Anda di halaman 1dari 14

Pahlawan Desa Waimital

Cerita ini saya sadur dari berbagai blog dari dunia maya
cerita yang mengisahkan Sosok Pahlawan yang membangun Desa Waimital dari
NOL (0)
yang dapat kita rasakan kemajuannya saat ini. yang mungkin beliau tidak pernah
melihat apa yang beliau dahulu perjuangkan dan menghasilkan petani-petani
handal
Beliau adalah MUHAMMAD KASIM ARIFIN

Masyarakat gemba (Waimital) siapa yang tak kenal Pak Kasim ( ? )


Tanyakan Pada Masyarakat Gemba yang berjuang bersama Beliau yang saat ini
mungkin tidak terlalu banyak Jumlahnya karena sudah Tua dan banyak yang telah
meninggal.

siapa Ir. M Kasim


Hingga Namanya di abadikan sebagai Jalan di salah satu Desa Waimital tepatnya
Jalan ke Markas DODIKLATPUR Rindam XVI Pattimura
Ayo lestarikan kampanyekan jalan itu tetap menjadi Jl. Ir M Kasim jangan di ubah
menjadi nama lain

Siapa sebenarnya M Kasim


ketika saya jalan2 di dunia maya saya mendapat sebuah kisah ttg M Kasim n
langsung saya copikan
mudah2an dengan cerita ini anda akan mengenal siapa M Kasim
Saya sendiri sempat takjub n bangga bahkan isteriku sempat menitikkan air mata
ketika membaca cerita ini
SYAIR UNTUK SEORANG PETANI DARI WAIMITAL, PULAU SERAM,
YANG HARI INI
PULANG KE ALMAMATERNYA

(Taufik Ismail)

dia mahasiswa tingkat akhir ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana
dia menghilang 15 tahun lamanya
orangtuanya di Langsa memintanya pulang
IPB memanggilnya untuk meerampungkan studinya
tapi semua sia-sia

dia di Waimital jadi petani


dia menyemai benih padi, orang-orang menyemai benih padi
dia membenamkan pupuk di bumi, orang-orang membenamkan pupuk di bumi
dia menggariskan strategi irigasi, orang-orang menggali tali air irigasi
dia menakar klimatologi hujan, orang-orang menampung curah hujan
dia membesarkan anak cengkeh, orang kampung panen raya kebun cengkeh
dia mengukur cuaca musim kemarau, orang-orang jadi waspada makna bencana
kemarau
dia meransum gizi sapi bali, orang-orang menggemukkan sapi bali
dia meemasang fondasi tiang lokal sekolah, orang-orang memasang dinding
dan atapnya
dia mengukir alfabet dan mengampelas angka-angka, anak desa jadi membaca
dan menyerap metematika
dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi

Kasim Arifin, di Waimital


Jadi petani

dia berkaos oblong, dia bersandal jepit, dia berjalan kaki 20 kilo sehari
sesudah memeriksa padi dan tata palawija sawah ladang orang-orang desa
dia melintas hutan, dia menyeberang sungai terasa kelepak elang bunyi
serangga siang
sengangar tengah hari cecirit tikus bumi teduh pohonan rimba
siang makan sagu air sungai jernih minum dan wudlu mu
bayang-bayang miring siul burung tekukur bunga alang-alang
luka-luka kaki angin sore-sore mandi gebyar-gebyur
simak suara adzan jamaah menggesek bumi anak petani mengaji ayat-ayat alam
anak petani diajarnya logika dan matematika
lampu petromaks bergoyang angin malam menggoyang
Kasim rebah badan di pelupuh bambu
tidur tidak berkasur

dia berdiri memandang ladang-ladang yang ditebas dari hutan rimba


di kakinya terjepit sepasang sandal yang dipakainya sepanjang Waimital
ada bukit-bukit yang dulu lama kering
awan tergantung di atasnya, mengacungkan tinju kemarau yang panjang
ada bukit-bukit yang kini basah dengan warna sapuan yang indah
sepanjang mata memandang dan perladangan yang sangat panjang
kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
bersama puluhan transmigran
ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang dikais-kaisnya tanah kering
kerontang dan air pun berpacu-pacu
delapan kilometer panjangnya
tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
mengairi tanah 300 hektar luasnya
kulihat potret dirimu, Sim, berdiri disitu
Muhammad Kasim Arifin, disana, berdiri memandang ladang-ladang
yang telah dikupasnya dari hutan rimba
kini sekawanan sapi bali mengibas-kibaskan ekor di padang rumput itu
rumput gajah yang gemuk-gemuk sayur-mayur yang subur-subur
awan tergantung di atas pulau Seram dikepung lautan biru yang amat
cantiknya
dari pulau itu, dia telah pulang
dia yang dikabarkan hilang lima belas tahun lamanya
di Waimital, Kasim mencetak harapan, di kota kita mencetak keluhan
(aku jadi ingat masa kita diplonco dua puluh dua tahun yang lalu)
dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
ketika aku mengingatmu, Sim
di Waimital kau mencetak harapan
di kota, kami....
padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah awan yang
tergantung di atas kota juga
kini kau telah pulang
kami memelukmu

[catatan:puisi ini saya bacakan pada hari wisuda Institut Pertanian


Bogor di kampus Darmaga, sabtu 22 september 1979, sesudah M. Kasim
Arifin menerima gelar Insinyur Pertanian. sebelumnya Kasim yang sudah 15
tahun dikabarkan hilang, ternyata menanam akar di Waimital enggan
memenuhi panggilan Rektor Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution. pada kali
ketiga kedatangan utusan rektor, yaitu sahabatnya Saleh Widodo, baru
Kasim mau datang ke bogor. dia terharu karena penghargaan alma maternya,
tapi pada hakekatnya dia tidak memerlukan gelar akademik. pada hari
wisuda itu Kasim yang belasan tahun berkaos oblong dan bersandal jepit
saja, kegerahan karena mengenakan jas, dasi, dan sepatu, hadiah patungan
sahabat-sahabatnya.
mahasiswa2 IPB mengerubunginya selalu dan mengaguminya sebagai teladan
keikhlasan pengamalan ilmu pertanian di pedesaan. berbagai tawaran
pekerjaan disampaikan padanya, tapi dia kembali lagi ke desa Waimital
sesudah wisuda. baru sesudah itu dia menerima pekerjaan sebagai dosen di
Universitas Syah Kuala, Banda Aceh, di tanah asalnya. tawaran meninjau
pertanian di Amerika Serikat di tolaknya. ketika ditanya kenapa
kesempatan jalan-jalan ke A.S itu tak diterimanya, sambil tertawa Kasim
berkata bahwa pertama-tama jangankan bahasa Inggris, bahasa Indonesianya
saja sudah banyak lupa. kemudian yang terpenting lagi, katanya, apa
manfaatnya meninjau pertanian di sana, yang berbeda sekali dengan
pertanian kita disini. kesempatan meninjau sambil liburan tamasya ke A.S
itu tidak menarik hatinya]

Cerita Orang Biasa


Isi blog ini sebagian besar adalah informasi yang kuunduh dari rimba maya. Jadi
jangan ragu untuk melihat kembali sumber aslinya, jika hendak menjadikannya
sebuah referensi.
MONDAY, AUGUST 06, 2007
Kasim- Sang Pahlawan
Mohamad Kasim Arifin (lahir 18 April 1938 di Langsa, Aceh Timur) adalah
seorang mahasiswa Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, yang terdampar
di Waimital, di bagian selatan Pulau Seram, Maluku selama 15 tahun.

Dikirim ke Waimital

Pada tahun 1964 Kasim dikirim oleh fakultasnya untuk menjalani program
"Pengerahan Tenaga Mahasiswa" (semacam Kuliah Kerja Nyata sekarang) selama
beberapa bulan di Waimital, dengan tugas memperkenalkan program Panca Usaha
Tani. Namun yang terjadi malah ia begitu terlibat dengan pengabdiannya
mengajar para petani setempat bagaimana meningkatkan hasil tanaman dan ternak
mereka. Akhirnya ia lupa untuk pulang dan menyelesaikan skripsinya.
Kasim menolong masyarakat desa untuk menjadi mandiri. Bersama-sama ia
membuka jalan desa, membangun sawah-sawah baru, membuat irigasi, dan semua
itu dilakukannya tanpa bantuan satu sen pun dari pemerintah. Masyarakat
setempat sangat menghargai kesederhanaan, kedrmawanan dan tutur katanya yang
lembut. Oleh masyarakat setempat, ia disapa sebagai Antua, sebuah sebutan bagi
orang yang dihormati di Maluku.

Panggilan untuk pulang


Sementara itu, orangtuanya gelisah dan bingung. Mereka meminta agar Kasim
segera pulang namun permintaan itu tidak dihiraukannya. Demikian pula
panggilan sekolahnya, bahkan rektor IPB sekalipun, Prof. Dr. Ir. Andi Hakim
Nasution, tidak dipedulikannya. Panggilan ketiga sekolahnya yang disertai oleh
utusan khusus Rektor IPB, yaitu sahabatnya sendiri, Saleh Widodo, akhirnya
berhasil menggerakkan Kasim untuk pulang dan menerima gelar insinyur
pertanian istimewa, bukan karena ia berhasil mempertahankan skripsinya dalam
sebuah ujian, melainkan karena ia telah menunjukkan baktinya selama 15 tahun
tanpa pamrih dan gaji.

Wisuda istimewa
Kasim biasanya hanya bersandal jepit. Tapi pada hari wisuda itu, 22 September
1979 itu ia mengenakan jas, dasi dan sepatu, sumbangan teman-temannya, yang
cuma membuatnya kegerahan. Taufiq Ismail, penyair Indonesia terkemuka yang
juga teman kuliah Kasim, menghadiahinya dengan sebuah puisi yang berjudul:
"Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang Pada Hari Ini
Pulang ke Almamaternya".
Dalam puisinya, Taufiq menuliskan renungannya:
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Selesai wisuda Kasim mendapatkan berbagai tawaran pekerjaan, namun yang
dilakukannya malah kembali ke desa, ke Waimital. Baru setelah itu, Kasim
menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, di Banda Aceh,
meskipun hatinya tetap condong untuk mengabdikan keahliannya kepada para
petani. Ia pensiun dari jabatannya sebagai dosen pada 1994.

Penghargaan
Pada tahun 1982 Kasim mendapatkan penghargaan "Kalpataru" dari pemerintah
untuk jasa-jasanya membangun masyarakat desa dengan wawasan lingkungan
hidup.

Keluarga
Kasim menikah dengan Syamsiah Ali, seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah
SMA di Banda Aceh. Mereka dikaruniai tiga orang anak. Anak sulungnya belajar
di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. "Saya terlambat menikah," Kasim
mengaku. Tidak mengherankan, karena sebagian hidupnya diabdikannya
sepenuhnya bagi masyarakat Waimital.

Rujukan
Hanna Rambe, "Seorang Lelaki di Waimital", Penerbit Sinar Harapan, 1983
LEBIH JAUH DENGAN "Antua" Kasim Arifin
DIA di Waimital jadi petani/ Dia menyemai benih padi/ Orang-orang menyemai
benih padi/ Dia membenamkan pupuk di bumi/ Orang-orang membenamkan
pupuk di bumi/ Dia menggariskan strategi irigasi/ Orang-orang menggali tali air
irigasi/ Dia menakar klimatologi hujan/ Orang-orang menampung curah hujan/
Dia membesarkan anak cengkeh/ Orang kampung panen raya kebun cengkeh//

Penggalan puisi di atas ditulis Taufiq Ismail pada tahun 1979, menggambarkan
sosok Moehd Kasim Arifin, mahasiswa tingkat terakhir Fakultas Pertanian, yang
membenamkan diri selama 15 tahun bersama warga transmigran di Pulau Seram,
Maluku. Sebagai peserta program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) untuk
menyosialisasikan Panca Usaha Tani, Kasim dengan gigih dan tanpa pamrih
mengajarkan cara bercocok tanam kepada warga Desa Waimital. Kasim
membangkitkan swadaya masyarakat membangun Waimital, membuka jalan desa,
mencetak sawah, membuat irigasi, tanpa sepeser pun dana dari pemerintah.
Kebersahajaan, kedermawanan, dan kelembutan tutur katanya membangkitkan
rasa hormat penduduk setempat kepadanya. Ia pun disapa sebagai Antua (sapaan
untuk orang yang dihormati di Maluku).

Ia baru tergerak untuk kembali ke almamaternya setelah tiga kali Rektor Institut
Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Ir Andi Hakim Nasution mengirim utusan
menjemputnya ke Waimital. Pada hari wisuda, 22 September 1979, Kasim
menerima gelar insinyur istimewa.
Kisah perjalanan hidup Kasim selama di Waimital hingga kembali ke Kampus
Darmaga kemudian ditulis oleh jurnalis Hanna Rambe dalam sebuah buku
berjudul Seorang Lelaki di Waimital (Penerbit Sinar Harapan: 1983).

Ketika kemudian pulang ke kampung halamannya, Aceh, ia diterima sebagai staf


pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Di samping mengajar, ia
aktif mengelola Pusat Studi Lingkungan yang ia dirikan bersama beberapa
rekannya. "Saya diminta jadi dosen, padahal saya ingin terus bertani," ujarnya. Ia
pensiun dengan golongan III-C pada tahun 1994.
Setelah lepas dari kesibukan kampus, penerima penghargaan Kalpataru tahun
1982 itu bergabung dalam Unit Manajemen Leuser (UML) sebagai tenaga
lapangan. Tugasnya antara lain memberikan penyuluhan kepada masyarakat di
Kawasan Ekosistem Leuser agar ikut menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Apa yang mendorong Anda tetap konsisten dalam kegiatan konservasi?


Saya melihat sumber daya alam yang tersedia tidak pernah bertambah, malah
semakin berkurang. Populasi manusia yang semakin besar dengan ketergantungan
yang amat besar pula terhadap sumber daya alam untuk kelangsungan hidupnya
mengakibatkan terjadinya tekanan terhadap sumber daya alam itu.

(Kasim lalu memperlihatkan catatan berisi angka-angka laju kerusakan hutan di


Indonesia, yang mencapai rata-rata tiga juta hektar per tahun. Lebih detail lagi,
Kasim menghitung laju kerusakan hutan per detik, yang menunjukkan angka 965
meter persegi. Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam saja, laju
kerusakan hutannya rata-rata 200.000 hektar per tahun atau 62,23 meter persegi
per detik).

Dengan laju kerusakan hutan yang begitu besar, ternyata rehabilitasi hutan hanya
rata-rata 70.000 hektar per tahun. Sementara pertambahan penduduk yang rata-
rata tiga juta jiwa per tahun pada kenyataannya justru mempercepat laju kerusakan
hutan, bukan memperbesar rehabilitasi hutan.

Mengapa rehabilitasi hutan tidak mampu mengimbangi laju kerusakan hutan?


Ya, karena itu tadi. Manusia hanya mengeksploitasi hutan, tetapi tidak punya
kepedulian untuk merehabilitasi.

Memang banyak program rehabilitasi yang dicanangkan pemerintah. Akan tetapi,


apakah itu efektif dalam pelaksanaannya di lapangan? Kalau hanya fiktif?
Kalaupun (rehabilitasi hutan) itu benar-benar dikerjakan, itu pun belum mampu
menutupi kerusakan hutan yang terus berlangsung setiap hari.
Pekerjaan menanam pohon di hutan memerlukan suatu strategi yang mantap, dan
itu belum terlaksana hingga saat ini.

Maksud Anda?
Kegiatan rehabilitasi hutan memerlukan orang-orang yang mau bekerja di hutan
dan rela tinggal jauh dari jangkauan komunikasi. Dan itu jumlahnya sangat
sedikit. Maka yang terjadi, bibit pohon ditanam lalu ditinggalkan. Itu pun tidak
sampai ke kawasan hutan yang jauh, hanya yang dekat-dekat saja.
Bibit pohon yang ditanam harus dirawat minimal hingga usia lima tahun, baru
bisa ditinggalkan. Tetapi yang terjadi adalah rehabilitasi dimulai dengan seremoni
yang meriah, lalu diserahkan kepada alam untuk memeliharanya.
Apakah itu berarti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang
dicanangkan Presiden Megawati Soekarnoputri di Yogyakarta, Januari 2004, akan
bernasib sama?
Saya rasa kalau dibilang iya, iya..., kalau dibilang tidak, ya... tahu sama tahulah.
Sebab, kalau (penanaman pohon) itu tidak dikerjakan bisa saja. Buktinya bisa kita
lihat di lapangan, yang ditanami hanya tempat-tempat tertentu yang mudah
dijangkau untuk ditinjau pejabat.
Bayangkan kalau misalnya yang harus ditanami luasnya 70.000 hektar, lokasinya
jauh dan sulit ditempuh karena kondisi jalan rusak parah. Untuk menembus ke
sana orang-orang pasti enggan, maka dianggap saja sudah dikerjakan.

Bagaimana seharusnya menebus satu pohon yang ditebang agar keseimbangan


alam tetap terjaga?
Kalau bisa menebang, semestinya bisa menanam juga. Tetapi yang terjadi adalah
hutan pasti ditebangi, tetapi tidak ada kepastian penanaman kembali.
Perlu diketahui bahwa penanaman kembali tidak akan mengembalikan alam pada
kondisi semula. Hutan yang kita lihat sekarang adalah ciptaan Tuhan yang usianya
di atas ratusan tahun, bahkan jutaan tahun. Ketika pohon-pohonnya kita tebangi,
ekosistem pasti terganggu. Lahan yang tadinya tertutup kanopi pepohonan
menjadi terbuka sehingga akan terjadi proses macam-macam, seperti erosi dan
kemusnahan flora dan fauna yang tadinya hidup di areal tersebut. Untuk
memulihkannya, butuh waktu ratusan tahun dan tidak mungkin lagi kembali
menjadi hutan perawan.
Pemerintah sudah bikin pola tebang pilih hutan Indonesia. Artinya, menebang
yang sudah cukup umur dengan ukuran diameter tertentu dan setelah itu menanam
kembali. Akan tetapi itu tidak terjadi karena lemahnya penegakan hukum di
negara kita ini.

Apa akibat dari penggundulan hutan itu?


(Ingatan Kasim lalu menerawang pada masa ia kuliah, tahun 1957, di Fakultas
Pertanian Universitas Indonesia-bakal Institut Pertanian Bogor. Ia teringat pada
dosennya, Prof Lundquist, warga Swedia yang ahli tanaman tropika).
Suatu hari Prof Lundquist menjelaskan kepada saya. Sim, katanya, daerah Anda
ini daerah tropika yang sangat kaya flora dan fauna. Tetapi daerah Anda ini
macam begini... (Kasim menunjukkan puncak kepalan tangannya) bergunung-
gunung dengan lembah dan jurang. Ini berarti sedikitnya 30 persen permukaan
Bumi di Indonesia harus ditutupi tumbuhan agar tidak terjadi erosi.
Jika kurang dari 30 persen, apalagi bila kawasan di hulu sungai sudah gundul,
akan mengakibatkan musnahnya lapisan tanah untuk penyerapan air. Dengan
begitu, tidak semua air terserap oleh tanah dan akhirnya mengalir deras ke bawah.
Hutan tropika yang gundul akan menghancurkan serasah atau karpet tanah dan
kehidupan mikroba.
Pada tanah terdapat serasah seumpama hamparan permadani yang berfungsi
menyerap air. Cacing-cacing dan berbagai mikroba hidup dalam tanah dan
membuat lubang ke permukaan tanah untuk mencari makanan. Berjuta-juta
lubang membantu peresapan air ke dalam tanah. Proses peresapan alami itu tidak
terjadi lagi di hutan gundul, sebab lapisan serasahnya tidak ada lagi. Rusaknya
serasah mematikan cacing dan mikroba sekaligus membuat pori-pori tanah
tertutup. Daya ikat tanah menurun mengakibatkan longsor.

PERTENGAHAN Maret lalu Kasim menelusuri ruas jalan Ladia Galaska, antara
Pinding dan Lokop, yang pembangunannya memicu kontroversi. Ia salah seorang
anggota tim terpadu yang ditugaskan pemerintah untuk mengkaji ruas jalan yang
masih bermasalah itu.
Meski harus berjalan kaki berkilo-kilo meter keluar-masuk hutan dan
perkampungan, Kasim yang memasuki usia 66 tahun (lahir di Langsa, Aceh
Timur, 18 April 1938) tidak tampak kelelahan. "Pekerjaan saya memang seperti
ini. Tahun 1960-an saya pernah melintasi jalur ini sampai ke Lokop," ungkapnya
kepada Kompas saat istirahat makan siang di tepi sebuah sungai kecil.
Kawasan itu memang tidak asing lagi bagi Kasim yang bertugas sebagai Manajer
Perwakilan Lapangan UML di Langsa, dengan wilayah kerja meliputi Kabupaten
Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang.

Faktor apa yang paling menekan Kawasan Ekosistem Leuser?


Penebangan liar yang dibiayai pihak-pihak luar dengan memanfaatkan masyarakat
lokal sebagai pekerja penebangan. Jadi praktik itu terencana oleh orang-orang
berduit untuk meraup keuntungan lebih besar dari kayu-kayu itu tanpa
mengeluarkan modal banyak. Sementara masyarakat sekitar yang butuh makan
dipakai sebagai buruh saja.
Karena lemahnya penegakan hukum, yang sering kali menjadi tertuduh hanya
orang kecil. Sementara cukong-cukong kayu itu tidak tersentuh.

Bagaimana dengan proyek jalan Ladia Galaska yang dituding sebagai ancaman
terhadap Kawasan Ekosistem Leuser?
Belum ada data yang kuat untuk mengatakan seberapa besar dampak kerusakan
lingkungan yang akan disebabkan oleh Ladia Galaska. Akan tetapi, dari
pengalaman di berbagai tempat, dengan adanya jalan biasanya akan memacu
orang untuk mengeluarkan sumber daya alam. Sebab satu ruas jalan yang dibuka
akan diikuti dengan pembuatan cabang-cabang jalan. Itu akan mempermudah
akses untuk mengambil kayu-kayu yang ada di hutan.
Mengapa sejumlah organisasi nonpemerintah menentang pembangunan jalan
Ladia Galaska?
Kami tidak menentang pembangunan jalan yang tidak melewati kawasan
konservasi. Jadi hanya ruas Ladia Galaska yang melewati hutan lindung yang
kami minta supaya dikaji kembali.
Suatu daerah yang terdaftar sebagai hutan lindung, pemanfaatannya diatur oleh
undang-undang. Tidak boleh sembarangan membikin jalan di situ. Dan harus ada
dokumen amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), yang menunjukkan
apakah layak atau tidak layak suatu jalan dibangun di situ.

Bukankah sudah ada amdal untuk Ladia Galaska?


Betul ada. Tetapi ibaratnya masakan, cara memasaknya kurang pas sehingga
masakannya kurang enak. Amdal itu harus "dimasak" oleh orang-orang yang
profesional sehingga mampu memprediksi apa dampak lingkungannya pada masa
yang akan datang. Jangan dibuat sekadar saja.
Analisis dalam amdal yang ada sekarang itu lucu-lucu. Misalnya ada jenis hewan
yang dikatakan hidup di sana, padahal tidak ada. Itu kan aneh. Dari mana dia
dapat data itu.
Berkaitan dengan proyek Ladia Galaska, kaum konservasionis dianggap hanya
peduli dengan flora dan fauna, tetapi mengabaikan manusianya. Apa tanggapan
Anda?
Orang yang mengatakan seperti itu tidak mengerti konservasi. Pejabat-pejabat itu
kalau diundang kursus tentang konservasi, yang dikirim hanya stafnya yang
kroco-kroco. Si Kroco ini, setelah ikut kursus, tidak berani menyampaikan laporan
hasil kursusnya kepada atasannya. Akhirnya Si Pejabat, karena tidak mengerti
konservasi, omongannya terbalik-balik begitu.
Konservasi itu pada dasarnya memang untuk menjaga kelestarian lingkungan
hidup yang berisi flora dan fauna. Akan tetapi intinya untuk menyelamatkan
manusia juga. Sebab kehancuran lingkungan akan berdampak pada kesengsaraan
manusia.
Kenapa pemerintah membuat aturan soal hutan lindung? (Kali ini nada suara
Kasim meninggi). Kenapa tidak marah kepada Pemerintah Indonesia yang
mengeluarkan peraturan itu?
Tanpa aturan hukum, rakyat kita akan dibodohi terus tujuh turunan. Lihat saja,
ketika ada bantuan pangan untuk pengungsi di Aceh, banyak yang tidak pernah
kebagian. Malah bantuan pangan itu bisa dibeli di pasar.

Bagaimana memperkenalkan pengetahuan konservasi sejak dini?


Dengan memasukkan pengetahuan konservasi dalam materi pengajaran, paling
tidak sejak sekolah dasar. Misalnya dengan membuat buku ajar untuk melengkapi
buku pelajaran yang sudah ada. Kalau selama ini guru Biologi hanya
menerangkan hewan dari fisiknya, maka sekarang diharapkan sekaligus
memperkenalkan bahwa satwa tertentu itu masuk dalam kategori dilindungi.
Pengetahuan konservasi ini bisa disisipkan bukan hanya pada pelajaran biologi,
tetapi juga dalam pelajaran Geografi, Agama, dan yang lain.
HARI-hari Kasim beberapa tahun belakangan lebih banyak dihabiskan di Kota
Langsa (wilayah ini lepas dari Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2001), tempat
ia berkantor. Bila tidak ada kesibukan, Kasim menyempatkan berbagi waktu
dengan istri serta tiga anaknya di Banda Aceh pada akhir pekan.
Istrinya, Syamsiah Ali, seorang guru Bahasa Indonesia salah satu SMA di Banda
Aceh. Anak sulungnya yang kuliah di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala
baru berusia 19 tahun. "Saya telat menikah. Makanya di usia yang sudah tua
begini, anak saya masih kecil-kecil," ujarnya.
Usia tidak menjadi kendala bagi Kasim untuk melakukan berbagai kegiatan bagi
kemaslahatan orang banyak. Kasim bertekad akan bergelut dengan urusan
konservasi, selama masih sehat dan mampu berbuat yang terbaik bagi sesama. Itu
tidak lepas dari prinsip hidup yang ia pegang sejak dahulu: "Ilmu dan
keterampilan yang Anda miliki saat ini, amalkanlah secara ikhlas berdasarkan niat
yang baik".

Sahabat seangkatannya di IPB, penyair Taufiq Ismail, merasa perlu


menyembunyikan wajahnya di Kali Ciliwung yang keruh karena malu kepada
Kasim yang telah berbuat banyak dengan kerja nyata.

Dan kemarin di tepi Kali Ciliwung aku berkaca/ Kulihat mukaku yang keruh dan
leherku yang berdasi/ Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku/ Ketika
aku mengingatmu, Sim/ Di Waimital engkau mencetak harapan/ Di kota, kami...//

PEWAWANCARA: Nasru Alam Aziz


Kompas Minggu, 9 Mei 2004
Minggu, 21 Desember 2008
Muhammad Kasim Arifin; Sosok Ideal Mahasiswa
Gemetar rasanya kalau nama itu disebut-sebut kembali. Kasim Arifin. Seorang
kakak angkatan yang sangat saya banggakan. Bukan dua tahun beda usia kami.
Bukan pula lima tahun atau sepuluh tahun. Tapi empat puluh delapan tahun.
Bahkan orangtua saya belum bertemu ketika Kasim dinyatakan lulus dari
almamaternya, Institut Pertanian Bogor.
Adalah Taufik Ismail yang ketika itu, 22 Oktober 2008, datang untuk
membacakan puisi penyemangat untuk kami para wisudawan. Beliau bercerita
tentang kisah teman satu atapnya dulu, Kasim.
Kuliah Kerja Nyata sudah menjadi suatu kewajiban bagi mahasiswa fakultas
tertentu sejak dulu, tapi saat itu namanya agak lain, Pengerahan Tenaga
Mahasiswa. Serupa maknanya. Kasim ditempatkan ke sebuah desa bernama
Waimital di Pulau Seram, Maluku. Tugasnya waktu itu adalah mensosialisasikan
Panca Usaha Tani kepada petani daerah itu. Beberapa bulan saja kewajibannya.
Setengah tahun kemudian, teman-temannya mulai bertanya-tanya tentang
keberadaan Kasim. Ke mana Kasim? Seharusnya dia sudah kembali ke Bogor
untuk menyelesaikan skripsinya.
Setahun berlalu, Kasim tak kunjung muncul. Orangtuanya di Langsa, Aceh sana
semakin cemas dengan hal tersebut. Dua tahun berikutnya Kasim juga tak nampak
batang hidungnya. Padahal teman-temannya sudah lulus bahkan sudah bekerja
menyebar ke seluruh penjuru negeri. Tapi Kasim tetap tak nampak. Sang Ibu
semakin cemas.
Orangtua Kasim sudah berkali-kali memintanya pulang. Begitu pula dengan pihak
kampus. Panggilan pertama dari sang Rektor yang bercokol kala itu
dihiraukannya. Pun dengan panggilan kedua. Untuk panggilan ketiga, Rektor,
waktu itu Andi Hakim Nasution, menyematkan Saleh Widodo, sahabat Karim,
untuk ikut serta menyerukan panggilan pulang dari rektor tersebut langsung ke
Waimital.
Untungnya Kasim mau kembali, tapi itu setelah lima belas tahun. Ya, lima belas
tahun. Cukup waktu untuk membuat kulit tangan dan kaki Kasim pecah-pecah.
Sebab, setiap harinya, tak kurang 20 kilometer jarak perjalanan Kasim menuju
sawah. Ia betul-betul mengajarkan petani daerah itu agar hasil tanamnya
meningkat. Setiap hari dua puluh kilometer selama lima belas tahun. Sanggupkah
engkau bayangkan, kawan? Sebelas dua belas dengan Lintang dalam cerita Laskar
Pelangi yang bersepeda menempuh 40 kilometer setiap harinya itu.
Tak bosan-bosannya ia ajarkan berbagai metode yang didapatkannya di bangku
kuliah untuk bisa diterapkan petani. Supaya petani lebih sejahtera hidupnya.
Tentang kesejahteraan dirinya sendiri tak menjadi soal baginya.
Kasim menolong masyarakat agar mandiri. Tidak ada imbalan secuil pun atas
jasanya ini. Atas jasanya membangun sawah-sawah baru. Atas jasanya
memperkenalkan sekaligus membuat irigasi. Juga atas jasanya membuka jalan-
jalan desa. Semua tanpa imbalan. Lima belas tahun, kawan.
Hiruk pikuk gemuruh suara manusia menyambut kembalinya Kasim. Teman-
temannya yang sudah bergelimang harta memberikannya sepatu baru yang
mengkilap seperti lampu taman, pakaian yang harum, tak lupa makanan yang
lezat. Semua terharu akan kejadian tersebut. Semua bangga akan Kasim, teman
lamanya yang duduk sama-sama mendengarkan dosen dua puluh tahun yang lalu.
Prosedur tetaplah prosedur bagi IPB. Sedemikian besar jasa Kasim, tetap dia harus
menyelesaikan skripsinya untuk mendapatkan gelar. Hal tersebut tentu sulit sekali
baginya. Lima belas tahun sudah Kasim tidak ditugasi pekerjaan kampus kali ini
disuruh membuat skripsi yang merupakan tugas kampus paling berat bagi
mahasiswa.
Teman-temannya tak hilang akal. Maka direkamlah semua cerita Kasim selama
lima belas tahun membangun Waimital. Semua ia ceritakan. Butuh 28 jam untuk
merekam apa yang Kasim ceritakan. Kemudian ada orang yang mengolahnya
menjadi sebuah tulisan cerdas bernama skripsi itu. Prosedur-prosedur berikutnya
tetap dilaluinya. Tentu saja dengan kemudahan di sana sini karena Kasim spesial.
Pada akhirnya, skripsi selesai kemudian Kasim dinyatakan lulus sebagai Insinyur
Pertanian.
Hotel Salak menjadi tempat yang cocok untuk sosok hebat seperti Kasim. Ia
dipersilakan beristirahat dengan tenang di tempat yang nyaman itu untuk
kemudian bersiap-siap melakukan wisuda istimewa baginya keesokan harinya.
Bukan nyaman yang didapat, tapi justru Kasim tidak bisa tidur. Suara kendaraan
yang mondar-mandir di depan hotel menggangu telinganya. Kasim tidak terbiasa
dengan hal tersebut. Maka ia mencari meja yang ada di kamarnya. Kemudian dia
tidur di atasnya. Lelap. Tertawalah teman-teman Kasim mendengar insiden meja
itu.
Wisuda spesial untuk orang spesial. Tidak seperti biasanya, dandanan Kasim pagi
itu rapi sekali, setelan jas yang harum lengkap dengan sepatu mengkilap seperti
lampu taman yang diberikan temannya membuat Kasim tampak beda. Sangat
berbeda. Rambutnya disisir rapi dengan potongan yang cerdas.
Setelah proses wisuda selesai, banyak badan yang menawarinya pekerjaan.
Teman-temannya yang sudah menjadi petinggi di sini dan di sana pun ikut
menawarinya pekerjaan. Namun, semua ditolaknya dengan tegas. Kasim ingin
kembali ke Waimital. Membangun Waimital kembali. Lima belas tahun masih
belum cukup baginya. Maka berangkatlah Kasim kembali ke Waimital. Kali ini
dengan title Insinyur di depan namanya. Tapi Kasim tak terlalu ambil pusing
perihal title.
Beberapa waktu kemudian, Kasim berubah pikiran. Mungkin ia berpikir bahwa
lebih baik ia menggodok seribu Kasim lainnya agar perjuangannya dapat
ditularkan. Akhirnya ia beralih menjadi dosen di Universitas Syah Kuala,
universitas negeri termashur di Aceh.http://www.blogger.com/img/blank.gif
Walaupun rupa ini tidak pernah bertatap, bahkan tidak pula dalam bentuk kata-
kata. Tapi pola pikirnya sanggup membuat semangat ini bangkit lagi untuk
berguna bagi orang lain. Terima kasih Muhammad Kasim Arifin.

Bagi Yang ingin mempunyai Buku dan kisah lengakap dari M Kasim Arifin
bisa menghub Kami di ARISTA CELL Belakang Penginapan Kawi Aseh 2 Tlp
0816260550
Diposkan oleh Eriyanto di 20:04
Diposting oleh Seram_barat.blogspot.comdi 17.24

Anda mungkin juga menyukai