Hutan Kemasyarakatan
dan Hutan Desa
terhadap Pendapatan dan
Pengurangan Kemiskinan
STUDI KASUS
Disusun oleh:
Penyusun
Gutomo Bayu Aji
Rusida Yuliyanti
Joko Suryanto
Andini Desita Ekaputri
Tanjung Saptono
Hasriani Muis
Publikasi pertama
April 2015
Publikasi kedua
Oktober 2015
Penelitian ini disusun dengan dukungan
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia
Jl. Wolter Monginsidi No.3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
T: +62-21-7279-9566
F: +62-21-720-5260, +62-21-720-4916
http://www.kemitraan.or.id
Program dan publikasi ini didukung oleh
The Royal Norwegian Embassy
STUDI KASUS
Disusun oleh:
Gutomo Bayu Aji, Rusida Yuliyanti, Joko Suryanto, Andini Desita Ekaputra
Tanjung Saptono, Hasriani Muis
Kerjasama penelitian antara:
Sekapur Sirih
Pengantar
Daftar Isi
Sekapur Sirih ii
Pengantariv
Daftar Isi vi
Bab 1 10
Pendahuluan10
Kehutanan Masyarakat: Sebuah Respon Empiris 12
Tentang Kajian Ini 15
Bab 2 18
Dinamika Penguasaan Kawasan 18
HKm Kulonprogo 19
Pengambilalihan Lahan untuk Kawasan Hutan 22
Dinamika Pengelolaan Hutan Paska Kemerdekaan 25
Hutan Desa Namo 30
Perubahan Penguasaan Hutan 31
Bab 3 38
Perubahan Pendapatan 38
Kasus HKm Kalibiru dan Selo Timur 40
Perubahan Pendapatan, Penguasaan Lahan dan Mata Pencaharian 41
Distribusi Pendapatan Rumah Tangga 47
Skenario Pendapatan 35 Tahun ke Depan 50
Kasus Hutan Desa Namo 51
Perubahan Pendapatan, Penguasaan Lahan, dan Mata Pencaharian 53
Distribusi Pendapatan Rumah Tangga 55
Skenario Pendapatan Selama 35 Tahun ke Depan 58
Bab 4 60
Kontribusi terhadap Pengurangan Kemiskinan 60
vii
Bab 5 74
Kontribusi terhadap Perekonomian Daerah 74
Manfaat Kegiatan Wanatani 74
Wanatani dalam Perekonomian Daerah 77
Kontribusi Wanatani terhadap Perekonomian Kulonprogo 79
Kasus Wanatani HKm Kalibiru dan Selo Timur 79
Kontribusi Ekowisata di Dusun Kalibiru 83
Kontribusi Hasil Hutan Bukan Kayu terhadap Perekonomian Sigi 84
Kasus Hutan Desa Namo 84
Bab 6 90
PENUTUP90
Simulasi Peningkatan Hasil Wanatani 94
HKm Kalibiru dan Selo Timur 94
Hutan Desa Namo 95
Daftar Pustaka 98
Lampiran100
Perbandingan Pengukuran kemiskinan dengan Metode Unit
Konsumen Standar dan Badan Pusat Statistik 100
Metode Unit Konsumsi Standar 100
Metode BPS 101
Tingkat Kemiskinan di Dusun Kalibiru dan Selo Timur dengan Metode Unit Konsumen Standar dan BPS 102
Dengan Metode Unit Konsumen Standar 102
Dengan Metode BPS 102
Simulasi Pengukuran Tingkat Kemiskinan Rumah Tangga Peserta HKm di Kalibiru dan Selo Timur dengan
Metode Unit Konsumen Standar 103
Hasil Perhitungan Tingkat Kemiskinan di Desa Namo dengan Metode Unit Konsumen Standar dan BPS 105
Dengan Metode Unit konsumen standar 105
Dengan Metode BPS 105
Simulasi Pengukuran Tingkat Kemiskinan Rumah Tangga Peserta Hutan Desa Namo dengan Metode Unit
Konsumen Standar 106
Bab 1
Pendahuluan
pohon yang harus ditanam. Praktis, satu-satunya walaupun dalam taraf kelestarian dan kesejahteraan
gagasan yang masih murni dari masyarakat adalah yang berbeda-beda. Pada kasus lain, sekedar sebagai
praktik wanatani4, selebihnya terkesan merupakan contoh yaitu HKm di Sumberjaya, Lampung Barat
pencangkokan kehutanan ilmiah dari negara kepada misalnya, slogan itu setidaknya mulai menjadi
kelompok tani ataupun badan usaha masyarakat kenyataan. Kondisi hutan di kawasan hutan lindung
di tingkat desa. Dalam hal ini tentu saja “doktrin Bukit Rigis yang menjadi areal HKm kelompok
kehutanan” diadaptasikan kepada kelompok tani atau tani di Sumberjaya tampak terpelihara dengan baik,
badan usaha di tingkat desa sehingga pembagian sementara itu para petani HKm dapat mengelola lahan
keuntungan antara pemerintah dan masyarakat dapat hutan dengan jenis tanaman komoditas unggulan
terpelihara secara terus-menerus. Pemerintah dapat daerah Lampung Barat yaitu Kopi. Berkat Kopi
menekan anggaran pengelolaan hutan sesuai dengan di hutan lindung, yang menurut pihak kehutanan
pengurangan keuntungan yang harus dibagi kepada dinyatakan sebagai kopi legal karena ditanam melalui
masyarakat yang telah mengalokasikan biaya yang skema perijinan HKm dan dengan syarat kelestarian
berupa tenaganya untuk memelihara hutan sehingga minimal yaitu 400 batang kayu per hektar—dan
atas dasar hubungan saling menguntungkan itu hutan lebih dari 1000 batang pohon Kopi—petani hutan di
dapat lestari. desa-desa sekitar hutan lindung Bukit Rigis terjamin
Gagasan yang dipandang radikal dalam tradisi pendapatannya. Pada saat harga Kopi tinggi maka
kehutanan ilmiah, namun bisa jadi dianggap sebagai hasil Kopi dari HKm itu dapat mengeluarkan sebagian
jalan kompromi yang moderat dimata masyarakat besar rumah-tangga petani hutan itu dari bawah garis
inilah yang sejak reformasi sampai dengan saat ini kemiskinan (Aji, dkk., 2012).
diperjuangkan oleh kalangan akademisi dan aktivis Kasus Sumberjaya telah menginspirasi banyak
kehutanan masyarakat untuk mendorong perubahan HKm di Indonesia namun tidak semua HKm
pengelolaan hutan berbasis masyarakat, mengurangi dapat seberhasil itu. Kunci keberhasilan HKm di
konflik serta kemiskinan di desa-desa sekitar hutan. Sumberjaya adalah ditemukannya kompromi yang
Ada suatu keyakinan di kalangan aktivis kehutanan realistis dalam kontestasi antara tanaman hutan (sesuai
bahwa paradigma baru kehutanan masyarakat aturan kehutanan ilmiah) dan tanaman komoditas
dapat mengubah kondisi kehutanan saat ini yang Kopi (praktik wanatani dalam kehutanan masyarakat)
mengalami deforestasi terus-menerus serta kondisi di lahan HKm, tanpa tanaman komoditas Kopi
kemiskinan penduduk di sekitarnya. Suatu pandangan rasanya agak sulit untuk mengatakan pendapatan
yang bersumber dari gagasan kehutanan masyarakat mereka meningkat secara signifikan. Sementara
bahwa kelestarian hutan memiliki hubungan timbal- itu, masalah utama yang dihadapi HKm di berbagai
balik dengan kondisi kesejahteraan masyarakat daerah adalah belum diketemukannya praktik
mulai diterima secara umum. Pandangan itu tidak wanatani terutama tanaman komoditas yang cocok
berlebihan apabila melihat sejarah pengelolaan hutan yang dapat dikembangkan oleh petani hutan baik
sejak masa kolonial hingga munculnya pendekatan di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi.
social forestry dan kehutanan masyarakat ini. Dalam Apabila pihak kehutanan telah menerima formulasi
beberapa kasus kehutanan masyarakat, kelompok tani kelestarian minimal dengan jumlah tegakan pohon
ataupun badan usaha di tingkat desa yang diberi ijin hutan sebanyak 400 batang pohon kayu per hektar5,
pengelolaan HKm dan HD memperlihatkan hubungan maka sisa lahan dalam jarak satuan itu dapat diuji
timbal-balik yang nyata. Hutan lestari dan masyarakat coba dengan berbagai tanaman komoditas. Namun
sejahtera bahkan menjadi slogan di beberapa daerah
5 Hal ini disampaikan oleh Dirjen DAS dan Perhutanan Sosial
Kementerian Kehutanan dalam Seminar “Peningkatan
4 Wanatani bisa dilihat sebagai praktik asli petani, antara lain Kesejahteraan Masyarakat Melalui Kehutanan Masyarakat”,
disinggung dalam Simon (2008) Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta, 29 Januari 2015.
demikian tidak mudah untuk menemukan tanaman dukungan stakeholder baik dari kalangan LSM,
komoditas bahkan oleh petani hutan sendiri yang universitas maupun pemerintah daerah setempat
notabene telah mengenal dengan sangat baik karakter yang mampu menciptakan wacana yang kuat tentang
lahan di lokasi HKm yang mereka kelola. Pada kehutanan masyarakat di daerah itu. Animo gerakan
kasus HKm di Kulonprogo misalnya, masyarakat kehutanan masyarakat tidak berkembang sama di
yang hidup secara turun-temurun di lokasi itu telah setiap daerah di mana HKm dan HD diselenggarakan
mengenal dengan sangat baik karakter lahan dan hutan sehingga hal-hal itu antara lain juga berpengaruh
di kawasan itu, namun tidak juga menemukan jenis pada keberhasilan pengelolaan HKm dan HD secara
tanaman komoditas yang cocok yang dapat diproduksi lestari dan kesejahteraan masyarakatnya. Bahkan
dengan baik dan menembus pasar. Praktik wanatani di satu daerah yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta
pada HKm di Kulonprogo tidak mengandalkan misalnya, sekedar sebagai contoh, animo gerakan
tanaman komoditas yang besar seperti Kopi, namun kehutanan masyarakat yang terjadi di Kulonprogo dan
justru tanaman umbi-umbian, jamu-jamuan serta Gunung Kidul bisa berbeda-beda. Di kalangan aktivis
Hijauan Makanan Ternak (HMT) yang kini semakin kehutanan masyarakat sendiri terdapat semacam
berharga. Sedangkan pada kasus Hutan Desa Namo, sekat-sekat ideologis, selain kepentingan sumber-
Rotan dan Damar justru tampak telah menurun dari sumber donasi, yang tidak selalu mempertemukan
masa kejayaannya antara tahun 1970-an sampai mereka dalam suatu gerakan sosial bersama-sama
dengan 1980-an. Pada saat ini, masyarakat justru walaupun berada di jangkauan wilayah yang sama.
tertarik mengembangkan tanaman coklat di kebun- Sekat ideologis telah sejak lama menjadi hambatan
kebun mereka di luar hutan lindung. gerakan sosial khususnya kehutanan masyarakat yang
Dengan kata lain, satu kasus di lokasi HKm ataupun luas. Sekat-sekat itu antara lain dipengaruhi oleh
HD, sebagaimana HKm di Sumberjaya tidak dapat pemahaman terhadap suatu disiplin ilmu pengetahuan
menjadi ukuran keberhasilan HKm di berbagai daerah terutama yang bersifat praksis. Namun demikian,
di Indonesia karena setiap lokasi HKm ataupun berbagai perbedaan karakteristik dan keragaman
HD memiliki karakteristik lahan dan hutan serta pilihan serta kepentingan itu, untuk saat ini pada
masyarakat dan stakeholder pendukung yang berbeda- tataran nasional telah disatukan dalam semangat yang
beda. Kunci lain yang belum tentu ditemukan di sama yaitu devolusi pengelolaan hutan.
tempat lain namun menyolok di Sumberjaya adalah
15
petani maka pendekatan yang digunakan adalah sederhana mengenai kontribusi HKm dan HD
menghitung ekonomi rumah-tangga petani khususnya terhadap perekonomian daerah yang menjadi daerah
kontribusi usaha kehutanan masyarakat di dalam kajian, dan 6) penutup yang berisi kesimpulan dan
totalitas pendapatan rumah-tangga petani itu. Di rekomendasi.
banyak desa hutan, hampir tidak ada petani hutan yang
menggantungkan seluruh hidupnya pada sumberdaya
hutan saat ini. Selain bekerja sebagai petani hutan,
mereka umumnya juga bekerja di tempat lain antara
lain sebagai petani lahan milik diluar hutan, pekebun,
peladang, peternak, atau sekedar pengolah lahan
pekarangan. Tidak jarang pula, diantara petani hutan
yang memiliki sumber pendapatan diluar pertanian
seperti perdagangan, jasa, dan upah/gaji. Dalam hal
ini, ekonomi rumah-tangga petani hutan sudah harus
dilihat sebagai yang bersumber dari berbagai jenis
pekerjaan (multiple-occupation).
Sedangkan untuk melihat makna usaha kehutanan
masyarakat itu di dalam sejarah kehidupan mereka,
akan diletakkan di dalam dinamika penguasaan
kawasan hutan. Dengan kata lain, kajian ini juga
mencoba melihat sejauhmana kontribusi usaha
kehutanan masyarakat itu di dalam sejarah akses
dan kontrol kawasan hutan. Secara teknis, untuk
menghitung kontribusi pendapatan dan pengurangan
kemiskinan dari usaha kehutanan masyarakat
itu dilakukan survei rumah-tangga petani hutan
dan berbagai simulasi perhitungan kemiskinan.
Sedangkan untuk memperoleh pandangan subyektif
atas kemiskinan di suatu daerah dilakukan diskusi
dengan KTH dan BUMDes mengenai persepsi dan
ukuran-ukuran subyektif mereka tentang kemiskinan
di tingkat rumah-tangga dan masyarakat.
Tulisan dibagi ke dalam enam bagian yaitu 1)
pendahuluan yang merupakan pengantar kajian ini,
2) dinamika penguasaan kawasan yang mencoba
menjelaskan sejarah penguasaan kawasan hutan yang
sekarang menjadi lokasi HKm dan HD dari sudut
pandang sejarah lisan masyarakatnya, 3) melihat
perubahan pendapatan serta distribusi pendapatan
rumah-tangga petani dengan dan tanpa sumber-
sumber pendapatan dari HKm dan HD, 4) menghitung
tingkat kemiskinan rumah-tangga petani dengan dan
tanpa HKm dan HD, 5) mencoba membuat simulasi
17
Bab 2
HKm Kulonprogo
K ulonprogo merupakan eks wilayah Kesultanan
Yogyakarta atau yang sekarang disebut Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Letak wilayahnya di
sebelah barat-laut dengan topografi berbukit yang
sebagian besar merupakan perbukitan Menoreh. Luas
Jalan setapak yang berada di dalam wilayah HKm Kalibiru.
hutan di wilayah Kabupaten Kulonprogo sekitar
856,5 hektar atau kurang dari 1,5% dari luas wilayah
kabupaten (58.627,54 hektar). Di wilayah DIY, luas kawasan hutan negara dengan tanah milik penduduk.
hutan itu sekitar 4,6% dari total luas hutan propinsi Di area sekitar batas terlihat kontras antara kawasan
(18.715,06 hektar) atau paling kecil dibandingkan hutan negara dengan tanah milik penduduk yang
dengan luas hutan di tiga kabupaten lainnya: umumnya merupakan pekarangan. Tidak heran apabila
Gunung Kidul (73,8%), Bantul (5,6%), dan Sleman hutan sebenarnya merupakan bagian dari lingkungan
(9,2%)1. Dari luas hutan di Kabupaten Kulonprogo alami penduduk desa-desa di pinggiran hutan, apabila
itu, dibagi menjadi dua fungsi yaitu hutan lindung akses mereka tidak ditutup. Jumlah desa-desa di
(254,9 hektar) dan hutan produksi (601,6 hektar). pinggiran hutan di Kabupaten Kulonprogo cukup
Hutan lindung di Kabupaten Kulonprogo umumnya besar diperkirakan mencapai lebih dari sepertiga
terletak di kelerengan dari jumlah desa di daerah itu. Pada saat ini, jumlah
curam, sedangkan penduduk di Kabuoaten Kulonprogo diperkirakan
hutan produksi sekitar 459.231 Jiwa (129.789 KK), dengan jumlah
lebih rendah. Jenis keluarga miskin sebanyak 45.025 KK (37,5%) yang
tanaman yang sebagian besar berada di sekitar kawasan hutan
dibudidayakan adalah negara. Hal itu berarti, hampir seluruh kawasan hutan
Jati, Mahoni, Akasia, di Kulonprogo sebenarnya merupakan lingkungan
Pinus, Sono, Kayu alami penduduk desa. Mereka umumnya bekerja
Putih dan lainnya sebagai petani lahan kering di perbukitan, peternak
yang mirip dengan sapi, pedagang kecil, dan sebagian merupakan
hampir semua jenis pegawai.
tanaman budidaya Hubungan antara
hutan di DIY (kecuali penduduk dengan hutan
hutan suaka alam di sudah berlangsung sejak
Kabupaten Sleman). lama bahkan sudah
Kawasan hutan
Lahan di wilayah HKm Selo Timur yang sedang menurun ke beberapa
digarap untuk ditanami palawija. di Kabupaten generasi. Ada sejarah
Kulonprogo telah yang menyertainya
ditata-batas pada jaman kolonial, sebagaiman kawasan dan dinamika dalam
hutan di kabupaten lain di DIY. Desa-desa yang pengelolaannya. Dalam
terletak di perbukitan berbatasan langsung dengan sejarah dan dinamika
kawasan hutan, dengan tanda batas yang jelas antara itu, HKm dapat
1 Hutan di wilayah Kabupaten Sleman merupakan hutan suaka
dikatakan merupakan
alam yang termasuk ke dalam Taman Nasional Gunung Merapi bentuk hubungan baru
Singkong, salah satu palawija yang ditanam
seluas 1728,28 hektar. Sedangkan hutan lainnya yang tidak dalam pengelolaan
disebutkan dari total luas hutan di DIY itu sekitar 6,8%. oleh anggota KTH Selo Timur sebagai
tanaman sela di wilayah HKm Selo Timur.
luas itu adalah 83,0 hektar untuk dua KTH di RPH lahan pekarangan milik penduduk. Hal lain yang
Kokap dan 119,8 hektar untuk lima KTH di RPH menjadi pertimbangan tim adalah ketergantungan
Sermo. Di wilayah RPH Kokap terdiri dari dua penduduk terhadap sumberdaya hutan tergolong
petak yaitu petak 17 seluas 43,4 hektar dan petak 19 tinggi (Dokumen laporan inventarisasi, 2002).
seluas 39,6 hektar yang merupakan hutan produksi. Pertimbangan yang kedua ini agak kurang terperinci
Sedangkan di wilayah RPH Sermo terdiri dari tiga sehingga memberikan kesan bahwa penduduk sekitar
petak yaitu petak 28 seluas 34,2 hektar, petak 29 tergantung atau sangat tergantung pada sumberdaya
seluas 62,0 hektar, dan petak 30 seluas 23,6 hektar hutan. Padahal hutan pada saat dilakukannya
yang merupakan hutan lindung. Petak 28 dan 29 inventarisasi saat itu dalam keadaan relatif gundul
masing-masing dikelola oleh dua KTH sehingga sehingga pertimbangan ketergantungan itu menjadi
total ada tujuh KTH yang memperoleh ijin IUPHKm pertanyaan tersendiri. Dengan demikian, penggarapan
selama 35 tahun (2007-2042). telah dilakukan sebelum diberikannya IUPHKm
Dasar pertimbangan tim membagi wilayah tersebut sehingga penggarapan menjadi dasar pembagian lahan
sebagai areal HKm kepada tujuh KTH itu adalah kepada setiap rumah-tangga.
penggarapan. Areal tersebut sudah digarap oleh Penelitian ini dilakukan di dua KTH yaitu KTH
penduduk sekitar sebagai lahan bercocok-tanam Mandiri di Dusun Kalibiru, Desa Hargowilis
terutama untuk tanaman pangan. Penggarapan secara yang mengelola petak 28 dan 29 (hutan lindung);
massif terjadi setelah penjarahan hutan secara besar- dan KTH Taruna Tani di Desa Selo Timur yang
besaran pada awal Reformasi sehingga kondisi mengelola petak 17 (hutan produksi). Pertimbangan
tegakan pohon antara lahan pekarangan milik di dua KTH tersebut adalah 1) kelembagaan KTH
penduduk dengan kawasan hutan tampak lebih baik (sebagaimana rekomendasi tim inventarisasi dan
Alamat Dusun/Desa/
Semisim/Emponan
Tahun Tanam
Garapan (ha)
(12-Des-07)
(15-Feb-03)
Kecamatan
Petak (ha)
RPH/BDH
No petak
Anggota
MPTS
Kayu
No.
Kpts/2003
Progo
Timur/H/K Kpts/2003
5 Rukun Girinyono/ 102 J, M N,C,Mo 38,6 - 29/ 453/2007 24/
Sermo/Kulon Progo
identifikasi tahun 2002), 2) selain perbedaan status memungkinkan berbagai macam tanaman pangan dan
hutan yaitu hutan lindung untuk petak 28 dan 29, pakan ternak (sapi) tumbuh dibawahnya. Sedangkan
dan hutan produksi untuk petak 17. Kelembagaan jenis pohon pada hutan produksi hampir tunggal
menjadi pertimbangan penting karena menentukan yaitu Jati atau monokultur yang ditanam pada usia
perkembangan pengelolaan HKm. Dengan demikian, yang relatif sama dengan jarak tanam yang rapat dan
dua KTH tersebut diharapkan dapat mewakili konsisten. Pada hutan produksi, tanaman pangan
perkembangan pengelolaan HKm di Kulonprogo baik yang bisa tumbuh tidak sebanyak pada hutan lindung.
di hutan lindung dan di hutan produksi. Selain itu, Itupun hanya pada saat Jati berumur di bawah empat
3) perbedaan status ini juga dianggap penting karena tahun, sesudah itu tanaman pangan semakin berkurang
keduanya memiliki karakteristik pengelolaan yang dan petani lebih banyak menunggu pembagian hasil
berbeda, sebagai contoh, di hutan produksi berlaku kayu Jati. Tanaman selain pangan mungkin saja
aturan tebang pilih, di hutan lindung tidak, di hutan masih bisa tumbuh dibawah tegakan Jati namun juga
produksi tidak banyak tumbuh tanaman pangan atau mengandalkan musim penghujan karena tanah di
paling tidak, tidak sebanyak di hutan lindung. bawah tegakan Jati pada musim kemarau menjadi
Karakteristik fisik dan biologis hutan lindung dan kering. Dengan kata lain, 5) petani pada hutan lindung
produksi juga berbeda (4), antara lain jenis pohon masih bisa mengambil manfaat dari berbagai jenis
pada hutan lindung bervariasi, multi-strata, dan pangan dan pakan sepanjang musim sedangkan pada
hutan Jati tidak.
pembentukan kawasan hutan negara itu dimulai tersebut bukan merupakan pengambialihan hak milik
pada tahun 1938. Mereka, orang-orang yang hidup atas tanah mereka itu untuk selama-lamanya namun
diatas tanahnya yang mungkin sudah turun-temurun untuk hak sewa selama 25 tahun.2 Hal ini dipahami
itu diminta pindah dari lokasi tersebut. Tanah atas nilai ganti-rugi tanaman tersebut dan bukan
mereka itu umumnya seluas 1 – 2 hektar yang selain ganti-rugi ataupun pembelian tanah. Jadi sebenarnya,
digunakan sebagai tempat-tinggal atau rumah juga selama proses ganti-rugi tersebut, mereka masih
digunakan sebagai pekarangan dan tegalan. Tidak menganggap bahwa tanah-tanah itu adalah masih
jelas siapa yang meminta mereka pindah tetapi ada tanah-tanah mereka yang sedang disewa selama 25
sedikit keterangan di dalam dokumen kehutanan tahun oleh pemerintah kolonial. Namun demikian,
bahwa pemerintah kolonial waktu itu mengajukan anggapan itu ditelan oleh perubahan kekuasaan
permohonan pemanfaatan tanah kepada negara yang sangat cepat. Tidak lama setelah proses ganti
Kesulatanan Yogyakarta. Dari sedikit keterangan ini rugi itu kekuasaan kolonial Belanda digantikan
diketahui bahwa permohonan pemanfaatan tanah oleh pendudukan tentara Jepang dan tiga tahun
oleh pemerintah kolonial di wilayah yang sekarang kemudian terjadi proses kemerdekaan. Penduduk tidak
menjadi areal HKm itu direstui oleh pihak negara mengambilalih tanah yang disewa itu selama proses
kesultanan. Di dalam dokumen itu juga disebutkan perubahan kekuasaan terutama selama kemerdekaan
sedikit mengenai proses pengambilan manfaat atas karena menganggap perjanjian itu masih berlaku,
tanah itu yaitu melalui proses ganti-rugi tanaman paling tidak dengan pihak (negara) kesultanan.
(pohon yang tumbuh di pekarangan) di mana uang Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia kemudian
ganti-rugi diserahkan oleh pemerintah kolonial menetapkan kawasan hutan yang sudah ditetapkan
kepada pihak kesultanan. Tidak disebutkan ganti-rugi oleh pemerintah kolonial Belanda itu sebagai kawasan
bangunan rumah tetapi kemungkinan besar hal itu hutan negara (Indonesia), termasuk kawasan hutan
termasuk bagian dari proses ganti-rugi. Perpindahan yang sekarang menjadi areal HKm.
penduduk dari lokasi mereka itu ke luar wilayah yang Di mata penduduk, pengambilalihan tanah sewa
telah diganti-rugi dilakukan sendiri-sendiri termasuk sebagai kawasan hutan negara itu tidak bisa
mencari lokasi tanah untuk calon rumah, membangun terjelaskan secara gamblang. Salah satu tafsir yang
rumah baru, menanam tanaman-tanaman baru di bisa memberi konteks atas pengambilalihan tanah itu
pekarangan yang baru, dan lain-lainnya.
2 Tidak ditemukan dokumen yang menyatakan sewa tanah
Di mata penduduk, pengambilan manfaat atas tanah selama 25 tahun kecuali yang dipahami penduduk berdasarkan
ingatan kolektif mereka.
terletak pada kekuasaan (negara) kesultanan. Dalam diganti tersebut, yang umumnya merupakan tanah
dokumen kehutanan Belanda yang masih tersimpan milik sendiri di tempat lain atau membeli tanah
di Badan Planologi Kehutanana, Kementerian yang dianggap layak untuk tempat tinggal. Proses
Kehutanan, paling tidak terkandung dua penjelasan penggantian dan pemindahan di beberapa wilayah
sebagai berikut: Pertama, di dalam dokumen itu yang sekarang menjadi kawasan hutan negara di
disebutkan adanya peraturan Sultan mengenai tanah Kulonprogo berlangsung antara tahun 1938-1942.
domein yaitu Sultanaatsdomeingronden ddo. 22 Juni Setelah pemindahan itu, penduduk dilibatkan dalam
1928 N0. 6/1 H. Peraturan ini menjelaskan bahwa program reboisasi kawasan antara lain pembibitan,
lokasi yang diambil-alih ini merupakan tanah yang penanaman, dan pemeliharaan. Mereka umumnya
di klaim oleh pihak negara kesultanan Yogyakarta diupah sebagai tenaga harian. Dalam dokumen lain
sebagai tanah domein Kesultanan (Sultan grond). Saat yaitu hasil studi PRA Yayasan Damar juga disebutkan
ini diketahui bahwa tidak seluruh wilayah Kulonprogo bahwa pada tahun 1943, penduduk dilibatkan dalam
merupakan Sultan Grond karena sebagian yang lain kegiatan pembibitan Jati atau yang dalam bahasa
merupakan Pakualam Grond, tetapi lokasi HKm itu daerah disebut cemplongan. Kegiatan ini merupakan
dulu disebutkan sebagai Sultan Grond. Kedua, ada usaha pelibatan penduduk yang dipindahkan itu
semacam perjanjian antara pihak Kesultanan dengan sebagai tenaga buruh upahan di dalam kawasan yang
Belanda agar pihak pemerintah kolonial Belanda akan dibentuk menjadi hutan itu. Dengan demikian,
memperoleh manfaat dari Kesultanan yaitu berupa kegiatan cemplongan itu menandai hubungan baru
lahan yang bisa dibentuk menjadi kawasan hutan. antara penduduk yang dipindahkan atau dikeluarkan
Program yang ingin dikembangkan oleh pemerintah itu dengan penguasa kawasan yang akan dibentuk
kolonial Belanda waktu itu adalah reboisasi terutama menjadi hutan yaitu berupa hubungan kerja antara
pada daerah yang memiliki topografi dengan buruh dan penguasa kawasan hutan.
kelerengan curam untuk kawasan lindung dan Terciptanya hubungan kerja baru ini sangat ironis
sebagian yang lain untuk kawasan produksi3. Di karena mereka adalah pemilik tanah-hutan itu
dalam perjanjian itu juga diatur agar pemangku yang namun setelah pengambilalihan berubah menjadi
dalam hal ini adalah penduduk yang menempati dan buruh dari penguasa yang baru. Dengan kata lain,
tinggal di tanah yang akan diambil-alih untuk kawasan akses penduduk ke dalam kawasan hutan sudah
hutan itu memperoleh penggantian atas harta benda ditutup dan dibatasi melalui hubungan kerja baru.
(terutama tanaman, -- dan mungkin juga bangunan Pendekatan ini merupakan ciri khas dari tradisi
rumah) kecuali tanah (karena dianggap sebagai kehutanan ilmiah yang dipelajari oleh para rimbawan
domein kesultanan atau Sultan Grond). Belanda yang dikirim oleh pemerintah Belanda pada
Melalui dokumen kehutanan Belanda itu juga dapat waktu itu untuk belajar kehutanan ilmiah di Jerman.
diketahui bahwa penggantian atas harta benda itu Mereka membentuk kawasan hutan di tanah jajahan
hanya diberikan untuk tanaman atau pohon (dan termasuk Indonesia secara politis kemudian berusaha
kemungkinan juga bangunan rumah), dalam dokumen menerapkan doktrin kehutanan secara ketat termasuk
itu disebutkan juga termasuk pohon pisang. Tidak menutup akses kawasan hutan itu dari masyarakat
disebutkan jenis penggantian untuk yang lain, sekitar. Dalam ingatan penduduk sekitar pada saat
misalnya tanaman pangan, kandang, kolam, pagar ini, setelah pengambialihan dan terutama setelah
dan sebagainya. Setelah penggantian itu penduduk kemerdekaan, kawasan hutan itu kemudian disebut
diharuskan pindah keluar dari wilayah yang sudah sebagai “alas tutupan” atau hutan larangan karena
dibawah kekuasaan pemerintah. Akses penduduk
3 Pemerintah kolonial Belanda membuat hutan produksi untuk ke dalam kawasan hutan itu ditutup, bahkan untuk
dimanfaatkan kayunya, biasanya untuk bahan baku (ataupun
bahan bakar) pabrik pengolahan yang dibangun di sekitar keperluan kayu bakar sekalipun. Pemerintah tidak
wilayah itu.
25
segan-segan menindak pencari kayu bakar dari dalam kering yang jatuh ke tanah ataupun merempel
kawasan hutan itu dengan aturan yang berlaku dan (memangkas) ranting kayu di pohon yang terjangkau
apabila diperlukan dibawa hingga ke pengadilan. pada malam hari. Terlihat dari cerita penduduk itu
Dikisahkan oleh beberapa penduduk, untuk keperluan bahwa tradisi kehutanan ilmiah juga menggunakan
kayu bakar sehari-hari, mereka harus sembunyi- instrumen hukum yang berlaku di negara jajahan
sembunyi mencuri ranting kayu, baik yang sudah untuk mengatur hubungan dengan masyarakat sekitar.
~~Tahun 1945: Terjadi perang kemerdekaan. Jawatan Kehutanan fokus ke pengaturan hutan untuk kepentingan
Kehutanan Bogor diduduki Inggris, kemudian pindah ke masyarakat dan negara
Jogjakarta. Tata batas kehutanan mulai berjalan pada tahun
1946 dan pada tahun 1947 pernah ada survey singkat ~~Tahun 1955: Tanaman Accacia dan Lamtoro sebagai penguat
tentang hutan di Jawa. teras dipangkas secara besar – besaran. Menurut masyarakat
waktu itu untuk pemupukan bagi tanaman yang ditanam
~~Tahun 1949: Dilakukan penataan hutan menjadi petak pada tahun 1949 dan sebelumnya sudah ada. Kemudian
dan anak petak. Tahun ini kegiatan penanaman sudah menanam tanaman mahoni, sono keling, jati. Hasil kayu sisa
dimulai oleh jawatan kehutanan. Jenis tanaman ini antara pangkasan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat atau
lain Basiah (Albazia faraserianthes), sono keling, mahoni. pekerja harian kehutanan.
Tanaman penguat teras seperti lamtoro dan Kasiah (Acacia
auricoliformis. Dari sini disimpulkan kawasan hutan di DIY ~~Tahun 1957: PP No. 64 tahun 1957 (lembaran negara
sudah dikuasai penuh oleh Jawatan Kehutanan. no.169 tahun 1957) pembentukan Dinas Kehutanan
di tingkat Provinsi yang langsung dibawah Gubernur.
~~Tahun 1950: Indonesia kembali ke negara kesatuan setelah Perencanaan masih dari pusat, peyelenggaraan bila ada
dari RIS, Jawatan Kehutananan kembali lagi ke Jakarta penyimpangan hanya diperbolehkan dalam keadaan
bernaung di Kementerian Pertanian. Waktu itu Jawatan yang istimewa, setelah mendapatkan persetujuan menteri
pemerintahan Orde Baru, kawasan hutan di DIY pengembangan masyarakat tersebut. Dalam ingatan
tampaknya lebih diarahkan untuk pengembangan kolektif masyarakat, hubungan itu menimbulkan
masyarakat. Berbagai uji coba multiple purpose kekecewaan. Puncak kekecewaan penduduk sekitar
dikembangkan di DIY khususnya di Gunung Kidul terjadi setelah krisis moneter dan politik tahun 1997
dan mungkin juga beberapa kali di Kulonprogo yaitu euforia kebebasan termasuk bebas menjarah
dalam bentuk tumpangsari. Tetapi hubungan antara hutan.
pemerintah sebagai penguasa hutan dengan penduduk Krisis politik yang diikuti dengan pergantian
di sekitar hutan sudah terbangun secara politis kekuasaan yang sangat besar yang terjadi antara
sehingga tujuan pengembangan masyarakat itu tahun 1998-1999 menjadi momentum yang sangat
tergantung dari impelementasinya. Seringkali tujuan penting dalam sejarah pengelolaan kawasan hutan
baik untuk pengembangan masyarakat mengalami di Indonesia termasuk di Kulonprogo. Dalam krisis
masalah pada tingkat implementasi. Sebagaimana politik ini, instrumen negara dalam penguasaan hutan
yang terjadi di Kulonprogo, selama bertahun-tahun seperti lumpuh. Hutan dijarah bahkan melibatkan
antara 1978 – 1995, aparat kehutanan di tingkat aparat, tanah-hutan diambilalih oleh penduduk sekitar
lapangan (mandor), memainkan sikap aparatus yang dan digarap sebagai lahan pertanian5. Peristiwa ini
birokratis serta korup. Model tumpangsari selalu gagal meruntuhkan kekuasaan politik kehutanan yang
karena mandor melihat hutan sebagai peluang untuk dibangun sejak masa kolonial Belanda. Hal ini
mengambil keuntungan pribadi dari praktik bisnis juga menandakan bahwa pengelolaan hutan yang
kayu kecil-kecilan walaupun ia juga bersandiwara didasari atas hubungan politik antara penguasa
sebagai penjaga kawasan hutan dari pencuri (yang dengan penduduk sekitar akan mengalami kekacauan
dikonotasikan sebagai penduduk sekitar)4. Penduduk ketika sistem itu terguncang atau mengalami krisis.
yang masuk hutan justru dicurigai sehingga terjadi Di sisi lain, transisi pemerintahan dari rejim Orde
hubungan ketidakpercayaan dan menggagalkan tujuan Baru ke Reformasi juga diwarnai ketidakstabilan
4 Penduduk yang masuk kawsan hutan dan menggarap 5 Penggarapan dilakukan secara bebas berdasarkan “adu kuat”
lahan hutan untuk tumpangsari dipaksa melakukan “pasok tenaga dengan prinsip siapa yang kuat dia yang menggarap
glondong” atau kayu tebangan kepada penjaga hutan. lebih luas (antara 1-2 hektar).
dan kelemahan dalam penegakan hukum. Di tingkat sekarang atas sejarah penguasaan tanah-hutan
lapangan, aparat kehutanan tidak sanggup menghadapi itu. Kendala yang dihadapi antara lain, 1) mereka
gerakan pendudukan kawasan hutan secara massif, tidak memiliki bukti-bukti tertulis dan 2) sebagian
sementara itu disisi lain, penduduk merasa dibiarkan. besar merasa kesulitan mengingat letak lokasi
Krisis ini juga berdampak terhadap kondisi tanah leluhurnya itu (karena tidak semua baturan
kelestarian hutan. Momentum ini disisi lain juga masih berbekas karena tersusun dari tanah yang
menimbulkan kesadaran kritis dari kalangan aktivis mudah terkikis). Menurut mereka, 3) apabila hal
LSM dalam hal ini Yayasan Damar untuk mendorong itu dipaksakan dikhawatirkan dapat menimbulkan
perubahan pengelolaan hutan di Kulonprogo. kekacauan dan konflik sosial diantara masyarakat
Damar bersama penduduk sekitar hutan mengajukan mereka sendiri, apalagi prinsip orang Jawa terhadap
konsep pengelolaan yang tidak umum dari sudut tanah adalah “sak dumuk bathuk sak nyari bumi”. Atas
pandang kehutanan ilmiah saat itu. Ia mengajukan pertimbangan itu, mereka menerima kenyataan bahwa
permohonan ijin agar kawasan hutan yang sudah HKm merupakan solusi terbaik untuk saat ini. Mereka
kritis itu dikelola oleh masyarakat sekitar. Gerakan yang menjadi anggota KTH peserta HKm umumnya
devolusi pengelolaan hutan ini bukan hanya dilakukan juga merupakan keturunan orang-orang tua, kakek-
oleh Damar, melainkan juga oleh LSM yang lain nenek, yang tanahnya diambilalih oleh pemerintah
dan meluas di tanah air. Pada akhirnya, Damar bisa kolonial Belanda pada masa lalu (4). Mereka sekarang
meyakinkan aparat kehutanan bahwa kelestarian hutan ini adalah generasi ketiga yang umumnya sudah
di Kulonprogo akan tercapai apabila dikelola oleh berumur lebih dari 50 tahun. Sebagian dari mereka
masyarakat. Ijin sementara diberikan oleh Menteri memperoleh lokasi HKm di areal yang merupakan
Kehutanan pada tahun 2003, dan yang kemudian tanah leluhur mereka, sedangkan sebagian besar yang
diikuti dengan pemberian ijin tetap HKm selama 35 lain tidak. Walaupun penggarapan lahan secara massif
tahun dari Bupati Kulonprogo pada akhir tahun 2007. telah dilakukan pada awal masa Reformasi, namun 5)
Di mata masyarakat sekarang, HKm tampaknya KTH mengambil kebijaksanaan agar pembagian lahan
menjadi solusi atas persoalan hubungan politik kelola HKm kepada setiap rumah-tangga dilakukan
pengelolaan hutan yang mengabaikan peranserta secara adil atas dasar pemerataan sehingga semua
masyarakat yang telah berlangsung sejak masa peserta HKm memperoleh lahan garapan yang kurang
kolonial hingga Reformasi. Mereka sadar bahwa lebih sama.
terlampau sulit untuk menggugat penguasa hutan
D
amar mengajak penduduk menemukenali persoalan yang dijadikan alat advokasi di tingkat kabupaten dan provinsi. Banyak
berhubungan dengan hutan. Kegiatan ini di awali dengan PRA kiprahnya menyuarakan hak rakyat kecil di pinggir hutan untuk
(Partisipatory Rural Aprasial), untuk menjembatani hubungan mengakses lahan demi keberlanjutan hidup anak cucu mereka.
kembali antara penduduk dan hutan, melalui kajian partisipatif. Ada Diskusi atau pertemuan dengan pihak pemerintah dalam hal ini
kesepahaman untuk memulihkan kembali hutan agar fungsi dan Dinas Kehutanan untuk mencari keadilan berlanjut terus.
manfaat lain dapat dirasakan oleh penduduk sekitar. Dengan usaha
itu, mereka yakin pemerintah yang tidak akan melarang walaupun Tuntutan masyarakat untuk mengelola hutan semakin gencar,
ada sebagian penduduk yang melakukan penggarapan. membuat ‘telinga’ para pejabat kehutanan kabupaten semakin panas.
Situasi semakin panas ketika masyarakat menolak kerjasama dalam
Pada tahun 1999-2000, masyarakat semakin banyak yang ‘projek reboisasi’ di lahan hutan. Aparat kehutanan mengeluarkan
menggarap lahan hutan. Mereka yang sebelumnya sudah mengikuti ancaman, “Apabila masyarakat masih didampingi oleh Damar
kontrak 2 tahun masih tidak nyaman. Keterbatasan waktu, lahan maka tidak akan ada ijin turun”. Banyak aparat kehutanan yang
dan hasil yang tidak sebanding menjadi alasan utama. Langkah berkepentingan langsung di masyarakat melihat Damar seperti melihat
pengorganisasian masyarakat dimulai dari situasi itu. Damar ‘barang kotor’. Tapi masyarakat meyakini usahanya dan berpendapat
memfasilitasi rembug warga dalam rangka pengelolaan hutan, “becik ketitik, olo ketoro”, jaman yang akan membuktikan.
mengorganisir 7 kelompok dengan aturan internal yang kuat. Upaya
itu ditanggapi oleh pemerintah dengan menebar isu pengorganisiran Damar juga mengajak Bupati dan para pejabat kabupaten untuk
masyarakat untuk re-klaim kawasan hutan negara. melakukan studi banding ke Kelompok Masyarakat Pengelola Hutan
di Sesaot, Lombok Barat, yang kemudian dilanjutkan oleh masyakat
Isu itu diredam melalui pendekatan kolaboratif antara pemerintah, pengelola hutan. Upaya itu menimbulkan respon positif dari bupati.
masyarakat dan dukungan pihak lain. Pemerintah Desa Hal ini juga mempengaruhi sikap aparat kehutanan menjadi lebih
mendukung karena Damar menggunakan pendekatan hutan desa persuasive antara lain dengan mendekati masyarakat dan Damar.
yaitu hutan (Negara) yang berada di wilayah adminisrasi desa Kemudian Damar memfasilitasi masyarakat membuat surat ijin
sebagai basis pengelolaan kolaboratif itu. Untuk memudahkan pengelolaan hutan negara, dengan skema Hutan Kemasyarakatan
koordinasi dalam kelembagaan di tingkat desa, dibangun Forum (HKm) kepada Gubernur Provinsi DIY.
Tingkat Desa. Semacam Forum Komunikasi Kelompok Tani
Hutan (FKKTH) tingkat desa, antara lain FKKTH Desa Hargorejo, Pengajuan ijin dilakukan bersama-sama dengan kelompok
FKKTH Desa Hargowilis, dan FKKTH Desa Sendangsari. Forum ini tani hutan Gunung Kidul yang jumlahnya lebih besar. Untuk
untuk menguatkan basis di tingkat desa agar terjaga konsistensi memantapkan wacana ini pada tingkat kabupaten, provinsi
terhadap rencana awal yakni ijin pengelolaan hutan oleh maupun nasional, lembaga lain seperti FKKM, KPPHJ/Javlec,
masyarakat. Tarik ulur kepentingan terjadi antara pemerintah membantu fasilitasi dalam bentuk desiminsi tentang kebijakan
dengan masyarakat di mana pemerintah belum rela apabila pengelolaan HKm.
pengelolaan hutan diserahkan ke tangan masyarakat. Untuk meningkatkan koordinasi dibentuk Forum Komunikasi dan
Selain pendampingan di masyarakat, Damar juga mencari solusi Koordinasi Hutan Kemasyarakatan (FKKHKm) di Kulon Progo yang
hukum, dalam hal ini payung hukum tentang pengakuan masyarakat difasilitasi oleh pemerintah. Forum ini beranggotakan SKPD (Satuan
tentang pengelolaan hutan melalui skema hutan desa. Pada tahun Kerja Pemda) yang terkait dan masyarakat (ketua kelompok tani
2000, Damar melakukan “dengar pendapat” (hearing) ke Dewan dan ketua Ngulat Rogo) serta LSM (termasuk Damar dan Bina
Perwakilan Rakyat Provinsi DIY. Seminar dan diskusi dengan kalangan Insan Mandiri). Forum ini dibentuk untuk mendorong perijinan
pemerintah mengenai gagasan hutan desa juga dilakukan oleh Damar. pengelolaan HKm dan melakukan pembinaan bersama kepada
petani hutan. Forum ini menyarankan dibentuk Tim identifikasi dan
Untuk memperkuat jaringan masyarakat, Damar memfasilitasi inventarisasi lahan hutan di Kulon Progo sebagai bahan penetapan
pembentukan Jaringan Kelompok Tani Hutan se Kulon Progo. pencadangan HKm. Setelah penetapan pencadangan HKm, pada
Animo masyarakat untuk mengelola hutan semakin tinggi, tahun 2003 Bupati mengeluarkan Ijin Sementara Pengelolaan HKm
terbukti 7 kelompok menjadi bertambah. Damar juga melakukan di Kulon Progo untuk 7 KTH (Taruna Tani dan Nuju Makmur di Desa
pelatihan penguatan kelembagaan masyarakat di Kaliurang yang Hargorejo, Mengger Rejo, Mandiri, dan Sido Akur di Desa Hargowilis,
dilanjutkan dengan musyawarah pembentukan Jaringan Kelompok Kecamatan Kokap, serta Suko Makmur dan Rukun Makaryo di Desa
Tani Hutan Kulon Progo yang disebut “Ngulat Rogo”. Jaringan ini Sendangsari, Kecamatan Pengasih).
29
Setelah ijin sementara itu, Damar memfasilitasi kapasitas diketui oleh kepala Dinas Kehutanan Provinsi DIY yang antara lain
kelembagaan dengan skema koperasi. Pelatihan koperasi untuk mendampingi penerbitan ijin tetap/difinitif. Kegiatan yang
dilaksanakan di setiap KTH. Setelah pelatihan dan kemudian di dilakukan antara lain, mengajak KTH dan LSM yang mendampingi
evaluasi kelayakannya maka koperasi ini diberi insentif berupa untuk melakukan inventarisasi tegakan hutan, memfasilitasi
uang sebagai modal awal untuk usaha simpan-pinjam. Fasilitasi penyusunan rencana umum pengelolaan hutan, dan mendampingi
koperasi ini dilakukan mulai dari bentuk kelembagaan pra- penerbitan ijin difinitif yang keluar pada tahun 2007 dan
koperasi menjadi koperasi yang memperoleh ijin badan usaha diberikan oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla di Gunung Kidul.
dari pemerintah terkait. Selain itu juga dilakukan pelatihan
pembibitan, pengolahan hasil hutan non kayu, dan studi banding Setelah pemberian ijin difinitif, Damar memperkuat kelembagaan
pengelolaan hutan di Sumberjaya, Lampung Barat. Fasilitasi lain kehutanan dengan membentuk Pusat Informasi HKm di sekretariat
oleh Javlec (Java Learning Centre) yaitu sekolah lapang dan Pekan KTH Mandiri di Dusun Kalibiru, Hargowilis. Pusat informasi ini
Raya Petani Hutan di UGM. dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang pengelolaan
HKm di Kulon Progo dan pembelajaran pengelolaan hutan untuk
Tahun 2002 terbentuk kelompok kerja (Pokja) HKM se Provinsi pengembangan HKm di lokasi yang lain. Melalui bantuan dana
DIY yang beranggotakan instansi pemerintah dari Kabupaten provinsi (dana Community Development), hutan lindung petak 28
Gunung Kidul, Kulon Progo dan Provinsi, perwakilan KTH yang ada Kali Biru dikembangkan menjadi hutan wisata alam.
di Kulon Progo dan Gunung Kidul, Javlec dan Shorea. Pokja ini
S
etelah PRA, penataan lahan dilakukan sesuai aturan internal b. Damar juga memfasilitasi pelatihan pembuatan pupuk kompos
agar tercapai keadilan dan menghindari perselisihan antar sehingga masyarakat membuat pupuk kompos sebanyak-
penggarap. Petani yang menguasai lahan garap sangat luas banyaknya yang kemudian dipupukan ke tanaman masing-
harus dipecah menjadi beberapa andil (lahan garapan). Luas andil masing. Selain itu, di petak 17 dan 19, juga diberi pelatihan
setiap KTH bervariasi, di KTH Mandiri antara 600 sampai 5000 silvikultur tanaman kehutanan. Tujuan pelatihan tersebut agar
meter2. Penataan ini diharapkan mencapai keadilan di mana penggarap dapat menanam dan merawat tanaman sesuai
semua sudah merasa cukup dan menerima hasil penataan. Selain dengan kaidah kehutanan. Dalam rangka pemanfaatan ruang
itu ada prinsip “so rumongso” (saling pengertian), sehingga tidak tanam disela tanaman pokok (kayu hutan), selain ditanami
ada ganjalan di hati para penggarap yang lahannya dibagikan ke pohon buah-buahan (Multiple Purpose Trees Species) juga
orang lain. Salah satu yang penting terkait mengenai tanaman ditanami tanaman semusim antara lain Ketela Pohon, Rumput
yang ditanam oleh penggarap sebelumnya yang belum di panen Kolonjono, Sere dan Empon-empon yaitu Kunyit, Jahe, Laos,
maka penggarap itu masih bisa memanen walaupun sudah Kunci, Cabe Gunung, dan lain-lain.
dibagikan kepada petani lain.
c. Agar tanaman non kayu terdongkrak kepermukaan sehingga
Setelah ijin sementara diterbitkan tidak ada pasokan bibit masyarakat tidak mengganggu tanaman kayu di hutan, Damar
dari Dinas Kehutanan, sehingga masyarakat bersama Damar mulai mengidentifikasi tanaman pangan lokal. Munculah
mengumpulkan uang untuk membeli bibit tanaman. Jenis dan tanaman potensi yaitu Gadung, Ketela Pohon, Empon-empon
jumlah bibit pada tiap penggarap berbeda antara lain Mahoni, (Jahe dan Temu Lawak), serta Gula Kelapa. Selanjutnya Damar
Jati, sedang tanaman buah beragam seperti Nangka, Rambutan, memfasilitasi pelatihan pengolah bahan baku panganan lokal
Mangga, Melinjo, Durian dan lain-lain. Hampir semua lahan di masing-masing KTH.
ditanami dengan bibit tanaman itu. Kelompok juga membuat
d. Kekurangan pakan ternak pernah terjadi di akhir tahun 2002, yang akan
kebun bibit sendiri untuk ditanam di lokasi kelompok. mengancam tanaman muda (Juvenil) bila tidak ada solusinya. Ada korelasi
antara hutan dengan hewan peliharaan (Sapi dan Kambing). Sistem ternak
a. Perbaikan lahan juga dilanjutkan yakni membuat terasering. di kandang membutuhkan pakan hijau cukup banyak, maka dibutuhkan
Perbaikan lahan garapan ini dilaksanakan oleh kelompok lewat hijauan dari hutan, kemungkinan besar daun pucuk pohon kayu maupun
“krubutan” (kerja bakti) di setiap blok garapan. Untuk petak buah-buahan. Sebaliknya kesuburan tanah membutuhkan bantuan
17, pekerjaan perbaikan lahan tidak begitu berat, karena selain ternak berupa kotoran sapi maupun kambing yang dikomposkan. Agar
sudah lama mereka garap, topografinya juga tidak begitu curam asupan pakan dari hijauan yang berasal dari hutan terjamin, Damar juga
memfasilitasi pelatihan beternak yang benar dan teknis pembuatan pakan
dibanding petak 28. dari daun kering yang di fermentasi.
hidup di Kampung Tua. Hal ini juga dilihat oleh tim beberapa penduduk pernah dilibatkan sebagai tenaga
verifikasi Hutan Desa yang dibentuk oleh pemerintah ukur batas kawasan hutan Lore Lindu pada tahun
yang antara lain menyatakan bahwa kawasan hutan 1977. Sementara itu pada tahun 1980, beberapa
lindung itu merupakan hutan sekunder tua yang sudah penduduk juga dilibatkan sebagai tenaga ukur batas
ditinggalkan selama ± 100 tahun yang diantaranya pada kawasan hutan lindung Gawalise, yang sekarang
terdapat bekas-bekas perladangan. menjadi Hutan Desa. Tetapi mereka umumnya tidak
Diceritakan, setelah kemerdekaan, masyarakat Namo paham bahwa proses tata batas itu merupakan bagian
di Kampung Tua turun ke lokasi yang menjadi Desa dari penetapan kawasan hutan suaka yang kemudian
Namo sekarang. Hal ini kemungkinan terkait dengan menjadi Taman Nasional Lore Lindu dan hutan
pergolakan politik sesudah kemerdekaan, di mana lindung Gawalise.11 Sebelum di tata batas, kawasan
TNI memaksa orang-orang yang tinggal di perbukitan Taman Nasional Lore Lindu yang berdekatan dengan
untuk turun (D’Andrea, 2013). Hutan lindung yang wilayah Desa Namo merupakan areal perladangan
pernah menjadi areal perladangan masyarakat Namo penduduk terutama di areal yang saat ini ditetapkan
lama itu kemudian menjadi sumber penghidupan sebagai APL (Areal Penggunaan Lain). Demikian
masyarakat Desa Namo antara lain dari hasil Rotan pula dengan kawasan hutan lindung Gawalise yang
dan Damar. Kedua hasil hutan ini menjadi komoditas merupakan bekas areal perladangan leluhur mereka
paling tua di Desa Namo. Hal ini juga menunjukkan ketika masih berdiam di Kampung Tua dan yang
ketergantungan masyarakat Desa Namo terhadap saat itu menjadi sumber penghidupan penduduk
hasil hutan tersebut untuk dipertukarkan dengan terutama dari Rotan dan Damar. Dengan kebijakan
tersebut, batas-batas antara taman nasional dan hutan
lindung dengan wilayah Desa Namo menjadi jelas
dan dengan demikian taman nasional dan hutan
lindung itu ditetapkan sebagai kawasan hutan negara.
Dalam tradisi kehutanan ilmiah, penetapan kawasan
hutan negara itu juga berarti pembentukan kawasan
hutan, panatabatasan, pengambilalihan lahan kelola
masyarakat secara tradisional maupun kemungkinan
juga adat, penutupan akses masyarakat terhadap
sumberdaya hutan, pengesahan secara hukum sebagai
instrumen untuk mengatur masyarakat di sekitar
hutan, melakukan pelarangan, dan bahkan proses
hukum akibat tindakan kriminal di dalam kawasan
hutan negara.
Desa Namo dengan pemandangan Hutan Desa di latar belakang.
11 Informasi yang diterima masyarakat tentang kegiatan tata
batas tersebut tidak jelas, dan berbeda dengan kenyataannya.
bahan kebutuhan pokok lainnya seperti beras, gula Saat itu, mereka diberitahu bahwa kegiatan tata batas
dilakukan hanya untuk pemberian tanda, dan tidak akan
dan garam. Menurut penuturan seorang warga desa, berdampak apa-apa, terutama terhadap pembatasan akses
begitu pentingnya hutan lindung itu bagi kehidupan masyarkat ke dalam hutan. Atas dasar informasi tersebut,
masyarakat Desa Namo, mereka pernah mengusulkan banyak dari warga desa yang mau terlibat sebagai tenaga
kerja dalam pemancangan batas. Selain iming-iming upah,
kawasan hutan lindung itu sebagai hutan desa pada mereka antusias sebab kegiatan ini dianggapnya bermanfaat
tahun 1975.10 bagi desa mereka. Namun faktanya, setelah pengukuran dan
pemancangan batas tersebut, maka semakin tegaslah batas
Menurut penuturan salah seorang informan desa, kawasan hutan dengan lahan yag mereka kuasai. Dampaknya
adalah akses mereka semakin terbatas ke dalam hutan.
10 Wawancara dengan salah seorang informan di Desa Namo.
P
enyelesaian sengketa lahan antara penduduk Desa Namo dan wilayah Desa Namo sebagai calon Areal Kerja HD. Pada tahap
Tangkulowi ditandai piagam kesepakatan batas wilayah desa pengusulan areal kerja HD, pemerintah desa menyertakan
yang dilakukan secara adat. Kesepakatan itu dilakukan dalam sketsa/peta hutan negara serta profil Desa Namo sebagai
musyawarah Libu Ngata atau semacam pertemuan desa, Mohuro syarat kelengkapan pengusulan areal kerja HD sesuai peraturan
atau pertemuan delegasi desa, dan momeperapi atau musyawarah Menteri Kehutanan Nomor: P.49/Menhut-II/200 tentang Hutan
adat antara kedua desa pada tahun 2007. Hasil musyawarah, Desa. Surat pengusulan ditembuskan oleh Kepala Desa kepada
kawasan hutan lindung yang sebelumnya termasuk wilayah Dinas Kehutanan Propinsi, BPDAS, dan BPKH. Permohonan itu
administrasi Desa Tangkulowi diserahkan kepada Desa Namo. didukung Dinas Kehutanan daerah Kabupaten Sigi yang lalu
Kawasan hutan inilah yang kemudian diajukan oleh masyarakat merekomendasikan permohonan areal kerja HD seluas ± 469,85
Desa Namo sebagai calon areal kerja Hutan Desa. ha kepada Bupati Sigi pada tanggal 23 April 2010, kemudian
diteruskan kepada Menteri Kehutanan pada tanggal 27 April tahun
Areal Hutan Desa (HD) yang diusulkan pemerintah Desa Namo 2010 yang ditembuskan kepada Gubernur Sulawesi Tengah.
seluas ± 469,85 ha, yang kemudian ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan sebagai areal kerja HD seluas ± 490 ha. Kawasan Pada tanggal 6 Agustus 2010 tim verifikasi yang dibentuk oleh
hutan yang dimohonkan adalah kawasan Hutan Negara (kelompok Menteri Kehutanan melakukan verifikasi penetapan areal kerja HD
hutan Kalpini) sesuai dengan SK menteri Kehutanan No. 757 / berdasarkan usulan Bupati Sigi. Verifikasi penetapan areal kerja
kpts-II/ 1999 tanggal 23 September 1999 tentang penetapan HD dilakukan untuk mengkaji aspek kepastian hak atau izin calon
kawasan hutan dan perairan di propinsi Sulawesi Tengah. areal kerja HD serta aspek kepastian fungsi kawasan.
Kawasan hutannya memiliki fungsi lindung dan masuk dalam DAS Pada tanggal 28 Februari 2011, Menteri Kehutanan mengeluarkan
Palu, Sub DAS Miu. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Salua Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.64/menhut-
dan Sungai Kalapini, sebelah Timur berbatasan dengan Sungai II/2011 tentang penetapan areal kerja Hutan Desa Namo.
Miu, sebelah Selatan berbatasan Desa Tangkulowi dan Haluwulu, Berdasarkan SK itu, Menteri Kehutanan memerintahkan Gubernur
sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tolilio. untuk menerbitkan Hak Pengelolaan Hutan Desa kepada lembaga
desa dengan jangka waktu pengelolaan paling lama 35 tahun dan
Potensi hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu pada areal dapat diperpanjang. Lembaga desa yang berhak menerima hak
kerja Hutan Desa Namo antara lain Foce, Fayu, Pakanangi, pengelolaan adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa
Bakangkuni, Lonca Libo, Taiti, Cempaka/Uru, Malaponge, Kune, setempat dan disahkan oleh kepala desa.
Nggarahihi, dan Lekatu. Oleh karena areal kerja Hutan Desa
seluruhnya adalah kawasan hutan lindung, maka potensi hasil Dalam pembangunan HD Namo, masyarakat difasilitasi Yayasan
hutan kayu tersebut tidak dapat ditebang dalam pengelolaan Jambata dibantu oleh SCBFWM serta didampingi Dinas Kehutanan
Hutan Desa. Sementara itu, potensi hasil hutan bukan kayu pada Propinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten, BPKH dan BP DAS Palu
areal kerja Hutan Desa terdiri Rotan, Bambu, Anggrek, Draicena, Poso. Proses fasilitasi meliputi kegiatan sosialisasi, pembentukan
dan Akar Kuning/Valangguni (sejenis tanaman obat tradisonal). BUMDes sebagai Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD),
pembuatan peraturan desa tentang HD, pembuatan keputusan
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, pada tanggal 15 kepala desa tentang lembaga pengelola HD, serta peraturan
Maret 2010 melalui pemerintah desa, masyarakat mengajukan BUMDes tentang pengelolaan HD. Sementara itu, proses fasilitasi
permohonan kepada Bupati Sigi untuk mengelola Hutan Lindung pemantapan kelola kelembagaan, manajemen sumberdaya
yang ada di
Tua. Kebijakan penetapan kawasan hutan negara, baik kerdil. Hubungan antara penduduk Desa Namo dengan
pada taman nasional maupun hutan lindung, telah penguasa taman nasional dan hutan lindung menjadi
membuat penduduk Desa Namo menjadi terkekang, hubungan pengaturan yang bersifat formal, bukan
tidak leluasa bergerak untuk mencari sumber-sumber lagi hubungan tradisional ataupun adat. Hutan sudah
penghidupan, dan dikekang oleh kawasan-kawasan bukan lagi kawasan tradisional mereka melainkan
hutan yang lama-kelamaan membuat mereka menjadi dibawah kekuasaan negara. Untuk masuk ke dalam
kawasan hutan itu, apalagi memungut Rotan dan kebijakan kehutanan itu, bukan hanya bagi penduduk
Damar atau menggarap lahannya untuk perladangan, Desa Namo namun juga bagi penduduk desa-desa
harus se-ijin penguasa dan sudah barang tentu lain yang menjadi tetangga desanya antara lain Desa
karena fungsinya sebagai taman nasional dan hutan Bolapapu, Tangkulowi, Salua, dan Tuwa yang juga
lindung, ijin itu akan dibatasi secara ketat. Perubahan merasakan implikasi kebijakan tersebut.13 Penduduk
hubungan antara penduduk dengan kawasan hutan semakin tidak tergantung pada sumberdaya hutan
ini perlahan-lahan juga mengubah cara hidup mereka melainkan pada lahan diluar kawasan terutama pada
yang sebelumnya tergantung pada sumberdaya hutan, lahan-lahan milik ataupun yang dikuasai secara
Rotan, Damar dan lainnya, menjadi tidak ataupun perseorangan. Isu mengenai rasio antara jumlah
kurang tergantung lagi. Kebijakan itu telah memaksa penduduk desa yang terus bertambah dari tahun ke
penduduk bercocok tanam di lahan milik yang sempit, tahun dengan jumlah luas lahan yang tetap serta
berbudidaya Jagung, Ubi, Kopi, Coklat, dll. Mereka keterbatasan lahan budidaya terutama ladang dan
tidak lagi menggantungan pada sumberdaya hutan kebun di desa-desa sekitar hutan itu terus mengalami
yang melimpah melainkan hidup berbudidaya secara peningkatan. Persoalan ini setidaknya melahirkan
kerdil12, bergeser dari kebebasan dan kelimpahan dua implikasi baik yang bersifat spasial maupun
kekayaan hayati sumberdaya hutan ke tradisi produksi sosial yang serius dan terkait dengan diusulkannya
rumah tangga yang kompetitif, semakin komersial dan pengelolaan hutan lindung Gawalise itu menjadi
dengan semangat individualis serta berhadap-hadapan Hutan Desa. Pertama, rasio yang tidak sebanding
langsung dengan pasar yang senantiasa memainkan antara jumlah penduduk dengan jumlah luas lahan di
harga-harga barang komoditas pertanian mereka. tingkat desa telah melahirkan kebijakan pemekaran
Lahan menjadi isu yang sangat penting setelah desa. Sebagaimana diketahui, Desa Namo merupakan
pemekaran dari Desa Bolapapu pada tahun 2004.
Kopi (atas) dan biji cokelat (bawah) yang sedang dijemur di depan Alasan utama pemerintah Desa Bolapapu memekarkan
perumahan warga. Keduanya adalah hasil perkebunan yang menjadi wilayah desa ini adalah karena jumlah penduduk yang
komoditas utama masyarakat Desa Namo, berkontribusi cukup besar
terhadap pendapatan masyarakat.
semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini tentu
juga terkait dengan penguasaan lahan setiap rumah-
tangga yang semakin terbatas dan dipertimbangkannya
kehidupan penduduk desa di masa depan. Apabila
dimekarkan, pemerintah dan penduduk desa yang baru
(Namo) akan memiliki kesempatan untuk menguasai
kawasan hutan yang mungkin bisa dimasukkan ke
dalam wilayah administratif desanya sebagai Hutan
Desa.14 Kedua, rasio yang semakin tidak sebanding
itu telah melahirkan sengketa penguasaan lahan
diantara penduduk desa-desa yang saling berbatasan
yaitu Namo, Bolapapu, Tangkuwali, Salua, dan
Tuwa yang beberapa kali terjadi terutama di areal
Bab 3
Perubahan Pendapatan
sebelum dan sesudah adanya program HKm dan HD, dengan formula (Bappeda dan BPS Kota Semarang,
perubahan penguasaan luas lahan hutan oleh rumah 2012) sebagai berikut :
tangga sebelum dan sesudah program HKm dan HD n
G p = 1 − ∑ f i (Yi + Yi −1 )
serta distribusi penguasaan lahan oleh rumah tangga i =1
Tabel 4. Persentase Komponen Pendapatan test dan taraf nyata pengujian (α) sebesar 5%.
terhadap Total Pendapatan RT per Bulan Hipotesis pengujian ini adalah sebagai berikut:
H0: tidak ada perbedaan pendapatan antara rumah
Kalibiru (%) Selo Timur (%)
tangga peserta dan bukan peserta HKm
Komponen Bukan Bukan
Peserta Peserta H1: ada perbedaan pendapatan antara rumah tangga
pendapatan RT Peserta Peserta
HKm HKm
HKm HKm peserta dan bukan peserta HKm
Hasil lahan sawah / Output pengujian dapat dilihat pada tabel Anova dan
20,0 14,6 12,52 7,4
kebun/ladang (Y1) Independent samples test (tertera pada lampiran 3.2).
Hasil lahan HKm Pada tabel tersebut tercantum nilai Sig.= 0.404 untuk
22,0 0,0 7,87 0,0
yang dikuasai (Y2)
Kalibiru dan 0.03 untuk Selo Timur. Dengan nilai
Hasil lahan hutan
0,4 0,0 0,04 0,0 Sig untuk Kalibiru yang lebih besar dari nilai α (5%
bukan HKm (Y3)
= 0.05), berarti pengujian tersebut menyimpulkan
Di luar pertanian
40,6 68,5 57,20 86,5 “terima H0” atau dengan kata lain bahwa belum cukup
(Y4)
bukti untuk menyatakan ada perbedaan pendapatan
Terkait dengan
pertanian (Y5)
17,0 16,9 22,37 6,1 yang signifikan antara rumah tangga peserta dan
bukan peserta HKm di Kalibiru. Di sisi lain, hasil
Total % 100,0 100,0 100,0 100,0
pengujian untuk Selo Timur adalah nilai Sig.=0.03
Sumber : Hasil survei rumah tangga, PPK LIPI 2014 yang lebih kecil dari nilai α. Dengan kondisi ini, hasil
Guna mengetahui apakah ada perbedaan besarnya pengujian untuk Selo Timur ialah tolak H0, yang
pendapatan antara rumah tangga peserta dan bukan artinya cukup bukti untuk menyatakan ada perbedaan
peserta HKm perlu dilakukan pengujian secara pendapatan yang signifikan antara rumah tangga
statistik dengan menggunakan Independent samples peserta dan bukan peserta HKm di Selo Timur.
akses ke lahan hutan. Di Selo Timur, dampak program mengelola lahan hutan di wilayah HKm. Mereka
HKm lebih nyata. Setelah menjadi anggota KTH yang tidak mempunyai ijin pemanfaatan HKm ini
Taruna Tani dan mengikuti program HKm, tidak adalah petani yang tidak tergabung dalam KTH
ada satupun dari total 30 responden yang tidak yang sudah dibentuk sebelumnya alias bukan peserta
mempunyai hak penguasaan lahan hutan. HKm (KTHKm). Status kawasan hutan tidak terlalu
memberikan pengaruh pada luas penguasaan lahan
Tabel 5. Perubahan Penguasaan Lahan Hutan di hutan di kedua dusun tersebut. Dengan jumlah
responden yang sama, di Dusun Kalibiru, walaupun
tingkat rumah tangga di Dusun Kalibiru, Dusun kawasan HKm berstatus hutan lindung, persentase
Selo Timur rumah tangga yang belum menguasai lahan hutan
Petani yang menguasai lahan hutan (%) lebih kecil dibandingkan dengan rumah tangga di
Dusun Kalibiru Dusun Selo Timur Selo Timur yang kawasan HKm-nya berstatus hutan
Kategori Luas produksi. Hal ini terjadi kemungkinan karena warga
(n=41) (n=30)
Lahan yang Selo Timur mempunyai pendapatan alternatif di luar
Dikuasai (ha) Sebelum Setelah Sebelum Setelah
ikut ikut ikut ikut hasil hutan yang menjanjikan seperti memproduksi
HKm HKm HKm HKm batu bata sedangkan sumber pendapatan yang besar
Tidak di Kalibiru berasal dari hasil hutan. Oleh karena itu
menguasai 39 2 70 0 analisis pendapatan berdasarkan jenis-jenis hasil
lahan hutannya perlu diteliti lebih lanjut.
< 0.25 39 68 23 90 Di Dusun Selo Timur, jenis tanaman yang
0.25 - <0.5 17 20 7 7 memberikan pendapatan terbesar adalah kacang
0.5 - <1 5 7 0 3 tanah, ketela, singkong dan kacang. Kacang tanah
1+ 0 2 0 0 memberikan kontribusi terbesar, yaitu sebanyak
Total 100 100 100 100 Rp 8,1 juta/tahun atau sekitar 700 ribu rupiah per
Jika dilihat dari luas lahan yang dikuasai, lebih dari bulannya per dusun. Jumlah ini tidak besar mengingat
setengah responden (68%) yang mengikuti program ada 250 KK yang tinggal di dusun ini. Masih lebih
HKm di Kalibiru menguasai lahan hutan seluas besar di Kalibiru, penduduknya hanya 115 KK.
masing-masing kurang dari 0.25 ha, dan kemudian Pendapatan hasil hutan Kalibiru lebih besar daripada
diikuti oleh 20% responden yang menguasai lahan Selo Timur. Hasil utama yang diambil adalah rumput
seluas 0.25-0.5 ha. Secara total, dengan adanya dan HMT. Penanaman HMT di teras-teras lahan
program HKm di Kalibiru, jumlah lahan yang dikuasai HKm sudah dianggap sebagai kegiatan ekonomi
oleh masyarakat meningkat menjadi sekitar 0.7 ha. produktif di desa tersebut. Jumlah yang didapatkan
Persentase responden di Selo Timur yang menguasai dari penanaman HMT per tahunnya Rp 79 juta atau
lahan berdasarkan luas lahannya hampir sama dengan sekitar Rp 6,6 juta per bulan. Angka ini termasuk
Kalibiru. Hampir semua masyarakat yang mengikuti besar namun karena areal kerja HKm berstatus
program HKm di Selo Timur (90%) menguasai lahan hutan lindung, masyarakat tidak dapat menghasilkan
hutan masing-masing seluas kurang dari 0.25 ha dan penghasilan tambahan dari hasil hutan kayu. Sesuai
diikuti oleh 7% yang menguasai seluas 0.25-0.5 ha. peraturan, tidak boleh ada penebangan pohon dan
Peningkatan luas lahan hutan yang dikuasai oleh tidak ada bagi hasil berupa kayu di Dusun Kalibiru.
rumah tangga di Selo Timur meningkat sebesar sekitar Sementara itu, pendapatan dari HMT dan rumput atau
0.9 ha secara total. pendapatan hasil hutan non kayu saja tidak cukup
untuk menyejahterakan masyarakat. Maka, muncul
Walaupun program HKm sudah berjalan, masih beberapa usaha alternatif antara lain pemanfaatan
ada masyarakat yang tidak mempunyai akses untuk
43
rata-rata Rp 291,667/bulan. Kemungkinan sawah rumah tangga. Sumber pendapatan kelompok tani
yang dikelola ini tidak berlokasi di Dusun Kalibiru. HKm ini adalah rumput dan HMT. Jika pendapatan
Pendapatan peserta HKm dari sektor pertanian lebih dari hasil hutan HKm ini hilang, tentu akan
besar dibandingkan dengan non-peserta HKm, baik berpengaruh terhadap kestabilan perekonomian rumah
pendapatan yang berasal dari ladang maupun kebun. tangga mereka. Selo Timur juga memiliki pendapatan
Sumber pendapatan non-peserta HKm yang lebih tambahan dari hasil hutan HKm, namun jumlahnya
besar daripada peserta HKm di Kalibiru berasal sangat sedikit yaitu hanya sebesar Rp 106.078/bulan/
dari sektor jasa atau sektor luar pertanian dan sektor rumah tangga. Para peserta HKm di Selo Timur
yang terkait dengan pertanian. Secara keseluruhan, memiliki pendapatan rata-rata rumah tangga yang
total pendapatan rata-rata per bulan peserta HKm di paling besar justru di luar sektor pertanian dan hutan
Kalibiru lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi yaitu sebesar Rp 4.088.900 per bulan. Kemungkinan
peserta HKm. pendapatan ini didapat dari usaha membuat batu
Hal berbeda terjadi di Dusun Selo Timur. Walaupun bata yang banyak dilakukan oleh warga di Dusun
semua rumah tangga memiliki pendapatan dari semua Selo Timur. Pendapatan dari luar pertanian di Selo
jenis sumber pendapatan, jumlah pendapatan peserta Timur ini berbeda jauh antara peserta HKm dan yang
HKm hampir selalu lebih kecil untuk setiap sumber bukan. Dengan melihat kondisi ini, program HKm
pendapatan dibandingkan dengan non-peserta HKm. di Selo Timur tampak belum memberikan dampak
Peserta HKm di Selo Timur memiliki pendapatan terhadap kesejahteraan masyarakat. Begitu pula
yang lebih besar di ladang dan untuk pendapatan yang dengan Kalibiru, walaupun masyarakat mendapatkan
terkait dengan pertanian saja, itu pun perbedaannya pendapatan dari hasil menanam rumput dan HMT
tidak signifikan dengan yang tidak mengikuti program di bawah tegakan pohon, jika tajuk pohon semakin
HKm. Jika ditotal, jumlah rata-rata pendapatan per rapat, dikhawatirkan pendapatan mereka dalam jangka
bulan setiap peserta HKm di Selo Timur lebih kecil panjang akan berkurang.
dibandingkan dengan yang tidak menjadi peserta Kesejahteraan masyarakat selain dilihat dari tingkat
HKm. Pendapatan rata-rata per bulannya untuk warga pendapatannya, dapat dilihat juga dari aset yang
yang tidak mengikuti program HKm jauh lebih tinggi dimilikinya atau dikuasainya, termasuk lahan. Dengan
dibandikan dengan warga yang mengikuti program bertambahnya lahan yang dikuasai, seyogyanya
HKm yaitu sebesar Rp 4.420.075/bulan, dua kali lipat masyarakat semakin sejahtera karena meningkatnya
lebih besar dibandingkan dengan pendapatan peserta pendapatan dari hasil yang ditanam di lahan yang
HKm yang hanya Rp 1.825.438/bulan. dikuasai tersebut. Apalagi dengan adanya program
Perbedaan lain yang juga menarik adalah, rumah HKm, masyarakat dalam hal ini yang tergabung
tangga yang mengikuti program perhutanan sosial dalam kelompok tani hutan (KTH) mendapatkan ijin
HKm baik di Dusun Kalibiru dan Dusun Selo Timur pengelolaan HKm selama 35 tahun atau dengan kata
memiliki pendapatan tambahan yaitu pendapatan dari lain mendapatkan tambahan penguasaan lahan. Jenis
hasil hutan HKm. Sedangkan yang tidak mengikuti penguasaan lahan di kawasan HKm Kulonprogo
program HKm, tidak memiliki pendapatan apa-apa baik di Dusun Kalibiru maupun Dusun Selo Timur
dari areal kerja HKm. Namun, pendapatan dari HKm beragam tergantung, salah satunya, dari kondisi
ini lebih besar didapatkan oleh peserta HKm di topografi masing-masing daerah. Penelitian ini
Kalibiru dibandingkan dengan di Selo Timur. membagi jenis penguasaan lahan di dalam kawasan
HKm dan HD menjadi lahan hutan, sawah dan non-
Di Dusun Kalibiru, pendapatan tambahan per rumah sawah seperti ladang dan kebun.
tangga per bulannya adalah rata-rata sebesar Rp
1.160.906. Jumlah ini termasuk besar bagi masyarakat Grafik memperlihatkan di Dusun Kalibiru hampir
di sana dan cukup berkontribusi bagi perekonomian tidak ada yang menguasai lahan sawah. Hal ini masuk
45
akal mengingat lokasi dusun ini yang berada di atas masyarakat mampu meningkatkan pendapatan
perbukitan sehingga tidak cocok untuk melakukan atau kesejahteraan mereka, maka masyarakat akan
kegiatan bercocok tanam. Pola penguasaan lahan beralih mata pencaharian menjadi pengelola HKm.
hutan dan non-sawah memiliki di Kalibiru terlihat Dari grafik tersebut, untuk Dusun Kalibiru, terdapat
mirip. Umumnya responden menguasai lahan hutan perubahan jumlah responden di sebagian jenis mata
dan non-sawah dengan rata-rata luas lahan kurang pencaharian. Sebelum program HKm, jumlah petani
dari 0.25 ha. Namun jika dibandingkan, rata-rata kebun/ladang/hutan hanya sebesar 60% dari total
responden meskipun setelah program HKm berjalan responden, namun setelah mengikuti program HKm,
tetap lebih banyak menguasai lahan non sawah jumlah petani tersebut meningkat 10% menjadi 70%
dibandingkan lahan hutan HKm. Hal ini terlihat dari dari total responden peserta HKm. Selain itu, setelah
persentase responden yang tidak menguasai lahan adanya program HKm, mata pencaharian sebagai
hutan jumlahnya lebih besar yaitu 33% daripada lahan pengelola HKm muncul sebesar 10% dari total 41
non-sawah yang hanya 5% dari total 60 responden. responden peserta HKm. Ini dapat menjadi indikator
Kondisi serupa pun tampak di Dusun Selo Timur. positif bahwa program HKm di Dusun Kalibiru
Walaupun pada tabel sebelumnya, rata-rata rumah berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
tangga di Selo Timur mendapatkan pendapatan per Pada kasus Selo Timur setelah adanya program HKm,
bulan yang cukup besar dari sawah, luas lahan yang jumlah responden yang dulunya berprofesi sebagai
dikuasai oleh rumah tangga hanya sebesar 18% dari buruh non tani atau tukang menurun dari 60% menjadi
total 60 responden. Lahan seluas 0.25 hektar adalah kurang dari 50%. Buruh tani, jumlahnya pun menurun
luas yang rata-rata dimiliki oleh hampir setengah dari yang hampir mencapai 30% dari total responden
dari total responden, -baik untuk lahan hutan maupun menjadi kurang dari 10%. Para responden ini beralih
lahan non-sawah. Namun, masih banyak lahan hutan pekerjaan menjadi pengelola HKm. Dari grafik
yang belum dikuasai oleh responden di Selo Timur. tampak bahwa persentase responden yang berubah
Setengah atau 50% dari total responden mengaku mata pencaharian menjadi pengelola HKm hampir
tidak mempunyai hak untuk menguasai lahan HKm. mencapai 30% dari total responden peserta HKm.
Dampak program perhutanan sosial juga tercermin Tingkat partisipasi anggota rumah tangga (ART)
dari perubahan mata pencaharian masyarakat dalam mengelola atau menggarap hasil hutan
di sekitar hutan. Jika program HKm dipandang dapat mencerminkan tingkat keberhasilan program
Grafik 1. Distribusi jenis penguasaan lahan di Dusun Kalibiru setelah mengikuti program HKm (n=60)
Hutan Tidak menguasai
Non Sawah <0,25
Sawah 0,25-<0,25
0% 20% 40% 60% 80% 100% 0,5-<1
% jumlah rumah tangga yang menguasai lahan dari total sampel rumah tangga 1+
Grafik 2. Distribusi jenis penguasaan lahan di Dusun Selo Timur setelah mengikuti program HKm (n=60)
Hutan Tidak menguasai
Non Sawah <0,25
Sawah 0,25-<0,25
0% 20% 40% 60% 80% 100% 0,5-<1
% jumlah rumah tangga yang menguasai lahan dari total sampel rumah tangga 1+
Grafik 3. Perubahan mata pencaharian sebelum dan sesudah HKm di Dusun Kalibiru
Petani kebun/ladang/hutan
Grafik 4. Perubahan mata pencaharian di Dusun Selo Timur sebelum dan sesudah HKm
Buruh non tani/tukang
Grafik 5. Partisipasi rumah tangga dalam mengelola atau menggarap hasil hutan sebelum dan sesudah
program HKm di Dusun Kalibiru (n=41) dan Dusun Selo Timur (n=30)
Sebelum
Kalibiru
Sesudah
0
Sebelum
Selo 1
Timur 2
Sesudah
3
0% 20% 40% 60% 80% 100%
% jumlah rumah tangga yang menguasai lahan dari total sampel rumah tangga
47
perhutanan sosial ini. Pada Grafik 5 terlihat atau menggarap hasil hutan.. Namun dengan adanya
peningkatan jumlah ART yang terlibat dalam program HKm, jumlah ini berkurang menjadi 30%
pengelolaan HKm, baik di Dusun Kalibiru maupun dari total responden. Umumnya jumlah ART yang
Selo Timur. Sebelum program HKm berjalan, lebih terlibat setelah program HKm ini adalah sebanyak dua
dari setengah responden tidak memiliki ART yang orang, yang biasanya adalah istri dan/atau anak.
membantu mereka sama sekali dalam mengelola
Gambar 3. Garis Distribusi Pendapatan Rumah Gambar 4. Garis Distribusi Pendapatan Rumah
Tangga Peserta dan Non Peserta HKm di Kalibiru Tangga Peserta dan Non Peserta HKm di Selo Timur
Kemerataan Kemerataan
Sempurna Sempurna
% kumulatif penerima income % kumulatif penerima income
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014 Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
berikut, dengan keterangan bahwa semakin cembung 3. Indeks gini yang dihitung dengan asumsi rumah
(semakin jauh dari garis lurus) maka semakin tangga peserta HKm tidak lagi mengikuti program
timpang/tidak merata distribusi pendapatannya. Di HKm tetapi rumah tangga tersebut diasumsikan
mana garis distribusi pendapatan rumah tangga bukan memperoleh sumber pendapatan tambahan dari
peserta HKm di Selo Timur lebih cembung dari hasil memaksimalkan pengelolaan penguasaan
pada garis peserta HKm. Gambar ini mencerminkan atau produksi lahan bukan hutan (sawah,
pendapatan rumah tangga bukan peserta HKm lebih ladang dan kebun). Besarnya luas lahan yang
tidak merata atau lebih timpang. dimaksimalkan produksinya ini merupakan rata-
Selanjutnya, guna melihat bagaimana pola distribusi rata penguasaan lahan rumah tangga di desa yang
pendapatan rumah tangga peserta HKm dengan diteliti. Pendapatan tambahan tersebut sebesar
adanya HKm dan tanpa HKm, dilakukan perhitungan Rp263.333,33 per bulan untuk Kalibiru dan
Indeks Gini dengan tiga cara yaitu: Rp158.333,33 per bulan untuk Selo Timur.
1. Indeks gini yang dihitung dengan variabel Hasil ketiga cara di atas, dipakai untuk
pendapatannya adalah total pendapatan rumah membandingkan bagaimana pola distribusi
tangga per bulan, termasuk di dalamnya komponen pendapatan rumah tangga dengan ikut/tidak ikut
pendapatan dari hasil HKm. Hal ini untuk melihat program HKm, serta pola distribusi pendapatan
bagaimana distribusi pendapatan rumah tangga rumah tangga yang tidak mengikuti HKm tetapi
yang mengikuti program HKm. mempunyai pendapatan selain hasil hutan yakni
tambahan pendapatan dari memaksimalkan produksi
2. Indeks gini diukur dengan asumsi rumah tangga lahan bukan hutan. Nilai Indeks Gini dan kriteria
peserta HKm tidak lagi menjadi peserta HKm ketimpangan pendapatan ketiga cara perhitungan di
dan tidak memperoleh pendapatan dari hasil atas tercantum pada tabel berikut.
lahan HKm. Variabel yang digunakan adalah total
pendapatan rumah tangga per bulan dikurangi Berdasarkan tabel berikut, secara umum untuk tiga
dengan pendapatan dari hasil HKm per bulan. Cara cara perhitungan itu ada perbedaan pola perubahan
ini guna mengetahui distribusi pendapatan rumah nilai Indeks Gini antara Dusun Kalibiru dan Selo
tangga jika mereka tidak mengikuti program HKm Timur. Tapi tidak ada perubahan kriteria ketimpangan
dan tidak memperoleh pendapatan dari hasil HKm. pendapatan untuk tiga cara perhitungan dan di dua
49
dusun tersebut, masih kriteria ketimpangan sedang. pendapatan dari lahan HKm mempunyai pengaruh
Uraian menjelaskan hasil tiga cara perhitungan Indeks terhadap perubahan distribusi pendapatan di Kalibiru
Gini dan kriteria ketimpangan pendapatannya. dan Selo Timur meskipun pengaruhnya berlawanan.
Perhitungan cara pertama menghasilkan kriteria
distribusi pendapatan yang sama dari dua dusun Tabel 8. Nilai Indeks Gini dan Kriteria
yakni ketimpangan pendapatan sedang dengan nilai Ketimpangan Pendapatan di Kalibiru dan Selo
Indeks Gini yang cukup berbeda jauh, yakni dengan Timur dengan Tiga Cara Perhitungan Indeks Gini
selisih 0,12. Rumah tangga peserta HKm di Kalibiru
mempunyai nilai Indeks Gini 0,55 di mana indeks Nilai Indeks Gini dan Kriteria
ini lebih besar dari Selo Timur yang hanya 0,43. Cara Perhitungan Indeks Gini ketimpangan
dengan nilai indeks tersebut dapat dikatakan distribusi Kalibiru Selo Timur
pendapatan rumah tangga peserta HKm di Selo Timur Cara 1. Dengan pendapatan 0,55 0,43
lebih merata dibandingkan Kalibiru. dari lahan HKm Ketimpangan Ketimpangan
Dari hasil cara kedua terjadi perubahan nilai Indeks sedang sedang
Gini yang relatif kecil baik di Kalibiru maupun Selo Cara 2. Tanpa pendapatan 0,51 0,45
Timur. Namun kriteria ketimpangan pendapatannya dari lahan HKm Ketimpangan Ketimpangan
tidak berubah, masih ketimpangan sedang. Ada sedang sedang
perbedaan perubahan untuk dua dusun dari hasil cara Cara 3. Tanpa pendapatan 0,48 0,41
perhitungan kedua. Nilai Indeks Gini di Kalibiru dari lahan HKm tapi ada Ketimpangan Ketimpangan
tambahan pendapatan dari sedang sedang
menurun 0,04 sedangkan Indeks Gini di Selo Timur
memaksimalkan produksi
meningkat 0,03. Pola ini menunjukkan bahwa lahan bukan hutan
tanpa pendapatan dari hasil lahan HKm, distribusi
pendapatan rumah tangga peserta HKm di Kalibiru Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
menjadi lebih tidak timpang, namun sebaliknya di Selanjutnya, dari perhitungan cara ketiga masih
Selo Timur menjadi lebih timpang. Ini menunjukan diperoleh ketimpangan pendapatan yang sedang untuk
Gambar 6. Garis Distribusi Pendapatan Rumah Gambar 7. Garis Distribusi Pendapatan Rumah
Tangga Peserta HKm di Kalibiru dengan 3 Cara Tangga Peserta HKm di Selo Timur dengan 3 Cara
Perhitungan Perhitungan
Dusun Kalibiru dan Selo Timur seperti hasil cara diasumsikan tidak lagi memperoleh pendapatan dari
pertama dan kedua. Namun nilai Indeks Gini di dua lahan HKm, lebih berkontribusi dalam penurunan nilai
dusun tersebut menurun dari Indeks Gini perhitungan Indeks Gini dan tingkat ketimpangan pendapatan.
cara pertama dan kedua sehingga distribusi Pola distribusi pendapatan untuk rumah tangga di
pendapatannya pun lebih merata dibandingkan Kalibiru dan Selo Timur dan untuk masing-masing
dua cara sebelumnya. Jika dibandingkan dengan cara perhitungan, dilukiskan dengan garis distribusi
perhitungan cara pertama, penurunan nilai Indeks Gini pendapatan yang tercantum pada gambar berikut,
Kalibiru mencapai 0,07 yang lebih besar dari pada di mana semakin cembung (semakin jauh dari garis
Selo Timur yang hanya 0,02. Hasil ini menunjukan lurus) maka semakin timpang/tidak merata distribusi
dengan tambahan pendapatan dari memaksimalkan pendapatannya.
produksi lahan bukan hutan bagi rumah tangga, yang
pendapatan bagi rumah tangga peserta HKm. Gambar 8. Skenario Pendapatan RT Peserta HKm
Pendapatan dari luar hasil HKm juga diasumsikan di Kalibiru dan Selo Timur Tahun 2014-2049
tetap seperti skenario sebelumnya. Dengan asumsi
ini maka besarnya S4 = S1 – Z. Income
rumah tangga
Hasil perhitungan keempat skenario tersebut terlukis (Rp.juta)
pada gambar berikut. Pada gambar ini terlihat bahwa
terjadi penurunan pendapatan yang tajam untuk Kalibiru
Kalibiru antara tahun 2014 sampai dengan 2034 Selo Timur
dan setelah itu penurunannya sangat landai sampai
tahun 2049. Sedangkan hasil skenario di Selo Timur
menunjukan penurunan pendapatan yang tidak
signifikan atau landai selama 35 tahun ke depan.
2014 2049
Penurunan pendapatan di Kalibiru dan Selo Timur
disebabkan dalam 35 tahun ke depan tanaman kayu Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
di lahan HKm sudah tinggi dan rapat sehingga rumah
tangga peserta HKm tidak dapat lagi melakukan melainkan semakin menurun dan memburuk. Untuk
kegiatan wanatani di lahan HKm. Mereka tidak akan itu perlu dipikirkan cara atau kegiatan lain yang
memperoleh tambahan pendapatan dari hasil lahan berkesinambungan dan dapat menambah pendapatan
HKm. Berarti dari tahun ke tahun, bukannya dengan mereka, agar kehidupan mereka dalam 35 tahun ke
program HKm perekonomian dan kesejahteraan depan mempunyai grafik peningkatan pendapatan
mereka semakin meningkat dan membaik, yang berujung pada tercapainya pengentasan
kemiskinan dan masyarakat yang sejahtera.
Jika dikelompokan menurut golongan pendapatan per Tabel 10. Persentase Komponen Pendapatan
bulan, rumah tangga di Namo mempunyai pendapatan terhadap Total Pendapatan RT per Bulan
yang relatif merata di setiap golongan pendapatan,
seperti terlihat pada tabel berikut. Komponen pendapatan Peserta HD Bukan Peserta
RT (%) HD (%)
Hasil lahan sawah /
Tabel 9. Persentase Jumlah RT di Namo menurut kebun/ladang (Y1)
33,0 40,0
Golongan Total Pendapatan per Bulan Hasil lahan HD yang
11,0 0,0
dikuasai (Y2)
Peserta HD Bukan Peserta
Pendapatan RT per bulan Hasil lahan hutan bukan
(%) HD (%) 4,0 0,0
0,0 11,3 HD (Y3)
<500ribu
2,5 6,2 Di luar pertanian (Y4) 20,0 40,0
500ribu-<1juta
1,3 12,5 Terkait dengan pertanian
1juta-<1,5juta 32,0 20,0
(Y5)
1,5juta-<2,5juta 7,5 18,8
Total % 100,0 100,0
2,5juta-<5juta 7,5 16,2
>= 5juta 6,2 10,0 Sumber : Hasil survei rumah tangga, PPK LIPI 2014
n (sampel RT) 25 75 Guna mengetahui apakah ada perbedaan besarnya
Sumber : Hasil survei rumah tangga, PPK LIPI 2014 pendapatan antara rumah tangga peserta dan bukan
peserta HD perlu dilakukan pengujian secara statistik
Seperti halnya dengan di Kalibiru dan Selo Timur, dengan menggunakan Independent samples test dan
sumber pendapatan rumah tangga di Namo juga taraf nyata pengujian (α) sebesar 5%. Hipotesis
bervariasi. Bila dilihat dari komposisinya, pendapatan pengujian ini adalah sebagai berikut:
rumah tangga di Namo berasal dari lima komponen
yaitu dari (a) hasil lahan sawah, kebun, dan ladang Hipotesis:
(Y1), (b) hasil lahan hutan HD yang dikuasai rumah H0: tidak ada perbedaan pendapatan antara rumah
tangga (Y2), (c) hasil lahan hutan bukan HD (Y3), (d) tangga peserta dan bukan peserta HD
pendapatan di luar pertanian (Y4), dan (e) pendapatan H1: ada perbedaan pendapatan antara rumah tangga
yang terkait dengan pertanian (Y5). Kelima komponen peserta dan bukan peserta HD
pendapatan tersebut memberikan kontribusi yang
berbeda-beda terhadap total pendapatan rumah Output pengujian dapat dilihat pada tabel Anova dan
tangga di Namo. Besarnya kontribusi tiap komponen Independent samples test di mana tercantum nilai
tercantum dalam tabel berikut. Berdasarkan tabel ini, Sig.= 0,66 untuk Namo. Dengan nilai Sig yang lebih
terdapat pola yang sama untuk RT peserta maupun besar dari nilai α (5% = 0,05), berarti pengujian
bukan peserta HD di lokasi ini, yakni komponen tersebut menyimpulkan “terima H0” atau dengan kata
pendapatan hasil lahan sawah/kebun/ladang (Y1) lain bahwa belum cukup bukti untuk menyatakan ada
memberikan sumbangan yang terbesar dibandingkan perbedaan pendapatan yang signifikan antara rumah
komponen lain. Selain itu, terlihat pula bahwa tangga peserta dan bukan peserta HD di Desa Namo.
pendapatan dari lahan HD (Y2) hanya kecil, yaitu
11% dari total pendapatan RT peserta HD.
53
Untuk pendapatan dari kebun, hasil lebih besar Hutan Desa, hampir dua kali lipat lebih besar. Rata-
didapatkan oleh responden yang merupakan rata pendapatan peserta HD paling besar berasal dari
peserta HD yaitu sebesar Rp 2.241.347 per bulan kebun yaitu kebun coklat dan kopi. Sedangkan yang
dibandingkan dengan responden yang tidak mengikuti tidak mengikuti program HD memiliki pendapatan
HD yaitu hanya sebesar Rp 616.818. Kemudian, rata-rata terbesar dari luar pertanian, yaitu dengan
pendapatan yang terkait dengan pertanian paling menawarkan jasa ojek yang biasanya laris dipakai
banyak berasal dari peserta HD yaitu sebesar Rp untuk pergi ke desa-desa enclave di Taman Nasional
1.491.056 rata-rata per bulannya. Pendapatan warga Lore Lindu. Namun jika dilihat untuk pendapatan
Desa Namo yang mengikuti HD ini tinggi karena dari HD jumlah pendapatan yang didapatkan oleh
kemungkinan banyak yang menjadi buruh upah untuk masyarakat peserta HD masih terbilang kecil yaitu
membersihkan kebun coklat dan juga memanen hasil sekitar Rp 900 ribu/bulan/rumah tangga. Jumlah ini
coklat. masih bisa ditingkatkan lagi mengingat masih banyak
potensi hasil hutan yang belum dimanfaatkan.
Tabel 12. Rata-rata pendapatan rumah tangga Dari sisi aset penguasaan lahan, masyarakat Desa
per bulan dari berbagai jenis pendapatan di Namo lebih banyak menguasai lahan non-sawah
Namo berupa kebun, yaitu kebun coklat atau kebun kopi,
yang memang menjadi komoditas unggulan Desa
Rata-rata pendapatan rumah Namo. Hanya 3% dari total 80 responden yang
tangga per bulan mengatakan dirinya tidak menguasai lahan kebun.
Jenis pendapatan
Bukan peserta Luas lahan kebun mereka pun beragam, dari 80
Peserta HD
HD responden 34 persen memiliki lahan kebun seluas
Pertanian 1.978.778 678.919 1-1,5 hektar, 28 persen dari responden memiliki lahan
Sawah 207.500 374.931 kebun yang berukuran kurang dari 1 hektar, 25 persen
Ladang 64.577 30.000 memiliki lahan kebun yang berukuran lebih dari 2
Kebun 2.241.347 616.818 hektar dan 11 persen memiliki kebun seluas 1,5 – 2
Hasil hutan HD 991.667 - hektar.
Hasil hutan non HD 47.033 150.833 Kebanyakan masyarakat Desa Namo tidak menguasai
Di luar pertanian 554.889 1.158.878 lahan lagi di luar dari kebun. Persentase responden
Terkait pertanian 1.491.056 519.897 yang menguasai lahan hutan atau sawah sangat
Total 3.490.578 1.828.510 sedikit dengan alasan yang berbeda. Hampir semua
Jika dilihat dari pendapatan keseluruhan rata-rata per responden atau sebesar 89% dari total responden
bulan antara peserta dan bukan peserta Hutan Desa tidak menguasai atau tidak mempunyai akses untuk
Namo, peserta Hutan Desa memiliki pendapatan memanfaatkan Hutan Desa karena lokasinya yang
yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengikuti sulit dijangkau. Sedangkan 80% dari total responden
tidak menguasai lahan sawah karena sebagian besar
Grafik 6. Distribusi Jenis Penguasaan Lahan di Desa Namo setelah mengikuti program HKm (n=80)
Hutan Tidak menguasai
Non Sawah <0,25
Sawah 0,25-<0,25
0% 20% 40% 60% 80% 100% 0,5-<1
% jumlah rumah tangga yang menguasai lahan dari total sampel rumah tangga 1+
55
lahan kosong sudah dijadikan kebun, baik kebun kopi Grafik 8. Partisipasi rumah tangga dalam
maupun coklat. mengelola atau menggarap hasil hutan sebelum
Di Namo, satu perubahan mata pencaharian yang dan sesudah program HD di Desa Namo (n=15)
terjadi adalah bertambahnya pengumpul rotan setelah
adanya program Hutan Desa, yang awalnya hanya Sebelum HD 0
1
2 orang menjadi 6 orang dari total 15 orang peserta
Sesudah HD
Hutan Desa. Namun menarik juga untuk diamati
bahwa jumlah responden yang berkebun jumlahnya 0 2 4 6 8 10 12 14
tetap, dengan atau tanpa adanya Hutan Desa. Hal ini
mengindikasikan bahwa kebun tetap menjadi tempat Desa jumlah ART yang terlibat dalam pengelolaan
andalan mereka sebagai sumber pendapatan. hasil hutan justru bertambah sedikit. Kemungkinan
Di Namo, jumlah ART yang terlibat selain kepala adalah karena lokasi Hutan Desa yang jauh dari
rumah tangga tidak banyak. Pada grafik terlihat pemukiman masyarakat dan akses menuju lokasi yang
dari 15 anggota peserta Hutan Desa, hanya ada 3 sulit membuat tidak banyak warga yang mampu untuk
responden yang mempunyai bantuan dari satu anggota terlibat dalam mengelola atau menggarap hasil hutan
rumah tangganya. Setelah adanya program Hutan di Hutan Desa tersebut.
Grafik 7. Perubahan mata pencaharian di Desa Namo sebelum dan sesudah Hutan Desa
Pengumpul rotan
Berkebun Sesudah HD
Petani (n=15)
0 1 2 3 4 5 6 7
peserta HD Namo, karena selisihnya hanya 0,02. Berikutnya, untuk melihat bagaimana pola distribusi
Bahkan keduanya mempunyai kriteria yang sama pendapatan rumah tangga peserta HD dengan adanya
tentang distribusi pendapatan yaitu ketimpangan HD dan tanpa HD, dilakukan perhitungan Indeks Gini
sedang. dengan tiga cara yaitu
1. Pertama, indeks gini yang dihitung dengan variabel
Tabel 13. Nilai Indeks Gini Peserta dan Bukan pendapatannya adalah total pendapatan rumah
Peserta HD tangga per bulan, termasuk didalamnya komponen
pendapatan dari hasil HD. Hal ini untuk melihat
Nilai Indeks Gini dan Kriteria bagaimana distribusi pendapatan rumah tangga
ketimpangan yang mengikuti program HD.
Peserta HD 0,45 Ketimpangan sedang
2. Kedua, indeks gini diukur dengan asumsi rumah
Bukan peserta HD 0,43 Ketimpangan sedang tangga peserta HD tidak lagi menjadi peserta
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014 HD dan tidak memperoleh pendapatan dari hasil
lahan HD. Variabel yang digunakan adalah total
Kondisi ketimpangan pendapatan tersebut terlihat
pendapatan rumah tangga per bulan dikurangi
pula pada gambar berikut, di mana semakin cembung
dengan pendapatan dari hasil HD per bulan. Cara
(semakin jauh dari garis lurus) maka semakin
ini untuk mengetahui distribusi pendapatan rumah
timpang/tidak merata distribusi pendapatannya.
tangga jika mereka tidak mengikuti program HD
Berdasarkan dua gambar berikut terlukis bahwa
dan tidak memperoleh pendapatan dari hasil HD.
garis distribusi pendapatan rumah tangga peserta
HD di Desa Namo sedikit lebih cembung dari pada 3. Ketiga, indeks gini yang dihitung dengan asumsi
garis bukan peserta HKm pada gambar berikut. Ini rumah tangga peserta HD tidak lagi mengikuti
mencerminkan pendapatan rumah tangga peserta HD program HD tetapi rumah tangga tersebut
lebih tidak merata atau lebih timpang dibandingkan diasumsikan memperoleh sumber pendapatan
bukan peserta HD. tambahan dari hasil memaksimalkan pengelolaan
penguasaan atau produksi lahan bukan hutan
Gambar 9. Garis Distribusi Pendapatan Rumah Gambar 10. Garis Pemerataan Pendapatan Rumah
Tangga Peserta dan Non Peserta HKm di Namo Tangga Peserta HD di Desa Namo dengan 3 Cara
Perhitungan
% kumulatif income
% kumulatif income Peserta HD
Peserta HKm
Non HD
Non HKm
Non HD +
Kemerataan Maks Lahan
Sempurna Non Hutan
% kumulatif penerima income
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014 % kumulatif penerima income
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
57
(sawah, ladang dan kebun). Besarnya luas lahan pendapatan rumah tangga peserta HD mempunyai
yang dimaksimalkan produksinya ini merupakan Indeks Gini sedikit lebih tinggi dan timpang. Hal ini
rata-rata penguasaan lahan rumah tangga di desa menunjukan pendapatan dari lahan HD mempunyai
yang diteliti. Pendapatan tambahan tersebut pengaruh terhadap perubahan distribusi pendapatan di
sebesar Rp1.183.333,33 per bulan. Namo walaupun tidak besar.
Hasil ketiga cara di atas, dipakai untuk Berikutnya, perhitungan cara ketiga dihasilkan
membandingkan bagaimana pola distribusi Indeks Gini 0,34 yang termasuk dalam ketimpangan
pendapatan rumah tangga dengan ikut/tidak ikut pendapatan yang rendah. Jika dibandingkan dengan
program HD, serta pola distribusi pendapatan rumah hasil cara pertama dan kedua, maka terjadi penurunan
tangga yang tidak mengikuti HD tetapi mempunyai Indeks Gini yang drastis dan signifikan sebesar
pendapatan selain hasil hutan yakni tambahan 0,21 dan 0,22. Penurunan ini berdampak juga pada
pendapatan dari memaksimalkan produksi lahan status pemerataan pendapatannya di mana menjadi
bukan hutan. Hasil perhitungan nilai Indeks Gini dan lebih tidak timpang atau lebih merata dari pada
kriteria ketimpangan pendapatan dengan tiga cara cara pertama dan kedua. Hasil ini menunjukan
perhitungan di atas tertera pada tabel berikut. dengan tambahan pendapatan dari memaksimalkan
produksi lahan bukan hutan bagi rumah tangga, yang
Tabel 10. Nilai Indeks Gini dan Kriteria diasumsikan tidak lagi memperoleh pendapatan dari
lahan HD, sangat berpengaruh dalam penurunan nilai
Ketimpangan Pendapatan di Namo dengan Tiga Indeks Gini dan tingkat ketimpangan pendapatan.
Cara Perhitungan Indeks Gini
Pola pemerataan pendapatan untuk rumah tangga di
Cara Perhitungan Indeks Nilai Indeks Gini dan Kriteria Namo dan untuk masing-masing cara perhitungan,
Gini ketimpangan dilukiskan dengan garis pemerataan pendapatan
Cara 1. Dengan pendapatan 0,45 yang tercantum pada gambar berikut, di mana
dari lahan HD Ketimpangan sedang semakin cembung (semakin jauh dari garis lurus)
Cara 2. Tanpa pendapatan 0,46 maka semakin timpang/tidak merata distribusi
dari lahan HD Ketimpangan sedang pendapatannya.
Cara 3. Tanpa pendapatan Dari gambar tersebut, terlihat garis lengkung putus-
dari lahan HD tapi ada 0,34 putus (garis non HD + maks lahan non hutan)
tambahan pendapatan dari mempunyai tingkat kecembungan yang paling rendah
memaksimalkan produksi Ketimpangan rendah
dari pada garis HD dan tanpa HD. Ini mencerminkan
lahan bukan hutan
Indeks Gini dan ketimpangan pendapatannya terkecil.
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014 Sedangkan garis lengkung lurus (HD) dan lengkung
Dari hasil yang tercantum pada table itu, terdapat titik-titik (tanpa HD) memiliki tingkat kecembungan
perbedaan hasil nilai Indeks Gini dan kriteria yang hampir sama, artinya nilai Indeks Gininya
ketimpangan pendapatan untuk tiga cara perhitungan. hanya selisih sedikit dan termasuk dalam kategori
Pada perhitungan cara pertama diperoleh Indeks Gini ketimpangan yang sama yaitu sedang.
sebesar 0,45 yang tergolong ketimpangan sedang.
Kemudian, dari hasil cara kedua terjadi perubahan
nilai Indeks Gini yang relatif kecil yakni meningkat
hanya 0,01 dengan masih dalam kategori ketimpangan
sedang. Perubahan ini menggambarkan bahwa
tanpa pendapatan dari hasil lahan HKm, distribusi
4. Skenario keempat merupakan titik keempat yang Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
59
Bab 4
tidak dapat diukur dan diperbandingkan namun perhutanan sosial itu kini kepada masyarakat.
hal itu bisa menjadi gambaran ekspresif tentang Pengukuran dapat dilakukan dengan parameter yang
preferensi kebahagiaan di dalam suatu kehidupan jelas dan dengan teknik analisa yang mengaitkan
yang bisa jadi merupakan cerminan dari kesejahteraan berbagai komponen hasil hutan dan bukan hasil
suatu masyarakat. Hal seperti ini mungkin sulit hutan dengan kemiskinan. Hasil analisa akan dicoba
dipertanggungjawabkan dalam studi yang menganut diletakkan di dalam konteks sebagaimana tersebut
aliran positivistik karena hubungan-hubungan tersebut diatas untuk mengetahui seberapa berarti program
tidak dapat diukur dengan parameter yang jelas namun tersebut bagi kehidupan mereka saat ini dan ganjalan-
dapat dijelaskan oleh para peneliti yang memahami ganjalan apa yang masih dirasakan terkait dengan
kehidupan masyarakat itu secara subyektif.2 program tersebut sehingga dapat memberikan bahan
Kendatipun demikian, hal penting yang pertama rekomendasi perbaikan baik yang bersifat konseptual
harus dilakukan adalah mengukur dampak program maupun praktikal. Uraian selanjutnya pada bagian
ini akan mengulas dampak HKm dan HD terhadap
2 Penelitian ini sendiri belum dapat memahami masyarakat yang kesejahteraan yang dalam hal ini diukur dengan garis
diteliti dengan baik sebagaimana para Antropolog yang dapat
memahami suatu masyarakat dengan sangat baik. Namun kemiskinan. Sebelum mengulas hal-hal itu lebih
sejarah penguasaan hutan yang bersumber dari sejarah lisan jauh perlu kiranya disampaikan konsep dan metode
itu cukup memberi gambaran tentang apa yang seharusnya
dijelaskan. perhitungan kemiskinan.
suatu rumah tangga yang dapat dikatakan tidak Penentuan kriteria pengelompokan kemiskinan dalam
miskin menurut rumah tangga tersebut. Besarnya metode kombinasi ini adalah dengan mencari titik
pendapatan minimal menurut persepsi tersebut dapat potong antara variabel pendekatan subjektif (standard
mewakili nilai “standard of living” (seperti yang of living, dalam hal ini pendapatan subjektif) dengan
terlihat pada gambar berikut) atau dapat dikatakan variabel pendekatan objektif (pendapatan objektif),
sebagai pendapatan subjektif serta sebagai indikator yaitu titik potong antara standard of living threshold
deprivasi dan variabel pengukuran dengan pendekatan dengan income threshold, seperti yang tertera pada
subjektif. Di sisi lain, pengukuran kemiskinan dengan gambar di bawah. Garis standard of living threshold
pendekatan objektif menggunakan variabel besarnya dapat dikatakan sebagai “Garis Kemiskinan Subjektif”
pendapatan real/nyata per bulan per kapita yang dan garis income threshold sebagai “Garis kemiskinan
dihasilkan oleh suatu rumah tangga atau yang disebut Objektif” (Suryahadi, A. 2013).
sebagai pendapatan objektif (Suryahadi, A. 2013).
Gambar 12. Kriteria Pengelompokan Kemiskinan Dengan mempertemukan atau memotongkan Garis
dengan Metode Kombinasi Subjektif dan Objektif Kemiskinan Subjektif dan Objektif, diperoleh empat
kuadran pengelompokan kemiskinan, yakni (a) miskin
(poor), (b) rentan miskin (vulnerable), (c) meningkat
dari kondisi rentan miskin (rising), dan (d) tidak
miskin (not poor), seperti yang terlihat pada gambar.
Kriteria penentuan empat pengelompokan ini adalah:
1. Miskin apabila nilai pendapatan subjektif lebih
kecil (<) dari Garis Kemiskinan Subjektif dan
pendapatan objektif lebih kecil (<) pula dari Garis
Kemiskinan Objektif,
Sumber: Suryahadi, A. 2013
rumah tidak memenuhi syarat layak huni dan aset terbatas (hanya dan tidak miskin. Menurut salah satu wakil dari masyarakat,
punya kambing dan itu pun jumlahnya sedikit) pun dimasukkan sebenarnya tingkat kehidupan masyarakat di Desa Namo hampir
ke dalam kelompok terbawah ini. Setingkat di atas ini adalah merata kecuali mereka yang berprofesi sebagai pegawai negeri
kelompok “miskin” yaitu mereka yang mempunyai tenaga tapi sipil (PNS). Menurut mereka, PNS sendiri masih tergolong
tidak mau berusaha atau malas, tidak cukup memenuhi kebutuhan miskin tetapi mereka lebih mudah memiliki akses ke bank untuk
hidup sehari-hari untuk satu keluarga, memiliki tanah tapi memenuhi kebutuhan hidupnya dibandingkan petani. Hutan Desa
terbatas luasnya (kurang dari 300 m2) dan mendapatkannya dari sebenarnya diharapkan oleh masyarakat Desa Namo dijadikan
warisan serta tidak bisa diolah, tidak punya ternak dan pemasukan alternatif untuk mata pencaharian di luar lahan milik namun
dana bersifat musiman. Kelas ketiga yang dikatakan “tidak pada kenyataannya Hutan Desa sendiri masih memiliki persoalan
miskin” adalah mereka yang pendapatannya lebih besar dari terutama dari segi pembagian akses dan rendahnya keterampilan
pengeluaran sehingga masih ada sisa untuk ditabung. Setingkat masyarakat dalam mengolah. Ini yang menyebabkan pendapatan
di atas kelompok ini adalah yang dikatakan sebagai kelompok dari Hutan Desa belum merata dan masih rendah. Oleh karenanya
“cukup” yang berarti selain pendapatan lebih dari pengeluaran, perlu ada fasilitasi dari pihak luar Desa Namo untuk membuat
secara rohani mereka pun mereka memiliki tingkat keimanan yang kesepakatan siapa yang berhak masuk ke Hutan Desa, apa
tinggi, mampu menerima apa adanya dan bersyukur. Kelompok saja yang dapat diambil dan diolah serta bagaimana cara
terakhir yaitu “kaya” walaupun memiliki pendapatan yang besar pengolahannya.
tapi masih sering merasa kurang dan khawatir akan berbagai hal.
Hasil diskusi kelompok terfokus dari kedua dusun ini Tabel Kriteria miskin menurut masyarakat
menggambarkan bahwa kemiskinan di mata masyarakat masih
merupakan masalah yang besar walaupun program HKm sudah Lokasi Apakah miskin itu?
berjalan. Dampak dari program HKm belum terasa nyata di Desa Namo Tidak punya ternak
Kalibiru maupun Selo Timur walaupun sudah ada indikasi positif Tidak punya pekerjaan tetap
peningkatan kesejahteraan. Selain itu, kemiskinan menurut Tidak memiliki akses ke Hutan Desa
masyarakat Dusun Kalibiru dan Selo Timur tidak terbatas pada
materi atau pemenuhan kebutuhan dasar tapi juga pada aspek Tidak memiliki rumah sendiri
rohani yaitu tingkat keimanan. Tidak memiliki alat elektronik
Tidak mampu menyekolahkan anak
Pola makan tidak teratur
Kriteria kemiskinan menurut penduduk Tidak punya perhiasan
sekitar HD Namo Pendapatan di bawah Rp 1 juta/bulan
Lahan garap kurang dari 1 hektar
Masyarakat Namo membentuk kelas masyarakat berdasarkan
kemiskinan sebanyak tiga kelas saja, paling miskin, miskin
2. Rentan miskin jika nilai pendapatan subjektif lebih pendapatan objektif telah lebih besar sama dengan
besar sama dengan (≥) dari Garis Kemiskinan (≥) dari Garis Kemiskinan Objektif,
Subjektif namun pendapatan objektif masih lebih 4. Tidak miskin jika nilai pendapatan subjektif lebih
kecil (<) dari Garis Kemiskinan Objektif, besar sama dengan (≥) dari Garis Kemiskinan
3. Rising atau meningkat dari kondisi rentan miskin Subjektif dan pendapatan objektif juga lebih besar
bila nilai pendapatan subjektif masih lebih sama dengan (≥) dari Garis Kemiskinan Objektif.
kecil (<) dari Garis Kemiskinan Subjektif tetapi
tidak miskin padahal program HK ini diperuntukan rumah tangga miskin dan rentan miskin yang bukan
bagi rumah tangga miskin. Dengan kondisi tersebut peserta HKm. Adanya gap penghasilan yang besar
dapat dikatakan program HKm tidak tepat sasaran. tersebut membuat distribusi pendapatan antar rumah
Rumah tangga tidak miskin tersebut menguasai lahan tangga peserta HKm maupun antara rumah tangga
hutan (HKm) dan juga menguasai luas non hutan peserta HKm dengan bukan peserta HKm di Kalibiru
seperti sawah, ladang dan kebun. Di sisi lain masih memiliki ketimpangan yang sedang (0,55).
ada rumah tangga miskin dan rentan miskin yang Selanjutnya, seperti halnya dengan Kalibiru, ternyata
tidak memperoleh akses untuk menjadi peserta HKm ada juga rumah tangga tidak miskin yang menjadi
(tidak menguasai lahan HKm) dan bahkan mereka ada peserta HKm (26,7%) dan menguasai lahan hutan
yang tidak menguasai lahan sawah/ladang/kebun. yang cukup luas yaitu rata-rata 1.637,5 m2 per rumah
Di Dusun Kalibiru, penguasaan lahan hutan oleh tangga dengan sebagian besar penguasaan di atas
rumah tangga peserta HKm yang tidak miskin cukup 2.000 m2. Meskipun demikian, penguasaan tersebut
besar yakni rata-rata 1.983,33 m2 dan sebagian tak sebesar penguasaan rumah tangga peserta HKm
besar mereka menguasai di atas 2.000 m2. Luas yang miskin dan rentan miskin, yang menguasai
penguasaan lahan tersebut lebih besar dari penguasaan rata-rata 1.745,83 m2 dengan penguasaan banyak di
rumah tangga peserta HKm yang miskin dan rentan bawah 2.000 m2. Ditambah lagi rumah tangga tidak
miskin, yaitu hanya 1.400 m2 dengan sebagian besar miskin tersebut juga menguasai lahan sawah, ladang,
penguasaan di bawah 1.000 m2. Keadaan ini sangat dan kebun rata-rata seluas 581,25 m2, meskipun
bertolak belakang dengan tujuan program HKm tak sebanyak di Kalibiru. Padahal masih ada rumah
yang seharusnya rumah tangga miskin memperoleh tangga miskin dan rentan miskin di Selo Timur yang
hak penguasaan lahan HKm yang besar namun pada tidak menjadi peserta HKm serta tidak memiliki
kenyataannya tidak begitu. Tak sepantasnya rumah ataupun menguasai lahan sawah/ladang/kebun.
tangga tidak miskin juga menguasainya karena mereka Selain besarnya penguasaan lahan hutan dan non
telah memiliki aset yang cukup seperti menguasai hutan, rumah tangga tidak miskin juga mempunyai
lahan ladang maupun kebun yang tidak sedikit yaitu rata-rata penghasilan yang cukup besar, yakni
rata-rata seluas 3.116,67 m2. Padahal di sisi lain masih Rp1.026.312,1 per bulan per kapita. Ini dua kali lipat
ada rumah tangga di Dusun Kalibiru yang tergolong dari rataan pendapatan seluruh rumah tangga peserta
miskin dan rentan miskin serta tidak menguasai lahan HKm yang disurvei, dan tiga kali lipat pendapatan
ladang/kebun tapi mereka bukan peserta HKm. rumah tangga bukan peserta HKm yang miskin
Dilihat dari segi pendapatan, rumah tangga peserta dan rentan miskin. Perbedaan nilai penghasilan ini
HKm yang tidak miskin rata-rata berpenghasilan menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan
cukup besar yaitu Rp2.413.022,84 per bulan per yang sedang (0,45), baik antar rumah tangga peserta
kapita. Nilai ini dua kali lipat dari rataan penghasilan HKm maupun antara rumah tangga peserta HKm
seluruh rumah tangga peserta HKm di Kalibiru yang dengan bukan peserta HKm di Selo Timur.
disurvei dan lima kali lipat dari rata-rata pendapatan
untuk mengetahui pengaruh program HKm terhadap Tabel 16. Rataan Luas Lahan Bukan HKm dan
pengurangan tingkat kemiskinan rumah tangga peserta Hasil Maksimalnya di Kalibiru dan Selo Timur
HKm sampel di daerah penelitian.
rataan luas hasil maksimal dari luas lahan
Ada tiga cara simulasi pengukuran tingkat kemiskinan bukan HKm yang dikuasai RT
lahan bukan
dalam penelitian ini dengan memakai tiga variabel Desa HKm yang (X)
yang berbeda pula dalam perhitungannya. Berikut dikuasai RT per bulan* per tahun**
ketiga cara simulasi dan variabel yang digunakan pada (m2) (rupiah) (rupiah)
metode kombinasi subjektif dan objektif serta metode Kalibiru 3.211,71 263.333,33 3.159.999,99
unit konsumen standar. Selo Timur 1.562,12 158.333,33 1.899.999,99
a. Simulasi 1 mengukur tingkat kemiskinan Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
rumah tangga yang menjadi anggota HKm
Keterangan: *untuk metode kombinasi subjektif dan objektif, **untuk
dan memperoleh pendapatan dari lahan HKm.
metode unit konsumen standar
Variabel yang dipakai pada simulasi 1 adalah
total pendapatan rumah tangga peserta HKm baik Berikut adalah uraian hasil simulasi perhitungan
pendapatan dari hasil lahan HKm maupun bukan tingkat kemiskinan dengan metode kombinasi
dari hasil lahan HKm. subjektif dan objektif, sedangkan hasil dengan metode
unit konsumen standar tercantum pada lampiran.
b. Simulasi 2 menentukan tingkat kemiskinan rumah
tangga yang diasumsikan tidak lagi sebagai peserta Metode pertama yang digunakan dalam simulasi
HKm dan tidak mempunyai lagi pendapatan dari perhitungan kemiskinan ialah metode kombinasi
hasil lahan HKm. Dengan begitu simulasi 2 ini subjektif dan objektif. Tahapan dan kriteria yang
menggunakan variabel Y2 yakni pendapatan rumah dipakai dalam metode ini sama dengan metode
tangga peserta HKm yang hanya berasal dari luar kombinasi subjektif dan objektif pada subbab
hasil lahan HKm atau total pendapatan rumah pengukuran tingkat kemiskinan, hanya saja ada tiga
tangga dikurangi dengan pendapatan dari hasil cara simulasi dengan tiga variabel yang berbeda dalam
lahan HKm. perhitungannya. Tingkat kemiskinan yang dihitung
dengan tiga cara simulasi pada metode ini tercantum
c. Simulasi 3 menghitung tingkat kemiskinan rumah
pada tabel berikut.
tangga dengan asumsi rumah tangga peserta HKm
tidak lagi mengikuti program HKm tetapi rumah Berdasarkan tabel tersebut, simulasi 1 menghasilkan
tangga tersebut diasumsikan memperoleh sumber tingkat kemiskinan di Selo Timur lebih tinggi dari
pendapatan tambahan dari hasil memaksimalkan pada Kalibiru. Ini tercermin dengan persentase rumah
pengelolaan penguasaan atau produksi lahan bukan tangga peserta HKm yang tergolong miskin di Selo
HKm (sawah, ladang dan kebun). Variabel pada Timur (53,3%) lebih besar dibandingkan di Kalibiru
simulasi 3 ini adalah Y2 + X, di mana X adalah (31,7%). Akan tetapi, bila dilihat dari persentase
pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari hasil rumah tangga miskin dan rentan miskin, besarnya
memaksimalkan pengelolaan penguasaan atau persentase kedua kelompok rumah tangga ini (miskin
produksi lahan bukan HKm (sawah, ladang dan dan rentan miskin) untuk Kalibiru dan Selo Timur
kebun). Besarnya rataan luas lahan bukan HKm hampir sama nilai persentasenya yaitu 61% untuk
yang dapat dimaksimalkan hasilnya dan nilai X Kalibiru dan 60% untuk Selo Timur. Hal ini terjadi
tertera pada tabel berikut. karena rumah tangga yang rentan miskin di Kalibiru
jauh lebih banyak (mencapai 29,3%) dibandingkan di
Selo Timur (hanya 6,7%).
67
Tabel 17. Persentase Rumah Tangga Peserta HKm kedua dusun tersebut secara signifikan. Akan tetapi
yang Tergolong Miskin dengan Metode Kombinasi pendapatan dari lahan HKm dapat merubah kondisi
rumah tangga dari rentan miskin menjadi rising atau
Subjektif dan Objektif untuk Tiga Cara Simulasi tidak miskin.
Selo Simulasi berikutnya adalah simulasi 3 dengan hasil
Cara Kelompok Rumah Tangga Kalibiru
Timur
perhitungan persentase rumah tangga miskin dan
Miskin 31,7 53,3 rentan miskin di Kalibiru dan Selo Timur menurun
Rentan miskin 29,3 6,7 jika dibandingkan dengan perhitungan simulasi 2,
Simulasi 1 Rising (meningkat dari kondisi yaitu menjadi 70,7% untuk Kalibiru (menurun 4,9%)
17,0 13,3
rentan miskin) dan 56,7% untuk Selo Timur (menurun 10%). Bila
Tidak miskin 22,0 26,7 dirincin tiap kelompok, persentase rumah tangga
Miskin 36,6 53,4 miskin di Kalibiru pada simulasi 3 ini tidak berubah
Rentan miskin 39,0 13,3 atau masih sama dengan hasil simulasi 2 yaitu 36,6%.
Simulasi 2 Rising (meningkat dari kondisi Sementara itu, untuk Selo Timur, persentase rumah
12,2
rentan miskin) 13,3 tangga miskin hasil simulasi 3 menurun 3,4% menjadi
Tidak miskin 12,2 20,0 50% dibandingkan hasil simulasi 2. Hasil perhitungan
Miskin 36,6 50,0 ini menunjukan bahwa penurunan yang signifikan
Rentan miskin 34,1 6,7 terjadi pada kelompok rentan miskin bukan pada
Simulasi 3 Rising (meningkat dari kondisi 12,2 16,7 kelompok miskin. Selanjutnya jika dibandingkan
rentan miskin) dengan simulasi 1, hasil simulasi 3 di Selo Timur telah
Tidak miskin 17,1 26,7 mampu menurunkan persentase rumah tangga miskin
n 41 30 meskipun hanya sedikit, 3,3%. Sedangkan di Kalibiru
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
persentase yang miskin malah meningkat 4,9% dan
yang rentan miskin juga bertambah sebanyak 5,2%.
Hasil simulasi 2 menunjukan kenaikan tingkat Hal ini mencerminkan adanya tambahan pendapatan
kemiskinan rumah tangga baik di Dusun Kalibiru hasil memaksimalkan pengelolaan penguasaan atau
maupun di Selo Timur. Peningkatan ini terjadi dengan produksi lahan bukan HKm (sawah, ladang dan
adanya pertambahan persentase rumah tangga miskin kebun) belum mampu mengurangi tingkat kemiskinan
dan rentan miskin di dua dusun tersebut. Dimana rumah tangga di Kalibiru dan Selo Timur apabila
pertambahan persentase di Kalibiru lebih besar rumah tangga tersebut tidak memperoleh pendapatan
dari pada di Selo Timur, yakni meningkat 14,6% dari hasil HKm.
menjadi 75,6% sedangkan di Selo Timur hanya
Selanjutnya, untuk posisi status kemiskinan rumah
bertambah 6,7% menjadi 66,7%. Namun demikian,
tangga terhadap garis kemiskinan metode kombinasi
jika hanya dilihat untuk kelompok miskin saja, pada
subjektif dan objektif dari tiga simulasi yang
simulasi 2 ini tidak terjadi peningkatan yang besar
dilakukan di Kalibiru terdapat pada gambar berikut.
untuk dua dusun. Yakni persentase rumah tangga
Gambar ini menunjukkan keberadaan tiap rumah
miskin di Kalibiru hanya meningkat 4,9% dan 0,1%
tangga di kelompoknya masing-masing (miskin
untuk Selo Timur. Hal ini mencerminkan dengan
atau rentan miskin atau rising atau tidak miskin)
tidak mempunyai pendapatan dari lahan HKm,
dan seberapa besar jarak rumah tangga dari garis
hanya sebagian kecil rumah tangga sampel di kedua
kemiskinan subjektif dan objektif.
dusun tersebut yang akan jatuh miskin. Atau dapat
disimpulkan bahwa hasil dari lahan HKm belum
mampu mengurangi tingkat kemiskinan rumah tangga
Gambar 13. Posisi Peserta HKm di Kalibiru Gambar 16. Posisi Peserta HKm di Selo Timur
terhadap Garis Kemiskinan (GK) Subjektif dan terhadap Garis Kemiskinan (GK) Subjektif dan
Objektif dengan Simulasi 1 Objektif dengan Simulasi 1
income subjektif (ribuan)
1500
GK objektif
GK objektif
2000
1000
rentan tidak miskin
1500
miskin
rentan
miskin tidak miskin GK subjektif
1000
500
GK subjektif miskin rising (meningkat dari kondisi rentan miskin)
0
0 2000 4000 6000 0 500 1000 1500 2000
Gambar 14. Posisi Peserta HKm di Kalibiru Gambar 17. Posisi Peserta HKm di Selo Timur
terhadap Garis Kemiskinan (GK) Subjektif dan terhadap Garis Kemiskinan (GK) Subjektif dan
Objektif dengan Simulasi 2 Objektif dengan Simulasi 2
income subjektif (ribuan)
1500
GK objektif
GK objektif
2000
1000
miskin
rentan
miskin tidak miskin
1000
GK subjektif
500
GK subjektif
miskin rising (meningkat dari kondisi rentan miskin)
miskin rising (meningkat dari kondisi rentan miskin)
500
Gambar 15. Posisi Peserta HKm di Kalibiru Gambar 18. Posisi Peserta HKm di Selo Timur
terhadap Garis Kemiskinan (GK) Subjektif dan terhadap Garis Kemiskinan (GK) Subjektif dan
Objektif dengan Simulasi 3 Objektif dengan Simulasi 3
income subjektif (ribuan)
1500
GK objektif
GK objektif
2000
1000
miskin
rentan
miskin tidak miskin GK subjektif
1000
500
Rentan miskin 11,7 mengambil manfaat dari lahan HD Namo dan juga
Rising (meningkat dari kondisi rentan miskin) 26,6 menguasai luas non hutan seperti sawah, ladang dan
Tidak miskin 11,7 kebun. Di sisi lain masih ada rumah tangga miskin
Total % 100,0
dan rentan miskin yang tidak memperoleh akses untuk
n 60
memanfaatkan lahan HD Namo dan bahkan mereka
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
ada yang tidak menguasai lahan sawah/ladang/kebun.
Dengan informasi tabel di atas, tingkat kemiskinan Dilihat dari segi pendapatan, rumah tangga peserta
rumah tangga peserta HD di Namo lebih rendah HD yang tidak miskin rata-rata berpenghasilan cukup
dibandingkan bukan peserta HD. Ini terbukti dengan
besar yaitu Rp1.416.012,5 per bulan per kapita. Nilai Selain memiliki penghasilan yang tinggi, rumah
ini lima kali lipat dari rataan penghasilan rumah tangga peserta HD yang tidak miskin tersebut
tangga peserta HD yang miskin dan rentan, serta juga menguasai lahan sawah/ladang/kebun yang
hampir enam kali lipat dari rata-rata pendapatan cukup besar yakni rata-rata seluas 18.500 m2. Luas
rumah tangga miskin dan rentan miskin yang bukan penguasahan lahan tersebut lebih besar dari pada
peserta HD. Adanya gap penghasilan yang besar penguasaan rumah tangga peserta HD yang miskin
tersebut membuat distribusi pendapatan antar rumah dan rentan miskin, yaitu hanya 15.555,56 m2. Padahal
tangga peserta HD maupun antara rumah tangga di sisi lain masih ada rumah tangga di Desa Namo
peserta HD dengan bukan peserta HD di Namo yang tergolong miskin dan rentan miskin serta tidak
memiliki ketimpangan yang sedang (0,45). menguasai lahan ladang/kebun tapi mereka bukan
peserta HD atau tidak memanfaatkan lahan HD.
Berikut adalah uraian hasil simulasi perhitungan sebesar 30%, meningkat menjadi 40% pada simulasi
tingkat kemiskinan dengan metode kombinasi 2, dan menurun menjadi 25% pada simulasi 3. Untuk
subjektif dan objektif. Hasil simulasi dengan metode rumah tangga rentan miskin, persentasenya tetap
unit konsumen standar tercantum di lampiran. pada simulasi 1 dan 2 tapi menurun menjadi 10%
Metode pertama yang dipakai dalam simulasi pada simulasi 3. Sementara itu terjadi perubahan
perhitungan kemiskinan ialah metode kombinasi yang berlawanan pada rumah tangga rising dan tidak
subjektif dan objektif. Tahapan dan kriteria yang miskin dibandingkan dengan rumah tangga miskin.
digunakan dalam metode ini sama seperti metode Dimana persentase rumah tangga rising menurun pada
kombinasi subjektif dan objektif pada subbab simulasi 2, dan meningkat pada simulasi 3. Sedangkan
pengukuran tingkat kemiskinan, hanya saja ada tiga untuk rumah tangga tidak miskin, persentasenya tetap
cara simulasi dengan tiga variabel yang berbeda dalam pada simulasi 2 dan meningkat pada simulasi 3.
perhitungannya. Hasil perhitungan tingkat kemiskinan Hasil simulasi 2 menunjukan kenaikan tingkat
yang dihitung dengan tiga cara simulasi pada metode kemiskinan rumah tangga peserta HD di Namo.
ini tertera pada tabel berikut. Peningkatan ini terjadi dengan adanya pertambahan
persentase rumah tangga miskin sebanyak 10%
Tabel 20. Persentase Rumah Tangga Peserta HD sehingga menjadi 40%. Pertambahan persentase ini
dikarenakan persentase rumah tangga rising berkurang
yang Tergolong Miskin dengan Metode Kombinasi 10%. Jadi, dengan adanya pengurangan pendapatan
Subjektif dan Objektif untuk Tiga Cara Simulasi rumah tangga dari lahan HD berdampak ada sebanyak
Miskin 30,0 10% rumah tangga berstatus rising yang jatuh menjadi
Rentan miskin 15,0 miskin. Walaupun demikian, persentase rumah tangga
Simulasi 1
Rising (meningkat dari kondisi rentan miskin) 30,0 yang rentan miskin tidak berubah pada simulasi 2.
Tidak miskin 25,0
Dari hasil peningkatan kemiskinan pada simulasi 2
mencerminkan pendapatan dari lahan HD mempunyai
Total % 100,0
pengaruh positif dalam perekonomian rumah tangga
Miskin 40,0
peserta HD di Namo.
Rentan miskin 15,0
Simulasi 2
Rising (meningkat dari kondisi rentan miskin) 20,0 Selanjutnya, pada simulasi 3 terjadi penurunan
Tidak miskin 25,0 tingkat kemiskinan rumah tangga peserta HD di
Total % 100,0 Namo. Ini ditunjukan dengan menurunnya persentase
Miskin 25,0 rumah tangga miskin sebanyak 5% dibandingkan
Rentan miskin 10,0
simulasi 1 dan 15% dari simulasi 2. Penurunan ini
Simulasi 3
adanya tambahan pendapatan hasil memaksimalkan Gambar 21. Posisi Peserta HD di Namo terhadap
pengelolaan penguasaan atau produksi lahan bukan Garis Kemiskinan (GK) Subjektif dan Objektif
HD (sawah, ladang dan kebun) dapat mengurangi
tingkat kemiskinan rumah tangga peserta HD di Namo
dengan Simulasi 3
5000
pendapatan dari lahan HD. GK objektif
4000
Posisi status kemiskinan rumah tangga terhadap garis
3000
kemiskinan metode kombinasi subjektif dan objektif
2000
rentan
1000
GK subjektif
pada gambar di bawah. Gambar ini menunjukkan miskin rising (meningkat dari kondisi rentan miskin)
0
keberadaan tiap rumah tangga di kelompoknya 500 1000 1500 2000 2500 3000
masing-masing (miskin atau rentan miskin atau rising income objektif simulasi 3 (ribuan)
5000
GK objektif
4000
3000
2000
rentan
miskin
tidak miskin
1000
GK subjektif
miskin rising (meningkat dari kondisi rentan miskin)
0
5000
GK objektif
4000
3000
2000
rentan
miskin
tidak miskin
1000
GK subjektif
miskin rising (meningkat dari kondisi rentan miskin)
0
Bab 5
persawahan, perkebunan namun juga kegiatan pemahaman pentingnya kegiatan pertanian bagi
pertanian dalam kawasan hutan dibawah tegakan masyarakat, maka kegiatan pertanian masyarakat
kayu. Potensi dari sektor pertanian yang berasal dari sekitar kawasan hutan juga akan berpengaruh bagi
persawahan, perkebunan sejauh ini telah terdata oleh perekonomian rumah tangga. Dengan demikian
Badan Pusat Statistik, namun hasil yang diperoleh dari program HKm maupun HD, diharapkan akan
dalam kawasan hutan atas pemanfatan lahan di bawah memberikan manfaat langsung bagi masyarakat atas
tegakkan kayu kiranya masih belum terdata dengan keberadaan hutan dalam menunjang keberlangsungan
baik. Dengan mengacu pada definisi tentang lingkup ekonomi sehingga pada akhirnya akan meningkatkan
kegiatan pertanian yang dihitung secara statistik, kesejahteraan masyarakat.
berbagai hasil atas kegiatan yang menyangkut Dalam memanfaatkan hasil hutan masyarakat
pertanian di kawasan hutan seharusnya dapat sekitar kawasan hutan tidak semata-mata digunakan
dimasukkan juga dalam perhitungan. Perhitungan untuk keperluan hidup sehari-hari, namun ada
statistik terkait kegiatan pertanian dalam kawasan beberapa jenis komoditas hasil hutan non kayu yang
hutan sejauh ini hanya memasukkan perhitungan atas memiliki nilai pasar. Nilai pasar atas komoditas hasil
potensi hasil kayu, sedangkan hasil non kayu masih hutan non kayu dapat menjadi pendapatan masyarakat,
belum terdata secara tepat dan optimal. Padahal, bila sehingga dalam memanfaatkan hasil hutan non
dilihat secara riil potensi non kayu yang dimanfaatkan kayu tersebut dapat dikatakan telah menjadi sebuah
oleh masyarakat yang tinggal disekitar wilayah kegiatan ekonomi yang beberapa diantaranya bersifat
hutan sangatlah besar. Berbagai aktivitas masyarakat komersial. Komersialitas potensi sumber daya hutan
sekitar kawasan hutan atas sumber daya hutan yang berupa hasil hutan non kayu (buah, umbi, “empon-
ada dalam kawasan hutan menjadikannya sebagai empon” atau bahan baku jamu), rumput, getah damar,
jaminan bagi ekonomi rumah tangga. Keterkaitan kuat madu, bahkan rotan serta beberapa jens lainya) telah
antara ekonomi rumah tangga dengan kawasan hutan menjadi komoditas dengan nilai ekonomi cukup
menjadi salah satu alasan diberikannya akses melalui tinggi bagi masyarakat perdesaan. Komoditas hasil
program HKm dan HD. hutan non kayu bagi sebagian besar masyarakat
Pembangunan ekonomi yang dijalankan hingga perkotaan saat ini diminati (antara lain umbi-umbian
saat ini masih menitikberatkan pada sektor maupun empon-empon) karena di anggap sebagai
pertanian, di mana di dalam statistik perekonomian komoditas ‘organik’ sehingga nilai ekonomi lebih
daerah, hasil hutan menjadi salah satu bagian dari tinggi ketimbang komoditas yang sama yang berasal
sektor pertanian serta memiliki peran penting dari lahan pertanian umum. Berbagai jenis hasil
dalam perekonomian masyarakat perdesaan. Patut komoditas non-kayu yang berasal dari dalam kawasan
dipahami bahwa pembangunan berbasis pertanian hutan secara kuantitas tidak besar seperti hasil dari
merupakan sebuah proses sosial. Dimana, dalam areal pertanian umum, namun beberapa komoditas
realitasnya upaya pembangunan pertanian yang buah-buahan, umbi-umbian, “empon-empon”, rumput
ditujukan pada masyarakat diharapkan tidak hanya (sebagai pakan ternak), getah damar dan rotan serta
dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga beberapa jenis lainnya memiliki manfaat ekonomi
petani, namun juga dapat mendorong masyarakat bagi rumah tangga masyarakat perdesaan. Lebih jauh
mendapatkan nilai tambah lebih atas kegiatan bila dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan
pertanian yang dijalankannya. Proses input, produksi maka berbagai potensi non kayu dari kawasan hutan
hingga output pada kegiatan pertanian secara umum dapat dijadikan dasar untuk mendorong industri
dan khususnya pada tingkat masyarakat perdesaan kecil rumah tangga. Bila industri kecil rumah
pada akhirnya diharapkan akan mendorong perubahan tangga berbasis potensi non kayu tersebut dapat
perekonomian secara menyeluruh. Berdasarkan berkembang maka dapat dipastikan akan memberikan
kontribusi dalam mengurangi angka pengangguran produktivitasnya rendah, 2) Produk pertanian telah
di perdesaan. Selain itu terdapat potensi yang lain mengalami pergeseran, ada yang ditujukan untuk
berupa pemanfatan kawasan hutan lindung berupa jasa pasar (komersial) namun pengolahan produk masih
lingkungan (ekowisata) terbuka lebar sejauh wilayah menggunakan teknologi sederhana dan modal
kawasan hutan lindung memiliki keunikan dan terbatas, dan 3) Pertanian modern, di mana diproduksi
kekhasan tertentu. secara intensif karena menggunakan teknologi
Kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan atas tinggi (padat modal). Dalam pertanian modern,
pemanfatan potensi sumber daya hutan (khusus hasil seluruh hasil produksi ditujukan pada kebutuhan
hutan non kayu) tidak dapat dilihat sebagai sebuah pasar. Melalui penjelasan evolusi produksi pertanian
kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari tersebut maka dengan mudah dapat dipahami bahwa
semata. Perkembangan wilayah, arus informasi masyarakat perdesaan yang tinggal di sekitar hutan
dan makin baiknya daya dukung infrasruktur telah pada hakekatnya dapat mengalami hal serupa sesuai
mendorong potensi hasil hutan non kayu menjadi penjelasan Todaro tentang evolusi produksi pertanian.
komoditas yang memiliki nilai ekonomi komersial Dalam memahami evolusi produksi pertanian,
(perdagangan yang berorientasi pasar). Namun dalam kiranya tidak terbatas pada lahan pertanian umum
menjadikan hasil hutan non kayu hingga memiliki saja namun juga dalam kegiatan pertanian masyarakat
nilai ekonomi komersial tidak dapat dilakukan oleh perdesaan di kawasan hutan terjadi hal serupa. Pola
seluruh masyarakat perdesaan, hanya sebagian orang pemanfatan hasil pertanian dari kawasan hutan saat
saja yang mampu menjadikan komoditas komersial. ini memang belum terdata dan terpetakan dengan
Namun demikian, masyarakat perdesaan sekitar tepat, namun bila dilihat dalam lingkup desa yang
kawasan hutan dapat dikatakan telah menjadikan ada di sekitar hutan maka memiliki arti penting bagi
potensi hasil hutan non kayu sebagai sebuah produk rumah tangga. Karasteristik rumah tangga perdesaan
pasar dan nilai ekonomi yang menguntungkan yang ada di sekitar hutan sangat berpengaruh dalam
sehingga akan menjadi alternatif pendapatan rumah mengelola hasil hutan non kayu namun hasilnya relatif
tangga. kecil. Sebagai gambaran kegiatan masyarakat atas
Dalam pemahaman yang lebih luas potensi non pengelolaan gula aren di desa Namo, pemanfaatkan
kayu dari kawasan hutan yang dapat dimasukkan nira menjadi gula aren terbatas untuk lingkungan
dalam kelompok sektor pertanian (sub sektor sekitar wilayah desa, belum menjadi sebuah kegiatan
holtikultura) telah mengalami pergesaran orientasi usaha dengan orientasi pasar ke luar desa. Demikian
dari pemanfaatan secara tradisional menjadi pula yang terjadi di Dusun Kalibiru dan Selo Timur,
komoditas perdagangan dan dimungkinkan akan Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Daerah
menjadi input bagi industri tingkat rumah tangga Istimewa Yogyakarta dalam memanfaatkan ketela
perdesaan. Pergeseran pola pemanfatan atas potensi pohon (singkong) menjadi makanan khas daerah
hasil hutan non kayu yang berasal dari kawasan hutan diolah hanya beberapa rumah tangga dan dijual hanya
lindung secara konseptual juga sejalan dengan teori di sekitar lingkungan mereka.
ekonomi pembangunan, yang menjelaskan bahwa Hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan oleh
sebelum menjadi sebuah negara maju, maka terjadi masyarakat masih beragam jenis dan pemanfatannya,
proses transformasi sektoral dalam pembentukan pemanfatan oleh masyarakat juga bergantung pada
perekonomian (Todaro, 1997). Lebih jauh Todaro, periode musim. Dimana pada saat musim hujan
menjelaskan ada tiga pokok dalam evolusi produksi pemanfatan hasil hutan non kayu akan berbeda
pertanian, yaitu1: 1) Pertanian tradisional yang dengan saat musim kemarau, selain itu karasteristik
wilayah hutan juga berpengaruh. Studi yang dilakukan
1 Michael, P. Todaro, “Economic Development”, terhadap masyarakat desa Namo pada kenyataannya
6th ed, Longman, LTD, England, 1997
77
masih belum banyak menggarap potensi hasil memanfatkan kondisi lingkungan kawasan hutan
hutan non kayu yang ada. Sebaliknya dengan studi menjadi kegiatan jasa lingkungan (eko wisata) dan
terhadap masyarakat dusun Kalibiru dan Selo Timur dusun Selo Timur menggunakan lahan dibawah
pemanfatan hasil hutan non kayu telah dimanfaatkan tegakan dengan menanam tanaman palawija pada
dengan cukup optimal, di mana dusun Kalibiru musim-musim tertentu.
terhadap kawasan hutan dalam data statistik daerah tenaga, karena penduduk tersebut tidak memiliki
menjadi penting karena aktivitas yang terkait keahlian dan modal dalam memanfaatkan hasil hutan
dalam hutan, khususnya hasil hutan non kayu non kayu tersebut. Berdasar gambaran singkat atas
pada kenyataannya memberikan manfaat berupa pemanfatan hasil hutan non kayu oleh masyarakat,
pendapatan bagi rumah tangga perdesaan di sekitar seharusnya telah dipahami oleh apatarur pemerintah
hutan. Pendapatan rumah tangga atas hasil hutan di tingkat daerah sesuai dengan instansi teknis.
non kayu yang diperoleh tidak semata-mata saat ini Pemahaman dan dukungan kebijakan atas pentingnya
bukan hanya dimanfaatkan bagi keperluan sehari- menilai manfaat hasil hutan non kayu bagi masyarakat
hari, namun beberapa rumah tangga perdesaan sekitar perdesaan yang tinggal di sekitar hutan pada akhirnya
hutan telah menjadikan hasil hutan non kayu menjadi akan di data, agar seluruh kondisi dan potensi wilayah
komoditas komersial. Bahkan baberapa komoditas suatu daerah dapat secara riil terpetakan.
berupa madu, buah-buahan, umbi-umbian, hijauan Pemetaan kondisi dan potensi menjadi penting,
makan ternak dan rumput mereka perdagangkan walau utamanya kondisi dan potensi masyarakat perdesaan.
dalam lingkup terbatas. Berbagai potensi hasil hutan Daerah sebagai sebuah kesatuan wilayah terdiri atas
non kayu yang dimanfaatkan masyarakat perdesaan desa-desa, di mana sebagian desa memiliki batas
telah menjamin rumah tangga sebagai pendapatan wilayah langsung dengan kawasan hutan negara.
tambahan bahkan beberapa rumah tangga menjadikan Berdasar data statistik, secara umum digambarkan
pendapatan utama. Bagi rumah tangga yang tidak bahwa daerah, bahkan secara nasional, sektor
memiliki lahan milik pribadi (katagori miskin) maka pertanian memegang peran penting dalam struktur
hasil hutan non kayu menjadi sumber pendapatan perekonomian. Ketergantungan yang tinggi atas
utama dan mereka tidak memiliki alternatif lain selain sektor pertanian mengindikasikan bahwa aktivitas
dari hasil hutan non kayu. masyarakat memiliki kaitan dengan potensi sektor
Pentingnya hasil hutan non kayu yang di dapat pertanian. Bagi masyarakat perdesaan, khususnya
dari dalam kawasan hutan bagi rumah tangga yang berbatasan dengan kawasan hutan lindung
perdesaan, seharusnya menjadi pertimbangan berbagai aktivitas pertanian (pemanfatan hasil hutan
dalam menilai perhitungan statistik dari sektor non kayu) menjadi penting. Masyarakat perdesaan
pertanian, khususnya dalam sub sektor kehutanan. memiliki hak yang sama atas aktivitas pengelolaan
Pentingnya memasukkan hasil hutan non kayu potensi ekonomi daerah, pada akhirnya berbagai
dalam perhitungan statistik karena hasil hutan aktivitas ekonomi tersebut akan berkontribusi
non kayu tersebut tidak/bukan lagi digunakan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah bahkan
untuk keperluan sehari-hari (subsisten) namun nasional. Peran institusi daerah (Dinas Pertanian dan
telah bergeser menjadi komoditas komersial. Kehutanan) untuk memetakan dan menilai peran/
Hasil hutan non kayu yang didapat dari dalam manfaat atas kegiatan pengelolaan hasil hutan non
kawasan saat ini memiliki nilai ekonomi relatif kayu menjadi penting, karena suatu wilayah tidak
tinggi, sehingga rumah tangga akan lebih memilih dapat mengesampingkan peran dari kegiatan yang
menjadikan komoditas perdagangan. Walaupun secara nyata yang memiliki pengaruh terhadap
hasil perdagangan komoditas tersebut pada akhirnya kegiatan rumah tangga masyarakat.
digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari. Pada Beberapa indikasi menunjukkan bahwa hasil
sisi lain rumah tangga yang tergolong miskin yang hutan kayu yang terdata dan dimasukkan dalam
tinggal disekitar kawasan hutan ada yang menjadikan statistik perekonomian daerah tidak diimbangi
diri mereka sebagai pekerja bagi rumah tangga lain dengan pendataan atas hasil hutan non kayu.
untuk mencari hasil hutan non kayu. Artinya mereka Bagi masyarakat perdesaan (khususnya yang
melakukan pekerjaan tersebut dengan mengandalkan berada di sekitar kawasan hutan lindung),
79
efek atas pemanfatan potensi hutan non kayu potensi hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan
memiliki arti penting bagi perekonomian rumah oleh masyarakat perdesaan masih sangat minim
tangga. Kegiatan ekonomi masyarakat desa bila mendapatkan dukungan program dari pemerintah
dikembangkan akan mendatangkan manfaat besar, daerah. Akibatnya kegiatan ekonomi pertanian
salah satunya mengurangi arus urbanisasi. Hal perdesaan atas pemanfatan hasil hutan non kayu
tersebut terjadi bila desa menjadi basis kegiatan (bahkan pertanian perdesaan secara umum) hanya
ekonomi dan didukung oleh infrastruktur serta merupakan kegiatan ekonomi subsisten.
kebijakan pemerintah daerah. Namun berbagai
Luas kawasan hutan lindung Kabupaten Kulonprogo Kalibiru dari HKm sebesar Rp. 571,1 juta. Besarnya
25 persen dari seluruh luas kawasan hutan wilayah pendapatan masyarakat dusun Kalibiru tersebut
tersebut. Keberadaan kawasan hutan lindung bagi berasal dari hasil non kayu sebesar Rp. 526,4 juta
Kabupaten Kulonprogo menjadi penting dilihat dari dan hasil palawija yang relatif kecil hanya sebesar
kondisi geografis wilayah. Kawasan hutan lindung Rp. 8,7 juta. Pendapatan masyarakat dusun Kalibiru
Kabupaten Kulonprogo, selain sebagai wilayah yang bersumber dari hasil non kayu dapat dikatakan
penyangga bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) juga cukup besar dalam satu tahun, hal tersebut disebabkan
dapat menjadi jaminan bagi masyarakat perdesaan karena besarnya pemanfatan rumput dan Hijauan
selain yang utama adalah aspek kelestarian. Dengan Makanan Ternak (HMT). Rata-rata rumah tangga di
demikian dalam melihat hubungan antara kawasan dusun Kalibiru memiliki ternak sapi dua ekor. Setiap
hutan dan masyarakat perlu dilihat sebagai sebuah hari mereka selalu mencari pakan ternak (rumput),
hubungan yang saling terkait. Sehingga diberikannya sehingga bila dikonversikan menjadi pendapatan maka
hak pengelolaan atas kawasan hutan perlu diimbangi rumput dan HMT memberi sumbangan besar dalam
dengan langkah nyata menjaga kelestarian kawasan pendapatan masyarakat. Dengan kondisi geografis
hutan. Pemanfatan kawasan hutan oleh masyarakat yang berbeda maka hasil survey di dusun Selo Timur
yang tinggal di sekitar hutan memberikan jaminan atas menunjukkan bahwa pendapatan yang diterima
beberapa sumber daya hayati yang selama ini selalu masyarakat secara total dalam satu tahun sebesar
mendukung kehidupan rumah tangga. Rp. 31,8 juta (lebih rendah dari pendapatan total
Berdasar data PDRB sumbangan terbesar masyarakat dusun Kalibiru). Dengan kondisi kawasan
perekonomian Kabupaten Kulonprogo berasal hutan yang terdiri atas tegakan jati maka pendapatan
dari sektor pertanian (25,54 persen). Peran seluruh masyarakat dusun Selo Timur yang berasal dari hasil
kegiatan pertanian yang ada di wilayah Kabupaten non kayu sebesar Rp. 4,2 juta dan hasil pendapatan
Kulonprogo sangatlah besar, termasuk sebenarnya dari palawija sebesar Rp. 27,5 juta.
kegiatan pada wilayah kawasan hutan lindung.
Namun pada kenyataannya aktivitas masyarakat atas Tabel 22. Pendapatan Masyarakat dari Kegiatan
kawasan hutan lindung tersebut sejauh ini belum dalam Kawasan HKm (dalam Rp)
tercatat dalam perannya bagi pembentukan sektor
pertanian. Pembentukan sektor pertanian tidak lain Wilayah dan Sumber Pendapatan Pendapatan per
Pendapatan Sampingan per tahun tahun
adalah aktivitas masyarakat yang terkait kegiatan
Kalibiru
pertanian, termasuk kegiatan pertanian yang dilakukan
dalam kawasan hutan lindung melalui pogram HKm. Kayu - -
Pengaruh atas aktivitas pertanian dari kawasan hutan Non Kayu 562.443.000 562.443.000
lindung melalui program HKm, yang paling mudah Palawija 8.722.500 8.722.500
terlihat dari indikasi adanya kaitan antara aktivitas Selo Timur
dalam kawasan hutan dengan pendapatan rumah Kayu - -
tangga. Hasil survey terhadap rumah tangga terpilih Non Kayu 4.225.500 4.225.500
di Dusun Kalibiru dan Selo Timur terkait pendapatan Palawija 27.598.000 27.598.000
menunjukkan nilai yang cukup besar. Total Pendapatan 602.989.000 602.989.000
Berdasarkan hasil survey, manfaat dari hasil hutan Sumber : Hasil pengolahan data survey LIPI, 2014
non kayu dan palawija di dusun Kalibiru dan Selo Berdasar atas hasil survey, untuk melihat kaitan
Timur dalam satu tahun mencapai total sebesar Rp. antara pendapatan penduduk yang bersumber dari
602,9 juta. Bila dirinci berdasarkan aktivitas dari tiap HKm dengan perekonomian Kabupaten Kulonprogo
dusun, total pendapatan per tahun penduduk dusun maka dapat dilakukan simulasi atas pendapatan
81
yang diterima masyarakat atas akses dalam kawasan di Kabupaten Kulonprogo maupun daerah lain.
dibandingkan dengan luas seluruh kawasan hutan Dengan demikian berbagai kegiatan pertanian yang
lindung dan produksi yang telah ditetapkan hak ada dalam lingkup wilayah Kabupaten Kulonprogo
kelola. Luas seluruh kawasan hutan lindung dan hutan merupakan bagian dari seluruh aktivitas pertanian
produksi yang diberikan hak kelola kepada tujuh yang ada, sehingga dalam melihat perannya, aktivitas
KTH seluas 196,8 Ha, sedangkan dua KTH (Mandiri masyarakat dalam kawasan hutan dapat dilakukan
dan Taruna Tani) menguasai 37 persen (72,8 Ha) dari pembandingan dengan seluruh aktivitas ekonomi
total hak kelola. Dengan mengasumsikan seluruh (khususnya pertanian) yang tercermin dalam PDRB
kegiatan di KTH lain relatif sama dengan kegiatan Kabupaten Kulonprogo. Berdasar data statistik
yang dilakukan pada KTH Mandiri dan Taruna Tani (PDRB menurut lapangan usaha tahun 2013 - berdasar
maka diperoleh hasil atas aktivitas pengelolaan hasil harga konstan 2000) sektor pertanian memberikan
hutan pertahun sebesar Rp. 1.638,8 juta per tahun. kontribusi ekonomi sebesar Rp. 526.782 juta. Dengan
Bila diasumsikan seluruh kawasan hutan lindung dan mengasumsikan bahwa kegiatan pertanian masyarakat
hutan produksi (seluas 856,5 Ha) yang ada di wilayah di sekitar hutan juga memiliki peran dalam
Kabupaten Kulonprogo diberikan hak kelola kepada pembentukan PDRB, maka hasil kegiatan melalui
masyarakat maka besar manfaat yang akan diterima program HKm pada seluruh kawasan hutan Kabupaten
masyarakat dapat dipastikan akan memiliki pengaruh Kulonprogo akan memiliki kontribusi sebesar 1,4
terhadap perekonomian daerah. Berdasar asumsi persen dari seluruh aktivitas pertanian di wilayah
tersebut, bila kawasan hutan (lindung dan produksi) Kabupaten Kulonprogo. Berdasarkan data Biro Pusat
di berikan hak kelola kepada masyarakat maka nilai Statistik (BPS) tentang distribusi persentase Produk
manfaat yang diterima masyarakat (berupa pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), Kabupaten
secara total) mencapai sebesar Rp. 7.132,6 juta Kulonprogo tahun 2013, sektor pertanian memiliki
Perhitungan kegiatan ekonomi masyarakat, salah kontribusi sebesar 25,54 persen. Namun besarnya
satunya berupa sektor pertanian secara konsep kontribusi tersebut masih belum memperhatikan
merupakan seluruh kegiatan yang menjadi sumber aktivitas kegiatan pertanian masyarakat yang
penghasilan bahan pokok, sandang, papan dan mampu dilakukan dalam kawasan hutan, bila aktivitas
menjadi lapangan pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat dalam kawasan hutan dimasukkan dalam
penduduk dan memberikan sumbangan terhadap komponen perhitungan sektor pertanian pembentuk
pendapatan daerah. Berdasar atas pemahaman tersebut PDRB diperkirakan perannya akan meningkat menjadi
maka seharusnya kegiatan pemanfaatan lahan hutan 26,94 persen.
melalui program HKm di Kabupaten Kulonprogo juga Besarnya manfaat dan pengaruhnya terhadap
dapat dimasukkan dalam sumbangan terhadap sektor perekonomian daerah atas pengelolaan kawasan
pertanian daerah. Seluruh aktivitas masyarakat atas hutan oleh masyarakat, masih perlu di pahami
aktivitas pertanian dalam skala luas baik yang ada di lebih jauh karena aktivitas dalam kawasan hutan
wilayah kawasan hutan lindung, produksi dan luar sesuai Peraturan Menteri Kehutanan diberikan
kawasan hutan (pertanian umum) merupakan aktivitas dalam jangka waktu 35 tahun dan akan di evaluasi
yang mendukung ekonomi masyarakat perdesaan untuk diperpanjang atau tidak. Berdasarkan aturan
Kegiatan masyarakat di Kalibiru dan Selo Timur merupakan perekonomian daerah. Manfaat yang dirasakan oleh rumah
gambaran pentingnya kegiatan wanatani dalam hutan tangga petani tersebut dapat di agregatkan menjadi sebuah
terhadap perekonomian rumah tangga. Pemanfaatan kawasan aktivitas dalam lapangan usaha pertanian dalam perekonomian
hutan negara melalui “social forestry” dilakukan secara tepat daerah, dengan syarat berbagai hasil usaha pertanian
dan berdasar aturan maka akan memiliki dampak terhadap masyarakat tersebut dimasukkan dalam penilaian hasil ekonomi.
tersebut kegiatan pengelolaan kawasan hutan lindung beberapa tokoh masyarakat, diperkirakan dalam
dan produksi melalui program HKm di wilayah jangka waktu 10 tahun semenjak tahun 2014 (2024)
Kulonprogo maupun wilayah lain, setiap KTH sebagai akan mengalami penurunan hasil hutan non kayu
pengelola kawasan harus menyusun rencana kerja kurang lebih 40 persen. Dengan jangka waktu yang
pengelolaan. Rencana kerja pengelolaan kawasan tercantum dalam rencana kerja hingga 35 tahun, bagi
hutan (lindung dan produksi) melalui program HKm masyarakat pengelola kawasan hutan lindung (KTH
tersebut didasarkan pada Permenhut 37 Tahun 2007, Mandiri) setelah ijin kelola dalam kisaran waktu 20
pasal 25 menyebutkan bahwa pemegang IUPHKm tahun sejak tahun 2014 (2034) dapat mengurangi
berkewajiban menyusun rencana kerja. Rencana kerja manfaat sebesar 80 persen. Kondisi penurunan
yang disusun KTH berjangka waktu selama 35 tahun. manfaat atas diberikannya hak kelola setelah lebih
Dengan mengacu pada rencana kerja masing-masing dari 10 tahun disebabkan karena kawasan hutan
KTH serta melihat kondisi lahan yang dikelola oleh (petak 28 dan 29) tajuk tanaman kayu sudah rapat dan
Kelompok Tani Hutan (KTH) Mandiri, dusun Kalibiru akar-akar tanaman telah saling mengikat. Akibat dari
dan KTH Tani Makmur, dusun Selo Timur memiliki kerapatan tajuk dan ikatan akar tanaman kayu berupa
perbedaan. Kawasan hutan yang dikelola oleh KTH sulitnya tanaman (empon-empon dan umbi-umbian)
Mandiri, dusun Kalibiru merupakan kawasan hutan di bawah tegakan dapat tumbuh dan berkembang.
lindung sedangkan kawasan hutan yang dikelola KTH Artinya dalam rentang waktu 35 tahun dapat
Tani Makmur, dusun Selo Timur merupakan kawasan diperkirakan manfaat atas hasil hutan non kayu yang
hutan produksi. Artinya pola pemanfatan lahan dan di peroleh oleh masyarakat (anggota KTH Mandiri)
hasil akan berbeda, sehingga dalam jangka waktu 35 mengalami penurunan. Hasil dari dalam kawasan
tahun sesuai aturan akan memberikan dampak yang hutan yang dapat diambil oleh anggota KTH Mandiri
berbeda terhadap pendapatan rumah tangga di masing- (masyarakat dusun Kalibiru) setelah tanaman kayu
masing dusun sesuai kondisi kawasan hutan.
Rencana kerja KTH Mandiri yang merupakan Grafik 9. Prediksi Manfaat Masyarakat Dusun
perencanaan pengelolaan kawasan hutan selama 35 Kalibiru dan Selo Timur Selama 35 Tahun
dilakukan pada wilayah hutan lindung. Kawasan Mengelola HKm
hutan yang dikelola oleh KTH Mandiri merupakan
suatu wilayah kawasan hutan dengan tanaman hutan Potensi Hutan
yang beraneka ragam. Kegiatan pemeliharaan dan Wanatani (juta Rp.)
penanaman tanaman kayu telah dilakukan anggota 50 Dusun Kalibiru
KTH Mandiri, termasuk melakukan penanaman 40
tanaman yang dapat menghasilkan (buah-buahan). 30
Namun demikian dengan tingginya ketergantungan 20 Dusun Selo Timur
masyarakat terhadap hasil hutan non kayu, dihadapkan 10
pada kondisi dalam 10 tahun kedepan mengalami Jangka Izin 0 5 10 15 20 25 30 35
kesulitan memperoleh hasil hutan non kayu dari Kelola HKm
dalam kawasan. Bahkan dari hasil wawancara dengan (tahun)
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
Jaminan atas akses kawasan telah diberikan, namun dengan desa. Komoditas tanaman menjadi tidak ekonomis, karena pada
system pengelolaan kawasan yang diberikan selama 35 jangka waktu diatas 10 tahun akan mengalami menurunan
tahun berdasar aturan yang telah ditetapkan, di duga akan secara kuantitas maupun kualitas.
mengakibatkan penurunan manfaat yang dirasakan masyarakat
83
dalam hutan rapat hanyalah HMT untuk pakan ternak atau tidak dapat di kelola sama sekali. Akibatnya,
dan relatif terbatas. dipastikan bagi masyarakat KTH Tani Makmur,
Berbeda halnya dengan kondisi yang hadapi oleh dusun Selo Timur akan mengalami penurunan hasil
KTH Tani Makmur, di mana tanaman hutan yang ada lebih cepat dibanding wilayah lain (kawasan hutan
di lahan kelola berupa tanaman Jati. Tanaman Jati lindung). Penurunan hasil tersebut disebabkan karena
yang ada di lahan kelola KTH Tani Makmur rata-rata tanaman jati telah berdiameter besar, sehingga akan
telah berusia diatas delapan tahun bahkan ada yang mempersulit kegiatan pertanian diantara tegakan.
telah lebih dari 10 tahun. Artinya tanaman non kayu Kondisi lahan di lahan kelola KTH Tani Makmur
(palawija, empon-empon dan umbi-umbian) yang dalam jangka panjang tidak mampu mendukung
ada di bawah tegakan jati akan sulit berkembang aktivitas pertanian wanatani yang pada akhirnya akan
optimal. Hasil palawija yang merupakan salah satu memengaruhi pendapatan masyarakat. Manfaat yang
tanaman yang di tanam pada sela-sela tanaman jati diterima masyarakat atas pengelolaan kawasan hutan
pada saat musim penghujan pun dengan rentang lindung dan produksi dapat digambarkan dalam grafik
waktu diatas 15-20 tahun akan sulit berkembang berikut.
Jasa lingkungan, khususnya kegiatan wisata di Kalibiru diperhatikan dengan cermat, karena aktivitas suatu kegiatan
merupakan sebuah terobosan penting dan pada tataran praksis secara kasat mata ada dan terjadi peningkatan, akan tetapi
telah memberikan efek pengganda bagi berkembangnya dalam konteks manfaat bagi penerima hal kelola serta
kegiatan ekonomi yang terkait wisata. Kriteria manfaat perlu pemerintah daerah perlu disikapi dengan bijak.
dan fasilitas pendukung telah menyerap tenaga kerja Rp.12.000; II sebesar Rp. 15.000; III sebesar Rp.
yang berasal dari lingkungan dusun sebanyak kurang- 17.500; IV sebesar Rp. 20.000) yang akan dibayarkan
lebih 50 orang. Dimana, sebagian besar tenaga kerja berdasar atas jam kehadiran dari masing-masing orang
yang terlibat kegiatan wisata tersebut merupakan yang terlibat.
pemuda desa yang selama ini merantau namun dengan Berdasarkan data dan informasi pengelola kegiatan
adanya wisata alam yang berlokasi di dalam kawasan wisata alam Kalibiru pendapatan bersih tersebut akan
hutan di mana mereka tinggal, memilih untuk tetap dibagi kepada KTH Mandiri sebesar 7 persen (untuk
tinggal di dusun dan terlibat penuh dalam pengelolaan keperluan kelompok HKm), Dana cadangan sebesar
kegiatan wisata alam. Sedangkan dampaknya bagi 3 persen (keperluan HKm terkait kehutanan) dan Kas
perekonomian daerah belum signifikan karena Koperasi sebesar 90 persen (modal kegiatan koperasi
kegiatan wisata alam Kalibiru dilihat dari jumlah ‘simpan pinjam”). Pembagian atas hasil kegiatan
pengunjung masih relatif kecil (rata-rata perhari wisata alam Kalibiru tersebut oleh pihak pemerintah
berjumlah 104 pengunjung). Walaupun demikian nilai daerah saat ini memang belum ditarik retribusi daerah,
uang yang terakumulasi dari kegiatan wisata cukup sehingga perannya tidak dapat diukur dari kontribusi
besar, sebagai contoh pada bulan Juni tahun 2014 nilai nilai ekonomi. Namun dengan adanya kegiatan wisata
uang atas pendapatan tiket dan penyewaan sarana alam Kalibiru telah secara nyata mendorong kegiatan
prasarana mencapai Rp. 11,2 juta dan pengeluaran ekonomi masyarakat perdesaan, dimungkinkan adanya
terkait operasionalisasi kegiatan mencapai Rp. 5,9 kegiatan tersebut dapat menumbuhkan kegiatan
juta sehingga pendapatan bersih atas kegiatan wisata lain terkait kunjungan ke wisata alam Kalibiru
sebesar Rp. 5,3 juta. Operasionalisasi kegiatan wisata (misal industri rumah tangga pembuat kerajinan
alam Kalibiru melibatkan tenaga kerja sebanyak 20 untuk souvenir). Untuk menumbuhkan kegiatan lain
orang selebihnya merupakan tenaga kerja yang tidak sebagai efek dari adanya wisata alam Kalibiru masih
terlibat langsung (tidak diberi upah oleh Koperasi). diperlukan peran para pihak agar potensi masyarakat
Sistem pengupahan/gaji terhadap 20 orang yang lingkup Kabupaten Kulonprogo (khususnya dusun
terlibat langsung dalam kegiatan wisata Kalibiru Kalibiru) dapat terealisasikan.
didasarkan pada penjenjangan/golongan (I sebesar
tidak diperbolehkan sama sekali melakukan aktivitas penduduk dan letak desa Namo yang berbatasan
di zona lindung tersebut, merupakan daerah yang dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu, dengan
memiliki tingkat kerawanan longsor. Masyarakat tidak diperbolehkannya aktivitas masyarakat dalam
desa Namo dapat melakukan/mengakses kawasan HD kawasan Taman Nasional maka masyarakat desa
Namo pada zona pemanfatan dengan memanfatkan Namo mengajukan ijin untuk mengelola kawasan
beberapa tanaman yang memang memiliki nilai hutan negara (lindung). Kawasan hutan desa Namo
ekonomi (antara lain rotan, damar, pandan, tumbuhan merupakan kawasan hutan yang letaknya cukup
obat, tanaman hias dan buah-buahan). jauh dari desa, namun berdasar kesepakatan dengan
Bila dilihat dari luas areal kelola kawasan hutan desa Tangkulowi (kesepakatan adat) kawasan
yang diberikan kepada masyarakat desa Namo cukup tersebut diberikan kepada desa Namo untuk diajukan
besar, bahkan zona pemanfatan mencapai luas 400 ha. menjadi hutan desa Namo. Pemberian hak kelola
Dalam kawasan HD Namo memiliki potensi sumber untuk masyarakat desa Namo terhadap kawasan
daya alam hayati yang beragam, karena kawasan hutan dapat dikatakan salah satu kebijakan penting
hutan tersebut berdasar informasi yang diperoleh Dinas Kehutanan Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi
dari narasumber merupakan hutan adat masyarakat Tengah. Kawasan hutan akan dapat secara lestari jika
Tangkulowi. Sehingga dapat dipastikan berbagai melibatkan masyarakat, sehingga dengan pemberian
potensi hasil hutan non kayu masih sangat besar, salah hak kelola kepada masyarakat desa Namo diharapkan
satu yang menjadi harapan masyarakat Desa Namo kelestarian kawasan hutan akan dapat terjaga. Selain
berupa tanaman rotan. Saat ini (setelah ijin hak kelola) itu berdasarkan kebijakan daerah Kabupaten Sigi yang
diberikan kepada masyarakat desa Namo melalui dikenal dengan sebutan “Kabupaten Konservasi”,
BUMDes maka peluang untuk dapat memanfatkan aspek kelestarian kawasan hutan menjadi penting
hasil hutan non kayu makin terbuka. Namun dilihat selain upaya mensejahterakan masyarakat melalui
dari letak/jarak antara desa Namo dengan kawasan potensi yang ada. Dengan diberikannya hak kelola
HD Namo yang relatif jauh dan medan yang cukup maka masyarakat secara sah memiliki jaminan atas
sulit maka pemanfatan hasil hutan non kayu masih pengelolaan potensi hutan non kayu. Status hak kelola
relatif kecil. Pengelola HD Namo telah memberikan HD Namo oleh masyarakat juga menjadi jaminan atas
kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola kelestarian kawasan hutan lindung yang memiliki
kawasan sesuai wilayah kelola, masih relatif sedikit kaitan dengan sumber mata air (DAS Palu Sub DAS
yang memanfatkan. Salah satu hasil hutan non kayu Miu).
yang dimanfatkan masyarakat desa Namo dari dalam Hak kelola kawasan HD Namo diberikan melalui
kawasan HD Namo adalah rotan dan pandan hutan. BUMDes desa Namo sehingga setiap individu
Komoditas rotan yang diambil masyarakat langsung yang akan memanfaatkan hasil hutan non kayu
dijual dalam bentuk basah bukan dalam bentuk kering harus mendapat persetujuan dari BUMDes. Namun
sehingga nilai manfaat yang diterima masyarakat demikian dari empat dusun yang ada di wilayah
kecil sedangkan pandan rotan diolah oleh beberapa administrasi desa Namo tidak seluruhnya dapat
rumah tangga desa Namo untuk dijadikan tikar dan mengakses kawasan hutan karena jarak yang jauh
dijual dalam lingkup terbatas atau di gunakan untuk dari dusun mereka. Penduduk yang tinggal di dusun
keperluan sendiri. satu dan dua merupakan dusun yang letaknya jauh
Relatif rendahnya pemanfatan yang dilakukan dengan kawasan HD Namo sehingga mereka tidak
masyarakat desa Namo atas potensi dalam kawasan mengakses kawasan HD. Sedangkan penduduk dusun
HD Namo karena pada dasarnya secara umum tiga dan empat merupakan dusun yang relatif dekat
masyarakat masih memiliki aktivitas di dalam lahan dengan kawasan HD Namo sehingga beberapa dari
milik. Namun dengan makin bertambahnya jumlah masyarakat telah memanfaatkan potensi hasil hutan
non kayu. Selama ini penduduk yang yang tinggal di Pendapatan masyarakat atas akses terhadap kawasan
dusun 3 dan 4, memanfatkan potensi hasil hutan non HD Namo dapat dikatakan saat ini masih relatif
kayu berupa rotan, pandan, getah damar, bambu dan kecil dibanding dengan potensi yang ada. Bila
beberapa komoditas lain. Beberapa komoditas tersebut dibandingkan luas kawasan hutan yang dikelola
dimanfaatkan masih dalam jumlah terbatas dan belum masyarakat dibanding dengan luas kawasan hutan
diolah menjadi komoditas dengan nilai ekonomi negara yang ada di Kabupaten Sigi, maka hanya
tinggi (belum diolah). Banbu dan pandan merupakan sebesar 0,01 persen dari seluruh kawasan hutan
komoditas yang dijadikan kerajinan oleh beberapa negara. Dengan mengasumsikan seluruh hutan negara
rumah tangga desa Namo, karena masing-masing (khususnya hutan lindung) dikelola oleh masyarakat
rumah tangga tersebut memang memiliki keahlian maka dapat diperkirakan pengaruhnya terhadap
dalam membuat kursi bambu maupun tikar pandan. perekonomian Kabupaten Sigi. Berdasarkan data
Aktivitas masyarakat yang terkait kawasan HD Namo, statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik
berdasar pendapatan yang diterima menunjukkan (BPS) berupa Produk Domestik Regional Bruto
bahwa masyarakat yang tinggal di dusun III lebih (PDRB) tahun 2012 (berdasar harga konstan 2000)
memanfaatkan berbagai potensi yang ada dalam menunjukkan peran sektor pertanian di Kabupaten
kawasan HD dibandingkan masyarakat dusun IV. Sigi sangat besar (Rp. 1.033,5 juta) atau 55,5 persen
Pendapatan masyarakat yang ada di dusun III atas sumbangannya terhadap pembentukan PDRB
akses terhadap kawasan HD yang cukup besar (Rp. Kabupaten Sigi. Perhitungan manfaat atas pengelolaan
161,4 juta) didapat dari mengambil komoditas rotan, kawasan hutan lindung (yang dikelola) berdasar
hal ini didasarkan pada nilai ekonomi rotan yang asumsi yang dibangun akan didapatkan diperkirakan
cukup tinggi dibandingkan komoditas lain walaupun manfaat 15,8 persen dari kegiatan dalam kawasan
dijual dalam bentuk mentah (belum diolah). Berdasar hutan lindung. Struktur perekonomian Kabupaten Sigi
hasil survey, pendapatan masyarakat dusun IV lebih terbesar berasal dari sektor pertanian. Bila aktivitas
rendah (Rp. 5,1 juta) karena mereka lebih banyak dari dalam kawasan hutan berupa hasil hutan non kayu
memanfatakan komoditas pandan hutan untuk maka akan meningkatkan peran dari sektor pertanian
membuat tikar yang nilai ekonomi lebih rendah secara signifikan menjadi sebesar 71,3 persen.
dibanding rotan. Total aktivitas pemanfatan kawasan Besarnya kontribusi kegiatan pertanian tersebut
HD Namo bagi masyarakat secara total berdasar karena memasukkan aktivitas masyarakat dalam
perhitungan survey sebesar Rp. 166,6 juta per tahun. kawasan hutan lindung, didasarkan atas pengelolaan
hutan desa.
Tabel 22. Pendapatan Masyarakat dari Kegiatan Perhitungan manfaat tersebut memberikan arti
bahwa dengan melakukan pengelolaan yang berbasis
dalam Kawasan HD (dalam Rp) masyarakat terhadap kawasan hutan di wilayah
Wilayah dan Sumber Pendapatan Pendapatan per Kabupaten Sigi akan meningkatkan kinerja sektor
Pendapatan Sampingan per tahun tahun pertanian yang lebih besar dibanding saat ini.
Dusun III Lebih jauh, berdasarkan atas perhitungan simulasi
Kayu - - tersebut maka Kabupaten Sigi sebagai “Kabupaten
Rotan & Non Kayu 161.425.000 161.425.000 Konservasi” sudah sepantasnya menyusun kebijakan
Dusun IV strategi yang memperhatikan keberadaan masyarakat
Kayu - - yang tinggal di sekitar kawasan hutan negara.
Rotan & Non Kayu 5.175.000 5.175.000 Bagaimanapun masyarakat yang tempat tinggalnya
Total Pendapatan 166.600.000 166.600.000 berbatasan langsung dengan kawasan hutan akan
memiliki kaitan dengan seluruh potensi hutan yang
Sumber : Hasil pengolahan data survey LIPI, 2014
87
ada. Namun, agar kawasan hutan negara tersebut Lokasi kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat
tidak rusak maka dalam mendorong kelestarian desa Namo memang tidak begitu dekat dengan
kawasan hutan, masyarakat harus terlibat penuh dan wilayah desa. Namun bila dilihat berdasarkan atas
bertanggung jawab atas kawasan hutan yang diberikan rencana umum terkait pengelolaan kawasan HD Namo
hak kelolanya kepada mereka. memiliki potensi sangat besar. Potensi yang ada dalam
kawasan HD Namo saat ini yang secara langsung
Tabel 23. Beberapa Jenis Potensi Non Kayu Dalam dapat di nilai ekonomi adalah hasil rotan. Dimana
sebagian masyarakat juga telah memanfaatkan potensi
Kawasan Hutan Desa Namo rotan yang ada untuk diambil dan dijual. Dengan luas
No Jenis Potensi zona pemanfatan (400 Ha) dari seluruh hak kelola
(490 Ha) maka potensi lain yang ada dalam kawasan
1 Rotan Lambang 20.090 pohon hutan desa Namo sangat beragam, dari potensi non
2 Rotan Batang 33.483 pohon kayu saja ada delapan jenis rotan dan beberapa
3 Rotan Tohiti 33.483 pohon jenis tanaman lain yang dapat dimanfaatkan oleh
4 Rotan Noko 13.393 pohon masyarakat. Besarnya potensi yang ada diperlukan
5 Rotan Puti 20.090 pohon pengelolaan yang terencana, agar potensi yang ada,
6 Rotan Ompol 6.697 pohon khususnya rotan tidak hanya di jual dalam bentuk
7 Rotan Uban 6.697 pohon mentah namun telah diolah oleh masyarakat sehingga
8 Rotan Pal 13.393 pohon akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Terkait
9 Aren 8.036 pohon dengan pemanfatan potensi dalam kawasan hutan
10 Melinjo 8.036 pohon desa Namo maka dalam jangka 10 tahun semenjak
11 Vanga 16.036 pohon ijin dikeluarkan bila di imbangi dengan adanya
12 Pakis 40.180 pohon peningkatan ketrampilan masyarakat desa Namo
13 Bambu 4.081 pohon dalam mengelola kawasan hutan maka manfaat yang
14 Madu Hutan 6.027 liter didapat tidaklah berarti. Namun bila dalam jangka
15 Pandan 4.018 ikat hingga 20 tahun hingga 30 tahun kedepan masyarakat
16 Sarang Semut 40.180 rumpun desa Namo mengalami peningkatan ketrampilan baik
17 Pinang 4.410 pohon
dalam pengelolaan maupun akses pasar atas berbagai
potensi yang ada maka dapat diperkirakan akan
18 Anggrek 40.180 rumpun
meningkatkan perekonomian masyarakat.
19 Pisang 4.410 pohon
20 Pisang hutan 40.180 pohon Peningkatan perekonomian masyarakat terjadi
21 Valangguni (akar kuning) 150 ton bila desa Namo bukan hanya sebuah desa yang
22 Buah merah (buah pandan) 441 pohon menghasilkan bahan baku atas akses terhadap
23 Udang 500 kg kawasan HD, namun menjadi desa industri rumah-
24 Kepiting 500 kg
tangga yang mampu mengolah potensi dari dalam
kawasan HD. Berbagai harapan atas manfaat yang
25 Segili (sidat) 1 ton
akan diterima masyarakat atas potensi HD Namo
Sumber : Rencana Kerja Pengelolaan Hutan Desa Namo 2014-2049 tersebut kiranya juga harus dibarengi dengan adanya
Kawasan HD Namo memiliki potensi hasil hutan non kayu yang dalam memahami manfaat bagi desa dan kaitannya dengan
relatif besar. Potensi tersebut bila dikelola dengan tepat akan ekonomi rumah tangga. Potensi yang ada dapat dikatakan
memberikan jaminan atas pendapatan ekonomi masyarakat kedepan akan memiliki nilai ekonomi bila dikelola secara baik
desa. Namun demikian perlu adanya system yang lebih jelas dan transparan.
peningkatan infrastruktur. Kondisi akses jalan menuju tanaman damar (getah) serta sumber daya lain
dan keluar desa Namo yang melewati jalur rawan seperti tanaman anggrek dan bambu. Pemanfaatan
longsor (pada musim penghujan) menjadi hal yang atas potensi hutan desa tersebut beriringan dengan
patut diperhatikan seiring meningkatnya pengetahuan peningkatan kemampuan ketrampilan masyarakat desa
dan ketrampilan masyarakat. Infrastruktur menjadi Namo. Berbagai potensi hutan yang ada di kawasan
penting untuk membuka akses pasar, potensi yang ada hutan desa tersebut pada dasarnya memberikan
tanpa di dukung infrastruktur tidak akan bermanfaat. jaminan atas berbagai bentuk mata pencaharian.
Bila digambarkan dalam bentuk grafik maka manfaat Tantangannya adalah bagimana memberikan
yang akan didapat oleh masyarakat desa Namo selama pemahaman dan memotivasi masyarakat desa Namo
35 tahun mengelola kawasan hutan desa dengan di untuk mulai mengelola hutan desa dengan memahami
imbangi peningkatan ketrampilan masyarakat dan segala potensi yang ada.
infrastruktur sebagai berikut : Potensi kawasan HD Namo sangat besar utamanya
dari tanaman rotan, namun dengan letak yang cukup
Grafik 10. Prediksi Manfaat Masyarakat Desa jauh dan infrastruktur yang terbatas maka masyarakat
Namo selama 35 Tahun Mengelola HD belum secara optimal memanfatkan potensi yang ada.
Pemanfatan hasil hutan non kayu bagi masyarakat
Potensi Kawasan yang tinggal di desa Namo hanya dilakukan oleh
HD (juta Rp.) sebagian masyarakat yang tinggal di dusun tiga dan
50 empat. Potensi hasil hutan non kayu (bambu dan
40 pandan) oleh sebagian anggota masyarakat desa Namo
30 hanya dikelola menjadi kerajinan dan hanya dijadikan
20 komoditas lingkup antar desa, sedangkan untuk rotan
10 dijual tanpa diolah (basah). Berbagai potensi lain yang
Jangka Izin 0 5 10 15 20 25 30 35 ada dalam kawasan HD Namo masih belum optimal
Kelola HD di kelola, hal tersebut selain kendala letak yang
(tahun) jauh dari desa Namo juga karena masyarakat belum
memiliki keahlian dalam mengelola berbagai potensi
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
yang ada. Apabila skenario pembangunan Hutan Desa
Saat ini pengelolaan kawasan hutan desa oleh Namo berkembang dengan perbaikan instrastruktur
masyarakat Desa Namo masih sangat terbatas, dan ketrampilan masyarakat desa maka potensi
namun demikian dalam kaitan dengan hal kelola hasil hutan non kayu berpengaruh positif terhadap
yang diberikan kepada masyarakat selama 35 tahun kegiatan ekonomi. Dan apabila hal ini dimasukkan
ada beberapa hal yang telah dilakukan. Dalam dalam perhitungan maka peran sektor pertanian akan
perencanaan pengelolaan kawasan hutan desa Namo meningkat dibanding yang telah dihitung oleh Badan
rentang waktu 10 tahun masyarakat akan melakukan Pusat Statistik saat ini.
pendataan jumlah tanaman potensial. Berbarengan
dengan pendataan tersebut akan dilakukan pula
penambahan tanaman rotan, karena selama ini
tanaman rotan merupakan tanaman yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat. Dalam jangka waktu
pengelolaan 20 tahun, harapan masyarakat seiring
dengan infrastruktur yang memadai untuk dapat
mengakseskawasan hutan desa maka dapat mengelola
89
Manfaat Valuasi Ekonomi atas Pengelolaan Kawasan HKm dan HD oleh Masyarakat
~~Kawasan hutan yang diberikan hak kelola melalui HKm, tidak adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjaga nilai intrinsik
hanya ditujukan bagi peningkatan manfaat nilai ekonomi sumber daya alam agar kerusakan lingkungan tidak terjadi.
bagi masyarakat. Manfaat lain atas pemberian ijin hak
kelola juga menjadi pertimbangan. Kasus HKm Kulonprogo ~~Penetapan nilai atau valuasi ekonomi terhadap kegiatan jasa
merupakan sebuah contoh yang memberikan pertimbangan lingkungan (biasa dikenal dengan nama PES - Payment for
tidak hanya aspek nilai ekonomi semata. Pertimbangan Environmental Services)) penting untuk dilakukan, selain
aspek non ekonomi atas kawasan yang diberikan hak sebagai wujud apresiasi dan memaksimalkan kesejahteraan
kelola. Wilayah hak kelola HKm Kalibiru merupakan wilayah masyarakat sekitar hutan, juga untuk mendapatkan jaminan
yang terkait langsung dengan keberadaan waduk Sermo, kelestarian hutan dan distribusi manfaat yang adil (Constanza
sehingga kawasan hutan tersebut menjadi penting untuk di and Folke,1997). Valuasi ekonomi dewasa ini semakin
kelola dengan memperhatikan aspek lingkungan. Demikian populer digunakan untuk memperlihatkan kepada pemangku
halnya dengan kawasan hutan yang hak kelolanya diberikan kepentingan pentingnya melindungi hutan dari kegiatan
kepada masyarakat Selo Timur, juga secara tidak langsung lain walaupun kegiatan jasa lingkungan ini terlihat kontra
memiliki kaitan dengan kawasan wilayah penyangga waduk produktif.
Sermo. Upaya yang terkait dengan nilai valuasi ekonomi atas ~~Beberapa kegiatan jasa lingkungan telah tampak di tiga
pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat salah satunya lokasi studi kasus. Di Kalibiru, usaha jasa lingkungan yang
adanya terasering di kawasan hutan yang dikelolakan oleh tampak yaitu pembuatan terasering dan pengembangan
masyarakat. Artinya selain akan memberikan perlindungan hutan wisata alam di petak 28. Pembuatan terasering
bagi tempat tinggal mereka dari ancaman tanah longsor juga dilakukan mengingat kondisi topografi hutan di Kalibiru
akan menjamin sumber-sumber mata air yang akan mengalir yang relatif curam dan lapisan tanahnya cenderung tipis.
ke dalam waduk Sermo. Sedangkan ekowisata dikembangkan mengingat hasil hutan
~~Karasteristik wilayah dataran tinggi di hampis seluruh wilayah dari HKm Kalibiru tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
Sulawesi Tengah merupakan tanah perbatu dan berpasir. karena berada di kawasan hutan lindung. Pembuatan
Kondisi ini membuat banyak wilayah, salah satunya desa terasering dan lahan berundak pun dilakukan di Selo Timur.
Namo menjadi daerah rawan longsor, terlebih wilayah Lahan berundak ini dimanfaatkan oleh warga Selo Timur
Kulawi merupakan wilayah rawan gempa. Kondisi tersebut untuk menanam jamu-jamuan dan tanaman lain seperti
menjadikan pemberian hak kelola HD Namo kepada Desa empon-empon. Tanaman-tanaman ini berfungsi untuk
sebagai penanggung jawab mejadi penting. Hal yang kiranya menguatkan jaringan di bawah tanah agar tidak mudah
dapat menjadi ukuran valuasi ekonomi atas diberikannya longsor. Desa Namo yang wilayahnya berbatasan langsung
hak kelola HD Namo antara lain terjaganya kawasan hutan, dengan Taman Nasional Lore Lindu mempunyai peran yang
artinya masyarakat memiliki tanggung jawab atas kawasan penting dalam mendukung sistem penyangga kehidupan
hutan sehingga resiko bencana dapat diminimalisasi, selain masyarakat Sulawesi Tengah. Salah satu jasa lingkungan
dapat memanfaatkan potensi sumber daya hutan non kayu. yang diberikan oleh TNLL adalah cadangan air yang
terkandung di dalam kawasan ini. Kawasan hulu di hutan
~~Manfaat pengelolaan hutan melalui program kehutanan TNLL memberi kontribusi air bagi masyarakat hilir, yaitu
masyarakat seperti HKm dan HD lebih sering dilihat dari masyarakat kota Palu yang jika diangkakan dapat mencapai
aspek ekonomi yang mudah dikuantifikasi yaitu pendapatan Rp 8,9 milyar per tahun (Suprianto, 2012). Masyarakat
rumah tangga masyarakat yang mendapatkan akses Desa Namo pun menyadari pentingnya menjaga mata air di
mengelola HKm atau HD. Dengan diberikannya akses, kawasan TNLL dengan cara menjaga hutan mereka karena,
masyarakat ini diharapkan kesejahteraannya meningkat selain alasan di atas, cadangan air ini sangat berperan dalam
karena mereka dapat pendapatan lebih dari hasil hutan. kelangsungan mata pencaharian mereka terutama di kebun
Namun, kegiatan para petani hutan ini sebenarnya cokelat dan kopi. Selain itu masyarakat menyadari dengan
memberikan manfaat yang lebih luas dari sekedar menjaga hutan, ancaman terhadap bencana longsor dapat
pendapatan yang terukur (tangible income) seperti uang, berkurang mengingat kondisi tanah di kawasan Desa Namo
salah satunya adalah jasa lingkungan. Jasa lingkungan yang berkapur dan berpasir.
Bab 6
PENUTUP
Rotan dan penyadap getah Damar sebagaimana yang sinergis (dalam pengertian negatif: mensinergikan
dahulu dilakukan dalam nilai kebersamaan. Dengan keterbatasan dan keterpinggiran) dibawah angan-
kata lain, hidup telah berubah, walaupun HD mulai angan pembangunan Indonesia modern. Usaha untuk
dibangun namun mereka sudah mulai meninggalkan mentransformasikan penduduk di desa-desa sekitar
ketergantungan pada sumberdaya hutan dan beralih ke hutan dengan skenario politik pembangunan itu tidak
lahan-lahan pertanian. sepenuhnya berhasil dan dapat dikatakan sebaliknya
Kedua, baik di Kulonprogo maupun di Namo, gagal. Modernisasi mungkin terjadi di desa-desa
penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar HKm dataran rendah yang berbasis pada lahan sawah dan
dan HD itu mengalami marjinalisasi hampir di sebagian besar lainnya di daerah perkotaan, namun
semua aspek kehidupan antara lain di bidang usaha untuk mentransformasikan penduduk di desa-
pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pertanian. desa sekitar hutan ke arah itu serta usaha-usaha lain
Marjinalisasi ini terjadi karena Pembangunan yang yang dianggap sebagai “proyek modernisasi” yaitu
selama ini dijalankan cenderung bias kota. Apalagi memindahkan mereka melalui program permukiman
pembangunan pedesaan dan modernisasi pertanian dan transmigrasi misalnya, tidak sepenuhnya berhasil.
selama pemerintahan sebelumnya lebih diarahkan ke Mereka yang bertahan dan menolak skenario politik
desa-desa yang dianggap bisa menjadi basis produksi pembangunan itu bahkan gagal termodernisasikan
pangan terutama beras untuk mencapai swasembada sebagai bagian dari Indonesia modern, mereka
pangan. Sementara itu, desa-desa yang terletak di dianggap sebagai ‘orang yang lain’ dari sisi Indonesia
dataran tinggi yang memiliki karakteristik pertanian modern. Mereka terkekang dalam keterbatasan dan
ladang dan lahan kering cenderung diabaikan dan keterpinggiran selama puluhan tahun lamanya. Produk
bahkan dipinggirkan. Hutan di daerah dataran tinggi gagal Indonesia modern ini berupa kemiskinan dan
dianggap lebih memiliki nilai ekonomi daripada keterbelakangan secara umum. Apabila penduduk
pangan dari ladang sehingga penduduk di desa-desa desa-desa ataupun kota-kota lain sudah berbicara
sekitar hutan tidak menjadi pusat perhatian dalam kesejahteraan, maka penduduk di desa-desa
pembangunan pertanian dan pedesaan umumnya. sekitar hutan ini masih berbicara keterbatasan dan
Mereka tidak diarahkan dalam program intensifikasi keterpinggiran. Jangankan kesejahteraan, untuk keluar
pertanian sebagaimana di sawah, namun justru dari kemiskinan dan keterbelakangan saja menjadi
sebaliknya dibiarkan ekstensif dan dikerdilkan masalah yang serius di mata mereka.
sehingga tidak menikmati subsidi pupuk, bantuan Lantas, apakah HKm dan HD dapat membantu
teknologi pertanian, fasilitas kredit, pengembangan mengatasi persoalan mereka yang sangat mendasar
kelembagaan serta keterampilan. Kesenjangan ini? Hasil penelitian singkat di ketiga lokasi penelitian
pembangunan antara desa-desa yang berbasis pada ini menunjukkan bahwa akses terhadap keterbatasan
lahan sawah dengan ladang sangat besar sehingga dan keterpinggiran itu sudah mulai dibuka namun
desa-desa di dataran rendah mengalami perkembangan bukan merupakan pemberian akses penuh melainkan
dan kemajuan yang pesat, sedangkan desa-desa di pembagian kewenangan antara petani hutan dan
dataran tinggi termasuk desa-desa di sekitar hutan negara. Dalam pembagian kewenangan ini, kontrol
jauh tertinggal. Dusun Kalibiru, Hargowilis; Selo mereka terhadap lahan hutan dan jenis tanaman diatur
Timur, Hargorejo; serta Namo merupakan desa-desa secara ketat dengan dalih untuk tujuan kelestarian
di sekitar hutan yang antara lain tidak mengalami sumberdaya hutan, setidaknya memenuhi perhitungan
perkembangan dan kemajuan yang setara dengan dalam tradisi kehutanan ilmiah. Kontrol yang terbatas
desa-desa lain di dataran rendah di sekitarnya. dan ketakberdayaan menghadapi mekanisme produksi
Dua mesin politik pembangunan di sektor kehutanan dan pasar sebagai petani hutan menyebabkan akses
dan pertanian ini tampaknya berjalan secara yang diberikan belum sepenuhnya memulihkan
mereka dari kondisi keterbatasan dan keterpinggiran apabila hanya dilakukan oleh pemerintah sendiri
selama puluhan tahun sebelumnya. selama ini. Selain itu, apabila ada pendapat yang
Berdasarkan survei rumah-tangga di ketiga desa lokasi mengatakan bahwa akses telah membukakan mereka
penelitian, pendapatan yang bersumber dari HKm dan dari keterbatasan maka hal itupun masih dilihat secara
HD dapat dikatakan relatif kecil jika dibandingkan parsial, melepaskan sejarah dan dinamika penguasaan
dengan komponen pendapatan rumah-tangga lain yang kawasan dari konteks pembicaraannya. Jujur harus
bersumber dari luar hutan. Relatif kecilnya pendapatan dikatakan bahwa sejarah dan dinamika penguasaan
yang bersumber dari HKm dan HD itu juga belum kawasan (yang diwarnai pendakuan oleh negara)
terlalu berdampak nyata terhadap pemerataan yang masih melekat dalam ingatan penduduk itu
pendapatan di tingkat desa. Demikian pula kontribusi tidak terhapus melalui skema program HKm dan HD
pendapatan itu terhadap kemiskinan di tingkat rumah- ini. Dalam berbagai wawancara kepada penduduk
tangga petani hutan. Berdasarkan metode perhitungan di desa-desa sekitar hutan itu, skema program itu
kombinasi: ‘subyektif-obyektif’, pendapatan yang terkesan dilihat hanya sebagai sumbangan kecil
bersumber dari HKm dan HD belum terlalu besar dalam kehidupan mereka. Salah apabila pendapat
dalam menggerakkan kondisi perekonomian rumah- mengatakan bahwa mereka tergantung pada
tangga petani hutan keluar dari garis kemiskinan dan sumberdaya hutan karena pada kenyataannya hanya
kerentanan. Sebagian besar rumah-tangga petani hutan sebagian kecil komponen pendapatan rumah-tangga
yang mengikuti HKm dan HD masih berada dalam mereka yang berasal dari sumberdaya hutan. Selain
situasi miskin dan rentan miskin, suatu situasi yang itu, walaupun beberapa penduduk menyatakan
akan mudah jatuh dalam kemiskinan apabila dilanda menerima kenyataan pemberian akses seperti itu,
krisis ataupun guncangan termasuk akses terhadap namun hal itu bukan berarti menerima kenyataan
sumberdaya hutan. Berdasarkan perhitungan itu dapat bahwa skema program ini telah menghapus ingatan
dikatakan bahwa HKm dan HD telah berkontribusi pahit mereka, melainkan karena mereka menerima
dalam pendapatan rumah-tangga petani hutan, kenyataan mengenai ketidakmampuan mereka dalam
namun kontribusinya terhadap kesejahteraan secara menguasai solusi yang harus dibagi kepada negara.
keseluruhan relatif kecil. Mereka menerima kenyataan karena jawaban atas akar
permasalahan itu tidak berada pada kendali mereka
Sementara ini dapat dikatakan bahwa skema program sepenuhnya, bukan seperti tanah milik mereka, dan
HKm dan HD yang lahir dilatarbelakangi oleh krisis kemungkinan pemaksaan atas pengausaan itu seperti
pengelolaan hutan paska reformasi belum menjawab pengambilalihan kembali (re-claiming) kawasan
dua sisi persoalan mendasar dalam kehidupan hutan negara dianggap akan berisiko menimbulkan
rumah-tangga petani hutan yaitu keterbatasan dan konflik sosial yang besar. Sesuatu yang dihindari
keterpinggiran disatu sisi dan kemiskinan dan oleh orang Jawa di Kulonprogo misalnya, karena
keterbelakangan di sisi yang lain. Apabila skema bisa mengguncang kehidupan dan memperberat
program HKm dan HD ini dianggap telah memberikan kondisi keterbatasan dan keterpinggiran mereka. Jadi,
akses-- yang dalam tradisi kehutanan ilmiah bisa penerimaan kenyataan itu bukanlah penerimaan atas
saja dianggap sebagai suatu kemewahan--, maka solusi yang mendasar dalam kehidupan mereka namun
sesungguhnya akses yang diberikan itu masih lebih merupakan pernyataan ketidakmampuan dalam
dibatasi pada fungsi dan status kawasan hutan mewujudkan solusi penuh itu.
yaitu lindung dan produksi. Akses dalam skema
program ini lebih terlihat sebagai jalan tengah, yang Pada saat ini tidak ada skema program yang lebih
sesungguhnya lebih menguntungkan kehutanan baik daripada HKm dan HD itu, kecuali kemungkinan
daripada petani hutan karena terpeliharanya hutan Hutan Adat untuk kasus Namo misalnya, namun
yang tidak ternilai harganya dan yang teramat sulit hal itu agak sulit karena fungsi adat yang
93
direvitalisasi tidak sekuat dulu, bahkan melemah, HD. Hal ini penting karena apabila pendapatan rumah-
dan masyarakatnyapun sudah tidak tergantung lagi tangga mereka dari hasil hutan semakin berkurang
pada sumberdaya hutan melainkan pada lahan-lahan maka keterlibatan mereka dalam pengelolaan hutan
pertanian yang notabene merupakan lahan milik akan semakin rendah.
di mana proses produksi di lahan itu cenderung Untuk memperbaiki sistem atau aturan main HKm
kompetitif, individualis dan komersial. Karakteristik dan HD itu perlu fokus pada peningkatan pendapatan.
seperti itu agak sulit dikembalikan pada nilai-nilai Hal ini wajar karena mereka sudah membuktikan
kebersamaan yang berbasis pada adat walaupun komitmen dalam pengelolaan hutan sehingga
kelembagaan adat tampak masih tertulis secara beberapa perubahan di dalam aturan main HKm
formal. Revitalisasi kelembagaan adat secara formal dan HD seharusnya dimungkinkan untuk menjaga
seperti itu umumnya ditopang oleh masyarakat keseimbangan. Berbagai pengembangan teknik untuk
yang sudah tidak digerakkan oleh roda produksi meningkatkan pendapatan dalam sistem wanatani
komunal, melainkan kepemilikan individu. Hal telah dilakukan oleh para ahli agroforestry sejak
seperti ini kemungkinan terjadi di Namo sehingga penguasaan hutan dikendalikan oleh pemerintah
walaupun di desa itu tertera kelembagaan adat kolonial Belanda sampai dengan penguasaan oleh
namun umumnya lebih berfungsi pada pemeliharaan Perum Perhutani di Jawa pada saat ini. Beberapa
hubungan-hubungan sosial, bukan pada corak simulasi perhitungan yang dicoba di bawah ini
produksi masyarakatnya. Sedangkan di Kulonprogo, semata-mata sebagai strategi untuk meningkatkan
sebagaimana desa-desa di Jawa umumnya, tidak pendapatan rumah-tangga petani hutan dan
lagi mengenal (tanah) adat. Satu-satunya yang bisa mengeluarkan mereka dari garis kemiskinan. Simulasi
dianggap adat justru adalah pernyataan “Sultan ini belum bisa dikatakan sebagai pengembangan
Grond” di dalam dokumen kehutanan Belanda teknik wanatani, oleh karena itu apabila peningkatan
tahun 1938 namun hal itupun telah diambilalih pendapatan itu berimplikasi pada perubahan teknik
oleh (kehutanan) negara. Atas kenyataan kehidupan wanatani maka perlu diformulasikan ulang, misalnya
penduduk di desa-desa sekitar hutan yang sudah tidak perubahan jumlah pohon, jenis tanaman, ruang
tergantung pada sumberdaya hutan dan tidak memiliki untuk bertani atau memperoleh hasil hutan non kayu,
fungsi adat dalam corak produksi mereka, maka HKm jensi tanaman wanatani dan sebagainya yang pada
dan HD masih dianggap sebagai skema program dasarnya membutuhkan interaksi dengan disiplin ilmu
terbaik di tengah ketiadaan peluang lain pada saat ini. kehutanan. Simulasi berikut mungkin bisa menjadi
Perubahan mungkin bisa dilakukan bukan dengan pertimbangan dalam penyusunan formula baru itu.
penolakan skema program itu ataupun pengusulan
skema program baru yang tidak realistis, namun justru
dengan cara memperbaiki sistem ataupun aturan main
yang berlaku di dalam HKm dan HD itu. Sebagai
alternatif adalah mempertimbangkan kontribusi
pendapatan dari hasil hutan yang lebih tinggi dengan
cara memperbaiki sistem atau aturan main HKm dan
Daftar Pustaka
Aji, Gutomo Bayu, Joko Suryanto, dan Temi Indriati Miranda, 2009, Strategi Alternatif Mengurangi Kemiskinan Dengan Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat, Elmatera Publishing, Yogyakarta.
Awang, San Afri, 2003. Politik Kehutanan Masyarakat, Center for Critical Social Studies (CCSS) dengan Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Anonim. - . Ketimpangan Pendapatan. http://www,google,co,id/#hl=id&biw=1024&bih=413&q=ketimpangan+pendapatan-
pdf&aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=f6df00c24422336f diakses 30 Desember 2014.
Bappeda dan BPS Kota Semarang. 2012. Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang 2011. Kerjasama
Bappeda dan BPS Kota Semarang. Semarang.
BPS. 2009. Data dan Informasi Kemiskinan 2008. Buku 2 : Kabupaten/kota. Katalog BPS : 3205014. Jakarta.
Constanza dan Folke, 1997. Ecological Economic, The Science and Management of Sustainability,. Columbia University Press, New York.
D’Andrea, Claudia, 2013. Kopi, Adat dan Modal, Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah, Yayasan
Tanah Merdeka, Tanah Air Beta, Sayogjo Institute.
Dokumen kehutanan Belanda (Grondkaart, Jaar 1939).
Husken. F. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman : Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. PT Grasindo. Jakarta.
Kawasan Hutan, Mata Pencaharian dan Kemiskinan, Laporan Bank Dunia, http://worldagroforestry.org/sea/Publications/files/report/
RP0241-08/RP0241-08-2.PDF (diakses November 2014)
Li, Tania Murray, 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Michael, P. Todaro, 1997, “Economic Development”, 6th ed, Longman, LTD, England.
Partnership Policy Paper No 4/2011, “Mendorong Percepatan Program Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa”.
Peluso, Nancy Lee, 1992. Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java, University of California Press, Berkeley.
Prapti. Lulus. 2006. Keterkaitan Antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Distribusi Pendapatan (Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota Jawa
Tengah 2000-2004). Tesis. Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro. Semarang.
Santoso, Hery, 2010. Potret HKm dan Hutan Desa: Antara Harapan dan Kenyataan. Working Gorup Pemberdayaan Masyarakat, Kemitraan
dan Kementerian Kehutanan.
Simon, Hasanu, 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management) Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di
Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Kulonprogo 2013, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulonprogo, 2014
Suharjito, Didik, 2014. Devolusi Pengelolaan Hutan dan Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Orasi Ilmiah Guru Besar IPB.
Suprianto, Tugas. 2012. Menjaga, Melestarikan, dan Memulihkan Taman Nasional Lore Lindu. BTNLL, Dinas Kehutanan Sulteng,
Kemenhut RI, FAO, UNDP, UNEP, UN-REDD.
99
Suryahadi. Asep. 2013. Best Practices Konsep. Dimensi dan Parameter-Parameter Kemiskinan. Powerpoint. Lembaga Penelitian SMERU.
September 2013. Jakarta.
Lampiran
Penentuan suatu rumah tangga tergolong miskin tangga dalam perhitungan garis kemiskinan, metode
atau tidak miskin dilakukan dengan membandingkan unit konsumen standar menghasilkan garis kemiskinan
besarnya penghasilan/pendapatan per kapita per tahun yang spesifik (hanya berlaku) untuk rumah tangga
dari rumah tangga tersebut (misal disebut Prt ) dengan dari sampel survei saja. Sehingga nilai garis
nilai GK di atas. Jika Prt < GK, maka rumah tangga kemiskinan lebih mencerminkan kondisi kemiskinan
ini tergolong miskin. Sedangkan bila Prt ≥ GK, maka khusus rumah tangga tersebut serta nilainya berbeda
rumah tangga ini tergolong tidak miskin (Husken, F, jika dibandingkan dengan hasil perhitungan garis
1988). kemiskinan dari survei rumah tangga lainnya.
Metode ini dipakai karena lebih spesifik dan Seangkan untuk garis kemiskinan Sajogyo dan BPS
mencirikan kondisi serta susunan anggota rumah bisa bersifat umum/tidak spesifik karena metode
tangga yang disurvei dibandingkan dengan metode Sajogyo dan BPS hanya dibatasi kriteria daerah
Sajogyo dan BPS. Dengan memasukkan faktor perkotaan/pedesaan dan tingkatan wilayah seperti
pembobot jenis kelamin dan umur anggota rumah nasional, provinsi ataupun kabupaten/kota.
Metode BPS
K onsep yang digunakan BPS guna mengukur
kemiskinan di tingkat nasional dan provinsi
adalah kemampuan seseorang/rumah tangga dalam
yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori
per kapita per hari. Penyetaraan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi
Berdasarkan pendekatan ini, BPS merumuskan tersebut. Sedangkan GKNM merupakan penjumlahan
kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang/ nilai keebutuhan minimum dari komoditi-komoditi
rumah tangga dari sisi ekonomi untuk memenuhi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan,
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan sandang, pendidikan dan kesehatan. Nilai kebutuhan
yang diukur dari sisi pengeluaran. Pengeluaran per minimum per komoditi/sub-kelompok non-
kapita per bulan1 dipakai sebagai variabel yang akan makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio
dibandingkan dengan besarnya nilai garis kemiskinan pengeluaran komoditi/sub-kelompok tersebut terhadap
(GK) untuk menentukan suatu rumah tangga total pengeluaran komoditi/sub-kelompok yang
dikategorikan miskin atau tidak miskin. Penduduk/ tercatat dalam data Susenas modul konsumsi. GKM,
rumah tangga yang mempunyai rata-rata pengeluaran GKNM dan GK dihitung untuk tingkat nasional,
per kapita per bulan di bawah GK, dikategorikan provinsi, dan kabupaten/kota dengan dipisahkan juga
sebagai penduduk/rumah tangga miskin (BPS, 2009). untuk daerah pedesaan/perkotaan, sehingga nilainya
BPS merumuskan GK dengan menjumlahkan tidak akan sama tergantung cakupan/tingkatan
antara GKM (Garis Kemiskinan Makanan) dan wilayah dan daerah pedesaan/perkotaan (BPS, 2009).
GKNM (Garis Kemiskinan Non-Makanan). GKM
adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi
dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk
Tabel 27. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Metode Unit Konsumen Standar
Peserta HKm Bukan Peserta HKm
Dusun Total % n Total % n
Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin
Kalibiru 12,2 87,8 100 41 10,5 89,5 100 19
Selo Timur 10,0 90,0 100 30 0,0 100,0 100 30
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
Hasil perhitungan dengan metode Unit Konsumen disebabkan metode UKS hanya memakai pendekatan
Standar (UKS) ini berbeda dengan hasil metode objektif dan variabel pendapatan objektif saja tanpa
Kombinasi Subjektif dan Objektif (KSO). Dengan mengakomodasi dan memperhitungkan persepsi
metode UKS, tingkat kemiskinan rumah tangga rumah tangga terhadap batas minimum pendapatan
di Kalibiru dan Selo Timur jauh lebih rendah untuk dikatakan tidak miskin (pendekatan subjektif).
dibandingkan dengan metode KSO. Hal ini
apabila pengeluaran per kapita per bulan dari rumah dua dusun tersebut yang tercantum pada tabel 3.?
tangga tersebut lebih kecil (<) dari Rp250.854,-. berikut.
Dengan kriteria ini diperoleh tingkat kemiskinan di
Tabel 28. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Metode BPS di Kalibiru dan Selo
Timur
Peserta HKm Bukan Peserta HKm
Dusun Total % n Total % n
Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin
Kalibiru 2,4 97,6 100 41 21,1 78,9 100 19
Selo Timur 16,7 83,3 100 30 0,0 100,0 100 30
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
Berdasarkan tabel di atas, terdapat pola rumah tangga tangga miskin untuk bukan peserta HKm jauh lebih
peserta HKm di Selo Timur lebih banyak yang besar dari rumah tangga peserta HKm, yakni 21,1%
terkategori miskin menurut metode BPS (16,7%) dibandingkan 2,4%. Kondisi ini bertolak belakang
dibandingkan dengan bukan peserta HKm, bahkan dengan hasil perhitungan tingkat kemiskinan metode
tidak ada rumah tangga bukan peserta HKm yang KSO dan UKS. Hal ini dapat dikarenakan adanya
termasuk miskin. Pola hasil perhitungan dengan perbedaan variabel yang digunakan dalam perhitungan
metode BPS untuk Selo Timur ini sejalan dengan tingkat kemiskinan, di mana metode BPS memakai
hasil metode KSO dan UKS meskipun ada perbedaan variabel pengeluaran sedangkan metode KSO dan
besaran persentase tingkat kemiskinannya. UKS menggunakan variabel pendapatan. Atau
Sementara itu, perhitungan tingkat kemiskinan di bisa juga disebabkan oleh nilai pengeluaran rumah
Kalibiru dengan metode BPS menghasilkan bahwa tangga peserta HKm di Kalibiru lebih besar dari nilai
rumah tangga yang tergolong miskin banyak dialami pendapatannya, sebaliknya nilai pengeluaran rumah
rumah tangga bukan peserta HKm dari pada peserta tangga bukan peserta HKm lebih kecil dari nilai
HKm. Ini tercermin dengan persentase rumah pendapatannya.
Secara keseluruhan tabel memperlihatkan tingkat rumah tangga lebih kecil dari GK sehingga rumah
kemiskinan rumah tangga peserta HKm di Kalibiru tangga tersebut tergolong miskin. Sebaliknya, income
dan Selo Timur, untuk tiga cara simulasi dengan simulasi 1, 2, dan 3 yang berada pada dan di atas garis
metode unit konsumen standar, lebih rendah dari pada lurus hitam (GK) menegaskan bahwa income rumah
hasil tiga simulasi dengan metode kombinasi subjektif tangga lebih besar sama dengan GK sehingga rumah
dan objektif. Di samping itu, ada pula perbedaan pola tangga tersebut tergolong tidak miskin.
perubahan tingkat kemiskinan antar tiga simulasi.
Perbedaan ini terlihat pada perbandingan antara hasil Gambar 22. Posisi Peserta HKm di Kalibiru
simulasi 1 dengan simulasi 3. Pada metode ini, tingkat
kemiskinan hasil simulasi 3 mengalami penurunan
terhadap Garis Kemiskinan (GK) Unit Konsumen
dibandingkan hasil simulasi 1, di mana persentase Standar dengan Simulasi 1, 2, dan 3
rumah tangga miskin pada simulasi 3 di Kalibiru lebih
kecil dari pada simulasi 1. Sementara itu, tidak ada
perubahan persentase rumah tangga miskin di Selo
Timur untuk simulasi 1 dan 3.
Selain perbedaan, ada juga persamaan pola hasil
perhitungan antara metode ini dengan metode
kombinasi subjektif dan objektif. Persamaannya
terletak pada pola perubahan antara simulasi 1 dengan
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
simulasi 2. Dimana simulasi 2 pada dua metode
tersebut menghasilkan peningkatan persentase
rumah tangga miskin di Kalibiru dan Selo Timur. Gambar 23. Posisi Peserta HKm di Selo Timur
Peningkatan di Kalibiru lebih besar dari pada Selo terhadap Garis Kemiskinan (GK) Unit Konsumen
Timur. Meskipun ada persamaan peningkatan antara Standar dengan Simulasi 1, 2, dan 3
dua metode tersebut, peningkatan dengan metode
kombinasi subjektif dan objektif lebih banyak
dibandingkan metode unit konsumen standar.
Posisi status kemiskinan rumah tangga terhadap
garis kemiskinan metode unit konsumen standar
dari tiga simulasi yang dilakukan di Kalibiru dan
Selo Timur terlukis pada gambar dibawah. Gambar
ini menunjukkan keberadaan tiap rumah tangga di
kelompoknya masing-masing (miskin atau tidak
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
miskin) dan seberapa besar jarak rumah tangga dari
garis kemiskinan (GK) unit konsumen standar. Garis
income simulasi 1, 2, dan 3 yang berada di bawah
garis lurus hitam (GK) menegaskan bahwa income
105
Tabel 30. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan Metode Unit Konsumen Standar
di Desa Namo
Peserta HKm Bukan Peserta HKm
Desa Total % n Total % n
Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin
Namo 15,0 85,0 100 20 25,0 75,0 100 60
Sumber: Hasil pengolahan data survei PPK LIPI 2014
Pengukuran tingkat kemiskinan dengan metode Unit perbedaan besarnya tingkat kemiskinan untuk dua
Konsumen Standar (UKS) ini sejalan dengan hasil metode tersebut. Dengan metode UKS, persentase
metode Kombinasi Subjektif dan Objektif (KSO). rumah tangga peserta HD yang tergolong miskin
Dimana keduanya menghasilkan tingkat kemiskinan hanya setengah dari hasil metode KSO, yaitu hanya
rumah tangga peserta HD di Namo lebih rendah dari 15%.
pada bukan peserta HD. Meskipun demikian, ada
(http://www.bps.go.id). Nilai garis kemiskinan ini Dengan begitu dapat dikatakan pula keadaan ekonomi
yang dipakai sebagai batasan rumah tangga yang rumah tangga bukan peserta HD di Namo lebih baik
disurvei di Desa Namo. Suatu rumah tangga di desa dari pada peserta HD.
ini dikategorikan miskin apabila pengeluaran per Hasil tersebut berlawanan dengan hasil perhitungan
kapita per bulan dari rumah tangga tersebut lebih kecil tingkat kemiskinan metode KSO dan UKS, hasil
(<) dari Rp220.813,-. metode KSO dan UKS menunjukan persentase rumah
Dengan kriteria ini diperoleh tingkat kemiskinan tangga peserta HD yang tergolong miskin lebih
di Desa Namo sebesar 25% untuk peserta HD dan kecil dari bukan peserta HD. Perbedaan ini dapat
8,3% bagi bukan peserta HD, dengan perbedaan disebabkan adanya ketidaksetaraan variabel yang
tingkat kemiskinanya yang cukup besar yaitu 16,7%. digunakan dalam pengukuran tingkat kemiskinan
Berarti jumlah rumah tangga peserta HD yang metode BPS dengan KSO dan UKS, di mana metode
miskin lebih banyak dari pada bukan peserta HD. Ini BPS memakai variabel pengeluaran sedangkan
mencerminkan total pengeluaran rumah tangga bukan metode KSO dan UKS menggunakan variabel
peserta HD lebih besar dibandingkan peserta HD. pendapatan.