Anda di halaman 1dari 30

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Kepemimpinan

2.1.1. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan atau leadership termasuk kelompok ilmu terapan atau

applied science dari ilmu-ilmu sosial sebab prinsip-prinsip dan rumusan-

rumusannya bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan manusia. Sebagai

langkah awal utuk mempelajari dan memahami segala sesuatu yang berkaitan

dengan aspek-aspek kepemimpinan dan permasalahannya. Perlu dipahami

terlebih dahulu makna atau pengertian dari kepemimpinan melalui berbagai

macam perspektif.

Oleh karena kepemimpinan menyentuh berbagai segi kehidupan

manusia, seperti cara hidup kesempatan berkarya, bermasyarakat, dan bahkan

bernegara, kiranya usaha sadar untuk semakin mendalami berbagai segi

kepemimpinan yang efektif ituperlu dilakukan dan bahkan ditingkatkan terus-

menerus oleh para ilmuan yang menekuni dan menggandrungi dengan tanpa

henti-hentinya mengumpulkan data dalam akumulasi teori-teori tentang

kepemimpinan. Beberapa ahli mengemukakan berbagai pengertian mengenai

kepemimpinan.

Pendapat lain juga mengemukakan menurut Robbins (2016 : 127)

bahwa “Pemimpin (leader) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang

lain dan memiliki otoritas manajerial. Kepemimpinan (leadership) merupakan

7
8

proses memimpin sebuah kelompok itu dalam mencapai tujuannya.

Kepemimpinan adalah apa yang dilakukan pemimpin”.

Menurut Taryaman (2016 : 7) secara umum dapat dikatakan bahwa

“Kepemimpinan adalah suatu ilmu dan seni untuk mempengaruhi orang lain

atau sekelompok individu untuk saling bekerja sama, tidak saling menjatuhkan

dalam rangka mencapai tujuan organisasi”.

Menurut Sutrisno (2014 : 213) “Kepemimpinan adalah suatu proses

kegiatan seseorang untuk menggerakkan orang lain dengan memimpin,

membimbing, memengaruhi orang lain, untuk melakukan sesuatu agar dicapai

hasil yang diharapkan”.

Menurut Vincent Gaspersz dalam Mallapiseng (2015 : 16)

mengemukakan bahwa “Kepemimpinan adalah proses dimana seseorang atau

sekelompok orang (tim) lain, menginspirasikan, memotivasi, dan mengarahkan

aktivitas mereka untuk mencapai sasaran dan tujuan”.

Berdasarkan pengertian kepemimpinan menurut para ahli, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan proses kegiatan

seseorang untuk menggerakkan orang lain dengan cara memimpin serta

mempengaruhi orang lain untuk bekerja sama dan tidak saling menjatuhkan

satu sama lain agar tujuan organisasi dapat tercapai.

2.1.2. Pengertian Gaya Kepemimpinan

Menurut Rivai dan Mulyadi dalam Kumala & Agustina (2018 : 27)

mendefinisikan bahwa “Gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang

digunakan pemimpin untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi


dapat tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah

pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang

pemimpin”.

Menurut Soekarso dalam Kumala & Agustina (2018 : 2) definisi gaya

kepemimpinan dapat diuraikan sebagai berikut;

1. Gaya Kepemimpinan adalah perilaku atau tindakan pemimpin dalam

mempengaruhi para anggota atau pengikut;

2. Gaya Kepemimpinan adalah perilaku atau tindakan pemimpin dalam

melaksanakan tugas-tugas pekerjaan manajerial.

Menurut Veithzal Rivai dalam Sudaryono (2014 : 312) mengemukakan

bahwa “Gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang

pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya.

Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah,

keterampilan, sifat, dan sikap yang mendasari perilaku seseorang”.

Menurut Siagian dalam (Erlangga, 2017) bahwa “Gaya kepemimpinan

seseorang adalah identik dengan tipe kepemimpinan orang bersangkutan.

Gaya kepemimpinan seorang pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan,

tempramen, watak, dan kepribadian tersendiri yang unik dan khas, hingga

tingkah laku dan gaya yang membedakan dirinya dengan orang lain”.

Berdasarkan penjelasan mengenai definisi gaya kepemimpinan

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan setiap orang

pemimpin mempunyai karakter, tingkah laku, dan watak kepribadian

tersendiri yang membedakan dengan orang lain. Pemimpin yang efektif dapat

mempengaruhi bawahan agar dapat mencapai tujuan organisasi.


2.1.3. Fungsi dan Peran Pemimpin dalam Organisasi

Fungsi pemimpin dalam organisasi menurut Terry dalam Sutrisno

(2014 : 219) dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : (1) perencanaan; (2)

pengorganisasian; (3) penggerak; (4) pengendalian. Dalam menjalankan

fungsinya pemimpin mempunyai tugas-tugas tertentu, yaitu mengusahakan

agar kelompoknya dapat mencapai tujuan dengan baik, dalam kerja sama yang

produktif, dan dalam keadaan yang bagaimanapn yang dihadapi kelompok.

Menurut Sutrisno (2014 : 219) “Pemimpin dalam suatu organisasi

memiliki peranan yang sangat penting, tidak hanya secara internal bagi

organisasi yang bersangkutan, akan tetapi juga dalam menghadapi berbagai

pihak di luar organisasi yang kesemuanya dimaksudkan untuk meningkatkan

kemampuan organisasi mencapai tujuannya”. Peran tersebut dapat

dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu yang bersifat interpersonal,

informasional, dan dalam pengambilan keputusan.

1. Peranan yang bersifat interpersonal

Dewasa ini telah umum diterima pendapat bahwa salah satu

tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang manajer ialah keterampilan

isani. Keterampilan tersebut mutlak perlu karna pada dasarnya dalam

menjalankan kepemimpinannya, seorang manajer berinteraksi dengan

manusia lain, bukan hanya dengan bawahannya, akan tetapi juga berbagai

pihak yang berkepentingan, yang dikenal dengan istilah stakeholder, di

dalam dan di luar organisasi. Itulah yang dimaksud dengan peran

interpersonal yang menampakkan diri.


2. Peranan yang bersifat Informasional

Informasi merupakan aset organisasi yang kritikal sifatnya.

Dikatakan demikian karena dewasa ini dan dimasa yang akan datang sukar

membayangkan adanya kegiatan organisasi yang dapat terlaksana dengan

efisien dan efektif tanpa dukungan informasi yang mutakhir, lengkap, dan

dapat dipercaya karena diolah dengan baik. Peran tersebut mengambil tiga

hal bentuk, yaitu;

a. Pemantau arus informasi yang terjadi dari dan kedalam organisasi.

Seorang manager selalu menerima berbagai informasi bahkan juga

informasi yang sebenarnya tidak harus ditunjukka kepadanya, tetapi

kepada orang lain dalam organisasi. Dalam kaitan ini perlu ditekankan

bahwa berkat kemajuan dan terobosan dalam bidang teknologi

informasi, yang dihadapi oleh manajer ialah melimpahkan informasi

yang diterimanya.

b. Peran sebagai pemberi informasi. Berbagai informasi yang diterima

oleh seseorang mungkin berguna dalam penyelenggaraan fungi

manajerialnya, akan tetapi mungkin pula untuk disalurkan kepada

orang lain atau pihak lain dalam organisasi. Peran ini menuntut

pemahaman yang mendalam tentang makna informasi yang

diterimanya, dan pengetahuan tentang berbagai fungsi yang harus

diselenggarakan.

c. Peran selaku juru bicara organisasi. Peran ini memerlukan kemampuan

menyalurkan informasi secara tepat kepada berbagai pihak diluar


organisasi, terutama jika menyangkut informasi tentang rencana,

kebijaksanaan, tindakan, dan hasil yang telah dicapai oleh organisasi.

Peranan ini juga menuntut pengetahuan yang mendalam tentang

berbagai aspek industri yang ditanganinya maka, peran tersebut sangat

penting dalam pembentukan dan pemeliharaan citra positif organisasi

yang dipimpinnya.

3. Peran Pengambil Keputusan

Peranan ini mengambil tiga bentuk suatu keputusan, yaitu;

a. Enterpreneur, seorang pemimpin diharapkan mampu mengkaji terus-

menerus situasi yang dihadapi oleh organisasi, untuk mencari dan

menemukan peluang yang dapat dimanfaatkan, meskipun kajian itu

sering menuntut terjadinya perubahan dalam organisasi;

b. Peredam gangguan, peran ini memikul tanggung jawab untuk

mengambil tindakan korektif apabila organisasi menghadapi gangguan

serius yang apabila tidak ditangani akan berdampak negatif kepada

organisasi;

c. Pembagi sumber dana dan daya. Tidak jarang orang berpendapat

bahwa makin itnggi posisi manajerial seseorang, wewenang pun makin

besar. Wewenang atau kekuasaan itu paling sering menampakkan diri

pada kekuasaan untuk mengalokasikan dana dan daya. Termasuk

diantaranya wewenang untuk menempatkan orang pada posisi tertentu,

wewenang mempromosikan orang, menurunkan pangkat. Kewenangan

itulah yang membuat para bawahan bergantung kepadanya.


2.1.4. Macam-Macam Gaya Kepemimpinan

Dari berbagai literatur dalan dan luar negeri yang diperoleh ada

banyak gaya kepemimpinan, ada lima gaya kepemimpinan menurut Fahmi

(2013 : 72) seperti berikut :

1. Gaya Kepemimpinan Otokratisasi dan Dictatoral

Gaya kepemimpinan otokratisasi disebut juga kepemimpinan

diktator atau direktif. Orang yang menganut pendekatan ini mengambil

keputusan tanpa konsultasi dengan para pegawai yangharus

melaksanakannya atau pegawai yang dipengaruhi keputusan tersebut.

Pemimpin menentukan apa yang harus dilakukan orang lain dan

mengharapkan mereka mematuhinya. Gaya kepemimpinan ini berdasarkan

terhadap kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi.

2. Gaya Kepemimpinan Militeralistis

Gaya kepemimpinan ini banyak menggunakan sistem perintah,

sistem komando dari atas kebawahan sifatnya keras sangat otoriter,

menghendaki bawahan agar selalu patuh, penuh acara formalitas.

3. Gaya Kepemimpinan Paternalistis

Bersikap melindungi bawahan sebagai seorang bapak atau seorang

ibu yang penuh kasih.

4. Gaya Kepemimpinan Laissez faire

Gaya kepemimpinan ini membiarkan bawahan berbuat semaunya

sendiri akan semua pekerjaan dan bertanggung jawab dilakukan oleh

bawahan dalam pencapaian tujuan organisasi.


5. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Gaya kepemimpinan ini dikenal pula dengan istilah kepemimpinan

konsultatif atau konsensus. Orang yang mengatur pendekatan ini

melibatkan para pegawai yang harus melaksanakan keputusan dalam

proses pembuatannya. Sebenarnya yang membuat keputusan akhir adalah

pemimpin. Tetapi hanya setelah menerima masukan dan rekomendasi dari

anggota tim. Kritik terhadap pendekatan ini menyatakan bahwa

kepemimpinan demokratis sesuai dengan sifatnya, cenderung

menghasilkan keputusan yang paling popular atau disukai tidak selalu

merupakan keputusan terbaik, dan bahwa kepemimpinan demokratis

sesuai dengan sifatnya, cenderung menghasilkan keputusan yang disukai

daripada keputusan yang tepat. Gaya ini juga dapat mengarah pada

kompromi yang pada akhirnya memberikan hasil yang diharapkan.

2.2. Kinerja Karyawan

2.2.1. Pengertian Kinerja Karyawan

Kinerja dalam bahasa Inggris disebut dengan job performance atau actual

performance atau level of performance, yang merupakan tingkat keberhasilan

pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya. Kinerja bukan merupakan

karakteristik individu, seperti bakat atau kemampuan, melainkan perwujudan dari

kemampuan dalam bentuk karya nyata atau merupakan hasil kerja yang dicapai

pegawai dalam mengemban tugas dan pekerjaan yang berasal dari perusahaan.

Mathis dan Jackson (2012) menyatakan bahwa “Kinerja pada dasarnya

adalah hal-hal yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pegawai dalam
mengemban pekerjaannya”. Rivai dan Sagala (2009) menyatakan bahwa “Kinerja

adalah perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang

dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan perannya dalam perusahaan”.

Benardin dan Russel (2011) menyatakan bahwa “Kinerja merupakan hasil

yang diproduksi oleh fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan pada pekerjaan

tertentu selama periode waktu tertentu. Hasil kerja tersebut merupakan hasil

kemampuan, keahlian, dan keinginan yang dicapai”. Milkovich dan Boudreau

(1997) menyatakan bahwa “Kinerja adalah tingkat pegawai melaksanakan

pekerjaannya sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan”.

Kinerja menurut Robbins (2006) berkaitan dengan banyaknya upaya yang

dikeluarkan individu pada pekerjaannya. Sinambela dkk (2012) menyatakan

bahwa “Kinerja adalah kemampuan pegawai dalam melakukan keahlian tertentu.

Kinerja pegawai sangatlah perlu sebab dengan kinerja ini akan diketahui seberapa

jauh kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugas yang dibebankan

kepadanya”. Untuk itu, diperlukan penentuan kriteria yang jelas dan terukur, serta

ditetapkan secara bersama-sama yang dijadikan sebagai acuan.

Harsuko (2011) menyatakan bahwa “Kinerja adalah sejauh mana

seseorang telah melaksanakan strategi perusahaan, baik dalam mencapai sasaran

khusus yang berkaitan dengan peran perseorangan dan/atau dengan

memperlihatkan kompetensi yang dinyatakan relevan bagi perusahaan. Kinerja

adalah konsep multidimensional yang mencakup tiga aspek, yaitu sikap (attitude),

kemampuan (ability), dan prestasi (accomplishment)”.

Berdasarkan uraian tersebut, kinerja merupakan perwujudan atas pekerjaan

yang telah dihasilkan atau diemban pegawai. Hasil tersebut tercatat dengan baik
sehingga tingkat ketercapaian kinerja yang seharusnya dan hal-hal yang terjadi

dapat dievaluasi dengan baik.

2.2.2. Kriteria-kriteria Kinerja Pegawai

Schuler dan Jackson (2010) menyebutkan tiga kriteria yang berhubungan

dengan kinerja sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1

Kriteria-kriteria Kinerja Pegawai

No. Kriteria Penjelasan

1. Sifat Kriteria berdasarkan sifat memusatkan diri pada

karakteristik pribadi seseorang karyawan. Loyalitas,

keandalan, kemampuan berkomunikasi, dan

keterampilanmemimpin merupakan sifat-sifat yang

sering dinilai selama proses penilaian. Jenis kriteria ini

memusatkan diri pada cara kerja seseorang, bukan pada

yang dicapai atau tidak dicapai seseorang dalam

pekerjaannya.

2. Perilaku Kriteria berdasarkan perilaku terfokus pada cara

pekerjaan dilaksanakan. Kriteria ini penting sekali bagi

pekerjaan yang membutuhkan hubungan antarpersonal

pegawai. Sebagai contoh, apakah pegawainya ramah


atau menyenangkan.

3. Hasil Kriteria berkenaan dengan hasil semakin popular

dengan semakin ditekannya produktivitas dan daya

saing internasional. Kriteria ini berfokus pada apa yang

telah dicapai atau dihasilkan.

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai

Gibson, Ivancevich, dan Donnely (2010) menyatakan bahwa “Faktor-

faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai adalah variabel individu, varibel

psikologis, dan variabel organisasional. Variabel individu meliputi kemampuan

dan keterampilan fisik ataupun mental; latar belakang, seperti keluarga, tingkat

sosial dan pengalaman; demografi, menyangkut umur, asal-usul, dan jenis

kelamin. Variabel organisasional meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan,

struktur, dan desain pekerjaan”.

Faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pegawai menurut Mathis dan

Jackson (2012) adalah sebagai berikut.

1. Kemampuan Individual

Mencakup bakat, minat, dan faktor kepribadian. Tingkat keterampilan

merupakan bahan mentah yang dimiliki oleh seseorang berupa

pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan

kecakupan teknis. Dengan demikian, kemungkinan seorang pegawai


mempunyai kinerja yang baik, jika kinerja pegawai tersebut memiliki

tingkat keterampilan baik, pegawai tersebut akan menghasilkan yang baik

pula.

2. Usaha yang dicurahkan

Usaha yang dicurahkan bagi pegawai adalah ketika kerja, kehadiran, dan

motivasinya. Tingkat usahanya merupakan gambaran motivasi yang

diperlihatkan pegawai untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Oleh

karena itu, jika pegawai memiliki tingkat keterampilan untuk mengerjakan

pekerjaan, ia tidak akan bekerja dengan baik jika hanya sedikit upaya. Hal

ini berkaitan dengan perbedaan antara tingkat keterampilan dan tingkat

upaya. Tingkat keterampilan merupakan cerminan dari kemampuan yang

dilakukan, sedangkan tingkat upaya merupakan cermin dari sesuatu yang

dilakukan.

3. Lingkungan Organisasional

Di lingkungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi

pegawai yang meliputi pelatihan dan pengembangan, peralatan, teknologi,

dan manajemen.

Sutermeister (1999) menyatakan bahwa “Faktor-faktor yang memengaruhi

pegawai terdiri atas motivasi, kemampuan, pengetahuan, keahlian, pendidikan,

pengalaman, pelatihan, minat, sikap kepribadian kondisi-kondisi fisik dan

kebutuhan fisiologis, kebutuhan sosial, serta kebutuhan egoistik”.

Milkovich dan Boudreau (1997) menyatakan bahwa kinerja pegawai

merupakan fungsi dari interaksi tiga dimensi, yaitu sebagai berikut.


1. Kemampuan (ability), artinya kepastian seorang individu untuk

mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan

keseluruhan seorang individu pada dasarnya tersusun dari dua perangkat

faktor.

a. Kemampuan fisik, yaitu kemampuan yang diperlukan untuk

melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan,

dan keterampilan, berupa faktor kekuatan dinamis, kekuatan tubuh,

kekuatan statik, keluwesan ekstent, kelwesan dinamis, koordinasi

tubuh, keseimbangan dan stamina;

b. Kemampuan mental/intelektual, yaitu kemampuan yang diperlukan

untuk kegiatan intelektual, seperti kecerdasan numeric, pemahaman

verbal, kecepatan perceptual, penalaran induktif, penalaran deduktif,

visualisasi ruang dan ingatan.

2. Motivasi (motivation), artinya kesediaan untuk mengeluarkan tingkat yang

tinggi kearah tujuan perusahaan yang dikondisikan oleh kemampuan

upaya untuk memenuhi suatu kebutuhan individual.

3. Peluang (opportunity), berkaitan dengan peluang yang dimiliki oleh

pegawai yang bersangkutan karena adanya halangan yang akan menjadi

rintangan dalam bekerja. Peluang ini meliputi dukungan lingkungan kerja,

dukungan peralatan kerja, ketersediaan bahan dan suplai yang memadai,

kondisi kerja yang mendukung, rekan kerja yang membantu, aturan dan

prosedur yang mendukung, cukup informasi untuk mengambil keputusan,

dan waktu kerja yang memadai untuk bekerja dengan baik.


Kinerja dipengaruhi oleh faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi

(motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Keith Davis (Mangkunegara, 2006),

yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kinerja adalah :

1. Human performance = ability + motivation

2. Motivation = attitude + situation

3. Ability = knowledge + skill

Faktor kemampuan secara psikologis terdiri atas kemampuan potensi,

yang disebut Intelligent Quotient (IQ) dan kemampuan realitas (knowledge +

skill). Artinya, pegawai dengan IQ tinggi dan pendidikan yang memadai untuk

jabatannya dan terampil dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, lebih mudah

mencapai kinerja yang diharapkan.

Selanjutnya, faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang

pegawai dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Sikap mental tersebut

merupakan kondisi mental yang mendorong pegawai untuk mencapai prestasi

kerja secara maksimal. Sikap mental seorang pegawai harus sikap mental yang

siap secara psikosifisik (sikap mental, fisik, tujuan, dan situasi). Artinya, harus

siap secara mental ataupun fisik, memahami tujuan utama dan target kerja yang

akan dicapai, serta mampu memanfaatkan dan menciptakan situasi kerja.

E. Meningkatkan Kinerja Pegawai

Menutur Tyson dan Jackson (2010), “Meningkatkan kinerja merupakan

konsep sederhana, tetapi penting. Konsep tersebut didasarkan pad aide bahwa

sebuah tim akan meningkat dengan cepat dan terus menerus dengan cara meninjau
keberhasilan dan kegagalannya”. Tyson dan Jackson (2010) menyebutkan empat

tahap dalam rencana kerja meningkatkan kinerja, yaitu:

1. Memulai tugas-tugas yang telah dikerjakan oleh kelompok dan

membiarkan tim mengidentifikasi faktor-faktor signifikan yang telah

memberikan kontribusi terhadap keberhasilan dan tugas-tugas yang

merintangi keberhasilan;

2. Dari faktor-faktor keberhasilan dan kegagalan, pilihan yang praktis dan

buang yang tidak mempunyai nilai;

3. Kelompok menyetujui cara membuat faktor-faktor tersebut dengan tepat

dan menyingkirkan yang lain;

4. Analisis tersebut tidak hanya dilakukan pada tingkat kelompok, tetapi

juga pada tingkat individual.

Wirjana (2010) menyatakan bahwa “Menigkatkan kinerja pada umumnya

terdiri atas meningkatkan kinerja pada tingkat organisasi dan pada tingkat

individu. Pada tingkat organisasi, kinerja yang kurang berkualitas merupakan

akibat atau hasil dari kepemimpinan yang kurang berkualitas, manajemen yang

kurang profesional, atau system kerja yang tidak baik”. Untuk mencapai

peningkatan kinerja yang berkualitas dan mengatasi masalah yang ditemui dalam

upaya meningkatkan kinerja, Schaffer dalam Wirjana (2010) memberikan

beberapa strategi:

1. Seleksi tujuan mengatasi masalah yang paling urgen terlebih dahulu,

mengoreksi biaya yang terlalu tinggi, spesifikasi kualitas yang rendah,

target kerja yang tidak tercapai, memastikan masalah-masalah tersebut

diatasi dengan tuntas;


2. Spesifikasi hasil yang diharapkan: sasaran harus specific, measureable,

achievable, realistic, time-bound (SMART);

3. Komunikasi yang jelas;

4. Alokasi tanggung jawab, perusahaan perlu membagi atau

mengalokasikan tanggung jawab untuk mencapai tujuan setiap pegawai;

5. Luas proses, sukses dalam mencapai tujuan dapat digunakan untuk

mengulangi proses dengan tujuan yang baru atau perluasan tujuan yang

terdahulu.

Tujuan perusahaan hanya dapat dicapai jika perusahaan tersebut didukung

oleh unit-unit kerja yang terdapat di dalamnya. Upaya yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan kinerja dapat dilakukan dengan cara-cara seperti yang disajikan

dalam Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2

Upaya Peningkatan Kinerja Pegawai

No. Upaya Penjelasan

1. Diskriminasi Seorang manajer harus mampu membedakan secara

objektif antara pegawai yang dapat memberikan

sumbangan penting bagi tujuan perusahaan dengan

pegawai yang tidak dapat memberikan sumbangan

penting. Penilaian kinerja dilakukan untuk mengetahui

hal tersebut. Melalui penilaian kinerja, keputusan yang

terukur dan adil dapat diambil, misalnya berkaitan

dengan pengembangan pegawai, penggajian, dan


sebagainya.

2. Pemberian Pada umunya, pegawai yang memiliki kinerja tinggi

Harapan mengharapkan berbgaia pengakuan dari perusahaan, baik

pengakuan dari sisi materi, sisi social internal

perusahaan, maupun jenjang karier tertentu sesuai

dengan kemampuan perusahaan. Untuk itu, perusahaan

harus mampu melakukan identifikasi yang tepat unutk

memastikan bahwa pegawai yang berkinerja baik

memiliki berbagai harapan yang penting bagi dirinya

sehingga ia termotivasi untuk mewujudkan kinerja

terbaik dan perusahaan memastikan bahwa harapan

pegawai tersebut dapat diberikan sesuai dengan

keinginan pegawai.

3. Pengembangan Upaya pengingkatan kinerja pegawai juga dapat

dirancang dalam skema pengembangan pegawai yang

sesuai dengan kinerja pegawai. Pegawai yang

menghasilkan kinerja tinggi dapat dipromosikan sesuai

dengan kebutuhan perusahaan dan sesuai dengan kinerja

pegawai, sementara itu pegawai yang memiliki kinerja di

bawah ketentuan, program pelatihan dan refreshing

diperlukan untuk memecahkan kebuntuan, sekaligus


meningkatkan kinerja pegawai.

4. Komunikasi Para manajer bertanggung jawab untuk mengevaluasi

kinerja para pegawai dan secara akurat

mengomunikasikan penilaian yang dilakukannya.untuk

melakukan secara akurat, para manajer harus mengetahui

kekurangan dan masalah yanh dihadapi pegawai dan cara

mengatasinya. Di samping itu, para manajer juga harus

mengetahui program pelatihan dan pengembangan yang

dibutuhkan. Untuk memastikannya, para manajer perlu

berkomunikasi secara intens dengan pegawai.

Daft (2010 : 5) mendefinisikan manajemen adalah pencapaian tujuan

organisasional dengan cara yang efektif dan efisien melalui perencanan,

pengorganisasian, memimpin, dan mengawasi sumber daya organisasional.

Pengertian senada diberikan pula oleh Schermerhorn (2010 : 17) yang

menyatakan bahwa “Manajemen adalah proses perencanaan pengorganisasian,

memimpin dan mengawasi penggunaan sumber daya untuk menyelesaikan tujuan

kinerja”.

“Manajemen adalah koordinasi dan pengawasan aktivitas pekerjaan orang

lain sehingga aktivitas mereka diselesaikan secara efisien dan efektif (Robbins

dan Coulter, 2009 : 22)”.


Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah proses

penggunaan sumber daya organisasi dengan menggunakan orang lain untuk

mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif.

Sementara itu, pengertian performance sering diartikan sebagai kinerja,


hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja mempunyai makna lebih luas,
bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja, tetapi juga bagaimana
proses kerja berlangsung. Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan
dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa
yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Kinerja
merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan
tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan
kontirbusi ekonomi (Armstrong dan Baron, 1998 : 15).

Colquitt, LePine, dan Wesson, (2011 : 35) mengemukakan bahwa kinerja


adalah nilai serangkaian perilaku pekerja yang memberikan kontirbusi,
baik secara positif maupun negative, pada penyelesaian tujuan organisasi.
Pendapat lain memandang kinerja sebagai cara untuk memastikan bahwa
pekerja individual atau tim tahu apa yang diharapkan dari mereka dan
mereka tetap focus pada kinerja efektif dengan memberikan perhatian
pada tujuan, ukuran dan penilaian (Cascio, 2013 : 693). Pendapat lain
lagi menytakan bahwa kinerja adalah hasil dari pekerjaan yang berkaitan
dengan tujuan organisasi seperti kualitas, efesiensi dan criteria lain dari
efektivitas (Gibson, Ivancevich, Donnelly, dan Konopaske, 2012 : 374).

Dengan pemahaman tentang manajemen dan kinerja di atas, dapat

dikatakan bahwa pada hakikatnya manajemen kinerja adalah tentang pekerjaan

yang akan dilakukan. Proses komunikasi merupakan suatu sistem, memiliki

sejumlah bagian yang semuanya harus diikutsertakan, apabila manajemen kinerja

ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer, dan karyawan.

Bacal dalam edisi baru bukunya memberikan perumusan bahwa

manajemen kinerja adalah proses komunikasi yang sedang berjalan, dilakukan

dengan kemitraan antara pekerja dengan atasan langsung mereka, yang

menyangkut menciptakan harapan dengan jelas dan saling pengertian tentang

pekerjaan yang harus dilakuakn (Bacal, 2012 : 4). Walaupun denan kandungan

yang sama, tampak bahwa perumusan terakhir dari Bacal tersebut merupakan
pengayaan terhadap perumusan sebelumnya tentang pengertian manajemen

kinerja.

Berbeda dengan Bacal yang menekankan pada proses komunikasi,

Armstrong (2004 : 29) “Lebih melihat manajemen kinerja sebagai sarana untuk

mendapatkan hasil yang lebih baik dari organisasi, tim, dan individu dengan cara

memahami dan mengelola kinerja dalam suatu kerangka tujuan, standar, dan

persyaratan-persyaratan atribut yang disepakati”.

Armstrong juga memperbarui perumusannya dengan menyatakan bahwa


manajemen kinerja adalah proses sistematis untuk memperbaiki kinerja
organisasional dengan mengembangkan kinerja individual dan tim.
Merupakan sarana untuk mendapatkan hasil lebih baik dengan memahami
dan mengelola kinerja dalam kerangka kerja yang disepakati tentang
tujuan terencana, standard dan persyaratan kompetensi (Armstrong, 2009 :
9). Perumusan tersebut menunjukkan bahwa Armstrong lebih menekankan
kedudukan manajemen kinerja sebagai proses sistematis untuk
memperbaiki kinerja, bukan hanya sebagai sarana untuk mendapatkan
hasil lebih baik. Dengan demikian, manajemen kinerja dalam mencapai
hasil dilakukan melalui proses sistematis.

Armstrong (2009 : 10) juga mengutip pendapat Briscoe dan Calus (2008)

yang memberikan pengertian “Manajemen Kinerja sebagai suatu sistem melalui

mana organisasi menetapkan tujuan kerja, mempertimbangkan standar kinerja,

memberikan dan mengevaluasi kerja, menyediakan umpan balik kinerja,

mempertimbangkan kebutuhan pelatihan dan pengembangn dan membagikan

penghargaan”.
2.3. Konsep Dasar Operasional dan Perhitungan

2.3.1 Kisi-kisi Operasional Variabel

Pada kisi-kisi operasional variabel dijelaskan dimensi citra merek dan

keputusan pembelian. Dimensi gaya kepemimpinan dan kinerja karyawan dapat

dikembangkan melalui pernyataan-pernyataan untuk dijadikan bahankuesioner.

1. Gaya Kepemimpinan

Tabel II.2

Tabel Dimensi dan Indikator Gaya Kepemimpinan

No. Gaya Kepemimpinan Indikator Butir Item

Gaya Kepemimpinan Mengambil keputusan sendiri,

1. Otokratisasi dan kekuasaan dan paksaan yang 1 –2

Dictatorial harus dipatuhi

Menggunakan sistem perintah,


Gaya Kepemimpinan
2. sifatnya keras, menghendaki 3 –4
Militeristis
bawahan agar selalu patuh

Gaya Kepemimpinan Bersikap melindungi bawahan


3. 5 –6
Paternalistis dan bersifat kekeluargaan

Membiarkan bawahan berbuat

Gaya Kepemimpinan semaunya sendiri akan semua


4. 7 –8
Laissez Faire pekerjaan dalam pencapaian

tujuan organisasi
Menerima masukan dan
Gaya Kepemimpinan
5. rekomendasi anggota tim 9– 10
Demokratis
lainnya

Sumber : (Fahmi, 2013)

2. Kinerja

Tabel II.3

Tabel Dimensi dan Indikator Komitmen Organisasi

No. Dimensi Variabel Kinerja Indikator Butir Item

Kapasitas seorang individu

1. Kemampuan (ability) untuk mengerjakan berbagai 1–4

tugas dalam suatu pekerjaan.

Kesediaan untuk

mengeluarkan tingkat yang

tinggi kearah tujuan

perusahaan yang
2. Motivasi (motivation) 6– 8
dikondisikan oleh

kemampuan upaya untuk

memenuhi suatu kebutuhan

individual

Peluang yang dimiliki oleh

3. Peluang (opportunity) pegawai yang bersangkutan 9 –10

karena adanya halangan yang


akan menjadi rintangan

dalam bekerja.

Sumber : Priansa (2017 : 112)

2.3.2. Uji Instrumen Penelitian

“Instrument penelitian adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk

memperoleh, mengolah, dan menginterpretasikan informasi yang diperoleh dari

para responden yang dilakukan dengan menggunakan pola ukur yang sama. Untuk

dapat dikatakan instrument penelitian yang baik, paling tidak memenuhi lima

kriteria yaitu: validitas, reabilitas, sensitivitas, objektivitas, dan fisiabilitas

(Syofian : 2013)”.

Dalam Wiratna (2015 : 160) “Uji validitas dan reabilitas digunakan untuk

menguji data yang menggunakan daftar pertanyaan atau kuesioner untuk melihat

pertanyaan dalam kuesioner yang diisi oleh responden tersebut layak atau belum

pertanyaan-pertanyaan digunakan untuk mengambil data”.

1. Uji Validitas

Menurut Noor (2015 : 19) tentang uji validitas ini dapat

disampaikan hal-hal pokoknya, sebagai berikut :

a. Uji ini sebenarnya untuk melihat kelayakan butir-butir pertanyaan

dalam kuesioner tersebut dapat mendefinisikan suatu variabel.

b. Daftar pertanyaan ini pada umumnya untuk mendukung suatu

kelompok variabel tertentu.

c. Uji validitas dilakukan setiap butir soal. Hasilnya dibandingkan

dengan r tabel | df = n – k dengan tingkat kesalahan 5%.


d. Jika < , maka butir soal tersebut valid.

2. Uji Reabilitas

Menurut Noor (2015 : 20) “Keandalan pengukuran dengan

menggunakan Alfa Croonbach adalah koefisien keandalan

yangmenunjukan seberapa baiknya item atau butir dalam suatu kumpulan

secara positif berkorelasi satu sama lain”. Tentang uji reliabilitas ini dapat

disampaikan hal-hal pokoknya, sebagai berikut :

a. Untuk menilai kestabilan dan konsistensi responden dalam menjawab

kuesioner. Kuesioner tersebut mencerminkan konstruk sebagai dimensi

suatu variable yang disusun dalam bentuk pertanyaan.

b. Uji reliabilitas dilakukan secara bersama-sama terhadap seluruh

pertanyaan.

c. Jika nilai α > 0,60 maka relibel. Dengan rumus sebagai berikut;

∑ ²
r= ( ) ²

fr = koefisien reliability instrument (cronbach alfa)

k = banyaknya butir pertanyaan

∑ ²= total varian butir

²= total varian

2.3.3. Konsep Dasar Perhitungan

Konsep dasar operasional serta perhitungan dalam tugas akhir ini terdapat

kisi-kisi operasional citra merek dan keputusan pembelian. Konsep dasar


perhitungannya terdapat populasi, sampel, skala likert, koefisien korelasi,

koefisien determinasi, dan persamaan regresi.

1. Populasi dan Sampel

Dalam Amos (2016 : 41) Populasi dan sampel merupakan sumber


untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam mengungkapkan
fenomena atau realitas yang dijadikan fokus penelitian kita. Dalam
kegiatan penelitian yang berkaitan dengan data selalu harus ada
sumber data dan sumber data yang berasal dari populasi. Populasi
adalah keseluruhan atau totalitas objek yang diteliti. Ciri-ciri
populasi disebut parameter. Oleh karena itu, populasi juga sering
diartikan sebagai kumpulan objek penelitian darimana data akan
dijaring atau dikumpulkan. Populasi dalam penelitian bisa berupa
orang atau individu, kelompok, organisasi, komunitas orang,
komunitas hewan atau masyarakat, maupun benda.

Sampel adalah sebagian unsur populasi yang dijadikan objek

penelitia. Sampel atau juga sering disebut contoh adalah wakil dari

populasi yang cirri-cirinya akan diungkapkan dan akan digunakan untuk

menaksir ciri-ciri populasi. Oleh karena itu, jika kita menggunakan sampel

sebagai sumber data, maka yang akan kita peroleh adalah ciri-ciri sampel

bukan ciri-ciri populasi. Ciri-ciri sampel disebut statistic, bila setiap

anggota tidak terkecuali yang ada dalam populasi diberi perlakuan

penelitian, maka disebut sensus.

2. Skala Likert

Skala likert adalah skala yang dapat digunakan untuk mengukur

sikap, pendapat, dan persepsi seseorang tentang suatu objek atau fenomena

tertentu. Skala likert memiliki dua bentuk pertanyaan, yaitu pertanyaan

postif dan pertanyaan negative. Pertanyaan positif diberi skor 5,4,3,2, dan

1. Sedangkan bentuk pertanyaan negative diberi skor 1,2,3,4, dan 5.


Bentuk jawaban skala likert terdiri dari sangat setuju, setuju, ragu-ragu,

tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

Dengan menggunakan skala likert, maka variable yang akan diukur

dijabarkan dari variable menjadi dimensi, dari dimensi dijabarkan menjadi

indikator, dan dari indikator dijabarkan menjadi sub-indikator yang dapat

diukur. Akhirnya, sub-indikator dapat digunakan tolak ukur membuat

suatu pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh responden.

Berikut contoh pernyataan positif dan negative untuk jawaban “setuju”.

Tabel II.4

Contoh Pernyataan Positif dan Negatif

No. Pertanyaan Positif Skor

1. Sangat Setuju (SS) 5

2. Setuju (S) 4

3. Netral (N) 3

4. Tidak Setuju (TS) 2

5. Sangat Tidak Setuju (STS) 1

No. Pertanyaan Negatif Skor

1. Sangat Setuju (SS) 1

2. Setuju (S) 2

3. Netral (N) 3

4. Tidak Setuju (TS) 4

5. Sangat Tidak Setuju (STS) 5

Sumber : Syofia (2013 : 26)


3. Uji Koefisien Korelasi

Menurut Amos (2016 : 129) koefisien korelasi adalah “Koefisien

yang didapat dari pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua

variable. Besarnya koefisien korelasi adalah berkisar antara +1 sampai

dengan -1”. Koefisien korelasi menunjukan kekuatan hubungan linier dan

arah hubungan dua variable acak. Jika koefisien positif, maka kedeua

variabel mempunyai hubungan searah. Artinya, jika nilai variabel X tinggi,

maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefisien korelasi

negative, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya,

jika nilai variable X tinggi, maka nilai variabel Y akan sangat rendah.

Singkatnya, koefisien korelasi adalah tingkat keeratan hubungan antara

variabel-variabel (r, R, p). Sesuai kajian teori interpretasi mengenai

kekuatan hubungan antara dua variabel mengikuti pedoman untuk

menginterpretasikan koefisien korelasi adalah sebagai berikut;

∑ (∑)(∑)
r= [ ∑ ² ][ ∑ ²(∑)²]

r = Koefisien korelasi

n = Jumlah

responden X =

Variabel bebas

Y = Variabel terikat

4. Uji Koefisien Determinasi

Dalam buku Amos (2016 : 130) menjelaskan “Koefisien

determinasi adalah kadar kontribusi variabel bebas terhadap variabel


terikat (r², R²)”. Koefisien determinasi dilambangkan dengan r², nilai ini

menyatakan proporsi variasi keseluruhan dalam nilai variabel dependen

yang dapat diterangkan atau diakibatkan oleh hubungan linier dengan nilai

variabel independen. Selain itu, misalkan r² = 96%, maka nilai variabel

yang dapat diterangkan oleh variabel independen adalah sebesar 96%

sedangkan 4% sisanya diterangkan oleh galat (eror) atau pengaruh variabel

lain.

Dalam hubungannya dengan korelasi, maka r² merupakan kuadrat

dari koefisien korelasi yang berkaitan dengan variabel bebas (X) dan

variabel terikat (Y). secara umum dikatakan bahwa r² merupakan kuadrat

korelasi antara variabel yang digunakan sebagai predictor (X) dan variabel

yang memberikan respon (Y). Dengan menggunakan bahasa sederhana r²

merupakan koefisien korelasi yang dikuadratkan. Oleh karena itu,

penggunaan koefisien determinasi dalam korelasi tidak harus

diinterpretasikan sebagai besarnya pengaruh variabel X dan Y mengingat

bahwa korelasi tidak sama dengan kausalitas. Secara bebas dikatakan dua

variabel mempunyai hubungan belum tentu variabel satu mempengaruhi

variabel lainnya. Lebih lanjut dalam konteks korelasi antara dua variabel

maka pengaruh variabel X terhadap Y tidak tampak. Kemungkinannya

hanya korelasi merupakan penanda awal bahwa variabel X mungkin

berpengaruh terhadap Y. sedang bagaimana pengaruh itu terjadi dan ada

atau tidak kita akan mengalami kesulitan untuk membuktikan bahwa

variabel X mempengaruhi Y.
Menurut Wibisono (2015 : 587) “Besarnya koefisien determinasi

dari perubah acak X dan Y”. Oleh karena koefisien determinasi

merupakan kuadrat dari koefisien korelasi maka koefisien determinasi r²

diturunkan dari persamaan yaitu :

r² = 1 − ∑( − )²
− )²
(

5. Persamaan Regresi

Amos (2016 : 128) menjelaskan “Regresi adalah merupakan alat

ukur yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antar

variable”. Analisis regresi diartikan sebagai suatu analisis tentang

kebergantungan suatu variabel pada variabel lain, yaitu variabel bebas

dalam rangka membuat estimasi atau prediksi dari nilai rata-rata variabel

bergantung dengan diketahuinya nilai variabel bebas. Regresi linier adalah

salah satu model statistic untuk menganalisis bentuk hubungan antara dua

atau lebih variabel. Tujuannya untuk membuat perkiraan atau prediksi

nilai suatu variabel dependen dengan variabel independen lain. Regresi

linier ada dua macam, yaitu yang sederhana dan yang ganda, yang

sederhana hanya melibatkan satu variabel independen sedang sedangkan

yang ganda melibatkan lebih dari satu variabel independen. Regresi adalah

bentuk hubungan fungsional antara variabel-variabel: f (X, Y, Z, …) = 0.

Gunanya regresi adalah untuk meramal atau prediksi.


Dalam Wiratna (2015 : 116) “Untuk menghitung persamaan regresi

yaitu menghitung a, b1, b2 dapat menggunakan persamaan berikut: (untuk

regresi dengan saru variabel dependen dan dua variabel independen)”.

Anda mungkin juga menyukai