DIABETES MELITUS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan gerontik yang diampu oleh
Ibu Titin, Suheri,
Disusun oleh:
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
1.2.Rumusan masalah
1.3.Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang
kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih
dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang
dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu
penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan
penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual
(Efendi, 2009).
2.2.Hipertensi
a. Definisi
Tekanan darah yaitu jumlah gaya yang diberikan oleh darah di bagian
dalam arteri saat darah dipompa ke seluruh sistem peredaran darah. Tekanan
darah tidak pernah konstan. Tekanan darah dapat berubah drastis dalam
hitungan detik dan menyesuaikan diri dengan tuntutan pada saat itu (Herbert
Benson,dkk,2012).
Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan tekanan darah tinggi adalah
penyakit kronik akibat desakan darah yang berlebihan dan hampir tidak konstan
pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah.
Hipertensi berkaitan dengan meningkatnya tekanan pada arterial sistemik baik
diastolik maupun sistolik atau kedua-duanya secara terus-menerus
(Sutanto,2010).
b. Klasifikasi
Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas:
a. Hipertensi dimana tekanan sistolik ≥ 140mmHg atau tekanan diastolic >
90 mmHg
b. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik > 160 mmHg dan
tekanan diastolik < 90 mmHg.
Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2
golongan besar yaitu :
a. Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya
b. Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain
WHO (World Health Organization) dan ISH (International Society of
Hypertension) mengelompokan hipertensi sebagai berikut:
Tabel 1.1. Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO – ISH
Kategori Tekanan Tekanan darah
darah diastol (mmHg)
sistol (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Normal-tinggi 130-139 85-89
Grade 1 (hipertensi 140-149 90-99
ringan)
Sub group (perbatasan) 150-159 90-94
Grade 2 (hipertensi 160-179 100-109
sedang)
Grade 3 (hipertensi berat) >180 >110
Hipertensi sistolik ≥140 <90
terisolasi
Sub-group (perbatasan) 140-149 <90
Sumber: (Suparto, 2010)
c. Etiologi
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya
perubahan-perubahan pada :
Elastisitas dinding aorta menurun
Katup jantung menebal dan menjadi kaku
Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
Kehilangan elastisitas pembuluh darah Hal ini terjadi karena kurangnya
efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-
data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan
terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan
lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah
penderita hipertensi
2. Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )
Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan )
Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )
Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
a. Konsumsi garam yang tinggi
b. Kegemukan/obesitas dan makan berlebihan
c. Stress
d. Merokok
e. Minum alcohol
f. Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )
Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah penyakit-penyakit seperti
Ginjal, Glomerulonefritis, Pielonefritis, Nekrosis tubular akut, Tumor,
Vascular, Aterosklerosis, Hiperplasia, Trombosis, Aneurisma, Emboli
kolestrol, Vaskulitis, Kelainan endokrin, DM, Hipertiroidisme, Hipotiroidisme,
Saraf, Stroke, Ensepalitis. Selain itu dapat juga diakibatkan karena Obat–obatan
Kontrasepsi oral Kortikosteroid.
d. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor, pada medulla di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak
ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini,
neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut
saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif
terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi
epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi
kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor
pembuluh darah.
Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal,
menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon
ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan
fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan
tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi
aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi
otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri
besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang
dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang
jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2001)
e. Pathway
f. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
1. Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter
yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah
terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
2. Gejala secara umum
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi
meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan
gejala paling umum yang dialami oleh penderita hipertensi. Menurut
Rokhaeni (2001), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita
hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak
nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun.
g. Komplikasi
a. Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terkena tekanan
darah.
b. Dapat terjadi infrak miokardium apabila arteri koroner yang
aterosklerotik tidak menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau
apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui
pembuluh tersebut.
c. Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan
tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomelurus. Dengan rusaknya
glomelurus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron
akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian.
d. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi
maligna. Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang
interstisium di seluruh susunan saraf pusat (Huda Nurarif & Kusuma H,
2015).
h. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hemoglobin/hematokrit: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel
terhadap volume cairan (viscositas) dan dapat mengindikasikan
faktor resiko seperti hipokoagulabilitas, anemia.
2) BUN/kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/ fungsi ginjal.
3) Glukosa: hiperglikemi ( DM adalah pencetus hipertensi) dapat di
akibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa: darah, protein, glucosa, mengisyaratkan disfungsi ginjal
dan adanya DM.
b. CT Scan: mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
c. EKG: dapat menunjukan pola regangan dimana luas, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
d. IUP: mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti batu ginjal, perbaikan
ginjal.
e. Photo dada: menunjukan destruksi klasifikasi pada area katup,
pembesaran jantung(Huda Nurarif & Kusuma H, 2015).
i. Penatalaksanaan medis
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan
pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
1. Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai
tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi
a. Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
Penurunan berat badan
Penurunan asupan etanol
Menghentikan merokok
b. Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan
untuk penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu:
Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda,
berenang dan lain-lain.
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau
72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan
berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan
sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu.
c. Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada
subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh
subyek dianggap tidak normal.
Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan
somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan
psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk
mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita
untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan
pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien
dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
(Widyastuti, 2015).
2. Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja
tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita
dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur
hidup penderita.
Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi ( Joint
National Committee On Detection, Evaluation And Treatment Of High Blood
Pressure, USA) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis
kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama
dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada
penderita.
Pengobatannya meliputi :
Step 1
Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
Step 2
Alternatif yang bisa diberikan :
Dosis obat pertama dinaikkan Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama
Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca
antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
Step 3
Alternatif yang bisa ditempuh Obat ke-2 diganti Ditambah obat ke-3 jenis lain
Step 4
Alternatif pemberian obatnya Ditambah obat ke-3 dan ke-4
Re-evaluasi dan konsultasi Follow Up untuk mempertahankan terapi
Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan
komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan ( perawat, dokter )
dengan cara pemberian pendidikan kesehatan. (Huda Nurarif & Kusuma H,
2015).
2.3.Diabetes Melitus
a. Definisi
Diabetes mellitus merupakan suatu gangguan kronis yang ditandai
dengan metabolisme karbohidrat dan lemak yang diakibatkan oleh kekurangan
insulin atau secara relatif kekurangan insulin.
b. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus yang utama adalah tipe I : Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan tipe II : Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM)
c. Etiologi
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur,
intoleransi terhadap glukosa juga meningkat, jadi untuk golongan usia lanjut
diperlukan batas glukosa darah yang lebih tinggi daripada orang dewasa non
usia lanjut.
Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan
obesitas, aktivitas fisik yang berkurang,kurangnya massa otot, penyakit
penyerta, penggunaaan obat-obatan, disamping karena pada lansia terjadi
penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lebih dari 50% lansia diatas 60
tahun yang tanpa keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) yang abnormal. Intoleransi glukosa ini masih belum dapat dikatakan
sebagai diabetes. Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan
insulin terutama pada post reseptor
Beberapa faktor yang berkaitan dengan penyebab diabetes mellitus pada lansia
(Jeffrey) :
1. Umur yang berkaitan dengan penurunan fungsi sel pankreas dan sekresi
insulin.
2. Umur yang berkaitan dengan resistensi insulin akibat kurangnya massa otot
dan perubahan vaskuler.
3. Obesitas, banyak makan.
4. Aktivitas fisik yang kurang
5. Penggunaan obat yang bermacam-macam.
6. Keturunan
7. Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress
d. Patofisiologi
Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar.
Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas.
Bila insulin tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat
glukosa akan tetap berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di
dalam darah meningkat.
Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan
predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas.
Pada diabetes melitus tipe 2 yang sering terjadi pada lansia, jumlah
insulin normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel
yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa
dalam darah menjadi meningkat
e. Pathway
Defisiensi Insulin
glukoneogenesis hiperglikemia
Makrovaskuler Mikrovaskuler
Retina Ginjal
Jantung Serebral Ekstremitas
Retinopati Nefropati
Miokard Infark Stroke Gangren diabetik
Resiko Injury
f. Tanda dan gejala
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada
DM lansia umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien
adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan
saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua,
sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus
dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya
gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta
kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh
dengan pengobatan lazim. Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada
usia lanjut yang sering ditemukan diantaranya katarak, glaucoma, retinopati,
gatal-gatal seluruh badan, pruritus vulvae, infeksi bakteri kulit, infeksi jamur
di kulit, dermatopati, neuropati perifer, neuropati visceral, amiotropi, ulkus
neurotopik, penyakit ginjal , penyakit pembuluh darah perifer, dan lain lain.
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal
yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau
bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang
dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena
itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat
pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami
infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi
absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan
dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia.
Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan
berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak
bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala
kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral
tampak lebih jelas.
g. Komplikasi
i. Penatalaksanaan medis
Menurut Steven diperkirakan 25 – 50% dari DM lansia dapat
dikendalikan dengan baik hanya dengan diet saja. 3% membutuhkan insulin
dan 20 – 45% dapat diobati dengan oral anti diabetik dan diet saja.
Para ahli berpendapat bahwa sebagian besar DM pada lansia adalah tipe
II, dan dalam penatalaksanaannya perlu diperhatikan kasus perkasus, cara hidup
pasien, keadaan gizi dan kesehatannya, adanya penyakit lain yang menyeertai
serta ada/tidaknya komplikasi DM.
Pedoman penatalaksanaan DM lansia adalah :
1. Pengkajian
Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas,
ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
Integritas Ego
Stress, ansietas
Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus,
penggunaan diuretik.
Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan
penglihatan.
Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
2. Masalah Keperawatan
1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
2. Gangguan integritas kulit
3. Resiko terjadi injury
4. Kekurangan volume cairan
3. Intervensi
1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
penurunan masukan oral, anoreksia, mual, nyeri abdomen.
Intervensi :
Kriteria Hasil :
Intervensi :
Intervensi :
4.1.Simpulan
4.2.Saran
DAFTAR PUSTAKA
Delta Agustin. 2015. Pemberian Massage Punggung Terhadap Kualitas Tidur Pada
Asuhan Keperawatan Ny.U dengan Stroke Non Haemorogik di Ruang Anggrek II
RSUD dr. Muwardi Surakarta. Surakarta : Karya Tulis Stikes Kusuma Husada.
Huda Nurarif & Kusuma H,. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 2. Jogja: Medi Action
Ibrahim. 2010. Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Hipertensi Vol. II. Link :
https://www.rp2u.unsyiah.ac.id/index.php/welcome/prosesDownload/10594/4&v
ed=2ahUKEwj91s2r_pLgAhWQbX0KHRURDIIQFjAFegQICRAB&usg=AOvV
aw1ICTpQjoCmSRI_78GtLNe1
Kaplan N, M. 2010. Primary Hypertension: Patogenesis, Kaplan Clinical
Hypertension. 10th Edition: Lippincot Williams & Wilkins, USA.
Luecknote, Annette Geisler, Gerontologic Nursing second Edition, St. Louis Missouri
: Mosby,Inc, 2000.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester,
Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.