Uji Efek Analgetik
Uji Efek Analgetik
PERCOBAAN 6
UJI EFEK ANALGETIK
Disusun oleh :
Golongan II Kelompok 4
Kintyas Asokawati (G1F014069)
Irenne Agustina Tanto (G1F014071)
Alifah Itmi Mushoffa (G1F014073)
Gasti Giopenra Benarqi (G1F014075)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
UJI EFEK ANALGETIK
PERCOBAAN 6
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rasa nyeri merupakan masalah yang umum terjadi di masyarakat dan salah satu
penyebab paling sering pasien datang berobat ke dokter karena rasa nyeri mengganggu fungsi
sosial dan kualitas hidup penderitanya. Hasil penelitian The U.S. Centre for Health Statistic
selama 8 tahun menunjukkan 32% masyarakat Amerika menderita nyeri yang kronis dan hasil
penelitian WHO yang melibatkan lebih dari 25.000 pasien dari 14 negara menunjukkan 22%
pasien menderita nyeri, minimal selama 6 bulan. Pada populasi orang tua, prevalensi nyeri
meningkat menjadi 50%.
Rasa nyeri akan disertai respon stress, antara lain berupa meningkatnya rasa cemas,
denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi napas. Nyeri yang berlanjut atau tidak ditangani
secara kuat, memicu respon stress yang berkepanjangan, yang akan menurunkan daya tahan
tubuh dengan menurunkan fungsi imun, mempercepat kerusakan jaringan, laju metabolisme,
pembekuan darah dan retensi cairan, sehingga akhirnya akan memperburuk kualitas kesehatan
(Hartwig & Wilson, 2006).
Nyeri adalah suatu sensasi yang tidak menyenangkan dan bisa dirasakan sebagai rasa
sakit. Nyeri dapat timbul di bagian tubuh manapun sebagai respon terhadap stimulus yang
berbahaya bagi tubuh, seperti suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin, tertusuk benda tajam,
patah tulang, dan lain-lain. Rasa nyeri timbul apabila terjadi kerusakan jaringan akibat luka,
terbentur, terbakar, dan lain sebagainya. Hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan
cara memindahkan posisi tubuhnya (Guyton & Hall, 1997).
Pada dasarnya, rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Meskipun nyeri
berguna bagi tubuh, namun dalam kondisi tertentu, nyeri dapat menimbulkan ketidaknyamanan
bahkan penderitaan bagi individu yang merasakan sensasi ini. Sensasi nyeri yang terjadi
mendorong individu yang bersangkutan untuk mencari pengobatan, antara lain dengan
mengkonsumsi obat-obatan penghilang rasa nyeri (Analgetik). Analgetik adalah obat yang
digunakan untuk menghambat atau mengurangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran Saat
ini telah banyak beredar obat-obatan sintetis seperti obat anti inflamasi non steroid (AINS).
Sebanyak 25% obat yang dijual bebas di pasaran adalah analgetik asetaminofen. Obat ini
1
banyak dipakai untuk bayi, anak-anak, dewasa, dan orang lanjut usia untuk keluhan nyeri ringan
dan demam (Kee, 1994).
B. Tujuan Percobaan
Mengenal, mempraktikkan dan membandingkan daya analgetika asetosal dan
parasetamol menggunakan metode rangsang kimia.
C. Dasar Teori
Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan
akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah perasaan
sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan.
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat
bahaya tentang adanya gangguan di jaringan seperti peradangan, rematik, encok atau kejang
otot (Tjay 2007).
Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di kulit, otot,
tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui dua jaras, yaitu jaras
nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri lambat dengan
neurotransmiternya substansi P (Guyton & Hall 1997; Ganong 2003).
Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan
prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-ujung saraf bebas di kulit,
mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejang-
kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari
tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan
sangat banyak sinaps via sumsum belakang, sumsum-lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus
impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri
(Tjay & Rahardja 2007).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi
melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di
jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh
rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan.
Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator
2
nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi
reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat
diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak
melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang
belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke
pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay 2007).
Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)
Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan
non salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan non salisilat termasuk derivat asam
arylalkanoat.
b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium
atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri. Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan.
Ada 3 golongan obat ini yaitu:
1) Obat yang berasal dari opium-morfin
2) Senyawa semisintetik morfin
3) Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
3
Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diperifer . Efek analgesiknya telah kelihatan
dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi OAINS telah
tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul
berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam
darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak
dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan
mempunyai ikatan dengan protein plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh
eliminasinya untuk golongan derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh
indometasin sangat berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan piroksikam
mempunyai waktu paruh paling panjang (45 jam).
4
MONOGRAFI
Pemerian : hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau hampir tidak
berbau, rasa asam
Kelarutan : Sukar larut dalam air; mudah larut dalam etanol; larut dalam koroform, dan
dalam eter; agak sukar arut dalam eter mutlak
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat tidak tembus cahaya (Anonim,1995).
Khasiat : Analgetik, antipiretik
Dosis : 500 - 650 mg setiap 4 jam (maksimal 4 g/hari) (Anonim, 1979).
Asetosal adalah asam organik lemah yang unik diantara obat-obat AINS dalam asetilasi
siklooksigenase ireversibel. Asetosal cepat diasetilasi oleh esterase dalam tubuh, menghasilkan
salisilat yang mempunyai efek antiinflamasi, antipiretik, dan analgesik (Mycek et al., 2001).
Farmakokinetik
Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di
lambung dan usus kecil bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian.
Obat ini mudah menembus sawar darah otak dan sawar uri (plasenta). Kira-kira 80-90 %
salisilat plasma terikat pada albumin. Biotransformasi salisilat terjadi dibanyak jaringan
terutama di mikrosom dan mitokondria hati. Salisilat diekskresi dalam bentuk metabolitnya
terutama melalui ginjal, sebgian kecil melalui keringat dan empedu (Katzung,1998; Wilmana
dan Gan, 2007).
Farmakodinamik
Obat-obat AINS termasuk asetosal mempunyai 3 efek terapi utama yaitu mengurangi
inflamasi (antiinflamasi), rasa sakit (analgesik), dan demam (antipiretik).
a. Efek antiinflamasi
Sebagai antiinflamasi asetosal menghambat aktivitas siklooksigenase sehingga asetosal
mengurangi pembentukan prostaglandin dan memodulasi beberapa aspek inflamasi (Mycek et
al, 2001). Selain mengurangi sintesis mediator-mediator eicosanoid, asetosal juga
mempengaruhi mediator kimia dari sistem kallikrein. Sebagai akibatnya, asetosal menghambat
melekatnya granulosit pada vasculature yang rusak, menstabilkan lysosome dan menghambat
migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag daerah inflamasi (Katzung, 1998).
b. Efek analgesik
5
Prostaglandin E2 (PGE2) diduga mensensitasi ujung syaraf terhadap efek bradikinin,
histamin, dan mediator kimiawi lainnya yang dilepaskan secara lokal oleh proses inflamasi.
Jadi dengan menurunkan sintesis PGE2, asetosal dan AINS lainnya menekan sensasi rasa sakit
(Mycek et al., 2001). Asetosal paling efektif untuk mengurangi nyeri dengan intensitas ringan
sampai sedang. Ia bekerja secara perifer melalui efeknya terhadap inflamasi, tetapi mungkin
juga menghambat rangsangan nyeri pada daerah subkortikal (Katzung, 1998).
c. Efek antipiretik
Demam yang menyertai infeksi dianggap sebagai akibat dari dua kerja. Pertama,
pembentukan prostaglandin di dalam susunan saraf pusat sebagai respon terhadapa bakteri
pirogen. Kedua, efek interleukin-1 (IL-1) pada hipotalamus. IL-1 dihasilkan oleh makrofag dan
dilepaskan selama respon peradangan, yang peranan utamanya adalah untuk mengaktivasi
limfosit. Asetosal akan menghambat pirogen yang diinduksi oleh PG maupun respon susunan
saraf pussat terhadap IL-1, sehingga dapat mengatur kembali pengontrol suhu di hipotalamus
(Katzung, 1998). Asetosal mengembalikan termostat kembali ke normal dan cepat menurunkan
suhu tubuh penderita demam dengan meningkatkan pengeluaran panas akibat vasodilatasi
perifer dan berkeringat (Mycek et a., 2001).
Efek Samping
Pada dosis yang biasa, efek asetosal yang paling berbahaya adalah gangguan lambung.
Efek ini bisa dikurangi dengan penyanggaan (buffering) yang sesuai (Katzung, 2002). Pada
orang sehat asetosal menyebabkan perpanjangan masa perdarahan. Hal ini dikarenakan asetilasi
ireversibel siklooksigenase trombosit menurunkan kadar trombosit TXA2, mengakibatkan
penghambatan agregasi trombosit dan perpanjangan waktu perdarahan (Wilmana dan Gan,
2007).
Asetosal bersifat hepatotoksik dan ini berkaitan dengan dosis. Gejala yang sering
terlihat hanya kenaikan SGOT (Serum Glutamic Oksaloacetic Transaminase) dan SGPT
(Serum Glutamic Piruvic Transaminase). Beberapa pasien dilaporkan menunjukkan
hepatomegali, anoreksia, mual, dan ikterus. Oleh karena itu asetosal tidak dianjurkan diberikan
kepada penderita penyakit hati kronik.
Penggunaan asetosal selama infeksi virus dihubungkan dengan peningkatan insiden
sindrom Reye. Walaupun belum dapat dibuktikan secara jelas, penelitian secara epidemiologis
menunjukkan ada hubungan antara asetosal dan sindrom Reye. Pada sindrom ini terjadi
kerusakan hati dan ensefalopati (Wilmana dan Gan, 2007). Sekitar 15 % pasien yang minum
6
asetosal mengalami reaksi hipersensitivitas. Gejala alergi yang asli adalah urtikaria,
bronkokonstriksi, atau edema angioneurotik (Mycek et al., 2001).
7
III. CARA KERJA
- Disiapkan
Tikus
- Ditimbang
- Dilakukan perhitungan dosis
- Dibuat larutan
Data
8
IV. PERHITUNGAN DAN HASIL PERCOBAAN
Parasetamol (500 mg/70 kgBB)
Dosis Konversi = 0,018 x 500
= 9 mg/ 200 gr
Larutan Stock = 9 mg / 5 ml
18 𝑥 593
Berat tablet yang diambil = = 21,3 mg / 5 ml = 42,6 mg/ 10 ml
500
9
Menit Jumlah Geliat
ke - Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4
0–5 1 1 0 0
6 – 10 1 0 0 0
11 – 15 2 1 3 0
16 – 20 0 0 2 0
21 – 25 0 1 0 1
26 – 30 3 3 2 0
31 – 35 1 2 0 1
36 – 40 4 4 0 0
41 – 45 7 7 1 0
46 - 50 8 9 0 1
51 - 55 5 4 0 1
56 - 60 4 5 0 3
Jumlah kumulatif 36 37 8 7
36
% Daya Analgetik Kelompok 1 (Parasetamol) = 100 – ( 𝑥 100) = 2,8 %
37
8
% Daya Analgetik Kelompok 3 (Asetosal) = 100 – ( 𝑥 100) = 78,4 %
37
7
% Daya Analgetik Kelompok 4 (Na Diklofenak) = 100 – ( 𝑥 100) = 81,1 %
37
10
Analgetik
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Jumlah Geliat Daya Analgetik %
V. PEMBAHASAN
Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi atau
menghalau rasa sakit atau nyeri. Tujuan dari percobaan kali ini adalah mengenal,
mempraktikkan, dan membandingkan daya analgetika dari obat parasetamol dan asetosal
menggunakan metode rangsang kimia. Percobaan ini dilakukan terhadap hewan percobaan,
yaitu tikus. Metode rangsang kimia digunakan berdasarkan atas rangsang nyeri yang
ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang digunakan untuk penetapan daya analgetika.
Percobaan menggunakan metode rangsangan kimia yang ditujukan untuk melihat
respon tikus terhadap Steril Asam Asetat (SSA) 0,6% yang dapat menimbulkan respon
menggeliat dan menarik kaki ke belakang dari tikus ketika menahan nyeri pada perut. Langkah
pertama yang dilakukan adalah pemberian obat-obat analgetik pada tiap tikus. Tikus
kelompok pertama diberikan larutan parasetamol secara per oral dan setelah 5 menit kemudian
diberi larutan SSA secara intra peritonial. Tikus kelompok kedua diberikan aquabidest
(bertindak sebagai kontrol) secara per oral dan setelah 5 menit kemudian diberi larutan SSA
secara intra peritonial. Tikus kelompok ketiga diberikan larutan asetosal secara per oral dan
setelah 5 menit kemudian diberi larutan SSA secara intra peritonial. Tikus kelompok keempat
diberikan larutan Na Diklofenak secara per oral dan setelah 5 menit kemudian diberi larutan
SSA secara intra peritonial. Pemberian SSA dilakukan secara intraperitonial karena untuk
11
mencegah penguraian steril asam asetat saat melewati jaringan fisiologik pada organ
tertentu dan larutan steril asam asetat dikhawatirkan dapat merusak jaringan tubuh jika
diberikan melalui rute lain, misalnya per oral, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat
tidak tahan terhadap pengaruh asam.
Pemberian asam asetat ini bertujuan untuk menimbulkan rangsang nyeri melalui
rangsang kimia. Pemberian bahan kimia tertentu akan merusak jaringan sehinggan memicu
keluarnya / terlepasnya mediator – mediator nyeri seperti bradikinin, prostaglandin dari
jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung – ujung saraf perifer
yang selanjutnya diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri yang oleh saraf sensoris melalui
sumsum tulang belakang dan talamus yang kemudian berupa rasa nyeri sebagai akibat dari
rangsang otak tersebut. Digunakan asam asetat yang merupakan asam lemah yang pada
dasarnya bersifat mengiritasi dan dapat membuat luka yang dapat menimbulkan rasa sakit/
nyeri, tetapi senyawa ini merusak jaringan lebih sedikit atau tidak permanen bila dibandingkan
dengan menggunakan asam atau basa kuat seperti asam chlorida, dsb.
Larutan steril asam asetat diberikan setelah 5 menit karena diketahui bahwa obat
yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan rasa
nyeri. Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan steril asam asetat 0,6 % tikus
akan menggeliat dengan ditandai dengan kejang perut dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah
geliat mencit dihitung setiap selang waktu 5 menit selama 60 menit.
Pada percobaan ini diperoleh data, jumlah kumulatif geliat pada tikus yang diberi
parasetamol adalah 36, tikus yang diberi aquadest adalah 37, tikus yang diberi asetosal adalah
8, dan tikus yang diberi Na Diklofenak adalah 7. Diperoleh juga data daya analgetik tikus yang
diberi parasetamol adalah 2,8 % , tikus yang diberi asetosal adalah 78,4 %, dan tikus yang diberi
Na Diklofenak 81,1 %.
Hasil vs Pustaka
Dari data percobaan yang diperoleh, diketahui bahwa jumlah kumulatif geliat pada tikus
dapat diurutkan menjadi Aquadest > Parasetamol > Asetosal > Na Diklofenak. Daya Analgetik
dari tinggi ke rendah adalah Na Diklofenak > Asetosal > Parasetamol>Aquadest. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa obat yang paling efektif dalam mengatasi nyeri yang diakibatkan oleh
rangsangan kimia adalah pertama Na Diklofenak, kedua Asetosal, dan ketiga Parasetamol.
Hal ini sesuai dengan literatur yang didapatkan, hanya saja perbedaan kumulatif dan
daya analgetik setiap obat yang terlalu sempit. Ada kemungkinan data yang didapatkan kurang
12
valid. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain praktikan sulit membedakan
antara geliatan yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena tikus merasa
kesakitan akibat penyuntikan intraperitoneal pada perut tikus, faktor penyuntikan yang
tertunda karena tikus sempat menolak.
Parasetamol vs Asetosal
Aspirin (sinonim : asetosal) adalah obat anti-nyeri tertua, yang sampai kini paling
banyak digunakan diseluruh dunia. (Tjay,2008). Mekanisme aksinya adalah dengan
menghambat sintesis prostaglandin, bertindak pada pusat regulasi panas hipotalamus untuk
mengurangi demam, memblok aksi sintesis prostaglandin dengan mencegah pembentukan dari
kumpulan – platelet zat thromboxone A2 (Lacy dan Amstrong, 2003). Asetosal merupakan
senyawa obat dengan golongan non narkotik yakni turunan asam salisilat yang bekerja dengan
menghambat biosintesis prostaglandin karena adanya proses asetilasi gugus aktif serin pada
COX2. Sebenarnya asetosal ini dapat menghambat kedua jenis enzim COX (COX1 dan COX2)
. Berikut mekanisme asetosal menghambat enzim COX dibagian (residu) serin – S30.
Asetosal/aspirin bereaksi secara kovalen dimana ikatan yang kovalen akan sulit terlepas/ terurai
, maka dari itu ikatan ini menghasilkan reaksi ang irreversibel. Hal ini menunjukkan bahwa
asetosal dapat menjadi obat analgesik yang cukup baik untuk antiflogistik,dsb.
Paracetamol merupakan senyawa obat yang juga golongan non narkotik yakni turunan
anilin (golongan fenasetin). Parasetamol adalah obat analgetik untuk pasien yang yang tidak
tahan terhadap asetosal (dikenal dengan nama popular : aspirin). Parasetamol adalah derivet p-
aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik/analgetik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus
aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgetik parasetamol
dapat mrnghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol yang merupakan metabolit fenasetin mempunai ciri khusus karena kerja
antipireutik dan analgetikanya yang baik. Namun memiliki antiflogistik yang sangat rendah.
Hal ini karena tidak adanya afinitas terhadap jaringan ikat siklooksigenase (COX). Sifat
antiinflamasinya sangat lemah sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Umumnya
parasetamol dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi
(pengobatan mandiri).
Maka dari itu jika dibandingkan degan asetosal, kekuatan Asetosal memiliki efek yang
lebih kuat dibandingkan paracetamol karena asetosal mengasetilasi gugus serin dan berikatan
kovalen dengan gugus serin. Hal ini menyebabkan prostaglandin tidak dapat terbentuk.
13
Sedangkan parasetamol mengurangi rasa nyeri dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase , karena enzimnya terhambat maka prostaglandin semakin sedikit yang
terbentuk sehingga nyeri yang timbul berkurang. Analgesik paracetamol lebih rendah. Pada
beberapa penelitian diduga paracetamol lebih spesifik menghambat COX3 dimana COX3
merupakan metabolit COX1. Dalam hal ini COX3 bertugas untuk menghasilkan prostaglandin
dengan efek sakit dan demam
VI. KESIMPULAN
Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan
akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita.
Obat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu Analgesik Non Opioid/Perifer (Non-
Opioid Analgesics), dan Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Pada percobaan yang dilakukan diperoleh hasil obat yang paling efektif dalam
mengatasi nyeri yang diakibatkan oleh rangsangan kimia adalah pertama Na
Diklofenak, kedua Asetosal, dan ketiga Parasetamol.
14
Lacy, C.F., Amstrong , L.L, Goldman, M.R.,
2003, Drug Information Handbook , 11st Edition, Apja, Lexi-Comp Inc, Canada, pp
25, 129
Mycek, M.J., Harvey, R.A., Champe, P.C, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar (edisi 2)
(Agus, A., penerjemah), Widya Medika, Jakarta
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia, Jakarta.
Wilmana, P. F,1995, Analgesik Antipiretik Antiinflamasi Non Steroid dan Obat Piri, Dalam
Ganiswarna, S. G. (Ed.). Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta
Wilmana, P. F. dan Gan, S., 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Jakarta: FK UI
VIII. LAMPIRAN
1. Ada berapa macam analgetika? Jelaskan beserta contohnya !
Berdasarkan farmakologisnya, analgetika dibagi menjadi dua kelompok, yakni :
a. Analgetika perifer (non-narkotik)
Analgetika perifer terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan bekerja secara
sentral. Yang termasuk analgetika perifer adalah analgetika antiradang. Contoh : parasetamol,
salisilat (asetosal), penghambat prostaglandin (ibuprofen), derivat antranilat (mefenamiat),
derivat pirazolon (propifenazon), dll.
b. Analgetika narkotik
Analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri yang hebat, seperti
pada fractura dan kanker. Selain itu analgetik narkotik disebut juga opioida, yaitu obat-obatan
yang daya kerjanya memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid. Contoh : morfin,
kodein, fentalin, metadon, tramadol, dll.
2. Ada berapa cara mekanisme kerja analgetika? Jelaskan dan berikan contohnya!
Ada 2, yaitu mekanisme kerja analgetik narkotik dan analgetik non-narkotik.
a. Mekanisme kerja analgetik narkotik :
- Pengikatan pada reseptor khas
- Stereospesifik dan stereoselektif (SBC) yang mengikat opioat pada suhu dan pH yang
optimum yaitu 35ºC dan 7,4. Contohnya : reseptor morfin.
15
b. Mekanisme kerja analgetik non-narkotik :
Menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada SSPb yang mengkatalisis
konsistensi prostaglandin, seperti siklooksigenase (COX) sehingga mencegah sintesisasi
reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator nyeri. Contoh : salisilat (asetosal), salisilat amida,
aminofinazon, dll.
3. Bagaimana mekanisme kerja dari parasetamol dan asetosal ? Mengapa hasilnya berbeda?
a. Mekanisme parasetamol adalah menghambat produksi prostaglandin (penyebab inflamasi),
namun parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat antiinflamasi. Parasetamol bekerja dengan
jalan menghambat sintesis prostaglandin pada SSP. Ini menerangkan efek antipiretik dan
analgetik, efeknya kurang terhadap siklooksigenase jaringan perifer, sehingga mengakibatkan
aktivitas inflamasinya rendah. Parasetamol tidak mempunyai fungsi trombosit atau
meningkatkan waktu pembekuan darah, serta efek samping yang ditimbulkan lebih sedikit
daripada asetosal.
b. Mekanisme kerja asetosal : asetosal paling efektif untuk mengurangi nyeri dengan intensitas
ringan sampai sedang. Asetosal berkerja secara perifer melalui efeknya terhadap inflamasi, juga
menghambat rangsangan nyeri pada daerah subkortikal. Asetosal atau aspirin adalah salah satu
dari obat yang paling sering dipakai untuk meredakan nyeri yang beragam, namun tidak efektif
untuk organ dalam seperti infraktus miokardium.
5. Cari dan jelaskan cara uji daya analgetika yang lain (3 contoh)!
a. Metode induksi rasa nyeri, cara panas
16
Prinsip metode : hewan percobaan yang ditempatkan diatas plat panas suhu tetap
sebagai stimulus nyeri akan memberikan respon dalam bentuk mengangkat atau menjilat
telapak kaki depan, atau meloncat. Selang waktu pemberian stimulus nyeri dan terjadinya
respon yang disebut waktu reaksi dapat diperpanjang oleh pengaruh obat-obat analgetika.
Perpanjangan waktu reaksi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran dalam mengevaluasi
aktivitas analgetika. Respon analgetik dinyatakan positif jika waktu reaksi ini setelah
pemberian obat lebih besar dari 30 detik yang terjadi paling sedikitnya satu kali atau apabila
paling sedikitnya tiga kali pembacaan memperlihatkan waktu reaksi sama dengan atau lebih
besar tiga kali waktu normal (sebelum pemberian obat uji atau kelompok kontrol). Data-data
yang diperoleh di evaluasi secara statistik dengan unit untuk memastikan apakah perbedaan
yang ditujukan oleh kelompok uji dengan kelompok kontrol sifatnya bermakna.
b. Metode penapisan analgetik untuk nyeri sendi
Prinsip metode : analgetika tertentu dapat mengurangi atau meniadakan rasa nyeri
sendiri, tipe nyeri artritis pada hewan percobaan yang ditimbulkan oleh suntikan intra artikulan
larutan AgNO3 1%. Data yang diperoleh untuk parameter saat muncul efek analgetik, dan
lamanya berlangsung efek analgetik untuk tiap perlakuan dianalisis dengan metode ANOVA.
c. Metode induksi cara kimia (Metode Sigmund)
Prinsip metode L obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan
rasa nyeri yang diinduksi secara kimia (pemberian fenil benzokuinon) pada hewan percobaan
mencit. Rasa nyeri ini pada mencit diperlihatkan dalam bentuk respon gerakan geliatan.
Frekuensi ini (gesekan) dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya.
Adanya jumlah geliatan yang lebih sedikit sampai 50% dari jumlah geliatan dalam kelompok
kontrol merupakan adanya aktivitas analgetika dalam obat uji.
17