Anda di halaman 1dari 3

CERPEN POLITIK

Cerpen- politik dinasti


oleh *SUNARWAN SULAIMAN
POLITIK DINASTI
Sebuah kelender melekat di dinding kamar. Beberapa kursi dan sebuah meja tergeletak di sudut
ruangan. Seorang pemuda sedang berdiri di hadapan jendela. Menatap langit yang begitu indah dan
mulai terbawa arus khayalan. Pemuda ini lulusan dari Universitas islam negeri alauddin makassar
dengan jurusan ilmu politik. Lelaki berumur 25 tahun ini mempunyai semangat patriotisme. Dia ingin
membangun Sulawesi selatan menjadi lebih baik. Matanya mulai berkaca-kaca melihat indonesia yang
sedang di landah korupsi dalam perjalanan khayalanya. Ingin rasanya menginjak-injak para koruptor
sampai mati. Mereka tidak melihat para pengamen yang ada di Mol panakukang dan nasional.
Seorang pembantu sedang berjalan menuju ruangan si pemuda itu dengan membawa makanan ringan.
“Tok-tok, tuan muda apakah saya bisa masuk?.” Kata pembantu itu di balik pintu.
“Masuk aja, nda di kunci ji.” Pemuda itu segera mengusapkan matanya dan berlalu menuju pintu.
“Ini ada kue manis dari pinrang.” Pembantu itu berkata sambil membuka pintu.
“Siapa yang membawanya?”
“Bapak” bertepatan dengan meletakkan kue di sebuah meja.
“Buat apa Ayahku dari pinrang?”
“Yang saya dengar dari Ibu. Bapak pergi sosialisasi di pinrang.”
“Sekarang Ayahku ada di mana?” melangkahkan kakinya menuju jendela.
“Bapak ada di kamar sedang tidur. Saya keluar dulu mau memasak makan siang.” Perlahan-lahan
mundur menuju pintu.
“Masak yang enak ya.” sambil tersenyum lebar kepada pembantu itu.
Pemuda itu tersenyum melihat pembantunya bekerja keras demi keluarganya. Biasa pembantunya
sendiri di rumah dan dia sudah di anggap keluarganya sendiri. Pembantunya dulu berstatus pengamen
di jalanan. Pemuda mulai itu terharu mengingat suasana saat pembantu itu di terima kerja di sini.
***
Di dalam kamar yang begitu luas seperti ruangan tamu. Setangkai bunga dengan pas bunganya seakan-
akan hidup di atas meja. Sebuah Ac terletak di atas jendela dengan suhu 15 derajat celcius. Seorang
lelaki paru bayah dan beruban sedang membaca buku politik di atas kasur. Dia adalah seorang
pemimpin di kota makassar. Dia yang mengatur semua pegawai negeri sipil yang ada di kota ini. Dua
periode ada di dalam dirinya dan tidak bisa lagi menjabat lebih dari dua kali. Dia berharap kepada
anaknya yang sudah bergelar S.sos menjadi kaya dirinya kelak. Tahun depan sudah pemilihan kepala
daerah. Dia ingin setapet kepemimpinannya jatuh di tangan anaknya. Dia sudah berusaha dengan
mengundang camat-camat di rumahnya minggu lalu. Dan mempengaruhi semua para pemimpin kecil
itu di setiap kecamatan. Matanya bergerak gerik melihat tulisan dan membacanya dalam hati. Seorang
wanita cantik dan sedikit beruban sedang menuju ke kamar untuk memberikan kue kepada suaminya.
“Serius amat sih membaca bukunya.” Sedang mendekati suaminya yang lagi serius membaca.
“Oh kamu sayang, bawa apa ituu?” sambil tersenyum kepada istrinya.
“Bawa kue untuk cintaku yang tampan.” Mekarlah bunga pipinya terhadap suaminya.
“Demi kamu, kue ini pasti habis.”
“Masa.” Tersenyum.
“Ya iyalah, kamu kan cinta terakhirku sampai mati.”
“so sweet.” Dengan senyumannya beserta pipihnya berwarna ping tanda malu sama suaminya.
“Yang, saya mau bercerita.” Perkataannya menghentikan senyuman istrinya.
“Cerita apa? Serius.
“Tahun depan kan saya sudah berhenti menjabat sebagai walikota Makassar.”
“Terus.”
“Saya ingin anak kita yang pertama jadi penerus saya tahun depan.”
“Tapi apakah Rio punya suara di Makassar?”
“Minggu lalu saya sudah bicarakan sama camat-camat saya. Dan saya beritau mereka. Jika mereka
masih mau jadi camat. Mereka harus dukung anak saya tahun depan. Dan mereka setuju semua.”
“Tapi apakah Rio mau?”
“Nanti saya akan bicarakan sama Rio.”
“Rio sekarang ada di kamarnya sedang istirihat.”
“Saya akan segera kesana.” Melangkahkan kaki keluar dan menuju ke kamar buah hatinya.”
Seorang leleki beruban itu sedang menuju ke kamar buah hatinya dengan harapan anaknya mau jadi
pemimpin tahun depan.
***
Rio sedang berdiri di dekat jendela sambil memakan kue manis itu. Dia tersenyum kecil melihat
burung yang sedang bertengker di pohon jambu air dekat kamarnya. Rio menutup matanya perlahan-
lahan dan mendengarkan suara burung pipit yang sedang bernyanyi. Dia menghayati nyanyian burung
itu sampai kelubuk hatinya. Sekan-akan dirinya itu seperti burung sedang bebas terbang di langit. Rio
mulai mengangkat kedua tangannya seperti burung sedang mengudara di angkasa biru perlahan demi
perlahan. Ketika Rio sedang berkhayalan seperti burung, tiba-tiba muncul seorang lelaki berstatus
Ayahnya.
“Rio sedang apa kamu?” kata Ayahnya.
“Aduh.” Terkaget oleh suara Ayahnya.
“Apa yang kamu lakukan nak?”
“Saya lagi meniru burung pipit terbang Ayah.”
“Oooh.”
“Ada apa Ayah datang ke kamar saya dengan wajah serius begitu?”
“Saya mau cerita tentang masa depan mu nanti.”
“Kok ayah yang menentukan masa depanku.”
“Karena Ayah mau yang terbaik untumu.”
“Hehehehe.”
“Kok malah ketawa.”
“Tidak.”
“Begini, apakah kamu ingin jadi pemimpin?”
“Ya iyalah, saya mau pemimpin rumah tangga dan pemimpin anak-anakku kelak.”
“Bukan itu maksudku
“Jadi maksud Ayah apa? Dengan wajah galau terhadap Ayahnya.
“Saya ingin kamu jadi penerus Ayah tahun depan. Gimana?”
“Saya pikir-pikir dulu.” Langkah kakinya menuju jendela.”
“Kenapa begitu?”
“Jangan dulu, apakah saya punya suara di makassar?. Dan saya kan baru tamat kuliah.” Sambil
membalikkan badannya dan bergerak kehadapan Ayahnya.
“Kamu sudah banyak suara.”
“Gimana caranya?”
“Saya sudah mengundang camat-camat saya minggu lalu dan mereka setuju.”
“Maksud Ayah.”
“Mereka sudah saya suruh untuk mencari suara lewat kecamatan dan mempengaruhi rakyat yang ada di
kelurahan dan juga apabila kamu telah menjadi pemimpin. Maka camat-camatku akan jadi camat-
camatmu tahun depan.”
“Apaa? Tapi itu kan curang .”
“Ini politik anak. Dunia ini hanya untuk mencari kekuasaan.”
“Tapi apakah saya cocok menjadi seorang walikota di kota daeng ini?” serius
“Kamu itu cocok menjadi pemimpin. Karena sebagian sifatku ada pada dirimu.”
“Hehehe.”
“Ketawa lagi, gimana?”
“Saya ingin merenungkan dulu. Besok saya beritau Ayah.”
“Iya saya tunggu nak. Saya berharap kamu mau. Karena semua ini untuk kebaikanmu dengan calon
istrimu kedepannya. Btw bicara tentang calon istri. Apakah kamu sudah punya calon?”
“Sudah.”
“Siapa bede?
“Rahasia.” Dengan mengankat tangannya dan menggerakan jari telunjuknya seperti pembersih kaca
mobil depan.”
“Hahahaha saya pergi dulu. Ngantuk mau Tidur siang hehehe.” Ayahnya segera berlalu menuju ke
kamarnya.
Pemuda itu menghirup udara dan melepaskan lewat mulut. Dia beranjak perlahan-lahan bergerak ke
depan jendela. Melihat langit bagaikan merindukan laut biru di angkasa. Dia mulai merenungkan
sebuah perkataan Ayahnya. Di dalam pikirannya Dia memikirkan. Jika dia menjadi Walikota
Makassar. Sebagian masyarakat atau peneliti akan mengganggap dia politik dinasti, tapi jika Dia tidak
jadi seorang khalifa di kota daeng. Para pengamen akan terus bertambah di samping-samping Mol
Panakukang. Sang pemuda galau dengan kehidupan perkataan Ayahnya. Di saat pemuda sedang
merenungkan, tiba-tiba muncul seorang kakek berpakaian robek dan celana yang kotor beserta salah
satu kakinya hilang lewat di depan rumahnya. Matanya mulai berkaca-kaca melihat sang kakek
merangka memakai gerobak bagaikan suster ngesot. Tak tahan dengan usaha si kakek itu. Di sudut
matanya mulai keluar butiran-butiran surga secara perlahan-lahan. Rasa bersalah muncul di lubuk
hatinya. Karena Ayahnya selama ini tidak memperhatikan rakyat kecil. Pemuda itu mengusapkan air
surga di wajahnya tanda ingin mengubah kota daeng menjadi kota yang mengerti rakyat. Semangat
patriotisme dan nasionalisme mulai berada di dalam hati kecilnya. Tidak terpikir lagi dengan perkatan
orang lain dan dia ingin menjadi seorang pemimpin.
*Anggota FLP sulse

Anda mungkin juga menyukai