Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama Hindu adalah agama yang rill mempunyai tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan Agama Hindu yang ingin dicapai dan diwujudkan dalam kehidupan ini
adalah berupa Moksa dan Jagathita melalui jalan dharma.

Pembangunan nasional yang telah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia,


mempunyai tujuan yang pasti sebagaimana disebutkan dengan satu kalimat yang
oleh masyarakatnya telah secara umum pula diketahui yaitu untuk membangun
manusia Indonesia seutuhnya.

Pengertian pembangunan adalah merupakan suatu proses menciptakan diri yang


kurang baik, dan manusia adalah makhluk Tuhan yang mampu untuk itu sebab
mempunyai budi daya yang tinggi. Seutuhnya yang dimaksudkan adalah mencakup
lahir dan batin. Pembangunan lahir adalah pembangunan pisiknya menjadi sehat
dan kuat melalui berbagai bidang pembangunan yang telah dicanangkan tahap demi
tahap baik melalui pembangunan mentalnya menjadi sadar dan bertanggung jawab
sebagai manusia makhluk tertinggi, semurna dan mampu menjadi subyek dan
obyek dalam kehidupannya untuk membangun bangsanya.

Bila dikaji secara mendalam hakekat dan tujuan agama Hindu dengan tujuan
pembangunan nasional adalah selaras, sama dan sesuai yaitu sama-sama ingin
mewujudkan keseimbangan dalam lahir dan batinnya, sebab subyeknya sama yaitu
manusia dan obyeknya pun sama yaitu keseimbangan dalam lahir dan batin
manusia. Keseimbangan lahir dan batin manusia akan mampu menciptakan
kesejahteraan dalam lahir dan kebahagiaan dalam batin adalah selaras dengan
manusia seutuhnya yaitu tenang, aman dan damai dalam kehidupan lahir dan batin
berdasarkan dharma agama dan dharma negaranya.

Salahsatu nilai kebijaksanaan (kearifan) lokal Bali yang terkenal di kancah nasional
dan internasional adalah mengenai tata ruang dan bangunan yang disebut “Asta
Kosala Kosali,” yang merupakan bagian tak terpisahkan, bahkan mungkin wujud
konkret dari penerapan konsep ‘Tri Hita Karana” yang juga tak kalah
terkenalnya. Tri Hita Karana yang dimaksud adalah Hubungan yang harmonis
dengan Tuhan, dengan Sesama Manusia dan Lingungan

Membangun hubungan yang harmonis kepada Tuhan dengan jalan Bhakti, Kepada
sesama manusia dengan dasar punia dan Lingukngan dengan jalan Asih. Yadnya
adalah landasan melakukan asih,punia dan bhakti tersebut ketiga hubungan tersebut
merupkan suatu kesatuan yang simultan dan sinergis. Tidak terpisah-pisah satu
dengan lainnya.

Awalnya, Asta Kosala Kosali dibuat sebagai pedoman dalam membuat Pura di Bali.
Namun kehidupan masyarakat Bali, utamanya penganut Hindu, tidak bisa
dilepaskan dari aktivitas di Pura. Bahkan di rumahpun ada Pura keluarga yang
disebut “Pemerajan” atau “Sanggah”, minimal Sanggah Kemulan.

Oleh sebab itu, Asta Kosala Kosali kemudian dijadikan acuan dasar dalam setiap
membangun apapun di Bali, termasuk pengaturan atau Tata Kota dan Wilayah

Dalam Desa Pakraman pembangunan dalam desa pekraman sangat penting untuk
meningkatkan hubungan yang harmonis ( Tri Hita Karana) sesuai dengan
pengertiaan dari desa pakraman yang artinya membangun kehidupan bersama
berdasarkan pradigma petunjuk ajaran kerohanian.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas permasalahan yang akan dibahas


dapat penulis rumuskan sebagai berikut:

1.2.1. Bagaimana Pengertian Asta Kosala Kosali Dalam Konsep Tri Hita Karana?

1.2.2. Bagaimana Pembangunan Desa Pakraman Dengan Konsep Tri Hita Karana?
1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penyusun makalah ini, yaitu:

1.3.1. Untuk Mengetahui Pengertian Asta Kosala Kosali Dalam Tri Hita Karana

1.3.2. Untuk mengetahui Pembangunan Desa Pakraman Dengan Konsep Tri Hita
Karana
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Asta Kosala Kosali dalam Konsep Tri Hita Karana

Asta Kosala Kosali adalah aturan mengenai ukuran dan tata ruang bangunan di Bali,
yang pertamakalinya dibuat oleh dua orang suci Hindu, yakni: Bhagawan
Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan.

Aturan Asta Kosala Kosali terbagi menjadi 2 bagian utama, yakni:

 Asta Kosala, yang mengatur tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol)


bangunan Pura, di Bali, yakni: ukuran panjang, lebar, tinggi, tingakatan
(‘pepalih’) dan hiasan.

 Asta Bumi, yang mengatur tentang luas halaman Pura, pembagian ruang
halaman, dan jarak antar bangunan pura.

Setiap ruang di Bali, terbagi menjadi 3 wilayah ruang, yakni:

1. Wilayah Utama Mandala : Utama mandala adalah bagian yang paling sakral
terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi. Di wilayah ini, dibangun
pelinggih-pelinggih (bangunan-bangunan Pura) utama. Tujuan dari penataan
pelinggih (baik tata ukuran dan jarak maupun ruang) di sini dimaksudkan agar
terpancar energi suci sehingga terbina hubungan yang harmonis antara
penyungsung (pemuja) dengan yang disungsung (dipuja). Kokretnya hubungan
yang harmonis antara manusia dengan penciptanya yang dalam konsep “Tri Hita
Karana” disebut “Parahiyangan” (ruang untuk melakukan aktivitas hubungan
antara manusia dengan penciptanya)

2. Wilayah Madya Mandala : Madya Mandala adalah bagian tengah,


menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan Utama Mandala. Di wilayah
ini dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci),
bale kulkul, bale pesandekan (tempat beristirahat), bale pesamuan (untuk rapat-
rapat), dll. Tujuan tata ruang dan bangunan di wilayah madya ini dimaksudkan agar
terpancar energi positive sehingga terbina hubungan yang harmonis antara
penyungsung (pemuja) dengan penyusngsung lainnya. Kokretnya, hubungan yang
harmonis antara manusia dengan manusia lainnya yang dalam konsep Tri Hita
Karana disebut “Pawongan” (ruang untuk melakukan aktivitas hubungan antara
manusia dengan manusia)

3. Wilayah Nista Mandala : Nista Mandala adalah bagian teben, boleh


menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja
lebar halaman tetap harus sama. Di wilayah ini di bangun pelinggih yang disebut
“Lebuh”. Tujuan dibuatnya lebuh di sini dimaksudkan agar terpancar energi
positive sehingga terbina hubungan yang harmonis antara manusia dengan mahluk
lainnya seperti buthakala dan alam bawah lainnya yang dalam Tri Hita Karana
disebut “Palemahan” (ruang aktivitas para buthakala). Karena ini halaman, maka
dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan.

Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap
berbentuk segi empat. Namun dipisahkan oleh sekat-sekat khusus, sebagai berikut:

 Batas antara Utama Mandala dengan Utama Mandala adalah “Gelung Kori”
atau “Candi Kurung”

 Batas antara Madya Mandala dengan Nista Mandala adalah “Candi Bentar”

 Batas antara Nista Mandala dengan wilayah luar, tidak ada, atau berhadapan
dengan jalan

Membangun Pura sesuai dengan Asta Kosali, ada tahapan-tahapan tertentu yang
harus dijalankan, agar bangunan Puranya ‘metaksu’ (=berisi energi suci), yakni:

a. Nyanggra (Persiapan immaterial) : Berawal dari nyanggra pengempon,


pengemong dan penyiwi, dilanjutkan dengan nyanyan dialog ritual dengan
sesuhunan yang distanakan di pura yang dibangun. Tujuannya, untuk mendapatkan
kesepakatan atas kesepahaman sekala-niskala apa dan bagaimana membangun
pura.
b. Nyanjan (menyusunan jadwal kerja) : Dengan penetapan program dan
penjadwalannya sesuai subadewasa dilakukan nyikut, ngruak karang dan nyangga
ngurip gegulak, ngadegang sanggar wiswakarma. Keberadaan gegulak dipandang
sebagai acuan hidup modul pendimensian, setelah melalui ritus pengurip dan
pengaci—nantinya wajib di-pralina setelah bangunan selesai di-plaspas. Dengan
penjiwaan sejak awal, keseimbangan atma, angga lan khaya wewangunan dapat
terwujud.

c. Nyikut dan Ngelakar (mengukur dan menyiapkan bahan) : Ngelakar


dilakukan sesuai keperluan dan ketentuan penggunaan bahan untuk bangunan pura
yang masing-masing peruntukannya (parahyangan, pawongan, palemahan) ada
ketentuan jenis kayunya. Di mana dan bagaimana mendapatkannya, melalui
permakluman atau permohonan di ulun tegal yang mewilayahi. Pantangan kayu
tumbuh di sempadan sungai, setra, di batas, rebah tersangkut, melintang jalan,
tunggak wareng dan lainnya wajib ditaati sebagai suatu keyakinan.

d. Ngaug dan ngakit (Perakitan) ; Pekerjaan ngaug sunduk dilakukan saat


posisi matahari di mana bayangan garis atas lubang depan berimpit dengan garis
bawah lubang belakang adalah saat tepat yang ditetapkan. Posisi ngaug betaka beti
meru, pancung ngakit atap limasan nasarin dan mendem pedagingan adalah ritus-
ritus yang diyakini sebagai penjiwaan yang mampu mengantisipai ancaman
bencana gempa, petir dan badai angin ngelinus puting beliung. Dengan kemampuan
tahan bencana menjadikan karisma taksu suatu bangunan semakin diyakini
keunggulan kebenarannya yang memang terbukti dalam kajian arsitektural
tradisional.

e. Ngasren (Finishing) – Ngasren wewangunan (pekerjaan finishing) tidak


dibenarkan dengan menghilangkan sifat-sifat fisis, chemis dan karakter estetika
bahan alami yang membawa keindahan alami kodrati. Pewarnaan justru merusak di
saat usangnya yang semakin parah manakala perawatan diabaikan.

f. Ngurip/Melaspas (Memfungsikan) – Prosesnya sejak awal, ngruak karang


alih fungsi dari karang tegal menjadi karang wawangunan atau mandala pura.
Ukuran pekarangan dengan pengurip asta musti, ukuran halaman dengan pengurip
tampak ngandang, ukurang bangunan dengan pengurip nyari, guli, guli madu,
useran jari, dan bagian-bagian dari modul dimensi tiang. Tata letak dengan urip
pengider, urip perwujudan, pengurip perwujudan, pengurip gegulak, urip dina
wawaran dan urip pengurip-urip pemakuh. Maknapengurip wewangunan saat
melaspas adalah menghidupkan dengan penjiwaan sebagai bangunan sesuai
namanya. Bahan-bahan bangunan telah dimatikan saat pengadaannya menjadi
bahan bangunan. Saat upacara melaspas, jiwanya dikembalikan ke asalnya masing-
masing. Dilakukan upacara peleburan dan dihidupkan (ngurip) dengan fungsi baru
yang namanya bangunan. Bangunan inilah yang kemudian diproses penjiwaannya
sebagai suatu kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu
kelahiran dan kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam
dikawinkan antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.

g. Ngenteg Linggih (Pemantapan penggunaan) – Tahap akhir proses


pembangunan adalah ngenteg linggih. Proses ini dilakukan berdasarkan tegak wali
manut tengeran, sasih atau wewaran (solar, lunar atau galaxy system).
Pelaksanaannya sesuai ketentuan dudonan upacara dengan upakara dan pamuput-
nya masing-masing. Peranan undagi dalam rangkaian yang melibatkan seluruh
lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi apakah semua unit, bagian
dan komponen sudah berfungsi sesuai dengan hakikat akidah ruang ritual yang
direncanakan.

Begitulah proses pembangunan dilakukan, sesuai dengan panduan Asta Kosala


Kosali mulai dari nyanggra, nyanjan, nyikut dan nglakar, lalu dilanjutkan dengan
ngaug, ngakit dan ngasren, dan diakhiri dengan ngurip/melaspas dan ngenteg
linggih.

Semua rangkaian prosesi itu dilakukan sesuai tingkatan, runut dan runtutannya yang
rumit. Peranan seorang ‘Undagi’ dalam hal ini sangat sentral—mulai dari tahap
pertama hingga akhir, sejatinya, adalah satu paket yang terdiri dari: atma, angga,
dan khaya, seutuhnya sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami
profesi lain.
2.2 Pembangunan Desa Pakraman Dengan Konsep Tri Hita Karana

Istilah Desa Pakraman berasal dari kata Desa dan Pakraman. Desa berasal
dari bahasa Sanskrta dari kata “dis” yang artinya patokan atau petunjuk rohani.
Karena itu ada ajaran “Hitopadesa” yang berasal dari kata “hita” artinya sejahtera
atau bahagia dan “Desa” artinya petunjuk kerohanian. Karena itu dalam kitab
Hitopadesa mengajarkan tentang ajaran kerohanian untuk mencapai kehidupan
yang sejahtera dan bahagia. Dalam Sarasamuccaya. 40 ada dinyatakan salah satu
orang yang dapat disebut Sista atau Pandita ahli adalah “sang pandahan upadesa”.
Artinya orang yang memberikan atau menyebarkan ajaran atau nasehat kerohanian.
Ada juga istilah Brahmopadesa yang berasal dari kata “Brahma” artinya Tuhan dan
“upa desa” artinya sekitab ajaran kerohanian. Brahmopadesa artinya ajaran untuk
mencapai Brahman. DR Rajendra Misra mengistilahkan bahwa Nitisastra itu adalah
Upadesa Kawya. Yang dimaksudkan Upadesa Kawya itu adalah karangan yang
memuat ajaran pendidikan kerohanian. Jadi menurut DR Rajendra Misra istilah
“Upadesa” itu artinya pendidikan tentang kerohanian. Di Bali ada Desa Pakraman
yang berasal dari kata Desa dan Pakraman. Kata “Pakraman” berasal dari kata
“grama” yang artinya “Desa” dalam pengertian bahasa Indonesia dewasa ini. Di
India ada Grama Desa yang pengertiannya sangat paralel dengan pengertian Desa
Pakraman di Bali. Demikian juga di India ada Grama Bank yang artinya Bank Desa
sejenis LPD di Desa Pakraman di Bali. Grama artinya Desa dalam pengertian kini
di Indonesia.

Dalam kitan Negara Krtagama ada disebutkan Desa Drsta. Dalam bahasa
Sanskrta kata “drsta” artinya pandangan atau paradigma. Desa Drsta
maksudnyamembangun kehidupan bersama berdasarkan paradigma petunjuk
ajaran kerohanian.

Dalam Bhagawad Gita XVII. 11 ada istilah “widhidrsta”. Istilah ini berasal
dari kata “widhi” artinya yang mencipta atau takdir. Dalam Bhagawad Gita ini kata
“widhi” artinya Mantra Weda yang masih murni belum disentuh oleh pandangan
dari pikiran dan perasaan manusia. Dengan kata lain Widhi itu adalah sabda Tuhan
yang masih murni. Sedangkan Widhidrsta itu adalah sabda Tuhan yang sudah
disentuh oleh pikiran dan perasaan manusia sampai menjadi pandangan manusia.
Mantra Veda yang masih murni itu nilai kesuciannya tidak terbatas. Setelah
dipelajari oleh manusia dengan kemampuan pikiran dan perasaan yang serba
terbatas itu muncullah pandangan atau paradigma tertentu dari manusia. Mantra
Veda yang sama tentunya bisa menimbulkan pandangan yang berbeda-beda. Ada
sekelompok orang yang memiliki pandangan yang sama. Mereka inilah membentuk
peguyuban hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu. Dari sinilah awalnya
terbentuk peguyuba hidup bersama yang disebut Desa Drsta dimasa lampau pada
jaman Majapahit di Jawa.

Bali mendapat pengaruh yang amat kuat dari Jawa dari jaman sebelum Raja
Udayana sampai jaman Majapahit. Nampaknya pengaruh inilah yang menyebabkan
adanya Desa Pakraman di Bali. Sejak pengaruh Belanda Desa Pakraman itu
menjadi Desa Adat. Pada kenyataannya Desa Pakraman memiliki fokus kegiatan
yaitu kegiatan untuk menyelenggarakan Bhakti umat pada Tuhan, menata
kewajiban dan hak-hak anggota Desa Pakraman dalam kaitannya dengan hidup
bersama dan menata tata guna wilayah Desa Pakraman agar senantiasa berfungsi
sebagai sarana hidup dan kehidupan bersama mewujudkan tujuan hidup mencapai
Hita Purusa. Dari kenyataan inilah Bapak I Gst Ketut Kaler (alm) th 1969
menyatakan dalam makalahnya implementasi Tri Hita Karana sebagai Parhyangan,
Pawongan dan Palemahan. Dengan wadah Parhyangan Desa Pakraman menata
sistem pemujaan pada Tuhan terutama di Pura Kahyangan Tiga dan juga di Pura
yang menjadi tanggung jawab Desa Pakraman untuk menatanya. Pawongan adalah
untuk menata perilaku anggota Krama dalam melakukan hubungan harmonis pada
Tuhan dengan pemujaan berdasarkan Bhakti, hidup saling mengabdi berdasarkan
punia dan memelihara lingkungan alam berdasarkan konsep “asih”. Palemahan
adalah suatu areal sebagai wilayah Desa Pakraman untuk ditata agar semuanya
dapat menjadi sarana untuk melakukan tiga kegiatan hidup yaitu berbhakti pada
Tuhan, hidup untuk saling “mapunia” dengan sesama dan untuk melakukan
pelestarian pada sarwa prani atau alam lingkungan. Hal itulah menyebabkan areal
Desa Pakraman dibagi menjadi tiga areal yaitu Utama Mandala, Madhya Mandala
dan Nistha Mandala.
Utama Mandala adalah simbol Swah Loka yaitu areal untuk melakukan
kegiatan hiudp mendekatkan diri pada Tuhan. Di Utama Mandala itu dibangun
fasilitas sakral seperti tempat pemujaan, tempat air suci untuk mohon Tirtha, ada
kawasan suci untuk melakukan kegiatan upacara dalam perayaan hari-hari
keagamaan seperti tempat bangunan wantilan untuk mementaskan tarian sakral,
tempat Melasti dan areal-areal yang sejenis.

Madhya Mandala adalah simbol Bhuwah Loka yaitu areal untuk


menyelenggarakan kehidupan umum seperti areal membangun rumah tinggal,
fasilitas umum seperti pasar, Balai Banjar. Wantilan sebagai balai masyarakat,
lapangan olah raga dan sejenisnya.

Nistha Mandala adalah simbol Bhur Loka seperti areal kuburan, kawasan
hijau di wilayah pemukiman yang disebut : teba”, areal hutan dan sejenisnya.

Di dalam tiga Mandala atau areal ini diwujudkan juga fasilitas untuk
melakukan ajaran Tri Hita Karana. Misalnya di Balai Banjar ada juga pembagian
tiga wilayah Banjar. Di Banjar ada juga tempat pemujaan, ada tempat pesamuan,
ada dapur. Dahulu umumnya setiap Banjar punya areal yang tak terbangun yang
disebut “teba”. Pura dibangun di areal Uranus atau Keluwan Banjar. Yang dipuja
di Pura Balai Banjar adalah Bhatara Penyarikan. Bhatara Penyarikan ini adalah
Tuhan dalam fungsinya untuk menuntun umat agar sukses menatapi kehidupannya
dari satu Asrama ke Asrama yang berikutnya. Dari Brahmacari Asrama menuju
Grhastha Asrama dan selanjutnya menuju Wanaprastha Asrama. Selanjutnya lepas
dari anggota Banjar menuju Sannyasin Asrama. Kata “Nyarik” dalam bahasa Bali
berarti selesai secara bertahap.

Pasar juga ada areal untuk mendirikan Pura Melanting, ada tempat berjualan
dan ada tempat mengolah sampah. Di setiap rumah ada juga Merajan sebagai
hulunya pakarangan rumah. Di setiap kamar umumnya ada juga Pelangkiran
sebagai tempat menghaturkan banten sebagai wujud bhakti pada Tuhan. Jadinya di
setiap denyut kehidupan itu ada fasilitas untuk membangun sikap hidup yang
seimbang antara hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
sesamanya dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya sebagaimana
diajarkan dalam Tri Hita Karana. Semuanya itu untuk membangun sikap seimbang
agar setiap tahapan hidup yang disebut Asrama menjadi sukses. Demikianlah Desa
Pakraman adalah wadah Catur Asrama dengan mengembangkan profesi yang
disebut Catur Varna untuk mewujudkan empat tujuan hidup mencapai Dharma,
Artha, Kama dan Moksa.

Dalam Lontar Mpu Kuturan ada dinyatakan tentang Desa Pakraman


sbb: Desa Pakraman winangun dening sang Catur Varna manut linging Sang Hyang
Aji. Artinya Desa Pakraman dibangun oleh Sang Catur Varna (Brahmana, Ksatriya,
Waisya dan Sudra) berdasarkan ajaran kitab suci. Dalam Lontar yang sama Mpu
Kuturan dinyatakan menganjurkan pendirian Kahyangan Tiga yaitu Pura Desa,
Pura Puseh dan Pura Dalem di setiap Desa Pakraman. Ada yang berpendapat bahwa
adanya pemujaan Tri Murti di Pura Kahyangan Tiga itu untuk menyatukan Sekte-
Sekte Hindu yang bermusuhan pada abad ke sebelas. Sepanjang penelusuran saya
dengan berbagai Guru Besar Ilmu Purbakala, tidak pernah ada data archeologis
yang menyatakan adanya permusuhan Sekte-Sekte Hindu di Bali pada abad ke
sebelas itu. Justru Raja Udayana dengan permaisurinya bernama Mahendradatta
berbeda sekte keagamaannya saat itu. Raja Udayana menganut Buddha Mahayana,
sedangkan permaisurinya menganut Siwa Siddhanta.

Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti di Pura Kahyangan Tiga untuk


menanamkan konsep ajaran Tri Guna dan Tri Kona kepada umat untuk meraih
hidup yang bahagia atau Hita Purusa. Dewa Tri Murti adalah tiga sifat Tuhan yang
dipuja untuk mengendalikan Tri Guna. Dewa Wisnu memelihara dan
mengendalikan Guna Sattwam. Dewa Brahma mengendalikan Guna Rajah dan
Dewa Siwa mengendalikan Guna Tamah. Dalam Wrhaspati Tattwa dan juga Tattwa
Jnana diajarkan tentang penataan Tri Guna yaitu Sattwam, Rajah dan Tamah. Kitab
Tattwa Jnana menyatakan kalau Guna Sattwam lebih kuat melekati alam pikiran
yang disebut Citta itu akan menyebabkan orang itu menjadi: Prajna Widagdha yaitu
bijaksana tahu mana yang patut dan tidak patut, baik caranya bertingkah laku, tidak
kasar, tidak asal berkata, hormat, lurus hati. Menaruh belas kasihan pada mereka
yang menderita, setia dan bhakti, sungguh-sungguh melaksanakan ajaran Sastra.
Dalam Wrhaspati Tattwa 21 dinyatakan bahwa bila Guna Sattwam dan Guna Rajah
sama-sama kuat menguasai pikiran maka Guna Sattwam menyebabkan orang
berniat baik dan Guna Rajah menyebabkan orang melaksanakan niat baik itu. Hal
itu dapat membawa roh masuk Sorga nampaknya hal ini menyebabkan Pura Desa
dan Pura Puseh menjadi satu areal. Ini melambangkan seimbangnya Guna Sattwam
dan Guna Rajah menguasai alam pikiran atau Citta itu. Sedangkan Pura Dalem
umumnya letaknya terpisah dengan areal Pura Desa dan Pura Puseh. Karena kalau
Guna Sattwam, Guna Rajah dan Guna Tamah sama-sama seimbang menguasai
alam pikiran maka hal itu menyebabkan Atman akan menjelma berulang-ulang ke
dunia Demikian dinyatakan dalam kitab Wrhaspati Tattwa 22. Dalam Pujastawa
Banten Peras di Bali ada dinyatakan : Peras ngarania, prasida Tri Guna Sakti.
Maksudnya Banten Peras itu sebagai simbol untuk memohon keseimbangan Tri
Guna. Tri Guna yang seimbang, apabila Guna Sattwam dan Rajah sama-sama kuat
menguasai alam pikiran. Dengan demikian Guna Tamah dapat dikuasai. Keadaan
Tri Guna yang demikian itulah yang akan membawa orang mencapai sukses atau
Prasida. Hita Purusa atau hidup bahagia adalah ciri hidup sukses. Hidup bahagia
tujuan utama dari ajaran Tri Hita Karana.

Adanya pemujaan Tri Murti di Pura Kahyangan Tiga itu adalah untuk
meningkatkan kualitas struktur Tri Guna agar umat dapat tuntunan dalam
mengupayakan kehidupan yang Hita Purusa itu. Pemujaan Tuhan Yang Maha Esa
sebagai Tri Murti di Desa Pakraman itu juga untuk menuntun umat agar
menyelenggarakan hidupnya dengan ajaran Tri Kona. Ajaran Tri Kona itu adalah
ajaran untuk mengendalikan dinamika hidup dalam tiga dinamika yaitu Utpatti,
Sthiti dan Pralina. Utpatti adalah; Idealnya hidup ini untuk menciptakan sesuatu
yang patut diciptakan. Ini artinya hidup dituntun untuk kreatif menciptakan sesuatu
yang patut diciptakan. Sthiti adalah: idealnya hidup ini memelihara dan melindungi
sesuatu yang seyogyanya dipelihara dan dilindungi. Sedangkan Pralina adalah
idealnya hidup ini meniadakan sesuatu yang sepatutnya ditiadakan. Oleh karena
melakukan dinamika hidup berdasarkan ajaran Tri Kona tidak demikian mudah,
maka di pujalah Tuhan sebagai Dewa Tri Murti untuk memohon tuntunan dan
kekuatan moral dan mental. Hita Purusa akan dicapai kalau dapat melakukan
dinamika hidup berdasarkan ajaran Tri Kona itu dengan sebaik-baiknya. Dalam
Pujastawa Banten Penyeneng kita jumpai stawa sbb: Om kaki penyeneng nini
penyeneng, kajenengan dening Brahma, Wisnu, Iswara. Makna pujastawa ini
melukiskan permohonan tentang hidup ini kepada Tuhan dalam manifestasinya
sebagai Dewa Tri Murti. Nyeneng artinya hidup. Idealnya hidup itu adalah
seimbang antara jiwa dan raga. Kaki dan nini simbol jiwa dan raga atau purusa dan
pradana. Sedangkan “kejenengan dening Brahma Wisnu dan Iswara” adalah lukisan
hidup untuk memohon tuntunan Tuhan sebagai Tri Murti agar dapat mengendalikan
dinamika hidup yang ideal melakukan Tri Kona. Kreatif mencipta sesuatu yang
dapat menguatkan eksistensi hidup mewujudkan tujuan hidup tergolong Utpatti
dalam Tri Kona Konsisten memelihara dan melindungi segala sesuatu yang baik
dan benar serta telah terbukti berguna untuk mensukseskan tercapainya tujuan
hidup yang disebut Catur Purusa Artha tergolong Sthiti dalam Tri Kona. Demikian
juga dengan cermat menghilangkan sesuatu yang sudah jelas dapat menghambat
dinamika hidup mewujudkan tujuan hidup. Hal ini tergolong upaya Pralinadalam
Tri Kona. Kalau Tri Kona dapat dilakukan secara baik maka Hita Purusa atau hidup
bahagian sebagai tujuan utama Tri Hita Karana pun akan dapat dicapai.

Jadinya tujuan Mpu Kuturan mengajar pendirian Pura Desa, Pura Puseh dan
Pura Dalem di setiap Desa Pakraman adalah sebagai sarana untuk meningkatkan
dinamika hidup yang baik pada umat di lingkungan Desa Pakraman. Dinamika
hidup yang baik itu adalah dinamika hidup berdasarkan ajaran Tri Guna dan Tri
Kona.

Desa Pakraman itu adalah Desa Pasraman. Maksudnya di Desa Pakraman


itu terdapat tiga Asrama yaitu Brahmacari, Grhastha dan Wanaprastha Asrama.
Desa Pakraman itu adalah lembaga hidup bersama untuk saling beryajna dengan
saling memelihara satu dengan yang lainnya. Dalam Agastya Parwa seorang yang
telah mencapai tahapan hidup Sannyasin atau Bhiksuka harus sudah lepas dengan
ikatan sosial sebagai persiapan untuk melepaskan dunia Sekala ini dengan elegan
menuju alam Niskala atau disebut Para Loka dalam kitab Sarasamuccaya. Karena
itu dalam Desa Pakraman tidak lagi dibenarkan seorang Sannyasin ikut dalam
ikatan sosial Desa Pakraman. Desa Pakraman di Bali adalah wadah umat yang
masih dalam tahapan hidup Brahmacari, Grhastha dan Wanaprastha Asrama untuk
mempersiapkan tahapan hidup Sannyasin melepas dunia Sekala.

Dari uraian tersebut Desa Pakraman adalah lembaga sosial religius


Hinduistis sebagai wadah pengamalan ajaran Tri Hita Karana di wilayah Desa.
Desa Pakraman itu terdiri dari beberapa Banjar. Di setiap Banjar juga ajaran Tri
Hita Karana diimplementasikan kedalam kehidupan di tingkat Banjar. Anggota
Krama Banjar terdiri dari tiga generasi yaitu Krama Teruna/Teruni, Krama Ngarep
umumnya yang sudah Grhastha dan Krama Lingsir yang sudah tergolong
Wanaprastha. Anggota inti dari Krama Banjar adalah Krama Ngarep atau Krama
yang sudah Grhastha. Hal inilah yang menandakan bahwa Desa Pakraman itu
adalah Desa Pasraman, karena anggotanya terdiri dari tiga Asrama tersebut.

Kedepan tradisi di Desa Pakraman perlu dibina dengan perencanaan dengan


konsep management modern dan demokratis. Artinya nilai-nilai tradisi yang
mengandung muatan universal itu akan dapat dipertahankan terus dengan cara
pandang modern. Disamping itu harus dilakukan dengan cara-cara yang
demokratis. Apapun yang dilakukan di Desa Pakraman jangan melalui kekuasaan
dengan mengintervansi lembaga umat Hindu tradisional tersebut. Hal itu akan dapat
menghilangkan nilai-nilai Tri Hita Karana sebagai konsep pendirian Desa
Pakraman tersebut. Pendekatan modern itu adalah pendekatan dengan cara-cara
persuasif edukatif. Dengan demikian kemajuan Desa Pakraman hendaknya dengan
cara meningkatkan pendidikan anggota krama Desanya. Dengan demikian
pendekatan management modern dalam menjaga nilai-nilai tradisi di Desa
Pakraman itu dilakukan oleh pendukung Desa Pakraman itu sendiri. Pihak lain
cukup memotivasi, memediasi dan membantu fasilitas yang dibutuhkan oleh Desa
Pakraman. Semuanya itu dilakukan dengan cara-cara yang demokratis.

Acara atau tradisi yang dikembangkan oleh Desa Pakraman harus menjamin
adanya kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan umat yang menjadi anggota
Desa Pakraman. Pengembangan tradisi beragama Hindu di Desa Pakraman itu
disebut Desa Acara yang harus bersumber dari Sadacara atau kebenaran Veda
(Satya) yang ditradisikan. Desa Acara ini harus menjamin kemerdekaan Kula Cara
atau tradiri keluarga untuk mengatur keluarganya masing-masing sepanjang tidak
bertentangan dengan Desa Acara. Misalnya menentukan ahli waris bagi yang tidak
punya anak atau orang tua yang hanya punya anak perempuan. Adat di Bali
umumnya yang bisa sebagai ahli waris secara langsung adalah anak laki. Pada hal
dalam ajaran Hindu anak perempuan boleh ditetapkan sebagai ahli waris. Kalau
hanya punya anak perempuan atau tidak punya anak ada adat yang melarang
keluarga bersangkutan menetapkan ahli warisnya. Untuk hal-hal seperti itu harus
dibiarkan keluarga bersangkutan memutuskan. Tradisi Desa Pakraman hanyalah
sebagai saksi saja. Tidak mengintervensi Kula Cara atau keluarga menetapkan
tradisinya sendiri. Dengan kata lain Desa Acara harus menjamin kemerdekaan Kula
Cara mengatur keluarganya sendiri, sepanjang tidak bersangkutan dengan Desa
Pakraman sebagai suatu lembaga Adat Agama Hindu.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Pembangunan adalah merupakan suatu proses menciptakan diri yang kurang baik,
dan manusia adalah makhluk Tuhan yang mampu untuk itu sebab mempunyai budi
daya yang tinggi. Seutuhnya yang dimaksudkan adalah mencakup lahir dan batin.
Pembangunan lahir adalah pembangunan pisiknya menjadi sehat dan kuat melalui
berbagai bidang pembangunan yang telah dicanangkan tahap demi tahap baik
melalui pembangunan mentalnya menjadi sadar dan bertanggung jawab sebagai
manusia makhluk tertinggi, semurna dan mampu menjadi subyek dan obyek dalam
kehidupannya untuk membangun bangsanya

Asta Kosala Kosali adalah aturan mengenai ukuran dan tata ruang bangunan
di Bali, yang pertamakalinya dibuat oleh dua orang suci Hindu, yakni: Bhagawan
Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan.

Salahsatu nilai kebijaksanaan (kearifan) lokal Bali yang terkenal di kancah nasional
dan internasional adalah mengenai tata ruang dan bangunan yang disebut “Asta
Kosala Kosali,” yang merupakan bagian tak terpisahkan, bahkan mungkin wujud
konkret dari penerapan konsep ‘Tri Hita Karana” yang juga tak kalah terkenalnya

Tri Hita Karana sebagai Parhyangan, Pawongan dan Palemahan. Dengan


wadah Parhyangan Desa Pakraman menata sistem pemujaan pada Tuhan terutama
di Pura Kahyangan Tiga dan juga di Pura yang menjadi tanggung jawab Desa
Pakraman untuk menatanya. Pawongan adalah untuk menata perilaku anggota
Krama dalam melakukan hubungan harmonis pada Tuhan dengan pemujaan
berdasarkan Bhakti, hidup saling mengabdi berdasarkan punia dan memelihara
lingkungan alam berdasarkan konsep “asih”. Palemahan adalah suatu areal sebagai
wilayah Desa Pakraman untuk ditata agar semuanya dapat menjadi sarana untuk
melakukan tiga kegiatan hidup yaitu berbhakti pada Tuhan, hidup untuk saling
“mapunia” dengan sesama dan untuk melakukan pelestarian pada sarwa prani atau
alam lingkungan. Hal itulah menyebabkan areal Desa Pakraman dibagi menjadi tiga
areal yaitu Utama Mandala, Madhya Mandala dan Nistha Mandala.

Utama Mandala adalah simbol Swah Loka yaitu areal untuk melakukan
kegiatan hiudp mendekatkan diri pada Tuhan. Di Utama Mandala itu dibangun
fasilitas sakral seperti tempat pemujaan, tempat air suci untuk mohon Tirtha, ada
kawasan suci untuk melakukan kegiatan upacara dalam perayaan hari-hari
keagamaan seperti tempat bangunan wantilan untuk mementaskan tarian sakral,
tempat Melasti dan areal-areal yang sejenis.

Madhya Mandala adalah simbol Bhuwah Loka yaitu areal untuk


menyelenggarakan kehidupan umum seperti areal membangun rumah tinggal,
fasilitas umum seperti pasar, Balai Banjar. Wantilan sebagai balai masyarakat,
lapangan olah raga dan sejenisnya.

Nistha Mandala adalah simbol Bhur Loka seperti areal kuburan, kawasan
hijau di wilayah pemukiman yang disebut : teba”, areal hutan dan sejenisnya.

Di dalam tiga Mandala atau areal ini diwujudkan juga fasilitas untuk
melakukan ajaran Tri Hita Karana.

Dalam Tri Hita Karana untuk meningkatkan pembangunan maka di buat


bale banjar sebagain sarana untuk mempererat huungan antar sesama dalam saalah
satu desa Pekraman

3.2. Saran

Dengan membaca makalah yang berjudul Pembangunan Desa Pakraman


Dengan Konsep Tri Hita Karana diharapkan Pembaca dalam Membangunan desa
Pakraman selalu mengacu pada konsep Tri Hita Karana sehingga terjadinya
hubungan yang harmonis kepada Tuhan ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa), Sesama
Manusia dan Lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Wiana, I Ketut.2007. Tri Hita Karana (DalamKonsep Hindu).Surabaya: Paramita

www.google.com.Asta kosala kosali, Juni, 02, 2013

Anda mungkin juga menyukai