Anda di halaman 1dari 12

Mohammad Hatta

"Hatta" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain, lihat Hatta (disambiguasi).
Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad
Athar, populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock (sekarang Drs. H.

Bukittinggi, Sumatra Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – Mohammad Hatta


meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah
tokoh pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia
yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk
memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus
memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat
sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia
mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih
dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi
Indonesia.[1][2]

Bandar udara internasional Tangerang Banten, Bandar Udara Soekarno-


Hatta, menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-
jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga
diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan
Wakil Presiden Indonesia ke-1
Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat.[3] Pada
tahun 1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Masa jabatan
Bung Hatta ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia 18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956
pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986.[4] Presiden Soekarno
Perdana Daftar
Menteri Sutan Sjahrir
Daftar isi Amir Sjarifoeddin
Kehidupan awal Mohammad Hatta
Latar belakang Mohammad Natsir
Pendidikan dan pergaulan
Soekiman W
Keluarga
Wilopo
Perjuangan dan pergerakan
1921-1932: Sewaktu di Belanda Ali Sastroamidjojo
1932-1941: Pengasingan Burhanuddin Harahap
1942-1945: Penjajahan Jepang
1945: Mempersiapkan kemerdekaan Republik Pendahulu Tidak ada, jabatan baru
Indonesia
Pengganti Sultan Hamengkubuwono IX
1945-1956: Menjadi Wakil Presiden pertama di
Indonesia Perdana Menteri Indonesia ke-3
1956-1980: Setelah pensiun Masa jabatan
Wafat 29 Januari 1948 – 5 September 1950
Mendapat gelar pahlawan Presiden Soekarno
Bung Hatta Award Pendahulu Amir Sjarifuddin
Lihat pula Pengganti Susanto Tirtoprodjo
Catatan bawah Mohammad Natsir
Referensi Menteri Pertahanan Indonesia
Bacaan lanjutan ad-interim
Pranala luar Masa jabatan
29 Januari 1948 – 15 Juli 1948
Presiden Soekarno
Kehidupan awal Pendahulu Amir Sjarifuddin
Pengganti Sri Sultan Hamengkubuwono
Latar belakang IX

Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Ketua Umum Palang Merah Indonesia ke-1
Saleha yang berasal dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang Masa jabatan
keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatra 1945–1946
Barat.[5] Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Pendahulu Tidak Ada
Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12
Pengganti Mas Sutardjo
Agustus 1902. Namanya, Athar berasal dari Bahasa Arab, yang berarti
Kertohadikusumo
"harum".[6] Ia merupakan anak kedua, setelah Rafiah yang lahir pada
Informasi pribadi
tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Lahir Muhammad Athar
Kakeknya dari pihak ayah, Abdurahman Batuhampar dikenal sebagai 12 Agustus 1902
ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang bertahan Fort de Kock, Hindia
pasca Perang Padri.[7] Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan Belanda
pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di (Kota Bukittinggi, Sumatra
Jakarta. Barat)
Meninggal 14 Maret 1980 (umur 77)
Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan.[6] Setelah
dunia Jakarta, Indonesia
kematian ayahnya, ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang
Kebangsaan Indonesia
pedagang dari Palembang,[8] Haji Ning sering berhubungan dagang
dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Dari Partai politik Non partai
perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai empat Pasangan Rahmi Rachim
orang anak, yang semuanya adalah perempuan.[6] Anak Meutia Hatta
Gemala Hatta
Halida Hatta
Pendidikan dan pergaulan
Tanda tangan
Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di
sekolah swasta.[9] Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan
sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun, pelajarannya berhenti pada
pertengahan semester kelas tiga.[10] Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini
SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913,[10] kemudian melanjutkan ke
MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah ditempa ilmu-
ilmu agama sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil
Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya.[11] Selain keluarga,
perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di
Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Usaha
dan juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara.[12]
Rumah Kelahiran Bung Hatta yang
Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik
sekarang terletak di Jalan Sukarno-Hatta,
School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara diJakarta.[13] Kota Bukittinggi

Kakeknya bermaksud akan keMekkah, dan pada kesempatan tersebut, ia dapat


membawa Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama, yakni ke Mesir (Al-Azhar).[14] Ini dilakukan untuk
meningkatkan kualitas surau di Batu Hampar yang memang sudah menurun semenjak ditinggalkan Syaikh Abdurrahman. Tapi, hal
ini diprotes dan mengusulkan pamannya, Idris untuk menggantikannya.[14] Menurut catatan Amrin Imran, Pak Gaeknya kecewa dan
uhan.[15]
Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan kepada T
Keluarga
Pada 18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari setelah menikah, mereka bertempat tinggal di Yogyakarta.
Kemudian, dikarunai 3 anak perempuan yang bernamaMeutia Farida Hatta, Gemala Rabi'ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.

Perjuangan dan pergerakan

1921-1932: Sewaktu di Belanda


Pergerakan politik ia mulai sewaktu bersekolah di Belanda dari 1921-1932. Ia
bersekolah di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut Economische
Hogeschool, sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam), selama
bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial Indische Vereeniging yang
kemudian menjadi organisasi politik dengan adanya pengaruh Ki Hadjar
Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker. Pada tahun 1923,
Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia Putera yang berganti
nama menjadi Indonesia Merdeka.[16] Pada tahun 1924, organisasi ini
berubah nama menjadi Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia;
PI).[17]
Hatta (berdiri, kedua dari kanan) bersama
para pengurus Perhimpunan Indonesia, Pada tahun 1926, ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai
pada waktu itu (tahun 1925) Hatta masih
akibatnya, ia terlambat menyelesaikan studi.[18] Di bawah kepemimpinannya,
berstatus seorang bendahara di situ
PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan
perkembangan pergerakan di Indonesia dengan memberikan banyak
komentar, dan banyak ulasan di media massa di Indonesia.[18] Setahun kemudian, ia seharusnya sudah berhenti dari jabatan ketua,
namun ia dipilih kembali hingga tahun 1930.[19] Pada Desember 1926, Semaun dari PKI datang kepada Hatta untuk menawarkan
pimpinan pergerakan nasional secara umum kepada PI,[18] selain itu dia dan Semaun membuat suatu perjanjian bernama "Konvensi
Semaun-Hatta". Inilah yang dijadikan alasan Pemerintah Belanda ingin menangkap Hatta.[20] Waktu itu, Hatta belum meyetujui
paham komunis. Stalin membatalkan keinginan Semaun, sehingga hubungan Hatta dengan komunisme mulai memburuk.[21] Sikap
[22]
Hatta ini ditentang oleh anggota PI yang sudah dikuasai komunis.

Pada tahun 1927, ia mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional" di
Frankfurt.[a] Dalam sidang ini, pihak komunis dan utusan dari Rusia tampak ingin menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak bisa
percaya terhadap komunis.[23] Pada waktu itu, majalah PI, Indonesia Merdeka masuk dengan mudah ke Indonesia lewat
polisian terhadap kaum pergerakan yang dicurigai.[24]
penyelundupan, karena banyak penggeledahan oleh pihak ke

Pada 25 September 1927, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk


Pamuntjak, dan Madjid Djojohadiningrat ditangkap oleh penguasa Belanda
atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang dikait-kaitkan dengan Semaun,
terlibat pemberontakan di Indonesia yang dilakukan PKI dari tahun 1926-
1927, dan menghasut (opruiing) supaya menentang Kerajaan Belanda. Moh.
Hatta sendiri dihukum tiga tahun penjara.[25] Mereka semua dipenjara di
Rotterdam.[26] Dia juga dituduh akan melarikan diri, sehingga dia yang sedang
memperkenalkan Indonesia ke kota-kota di Eropa sengaja pulang lebih cepat
begitu berita ini tersebar.[27]

Semua tuduhan tersebut, ia tolak dalam pidatonya "Indonesia Merdeka" Mohammad Hatta bersama Abdulmadjid
(Indonesie Vrij) pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928.[26] Pidato ini Djojohadiningrat, Nazir Datuk Pamuntjak,
sampai ke Indonesia dengan cara penyelundupan. Ia juga dibela 3 orang dan Ali Sastroamidjojo
pengacara Belanda yang salah satunya berasal dari parlemen. Yang dari parlemen, bernama J.E.W. Duys. Tokoh ini memang
bersimpati padanya. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka berempat dibebaskan dari tuduhan, karena tuduhan tidak bisa
dibuktikan.[28]

Sampai pada tahun 1931, Mohammad Hatta mundur dari kedudukannya sebagai ketua karena hendak mengikuti ujian sarjana,
sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia akan tetap membantu PI.[19] Akibatnya, PI jatuh ke tangan komunis, dan mendapat
arahan dari partai komunis Belanda dan juga dari Moskow. Setelah tahun 1931, PI mengecam keras kebijakan Hatta dan
mengeluarkannya dari organisasi ini.[29] PI di Belanda mengecam sikap Hatta sebab ia bersama Soedjadi mengkritik secara terbuka
[30]
terhadap PI. Perhimpunan menahan sikap terhadap kedua orang ini.

Pada Desember 1931, para pengikut Hatta segera membuat gerakan tandingan yang disebut Gerakan Merdeka yang kemudian
bernama Pendidikan Nasional Indonesia yang kelak disebut PNI Baru. Ini mendorong Hatta dan Syahrir yang pada saat itu sedang
bersekolah di Belanda untuk mengambil langkah kongkret untuk mempersiapkan kepemimpinan di sana. Hatta sendiri merasa perlu
untuk menyelesaikan studinya terlebih dahulu. Oleh karenanya, Syahrir terpaksa pulang dan untuk memimpin PNI.[31] Kalau Hatta
kembali pada 1932, diharapkan Syahrir dapat melanjutkan studinya.[31]

1932-1941: Pengasingan
Sekembalinya ia dari Belanda, ia ditawarkan masuk kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) untuk
menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya telegram
pada 6 Desember 1932, yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota Parlemen.[32] Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa
ia tidak setuju orang Indonesia menjadi anggota dalam parlemen Belanda.[33] Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia perlu
berada dan berjuang di Indonesia.[b] Namun, pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut,
kooperatif.[34]
sehingga Soekarno menuduhnya tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-

Setelah Hatta kembali dari Belanda, Syahrir tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap Belanda pada 25 Februari 1934
dan dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira.[35] Baik di Digul maupun Banda Neira, ia banyak menulis di koran-koran
Jakarta, dan ada juga untuk majalah-majalah di Medan. Artikelnya tidak terlalu politis, namun bersifat lebih menganalisis dan
mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas pertarungan kekuasaan diPasifik.[36]

Semasa diasingkan ke Digul, ia membawa semua buku-bukunya ke tempat pengasingannya. Di sana, ia mengatur waktunya sehari-
hari. Pada saat hendak membaca, ia tak mau diganggu. Sehingga, beberapa kawannya menganggap dia sombong.[37] Ia juga
merupakan sosok yang peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat, misalnya memberantas malaria.
[38] Gajinya itu tidak ia
Apabila ia mau bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia hanya diberi gaji f 2.50 saja.
[38]
habiskan sendiri. Ia juga peduli terhadap kawannya yang kekurangan.

Di Digul, selain bercocok tanam,[39] ia juga membuat kursus kepada para tahanan. Di antara tahanan tersebut, ada beberapa orang
yang ibadah shalat dan puasanya teratur; baik dari Minangkabau maupun Banten. Tapi, mereka ditangkap karena -pada umumnya-
terlibat pemberontakan komunis.[40] Pada masa itu, ia menulis surat untuk iparnya untuk dikirimi alat-alat pertukangan seperti paku
dan gergaji. Selain itu, dia juga menceritakan nasib orang-orang buangan dalam surat itu. Kemudian, ipar Hatta mengirim surat itu ke
koran Pemandangan di Jakarta dan segera surat itu dimuat. Surat itu dibaca menteri jajahan pada saat itu, Colijn.[41] Colijn
mengecam pemerintah dan segera mengirim residen Ambon untuk menemui Hatta di Digul. Maka uang diberikan untuknya, Hatta
[39]
menolak dan ia juga meminta supaya kalau mau ditambah, diberikan juga kepada pemimpin lain yang hidup dalam pembuangan.

Pada 1937, ia menerima telegram yang mengatakan dia dipindah dari Digul ke Banda Neira.[c] Hatta pindah bersama Syahrir pada
bulan Februari pada tahun itu, dan mereka menyewa sebuah rumah yang cukup besar. Di situ, ada beberapa kamar dan ruangan yang
[42]
cukup besar. Adapun ruangan besar itu digunakannya untuk menyimpan bukunya dan tempat bekerjanya.

Sewaktu di Banda Neira, ia bercocok tanam dan menulis di koran "Sin Tit Po" (dipimpin Liem Koen Hian; bulanan ini berhenti pada
1938) dengan honorarium f 75 dalam Bahasa Belanda. Kemudian, ia menulis di Nationale Commantaren (Komentar Nasional;
dipimpin Sam Ratulangi) dan juga, ia menulis di koran Pemandangan dengan honorarium f 50 sebulan per satu/dua tulisan.[43] Hatta
juga pernah menerima tawaranKiai Haji Mas Mansuruntuk ke Makassar, dia menolak dengan alasan kalaupun dirinya ke Makassara
dia masih berstatus tahanan juga.[44] Waktu itu, sudah ada Cipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri. Mereka semua sudah
saling mengenal.

Selain itu, di Banda Neira, Hatta juga mengajar kepada beberapa orang pemuda. Anak dr. Cipto belajar tata-buku dan sejarah. Ada
juga anak asli daerah Banda Neira yang belajar kepada Hatta. Ada seorang kenalan Hatta dari Sumatra Barat yang mengirimkan dua
orang kemenakannya untuk belajar ekonomi dan juga sejarah.[45] Selain itu, dari Bukittinggi dikirim Anwar Sutan Saidi sebanyak
empat orang pemuda yang belajar kepada Hatta.[46]

Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis artikel di koran Pemandangan yang isinya supaya rakyat Indonesia jangan memihak
kepada baik ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang. Kelak, pada zaman Jepang tulisan Hatta dijadikan bahan oleh penguasa Jepang
untuk tidak percaya Hatta selama Perang Pasifik.[47] Yang mana, kelak tulisan Hatta dibaca Murase, seorang Wakil Kepala Kenpeitei
(dinas intelijen) dan menyarankan Hatta agar mengikutiNippon Sheisin di Tokyo[48] pada November 1943.[49]

1942-1945: Penjajahan Jepang


Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah
Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda
memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta
dan Syahrir dipindahkan pada Februari 1942,[50] ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api ke Jakarta.
Bersama kedua orang ini, turut pula 3 oranganak-anak dari Banda yang dijadikan anak angkat oleh Syahrir.[51]

Setelah itu, ia dibawa kembali ke Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke
Indonesia. Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta menolak, dan memilih
menjadi penasihat.[52] Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje Boulevard (Jalan
Diponegoro). Orang terkenal pada masa sebelum perang, baik orang pergerakan, atau mereka yang bekerja sama dengan Belanda,
diikutsertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkususmo,Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo
Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru. Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh pihak
Jepang.[53] Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasihat yang menguntungkan mereka, malah Hatta memanfaatkan itu
untuk membela kepentingan rakyat.[54]

1945: Mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia


Saat-saat mendekati Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara
Indonesia. Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Anggota lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin,
Achmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.[55]

Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno danRadjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk
dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil
kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung
oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklokhari dimana
Bung Karno bersama Bung Hatta diculik kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong,
di sebuah kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).[56]

Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam
hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan
Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk
mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan
kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu
tanpa kaitan lagi dengan Jepang.[57]
1945-1956: Menjadi Wakil Presiden pertama di Indonesia
Pada 17 Agustus 1945, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia dia bersama Soekarno resmi
memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pukul 10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada tanggal 18
Agustus 1945, dia resmi dipilih sebagai W [58]
akil Presiden RI yang pertama mendampingi Presiden Soekarno.

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan nada sangat marah, menyelamatkan Republik dengan
mempertahankan naskah Linggarjati di Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947 dan
hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak
pada 6 Maret 1947.[59]

Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda Ipada 21 Juli 1947, Hatta dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda dan pada saat itu
dia masih berada di Pematangsiantar. Dia dengan selamat bersama dengan Gubernur Sumatra Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi.
Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya yang menetapkan tanggal 12 Juli sebagai
Hari Koperasi di Indonesia. Kemudian dalam Kongres Koperasi II di Bandung tanggal 12 Juli 1953, Bung Hatta diangkat sebagai
Bapak Koperasi Indonesia.[60]

Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak memperjuangkan sampai berhasil Perjanjian Renville
dengan berakibat jatuhnya Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29 Januari
[61]
1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan.

Suasana panas waktu timbulPemberontakan PKI Madiundalam bulan September 1948, memuncak pada penyerbuan tentara Belanda
ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada
tahun yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka. Beberapa waktu setelah pengasingan karena
mengalami adanya sebuah perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili Australia dan
Cochran mewakili Amerika.[62]

Pada Juli 1949, terjadi kemenangan Cochran dalam menyelesaikan


perundingan Indonesia. Tahun ini, terjadilah sebuah perundingan
penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag
sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949 kedaulatan
NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda
pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat
kecuali Irian Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun
setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak
sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di
Mohammad Hatta berpidato di hadapan para
Jakarta.[61][63] peserta Konferensi Persiapan Nasional di
Jakarta pada 26 November 1949. Tampak
Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di
Sartono (duduk deretan depan no.2 dari kiri)
Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan mendengarkan dengan saksama.
Hamengku Buwono IX. Sehingga pada akhirnya negara Indonesia
menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Bung Hatta terpilih
menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno
menjadi Presiden RIS. Ternyata RIS tidak berlangsung lama, dan pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dan Perdana MenteriMohammad Natsir.[64] Bung Hatta menjadi Wakil Presiden
RI lagi dan berdinas di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 Jakarta.

Pada tahun 1955, Mohammad Hatta membuat pernyataan bahwa bila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia
akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden.[65] Menurutnya, dalam negara yang mempunyai kabinet parlementer, Kepala
Negara adalah sekadar simbol saja, sehingga W
akil Presiden tidak diperlukan lagi.
Pada tanggal 20 Juli 1956, Mohammad Hatta menulis sepucuk surat
kepada Ketua DPR pada saat itu, Sartono yang isinya antara lain,
"Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa
sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai
bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah
tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil
presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan
jabatan itu secara resmi."[66]

DPR menolak secara halus permintaan Mohammad Hatta tersebut,


dengan cara mendiamkan surat tersebut. Kemudian, pada tanggal 23 Kunjungan kerja Wakil Presiden Moh.Hatta ke
Yogyakarta tahun 1950. Tampak dalam
November 1956, Bung Hatta menulis surat susulan yang isinya sama,
gambar,paling kiri, Mayor Pranoto
bahwa tanggal 1 Desember 1956, dia akan berhenti sebagai Wakil
Reksosamodra sebagai Komandan Militer Kota
Presiden RI. Akhirnya, pada sidang DPR pada 30 November 1956, DPR Besar Yogyakarta.
akhirnya menyetujui permintaan Mohammad Hatta untuk mengundurkan
diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden, jabatan yang telah dipegangnya
selama 11 tahun.[67]

Di akhir tahun 1956 juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak ingin memasukkan unsur komunis dalam
kabinet pada waktu itu. Sebelum ia mundur, dia mendapatkan gelar Doctor Honoris Causadari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Sebenarnya gelar Doctor Honoris Causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun, gelar tersebut baru diberikan pada 27 November
1956.[68] Demikian pula Universitas Indonesia pada tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta belum bersedia
menerimanya. Kata dia, “Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun.”.

1956-1980: Setelah pensiun


Setelah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember
1956, dia dan keluarga berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka Selatan 13
ke Jalan Diponegoro 57. Bung Hatta tak pernah menyesal atas keputusan yang
telah ia buat. Kegiatan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun adalah
menambah dari penghasilan menulis buku dan mengajar. Meskipun sudah tak
menjabat lagi sebagai Wakil Presiden, pada tahun 1957 dia berangkat ke Cina
karena mendapat undangan dari Pemerintah RRC. Rakyat sana masih
menganggap dia sebagai “a great son of his country”, terbukti dari
penyambutan yang seharusnya diberikan kepada seorang kepala negara di
mana PM Zhou Enlai sendiri menyambut dia yang bukan lagi sebagai wakil
Foto terakhir Bung Hatta sebelum masuk
presiden.[69] rumah sakit, tanggal 1 Maret 1980. Di
sebelah kanan adalah Ny. Moenadji
Tahun 1963 Bung Hatta pertama kali mengalami jatuh sakit dan mendapatkan
Soerjohadikoesoemo.
perawatan di Stockholm, Swedia atas perintah Soekarno, dengan biaya negara,
karena perlengkapan medis di sana lebih lengkap.[70]

Pada 31 Januari 1970, melalui Keppres No. 12/1970 telah dibentuk Komisi Empat yang bertugas mengusut masalah korupsi. Untuk
keperluan itu Dr. Moh. Hatta (mantan Wakil Presiden RI) telah diangkat menjadi Penasehat Presiden dalam masalah pemberantasan
Korupsi. Komisi Empat ini diketuai oleh Wilopo, SH, dengan anggota-anggota: IJ Kasimo, Prof. Dr. Yohanes, H. Anwar
Tjokroaminoto, dengan sekretaris Kepala Bakin/Sekretaris Kopkamtib, Mayjen. Sutopo Juwono. Dr. Moh. Hatta juga ditunjuk
sebagai Penasehat Komisi Empat tersebut. Tetapi secara kontroversial, Presiden Suharto membubarkan komisi tersebut dan hanya
[71]
memberikan izin untuk mengusut tuntas 2 kasus korupsi saja.
Hatta dipercaya oleh
Presiden Soeharto untuk
menjadi Anggota
Dewan Penasehat
Presiden. Pada 15
Agustus 1972, Bung
Hatta mendapat
Mereka yang sibuk pada masa Revolusi anugerah Bintang
berkumpul kembali tahun1979 ketika Republik Indonesia
Richard C. Kirby, yang dulu mewakili Kelas I dari Pemerintah
Australia dalam Komite Jasa BaikPBB Sri Sultan Hamengkubuwono IXyang juga
Republik Indonesia.
untuk Indonesia (KTN), berkunjung ke pernah menjabat sebagai Wakil Presiden
Kemudian, pada tahun
Jakarta. Dari kanan : Ali Budiardjo RI tampak serius berbicara dengan
(pembantu politik Hamengkubuwono IX yang sama Pemerintah Mohammad Hatta.
menjelang RIS), Mohammad Hatta, Provinsi DKI Jakarta
Richard C. Kirby, Mohammad Roem, Sri mengangkat dia sebagai
Sultan Hamengkubuwono IX, Subadio warga utama Ibukota Jakarta dengan segala fasilitasnya, seperti perbaikan
Sastrosatomo, Mohammad Natsir, Tamzil,
besarnya pensiun dan penetapan rumah dia menjadi salah satu gedung yang
dan Thomas K. Critchley yang
bersejarah di Jakarta.
menggantikan Kirby dalam KomitePBB.
Kemudian, pada tahun 1975, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima
bersama Prof Mr. Soebardjo, Prof Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr.
Pringgodigdo untuk memberi pengertian mengenai Pancasila sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir dan batin para penyusun
UUD 1945 dengan Pancasilanya. Ternyata, Bung Hatta resmi menjadi Ketua Panitia Lima. Tak hanya itu, Bung Hatta kembali
mendapatkan gelar doctor honouris causa sebagai tokoh proklamator dari Universitas Indonesia yang seharusnya diberikan pada
tahun 1951. Pemberian gelar tersebut dilakukan di Jakarta pada 30 Juli 1975 dan diberikan secara langsung oleh Rektor Mahar
Mardjono.[72]

Pada Tahun 1978 bersama-sama Jenderal Abdul Haris Nasution, Bung Hatta mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi
Suharto.[73]
yang bertujuan mengkritik penggunaan Pancasila dan UUD 1945 untuk kepentingan rezim otoriter

Dan pada tahun 1979, dimana tahun tersebut merupakan tahun ke-5 Bung Hatta masuk ke rumah sakit. Kesehatan Bung Hatta
semakin menurun. Walaupun begitu, semangatnya tetap saja tinggi. Ia masih mengikuti perkembangan politik dunia.

Wafat
Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 pk18.56 di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Selama
hidupnya, Bung Hatta telah dirawat di rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun
1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan terakhir pada 3 Maret 1980. Keesokan
harinya, dia disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan
dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta disambut dengan upacara
kenegaraan yang dipimpin secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu,
Adam Malik. Ia ditetapkan sebagai pahlawan proklamator pada tahun 1986
oleh pemerintahan Soeharto.[74][75]

Mendapat gelar pahlawan


Setelah wafat, Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada
Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan mendiang Bung Karno. Logo Bung Hatta Anti-Corruption Award
(BHACA).
Pada 7 November 2012, Bung Hatta secara resmi bersama dengan Bung Karno

[76]
udhoyono sebagai Pahlawan Nasional.[76]
ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Y

Bung Hatta Award


Artikel utama: Bung Hatta Award
Sejak 9 April 2003, Perkumpulan BHACA yang diprakarsai oleh Theodore Permadi Rachmat dan Teten Masduki menyelenggarakan
perhelatan penganugerahan Bung Hatta Award yang diserahkan kepada para tokoh Indonesia dari berbagai latar belakang profesi
yang dinilai memiliki komitmen anti-korupsi. Beberapa tokoh yang pernah menerima penghargaan tersebut antara lain Tri Risma
Harini, Basuki Tjahaja Purnama, dan Joko Widodo.[77]

Lihat pula
Daftar Wakil Presiden Indonesia

Catatan bawah
a. ^ Nama aslinya adalah "Liga tegen Imperialisme, tegen Koloniale Onderdrukking en voor Nationale
Onafhankelijkheid" (Noer 2012, hlm. 21).
b. ^ Menurut Soejitno Hardjosoediro (1984), Hatta pernah melakukanwawancara dengan Sin Tit Po dan Oetoesan
Indonesia, Mohammad Hatta menolak masuk karena harus mengerahkan tenaganya terhadap perjuangan di
Indonesia. Sebelumnya, ia berpendapat hanya menyerahkan masalah ini pada PNI.Hardjosoediro
( 1984, hlm. 52).
c. ^ Sementara Amrin Imran menulis Hatta pindah ke Banda Neira pada 1937, Deliar Noer malah menulis pada tahun
1936 (Noer 2012, hlm. 52).

Referensi
1. ^ Mohammad Hatta, Buku 1 Kebangsaan dan Kerakyatan , PT Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998.
2. ^ Galeri Buku Jakarta: Mohammad Hatta: Di Atas Segala Lapangan a Tnah Air Aku Hidup, Aku Gembira(http://galeri
bukujakarta.com/mohammad-hatta-di-atas-segala-lapangan-tanah-air-aku-hidup-aku-gembia/) , diakses 20 Juni 2017
3. ^ Postcode.nl: Mohammed Hattastraat 4, 2033CJ, Haarlem(http://www.postcode.nl/2033CJ/4), diakses 20 Juni 2017
4. ^ Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia(http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Pahlawan&ops
i=mulai-2), Departemen Sosial RI Online,Januari 2010. Diakses 26 Agustus 2012.
5. ^ Noer 2012, hlm. 3.
6. ^ a b c Imran 1991, hlm. 2.
7. ^ Imran 1991, hlm. 1.
8. ^ Noer 2012, hlm. 4.
9. ^ Imran 1991, hlm. 4.
10. ^ a b Imran 1991, hlm. 4-5.
11. ^ Noer 2012, hlm. 5.
12. ^ Noer 2012, hlm. 8, 9.
13. ^ Noer 2012, hlm. 9.
14. ^ a b Noer 2012, hlm. 9-10.
15. ^ Imran 1991, hlm. 7.
16. ^ Imran 1991, hlm. 23.
17. ^ Noer 2012, hlm. 17-18.
18. ^ a b c Noer 2012, hlm. 19.
19. ^ a b Imran 1991, hlm. 24.
20. ^ Imran 1991, hlm. 28.
21. ^ Noer 2012, hlm. 19-20.
22. ^ Noer 2012, hlm. 20.
23. ^ Noer 2012, hlm. 20-21.
24. ^ Noer 2012, hlm. 23-24.
25. ^ Hardjosoediro 1984, hlm. 27; Noer 2012, hlm. 25.
26. ^ a b Imran 1991, hlm. 29.
27. ^ Noer 2012, hlm. 25.
28. ^ Noer 2012, hlm. 29.
29. ^ Noer 2012, hlm. 33.
30. ^ Hardjosoediro 1984, hlm. 41.
31. ^ a b Noer 2012, hlm. 42.
32. ^ Hardjosoediro 1984, hlm. 51.
33. ^ Noer 2012, hlm. 37-38.
34. ^ Noer 2012, hlm. 38.
35. ^ Noer 2012, hlm. 42-43.
36. ^ Noer 2012, hlm. 50-51.
37. ^ Noer 2012, hlm. 47, 50.
38. ^ a b Noer 2012, hlm. 50.
39. ^ a b Imran 1991, hlm. 47.
40. ^ Noer 2012, hlm. 51-52.
41. ^ Imran 1991, hlm. 46-47.
42. ^ Imran 1991, hlm. 47-48.
43. ^ Noer 2012, hlm. 54-55.
44. ^ Noer 2012, hlm. 55.
45. ^ Imran 1991, hlm. 48.
46. ^ Noer 2012, hlm. 56.
47. ^ Noer 2012, hlm. 57.
48. ^ Imran 1991, hlm. 58.
49. ^ Noer 2012, hlm. 69.
50. ^ Imran 1991, hlm. 52; Noer 2012, hlm. 59.
51. ^ Noer 2012, hlm. 59.
52. ^ Imran 1991, hlm. 53.
53. ^ Noer 2012, hlm. 61.
54. ^ Imran 1991, hlm. 54.
55. ^ Amini, Aisyah (2004). Pasang surut peran DPR-MPR, 1945-2004. University of Michigan Press. ISBN 979-982-
524-5, ISBN 978-979-9825-24-7
56. ^ "Kisah penculikan Soekarno dan Hatta". Merdeka.com. 12 Agustus 2012. Diakses tanggal 14 Juni 2017.
57. ^ Kebudayaan-Depdiknas:Peristiwa Rengasdengklok(http://www.kebudayaan.depdiknas.go.id/BudayaOnline/SeniB
udaya/Sejarah/PERANG/n_jabar.htm)
58. ^ Bogor Indonet: Indoensia Tugu Peringatan Jerman(http://www.bogor.indo.net.id/indonesia.tuguperingatanjerman/#
akhir), diakses 13 Juni 2017
59. ^ Media Indonesia: Perundingan Linggarjati Ditandatangani(http://www.mediaindonesia.com/index.php/news/read/7
7391/1945-perundingan-linggarjati-ditandatangani/2016-11-15), diakses 15 Juni 2017
60. ^ Rachmat. Ringkasan Pengetahuan Sosial. Grasindo. hlm. 144. Diakses tanggal 14 Juni 2017.
61. ^ a b Ide Anak Agung Gde Agung (1973) Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945-1965 Mouton & Co ISBN
979-8139-06-2
62. ^ Historia.id: Akhir Tragis Republik Komunis(http://historia.id/buku/akhir-tragis-republik-komunis)
, Diakses tanggal
30 September 2015.
63. ^ Kahin, George McTurnan (1952) Nationalismand Revolution in Indonesia Cornell University Press,ISBN 0-8014-
9108-8
64. ^ "NKRI: Gagasan Mosi Integral Natsir". detikNews. 12 November 2008. Diakses tanggal 15 Juni 2017.
65. ^ "Sang Proklamator". Tokoh Indonesia. Diakses tanggal 14 Juni 2017.
66. ^ Merdeka: Berpolitik tanpa bermusuhan (3): Soekarno dan Hatta(http://www.merdeka.com/peristiwa/berpolitik-tanp
a-bermusuhan-3-soekarno-dan-hatta.html), diakses 20 Juni 2017
67. ^ Merdeka: Bung Hatta terjepit Soekarno dan Soeharto(https://www.merdeka.com/peristiwa/bung-hatta-terjepit-soek
arno-dan-soeharto.html), diakses 13 Juni 2017
68. ^ "Soekarno-Hatta, Penerima Gelar Doktor Honoris Causa Pertama Dari UGM" . Universitas Gadjah Mada. 17
Desember 2014. Diakses tanggal 14 Juni 2017.
69. ^ BigMagz: Biografi Singkat Mohammad Hatta(http://www.bimagz.com/2016/01/biografi-singkat-mohammad-hatta.ht
ml) diakses 2 Juli 2017
70. ^ Google Books: Demi Bangsaku: Pertentangan Sukarno vs Hatt , Wawan Tunggul SH, (http://books.google.co.id/boo
ks?id=WZ8fVpWvLjMC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false) Gramedia Pustaka UtamaJakarta, 2003,
diakses 20 Juni 2017
71. ^ Keputusan Presiden No. 12 tahun 1970
72. ^ Perpustaaan Nasional RI:Panitia Lima (http://onesearch.perpusnas.go.id/Record/IOS1-INLIS000000000288597) ,
diakses 13 Juni 2017
73. ^ Trove.NLA.gov.au: Lembaga Kesadaran Berkonstitusi 45. Publikasi I-III.(http://trove.nla.gov.au/work/21037039?q&
versionId=25028833), diakses 13 Juni 2017
74. ^ Soeharto: Bung Hatta Wafat (http://soeharto.co/bung-hatta-wafat), diakses 13 Juni 2017
75. ^ Harian Sejarah: Kematian Bung Hatta 14 Maret 1980(http://www.hariansejarah.id/2017/03/kematian-bung-hatta-14
-maret-1980.html), diakses 13 Juni 2017
76. ^ The Jakarta Post: Aritonang 2012, Sukarno, Hatta(http://www.thejakartapost.com/news/2010/11/12/doctor-army-of
ficer-named-national-heroes.html), diakses 19 Februari 2013
77. ^ The Jakarta Post: Ahok Gets 2013 Bung Hatta Anti Corruption A ward (http://www.thejakartapost.com/news/2013/1
0/16/ahok-gets-2013-bung-hatta-anti-corruption-award.html) , diakses 19 Mei 2015

Daftar pustaka

Noer, Deliar (2012). Jaap Erkelens, ed. Mohammad


Soejitno, Hardjosoediro (1984).Kronologi Pergerakan Hatta:Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Parmita. Utama. ISBN 978-979-709-633-5.
Imran, Amrin (1991). Mohammad Hatta:Pejuang,
Proklamator, Pemimpin, Manusia Biasa. Jakarta:
Mutiara Sumber Widya.OCLC 9072338.

Bacaan lanjutan
Hatta, Mohammad, Mohammad Hatta Memoir , Tinta Mas Jakarta, 1979
Deliar Noer. 1990. Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.
Greta O. Wilson (ed.). 1978.Regents, reformers, and revolutionaries: Indonesian V
oices of Colonial Days. Asian
Studies at Hawaii, no 21. The University Press of Hawaii.
George McTurnan Kahin. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1975.30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung
Persada
Swasono, Meutia Farida. 1981.Bung Hatta Pribadinya Dalam Kenangan. Jakarta: Sinar Harapan
Team Dokumentasi Presiden RI. 2003.Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973 . Jakarta: PT. Citra
Kharisma Bunda
Tim Penyusun. 1981. Bung Hatta. Jakarta: (unknown)
Wahyu, Christoporus. 2012. Pemerintah Akhirnya Akui Bung Karno-Bung Hatta Pahlawan Nasional. ersedia:
T
http://nasional.kompas.com/read/2012/11/06/18304773/Pemerintah.Akhirnya.Akui.Bung.Karno-
Bung.Hatta.Pahlawan.Nasional[11 November 2014]

Pranala luar
(Indonesia) "Sang Proklamator" Bio Mohammad Hatta di Ensiklopedi Wikimedia Commons
Tokoh Indonesia
memiliki media mengenai
(Indonesia) Turun Gunung: Bung Hatta 11 Tahun di Belanda (20 Mohammad Hatta.
September 1921 - 20 Juli 1932)

Jabatan politik

Wakil Presiden Indonesia Jabatan lowong


Posisi baru Selanjutnya dijabat oleh
1945–1956
Hamengkubuwono IX
Didahului oleh: Perdana Menteri Indonesia Diteruskan oleh:
Amir Sjarifoeddin 1948–1950 Abdul Halim
Menteri Luar Negeri
Didahului oleh: Diteruskan oleh:
Indonesia
Agus Salim Mohammad Roem
1949–1950
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Mohammad_Hatta&oldid=14927157
"

Halaman ini terakhir diubah pada 22 Maret 2019, pukul 00.44.

Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons


; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat
Ketentuan Penggunaanuntuk lebih jelasnya.

Anda mungkin juga menyukai