Perkembangan Embrio

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 35

FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL

PENYEBAB KELAINAN PERKEMBANGAN EMBRIO

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Teratologi


yang dibina oleh Dra. Amy Tenzer, M.S.

Disusun Oleh:

Kelompok 3 /Offering GH-K/ 2013

Dwi Menita Sari (130342615313)

Ipraditya Langgeng Prayoga (130342615328)

Nafisatuzzamrudah (130342615327)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Febuari 2016
Daftar Isi

Halaman

Daftar isi i

Bab I Pendahuluan 1

1.1 Latar belakang 1


1.2 Rumusan masalah 2
1.3 Tujuan 2

Bab II Pembahasan

2.1 Kelainan Perkembangan Embrio Akibat Agen Infeksius 3


2.2 Kelainan Perkembangan Embrio Akibat Agen Fisik 13
2.3 Kelainan Perkembangan Embrio Akibat Faktor Mekanis 16
2.4 Kelainan Perkembangan Embrio Akibat Agen Kimia 16
2.5 Kelainan Perkembangan Embrio Akibat Hormon dan Lain-lain 21

Bab III Penutup

3.1Kesimpulan
3.2 Saran

Daftar pustaka ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cacat lahir sering juga disebut malformasi kongenital atau anomali


kongenital adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan kelainan
struktur, perilaku, fungsi dan kelainan metabolik yang ditemukan pada waktu
lahir. Dari hasil penelitian akhir – akhir ini telah dilaporkan bahwa penyebab
cacat lahir adalah 7-10 % disebabkan karena faktor lingkungan, 6-15 % oleh
faktor genetik, 20-25 % karena faktor kombinasi antara genetik dan faktor
lingkungan dan 50 – 60 % masih belum diketahui dengan jelas (Schardian, 1985).
Hingga awal 1940-an, diduga bahwa cacat kongenital utamanya
disebabkan oleh faktor genetis. Tapi setelah ilmuwan bernaman Greff menemukan
bahwa penyakit campak Jerman yang menyerang sesorang ibu selama awal
kehamilan menyebabkan kelainan pada bayi. Dari peristiwa tersebut, menjadi
jelas bahwa kelainan kongenital pada manusia ternyata juga bisa disebabkan oleh
faktor lingkungan (Connor, 1997).
Ada beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan kelainan
kongenital antara lain agen infeksi, agen fisika, agen kimia, faktor mekanik dan
hormon yang mana dapat menyebabkan ketidaknormalan bayi bahkan dapat
menimbulkan kematian (Bianchi, 2008).
Dengan demikian, untuk mengetahui lebih dalam lagi mengnai faktor-
faktor lingkungan beserta dampaknya bagi perkembangan janin, maka dibuat
makalah yang berhudul “Faktor Eksternal Penyebab Kelainan Perkembangan
Embrio”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah sebagai
berikut.
1. Bagaimana Kelainan Perkembangan Embrio Akibat Agen Infeksius?
2. Bagaimana kelainan perkembangan embrio akibat agen fisik?
3. Bagaimana kelainan perkembangan embrio akibat faktor mekanik?
4. Bagaimana kelainan perkembangan embrio akibat agen kimia?
5. Bagaimana kelainan perkembangan embrio akibat hormon?

1.4 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan sebagai berikut.


1. Untuk mengetahui kelainan perkembangan embrio akibat agen infeksius.
2. Untuk mengetahui kelainan perkembangan embrio akibat agen fisik.
3. Untuk mengetahui kelainan perkembangan embrio akibat faktor mekanik.
4. Untuk mengetahui kelainan perkembangan embrio akibat agen kimia.
5. Untuk mengetahui kelainan perkembangan embrio akibat hormon.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kelainan Perkembangan Embrio Akibat Agen Infeksius
Infeksi virus pada ibu hamil sering tidak menimbulkan gejala yang nyata
atau tidak ada pengaruhnya terhadap ibu sendiri, tetapi mempunyai akibat yang
serius pada janin yang dikandungnya. Infeksi yang dapat menyebabkan kelainan
kongenital terutama yang terjadi pada trimester pertama kehamilan yaitu pada
masa organogenesis. Adanya infeksi tertentu pada periode ini dapat berakibat
abortus ataupun menimbulkan gangguan pertumbuhan organ yang kemudian akan
mengakibatkan kelainan kongenital. Beberapa infeksi yang sering menyebabkan
kelainan kongenital antara lain adalah TORCH yang terdiri dari Toksoplasmosis,
Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus. Disamping itu bakteri dan virus
lain seperti: Sifilis, variola, varicela, polio, hepatitis, influensa juga dapat
menyebabkan kelainan kongenital, kelainan pertumbuhan ataupun keguguran
(Bianchi, 2008).
Infeksi TORCH disamping menimbulkan kelainan pada susunan saraf
pusat juga pada hepar, lien, kelenjar limfe, paru-paru, jantung, darah, saluran
pencernaan, mata, kulit dan lain-lain. Untuk menghindari terjadinya kelainan pada
janin, maka deteksi adanya infeksi pada ibu hamil sangat penting. Tidak semua
infeksi pada ibu hamil dapat melalui barier plasenta. Ada kuman bentuk virus atau
parasit yang dapat menembus barier plasenta, tetapi ada yang reaksi imunuloginya
berpengaruh terhadap janin (Christianson, 2006).
Infeksi yang terjadi pada trimester pertama sering kali menyebabkan
abortus atau kelainan kongenital yang berat, sedangkan infeksi pada kehamilan
trimester dua dan tiga sering menyebabkan kelahiran prematur dan bila terjadi
kelainan biasanya menyangkut fungsi organ (Bianchi, 2008).

2.1.1 Akibat Virus Rubella

Gambar 2.1 Struktur Virus Rubella


Merupakan virus yang termasuk dalam golongan arbovirus dari group
Toga viridae. Mempunyai masa inkubasi 11-14 hari dengan gejala yang menonjol
berupa eksantem dan biasanya dengan gejala prodroma berupa rasa tidak enak
badan. Pada masa ini sering disertai dengan pembesaran kelenjar limfe belakang
telinga (Connor, 1997).
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi
di nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5
sampai hari ke-7 setelah terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus
rubella dapat menular ke setiap orang yang berada di ruangan yang sama dengan
penderita. Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–21 hari. Masa penularan
1 minggu sebelum dan empat (4) hari setelah permulaan (onset) ruam (rash). Pada
episode ini, Virus rubella sangat menular (Indrasanto, 2006).
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia
berlangsung. Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses
pembelahan terhambat. Dalam rembihan (secret) tekak (faring) dan air kemih
(urin) bayi dengan CRS, terdapat virus rubella dalam jumlah banyak yang dapat
menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS
dapat bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran.
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan sel
akibat virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta terjadi
selama viremia ibu, menyebabkan daerah (area) nekrosis yang tersebar secara
fokal di epitel vili korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi
ke dalam lumen pembuluh darah, menunjukkan (indikasikan) bahwa virus rubella
dialihkan (transfer) ke dalam peredaran (sirkulasi) janin sebagai emboli sel
endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan kerusakan
organ janin. Selama kehamilan muda mekanisme pertahanan janin belum matang
dan gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya nekrosis
seluler tanpa disertai tanda peradangan (Indrasanto, 2006)..
Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek. Organ janin
dan bayi yang terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi
yang sehat. Virus rubella juga dapat memacu terjadinya kerusakan dengan cara
apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi setelah trimester pertama kehamilan,
kekerapan (frekuensi) dan beratnya derajat kerusakan janin menurun secara tiba-
tiba (drastis). Perbedaan ini terjadi karena janin terlindung oleh perkembangan
melaju (progresif) tanggap (respon) imun janin, baik yang bersifat humoral
maupun seluler, dan adanya antibodi maternal yang dialihkan (transfer) secara
pasif (Connor, 1997)..
Infeksi Rubella pada 5 bulan pertama kehamilan dapat menyebabkan
cacad pada janin ataupun kematian janin. Ibu dengan Rubella dapat tanpa gejala
sama sekali (30%). Kelainan yang dapat terjadi akibat Rubella seperti kelainan
jantung, katarak, mikrosefali, gangguan mental, hepatosplenomegali. Sekitar 80-
90% infeksi Rubella yang terjadi pada 3 bulan pertama akan menyebabkan
kelainan pada janin dan kemungkinan kelainan yang diakibatkan oleh karena
Rubella akan berkurang jika infeksi Rubella terjadi pada umur kehamilan lebih tua
(Connor, 1997).
Infeksi virus ini pada kehamilan 8-12 minggu akan menghambat mitosis
sel, jumlah sel subnormal, terjadi inhibisi multiplikasi seluler kronik, sehingga
menyebabkan hipoplastik organ yang merupakan masa kritis organogenesis,
disamping dapat menyebabkan kerusakan kromosom (Connor, 1997)..

Gambar 2.2 Glaukoma Gambar 2.3 Penyakit Trombositopenia


Sumber: (Indrasanto, 2006).

Umumnya kelainan sindroma Rubella kongenital mengakibatkan kelainan:


Pada mata (Katarak, mikroptalmia, glaukoma, koriretinitis). Pada jantung (PDA,
ASD/VSD, malformasi jantung). Pada darah (Trombositopenia, anemi). Pada
abdomen (Hepatosplenomegali). Pada susunan saraf (mikrosefali,
meningoensafalitis, retardasi mental dan gangguan pertumbuhan). Juga terdapat
kelainan kromosom. Infeksi yang terjadi post natal dapat timbul: eritematosus,
kelainan tulang, ensefalitis dan trombositopeni (Indrasanto, 2006)..
Diagnosis yang dilakukan dengan isolasi virus dari sekret nasofaring 7 hari
sebelum erupsi hingga beberapa hari setelah erupsi, dapat juga dari urine atau
jaringan tubuh bayi yang mengalami kelainan kongenital. Diagnosis juga dapat
dilakukan pemeriksaan serologi, dapat melihat kadar IgM dan IgG (Indrasanto,
2006).
2.1.2 Akibat Toksoplasmosis
Penyebabnya adalah Toxoplasma gondii, suatu protozoa (parasit)
intraseluler golongan Coccidia , yang penularanya melalui kontak hewan terutama
kucing, anjing, atau hewan mengerat lainya. Penularan pada manusia melalui
ookista yang termakan oleh manusia, setelah itu memperbanyak diri akan
menyerang berbagai organ. Kerusakan yang timbul dapat dihentikan oleh
kekebalan yang terbentuk yang dikenal sebagai kekebalan humoral atau seluler,
namun kerusakan akan berlanjut pada tempat-tempat dimana zat anti tidak dapat
masuk karena adanya sawar darah otak (blood brain barier) seperti otak dan mata
(Jones, 2006).
Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit memasuki sel
berinti atau difagositosis. Sebagian parasit mati setelah difagositosis. Sebagian
yang lain berkembangbiak dalam sel, menyebabkan sel hospes pecah dan
menyerang sel-sel lain. Dengan adanya parasit didalam makrofag dan limfosit,
maka penyebaran secara heterogen dan limfogen keseluruh tubuh mudah terjadi.
Parasitemia berlangsung selama beberapa minggu. T. gondii dapat menyerang
semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah merah karena tidak
berinti (Jones, 2006)..
Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di
berbagai alat dan jaringan, mungkin untuk seumur hidup. Kerusakan yang terjadi
pada jaringan tubuh, tergantung pada (Moore, 1989) :
1. umur, pada bayi kerusakan lebih berat daripada orang dewasa.
2. virulensi strain Toxoplasma
3. jumlah parasit, dan
4. organ yang diserang.
Lesi pada susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan
permanen, oleh Karena jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk
regenerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang disertai
dengan klasifikasi. Pada toksoplasmosi kongenital, nekrosis pada pada otak lebih
sering di korteks, ganglia basal dan daerah periventrikular. Penyumbatan
akuaduktus Sylvii atau foramen Monro oleh karena ependimitis mengakibatkan
hidrosefalus pada bayi(O’ rahily, 2001).
Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan focal dengan
edema dan infitrasi leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan pada
proses penyembuhan menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina dan koroid,
disertai pigmentasi.Di otot jantung dan otot bergaris ditemukan T.Gondii tanpa
menimbulkan peradangan. Di alat tubuh lainnya, seperti limpa dan hati, parasit
lebih jarang ditemukan (O’ rahily, 2001).
Infeksi Toksoplasma pada orang dewasa atau ibu hamil sering tanpa
gejala, sehingga diagnosis sukar ditegakkan. Kadang ditandai adanya demam
ringan dengan limfadenopati daerah servikal. Kejadian infeksi ini kurang lebih 0,2
sampai 1% dari wanita hamil dan sebagian besar biasanya tidak terdiagnosis oleh
karena tanpa gejala. Bila seorang ibu hamil mendapat infeksi primer, maka
kemungkinan 40% bayi yang dikandungnya terkena infeksi Toxoplasma gondiii.
Beratnya kelainan yang ditimbulkan oleh infeksi Toxoplasma tergantung dari
virulensi Toksoplasma, jumlah parasit ang ditularkan dari ibu ke janin, umur
kehamilan saat terjadi infeksi, maturitas sistem imunisasi bayi (Persaud, 1985).

Gambar 2.4 Hidrosefalus Gambar 2.5 Mikrosefali

Sumber: (Persaud, 1985).

Kelainan kongenital yang dapat ditimbulkan pada janin: Pada mata


(mikroopthalmika, okuler palsi), pada SSP( hidrosefalus, mikrosefalus, retardasi
mental). Infeksi oleh Toksoplasmosis pada saat hamil dapat menyebabkan
terjadinya keguguran ataupun kelainan kongenital. Kejadian Toksoplasmosis
kongenital di USA sebesar 1 dari 1000 sampai 1 dari 100000 lahir hidup.
Diagnosis pasti infeksi Toksoplasma yaitu dengan menemukannya pada jaringan
dalam bentuk takizoit atau dengan pemeriksaan serologi yaitu menentukan titer
berupa antibodi IgM dan IgG. Sarjono pada penelitianya tentang antitoksoplasma
pada ibi-ibu yang melahirkan bayi dengan kelainan kongenital, mendapatkan
angka kejadian kelainan kongenital sebesar 10,2 tiap 1000 kelahiran, 17 dari 34
penderita dengan kelainan kongenital terdapat IgG positif (Persaud, 1985).

2.1.3 Akibat Sitomegalovirus


Sitomegalovirus yaitu suatu virus DNA yang terdapat pada air liur, air
susu, urine, feces dan spermatozoa. Penularan pada janin dapat terjadi pranatal
(transplasenta), perinatal (melalui sektret jalan lahir) ataupun postnatal (kontak
dengan urine, air susu dan feces ). Infeksi virus ini dapat terjadi primer maupun
rekuren dengan manifestasi klinik menyerupai Toksoplasma. Infeksi pada orang
dewasa biasanya tanpa gejala yang serius. Hampir 50-80% orang dewasa
mempunyai antibodi terhadap Sitomegalovirus, dimana kontak pertama biasanya
terjadi pada masa anak-anak atau remaja. Merupakan penyebab infeksi kongenital
terbanyak, kurang lebih 0,4%-2,3% bayi yang baru lahir terinfeksi virus ini dan
menyebabkan retardasi mental, mikrosepali, kebutaan dan kematian fetus.
Sebanyak 10-20% kelainan kongenital pada bayi disebabkan oleh virus ini.
Infeksi yang terjadi pada janin biasanya dari infeksi primer yang kemudian terjadi
reaktivasi virus pada masa kehamilan (Sadler, 1997).
Diagnosis dilakukan dengan isolasi dan identifikais virus, dapat dilakukan
dengan pemeriksaan serologi.

Gambar 2.4 Retardasi Mental Gambar 2.5 Kebutaan


Sumber: (Sadler, 1997).

2.1.4 Akibat Virus Herpes Simpleks

Merupakan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Penularan


pada janin terjadi secara: hematogen (melalui plasenta), asenden (dari vagina ke
janin melalui kulit ketuban yang sudah pecah) atau melalui kontak langsung pada
saat persalinan. Infeksi ini pada kehamilan dapat menyebabkan kelainan pada
beberapa organ janin seperti kelainan pada jantung (Patent Ductus Arteriosus),
microphthalmia, microcephaly, retinal dysplasia, IUGR, kematian janin intra
uterin akibat ensefalitis atau meningkatnya kejadian abortus dan partus
prematurus. Kejadian infeksi virus ini pada bayi kurang lebih 1 dari 3000-75000
kelahiran hidup. Sebanyak 80%-90% infeksi terjadi intra partum akibat
kontaminasi dan sekret jalan lahir (Schardian, 1985).

Gambar 2.6 Patent Ductus Arteriosus Gambar 2.7 Mikroptalmia


Sumber: (Schardian, 1985).

2.1.5 Akibat Sifilis


Penyebab sifilis adalah bakteri Treponema pallidum. Treponema berasal
dari bahasa Yunani yang berarti benang yang terpuntir. Panjang mikro-organisme
ini 5-20 mm dan diameternya 0,092-0,5 mm (Schardian, 1985).
Plasenta dari bayi yang menderita sifilis kongenital dapat mengalami
plasentomegali yang didefinisikan oleh Hoddick dkk sebagai penebalan plasenta
yang melebihi + 2 SD ( deviasi standar) disesuaikan dengan usia kehamilan.
Kematian janin atau perinatal terjadi pada 40% bayi yang terinfeksi.
Persalinan preterm dan pertumbuhan janin terhambat juga telah dilaporkan. Pada
bayi yang tetap hidup, manifestasi klinis dibagi dalam stadium dini dan stadium
lanjut. Stadium dini terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan, sedangkan
stadium lanjut terjadi setelah usia dua tahun. Kurang lebih dua pertiga bayi tidak
menunjukkan gejala klinis saat dilahirkan, tetapi jika tidak diobati gejala akan
muncul dalam beberapa minggu atau bulan. Manifestasi klinis bervariasi dan
dapat mengenai beberapa organ. Organ yang sering terkena adalah hati dan limpa
berupa pembesaran (hepatosplenomegali), ikterik yang menetap dan peningkatan
enzim hati (Taylor, 1986).

Gambar 2.8 Hepatosplenomegali


Sumber : (Taylor, 1986).
Infeksi sifilis pada masa kehamilan dapat menyebabkan terjadinya abortus,
matinya janin intra uterine, atau menyebabkan kelainan kongenital pada janin
terutama menyangkut organ-organ seperti paru-paru, hepar, limpa, pankreas,
retardasi mental dan ketulian. Kelainan akibat sifilis biasanya tampak jelas pada
plasenta, yang biasanya menjadi lebih besar dan pucat. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan melihat langsung kuman dengan teknik darkfield dari kerokan
intima pembuluh darah tali pusat yang masih segar (Taylor, 1986).

2.1.6 Akibat Varicella


Infeksi VZV mudah menular melalui droplet yang menyebar ketika
seseorang dengan varisela batuk atau bersin, kontak langsung dengan sekret
saluran pernapasan atau dengan lesi pada kulit yang belum berkrusta, penyebaran
melalui udara, dan transmisi melalui plasenta.Infeksi primer VZV selama
kehamilan dapat mengakibatkan transmisi virus ke janin atau bayi baru
lahir.Transmisi intrauterin VZV dapat menyebabkan CVS, varisela neonatal, atau
herpes zoster selama janin dalam kandungan (Wilsom, 1965).
Penyakit varisela dalam kehamilan tentu sangat mengganggu bagi ibu
hamil dan memiliki kemungkinan risiko berbagai komplikasi, terutama karena
adanya penurunan daya tahan tubuh pada ibu hamil.Tetapi mayoritas ibu hamil
yang menderita varisela sembuh dengan baik dan janin mereka pun dalam
keadaan baik . Risiko infeksi intrauterin bervariasi dan meningkat sesuai umur
kehamilan, hal ini diperkirakan karena menurunnya fungsi barier plasenta.Risiko
infeksi intrauterin untuk usia kehamilan dibawah 28 minggu sebesar 10%, antara
28 hingga 36 minggu sebesar 25%, dan untuk diatas 36 minggu sebesar 50%6
.Infeksi ini dikenal dengan sebutan fetal varicella (Taylor, 1986).
Meskipun jarang, infeksi VZV intrauterin ini dapat menyebabkan suatu
abnormalitas tersendiri yang dikenal sebagai Congenital Varisela Syndrome
(CVS). CVS juga dikenal sebagai Fetal Varisela Syndrome, atau varisela infection
of the newborn (infeksi varisela pada bayi baru lahir) .Di Inggris, setiap tahunnya
sekitar 10 bayi lahir dengan CVS akibat infeksi varisela dalam kandungan. Di
Australia, insidensi CVS adalah 1 dari 107.000 kehamilan .
Manifestasi klinis dari CVS diantaranya adalah jaringan parut pada kulit
sesuai distribusi dermatomal, berat badan lahir rendah, lesi pada mata
(korioretinitis, katarak, mikropthalmia), atrofi kortikal, retardasi mental, gangguan
neurologis multi sistim yang berat (kelainan kontrolsphingter, obstruksi intestinal,
Horner sindrom), abnormalitas sistim gastrointestinal, abnormalitas sistem
urogenitalia, abnormalitas skeleton, dan hipoplasia anggota gerak . Hipotesis yang
ada saat ini mempercayai bahwa CVS dapat terjadi karena reaktivasi virus yang
bersifat dorman pada saraf atau adanya manifestasi berupa herpes zoster, baik
secara dermatomal maupun menyeluruh/disseminated, saat janin masih di dalam
rahim(Schardian, 1985) .
Risiko terjadinya CVS diperkirakan sekitar 0,4% (kurang dari 1%) ketika
ibu terinfeksi diantara periode waktu konsepsi dan 12 minggu pertama kehamilan,
dan risiko meningkat menjadi 2% ketika infeksi terjadi pada usia kehamilan antara
12 dan 20 minggu. Pada 20 minggu pertama kehamilan, dikatakan infeksi
maternal yang menyebabkan CVS memiliki angka kematian yang cukup tinggi,
yaitu sekitar 30%.Walaupun pada usia kehamilan diatas 20 minggu risiko
timbulnya CVS lebih rendah, beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa
abnormalitas janin tetap dapat terjadi (Schardian, 1985).
Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap pengaruh infeksi varicella
pada kehamilan, dan kelainan kongenital yang diakibatkan berupa varicella
embriopati yang telah diketahui sejak tahun 1947. Pada salah satu penelitian
mendapatkan resiko terjadinya varicella embriopati apabila infeksi terjadi pada
kehamilan < 20 minggu adalah 0,5 – 2 %. Pemeriksaan IgM, PCR (Polimerase
Chain Reaction), mungkin dapat membantu akan tetapi menurut Henderson dan
Weiner, hasil yang negatif tidak dapat menyingkirkan infeksi. Cacat kongenital
yang disebabkan Varicella virus yaitu hipoplasia kaki, retardasi mental dan atropi
otot (Taylor, 1986).

Gambar 2.9 Hipoplasia Ekstrimitas Bawah


Gambar 2.10 (A) Hipoplasia Kaki. Atrofi lengan kiri dan tidak ada ibu jari. (B)
Pembentukan skar pada bahu kiri
Sumber: (Taylor, 1986).

2.1.7 Akibat HIV


Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu:
Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan
ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual.
Kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit menular seksual seperti sifilis
dan chancroid akan memudahkan terjadinya infeksi HIV. Tranfusi: HIV
ditularkan melalui tranfusi darah baik itu tranfusi whole blood, plasma, trombosit,
atau fraksi sel darah lainnya. Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat
terjadi karena tusukan jarum yang terinfeksi atau bertukar pakai jarum di antara
sesama pengguna obat-obatan psikotropika. Transmisi vertikal (perinatal):
wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 15-40% kemungkinan akan menularkan
infeksi kepada bayi yang baru dilahirkannya melalui plasenta atau saat proses
persalinan atau melalui air susu ibu (Sadler, 1997).
Transmisi penyakit dari ibu ke janin (mother-tochild trasmission = MTCT)
dapat terjadi selama kehamilan, saat persalinan, dan menyusui. Pada ibu hamil
yang tidak diberikan obat HAART selama kehamilan, 80% terjadi transmisi
MTCT pada usia kehamilan lanjut (di atas 36 minggu), saat persalinan, dan
postpartum dan kurang dari 2% transmisi MTCT terjadi selama trisemester I dan
II kehamilan. Cacat kongenital akibat HIV adalah mikrosefali dan retardasi
pertumbuhan (Sadler, 1997).
Gambar 2.11 Mikrosefali

2.2 Kelainan Perkembangan Embrio Akibat Agen Fisik


2.2.1 Radiasi Sinar X
Setelah terjadi proses pembuahan, sel-sel menjadi sangat
radiosensitif dan mudah ruak oleh karena radiasi. Sinar radiasi akan
berefek desrupsi dan diferensiasi jaringan. Beratnya tingkat kerusakan
sangat tergantung dari usia kehamilan dan dosis dari radiasi. Akan tetapi
dosis radiasi yang memberikan efek teratogenik sangat sulit untuk
dipastikan. Dikatakan bahwa penyinaran lebih dari 10.000 milyard pada
wanita hamil dikhawatirkan akan mempunyai efek terhadap kehamilan.
Pada umumnya kelainan kongenital yang berat akan terjadi apabila radiasi
terjadi pada umur kehamilan 2 minggu-16 minggu. Dari berbagai laporan
menyatakan bahwa kejadian mikrosefali kongenital dan retardasi mental
akan meningkat 5 kali pada ibu-ibu yang selama kehamilanya
mendapatkan radiasi dengan dosis 50 rad2 (Taylor, 1986).
Sinar-X adalah suatu radiasi berenergi kuat yang tergantung pada
dosisnya, dapat mengurangi pembelahan sel, merusak materi genetik, dan
menimbulkan efek pada bayi yang belum dilahirkan. Sel-sel yang
membelah cepat adalah paling sensitif terhadap paparan sinar-x. Bayi
dalam perut ibu sensitif terhadap sinar-x karena sel-selnya masih dalam
taraf pembelahan dengan cepat, dan berkembang menjadi jaringan dan
organ yang berbeda-beda. Pada dosis tertentu, paparan sinar-x pada wanita
hamil dapat menyebabkan keguguran atau cacat pada janin yang
dikandungnya, termasuk kemungkinan terjadinya kanker pada usia
dewasa. Memang sebagian besar prosedur pemaparan sinar-x
menghasilkan radiasi yang relatif ringan. Namun sebagai langkah jaga-
jaga, penggunaan sinar-x pada wanita hamil kecuali benar-benar perlu,
harus dihindari. Wanita yang melalui pemeriksaan rontgen sebelum
mengetahui status kehamilannya harus berbicara kepada dokternya
(Taylor, 1986)..
Sinar-X adalah sejenis radiasi ion bertenaga besar yang bila terjadi
kontak dengan suatu material akan menyebabkan material tersebut
kehilangan elektron dan terionisasi. Paparan radiasinya diukur dengan
satuan rad atau unit radiasi yang diserap. Satuan lain adalah penghitungan
berdasarkan kerusakan biologis akibat paparan radiasinya. Penting untuk
diingat, bahwa sinar-x mempengaruhi hanya jaringan tubuh yang
mendapat kontak langsung dengan sinarnya. Misalnya rontgen pada
tangan tidak menimbulkan pengaruh radiasi ke organ lainnya (Taylor,
1986)..
Komisi pengaturan nuklir membatasi satuan 2 rads sebagai ambang
radiasi yang mungkin menyebabkan kerusakan janin. Berikut adalah
rangkuman efek sinar-X terhadap janin dalam rahim. Usia Kehamilan
(minggu ke) /Efek (Taylor, 1986):
 0–1 (pre-implantasi) - > Kematian embryo
 2–7 (pembentukan organ) - > Malformasi, pertumbuhan terhambat,
kanker
 8–40 (fetal stage) - > Malformasi, pertumbuhan terhambat, kanker,
gangguan pertumbuhan mental
Cacat kongenital yang disebabkan oleh sinar-x adalah mikrosefali,
spina bifida, bibir sumbing dan kecacatan pada ekstrimitas bawah.

Gambar 2.12 Bibir Sumbing


Sumber: (Taylor, 1986).

2.2.2 Hipertermia

Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh dan disebut sebagai


teratogen. Kecacatan yang disebabkan oleh Hipertremia meliputi anensefali,
dan tangan, omfalokel dan abnormalitas jantung. Penyebab peningkatan suhu
tubuh yang menyebabkan kecacatan lahir adalah penggunaan sauna dan
berendam di air panas(Schardian, 1985).

Gambar 2.13 Anensefalus Gambar 2.14 Omfalokel


Sumber: (Schardian, 1985)

2.3 Faktor Mekanis


Tekanan mekanis pada janin pada masa pertumbuhanya dalam rahim dapat
menyebabkan kelainan kongenital berupa kelainan bentuk organ tubuh sehingga
menimbulkan kelainan deformitas organ tersebut. Sebagai contoh: deformitas
organ yang berupa talipes virus, talipes valgus, talipes equinovarus. Contoh lain
kelainan kongenital yang disebabkan oleh faktor mekanis adalah jeratan pita
amnion yang dapat menimbulkan deformitas hingga amputasi organ (sindroma
pita amnion) (Schardian, 1985).

Gambar 2.14 Sindroma Pita Amnion

Sumber: (Schardian, 1985)


2.4 Agen Kimia

Aminoprotein
Senyawa aminopterin tergolong senyawa antimetabolit, yang merupakan
suatu antagonis asam folat, dan telah digunakan sebagai obat antineoplastik. Cacat
yang ditimbulkan oleh aminopterin adalah anensefali, meningokel, hidrosefalus,
dan bibir sumbing serta palatoskisis. Hal ini dikarenakan banyak agen
antineoplastik menghambat mitosis, tidaklah mengherankan kalau obat ini
meupakan teratogen terkuat (Sadler,1997).

Aminopterin sindrom

Diphenylhydantion (phenytoin)
Diphenylhydantion (phenytoin) merupakan obat anti kejang yang
dikonsumsi oleh wanita penderita epilepsy. Pada sebuah penelitian retrospektif
427 kehamilan pada 186 penderita epilepsy frekuensi malformasi mayor seperti
cacat jantung, celah pada wajah, dan mikrosefali adalah dua kali lebih tinggi dari
yang diperkirakan. (Sadler,1997).
Obat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti epilepsi pada kehamilan
danmempunyai efek teratogenik. Terdapat kejadian sedikit yang menyebabkan
malformasi mayor pada manusia. Sampai sekarang sebagian besar pasien-pasien
diobati dengan beberapa obat anti epilepsi,sehingga sulit untuk mengevaluasi efek
obat secara individual. Angka malformasi total pada 305 anak yang dilahirkan
oleh ibu tanpa epilepsi adalah 6,4 % (laidlaw, 1988; Yerby,1991; Johnston, 1992).
Penggunaan fenitoin dapat mengakibatkan terjadinya sindrom hidantoin
fetus. Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Hanson dan Smith (1975)
untuk menggambarkan pola abnormalitas yang diamati pada neonatus, dimana ibu
epilepsi yang hamil diberikan obat fenitoin, biasanya dikombinasi dengan
fenobarbital. Sindrom ini terdiri dari abnormalitas kraniofasial,kelainan anggota
gerak, defisiensi pertumbuhan, retardasi mental baik ringan atau sedang (Gilroy,
1992). Studi prospektif dari 35 bayi pada prenatal diberi obat golongan hidantoin,
Hansons dan kawan-kawan (1976) menemukan 11% mempunyai gambaran
sebagai sindroma ini (laidlaw, 1988’ Yerbi, 1991). Dosis fenitoin antara 150-600
mg/hari.

abnormalitas kraniofasial

Valproic acid
Asam valproat menimbulkan cacat tuba neuralis jantung, cacat kraniofasial, dan
tungkai (Sadler,1997).

Trimethadione
Trimethadione yang digunakan dalam pengobatan serangan petit mal dapat
menimbulkan suatu pola kelainan yang khas, antara lain cacat telinga,
palatoskisis, cacat jantung, cacat urogenital, serta sistem tulang, yang keseluruhan
disebut sebagai “Sindrom Trimethadione”. Seperti halnya difenilhidantion ,
perkembangan fisik dan jiwa yang lambat juga merupakan komponen dari
sindrom ini (Sadler,1997).
Trimethadione Dapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik
disebut sindrom trimetadion fetus. German dan kawan-kawan (1970) melaporkan
bahwa dalam satu keluarga terdapat 4 bayi yang mengalami malformasi dilahirkan
dari ibu yang menderita epilepsi dengan menggunakan obat ini; studi lanjutan
mengkonfirmasi terhadap resiko tinggi pada sindrom ini, yang mana dapat
menyebabkan perkembangan yang lambat, anomali kraniofasial dan kelainan
jantung bawaan (Laidlaw, 1988; Gilroy, 1992; Johnston, 1992)

Sindrom Trimethadione
Lithium
Lithium merupakan obat antipsikosis dan antiansietas (yaitu obat penenang mayor
dan minor) yang dapat meyebabkan terjadinya cacat kongenital. Dalam penelitian
lebih lanjut lithium dapat menyebabkan terjadinya malformasi jantung pada janin
(Sadler,1997).

Warfarin
Warfarin merupan antikoagulan yang bersifat teratogenik. Warfarin dapat
menyebabkan hiploplasia kartilago hidung, kondrodisplasia, cacat sistem saraf
pusat, termasuk keterbelakangan jiwa, dan atrofi saraf optik (Sadler,1997).

Warfarin sindrom
ACE inhibitor
Agen agen antihipertensi yang menghambat enzim pengubah angiotensin
(ACE inhibitor) dapat menimbulkan keterlambatan pertumbuhan, disfungsi ginjal,
kematian janin, dan oligohidramnion (Sadler,1997).

Kokain
Kokain telah dilaporkan menyebabkan abortus spontan, keterlambatan
pertumbuhan, mikrosefali, masalah – masalah tingkah laku neuro, cacat
urogenital, dan gastroskisis. Kelainan yang ditimbulkan dari kokain ini mungkin
disebabkan oleh kerjanya sebagai vasokonstriktor yang menyebabkan hipoksia
(Sadler,1997).

Isotretinoin (vitamin A)
Isotretionin (asam 13-cis-retinoat), suatu analog vitamin A, telah
dibuktikan menyebabkan suatu pola malformasi yang khas yang dikenal sebagai
embriopati isotretinoin atau vitamin A. obat ini diresepkan untuk mengobati
aknekistik atau dermatosis kronik lainnya, tetapi sangat tertogenik. Ciri – ciri
embriopati yang timbul antara lain perkembangan telinga kecil dan abnormal,
jembatan hidung datar, hipoplasia mandibula, celah langit-langit, hidrosefali, cacat
tuba neuralis, dan cacat jantung yang mengenai daerah konotrunkus (Sadler,1997).

Mekuri

Elemen merkuri (Hg) berwarna kelabu-perak, sebagai cairan pada suhu kamar
dan mudah menguap bila dipanaskan. Hg2+ (senyawa anorganik) dapat mengikat
karbon, membentuk senyawa organomerkuri. Metil Merkuri (MeHg) merupakan
bentuk penting yang menimbulkan keracunan pada manusia. Merkuri termasuk
bahan teratogenik. MeHg didistribusikan keseluruh jaringan terutama di darah dan
otak. MeHg terutama terkonsentrasi dalam darah dan otak, 90 % ditemukan dalam
darah merah. Efek toksisitas merkuri terutama pada susunan saraf pusat (SSP) dan
ginjal, dimana merkuri terakumulasi yang dapat menyebabkan kerusakan SSP dan
ginjal antara lain tremor (gerakan fluktuatif gemetar pada tubuh) dan kehilangan
daya ingat. MeHg mempunyai efek pada kerusakan janin dan terhadap
pertumbuhan bayi. Kadar MeHg dalam darah bayi baru lahir dibandingkan
dengan darah ibu mempunyai kaitan signifikan. Bayi yang dilahirkan dari ibu
yang terkena racun MeHg dapat menderita kerusakan otak dengan akibat

1. Retardasi mental, yaitu keadaan dengan intelegensia yang kurang


(subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak).
2. Tuli.

3. Buta.

4. Mikrocephali (campak).

5. Cerebral palsy.

6. Gangguan menelan makanan.

Alkohol

Syndrom Alkohol

Efek teratogenik alkohol terhadap janin tergantung dari dosis, frekuensi,


pola minum, status gizi ibu, variasi genetik dan metabolisme alkohol itu sendiri.
Penelitian pengguna alkohol di sekolah di AS (1997) : kelas 8 sebesar 26%, kelas
10 sebesar 40%, kelas 12 sebesar 51%, 16% binge-drinkers (sekali minum dalam
dosis sangat tinggi: lebih dari 5 gelas bir per kali minum) pada kelas 8. Jika
minum alkohol lebih dari dua kali (dua gelas) sehari, satu diantara sepuluh janin
akan mengalami kelainan-kelainan pada wajah seperti pecah-pecah pada langit-
langit mulut, dan bibir sumbing, kelainan lain yang bisa muncul adalah kelainan
jantung, perkembangan anggota badan yang tidak normal, dan anak dengan
tingkat kecerdasan lebih rendah : IQ rata-rata 65; normal:100 (Schuckit, 2009;
Chambers and Vaux, 2006).

Penelitian lain juga mendapatkan hasil bahwa tingkat kecerdasan anak


yang dilahirkan dari ibu peminum alkohol sedang, 7 poin lebih rendah
dibandingkan anak-anak sebayanya (Pellisier, 2012). Riset yang dilakukan pada
ibu-ibu hamil yang biasa minum alkohol sejak trimester pertama, saat bayinya
lahir, kemudian berturut-turut di usia 8 bulan, 18 bulan, 3 tahun, 6 tahun dan 10
tahun, kecerdasannya diukur, ternyata kemampuan kognitif mereka lebih rendah
dibanding anak-anak seusianya (Coles, 1993; Connor, 2006). Jika ibu hamil
minum alkohol kurang dari dua gelas sehari, maka risiko kelainan pada janin
masih tetap ada. Hal ini disebabkan karena sebagian tubuh ibu hamil mengolah
alkohol menjadi acetaldehyde, suatu metabolit intermedier alkohol yang sangat
toksik.

Bayi yang lahir dari wanita peminum alkohol, berisiko memiliki berat
badan yang lebih rendah dari bayi rata-rata yang ibunya bukan peminum. Selain
itu, bayi yang lahir dari ibu alkoholik, biasanya akan keguguran atau tidak bisa
bertahan hidup lama. Pusat Penelitian Gizi Manusia, RCHN (Research Center for
Human Nutrition) di Paris, Perancis menemukan konsumsi minuman beralkohol
saat mengandung, dapat mengakibatkan anak berisiko tinggi terkena penyakit
leukemia myeloid akut atau Acute Myeloid Leukemia (AML). Bahkan, RCHN
menegaskan bahwa risiko terkena AML lebih tinggi saat anak berumur 4 tahun.
Hasil penelitian ini berdasarkan analisis studi kontrol pada 21 kasus di Perancis.
Sementara direktur peneliti dari University of Minnesota, Ross, menyebutkan,
sekitar 700 kasus AML menimpa generasi muda Amerika Serikat setiap tahunnya
padahal sebelumnya kasus ini sangat langka. Oleh sebab itu, Ross meminta orang
tua berhenti mengkonsumsi alkohol. Bahkan Ross merekomendasikan, agar
bahaya mengkonsumsi alkohol saat kehamilan ini perlu dibuatkan undang-
undang. Saat ini, direktur RCHN Amerika Latin, Martel mengatakan, meskipun
saran untuk tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, namun tingkat konsumsi
wanita hamil masih cukup tinggi dibeberapa negara seperti Amerika Serikat
sebesar 12 persen, Swedia 30 persen, Perancis 52 persen, ‘Australia 59 persen
serta Rusia sebanyak 60 persen.

Diagnosis FAS (Facial Dysmorphy) harus memenuhi kriteria seperti


dibawah ini : 1. Gangguan pertumbuhan (growth retardation) – tinggi atau berat
badan (atau keduanya) pre atau postnatal berada pada/dibawah P10 National
Center for Growth Statistics (Clinical Growth Charts, 2007). 2. Fitur wajah yang
spesifik (facial dysmorphic features) : ketiga fitur karakteristik wajah FAS yaitu :
bukaan mata kecil, philtrum yang halus atau datar, batas bibir atas (vermillion)
yang tipis (FDPN, 2007). 21 3. Kerusakan SSP dan otak yang permanen dan
ireversibel (CNS and brain impairments) dapat dilihat dan diperiksa secara klinis:
mikrosefali, gangguan belajar dan memori dengan cara: Brazelton Scale
Habituation (Streissguth et al., 1983 and Streissguth et al., 1998), PEEX (Levine,
1992), PEER (Levine and Schneider, 1982), Brigance (Brigance, 1983; Linkous,
1986) defisit perhatian dan hiperaktif menggunakan: Taland Letter cancelling test,
Wisc-R digit span, WCST, ACTeRS (Ullmann, et al., 1991) lambat bicara
/berbahasa (DDST, Word span, Naming, Word comprehension, Woodstock
Reading Mastery) gangguan motorik atau koordinasi (DDST, WISC-R, PEEX,
PEER), gangguan sosial dan perilaku (VABS, FABS, FAS/atypical FAS Scale,
ACTeRS), kesulitan Visual-spatial (Beery Development Test of Visual-Motor
Integration, Frostig Developmental Test of Visual Perception, PPEX, PEER) IQ
test (BSIMMD and MDI, Stanford Binet, Wechsler Scales: WPPSI and WPPSI-R,
WISC and WISC-R, WAIS).

Manifestasi FAS yang lain: keterbelakangan mental, kelainan bentuk


tulang rangka dan sistem organ besar (terutama jantung dan otak), gangguan
pertumbuhan, defisit sistem saraf pusat, miskin keterampilan motorik, masalah
belajar, gangguan kognitif (Godel et al., 2000) dan memori, interaksi sosial,
gangguan perhatian, gangguan bicara dan atau gangguan pendengaran. Ada juga
fitur wajah yang merupakan ciri khas dari bayi dengan FAS. Fitur-fitur ini
meliputi: bukaan mata kecil, hidung pendek atau terbalik, pipi datar, dan bibir
tipis (Astley S, 2007). Fitur-fitur ini memudar ketika anak tumbuh, tapi tetap
mengalami berbagai kesulitan seumur hidup.

Thalydomide

Phocomelia

Thalidomide merupakan obat penenang yang diproduksi sekitar akhir


tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an. Obat ini banyak diberikan kepada
wanita hamil untuk membantu mereka mengatasi kesulitan tidur dan mengurangi
rasa mual. Akan tetapi efek klinisnya berbeda saat dikonsumsi oleh ibu hamil.
Dokter tidak menyadari bahwa ketika thalidomide diberikan selama masa
kehamilan, hal tersebut akan sangat mengganggu perkembangan janin.
Di seluruh dunia, sekitar 10-12000 bayi lahir cacat pada bagian tungkai
dan atau organ dalam mereka. Sekitar 5000 diantara mereka masih dapat betahan
hidup hingga saat ini. Akibat dari efek thalidomide tak ada seorang pun yang tahu
berapa banyak bayi yang tidak akan selamat sebelum kelahiran atau berapa
banyak bayi yang meninggal hanya selang beberapa hari setelah mereka
dilahirkan. Karena hal tersebutlah obat ini kemudian ditarik dari pasar
penjualan obat

- Phocomelia
Phocomelia adalah cacat ekstrem yang paling sering dikaitkan dengan
thalidomide. Kata phocomelia berasal dari kata Yunani phoke yang berarti "segel"
dan melos yang berarti "tungkai", di mana tangan dan / atau kaki segera dimulai
pada sendi utama (bahu / pinggul). Cacat yang disebabkan thalidomide hampir
bilateral / simetris. Itu berarti kedua sisi tubuh mengalami dampak yang sama
(cacat kedua lengan, cacat kedua kaki, atau cacat keempatnya). mengalami
dampak yang sama (cacat kedua lengan, cacat kedua kaki, atau cacat
keempatnya).

Cacat Lain Yang Disebabkan Oleh


Thalidomide :
- Hilang atau cacat anggota tubuh (bilateral)
- Tidak mempunyai telinga atau tuli
- Hilang atau kelebihan jari tangan atau kaki
- Pembentukan ginjal, jantung dan organ internal lainnya yang tidak
sempurna
- Langit-langit mulut yang terbelah
- Memiliki tulang hidung yang rata

2.5 Faktor Hormon dan Lain-lain


Sintesis dari progestin telah di gunakan selama kehamilan untuk mencegah
keguguran. Progestin memiliki aktivitas androgenik dan banyak kasus
maskulinisasi dari organ genitalia wanita. Abnormalisasi terjadi pada clitoris dan
penggabungan dari labioscrotal folds. Penggangnu endokrin adalah agen
exsogenus yang bekerja pada regulator yang mengontorol hormon perkembangan.
Dimana menyebabkan abnormalitas pada sistem syaraf pusat dan perkembangan
reproduksi. Salah satunya adalah diethyl-stilbesterol, yang di gunakan untuk
mencegah keguguran, meingkatkan resiko terjadinya carsinomonas dari vagina
dan servix pada wanita yang mengkonsumsi obat tersebutDi ketahui memiliki
efek pada perkembangan kelamin, pada wanita akan menyebabkan disfungsi dari
organ reproduksi serta malformasi dari uterus, saluran urin, dan bagian atas vagina
(Connor, 1997).

Pada embrio laki laki akan menyebabkan malformasi dari testis dan
abnormal sperma. Akan tetapi berbeda dengan wanita, laki laki memiliki resiko
yang lebih kecil untuk terjadi peningkatan dari carsinomonas dari sistem genitalia.
Penggunaan obat kontrasepsi oral yang mengandung estrogen dan progestogen
memiliki resiko kecil sebagai teratogen yang menyebabkan kelainan
perkembangan (Connor, 1997)..

MATERNAL DISEASE

Diabetes.

Menurut Brunner and Suddarth, 2001, Diabetes Mellitus merupakan


sekelompok kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Pada
Diabetes Mellitus, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat
menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin.
Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) adalah kelainan pada metabolisme
karbohidrat dari faktor yang memberatkan yang terjadi selama kehamilan
(Marilyn, 2001). Diabetes Mellitus Gestational adalah kehamilan normal yang
disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal
mempertahankaneuglycemia).
Faktor yang menyebakan terjadinya diabetes kadar gula dalam tubuh. Pada
perkembangan manusia, yaitu selama tahap gastrulasi dan neurulasi, embrio
mamalia bergantung pada glukosa sebagai sumber energi. Sehingga kekurangan
glukosa atau kadar glukosa yang renda dapt bersifat teratogenik yang
menyebabkan terjadinya diabetes sejak lahir.

Phenylketonuria.

Phenylketonuria/PKU adalah kelainan metabolik langka yang mempengaruhi cara


tubuh memecah protein dan merupakan gangguan genetik yang ditandai dengan
ketidakmampuan tubuh memetabolisme asam amino phenylalanine. Jika tidak
ditangani dengan segera setelah lahir, PKU dapat merusak sistem saraf dan
menyebabkan keterbelakangan mental. Pada kasus phenylketonuria, enzim
phenylalanine hydroxylase (PAH) hanya ditemukan sedikit atau bahkan tidak ada.
Defisiensi enzim ini menyebabkan tubuh tidak dapat memetabolisme asam amino
esensial phenylalanine. Fungsi enzim PAH ini sebenarnya adalah mengubah asam
amino phenylalanin menjadi asam amino tyrosine. Sehingga pada penderita
phenylketonuria, ditemukan akumulasi asam amino phenylalanin
(hyperphenylalaninemia).

PKU disebabkan oleh mutasi pada gen pada kromosom 12. Kode gen
untuk protein yang disebut PAH (fenilalanin hidroksilase), enzim dalam hati.
Enzim ini memecah asam amino fenilalanin menjadi produk lain yang dibutuhkan
tubuh. Ketika gen ini bermutasi, bentuk perubahan enzim PAH dan tidak mampu
untuk benar memecah fenilalanin. Phenylalanine menjadi lebih berkembang di
darah dan sel-sel saraf racun (neuron) di otak. PKU adalah gangguan resesif
autosomal, yang berarti bahwa penderita perlu mewarisi mutasi di kedua salinan
gen untuk mengembangkan gejala gangguan tersebut. Jika kedua orang tua
membawa satu salinan gen yang rusak, masing-masing anak-anak mereka
memiliki kesempatan 25 persen dari yang lahir dengan penyakit ini.

NUTRITIONAL DIFERENSIASI

Obesitas.
Obesitas merupakan sebuah kondisi kronis di mana terjadinya
penumpukan lemak di dalam tubuh sehingga melebihi batas yang baik untuk
kesehatan. Pengukuran berat badan serta kaitannya dengan kesehatan ini bisa
diukur melalui penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT).

Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun


dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang terjadi
perluasan ke dalam jaringan organnya (Misnadierly, 2007). Obesitas merupakan
keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara tinggi dan berat badan
akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang
melampaui ukuran ideal (Sumanto, 2009). Terjadinya obesitas lebih ditentukan
oleh terlalu banyaknya makan, terlalu sedikitnya aktivitas atau latihan fisik,
maupun keduanya (Misnadierly, 2007).

Obesitas dapat dikategorikan sebagai penyebab kelainan perkembangan


dikarenakan dapat menyebabkan kelainan pada neural tube akibat tekanan dari
perut yang terlalu besar. Selain itu ibu yang mengandung dengan keadaan obesitas
memiliki resiko tinggi memiliki bayi yang mengalami cacat jantung, omphalocele,
dan berbagai aniomali.

Hipoksia.

Hipoksia adalah kondisi kurangnya pasokan oksigen bagi tubuh untuk


menjalankan fungsi normalnya. Hipoksia bisa merupakan kondisi lanjutan dari
hipoksemia, yaitu rendahnya pasokan oksigen pada pembuluh darah bersih
(pembuluh arteri). Hipoksia merupakan kondisi berbahaya, karena otak, hati, dan
organ lainnya bisa rusak dengan cepat ketika tidak mendapat oksigen yang cukup.
Kondisi ini juga bisa terjadi pada bayi prematur, disebabkan paru-parunya belum
berkembang sempurna (Indarsanto, 2006).

Hipoksia disebabkan oleh faktor ketinggian dan kadar serta suplai oksigen
yang rendah. Penderita hipoksia umumnya di temui pada orang yang tinggal di
atas ketinggian 1000 Meter di atas permukaan air laut. Hal tersebut di karenakan
semakin tinggi tempat maka semakin sedikit kandungan oksigen dalam udara
sehingga suplai oksigen terhadap janin kurang terpenuhi yang menyebabkan
penyakit hipoksia.

Logam Berat.

Logam berat sangan berbahaya dan bersifat teratogenik yang dapat


meyebabkan kelainan perkembangan pada janin. Semua jenis logam berat bila di
konsumsi ibu hamil akan menyebabkan terjadinya kelainan perkembangan
meskipun dalam kadar yang sedikit. Contoh kasus akibat logam berat adalah
tragedi minamata di jepang. Tahun 1908 berdiri PT Chisso, perkembangannya
pada tahun 1932 Industri ini berkembang dan memproduksi berbagai jenis produk
dari pewarna kuku sampai peledak, dengan dukungan militer industri ini merajai
industri kimia, dan dengan leluasa membuang limbahnya ke teluk Minamata
diperkirakan 200-600 ton Hg dibuang selama tahun 1932-1968, selain merkuri
limbah PT Chisso juga berupa mangan. Thalium, dan Selenium. Bencana mulai
nampak pada tahun 1949 ketika hasil tangkapan mulai menurun drastis ditandai
dengan punahnya jenis karang yang menjadi habitat ikan yang menjadi andalan
nelayan Minamata (Indarsanto, 2006)..

Pada tahun 1953 beberapa ekor kucing yang memakan ikan dari teluk
Minamata mengalami kejang, menari-nari, dan mengeluarkan air liur beberapa
saat kemudian kucing ini mati.
Tahun 1956 adanya laporan kasus gadis berusia 5 tahun yang menderita gejala
kerusakan otak, gangguan bicara, dan hilangnya keseimbangan sehingga tidak
dapat berjalan.Menyusul kemudian adalah adik dan empat orang tetangganya,
penyakit ini kemudian oleh Dr Hosokawa disebut sebagai Minamata desease.
Pada tahun 1958 terdapat bukti bahwa penyakit Minamata disebabkan oleh
keracunan Methyl-Hg, hal ini ditunjukkan dengan kucing yang mengalami kejang
dan disusul kematian setelah diberi makan Methyl-Hg. Pada tahun 1960 bukti
menyebutkan bahwa PT Chisso memiliki andil besar dalam tragedi Minamata,
karena ditemukan Methyl-Hg dari ekstrak kerang dari teluk Minamata, sedimen
habitat kerang tersebut mengandung 10-100 ppm Methyl-Hg, sedang di dasar
kanal pembuangan pabrik Chisso mencapai 2000 ppm. pada tahun 1968
pemerintah secara resmi mengakui bahwa pencemaran dari pabrik Chisso sebagai
sumber penyakit Minamata (Indarsanto, 2006).

Laki kali sebagai pembawa teratogen.

Berdasarkan berbagai penelitian yang berkembang bahwa banyak hal


mulai dari bahan kimia, radiasi, virus, dll yang menyebabkan kerusakan dan jutasi
pada germ sel laki laki. Germ sel sendiri merupakan sel yang nantinya akan
mengalami perkembangan dan diferensiasi menjadi sperman yang membawa
materi genetik ke ovum. Apabila germ sel mengalami mutasi maka sperma pun
akan mengalami mutasi genetik, hal tersebut memungkinkan terjadinya kelainan
perkembangan di karenakan sperma yang membuahi ovum telah mengalami
mutasi. Orang tua laki laki yang sering mengkonsumsi alkohol, rokok, narkoba
memiliki resiko lebih besar untuk memiliki anak yang mengalami kelainan
perkembangan seperti kelainan neural tube, down sindrom, dll. Selain itu laki laki
yang memiliki kelainan perkembangan sejak lahir memiliki kemungkinan lebih
besar untuk mewariskan kelainan tersebut kepada anaknya (Indarsanto, 2006).

H
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Agen infeksius yang dapat menyebabkan kelainan perkembangan
diantaranya adalah virus rubella, Toxoplasma, Virus Varicella, Virus herpes
simpleks, HIV, sifilis dan sitomegalo virus.
2. Agen fisik yang dapat menyebabkan kelainan perkembangan antara lain
suhu dan radiasi sinar-X.
3. Faktor mekanik yang dapat menyebabkan jeratan pita amnion yang dapat
menimbulkan deformitas hingga amputasi organ (sindroma pita amnion) dan
talipus.
4. Agen kimia yang dapat menyebabkan kelainan perkembangan diantaranya
Alkohol, Thalydomide, Apinopterin, Litium, Warfarin dan lain-lain
5. Faktor hormon dan lain-lain yang dapat menyebabkan kelainan
perkembangan diantaranya pengaturan hormon insulin, obesitas, PKU,
hipoksia dan logam berat.

3.2 Saran
- Lebih banyak menambah studi kasus dari artikel internasional mengenai
penyakit-penyakit akibat kelainan perkembangan.
- Menemukan solusi yang tepat dalam menanggulangi faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kelainan perkembangan
DAFTAR PUSTAKA

Bianchi DW. 2008. Genetic issues presenting in the nursery. Dalam: Cloherty JP,
Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Christianson A, Howson CP, Modell B. 2006. March of Dimes: Global Report on
Birth Defects. New York: White Plains
Connor JM, Smith MAF. 1997. Essential medical genetics. Edisi ke-5. London:
Blackwell scientific Publication.
Gilroy J. 1992. Basic neurology. 2nd ed. Singapore : Mc Graw Hill Book
Indrasanto E, Effendi SH. 2006. Pendekatan Diagnosis Kelainan Bawaan
Menurut Klasifikasi. Jakarta: UPY Corps.
Johnston MV., MacDonal RL., Young AB. 1992. Principles of drug therapy in
neurology. Philadelphia : FA Davis, p. 102-104
Jones KL. 2006. Smith’s Recognizable Pattern of Human Malformation. Edisi ke-
6. Philadelphia: WB Saunders Co.
Laidlaw J., Riches A., Oxley J. 1988. A textbook of epilepsi. 3th ed. New York :
Churchill Livingstone, p. 203-211; 544-557
Moore, K.L. 1989. Before We are Born. Philadelphia: W.B. Saunders.

O’Rahilly, R. Dan Muller, F. 2001. Human Embryology & Teratology. New


York: John Wiley & Sons.
Persaud, T.V.N., Chudley, A.E. dan Skalko, R.G. 1985. Basic Concepts in
Teratology. New York: Alan R. Liss.

Saddler, T.W., 1997. Embriologi Kedokteran Langman. (Alih Bahasa: Suyono).


Jakarta: EGC.

Schardein, J. 1985. Chemically Induced Birth Deffect. New York: Marcell Deccer

Taylor, P. 1986. Practical Teratology. London: Academic Press.

Wilson, J. dan Warkany, J. 1965. Teratology. Chicago: The University of Chicago


Press.

Yerby MS. 1991. Pregnancy and teratogenesis in woman and epilepsy. JohnWiley
& Sons, p. 163-181.

Anda mungkin juga menyukai