Anda di halaman 1dari 22

Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,

Kabupaten Klaten

PERNIKAHAN ADAT JAWA DI DESA NENGAHAN, KECAMATAN BAYAT,


KABUPATEN KLATEN

Bayu Ady Pratama


Universitas Sebelas Maret
bayuadypratama22@gmail.com

Novita Wahyuningsih
Universitas Sebelas Maret
wahyuningsih.novit@yahoo.co.id

ABSTRACT

Javanese traditional wedding ceremony is a legacy of the tradition of the Royal Palace
of Yogyakarta and Yogyakarta. Wedding ceremony in Javanese culture always adhere
to the existing standard. Rules and ordinances not only show the value of beauty
(aesthetic) alone, but also contains a high philosophical meaning. The village of
Nengah, Bayat, Klaten is one of the places that still tries to uphold Javanese cultural
values, including in terms of marriage procession. This study aims to explore and
review the wedding procession held in the village of Nengah, Bayat, Klaten. Research
methods used literature study, observation, interviews, and documentation. The study
uses qualitative data analysis (Amiri, 1995: 34). The result show that the comunity ini
Nengah, Bayat, Klaten have a view of life that marriage is a sacred and sacred thing.
The weeding procession is not held as complete in the culture of the palace, but still
based on the existing Javanese wedding customs.

Keywords: wedding, Klaten, culture, Javanese, tradition

ABSTRAK
Upacara pernikahan adat Jawa merupakan warisan dari tradisi Keraton Surakarta dan
Yogyakarta. Upacara pernikahan dalam budaya Jawa berpegang pada aturan baku/pakem.
Aturan dan tata cara tersebut tidak hanya memperlihatkan nilai keindahan (estetik)
semata, tetapi juga mengandung makna filosofis. Desa Nengahan, Kecamatan Bayat, Klaten
masih berusaha menjunjung nilai budaya Jawa dalam prosesi pernikahan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menggali dan mengkaji prosesi pernikahan yang
diselenggarakan di Desa Nengahan, Bayat, Klaten. Metode penelitian yang digunakan
adalah studi pustaka, literatur, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang
diperoleh lalu diolah dengan pendekatan kualitatif (Amiri, 1995, h.34). Hasil penelitian
adalah bahwa masyarakat Desa Nengahan, Bayat, Klaten memiliki pandangan hidup
terhadap pernikahan sebagai sesuatu sakral dan suci. Prosesi pernikahan adat Jawa ini
memang tidak diselenggarakan secara lengkap, tetapi masih berpegang pada atutan baku
pernikahan Jawa.
Kata kunci: pernikahan, Klaten, budaya, Jawa, tradisi

19
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018

PENDAHULUAN pasangan pengantin (Febriantiko,


Pernikahan adalah ikatan lahir 2014, h. 100).
batin antara seorang pria dengan Masyarakat tradisional Jawa
seorang wanita sebagai suami-istri mempunyai tata cara yang lengkap
dengan tujuan untuk membentuk dalam melangsungkan sebuah tradisi
keluarga (rumah tangga) yang pernikahan. Tata cara dalam tradisi
bahagia dan kekal berdasarkan pernikahan adat Jawa itu, biasanya,
keimanan terhadap Tuhan Yang Maha dapat di bagi menjadi tiga bagian,
Esa (Tualaka, 2009, h.12). Pernikahan yakni tata cara sebelum pernikahan,
atau perkawinan merupakan suatu tata cara hari pelaksanaan
pristiwa yang sangat penting bagi diri pernikahan (saat tempuking gawe),
manusia. Dasar dalam sebuah dan tata cara sesudah pernikahan.
perkawinan itu dibentuk oleh suatu Pada tahap sebelum pernikahan,
unsur alami dari manusia itu sendiri masyarakat Jawa biasanya mengawali
yang meliputi kebutuhan hidup ritual dengan tata cara nontoni
berumah tangga, kebutuhan biologis (silaturahmi), nglamar (melamar/
untuk melahirkan keturunan, pinangan), wangsulan (pemberian
kebutuhan terhadap kasih sayang jawaban), asok tukon (pemberian
antaranggota keluarga, dan juga uang dari keluarga calon pengantin
kebutuhan rasa persaudaraan serta pria ke calon pengantin wanita
kewajiban untuk memelihara anak- sebagai bentuk rasa tanggung jawab
anak agar menjadi penerus generasi orangtua), srah-srahan (penyerahan
dan menjadi anggota masyarakat barang-barang sebagai hadiah dari
yang baik. Pernikahan diharapkan calon pengantin pria ke calon
hanya terjadi sekali seumur hidup pengantin wanita), nyatri (kehadiran
karena pernikahan merupakan calon pengantin pria dan keluarga ke
peristiwa yang suci, sakral, dan kediaman calon pengantin wanita),
menjadi kenangan seumur hidup. pasang tarub (memasang tambahan
Perkawinan juga perlambangan atap sementara di depan rumah
kehormatan, kejayaan, prestasi, dan sebagai peneduh tamu), siraman
prestise orang tua mempelai serta (upacara mandi kembang), dan
midodareni (upacara untuk

20
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten

mengharap berkah Tuhan agar berkharisma. Pernikahan harus


diberikan keselamatan pada dilaksanakan secara mengesankan
pemangku hajat di perhelatan dan memuaskan bagi semua pihak
berikutnya). Berikutnya, hari sesuai dengan impian pasangan
pelaksanaan pernikahan biasanya pengantin tersebut (Febriantiko,
mengadakan upacara boyongan atau 2014, h.100).
ngunduh (silaturahmi pengantin Berdasarkan alasan tersebut,
wanita ke kediaman pengantin pria tujuan atau masalah utama dari
setelah hari kelima pernikahan) tulisan ini adalah prosesi pernikahan
(Suryakusuma dkk, 2008, h.91). adat Jawa di Desa Nengahan,
Pernikahan pada umumnya Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.
merupakan salah satu pristiwa besar Dari hal itu, hal yang dibahas dalam
dan penting dalam sejarah hidup tulisan ini adalah, pertama,
seseorang. Oleh sebab itu, peristiwa pandangan dari prosesi pernikahan
sedemikian penting ini tidak akan adat Jawa yang diselenggarakan oleh
dilewatkan oleh seseorang begitu saja masyarakat Desa Nengahan
sebagaimana mereka melewati Kecamatan Bayat Klaten. Kedua,
peristiwa hidup sehari-hari. Peristiwa makna dari prosesi pernikahan adat
pernikahan tentunya dirayakan Jawa bagi masyarakat Desa
dengan serangkaian upacara yang Nengahan, Kecamatan Bayat, Klaten,
berlandaskan budaya luhur dan suci. Jawa Tengah.
Hal ini tidak segan-segan bagi
seseorang yang mencurahkan TEORI DAN METODOLOGI
segenap tenaga, mengorbankan Untuk memaknai prosesi
banyak waktu, dan mengeluarkan pernikahan adat Jawa bagi
biaya besar untuk menyelenggarakan masayarakat pendukungnya,
upacara pernikahan ini (Murtiadji prespektif atau teori yang digunakan
dkk, 2012, h.6). Sebagai peristiwa adalah teori tentang simbol-simbol
yang diharapkan tidak terulang kebudayaan. Gagasan itu pada
kembali dalam seumur hidup, hakikatnya telah dikemukan dalam
pernikahan biasanya dibuat meriah, gagasan semiotika. Sebagai fakta
indah, elok, simpatik, dan sosial dan kultural, makna yang

21
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018

terdapat dalam prosesi tersebut Penelitian ini mengambil


bukan makna yang bersifat material, lokasi di Desa Nengahan, Kecamatan
melainkan berada dalam pikiran Bayat, Kabupaten Klaten. Peneliti
(bdk. Susanto, 2015, h.243). melakukan pengamatan secara
Deskripsi mengenai prosesi adat menyeluruh pada prosesi pernikahan
pernikahan Jawa merupakan sebuah adat Jawa di Desa Nengahan,
kajian yang bersifat struktural. Kecamatan Bayat, Klaten. Sumber
Artinya, dia hanya melihat dan data penelitian difokuskan pada
mengambarkan fenomena dengan rangkaian prosesi pernikahan di Desa
cara menghubungkan dengan unsur Nengahan, Kecamatan Bayat, Klaten
yang lain. Melalui gagasan teori sebagai pengalaman langsung dari
strukturlah yang demikina, fakta partisipan yang dikuatkan dengan
mental yang ada dalam prosesi kajian studi pustaka dan literatur
pernikahan adat Jawa itu dapat (Bahari, 2014, h. 60).
dimaknai. Teknik pengumpulan data
Metode penelitian yang yang digunakan dalam penelitian ini
digunakan adalah metode penelitian adalah penelitian lapangan (field
kualitatif. Mertode sendiri diartikan work research). Informasi diperoleh
sebagai cara ilmiah untuk dengan cara mengadakan
mendapatkan data. Selain itu, cara pengamatan, mencatat segala yang
ilmiah ini memiliki ciri-ciri keilmuan, diamati pada objek kajian, melakukan
yakni rasional, empiris, dan wawancara, dan teknik dokumentasi.
sistematis (Sugiyono, 2013, h.2). Semua itu dilakukan pada objek
Metode penelitian kualitaif adalah kajainnya, yakni prosesi pernikahan
metode penelitian yang meneliti pada adat Jawa di Desa Nengahan, Bayat.
kondisi objek yang alamiah. Peneliti Informan dari penelitian ini adalah
berfungsi sebagai instrumen kunci. kedua mempelai pengantin, keluarga
Analisis datui bersifat induktif dan mempelai, tamu undangan, panitia
hasilnya lebih menekankan pada resepsi, dan lain-lain. Dokumentasi
makna. (Sugiyono, 2014, h.1-2). merupakan pengambilan foto-foto di
lapangan penelitian seperti foto
prosesi pernikahan, foto mempelai,

22
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten

foto perlengkapan adat pernikahan, diperbolehkannya seorang laki-laki


dan sebagainya. berhubungan seksual dengan
Analisis data dalam penelitian perempuan, berciuman, berangkulan,
ini dilakukan secara kualitatif dengan dan lain-lain (Almanar, 2006, h.3).
tiga alur, yakti reduksi data, sajian Upacara pernikahan
data, dan penarikan kesimpulan. mengubah seseorang individu dalam
Reduksi data merupakan proses menempuh kehidupan baru. Keluarga
seleksi, pemfokusan, penyederhanaan yang baru dibangun perlu dibina agar
dari semua data yang diperoleh di mendatangkan suasana yang bahagia,
lapangan penelitian. Sajian data sejahtera, nyaman, dan tentram. Oleh
merupakan suatu rangkaian deskripsi karena itu, hal ini membutuhkan
dalam bentuk narasi lengkap tentang sikap tanggung jawab, terstruktur,
sesuatu yang terjadi di lapangan. dan terpadu. Masing-masing anggota
Sajian data tersebut digunakan untuk keluarga dituntut berperan aktif
menarik kesimpulan dan temuan sesuai dengan kemampuannya.
yang didapatkan. Keluarga Jawa juga ada yang
menganut sistem kekuasaan dwi
HASIL DAN PEMBAHASAN tunggal atau bersifat paternalistik,
Arti Pernikahan yaitu pemegang kekuasaan keluarga
Pernikahan berasal dari kata adalah ayah dan ibu bersama-sama.
dasar “nikah”. Kata itu merupakan Meskipun demikian, keputusan akhir
bahasa Arab, yaitu nikkah yang masih berada di tangan ayah
berarti perjanjian perkawinan. (Purwadi, 2007, h.7).
Pengesahan secara hukum suatu Selain membangun keluarga
pernikahan biasanya terjadi pada baru, melalui pernikahan, manusia
saat penandatanganan dokumen dapat memenuhi kebutuhan
tertulis dalam mencatatkan biologisnya sehingga hal itu
pernikahan. Dalam definisi etimologi, merupakan elemen untuk
nikah bermakna wath’u (bersetubuh) melanjutkan kehidupan generasi.
dan aqad (perjanjian) sekaligus. Manusia selalu berharap agar
Secara terminologi, nikah adalah mendapat karunia dari Tuhan, dari
aqad yang berisi atas masyarakat, dari keluarga, maupun

23
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018

dari dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu berfungsi sebagai pedoman
itu, penyaluran kebutuhan biologis tingkah laku dan pedoman untuk
diatur melalui pernikahan yang sah. mengontrol setiap perbuatan
Masa pernikahan merupakan salah manusia. Adat-istiadat dan
satu perkembangan daur hidup masyarakat merupakan wadah
manusia yang sangat mengesankan. kebudayaan. Kebudayaan merupakan
Hal itu merupakan masa yang sangat pengetahuan yang diperoleh manusia
penting untuk diperingati karena dan digunakan untuk menafsirkan
bertemunya dua insan yang berbeda pengalaman dan menimbulkan
jenis, kepribadian, sifat, dan watak perilaku (Koentjaraningrat, 2001,
untuk dipersatukan menjadi satu h.14).
keluarga. Dengan demikian, Adat istiadat dan tata cara
masyarakat mengembangkan tata pernikahan Jawa berasal dari budaya
cara upacara perkawinan, mulai dari keraton. Pada masa silam, tata cara
tata cara pernikahan masyarakat adat kebesaran pernikahan Jawa itu
Jawa biasa sampai pada pernikahan hanya boleh dilakukan di dalam
masyarakat Jawa kelas atas tembok keraton, abdi dalem (pelayan
(bangsawan dan raja) raja), atau orang-orang yang masih
(Pringgawidagda, 2006, h.65). mempunyai keturunan dengan raja
Indonesia terdiri dari berbagai (priayi/bangsawan). Tata acara
macam suku, adat, dan budaya, dan pernikahan adat Jawa pada dasarnya
salah satunya adalah suku Jawa. Suku memiliki beberapa tahap yang
Jawa mempunyai beraneka ragam biasanya dilalui, yaitu tahap awal,
adat istiadat dan kebiasaan yang tahap persiapan, tahap puncak acara,
dijalankan oleh masyarakat dan tahap akhir. Namun, hal itu tidak
pendukungnya sebagai warisan semuanya oleh orang yang
budaya leluhur yang masih menyelenggarakan pesta pernikahan
dilestarikan hingga kini. Adat-istiadat selalu dilaksanakan. Beberapa
merupakan suatu norma yang rangkaian itu saat ini sudah
kompleks dan oleh penganutnya mengalami perubahan sejalan dengan
dianggap penting dalam kehidupan tata nilai yang berkembang. Hingga
bersama di masyarakat. Adat istiadat saat ini, ada orang Jawa yang tertarik

24
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten

menyelenggarakan tahapan-tahapan wanita sehingga kecantikannya


upacara ritual pernikahan dengan diibaratkan seperti widodari
gaya klasik secara utuh dan lengkap (bidadari) (Suwarno, 2006, h.133).
(Agoes, 2001, h.2). Setelah prosesi midodareni
Setelah melewati tahap awal selesai, prosesi dilanjutkan dengan
dengan ritual nontoni, nglamar, upacara ijab. Tahap ini merupakan
wangsulan, dan asok tukon, prosesi acara terpenting dari rangkaian acara
selanjutnya adalah ritual serah- pernikahan. Sebab, dalam acara ini,
serahan. Serah-serahan merupakan calon mempelai pria dan wanita
upacara penyerahan barang-barang mengucapkan janji seumur hidup,
dari pihak calon pengantin pria sehidup semati. Sebagai suatu
kepada calon pengantin wanita dan upacara yang paling penting, acara ini
keluarganya sebagai hadiah biasanya ditata dengan sedemikian
menjelang upacara panggih rupa sehingga terasa khusyuk.
(berjumpa). Serah-serahan Mengenai tempat dilaksanakanya
merupakan acara yang tidak baku, pernikahan, sebagaian orang ada
tetapi hanya sebagai nepa palupi atau yang berpendapat tempat ijab perlu
melestarikan adat budaya yang telah dilakukan di luar rumah karena saat
berjalan dan dipandang baik itu calon mempelai pria belum sah
(Pringgawidagda, 2006, h.47). sehingga belum diizinkan masuk ke
Upacara serah-serahan biasanya dalam rumah (Hariwijaya, 2005,
dilaksanakan sehari sebelum h.139).
dilaksanakannya upacara pernikahan, Sebelum upacara panggih
tepatnya di malam midodareni dimulai, mempelai wanita sudah lebih
(Winami, 2007, h.1). dahulu didudukkan di pelaminan
Midodareni adalah upacara bersama kedua orang tuanya.
untuk mengharapkan berkah dari Sebelum memasuki upacara panggih,
Tuhan agar diberikan keselamatan ada upacara yang dilakukan, yaitu
dan kelancaran kepada pemangku menyerahkan sanggan (barang serah-
hajat. Secara khusus, pemangku hajat serahan) kepada orang tua mempelai
mengharapkan turunnya wahyu wanita. Jika seseorang mau menikah
kecantikan bagi calon pengantin dan telah memiliki mahar, pasangan

25
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018

mempelai yang ingin mengikuti yang masih muda (janur) dengan


upacara panggih pengantin harus beberapa jenis dedaunan dan bunga
dengan menggunakan kembar mayang (bunga pinang) atau bunga
mayang (Hariwijaya, 2005, h.155). pudak (seperti pandan). Kembar
mayang tersebut berjumlah dua
buah, yang sama bentuk dan isinya.
Hal ini bermakna sebagai pohon
kehidupan yang dapat memberikan
segala hal yang diinginkan
(Widayanti, 2008, h.117).
Upacara panggih adalah
tradisi pertemuan antara pengantin
pria dan wanita. Acara panggih
dilaksanakan setelah ijab atau akad
Gambar 1. Kembar Mayang. Sumber:
budayajawa.id
nikah (bagi pemeluk agama Islam)
atau sakramen bagi pemeluk agama
Kembar mayang merupakan
Nasrani (Kristen dan Katolik). Acara
simbol yang berbentuk bunga yang
panggih tersebut dilaksanakan secara
dirangkai menggunakan janur dan
berurutan (Suwarno, 2006, h.189).
daun-daunan. Fungsinya sebagai
petunjuk dan nasehat bagi pengantin
Prosesi dan Makna Adat
dalam mengarungi hidup baru. Pernikahan di Desa Nengahan,
Kembar artinya sama. Mayang adalah Kecamatan Bayat, Klaten

bunga. Kembar mayang adalah Prosesi Lamaran dan Penetuan Hari


sepasang bunga khusus yang Pernikahan
Upacara pernikahan di Desa
bentuknya sama untuk upacara
Nengahan, Kecamatan Bayat,
pengantin, kecuali pada upacara
Kabupaten Klaten merupakan salah
pengantin yang tidak menggunakan
satu prosesi pernikahan adat Jawa
kembar mayang (Suwarno, 2006,
yang sampai saat ini masih berpegang
h.135). Menurut Gondowasito (1965),
teguh pada pakem (aturan) adat
kembar mayang adalah semacam
istiadat Jawa. Prosesi pernikahan itu
boket (bouquette) dari daun kelapa
tetap mempergunakan perhitungan

26
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten

tanggal untuk menentukan hari baik pada hari jumat pon, yang bernilai 6
pelaksanaan acara. (jumat) + 7 (pon) = 13. Selanjutnya,
Masyarakat Jawa di Desa hal itu dilakukan dihitung dengan
Nengahan, Bayat, Klaten masih cara seperti berikut, 13 : 9 = 1, sisa 4.
menggunakan perhitungan hari baik Sementara itu, B lahir pada selasa
dalam serangkaian acara dan ritual wage, yang bernilai 3 (selasa) + 4
yang dilakukannya. Weton-weton (wage) = 7. Angka 7 tidak bisa dibagi
(pasaran Jawa dari hari lahir) masih 9 sehingga diambil menjadi sisa 7.
dianjurkan dan dijadikan landasan Jadi, A memiliki sisa 4 dan B memiliki
cara menghitung. Berikut ini adalah sisa 7. Hal ini akan diramalkan bahwa
contoh dari weton dalam tradisi Jawa, mereka banyak memiliki rezeki dan
seperti naptu. Hal itu bisa disebut awet sampai tua. Setelah didapatkan
hari kelahiran kedua mempelai. Nilai hari baik, langkah selanjutnya adalah
dari naptu itu dihitung sebagai dilanjutkan dengan lamaran.
berikut, yaitu hari minggu bernilai 5, Lamaran adalah permohonan
hari senin bernilai 4, hari selasa dari keluarga calon pengantin pria
bernilai 3, hari rabu bernilai 7, hari kepada keluarga calon pengantin
kamis bernilai 8, hari jumat bernilai wanita untuk dijadikan pasangan
6, hari sabtu bernilai 9. Selanjutnya, hidup. Sebagai orang tua dari anak
langkah berikutnya dilanjutkan laki-laki, lazimnya, mereka mengutus
dengan pasaran (kalender Jawa), dua atau empat orang untuk
yakni pasaran kliwon bernilai 8, menanyakan padhang petengnya
pasaran legi bernilai 5, pasaran (pertimbangan baik dan buruk) pihak
pahing bernilai 9, pasaran pon keluarga perempuan. Pihak
bernilai 7, dan pasaran wage bernilai perempuan dalam menerima tamu ini
4. Setelah mengetahui jumlah nilai biasanya menyampaikan segala hal
dari weton dan pasaran, langkah seperti apa adanya dan memberikan
berikutnya menghitung untuk kesanggupan agar segera
mendapatkan hari baik. ditindaklanjuti. Hajat pesta
Cara menghitung jumlah pernikahan atau mantu merupakan
weton dapat dicontohkan sebagai bagian dari kehormatan dan wibawa
berikut, A ingin menikahi B. A lahir keluarga. Mantu berasal dari istilah

27
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018

mengantu-antu, yang artinya saat Besar. Waktu untuk ijab ini akan lebih
yang ditunggu-tunggu. Orang yang baik lagi kalau dilakukan pada bulan-
pertama kali menikahkan anaknya bulan itu. Sementara itu, hari yang
dinamakan mantu sapisan (mantu baik untuk prosesi itu adalah hari-
yang pertama). Atau dengan kata lain, hari selasa kliwon dan jumat kliwon,
orang Jawa menyebutnya sebagai kecuali untuk bulan Suro dan Pasa.
mbukak kawah (membuka jalan). Hari-hari yang tidak boleh dipakai
Sementara itu, mantu anak bungsu untuk mengadakan pernikahan
dinamakan mantu ragil atau tumplak- adalah hari senin dan selasa pada
punjen (simbol menumpahkan isi bulan Besar, Sura, dan Sapar. Hari
pundi atau punjen sebagai bentuk rabu dan kamis pada bulan Mulud,
rasa tanggung jawab orang tua). Rabi’ulakhir, Jumadilakhir juga
Setelah prosesi lamaran selesai, kurang baik untuk prosesi
langkah selanjutnya adalah ijab. Ijab pernikahan. Hari jumat pada bulan
dianggap sebagai hari terpenting Jumadilakhir, Rejeb, dan Ruah juga
dalam pernikahan. sering dihindari. Hari sabtu dan
Ijab artinya menyatakan dan minggu pada bulan Pasa, Sawal dan
kabul artinya menerima atau Dulkai’idah dipercayai juga kurang
mengkabulkan. Masyarakat Jawa membawa keberuntungan. Neptu
menyebut pesta pernikahan dengan bulan adalah suatu perhitungan,
sebutan mantu. Sementara itu, dalam adat istiadat Jawa,
pengantin dalam bahasa Jawa disebut berdasarkan ketantuan nilai dari
pinanganten, yang berasal dari kata bulan. Bulan-bukan dalam adat Jawa
pinang dan ganten. Pinang berarti diantaranya adalah Suro, Sapar,
pohon yang tinggi. Sementara, gaten Mulud, Bakdha Mulud, Jumadil Awal,
adalah seperangkat bahan yang Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa,
terdiri dari kapur dan sirih Sawal, Dulka’idah, dan Besar. Neptu
(Hariwijaya, 2005, h.15-31). tahun adalah suatu perhitungan
Bulan menurut kepercayaan dalam adat istiadat Jawa yang
adat Jawa yang cukup baik untuk didasarkan pada ketentuan nilai
prosesi ijab kabul adalah bulan tahun, seperti Alip, Ehe’, Jimawal, Je’,
Jumadhiakhir, Rejeb, Ruwah, dan

28
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten

Dal, Be’ Wawu, Jimakir (Kisuro, 1995, 09.00-16.00, jumat pukul 06.00-
h.3). 13.00, dan sabtu pukul 10.00-18.00
Sementara itu, tanggal-tanggal (Noeradyo, 2008, h.7). Pakem dan
yang perlu dihindari untuk perhitungan hari dalam perhelatan
mengadakan upacara pernikahan upacara pernikahan tersebut sampai
adalah sebagai berikut. Pertama kini masih dilakukan oleh masyarakat
adalah tanggal 06 sampai dengan 10 di Desa Nengahan, Bayat, Klaten.
pada bulan Besar. Kedua adalah
Prosesi Upacara Serah-Serahan
tanggal 01 sampai dengan 06 pada
Peningset
bulan Sura. Ketiga adalah tanggal 01 Upacara serah-serahan pada
sampai dengan 20 pada bulan Sapar. pernikahan di Desa Nengahan, Bayat,
Keempat adalah tanggal 10 sampai 20 Klaten pada dasarnya sama dengan
pada bulan Mulud. Kelima adalah prosesi serah-serahan pada
tanggal 10 sampai dengan 20 pada pernikahan adat Jawa lainnya.
bulan Rabiulakhir. Keenam adalah Biasanya, acara serah-serahan
tanggal 01 sampai dengan 11 pada dihadiri oleh keluarga calon
bulan Jumadilawal. Ketujuh adalah mempelai pria yang datang kepada
tanggal 10 sampai dengan 14 pada keluarga calon mempelai wanita.
bulan Jumadilakhir. Kedelapan adalah Umumnya, mereka membawa
tanggal 02 samapi 14 pada bulan makanan sebagai benda seserahan.
Rejeb. Kesepuluh adalah tanggal 12 Upacara serah-serahan ini
sampai dengan 13 pada bulan Ruwah menunjukan bahwa lamaran yang
dan tanggal 09-20 bulan Pasa. dilakukan pihak calon mempelai pria
Selain tanggal, waktu atau jam telah diterima oleh pihak calon
yang tepat atau kurang tepat dalam mempelai wanita. Upacara ini
melaksanakan pernikahan juga sekaligus sebagai tanda pengikat
diatur. Waktu yang dipandang baik antara calon mempelai pria kepada
untuk melaksanakan akad calon mempelai wanita. Acara serah-
pernikahan diantarantya adalah hari serahan ini tidak mesti dilaksanakan
minggu pagi pukul 07.00-14.00; senin sehari sebelum pelaksanaan upacara
pagi pukul 11.00, selasa pukul 08.00- perkawinan. Namun, kadang kala,
15.00, rabu pukul 12.00, kamis pukul masyarakat Desa Nengahan

29
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018

melangsungkan prosesi serah- ditanggung dari pihak mempelai


serahan ini dua atau tiga hari sebelum wanita. Di beberapa daerah lain, di
acara pernikahan berlangsung. luar Desa Nengahan, pihak wanitalah
Mereka membawa makanan dan yang menentukan berapa jumlah
bahan pokok. nominal uang yang digunakan dalam
imbuh-imbuh ini. Namun di daerah
Yogyakarta dan Surakarta, hal
tersebut dianggap kurang sopan.
Selian itu, barang yang lain adalah
sejumlah busana yang dibawa calon
mempelai pria untuk keluarga calon
mempelai wanita. Bahkan, barang
tambahan dari prosesi ini juga
Gambar 2: Serah-serahan di Desa Nengahan,
menyertakan buah-buahan seperti
Bayat, Klaten. Sumber: Dokumentasi pribadi
peneliti.
pisang, manggis, salak, nanas, dan

Selain makanan dan bahan jeruk. Jumlah dan jenis bingkisan

pokok, barang tambahan dalam yang dibawa tergantung pada

serah-serahan umumnya adalah kemampuan masing-masing pihak.

sejumlah uang, buah-buahan, jajanan Akan tetapi, jumlah itu diharapkan

pasar, kue-kue, dan lain sebagainya. genap. Biasanya, bingkisan-bingkisan

Sejumlah uang atau biasa disebut ini dibawakan oleh para wanita dari

buwuh ini merupakan pemberian calon mempelai pria. Kemudian,

uang dari pihak calon mempelai pria. salah satu sesepuh dari calon

Buwuh mempunyai arti imbuh-imbuh pengantin pria menyerahkan secara

kanggo ewuh (tambah-tambah untuk simbolis kepada ibu dari pihak calon

hajat). Hal ini bermakna calon pengantin wanita (Hariwijaya, 2005,

mempelai pria ikut membantu biaya h.75-76).

perhelatan calon mempelai wanita


demi terselenggaranya pesta Penyelenggaraan Upacara Pasang
Tarub
pernikahan. Biasanya, buwuh ini Masyarakat Jawa di Desa
kurang lebih 50% dari perkiraan Nengahan yang menyelenggarakan
biaya pernikahan yang tetap

30
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten

pesta pernikahan biasanya yang sudah matang, dan satu cengkir


memasang tarub dan bleketepe di kelapa hijau.
depan rumah mereka. Hal itu sebagai Istilah tarub memiliki sebuah
simbol tolak bala agar prosesi arti, yaitu ditata kareben murup
pernikahan dapat berlajan lancar. (ditata agar hidup). Walaupun
Tarub adalah tambahan atap pernikahan dilaksanakan di dalam
sementara yang terbuat daun pohon gedung pertemuan, hiasan tarub
kelapa kering yang sudah disusun biasanya tetap dipasang. Pemasangan
rapih. Bleketepe adalah sebuah tarub dan bleketepe dilaksanakan
anyaman daun kelapa atau nipah. pada tiga hari ataupun seminggu
Saat ini, sebagaian besar tarub yang sebelum hari pernikahan
dibangun dari kain atau terpal yang berlangsung. Sebagai salah satu
dipasang atau diletakkan di sebelah rangkaian upacara pernikahan,
kanan dan kiri pendopo dan di pemasangan tarub ini juga
belakang rumah. Biasanya, tarub juga mempertimbangkan waktu atau
dihiasi dengan buntal (untaian) yang tanggal yang baik. Misalnya adalah
terbuat dari lima macam daun, yaitu hari yang sesuai dengan waktu
adalah daun beringin, kraton, bayam- pengantin melaksanakan ijab kabul
bayaman merah, pupus pisang, dan yang dilihat dari neptu hari dan
daun pandan. pasaranya.
Bagian pintu sebelah kanan
rumah atau gerbang dipasang satu Penyelenggaraan Upacara Siraman
tandan pisang raja yang sudah Siraman merupakan simbol
matang, satu jenjang cengkir atau penyucian diri. Siraman berasal dari
kelapa gading muda, satu batang tebu kata siram, yang berarti guyur atau
wulung, dan berbagai dedaunan. mandi. Acara siraman dilaksanakan
Dedaunan itu diantaranya adalah oleh calon mempelai wanita maupun
daun kluwih dan daun alang-alang. pria. Siraman dimaksudkan agar
Bagian pintu sebelah kiri rumah atau calon pengantin menjadi bersih
gerbang diberi batang pisang pulut secara spiritual dan berhati suci.
lengkap dengan satu tundun pisang Prosesi siraman biasanya
dilaksanakan pada pukul 11.00 siang

31
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018

dikarenakan konon pada jam tersebut Upacara Midodareni


para bidadari sedang turun ke Pada malam, midodareni calon
sendang (tempat sumber air untuk pengantin wanita hanya boleh berada
mandi) (Any, 1986, h.36). di dalam kamar dan yang boleh
Menurut Soemodidjojo (2008, menemuinya hanyalah saudara dan
h.31), prosesi siraman calon juga tamu wanita saja. Malam
pengantin pria dan wanita dimulai midodareni pada masa lalu
dari menyiram kepala menggunakan dilaksanakan pada pukul 18.00
air bunga setaman, badan digosok sampai jam 24.00 malam. Dalam
dengan tepung beras tujuh warna prosesi midodareni, calon pengantin
yang dicampur dengan mangir, wanita mengenakan busana polos
pandan wangi, dan daun kemuning tanpa perhiasan. Pada malam ini,
yang sudah dihaluskan. Penyiram pihak calon pengantin pria datang ke
calon mempelai adalah para orang rumah pengantin wanita untuk
tua. Calon mempelai didudukan di bersama-sama memohon berkah
bangku yang diberi alas tikar baru Tuhan. Biasanya, calon pengantin
dan daun-daunan (daun opo-opo, pria datang membawakan bingkisan
daun koro, daun kluwih, daun dhadap atau seserahan. Setelah calon
srep, daun alang-alang), yang ditutup pengantin pria datang untuk
dengan kain batik motif yuyu menunjukan kesungguhanya, ibu dari
sekandang atau lawon. Setelah selesai calon pengantin wanita lalu berbicara
disiram, calon pengantin melanjutkan kepada puterinya yang menjadi
dengan wudhu dari air kendi yang pengantin wanita untuk menanyakan
berasal dari tujuh sumber sumur kesungguhanya menjadi calon isteri
bertuah. Kendi kemudian dipecah tantingan. Tantingan ini dilakukan
oleh orang tua calon pengantin untuk mendapatkan kepastian
dengan mengucapkan kalimat “sudah terakhir tentang kesediaan calon
keluar aura anakku”. Adapun pengantin wanita untuk dinikahkan
kelengkapan lain yang disajikan (Suwarna, 2006, h.124-125).
adalah tumpeng lengkap, bubur Selanjutnya, pihak orang tua
merah putih, jajan pasar, bunga, dan (bapak) dari calon pengantin wanita
ayam hidup (Setyaningsih, 2015, h.3). memberikan wejengan (nasehat)

32
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten

pada calon pengantin pria. Wejangan Islam di Desa Nengahan, akad nikah
itu biasa disebut dengan catur wedha dapat dilakukan di masjid atau
(empat nasehat), yang berisi empat mendatangkan penghulu. Hal yang
pedoman hidup yang diharapkan perlu mendapatkan perhatian adalah
menjadi bekal untuk calon pengantin selama upacara akad nikah,
dalam mengarungi hidup berumah pengantin pria tidak boleh
tangga. Catur wedha biasanya menyandang keris (keris harus
disampaikan dalam bahasa Jawa dicabut dari pinggang terlebih
Ngoko (Bramantyo, 2017). dahulu), kain-kain batik yang dipakai
oleh kedua pengantin tidak boleh
Upacara Ijab Kabul bermotif hewan, termasuk motif
Upacara ijab kabul di Desa blankon (udeng) yang dipakai oleh
Nengahan, Bayat, Klaten tidak jauh pengantin pria. Bagi pemeluk agama
berbeda dengan upacara pernikahan Katolik atau Kristen di Desa
adat Jawa pada umumnya. Ijab Nengahan, akad nikah dilangsungkan
merupakan inti utama dalam di gereja. Bagi umat agama Katolik,
rangkaian perhelatan pernikahan. prosesi ini dinamakan penerimaan
Ijab merupakan tata cara keagamaan. sakramen pernikahan. Baik pemeluk
Sementara itu, rangkaian acara yang agama Islam, Katolik, dan Kristen
lain merupakan tradisi dalam pelaksanaan akad nikah harus
kebudayaan Jawa. Setiap orang yang didahulukan. Setelah selesai ijab,
melaksanakan ijab tidak akan mereka baru bisa melaksanakan
berbeda dalam hal syarat dan upacara adat Jawa yang lain.
rukunnya (Suwarna, 2006, h.181). (Bratawidjaja, 2000, h.43) .
Ijab kabul ini merupakan prosesi Hal tersebut sama dengan
keagamaan dalam agama Islam. yang dilakukan oleh masyarakat di
Upacara akad nikah atau ijab Desa Nengahan, Bayat Klaten.
kabul ini dilaksanakan menurut Pengantin putra biasanya
kepercayaannya masing-masing mengenakan busana batik motif
mempelai. Namun, secara umum, ijab kampuh bunga butak, menggunakan
kabul adalah terminologi untuk kulukan (tutup kepala kebesaran),
agama Islam. Bagi pemeluk agama dan Kampuh (kain selendang batik

33
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018

panjang), dan tidak diperbolehkan bersama dengan kedua orang tua


menggunakan kain atau ikat kepala atau walinya. Sebelum
yang bermotifkan binatang hidup. dilaksanakannya upacara panggih,
Selain itu, hal lain yang perlu ada upacara menyerahkan sanggan
mendapat perhatian adalah tidak kepada ibu dan bapak mempelai
diperbolehkan mengenakan wanita, dan tukar menukar kembang
perhiasan. Hal ini termasuk juga mayang.
ornamen di bagian keris yang tidak
boleh terbuat dari bahan emas.
Pengantin wanita biasanya
mengenakan busana mathak putih
dan celana satin berwarna putih
(Hariwijaya, 2005, h.147).

Upacara Pangih Temanten


Upacara panggih juga disebut
upacara dhaup atau temu, yaitu Gambar 3. Pengantin wanita sebelum
upacara Panggih. Sumber: Dokumentasi Bayu
tradisi pertemuan antara pengantin Ady Pratama, 2017
pria dan wanita. Acara ini
dilaksanakan setelah akad nikah di Ngidak Tigan dan Wijik Sekar
masjid atau Kantor Urusan Agama Setaman
(KUA) bagi pengantin pemeluk agama Upacara ngidak tigan dan wijik
Islam dan sakramen pernikahan atau sekar setaman berarti menginjak
pemberkatan nikah dalam misa atau telur dan mencuci dengan air
kebaktian di gereja bagi pengantin kembang setaman. Hal ini merupakan
yang menganut agama Katolik dan perlambangan bahwa pengantin pria
Kristen (Suwarna, 2006, h.189). berhasil menurunkan benih dan
Upacara panggih di Desa Nengahan, mendapatkan keturunan yang baik.
Bayat, Klaten dimulai dengan Hal itu disimbolkan dengan pecahnya
mempersilahkan mempelai wanita telur tersebut. Pengantin pria tetap
duduk terlebih dahulu di kursi berdiri dengan kaki yang diposisikan
pelaminan yang sudah disediakan menginjak telur dan ditaruh di atas

34
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten

nampan. Sementara itu, pengantin kepada suami. Ritual ngidak tigan ini
wanita jongkok di depannya. Setelah bermakna ganda. Pertama adalah
telur berhasil diinjak dan pecah, simbol peralihan dari masa lajang
pengantin wanita lalu membersihkan bagi kedua pengantin untuk
kaki pengantin pria dengan air memasuki kehidupan baru yang berat
kembang setaman yang sudah dan penuh tantangan. Kedua, ritual
dipersiapkan. ini memiliki makna filosofis sebagai
pemecahan selaput dara pengantin
wanita. Kedua pengantin memiliki
kewajiban sebagai suami-istri untuk
memenuhi kebutuhan biologis satu
dengan yang lain dengan tujuan
untuk memperoleh keturunan. Oleh
karena itu, pada saat menginjak telur,
pengantin pria mengucapkan kalimat:
“Ambedah korining kasuwargan”
Gambar 4. Prosesi Ngidak Tigan dan Wijik
Sekar Setaman. Sumber: Dokumentasi Bayu (menembus gerbang surga). Ritual
Ady Pratama, 2017
ngidak tigan ini hanya terdapat dalam

Acara ritual ngidak tigan upacara pernikahan adat Jawa

mempunyai makna filosofis yang (Perbowosari, tt, h.85).

penting bagi kedua mempelai. Tigan


Adicara Sinduran dan Kacar Kucur
atau telur yang digunakan dalam
Setelah prosesi ngidak tigan
prosesi biasanya telur ayam kampung
selesai, pengantin kemudian saling
yang diletakkan di atas baki. Telur
berdampingan. Pengantin wanita di
tersebut diinjak dengan kaki kanan
sebelah kiri dan pengantin pria di
pengantin pria sampai pecah. Setelah
sebelah kanan. Ibu pengantin wanita
selesai menginjak telur, kaki kanan
lalu mengenakan sindur (selendang
pengantin pria dibersihkan dan
merah purih) pada kedua mempelai
dikeringkan, lalu pengantin wanita
dan memeganginya dari belakang.
memasukannya lagi ke dalam selop.
Sementara itu, bapak pengantin
Pengantin wanita melakukan prosesi
wanita berada di depan pengantin
ini sebagai tanda bakti seorang isteri

35
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018

berjalan pelan-pelan sambil itu, sang ayah yang berada di depan


memegang kedua ujung kain sindur memiliki makna sebagai teladan bagi
tersebut. Prosesi mengalungkan kain semuanya atau ing ngarsa sung
sindur dipundak kedua mempelai ini tuladha (Hariwijaya, 2005, h.165).
sebagai simbol untuk menyatukan Prosesi berikutnya adalah
kedua mempelai menjadi satu. Kedua upacara kacar-kucur. Prosesi kacar
kelingking mempelai masing-masing kucur melambangkan seorang suami
saling bergandengan. Sementara itu, yang jujur dan tidak curang. Semua
tangan mereka yang lain memegang hasil jerih payah dari bekerja
bahu bapak pengantin wanita. diperuntukkan bagi keluarga. Isteri
harus pandai mengatur ekonomi
rumah tangga. Prosesi kacar kucur
dimulai dengan berjalannya kedua
mempelai secara bergandengan jari
kelingking ke tempat upacara kacar
kucur. Pengantin wanita menerima
Gambar 5. Prosesi Sinduran. Sumber: benda-benda dari pengantin pria.
Dokumentasi Bayu Ady Pratama, 2017
Benda-benda itu diantaranya adalah
Istilah sindur bisa diartikan beberapa kedelai, kacang, padi,
isin mundur atau malu bila mundur. jagung, beras kuning, jamu dlingo
Hal ini memiliki makna bahwa bengle, bunga, dan beberapa mata
walaupun badai kehidupan yang uang yang berbeda nilainya (jumlah
harus mereka hadapi sangat berat, dari mata uang harus genap). Hal ini
kedua mempelai harus tabah dan merupakan simbol bahwa suami
malu jika harus mundur dan memberi semua penghasilannya
berpisah. Selain itu, kain sindur kepada isterinya. Pengantin wanita
memiliki makna kedua mempelai harus berhati-hati dalam menerima
menyatu lahir batin dalam satu pemberian di dalam kain putih ini.
tujuan hidup. Ibu yang berada di Setelah itu, pengantin wanita
belakang pengantin memiliki makna meletakkan pemberian suaminya itu
simbolis merestui pasangan tersebut di atas tikar yang sudah digelar di
atau tut wuri handayani. Sementara

36
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten

pangkuannya (Suwarno, 2006, pasangan itu di tempat yang


h.197). selayaknya (Octaviana, 2014, h.5).
Prosesi pangkon timbang dan
dhahar klimah dapat diiringi dengan
gendhing mugi rahayu. Isi gendhing
ini adalah doa pujian kepada
pasangan suami istri agar dalam
menjalani kehidupan rumah tangga
mendapatkan berkah dan
keselamatan. Peralatan upacara yang
dibutuhkan untuk prosesi ini adalah
sapu tangan, klasa bangka, uang
Gambar 6. Prosesi Kacar kucur. Sumber:
Dokumentasi Bayu Ady Pratama, 2017 receh logam, beras kuning, kedelai
putih dan hitam, kacang hijau, kacang
Pangkon Timbang dan Dhahar
tholo, kluwak kemiri, dan kembang
Saklimah
telon (tiga jenis). Bapak pengantin
Di dalam ritual pangkon
wanita berdiri di hadapan kedua
timbang (pangku timbang) dan
mempelai yang didamping oleh
dhahar klimah (saling suap) ini,
isterinya. Lalu, sang bapak
pasangan pengantin duduk
mendudukkan sepasang pengantin
dipangkuan bapak pengantin wanita.
itu di pelaminan dengan gerakan
Kemudian, bapak pengantin wanita
menekan pundak sambil berkata
berkata bahwa berat mereka sama.
“slamet yo sing padha rukun” (selamat
Hal ini memiliki arti bahwa cinta
ya saling rukun). Prosesi ini juga
mereka sama-sama kuat. Prosesi ini
dapat diiringi dengan gendhing udan
sekaligus melambangkan bahwa
basuki atau udan riris (Hariwijaya,
kasih sayang orang tua terhadap anak
2005, h.166).
dan menantu sama besarnya (Hamidi,
2002, h.60). Acara pangkon timbang
dan dhahar klimah juga sebagai
simbol bahwa kedua orang tua
mempelai wanita telah mendudukkan

37
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018

bersama-sama. Ngunduh manten


diadakan di rumah pengantin pria.
Biasanya, prosesi tersebut tidak
selengkap pada acara yang diadakan
di tempat pengantin wanita (mantu).
Nanum, hal ini dapat juga dilakukan
prosesi lengkap seperti acara
panggih. Hal ini tergantung keinginan
Gambar 7. Prosesi Pangkon Timbang dari pihak keluarga pengantin pria.
Sumber: Dokumentasi Bayu Ady Pratama,
2017 Biasanya, ngunduh manten
diselenggarakan sepasar setelah
Prosesi dhahar klimah acara pernikahan (Yana, 2012, h.68).
memiliki makna harapan agar kedua
mempelai bisa hidup rukun, saling SIMPULAN
mengisi, dan tolong menolong. Bunga Di dalam pandangan orang
kasih yang diharapkan mampu Jawa, jodoh merupakan salah satu
menyatukan keduanya dalam suka rahasia Tuhan. Sebuah kearifan
dan duka. Pengantin pria dan mengatakan “siji pesthi, loro jodho,
pengantin wanita lalu membuat telu tibaning wahyu, papat kodrat,
kepelan (sejumput) dari nasi punar lima bandha, iku saka kersaning
(ketan kuning). Mereka pun saling Hyang kang murbeng dumadi”.
menyuapi sebanyak tiga kali. Prosesi Kalimat itu memiliki makna bahwa
dhahar klimah ini melambangkan satu maut, dua jodoh, tiga turunnya
bahwa kedua pengantin akan hidup wahyu, empat kodrat, dan kelima
bersama-sama (Hamidi, 2002, h.64). harta. Semua itu adalah kehendak
Prosesi setelah pernikahan Tuhan yang maha menciptakan alam
berlangsung adalah boyongan atau semesta. Adat pernikahan Jawa di
ngunduh manten. Hal ini disebut Desa Nengahan, Bayat, Klaten
boyongan karena pengantin wanita cenderung lebih sederhana bila
dan pengantin pria diantar oleh dibandinkan dengan adat Jawa yang
keluarga pihak pengantin wanita ke lebih lengkap. Meskipun demikian,
keluarga pihak pengantin pria secara nilai kesakralannya tetap terjaga.

38
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten

DAFTAR PUSTAKA Paes Ageng. Jakarta: PT


Almanar. (2006). Fikih nikah. Gramedia
Bandung: Syaamil Cipta Media. Noeradyo, S.W.S. (2008). Betaljemur
Amirin, T.M. (1995). Menyusun Adammakna. Yogyakarta: CV.
rencana penelitian. Jakarta: PT. Buana Raya
Raja Grafindo Persada Octaviana, F. (2014). “Implementasi
Any, A. (1986). Perkawinan adat Jawa makna simbolik prosesi
lengkap. Surakarta: PT Pabelan pernikahan adat Jawa Tengah
Aryati, L. (2010). Menjadi MC acara pada pasangan suami istri”,
pernikahan. Jakarta: PT dalam Naskah Publikasi.
Gramedia Pustaka Utama Fakultas Psikologi Universitas
Bahari, N. (2014). Kritik seni wacana, Muhammadiyah Surakarta
apresiasi dan kreasi. 2014
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Perbowosari, H. (t.t). “Nilai kearifan
Bramantyo. (2017). “Ini 4 Wejangan lokal upacara perkawinan adat
Presiden Jokowi untuk Calon Keraton Jawa dalam perspektif
Mantu di Malam Midodareni”, agama Hindu”, dalam
dalam Okezonenews, Selasa 07 Prosiding Seminar Nasional
November 2017 Kearifan Lokal Indonesia untuk
Bratawidjaja, T.W. (2000). Upacara Membangun Karakter
tradisional masyarakat Jawa. Universal. Fakultas Dharma
Jakarta: Pustaka Sinar Acarya, Institut Hindu Dharma
Harapan Negeri Denpasar
Febriantiko, H.T. (2014). Pringgawidagda, S. (2006). Tata
“Perbandingan Prosesi upacara dan wicara pengantin
Perkawinan Adat Keraton gaya Yogyakarta. Yogyakarta:
Yogyakarta Masa Sri Sultan Kanisius (Anggota IKAPI)
Hamengkubuwono VIII dan Purwadi. (2007). Upacara pengantin
IX”, dalam Avatara, Jurnal Jawa. Yogyakarta: Panji
Pendidikan Sejarah Volume 2, Pustaka
No. 2, Juni 2014 Setyaningsih, E. (2015). “Adat budaya
Hamidin. (2002). Buku pintar siraman pengantin Jawa syarat
perkawinan nusantara. makna dan filosofi”, dalam
Yogyakarta: DIVA Press Teknobuga, Volume 2 No.2 –
Hariwijaya, M. (2005). Perkawinan November 2015.
adat Jawa. Yogyakarta: Soemodidjojo, R. (2008). Betaljemur
Hanggar Kreator Adammakna. Solo: CV. Buana
Kisuro. (1995). Primbon Jawi lengkap, Raya
edisi bahasa Indonesia (cet. ke- Suryakusuma, S. (2008). 27 Resep
1). Solo: UD Mayasari sajen perkawinan pasang
Murtiadji, R. S. (2012). Tata rias Tarub Jawa. Yogyakarta:
pengantin dan adat pernikahan Pustaka Anggrek
gaya Yogyakarta klasik corak Susanto, D. (2015). Kamus istilah
puteri. Jakarta: PT Gramedia sastra. Yogyakarta: Pustaka
Murtiadji, R.S.S. (2012). Tata rias Pelajar
pengantin dan adat pernikahan
gaya Yogyakarta klasik corak

39
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018

Tualaka. (2009). Undang-Undang Sugiyono. (2013). Metode penelitian


Perkawinan. Yogyakarta: New kuantitatif kualitatif dan R&D.
Merah Putih Bandung: Alfabeta
Winami, S.T. (2007). Membuat kreasi Sugiyono. (2014). Memahami
hantaran pengantin. Depok: penelitian kualitatif. Bandung:
Puspa Swara Alfabeta.

40

Anda mungkin juga menyukai