Makalah TTK Kelompok 9
Makalah TTK Kelompok 9
Dosen Pengampu :
Oleh Kelompok 9 :
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Tidak lupa
kami juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pemikirannya.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca. Semoga Allah SWT selalu memberikan
Rahmat dan Petunjuk-Nya kepada kita semua, Amin.
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .................................................................................. 11
B. Saran ............................................................................................ 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia sebagai individu atau pun makhluk sosial,
kepribadian senantiasa mengalami warna-warni kehidupan. Ada kalanya
senang, tentram, dan gembira. Akan tetapi pengalaman hidup membuktikan
bahwa manusia juga kadang-kadang mengalami hal-hal yang pahit, gelisah,
frustasi dan sebagainya. Ini menunjukan bahwa manusia mengalami dinamika
kehidupan.
Teori kepribadian merupakan deskripsi organisasi tingkah laku secara
sistematis. Kepribadian disebut organisasi karena bukan merupakan bentuk
perilaku tunggal dan tersendiri, melainkan terdiri dari banyak tingkah laku.
Kemunculan suatu tingkah laku terjadi melalui faktor anteseden (pelatar
belakang), sebab musabab, pendorong, sasaran, dan tujuan. Faktor-faktor
tersebut diletakkan dalam suatu kerangka yang saling berhubungan.
Kepribadian pada hakikatnya merupakan gambaran sikap dan perilaku
manusia secara umum yang tercermin dari ucapan dan perbuatannya.
Kepribadian berbeda dengan karakter, karena pengertian kepribadian
dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian baik kepribadian maupun karakter
berwujud tingkah laku yang ditujukan ke lingkungan sosial, keduanya relatif
permanen serta menuntun, mengerahkan dan mengorganisasikan aktifitas
individu. Kepribadian meliputi segala corak perilaku dan sifat yang khas dan
dapat diperkirakan pada diri seseorang atau lebih bisa dilihat dari luar, yang
digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap rangsangan,
sehingga corak tingkah lakunya itu merupakan satu kesatuan fungsional yang
khas bagi individu. Wujud tingkah laku yang ditujukan kelingkungan tersebut
tentu terus berkembang dan adanya komponen-komponen atau faktor-faktor
yang mempengaruhinya yang saling berinteraksi sehingga membentuk suatu
kepribadian.
1
Untuk itu dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai teori-teori
kepribadian secara memadai, juga tentang komponen atau aspek-aspek
kepribadian dan keterkaitan teori kepribadian dalam konteks bimbingan dan
konseling agar para calon konselor mampu memahami setiap individu yang
memiliki kepribadian yang berbeda-beda.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa saja teori kepribadian terapan dalam konteks bimbingan dan
konseling?
C. Metode Penulisan
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis
menggunakan metode pustaka atau teknik mempelajari dan mengumpulkan
data dari pustaka yang berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun
informasi dari jurnal
D. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami terapan teori kepribadian dalam
konteks bimbingan dan konseling.
2. Untuk mengetahui keterkaitan teori kepribadian dengan pendekatan
konseling.
E. Manfaat Penulisan
Menambah pengetahuan atau wawasan tentang terapan teori
kepribadian dalam konteks bimbingan dan konseling kepada para pembaca
khususnya mahasiswa bimbingan dan konseling agar mendapat pengetahuan
yang lebih luas.
2
BAB II
KAJIAN TEORI
3
pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatik di masa
lalu. Pelepasan ini dikenal dengan katarsis. Klien diminta untuk berbaring
dan mengungkapkan apa saja yang terlintas dalam pikiran atau perasaan,
meskipun sesuatu yang menyakitkan, remeh, tolol, tidak logis, dan
mungkin terdengar tidak relevan. Secara singkat, klien harus melaporkan
apa saja tanpa ada yang disembunyikan.
2) Analisis Mimpi
Analisis mimpi didasarkan kepada asumsi bahwa pada saat tidur ego
menjadi lemah untuk mengontrol dorongan-dorongan id ataupun hal-hal
yang disadari. Dorongan-dorongan tersebut akan mendesak ego untuk
memuaskannya. Proses pemuasan dilambangkan dalam bentuk mimpi.
Untuk menganalisis akar masalah pasien, seorang psikoanalisis harus
dapat mengungkapkannya dengan cara menganalisis mimpi. Dalam hal ini,
pasien diminta untuk menceritakan isi mimpinya kemudian dianalisis.
3) Interpretasi
Setelah masalah diketahui, kemudian diinterpretasi dan psikoanalisis
akan mendorong pasien untuk mengakui ketidaksadarannya, baik yang
terkait dengan pikiran, kegiatan, maupun keinginan-keinginannya.
Interpretasi menjadi cara untuk memfasilitasi pasien dalam memahami
ketidaksadarannya sehingga muncul insight.
4) Resistensi
Terkait dengan interpretasi, tujuan yang diharapkan adalah klien
mencapai insight (kesadaran), tetapi hal ini tidaklah mudah, karena
mungkin akan muncul resistensi (penolakan). Hal ini disebabkan oleh
ketidaksadaran dan perasaan terancam. Bentuk resistensi ini antara lain
adalah tidak menepati janji, menolak interpretasi, dan banyak
menghabiskan waktu dengan berdiskusi.
5) Transferensi
Terjadi ketika pasien merespons psikoanalis sebagai figure pada waktu
kecil (orang tua). Respon ini dapat berupa respons positif dan respons
negatif bergantung pada suasana emosi yang dialaminya. Transferensi
4
memberikan petunjuk tentang hakikat masalah pasien, sehingga
memudahkan psikoanalis untuk menginterpretasikannya. Transferensi ini
dapat dimunculkan dalam bentuk pujian, celaan, ataupun kemarahan.
Pasien mungkin akan menyerang analis yang dianggap tidak bermanfaat
baginya, ataupun sebaliknya, akan memuji analis. Untuk itu seorang
psikoanalis harus meneliti reaksi-reaksi tersebut agar memperoleh
pemahaman lebih mendalam terhadap masalah pasiennya (Hidayat,
2011:38).
2. Behaviorisme (Skinner)
Behavior merupakan salah satu teknik guna merubah tingkah laku
yang lebih adaptif. Pendekatan ini lebih efekif untuk menangani kasus-
kasus dalam dunia pendidikan, khususnya maladaptif. Berfokus pada
modifikasi tingkah laku menjadi ciri yang sangat menonjol dalam teknik
behavior. Teknik ini berkembang mulai tahun 1950-an hingga sekarang,
teknik behavior masih relevan untuk diterapkan. Penting untuk diketahui
bahwa behavior ini merupakan aspek gerakan memodifikasi tingkah laku
pada taraf yang masih bias didefinisikan secara oprasional, diamati dan
diukur. Manusia mempunyai potensi positif dan negatif yang bias jadi
terbentuk karena factor lingkungan social budaya. Adapun (dalam Jurnal
Wahyudi,2017:45) ciri behavior dapat dilihat dari:
a. Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak.
b. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment.
c. Perumusan prosedur tretment yang spesifik sesuai dengan masalah.
d. Penaksiran objekif atas hasil-hasil terapi.
Secara umum, tujuan dari terapi behavioristik adalah menciptakan
suatu kondisi baru yang lebih baik melalui proses belajar sehingga
perilaku simtomatik dapat dihilangkan. Sementara itu tujuan terapi
behavioristik secara khusus adalah mengubah tingkah laku adaftif dengan
cara memperkuat tingkah laku yang diharapkan dan meniadakan perilaku
yang tidak diharapkan serta berusaha menemukan cara-cara bertingkah
laku yang tepat (Latipun,2001 dalam Lubis, 2011:171).
5
Awalnya pendekatan perilaku menggunakan data-data yang
dipeoleh melalui observasi diri dari kegiatan mental dalam bentuk
introspeksi. Introspeksi pendekatan perilaku berdasarkan hasil pengamatan
dan pencatatan, terutama mengenai persepsi dan perasaan. Bentuk
introspeksi dimulai dari laporan mengenai kesan-kesan yang diterima.
Kemudian dibuatkan suatu evaluasi terhadap perilaku. Perilaku muncul
sebagai akibat. :
a. Hubungan timbal balik antara stimulus dan respons yang lebih dikenal
dengan rangsangan tanggapan. Hubungan stimulus dan respon akan
membentuk pola-pola perilaku baru.
b. Hubungan stimulus dan respons merupakan suatu mekanisme dari
proses belajar lingkungan luar
c. Ganjaran (reward) akan memberikan penguatan kepada respons atau
tetap untuk mempertahankan respos. Adanya hukuman (punishment)
melemahkan respons atau mengalihkaan respons ke bentuk respons
lainnya. Perubahan perilaku akiba5 perubahan dari ganjaran atau
hukuman (Pieter & Lubis, 2010:21).
Adapun beberapa prinsip pengubahan tingkah laku yang
dikembangkan Skinner diaplikasikan dalam pelaksanaan konseling.
Bentuk aplikasi tersebut adalah sebagai berikut.
1) Modifikasi Perilaku
Modifikasi perilaku sering disebut sebagai b-mod, yaitu teknik terapi
berdasarkan teori Skinner. Caranya adalah dengan memadamkan perilaku
yang tidak diinginkan (dengan menghapus reinforce) dan menggantinya
dengan perilaku yang diinginkan melalui penguatan. Teknik ini digunakan
pada berbagai macam gangguan psikologis, seperti kecanduan obat-
obatan, neurosis, rasa malu, autism, bahkan skizofrenia, dan ternyata
hasilnya sangat baik terutama untuk anak-anak.
2) Pembanjiran (Flooding)
Membanjiri klien dengan situasi atau penyebab yang menimbulkan
kecemasan atau tingkah laku yang tidak dikehendaki. Klien diminta untuk
6
tetap bertahan dalam sebuah kondisi sampai yang bersangkutan menyadari
bahwa malapetaka yang dicemaskannya tidak terjadi. Flooding harus
dilakukan dengan sangat berhati-hati karena reaksi emosi yang sangat
tinggi bisa menimbulkan akibat yang membahayakan.
3) Teori Aversi
Pada kontrol diri, pelaksanaan terapi dapat dilakukan oleh individu
sendiri. Sedang pada terapi aversi, pengaturan kondisi aversi diciptakan
oleh terapis. Misalnya, remaja takan oleh terapis. Misalnya, remaja yang
senang berkelahi akan ditunjukkan foto teman-temannya yang kesakitan
karena berkelahi. Pada saat yang sama, remaja tersebut dikenai kejut listrik
yang menimbulkan rasa sakit. Dengan cara ini diharapkan terjadi proses
pembalikan reinforcement positive (berupa perasaan senang/bangga)
karena menyakiti teman lain, berubah menjadi reinforcement negative
(perasaan iba, berdosa, dan takut) karena melihat luka dan merasakan sakit
karena kejut listrik.
4) Pemberian Reward/Punishment Secara Selektif
Strategi terapi ini untuk memperbaiki tingkah laku anak dengan
melibatkan figure di sekeliling anak sehari-hari, khususnya orang tua dan
guru. Terapis meneliti klien dalam situasi yang alamiah, bekerjasama
dengan orang tua dan guru untuk memberi hadiah ketika anak melakukan
tingkah laku yang dikehendaki, dan menghukum apabila muncul tingkah
laku yang tidak dikehendaki.
5) Latihan Keterampilan Sosial
Teknik ini banyak dipakai untuk membantu penderita depresi. Teori
depresi yang popular memandang depresi sebagai akibat dari perasaan
tidak mendapat hadiah (perhatian) dari lingkungan, mungkin karena tidak
memiliki keterampilan untuk memperolehnya (Hidayat, 2011: 131-132).
3. Teori Belajar Sosial (Bandura)
Dalam pandangan Bandura, manusia pada hakikatnya adalah
makhluk yang berpikir dan sadar untuk mengatur tingkah lakunya sendiri.
Manusia bukan pion atau bidak yang mudah dipengaruhi dan dimanipulasi
7
oleh lingkungan. Hubungan manusia dengan lingkungan bersifat saling
memengaruhi satu sama lain. Kepribadian manusia berkembang dalam
konteks sosial dan berinteraksi satu sama lainnya. Manusia dapat mengatur
perilakunya sendiri dengan mengubah tanggapan kognitif terhadap
anteseden dan mengatur sendiri reinforcement yang diberikan kepada
dirinya. Tingkah laku manusia merupakan hasil interaksi timbal balik yang
terus menerus dengan faktor-faktor penentu (Hidayat, 2011:150).
Adapun penerapan teori belajar sosial dalam konseling yaitu
sebagai berikut.
a. Pemahaman Individu
Salah satu upaya untuk memahami individu adalah dengan
memahami perilakunya. Berdasarkan teori Bandura untuk memahami
perilaku individu maka perlu memahami interaksi individu tersebut
dengan lingkungannya. Konselor perlu memahami bahwa lingkungan
dapat membentuk perilaku individu dan lingkungan tersebut juga
menggambarkan individu-individu yang ada di dalamnya. konselor perlu
juga memahami bahwa munculnya motif-motif, dorongandorongan dan
kebutuhan-kebutuhan klien merupakan pengaruh interaksi klien dengan
lingkungannya (Hansen: 1982 dalam Jurnal Tarsono, 2010:31-32). Dengan
demikian untuk memahami klien dalam rangka proses konseling, konselor
perlu mencari data pendukung dari lingkungan dimana klien berada.
Lingkungan klien meliputi lingkungan keluarga, teman-teman atau
lingkungan masyarakat lain. Yang perlu diperhatikan juga adalah
kebiasaan-kebiasaan klien, misalnya acara TV atau film yang sering
dilihatnya, buku-buku yang sering dibaca, lagu-lagu yang disukai, artis
atau tokoh yang diidolakan. Hal-hal tersebut memungkinkan klien untuk
meniru dan membentuk perilakunya.
b. Proses Konseling
Dalam proses konseling, faktor kehangatan, keterbukaan,
penerimaan atau penghargaan dianggap perlu akan tetapi tidak cukup
sebagai kondisi pengubah perilaku. Untuk itu dalam proses konseling
8
perlu diciptakan kondisi yang memungkinkan klien dapat mempelajari
perilaku baru melalui imitasi atau peniruan, terutama yang ditunjukkan
oleh konselor atau anggota kelompok lain dalam konseling kelompok.
Menurut Bandura dalam Corey (1991: 230 dalam Jurnal Tarsono,
2010:32-33) konselor menjadi model penting bagi klien. Klien seringkali
meniru sikap-sikap, nilai-nilai dan perilaku konselor. Jadi konselor harus
menyadari perannya dalam proses identifikasi yang dilakukan klien.
Dengan memahami implikasi teori Bandura dalam proses konseling ini,
maka perlu disadari oleh para konselor pada umumnya, tidak hanya
konselor dalam aliran behavioristik bahwa seorang konselor dituntut
memiliki keterampilan dan kepribadian yang sesuai atau mantap.
Konselor harus menyadari selama proses konseling dirinya
menjadi model bagi klien baik dalam perilaku, nilainilai, norma-norma,
bahkan keyakinan-keyakinannya yang diterima atau diamati klien, baik
secara verbal maupun non verbal. Yang perlu diperhatikan selama proses
konseling, konselor hendaknya menciptakan hubungan agar klien merasa
tidak dihakimi atau diadili tetapi klien merasakan bahwa konselor
menyukainya dengan segala informasi mengenai masa lalunya,
keluarganya, pengalaman-pengalaman, serta rencana-rencananya.
Informasi ini sangat bermanfaat bagi konselor untuk memahami klien.
Dalam memahami klien sangat dibutuhkan pemahaman mengenai
bagaimana klien dapat menggunakan waktunya untuk melaksanakan
proses konseling, sehingga kesepakatan yang dibuat dapat dilaksanakan
dengan baik (Tarsono, 2010:32-33).
9
BAB III
PEMBAHASAN
10
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konseling yang dilakukan dalam psikoanalisis bertujuan untuk
membentuk kembali struktur karakter individual dengan jalan membuat
kesadaran yang tidak disadari dalam diri klien. Proses terapi difokuskan pada
upaya mengalami kembali pengalaman masa kanak-kanak. Pengalaman
tersebut direkonstruksi, dibahas, dianalisis, dan ditafsirkan dengan tujuan
untuk merekonstruksi kepribadian. Terapi psikoanalisis lebih menekankan
dimensi afektif. Meskipun pemahaman dan pengertian intelektual penting,
tetapi perasaan-perasaan dan ingatan-ingatan yang berkaitan dengan
pemahaman diri lebih penting.
Secara umum, tujuan dari terapi behavioristik adalah menciptakan
suatu kondisi baru yang lebih baik melalui proses belajar sehingga perilaku
simtomatik dapat dihilangkan. Sementara itu tujuan terapi behavioristik secara
khusus adalah mengubah tingkah laku adaftif dengan cara memperkuat
tingkah laku yang diharapkan dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan
serta berusaha menemukan cara-cara bertingkah laku yang tepat.
Dalam pandangan Bandura, manusia pada hakikatnya adalah makhluk
yang berpikir dan sadar untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. Manusia
bukan pion atau bidak yang mudah dipengaruhi dan dimanipulasi oleh
lingkungan. Hubungan manusia dengan lingkungan bersifat saling
memengaruhi satu sama lain.
B. Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan untuk itu kami mengharapkan kritik
dan masukan yang membangun dari pembaca agar dapat menambah
kesempurnaan dari makalah ini, mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua terutama bagi anggota kelompok.
11
Daftar Rujukan
Lubis, Namora Lumongga & Herri Zan Pieter. 2010. Pengantar Psikologi untuk
Kebidanan. Jakarta: Kencana.
12
Lampiran
13