15
15
Cerita ini saya sadur dari berbagai blog dari dunia maya
cerita yang mengisahkan Sosok Pahlawan yang membangun Desa Waimital dari
NOL (0)
yang dapat kita rasakan kemajuannya saat ini. yang mungkin beliau tidak pernah
melihat apa yang beliau dahulu perjuangkan dan menghasilkan petani-petani
handal
Beliau adalah MUHAMMAD KASIM ARIFIN
(Taufik Ismail)
dia mahasiswa tingkat akhir ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana
dia menghilang 15 tahun lamanya
orangtuanya di Langsa memintanya pulang
IPB memanggilnya untuk meerampungkan studinya
tapi semua sia-sia
dia berkaos oblong, dia bersandal jepit, dia berjalan kaki 20 kilo sehari
sesudah memeriksa padi dan tata palawija sawah ladang orang-orang desa
dia melintas hutan, dia menyeberang sungai terasa kelepak elang bunyi
serangga siang
sengangar tengah hari cecirit tikus bumi teduh pohonan rimba
siang makan sagu air sungai jernih minum dan wudlu mu
bayang-bayang miring siul burung tekukur bunga alang-alang
luka-luka kaki angin sore-sore mandi gebyar-gebyur
simak suara adzan jamaah menggesek bumi anak petani mengaji ayat-ayat alam
anak petani diajarnya logika dan matematika
lampu petromaks bergoyang angin malam menggoyang
Kasim rebah badan di pelupuh bambu
tidur tidak berkasur
Dikirim ke Waimital
Pada tahun 1964 Kasim dikirim oleh fakultasnya untuk menjalani program
"Pengerahan Tenaga Mahasiswa" (semacam Kuliah Kerja Nyata sekarang) selama
beberapa bulan di Waimital, dengan tugas memperkenalkan program Panca Usaha
Tani. Namun yang terjadi malah ia begitu terlibat dengan pengabdiannya
mengajar para petani setempat bagaimana meningkatkan hasil tanaman dan ternak
mereka. Akhirnya ia lupa untuk pulang dan menyelesaikan skripsinya.
Kasim menolong masyarakat desa untuk menjadi mandiri. Bersama-sama ia
membuka jalan desa, membangun sawah-sawah baru, membuat irigasi, dan semua
itu dilakukannya tanpa bantuan satu sen pun dari pemerintah. Masyarakat
setempat sangat menghargai kesederhanaan, kedrmawanan dan tutur katanya yang
lembut. Oleh masyarakat setempat, ia disapa sebagai Antua, sebuah sebutan bagi
orang yang dihormati di Maluku.
Wisuda istimewa
Kasim biasanya hanya bersandal jepit. Tapi pada hari wisuda itu, 22 September
1979 itu ia mengenakan jas, dasi dan sepatu, sumbangan teman-temannya, yang
cuma membuatnya kegerahan. Taufiq Ismail, penyair Indonesia terkemuka yang
juga teman kuliah Kasim, menghadiahinya dengan sebuah puisi yang berjudul:
"Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang Pada Hari Ini
Pulang ke Almamaternya".
Dalam puisinya, Taufiq menuliskan renungannya:
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Selesai wisuda Kasim mendapatkan berbagai tawaran pekerjaan, namun yang
dilakukannya malah kembali ke desa, ke Waimital. Baru setelah itu, Kasim
menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, di Banda Aceh,
meskipun hatinya tetap condong untuk mengabdikan keahliannya kepada para
petani. Ia pensiun dari jabatannya sebagai dosen pada 1994.
Penghargaan
Pada tahun 1982 Kasim mendapatkan penghargaan "Kalpataru" dari pemerintah
untuk jasa-jasanya membangun masyarakat desa dengan wawasan lingkungan
hidup.
Keluarga
Kasim menikah dengan Syamsiah Ali, seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah
SMA di Banda Aceh. Mereka dikaruniai tiga orang anak. Anak sulungnya belajar
di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. "Saya terlambat menikah," Kasim
mengaku. Tidak mengherankan, karena sebagian hidupnya diabdikannya
sepenuhnya bagi masyarakat Waimital.
Rujukan
Hanna Rambe, "Seorang Lelaki di Waimital", Penerbit Sinar Harapan, 1983
LEBIH JAUH DENGAN "Antua" Kasim Arifin
DIA di Waimital jadi petani/ Dia menyemai benih padi/ Orang-orang menyemai
benih padi/ Dia membenamkan pupuk di bumi/ Orang-orang membenamkan
pupuk di bumi/ Dia menggariskan strategi irigasi/ Orang-orang menggali tali air
irigasi/ Dia menakar klimatologi hujan/ Orang-orang menampung curah hujan/
Dia membesarkan anak cengkeh/ Orang kampung panen raya kebun cengkeh//
Penggalan puisi di atas ditulis Taufiq Ismail pada tahun 1979, menggambarkan
sosok Moehd Kasim Arifin, mahasiswa tingkat terakhir Fakultas Pertanian, yang
membenamkan diri selama 15 tahun bersama warga transmigran di Pulau Seram,
Maluku. Sebagai peserta program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) untuk
menyosialisasikan Panca Usaha Tani, Kasim dengan gigih dan tanpa pamrih
mengajarkan cara bercocok tanam kepada warga Desa Waimital. Kasim
membangkitkan swadaya masyarakat membangun Waimital, membuka jalan desa,
mencetak sawah, membuat irigasi, tanpa sepeser pun dana dari pemerintah.
Kebersahajaan, kedermawanan, dan kelembutan tutur katanya membangkitkan
rasa hormat penduduk setempat kepadanya. Ia pun disapa sebagai Antua (sapaan
untuk orang yang dihormati di Maluku).
Ia baru tergerak untuk kembali ke almamaternya setelah tiga kali Rektor Institut
Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Ir Andi Hakim Nasution mengirim utusan
menjemputnya ke Waimital. Pada hari wisuda, 22 September 1979, Kasim
menerima gelar insinyur istimewa.
Kisah perjalanan hidup Kasim selama di Waimital hingga kembali ke Kampus
Darmaga kemudian ditulis oleh jurnalis Hanna Rambe dalam sebuah buku
berjudul Seorang Lelaki di Waimital (Penerbit Sinar Harapan: 1983).
Dengan laju kerusakan hutan yang begitu besar, ternyata rehabilitasi hutan hanya
rata-rata 70.000 hektar per tahun. Sementara pertambahan penduduk yang rata-
rata tiga juta jiwa per tahun pada kenyataannya justru mempercepat laju kerusakan
hutan, bukan memperbesar rehabilitasi hutan.
Maksud Anda?
Kegiatan rehabilitasi hutan memerlukan orang-orang yang mau bekerja di hutan
dan rela tinggal jauh dari jangkauan komunikasi. Dan itu jumlahnya sangat
sedikit. Maka yang terjadi, bibit pohon ditanam lalu ditinggalkan. Itu pun tidak
sampai ke kawasan hutan yang jauh, hanya yang dekat-dekat saja.
Bibit pohon yang ditanam harus dirawat minimal hingga usia lima tahun, baru
bisa ditinggalkan. Tetapi yang terjadi adalah rehabilitasi dimulai dengan seremoni
yang meriah, lalu diserahkan kepada alam untuk memeliharanya.
Apakah itu berarti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang
dicanangkan Presiden Megawati Soekarnoputri di Yogyakarta, Januari 2004, akan
bernasib sama?
Saya rasa kalau dibilang iya, iya..., kalau dibilang tidak, ya... tahu sama tahulah.
Sebab, kalau (penanaman pohon) itu tidak dikerjakan bisa saja. Buktinya bisa kita
lihat di lapangan, yang ditanami hanya tempat-tempat tertentu yang mudah
dijangkau untuk ditinjau pejabat.
Bayangkan kalau misalnya yang harus ditanami luasnya 70.000 hektar, lokasinya
jauh dan sulit ditempuh karena kondisi jalan rusak parah. Untuk menembus ke
sana orang-orang pasti enggan, maka dianggap saja sudah dikerjakan.
PERTENGAHAN Maret lalu Kasim menelusuri ruas jalan Ladia Galaska, antara
Pinding dan Lokop, yang pembangunannya memicu kontroversi. Ia salah seorang
anggota tim terpadu yang ditugaskan pemerintah untuk mengkaji ruas jalan yang
masih bermasalah itu.
Meski harus berjalan kaki berkilo-kilo meter keluar-masuk hutan dan
perkampungan, Kasim yang memasuki usia 66 tahun (lahir di Langsa, Aceh
Timur, 18 April 1938) tidak tampak kelelahan. "Pekerjaan saya memang seperti
ini. Tahun 1960-an saya pernah melintasi jalur ini sampai ke Lokop," ungkapnya
kepada Kompas saat istirahat makan siang di tepi sebuah sungai kecil.
Kawasan itu memang tidak asing lagi bagi Kasim yang bertugas sebagai Manajer
Perwakilan Lapangan UML di Langsa, dengan wilayah kerja meliputi Kabupaten
Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang.
Bagaimana dengan proyek jalan Ladia Galaska yang dituding sebagai ancaman
terhadap Kawasan Ekosistem Leuser?
Belum ada data yang kuat untuk mengatakan seberapa besar dampak kerusakan
lingkungan yang akan disebabkan oleh Ladia Galaska. Akan tetapi, dari
pengalaman di berbagai tempat, dengan adanya jalan biasanya akan memacu
orang untuk mengeluarkan sumber daya alam. Sebab satu ruas jalan yang dibuka
akan diikuti dengan pembuatan cabang-cabang jalan. Itu akan mempermudah
akses untuk mengambil kayu-kayu yang ada di hutan.
Mengapa sejumlah organisasi nonpemerintah menentang pembangunan jalan
Ladia Galaska?
Kami tidak menentang pembangunan jalan yang tidak melewati kawasan
konservasi. Jadi hanya ruas Ladia Galaska yang melewati hutan lindung yang
kami minta supaya dikaji kembali.
Suatu daerah yang terdaftar sebagai hutan lindung, pemanfaatannya diatur oleh
undang-undang. Tidak boleh sembarangan membikin jalan di situ. Dan harus ada
dokumen amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), yang menunjukkan
apakah layak atau tidak layak suatu jalan dibangun di situ.
Dan kemarin di tepi Kali Ciliwung aku berkaca/ Kulihat mukaku yang keruh dan
leherku yang berdasi/ Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku/ Ketika
aku mengingatmu, Sim/ Di Waimital engkau mencetak harapan/ Di kota, kami...//
Bagi Yang ingin mempunyai Buku dan kisah lengakap dari M Kasim Arifin
bisa menghub Kami di ARISTA CELL Belakang Penginapan Kawi Aseh 2 Tlp
0816260550
Diposkan oleh Eriyanto di 20:04
Diposting oleh Seram_barat.blogspot.comdi 17.24