AR Amien
(185030100111008)
Ilmu Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya
ar.amien19@gmail.com
Abstrak
Kebijakan politik dan birokrasi merupakan dua hal paling penting dalam
menjalankan roda pemerintahan, tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Dua
elemen ini bisa mempengaruhi pelaksanaan pendidikan secara keseluruhan. Kebijakan
yang baik akan mandul tanpa dibarengi dengan iklim birokrasi yang sehat dan
kondusif. Begitu pula birokrasi tidak akan berjalan dengan efektif dan efesien tanpa
ditopang dengan kebijakan yang tepat dan baik. Artikel ini membahas peran publik
dan birokrasi pendidikan dalam praktek sistem birokrasi pendidikan. Peran birokrasi
di lembaga pendidikan menjadi puncak model implementasi kebijakan, oleh
karenannya diperlukan adanya pembaharuan manajemen pada satuan pendidikan.
Proses pembaharuan tersebut berkaitan dengan pengembangan, penyebaran,
diseminasi, perencanaan adopsi, dan penerapan kebijakan pendidikan dalam satuan
pendidikan tertentu.
Pendahuluan
Pelayanan publik sebagai salah satu fungsi utama pemerintah adalah sebagai
upaya untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pemenuhan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat sangat menentukan bagi kelangsungan dan tegaknya sistem
pemerintahan. Dengan adanya pelayanan publik dari pemerintah, masyarakat berharap
agar pemerintah dapat mewujudkan pelayanan yang cepat, murah, mudah,
berkeadilan, berkepastian hukum, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan perkembangan dinamika masyarakat.
Di Indonesia sistem pemerintahan yang dianut negara kita adalah sistem
pemerintahan Demokrasi. Dalam sistem demokrasi rakyat menjadi kata kunci dalam
sistem pemerintahan ini. Posisi rakyat disini bersifat diatas segalanya, karena sistem
pemerintahan ini merupakan sistem dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, atau
dalam istilah latinnya, from people, to people, for people.
Pelibatan rakyat atau biasa disebut pelibatan publik dalam sistem birokrasi
negara kita sangatlah perlu dan sudah seharusnya tumbuh dan telah diterapkan, tapi
kenyataannya?. Pada bidang pendidikan, dinegara kita bidang tersebut dibawah
naungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Pelibatan publik dalam pendidikan
masih dirasa kurang, dan masih minim.
Pelibatan publik dalam pendidikan seharusnya tumbuh pada level paling
bawah piramida pendidikan, yakni unit sekolah, dan level paling tinggi, kebijakan
kementrian. Sayangnya, pemerintah sendiri belum memiliki kejelasan konsep tentang
hal tersebut. Tidak heran apabila dalam praktik pelibatan publik kurang efisien dan
kurang terkelola secara kompleks.
Dalam penulisan artikel ini penulis memiliki rumusan masalah yaitu
bagaimakah keterlibatan publik dalam birokrasi pendidikan dibawah naungan
kementrian pendidikan dan kebudayaan agar kelancaran pelayanan publik pada
bidang pendidikan dapat dirasakan secara merata dengan adanya pelibatan publik
dalam pengambilan kebijakan atau dengan adanya pelibatan publik dalam birokrasi
pendidikan.
Tujuan penulis didalam penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui
bagaimanakah pelayan publik pada bidang pendidikan pada khususnya praktik
keterlibatan publik dalam birokrasi pendidikan apakah sudah sesuai dengan yang
diharapkan oleh masyarakat atau belum terjadi sama sekali.
Tinjauan Pustaka
Menilik dari penjelasan kebijakan publik menurut Winarno di atas, kita dapat
menjadikan Pelibatan publik sebagai kata kunci untuk mereformasi birokrasi dan
mengubah paradigma para pelaku pendidikan, baik dalam lingkungan level tertinggi
piramida pendidikan yaitu kementrian pendidikan dan kebudayaan maupun pada level
bawah yaitu masyarakat kita pada umumnya.
Namun yang terjadi pada kenyataanya fokus pengembangan masyarakat
pertama-tama ingin ditumbuhkan ditumbuhkan dikalangan pengambil kebijakan itu
sendiri, yakni pada kalangan elite, lalu meluas ke masyarakat secara luas. Perlu
digaris bawahi apabila pengambilan kebijkan pendidikan yang kita anggap vital ini
sampai menentukan nasib banyak orang hingga nasib bangsa kita, jika hanya
diserahkan kepada segelintir kaum elite yang berada dipemrintahan pusatitu sangat
beresiko kedepannya, maka perlu adanya pelibatan publik dalam birokrasi
pendidikan.
Pendidikan adalah sebuah gerakan, semakin banyak orang terlibat, maka akan
semakin baik. Persoalan pendidikan di Indonesia terlalu kompleks untuk diselesaikan
sendiri oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan. Pelibatan publik disini menjadi
alat untuk mereformasi birokrasi pendidikan, karena konsep pelibatan publik dalam
pendidikan merupakan sebiuah gerakan, bukan hanya perseorangan atau individual.
Di negeri kita kepercayaan dan ketulusan merupakan sebuah hal yang mahal,
setiap gagasan atau niat baik akan mendapat respon curiga. Misalnya pada masa
kepemimpinan Anies Baswedan menteri pendidikan masa jabatan 2014-2016. Ketika
beliau mengungkapkan wacana konsep pelibatan publik dengan mengatakan
pendidikan harus menjdai sebuah gerakan, tanggapan sinis bermunculan. Negara mau
lepas tangan urusan pendidikan? Atau sekedar pencitraan? Tentunya hanya beliau
yang dapat menjawab tanggapan-tanggapan tersebut, dan beginilah kendala yang
terjadi, hal ini merupakan sebuah kesalahan pada masyarakat kita yang sudah menjadi
kultur akhir-akhir ini.
Pelibatan publik juga menjadi sebuah cara untuk mereformasi tata kelola
birokrasi dalam merekrut para petinggi kemendikbud. Yang biasa terjadi dalam
permasalahan ini adalah perekrutan dari pihak pemenang sendiri, ataupun perekrutan
dari koalisi pihak pemenang. Jadi sekali lagi disini perlu digaris bawahi pentingnya
pelibatan publik dalam aspek birokrasi pemerintah, khususnya pendidikan.
Bukan hanya sekedar pelibatan publik belaka yang dimaksudkan penulis
disini, namun pelibatan publik bukan hanya pelibatan masyarakat mendiskusikan isu-
isu pendidikan atau sekedar melibatkan publik dalam mekanisme pemilihan para
petinggi. Lebih dari semua itu, pelibatan publik yang seharusnya efektif dan memiliki
tujuan yang jelas, yaitu perubahan kebijakan pendidikan lebih baik, perubahan praktik
kebijakan publik bidang pendidikan ditingkat daerah dan nasional, serta perubahan
praktik pendidikan di tingkat paling keci, yakni unit sekolah.
Pada bidang pendidikan ini, seharusnya pelibatan publik menyentuh rata
seluruh aspek, yaitu unit sekolah, dinas pendidikan, dan kementrian, ketika sudah
menyentuh rata ketiga aspek tersebut maka bisa dikatakan pelibatan publik dalam
birokrasi pendidikan telah ideal.Ketiga aspek tersebut apabila dikembangkan secara
efektif dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara berkelanjutan.
Pelibatan publik harus mempunyai target pada perubahan kebijakan, bukan hanya
sebuah komunikasi sosialisasi, konsultasi melulu yang dilakukan. Maka dari itu
pembagian tiga aspek tersebut perlu didistribusikan dan dimaksimalkan agar
terciptanya sebuah perubahan kebijakan publik bidang pendidikan dengan lebih baik
lagi.
Pelibatan publik tingkat pertama, utamanya orangtua, dan pada unit sekolah
disini berperan sebagai pondasi pendidikan nasional. Mengapa demikian?, ini terjadi
karena orangtualah yang mestinya bekerjasama dan terlibat dengan pihak sekolah.
Sebaliknya, sekolah harusnya menjadikan orangtua sebagai pemegang kepentingan
utama. Pelaku pada pelibatan tingkat pertama ini antara lain orangtua, tokoh
masyarakat, alumni, dan komite sekolah, singkatnya pelaku disini adalah orang-orang
yang berada di lingkungan sekolah juga lingkungan tempat tinggal seorang peserta
didik.
Pelibatan publik tingkat kedua, yakni pelibatan publik dalam tingkat dinas
pendidikan setempat. Mengapa demikian?, karena dinas pendidikan disini menduduki
pelaku utama dalam hal pengembangan otonomi di daerah. Pelaku utama pada tingkat
ini adalah paguyuban walimurid, LSM, masyarakat, perguruan tinggi, dewan
pendidikan kota/provinsi, dan berbagai macam pihak yang memiliki kepentingan akan
peningkatan pendidkan di daerah.
Pelibatan publik tingkat ketiga, yakni pada tingkat kementrian pendidikan dan
kebudayaan republik Indonesia. dalam tingkat ini akan muncul banyak pertanyaan.
Diantaranya mayoritas akan beranggapan bagaimana bisa negara luas, kepulaun
seperti Indonesia ini dapat mewujudkan pelibatan publik pada tingkat kementrian?.
Pada tingkat ini publik dapat terlibat, kita harus menyamai posisinya terlebih dahulu,
karena kemendikbud berada pada posisi atas, maka kita bisa terlibat melalui peran-
peran perguruan tnggi, lembaga-lembaga pendidikan, komuitas dan beberapa tokoh-
tokoh publik.
Dari ketiga tingkatan pelibatan publik diatas mestinya menjadi pola pikir atau
pedoman dalam memetakan persoalan pendidikan dan menentukan kebijakan
pendidikan ditiap tingkatannya. Pelibatan publik akan terasa dan bermakna apabila
dilaksanakan secara efektif dan efisien.Agar dapat terwujud perlu adanya komunikasi
yang intens secara transparan guna terwujudnya pelibatan publik, selanjutnya
Penguatan ulang dewan pendidikan kota/provinsi sebagai mitra dinas pendidikan, dan
yang terakhir, penguatan peran orangtua sungguh menjadi dasar yang membangun
pondasi itu menjadi sebuah bangunan yang tinggi.
Pendidikan merupakan gerakan, akhirnya menjadi urusan semua orang, bukan
hanya sebuah instansi yang terkait melainkan seluruh kompenen masyarakat
kita.Pelibatan publik hanya efektif dan efisien bila pada akhirnya setiap kebijakan
pendidikan ialah hasil dari dialog pemikiran dengan masyarakat luas, bukan hanya
dengan segelinitir pejabat senayan.
Metode Penelitian
Pembahasan
Dunia pendidikan nasional di zaman reformasi ini, diakui atau tidak memiliki
karakter yang menenggelamkan gerakan intelektual bagi kemajuan pendidikan
nasional. Kecenderungan birokrasi pada lembaga pendidikan yang rumit dalam
memberikan pelayanan terhadap masyarakat karena begitu banyaknya biro yang harus
dilalui. Kesan mengutamakan aktivitas birokrasi inilah yang pada akhirnya
mengesampingkan dunia intelektual. Mental birokrasi untuk memberikan pelayanan
terhadap pengembangan dan gerakan intelektual ini menjadi sangat penting karena
pengembangan dan gerakan intelektual di lembaga pendidikan memerlukan suasana
dan kondisi yang sangat kondusif bagi munculnya kreativitas dan inovasi baru. Peran
birokrasi yang berwajah manusia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di
bidang pendidikan diharapkan sepenuhnya berperan vital, reformis, dinamis, inovatif,
aspiratif, terbuka dan bersifat mengayomi.
Apa yang selama ini sudah terjadi dalam rangka pelibatan publik masih terjadi
pada satu level, yaitu pada level kementerian, seperti adanya berbagai macam
simposium nasional yang digelar di Kemendikbud untuk membahas persoalan
regulasi dan kebijakan pendidikan di tingkat nasional serta pemilihan para eselon
untuk menduduki jabatan direktorat jenderal, kepala pusat, ataupun pejabat setingkat.
Format pelibatan inipun belum jelas karena mekanisme belum terbentuk sehingga
belum efektif.
Ideal pelibatan publik yang efektif mestinya menyentuh tiga level sekaligus,
yaitu level unit sekolah, dinas pendidikan, dan kementerian. Tiga model itu bila
dikembangkan secara efektif dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara
berkelanjutan. Di tiga level ini, pelibatan publik harus memiliki target pada perubahan
kebijakan, bukan sekadar berupa model komunikasi sosialisasi, konsultasi, ataupun
kolaborasi. Kolaborasi tingkat tinggi akan menjadi partisipasi publik yang autentik.
Untuk itu, ada tiga lapis pelibatan publik yang perlu didiseminasikan. Pertama,
pelibatan publik, terutama orangtua, pada level unit sekolah ialah fundamental
pendidikan nasional. Ini terjadi karena orangtualah yang mestinya berkolaborasi dan
terlibat dengan pihak sekolah. Sebaliknya, sekolah seharusnya menganggap orangtua
sebagai pemangku kepentingan utama. Pelaku utama pelibatan publik pada level ini
antara lain orangtua, tokoh masyarakat, alumni, dan komite sekolah.
Kedua, pelibatan publik dalam level dinas pendidikan setempat. Era otonomi
daerah menempatkan dinas pendidikan sebagai pelaku utama pengembangan
pendidikan di daerah. Pelaku utama pada level ini ialah paguyuban orangtua, LSM,
masyarakat, perguruan tinggi, dewan pendidikan kota/provinsi, dan berbagai macam
pihak yang memiliki kepentingan akan peningkatan pendidikan di daerah.
Menurut Zamroni, reformasi pendidikan pada era reformasi dewasa ini secara
prinsip sebenarnya mengarah pada dua sasaran penting. Pertama reformasi pendidikan
diarahkan untuk memberikan tanggungjawab lebih besar kepada birokrasi di daerah
untuk secara langsung menangani pendidikan, dengan memobilisasi dukungan penuh
masyarakat (desentralisasi). Kedua, reformasi ditujukan untuk meningkatkan
dinamika internal sekolah, dengan memberikan kesempatan lebih besar pada level
sekolah: kepala sekolah, guru, orang tua siswa, staf administrasi dalam melaksanakan
penyelenggaraan sekolah sehari-hari (otonomi sekolah) atau disebut juga dalam wujud
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Di lembaga sekolah, jabatan kepala sekolah, guru dan siswa sangatlah penting
dan masing-masingnya didefinisikan berdasarkan serangkaian ekspetasi. Ekspetasi
birokratis memerinci dan menetapkan perilaku yang semestinya/tepat bagi peran atau
posisi tertentu. Seorang guru, mengemban kewajiban untuk merancang pengalaman
belajar para siswa dan memiliki tugas untuk melibatkan para murid dengan cara yang
efektif secara pedagogis.
Singkat kata, organisasi formal semisal sekolah memiliki struktur yang terdiri
atas ekspetasi dan peran birokratis, sebuah hierarki jabatan dan posisi, aturan dan
peraturan, serta spesialisasi. Ekspetasi birokratis mendefinisikan peran-peran
organisasional; peran dileburkan ke dalam posisi dan jabatan. Adapun posisi dan
jabatan disusun ke dalam sebuah hirarki kewenangan/otoritas formal yang sesuai
dengan kekuasaan dan status relatifnya. Aturan dan peraturan ditetapkan untuk
memandu pengambilan keputusan dan meningkatkan rasionalitas organisasional,
sedangkan tenaga kerja dibagi-bagi sesuai dengan spesialisasi individu di dalam
tugas. Perilaku di sekolah sebagian ditentukan oleh struktur organisasinya; sebagian
struktur mempermudah dan sebagian yang lain menghambat fungsi sekolah.
Simpulan
Pelibatan publik akan bermakna bila efektif dan efisien. Agar efektif dan
efisien, ada tiga hal mendesak yang perlu dilakukan. Pertama, perlu ada mekanisme
komunikasi timbal-balik antara lembaga pendidikan dan publik secara transparan,
baik itu di tingkat unit sekolah, dinas, maupun kementerian. Kedua, penguatan peran
orangtua dan komite sekolah sangat dibutuhkan agar komite sekolah dan orangtua
sungguh menjadi mitra unit sekolah, bukan sekadar tukang stempel kebijakan kepala
sekolah. Ketiga, penguatan kembali dewan pendidikan kota/provinsi sebagai mitra
dinas pendidikan.
http://budisansblog.blogspot.com/2016/04/pelibatan-publik-pendidikan.html?m=1
http://nanamafazah.blogspot.com/2017/11/artikel-ilmiah-pemahaman-
bahasa.html?m=1
http://jikti.bakti.or.id/updates/komunikasi-pelibatan-publik-dalam-pendidikan