Pemanfaatan Blotong Pada Budidaya Tebu PDF
Pemanfaatan Blotong Pada Budidaya Tebu PDF
Disusun oleh :
HELENA LEOVICI
09/281768/PN/11591
Program Studi : Agronomi
Hari/Tanggal Presentasi : Rabu/19 Desember 2012
Disusun oleh:
Nama : Helena Leovici
NIM : 09/281768/PN/11591
Makalah Seminar ini telah disahkan dan disetujui sebagai kelengkapan mata kuliah
pada semester I tahun ajaran 2012/2013 di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.
Mengetahui :
Komisi Seminar
Jurusan Budidaya Pertanian
Mengetahui :
Ketua Jurusan
Budidaya Pertanian
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
INTISARI 1
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
IV. PENUTUP 15
A. Kesimpulan 15
B. Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 16
LAMPIRAN 19
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi Kandungan Hara Pupuk Blotong Madros 10
Tabel 2. Pengaruh Dosis Blotong terhadap Brix, Rendemen, Jumlah Batang,
Panjang Batang, Bobot Segar, Produksi Tebu, Beserta Gula Kristal yang
Dihasilkan 14
PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU
(Saccharum officinarum L.) DI LAHAN KERING
INTISARI
Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) merupakan bahan baku industri gula yang merupakan
komoditas unggulan dan dibudidayakan di Indonesia. Budidaya tebu di lahan kering banyak
mengalami kendala, terutama dari pasokan air dan ketersediaan hara tanah. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tebu di lahan kering adalah dengan
memanfaatkan blotong sebagai kompos. Unsur-unsur hara yang tersusun dalam blotong dapat secara
optimal digunakan oleh tanaman tebu di lahan kering. Berdasarkan beberapa hasil penelitian,
manfaat blotong nyata pada pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah
tanaman/rumpun, jumlah anakan, bobot kering tanaman, luas daun, produksi tebu, rendemen,
bahkan produksi gula kristal. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan blotong dalam meningkatkan
kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara, menyediakan unsur hara, memperbaiki
drainase tanah, melarutkan fosfor, dan menetralisir pengaruh Aldd sehingga ketersediaan P dalam
tanah lebih tersedia. Blotong juga mampu membantu mengatasi masalah kelangkaan pupuk kimia
dan sekaligus mengatasi masalah pencemaran lingkungan.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Arifin (2008), gula merupakan salah satu komoditas khusus di bidang
pertanian yang telah ditetapkan Indonesia dalam forum perundingan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO), bersama dengan beras, jagung, dan juga kedelai. Bahan
baku industri gula yang merupakan komoditas unggulan dan dibudidayakan di
Indonesia yakni tebu (Saccharum officinarum L).
Beberapa tahun terakhir industri gula mengalami penurunan produksi hingga
mencapai titik nadir sebesar 1,48 juta ton pada tahun 1999. Sementara itu pada tahun
2002 produksi gula mencapai 1,76 juta ton, sedangkan konsumsi gula nasional
mencapai 3,3 juta ton, sehingga mencapai defisit sebesar 1,54 juta ton (Anonim, 2008).
Penurunan produksi tesebut dapat disebabkan oleh kurang optimalnya aplikasi teknis
budidaya tebu yang saat ini berkembang luas di lahan kering. Jika ditelusuri lebih lanjut,
lahan kering total di Indonesia memiliki luas sekitar 318 495,4 ha atau 74,25 % luas
areal tebu dengan total produksi gula 2,418 juta ton. Sementara total kebutuhan gula
dalam negeri tahun 2008 adalah 4.640.407 ton. Dengan demikian, kendala budidaya di
lahan kering seperti kurangnya kandungan air, bahan organik, dan unsur hara bagi
tanaman tebu sangat penting untuk diketahui dan ditemukan solusinya.
Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi terhadap gula hendaknya
segera diatasi dengan berbagai upaya yang mendukung. Beberapa upaya tersebut
meliputi perbaikan terhadap lahan-lahan pertanaman tebu, mulai dari bibit yang
digunakan, tanah yang dipakai sebagai media tanam, pemeliharaan, hingga penanganan
pascapanen, sehingga produktivitas tanaman tebu dapat mencapai optimal. Rendemen
tebu yang dihasilkan sangat dimungkinkan akan meningkat dengan produktivitas tebu
yang optimal. Hal ini berpengaruh pada kualitas dan kuantitas gula yang diproduksi.
Dalam proses produksinya, selain gula, industri gula juga menghasilkan buangan
padat, cair, maupun gas. Buangan padat berupa blotong, abu tungku, abu terbang,
sedangkan buangan gas adalah gas cerobong yang keluar dari cerobong dan sulfur
dioksida dari pembakaran belerang dan tangki sulfitasi. Baik buangan padat, cair
maupun gas apabila tidak dikelola secara benar akan dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran lingkungan (Murtinah, 1990).
Blotong atau disebut “filtermud” adalah kotoran nira tebu dari proses pembuatan
gula yang disebut sebagai byproduct. Persentase blotong yang dihasilkan dari tiap
hektar pertanaman tebu yaitu sekitar 4-5%. Kotoran nira ini terdiri dari kotoran yang
dipisahkan dalam proses penggilingan tebu dan pemurnian gula. Persentase kotoran nira
ini cukup tinggi yaitu 9-18% dari tebu basah, dan sangat cepat terdekomposisi menjadi
kompos. Pada umumnya blotong ini diakumulasi di lapangan terbuka di sekitar pabrik
gula, sebelum dimanfaatkan untuk pertanian (Lahuddin, 1996). Limbah pabrik tersebut
dapat dimanfaatkan menjadi salah satu alternatif solusi sebagai pupuk kompos dalam
budidaya tanaman tebu di lahan kering guna meningkatkan pertumbuhan dan hasil tebu
itu sendiri.
Percobaan penggunaan kompos blotong sebagai pupuk organik telah banyak
dilakukan dalam mempelajari peranannya pada sifat-sifat tanah maupun efeknya pada
tanaman. Pemberian blotong dapat meningkatkan kandungan hara dalam tanah terutama
unsur N, P, dan Ca serta unsur mikro lainnya. Peranan kompos blotong pada tanah dapat
dipastikan sama dengan peranan kompos atau pupuk organik lainnya dalam
memperbaiki sifat-sifat kesuburan tanah.
B. Tujuan
Mengetahui manfaat blotong pada budidaya tebu di lahan kering.
II. GAMBARAN UMUM TANAMAN TEBU
A. Pengertian Blotong
Blotong adalah hasil endapan dari nira kotor (sebelum dimasak dan dikristalkan
menjadi gula pasir) yang disaring di rotary vacuum filter. Blotong merupakan limbah
pabrik gula berbentuk padat seperti tanah berpasir berwarna hitam, mengandung air, dan
memiliki bau tak sedap jika masih basah. Bila tidak segera kering akan menimbulkan
bau busuk yang menyengat. Blotong masih banyak mengandung bahan organik,
mineral, serat kasar, protein kasar, dan gula yang masih terserap di dalam kotoran itu
(Hamawi, 2005; Kurnia, 2010; Purwaningsih, 2011).
Menurut Kuswurj (2009), di antara limbah pabrik gula yang lain, blotong
merupakan limbah yang paling tinggi tingkat pencemarannya dan menjadi masalah bagi
pabrik gula dan masyarakat. Limbah ini biasanya dibuang ke sungai dan menimbulkan
pencemaran karena di dalam air bahan organik yang ada pada blotong akan mengalami
penguraian secara alamiah, sehingga mengurangi kadar oksigen dalam air dan
menyebabkan air berwarna gelap dan berbau busuk. Oleh karena itu, jika blotong dapat
dimanfaatkan akan mengurangi pencemaran lingkungan.
A. Kesimpulan
Blotong dapat meningkatkan pertumbuhan, hasil, rendemen, bahkan produksi gula
kristal tebu di lahan kering. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan blotong dalam
meningkatkan kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara, menyediakan
unsur hara, memperbaiki drainase tanah, melarutkan fosfor, dan menetralisir pengaruh
Aldd sehingga ketersediaan P dalam tanah lebih tersedia. Blotong juga mampu
membantu mengatasi masalah kelangkaan pupuk kimia dan sekaligus mengatasi
masalah pencemaran lingkungan.
B. Saran
Prioritas dalam penentuan aplikasi blotong sebaiknya berdasarkan kandungan
bahan organik tanah. Sebelum aplikasi diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan
analisis tanah yang dapat mewakili sehingga pemberian blotong dapat lebih tepat
sasaran. Selain itu, penting bagi blotong untuk melalui proses pengomposan karena
dengan begitu blotong dapat terdekomposisi dengan baik dan akhirnya mampu
menyediakan unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Konsep Peningkatan Rendeman Tebu untuk Mendukung Proses Akselerasi
Industri Gula Nasional. <http://p3gi.net/images/opini/Konsep%20Peningkatan%
Rendemen.pdf>. Diakses pada tanggal 21 November 2012.
Deptan. 2007. Pedoman Teknis Pemanfaatan Limbah Perkebunan Menjadi Pupuk Organik.
Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Gaur, A. C. 1981. Improving Soil Fertility through Organic Recycling: A Manual of Rural
Composting. FAO. The United Nation, Rome.
Kirana, K. 2008. Penentuan dosis pemupukan kompos blotong pada tebu lahan kering
(Saccharum officinarum L.) varietas PS 862 dan PS 864. Skripsi. Program Sarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kurnia, W. R. 2010. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula dalam rangka Zero
Emission. <www.lordbroken.wordpress.com>. Diakses pada tanggal 22
November 2012.
Lahuddin. 1996. Pengaruh kompos blotong terhadap beberapa sifat fisik dan kandungan
unsur hara tanah serta hasil tanaman jagung. Jurnal Penelitian Pertanian 1 : 13-18.
Mulyadi, M. 2000. Kajian pemberian blotong dan terak baja pada tanah Kandiudoxs
Pelaihari dalam upaya memperbaiki sifat kimia tanah, serapan N, Si, P, dan S
serta pertumbuhan tebu. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Murtinah, S. 1990. Penelitian air buangan industri gula proses sulfitasi. Buletin Penelitian
Pengembangan Industri 12 : 7-20.
Nahdodin, S. H., I. Ismail, dan J. Rusmanto. 2008. Kiat Mengatasi Kelangkaan Pupuk
untuk Mempertahankan Produktivitas Tebu dan Produksi Gula Nasional.
<http//www.sugarresearch.org/wpcontent/uploads/2008/12/kelangkaan-
pupuk.pdf>. Diakses pada tanggal 21 November 2012.
Parinduri, S. 2005. Respon tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) terhadap pemberian
blotong yang diperkaya dengan bakteri pelarut fosfat dan azospirillum. Tesis.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purwaningsih, E. 2011. Pengaruh pemberian kompos blotong, legin, dan mikoriza terhadap
serapan hara N dan P tanaman kacang tanah. Widya Warta No 02 Tahun XXXV.
Putri, Renata S., Junaidi T. Nurhidayati, Wiwit Budi W. 2010. Uji Ketahanan Tanaman
Tebu Hasil Persilangan (Saccharum spp. hybrid) Pada Kondisi Lingkungan
Cekaman Garam (NaCl). Undergraduate Thesis. Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. Surabaya.
Sastrosumarjo, S. 1995. Sistem Tanah (Cropping System) pada Pertanian Lahan Kering
Berkelanjutan. Dies Natalis XXXII Institut Pertanian Bogor Diskusi
Pengembangan Teknologi Tepat Guna di Lahan Kering untuk Mendukung
Pertanian Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suhadi, Sumojo, dan Marsadi. 1988. Beberapa Masalah pada Tanah di Perkebunan Tebu
Lahan Kering di Luar Jawa. Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering. P3GI,
Pasuruan.
Toharisman, A., Suhadi, dan M. Mulyadi. 1991. Pemakaian Blotong untuk Meningkatkan
Kualitas Tebu di Lahan Kering. Pertemuan Teknis TT I/1991. P3GI, Pasuruan.
Tisdale, S. L., W. L. Nelson, and J. D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers.
MacMillan Pub. Co., New York.
Wargani, Supriyanto, dan Samsuri. 1988. Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula sebagai Bahan
Kompos dalam menunjang Peningkatan Produksi Tanaman Tebu di Pabrik Gula
Cintamanis. Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering P3GI Pasuruan, Pasuruan.
LAMPIRAN
Daftar pertanyaan dan jawaban hasil diskusi seminar kelas “Pemanfaatan Blotong
pada Budidaya Tebu (Saccharum officinarum L.) di Lahan Kering”.
1. Galuh Asrinda Titi M. (11772)
Pertanyaan:
Pada penelitian Purwono et al. (2011), nampak bahwa pemberian kompos blotong 5
ton/ha dapat meningkatkan rendemen tebu dan produksi gula kristal secara signifikan.
Akan tetapi, pada pemberian kompos blotong sebanyak 7,5 ton/ha justru memberikan
pengaruh sebaliknya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Jawaban:
Pada dasarnya, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sama halnya dengan
manusia yang membutuhkan suplai makanan. Ketika dalam kondisi kekurangan makan,
manusia tersebut akan lemas dan tidak banyak aktivitas yang dapat dikerjakan. Begitu
juga ketika dalam kondisi kelebihan makan (terlalu kenyang), manusia bukan menjadi
sangat kuat tetapi justru sulit melakukan aktivitas. Hal inilah yang dialami oleh tebu
yang diberikan dosis blotong sebanyak 7,5 ton/ha. Kebutuhan yang dikehendakinya
secara ideal terpenuhi pada dosis blotong 5 ton/ha sehingga apabila dosis ditambah
(sudah tidak sesuai dengan kebutuhan) maka justru aktivitas metabolismenya
terganggu/terhambat.