Asta Kosala Kosali
Asta Kosala Kosali
PENDAHULUAN
Agama Hindu adalah agama yang rill mempunyai tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan Agama Hindu yang ingin dicapai dan diwujudkan dalam kehidupan ini
adalah berupa Moksa dan Jagathita melalui jalan dharma.
Bila dikaji secara mendalam hakekat dan tujuan agama Hindu dengan tujuan
pembangunan nasional adalah selaras, sama dan sesuai yaitu sama-sama ingin
mewujudkan keseimbangan dalam lahir dan batinnya, sebab subyeknya sama yaitu
manusia dan obyeknya pun sama yaitu keseimbangan dalam lahir dan batin
manusia. Keseimbangan lahir dan batin manusia akan mampu menciptakan
kesejahteraan dalam lahir dan kebahagiaan dalam batin adalah selaras dengan
manusia seutuhnya yaitu tenang, aman dan damai dalam kehidupan lahir dan batin
berdasarkan dharma agama dan dharma negaranya.
Salahsatu nilai kebijaksanaan (kearifan) lokal Bali yang terkenal di kancah nasional
dan internasional adalah mengenai tata ruang dan bangunan yang disebut “Asta
Kosala Kosali,” yang merupakan bagian tak terpisahkan, bahkan mungkin wujud
konkret dari penerapan konsep ‘Tri Hita Karana” yang juga tak kalah
terkenalnya. Tri Hita Karana yang dimaksud adalah Hubungan yang harmonis
dengan Tuhan, dengan Sesama Manusia dan Lingungan
Membangun hubungan yang harmonis kepada Tuhan dengan jalan Bhakti, Kepada
sesama manusia dengan dasar punia dan Lingukngan dengan jalan Asih. Yadnya
adalah landasan melakukan asih,punia dan bhakti tersebut ketiga hubungan tersebut
merupkan suatu kesatuan yang simultan dan sinergis. Tidak terpisah-pisah satu
dengan lainnya.
Awalnya, Asta Kosala Kosali dibuat sebagai pedoman dalam membuat Pura di Bali.
Namun kehidupan masyarakat Bali, utamanya penganut Hindu, tidak bisa
dilepaskan dari aktivitas di Pura. Bahkan di rumahpun ada Pura keluarga yang
disebut “Pemerajan” atau “Sanggah”, minimal Sanggah Kemulan.
Oleh sebab itu, Asta Kosala Kosali kemudian dijadikan acuan dasar dalam setiap
membangun apapun di Bali, termasuk pengaturan atau Tata Kota dan Wilayah
Dalam Desa Pakraman pembangunan dalam desa pekraman sangat penting untuk
meningkatkan hubungan yang harmonis ( Tri Hita Karana) sesuai dengan
pengertiaan dari desa pakraman yang artinya membangun kehidupan bersama
berdasarkan pradigma petunjuk ajaran kerohanian.
1.2.1. Bagaimana Pengertian Asta Kosala Kosali Dalam Konsep Tri Hita Karana?
1.2.2. Bagaimana Pembangunan Desa Pakraman Dengan Konsep Tri Hita Karana?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Untuk Mengetahui Pengertian Asta Kosala Kosali Dalam Tri Hita Karana
1.3.2. Untuk mengetahui Pembangunan Desa Pakraman Dengan Konsep Tri Hita
Karana
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Asta Kosala Kosali dalam Konsep Tri Hita Karana
Asta Kosala Kosali adalah aturan mengenai ukuran dan tata ruang bangunan di Bali,
yang pertamakalinya dibuat oleh dua orang suci Hindu, yakni: Bhagawan
Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan.
Asta Bumi, yang mengatur tentang luas halaman Pura, pembagian ruang
halaman, dan jarak antar bangunan pura.
1. Wilayah Utama Mandala : Utama mandala adalah bagian yang paling sakral
terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi. Di wilayah ini, dibangun
pelinggih-pelinggih (bangunan-bangunan Pura) utama. Tujuan dari penataan
pelinggih (baik tata ukuran dan jarak maupun ruang) di sini dimaksudkan agar
terpancar energi suci sehingga terbina hubungan yang harmonis antara
penyungsung (pemuja) dengan yang disungsung (dipuja). Kokretnya hubungan
yang harmonis antara manusia dengan penciptanya yang dalam konsep “Tri Hita
Karana” disebut “Parahiyangan” (ruang untuk melakukan aktivitas hubungan
antara manusia dengan penciptanya)
Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap
berbentuk segi empat. Namun dipisahkan oleh sekat-sekat khusus, sebagai berikut:
Batas antara Utama Mandala dengan Utama Mandala adalah “Gelung Kori”
atau “Candi Kurung”
Batas antara Madya Mandala dengan Nista Mandala adalah “Candi Bentar”
Batas antara Nista Mandala dengan wilayah luar, tidak ada, atau berhadapan
dengan jalan
Membangun Pura sesuai dengan Asta Kosali, ada tahapan-tahapan tertentu yang
harus dijalankan, agar bangunan Puranya ‘metaksu’ (=berisi energi suci), yakni:
Semua rangkaian prosesi itu dilakukan sesuai tingkatan, runut dan runtutannya yang
rumit. Peranan seorang ‘Undagi’ dalam hal ini sangat sentral—mulai dari tahap
pertama hingga akhir, sejatinya, adalah satu paket yang terdiri dari: atma, angga,
dan khaya, seutuhnya sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami
profesi lain.
2.2 Pembangunan Desa Pakraman Dengan Konsep Tri Hita Karana
Istilah Desa Pakraman berasal dari kata Desa dan Pakraman. Desa berasal
dari bahasa Sanskrta dari kata “dis” yang artinya patokan atau petunjuk rohani.
Karena itu ada ajaran “Hitopadesa” yang berasal dari kata “hita” artinya sejahtera
atau bahagia dan “Desa” artinya petunjuk kerohanian. Karena itu dalam kitab
Hitopadesa mengajarkan tentang ajaran kerohanian untuk mencapai kehidupan
yang sejahtera dan bahagia. Dalam Sarasamuccaya. 40 ada dinyatakan salah satu
orang yang dapat disebut Sista atau Pandita ahli adalah “sang pandahan upadesa”.
Artinya orang yang memberikan atau menyebarkan ajaran atau nasehat kerohanian.
Ada juga istilah Brahmopadesa yang berasal dari kata “Brahma” artinya Tuhan dan
“upa desa” artinya sekitab ajaran kerohanian. Brahmopadesa artinya ajaran untuk
mencapai Brahman. DR Rajendra Misra mengistilahkan bahwa Nitisastra itu adalah
Upadesa Kawya. Yang dimaksudkan Upadesa Kawya itu adalah karangan yang
memuat ajaran pendidikan kerohanian. Jadi menurut DR Rajendra Misra istilah
“Upadesa” itu artinya pendidikan tentang kerohanian. Di Bali ada Desa Pakraman
yang berasal dari kata Desa dan Pakraman. Kata “Pakraman” berasal dari kata
“grama” yang artinya “Desa” dalam pengertian bahasa Indonesia dewasa ini. Di
India ada Grama Desa yang pengertiannya sangat paralel dengan pengertian Desa
Pakraman di Bali. Demikian juga di India ada Grama Bank yang artinya Bank Desa
sejenis LPD di Desa Pakraman di Bali. Grama artinya Desa dalam pengertian kini
di Indonesia.
Dalam kitan Negara Krtagama ada disebutkan Desa Drsta. Dalam bahasa
Sanskrta kata “drsta” artinya pandangan atau paradigma. Desa Drsta
maksudnyamembangun kehidupan bersama berdasarkan paradigma petunjuk
ajaran kerohanian.
Dalam Bhagawad Gita XVII. 11 ada istilah “widhidrsta”. Istilah ini berasal
dari kata “widhi” artinya yang mencipta atau takdir. Dalam Bhagawad Gita ini kata
“widhi” artinya Mantra Weda yang masih murni belum disentuh oleh pandangan
dari pikiran dan perasaan manusia. Dengan kata lain Widhi itu adalah sabda Tuhan
yang masih murni. Sedangkan Widhidrsta itu adalah sabda Tuhan yang sudah
disentuh oleh pikiran dan perasaan manusia sampai menjadi pandangan manusia.
Mantra Veda yang masih murni itu nilai kesuciannya tidak terbatas. Setelah
dipelajari oleh manusia dengan kemampuan pikiran dan perasaan yang serba
terbatas itu muncullah pandangan atau paradigma tertentu dari manusia. Mantra
Veda yang sama tentunya bisa menimbulkan pandangan yang berbeda-beda. Ada
sekelompok orang yang memiliki pandangan yang sama. Mereka inilah membentuk
peguyuban hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu. Dari sinilah awalnya
terbentuk peguyuba hidup bersama yang disebut Desa Drsta dimasa lampau pada
jaman Majapahit di Jawa.
Bali mendapat pengaruh yang amat kuat dari Jawa dari jaman sebelum Raja
Udayana sampai jaman Majapahit. Nampaknya pengaruh inilah yang menyebabkan
adanya Desa Pakraman di Bali. Sejak pengaruh Belanda Desa Pakraman itu
menjadi Desa Adat. Pada kenyataannya Desa Pakraman memiliki fokus kegiatan
yaitu kegiatan untuk menyelenggarakan Bhakti umat pada Tuhan, menata
kewajiban dan hak-hak anggota Desa Pakraman dalam kaitannya dengan hidup
bersama dan menata tata guna wilayah Desa Pakraman agar senantiasa berfungsi
sebagai sarana hidup dan kehidupan bersama mewujudkan tujuan hidup mencapai
Hita Purusa. Dari kenyataan inilah Bapak I Gst Ketut Kaler (alm) th 1969
menyatakan dalam makalahnya implementasi Tri Hita Karana sebagai Parhyangan,
Pawongan dan Palemahan. Dengan wadah Parhyangan Desa Pakraman menata
sistem pemujaan pada Tuhan terutama di Pura Kahyangan Tiga dan juga di Pura
yang menjadi tanggung jawab Desa Pakraman untuk menatanya. Pawongan adalah
untuk menata perilaku anggota Krama dalam melakukan hubungan harmonis pada
Tuhan dengan pemujaan berdasarkan Bhakti, hidup saling mengabdi berdasarkan
punia dan memelihara lingkungan alam berdasarkan konsep “asih”. Palemahan
adalah suatu areal sebagai wilayah Desa Pakraman untuk ditata agar semuanya
dapat menjadi sarana untuk melakukan tiga kegiatan hidup yaitu berbhakti pada
Tuhan, hidup untuk saling “mapunia” dengan sesama dan untuk melakukan
pelestarian pada sarwa prani atau alam lingkungan. Hal itulah menyebabkan areal
Desa Pakraman dibagi menjadi tiga areal yaitu Utama Mandala, Madhya Mandala
dan Nistha Mandala.
Utama Mandala adalah simbol Swah Loka yaitu areal untuk melakukan
kegiatan hiudp mendekatkan diri pada Tuhan. Di Utama Mandala itu dibangun
fasilitas sakral seperti tempat pemujaan, tempat air suci untuk mohon Tirtha, ada
kawasan suci untuk melakukan kegiatan upacara dalam perayaan hari-hari
keagamaan seperti tempat bangunan wantilan untuk mementaskan tarian sakral,
tempat Melasti dan areal-areal yang sejenis.
Nistha Mandala adalah simbol Bhur Loka seperti areal kuburan, kawasan
hijau di wilayah pemukiman yang disebut : teba”, areal hutan dan sejenisnya.
Di dalam tiga Mandala atau areal ini diwujudkan juga fasilitas untuk
melakukan ajaran Tri Hita Karana. Misalnya di Balai Banjar ada juga pembagian
tiga wilayah Banjar. Di Banjar ada juga tempat pemujaan, ada tempat pesamuan,
ada dapur. Dahulu umumnya setiap Banjar punya areal yang tak terbangun yang
disebut “teba”. Pura dibangun di areal Uranus atau Keluwan Banjar. Yang dipuja
di Pura Balai Banjar adalah Bhatara Penyarikan. Bhatara Penyarikan ini adalah
Tuhan dalam fungsinya untuk menuntun umat agar sukses menatapi kehidupannya
dari satu Asrama ke Asrama yang berikutnya. Dari Brahmacari Asrama menuju
Grhastha Asrama dan selanjutnya menuju Wanaprastha Asrama. Selanjutnya lepas
dari anggota Banjar menuju Sannyasin Asrama. Kata “Nyarik” dalam bahasa Bali
berarti selesai secara bertahap.
Pasar juga ada areal untuk mendirikan Pura Melanting, ada tempat berjualan
dan ada tempat mengolah sampah. Di setiap rumah ada juga Merajan sebagai
hulunya pakarangan rumah. Di setiap kamar umumnya ada juga Pelangkiran
sebagai tempat menghaturkan banten sebagai wujud bhakti pada Tuhan. Jadinya di
setiap denyut kehidupan itu ada fasilitas untuk membangun sikap hidup yang
seimbang antara hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
sesamanya dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya sebagaimana
diajarkan dalam Tri Hita Karana. Semuanya itu untuk membangun sikap seimbang
agar setiap tahapan hidup yang disebut Asrama menjadi sukses. Demikianlah Desa
Pakraman adalah wadah Catur Asrama dengan mengembangkan profesi yang
disebut Catur Varna untuk mewujudkan empat tujuan hidup mencapai Dharma,
Artha, Kama dan Moksa.
Adanya pemujaan Tri Murti di Pura Kahyangan Tiga itu adalah untuk
meningkatkan kualitas struktur Tri Guna agar umat dapat tuntunan dalam
mengupayakan kehidupan yang Hita Purusa itu. Pemujaan Tuhan Yang Maha Esa
sebagai Tri Murti di Desa Pakraman itu juga untuk menuntun umat agar
menyelenggarakan hidupnya dengan ajaran Tri Kona. Ajaran Tri Kona itu adalah
ajaran untuk mengendalikan dinamika hidup dalam tiga dinamika yaitu Utpatti,
Sthiti dan Pralina. Utpatti adalah; Idealnya hidup ini untuk menciptakan sesuatu
yang patut diciptakan. Ini artinya hidup dituntun untuk kreatif menciptakan sesuatu
yang patut diciptakan. Sthiti adalah: idealnya hidup ini memelihara dan melindungi
sesuatu yang seyogyanya dipelihara dan dilindungi. Sedangkan Pralina adalah
idealnya hidup ini meniadakan sesuatu yang sepatutnya ditiadakan. Oleh karena
melakukan dinamika hidup berdasarkan ajaran Tri Kona tidak demikian mudah,
maka di pujalah Tuhan sebagai Dewa Tri Murti untuk memohon tuntunan dan
kekuatan moral dan mental. Hita Purusa akan dicapai kalau dapat melakukan
dinamika hidup berdasarkan ajaran Tri Kona itu dengan sebaik-baiknya. Dalam
Pujastawa Banten Penyeneng kita jumpai stawa sbb: Om kaki penyeneng nini
penyeneng, kajenengan dening Brahma, Wisnu, Iswara. Makna pujastawa ini
melukiskan permohonan tentang hidup ini kepada Tuhan dalam manifestasinya
sebagai Dewa Tri Murti. Nyeneng artinya hidup. Idealnya hidup itu adalah
seimbang antara jiwa dan raga. Kaki dan nini simbol jiwa dan raga atau purusa dan
pradana. Sedangkan “kejenengan dening Brahma Wisnu dan Iswara” adalah lukisan
hidup untuk memohon tuntunan Tuhan sebagai Tri Murti agar dapat mengendalikan
dinamika hidup yang ideal melakukan Tri Kona. Kreatif mencipta sesuatu yang
dapat menguatkan eksistensi hidup mewujudkan tujuan hidup tergolong Utpatti
dalam Tri Kona Konsisten memelihara dan melindungi segala sesuatu yang baik
dan benar serta telah terbukti berguna untuk mensukseskan tercapainya tujuan
hidup yang disebut Catur Purusa Artha tergolong Sthiti dalam Tri Kona. Demikian
juga dengan cermat menghilangkan sesuatu yang sudah jelas dapat menghambat
dinamika hidup mewujudkan tujuan hidup. Hal ini tergolong upaya Pralinadalam
Tri Kona. Kalau Tri Kona dapat dilakukan secara baik maka Hita Purusa atau hidup
bahagian sebagai tujuan utama Tri Hita Karana pun akan dapat dicapai.
Jadinya tujuan Mpu Kuturan mengajar pendirian Pura Desa, Pura Puseh dan
Pura Dalem di setiap Desa Pakraman adalah sebagai sarana untuk meningkatkan
dinamika hidup yang baik pada umat di lingkungan Desa Pakraman. Dinamika
hidup yang baik itu adalah dinamika hidup berdasarkan ajaran Tri Guna dan Tri
Kona.
Acara atau tradisi yang dikembangkan oleh Desa Pakraman harus menjamin
adanya kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan umat yang menjadi anggota
Desa Pakraman. Pengembangan tradisi beragama Hindu di Desa Pakraman itu
disebut Desa Acara yang harus bersumber dari Sadacara atau kebenaran Veda
(Satya) yang ditradisikan. Desa Acara ini harus menjamin kemerdekaan Kula Cara
atau tradiri keluarga untuk mengatur keluarganya masing-masing sepanjang tidak
bertentangan dengan Desa Acara. Misalnya menentukan ahli waris bagi yang tidak
punya anak atau orang tua yang hanya punya anak perempuan. Adat di Bali
umumnya yang bisa sebagai ahli waris secara langsung adalah anak laki. Pada hal
dalam ajaran Hindu anak perempuan boleh ditetapkan sebagai ahli waris. Kalau
hanya punya anak perempuan atau tidak punya anak ada adat yang melarang
keluarga bersangkutan menetapkan ahli warisnya. Untuk hal-hal seperti itu harus
dibiarkan keluarga bersangkutan memutuskan. Tradisi Desa Pakraman hanyalah
sebagai saksi saja. Tidak mengintervensi Kula Cara atau keluarga menetapkan
tradisinya sendiri. Dengan kata lain Desa Acara harus menjamin kemerdekaan Kula
Cara mengatur keluarganya sendiri, sepanjang tidak bersangkutan dengan Desa
Pakraman sebagai suatu lembaga Adat Agama Hindu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pembangunan adalah merupakan suatu proses menciptakan diri yang kurang baik,
dan manusia adalah makhluk Tuhan yang mampu untuk itu sebab mempunyai budi
daya yang tinggi. Seutuhnya yang dimaksudkan adalah mencakup lahir dan batin.
Pembangunan lahir adalah pembangunan pisiknya menjadi sehat dan kuat melalui
berbagai bidang pembangunan yang telah dicanangkan tahap demi tahap baik
melalui pembangunan mentalnya menjadi sadar dan bertanggung jawab sebagai
manusia makhluk tertinggi, semurna dan mampu menjadi subyek dan obyek dalam
kehidupannya untuk membangun bangsanya
Asta Kosala Kosali adalah aturan mengenai ukuran dan tata ruang bangunan
di Bali, yang pertamakalinya dibuat oleh dua orang suci Hindu, yakni: Bhagawan
Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan.
Salahsatu nilai kebijaksanaan (kearifan) lokal Bali yang terkenal di kancah nasional
dan internasional adalah mengenai tata ruang dan bangunan yang disebut “Asta
Kosala Kosali,” yang merupakan bagian tak terpisahkan, bahkan mungkin wujud
konkret dari penerapan konsep ‘Tri Hita Karana” yang juga tak kalah terkenalnya
Utama Mandala adalah simbol Swah Loka yaitu areal untuk melakukan
kegiatan hiudp mendekatkan diri pada Tuhan. Di Utama Mandala itu dibangun
fasilitas sakral seperti tempat pemujaan, tempat air suci untuk mohon Tirtha, ada
kawasan suci untuk melakukan kegiatan upacara dalam perayaan hari-hari
keagamaan seperti tempat bangunan wantilan untuk mementaskan tarian sakral,
tempat Melasti dan areal-areal yang sejenis.
Nistha Mandala adalah simbol Bhur Loka seperti areal kuburan, kawasan
hijau di wilayah pemukiman yang disebut : teba”, areal hutan dan sejenisnya.
Di dalam tiga Mandala atau areal ini diwujudkan juga fasilitas untuk
melakukan ajaran Tri Hita Karana.
3.2. Saran