela dan evolusi pasar, yang meliputi;
a. Permintaan,penawaran,harga,dan laba
b. Etika perilaku dasar
2. Produksi barang, yang meliputi;
a. Produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban
sosial
b. Hierarki produksi
c. Tahapan produksi,spesialisasi,dan keterkaitannya
3. Barter dan Evolusi barang, yang meliputi;
a. Problema Barter dan kebutuhan terhadap uang
b. Uang yang tidak bermanfaat dan penimbunan bertentangan
dengan hukum illahi.
c. Pemalsuan dan penurunan nilai uang
d. Larangan Riba’
234
4. Peran Negara dan Keuangan Publik,yang meliputi;
a. Kemajuan ekonomi melalui keadilan, kedamaian, dan
stabilitas
b. Keuangan publik ( sumber negara, utang publik, dan
pengeluaran publik)
Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama
ensiklopedis yang disegani, telah memberikan sumbangan
pemikiran yang amat besar terhadap bidang ekonomi Islam.
Utamanya dalam bab yang sedang diperbincangkan, yaitu akad
mudharabah secara khusus, dan bidang kajian fikih muamalah
secara umum. Sebagaimana tertuang dalam kitabnya Bidayah al-
Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, walaupun dalam diskursus
yang cukup ringkas dalam perspektif perbandingan mazhab fikih.
Sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh ulama dari
kalangan Hanafi, seperti al-Sarakhsi dalam kitabnya al-Mabsut.
Sumbangan pemikiran dan kontribusi Ibn Rusyd ini sangat
penting bagi perkembangan dan pertumbuhan sektor keuangan
dan ekonomi Islam atau sektor muamalah secara umum,
utamanya jika dikaitkan dengan implementasinya dalam negara
“Islam” yang sedang menggeliat seperti Indonesia, Malaysia,
Pakistan, dan Iran. Dan yang lebih penting lagi, sistem ini akan
menjadi rujukan bagi negara-negara non Muslim lainnya, dan
akan berlaku secara global.
1. Akad, legistimasi, dan modal investasi Mudharabah,
meliputi:
235
a. Pentingnya akad karena adanya simbiosis mutuaslisme antara
pemilik modal yang ingin berinvestasi dan pekerja dalam
mengurus modal
b. Modal bisa dalam bentuk uang/alat tukar
2. Pembiayaan dan pembagian untung dan rugi
a. Usahawan boleh diberikan biaya
b. Usahawan tidak perlu diberikan biaya kecuali atas izin
pemilik modal
c. Usahawan berhak terhadap biaya hidup
3. Sebab- akibat mengenai Hukum Permintaan dan Penawaran
4. Fungsi Uang
a. Alat pengukur nilai, Allah tidak berubah-ubah karena Allah
Maha Pengukur. Maka uang sebagai alat pengukur tidak
boleh berubah-ubah pula.
b. Fungsi cadangan untuk konsumsi masa depan, sangat tidak
adil jika terjadi perubahan
236
laba karena adanya simbiosis
B. Etika perilaku dasar mutuaslisme antara
pemilik modal yang
ingin berinvestasi dan
pekerja dalam
mengurus modal
B. Modal bisa dalam
bentuk uang/alat tukar
2. Produksi barang, yang 2. Pembiayaan dan
meliputi; pembagian untung dan
d. A. Produksi barang-barang rugi
kebutuhan dasar sebagai A. Usahawan boleh
kewajiban sosial diberikan biaya
e. B. Hierarki produksi B. Usahawan tidak
f. C.Tahapan produksi, spesialisasi, perlu diberikan biaya
dan keterkaitannya kecuali atas izin pemilik
modal
C. Usahawan berhak
terhadap biaya hidup
3. Barter dan evolusi barang, 3. Sebab- akibat
yang meliputi; mengenai Hukum
A. Problema barter dan Permintaan dan
kebutuhan terhadap uang Penawaran
B.Uang yang tidak bermanfaat
dan penimbunan bertentangan
237
dengan hukum ilahi
Latihan Soal
238
BAB XI
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IBNU
TAIMIYAH DAN AL-MAQRIZI
239
Ibnu Taimiyah berasal dari keluarga intelektual islam, sebuah
keluarga yang dihargai dan dihormati masyarakat luas pada saat
itu. Ayahnya Syihabuddin bin Abd al-Abbas Ahmad bin Abd al-
Halim ibnu Taimiyah (1284 m). Kakeknya Majuddin Abul
Birkan Abdussalam bin Abdulloh binTaimiyah al Harrani adalah
seorang ulama yang menguasai fiqh, hadits, tafsir, ilmu ushul,
dan penghafal al-quran (hafidz).
240
Dia dipenjara karena berseberangan dengan pemerintah di
zamannya. Ibnu Taimiyah wafat pada tanggal 20 Djulhijjah 728 h
dan dikuburkan pada waktu Ashar disamping kuburan
saudaranya, Syaikh Jamal al-Islam Syarafuddin. Jenazahnya
dishalatkan di masjid Jami’ Bani Umayyah sesudah shalat Zuhur
yang dihadiri oleh para pejabat pemerintah, ulama, tentara, serta
para penduduk.
241
Nabawiyyah fi Naqd al-Kalam al-Syi’ah wa al-Qadhariyah, dan
dalam bidang tafsir terdapat Tafsir Al-Kabir.
242
fi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah bukan buku khusus tetang
ekonomi. Namun, didalam buku tersebut ditemukan pemikiran
ekonomi terutama terkait dengan keuangan Negara. Buku khusus
tentang ekonomi tampak dalam al-Hisbah fi al-Islam.
243
Menurut Ibnu Taimiyah, kompensasi yang adil (‘iwad al-
mitsl) dan harga yang adil (tsaman al-mitsl) itu tidak sama.
Pertanyaan tentang kompensasi yang adil atau “kompensasi
setara” muncul ketika keluarnya kewajiban moral atau hukum
yang menjadi masalah, mungkin (tetapi tidak harus) sehubungan
dengan barang-barang. Bagi Ibnu Taimiyah, prinsip ini terlibat
dalam kasus-kasus berikut. (1) ketika seorang dimintai
pertanggungjawaban karena menyebabkan melukai kehidupan
(nufus) yang lain, atau harta (amwal), atau keperawanan, atau
keuntungan (manafi) orang lain; (2) ketika seseorang dibawah
kewajiban untuk membayar barang atau keuntungan yang setara,
atau untuk membalas cedera beberapa bagian tubuh (ba’dh al-
Nafs0; dan (3) ketika seseorang diminta untuk menyelesaikan
kontrak yang tidak sah (‘uqud al-fasidah) dan kontrak yang sah
(‘uqud al-shohihah) dalam hal cacat (arsy) dalam kehidupan dan
harta.
244
ketidakadilan yang dilarang. Demikian juga, untuk melawan
sesuatu yang buruk dengan setaranya adalah keadilan yang
diizinkan (‘adl ja’iz), tetapi untuk meningkatkan kerusakan
adalah melanggar hukum (muharram), dan untuk menguranginya
adalah kebajikan yang diinginkan (ihsan mustahab).
245
dibagian mereka dan harga naik baik karena kekurangan barang,
yaitu penurunan pasokan atau karena peningkatan populasi, yaitu
peningkatan permintaan, maka itu adalah dari Allah swt. Dalam
kasus tersebut, untuk memaksa penjuah agar menjual barang-
barannya dengan harga tertentu adalah tekanan yang salah (ikrah
bi ghayr haqq).
246
dalam kasus ketidaksepurnaan di pasar, “upah yang setara” akan
tetap dengan cara yang sama sebagai “harga yang setara”.
Misalnya, jika seseorang yang membutuhkan jasa penggarap atau
mereka yang terlibat dalam produksi tekstil atau konstruksi, tetapi
merek tidak siap untuk memberikan layanannya, pihak
berwenang dapat memperbaiki “upah yang setara” sehingga
majikan tidak dapat mengurangi upah pekerja maupun
permintaan pekerjaan lebih dari mendirikan upah yang adil”.
247
yang umum (ribh al-mu’tad), dia seharusnya tidak meningkatkan
harga karena kebutuhannya (dhsrursh)”. Dan lagi: “Seorang
pedagan tidak boleh menambah biaya dari orang yang tidak
menyadari keuntungan yang lebih tinggi daripada yang ia
tetapkan dari orang lain. Dalam cara yang sama, jika ada orang
miskin (mudta) yang terikat untuk membeli barang untuk
memenuhi kebutuhannya, yaitu permintaannya akan barang
adalah benar-benar in elastic, penjual harus menetapkan
keuntungan setara dengan keuntungan yang ditetapkan dari
seseorang yang tidak begitu terikat”.
248
2) Mekanisme Pasar
249
“rasa” yang merupakan salah satu penentu yang paling penting
dari permintaan.
250
3) Regulasi Harga
251
bahwa setiap orang memiliki kebebasan penuh untuk masuk atau
keluar dari pasar. Ibnu Taimiyah mendukung untkuk
mengesampingkan unsure monopoli dalam pasar. Selain itu, Ibnu
Taimiyah juga menekankan pentingnya pengetahuan tentang
pasar dan komoditas. Penjual dan pembeli dituntut mengetahui
kualitas barang yang ada di pasar sehingga terhindar dari
penipuan, ketidakjujuran dan ketidakadilan, serta memiliki
kebebasan untuk memilih.
252
diperlukan terhadap barang-barang yang tersedia di tempat itu
karena akan merugikan para pembeli.
253
atau penjuayang tidak tahu harga yang berlaku di pasar. Menurut
Ibnu Taimiyah, “seorang penjual tidak memungut biaya harga
selangit, tidak umum dalammasyarakat, dari orang yang tidak
menyadari (mustarsil) tetapi harus menjual barangnya dengan
harga adat (qimh mu’tadah) atau dekat dengan itu. Jika pembeli
telah mengenakan harga selangit seperti itu, ia memiliki hak
untuk meninjau kontrak bisnisnya. “… seseorang diketahui
melakukan diskriminasi dengan cara ini harus dihukum dan
kehilangan hak untuk masuk pasar”.
254
menyetujuinya. Harga tersebut tidak boleh ditetapkan tanpa
persetujuan dan izin mereka.
255
boleh dimaksudkan untuk dikonsumsi”. Dengan demikian, fungsi
penting dari uang adalah untuk mengukur nilai barang dan harus
dibayar dalam pertukaran untuk jumlah barang yang berbeda.
256
transaksi masyarakat, yang tidak berdampak pada ketidakadilan
didalam masyarakat”.
257
nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah
melakukan kezaliman karena telah menghilangkan nilai tinggi
yang semula mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai-nilai
intrinsic mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah
sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan
mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan nilai mata
uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya dengan
mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa ke
daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat
akan menjadi hancur”.
258
Benar-benar bericara, din tidak dapat dibangun tanpa Negara.
Kesejahteraan anak-anak Adam tidak dapat dicapai melalui
organisasi masyarakat yang baik (ijtima’), karena mereka
membutuhkan satu sama lain, dan untuk masyarakat seperti itu,
penguasa sangat diperlukan”. Namun demikian, menuerut Ibnu
Taimiyah, kekuasaan yang dilakukan oleh Negara itu tidak
mutlak, tetapi merupakan makna dari Allah dan harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
syari’ah.
1) Pemberantasan Kemiskinan
259
kemiskinan. Sehubungan dengan itu, rakyat miskin memiliki hak
atas kekayaan yang diperoleh dan dimiliki oleh Negara.
Pendapatan Negara harus dialokasikan utuk menciptakan
kesejahteraan dan memberantas kemikinan. Rakyat yang lemah
dan tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya wajib dibantu oleh Negara. Bantuan yang diberikan
Negara itu baik dalam bentuk bantuan yang bersifat konsumtif
maupun yang bersifat produktif.
2) Regulasi Pasar
260
Negara memiliki hak untuk melakukan intervensi di pasar apabila
pasar telah berjalan secara tidak normal. Misalnya, harga di pasar
menjadi tinggi akibat disengaja oleh pihak-pihak tertentu
sehingga mempersulit kehidupan konsumen. Dalam kondisi
seperti ini, maka Negara berhak melakukan intervensi. Namun,
menurut Ibnu Taimiyah, penetapan harga oleh Negara itu tetap
harus didahului oleh musyawarah dengan perwakilan dari
produsen dan konsumen, sehingga penetapan harga oleh Negara
itu bisa diterima oleh semua pihak dan terhindar dari eksis negatif
dari penetapan harga tersebut.
3) Kebijakan Moneter
261
mengendalikan ekspansi mata uang dan mengevaluasi penurunan
nilai mata uang. Apabila dalam sebuah Negara telah terjadi
ekspansi mata uang, maka akan berdampak pada terjadinya
inflasi dan merupakan trust terhadap mata uang.
4) Perencanaan Ekonomi
262
sebagian besar dari pendapatan Negara harus dibelanjakan untuk
pembangunan kanal, jembatan, jalan dan sebagainya.
f. Institusi Hisbah
263
1) Persediaan dan Pengadaan Kebutuhan
2) Pengawasan Industri
3) Pengawasan pelayanan
4) Pengawasan Perdagangan
264
kualitas produk merupakan tugas utama muhtasib. Pengawasan
yang dilakukan muhtasib ini diarahkan agar pasar terhindar dari
monopoli, penimbunan, dan tindakan ekonomi lain yang dapat
merugikan baik untuk konsumen maupun bagi pedagang itu
sendiri.
g. Keuangan Publik
1) Pendapatan Negara
265
ekonom Muslim menyajikan pemikiran tentang pendapatan
Negara ini. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah sendiri ikut
mendiskusikannya sekalipun tidak terlalu rinci dan mendetail.
Menurut Ibnu Taimiyah, Negara berhak untuk mendapatkan
sumber-sumber penghasilan dan pendapatan yang diperlukan
untuk melaksanakan kewajibannya. Sumber utama dari kekayaan
Negara adalah zakat, ghanimah, dan fa’i. selain dari sumber ini,
Negara juga bisa menambah pemasukannya dengan menerapkan
pajak-pajak lain ketika kebutuhan mendesak muncul.
a) Zakat
266
b) Ghanimah
267
luas bagi seluruh rakyat. Bagi Ibnu Taimiyah, semua pendapatan
selain ghanimah dan zakat termasuk kategori ini. Diantara
pendapatan Negara berupa fa’i terdiri dari: (1) jizyah yang
dikenakan kepada orang Yahudi dan Nasrani; (2) upeti yang
dibayarkan oeh musuh; (3) hadiah yang diberikan kepada kepala
Negara; (4) bea cukai (‘usyr) atau pajak yang dikenakan kepada
pedagang dari Negara lain; (5) denda berupa uang; (6) kharaj;
97) harta yang tidak ada pemiliknya (luqathah); (8) harta warisan
yang tidak ada ahli warisnya; (9) simpanan atau uang atau barang
rampasan yang pemilik sebenarnya tidak diketahui lagi dank
arena itu tidak bisa dikembalikan lagi; (10) shadaqah; (11)
wakaf; (12) kifarat.
2) Belanja Negara
268
ghanimah telah ditentukan secara pasti di dalam al-Quran,
sedangkan pendapatan Negara dari fa’i diserahkan sepenuhna
kepada pemerintah.
269
sabil, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan
maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
270
h. Regulasi Pajak
271
lainnya. Oleh karena itu, Negara memiliki kewajiban untuk
mengangkat para kolektor pajak yang amanah dan dapat
menunaikan kewajibannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
syariah.
272
B. Pemikiran Ekonomi Al-Maqrizi
1. Riwayat Hidup Al-Maqrizi
Pada usia 22 tahun tepatnya pada tahun 788 H (1386 M), al-
Maqrizi memulai kirahnya sebagai pegawai di Diwan Al-Insya
semacam sekretaris Negara pada masa pemerintahan dinasti
mamluk. Pada tahun 791 H (1389 M), Sultan Barquq mengangkat
Al-Maqrizi sebagai muhtasib di Kairo. Pada tahun 811 H (1408
M), al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administrasi wakaf di
Qalanisiyah, sambil bekerja di rumah sakit An-nuri, Demaskus.
273
Pada tahun yang sama, ia menjadi guru hadits di Madrasah
Asyrafiyyah dan Madrasah Iqabliyyah.
2. Karya Al-Maqrizi
274
al-‘Ajibah, al-Bayan wa al-I’rab ‘amma fi Ardh Mishr mi al-
A’rab, al-Dzihb al-Masbuk fi Dzikr man Hajja min al-Khulaffa
wa al-Muluk, al-Niza wa al-Takhasum fi ma bayn Bani Umayyah
wa Bani Hasyim, al-Duwar al-Mudi’ah fi Tarikh al-Duwal al-
Islamiyyah, al-Du’ al-Sari fi Khabr Tamim al-Dari, Dawr al-
Uqud al-Faridah fi Tarajum al-A’mal al-Mufidah, ‘Aqd al-
Jawahir al-Asfath fi Akhbar Madinah al- Fusthath, Muntakhab
al-Tadhkirah fi al-Tarikh, Nubdzah Tarikhiyyah, Mukhtashar al-
Kamil fi al-Du’affa’, Risalah fi al-Mawazin wa al-Makayil,
Tarajum Muluk al-‘Arab, Dzikr ma Warada fi Bani Umayyah wa
Bani al-‘Abbas mi al-Aqwal, Ma’rifah ma Yajib li Al al-Bayt mi
al-Haq ‘ala man “Adahum, Izalah al-Ta’b wa al-‘Ina fi Ma’rifah
Hal al-ghina, Dzikr Bina’ al-Ka’bah wa al-Bayt al-Haram, dan
al-Bayan al-Mufid fi al-Farq Bayn al-Tawhid wa al-Talhid.
275
3. Pemikiran Ekonomi Al-Maqrizi
276
a. Konsep Uang
277
tidak signifikan. Memang orang-rang Mesir tidak memiliki mata
uang selain fulus, dengan fulus inilah kekayaan mereka diukur.
278
mengalami banyak kerugian karena harga barang-barang yang
dulu berharga ½ dirham menjadi 1 dirham. Keadaan ini semakin
buruk ketika aktivitas percetakan uang meluas pada masa
pemerintahan Sultan al-Adil Kitbugha dan Sultan al-Zahir
Barquq yang mengakibatkan penurunan nilai mata uang dan
kelangkaan barang-barang. Menurut al-Maqrizi, sirkulasi
berlimpah fulus menghancurkan hubungan nilai antara logam dan
ditambahkan ke bencana umum.
279
mata uang. Keberadaan mata uang ini tetap siperlukan sebagai
alat tukar terhadap barang-barang dan untuk berbagai biaya
kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, penggunaan mata uang
hanya diizinkan dalam berbagai transaksi yang berskala kecil.
Penggunaan mata uang emas dan perak tidak serta merta
menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi juga
dapat terjadi akibat faktor alam dan tindakan sewenang-wenang
dari penguasa.
280
menjadi perhiasan serta melepaskan mata uang yang berkualitas
buruk ke dalam peredaran. Melebur mata uang yang baik untuk
menjadi perhiasan lebih mengntungkan daripada menjadikan
uang sebagai alat tukar. Oleh karena itu, uang yang beredar dalam
masyarakat hanyalah mata uang yang berkualitas rendah.
281
pasokan dan kelangkaan pasokan akan berdampak pada eskalasi
harga. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk
mempertahankan kualitas daya beli dari uang yang dicetaknya.
b. Teori Inflasi
282
inflation). Ilustrasi yang diberikan oleh al-Maqrizi terkait dengan
jenis inflasi yang pertama ini bahwa ketika sebuah bencana alam
terjadi akan menyebabkan gagal panen sehingga persediaan
barang akan mengalami penurunan yang sangat drastic dan terjadi
kelangkaan. Namun, pada saat yang bersamaan permintaan
terhadap berbagai permintaan barang it uterus mengalami
peningkatan. Oleh karena barang langka sementara permintaan
tinggi, maka harga kemudian akan naik dengan cepat dan tinggi,
jauh melebihi daya beli masyarakat. Hal ini akan berimplikasi
pada kenaikan harga berbagai barang dan jasa lainnya.
Akibatnya, transaksi ekonomi mengalami kemacetan, bahkan
berhenti sama sekali, yang pada akhirnya menimbulkan bencana
kelaparan, wabah penyakit, dan kematian di kalangan
masyarakat.
283
karena itu, penyelesaian inflasi yang disebabkan oleh bencana ala
mini membutuhkan waktu yang relative lama.
284
Selain itu, pencetakan mata uang yang berlebih juga bisa
menjadi penyebab terjadinya inflasi. Beredarnya mata uang yang
berlebihan mendapat perhatian khusus dari al-Maqrizi. Dalam
pengamatannya, ternyata kenaikan harg-harga (inflasi) yang
terjadi dalam bentuk terlalu banyaknya jumlah mata uang.
Misalnya, untuk pakaian yang sama ternyata dibutuhkan lebih
banyak uang. Akan tetapi apabila nilai barang diukur dengan
dinar atau emas, jarang terjadi kenaikan harga. Untuk itulah al-
Maqrizi menyarankan agar sejumlah uang dubatasi secukupnya
saja, sekedar untuk melayani transaksi pecahan kecil.
285
Setelah membagi sastra masyarakat Mesir menjadi tujuh
kelompok, al-maqrizi kemudian melihat satu persatu kelompok
tersebut dan menegaskan intensitas kepedihan dan penderitaan
yang dialaminya akibat inflasi yang sangat hebat. Golongan
pertama, mereka menerima nominal income lebih tinggi, tetapi
purchasing power mereka menurun drastic karena real income
mereka merosot tajam akibat inflasi. Golongan ini tidak terlalu
parah terkena inflasi. Golongan kedua yang terdiri dari para
pedagang dan penguasa besar ini, menurut al-Maqrizi, aset
mereka mengalami penurunan karena dimakan oleh biaya yang
terus membengkak dan inflasi. Golongan yang ketiga yang
merupakan kaum professional mendapat upah yang mengikat
secara nominal, tetapi karena melonjaknya harg-harga yang
menyebabkan tingkat kehidupannya tetap seperti sebelumnya.
Untuk golongan keempat, al-maqrizi membaginya menjaf=di dua
kelompok yaitu petani menengah atas dan petani menengah
bawah. Kelompok pertama diuntungkan oleh krisis moneter
sehingga aset kekayaan mereka meningkat. Sedangkan kelompok
yang kedua, sangat dirugikan karena harga yang begitu tinggi
tidak sebanding dengan gasil pertanian mereka. Golongan kelima
yang terdiri dari para guru, fuqaha, mahasiswa dan tentara ini,
golongan yang paling menderita dari lima golongan yang
pertama. Hal ini umumnya disebabkan karena pendapatan mereka
yang berupa gaji dan upah bersifat tetap. Golongan yang keenam
dan ketujuh mereka adalah segmen masyarakat yang tidak saja
286
terparah penderitaannya bahkan kebanyakan dari mereka
terutama golongan ketujuh mati kelaparan.
C. Kesimpulan
287
(qimah al-manfaah). Pemikiran ekonomi lain dari Ibnu Taimiyah
yaitu mengenai pasar tidak sempurna, musyawarah dan penetapan
harga, uang dan kebijakan moneter, peranan negara dalam
kehidupan ekonomi, institusi hibah, keuangan publik dan regulasi
harga.
Nama
Karya Pemikiran Ekonomi Islam
Tokoh
Ibnu • Al-Siyasah al- • kompensasi yang adil (iwad
Taimiyah Syar’iyyah fi al-mitsl) dan harga yang adil
Islah wa al- (tsaman al-mitsl)
Ra’iyyah • upah yang adil dan upah
• Iqtidha al- yang setara (ujrah al-mitsl)
Rasa’il al- • laba yang setara atau laba
Kubra, al- yang adil dengan diterima
Fatawa, (ribh ma’ruf) tanpa merusak
Minhaj al- kepentingan sendiri maupun
288
Sunnah, al konsumen
Nabawiyyah fi • harga di pasar ditentukan
Naqd al- oleh kekuatan penawaran
Kalam al- (suppl) dan permintaan
Syi’ah wa al- (demand)
Qadhariyah • kenaikan harga di sebabkan
• Tafsir al-Kabir karena adanya penurunan
• Kitab al-Radd komoditas dan pertumbuhan
‘ala al- penduduk
Mantiqiyyin • beberapa faktor yang
• Ma’arij al- mempengaruhi permintaan
Wusul dan akibatnya terhadap
• Minhaj al- harga: keinginan masyarakat
Sunnah (raghbah), jumlah permintaan
• Bughyah al- (thulab), kekuatan atau
Murtad kelemahan dari kebutuhan
• Jawab fi al- akan barang (qilah al-hajah
Ijma wa al- wa katsrauha), kualitas
Khabar al- pelanggan atau partner
Mutawatir transaksi, jenis uang yang
289
wa al- tidak sah” dan “harga yang
Ra’iyyah dan adil dan sah”
al-Hisbah fi • menekankan pentingnya
al-Islam pengetahuan tentang pasar
dan komoditas
• perekomendasian penetapan
harga oleh pemerintah dan
penjualan paksa di saat-saat
darurat
• apabila telah terjadi
monopoli maka bisa di
pastikan bahwa pasar itu
tidak sempurna
• musyawarah dalam
penetapan harga
• Uang dan Kebijakan
Moneter: Fungsi uang,
Penurunan nilai mata uang
dan uang jelek mengalahkan
uang baik
• Peranan negara dalam
kehidupan ekonomi:
Pemberantasan kemiskinan,
regulasi pasar, kebijakan
moneter, dan
290
perencanaanekonomi
• Institusi Hisbah: Persediaan
dan oengadaan kebutuhan,
pengawasan industri,
pengawasan pelayanan,
pengawasan perdagangan
• Keuangan publik: pendapatan
negara (zakat, Ghanimah, fa’i
dan pendapatan lain), belanja
negara
• Regulasi pajak : pelarangan
penggelapan pajak terutama
ketika pajak dikenakan
secara kolektif kepada
kelompok
Latihan Soal
1. Apa solusi al-Maqrizi setelah adanya inflasi ekonomi
pada masanya?
2. Jelaskan perbedaan mengenai uang jelek dan uang baik
beserta contohnya!
3. Jelaskan perbedaan harga yang adil dan yang tidak adil
beserta contohnya!
291
BAB XII
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IBNU
KHALDUN DAN AL-SYATIBI
292
jatuhnya Saville ke tangan Reconquista pada pertengahan abad
ke-13 M. Pada awalnya, keluarga Ibnu Khaldun terlibat dalam
jabatan-jabatan politik, namun belakangan menarik diri dari dunia
politik tersebut dan menjalani spiritual.
Seperti tradisi Arab lainnya, lbnu Khaldun juga dibesarkan
dalam keluarga ulama dan terkemuka. Dari ayahnya ia belajar
ilmu qira'at. Sementara ilmu hadis, bahasa Arab, dan fikih
diperoleh dari para gurunya, Abu al-Abbasal Qassar dan
Muhammad bin Jabir al-Rawi. la juga belajar kepada lbnu 'Abd
al-Salam, Abu Abdullah bin Haidarah, al-Sibti dan lbnu 'Abd al-
Muhaimin. Kemudian memperoleh ijazah hadis dari Abu al-
Abbas al-Zawawi, Abu Abdullah al-lyli, Abu Abdullah
Muhammad, dan lain-lain. la pernah mengunjungi Andalusia dan
Maroko. Di kedua negara itu ia sempat menimba ilmu dari para
ulamanya, antara lain Abu Abdullah Muhammad al-Muqri, Abu
al-Qosim Muhammad bin Muhammad al-Burji, Abu al-Qasim al-
Syarif al-Sibti, dan lain-lain. Kemudian mengunjungi Persia,
Granada, dan Tilimsin.
Pada perkembangan berikutnya, Ibnu Khaldun lebih banyak
menghabiskan waktu, tenaga, dan kepandaiannya untuk terjun ke
dunia politik praktis. Ia pernah bekerja untuk Pemerintah Tunisia
dan Fez (Maroko), Granada (Islam Spanyol) dan Biaja (Afrika
Utara). Pada tahun 1375, lbnu Khaldun melarikan diri dari Afrika
Utara, karena ketidakjelasan situasi di sana. Ia lalu menuju kota
Granada di Spanyol dengan maksud mengasingkan diri. Namun,
293
karena kegiatan politiknya di masa lalu, Pemerintah Granada
menolak kedatangannya. lbnu Khaldun kemudian menuju
Aljazair dan tinggal di sebuah desa kecil bernama Qalat lbnu
Slama empat tahun. Di sana Ibnu Khaldun mulai menulis karya
sastra terbesarnya, Muqaddimah. Karya ini kelak menempatkan
namanya di antara nama besar para sejarawan, Qalat Ibnu Salama
sosiolog, dan filsuf dunia.
2. Karya lbnu Khaldun
Karya-karya Ibnu Khaldun termasuk karya-karya yang
monumental. lbnu Khaldun menulis banyak buku, antara lain
Syarh al-Burdah, sejumlah ringkasan atas buku-buku karya lbnu
Rusyd, sebuah catatan atas buku Mantik, ringkasan (mukhtasor)
kitab al-Mahsul karya Fakhr al-Din al-Razi (Ushul Fiqh), sebuah
buku lain tentang matematika, sebuah buku lain lagi tentang
ushul fiqh dan buku sejarah yang sangat dikenal luas. Buku
sejarah tersebut berjudul al-‘lbar wa Diwân al-Mubtada’ wa al-
Khabár fi Tarikh al- Arab wa al-Ajam wa al-Barbar. Ibnu
Khaldun melalui buku ini benar-benar menunjukkan
penguasaannya atas sejarah dan berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Di samping kitab tersebut, al-Muqaddimah Ibnu
Khaldun merupakan karya monumental yang mengundang para
pakar untuk meneliti dan mengkajinya.
Karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi di
antaranya, at-Ta-rif bi lbnu Khaldun (sebuah kitab autobiografi,
catatan dari kitab sejarahnya), Muqaddimah (pendahuluan atas
294
kitab al-Ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis),
Lubáb al-Muhassal fi Ushůl ad-Din (sebuah kitab tentang
permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan
ringkasan dari kitab "Muhassal Afkâr al-Mutaqaddimin wa al-
Muta'akhirin" karya Imam Fakhruddin al-Razi).
Karya terbesar Ibnu Khaldun adalah Muqaddimah, yakni
sebuah buku terlengkap pada abad ke-14 M yang telah
diterjemahkan ke beberapa bahasa memuat pokok-pokok pikiran
tentang gejala-gejala sosial kemasyarakatan, sistem pemerintahan
dan politik di masyarakat, ekonomi, bermasyarakat dan
bernegara, gejala manusia dan pengaruh faktor lingkungan
geografis serta pedagogik dan ilmu pengetahuan beserta alatnya.
Kontribusi pemikiran dalam ekonomi telah dituangkannya dalam
buku Muqaddimah yang sekaligus merupakan karya monumental
bagi perkembangan keilmuan menuju reformasi ekonomi Islam.
3. Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun
Secara umum pemikiran Ibnu Khaldun cenderung rasional,
yang selalu ditunjang oleh bukti-bukti autentik. Apa yang terjadi
pada zamannya tidak selalu dijelaskannya sebagai kehendak
Allah. Menurut lbnu Khaldun, pada berbagai peristiwa yang
terjadi itu berlaku hukum kausalitas. Sebab, alam semesta itu
telah diatur oleh sistem yang akurat dimana berlaku hukum sebab
dan akibat. Sehubungan dengan itu, pemikiran ekonomi yang
ditawarkan oleh Ibnu Khaldun juga cenderung rasional. Berbagai
peristiwa ekonomi yang terjadi pada zamannya dianalisis sebagai
295
satu kesatuan yang utuh, dimana peristiwa yang satu
berhubungan dengan peristiwa yang lain.
a. Hubungan antara Ilmu Ekonomi dengan Ilmu Lain
Ketika membangun fondasi ekonomi tampaknya Ibnu
Khaldun telah menggunakan berbagai pendekatan. Pemikiran
ekonominya dinyatakan di tempat yang berbeda dari bukunya.
Ibnu Khaldun membahas banyak masalah ekonomi berdasarkan
pada apa yang sekarang dikenal sebagai fenomena sosial, fakta-
fakta tentang pembangunan manusia atau kondisi sosial manusia.
Ibnu Khaldun dianggap sebagai orang pertama yang membawa
ekonomi ke dalam sejarah. Dengan kata lain, ia menunjukkan
peran ekonomi yang signifikan dalam menafsirkan sejarah.
Namun, ini tidak berarti bahwa Ibnu Khaldun percaya bahwa
ekonomi adalah satu satunya paradigma yang akan digunakan
untuk menginterpretasikan sejarah. Sebaliknya, bentuk ekonomi
hanya salah satu bagian penting dari sejarah. Ibnu Khaldun
datang dengan ide-ide ekonomi brilian yang pantas mendapat
gelar ‘master ekonomi’. Atas dasar ini, tampaknya sudah cukup
untuk mengakui bahwa pandangan ekonomi lbnu Khaldun telah
mendahului Adam Smith sekitar empat abad sebelumnya.
Dengan demikian, ekonomi memiliki pengaruh yang besar
dalam menentukan sejarah. Misalnya, ada beberapa gerakan yang
diselenggarakan oleh orang miskin yang berhasil mengubah
sejarah. Selanjutnya, pemikiran ekonomi kadang-kadang
296
menciptakan persepsi ekonomi, masyarakat, politik dan
pengetahuan itu sendiri seperti komunisme dan kapitalisme.
Selain itu, Ibnu Khaldun juga menjelaskan ada hubungan
yang erat antara ilmu ekonomi déngan sosiologi. Dalam kajian
ekonominya, Ibnu Khaldun sering menelusuri reaksi antara
peristiwa ekonomi dan masalah- masalah sosial. Hal ini
disebabkan karena korelasi yang kuat antara ekonomi dengan
sosiologi sejauh bahwa seseorang tidak dapat disebut dalam
ketiadaan yang lain. Menurut Ibnu Khaldun, makna hidup adalah
terkait erat dengan kehidupan. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun
yang merupakan sosiolog, sejarawan dan filsuf, memiliki
kemampuan untuk belajar gerakan sosial secara mendalam untuk
mengeksplorasi unsur efektif, ideologi dan tujuan di belakangnya.
Metode ini diterapkan di seluruh bagian al-Muqaddimah.
Misalnya, ia mengatakan: "Sadarilah bahwa orang secara alami
membutuhkan makanan pada seluruh fase kehidupannya; sejak
masih bayi, pemuda dan sampai mereka menjad tua". Dia
mengadopsi pendekatan serupa dalam kategorisasi dan analis dari
jenis pendapatan.
b. Teori Nilai dalam Ekonomi
Teori Nilai membentuk dasar ekonomi politik klasik dan
Marxis. Sebuah diskusi tentang teori nilai hadir dalam al-
Muqaddimah tetapi tidak menempati seperti peran penting dalam
tulisan-tulisan Ibnu Khaldun seperti dalam sistem klasik dan
Marxis. Perlakuannya tentang faktor-faktor penentu nilai
297
komoditas dalam banyak hal menyerupai tetapi tidak serta-
berkembang seperti teori nilai oleh Smith, Ricardo, dan Marx.
Selain itu, sambutannya terhadap utilitas asosiasi yang berasal
dari properti dan harganya yang merupakan awal teori utilitas
nilai.
1) Teori Nilai Kerja
Meskipun penulis muslim telah menyinggung kerja sebagai
sumber penting dari nilai pada awal abad ke-7, Ibnu Khaldun
tampaknya telah mengembangkan dasar-dasar teori nilai kerja.
Kesejajaran antara teori nilai kerja Adam Smith dan teori nilai
kerja lbnu Khaldun sangat tampak. Smith memulai teori nilai
kerjanya dengan menyatakan: "Kerja adala harga pertama,
pembelian awal -uang yang dibayar segala sesuatu. Itu bukan
dengan emas atau perak, tapi oleh kerja bahwa semua kekayaan
dunia ini pada awalnya dibeli".
Ibnu Khaldun mengembangkan teori nilainya dengan
mengindikasikan: “Tidak ada di sini pada awalnya kecuali kerja,
dan kerja tidak diinginkan oleh dirinya sebagai yang diperoleh,
tetapi nilai menyadari darinya”. Ibnu Khaldun lebih memperluas
tema ini dengan menulis, "Pertukangan dan tenun, misalnya,
berhubungan dengan kayu dan benang (kerajinan masing-masing
diperlukan untuk produksinya). Namun, dalam dua kerajinan
(pertama disebutkan) kerja (yang memasukinya) lebih penting,
dan nilainya lebih besar”. Selanjutnya, lbnu Khaldun menulis,
"Ini telah demikian menjadi jelas bahwa laba atau keuntungan,
298
secara keseluruhan atau untuk sebagian besar, adalah nilai
realisasi dari kerja manusia".
Namun, di sini Ibnu Khaldun membagi produk total,
keuntungan, menjadi bagian-bagian yang digunakan dan tidak
digunakan. la menyebut bagian yang digunakan sampai "rezeki",
sebuah konsep yang disebutkan Karl Marx dengan "tenaga kerja
yang diperlukan". Dengan kata Ibnu khaldun "rezeki"…. adalah
(bagian dari keuntungan) yang digunakan. Untuk para pembaca
modern penggunaan istilah keuntungan Ibnu Khaldun adalah
problematik. Namun, itu menjadi jelas bahwa apa yang disebut
Ibnu Khaldun sebagai laba atau keuntungan sebenarnya adalah
produksi total. Dalam membahas bagian komponen dari laba,
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa keuntungan seseorang akan
dianggap sebagai kehidupannya jika mereka berhubungan dengan
kebutuhan dan keperluannya. Mereka akan mengakumulasikan
modal, jika mereka lebih besar dari kebutuhannya.
Oleh karena itu, pembagian Ibnu Khaldun terhadap produk
total kerja menjadi "rezeki" dan "akumulasi modal" mirip dengan
gagasan Markis tentang tenaga kerja yang "dibutuhkan" dan
"surplus". Dalam mempertimbangkan kerja sebagai komoditas,
lbnu Khaldun lebih dahulu daripada Karl Marx dalam hal lain.
Menurut Ibnu Khaldun, kerja adalah sebuah komoditas sebanyak
pendapatan dan keuntungan yang mewakili nilai kerja dari
penerimaannya.
299
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang aspek lain dari teori nilai
menyerupai ide David Ricardo. David Ricardo, dalam
pembangunan teori nilai kerja, secara sadar dalam pencarian
sebuah unit pengukuran "tetap" dan secara sembarangan memilih
emas sebagai komoditas yang dihasilkan oleh metode produksi
yang merupakan rata-rata dua ekstrem. "…. pertama modal tetap
sedikit yang digunakan, dan yang lainnya kerja sedikit digunakan,
dapat terbentuk hanya di antara mereka?”
Demikian pula dengan Ibnu Khaldun memilih emas dan
perak sebagai ukuran nilai "tetap". Menurut Ibnu Taimiyah, Allah
telah menciptakan dua bahan batu, emas dan perak, sebagai
ukuran nilai. Selanjutnya, emas dan perak merupakan jiwa dunia,
dengan preferensi, mempertimbangkan sebagai harta dan
kekayaan. Bahkan jika, dalam keadaan tertentu, hal-hal lain yang
diperoleh, hanya untuk memperoleh emas dan perak. Semua hal-
hal lain tergantung pada fluktuasi pasar, dimana emas dan perak
dibebaskan.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, tampak bahwa
Ibnu Khaldun memilki teori nilai kerja. Sekalipun, memang teori
nilai kerja yang dikemukakan Ibnu Khaldun ini belum sempurna.
Namun, pemikiran Ibnu Khaldun ini merupakan sebuah awal dari
teori yang konsisten, dirumuskan dengan baik, yang kemudian
disempurnakan oleh ekonom berikutnya.
2) Teori Nilai Utilitas
300
Selain teori nilai kerja, Ibnu Khaldun telah menyentuh
utilitas sebagai sumber nilai dan penentu harga produk. Ketika
membahas masalah fluktuasi nilai dan harga harta telah
menjelaskan bahwa Ibnu Khaldun telah menguraikan hubungan
antara utilitas dari sebuah harta dan harganya. Menurut Ibnu
Khaldun, menjelang akhir sebuah dinasti, kekayaan kehilangan
daya tarik karena orang miskin diberikan perlindungan oleh
negara sehingga utilitas berkurang dan harganya pun turun.
Ketika negara baru muncul dan stabil, serta kesejahteraan telah
kembali, maka harta kekayaan menjadi lebih menarik sekali
karena utilitas yang tinggi dan harganya naik.
Seperti dengan teori nilai kerja, teori nilai utilitas yang
dikemukakan oleh Ibnu Khaldun pun belum sempurna. Namun
demikian, pemikiran Ibnu Khaldun tentang utilitas telah
memberikan landasan bagi pengembangan teori utilitas
berikutnya. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut
Ibnu Khaldun, ada korelasi yang signifikan antara utilitas sebuah
barang dengan harga barang itu sendiri. Dengan pemikiran ini,
Ibnu Khaldun telah berupaya pula untuk mempertahankan teori
nilai kerja.
c. Teori Distribusi dan Pertumbuhan Pendapatan
Ibnu Khaldun telah menyajikan unsur-unsur teori distribusi
pendapatan yang agak mirip dengan teori produktivitas distribusi
pendapatan marginal. Dalam sebuah bagian yang dikutip
sebelumnya, Ibnu Khaldun menganggap kerja sebagai komoditas
301
dan menyatakan, “pendapatan dan keuntungan mewakili nilai
kerja penerimanya". Bahkan, di bagian lain Ibnu Khaldun
berpendapat bahwa "penghasilan seorang yang berasal dari
kerajinan, oleh karena itu adalah nilai dari kerjanya”.
Hal ini berarti bahwa tingkat upah riil itu sama dengan
produk kerja fisik marginal dalam keseimbangan. Namun
demikian, seseorang dapat membedakan dasar-dasar teori
tersebut dengan meninjau asosiasi Ibnu Khaldun dari nilai kerja
dan pendapatan buruh. Ibnu Khaldun tidak membedakan antara
pendapatan upah dan pendapatan keuntungan, terbukti dari
pernyataannya tentang kerja sebagai sumber pendapatan dan
keuntungan. Meskipun mengakui kontribusi modal yang beredar
pada proses produktif, Ibnu Khaldun tidak dapat membedakan
antara sumber pendapatan upah dengan keuntungan.
Selanjutnya, dalam membahas produksi pertanian umat Islam
di daerah dengan tanah yang tidak produktif, Ibnu Khaldun sekali
lagi menegaskan bahwa harga produk harus mencakup semua
biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi produk. Dalam
hubungan ini Ibnu Khaldun menulis bahwa umat Islam dipaksa
untuk menerapkan dirinya sendiri untuk meningkatkan kondisi
lahan dan pertaniannya. Hal ini mereka lakukan dengan
menerapkan kerja yang berharga dan pupuk kandang dan bahan
mahal lainnya. Semua ini menaikkan biaya produksi pertanian,
biaya yang mereka perhitungkan ketika memperbaiki harganya
untuk penjualan.
302
Secara umum, Ibnu Khaldun membahas akumulasi modal
dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Ibnu
Khaldun, akumulasi modal itu berhubungan dengan ekspansi
modal komersial melalui fluktuasi dalam harga komoditas yang
ditimbun dan peningkatan kekayaan. Berkaitan dengan akumulasi
modal ini, Ibnu Khaldun menulis, "... dicapai hanya dengan
beberapa dan jarang melalui fluktuasi pasar, perolehan banyak
(kekayaan), dan melalui peningkatan (kekayaan) seperti itu dan
bernilai di kota tertentu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun
telah merumuskan teori harga biaya produksi pada akhir abad ke-
14. Selanjutnya, Ibnu Khaldun memahami dengan cukup jelas
total produksi dibagi menjadi upah dan bagi hasil. Meskipun
teorinya sangat pendek, tetapi secara eksplisit menyatakan bahwa
berbagi faktor ditentukan oleh produktivitas marginal dari faktor-
faktor produksi. Secara kebetulan, hal tersebut merupakan
instruksi untuk melihat deskripsi Ibnu Khaldun tentang hubungan
antara kualitas lahan dan harga produk pertanian. Teorinya dapat
dibandingkan dengan Teori Sewa Ricardian yang menjelaskan
sewa sebagai keuntungan ekonomi murni yang diperoleh pada
pertanian yang subur. Menurut teori ini, harga pasar dari produk
pertanian ditentukan oleh biaya produksi marginal yang lebih
tinggi dari tanah yang subur sehingga tanah yang paling subur
dengan biaya marginal produksi yang lebih rendah mendapatkan
303
perbedan antara biaya dan harga pasar lebih tinggi sebagai sewa
atas lahan.
d. Teori Pembangunan Ekonomi
Ibnu Khaldun memiliki teori yang luar biasa tentang siklus
sosial- politik-ekonomi. Dia mulai teorinya dengan terlebih
dahulu menjelaskan bagaimana meningkatkan hasil produktivitas
dari spesialisasi, pembagian kerja, dan pertukaran. Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa produktivitas dan pertukaran yang lebih
tinggi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
memungkinkan para anggota ekonomi untuk memenuhi
kebutuhannya serta memungkinkan mereka untuk mengonsumsi
komoditas yang mewah. Ibnu Khaldun menguraikan teori ini
sebagai berikut: "Manusia sebagai individu tidak dapat dengan
sendirinya memperoleh semua kebutuhan hidupnya. Semua
manusia harus bekerja sama dengan yang lain dalam
peradabannya. Tapi apa yang diperoleh melalui kerja sama
sekelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan waktu lebih
dari diri sendiri. Selanjutnya, ‘Jika kerja dari penduduk sebuah
kota didistribusikan sesuai dengan keperluan dan kebutuhan
orang-orang penduduk, minimal kerja yang dibutuhkan’.
Akibatnya, dihabiskan untuk menyediakan kondisi dan kebiasaan
mewah dan untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota-kota lain.
Mereka mengimpor hal-hal yang mereka butuhkan dari orang
yang memiliki surplus melalui pertukaran atau pembelian.
304
Dari pernyataan ini, Ibnu Khaldun memunculkan dua konsep
penting. Dari konsep ‘kebutuhan' dan konsep 'kenyamanan'.
Konsep 'kebutuhan’ adalah sesuatu yang sangat diperlukan di
dalam kehidupan. Bahan makanan merupakan bagian dari
'kebutuhan' ini. Sedangkan konsep 'kenyamanan' adalah sesuatu
yang bisa melengkapi atau menyempurnakan 'kebutuhan’.
Bumbu, buah-buahan, pakaian, peralatan, kendaraan, semua
kerajinan, dan bangunan merupakan bagian dari ‘kenyamanan'
ini.
Deskripsi Ibnu Khaldun tentang proses produksi menyiratkan
fungsi produksi dengan variabel input tunggal, yakni variabel
kerja. Ibnu Khaldun berargumen bahwa input kerja dari sebuah
kota menentukan total output dari masyarakatnya. Ketika ada
lebih banyak tenaga kerja, maka nilai itu menyadari dari
peningkatan di antara penduduk. Keluaran yang tinggi berarti
output yang lebih tinggi dari barang-barang mewah. Selanjutnya,
pendapatan yang lebih tinggi berasal dari input tenaga kerja yang
lebih tinggi akan menghasilkan permintaan agregat yang efektif
yang menyerap seluruh surplus produk.
Peningkatan dalam kesejahteraan akan menyebabkan
peningkatan lebih lanjut dalam kegiatan ekonomi yang mengarah
pada peningkatan pendapatan dan kemewahan, keinginan baru
sehingga penciptaan akan mengarah pada penciptaan industri dan
layanan baru, dengan konsekuen peningkatan dalam pendapatan
dan kesejahteraan. Dan proses ini bisa berlangsung dua atau tiga
305
kali, karena semua kegiatan baru melayani pada kemewahan,
tidak seperti kegiatan asli yang melayani kebutuhan.
Ibnu Khaldun adalah benar dalam menyatakan bahwa
pendapatan dan belanja itu setara dalam pengertian expost,
dengan menyatakan bahwa pendapatan dan belanja itu seimbang
satu sama lain di setiap kota. Jika pendapatan besar, maka belanja
pun akan besar, dan demikian pula sebaliknya. Jika pendapatan
dan belanja besar, maka penduduk menjadi lebih beruntung, dan
kota pun akan tumbuh.
Kutipan sekarang sangat jelas menunjukkan bahwa Ibnu
Khaldun melihat permintaan agregat sebagai penentu yang
penting dari pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi,
sebuah konsep yang merupakan pusat Teori Keynesian Modern
tentang teori penentuan pendapatan nasional dan pertumbuhan.
e. Teori Moneter
Ibnu Khaldun, sebagaimana ulama-ulama sebelumnya,
memiliki pemahaman yang jelas tentang fungsi uang. Dia secara
eksplisit membahas uang dalam hal fungsinya sebagai tolok ukur
dan penyimpanan nilai. Menurutnya, Allah telah menciptakan dua
logam mulia, emas dan perak untuk melayani sebagai tolak ukur
nilai semua komoditas. Logam itu pun umumnya digunakan oleh
orang sebagai penyimpanan harta.
Kontribusi pemikiran Ibnu Khaldun tentang masalah ini
memang sangat terbatas. Namun demikian, ia memiliki wawasan
yang tajam terhadap peranan uang dalam memainkan sirkulasi
306
komoditas. Menurutnya, kuantitas uang beredar yang ada di
tangan orang-orang dan ditularkan dari satu generasi ke generasi
yang lain. Hal itu mungkin beredar dari satu daerah ke daerah lain
dan dari negara ke negara lain. Jadi jika kekayaan tersebut telah
turun di Afrika Utara, itu tidak berkurang di tanah kaum Frank
atau Slavia. Untuk itu adalah upaya sosial, pencarian keuntungan
dan penggunaan alat-alat yang menyebabkan kenaikan atau
penurunan kuantitas logam mulia yang beredar.
Pemikiran yang paling menarik dari lbnu Khaldun terkait
dengan moneter ini bahwa keberadaan uang itu tidak akan
merangsang kegiatan ekonomi. Menurut lbnu Khaldun, motif
keuntungan, organisasi dan upaya sosial, dan penggunaan modal
merupakan faktor yang menentukan volume perdagangan dan
karena itulah jumlah uang menjadi beredar. Untuk mendukung
teorinya ini, Ibnu Khaldun memberikan ilustrasi bahwa
adakalanya perekonomian sebuah negara itu makmur sekalipun
tidak memiliki tambang emas -tambang emas menjadi sumber
supply uang dan adakalanya sebuah negara dengan pasokan emas
(uang) yang banyak tetapi perekonomiannya tidak makmur.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun
memahami permintaan transaksi terhadap uang. Selanjutnya,
keterangan menyiratkan bahwa permintaan akan keseimbangan
riil berubah hanya dengan ekspansi pada tingkat kegiatan
ekonomi, dan meningkatnya permintaan akan saldo nominal
adalah karena tekanan inflasi. Tentu saja, Ibnu Khaldun tidak
307
menganggap inflasi menjadi fenomena moneter murni; baginya,
tariknya permintaan dan tekanan biayalah yang menyebabkan
inflasi. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa teori moneter Ibnu
Khaldun secara umum bertentangan dengan teori kuantitas uang.
Namun, Ibnu Khaldun membuat satu pernyataan yang
menyinggung persamaan pertukaran: "… uang yang dihabiskan di
setiap pasar sesuai dengan volume bisnis yang dilakukan di
dalamnya. Namun, sebagaimana disebutkan di atas, ia tidak
mengklaim bahwa ada korespondensi satu per satu atau bahkan
hubungan kasual antara jumlah uang dan tingkat harga umum.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pemikiran moneter
Ibnu Khaldun terkait dengan pemahamannya tentang fungsi uang,
uang memainkan peran dalam sirkulasi komoditas, dan
permintaan transaksi akan uang. Pemikiran penting dari Ibnu
Khaldun bahwa uang tidak memengaruhi kegiatan ekonomi
secara umum.
f. Teori Penawaran dan Permintaan
Dalam Muqaddimah, lbnu Khaldun mengaitkan pandangan
ekonomi dengan kondisi sosial. Tampaknya seolah-olah ia
bermaksud untuk menerapkan semua ilmu yang disebutkan dalam
Muqaddimah untuk melayani pembangunan manusia. Ibnu
Khaldun dianggap penggagas sosiologi. Pandangan ekonominya
biasanya berdasarkan pada pengalaman dan pengamatan daripada
anggapan dan tebakan. Dia menyadari sebelum Marx bahwa
harga akan naik apabila ada permintaan yang tinggi dan akan
308
turun ketika permintaan rendah: "Jika manufaktur berada dalam
permintaan dan biaya terpenuhi, maka produksi akan mirip
dengan barang-barang yang dibawa untuk dijual. Oleh karena itu,
orang akan melakukan yang terbaik untuk mempelajari bahwa
profesi untuk mencari nafkah. Namun, jika barang tidak dalam
permintaan dan biaya tidak terpenuhi, maka orang tidak akan
belajar profesi itu sehingga akan diabaikan".
Perlu dicatat bahwa lbnu Khaldun itu berpandangan jauh. Dia
bertujuan untuk menguraikan gambar tiga dimensi untuk
pembangunan dan peradaban berdasarkan manufaktur,
perdagangan, dan sifat manusia. Dia juga berfokus pada peran
ekonomi dalam mendorong orang untuk terlibat dalam profesi
sesuai dengan status pasar. Dia mengatakan: “Profesi biasanya
tersedia jika itu membutuhkan dan permintaan. Tapi jika negara-
negara mendapatkan kelemahan, pembangunan regresi dan
penduduk menjadi kurang, maka kemewahan menurun dan orang
menjadi membutuhkan kebutuhannya hanya untuk mengurangi
berbagai profesi yang biasanya hasil dari kemewahan".
g. Interjensi Pemerintah dalam Kegiatan Ekonomi
Ibnu Khaldun tidak setuju pada campur tangan pemerintah
dalam pemasaran untuk bertindak sebagai pedagang yang
membeli barang pada harga terendah kemudian menunggu
kesempatan untuk menjualnya dengan harga yang sangat tinggi
ketika ada kebutuhan akan produk. Menurutnya, ini merupakan
pelanggaran yang melanggar hukum pada uang rakyat. Dia
309
mengatakan: "Lebih buruk dari ketidakadilan dan korupsi di
negara-negara dan peradaban adalah kekerasan uang rakyat
melalui membeli barang di pasar untuk harga terendah kemudian
memaksakan pada mereka untuk harga yang jauh lebih tinggi …
Ini sering mengakibatkan jatuhnya negara dan efek
perkembangannya secara bertahap tanpa menyadari hal itu".
Hal ini merupakan analisis ekonomi secara tepat yang
menunjukkan peran pemerintah dalam kehidupan dan ekonomi
masyarakat dan hubungan langsung di antara keduanya. Aturan
ekonomi ini hadir sepanjang sejarah dan merupakan salah satu
fondasi bagi peradaban. Meskipun beberapa ulama Maroko
membahas aturan dan kondisi pemasaran, Ibnu Khaldun
membahas pengaruh ekonomi pada pembangunan dan sejarah.
Ibnu Khaldun sedang mencoba untuk menekankan
perdagangan bebas dari gangguan apapun yang dapat merusak
pasar dengan memasukkan objek yang tidak berhubungan dengan
teori penawaran dan permintaan dan unsur-unsurnya seperti
keberadaan pedagang dan barang serta keadaan tertentu pada
harga barang. Dia juga menekankan tentang larangan monopoli.
Lebih dari sekali Ibnu Khaldun mengungkapkan
ketidaksetujuannya pada gangguan negatif dari pemerintah dalam
proses jual beli. Sebagai contoh, ia mengatakan di salah satu bab
yang berjudul "Perdagangan Sultan Berbahaya bagi Rakyat dan
Korupsi Pajak". Sadar bahwa ketika pajak pemerintah menurun
karena barang mewah dan penghasilan dan pengeluaran yang
310
tinggi maka hanya akan mengumpulkan pajak sesuai dengan
kebutuhannya. Namun, jika membutuhkan lebih banyak uang dan
pengumpulan pajak maka akan lebih baik tempat pabean atas
barang dan pasar, seperti yang telah disebutkan dalam bab
sebelumnya masyarakat, memberikan judul yang berbeda adat,
pekerja saham dan pemungut pajak uang mereka ketika mereka
mendapatkan uang dalam jumlah besar dan kadang-kadang
berpura-pura perdagangan dan pertanian untuk Sultan bawah
judul kebiasaan ketika mereka menemukan pedagang dan petani
mendapatkan keuntungan meskipun sejumlah kecil uang dari
mereka. Keuntungan biasanya dihitung sesuai dengan modal.
Pemerintah percaya bahwa apa yang mereka lakukan adalah
dengan cara mengumpulkan lebih banyak pajak dan penurunan
keuntungan sedangkan sangat salah dan tidak dapat diterima
untuk melakukannya karena merugikan orang dari beberapa
aspek.
B. PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATHIBI
1. Riwayat Hidup Al-Syathibi
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq bin Musa bin
Muhammad al-Lakhmi al-Syathibi. Ia berasal dari suku Arab
Lakhmi. Ia tinggal di Granada yang waktu itu merupakan sebuah
kerajaan Islam yang berada di bawah pemerintahan Daulah
Umawiyah yang mengikuti aturan-aturan Andalusia selatan. Al-
Syathibi lahir menjadi seorang ulama dan cendekiawan yang
populer pada zamannya.
311
Sebagai penuntut ilmu, al-Syathibi memulai aktivitas
ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu
Abdillah Muhammad ibnu Fakhkarm Al-Biri dan Abu Ja’far
Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami
hadits dari Abu Qasim ibnu Bina dan Syamsudin al-Tilimsani,
ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu
ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad al-
Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad al-Syarif al-
Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta
berbagai ilmu lainnya seperti ilmu korespondensi untuk
meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti
mengirim surat kepada seorang sufi yaitu Abu Abdillah ibnu Ibad
al-Nafsi al-Rundi.
Sebagai pengembang ilmu, al-Syathibi bertindak sebagai
pengajar dan juga menulis beberapa buku. Meskipun mempelajari
dan mendalami berbagai disiplin ilmu, al-Syathibi lebih
cenderung untuk mempelajari bahasa Arab dan ushul fiqh.
Baginya ushul fiqih merupakan metodologi dan falsafah fiqih
yang merupakan faktor yang sangat mempengaruhi terhadap
kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan
sosial. Al-Syathibi wafat pada 790 H (1388 M).
2. Karya Al-Syathibi
Pemikiran al-Syathibi dapat ditelusuri melalui karya-karya
ilmiahnya. Dua karyanya yang diterbitkan dan beredar di
masyarakat luas yakni al-Muwafakat fi Ushul al-Syariah sebagai
312
kitab paling monumental sekaligus paling dikenal dan al-
I’tisham. Dalam al-Muwafakat ini, Syathibi telah
mempertemukan dua mazhab pemikiran, yakni mazhab Maliki
dan mazhab Hanafi. Ia mengangkat kedudukan Imam Malik dan
menjadikan Abu Hanifah sejajar dengan kedudukan Imam Malik.
Buku ini dilihat dari segi temanya terbagi ke dalam lima bagian,
yakni muqaddimah, ahkam, maqashid, adilah, dan ijtihad wa
tajdid. Sedangkan kitab al-I’tisham adalah buku yang mengupas
secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Dengan
demikian, dalam buku ini sama sekali tidak menyinggung
persoalan ekonomi sehingga tidak bisa dijadikan referensi dalam
kajian tentang pemikiran ekonomi al-Syathibi.
3. Pemikiran Ekonomi Al-Syathibi
Pemikiran al-Syathibi dalam bidang ekonomi adalah
kemampuan menghubungkan konsep maqashid al-syariah
dengan konsep kepemilikan harta, perpajakan, kebutuhan
produksi, distribusi, dan konsumsi. Al-Syathibi mampu
menjelaskan konsep kepemilikan harta melalui pendekatan
maqashid al-Syariah. Menurutnya, kepemilikan harta tidak boleh
beredar hanya di kalangan orang kaya agar terwujud keadilan
sosial dan ekonomi di antara umat. Komitmen al-Syathibi dengan
konsep maqashid al-Syariah juga tercermin ketika menjelaskan
bahwa pajak harus dibebankan kepada rakyat dan kemudian
digunakan untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umum.
313
Dalam bidang kebutuhan konsumsi, produksi, dan distribusi,
al- Syathibi berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan menjadi
tanggungjawab dan kewajiban bagi personal dan doktrin agama
untuk memenuhinya, baik yang bersifat primer (dharuriyah),
sekunder (hajiyah), dan tersier (tahsiniyah) demi terpeliharanya
nafs (jiwa) dari ancaman penyakit kematian.
a. Maqashid al-Syariah dan Ekonomi
Menurut al-Syathibi, tujuan dari syariah adalah kemaslahatan
umat manusia. Kemaslahatan yang dimaksud adalah segala
sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan
penghidupan manusia, dan perolehan apa yang dituntut oleh
kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian
yang mutlak. Sehubungan dengan itu bahwa ada korelasi antara
penerapan maqashid al-syariah dalam bentuk maslahah dengan
aktivitas ekonomi.
Hal ini bisa berarti bahwa semua aktivitas ekonomi itu bisa
dibenarkan sepanjang bisa mewujudkan maqashid al-syariah
lebih khusus menciptakan mashalih bagi umat manusia. Namun,
menurut al- Syathibi, kemaslahatan manusia itu dapat terealisasi
apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan
dan dapat dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Dalam kerangka ini, ia membagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Dharuriyat adalah segala aspek kehidupan yang bersifat
esensial sehingga wajib ada sebagai syarat mutlak bagi
314
terwujudnya kemaslahatan manusia, baik kemaslahatan di dunia
maupun di akhirat. Apabila tingkatan ini diabaikan, maka akan
menimbulkan kerusakan dan kerugian. Sehubungan dengan itu,
dalam berbagai aktivitas ekonomi hendaknya mempertimbangkan
tingkatan maqashid al-syariah dalam menegakkan kesejahteraan
manusia di dunia dan akhirat.
Hajiyat adalah segala sesuatu yang menjadi kebutuhan
primer kehidupan manusia agar tercipta kebahagiaan dan
kesejahteraan, serta terhindar dari kemelaratan baik di dunia
maupun di akhirat. Tingkatan ini dimaksudkan untuk
memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia,
menghilangkan kesulitan dan menjadikan pemeliharaan yang
lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Dalam
konteks aktivitas ekonomi, Islam telah memberikan beberapa
pranata ekonomi yang bisa memberikan kemudahan bagi
kehidupan manusia. Misalnya dalam melaksanakan aktivitas
ekonomi, khususnya kontrak ekonomi, diperbolehkan
menggunakan akad mudharabah dan musyarakah dalam
perniagaan dan musaqah, muzara’ah atau mukhabarah dalam
pertanian.
Tahsiniyat adalah suatu kebutuhan hidup yang sifatnya
komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan
kesejahteraan hidup manusia. Apabila kemaslahatan ini tidak
terwujud, maka kehidupan manusia menjadi kurang indah dan
kurang nikmat, tetapi tidak sampai kemudaratan dan kebinasaan
315
hidup manusia. Dalam konteks ekonomi, maka Islam
memberikan tuntunan yang mencakup kehalusan dalam berbicara
dan bertindak ekonomi, serta pengembangan kualitas produksi
dan hasil pekerjaan.
Secara umum, al-Syatibi menyatakan bahwa ketiga tingkatan
maqashid al-syariah ini memiliki korelasi antara satu dengan
yang lainnya. Dharuriyat merupakan dasar dari hajiyat dan
tahsiniyat. Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa
kerusakan pula pada hajiyat dan tahsiniyat. Namun tidak
sebaliknya, kerusakan pada hajiyat dan tahsiniyat tidak
berimplikasi secara signifikan pada kerusakan dharuriyat.
Kerusakan pada hajiyat dan tahsiniyat, barangkali hanya
mengurangi kualitas dari implementasi dharuriyat. Hal ini berarti
bahwa pemeliharaan hajiyat dan tahsiniyat tetap perlu
diwujudkan agar implementasi dharuriyat dapat dicapai secara
maksimal.
Konsep maqashid al-syariah yang dikemukakan al-Syatibi
dalam konteks ekonomi sebenarnya merupakan roh dari aktivitas
ekonomi. Dengan kata lain, maqashid al-syariah bisa
ditempatkan sebagai spirit dalam menjalankan seluruh aktivitas
ekonomi. Dalam konteks ekonomi modern, maqashid al-syariah
merupakan konsep motivasi. Setiap kebutuhan yang belum
terpenuhi akan menjadi motivasi bagi individu untuk melakukan
aktivitas ekonomi. Jadi maqashid al-syariah ini merupakan alat
316
ukur kebutuhan yang harus dipenuhi dan sekaligus menjadi
motivasi individu untuk melakukan aktivitas ekonomi tersebut.
Tingkatan maqashid al-syariah ini dalam konteks ekonomi
modern dikenal dengan kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
Kebutuhan primer merupakan kebutuhan yang dasar ataupun
kebutuhan minimal yang harus dipenuhi manusia agar layak
hidup. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka yang terjadi
adalah kelangsungan hidup manusia akan terganggu. Kebutuhan
sekunder adalah kebutuhan yang pemenuhannya setelah
kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan tersier atau kebutuhan
mewah adalah kebutuhan yang biasanya dipenuhi setelah
kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder dipenuhi.
Sementara terkait dengan unsur-unsur yang mesti dipenuhi
dalam maqashid al-syariah menurut al-Syatibi adalah agama
(din), jiwa (nafs), keturunan (nashl), akal (‘aql), dan harta (mal).
Terpenuhinya kelima unsur ini menjadi indikator untuk
menentukan tingkat kesejahteraan (mashlahah) yang diperoleh
oleh seseorang. Sedangkan dalam konteks ekonomi modern,
berkaitan dengan kebutuhan dasar yang dikemukakan oleh al-
Syatibi hampir selaras dengan teori kebutuhan dasar -hierarchy of
needs- yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Maslow
mengatakan bahwa garis hierarki kebutuhan manusia berdasarkan
skala prioritasnya terdiri dari kebutuhan fisiologi (physiological
needs), kebutuhan keamanan (safety needs), kebutuhan sosial
317
(social needs), kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), dan
kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs).
Kebutuhan fisiologi (physiological needs) adalah kebutuhan
dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi,
maka kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan
mengesampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya. Kebutuhan
keamanan (safety needs) adalah kebutuhan perlindungan terhadap
gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi. Kebutuhan
sosial (social needs) adalah kebutuhan akan cinta, kasih sayang,
dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan
memengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan akan
penghargaan (esteem needs) adalah kebutuhan terhadap
penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini
akan memengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang.
Kebutuhan aktualisasi diri ( self-actualization needs) adalah
kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri.
Teori hierarchy of needs yang dikemukakan oleh Maslow ini
tampaknya telah terakomodasi oleh teori maqhasid al-syariah
yang dikemukakan oleh al-Syatibi. Bahkan, maqhasid al-syariah
lebih universal dibandingkan dengan hierarchy of needs.
Keuniversalan ini tampak dalam menempatkan agama (din)
sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Dalam teori
hierarchy of needs, agama bukan merupakan kebutuhan dasar
manusia. Padahal agama dianggap sebagai sesuatu yang dapat
318
memberikan petunjuk kepada manusia dalam memenuhi
kebutuhan dasar, yakni keselamatan dunia dan akhirat.
b. Objek Kepemilikan
Dalam pandangan al-Syatibi, setiap individu memiliki hak
yang sama atas kekayaan. Hal ini berarti bahwa beliau mengakui
hak milik individu. Setiap individu memiliki hak untuk
menikmati hak miliknya, menggunakannya secara produktif,
memindahkannya dan melindunginya dari pemubaziran. Namun
pemilik juga terkena sejumlah kewajiban tertentu, seperti
membantu dirinya sendiri dan kerabatnya serta membayar
sejumlah kewajiban.
Namun demikian, al-Syatibi menolak kepemilikan individu
terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup
orang banyak. Pemilikan dan penguasaan sumber daya tersebut
harus diserahkan kepada masyarakat umum bukan dimiliki dan
dikuasai oleh individu. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek
kepemilikan dan penggunaan tidak bisa dimiliki oleh siapapun.
Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu air yang
tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air
sungai dan oase, dan air yang yang dapat dijadikan sebagai objek
kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari
sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa
tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai
dikarenakan adanya pembangunan dam. Hal ini didasarkan
kepada sabda Rasulullah Saw., “Tiga hal yang tidak boleh
319
dimiliki oleh siapapun, yaitu air, padang rumput, dan api”. Hal
yang sama juga terjadi pada fasilitas yang dipergunakan oleh
masyarakat umum, seperti jalan raya, sungai, masjid, dan lain-
lainnya tidak boleh dikuasai oleh individu dan kepemilikannya
diserahkan kepada umum.
c. Pajak
Pajak merupakan kewajiban setiap warga negara kepada
negaranya atau kewajiban rakyat kepada pemerintahannya.
Kewajiban itu dilakukan dalam bentuk menyerahkan sebagian
hartanya kepada negara sesuai dengan kuantitas kepemilikan
hartanya.
Menurut al-Syathibi, pemungutan pajak oleh negara terhadap
warga negaranya harus dilihat dari sudut pandang mashlahah
(kepentingan umum). Dalam pemikiran al-Syathibi bahwa
pemeliharaan kepentingan umum secara esensial merupakan
tanggungjawab masyarakat. Dalam kondisi masyarakat tidak
mampu melaksanakan tanggungjawab ini, maka tanggungjawab
ini dapat dialihkan ke Baitul Mal sebagai institusi keuangan
negara yang juga merupakan milik masyarakat umum.
Hal yang paling menarik dari pemikiran al-Syathibi tentang
pajak ini adalah bahwa al-Syathibi membolehkan negara untuk
mengenakan pajak-pajak baru terhadap warga negaranya
sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah
Islam. Negara diberikan kewenangan untuk menentukan jenis
pajak, baik tarif pajaknya, jenis pajak, maupun ruang lingkup
320
pajak lainnya. Literasi pajak yang pernah terjadi di dunia Islam
hanya merupakan referensi bagi pengembangan pajak berikutnya.
Penentuan pajak disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari
negara yang bersangkutan.
C. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut.
1. Pemikiran ekonomi menurut Ibnu Khaldun bermuara
pada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan teori
nilai, distribusi, pertumbuhan, dan perkembangan, uang,
harga, keuangan public, siklus bisnis inflasi, sewa, dan
manfaat dari perdagangan. Ada beberapa kontribusi Ibnu
Khaldun pada pemikiran ekonomi kontemporer.
Kontribusi teori ekonomi Ibnu Khaldun disebut dengan
“pemikiran ekonomi Islam” yang mewarnai pemikiran
ekonomi yang dikemukakan oleh Smith, Malthus,
Ricardo, Marx, dan Keynes. Pemikiran ekonomi Ibnu
Khaldun merupakan sebuah sistem yang logis, pikiran
kohesif yang didasarkan pada pengamatan ekonomi pada
abad ke-14. Ibnu Khaldun seorang pengamat fenomena
sosial, ekonomi, politik, dan sejarah. Dengan kekuatan
abstraksinya, Ibnu Khaldun telah mampu
mengidentifikasi dan mengartikulasikan hubungan antara
variabel penting dari realitas ekonomi. Hanya saja, karya
Ibnu Khaldun ini tidak diketahui secara cepat oleh para
ekonom barat. Padahal, bila terjemahan al-Muqaddimah
321
ke dalam bahasa Eropa itu dilakukan sejak awal, maka
pemikiran ekonomi Barat tidak akan terhindarkan.
2. Pemikiran ekonomi al-Syatibi tercermin dalam pemikiran
utamanya maqashid al-syariah. Hakikat dari Syariah
adalah maslahah (kemaslahatan atau kesejahteraan). Oleh
karena itu, aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia
diorientasikan dalam upaya perolehan maslahah tersebut.
Implementasi dari perolehan maslahah tersebut adalah
pemenuhan terhadap kebutuhan dasar (basic need)
manusia, yang oleh al-Syatibi dirumuskan menjadi lima
kebutuhan, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Pemikiran tentang basic need yang dikemukakan al-
Syathibi ini tampaknya lebih universal bila dibandingkan
oleh teori hierarchy of needs yang dikemukakan Maslow.
Maslow merumuskan hierarchy of needs dengan
kebutuhan fisiologi, kebutuhan keamanan, kebutuhan
sosial, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan
aktualisasi diri. Selain itu, al-Syatibi juga telah
merumuskan tingkatan kebutuhan hidup manusia dalam
aktivitas ekonominya. Menurut al-Syathibi, kebutuhan
manusia itu dapat dipilah menjadi tiga tingkatan yaitu
dharuriyah, hajjiyah, dan tahsiniyah. Tingkatan
kebutuhan ini tampaknya langsung atau tidak langsung
telah diakomodasi dalam kajian ekonomi kontemporer.
Dalam kajian ekonomi kontemporer, kebutuhan manusia
322
itu dipilah menjadi tiga yakni primer, sekunder dan
tersier. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pemikiran ekonomi yang dikemukakan oleh al-Syathibi
telah memengaruhi pemikiran ekonomi modern atau
kontemporer.
323
karya secara keseluruhan
terbesarnya). atau untuk sebagian
besar adalah nilai
realisasi dari kerja
manusia.
• Utilitas sebagai
sumber nilai dan
penentu harga
produk.
• Sumber pendapatan
berasal dari
kerajinan, oleh
karena itu adalah
nilai dari kerjanya.
• Pembangunan
ekonomi dengan
cara meningkatkan
produktivitas dan
pertukaran yang
lebih tinggi
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
• Fungsi uang
sebagai tolak ukur
324
dan penyimpanan
nilai.
• Harga akan naik
jika permintaan
tinggi dan akan
turun ketika
permintaan rendah.
• Tidak menyukai
adanya campur
tangan pemerintah
dalam pemasaran
untuk bertindak
sebagai pedagang
yang tidak baik.
Latihan Soal
1. Apakah fokus utama dai pemikiran ekonomi Ibnu
Khaldun dan Al Syathibi?
2. Apa korelasi antara teori nilai kerja dan teori nilai utilitas
dari pemikiran Ibnu Khaldun?
325
BAB XIII
A
bad ke 20 m dipandang sebagai abad kebangkitan
kembali dunia Islam setelah terpuruk beberapa
abad yang lalu. kebangkitan dunia islam ini
ditandai dengan kemampuan umat Islam merdekakan negerinya
dari penjajahan yang dilakukan oleh bangsa barat. manifestasi
dari kebangkitan dunia Islam tersebut menurut Lothrop, berupa
tumbuhnya potensi luar biasa bagi pembentukan dunia baru.
Islam menurut Badri yatim kebangkitan dunia islam adalah
bangkitnya nasionalisme di dunia Islam dan tumbuhnya gerakan
multipartai yang memperjuangkan kemerdekaan negaranya.
326
muslim dengan beberapa produk pemikirannya. di Arab Saudi
misalnya muncul Muhammad bin Abdul Wahab, di Mesir
muncul Muhammad Abduh, di India muncul Muhammad Iqbal,
di Aljazair muncul Muhammad Sanusi dan di Indonesia sendiri
muncul Ahmad Dahlan. secara umum gagasan mereka bermuara
pada dua persoalan pokok, yang diverifikasi dan pembaharuan.
purifikasi berarti memurnikan kembali ajaran Islam yang sesuai
dengan Alquran dan Sunnah, sedangkan pembaharuan adalah
muncul kan berbagai gagasan dan implementasi yang sesuai
dengan perkembangan zaman.
327
Uraian ini mempertegas bahwa pada abad ke 20 M atau masa
kontemporer ini telah muncul beberapa pemikir muslim dan
pemikirannya terkait dengan masalah ekonomi Islam. dengan
dengan itu pada deskriptif berikut akan disajikan beberapa
pemikir muslim dan pemikirannya tentang ekonomi Islam.
A. M Nejatullah Siddiqi
1. Riwayat hidup
328
banking without interest yang diterbitkan di 27 edisi antara tahun
1973 sampai 2000 dalam tiga bahasa dan dipegang oleh 2200
perpustakaan di seluruh dunia.
329
Muslim kontemporer, Nejatullah Siddiqi telah menawarkan
beberapa pemikiran fundamental tentang ekonomi Islam.
Diskursus Siddiqi tentang ekonomi Islam diawali dengan
menyajikan tema tentang ciri-ciri ekonomi Islam.
2. Pemikiran Ekonomi
330
keadaan ini negara berkewajiban menyediakan kebutuhan dasar
bagi semua orang. Selain itu, negara dalam bentuk lembaga
Hisbah juga berkewajiban melakukan amar ma'ruf nahyi munkar
apabila terjadi ketidak adilan di pasar.
331
Setelah diskursus tentang ciri sistem ekonomi Islam,
Nejatullah Siddiqi melanjutkan pemikiran ekonominya yang
berkaitan dengan masalah distribusi. Bagi Siddiqi, distribusi
merupakan konsekuensi dari kegiatan konsumsi (permintaan) dan
produksi (penawaran). menurut Siddiqi, kepemilikan terbatas
dalam pengertian bahwa hak itu ada jika kewajiban-kewajiban
sosial sudah ditunaikan. Kekayaan swasta dipandang sebagai
suatu hal yang mengandung maksud tertentu yakni untuk
memberi kebutuhan materil kepada manusia pada waktu yang
sama bekerja bagi kebaikan masyarakat. Penggunaan kekayaan
swasta harus benar bersamaan dengan norma-norma kerja sama,
persaudaraan, simpati, dan pengorbanan diri. Setiap pelanggaran
terhadap semua persyaratan tersebut seperti penimbunan,
eksploitasi dan penyalahgunaan akan menyebabkan hilangnya
hak memiliki. Negara dan masyarakat adalah penjaga
kepentingan sosial dalam hal ini.
332
untuk keturunan dan pelayanan sosial, serta infak di jalan Allah
Swt.
B. M. Umer Chapra
1. Riwayat hidup
333
dikutinya, termasuk kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga
ekonomi dan keuangan dunia seperti IMF, IBRD, OPEC, IDB,
OIC dan lain-lain.
2. Pemikiran Ekonomi
334
memungkinkan alat tukar sebagai satuan unit yang dapat
diandalkan, standar yang adil bagi pembayaran yang
ditangguhkan, dan alat penyimpan nilai yang stabil; (4)
mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan
perekonomian dalam suatu cara yang adil sehingga pengembalian
keuntungan dapat dijamin bagi bersangkutan; dan (5)
memberikan semua bentuk pelayanan yang efektif yang secara
normal diharapkan berasal dari sistem perbankan.
335
mencapai tujuan meskipun hal tersebut merupakan perubahan
yang perlu disambut sebagai cara yang digunakan oleh para
bankir muslim untuk mencari pengalaman menjalankan
perbankan bebas riba dan memberikan jalan bagi beberapa
reformasi di kemudian hari.
336
Kemudian mengevaluasi program yang diajukan sesuai dengan
tujuan yang dibahas pada pembahasan sebelumnya.
337
ekonomi. Gagasannya ini didasarkan pada empat pertanyaan: (1)
bagaimana jenis pembangunan yang dinginkan oleh Islam?. (2)
apakah jenis pembangunan ini dapat direalisasikan dengan
pendekatan sekuler yang percaya pada sistem pasar atau
sosialisme atau strategi-strategi yang diformulasikan oleh para
ekonom pembangunan dalam kerangka kerja dua sistem itu. (3)
bagaimana strategi Islam? Apakah dapat membantu negara-
negara muslim memformulasikan kerangka aktualisasi
pembangunan yang dinginkan oleh Islam dengan tujuan
menanggulangi ketidakseimbangan makro ekonomi? dan (4)
mengapa selama ini negara-negara muslim gagal merumuskan
dan mengimplementasikan strategi tersebut?
338
kebijakan tersebut adalah: (1) memberikan kenyamanan kepada
faktor manusia, (2) mereduksi konsentrasi kekayaan; (3)
melakukan restrukturisasi ekonomi; (4) melakukan restrukturisasi
keuangan; dan (5) melakukan rencana kebijakan strategis. Bagi
Chapra, Islamlah satu-satunya alternatif untuk menggantikan
Kapitalisme dan Sosialisme.
339
Development Research, Direktur Pakistan Institute of
Development Economics, Islamabad, Kepala Economic Affairs
Division, Government of Pakistan, serta Pejabat dan Ekonom
Peneliti Senior pada Pakistan Institute of Development
Economics. Selain itu, Haider Naqvi juga terlibat dalam
keanggotaan dan asosiasi, di antaranya yang penting adalah:
anggota National Geographic Society, Washington, D.C,
Presiden Pendiri Pakistan Society of Development Economists,
Islamabad, Ketua the Committee on Economic and Social well-
being for the Eighth Five Year Plan, Ketua Board of
Management, Asian and Pacific Development
340
Telah banyak buku dan artikel tentang ekonomi Islam yang
sudah diterbitkan, di antaranya Perspectives on Morality and
Human well-being (2003), Development Economics Nature and
significance (2002). The Crisis of Development Planning in
Pakistan (2000), External Shocks and Domestic Adjustment
Pakistan's Case 1970-1990 (1997) islam Economics, and Society
(1994), Development Economics A New Paradigm (1993),
SAARC Link An Econometric Approoch (1992), Mocro-
Economic Framework for the Eighth Five Year Plan islamabad
Pakistan institute of Develo Economics (1992), On Raising the
Level of Economic and Social WelBeing of the People (1992),
Structure of Protection and Allocative Efficency in
Manufacturing San Francisco International Center for Economic
Growth (1991), Structural Change in Pakiston's Agriculture
(1989), Land Reforms in Pakistan A Historical Perspective
(1987), Preliminary Revised PIDE Macro-Econometric Model of
Pakistan's Economy (1986), dan Ethics and Economics. An
Islamic Synthesis (1981).
2. Pemikiran Ekonomi
341
didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan
hartabenda menurut perspektif islam. Secara epistemologis
menurut Naqvi ekonomi Islam dibagi menjadi dua disiplin limu
Pertama, ekonomi Islam normatif vaitu studi tentang hukum-
hukum syanah Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda.
Kedua ekonomı islam positif yaitu studi tentang konsep-konsep
Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda khususnya yang
berkaitan dengan produksi barang dan jasa. Cakupannya adalah
segala macam cara dan sarana vang digunakan dalam proses
produksi barang dan jasa.
342
sebuah sistem yang berdasar pada ajaran agama. Ekonomi Islam
merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur berdasarkan
syariat Isiam, yang tentu saja berpedoman kepada al- Quran dan
Hadis Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi lain, Kapitalis dan
Sosialis, yang cenderung sekuler di mana ekonomi terpisah dan
ajaran agama Sistem ekonomı islam meletakkan syariah sebagai
landasan normatif bagi seluruh aktivitas ekonomi Sedangkan
sistem ekonomi Kapitalisme cenderung posítivistik.
343
D. M. Abdul Manan
1. Riwayat Hidup
344
ekonomi islam yang menganjurkan pembentukan Bank Dunia
Islam, Mustim World Bank lima tahun sebelum pembentukan
slamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di jeddah,
Arab Saudi.
345
OIC Member Countries (1996), dan Financing Development in
islam (1996)
2. Pemikiran Ekonomi
346
ekonomi Islam memiliki nilai-nilai etika dan kemampuan
motivasional. Namun demikian, Abdul Mannan tidak
memberikan penjelasan yang signifkan tentang perbedaan antara
nilai etika Islam dan kemampuan motivasional tersebut dengan
nilai-nilai Maris beserta motivasinya.
347
norma-norma sepanjang dizinkan oleh syariah. Hanya saja,
mekanisme kontrol dengan upaya menjunjung nilal-nilaı dan
norma yang sesuai dengan syariah belum dijabarkan dengan baik.
Artinya, mekanisme ini akan sangat beragam sesuai dengan
persepsi dan sistem kekuasaan yang ada di tiap-tiap negara.
348
umum adalah kebutuhan manusia yang terdin dan necessities,
comforts, dan luxuries.
349
E. Monzer Kahf
1. Riwayat Hidup
350
Monzer Kahf merupakan seorang penulis yang produktif
dalam menghasilkan pemikiran-pemikiran di bidang ekonomi,
keuangan, bisnis, fikih dan hukum, baik dalam bahasa Arab
maupun bahasa Inggris. Pada tahun 1978 Kahf menerbitkan buku
tentang ekonomi Islam yang berjudul The Islamic Economy:
Analytical Study of the Functioning of the Islamic Economic
System. Buku ini dianggap menjadi awal dari sebuah analisis
matematika ekonomi dalam mempelajari ekonomi Islam, sebab
pada tahun 1970-an, sebagian besar karya-karya mengenai
ekonomi Islam masih mendiskusikan masalah prinsip dan garis
besar ekonomi. Adapun hasil karya Kahf yang lain adalah: A
Contribution to the Theory of Consumer Behavior in an Islamic
Society (1984), Principles of Islamic Financing : A Survey
(19921) Zakah Monagement ih Some Muslim Societies (1993)
the Calculation of Zakah for Muslim in North Amenika (19961)
Financing Development in Islam (1996), dan The Demand Side
or Consumer in Ielarmic Perspective.
2. Pemikiran ekonomi
Pemikiran ekonomi yang paling utama dan terpenting dari
Monszer Kahf adalah pandangannya terhadap ekonomi sebagai
bagian tertentu dari agama. Selain itu, Monzer mengatualhasikan
analisis pengunaan beberapa institusi islam (seperti zakat)
terhadap agregat ekonomi, seperti simpanan, Ivestasi, konsumsi
dan pendapatan. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya yang
351
berjudul “The Islomic Econormy Anolytical Study of the
Functioning of the hlone Economic System”.
352
sebagal alternatif yang konsisten dengan nillai-nilal Islam, unsur-
unsur pokok rasionalisme ini adalah sebagal berikut: (1) Islam
membenarkan individu untuk mencapal kesuksesan di dalam
hidupnya melalui tindakan ekonomí, baik kesuksesan materi
maupun kesuksesan di akhirat dengan mendapatkan keridhaan
dari Alah Swt (2) kehidupan di dunia itu bersifat sementara dan
ada kehidupan yang kekal, yatu kehidupan akhirat: (3) kekayean
dalam honsep islam adalah amanah dani Allah Swt dan sebagai
alat bag individu untuk mencapai kesuksesan di akhirat (4) dalam
mengunakan barang senanitiasa memperhatikan maqashid al-
syariah dan (5) Islam tidak melarang individu dalam
mengzunakan barang untuk mencapai kepuasan selama individu
tersebut tidak mengonsumsi barang yang haram dan berbahaya
atau merusak .
353
Dalam masalah produksi menurut Monzer Kahf, teori
produksi memiliki aspek aspek sebagal berikut (1) motif-motit
Produksi yaitu pengambilan manfaat setiap partkel dari alam
semesta adalah tujuan ideologi umat islam (2) tujuan produksi
adalah sebagai upaya manusia untuk meningkatian kondisi
materialnya selaligus moralnya dan sebagai sarana untuk
mencapal tuuannya d Ahirst 3) tujuan badan usaha dalam proses
maksimalkan keuntungan dengan mengats namaka badan usaha
tidak boleh melanggar aturan- atturan permainan dalam ekonomi
(4) faktor faktor produksi(4) ; modal sebagai kerja yang
diakumulasikan dan (5) hak milk sebagai akibat wajar.
354
bersumber pada sumber hukum slam, yakni al-Quran dan al-
Sunnah.
F. Kesimpulan
355
Monzer Kahf Para ekonom Muslim ini telah menawarkan
ekonomi Islam sebagai alternatif bagi sistem ekonomi vang
selama ini ada Mereka telah menunjukkan berbagai kelebihan
sistem ekonomi Islam daripada sistem ekonomi yang lain
Berbagai aspek yang terkait dengan masalah ekonomi telah
menjad bagian dari produk pemikiran para ekonom Muslim
kontemporer. Mereka berbicara tentang mikro ekonomi berbasis
Islam, seperti produksi, konsums dan distribusi Selain itu, mereka
juga telah berbicara tentang makro ekonom Islam, seperti negara
dan pembangunan ekonomi, sumber pendapatan negara, alokasi
dana publik, fiskal, moneter, dan yang berbasis Islam. Namun,
secara umum, pemikiran dari para ekonom ini cenderung
menganut Mazhab Mainstream, yang mengonvergensik n
ekonomi yang berbasis Islam dengan ekonomi konvensional yang
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
356
zakat dari pelarangan riba
• adanya jaminan
kebutuhan dasar bagi
manusia
M. Umar Capra • sasaran dan strategi
sistem perbankan dan
keuangan dalam
prekonomian islam
• solusi alternatif riba
• reformasi pundamental
sebagai solusi keluar dari
praktik riba
• pendirian lembaga
intitusional
Nawab Haider Naqvi • hskikst ilmu ekonomi
islam
• mengecam paradigma
klasik-neoklasik
• mengembangkan nilai
etik dasar islam
M. Abdul Manan • Mengkritik konsep
harmony of interests
• Mengkritisi marxis
• Mengkritisi paradigma
kaum neoklasik
357
positvistik
• Menolak gagasan
kekuasaanprodusen atau
konsumen
• Mengizinkan pemilikan
swasta sepanjang tunduk
pada kewajiban moral
dan etik
• Mengembangkan ilmu
ekonomi
Monzer Kahf • Mengedepankan konsep
islamic rationalism
• Menyajikan etika
konsunmsi dalam islam
teori produksi
• Struktur pasar akonomi
makro uang dan otoritas
moneter
Soal Latihan
358
DAFTAR PUSTAKA
359
• As-Sirjani, Raghib, 2005, Ensiklopedi Sejarah
Islami, Jakarta: Muassasah Iqra, 2005.
• Biografi M umer Chapra daam “introduction Of Dr.M
Umer Chapra”, http://www.google.com/M.umer
chapra/biografi.htm
• Boedi,Abdullah.2011.Peradaban Pemikiran Ekonomi
Islam.Bandung:Pustaka Setia.
• Boedi,Abdullah.2011.Peradaban Pemikiran Ekonomi
Islam.Bandung:Pustaka Setia.
• Harun Nasution, islam ditinjau dari berbagai aspeknya
(jakarta : UI press, 2002)Badri yatim, sejarah peradaban
Islam, dirasa islamiyah ii (jakarta: Raja Grafindo persada,
2008)
• https://en.wikipedia.org/wiki/mohammad_najtullah_siddi
qui
• http://en.wikipedia.org/wiki/nawab_haider_naqvi
• http://ekonomipolitikislam.blogspot.co.id/2012/09/sejarah
-lahirnya-ekonomi-islam.html
• http://farikihsan.blogspot.co.id/2015/03/normal-0-false-
false-false-en-us-x-none_13.html
• J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan
Pemikiran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994).
• Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Umayyah I (Jakarta:
Bulan Bintang,1977).
360
• Janwari,Yadi. 2016. Pemikiran Ekonomi Islam. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
• Khallaf, Abdul Wahab. 1968. ‘Ilm Ushul Fiqh. Kairo: Dar
al Kuwaitiyah
• Karim, Adiwarman Azhar. 2012. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
• Murodi. 2003. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang:
Karya Toha Putra.
• Munawir,Sjadzali.2003.Islam dan Tata Negara: Seri
Kajian Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta:UI Press.
• Muhammad Husei Haikal, H. M. (2002). Terjemah Ali
Audah . Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa.
• (n.d.)http://www.iaei-pusat.org/article/ekonomi-
syariah/peranan-negara-dalam-perekonomian-
perspektif-islam-part-1-1?language=id.
361
• Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993, Edisi
ke-5
• Sunanto, Musyrifah, 2003, Sejarah Islam Klasik, Bogor:
Prenada Media.
• Supriyadi, Dedi, 2008, Sejarah Peradaban
Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
• Su’ud, Abu Su’ud, 2003, Islamologi, Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
• Tazkia, M. S. ( 2010). Ensiklopedia Ledership and
Managemen Muhammad saw, The Super Leader Super
Manager, Jilid 2. Jakarta: Tazkia Publishing.
• Wahid, N. Abbas dan Suratno, 2009, Khazanah Sejarah
Kebudayyan Islam, Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri.
• Watt, W. Montogomery, 1990, Kejayaan Islam: Kajian
Kritis dari Tokoh Orientalis,Yogyakarta: Tiara Wacana.
• Thoir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan
Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
• Yatim, Badri, 1993, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
• Zubair. 2008. Kontribusi Abu Ubaid Ibn Salman Dalam
Pengembangan Ekonomi Islam. Jakarta: Rabbani Pers.
• Zallum, A. Q. (1983). Al Amwal fi Daulat al-Khilāfah .
Beirut: Darul Malayin.
362