Anda di halaman 1dari 11

Pelibatan Masyarakat Dalam Birokrasi Pendidikan

AR Amien
(185030100111008)
Ilmu Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya
ar.amien19@gmail.com

Abstrak

Kebijakan politik dan birokrasi merupakan dua hal paling penting dalam
menjalankan roda pemerintahan, tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Dua
elemen ini bisa mempengaruhi pelaksanaan pendidikan secara keseluruhan. Kebijakan
yang baik akan mandul tanpa dibarengi dengan iklim birokrasi yang sehat dan
kondusif. Begitu pula birokrasi tidak akan berjalan dengan efektif dan efesien tanpa
ditopang dengan kebijakan yang tepat dan baik. Artikel ini membahas peran publik
dan birokrasi pendidikan dalam praktek sistem birokrasi pendidikan. Peran birokrasi
di lembaga pendidikan menjadi puncak model implementasi kebijakan, oleh
karenannya diperlukan adanya pembaharuan manajemen pada satuan pendidikan.
Proses pembaharuan tersebut berkaitan dengan pengembangan, penyebaran,
diseminasi, perencanaan adopsi, dan penerapan kebijakan pendidikan dalam satuan
pendidikan tertentu.

Kata Kunci: Kebijakan Publik, Birokrasi Pendidikan, Pelibatan Publik.

Pendahuluan

Pelayanan publik sebagai salah satu fungsi utama pemerintah adalah sebagai
upaya untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pemenuhan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat sangat menentukan bagi kelangsungan dan tegaknya sistem
pemerintahan. Dengan adanya pelayanan publik dari pemerintah, masyarakat berharap
agar pemerintah dapat mewujudkan pelayanan yang cepat, murah, mudah,
berkeadilan, berkepastian hukum, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan perkembangan dinamika masyarakat.
Di Indonesia sistem pemerintahan yang dianut negara kita adalah sistem
pemerintahan Demokrasi. Dalam sistem demokrasi rakyat menjadi kata kunci dalam
sistem pemerintahan ini. Posisi rakyat disini bersifat diatas segalanya, karena sistem
pemerintahan ini merupakan sistem dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, atau
dalam istilah latinnya, from people, to people, for people.
Pelibatan rakyat atau biasa disebut pelibatan publik dalam sistem birokrasi
negara kita sangatlah perlu dan sudah seharusnya tumbuh dan telah diterapkan, tapi
kenyataannya?. Pada bidang pendidikan, dinegara kita bidang tersebut dibawah
naungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Pelibatan publik dalam pendidikan
masih dirasa kurang, dan masih minim.
Pelibatan publik dalam pendidikan seharusnya tumbuh pada level paling
bawah piramida pendidikan, yakni unit sekolah, dan level paling tinggi, kebijakan
kementrian. Sayangnya, pemerintah sendiri belum memiliki kejelasan konsep tentang
hal tersebut. Tidak heran apabila dalam praktik pelibatan publik kurang efisien dan
kurang terkelola secara kompleks.
Dalam penulisan artikel ini penulis memiliki rumusan masalah yaitu
bagaimakah keterlibatan publik dalam birokrasi pendidikan dibawah naungan
kementrian pendidikan dan kebudayaan agar kelancaran pelayanan publik pada
bidang pendidikan dapat dirasakan secara merata dengan adanya pelibatan publik
dalam pengambilan kebijakan atau dengan adanya pelibatan publik dalam birokrasi
pendidikan.
Tujuan penulis didalam penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui
bagaimanakah pelayan publik pada bidang pendidikan pada khususnya praktik
keterlibatan publik dalam birokrasi pendidikan apakah sudah sesuai dengan yang
diharapkan oleh masyarakat atau belum terjadi sama sekali.

Tinjauan Pustaka

Kebijakan publik menurut Winarno sebagaimana dikutip oleh Muhammad


Munadi dan Barnawi adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga
pemerintah dan pejabat pejabat pemerintah yang dipengaruhi oleh aktor-aktor dan
factor faktor bukan pemerintah. Maksud dari ungkapan ini ialah bahwa kebijakan
tidak semata-mata didominasi oleh kepentingan pemerintah, aktor-aktor diluar
pemerintah harus diperhatikan aspirasinya, dan faktor-faktor yang berpengaruh harus
dikaji sebelumnya. Kebijakan juga merupakan serangkaian proses dari suatu
perencanaan dan perumusan oleh suatu kelompok atau lembaga/instansi pemerintah
yang berupa peraturan atau program untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Menilik dari penjelasan kebijakan publik menurut Winarno di atas, kita dapat
menjadikan Pelibatan publik sebagai kata kunci untuk mereformasi birokrasi dan
mengubah paradigma para pelaku pendidikan, baik dalam lingkungan level tertinggi
piramida pendidikan yaitu kementrian pendidikan dan kebudayaan maupun pada level
bawah yaitu masyarakat kita pada umumnya.
Namun yang terjadi pada kenyataanya fokus pengembangan masyarakat
pertama-tama ingin ditumbuhkan ditumbuhkan dikalangan pengambil kebijakan itu
sendiri, yakni pada kalangan elite, lalu meluas ke masyarakat secara luas. Perlu
digaris bawahi apabila pengambilan kebijkan pendidikan yang kita anggap vital ini
sampai menentukan nasib banyak orang hingga nasib bangsa kita, jika hanya
diserahkan kepada segelintir kaum elite yang berada dipemrintahan pusatitu sangat
beresiko kedepannya, maka perlu adanya pelibatan publik dalam birokrasi
pendidikan.
Pendidikan adalah sebuah gerakan, semakin banyak orang terlibat, maka akan
semakin baik. Persoalan pendidikan di Indonesia terlalu kompleks untuk diselesaikan
sendiri oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan. Pelibatan publik disini menjadi
alat untuk mereformasi birokrasi pendidikan, karena konsep pelibatan publik dalam
pendidikan merupakan sebiuah gerakan, bukan hanya perseorangan atau individual.
Di negeri kita kepercayaan dan ketulusan merupakan sebuah hal yang mahal,
setiap gagasan atau niat baik akan mendapat respon curiga. Misalnya pada masa
kepemimpinan Anies Baswedan menteri pendidikan masa jabatan 2014-2016. Ketika
beliau mengungkapkan wacana konsep pelibatan publik dengan mengatakan
pendidikan harus menjdai sebuah gerakan, tanggapan sinis bermunculan. Negara mau
lepas tangan urusan pendidikan? Atau sekedar pencitraan? Tentunya hanya beliau
yang dapat menjawab tanggapan-tanggapan tersebut, dan beginilah kendala yang
terjadi, hal ini merupakan sebuah kesalahan pada masyarakat kita yang sudah menjadi
kultur akhir-akhir ini.
Pelibatan publik juga menjadi sebuah cara untuk mereformasi tata kelola
birokrasi dalam merekrut para petinggi kemendikbud. Yang biasa terjadi dalam
permasalahan ini adalah perekrutan dari pihak pemenang sendiri, ataupun perekrutan
dari koalisi pihak pemenang. Jadi sekali lagi disini perlu digaris bawahi pentingnya
pelibatan publik dalam aspek birokrasi pemerintah, khususnya pendidikan.
Bukan hanya sekedar pelibatan publik belaka yang dimaksudkan penulis
disini, namun pelibatan publik bukan hanya pelibatan masyarakat mendiskusikan isu-
isu pendidikan atau sekedar melibatkan publik dalam mekanisme pemilihan para
petinggi. Lebih dari semua itu, pelibatan publik yang seharusnya efektif dan memiliki
tujuan yang jelas, yaitu perubahan kebijakan pendidikan lebih baik, perubahan praktik
kebijakan publik bidang pendidikan ditingkat daerah dan nasional, serta perubahan
praktik pendidikan di tingkat paling keci, yakni unit sekolah.
Pada bidang pendidikan ini, seharusnya pelibatan publik menyentuh rata
seluruh aspek, yaitu unit sekolah, dinas pendidikan, dan kementrian, ketika sudah
menyentuh rata ketiga aspek tersebut maka bisa dikatakan pelibatan publik dalam
birokrasi pendidikan telah ideal.Ketiga aspek tersebut apabila dikembangkan secara
efektif dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara berkelanjutan.
Pelibatan publik harus mempunyai target pada perubahan kebijakan, bukan hanya
sebuah komunikasi sosialisasi, konsultasi melulu yang dilakukan. Maka dari itu
pembagian tiga aspek tersebut perlu didistribusikan dan dimaksimalkan agar
terciptanya sebuah perubahan kebijakan publik bidang pendidikan dengan lebih baik
lagi.
Pelibatan publik tingkat pertama, utamanya orangtua, dan pada unit sekolah
disini berperan sebagai pondasi pendidikan nasional. Mengapa demikian?, ini terjadi
karena orangtualah yang mestinya bekerjasama dan terlibat dengan pihak sekolah.
Sebaliknya, sekolah harusnya menjadikan orangtua sebagai pemegang kepentingan
utama. Pelaku pada pelibatan tingkat pertama ini antara lain orangtua, tokoh
masyarakat, alumni, dan komite sekolah, singkatnya pelaku disini adalah orang-orang
yang berada di lingkungan sekolah juga lingkungan tempat tinggal seorang peserta
didik.
Pelibatan publik tingkat kedua, yakni pelibatan publik dalam tingkat dinas
pendidikan setempat. Mengapa demikian?, karena dinas pendidikan disini menduduki
pelaku utama dalam hal pengembangan otonomi di daerah. Pelaku utama pada tingkat
ini adalah paguyuban walimurid, LSM, masyarakat, perguruan tinggi, dewan
pendidikan kota/provinsi, dan berbagai macam pihak yang memiliki kepentingan akan
peningkatan pendidkan di daerah.
Pelibatan publik tingkat ketiga, yakni pada tingkat kementrian pendidikan dan
kebudayaan republik Indonesia. dalam tingkat ini akan muncul banyak pertanyaan.
Diantaranya mayoritas akan beranggapan bagaimana bisa negara luas, kepulaun
seperti Indonesia ini dapat mewujudkan pelibatan publik pada tingkat kementrian?.
Pada tingkat ini publik dapat terlibat, kita harus menyamai posisinya terlebih dahulu,
karena kemendikbud berada pada posisi atas, maka kita bisa terlibat melalui peran-
peran perguruan tnggi, lembaga-lembaga pendidikan, komuitas dan beberapa tokoh-
tokoh publik.
Dari ketiga tingkatan pelibatan publik diatas mestinya menjadi pola pikir atau
pedoman dalam memetakan persoalan pendidikan dan menentukan kebijakan
pendidikan ditiap tingkatannya. Pelibatan publik akan terasa dan bermakna apabila
dilaksanakan secara efektif dan efisien.Agar dapat terwujud perlu adanya komunikasi
yang intens secara transparan guna terwujudnya pelibatan publik, selanjutnya
Penguatan ulang dewan pendidikan kota/provinsi sebagai mitra dinas pendidikan, dan
yang terakhir, penguatan peran orangtua sungguh menjadi dasar yang membangun
pondasi itu menjadi sebuah bangunan yang tinggi.
Pendidikan merupakan gerakan, akhirnya menjadi urusan semua orang, bukan
hanya sebuah instansi yang terkait melainkan seluruh kompenen masyarakat
kita.Pelibatan publik hanya efektif dan efisien bila pada akhirnya setiap kebijakan
pendidikan ialah hasil dari dialog pemikiran dengan masyarakat luas, bukan hanya
dengan segelinitir pejabat senayan.

Metode Penelitian

Pada penulisan artikel ilmiah ini, penulis menggunakan metode penelitian


kualitatif deskriptif, Penelitian kualitatif deskriptif berusaha menggambarkan suatu
gejala sosial. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat
sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi. Metode kualitatif ini memberikan
informasi yang lengkap sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah. Metode penyelidikan
deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang.
Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami (to understand)
fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang
lengkap tentang fenomena yang dikaji daripada memerincinya menjadi variabel-
variabel yang saling terkait. Harapannya ialah diperoleh pemahaman yang mendalam
tentang fenomena yang telah atau sedang terjadi. Karena tujuannya berbeda dengan
penelitian kuantitatif, maka prosedur perolehan data dan jenis penelitian kualitatif
juga berbeda (Rahardjo, 2010).
Dalam penulisan artikel penulis memiliki tujuan yakni, mendapatkan data
bagaimana birokrasi pendidikan di Indonesia ini dan peran pelibatan publik dalam
birokrasi pendidikan serta mengetahui bagaimana upaya dari pemerintah dalam
memperbaiki birokrasi pendidikan. Selanjutnya, pada penulisan ini penulis lebih
fokus pada bagaimana peran atau pelibatan publik itu sendiri dalam birokrasi
pendidikan di era sekarang ini, tetapi dilain sisi penulis juga menjelaskan bagaimana
upaya pemerintah dalam melibatkan publik dalam hal birokrasi pendidikan.
Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif penulis akan
mengumpulkan data dengan melakukan studi pustaka, kemudian penulis akan
menganalisis keterkaitan referensi yang telah didapat dengan fenomena atau realita
yang terjadi. Artinya, dari studi pustaka yang penulis lakukan, selanjutnya akan
dikaitkan dengan realita birokrasi pendidikan yang telah terjadi.

Pembahasan

Kebijakan Publik Di Bidang Pendidikan

Adapun kebijakan publik dibidang pendidikan dapat didefinisikan sebagai


keputusan yang diambil bersama antara pemerintah dan aktor diluar pemerintah dan
mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk dilaksanakan
ataupun tidak dilaksanakan pada bidang pendidikan bagi seluruh warga masyarakat.

Kebijakan publik bidang pendidikan meliputi anggaran pendidikan,


kurikulum, rekrutmen tenaga pendidikan, pengembangan profesionalitas staf,
tanahdan bangunan pengelolaan sumber daya, dan kebijakan lain yang bersentuhan
langsung maupun tidak langsung atas pendidikan. H.A.R Tilaar sendiri memberikan
makna yang sedikit berbeda tentang “kebijakan pendidikan”, menurutnya kebijakan
pendidikan merupakan rumusandari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, diwujudkan atau dicapai melalui lembaga-lembaga sosial (social
institutions) atau organisasi sosial dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan formal,
nonformal, dan informal. Dengan demikian dapat kita pahami suatu kebijakan
apabila tidak segera diimplementasikan, maka tidak akan dapat diketahui tingkat
keberhasilannya untuk orang banyak. Kebijakan hanya akan menjadi rencana
konseptual yang akan tersimpan rapi dalam tumpukan arsip-arsip saja.

Pemerintah sendiri melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor


17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan membuat
aturan yang jelas sebagai tata laksana pengelolaan pendidikan yang dalam manajemen
pendidikan nasional sebagai pedoman dan praktek berkaitan dengan implementasi
kebijakan pendidikan maupun pelaksanaan program yang dijabarkan dari kebijakan-
kebijakan tersebut.

Birokrasi Pendidikan Di Indonesia

Kehadiran birokrasi sebenarnya dipergunakan untuk mengatur suatu pekerjaan


yang beraneka ragam yang menyangkut kepentingan orang banyak agar bisa
terlaksana dan melayani semua golongan dengan baik, efektif, dan mudah. Akan
tetapi, dalam perkembangannya, sampai sekarang birokrasi telah menjadi momok
bagi manusia modern, yang selalu ingin dihindari dan dijauhi.

Dunia pendidikan nasional di zaman reformasi ini, diakui atau tidak memiliki
karakter yang menenggelamkan gerakan intelektual bagi kemajuan pendidikan
nasional. Kecenderungan birokrasi pada lembaga pendidikan yang rumit dalam
memberikan pelayanan terhadap masyarakat karena begitu banyaknya biro yang harus
dilalui. Kesan mengutamakan aktivitas birokrasi inilah yang pada akhirnya
mengesampingkan dunia intelektual. Mental birokrasi untuk memberikan pelayanan
terhadap pengembangan dan gerakan intelektual ini menjadi sangat penting karena
pengembangan dan gerakan intelektual di lembaga pendidikan memerlukan suasana
dan kondisi yang sangat kondusif bagi munculnya kreativitas dan inovasi baru. Peran
birokrasi yang berwajah manusia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di
bidang pendidikan diharapkan sepenuhnya berperan vital, reformis, dinamis, inovatif,
aspiratif, terbuka dan bersifat mengayomi.

Perlu kita ketahui sala satu problematika pendidikan di Indonesia adalah


permasalahan yang mencakup kualitas guru. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) perlu menelorkan program pemetaan mutu guru secara
nasional melalui instrumen penilaian yang diberlakukan secara nasional seperti halnya
berlaku bagi siswa yang diuji secara nasional melalui Ujian Nasional. Usaha ini
diharapkan merupakan upaya terbesar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) dalam menegakkan keadilan untuk meningkatkan mutu pendidikan
khususnya kompetensi guru dan peserta didik di Indonesia.

Pelibatan publik yang efektif

Apa yang selama ini sudah terjadi dalam rangka pelibatan publik masih terjadi
pada satu level, yaitu pada level kementerian, seperti adanya berbagai macam
simposium nasional yang digelar di Kemendikbud untuk membahas persoalan
regulasi dan kebijakan pendidikan di tingkat nasional serta pemilihan para eselon
untuk menduduki jabatan direktorat jenderal, kepala pusat, ataupun pejabat setingkat.
Format pelibatan inipun belum jelas karena mekanisme belum terbentuk sehingga
belum efektif.

Ideal pelibatan publik yang efektif mestinya menyentuh tiga level sekaligus,
yaitu level unit sekolah, dinas pendidikan, dan kementerian. Tiga model itu bila
dikembangkan secara efektif dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara
berkelanjutan. Di tiga level ini, pelibatan publik harus memiliki target pada perubahan
kebijakan, bukan sekadar berupa model komunikasi sosialisasi, konsultasi, ataupun
kolaborasi. Kolaborasi tingkat tinggi akan menjadi partisipasi publik yang autentik.

Untuk itu, ada tiga lapis pelibatan publik yang perlu didiseminasikan. Pertama,
pelibatan publik, terutama orangtua, pada level unit sekolah ialah fundamental
pendidikan nasional. Ini terjadi karena orangtualah yang mestinya berkolaborasi dan
terlibat dengan pihak sekolah. Sebaliknya, sekolah seharusnya menganggap orangtua
sebagai pemangku kepentingan utama. Pelaku utama pelibatan publik pada level ini
antara lain orangtua, tokoh masyarakat, alumni, dan komite sekolah.

Kedua, pelibatan publik dalam level dinas pendidikan setempat. Era otonomi
daerah menempatkan dinas pendidikan sebagai pelaku utama pengembangan
pendidikan di daerah. Pelaku utama pada level ini ialah paguyuban orangtua, LSM,
masyarakat, perguruan tinggi, dewan pendidikan kota/provinsi, dan berbagai macam
pihak yang memiliki kepentingan akan peningkatan pendidikan di daerah.

Ketiga, pelibatan publik dalam level Kementerian Pendidikan dan


Kebudayaan. Pada level ini, publik dapat terlibat, terutama dalam membahas dan
mendesain kebijakan pendidikan yang berada pada level nasional, baik itu dari sisi
pengembangan kurikulum, buku, penilaian pendidikan, guru, dan perluasan akses
pendidikan. Pelaku utama pelibatan publik pada level ini ialah perguruan tinggi,
lembaga-lembaga pendidikan, organisasi dan komunitas pemerhati pendidikan,
individu dan komunitas/CSR, dinas pendidikan, serta dewan pendidikan di tingkat
nasional (yang seharusnya ada). Tiga level pelibatan publik ini mestinya menjadi
paradigma dalam memetakan persoalan pendidikan dan menentukan kebijakan
pendidikan di tiap level. Pelibatan publik akan bermakna bila efektif dan efisien.

Peran Birokrasi dan Partisipasi Masyarakat sebagai Kontrol Pendidikan


Nasional

Peran birokrasi dan partisipasi masyarakat sebagai kontrol pendidikan nasional


merupakan fungsi birokrasi itu sendiri, mengontrol tugas pokok dan fungsi birokrasi
pendidikan hingga pelaksanaan proses pendidikan di daerah supaya berjalan dengan
baik. Menurut Tilaar, meningkatkan kemampuan kinerja birokrasi pendidikan dapat
dilakukan melalui program pembinaan birokrasi pendidikan nasional yang
profesional, ini dilakukan untuk menghapus stigma bahwa birokrasi merupakan
kelompok yang sangat sulit untuk berubah.

Partisipasi masyarakat sebagai kontrol pendidikan nasional diamanatkan


dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 melalui pembentukan dewan
pendidikan baik pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Dewan pendidikan
tersebut merupakan lembaga yang independen yang antara lain dapat mengontrol
jalannya pendidikan di daerah. Fungsi dewan pendidikan ini harus terus ditingkatkan
baik mengenai mutu para anggotanya maupun mekanisme kerjanya di daerah maupun
di pusat.

Peran Birokrasi di Lembaga Sekolah

Menurut Zamroni, reformasi pendidikan pada era reformasi dewasa ini secara
prinsip sebenarnya mengarah pada dua sasaran penting. Pertama reformasi pendidikan
diarahkan untuk memberikan tanggungjawab lebih besar kepada birokrasi di daerah
untuk secara langsung menangani pendidikan, dengan memobilisasi dukungan penuh
masyarakat (desentralisasi). Kedua, reformasi ditujukan untuk meningkatkan
dinamika internal sekolah, dengan memberikan kesempatan lebih besar pada level
sekolah: kepala sekolah, guru, orang tua siswa, staf administrasi dalam melaksanakan
penyelenggaraan sekolah sehari-hari (otonomi sekolah) atau disebut juga dalam wujud
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Di lembaga sekolah, jabatan kepala sekolah, guru dan siswa sangatlah penting
dan masing-masingnya didefinisikan berdasarkan serangkaian ekspetasi. Ekspetasi
birokratis memerinci dan menetapkan perilaku yang semestinya/tepat bagi peran atau
posisi tertentu. Seorang guru, mengemban kewajiban untuk merancang pengalaman
belajar para siswa dan memiliki tugas untuk melibatkan para murid dengan cara yang
efektif secara pedagogis.

Singkat kata, organisasi formal semisal sekolah memiliki struktur yang terdiri
atas ekspetasi dan peran birokratis, sebuah hierarki jabatan dan posisi, aturan dan
peraturan, serta spesialisasi. Ekspetasi birokratis mendefinisikan peran-peran
organisasional; peran dileburkan ke dalam posisi dan jabatan. Adapun posisi dan
jabatan disusun ke dalam sebuah hirarki kewenangan/otoritas formal yang sesuai
dengan kekuasaan dan status relatifnya. Aturan dan peraturan ditetapkan untuk
memandu pengambilan keputusan dan meningkatkan rasionalitas organisasional,
sedangkan tenaga kerja dibagi-bagi sesuai dengan spesialisasi individu di dalam
tugas. Perilaku di sekolah sebagian ditentukan oleh struktur organisasinya; sebagian
struktur mempermudah dan sebagian yang lain menghambat fungsi sekolah.

Peran birokrasi di lembaga sekolah menjadi puncak model implementasi


kebijakan, oleh karenannya diperlukan adanya pembaharuan manajemen pada satuan
pendidikan. Proses pembaharuan tersebut berkaitan dengan pengembangan
(development), penyebaran (diffusion), diseminasi (dissemination), perencanaan
adopsi (adoption), dan penerapan (implementation).

Model implementasi kebijakan di bidang pendidikandalam implementasinya


harus menggunakan saluransaluran komunikasi yang mendukung kelancaran suatu ide
atau gagasan dapat dicerna dengan baik oleh masyarakat. Ide-ide tersebut
disosialisasikan dalam bentuk desiminasi skala regional maupun nasional. Usaha ini
diharapkan dapat memecah kebuntuan komunikasi yang kerap kali terjadi pada setiap
kebijakan yang digulirkan sehingga menimbulkan gesekan bahkan konflik horizontal
di masyarakat khususnya pemangku kepentingan di dunia pendidikan atau konflik
vertikal dengan sang pembuat kebijakan hingga berujung pada ketidakpercayaan
publik atas pemerintah itu sendiri. Pemerintah sebagai pemegang amanah kekuasaan
dari rakyat melalui undangundang atau aturan yang diciptakannya dapat bersama-
sama rakyat secara langsung menentukan formulasi kebijakan dan
mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Simpulan

Peran birokrasi di bidang pendidikan membutuhkan birokrasi pendidikan yang


mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan dan memahami
kebutuhan masyarakat yang dilayani. Kinerja birokrasi melalui responbilitas harus
terus ditingkatkan untuk menciptakan pelayanan prima terutama merespon
kepentingan publik. Lembaga pendidikan membutuhkan penghargaan dan perlakuan
humanis ketimbang dijadikan sasaran ekploitasi dan kepentingan politis etis semata
yang menegasikan tujuan utama dari pendidikan itu sendiri.

Peran birokrasi di lembaga sekolah pada akhirnya menjadi puncak model


implementasi kebijakan pada satuan dan jenjang pendidikan. Di sini diperlukan
adanya pembaharuan manajemen pada satuan dan jenjang pendidikan tersebut. Proses
pembaharuan atau inovasi manajemen menjadi suatu keniscayaan untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang tengah dihadapi. Problem-problem tersebut
dapat berupa usaha pemerataan pendidikan, peningkatan mutu, peningkatan efisiensi
dan efektifitas pendidikan serta relevansi pendidikan. Tujuannya agar supaya
penyebaran ide-ide inovasi yang dilakukan bisa diadopsi, dimanfaatkan dan
didesiminasikan untuk perbaikan dan pemecahan problematika pendidikan di
Indonesia.
Saran

Pelibatan publik akan bermakna bila efektif dan efisien. Agar efektif dan
efisien, ada tiga hal mendesak yang perlu dilakukan. Pertama, perlu ada mekanisme
komunikasi timbal-balik antara lembaga pendidikan dan publik secara transparan,
baik itu di tingkat unit sekolah, dinas, maupun kementerian. Kedua, penguatan peran
orangtua dan komite sekolah sangat dibutuhkan agar komite sekolah dan orangtua
sungguh menjadi mitra unit sekolah, bukan sekadar tukang stempel kebijakan kepala
sekolah. Ketiga, penguatan kembali dewan pendidikan kota/provinsi sebagai mitra
dinas pendidikan.

Pendidikan memang urusan semua orang. Pelibatan publik merupakan


conditio sine qua non bagi perbaikan kualitas pendidikan nasional. Pelibatan publik
hanya efektif dan efisien bila akhirnya setiap kebijakan pendidikan ialah hasil dari
dialog pemikiran dengan masyarakat. Pendidikan ialah milik rakyat, bukan kepunyaan
segelintir elite di senayan.
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih detail dan fokus dalam menjelaskan tentang isi artikel ilmiah diatas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan. Serta
perlu adanya kritik dan saran dari dosen pengampuh mata kuliah bahasa Indonesia ini,
terimakasih.
Daftar Pustaka

Dwiyanto, Agus dkk,. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit


PSKK-UGM, 2002.

Irianto, Yoyon Bahtiar. Kebijakan Pembaharuan Pendidikan: Konsep, Teori dan


Model. Jakarta: PT. RajawaliGrafindo Persada, 2012.

Rifai, Muhammad. Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: ArRuzz Media, 2011.

Rohman, Arif. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang Mediatama,


2009.

Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam


Pusaran Kekuasaan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009.

Zamroni. Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi (Prakondisi Menuju Era


Globalisasi). Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007.

http://budisansblog.blogspot.com/2016/04/pelibatan-publik-pendidikan.html?m=1

http://nanamafazah.blogspot.com/2017/11/artikel-ilmiah-pemahaman-
bahasa.html?m=1

http://jikti.bakti.or.id/updates/komunikasi-pelibatan-publik-dalam-pendidikan

Anda mungkin juga menyukai