Nama Kelompok:
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam suatu organisasi selalu melibatkan beberapa orang yang saling berinteraksi secara
intensif. Interaksi tersebut disusun dalam suatu struktur yang dapat membantu dalam usaha
pencapaian tujuan bersama. Agar pelaksanaan kerja dalam organisasi dapat berjalan sebagaimana
mestinya maka dibutuhkan sumber seperti perlengkapan, metode kerja, bahan baku, dan lain-lain.
Usaha untuk mengatur dan mengarahkan sumber daya ini disebut dengan manajemen. Sedangkan
inti dari manajemen adalah kepemimpinan (leadership) (Siagian, 1980).
Upaya membangun keefektifan pemimpin terletak semata pada pembekalan dimensi
keterampilan teknis dan keterampilan konseptual. Adapun keterampilan personal menjadi
terpinggirkan. Padahal sejatinya efektifitas kegiatan manajerial dan pengaruhnya pada kinerja
organisasi, sangat bergantung pada kepekaan pimpinan untuk menggunakan keterampilan
personalnya. Keterampilan personal tersebut meliputi kemampuan untuk memahami perilaku
individu dan perilaku kelompok dalam kontribusinya membentuk dinamika organisasi,
kemampuan melakukan modifikasi perilaku, kemampuan memahami dan memberi motivasi,
kemampuan memahami proses persepsi dan pembentukan komunikasi yang efektif, kemampuan
memahami relasi antar konsep kepemimpinan kekuasaan politik dalam organisasi kemampuan
memahami genealogi konflik dan negosiasinya, serta kemampuan mengkonstruksikan budaya
organisasi yang ideal.
Upaya membangun keterampilan personal tersebut selaras dengan perkembangan kajian
Organizational Studies (Teori Organisasi, Perilaku Organisasi, Manajemen SDM, dan
Kepemimpinan), yang menemukan kontekstualisasinya dalam semangat pendekatan human
relations. Organisasi birokrasi publik pun idealnya tidak terlepas dari arah perkembangan ini.
Dalam hal ini, paradigma organisasi birokratik-weberian yang berkarakter (terlalu) impersonal dan
dingin, mendapatkan tantangan serius dari paradigma post-birokrasi yang lebih humanis
BAB II
ISI
Untuk dapat mencapai filosofi tersebut dibutuhkan kepemimpinan yang berorientasi pada
peningkatan kualitas secara berkesinambungan. Kepemimpinan seperti itu memiliki beberapa
karakteristik berikut (Ross, 1994, p. 34):
Berdasarkan pada bagan atau gambar proses komunikasi tersebut, suatu pesan, sebelum
dikirim, terlebih dahulu disandikan (encoding) ke dalam simbol-simbol yang dapat
menggunakan pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh pengirim. Apapun simbol
yang dipergunakan, tujuan utama dari pengirim adalah menyediakan pesan dengan suatu cara
yang dapat memaksimalkan kemungkinan dimana penerima dapat menginterpretasikan
maksud yang diinginkan pengirim dalam suatu cara yang tepat. Pesan dari komunikator akan
dikirimkan kepada penerima melaui suatu saluran atau media tertentu. Pesan yang di terima
oleh penerima melalui simbol-simbol, selanjutnya akan ditransformasikan kembali (decoding)
menjadi bahasa yang dimengerti sesuai dengan pikiran penerima sehingga menjadi pesan yang
diharapkan (perceived message) .
Hasil akhir yang diharapkan dari proses komunikasi yakni supaya tindakan atau pun
perubahan sikap penerima sesuai dengan keinginan pengirim. Akan tetapi makna suatu pesan
dipengaruhi bagaimana penerima merasakan pesan itu sesuai konteksnya. Oleh sebab itu,
tindakan atau perubahan sikap selalu didasarkan atas pesan yang dirasakan. Adanya umpan
balik menunjukkan bahwa proses komunikasi terjadi dua arah, artinya individu atau kelompok
dapat berfungsi sebagai pengirim sekaligus penerima dan masing-masing saling berinteraksi.
Interaksi ini memungkinkan pengirim dapat memantau seberapa baik pesan-pesan yang
dikirimkan dapat diterima atau apakah pesan yang disampaikan telah ditafsirkan secara benar
sesuai yang diinginkan.
Dalam kaitan ini sering digunakan konsep kegaduhan (noise) untuk menunjukkan
bahwa ada semacam hambatan dalam proses komunikasi yang bisa saja terjadi pada pengirim,
saluran, penerima atau umpan balik. Dengan kata lain, semua unsur-unsur atau elemen proses
komunikasi berpotensi menghambat terjadinya komunikasi yang efektif. Hambatan tersebut
diuraikan dalam hambatan-hambatan dalam komunikasi.
2.6 Manajemen Konflik
Manajemen Konflik adalah suatu proses aksi dan reaksi yang diambil oleh para pelaku
konflik atau pihak ketiga secara rasional dan seimbang, dalam rangka pengendalian situasi dan
kondisi perselisihan yang terjadi antara beberapa pihak.
Manajemen konflik merupakan suatu pendekatan yang berorientasi pada proses
mengarahkan dalam bentuk komunikasi dari para pelaku konflik dan pihak ketiga, dan
bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan interpretasi. Konflik sering terjadi, baik
dalam pelaksanaan operasional bisnis maupun dalam kehidupan manusia sehari-hari. Berbagai
inovasi dan perubahan di masyarakat seringkali menimbulkan adanya konflik, terutama jika
perubahan tidak disertai dengan pemahaman tentang ide-ide yang sedang berkembang.
A. Tujuan Manajemen Konflik
Setelah memahami pengertian manajemen konflik, tentunya kita juga harus mengetahui
apa tujuannya. Berikut ini adalah beberapa tujuan manajemen konflik pada sebuah
organisasi:
1. Untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap anggota organisasi, sehingga dapat
fokus kepada visi dan misi organisasi
2. Untuk meningkatkan kreatifitas anggota organisasi dengan mengambil manfaat dari
konflik yang terjadi
3. Untuk membangun rasa saling menghormati antar sesama anggota organisasi dan
menghargai keberagaman
B. Manfaat Manajemen Konflik di Perusahaan
Mengacu pada pengertian manajemen konflik, semua organisasi (baca: pengertian
organisasi) yang berorientasi pada keuntungan jangka panjang pasti menerapkan dan
mengembangkan manajemen konflik. Berikut ini adalah beberapa manfaat manajemen
konflik pada organisasi/ perusahaan:
1. Evaluasi Sistem
Organisasi tidak dapat melakukan evaluasi terhadap efektivitas sistem jika tidak terjadi
konflik di dalamnya. Dengan adanya konflik maka organisasi akan dapat melakukan
identifikasi apakah sistem yang diterapkan berjalan dengan baik atau perlu perbaikan.
2. Mengembangkan Kompetensi
Penanganan manajemen konflik yang baik akan meningkatkan dan mengembangkan
kompetensi sebuah organisasi, khususnya dalam hal kompetensi non-teknis. Dengan
strategi manajemen konflik yang tepat maka kemampuan organisasi dalam menangani
konflik internal akan semakin kuat.
C. Strategi Manajemen Konflik
Menurut Stevenin, ada lima langkah mendasar dalam memahami manajemen konflik
dengan baik. Dengan memahami kelima langkah dasar ini maka organisasi akan lebih
mudah dalam menentukan strategi terbaik dalam penanganan konflik.Berikut ini adalah
lima langkah manajemen konflik yang paling mendasar:
1. Pengenalan
Ini merupakan langkah awal dalam manajemen konflik, yaitu dengan mengenali
permasalahan yang terjadi, siapa yang terlibat konflik, dan bagaimana keadaan di sekitar
selama terjadinya konflik. Ini merupakan informasi awal yang penting dalam manajemen
konflik.
2. Diagnosis
Setelah mendapat informasi pada point #1, selanjutnya adalah melakukan analisis untuk
mengetahui penyebab konflik. Untuk melakukan hal ini diperlukan metode yang benar dan
telah teruji, serta fokus terhadap masalah utama dalam konflik yang terjadi.
3. Menyepakati Solusi
Setelah melalui proses diagnosis, selanjutnya organisasi bisa menemukan dan
menentukan solusi apa yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Solusi yang ditentukan harus dibicarakan secara bersama dengan pihak yang berkonflik
dengan bantuan pihak penengah. Selanjutnya, maka semua pihak melakukan pelaksanaan
kesepakatan.
4. Pelaksanaan
Setelah menyepakati solusi, selanjutnya adalah proses pelaksanaan kesepakatan yang
telah dibuat. Semua pihak yang terlibat dalam konflik harus menerima dan melaksanakan
kesepakatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Harus diperhatikan juga bahwa kesepakatan
tersebut tidak berpotensi menimbulkan konflik yang lain.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan hal yang penting dilakukan untuk menilai apakah pelaksanaan
kesepakatan tersebut berjalan dengan baik. Dengan melakukan evaluasi maka organisasi
bisa melakukan pendekatan alternatif untuk konflik lain yang mungkin terjadi.
D. Tipe Manajemen Konflik
Dalam proses manajemen konflik, organisasi melakukan pengelolaan informasi dari
konflik dan menentukan solusi yang paling tepat. Menurut Dawn M. Baskerville, ada enam
tipe manajemen konflik, yaitu:
1. Avoiding
Individu atau organisasi pada umumnya cenderung menghindari konflik.
Berbagai hal sensitif dan berpotensi menyebabkan konflik sebisa mungkin dihindari.
Ini merupakan cara yang paling efektif menjaga lingkungan terhindar dari konflik
terbuka.
2. Acomodating
Ini merupakan kegiatan mengumpulkan berbagai pendapat dari banyak pihak
yang terlibat dalam konflik. Dengan mengumpulkan pendapat, maka organisasi dapat
mencari jalan keluar dengan tetap mengutamakan kepentingan salah satu pihak yang
berkonflik.
Sayangnya, cara seperti ini masih bisa menimbulkan konflik baru dan perlu dilakukan
evaluasi secara berkala.
3. Compromising
Berbeda dengan acomodating, cara compromising cenderung memperhatikan
pendapat dan kepentingan semua pihak. Kompromi merupakan cara penyelesaian
konflik yang melakukan negosiasi pada pihak-pihak yang berkonflik dan mencari jalan
tengah bagi kebaikan bersama.
Dengan kata lain, dengan kompromi maka semua pihak yang berkonflik akan
mendapatkan solusi yang memuaskan. Cara seperti ini dapat menyelesaikan konflik
tanpa menimbulkan konflik yang baru.
4. Competing
Ini adalah cara menyelesaikan konflik dengan mengarahkan pihak yang
berkonflik untuk saling bersaing dan memenangkan kepentingan masing-masing.
Pada akhirnya salah satu pihak akan kalah dan mengalah atas kepentingan pihak lain.
Ini merupakan strategi cadangan dan dianggap kurang efektif bila salah satu pihak lebih
kuat dari yang lain.
5. Colaborating
Kolaborasi adalah cara menyelesaikan konflik dengan bekerjasama untuk
memperoleh hasil yang memuaskan karena semua pihak bersinergi dalam
menyelesaikan masalah dengan tetap memperhatikan kepentingan semua pihak.
Dengan kata lain, kepentingan pihak-pihak yang berkonflik tercapai dan menghasilkan
win-win solution.
6. Conglomeration (Mixtured Type)
Ini merupakan penyelesaian konflik dengan mengkombinasikan kelima tipe
manajemen konflik di atas. Tipe manajemen konflik yang satu ini membutuhkan waktu
dan tenaga yang besar dalam proses penyelesaian konflik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam
mengerjakan sesuatu atau tidak mangerjakan sesuatu. Seseorang dikatakan apabila dia
mempunyai pengikut atau bawahan.Bawahan pemimpin ini dapat disuruh untuk mengerjakan
sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu dalam mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan
terlebih dahulu. Semakin tinggi kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka semakin
dituntut daripadanya kemampuan berfikir secara konsopsional strategis dan makro. Semakin
tinggi kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia akan semakin generalist, sedang semakin
rendah kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia menjadi spesialis.
Daftar Pustaka
Goetsch, D. L., dan Davis, S. 1994. Introduction to Total Quality: Quality, Productivity,
Competitiveness. Englewood Cliffs: Prentice Hall International, Inc.
Kamus Bahas Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sallis, E. 2002. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Ltd.