Anda di halaman 1dari 66

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. GAYA KEPEMIMPINAN

1. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kegiatan mempengaruhi orang

lain atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan ataupun

kelompok (Permadi, 2010). Pengertian tersebut sama seperti definisi dari

Stoner, Freeman, dan Gilbert bahwa “leadership is the process of directing

and influencing the task related activities of group members”.

Kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi

anggota kelompok dalam kegiatan yang berhubungan dengan tugas

mereka. Pengertian kepemimpinan menurut Griffin dibagi menjadi dua

konsep, yaitu sebagai proses dan sebagai atribut. Kepemimpinan sebagai

proses terfokus pada apa yang dilakukan oleh pemimpin, yakni proses di

mana pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk memperjelas tujuan

organisasi kepada para pegawai, bawahan, atau yang dipimpinnya,

kemudian memotivasi mereka untuk mencapai tujuan tersebut, serta

membantu menciptakan suatu budaya organisasi yang produktif.

Selanjutnya, kepemimpinan sebagai atribut terfokus pada karakteristik

yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Sehingga, pemimpin dapat

diartikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk


mempengaruhi orang lain sehingga timbul perilaku yang diinginkan

pemimpin tanpa adanya kekuatan lain dan orang-orang yang dipimpinnya

dapat menerima dirinya sebagai sosok yang layak memimpin mereka

(Soekarso & Putong, 2015).

Menurut Good (1973) dalam (Yusuf, 2013) dijelaskan bahwa secara

umum, istilah kepemimpinan diartikan sebagai “the ability and readiness to

inspire, guide, direct, or manage other”. Berarti, kepemimpinan merupakan

suatu kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi,

membimbing, dan mengarahkan atau mengelola orang lain agar mereka

mau berbuat sesuatu demi tercapainya tujuan bersama.

Kemudian, Wills (1967) menyampaikan batasannya bahwa,

kepemimpinan merupakan segenap bentuk bantuan yang dapat diberikan

oleh seseorang bagi penetapan tujuan kelompok. Selain itu, Siagian

(1983) pun menyatakan bahwa kepemimpinan diartikan sebagai

kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain agar rela,

mampu, dan dapat mengikuti keinginan manajemen demi tercapainya

tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan efisien, efektif, dan

ekonomis. Roberto Tannenbaum, Irving R. Wechler dan Fred Messarik

(1961) dalam (Barlian, 2017) juga mendefinisikan kepemimpinan adalah

pengaruh antarpribadi yang dilakukan dalam situasi dan diarahkan melalui

proses komunikasi untuk mencapai tujuan.


Dalam arti luas, kepemimpinan dapat digunakan setiap orang dan

tidak hanya terbatas pada organisasi atau kantor tertentu. Kepemimpinan

tidak harus dibatasi oleh aturan birokrasi, sehingga tidak harus terikat pada

organisasi atau kantor. Kepemimpinan dapat terjadi dimana pun pada

seseorang yang mampu menunjukkan kemampuannya dalam

mempengaruhi perilaku orang lain untuk mencapai suatu tujuan (Thoha,

2017).

Dari beberapa pengertian yang telah dikemukan oleh para ahli, maka

dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses seseorang yang

dengan caranya sendiri mampu mendorong dan menggerakkan orang lain

ataupun kelompok untuk mencapai suatu tujuan individu dan tujuan

bersama dalam organisasi.

2. Fungsi Kepemimpinan

Berikut fungsi kepemimpinan yang djelaskan oleh Nawawi

(2003:46) :

a. Fungsi pengambilan keputusan Pemimpin harus mampu

mengambil keputusan diberbagai situasi dan kondisi

organisasi sehingga setiap pemimpin harus memahami teori

pengambilan keputusan dan memperaktekkannya, agar

keputusannya bermanfaat untuk kepentingan organisasi. Karena

setiap keputusan memiliki dampak positif maupun negative,


sehingga perlu adanya diskusi bersama dalam hal ini pemimpinan

dan bawahan untuk menemukan keputusan yang tetap.

b. Fungsi instruktif Yaitu kekuasaan dan/atau wewenang

memerintahkan anggotannya untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalaam melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya sebagai anggota organisasi. Fungsi instruktif tidak harus

dijalankan secara otoriter, kekuasaan dan atau wewenang tidak

perlu mendorong seorang pemimpin bertindak sebagai penguasa

yang tidak boleh dicampuri dalam mengambil keputusan dan tidak

boleh dibantah instruksinya dalam pelaksanan keputusan dan

kegiatan lain yang telah ditetapkan. Tetapi harus disampaikan

secara jelas, baik mengenai isinyamaupun dari segi bahasa yang

harus disesuaikan tingkat kemampuan yang diberi perintah.

c. Fungsi konsultatif Pemimpin menjadi figure senteral dan tumpuan

harapan anggota dilingkungan organisasi yang dipimpinnya.

Pemimpin ditempatkan sebgai tokoh utama yang diyakinkan

mengetahui dan dapat membantu menyelesaikan berbagai maslah

yang dihadapi oleh anggota organisasi dalam bekerja. Pemimpin

dipandang sebgai alamt yang paling tepat untuk berkonsultasi

dalam menghadapi dan menyelesaikan maslah yang beragam

dilingkungan organisasinya.
d. Fungsi partisipatif Fungsi partisipatif sebagai strategi

kepemimpinan dalam kepemimpinan untuk mengaktifkan

organisasi, ibarat pisau bermata dua. Mata pisau yang pertama

adalah kemampuan pemimpin mengikutsertakan anggota

organisasi sesuai posisi dan kewenangannya agar partisipasi aktif

dalam berbagai kegiatan yang relevan. Mata pisau kedua adalah

kesediaan pucuk pimpinan dan pimpinan- pimpinan dibawahnya

untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi

seperti memberikan petunjuk, pengarajan, berdiskusi,

menyelesaikan pekerjaan yang mendesak bersama –sama dll yang

dilakukan ditempat kerjanya atau tempat khusus yang disediakan

untuk keperluan seperti itu.

e. Fungsi delegatif Fungsi delegatif harus dilaksanakan untuk

mewujudkan organisasi yang dinamis dalam mengikuti

perkembangan ilmu dan teknologi dibidangnya, karena tidak

mungkin dilaksanakan sendiri oleh pimpinan puncak. Dengan kata

lain pimpinan puncak sendiri tidak banyak artinya dan tidak dapt

berbuat banyak dalm mewujudkan efektivitas organisasi.Usahanya

untuk memajukan dan mengembangkan eksistensi organisasi

sesuai visinya ke masa depan melalui pelaksnaan dan

kemampuannya mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab

pada pimpinan-pimpinan unit kerja bawahannya.


Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi sejumlah

orang dalam proses pencapaian tujuan organisasi dimna menjadi

penggerak sumber daya (sumber daya manusia, sumber daya

alam, dana, sarana, dan prasarana) yang ada dalam organisasi ke

tujuan organisasi, Kepemimpianan yang diterapkan pemimpin akan

menjadi pedoman atau teladan para pengikutnya dalam bekerja.

Perilaku pemimpin saling berhubungan dengan perilaku

organisasi, dan kepemimpina yang efektif akan memainkan

peranan dan konteribusinya dalam organisasi yang selalu

berinteraksi dengan lingkungan yang selalu mengalami perubahan

yang terus-menerus. “Kepemimpinan yang efektif dimaksudkan

adalah kepemimpinan yang beriorentasi pada efektivitas

pencapaian sasaran dan efisiensi penggunaan sumber daya untuk

keberhasilan pencapaian tujuan”. (Soekarso,et.al.,(2010:11).

Menurut Drucker (Nawawi,2003:23) Efektivitas adalah

melaksnakan yang benar (doing the right), merupakan pencapaian

sasaran, sedangkan efesiensi adalah melakukan pekerjaan dengan

benar (doing things right), sebagai konsep in put-uot put, yakni

kemampuan meminimumkan pengguna sumber daya dalam

mencapai sasaran organisasi. Anthony dan Robert

(Soekarso,et.al., 2010:11) mengemukakan bahwa efektivitas


kepemimpinan teegantung pada sejumlah varibel ; (1) Pemimpin ,

(2) pengikut, (3) situasi, (4) hubungan interpersonal. Efektivitas

kepemimpinan bukan ditentukan oleh beberapa pemimpin saja,

tetapi justru merupakan hasil bersama antara pemimpin dan orang-

orang yang dipimpinnya. Pemimpin tidak akan mampu

berbuat banyak tanpa partisipasi bawahan, dan sebaliknya

bawahan tidak akan efektif menjalankan tugasnya dan

kewajibannya, tanpa pengendalian pengarahan, dan kerja sama

denagn pemimpin.

Menurut Kartono (2010:68): Pemimpin yang efektif

memiliki kepekaan dan reseptivitas terhadap berbagai peringatan,

kebutuhan, keinginana, harapan, ketidaksukaan anggota-anggota

kelompoknya dan lain-lain, yang terus menerus berubah dari pada

anggota kelompok serta kondisi lngkungannya agar selalu

terpenuhi dengan baik.

Pemimpin yang efektif itu mampu menghadapi setiap

permasalahan dengan sikap lebih terbuka, dan dengan itikad baik

dan lebih besar dari pada seorang pemimpin ‘’kerdil” serta non

efesien, yang selalu dipenuhi ideide sempit. Kepemimpinan yang

sukses atau berhasil belum tentu efektif, karena sukses belum

tentu efektif.
Seorang pemimpin mungkin saja sukses mencapai

tujuannya, namum tidak efektif karena dilakukan denagn menekan

dan bahkan mengorbankan anggota organisasi/bawahannya.

Disamping itu mungkin saja pemimpin sukses tetapi tidak efektif

untuk jangka panjang. Oleh karena itu seorang pemimpin yang

efektif harus menjabatani kesenjangan antara kesuksesan sesaat

dengan keefektifan jangka panjang. (Nawawi,2003:113)

3. Teori kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan

a. Teori Kepemimpinan

Dalam kenyataannya selama bertahun-tahun sampai sekarang ini

masih terus dipersoalkan mengenai orang yang mampu

melaksanakan kepemimpinan atau siapa pemimpin itu, atau

bagaimana pelaksanaan kepemimpinan yang efektif, yang

seluruhnya dapat difokuskan pada masalah bagaimana

mengeefektifkan organisasi dalam usaha mencapai tujuannya,

maka lahirlah berbagai teori mengenai kepemimpinan, yang

memberikan gambaran perkembangan dan pemahaman mengenai

kepemimpianan untuk mengeefektifkan organisasi dalam mencapai

tujuannya. ( Nawawi 2003 : 112) Beberapa teori yang dimaksud

sebagai berikut:

a. Teori Sifat
Teori sifat yang sering di kenal sebagai Traith Theories

berasumsi bahwa seorang dapat menjadi pemimpin apabila

memiliki sifat-sifat atau karakteristik keperibadian yang

dibutuhkan oleh seorang pemimpin, meskipun orang tuanya

khususnya ayahnya bukan seorang pemimpin. Teori ini bertitik

tolak dari pemikiran bahwa seorang pemimpin ditentukan oleh

sifat-sifat atau karakeristik keperibadian yang memiliki, baik

secara fisik maupun psikologi.

Dengan kata lain teori ini barasumsi bahwa keefektifan

seorang pemimpin ditentukan oleh sifat, perangai atau ciri-ciri

keperibadian tertentu yang tidak saja bersumber dari bakat,

tetapi juga diperolah dari pengalaman dan hasil belajar. Seiring

dengan perkembangan teori ini, Davis (Nawawi,2003:75)

mengatakan bahwa ada empat sifat umum yang efektif dalam

mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan, antara lain:

1. Kecerdasan, pemimpin yang efektif atau pemimpin yang

mampu mengeefektifkan organisasi untuk mencapai

tujuannya, pada umumnya lebih cerdas dari pada pengikut

atau anggota organisasi

2. Kematangan atau keleluasaan pandangan sosial, pemimpin

yang efektif pada umumnya lebih matang emosinya untuk

mencapai tjuannya pada umumnya lebih matang emosinya


dari pada pengikut atau anggota organisasinya, sehingga

selalu mampu mengendalikan situasi kritikal (sulit dan

bermasalah)

3. Memiliki motivasi dan keinginan berprestasi, pemimpin yang

efektif atau yang mampu mengefektifkan organisasi untuk

mencapai tujuannya pada umumnya memiliki dorongan yang

besar dari dalam dirinya untuk dapat menyelesaikan sasuatu

secara sukses.

4. Memiliki kamampuan hubungan manusiawi, pemimpin yang

efektif atau mampu mengefektifkan organisasi untuk

mencapai tujuannya pada umumnya mengetahui bahwa

usahanya untuk mencapai sesuatu sangat tergantung pada

orang lain, khususnya anggota organisasi. Soekarso,et.al

(2010:65) menjelaskan bahwa “Teori sifat memusatkan

perhatiannya pada sifat atau ciri keperibadian, sosial, fisik,

intelektual yang membedakan pemimpin dan bukan

pemimpin”.

Sementara itu Robbins (Soekarso,et.al.,2010:87)

menyatakan ‘ada enam ciri keperibadian yang cenderung

membedakan pemimpin dari bukan pemimpin adalah :

(a) ambisi dan energi

(b) hasrat untuk pemimpin


(c) kejujuran dan integritas

(d) percaya diri

(e) kecerdasan

(f) pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan

Filosofi pola pikir teori sifat berdasarkan bahwa

kepemimpinan berhubungan denagn sifat-sifat seorang

pemimpin. Pendekata ini mempunyai anggapan bahwa

setiap orang-orang individu yg memiliki sifat-sifat

tertentuakan muncul dan berpotensi menjadi pemimpin

dalam situasi apapun dimana dia berada.

b. Teori perilaku Setelah teori sifat tidak lagi populer, studi

mengenai kepemimpinan diarahkan pada perilaku

pemimpin. Studi-studi tersebut menghasilkan suatu teori

baru di zamannya yang di sebut Teori Perilaku (Behavior

Theories) yang bertolak dari pemikiran bahwa

kepemimpinan untuk mengefektifkan organisasi, tergantung

pada perilaku atau gaya sikap dan atau gaya bertindak

seorang pemimpin. Robbins (Soekarso,et.al.,2010:99)

menyatakan bahwa ‘teori perilaku perilaku kepemimpinan

adalah teori yang mengemukakan perilaku spesifik

membedakan pemimpin dari bukan pemimpin’.


Dalam teori berorientasi pada perilaku pemimpin,

bagaimana perilaku pemimpin dalam setiap kondisi

dimanapun dia berada. “teori ini memusatkan perhatiannya

pada karakteristik perilaku tindakan yang dilakukan

pemimpin dalam melaksanakan pekerjaan manajerial”.

(Soekarso,et.al.,2010:66) Keberhasilan seorang pemimpin

dalam mengefektifkan organisasi sangat bergantung pada

perilaku dalam melaksnakan fungsi-fungsi kepemimpinan

dalam strategi kepemimpianannya.

Gaya atau perilaku kepemimpianan tampak dari

cara melakukan pengambilan keputusan, cara mendorog

bawahan, cara membimbing dan mengarahkan anggota

organisasi, cara memimpin rapat, cara menegur dan

memberikan sanksi.

c. Teori Kontigensi Dari teori-teori kepemimpinan yang telah

diuraikan sebelumnya berpandangan bahwa untuk

mengelola organisasi dapat dilakukan dengan perilaku atau

gaya kepemimpinan tunggal dalam segi situasi. Oleh karena

itu timbul respon atau reaksi terhadap teori-teori

kepemimpinan tersebut. Dengan kata lain tidak mungkin

setiap organisasi hanya dipimpin dengan perilaku atau gaya

kepemimpinan tunggal untuk segala situasi terutam apabila


organisasi terus berkembang menjadi semakin besar atau

jumlah anggotanya semakin banyak. Setiap situasi dalam

mengelola anggota organisasi yang tidak sama

keperibadiannya, latar belakang, tingkat kecrdasannya dll

tidak mungkin dikelola denagn perilaku atau gaya

kepemimpinan tunggal. “Teori kontigensi memusatkan

perhatiannya pada hukum situasi, bahwa setiap situasi yang

berbeda akan mempengaruhi gaya kepemimpinan yang

bervariasi”.(Soekarso,et.al.,2010:66). Dengan kata lain,

situasi yang berbeda harus dihadapi dengan perilaku

kepemimpinan yang berbeda pula, maka pendekatan

tersebut dinamkan pula “situasional apporoach”

(pendekatan situasional). Peranan penting situasi dalam

memilih gaya kepemimpinan Pfiffiner dan Prestus

(Sutarto,2006:109) mengatakan bahwa ‘Dalam

perkembangan Kepemimpinan dipandang sebagai situasi,

suatu keadaan yang menghendaki tuntutan dan penerapan

yang berbeda-beda terhadap waktu dan tempat’.

Dengan demikian kepemimpinan dapat berbeda-

beda dampak kelompok masyarakat maupun organisasi.

Ada 3 sifat yang dapat memepengaruhi efektivitas


kepemimpinan yang dirumuskan oleh Fiedler (Sutarto,

2006:11) sebaagai berikut:

1. Hubungan pemimpin-anggota, merupakan variabelyang

sangat kritis dalam menentukan situasi yang

menguntungkan.

2. Derajat sususnan tugas, merupakan masukan kedua sangat

penting bagi situasi yang menguntungkan.

3. Kedudukan kekuasaan pemimpin yang diperolah melalui

wewenang formal, merupakan dimensi sangat kritis yang

ketiga dari situasi.Situasi yang menguntungkan diperoleh

oleh pimpinana ketika ketiga dimensi tersebut dapat

terlaksana dengan baik. Berikut penjelasan lebih rinci

mengenai situasi yang menguntungkan bagi pemimpin dan

situasi yang baik menguntungkan bagi pemimpin.

Ketiga teori kepemimpinan yang telah dijelaskna

diatas pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu

bagaimana menciptakan kepemimpinan yang efektif dalam

oganisasi sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.Stoner

dan Freman (Nawawi, 2003:11) mengatakan bahwa ‘perilaku

atau gaya kepemimpinan memberikan kontribusi yang besar

pada efektivitas kepemimpinan untuk mengeefektifkan


organisasi’. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk

membahas lebih lanjut terkait gaya kepemimpinan.

b. Gaya Kepemimpinan

Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda

dalam memimpin para pengikutnya, perilaku para pemimpin itu

disebut dengan gaya kepemimpinan. Seorang pemimpin

merupakan seseorang yang memiliki suatu program dan

berperilaku secara bersama-sama dengan anggota-anggota

kelompok mempunyai peranan sebagai kekuatan dinamik yang

mendorong, memotivasi dan mengkordinasikan perusahaan dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Thoha (2010:303) dalam bukunya manajemen

dan kepemimpinan smengemukakan bahwa : “Gaya kepemimpinan

merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada

saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain

atau bawahan”. Dalam hal ini usaha menyelaraskan persepsi

diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan orang

yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting

kedudukannya.

Nawawi (2003:115) mengatakan bahwa “Gaya

kepemimpinan diartikan sebagai perilaku atau cara yang dipilih dan

dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi pikiran, perasaan,


sikap, dan perilaku organisasinya”. Perilaku gaya kepemimpinan

merupakan cara-cara berinteraksi seorang pemimpin dalam

melakukan kegiatan pekerjaannya.

Gaya bersikap dan gaya bertindak akan nampak dari

cara-cara pemimpin tersebut pada saat melakukan pekerjaan,

antara lain: cara memberikan perintah, cara memberikan tugas,

cara berkomunikasi, cara memecahkan massalah, cara membuat

keputusan dan sebagainnya. Apabila pemimpin melakukan

kegiatan tersebut menempuh dengan cara- cara tegas, keras,

sepihak, mengutamakan penyelesaian tugas, melakukan

pengarahan dan pengawasan ketat, maka gaya kepemimpinan

seperti itu cenderung di sebut gaya kepemimpinan pada tugas,

yaitu penetapan dan menstruktur tugas.

Sebaliknya apabila pemimpin melakukan kagiatan

menempuh dengan cara-cara; lembut, halus, simpatik,interaksi

timbal balik, melakukan ajakan, menghargaai pendapat,

memperhatikan perasaan, membina hubungan serasi, maka gaya

kepemimpinan itu cenderung disebut kepemimpinan yang

berorientasi pada orang, yaitu hubungan antara pribadi.

Dalam hal ini mencakup saling percaya, menghargai

gagasan bawahan, membangun, membangun kerjasama, peka

terhadap kebutuhan dan kesejahteraan bawahan. Pada


kenyataannya gaya kepemimpinan berkembang dan bervariasi

sesuai denagn faktor kerakteristik situasional. Gaya berorintasi

pada tugas cenderung sebagai gaya otokratis yang berdasarkan

atas posisi dan penggunaan otoritas dalam pemecahan masalah

dan pengambilan keputusan.

Gaya berorientasi pada orang cenderung sebagai gaya

demokratis yaitu gaya yang berkaitan dengan kekuatan personal

dan partisipasi pengikut dalam pemecahan dan pengambilan

keputusan. Sementara itu model kepemimpinan Lippit & White

(1930) dalam bukunya behavioral theory of leadership

mengemukakan adanya 3(tiga) gaya kepemimpinan, yaitu : (1)

gaya kepemimpinan otoriter, (2) gaya kepemimpinan demokratis,

(3) gaya kepemimpinan Laissez Faire.

1) Gaya kepemimpinan Otoriter

Gaya kepemimpinan otoriter adalah gaya pemimpin yang

memusatkan segala keputusan dan keajaiban yang diambil dari

dirinya sendiri secara penuh. “Gaya kepemimpinan otokratis

adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agara bersedia

bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan

dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan diputuskan

oleh pemimpinan semata- mata”. (Sutarto,2006:73) Tipe

kepemimpinan yang otoriter biasannya berorientasi kepada


tugas. Artinya dengan tugas yang diberikan oleh suatu lembaga

atau suatu organisasi, maka kebijaksanaan dari lembangannya

ini akan diproyeksikan dalam bagaimana ia memerintah kepada

bawahannya agar kebijaksanaan tersebut dapat tercapai

dengan baik. Di sini bawahan hanyalah suatu mesin yang dapat

digerakkan sesuai dengan kehendaknya sendiri, inisiatif yang

datang dari bawahan sendiri sama sekali tak pernah di

perhatika. Dalam Sutarto (2006:73) gaya kepemimpinan otoriter

antara lain berciri:

1. Wewenang mutlak terpusat pada pimpinan

2. Keputusan selalu dibuat oleh pimpinan

3. Kebijaksanaan selalu dibuat oleh pemimpin

4. Komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan kepada

bawahan

5. Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau

kegiatan para bawahannya dilakukan secara ketat

6. Prakarsa harus selalu dari pimpinan

7. Tiada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran,

pertimbangan, atau pendapat

8. Tugas-tugas bagi bawahan diberikan secara instruktif

9. Lebih banyak kritik dari pada pujian Penerapan

kepemimpinan gaya otoriter dapat mendatangkan


keuntungan antara lain berupa kecepatan serta ketegasan

dalam pembuatan keputusan dan bertindak sehingga untuk

sementara mungkin produktivitas dapat naik. Tetapi

kepemimpinan gaya otoriter dapat menimbulkan kerugian

antara lain berupa suasana kaku, tegang, mencekam,

menakutkan sehingga dapat berakibat lebih lanjut timbulnya

ketidakpuasan. Agrawal (sutarto,2006:75) berpendapat

bahwa ‘penerapan gaya kepemimpinan otoriter ternyata

mengakibatkan merusak moral, meniadakan inisiatif,

menimbulkan pemusuhan, agresivitas, keluhan, absen,

pindah, dan tidak puas’.

Hal ini disebabkan karena kurangnnya

kesempatan bawahan untuk mengeluarkan kreativitas dan

mengembangkan kemampuan yang dimiliki serta tidak

adanya kesempatan untuk memberikan saran maupun

masukan kepada pimpinan. Semua yang dilakukan harus

atas izin dan perintah atasan.

Kepemimpinan gaya otoriter hanya tepat di

terapkan dalam organisasi yang sedang menghadapi

keadaan darurat karena sendi-sendi kelangsugan hidup

organisasi terancam, apabila keadaan darurat telah selesai

gaya ini harus segera ditinggalkan.


2) Gaya Kepemimpinan Demokratis Tipe kepemimpinan

demokratis menempatkan manusia sebagai faktor terpenting

dalam kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan dan

mengutamakan orientasi pada hubungan dengan anggota

organisasi. Sharma (Sutarto,2006:76) berpendapat bahwa

‘dalam gaya demokratis pimpinan memperhatikan

pandangan bawahan, memberikan bimbingan pada

masalah-masalah yang timbul, dan melibatkan perasaan

sendiri dalam membantu bawahan mencapai tujuan

organisasi sebaik tujuan individu’.

Gaya ini kadang-kadang disebut juga gaya

kepemimpinan yang terpusat pada anak buah, kepemimpinan

dengan kesederajatan, kepemimpinan konsultatif atau

partisipatif. Pemimpin berkonsultasi dengan anak buah untuk

merumuskan tindakan keputusan bersama. “Gaya

kepemimpinan demokratis adalah kemampuan mempengaruhi

orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan

dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan

bawahan.”(sutarto,2006:75) Kepemimpinan gaya demokratis

antara lain berciri:

1. Wewenang pimpinan tidak mutlak


2. Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan

3. Komunikasi berlangsung timbal balik, baik yang terjadi

antara pimpinan dan bawahan maupun antara sesama

bawahan

4. Prakarsa atau gagasan dapat datang dari pimpinan maupun

bawahan

5. Pujian dan kritik seimbang

6. Pimpinan meminta kesetiaan para bawahan secara wajar

(Sutarto, 2006: 75-76) Penerapan kepemimpinan gaya

demokratis dapat mendatangkan keuntungan antara lain

berupa keputusan serta tindakan yang lebih obyektif,

tumbuhnya rasa ikut memiliki, serta terbinanya moral yang

tinggi. Sedangkan kelemahan gaya ini antara lain keputusan

serta tindakan kadang-kadang lamban, rasa tanggung

jawab kurang, keputusan yang dibuat bukan merupakan

keputusan terbaik.

3) Gaya Kepemimpinan Laissez Faire

Tipe kepemimpinan ini pada dasarnya berpandagan bahwa

anggota organisasinya mampu mandiri dalam membuat

keputusan atau mampu mengurus dirinya masing-masing,

dengan sesedikit mungkin pengarahan atau pemberian

petunjuk dalam merealisasikan tugas pokok masing-masing


sebagai bagian dari tugas pokok organisasi. Jenning dan

Golembiewski (Nawawi, 2003:147) mengatakan bahwa

‘pimpinan membiarkan kelompoknya memantapkan tujuan

dan keputusannya’. Kontak yang terjadi antara pemimpin

dengan anggota kelompoknya terjadi apabila pemimpin

memberikan informasi yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan pekerjaan. Pemimpin memberikan sedikit

dukungan untuk melakukan usaha secara keseluruhan.

Seperti pendapat yang dikemukakan oleh

( Sutarto 2006:770) tentang gaya kepemimpinan Laissez

faire atau kebebasan merupakan “kemampuan

memperngaruhi orang lain agar besedia bekerja untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengancara

berbagai kegiatan yang akan dilakukan lebih banyak

diserahkan kepada bawahan”. Namun kebebasan anggota

kadang- kadang dibatasi oleh pimpinan dengan

mengatakan tujuan yang harus dicapai disertai parameter-

parameternya. Kepemimpinan Laissez Faire antara lain

berciri :

1. Pimpinan melimpahkan wewenang sepenuhmya kepada

bawahan

2. Keputusan lebih banyak dibuat oleh para bawahan


3. Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh para bawahan

4. Pimpinan hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh

bawahannya

5. Hampir tidak ada pengawasan terhadap sikap, tingak laku,

perbuatan, atau kegiatan yang dilakukan para bawahan

6. Praksara selalu datang dari bawahan

7. Hampir tidak ada pengarahan dari pimpinan

8. Peranan pimpinan sangat sedikit dalam kegiatan kelompok

(Sutarto,2006:78) Penerapan pimpinan gaya kebebasan

dapat mendatangkan keuntungan antara lain para anggota

atau bawahan akan dapat mengembangkan kemampuan

dirinya. Tetapi kepemimpinan jenis ini membawa kerugian

bagi organisasi antara lain berupa kekacauan karena tipe

kepemimpinan ini membiarkan setiap anggota organisasi

yang berbeda kepentingan dan kemampuannya untuk

bertindak kearah yang berbeda-beda tanpa adanya

pengarahan dan kontrol. Pimpinan hanya menyediakan diri

sebagai penasihat apabila diperlukan atau diminta.

4. Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan transformasional adalah teori

kepemimpinan yang paling dominan dalam dua puluh tahun

terakhir ini (Barling, 2010; B.M Bass, 1985; The


transformasional leadership report, 2007). Kepemimpinan

transformasional dipandang sebagai model kepemimpinan yang

paling efektif karena kepemimpinan transformasional tidak

hanya mengakui pentingnya penghargaan (reward), tetapi lebih

dari itu bagaimana mencapai kepuasan dan memenuhi

kebutuhan bawahan yang lebih tinggi dengan melibatkan

mereka secara individual dan intelektual (Surakka, 2008).

Kepemimpinan transformasional mengedepankan

terjadinya perubahan dalam organisasi, membutuhkan tindakan

memotivasi para bawahan agar bersedia bekerja untuk

mencapai target dan sasaran yang paling tinggi “superior

outcomes” (Nugroho, 2009). Kepemimpinan transformasional

mempromosikan pengembangan dan berpikir strategi, tidak

mendeskriminasikan pada hal-hal yang berhubungan dengan

ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, umur dan status sosial

(Chemjong, 2004).

Dalam kepemimpinan transformasional lingkungan yang

mendukung terhadap tanggung jawab bersama diciptakan

(Ward, 2002) karena itu kepemimpinan transformasional

mampu mengkomunikasikan visi sehingga menghasilkan emosi

dan keinginan yang kuat dari para staff untuk mencapainya


sehingga pada gilirannya akan menghasilkan perubahan yang

berlangsung secara terus menerus.

Bernard Bass, seorang murid dan pengikut Burns dalam

laporan the Transformasional Leadership (2007),

mendefinisikan kepemimpinan transformasional tentang

bagaimana pemimpin mempengaruhi para pengikutnya, yaitu

mereka yang ditujukan untuk percaya, mengakui dan

menghormati pemimpin transformasional itu. Menurut Bass

terdapat tiga cara pemimpin mentransformasional sesuatu

kepada para pengikutnya :

- Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya

tugas dan nilai

- Meminta mereka untuk fokus dan

mengutamakan pada tujuan team atau

organisasi daripada kepentingan pribadi

- Bawa mereka pada urutan kebutuhan yang lebih

tinggi.

Kepemimpinan transformasional pada umumnya mempunyai

dampak positif terhadap kinerja karyawan. Pemimpin mengubah

dan memotivasi para pengikut dengan : (1) membuat mereka

lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan;

(2) mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi


atau tim daripada kepentingan diri sendiri; dan (3) mengaktifkan

kebutuhan-kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi (Yukl,

2005:305).

Warillow (2012) mengidentifikasi empat komponen gaya

kepemimpinan transformasional:

a. Karisma atau pengaruh ideal: sejauh mana pemimpin

berperilaku dengan cara yang mengagumkan dan

menampilkan keyakinan dan sikap yang menyebabkan

pengikut mengidentifikasi dengan pemimpin yang memiliki

seperangkat menghargai dan bertindak sebagai teladan bagi

para pengikut.

b. Motivasi inspirasional : sejauh mana pemimpin

mengartikulasikan visi yang menarik dan menginspirasi

pengikut dengan optimisme tentang tujuan masa depan, dan

menawarkan makna untuk tugas di tangan saat ini.

c. Stimulasi Intelektual : sejauh mana pemimpin menantang

asumsi, merangsang, dan mendorong kreatifitas pengikut

dengan menyediakan kerangka kerja bagi pengikut untuk

melihat bagaimana mereka terhubung dengan pemimpin,

organisasi, satu sama laindan tujuan mereka secara kreatif

dapat mengatasi segala rintangan didalamnya.


d. Perhatian pribadi dan individu : sejauh mana pemimpin

memperhatikan setiap kebutuhan pengikut individu dan

bertindak sebagai mentor atau pelatih dan memberikan rasa

hormat dan penghargaan atas kontribusi individu. Ini

memenuhi dan meningkatkan kebutuhan setiap anggota tim

untuk pemenuhan diri, dan harga diri dan dengan demikian

menginspirasi pengikut untuk pencapaian dan pertumbuhan

lebih lanjut.

5. Kepemimpinan Transaksional

Yukl (1998:298) menyatakan bahwa kepemimpinan

transaksional menyangkut nilai-nilai, namun berupa nilai-nilai

yang relevan bagi proses pertukaran, seperti kejujuran, keadilan,

tanggung jawab dan pertukaran. Dua komponen utama dari gaya

kepemimpinan transaksional adalah contingent reward dan

management exception.

a. Contingent reward, adalah suatu situasi di mana pemimpin

menjanjikan imbalan apabila bawahan dapat melaksanakan

yang diperintahkannya. Pemimpin melakukan kesepakatan

tentang hal-hal apa saja yang dilakukan oleh bawahan dan

menjanjikan imbalan jika hal tersebut dicapai.

b. management by exception adalah :


- Secara Passive, yaitu untuk mempengaruhi

perilaku, pemimpin menggunakan koreksi atau

punishment sebagai respon atas hasil atau

kinerja yang kurang memuaskan (unacceptable

performance)

- Secara Active, yaitu untuk mempengaruhi

perilaku pemimpin secara aktif memantau

pekerjaan dan menggunakan koreksi untuk

menjamin bahwa pekerja itu telah selesai sesuai

dengan standard.

c. Laizzes-Faire leadership adalah pemimpin menghindari untuk

mempengaruhi bawahan dan mengabaikan tugas-tugas

pemantauan, kurangnya kepemimpinan atau pemberdayaan

pemimpin dan kebebasan yang tinggi terhadap bawahan..

Yukl (1998:298) mengemukakan hubungan antara

pemimpin transaksional dengan bawahan terjadi jika:

1. pemimpin mengetahui apa yang diinginkan bawahan dan

berusaha menjelaskan bahwa mereka akan memperoleh apa

yang diinginkan apabila kinerja mereka memenuhi harapan,

2. pemimpin memberikan atau menukar usaha-usaha yang

dilakukan bawahan dengan imbalan atau janji memperoleh

imbalan,
3. pemimpin responsive terhadap kepentingan pribadi bawahan

selain kepentingan pribadi itu sepadan dengan nilai

pekerjaan yang telah dilakukan oleh bawahan.

Teori Kepemimpinan Transaksional (Transactional

Leadership Theory) mendasarkan pada asumsi bahwa

kepemimpinan merupakan kontrak sosial antara pemimpin

dan para pengikutnya. Pemimpin dan para pengikutnya

merupakan pihak-pihak yang independen yang masing-

masing mempunyai tujuan, kebutuhan dan kepentingan

sendiri. Sering tujuan, kebutuhan dan kepentingan tersebut

saling bertentangan sehingga mengarah ke situasi konflik.

Misalnya, di perusahaan sering tujuan pemimpin perusahaan

dan tujuan karyawan bertentangan sehingga terjadi

peerselisihan industrial.

Dalam teori kepemimpinan ini hubungan antara

pemimpin dan para pengikutnya merupakan hubungan

transaksi yang sering didahului dengan negosiasi tawar

menawar. Jika para pengikut memberikan sesuatu atau

melakukan sesuatu untuk pemimpinnya, pemimpin juga akan

memberikan sesuatu kepada para pengikutnya.

Jadi seperti ikan lumba-lumba di Ancol yang akan

meloncat jika pelatihnya memberikan ikan. Jika pelatihnya


tidak memberikan ikan, lumbalumba tidak akan meloncat

(Wirawan 2008:3). Wirawan (2008:3) prinsip dasar teori

kepemimpinan transaksional adalah:

a. Kepemimpinan merupakan pertukaran sosial antara pemimpin

dan para pengikutnya.

b. Pertukaran tersebut meliputi pemimpin dan pengikut serta

situasi ketika terjadi pertukaran

c. Kepercayaan dan persepsi keadilan sangat esensial bagi

hubungan pemimpin dan para pengikutnya.

d. Pengurangan ketidak pastian merupakan benefit penting yang

disediakan oleh pemimpin.

e. Keuntungan dari pertukaran sosial sangat penting untuk

mempertahankan suatu hubungan sosial. Kepemimpinan

transaksional menekankan pada transaksi yang terjadi antara

pemimpin, rekan kerja serta bawahannya. Pertukaran ini

didasarkan atas diskusi antara pemimpin dengan pihak-pihak

terkait untuk menentukan apa yang dibutuhkan dan bagaimana

spesifikasi kondisi dan upah atau hadiah jika bawahan

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

B. PERENCANA KESEHATAN

1. Dasar Perencanaan
Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen/administrasi,

berupa menetapkan tujuan organisasi, peraturan dan pedoman

pelaksanaan tugas, urutan pelaksanaan, iktisar biaya yang diperlukan dan

pemasukan uang yang diharapkan akan diperoleh, serta rangkaian tindakan

yang akan dilakukan di masa depan.

Perencanaan adalah proses untuk mengantisipasi peristiwa di masa

datang dan menentukan strategi (cara, tindakan adaptif) untuk mencapai

tujuan organisasi di masa mendatang (The process of anticipating future

events and determining strategis to achieve organizational objectives in the

future (Supriyanto, 2007).

Perencanaan kesehatan pada dasarnya adalah perencanaan

pembangunan kesehatan. Bentuk perencanaan kesehatan antara lain

perencanaan kebijaksanaan pembangunan kesehatan, perencanaan

program pembangunan kesehatan, dan perencanaan operasional/kegiatan

pelaksanaan kesehatan. Semua bentuk perencanaan tersebut mengacu

pada tujuan masing-masing tingkat manajemen. Pendekatan perencanaan

kesehatan mengutamakan tiga hal, yaitu :

(1) pendekatan wawasan nasional

(2) pendekatan epidemiologi dan

(3) pendekatan sumber daya manusia (Wijono, 1997).

Perencanaan merupakan langkah pertama yang diambil dalam

usaha mencapai tujuan artinya perencanaan merupakan usaha kongkritisasi


langkahlangkah yang harus ditempuh di mana dasar-dasarnya telah

diletakkan dalam strategi organisasi. Perencanaan yang disusun melalui

pengenalan permasalahan secara tepat berdasarkan data yang akurat,

serta diperoleh dengan cara dan dalam waktu yang tepat, maka akan dapat

mengarahkan upaya kesehatan yang dilaksanakan Puskesmas dalam

mencapai sasaran dan tujuannya.

Dalam upaya mencakup seluas mungkin sasaran masyarakat

yang harus dilayani, serta mengingat ketersediaan sumber daya yang

terbatas, maka pelayanan kesehatan harus dapat dilaksanakan secara

terintegrasi baik lintas program maupun lintas sektor. Kepala Puskesmas

harus mampu membangun kerjasama dan mengkoordinasikan program di

internal Puskesmas dan dieksternal dengan mitra lintas sektor.

Koordinasi dengan lintas sektor sangat diperlukan, karena

faktor penyebab dan latar belakang masalah kesehatan tertentu

kemungkinan hanya dapat diselesaikan oleh mitra lintas sektor. Proses

perencanaan Puskesmas akan mengikuti siklus perencanaan pembangunan

daerah, dimulai dari tingkat desa/kelurahan, selanjutnya disusun pada

tingkat kecamatan dan kemudian diusulkan ke dinas kesehatan

kabupaten/kota. Perencanaan Puskesmas yang diperlukan terintegrasi

dengan lintas sektor kecamatan, akan diusulkan melalui kecamatan ke

pemerintah daerah kabupaten/kota (Permenkes No.44, 2016).


Secara umum disebutkan apabila pelaksanaan upaya

kesehatan tidak didukung oleh perencanaan yang baik, maka akan sulit

diharapkan tercapainya tujuan dari upaya kesehatan tersebut (Azwar,

1996). Perencanaan dimaksudkan untuk mengkonsep keadaan yang lebih

cocok dengan apa yang diinginkan serta menemukan langkah-langkah yang

diperlukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Prakondisi

perencanaan ialah :

1. Rencana untuk merencanakan

2. Informasi mutlak yang diperlukan untuk menyusun dan realisasi

rencanarencana.

3. Mengetahui pemikiran-pemikiran yang ada pada manajemen puncak dan

bagaimana sistem yang hendak diciptakan akan bekerja secara

profesional.

Sebagai sebuah proses, perencanaan kesehatan terdiri atas

lima langkah. Kelimanya merupakan urutan yang saling menentukan satu

sama lain

Langkah-langkah perencanaan kesehatan meliputi

(1) Analisis situasi

(2) Mengidentifikasi masalah dan prosesnya

(3) Menentukan tujuan program,

(4) Mengkaji hambatan dan kelemahan program

(5) Menyusun rencana kerja operasional (Wijono, 1997).


Perencanaan perlu dilakukan karena adanya kebutuhan

manusia yang tidak terbatas, sedangkan ketersediaan sumber-sumber daya

sangat terbatas (Mulyadi dan Jenny, 1999), sehingga terjadi suatu

kelangkaan dalam konteks ekonomi sehingga ada 2 cara dalam melihat

masalah yanga ada, yaitu:

1. Melihat pemandangan atau masalah seluas atau sejauh mungkin

2. Melakukan pemilihan objek atau daerah yang menjadi prioritas kita,

sehingga cara pandang dipersempit agar kita bisa memperoleh suatu

detailed close up examination.

Kekuatan-kekuatan utama yang menentukan sistem perencanaan

ialah:

1. Ukuran organisasi

2. Kompleksitas lingkungan

3. Kompleksitas dari proses produksi

4. Sifat dari masalah

5. Tujuan dari sistem perencanaan

Goal adalah keinginan akhir dan merupakan impian yang akan dicapai

oleh program. Objective adalah merupakan kondisi dan situasi masyarakat

atau lingkungan yang ingin dicapai melalui kegiatan program.

2. Ruang Lingkup Perencanaan Kesehatan Manajemen


kesehatan merupakan salah satu bagian dari 3 bagian pembangunan

kesehatan, yaitu pelaksanaan, pembinaan/manajemen dan

pengembangan upaya kesehatan pokok yaitu:

1. Perencanaan

2. Penggerakan Pelaksanaan

3. Pengendalian pengawasan dan Penilaian Upaya Kesehatan

Perencanaan kesehatan dititik beratkan pada upaya peningkatan hasil

kerja sistem kesehatan. Perencanaan merupakan fungsi pertama dalam

fungsi manajemen, yang mendahului fungsi pengorganisasian,

ketenagaan, kepemimpinan dan pengendalian. Perencanaan

dimaksudkan untuk membantu tercapainya tujuan organisasi. Dengan

mengasumsikan kondisi tertentu di masa mendatang dan menganalisis

konsekuensi dari setiap tindakan ketidakpastian dapat dikurangi dan

keberhasilan yang akan datang mempunyai probabilitas yang lebih

besar (Reinke, 2018). Kegunaan dari suatu perencanaan organisasi

adalah:

1. Membantu manajer untuk melihat masa depan.

2. Koordinasi yang semakin baik, koordinasi dapat terjadi antar bagian

dalam organisasi dan antara kepuasan saat ini dengan masa

mendatang.

3. Penekanan pada tujuan organisasi. Dengan perencanaan tujuan

organisasi dapat difokuskan sebab tujuan organisasi merupakan titik


awal perencanaan, manajer akan selalu diingatkan pada tujuan tersebut

(Wijono, 2018).

Bagian penting dari perencanaan adalah menganalisis cara

pencapaian sasaran yang dibuat dan diurutkan berdasarkan prioritas.

Kedua faktor inilah yang merupakan bagian inti proses prkatis

perencanaan. Dalam menganalisis sasaran harus dibedakan dengan

visi dan misi, target dan standar (Wijono, 2018). Definisi perencanaan

adalah proses menganalisis dan memahami sistem yang dianut,

merumuskan tujuan umum dan khusus yang ingin dicapai,

memperkirakan segala kemampuan yang dapat dilakukan untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan, menganalisis efektifitas dari

berbagai kemungkinan tersebut, menyusun perincian secepatnya dari

kemungkinan yang terpilih, serta mengikatnya dalam suatu sistem

pengawasan yang terus menerus sehingga dicapai hubungan optimal

antara rencana yang dihasilkan dengan sistem yang dianut ( Azwar,

1996).

4. Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Terpadu Perencanaan

kesehatan merupakan suatu proses yang dinamis dan

berkesinambungan, meliputi proses merumuskan rencana dan proses

melaksanakan rencana yang sudah ditetapkan. Ada beberapa

sistematika langkah perencanaan. Sistematika perencanaan disusun

sebagai proses tersendiri, atau perencanaan sebagai bagian fungsi


manajemen. Tahap atau prosedur langkah dalam perencanaan

mengikuti alur yang sistematik, artinya harus mengikuti urutan tertentu.

(Supriyanto, 2007).

Keberhasilan suatu perencanaan, selain faktor administrasi,

teknik, juga sering ditentukan oleh kemauan politik para pelaku

kebijakan. Setiap tahapan perencanaan memerlukan teknik dan alat

perencanaan sendiri. Permasalahan tradisional di sistem layanan

kesehatan Indonesia adalah rendahnya efisiensi dan efektifitas dalam

hal alokasi, pemanfaatan, pendayagunaan dan manajemen sumber

daya, baik bidang keuangan maupun teknis, sebagaimana ditunjukkan

oleh:

a. Kurangnya atau tidak memadainya administrasi perencanaan dan

penganggaran kesehatan terpadu pada tingkat propinsi dan

kabupaten/kota dan antara proses di pusat dan daerah.

b. Prioritas kesehatan yang tidak memadai dan konsisten.

c. Kurangnya kemampuan manajemen pada semua tingkatan dalam hal

proses perencanaan dan penganggaran.

d. Mobilisasi dana yang tidak memadai dan sumber-sumber daya

masyarakat pemakai yang mengakibatkan pengembalian biaya yang

tidak memadai di semua sektor.

e. Kurangnya perundang-undangan dari garis-garis besar petunjuk

untuk mendukung perencanaan penganggaran kesehatan terpadu.


f. Tidak adanya orientasi untuk mengumpulkan pendapat atau relokasi

sumber daya operasional dan perawatan fasilitas kesehatan.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Proses Perencanaan

Keberhasilan perencanaan terutama tergantung dari pengetahuan, sikap

dan motivasi (Mills, et.al, 1991). Faktor terpenting dalam perencanaan

adalah adanaya keterpaduan antara unsur-unsur manajemen yang berupa

sumber daya manusia dan non manusia atau faktor internal.

Analisis situasi juga akan menggambarkan masalah-masalah yang

dihadapi oleh sistem layanan kesehatan. Analisis situasi yang lengkap

meliputi aspek:

1. Masalah kesehatan

2. Lingkungan kesehatan

3. Perilaku kesehatan dan

4. Kependudukan

Manusia merupakan faktor terpenting dalam manajemen yang dapat

menentukan keberhasilan ataupun kegagalan dalam menghadapi tujuan

dan sasaran yang ditetapkan. Faktor internal dalam suatu organisasi tidak

dapat dipisahkan dari faktor lingkungannya atau faktor eksternal harus

diperhatikan dan diperhitungkan dengan cermat, sebab faktor lingkungan

bisa mendukung tetapi bisa juga menghambat (Soedjadi, 1995).

Lingkungan mengalami perubahan terus-menerus sesuai

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti adanya


kebijakan baru dan berubahnya pola permintaan jasa pelayanan

pemerintah dan kesehatan, sedangkan dana dari pemerintah akan tetap

terbatas dan pemberian pelayanan yang bermutu atakan tetap menjadi

tujuan. Sehingga fakta utama dalam proses perencanaan adalah

bagaimana sikap dan kemampuan seorang pemimpin bisa mengelola

perubahan lingkungan dengan baik dalam rangka mempersiapkan

pelayanan kesehatan yang mengacu pada kebutuhan masyarakat.

Faktor pendidikan yang diperoleh, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang ada, peraturan

perundang-undangan/kebijakan yang berlaku, lokasi fisik tempat ia berada

dan lain-lain, akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku dan perilaku ini

dapat melekat pada individu ataupun organisasinya, sedangkan sikap dan

tingkah laku hanya melekat pada diri manusia sebagai individu (Thoha,

2007). Faktor lain tidak kalah penting yang mempengaruhi sikap

seseorang adalah motivasi, Dengan adanya motivasi, seorang individu

dapat dengan efektif melakukan perkerjaannya. Hal ini sangat berkaitan

dengan kepuasan kerja. Menurut Gerungan motivasi adalah sesuatu yang

menimbulkan semangat atau dorongan kerja (Gerungan, 1982: 23).

Semakin besar motivasi kerja akan meningkatkan prestasi kerja.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi kerja adalah faktor yang

sangat penting dalam tercapai tujuan organisasi (Sinaga, 2018).


Motivasi adalah hasrat atau lebih kuat lagi sebagai dorongan yang

secara wajar senantiasa timbul dari dalam diri dan hati sanubari manusia.

Di samping itu, motivasi juga timbul karena adanya usaha yang secara

sadar dari manusia dan dilakukan untuk menimbulkan daya/kekuatan

dorongan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu bagi tercapainya tujuan

organisasi tempat ia bekerja. Secara umum motivasi adalah keadaan

pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan

kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan (Reksohadiprodjo dalam

Handoko, 1993).

Menurut Wexley dan Yulk (1998) motivasi adalah suatu usaha sadar

untuk mempengaruhi perilaku seseorang agar mengarah pada tercapainya

tujuan organisasi. Stoner (1984) mengemukakan bahwa prestasi individu

sangat dipengaruhi oleh motivasi, kemampuan dan persepsi individu, yang

menyebabkan orang berbuat sesuatu. Faktor motivator merupakan

kelanjutan dari faktor hygiene. Komponen yang masuk dalam faktor

motivasi adalah prestasi, penghargaan, tantangan dalam pekerjaan,

tanggung jawab, kemajuan dan peningkatan.

Komponen motivator merupakan penggerak yang efektif agar petugas

berprestasi lebih baik. Dari uraian tersebut maka batasan motivasi adalah

proses pemberian motivasi bekerja kepada pegawai sedemikian rupa

sehingga mereka mau bekerja untuk mencapai tujuan organisasi.


Pengetahuan, sikap dan motivasi berkaitan erat dengan tingkat

loyalitas dan identifikasi terhadap tujuan organisasi. Tujuan organisasi

akan memperoleh dukungan apabila tujuan tersebut konsisten dengan

tujuan pribadi. Konsistensi antara tujuan organisasi dan tujuan pribadi

akan berdampak pada suasana yang saling mendukung, membantu dan

saling menghargai (Azwar, 1996).

4. Koordinasi Perencanaan

Koordinasi perencanaan adalah hal yang penting dalam proses

perencanaan. Perencanaan akan efisien jika terjadi koordinasi yang

berintikan pada proses komunikasi antara lembaga perencanaan dan

pelaku yang berkepentingan baik secara horisontal maupun vertikal.

Kegiatan tersebut dilakukan melalui forum koordinasi perencanaan dengan

instansi terkait termasuk masyarakat. Koordinasi dalam birokrasi

pemerintahan pada hakekatnya merupakan upaya memadukan

(mengintegrasikan) berbagai kepentingan dan kegiatannya yang saling

berkaitan dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran bersama (LAN RI,

1996).

Dalam kaitannya dengan pembangunan, koordinasi perlu diterapkan

melalui dari antar bagian proyekproyek, program, sektor, subsektor sampai

antar bidang. Lebih lanjut dijelaskan untuk memantapkan koordinasi pada

bagian yang dilakukan bersifat kompleks, multi sektor, multi fungsi, maka

koordinasi dapat berupa Tim, Panitia, Kelompok Kerja, atau Gugus Tugas.
Koordinasi adalah salah satu fungsi organik dari pengelolaan dan

manajemen pemerintah. Melalui koordinasi yang efektif tujuan dan sasaran

akan dapat dicapai secara optimal. Selain itu, koordinasi juga ditujukan untuk

mensinkronkan antara kebijakan dan tindak pelaksanaan yang dilakukan oleh

masing-masing lembaga atau organisasi sesuai dengan kewenangan yang

dimiliki. Koordinasi perencanaan dapat dilakukan dengan melalui empat

tahapan:

(1) koordinasi proses perencanaan;

(2) ; koordinasi metode perencanaan;

(3) koordinasi antar tingkat perencanaan dan

(4) koordinasi usaha-usaha masyarakat.

Pimpinan organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsi memerlukan

koordinasi pengaturan tata kerja dan tata hubungan yang lainnya, oleh

karenanya diperlukan kesamaan pengertian masing-masing anggota dalam

organisasi agar terjadi hubungan yang harmonis di anatar satuan-satuan

organisasi dalam usaha bersama mencapai tujuan organisasi. Koordinasi

dilaksanakan sejak proses perumusan kebijakan, perencanaan program,

pelaksanaan kegiatan dan dalam pengawasan dan pengendalian (Wijono,

1997).

C. RUMAH SAKIT

1. Pengertian rumah sakit


Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa rumah

sakit adalah gedung tempat merawat orang sakit atau gedung tempat

menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai

masalah kesehatan. Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat

(Permenkes Nomor 3 Tahun 2020).

Dalam World Health Organization (WHO), rumah sakit merupakan

institusi yang merupakan bagian integral dari organisasi kesehatan dan

organisasi sosial berfungsi mengadakan pelayanan kesehatan yang lengkap,

baik kuratif maupun preventif bagi pasien rawat jalan dan rawat inap melalui

kegiatan pelayanan medis serta perawatan.

Kegiatan-kegiatan tersebut menjadi bagian dari tugas serta fungsi

Rumah Sakit, yaitu:

a. Memberi pelayanan medis

b. Memberi pelayanan penunjang medis

c. Memberi pelayanan kedokteran kehakiman

d. Memberi pelayanan medis khusus

e. Memberi pelayanan rujukan kesehatan

f. Memberi pelayanan kedokteran gigi

g. Memberi pelayanan sosial

h. Memberi penyuluhan kesehatan


i. Memberi pelayanan rawat jalan, rawat inap, rawat darurat, dan rawat

intensif

j. Memberi pendidikan medis secara umum dan khusus

k. Memberi fasilitas untuk penelitian dan pengembangan ilmu kesehatan dan

l. Membantu kegiatan penyelidikan epidemiologi.

2. Jenis-jenis rumah sakit

Jenis-jenis Rumah Sakit di Indonesia secara umum ada lima, yaitu Rumah

Sakit Umum, Rumah Sakit Khusus atau Spesialis, Rumah Sakit Pendidikan

dan Penelitian, Rumah Sakit Lembaga atau Perusahaan, dan Klinik (Haliman

& Wulandari, 2012).

Berikut penjelasan dari lima jenis Rumah Sakit tersebut :

a. Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Umum, biasanya Rumah Sakit Umum

melayani segala jenis penyakit umum, memiliki institusi perawatan darurat

yang siaga 24 jam (Ruang gawat darurat). Untuk mengatasi bahaya

dalam waktu secepat-cepatnya dan memberikan pertolongan pertama. Di

dalamnya juga terdapat layanan rawat inap dan perawatan intensif,

fasilitas bedah, ruang bersalin, laboratorium, dan sarana-prasarana lain

b. Rumah Sakit Khusus atau Spesialis Rumah Sakit Khusus atau Spesialis

dari namanya sudah tergambar bahwa Rumah Sakit Khusus atau Rumah

Sakit Spesialis hanya melakukan perawatan kesehatan untuk bidang-

bidang tertentu, misalnya Rumah Sakit untuk trauma (trauma center),

Rumah Sakit untuk Ibu dan Anak, Rumah Sakit Manula, Rumah Sakit
Kanker, Rumah Sakit Jantung, Rumah Sakit Gigi dan Mulut, Rumah Sakit

Mata, Rumah Sakit Jiwa

c. Rumah Sakit Bersalin, dan lain-lain; Rumah Sakit Pendidikan dan

Penelitian Rumah Sakit ini berupa Rumah Sakit Umum yang terkait

dengan kegiatan pendidikan dan penelitian di Fakultas Kedokteran pada

suatu Universitas atau Lembaga Pendidikan Tinggi

d. Rumah Sakit Lembaga atau Perusahaan, Rumah sakit ini adalah Rumah

Sakit yang didirikan oleh suatu lembaga atau perusahaan untuk melayani

pasien-pasien yang merupakan anggota lembaga tersebut.

e. Klinik, merupakan tempat pelayanan kesehatan yang hampir sama

dengan

Rumah Sakit, tetapi fasilitas medisnya lebih.

B. KERANGKA TEORI

Adapun kerangka teori Kepemimpinan transformasional

dipandang sebagai model kepemimpinan yang paling efektif karena

kepemimpinan transformasional tidak hanya mengakui pentingnya

penghargaan (reward), tetapi lebih dari itu bagaimana mencapai kepuasan

dan memenuhi kebutuhan bawahan yang lebih tinggi dengan melibatkan

mereka secara individual dan intelektual (Surakka, 2008). Warillow (2012)

mengidentifikasi empat komponen gaya kepemimpinan transformasional

yaitu (1) Karisma, (2) motivasi inspirasional, (3) stimulasi intelektual, (4)

Perhatian individu atau pribadi. Sedangkan Yukl (1998:298) menyatakan


bahwa kepemimpinan transaksional menyangkut nilai-nilai, namun berupa

nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran, seperti kejujuran, keadilan,

tanggung jawab dan pertukaran. Dua komponen utama dari gaya

kepemimpinan transaksional adalah contingent reward dan management

exception. Adapun Untuk meningkatkan kinerja dan mutu perencanaan

program kesehatan, diperlakukan suatu proses perencanaan yang akan

menghasilkan suatu rencana yang menyeluruh (komprehensif dan holistik).

Perencanaan kesehatan adalah kegiatan yang perlu dilakukan di masa yang

akan datang, yang jelas tujuannya.

Kepemimpinan
Transformasional : PERENCANAAN
KESEHATAN
1. Karisma
1. Analisis situasi
2. Motivasi Inspirasional 2. Mengidentifikasi
3. Stimulasi intelektual masalah dan
prosesnya
4. Perhatian individu atau 3. Menentukan tujuan
pribadi program,
4. Mengkaji hambatan
dan kelemahan
program
5. Menyusun rencana
kerja operasional
Kepemimpinan
Transaksional :
1. Contingent reward
2. Management exception

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber : Modifikasi Teori Warrilow (2012), Burns (1978), Wijono (1997)

C. KERANGKA KONSEP

KARISMA

MOTIVASI/INSPIRASI

PERENCANAAN
STIMULASI INTELEKTUAL KESEHATAN

PERHATIAN TERHADAP
INDIVIDU

MANAGEMENT BY
EXCEPTION
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Keterangan :
: Variabel Independen

: Variabel Dependen
D. Tabel Sintesa

Penelitian
No Judul dan Nama Desain
(Tahun) dan Sampel Temuan
. Jurnal Penelitian
Sumber
1. Endri Mustofa, Gaya analisis data karyawan Hasil penelitian adalah gaya
Hardani Kepemimpinan deskriptif dan Rumah Sakit kepemimpinan transaksional
Widhiastuti, Transaksional Dan analisis jalur Tentara Tk. II berpengaruh langsung terhadap
Rusmalia Dewi Pengawasan (path dr.Soepraoen tinggi rendahnya perilaku
(2023) Terhadap kinerja analysis) Malang pelayanan. Tidak ada pengaruh
Perawat Melalui serta analisis pengawasan dengan perilaku
Perilaku Pelayanan regresi linear pelayanan yang diterapkan pada
Di Rumah Sakit berganda. Rumah Sakit Tentara Tk. II dr.
Soepraoen Malang. Ada pengaruh
gaya kepemimpinan transaksional
secara langsung terhadap kinerja
perawat. Ada pengaruh
pengawasan secara langsung
terhadap kinerja perawat serta
ada pengaruh perilaku pelayanan
secara langsung terhadap kinerja
perawat. Kesimpulan gaya
kepemimpinan transaksional yang
diterapkan akan lebih berhasil
meningkatkan kinerja perawat
apabila diikuti dengan
peningkatan perilaku pelayanan,
baik dari dimensi-dimensi maupun
factor-faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja perawat
yang ada di Rumah Sakit Tentara
Tk. II dr. Soepraoen Malang.
2. Ria Lestari (2021) Analisis Manajemen Penelitian Sampel dalam Hasil dari penelitian ini adalah,
Pelayanan Rumah kuantitatif penelitian ini Pelayanan RSUDAM masih perlu
Sakit Terhadap adalah banyak melakukan perbaikan
Kualitas Pelayanan karyawan dalam segi pelayanan baik dari
Publik Ditinjau Dari Rumah Sakit segi sumber daya manusia,
Perspektif Ekonomi Umum Daerah maupun fasilitas yang dibutuhkan
Islam (Studi Pada Abdoel Moeloek dalam memberikan pelayanan
Rumah Sakit Daerah dan pasien kepada pasien. Sejauh ini masih
Abdoel Moeloek rawat jalan di terdapat beberapa hal yang perlu
Provinsi Lampung) Rumah Sakit diperhatikan oleh rumah sakit
Umum Daerah yaitu kurangnya perhatian dari
Abdoel Moeloek petugas medis terhadap kondisi
berjumlah 30 pasien sehingga terkesan acuh,
orang, kurangnya pendampingan dan
penyuluhan kepada pasien
mengenai alur pelayanan rumah
sakit, serta pelayanan yang
terkesan lambat. Penyampaian
layanan/jasa harus tepat waktu,
akurat, dengan perhatian dan
keramahan. Selanjutnya
disebabkan oleh faktor biaya,
waktu menerapkan program, dan
pengaruh layanan pelanggan.
Ketiga faktor ini merupakan inti
pemahaman dan penerapan suatu
sistem yang responsif terhadap
pelanggan dan organisasi untuk
pencapaian kepuasan optimum.
3. Torunn Kitty Hubungan antara Penelitian semua manajer Para manajer menunjukkan
Vatnoy RN, MSc, gaya kepemimpinan Studi cross- perawat lini perilaku kepemimpinan
Marianne manajer perawat, sectional pertama di unit transformasional tingkat tinggi,
Sundlisaeter budaya tim, dan (kuantitatif) MipAC yang secara signifikan terkait
Skinner PhD, Tor- perencanaan Norwegia dengan budaya tim. Tidak
Ivar Karlsen PhD kompetensi dalam ditemukan hubungan yang
RN (2021) layanan perawatan signifikan antara perilaku
akut rawat inap kota kepemimpinan dan perencanaan
Norwegia kompetensi yang terdokumentasi.
Khususnya, kami menemukan
korelasi yang signifikan antara
gaya kepemimpinan
transformasional dan
transaksional, yang menunjukkan
bahwa manajer menyesuaikan
perilaku kepemimpinan mereka
dengan persyaratan dan situasi
aktual. Faktor struktural
organisasi: bagian perawat
terdaftar (RN) pada staf dan
memiliki posisi perawat
pengembangan profesional
berhubungan positif dengan
perencanaan kompetensi.
4. Conrad Musinguzi, Hubungan antara Penelitian 564 petugas Petugas kesehatan di Uganda
Leticia Namale1, gaya kepemimpinan kuantitafif kesehatan dari lebih menyukai pemimpin yang
Elizeus dan motivasi 228 fasilitas transformasional (62%)
Rutebemberwa, pekerja kesehatan, kesehatan dibandingkan dengan
Aruna Dahal, kepuasan kerja dan transaksional (42%) atau laissez-
Patricia Nahirya- kerja sama tim di faire (14%). Kepemimpinan
Ntege, Adeodata Uganda transformasional berkorelasi
Kekitiinwa (2023) positif dengan motivasi ( R =0,32),
kepuasan kerja ( R =0,38), dan
kerja tim ( R =0,48), sedangkan
kepemimpinan transaksional
berkorelasi positif dengan
kepuasan kerja ( R =0,21) dan
kerja tim ( R =0,18). Motivasi
berhubungan positif dengan
pemimpin yang menampilkan
perilaku pengaruh ideal (rasio
odds [OR]=3,7; 95% CI, 1,33–
10,48) dan stimulasi intelektual
(OR=2,4; 95% CI, 1,13–5,15)
tetapi berhubungan negatif
dengan manajemen dengan
pengecualian (OR=0,4; 95%CI,
0,19–0,82). Kepuasan kerja
berhubungan positif dengan
stimulasi intelektual (OR=5.7;
95% CI, 1.83–17.79). Kerja tim
secara positif dikaitkan dengan
perilaku pengaruh ideal
(OR=1.07–8.57), pengaruh ideal
yang diatribusikan (OR=3.9; 95%
CI, 1.24–12.36), dan penghargaan
kontingen (OR=5.6; 95% CI,
1.87–17.01).
6. Murtiningsih Pengaruh Gaya Penelitian Sampel ini 111 Hasil penelitian menunjukkan
(2021) Kepemimpinan kuantitatif responden bahwa terdapat pengaruh yang
Transformasional signifikan kepemimpinan
Pada Kinerja transformasional terhadap kinerja.
Perawat Rumah Hal ini menunjukkan bahwa
Sakit Islam Siti semakin besar pengaruh
Aisyah Madiun kepemimpinan transformasional
semakin baik pula kinerja soerang
perawat.
7. Chasyanah Pengaruh Gaya explanatory karyawan Hasil penelitian menunjukkan
Lukianingtyas, Kepemimpinan research administrasi bahwa gaya kepemimpinan
Budi Nurhardjo , Transformasional (wawancara Rumah Sakit transformasional berpengaruh
Susanti dan Transaksional dan Wijaya Kusuma secara positif dan signifikan
Prasetyaningtyas Terhadap Loyalitas kuesioner) Lumajang terhadap loyalitas karyawan
(2021) Karyawan dengan jumlah administrasi Rumah Sakit Wijaya
Administrasi di 60 orang Kusuma Lumajang, gaya
Rumah Sakit Wijaya kepemimpinan transaksional
Kusuma Kabupaten berpengaruh secara positif dan
Lumajang signifikan terhadap loyalitas
karyawan administrasi Rumah
Sakit Wijaya Kusuma Lumajang.
8. Rizki Eka Putra Pengaruh Insentif, peneliatan Pegawai RSUD Hasil penelitian menunjukkan
Aznedra (2021) Perencanaan Sdm kuantitatif Embung fatimah bahwa faktor-faktor lingkungan
Dan Audit Msdm batam baik eksternal maupun internal
Terhadap Kinerja rumah sakit menempatkan RS
Pegawai Rumah Pertamina Jaya pada posisi
Sakit Umum Daerah Growth and Build pada Matriks IE
Embung Fatimah dan posisi Internal Fix-It pada
Batam Matriks TOWS. Alternatif strategi
terpilih adalah melakukan
Penetrasi Pasar disertai perbaikan
pada faktor-faktor yang
merupakan kelemahan rumah
sakit untuk menangkap peluang
yang dimiliki. Rencana
Implementasi disusun agar
sejalan dengan upaya pencapaian
Visi rumah sakit yaitu menjadi
Institusi Kesehatan yang mampu
bersaing di era globalisasi dengan
Pelayanan Berstandar
Internasional Tahun 2020.
9. Made Budarma Manajemen Penelitian Kepala Bagian Manajemen pelayanan di
dan Dewa Made Pelayanan diskriptif Umum dan IRJ/Poliklinik RSUD Kabupaten
Joni Ardana (2022) Kesehatan Di kualitatif SDM, Kepala Buleleng meliputi perencanaan
Instalasi Rawat IRJ/Poliklinik, yang merupakan fungsi dasar
Jalan/Poliklinik pegawai dan manajemen, pengorganisasian
Rsud Kabupaten perawat di yakni membagi-bagi tugas dan
Buleleng IRJ/Poliklinik pekerjaan kepada pegawai sesuai
RSUD, serta bidang keahliannya, pengarahan
pasien atau yakni memberikan instruksi,
keluarga pasien arahan, bimbingan dan
yang datang ke pengawasan terhadap kinerja
IRJ/Poliklinik pegawai, pengkoordinasian yang
RSUD. bertujuan untuk mencegah
kekacauan, percekcokan, dan
kekembaran atau kekosongan
pekerjaan serta mengarahkan
supaya semua pegawai dapat
bekerja dengan baik untuk
mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Terakhir adalah
pengendalian yang merupakan
fungsi terakhir dari proses
manajemen
10. Hendrisman , Analisis Manajemen Penelian ini 9 orang Hasil penelian ini menunjukkan
Sumengen Pemeliharaan bersifat informan bahwa dalam pelaksanaan sistem
Sutomo, Arnawilis, Sarana dan deskriptif pendukung penyelenggaraan pemeliharaan
Budi Hartono, Lita Prasarana di dengan rumah sakit belum terlaksana
Rumah Sakit Umum metode dengan semestinya, disebabkan
Daerah Rokan Hulu kualitaf oleh terbatasnya tenaga teknisi,
kurangnya pelatihan teknis dan
manajerial, dana masih belum
maksimal penggunaannya, sarana
parasarana masih belum
memenuhi kebutuhan ruang,
fungsi dan luasan, SPO sudah
ada namun masih belum lengkap.
Perencanaan, pengorganisasian,
dan pengawasan yang kurang
terlaksana dengan baik terutama
sistem pemeliharaan preventif
belum berjalan dengan baik.
E. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Ada hubungan karisma dengan gaya kepemimpinan direktur RS dalam

perencanaan kesehatan di RSUD H. Andi Sulthan Daeng Radja Tahun

2023

b. Ada hubungan motivasi/inspirasi dengan gaya kepemimpinan direktur

RS dalam perencanaan kesehatan d RSUD H. Andi Sulthan Daeng

Radja Tahun 2023

c. Ada hubungan stimulasi intelektua dengan gaya kepemimpinan

direktur RS dalam perencanaan kesehatan di RSUD H. Andi Sulthan

Daeng Radja Tahun 2023

d. Ada hubungan perhatian terhadap individu dengan gaya

kepemimpinan direktur RS dalam perencanaan kesehatan di RSUD H.

Andi Sulthan Daeng Radja Tahun 2023

e. Ada hubungan management by exception dengan gaya kepemimpinan

direktur RS dalam perencanaan kesehatan di RSUD H. Andi Sulthan

Daeng Radja Tahun 2023

f. Tidak ada hubungan management by exception dengan gaya

kepemimpinan direktur RS dalam perencanaan kesehatan di RSUD H.

Andi Sulthan Daeng Radja Tahun 2023


F. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Karisma

Gaya Kepemimpin karisma yaitu sejauh mana pemimpin

berperilaku dengan cara yang mengagumkan dan menampilkan

keyakinan dan sikap yang menyebabkan pengikut mengidentifikasi

dengan pemimpin yang memiliki seperangkat menghargai dan

bertindak sebagai teladan bagi para pengikut.

Pengukuran variabel ini menggunakan skala likert dengan lima

kategori yaitu sangat setuju (SS) dengan skor 5, setuju (S) dengan

skor 4, netral (N) dengan skor 3, tidak setuju (TS) dengan skor 2, dan

sangat tidak setuju (STS) dengan nilai 1, serta jumlah pertanyaan

keseluruhan berjumlah 5 pertanyaan, sehingga jumlah kemungkinan

diperoleh skor (nilai) adalah:

1. Skor tertinggi : Skoring Tertinggi X Jumlah Pertanyaan

: 5 x 10

: 50 (100%)

2. Skor Terendah : Skoring Terendah X Jumlah Pertanyaan

: 1 X 10

: 10 (20%)

3. Range : Skor Tertinggi - Skor Terendah

: 100% - 20%

: 80%
Maka, Interval : R/K = 80% / 2 = 50%

Kriteria Objektif:

Baik : Jika Presentase total Jawaban responden ≥ 50%

Kurang : Jika Presentase total Jawaban responden <50%

2. Motivasi/Inspirasi

Gaya Kepemimpinan Motivasi/inspirasi yaitu sejauh mana pemimpin

mengartikulasikan visi yang menarik dan menginspirasi pengikut

dengan optimisme tentang tujuan masa depan, dan menawarkan

makna untuk tugas di tangan saat ini.

Pengukuran variabel ini menggunakan skala likert dengan lima

kategori yaitu sangat setuju (SS) dengan skor 5, setuju (S) dengan

skor 4, netral (N) dengan skor 3, tidak setuju (TS) dengan skor 2, dan

sangat tidak setuju (STS) dengan nilai 1, serta jumlah pertanyaan

keseluruhan berjumlah 6 pertanyaan, sehingga jumlah kemungkinan

diperoleh skor (nilai) adalah:

1. Skor tertinggi : Skoring Tertinggi X Jumlah Pertanyaan

: 6 x 10

: 60 (100%)

2. Skor Terendah : Skoring Terendah X Jumlah Pertanyaan

: 1 X 10

: 10 (20%)

3. Range : Skor Tertinggi - Skor Terendah


: 100% - 20%

: 80%

Maka, Interval : R/K = 80% / 2 = 50%

Kriteria Objektif:

Baik : Jika Presentase total Jawaban responden ≥ 50%

Kurang : Jika Presentase total Jawaban responden <50%

3. Stimulasi intelektual

Gaya Kepemimpinan stimulasi intelektual yaitu sejauh mana pemimpin

menantang asumsi, merangsang dan mendorong kreativitas pengikut

dengan menyediakan kerangka kerja bagi pengikut untuk melihat

bagaimana mereka terhubung dengan pemimpin, organisasi, satu

sama lain, tujuan mereka secara kreatif dapat mengatasi segala

rintangan di dalamnya.

Pengukuran variabel ini menggunakan skala likert dengan lima

kategori yaitu sangat setuju (SS) dengan skor 5, setuju (S) dengan

skor 4, netral (N) dengan skor 3, tidak setuju (TS) dengan skor 2, dan

sangat tidak setuju (STS) dengan nilai 1, serta jumlah pertanyaan

keseluruhan berjumlah 6 pertanyaan, sehingga jumlah kemungkinan

diperoleh skor (nilai) adalah:

1. Skor tertinggi : Skoring Tertinggi X Jumlah Pertanyaan

: 6 x 10

: 60 (100%)
2. Skor Terendah : Skoring Terendah X Jumlah Pertanyaan

: 1 X 10

: 10 (20%)

3. Range : Skor Tertinggi - Skor Terendah

: 100% - 20%

: 80%

Maka, Interval : R/K = 80% / 2 = 50%

Kriteria Objektif:

Baik : Jika Presentase total Jawaban responden ≥ 50%

Kurang : Jika Presentase total Jawaban responden <50%

4. Perhatian Terhadap Individu

Gaya Kepemimpinan Perhatian terhadap individu yaitu sejauh mana

pemimpin memperhatikan setiap kebutuhan pengikut individu dan

bertindak sebagai mentor atau pelatih dan memberikan rasa hormat

dan penghargaan atas kontribusi individu. Ini memenuhi dan

meningkatkan kebutuhan setiap anggota tim untuk pemenuhan diri,

dan harga diri dan dengan demikian menginspirasi pengikut untuk

pencapaian dan pertumbuhan lebih lanjut.

Pengukuran variabel ini menggunakan skala likert dengan lima

kategori yaitu sangat setuju (SS) dengan skor 5, setuju (S) dengan

skor 4, netral (N) dengan skor 3, tidak setuju (TS) dengan skor 2, dan

sangat tidak setuju (STS) dengan nilai 1, serta jumlah pertanyaan


keseluruhan berjumlah 4 pertanyaan, sehingga jumlah kemungkinan

diperoleh skor (nilai) adalah:

1. Skor tertinggi : Skoring Tertinggi X Jumlah Pertanyaan

: 4 x 10

: 40 (100%)

2. Skor Terendah : Skoring Terendah X Jumlah Pertanyaan

: 1 X 10

: 10 (20%)

4. Range : Skor Tertinggi - Skor Terendah

: 100% - 20%

: 80%

Maka, Interval : R/K = 80% / 2 = 50%

Kriteria Objektif:

Baik : Jika Presentase total Jawaban responden ≥ 50%

Kurang : Jika Presentase total Jawaban responden <50%

5. Management By Exception

Gaya Kepemimpinan Management By Expection yaitu :

- Secara Passive, yaitu untuk mempengaruhi perilaku, pemimpin

menggunakan koreksi atau punishment sebagai respon atas hasil

atau kinerja yang kurang memuaskan (unacceptable performance)


- Secara Active, yaitu untuk mempengaruhi perilaku pemimpin

secara aktif memantau pekerjaan dan menggunakan koreksi untuk

menjamin bahwa pekerja itu telah selesai sesuai dengan standard.

Pengukuran variabel ini menggunakan skala likert dengan lima

kategori yaitu sangat setuju (SS) dengan skor 5, setuju (S) dengan

skor 4, netral (N) dengan skor 3, tidak setuju (TS) dengan skor 2, dan

sangat tidak setuju (STS) dengan nilai 1, serta jumlah pertanyaan

keseluruhan berjumlah 6 pertanyaan, sehingga jumlah kemungkinan

diperoleh skor (nilai) adalah:

2. Skor tertinggi : Skoring Tertinggi X Jumlah Pertanyaan

: 6 x 10

: 60 (100%)

2. Skor Terendah : Skoring Terendah X Jumlah Pertanyaan

: 1 X 10

: 10 (20%)

3. Range : Skor Tertinggi - Skor Terendah

: 100% - 20%

: 80%

Maka, Interval : R/K = 80% / 2 = 50%

Kriteria Objektif:

Baik : Jika Presentase total Jawaban responden ≥ 50%

Kurang : Jika Presentase total Jawaban responden <50%

Anda mungkin juga menyukai