1 PB
1 PB
Kabupaten Klaten
Novita Wahyuningsih
Universitas Sebelas Maret
wahyuningsih.novit@yahoo.co.id
ABSTRACT
Javanese traditional wedding ceremony is a legacy of the tradition of the Royal Palace
of Yogyakarta and Yogyakarta. Wedding ceremony in Javanese culture always adhere
to the existing standard. Rules and ordinances not only show the value of beauty
(aesthetic) alone, but also contains a high philosophical meaning. The village of
Nengah, Bayat, Klaten is one of the places that still tries to uphold Javanese cultural
values, including in terms of marriage procession. This study aims to explore and
review the wedding procession held in the village of Nengah, Bayat, Klaten. Research
methods used literature study, observation, interviews, and documentation. The study
uses qualitative data analysis (Amiri, 1995: 34). The result show that the comunity ini
Nengah, Bayat, Klaten have a view of life that marriage is a sacred and sacred thing.
The weeding procession is not held as complete in the culture of the palace, but still
based on the existing Javanese wedding customs.
ABSTRAK
Upacara pernikahan adat Jawa merupakan warisan dari tradisi Keraton Surakarta dan
Yogyakarta. Upacara pernikahan dalam budaya Jawa berpegang pada aturan baku/pakem.
Aturan dan tata cara tersebut tidak hanya memperlihatkan nilai keindahan (estetik)
semata, tetapi juga mengandung makna filosofis. Desa Nengahan, Kecamatan Bayat, Klaten
masih berusaha menjunjung nilai budaya Jawa dalam prosesi pernikahan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menggali dan mengkaji prosesi pernikahan yang
diselenggarakan di Desa Nengahan, Bayat, Klaten. Metode penelitian yang digunakan
adalah studi pustaka, literatur, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang
diperoleh lalu diolah dengan pendekatan kualitatif (Amiri, 1995, h.34). Hasil penelitian
adalah bahwa masyarakat Desa Nengahan, Bayat, Klaten memiliki pandangan hidup
terhadap pernikahan sebagai sesuatu sakral dan suci. Prosesi pernikahan adat Jawa ini
memang tidak diselenggarakan secara lengkap, tetapi masih berpegang pada atutan baku
pernikahan Jawa.
Kata kunci: pernikahan, Klaten, budaya, Jawa, tradisi
19
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018
20
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten
21
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018
22
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten
23
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018
dari dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu berfungsi sebagai pedoman
itu, penyaluran kebutuhan biologis tingkah laku dan pedoman untuk
diatur melalui pernikahan yang sah. mengontrol setiap perbuatan
Masa pernikahan merupakan salah manusia. Adat-istiadat dan
satu perkembangan daur hidup masyarakat merupakan wadah
manusia yang sangat mengesankan. kebudayaan. Kebudayaan merupakan
Hal itu merupakan masa yang sangat pengetahuan yang diperoleh manusia
penting untuk diperingati karena dan digunakan untuk menafsirkan
bertemunya dua insan yang berbeda pengalaman dan menimbulkan
jenis, kepribadian, sifat, dan watak perilaku (Koentjaraningrat, 2001,
untuk dipersatukan menjadi satu h.14).
keluarga. Dengan demikian, Adat istiadat dan tata cara
masyarakat mengembangkan tata pernikahan Jawa berasal dari budaya
cara upacara perkawinan, mulai dari keraton. Pada masa silam, tata cara
tata cara pernikahan masyarakat adat kebesaran pernikahan Jawa itu
Jawa biasa sampai pada pernikahan hanya boleh dilakukan di dalam
masyarakat Jawa kelas atas tembok keraton, abdi dalem (pelayan
(bangsawan dan raja) raja), atau orang-orang yang masih
(Pringgawidagda, 2006, h.65). mempunyai keturunan dengan raja
Indonesia terdiri dari berbagai (priayi/bangsawan). Tata acara
macam suku, adat, dan budaya, dan pernikahan adat Jawa pada dasarnya
salah satunya adalah suku Jawa. Suku memiliki beberapa tahap yang
Jawa mempunyai beraneka ragam biasanya dilalui, yaitu tahap awal,
adat istiadat dan kebiasaan yang tahap persiapan, tahap puncak acara,
dijalankan oleh masyarakat dan tahap akhir. Namun, hal itu tidak
pendukungnya sebagai warisan semuanya oleh orang yang
budaya leluhur yang masih menyelenggarakan pesta pernikahan
dilestarikan hingga kini. Adat-istiadat selalu dilaksanakan. Beberapa
merupakan suatu norma yang rangkaian itu saat ini sudah
kompleks dan oleh penganutnya mengalami perubahan sejalan dengan
dianggap penting dalam kehidupan tata nilai yang berkembang. Hingga
bersama di masyarakat. Adat istiadat saat ini, ada orang Jawa yang tertarik
24
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten
25
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018
26
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten
tanggal untuk menentukan hari baik pada hari jumat pon, yang bernilai 6
pelaksanaan acara. (jumat) + 7 (pon) = 13. Selanjutnya,
Masyarakat Jawa di Desa hal itu dilakukan dihitung dengan
Nengahan, Bayat, Klaten masih cara seperti berikut, 13 : 9 = 1, sisa 4.
menggunakan perhitungan hari baik Sementara itu, B lahir pada selasa
dalam serangkaian acara dan ritual wage, yang bernilai 3 (selasa) + 4
yang dilakukannya. Weton-weton (wage) = 7. Angka 7 tidak bisa dibagi
(pasaran Jawa dari hari lahir) masih 9 sehingga diambil menjadi sisa 7.
dianjurkan dan dijadikan landasan Jadi, A memiliki sisa 4 dan B memiliki
cara menghitung. Berikut ini adalah sisa 7. Hal ini akan diramalkan bahwa
contoh dari weton dalam tradisi Jawa, mereka banyak memiliki rezeki dan
seperti naptu. Hal itu bisa disebut awet sampai tua. Setelah didapatkan
hari kelahiran kedua mempelai. Nilai hari baik, langkah selanjutnya adalah
dari naptu itu dihitung sebagai dilanjutkan dengan lamaran.
berikut, yaitu hari minggu bernilai 5, Lamaran adalah permohonan
hari senin bernilai 4, hari selasa dari keluarga calon pengantin pria
bernilai 3, hari rabu bernilai 7, hari kepada keluarga calon pengantin
kamis bernilai 8, hari jumat bernilai wanita untuk dijadikan pasangan
6, hari sabtu bernilai 9. Selanjutnya, hidup. Sebagai orang tua dari anak
langkah berikutnya dilanjutkan laki-laki, lazimnya, mereka mengutus
dengan pasaran (kalender Jawa), dua atau empat orang untuk
yakni pasaran kliwon bernilai 8, menanyakan padhang petengnya
pasaran legi bernilai 5, pasaran (pertimbangan baik dan buruk) pihak
pahing bernilai 9, pasaran pon keluarga perempuan. Pihak
bernilai 7, dan pasaran wage bernilai perempuan dalam menerima tamu ini
4. Setelah mengetahui jumlah nilai biasanya menyampaikan segala hal
dari weton dan pasaran, langkah seperti apa adanya dan memberikan
berikutnya menghitung untuk kesanggupan agar segera
mendapatkan hari baik. ditindaklanjuti. Hajat pesta
Cara menghitung jumlah pernikahan atau mantu merupakan
weton dapat dicontohkan sebagai bagian dari kehormatan dan wibawa
berikut, A ingin menikahi B. A lahir keluarga. Mantu berasal dari istilah
27
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018
mengantu-antu, yang artinya saat Besar. Waktu untuk ijab ini akan lebih
yang ditunggu-tunggu. Orang yang baik lagi kalau dilakukan pada bulan-
pertama kali menikahkan anaknya bulan itu. Sementara itu, hari yang
dinamakan mantu sapisan (mantu baik untuk prosesi itu adalah hari-
yang pertama). Atau dengan kata lain, hari selasa kliwon dan jumat kliwon,
orang Jawa menyebutnya sebagai kecuali untuk bulan Suro dan Pasa.
mbukak kawah (membuka jalan). Hari-hari yang tidak boleh dipakai
Sementara itu, mantu anak bungsu untuk mengadakan pernikahan
dinamakan mantu ragil atau tumplak- adalah hari senin dan selasa pada
punjen (simbol menumpahkan isi bulan Besar, Sura, dan Sapar. Hari
pundi atau punjen sebagai bentuk rabu dan kamis pada bulan Mulud,
rasa tanggung jawab orang tua). Rabi’ulakhir, Jumadilakhir juga
Setelah prosesi lamaran selesai, kurang baik untuk prosesi
langkah selanjutnya adalah ijab. Ijab pernikahan. Hari jumat pada bulan
dianggap sebagai hari terpenting Jumadilakhir, Rejeb, dan Ruah juga
dalam pernikahan. sering dihindari. Hari sabtu dan
Ijab artinya menyatakan dan minggu pada bulan Pasa, Sawal dan
kabul artinya menerima atau Dulkai’idah dipercayai juga kurang
mengkabulkan. Masyarakat Jawa membawa keberuntungan. Neptu
menyebut pesta pernikahan dengan bulan adalah suatu perhitungan,
sebutan mantu. Sementara itu, dalam adat istiadat Jawa,
pengantin dalam bahasa Jawa disebut berdasarkan ketantuan nilai dari
pinanganten, yang berasal dari kata bulan. Bulan-bukan dalam adat Jawa
pinang dan ganten. Pinang berarti diantaranya adalah Suro, Sapar,
pohon yang tinggi. Sementara, gaten Mulud, Bakdha Mulud, Jumadil Awal,
adalah seperangkat bahan yang Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa,
terdiri dari kapur dan sirih Sawal, Dulka’idah, dan Besar. Neptu
(Hariwijaya, 2005, h.15-31). tahun adalah suatu perhitungan
Bulan menurut kepercayaan dalam adat istiadat Jawa yang
adat Jawa yang cukup baik untuk didasarkan pada ketentuan nilai
prosesi ijab kabul adalah bulan tahun, seperti Alip, Ehe’, Jimawal, Je’,
Jumadhiakhir, Rejeb, Ruwah, dan
28
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten
Dal, Be’ Wawu, Jimakir (Kisuro, 1995, 09.00-16.00, jumat pukul 06.00-
h.3). 13.00, dan sabtu pukul 10.00-18.00
Sementara itu, tanggal-tanggal (Noeradyo, 2008, h.7). Pakem dan
yang perlu dihindari untuk perhitungan hari dalam perhelatan
mengadakan upacara pernikahan upacara pernikahan tersebut sampai
adalah sebagai berikut. Pertama kini masih dilakukan oleh masyarakat
adalah tanggal 06 sampai dengan 10 di Desa Nengahan, Bayat, Klaten.
pada bulan Besar. Kedua adalah
Prosesi Upacara Serah-Serahan
tanggal 01 sampai dengan 06 pada
Peningset
bulan Sura. Ketiga adalah tanggal 01 Upacara serah-serahan pada
sampai dengan 20 pada bulan Sapar. pernikahan di Desa Nengahan, Bayat,
Keempat adalah tanggal 10 sampai 20 Klaten pada dasarnya sama dengan
pada bulan Mulud. Kelima adalah prosesi serah-serahan pada
tanggal 10 sampai dengan 20 pada pernikahan adat Jawa lainnya.
bulan Rabiulakhir. Keenam adalah Biasanya, acara serah-serahan
tanggal 01 sampai dengan 11 pada dihadiri oleh keluarga calon
bulan Jumadilawal. Ketujuh adalah mempelai pria yang datang kepada
tanggal 10 sampai dengan 14 pada keluarga calon mempelai wanita.
bulan Jumadilakhir. Kedelapan adalah Umumnya, mereka membawa
tanggal 02 samapi 14 pada bulan makanan sebagai benda seserahan.
Rejeb. Kesepuluh adalah tanggal 12 Upacara serah-serahan ini
sampai dengan 13 pada bulan Ruwah menunjukan bahwa lamaran yang
dan tanggal 09-20 bulan Pasa. dilakukan pihak calon mempelai pria
Selain tanggal, waktu atau jam telah diterima oleh pihak calon
yang tepat atau kurang tepat dalam mempelai wanita. Upacara ini
melaksanakan pernikahan juga sekaligus sebagai tanda pengikat
diatur. Waktu yang dipandang baik antara calon mempelai pria kepada
untuk melaksanakan akad calon mempelai wanita. Acara serah-
pernikahan diantarantya adalah hari serahan ini tidak mesti dilaksanakan
minggu pagi pukul 07.00-14.00; senin sehari sebelum pelaksanaan upacara
pagi pukul 11.00, selasa pukul 08.00- perkawinan. Namun, kadang kala,
15.00, rabu pukul 12.00, kamis pukul masyarakat Desa Nengahan
29
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018
Sejumlah uang atau biasa disebut ini dibawakan oleh para wanita dari
uang dari pihak calon mempelai pria. salah satu sesepuh dari calon
kanggo ewuh (tambah-tambah untuk simbolis kepada ibu dari pihak calon
30
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten
31
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018
32
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten
pada calon pengantin pria. Wejangan Islam di Desa Nengahan, akad nikah
itu biasa disebut dengan catur wedha dapat dilakukan di masjid atau
(empat nasehat), yang berisi empat mendatangkan penghulu. Hal yang
pedoman hidup yang diharapkan perlu mendapatkan perhatian adalah
menjadi bekal untuk calon pengantin selama upacara akad nikah,
dalam mengarungi hidup berumah pengantin pria tidak boleh
tangga. Catur wedha biasanya menyandang keris (keris harus
disampaikan dalam bahasa Jawa dicabut dari pinggang terlebih
Ngoko (Bramantyo, 2017). dahulu), kain-kain batik yang dipakai
oleh kedua pengantin tidak boleh
Upacara Ijab Kabul bermotif hewan, termasuk motif
Upacara ijab kabul di Desa blankon (udeng) yang dipakai oleh
Nengahan, Bayat, Klaten tidak jauh pengantin pria. Bagi pemeluk agama
berbeda dengan upacara pernikahan Katolik atau Kristen di Desa
adat Jawa pada umumnya. Ijab Nengahan, akad nikah dilangsungkan
merupakan inti utama dalam di gereja. Bagi umat agama Katolik,
rangkaian perhelatan pernikahan. prosesi ini dinamakan penerimaan
Ijab merupakan tata cara keagamaan. sakramen pernikahan. Baik pemeluk
Sementara itu, rangkaian acara yang agama Islam, Katolik, dan Kristen
lain merupakan tradisi dalam pelaksanaan akad nikah harus
kebudayaan Jawa. Setiap orang yang didahulukan. Setelah selesai ijab,
melaksanakan ijab tidak akan mereka baru bisa melaksanakan
berbeda dalam hal syarat dan upacara adat Jawa yang lain.
rukunnya (Suwarna, 2006, h.181). (Bratawidjaja, 2000, h.43) .
Ijab kabul ini merupakan prosesi Hal tersebut sama dengan
keagamaan dalam agama Islam. yang dilakukan oleh masyarakat di
Upacara akad nikah atau ijab Desa Nengahan, Bayat Klaten.
kabul ini dilaksanakan menurut Pengantin putra biasanya
kepercayaannya masing-masing mengenakan busana batik motif
mempelai. Namun, secara umum, ijab kampuh bunga butak, menggunakan
kabul adalah terminologi untuk kulukan (tutup kepala kebesaran),
agama Islam. Bagi pemeluk agama dan Kampuh (kain selendang batik
33
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018
34
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten
nampan. Sementara itu, pengantin kepada suami. Ritual ngidak tigan ini
wanita jongkok di depannya. Setelah bermakna ganda. Pertama adalah
telur berhasil diinjak dan pecah, simbol peralihan dari masa lajang
pengantin wanita lalu membersihkan bagi kedua pengantin untuk
kaki pengantin pria dengan air memasuki kehidupan baru yang berat
kembang setaman yang sudah dan penuh tantangan. Kedua, ritual
dipersiapkan. ini memiliki makna filosofis sebagai
pemecahan selaput dara pengantin
wanita. Kedua pengantin memiliki
kewajiban sebagai suami-istri untuk
memenuhi kebutuhan biologis satu
dengan yang lain dengan tujuan
untuk memperoleh keturunan. Oleh
karena itu, pada saat menginjak telur,
pengantin pria mengucapkan kalimat:
“Ambedah korining kasuwargan”
Gambar 4. Prosesi Ngidak Tigan dan Wijik
Sekar Setaman. Sumber: Dokumentasi Bayu (menembus gerbang surga). Ritual
Ady Pratama, 2017
ngidak tigan ini hanya terdapat dalam
35
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018
36
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten
37
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018
38
Bayu Ady Pratama, Novita Wahyuningsih – Pernikahan Adat Jawa di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten
39
Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018
40