Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAAN

SPIRUALITAS ISLAM DALAM PANDANGAN


MUHAMMADIYAH

Oleh :
Putri Debri 201710220311091
Vebyana Fitri 201710220311094
Alfi Ahsani Taqwim 201710220311095
Azka Amalina 201710220311096

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah al-islam dan kemuhammadiyaan dengan judul “spirualitas
islam dalam pandangan muhammadiyah”

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan kalimat maupun tata bahasany. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan keritik dari pembaca.
Akhir kata kami berharap semoga makalah al-islam dan kemuhammadiyaan dengan
judul “spirualitas islam dalam pandangan muhammadiyah” ini dapat memberikan
manfaat dan dapat di praktekkan dalam kehidupan.

Malang, 14 Desember
2019

Penyusun
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosiokultural
dalam dinamika kesejarahan selalu berusaha merespon berbagai perkembangan
kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam (al-ruj’u ila al-Qur’an wa
al-sunnah, menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber rujukan).
Pengembangan pemikiran Islam dibangun dan dikembangkan berdasarkan
anggapan dasar atau pandangan tertentu. Di atas asumsi inilah berbagai perspektif
dan metodologi pemikiran keislaman ditegakkan. Demikian pula asumsi dasar
penting bagi Muhammadiyah sebagai pondasi bagi pengembangan pemikiran
keislaman untuk praksis sosial. Karena itu, pembahasan asumsi mengenai hakekat
pandangan keagamaan - posisi Islam, sumber, fungsi dan metodologi pemikiran
Islam sangat signifikan untuk menentukan cara kerja epistimologi pemikiran
keislaman, baik pendekatan maupun metode yang dipergunakan. Di tengah
kebangkitan spiritual (new age movement), saat ini, spiritualitas sangat dibutuhkan.
Sebagai sebuah organisasi Islam modern terbesar di Indonesia, banyak orang
mempertanyakan kadar kedekatannya dengan Tuhan. Banyak para ahli yang
menyebutnya "kering" akan spiritualitas. Hal ini disebabkan oleh penolakannya
terhadap bentuk spiritualitas Islam yang dikenal dengan tasawuf. Di kalangan umat
Islam di Indonesia masih sering timbul pertanyaan, apakah warga Muhammadiyah
mengamalkan tasawuf? Pertanyaan itu timbul karena istilah tasawuf dalam
Persyarikatan Muhammadiyah kurang populer. Demikian juga tariqat,
Muhammadiyah secara organisatoris tidak mempunyai afiliasi dengan tariqat mana
pun. Persyarikatan bisa juga dikatakan sebagai tariqat, dalam arti sebagai satu
organisasi yang mempunyai cara tertentu dalam memahami ajaran Islam. Bila
tasawuf itu memaknai dimensi batin ekspresi keberagaaman seorang muslim, maka
kata atau ungkapan yang equivalen dengan tasawuf. Dalam konteks "bertasawuf"
ajaran zuhud, qonaah, sabar, tawakal dalam muhamaadiyah tidak bersifat pasif dan
asketis yang hanya memuaskan dahaga spritual individual namun harus juga
berdimensi sosial.banyaknya konsep dari kemuhammadiyahan yang tidak di
ketahui pasti dalam memberikan pandangan spiritual.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian spirualitas islam ?


2. Bagaimana pandangan spirualitas islam dalam muhammadiyah ?
3. Apa Spirualitas menurut tokoh A.R Fachruddin ?

1.3 Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengertian spirualitas islam


2. Untuk mengetahui pandangan spirualitas islam dalam muhammadiyah
3. Untuk mengetahui spirualitas tokoh A.R Fachruddin.
BAB II
ISI
2.1 Spirualitas Islam
Pengertian Spiritual Secara etimologi kata sprit berasal dari kata Latin
spiritus, yang diantaranya berarti roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak
berbadan, nafas hidup, nyawa hidup. Para filosuf, mengonotasikan spirit dengan:
kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada cosmos kesadaran yang
berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi makhluk immaterial
wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian atau
keilahian) Islam sebagai salah satu agama yang diturunkan oleh Allah SWT juga
tidak terlepas dari ajaran spiritual yang melambangkan kesalahenan pribadi seorang
muslim. Spiritualitas Menurut Tokoh Allama Mirsa Ali Al-Qadhi: spiritualitas
adalah tahapan perjalanan batin seorang manusia untuk mencari dunia yang lebih
tinggi dengan bantuan riyadahat dan berbagai amalan pengekangan diri sehingga
perhatiannya tidak berpaling dari Allah, semata-mata untuk mencapai puncak
kebahagiaan abadi. Sayyed Hosseein Nash: spiritual sebagai sesuatu yang mengacu
pada apa yang terkait dengan dunia ruh, dekat dengan Ilahi, mengandung kebatinan
dan interioritas yang disamakan dengan yang hakiki. Ibn Arabi: spiritualitas adalah
pengerahan segenap potensi rohaniyah dalam diri manusia yang harus tunduk pada
ketentuan syar i dalam melihat segala macam bentuk realitas baik dalam dunia
empiris maupun dalam dunia kebatinan. (Tisnowijaya, A. Sya’roni, 2008)

Spiritual mencakup hubungan intra, inter dan transpersonal. Spiritual juga


diartikan sebagai inti dari manusia yang memasuki dan memperngaruhi
kehidupannya dan dimanifestasikan dalam pemikiran dan perilaku serta dalam
hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan (Dossey & Guazetta,
2000). Spritual islam adalah sikap dari setiap muslim yang merefleksikan Allah swt
sebagai sesuatu yang vital dan menentukan norma atau prinsip hidup. Al-qur'an
dipandang sebagai norma atau prinsip hidup oleh mereka yang ingin selamat.
Spritualitas islam mengajak kesadaran manusia untuk menjadikan Tuhan dengan
segala representasinya (keesan, sifat-sifat dan al-asma' al-husna, al-Qur'an) sebagai
model pokok dari segala bentuk ekspresi kemakhlukan manusia (Badruddin,2011)

Menurut Allama Mirsa Ali Al-Qadhi spiritualitas adalah tahapan


perjalanan batin seorang manusia untuk mencari dunia yang lebih tinggi dengan
bantuan riyadahat dan berbagai amalan pengekangan diri sehingga perhatiannya
tidak berpaling dari Allah, semata-mata untuk mencapai puncak kebahagiaan abadi.

Menurut Sayyed Hosseein Nash spiritual sebagai sesuatu yang mengacu


pada apa yang terkait dengan dunia ruh, dekat dengan ilahi, mengandung kebatinan
dan interioritas yang disamakan dengan yang hakiki.

Menurut Burkhardt (1993) spiritualitas meliputi aspek-aspek:

1. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian


dalam kehidupan.
2. menemukan arti dan tujuan hidup.
3. menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam
diri sendiri.

2.2 Spirualitas Islam dalam Muhammadiyah


Tasawuf itu memaknai dimensi batin ekspresi keberagaaman seorang muslim,
maka kata atau ungkapan yang equivalen dengan tasawuf yang sering muncul
dalam dokumen dan forum-forum Muhammadiyah adalah "ihsan" (dalam
Kepribadian Muhammadiyah), "spritual" (dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita
Hidup Muhammadiyah butir ), serta "spritualitas" (dalam Manhaj Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam).

Muhammadiyah lebih memilih kata "ihsan". Sebab kata itulah yang secara
explisit bisa dijumpai di salah satu Nabi SAW yang mengupas Iman, Islam, Ihsan.
Ihsan dalam hadist tersebut berarti An-ta'budullaaha kaannaka taraahu, fain-lam
taraahu fa-innahu Yaraaka (“engkau menyembah Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya, jikapun engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia
melihatmu”). Konsep ihsan inilah yang lebih banyak dielaborasi oleh tokoh-tokoh
Muhammadiyah. Ungkapan Ihsan kepada kemanusian dalam Kepribadian
Muhammadiyah yang dipararelkan dengan ibadah kepada Allah meunjukkan
pentingnya menjaga keseimbangan hablu minallah dan hablu minannaas. Dalam
konteks "bertasawuf" ajaran zuhud, qonaah, sabar, tawakal dalam muhamaadiyah
tidak bersifat pasif dan asketis yang hanya memuaskan dahaga spritual individual
namun harus juga berdimensi sosial. Sedangkan istilah spritual digunakan dalam
MKCH menegaskan bahwa Islam itu "menjamin kesejahteraan hidup materil dan
spritual, duniawi dan ukhrawi".

Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tahun 1995, Muhammadiyah


mulai mengintrodusir program"spritualisasi syariah" (mukhlan, 2003). Majelis
Tarjih dan pengembangan pemikiran islam juga mengenalkan pendekatan 'irfani
sebagai salah satu metodologi pengembangan pemikiran, melengkapi 2 pendekatan
yang sudah lazim, yaitu Bayani (deductive berdasarkan explanasi teks wahyu) dan
Burhani (induktif berdasarkan bukti-bukti empiris dan rasio). Pendekatan 'irfani'
adalah "pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq,
qalb, wijdan, bashrah dan intuisi". Dalam tradisi Syiah, 'irfani itu 'jalan' Sufi. Jauh
sebelum rumusan-rumusan organisasi diatas disusun, Kyai Dahlan telah
menggunakan istilah-istilah berkonotasi sufistik seperti "hati suci", "islam sejati",
"akal suci" dan "qu'an suci" dalam pidatonya pada konggres Islam tahun 1921 di
Cirebon dan Konggres Muhammadiyah bulan Februari 1922. Ungkapan-ungkapan
yang "bernuansa bathiniah" di atas dalan penilaian Munir Mukhlan (2003)
merupakan "gagasan sufistik"pendiri muhammadiyah itu. Dalam keseharian, warga
Muhammadiyah ternyata tidak alergi terhadap dimensi experiental dalam Islam ini.
Riset lapangan Nakamaru di Kota Gede tahun 1970-an menemukan unsur-unsur
sufi di kalangan aktivis dan pimpinan Muhammadiyah setempat seperti praktik
dzikir dan wirid, tuntunan pentinnya mengendalikan hawa nafsu dan
mengedepankan nafsu muthmainah, serta usaha membentuk pribadi yang ikhlas
dan berakhlak terpuji(Nakamura, 1983). Saat ini pun banyak warga
Muhammadiyah yang merindukan hal-hal yang bernuansa inner experience. Hal ini
bisa dibaca dari tingginya permintaan baik secara personal maupun atas nama Amal
Usaha Muhammdiyah terhadap training-training yang mengesplorasi pengalaman
spritual (ESQ, HI, Pelatihan Sholat Khusuk, dll). Ketika pasar spritualits indonesia
baru naik daun dan muncul dalam berbagai penerbitan, musik, forum-forum
neosufisme dan majelis-majelis zikir, Muhammadiyah juga tidak sepenuhnya
absent. Salah satuu tokoh zikir akbar yang sering muncul di televisi bahkan
secara'geneologis' berasal dari keluarga dan pernah sekolah di sekolah
Muhammadiyah. Ketua umum PP Muhammadiyah sempat beberapa kali mengikuti
zikir akbar, meski belakangan muncul 'protes' dari pihak-pihak yang sangat puritan.
Namun, perlu dicatat bahwa generasi-generasi post purian yang tidak kaku dan
akrab dengan wacana-wacana post modernisme dan post-tradisionalisme mulai
bermunculan dalam Muhammadiyah. Generasi post-puriitanisme ini cenderung
tidak canggung bergumul dengan dimensi esoteris dalam Islam. Sampai kini, klaim
yang menyebut Muhammadiyah itu "kering" dan anti atau bahkan memusuhi
sufisme perlu ditinjau ulang. Hanya karena tidak aktif mempopulerkkan istilah
tasawuf dan tidak memberikan ruang terikat bukan berarti organisasi yang sudah
satu abad usianya itu menolak dimensi esoteris dalam islam itu. Muhammadiyah
saya kira hanya ingin keberislaman warga berlangsung secara imbang.

2.2.1 Spirualitas Menurut A.R Fachruddin

Pertama, watak kesederhanaan.


Kesederhanaan Pak AR tampak dalam keseharian dan sikapnya terhadap
fasilitas yang pernah ditawarkan Muhammadiyah kepadanya. Semasa hidupnya Pak
AR tetap dalam kesederhanaan meski berbagai fasilitas mestinya berhak
didapatkannya. Pak AR selalu hidup sederhana sebagaimana layaknya masyarakat
kebanyakan. Di depan rumahnya (rumah dinas milik Depag) ada kios bensin, untuk
sekadar menambah penghasilan atau sekadar untuk kesibukan cucu-cucunya.
Beliau pun menolak ketika Muhammadiyah menawarinya mobil dinas.

Kedua: Sikap Jujur


Kejujuran Pak AR tampak, misalnya ketika pada tahun 1987, ada salah
seorang pejabat dari Jakarta yang menemuinya. Pejabat itu meminta Pak AR agar
Muhammadiyah jangan sampai dimasuki para politikus. Hal itu bisa dimaklumi,
karena Muhammadiyah memiliki bargaining politik yang cukup tinggi, sehingga
akan merepotkan pihak tertentu jika Persyarikatan ini dimanfatkan sebagai tameng
para politisi yang ingin memanfaatkannya. Selang beberapa hari kemudian, pejabat
itu mengirim utusannya kepada Pak AR sambil membawa uang ratusan juta rupiah.

Ketiga: Kerelaan Berkurban

Pak AR memiliki perhatian terhadap tradisi memuliakan tamu. Beliau


kemudian memberi tuntunan khusus yang terbagi dalam tiga kondisi:

1. Jika seorang Muslim diberi Allah kelapangan rizki, maka Pak AR


menuntunkan untuk menyediakan rumah-rumah tamu secara terpisah dari
rumah pribadi. Adapun rumah-rumah tamu tersebut (jika bisa) dilengkapi
dengan kullah (bak mandi), WC, tempat shalat dan terdiri dari 2 sampai 3
ruang kamar tidur
2. Jika belum mampu, maka cukup menyediakan tempat (kamar) tersendiri
dalam rumah pribadi dengan kelengkapan tempat shalat khusus, WC dan
kullah yang juga tersendiri, sehingga para tamu tidak sungkan untuk
melaksanakan hajat (keperluan) pribadi atau shalat nafilah (tahajud dan
dhuha).
3. Jika memang masih belum bisa, maka cukup dengan memuliakan tamu
dengan baik, sopan santun, dan sikap penuh kekeluargaan. Untuk keperluan
tidur dan sholat, bentangkanlah tikar dan kelengkapan lain yang baik,
nyaman dan sesuai dengan kemampuan. Dalam hal ini, Pak AR juga
menuturkan untuk membantu tetangga yang sedang menjamu atau
memuliakan tamunya, jangan-jangan ada kesulitan. Namun yang terpenting
dari semua di atas, adalah memuliakan tamu dengan penuh keikhlasan
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah :
1. Pengertian Spiritual Secara etimologi kata sprit berasal dari kata Latin
spiritus, yang diantaranya berarti roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud
tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup. Para filosuf, mengonotasikan spirit
dengan: kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada cosmos
kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi
makhluk immaterial wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas,
moralitas, kesucian atau keilahian)
2. Muhammadiyah lebih memilih kata "ihsan". Sebab kata itulah yang secara
explisit bisa dijumpai di salah satu Nabi SAW yang mengupas Iman, Islam,
Ihsan. Ihsan dalam hadist tersebut berarti An-ta'budullaaha kaannaka
taraahu, fain-lam taraahu fa-innahu Yaraaka (“engkau menyembah Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya, jikapun engkau tidak melihatnya maka
sesungguhnya Dia melihatmu”). Konsep ihsan inilah yang lebih banyak
dielaborasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Ungkapan Ihsan kepada
kemanusian dalam Kepribadian Muhammadiyah yang dipararelkan dengan
ibadah kepada Allah meunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan hablu
minallah dan hablu minannaas.
3. Spirualitas menurut A.R Fachruddin Kesedehanaan, Kejujuran, dan
Kerelaan Berkurban
DAFTAR PUSTAKA

Tarjih.2001. Pengembangan Pemikiran Islam.


http://www.oocities.org/tarjikh/Manhaj_tarjih/manhaj_pengembangan
_pemikiran_isla m.htm.
Tisnowijaya, A. Sya’roni.2008. Tasawuf Di Kalangan Intelektual Muhammadiyah
Kota Semarang.

Anda mungkin juga menyukai