Anda di halaman 1dari 23

PROPOSAL

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH KOMPRES HANGAT TERHADAP


PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA PENDERITA
GOUT ARTHRITIS

Karya Tulis Ilmiah ini disusun sebagai salah satu persyaratan


menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan

PRISCILLA SANGSAKA JAYARINI


15040

AKADEMI KEPERAWATAN HANG TUAH JAKARTA


2017
KATA PENGANTAR

Tak henti-hentinya penulis mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah

SWT yang telah memberikan kami kesehatan dan kenikmatan, sehingga kami

dapat menyelesaikan pembuatan proposal Karya Tulis Ilmiah dengan judul

“Pengaruh kompres hangat terhadap penurunan intensitas nyeri pada penderita

gout arthritis”

Proposal ini dapat terselesaikan atas bantuan dan bimbingan dari semua pihak,

untuk itu dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Direktur Akademi Keperawatan Hang Tuah Jakarta, Kolonel (Purn) Rita


Wismajuwani, SKM., S.Kep., M.AP

2. Pudir I Akademi Keperawatan Hang Tuah Jakarta, Elvi Oberty, S.Kp., M.Kep

3. Pudir II Akademi Keperawatan Hang Tuah Jakarta, Soeroso, AMKG

4. Pudir III Akademi Keperawatan Hang Tuah Jakarta, Ns. Sugeng Haryono,
S.Kep., M.Kep

5. Wali kelas tingkat III Akademi Keperawatan Hang Tuah Jakarta, Ni Ketut
Suwarsani, B.Sc

6. Koordinator mata ajar karya tulis ilmiah Akademi Keperawatan Hang Tuah
Jakarta, Tri Purnamawati, M.kep., Ns., Sp. Kep. An

7. Pembimbing karya tulis ilmiah, Tri Purnamawati, M.kep., Ns., Sp. Kep. An

8. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan dan kasih sayang kepada
kami
Kami menyadari bahwa penyusunan proposal ini jauh dari sempurna, untuk itu

saran dan kritik sangat kami harapkan. Akhirnya kami berharap semoga proposal

ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Agustus 2017

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keberhasilan pembangunan terutama di bidang kesehatan telah mampu
meningkatkan Usia Harapan Hidup manusia di Indonesia. Meningkatnya
angka harapan hidup di Indonesia terjadi karena peningkatan taraf hidup
dan pelayanan kesehatan yang mengakibatkan populasi lansia di Indonesia
semakin tinggi. Meningkatnya jumlah lansia menimbulkan masalah
terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan lansia. Keberadaan
penyakit mempengaruhi kondisi kesehatan fisik seseorang yang
merupakan salah satu aspek yang menentukan kualitas hidup seseorang.
Salah satu penyakit yang sering diderita lansia adalah gout artritis, yang
ditandai dengan meningkatnya kadar asam urat yang dipengaruhi oleh
asupan makanan tinggi purin (Wahyu dkk, 2014).
Gout artritis merupakan salah satu penyakit rematik yang menduduki
urutan ketiga setelah artrosis dan rematoid artritis, penderita penyakit
rematik di Indonesia di perkirakan hampir 80 % penduduk yang berusia 40
tahun atau lebih (Junaidi, 2013).
Gout Arthritis adalah penyakit yang sering ditemukan dan tersebar di
seluruh dunia. Gout (pirai) merupakan kelompok penyakit heterogen
sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraselular. Gangguan
metabolisme yang mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang
didefinisikan sebagai peninggian kadar asam urat lebih dari 7,0 ml/dl dan
6,0 mg/dl (Sudoyo, 2009).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 335 juta
orang di dunia mengidap penyakit rematik. Jumlah ini sesuai dengan
adanya peningkatan manusia berusia lanjut. Masalah muskuloskeletal
merupakan masalah kronis yang paling lazim terjadi pada lansia, dengan
sekitar 49 % lansia mengalami beberapa bentuk artritis (Fowles, 1990
dalam Maas dkk, 2011).
Standar akreditasi rumah sakit yang dikeluarkan oleh JCI (Joint
Commision International) tahun 2011 bahwa hak pasien untuk
mendapatkan asesmen dan pengelolaan nyeri. Pasien dibantu dalam
pengelolaan rasa nyeri secara efektif, pasien yang kesakitan mendapat
asuhan sesuai pedoman pengelolaan nyeri (Kemenkes RI, 2011).
Tahun 1986 dilaporkan prevalensi gout arthritis di Amerika Serikat adalah
13,6/1000 pria dan 6,4/1000 perempuan. Prevalensi gout bertambah
dengan meningkatnya taraf hidup. Gout merupakan penyakit dominan
pada pria dewasa, sebagaimana yang disampaikan oleh Hippocrates bahwa
gout jarang pada pria sebelum masa remaja sedangkan pada perempuan
jarang sebelum menopause (Sudoyo, 2009).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun
2013, prevalensi penyakit sendi adalah 24,7% dan prevalensi yang paling
tertinggi yaitu di Bali mencapai 19,3%. Di Sulawesi Utara juga merupakan
salah satu prevalensi tertinggi yaitu mencapai 10,3%.
Pengobatan non farmakologis sangat efektif dilakukan untuk mengurangi
rasa nyeri yang timbul pada gout arthritis. Banyak referensi yang
mengatakan bahwa kompres hangat dapat menurunkan nyeri pada gout
arthritis.
Berdasarkan latar belakang ini, maka peneliti tertarik untuk meneliti
bagaimana pengaruh kompres hangat terhadap penurunan intensitas nyeri
pada pasien dengan gout arthritis.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat
dikemukakan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini adalah
“Bagaimana pengaruh kompres hangat terhadap penurunan intensitas nyeri
pada pasien dengan gout arthritis ?”

1.3. Tujuan Penelitian


Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1.3.1. Tujuan Umum
Diketahui ada tidaknya pengaruh kompres hangat terhadap
penurunan intensitas nyeri penderita gout arthritis.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1. Diketahuinya penurunann intensitas nyeri sebelum
dilakukan kompres hangat.
1.3.2.2. Diketahuinya penurunann intensitas nyeri sesudah
dilakukan kompres hangat.
1.3.2.3. Diketahuinya pengaruh kompres hangat terhadap
penurunan intensitas nyeri.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah:
1.4.1. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi acuan bagi penderita
gout arthritis dalam menerapkan kompres hangat untuk
mengurangi rasa nyeri.
1.4.2. Bagi Perkembangan Teknologi
Sebagai evidence based practice (penggunaan bukti untuk
mendukung pengambilan keputusan di pelayanan kesehatan) dalam
pengembangan ilmu pengetahuan tentang interverensi keperawatan
yang efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pada penderita
gout arthritis menggunakan kompres hangat.
1.4.3. Bagi Penelitian Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data dasar untuk
melakukan penelitian yang lebih lanjut terkait intervensi lain yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan dalam melakukan penatalaksanaan nyeri non
farmakologis pada penderita gout arthritis.
1.4.4. Bagi Perawat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
perawat mengenai pentingnya kompres hangat terhadap penurunan
intensitas nyeri pada penderita gout arthritis.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Gout Arthritis


2.1.1. Pengertian Gout Arthritis
Gout merupakan penyakit yang ditandai dengan nyeri yang terjadi
berulang-ulang yang disebabkan adanya endapan kristal
monosodium urat yang terkumpul didalam sendi sebagai akibat dari
tingginya kadar asam urat didalam darah (Anjarwati 2010, h.79).
Gout bisa diartikan sebagai sebuah penyakit dimana terjadi
penumpukan asam urat dalam tubuh secara berlebihan, baik akibat
produksi yang meningkat, pembuangan yang menurun, atau akibat
peningkatan asupan makanan kaya purin. Gout ditandai dengan
serangan berulang arthritis (peradangan sendi) yang akut, kadang-
kadang disertai pembentukan kristal natrium urat besar yang
dinamakan tophus, deformitas (kerusakan) sendi secara kronis dan
cidera (Naga 2012, hal 112).
Arthrtis gout adalah suatu sindrom klinis yang mempunyai gambran
khusus, yaitu arthritis akut, artritis gout lebih banyak terdapat pada
pria dari pada wanita, pada pria seringkali mengenai usia
pertengahan, sedangkan pada wanita biasanya mendekati masa
menopouse (Mansjoer 2009, hal 542)

2.1.2. Patofisiologi Gout Arthritis


Monosodium urat akan membentuk kristal ketika konsentrasinya
dalam plasma berlebih, sekitar 7,0 mg/dl. Kadar monosodium urat
pada plasma bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong
terjadinya pembentukan kristal. Hal ini terbukti pada beberapa
penderita hiperurisemia tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang
lama sebelum serangan artritis gout yang pertama kali. Faktor-faktor
yang mendorong terjadinya serangan artritis gout pada penderita
hiperurisemia belum diketahui pasti. Diduga kelarutan asam urat
dipengaruhi pH, suhu, dan ikatan antara asam urat dan protein
plasma (Busso dan So, 2010). Kristal monosodium urat yang
menumpuk akan berinteraksi dengan fagosit melalui dua mekanisme.
Mekanisme pertama adalah dengan cara mengaktifkan sel-sel
melalui rute konvensional yakni opsonisasi dan fagositosis serta
mengeluarkan mediator inflamasi. Mekanisme kedua adalah kristal
monosodium urat berinteraksi langsung dengan membran lipid dan
protein melalui membran sel dan glikoprotein pada fagosit. Interaksi
ini mengaktivasi beberapa jalur transduksi seperti protein G,
fosfolipase C dan D, Srctyrosine-kinase, ERK1/ERK2, c-Jun N-
terminal kinase, dan p38 mitogen-activated protein kinase. Proses
diatas akan menginduksi pengeluaran interleukin (IL) pada sel
monosit yang merupakan faktor penentu terjadinya akumulasi
neutrofil (Choi et al, 2005). Pengenalan kristal monosodium urat
diperantarai oleh Toll-like receptor (TLR) 2 dan TLR 4, kedua
reseptor tersebut beserta TLR protein penyadur MyD88 mendorong
terjadinya fagositosis. Selanjutnya proses pengenalan TLR 2 dan 4
akan mengaktifkan faktor transkripsi nuclear factor-kB dan
menghasilkan berbagai macam faktor inflamasi (Cronstein dan
Terkeltaub, 2006). Proses fagositosis kristal monosodium urat
menghasilkan reactive oxygen species (ROS) melalui NADPH
oksidase. Keadaan ini mengaktifkan NLRP3, kristal monosodium
urat juga menginduksi pelepasan ATP yang nantinya akan
mengaktifkan P2X7R. Ketika P2X7R diaktifkan akan terjadi proses
pengeluaran cepat kalium dari dalam sel yang merangsang NLRP3.
Kompleks makro melekular yang disebut dengan inflamasom terdiri
dari NLRP3, ASC dan pro-caspase-1 dan CARDINAL. Semua
proses diatas nantinya akan menghasilkan IL-1α (Busso dan So,
2010). Sel-sel yang sering diteliti pada artritis gout adalah lekosit,
neutrofil, dan makrofag (Busso dan So, 2010). Salah satu komponen
utama pada inflamasi akut adalah pengaktifan vascular endhotelial
yang menyebabkan vasodilatasi dengan peningkatan aliran darah,
peningkatan permeabilitas terhadap protein plasma dan
pengumpulan lekosit ke dalam jaringan. Aktivasi endotel akan
menghasilkan molekul adhesi seperti E-selectin, intercellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-
1 (VCAM-1) yang kemungkinan disebabkan karena adanya faktor
TNF-α yang dikeluarkan oleh sel mast (Dalbeth dan Haskard, 2005).
Neutrofil berkontribusi pada proses inflamasi melalui faktor
kemotaktik yakni sitokin dan kemokin yang berperan pada adhesi
endotel dan proses transmigrasi. Sejumlah faktor yang diketahui
berperan dalam proses artritis gout adalah IL-1α, IL-8, CXCL1, dan
granulocyte stimulating-colony factor (Busso dan So, 2010).

2.1.3. Etiologi Gout Arthritis


Gangguan metabolik dengan meningkatnya konsentrasi asam urat ini
ditimbulkan dari penimbunan Kristal di sendi oleh monosodium urat
(MSU, gout) dan kalsium pirofosfat dihidrat (CPPD, pseudogout)
dan pada tahap yang lebih lanjut terjadi degenerasi tulang rawan
sendi.
Klasifikasi gout dibagi menjadi dua, yaitu :
2.1.3.1. Primer
Dipengaruhi oleh faktor genetik. Terdapat produksi/sekresi
asam urat yang berlebihan dan tidak diketahui
penyebabnya.
2.1.3.2. Sekunder
a. Pembentukan asam urat yang berebihan
- Kelainan mieloproliferatif (polisitemia, leukemia,
myeloma retikularis)
- Sindroma Lech-Nyhan yaitu suatu kelainan akibat
defisiensi hipoxantin guanine fosforibosil
transferase yang terjadi pada anak-anak dan pada
sebagian orang dewasa
- Gangguan penyimpangan glikogen
- Pada pengobatan anemia pernisiosa oleh karena
maturasi sel megaloblastik menstimulasi
pengeluaran asam urat
b. Sekresi asam urat yang berkurang
- Kegagalan ginjal kronik
- Pemakaian obat salisilat, tiazid dan beberapa
macam diuretic dan sulfonamide
- Keadaan-keadaan alkoholik, asidosis laktik,
hiperparatiroidisme dan pada miksedema
Faktor predisposisi terjadinya penyakit gout arthritis yaitu umur, jenis
kelamin lebih banyak terjadi pada pria, iklim, herediter dan keadaan-
keadaan yang menyebabkan timbulnya hiperurikemia.

2.1.4. Manifestasi Klinis Gout Arthritis


Episode awal gout akut biasanya terjadi setelah hiperurisemia
asimtomatik beberapa dekade. Permulaan serangan gout biasanya
disebabkan oleh pesatnya perkembangan kehangatan,
pembengkakan, eritema dan nyeri pada sendi yang terkena. Rasa
sakit meningkat dari tingkat paling sedikit sampai tingkat yang
paling kuat selama delapan sampai 12 jam. Serangan awal biasanya
bersifat monartikular dan pada satu setengah pasien, melibatkan
sendi MTP pertama. Gabungan ini akhirnya terpengaruh pada 90%
individu dengan asam urat. Sendi lain yang sering dilibatkan pada
tahap awal ini adalah midfoot, pergelangan kaki, tumit dan lutut, dan
yang kurang umum, pergelangan tangan, jari tangan dan siku. Gejala
sistemik, seperti demam, menggigil, dan malaise, bisa menyertai
asam urat akut. Eritema kulit kutaneous yang terkait dengan
serangan gout dapat terjadi di luar sendi yang terlibat dan
menyerupai selulitis bakteri. Cara alami gout akut yang tidak diobati
bervariasi dalam bentuk episode nyeri ringan yang terjadi dalam
beberapa jam ("serangan petit") terhadap serangan parah yang
berlangsung 1-2 minggu. Periode interupsi dari gout intermiten akut
hanya sebagai karakteristik tahap ini seperti juga serangan akut.
Sebelumnya sendi yang terlibat hampir bebas dari gejala. Di awal
tahap intermittent akut, episode artritis akut jarang terjadi, dan
interval antara serangan kadang-kadang berlangsung selama
bertahun-tahun.

2.1.5. Komplikasi Gout Arthritis


Menurut Rotschild (2013), komplikasi dari artritis gout meliputi
severe degenerative arthritis, infeksi sekunder, batu ginjal dan
fraktur pada sendi. Sitokin, kemokin, protease, dan oksidan yang
berperan dalam proses inflamasi akut juga berperan pada proses
inflamasi kronis sehingga menyebabkan sinovitis kronis, dekstruksi
kartilago, dan erosi tulang. Kristal monosodium urat dapat
mengaktifkan kondrosit untuk mengeluarkan IL-1, merangsang
sintesis nitric oxide dan matriks metaloproteinase yang nantinya
menyebabkan dekstruksi kartilago. Kristal monosodium urat
mengaktivasi osteoblas sehingga mengeluarkan sitokin dan
menurunkan fungsi anabolik yang nantinya berkontribusi terhadap
kerusakan juxta artikular tulang (Choi et al, 2005). Artritis gout telah
lama diasosiasikan dengan peningkatan resiko terjadinya batu ginjal.
Penderita dengan artritis gout membentuk batu ginjal karena urin
memilki pH rendah yang mendukung terjadinya asam urat yang tidak
terlarut (Liebman et al, 2007). Terdapat tiga hal yang signifikan
kelainan pada urin yang digambarkan pada penderita dengan uric
acid nephrolithiasis yaitu hiperurikosuria (disebabkan karena
peningkatan kandungan asam urat dalam urin), rendahnya pH (yang
mana menurunkan kelarutan asam urat), dan rendahnya volume urin
(menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat pada urin)
(Sakhaee dan Maalouf, 2008).
Terbentuk batu asam urat pada 10% penderita di Inggris dan bisa
menyebabkan kolik ginjal. Gagal ginjal kronis bisa terjadi menyusul
hiperurisemia yang berlangsung lama (nefropati urat kronis).
Hipertensi, obesitas dan penyakit arteri coroner lebih sering dijumpai
pada penderita hiperurisemia. Infeksi piogenik sekunder pada sendi
yang mengalami gout jarang terjadi.

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang


2.1.7.1 Pemeriksaan laboratorium darah
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar asam urat
yang tinggi dalam darah (> 6 mg%). Kadar asam urat
normal dalam serum pada pria 8 mg% dan pada wanita 7
mg% pemeriksaan kadar asam urat ini akan lebih tepat lagi
bila dilakukan dengan cara enzimatik. Kadang-kadang
didapatkan leukosit ringan dan LED meninggi sedikit, kadar
asam urat dalam urin juga sering tinggi (500 mg%/liter per
24 jam).
2.1.7.2. Pemeriksaan cairan tofi
Pemeriksaan cairan tofi, juga penting untuk mengakkan
diagnosis, cairan tofi adalah cairan berwarna putih seperti
susu dan kental sekali sehingga sukar diaspirisasi, diagnosis
dapat dipastikan bila ditemukan gambaran kristal asam urat
(bentuk lidi) pada pemeriksaan mikroskopik (Mansjoer,
2009, hal 543).

2.2. Asuhan Keperawatan


2.2.1. Pengkajian
2.2.1.1. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, pekerjaan,
pendidikan, status perkawinan, alamat, tanggal MRS,
no.register, diagnose medis.
2.2.1.2. Riwayat penyakit
Keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, kaji riwayat kesehatan keluarga, riwayat
psikososial spiritual.
2.2.1.3. Pemenuhan kebutuhan
Pola nutrisi, pola eliminasi, pola aktivitas, istirahat tidur,
personal hygiene.
2.2.1.4. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum, TTV, kesadaran/GCS, pemeriksaan
persistem.

2.2.2. Diagnosa Keperawatan


Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan distress system
saraf sekunder akibat peradangan sendi dan penimbunan kristal pada
membran sinovia.

2.2.3. Intervensi Keperawatan


2.2.3.1. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam rasa nyeri berkurang
2.2.3.2. Kriteria Hasil : klien mengatakan nyerinya sudah
berkurang, terlihat rileks, dapat tidur, klien dapat
mengendalikan rasa nyeri dengan metode yang diajarkan
2.2.3.3. Intervensi
- Kaji tingkat skala nyeri
- Monitor TTV
- Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi nafas dalam
- Beri posisi nyaman
- Berikan kompres hangat

2.2.4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap proses keperawatan di mana
perawat memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak
langsung terhadap klien Potter & Perry (2009).

2.2.5. Evaluasi
2.2.5.1. Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi
formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna
menilai keefektifan tindakan keperawaatan yang telah
dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi
empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP,
yakni subjektif (data berupa keluhan klien), objektif
(data hasil pemeriksaan), analisis data (perbandingan
data denagn teori), dan perencanaan (Asmadi, 2008).
2.2.5.2. Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah
semua aktivitas proses keperawatan seelsai dilakukan.
Evalusi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor
kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan.
Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini
adalah melakukan wawancara pada akhir layanan,
menanyakan respon klien dan keluarga terkait layanan
keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir
layanan. (Asmadi, 2008).

2.3. Kompres Hangat


2.3.1. Pengertian
Menurut Misnadiarly (2010) penggunaan terapi panas lebih nyaman
dan aman untuk dilakukan untuk menurunkan nyeri. Kompres yang
diberikan pada terapi tersebut adalah kompres panas kering,
keuntungan dari pemberian terapi panas kering adalah tidak
menyebabkan maserasi pada kulit. Panas kering dapat menahan suhu
lebih lama karena tidak dipengaruhi oleh evaporasi (Potter & Perry,
2005). Proses vasodilatasi yang terjadi pada saat pemberian kompres
hangat dapat melebarkan pembuluh darah sehingga dapat
meningkatkan aliran darah pada bagian yang nyeri. Kompres hangat
juga dapat meningkatkan relaksasi otot serta mengurangi nyeri
akibat spasme dan kekakuan (Potter & Perry, 2005). Kompres hangat
bekerja dengan cara konduksi, yaitu terjadinya perpindahan panas
dari buli-buli ke dalam sendi yang terasa nyeri. Panas bekerja dengan
cara menstimulasi reseptor nyeri (nociceptor) untuk memblok
reseptor nyeri (Muttaqin, 2008). Penurunan intensitas nyeri sendi
yang dirasakan responden, dapat disebabkan karena adanya impuls-
impuls yang menekan rasa nyeri, sehingga rasa nyeri dapat
berkurang. Impuls tersebut adalah suhu hangat yang diberikan serta
mengenai bagian yang terasa nyeri. Respon lokal terhadap panas
terjadi melalui stimulasi ujung syaraf yang berada di dalam kulit.
Stimulasi tersebut akan mengirimkan impuls dari perifer ke
hipotalamus. Jika perubahan tersebut terjadi terus menerus melelui
jalur sensasi suhu maka penerimaan dan persepsi terhadap stimulus
akan dirubah (Potter & Perry, 2005).

2.3.2. Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Penurunan Intensitas


Nyeri
Kompres hangat menimbulkan efek vasodilatasi pembuluh darah
sehingga meningkatkan aliran darah. Peningkatan aliran darah dapat
menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bardikinin,
histamine dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal. Selain
itu kompres hangat dapat merangsang serat saraf yang menutup
gerbang sehingga transmisi impuls nyeri ke medula spinalis dan otak
dapat dihambat (Price & Wilson 2006, h.1088).
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah deskripsi dengan menggunakan metode
pendekatan studi kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya pengaruh kompres hangat terhadap penurunan intensitas nyeri
penderita gout arthritis.
Creswell (2010: 20) mengatakan bahwa studi kasus merupakan strategi
penelitian di mana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu
program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Studi
kasus bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompres hangat terhadap
penurunan intensitas nyeri pada penderita gout arthritis.

3.2. Subyek Penelitian


Subyek penelitian dalam penelitan ini adalah dua orang penderita gout
arthritis di Wilayah Rumah Susun Karet Tengsin 2, Karet – Tanah Abang.

3.3. Fokus Studi


Fokus studi dalam penelitian ini adalah penurunan intensitas nyeri pada
penderita gout arthritis sebelum dan sesudah dilakukan kompres hangat.

3.4. Definisi Operasional


Definisi operasional variable penelitian adalah fenomena observasional
yang memungkinkan peneliti untuk mengujinya secara empiris, apakah
outcome yang diprediksi tersebut benar atau salah (Thomas et al., 2010).
Pengertian lainnya tentang definisi operasional menyebutkan bahwa
definisi operasional adalah pemberian definisi terhadap variabel penelitian
secara operasional sehingga peneliti mampu mengumpulkan informasi
yang dibutuhkan terkait dengan konsep. Definisi operasional yang dibuat
harus in line dengan conceptual definitions (Carmen G. Loiselle et al.,
2010).
Operasionalisasi variabel diperlukan untuk menentukan jenis, indikator,
serta skala dari variabel-variabel yang terkait dalam penelitian, sehingga
penguji hipotesis dengan alat bantu statistik dapat dilakukan secara benar
sesuai dengan judul penelitian mengenai pengaruh kompres hangat
terhadap penurunan intensitas nyeri pada penderita gout arthritis.

3.5. Instrumen Penelitian


Pada penelitian ini, peneliti menggunakan lembar kuesioner. Lembar
kuesioner peneliti buat dalam bentuk check list.

3.6. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
lembar kuesioner yang mengacuh pada teori yang dibuat oleh peneliti.
Lembar kuesioner digunakan untuk mengukur intensitas nyeri sebelum dan
sesudah dilakukan kompres hangat. Kuesioner menggunakan 10
pertanyaan dengan menggunakan model instrumen chek list dan jawaban
diukur dengan skor 1 bila jawaban dirasakan dan skor 0 bila jawaban tidak
dirasakan.

3.7. Lokasi dan Waktu Penelitian


3.7.1. Lokasi Penelitian
Rumah Susun Karet Tengsin 2, Karet-Tanah Abang
3.7.2. Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada 13 Maret- 15 Maret
2017.

3.8. Analisa Data


Pengolahan data menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif
digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendiskripsikan data yang
terkumpul untuk membuat suatu kesimpulan (Notoatmodjo, 2010).
Pengolahan data ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
kompres hangat terhadap penurunan intensitas nyeri pada penderita gout
arthritis.

3.9. Penyajian Data


Setelah dilakukan pengolahan data dan didapatkan hasil penelitian, maka
data/ hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk teks (tekstual) dan tabel.

3.10. Etika Penelitian


Menurut Hidayat (2013), secara umum prinsip etika dalam penelitian atau
pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu prinsip
manfaat, prinsip menghargai hak-hak subyek dan prinsip keadilan. Dalam
penelitian ini untuk mendapatkan data dilakukan dengan menekankan etika
yang mengacuh pada:
3.10.1. Informed Concent (Lembar persetujuan menjadi responden)
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden
penelitian dengan memberikan lembar persetujuan (informed
concent). Tujuannya adalah supaya responden mengetahui maksud
dan tujuan peneliti. Setelah objek bersedia, maka harus
menandatangani lembar persetujuan untuk menjadi responden,
sebaliknya subyek yang tidak bersedia menjadi responden
penelitian, maka penelitian harus menghormati haknya.
3.10.2. Anonimity (Tanpa nama)
Peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar alat
ukur, tetapi hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data
berupa angka sesuai dengan jumlah responden.
3.10.3. Confidentaly (Kerahasiaan)
Peneliti menjamin kerahasiaan dan hasil penelitian baik informasi
maupun masalah-masalah lainnya semua informasi yang telah
dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya
kelompok data tersebut yang akan dilaporkan pada hasil riset.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai