Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN III


MUHAMMADIYAH DAN TASAWUF
(SPIRITUALITAS ISLAM DALAM PANDANGAN MUHAMMADIYAH)

Disusun Oleh :
Ganang Irfaan SF 201610230311171
Isna Maisaroh 201610230311235

Dosen Pengampuh : Haery, S.HI., M.HI

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosiokultural
dalam dinamika kesejarahan selalu berusaha merespon berbagai perkembangan
kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam (al-ruj’u ila al-Qur’an wa
al-sunnah, menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber rujukan). Bila
tasawuf itu memaknai dimensi batin ekspresi keberagaaman seorang muslim, maka
kata atau ungkapan yang equivalen dengan tasawuf. Dalam konteks "bertasawuf"
ajaran zuhud, qonaah, sabar, tawakal dalam muhamaadiyah tidak bersifat pasif dan
asketis yang hanya memuaskan dahaga spritual individual namun harus juga
berdimensi sosial.banyaknya konsep dari kemuhammadiyahan yang tidak di
ketahui pasti dalam memberikan pandangan spiritual.
Dari wacana yang terus bergulir, orang pun selalu mempertanyakan: “Bagaimana
Muhammadiyah memahami islam sebagai sebuah kebenaran mutlak untuk
nmendapatkan jawaban yang mendekati kebenaran Islam yang sejati? Apa rumusan
kongkret pandangan Muhammadiyah tentang Islam? Dan, yang tidak kalah
pentingnya, bagaimana melaksanakannya di dalam tindakan nyata?
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah kali ini adalah untuk membahas atau
memperjelas dari permasalahan yang kami ambil yaitu spiritual dalam perspekif
islam, adapun yang termasuk di dalamnya adalah,
1. Mengetahui pengertian dari spiritualitas islam
2. Mengetahui spiritualitas dalam perspektif islam
3. Dapat memahami konsep islam menurut muhammadiyah
4. Matan dan keyakinan cita-cita kemuhammadiyahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Spiritual
Menurut Reed, (1992) spiritual mencakup hubungan intra, inter dan
transpersonal. Spiritual juga diartikan sebagai inti dari manusia yang memasuki dan
memperngaruhi kehidupannya dan dimanifestasikan dalam pemikiran dan perilaku
serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan (Dossey
& Guazetta, 2000)
Spritual islam adalah sikap dari setiap muslim yang merefleksikan Allah swt
sebagai sesuatu yang vital dan menentukan norma atau prinsip hidup. Al-qur'an
dipandang sebagai norma atau prinsip hidup oleh mereka yang ingin selamat.
Spritualitas islam mengajak kesadaran manusia untuk menjadikan Tuhan dengan
segala representasinya (keesan, sifat-sifat dan al-asma' al-husna, al-Qur'an) sebagai
model pokok dari segala bentuk ekspresi kemakhlukan manusia (Badruddin, 2011)
B. Spiritualitas Islam dalam Pandangan Muhammadiyah
Bila tasawuf itu memaknai dimensi batin ekspresi keberagaaman seorang
muslim, maka kata atau ungkapan yang equivalen dengan tasawuf yang sering
muncul dalam dokumen dan forum-forum Muhammadiyah adalah "ihsan" (dalam
Kepribadian Muhammadiyah), "spritual" (dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita
Hidup Muhammadiyah butir ), serta "spritualitas" (dalam Manhaj Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam).
Muhammadiyah lebih memilih kata "ihsan". Sebab kata itulah yang
secaraexplisit bisa dijumpai di salah satu Nabi SAW yang mengupas Iman, Islam,
Ihsan. Ihsan dalam hadist tersebut berarti An-ta'budullaaha kaannaka taraahu, fain-
lam taraahu fa-innahu Yaraaka (engkau menyembah Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya, jikapun engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia
melihatmu). Konsep ihsan inilah yang lebih banyak dielaborasi oleh tokoh-tokoh
Muhammadiyah. Ungkapan Ihsan kepada kemanusian dalam Kepribadian
Muhammadiyah yang dipararelkan dengan ibadah kepada Allah meunjukkan
pentingnya menjaga keseimbangan hablu minallah dan hablu minannaas. Dalam
konteks "bertasawuf" ajaran zuhud, qonaah, sabar, tawakal dalam muhamaadiyah
tidak bersifat pasif dan asketis yang hanya memuaskan dahaga spritual individual
namun harus juga berdimensi sosial. Sedangkan istilah spritual digunakan dalam
MKCH menegaskan bahwa Islam itu "menjamin kesejahteraan hidup materil dan
spritual, duniawi dan ukhrawi".
Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tahun 1995, Muhammadiyah
mulai mengintrodusir program "spritualisasi syariah" (mukhlan, 2003). Majelis
Tarjih dan pengembangan pemikiran islam juga mengenalkan pendekatan 'irfani
sebagai salah satu metodologi pengembangan pemikiran, melengkapi 2 pendekatan
yang sudah lazim, yaitu Bayani (deductive berdasarkan explanasi teks wahyu) dan
Burhani (induktif berdasarkan bukti-bukti empiris dan rasio). Pendekatan 'irfani'
adalah "pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq,
qalb, wijdan, bashrah dan intuisi". Dalam tradisi Syiah, 'irfani itu 'jalan' Sufi. Jauh
sebelum rumusan-rumusan organisasi diatas disusun, Kyai Dahlan telah
menggunakan istilah-istilah berkonotasi sufistik seperti "hati suci", "islam sejati",
"akal suci" dan "qu'an suci" dalam pidatonya pada konggres Islam tahun 1921 di
Cirebon dan Konggres Muhammadiyah bulan Februari 1922. Ungkapan-ungkapan
yang "bernuansa bathiniah" di atas dalan penilaian Munir Mukhlan (2003)
merupakan "gagasan sufistik" pendiri muhammadiyah itu. Dalam keseharian,
warga Muhammadiyah ternyata tidak alergi terhadap dimensi experiental dalam
Islam ini. Riset lapangan Nakamaru di Kota Gede tahun 1970-an menemukan
unsur-unsur sufi di kalangan aktivis dan pimpinan Muhammadiyah setempat seperti
praktik dzikir dan wirid, tuntunan pentinnya mengendalikan hawa nafsu dan
mengedepankan nafsu muthmainah, serta usaha membentuk pribadi
yang ikhlas danberakhlak terpuji(Nakamura, 1983). Saat ini pun banyak warga
Muhammadiyah yang merindukan hal-hal yang bernuansa inner experience. Hal
ini bisa dibaca dari tingginya permintaan baik secara personal maupun atas nama
Amal Usaha Muhammdiyah terhadap training-training yang mengesplorasi
pengalaman spritual (ESQ, HI, Pelatihan Sholat Khusuk, dll).
Ketika pasar spritualits indonesia baru naik daun dan muncul dalam berbagai
penerbitan, musik, forum-forum neo-sufisme dan majelis-majelis zikir,
Muhammadiyah juga tidak sepenuhnya absent. Salah satuu tokoh zikir akbar yang
sering muncul di televisi bahkan secara 'geneologis' berasal dari keluarga dan
pernah sekolah di sekolah Muhammadiyah. Ketua umum PP Muhammadiyah
sempat beberapa kali mengikuti zikir akbar, meski belakangan muncul 'protes' dari
pihak-pihak yang sangat puritan. Namun, perlu dicatat bahwa generasi-generasi
post purian yang tidak kaku dan akrab dengan wacana-wacana post modernisme
dan post-tradisionalisme mulai bermunculan dalam Muhammadiyah. Generasi
post-puriitanisme ini cenderung tidak canggung bergumul dengan dimensi esoteris
dalam Islam. Sampai kini, klaim yang menyebut Muhammadiyah itu "kering" dan
anti atau bahkan memusuhi sufisme perlu ditinjau ulang. Hanya karena tidak aktif
mempopulerkkan istilah tasawuf dan tidak memberikan ruang terikat bukan berarti
organisasi yang sudah satu abad usianya itu menolak dimensi esoteris dalam islam
itu. Muhammadiyah saya kira hanya ingin keberislaman warga berlangsung secara
imbang.
C. Islam dalam pandangan Muhammadiyah
Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosiokultural
dalam dinamika kesejarahan selalu berusaha merespon berbagai perkembangan
kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam (al-ruj’u ila al-Qur’an wa
al-sunnah, menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber rujukan). Di satu
sisi sejarah selalu melahirkan berbagai persoalan dan pada sisi yang lain islam
menyediakan referensi normatif atas berbagai persoalan. Orientasi pada dimensi
ilahiah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan sosiokultural, baik dalam
merumuskan masalah, mejelaskan maupun menyusun kerangka operasional
penyelesaiannya. Orientasi inilah yang mengharuskan Muhammadiyah
memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi pemikiran
keislamannya.
Dari wacana yang terus bergulir, orang pun selalu mempertanyakan:
“Bagaimana Muhammadiyah memahami islam sebagai sebuah kebenaran mutlak
untuk nmendapatkan jawaban yang mendekati kebenaran Islam yang sejati? Apa
rumusan kongkret pandangan Muhammadiyah tentang Islam? Dan, yang tidak
kalah pentingnya, bagaimana melaksanakannya di dalam tindakan nyata? Dalam
hal ini Muhammadiyah telah memiliki tiga rumusan penting, yang diasumsikan bisa
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
 Pertama : rumusan tentang Masailul Khamsahh (Masalah Lima)
 Kedua : rumusan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
 Ketiga : Pedoman Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah
D. Masailul Khamsah (Masalah Lima)
Rumusan awal mengenai islam dalam pandangan Muhammadiyah tertuang
dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai “Masailul Khamsah”
(Masalah Lima) tanpa ada rujukan nashnya (baik berupa nash al-Qur’an maupun
as-Sunnah). Dari rumusan “Masailul Khamsah” terkandung rumusan fundamental
(pandangan dasar) tentang islam dalam pandangan Muhammadiyah yang tertuang
dalam penjelasan mengenai:
1. Agama,
2. Dunia
3. Ibadah
4. Sabilullah
5. Qiyas.
Pertama, mengenai masalah agama, Muhammadiyah merumuskan Agama
yakni Agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad s.a.w ialah yang diturunkan
Allah di dalam al-Qur’an dan yang terdapat dalam as-Sunnah yang shahih, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikkan manusia di
dunia dan di akhirat. Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan
nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-
petunjuk untuk kebaikkan manusia dan akhirat.
Kedua, mengenai masalah dunia, Muhammadiyah merumuskan yang dimaksud
“urusan dunia” dalam sabda Rasulullah Saw: “kamu lebih mengerti urusan
duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutuskan para Nabi (yaitu,
perkara-perkara/ perkerjaan-pekerjaan/ urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya
kepada kebijaksanaan manusia).
Ketiga, mengenai masalah ibadah, Muhammadiyah merumuskan: Ibadah ialah
bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-
perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang
diizinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus ialah apa yang
telah ditetapkan oleh Allah akan perincian-perincian, tingkah dan cara-cara tertentu.
Keempat, dalam masalah sabilullah, Muhammadiyah
merumuskan: Sabilullahialah jalan yang menyampaikan kepada keridhaan Allah,
berupa segala amalan yang diizinkan oleh Allah untuk memuliakan kalimat
(agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.
Kelima, dalam masalah qiyas, Muhammadiyah merumuskan: setelah persoalan
qiyas membicarakan dalam waktu tiga kali sidang, dengan mengadakan tiga kali
pemandangan umum dan satu kali tanya jawab antara kedua belah pihak. Setelah
mengetahui dengan teliti akan jalannya pembicaraan dan alasan-alasan yang
dikemukakan oleh kedua belah pihak dan dengan menginsyafkan bahwa tiap-tiap
keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekedar mentarjihnya di antara pendapat-
pendapat yang ada, tidak berarti menyalahkan pendapat yang lain.
E. Matan Keyakinan dan cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH)
Matan keyakinan dan cita-cita hidup muhammadiyah, yang kemudian disingkat
dengan MKCH, pada mulanya merupakan putusan dari sidang Tanwir
Muhammadiyah tahun 1969 di Ponorogo, Jawa Timur dalam rangka melaksanakan
amanat Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta, yang terdiri
dari 9 (sembilan) ayat. Kemudian dirumuskan kembali dan disempurnakan pada
tahun 1970 dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta menjadi 5 (lima)
ayat yang di antara nya,
1. Kelompok pertama adalah kelompok ideologi yang mengandung pokok-
pokok persoalan yang bersifat ideologis (terdiri dari ayat 1 dan 2), yang
berisi:
 Ayat 1: Muhammadiyah adalah gerakan berasas Islam, bercita-cita dan
bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan KH.
Alifah Allah di muka bumi.
 Ayat 2: Muhammadiyah berkeyakinan bahwa islam adalah agama allah
yang diwahyukan kepada rasul-Nya, sejak Nabi Adam a.s sampai
dengan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai hidayah dan rahmat allah kepada
umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan hidup meteril
dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.

2. Kelompok kedua adalah kelompok paham agama dalam muhammadiyah


(terdiri atas ayat 3 dan 4) yang berisi:
 Ayat 3: Muhammadiyah dalam mengamalkan islam berdasarkan Al-
Qur’an dan Al-Hadist, dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan
jiwa ajaran islam.
 Ayat 4: Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran
Islam yang meliputi bidang-bidang:
a. Aqidah, yaitu ajaran yang berhubungan dengan kepercayaan.
b. Akhlaq, yaitu ajaran yang berhubungan dengan pembentukkan sikap
mental.
c. Ibadah, yaitu dengan peraturan dan tatacara hubungan manusia
dengan Tuhan.
d. Mu’amalah duniawiyah, yaitu ajaran yang berhubungan dengan
pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat.

3. Kelompok ketiga adalah kelompok fungsi dan misi Muhammadiyah


(tersebut dalam ayat 5), yang berisi:
 Ayat 5: Muhammadiyah mengajak segala lapisan bangsa Indonesia yang
telah mendapat karunia allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-
sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia
yang berfalsafah Pancasila untuk berusaha bersama-sama menjadikan
negara Republik Indonesia tercinta ini menjadikan “baldatun thayyibatun
wa rabbun ghafur” (negara yang adil makmur dan diridhai allah SWT)
F. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah
a. Memahami Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.
Pedoman Hidup islami warga muhammadiyah adalah seperangkat nilai dan
norma islami yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah menjadi pola bagi tingkah
laku warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan sehari-hari sehingga
tercermin kepribadian islami menuju terwujudnya masyarakat utama yang diridhoi
allah SWT.Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah merupakan pedoman
untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi, keluarga, bermasyarakat,
berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan profesi,
berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan seni dan budaya yang
menunjukkan perilaku uswah hasanah (teladan yang baik).
b. Landasan dan Sumber
Landasan dan sumber Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ialah Al-
Qur’an dan sunnah Nabi dengan pengembangan dari pemikiran-pemikaran formal
(baku) yang berlaku dalam Muhammadiyah, seperti: Matan keyakinan dan cita-cita
hidup muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah serta hasil-hasil
Keputusan Majelis Tarjih.
c. Kepentingan
Warga Muhammadiyah dewasa ini memerlukan pedoman kehidupan yang
bersifat panduan dan pengkayaan dalam menjalani berbagai kegiatan sehari-hari,
Tuntutan ini didasarkan atas perkembangan situasi dan kondisi antara lain:
kepentingan akan adanya pedoman yang dijadikan acuan bagi segenap anggota
Muhammadiyah sebagai penjabaran dan bagian dari keyakinan hidup islami dalam
muhammadiyah yang menjadi amanat tanwir jakarta 1992 yang merupakan konsep
filosofis.
Perubahan-perubahan sosial politik dalam kehidupan nasional di era reformasi
yang menumbuhkan dinamika tinggi dalam kehidupan umat dan bangsa serta
mempengaruhi kehidupan di tengah gelombang perubahan itu. Perubahan-
perubahan alam pikiran alam pikiran yang cendrung pragmatis (berorientasi pada
nilai guna semata), materialistis (berorientasi pada kepentingan materi semata), dan
hedonisitas (berorientasi pada pemenuhan kesenangan duniawi) yang
menumbuhkan budaya inderawi (kebudayaan duniawi yang sekular) dalam
kehidupan modern abad ke 20 yang disertai dengan gaya hidup modern memasuki
era baru abad ke-21. Penestrasi budaya (masuknya budaya asing secara meluas) dan
multikulturalisme (kebudayaan masyarakat dunia yang majemuk dan serta
milintasi) yang dibawa oleh globalisasi (proses-proses hubungan-hubungan sosial,
ekonomi, politik, budaya yang membentuk tatanan sosial yang mendunia) yang
akan makin nyata dalam nyata dalam kehidupan bangsa.
Perubahan orientasi nilai dan sikap dalam bermuhammadiyah karena berbagai
faktor (internal dan eksternal) yang memerlukan standar nilai dan norma yang jelas
dari muhammadiyah sendiri.
d. Sifat
Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah memiliki beberapa sifat/kriteria
sebagai berikut:
1. Mengandung hal-hal pokok/prinsip dan penting dalam bentuk acuan nilai
dan norma.
2. Bersifat pengkayaan dalam arti memberi banyak khazanah untuk
membentuk keluhuran dan kemuliaan ruhani dan tindakan.
3. Aktual, yakni memiliki keterkaitan dengan tuntutan dan kepentingan
kehidupan sehari-hari.
4. Memberikan arah bagi tindakan individu maupun kolektif yang bersifat
keteladanan.
5. Ideal, yakni dapat menjadi panduan untuk kehidupan sehari-hari yang
bersifat pokok dan utama.
6. Rabbani, artinya mengandung ajaran-ajaran dan pesan-pesan yang bersifat
akhlaqi yang membuahkan kesalihan.
7. Taisir, yakni panduan yang mudah dipahami dan diamalkan oleh setiap
muslim khususnya warga Muhammadiyah.

e. Tujuan
Terbentuknya perilaku individu dan kolektif seluruh anggota muhammadiyah
yang menujukkan keteladanan yang baik (uswah hasanah) menuju terbentuknya
masyarakat utama yang diridhai allah SWT.
G. Penghayatan Dalam Mengamalkan Islam
Sebagai pelopor gerakan pembaruan pemikiran islam yang lebih
mengutamakan aspek rasional dan beragama dan menekankan pentingnya peranan
akal serta pendidikan akal, ternyata dalam praktik pemimpin dan anggotanya
banyak mencermikan dan menekan pentingnya kehidupan spiritual yang sangat
dekat dengan wilayah taswuf. Keharusan hidup untuk mensucikan jiwa (akhlaq)
yang bersumber dari ajaran agama dan kehendak menaati seluruh perintah allah
berdasarkan kitab allah dan sunnah rasulullah Saw. Serta “menyifatkan dirinya
dengan sifat-sifat allah”, merupakan ciri dan perilaku kehidupan tasawuf. Meskipun
perilaku seperti itu pada zaman rasul tidak disebut tasawuf, karena istilah atau laqab
(julukan) sufi pada saat itu belum ada. Istilahnya ini baru muncul pada akhir abad
dua atau awal abad tiga hijriyah (abd. Al- Fattah Ahmad Fuad, 1980). Ibn taimiyah
(661-728 H) menyatakan ahli agama, ahli ilmu dan ahli ibadah pada saat itu disebut
kaum salaf, yang kemudian disebut dengan “Shufiyah wa al-Fuqara” (Ibn.
Taimiyah dan abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980). Dalam Masyitoh Chusnan
(2009). Perilaku dan kehidupan spiritual sejumlah pemimpin Muhammadiyah,
dilakukan seiring dengan pelaksanaan pemberantasan bid’ah, syirik dan khurafat
serta desakralisasi praktik beragama, seperti praktik beragama (baca: bertasawuf)
Model Ibn Taimiyah. Orang-orang yang masuk ke dalam kategori ini (sufi)
adalah mereka yang sungguh-sungguh mentaati allah. Di antara mereka ada yang
lebih utama karena kesungguhannya dalam ketaatannya pada allah dan adapula
yang masih dalam tahap penyempurnaan, mereka disebut dengan Ahl al- Yamin
(Ibn. Taimiyah, 1986). Sementara itu, imam al-Ghazzali (1058-1111 M)
memberikan makana tasawuf dengan : “ketulusan kepada allah dan pergaulan yang
baik kepada sesama manusia” . setiap orang tulus kepada allah dan membaguskan
pergaulan yang baik kepada sesama manusia menurut Al-Ghazzali disebut sufi (Al-
Ghazzali,1988). Sedangkan ketulusan kepada Allah Swt. Berarti menghilangkan
kepentingan-kepentingan diri sendiri (hawa al-nafs) untuk melaksanakan perintah
allah dengan sepenuh hati. Sementara pergaulan yang baik dengan sesama manusia
tidaklah mengutamakan kepentingannya di atas kepentingan orang lain, selama
kepentingan mereka itu sesuai dengan syari’at. Sebab, setiap orang yang rela
terhadap penyimpangan syari’at atau dia mengingkarinya, menurut al-Ghazzali, dia
bukanlah sufi. Jadi, sufi adalah orang yang menempuh jalan hidup dengan
menjalankan syariat secara benar dan sekaligus mengambil spiritualitas (hakikat)
dari ajaran syariat dalam bentuk penyucian dan pendekatan diri secara terus-
menerus kepada allah SWT. Perilaku ketaatan terhadap syariat itu kemudian
diwujudkan dalam perilaku yang penuh moralitas (akhlak mulia) dalam kehidupan
sehari-hari (tasawuf akhlaqi).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Spiritual mencakup hubungan intra, inter dan transpersonal. Spritual islam
adalah sikap dari setiap muslim yang merefleksikan Allah swt sebagai sesuatu yang
vital dan menentukan norma atau prinsip hidup. Al-qur'an dipandang sebagai norma
atau prinsip hidup oleh mereka yang ingin selamat. Spritualitas islam mengajak
kesadaran manusia untuk menjadikan Tuhan dengan segala representasinya
(keesan, sifat-sifat dan al-asma' al-husna, al-Qur'an) sebagai model pokok dari
segala bentuk ekspresi kemakhlukan manusia (Badruddin, 2011).
Muhammadiyah lebih memilih kata "ihsan". Ihsan dalam hadist tersebut berarti An-
ta'budullaaha kaannaka taraahu, fain-lam taraahu fa-innahu Yaraaka (engkau
menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jikapun engkau tidak
melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu).

B. Saran
Dari penjelasan di atas sudah sangat jelas bahwa spiritualitas itu sangat penting
dalam hidup beragama, sebuah hubungan intra, inter dan transpersonal.Maka ada
baiknya kita semua memperkuat spiritualitas terhadap keyakinan kepada Allah
SWT sehingga dapat meningkatkan ketaqwaan kita.

Anda mungkin juga menyukai