NIM : 17.044
KELAS : II B
MAKUL : KEPERAWATAN MATERNITAS
KONSEP DASAR KEPERAWATAN MATERNITAS
Berbagai isu kondisi pada ibu remaja serta lingkungan adalah sebagai
berikut.
1. Kemiskinan
2. Isu kesehatan pada ibu remaja Ibu remaja memiliki resiko tinggi terkena
penyakit menular seksual dan HIV serta memiliki resiko tinggi dengan
masalah tekanan darah tinggi selama kehamilan.
3. Isu kesehatan pada bayi yang lahir dari ibu remaja Bayi yang lahir dari ibu
remaja beresiko tinggi memiliki masalah kesehatan premature dan/atau
berat bayi lahir rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah dapat beresiko
mengalami kematian, gangguan pernafasan, pendarahan intraventrikular,
gangguan penglihatan, dan gangguan saluran pencernaan.
4. Pendidikan 1) Hanya 40% ibu remaja yang lulus SMA (The National
Campaign to Prevent Teen Pregnancy, 2007). 2) Anak dari ibu remaja
beresiko untuk tidak melanjutkan pendidikan. 3) Ayah remaja Remaja pria
tanpa ayah beresiko tinggi untuk keluar dari sekolah, menyalahgunakan
alkohol dan/atau narkoba serta di penjara.
5. Penggunaan rokok selama kehamilan terkait dengan meningkatnya resiko
berat bayi lahir rendah (BBLR), intrauterine growth restriction, keguguran,
abruption placenta, kelahiran premature, SIDS, dan gangguan pernafasan
pada bayi baru lahir.
6. Penyalahgunaan obat selama kehamilan, penggunaan alkohol dan obat
terlarang selama kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan fetus dan
kesehatan neonatus.
7. Paparan alkohol pada kehamilan dapat menyebabkan kehamilan janin, berat
bayi lahir rendah, keterbelakangan mental, intrauterine growth restriction
dan fetal alcohol syndrome.
Topik gangguan kesehatan mengacu pada perbedaan akses, penggunaan
jasa pelayanan kesehatan dan kesehatan yang terkait berbagai faktor seperti usia,
ras, etnik, status sosio–ekonomi dan kelompok geografis serta status kesehatan
populasi tersebut.
1. Gangguan kesehatan paling tinggi terjadi pada orang dengan penghasilan
rendah tanpa memperhatikan ras atau etnik.
2. Orang dengan penghasilan rendah cenderung tidak dapat menerima
pelayanan kesehatan yang komprehensif dan cenderung menolak untuk
dirawat di rumah sakit.
3. Wanita dengan penghasilan rendah cenderung tidak mencari dan
melanjutkan perawatan prenatal. Hal ini dapat meningkatkan resiko
komplikasi selama kehamilan, persalinan dan nifas.
Gangguan kesehatan ini juga dapat berhubungan dengan adanya
keterbatasan akses untuk perawatan kesehatan karena kekurangan dana, tidak
adanya alat transportasi, rendahnya kemampuan bahasa yang umum digunakan,
dan perilaku tim kesehatan. Hak perempuan untuk mengontrol kesuburannya
masih ditentukan oleh pihak – pihak lain, seperti suami, orang tua atau keluarga
lainya. Padahal, data membuktikan bahwa bila semua perempuan yang ingin
mengatur kesuburannya, mempunyai hak dan akses untuk mendapat pelayanan
kontrasepsi yang baik, maka angka kematian ibu dapat diturunkan 50 %.
Demikian pula dengan angka morbiditas, dalam kehidupan seksualpun
tampaknya masih sering terperangkap oleh adat, kebiasaan yang merugikan.
Masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa seksualitas itu hanya
barkaitan dengan kegiatan hubungan seksual yang bertujuan prokreasi saja.
Padahal, menurut Asha Muhammad dan Elaine Murphy, seksualitas mempunya
6 dimensi, yaitu 1) sensuality, 2) intimacy, 3) sexual health and reproduction, 4)
sexual identity, 5) sexual socialization, dan 6) sexualization. Karena
ketidaktahuan inilah maka tidak jarang kita mendengar tentang kasus – kasus
pelecehan seksual, termasuk perkosaan, baik yang terjadi di luar maupun di
dalam perkawinan yang pada gilirannya akan berpengaruh negatif terhadap
derajat kesehatan reproduksi perempuan.
Kesehatan reproduksi dalam pengertian obstetri telah ada sejak anak
manusia pertama dilahirkan walaupun dalam bentuk premordial. Hanya tentu
saja pada saat itu belum ada ilmu, teknologi dan keterampilan yang seperti kita
kenal sekarang. Dalam kehampaan ilmu dan teknologi ini, petugas yang
mengelolanya, biasanya dukun, akan menghadapi semua peristiwa sebagai suatu
kejadian alamiah saja, tanpa membedakan yang normal maupun patologis. Dapat
dibayangkan bahwa akan banyak terjadi berbagai kegagalan, baik berupa
kematian maupun kesakitan yang tidak perlu. Karena dianggap sebagai peristiwa
alamiah, kegagalan tersebut agaknya hanya dianggap sebagai suratan nasib
sehingga tidak perlu disesali. Dengan memperhatikan status dan hak perempuan
atau kesetaraan gender, upaya untuk meningkat status dan Hak Asasi Perempuan,
khususnya dalam kesehatan reproduksi, hendaknya kita tetap memperhatikan
budaya bangsa yang baik, termasuk kehidupan beragama dan hukum perkawinan
agar kita tidak terperosok ke dalam situasi lain yang sama buruknya dan sulit
dikendalikan.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap hasil pelayanan kesehatan adalah
pendidikan dan status ekonomi yang rendah menyebabkan mereka tidak tahu
(ignorance) atau tidak mampu (poverty) menggunakan sarana kesehatan yang
baik secara tepat waktu. Dengan keadaan status perempuan seperti di atas, dapat
dimengerti jika banyak perempuan hamil yang termasuk golongan resiko tinggi,
akibat adanya unmet needs dalam kebutuhan pelayanan Keluarga Berencana.
Akibatnya, mereka terjebak dalam situasi “Empat Terlalu”, yaitu “Terlalu
Muda”, “Terlalu Tua “, “Terlalu Sering” dan “Terlalu Banyak”. Pada persalinan
mereka kembali terjebak dalam situasi yang tidak menyenangkan, yang terkenal
dengan istilah “Tiga Terlambat” yaitu “Terlambat mengambil keputusan”,
Terlambat sampai di tempat rujukan “, dan “Terlambat mendapat pertolongan di
tempat rujukan.” Semua yang diterangkan di atas berkaitan dengan masalah
obstetri dan keluarga berencana, tetapi sebenarnya status perempuan seperti di
atas akan berpengaruh juga terhadap kesehatan ginekologi, khususnya infeksi dan
onkologi reproduksi. Perempuan yang tidak tahu atau tidak mempunyai hak
untuk mengatur kehidupan seksualnya, jelas akan mudah kena infeksi alat
genatalianya, termasuk HIV/AIDS dan sangat rentan untuk mendapat kanker
mulur rahim. Di samping masalah status perempuan, hal – hal yang memperburuk
keadaan kesehatan reproduksi di negara kita adalah sarana kesehatan yang masih
kurang, baik jumlah, mutu, maupun penyebarannya. Kurangnya mutu petugas
kesehatan, bukan terletak kepada ilmu dan keterampilan kliniknya saja,
melainkan juga kepada wawasannya. Petugas kesehatan harus mampu
memberikan pelayanan baik di klinik maupun di masyarakat, sehingga dapat
melaksanakan program safemotherhood, Making Pregnancy Safer, Audit
Maternal Perinatal, maupun pencegahan/penanggulangan HIV/AIDS dan kanker.
Masih banyaknya tenaga terampil seperti dukun beranak, benar – benar
merupakan dilemma bagi kita. Di satu pihak mereka sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, terutama golongan ekonomi rendah karena mereka selalu available,
affordable dan mampu memberikan emotional security, tetapi di pihak lain
karena ketidakterampilannya sering menyebabkan morbiditas dan mortalitas
yang tidak perlu.
Upaya dalam bentuk pelatihan dan pendidikan yang telah diberikan selama
ini, tampaknya belum memberikan hasil yang memuaskan. Pendekatan dan
penelitian melalui disiplin ilmu Antropologi Kesehatan agaknya akan dapat
memberikan asupan yang berharga untuk penyelesaian masalah ini. Kesehatan
dan kelangsungan hidup ibu dan bayi baru lahir sangat dipengaruhi oleh pelbagai
faktor sosial budaya, antara lain kebiasaan untuk melarang jenis makanan tertentu
selama kehamilan dan masa laktasi, pemberian makanan bayi sebelum air susu
ibu keluar serta anggapan bahwa komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas
sebagai kejadian normal. Ketidaktahuan wanita, suami dan keluarga tentang
pentingnya pelayanan antenatal, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
trampil, persiapan persalinan dan kegawatdaruratan merupakan faktor yang
mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
Perilaku dibentuk oleh kebiasaan, yang bisa diwarnai oleh adat (budaya), tatanan
norma yang berlaku di masyarakat (sosial) dan kepercayaan (agama). Perilaku
umumnya tidak terjadi secara tiba–tiba. Perilaku adalah hasil dari proses yang
berlangsung selama masa perkembangan. Setiap orang selalu terpapar dan
tersentuh oleh kebiasaan di lingkungannya serta mendapat pengaruh dari
masyarakat, baik secara langsung maupun tak langsung. Kondisi sosial budaya di
masing–masing daerah turut memberikan kontribusi. Masih banyak daerah yang
masih menggunakan dukun sebagai penolong persalinan, khususnya di desa–
desa. Hal ini ditunjang pula dengan kondisi sosial ekonomi sebagian masyarakat
yang masih berada di garis kemiskinan. Selain itu tidak meratanya fasilitas
kesehatan dan tenaga kesehatan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia turut
menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan ibu. Untuk dapat memberikan
pelayanan kesehatan bermutu dan menjangkau ke seluruh daerah, diperlukan
mata rantai pelayanan sehingga memudahkan masyarakat untuk memanfaatkan
dengan biaya yang mandiri.
D. PERAN DAN FUNGSI PERAWAT MATERNITAS
Peran perawat maternitas:
1. Pemberian asuhan keperawatan dengan memperhatikan kebutuhan dasar manusia,
dengan pengkajian, menentukan diagnosa, membantu penerapan sesuai
kebutuhan ibu dan melibatkan keluarga.
2. Memberikan pendidikan dalam keperawatan memberikan informasi dan pengetahuan
tentang pemenuhan kebutuhan kesehatan ibu dan anak melalui promosi
kesehatan, pemantauan selama kehamilan dan persalinan.
3. Perawat sebagai pembela yaitu perawat membantu klien dalam pengambilan pesetujuan
atas tindakan keperawatan yang diberikan kepala pasien.
4. Perawat sebagai edukator yaitu perawat meningkatkan pengetahuan kesehatan dan
kemampuan klien mengatasi kesehatan.
5. Perawat sebagai edukator yaitu perawat mengatakan dan merencanakan pelayanan
kesehatan dan tim agar pelayanan yang dibentuk dapat dapat teratasi dan sesuai dengan
kebutuhan klien.
6. Perawat sebagai konsultan yaitu perawat sebagai tempat konsultasi terhadap masalah
atau tindakan keperwatan yang tepat diberikan.
7. Perawat sebagai pembaharu yaitu perawat melakukan perencanaan, kerjasama dan
meningkatkan tindakan pelayanan kesehatan
Fungsi perawat dalam bidang Maternitas :
1. Independet : perawat melakukan tugasnya secara mendiri dalam memenuhi
kebutuhan pasien.
2. Dependen : perawat melakukan tugas berdasarkan tugas yang diberikan dari perawat
spesialis kepada perawat pelaksana .
3. Independen : perawat melakukan tindakan dengan cara berkelompok atau tim, yang
bersifat saling ketergantungan antara tim satu dengan yang lainnya
DAFTAR PUSTAKA