36 TAHUN 2014
Catatan :
Ada istilah asisten tenaga kesehatan, yaitu yang pendidikannya dibawah jenjang D3. Artinya
tamatan SMF tidak dikategorikan lagi sebagai tenaga kefarmasian (tenaga teknis kefarmasian)
seperti yang dinyatakan pada PP 51 2009 pasal 33, tetapi sebagai asisten tenaga kefarmasian.
2.Pasal 1 ayat 6
Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta didik
pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi bidang Kesehatan.
Catatan :
Jadi uji kompetensi kedepan dilakukan di perguruan tinggi farmasi.
Ayat 8 : Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang
diperoleh lulusan pendidikan profesi.
Catatan :
Jadi ada dua istilah sertifkat yaitu sertifikat kompetensi dan sertifkat profesi.
Berbeda dalam PP 51 tahun 2009 pasal 37 dan permenkes 889 tahun 2011, istilah yang dikenal
adalah sertifikat kompetensi profesi. Sekarang terpisah, ada sertifikat kompetensi dan ada
sertifikat profesi.
Pasal 43:
Sertifikat profesi merupakan pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan
pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan
Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas
mutu layanan profesi, dan/atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 44 :
Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan
keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi di luar program studinya.
4.Pasal 1 ayat 15
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga yang melaksanakan tugas secara independen
yang terdiri atas konsil masing-masing tenaga kesehatan.
Catatan :
Jadi nantinya ada lembaga yang menaungi seluruh tenaga kesehatan. Pengumpulan tenaga
kesehatan dalam satu lembaga menunjukkan adanya kesetaraan diantara tenaga-tenaga kesehatan.
5.Pasal 1 ayat 17
Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah badan yang dibentuk oleh Organisasi
Profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu kesehatan yang bertugas mengampu dan meningkatkan
mutu pendidikan cabang disiplin ilmu tersebut.
Catatan:
Jadi kedepan akan ada organisasi yang dibentuk oleh IAI yang berbentuk kolegium. Dalam
bayangan saya kolegium ini seperti himpunan seminat seperti Hisfarsi, Hisfarma, Hisfarin,
Hisfardis, Himastra, dan Hiaskos.
Catatan:
Pada bagian penjelasan pasal 11 ini, tenaga teknis kefarmasian adalah meliputi sarjana farmasi,
ahli madya farmasi, dan analis farmasi.
Kita bisa melihat perbedaannya dengan PP 51 tahun 2009 :
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
Dalam UU ini tenaga menengah farmasi/asisten apoteker tidak lagi dimasukkan ke tenaga teknis
kefarmasian. Tetapi, sebagai asisten tenaga kefarmasian.
Berbeda dengan PP No. 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, praktisi tradisional belum
dimasukkan ke dalam kelompok tenaga kesehatan. Tetapi dengan undang-undang ini mereka telah
dimasukkan sebagai tenaga kesehatan. Bagaimana klasifikasi dan persyaratannya belum terlalu
jelas, tetapi dalam bagian penjelasan untuk pasal ini dikatakan bahwa Tenaga kesehatan tradisional
yang termasuk ke dalam Tenaga Kesehatan adalah yang telah memiliki body of knowledge,
pendidikan formal yang setara minimum Diploma Tiga dan bekerja di bidang kesehatan
tradisional.
Catatan :
Artinya kebutuhan apoteker di puskesmas wajib dipenuhi oleh pemerintah.
2.Pasal 21
Ayat 1 : Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus
mengikuti Uji Kompetensi secara nasional.
Catatan :
Sebelumnya, mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan profesi secara otomatis mendapatkan
sertifikat kompetensi profesi (PP 51/2009 pasal 36 dan permenkes 889 tahun 2011), tetapi saat ini,
sebelum lulus, mereka terlebih dahulu harus mengikuti ujian kompetensi nasional (CBT/computer
based test) untuk mendapatkan sertifikat kompetensi. Jadi, ujian kompetensi nasional adalah exit
exam bagi mahasiswa. Jika belum lulus, maka mahasiswa tersebut masih menjadi tanggung jawab
perguruan tinggi sampai mereka bisa lulus.
Hal inipun berlaku bagi tenaga teknis kefarmasian lulusan D3 farmasi (vokasi). Sebelumnya
mereka tidak perlu mengikuti ujian kompetensi.
Ayat 2: Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan
Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi
yang terakreditasi.
Catatan:
Jadi untuk farmasi, yang menyelenggarakan ujian kompetensi adalah perguruan tinggi farmasi
yang bekerja sama dengan organisasi profesi (IAI) atau LPUK (Lembaga Pengembangan Uji
Kompetensi)
Sebelumnya, termasuk SKPA, yang mengadakan adalah organisasi profesi yang bekerjasama
dengan perguruan tinggi. Saat ini adalah sebaliknya. Perguruan tinggi farmasi yang bekerja sama
dengan organisasi profesi (IAI)
Ayat 5: Mahasiswa pendidikan vokasi memperoleh sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh
perguruan tinggi.
Ayat 6: Mahasiswa pendidikan profesi memperoleh sertifikat profesi yang diterbitkan oleh
perguruan tinggi.
Catatan :
a.Sertifikat profesi menurut aturan ini diterbitkan oleh perguruan tinggi, tidak seperti lagi saat ini
yang diterbitkan oleh IAI.
b.Saya pernah bercakap dengan pak Nurul Falah mengenai sertifikat profesi dan sertifikat
kompetensi yang dicantumkan dalam UU pendidikan no 12 tahun 2012. Menurut beliau sertifikat
profesi diberikan setelah apoteker selesai ujian apoteker dan sertifikat kompetensi diberikan
setelah selesai ujian kompetensi apoteker. Jadi ada dua sertifikat yang akan diperoleh oleh
apoteker yang lulus.
Tetapi jika kita melihat ayat 5 dan ayat 6 pemahamannya tidak seperti itu karena ternyata istilah
sertifikat kompetensi diberikan untuk tenaga teknis kefarmasian dan istilah sertifikat profesi
diberikan untuk apoteker.
Lalu bagaimana dengan sarjana farmasi yang juga masuk dalam tenaga teknis kefarmasian (PP 51
2009 pasal 33), sertifikat apa yang mereka dapatkan ?. Pendidikan sarjana farmasi bukan
pendidikan vokasi dan bukanpula pendidikan profesi tetapi merupakan pendidikan akademik.
3.Pasal 23
Ayat (2) Penempatan Tenaga Kesehatan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a. pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil;
b. pengangkatan sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja; atau
c. penugasan khusus. (penempatan dokter pascainternsip, residen senior, pascapendidikan spesialis
dengan ikatan dinas, dan tenaga kesehatan lainnya)
Catatan :
ini memungkinkan apoteker di puskesmas diangkat dengan mekanisme PTT (pegawai tidak tetap)
Ayat (3): Selain penempatan Tenaga Kesehatan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah dapat menempatkan Tenaga Kesehatan melalui pengangkatan sebagai anggota
TNI/POLRI.
4.Pasal 26
Ayat 2 : Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
kepala daerah yang membawahi Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mempertimbangkan
pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lokasi, serta keamanan dan
keselamatan kerja Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan.
Bab V. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
1.Pasal 34
Ayat 1 : Untuk meningkatkan mutu Praktik Tenaga Kesehatan serta untuk memberikan
pelindungan dan kepastian hukum kepada Tenaga Kesehatan dan masyarakat, dibentuk Konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia.
Ayat 2 : Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
2.Pasal 35
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
3.Pasal 36
Ayat 1 : Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia mempunyai fungsi sebagai koordinator konsil
masing-masing Tenaga Kesehatan.
Ayat 2 : Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia memiliki tugas:
a. memfasilitasi dukungan pelaksanaan tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan;
b. melakukan evaluasi tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan; dan
c. membina dan mengawasi konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
Ayat 3 : Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia memiliki wewenang menetapkan perencanaan kegiatan untuk konsil masing-
masing Tenaga Kesehatan.
Catatan :
Dalam jangka dua tahun kedepan akan dibentuk Konsil tenaga kefarmasian (waktu untuk
pelaksanaan UU ini). Konsil ini yang akan mewakili tenaga kefarmasian dalam konsil tenaga
kesehatan. Saat ini yang bertindak sebagai konsil dibidang farmasi adalah komite farmasi nasional
(KFN) yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan.
4.Pasal 37 ayat 2
Catatan :
Dari pasal 37 ini kita melihat akan ada perluasan fungsi dari konsil kefarmasian yang ada saat ini
(KFN). KFN sebelumnya hanya memiliki 3 tugas (pada permenkes 889 2011 pasal 26), yaitu :
a. sertifikasi dan registrasi;
b. pendidikan dan pelatihan berkelanjutan; dan
c. pembinaan dan pengawasan.
Tetapi dalam UU ini konsil kefarmasian juga akan memilki tugas menyusun Standar Nasional
Pendidikan Tenaga Kefarmasian (tugas ini sebelumnya adalah tugas dari Asosiasi Pendidikan
Tinggi Farmasi Indonesia/APTFI) dan menyusun Standar praktik dan standar kompetensi Tenaga
Kesehatan (tugas ini sebelumnya adalah tugas dari IAI). Konsil ini juga akan berfungsi sebagai
lembaga penegakan disiplin praktek kefarmasian oleh tenaga kefarmasian (saat ini fungsinya
dipegang oleh Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia/MEDAI).
Selain itu fungsi KFN juga akan berkurang yang tadinya berfungsi sebagai lembaga sertifikasi dan
registrasi kedepan hanya sebagai lembaga registrasi.
5.Pasal 38
Catatan :
Tugas MEDAI (majelis etik dan disiplin apoteker Indonesia) sudah masuk dalam tugas konsil
kefarmasian. Selain itu, Konsil kefarmasian akan memiliki wewenang rekomendasi pendirian atau
penutupan perguruan tinggi farmasi.
6.Pasal 40 :
Ayat 1 : Keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia merupakan pimpinan konsil masing-
masing Tenaga Kesehatan.
Catatan :
Keanggotaan konsil kefarmasian nantinya komposisinya akan berbeda dengan keanggotaan KFN
yang ada saat ini. KFN terdiri dari (permenkes 889/2011 pasal 27) :
a. Kementerian Kesehatan 2 (dua) orang;
b. Badan Pengawas Obat dan Makanan 1 (satu) orang;
c. Organisasi profesi 3 (tiga) orang;
d. Organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian 1 (satu) orang;
e. Perhimpunan dari Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia 1 (satu) orang; dan
f. Kementerian Pendidikan Nasional 1 (satu) orang.
Pada konsil kefarmasian akan bertambah unsur dari kolegium tenaga kefarmasian. Seperti
penjelasan saya sebelumnya, kolegium kefarmasian akan seperti himpunan seminat. Apakah
nantinya himpunan seminat akan secara otomatis berubah menjadi kologium, yah terganung IAI
yang memiliki kewenangan membentuk kolegium ini.
Pasal 1 ayat 17 :
Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah badan yang dibentuk oleh Organisasi
Profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu kesehatan yang bertugas mengampu dan
meningkatkan mutu pendidikan cabang disiplin ilmu tersebut.
Jika himpunan seminat sama dengan kolegium, berarti akan ada anggota himpunan-himpunan
seminat di dalam konsil kefarmasian.
Kemudian anggota konsil kefarmasian juga akan ada yang berasal dari asosiasi fasilitas pelayanan
kesehatan.
Pada PP 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 11 dijelaskan bahwa :
Dalam Konsil kefarmasian tidak akan ada lagi anggota yang berasal dari Badan Pengawas Obat
dan Makanan dan Organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian. Kecuali perwakilan
organisasi profesi diartikan sebagai perwakilan yang berasal dari IAI dan PAFI.
1.Pasal 44 :
Syarat STR :
a. memiliki ijazah pendidikan di bidang kesehatan;
b. memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji profesi; dan
e. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Catatan :
Jadi, untuk tenaga teknis kefarmasian yang menyelesaikan pendidikan vokasi memiliki
sertifikat kompetensi sedangkan untuk apoteker (pendidikan profesi) memiliki sertifikat
profesi.
Bagaimana dengan sarjana farmasi ?. PP 51 tahun 2009 memasukkan sebagai tenaga teknis
kefarmasian. Tetapi dalam undang-undang ini tidak mengakomodasi sarjana farmasi. Sarjana
farmasi tidak akan bisa mendapatkan STR karena tidak memilki sertifikat. Sarjana Farmasi bukan
pendidikan vokasi dan bukan pula pendidikan profesi. Jadi tidak berhak atas sertifikat kompetensi
ataupun sertifikat profesi. Selain itu, selesai pendidikan sarjana farmasi, mereka tidak
mengucapkan sumpah/janji, karena sarjana farmasi bukan profesi.
Pada PP 51 tahun 2009 memungkinkan sarjana farmasi untuk mendapatkan STRTTK (pasal 47
ayat 1) karena persyaratannya hanyalah rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah
memiliki STRA di tempat Tenaga Teknis Kefarmasian bekerja. Tetapi dengan undang-undang ini
mereka sepertinya tidak diakomodasi lagi untuk mendapatkan surat tanda registrasi. Yang artinya
merekapun tidak akan bisa memiliki Surat Izin Praktek (SIP)
SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atas
rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Tenaga Kesehatan
menjalankan praktiknya.
Syarat SIP :
a. STR yang masih berlaku;
b. Rekomendasi dari Organisasi Profesi; dan
c. tempat praktik
Syarat Rekomendasi Organisasi Profesi untuk Apoteker yang tadinya hanya tercantum dalam PP
51 2009 pasal 55 kini diperkuat dengan adanya UU tenaga kesehatan ini.
SIP ini hanya berlaku untuk satu tempat (senada dengan PP 51 2009)
3.Pasal 47:
Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama praktik
Jadi program papanisasi apoteker tidak hanya sekedar rekomendasi IAI tetapi merupakan
amanat Undang-Undang.
4.Pasal 49 ayat 1 : Untuk menegakkan disiplin Tenaga Kesehatan dalam penyelenggaraan praktik,
konsil masing-masing Tenaga Kesehatan menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan
kasus pelanggaran disiplin Tenaga Kesehatan.
Pada PP 51 2009 penegakan disiplin ini hanya dijelaskan mengikuti peraturan perundangan yang
berlaku tetapi dalam undang-undang ini penegakan disiplin menjadi tugas dariKonsil kefarmasian.
Oleh karena itu, MEDAI IAI harus betul-betul bisa memberikan batasan antara peran dan
kewenangannya dengan KFN. Jangan sampai ada tumpang tindih dan rebutan peran. Ataukah
MEDAI akan berubah kembali menjadi komisi etik saja seperti pada kepengurusan IAI
sebelumnya tanpa mengatur disiplin ?.
Ayat 2 : Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil masing-masing
Tenaga Kesehatan dapat memberikan sanksi disiplin berupa:
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kesehatan.
Hal yang menarik disini adalah salah satu sanksi yang bisa didapatkan jika melakukan pelanggaran
disiplin adalah di’sekolah’kan lagi diperguruan tinggi.
1.Pasal 50
Tenaga Kesehatan harus membentuk Organisasi Profesi sebagai wadah untuk meningkatkan
dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga
Kesehatan.
Catatan :
Sepertinya kedepan MEDAI memang harus kembali seperti sebelumnya hannya mengatur masalah
etika tidak mengatur masalah disiplin.
2.Pasal 51 :
1) Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan Tenaga Kesehatan,
setiap Organisasi Profesi dapat membentuk Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan.
2) Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan otonom di dalam Organisasi Profesi.
3) Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab kepada Organisasi Profesi.
Pasal 51 ini menegaskan bahwa yang dimaksud kolegium dalam bidang farmasi akan berupa
himpunan seminat.
Bab IX : Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
Pasal 59 :
1.
1) Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
memberikan pertolongan pertama kepada Penerima Pelayanan Kesehatan dalam keadaan
gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan.
2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak Penerima
Pelayanan Kesehatan dan/atau dilarang meminta uang muka terlebih dahulu.
Catatan :
Nah, kedepan jika ada RS yang menolak pasien dikarenakan masalah biaya yang tidak ada dimuka
maka RS itu (tenaga kesehatan didalamnya) melanggar undang-undang.
2. Pasal 63
1) Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar
kewenangannya.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai menjalankan keprofesian di luar kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Catatan :
Yang menarik disini tenaga kesehatan dapat melakukan pekerjaan diluar kewenangannya, seperti
apa penjelasannya, kita tunggu peraturan menterinya. Tetapi, kemungkinan seperti dokter
menyerahkan obat pada daerah terpencil, perawat melakukan tindakan invasif didaerah terpencil,
bidan menangani kelahiran tidak normal, dsbg. Apoteker mendiagnosa bagaimana? .
3.Pasal 56 :
Catatan :
Apoteker bisa memberikan pelimpahan tanggung jawab kepada tenaga teknis kefarmasian sesuai
kompetensinya.
1.Pasal 80
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Tenaga
Kesehatan dengan melibatkan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan Organisasi Profesi
sesuai dengan kewenangannya.
Catatan :
Saya teringat kasus BPOM Makassar yang keberatan karena Dinkes kota Makassar mengajak PC
IAI Makassar untuk mengunjungi apotek-apotek. Keberatan ini pula langsung disampaikan oleh
kepala balai saat beliau membawakan materi di pelantikan pengurus PD IAI Sul Sel. Beliau
mengatakan akan memproses pihak-pihak yang melanggar wewenang dari POM. Menurut saya,
dengan melihat pasal 80 dalam uu ini dan pasal 58 dalam pp 51 2009, tidaklah keliru jika Dinkes
mengajak IAI mengunjungi apotek untuk melakukan pengawasan. Harusnya antara Dinkes, IAI,
dan BPOM ada sinergi dalam hal ini. Kepala Balai sendiri dalam materinya mengatakan
bahwa yang diawasi POM itu produknya(obat dan makanan). Sehingga yang mengawasi
apotekernya adalah tugas Dinkes dan IAI. Jadi, tidak ada tumpang tindih sebenarnya dan tidak
ada pelanggaran kewenangan. Mohon diluruskan jika saya keliru.
1.Pasal 87
1) Bukti Registrasi dan perizinan Tenaga Kesehatan yang telah dimiliki oleh Tenaga
Kesehatan, pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan masih tetap berlaku
sampai habis masa berlakunya.
2) Tenaga Kesehatan yang belum memiliki bukti Registrasi dan perizinan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
2.Pasal 89
Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia dan Komite Farmasi Nasional sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya
sampai terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
3.Pasal 93
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 harus dibentuk paling
lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.