PENDAHULUAN
1.1. Pemicu
Tn. Uriko, 55 tahun, datang dengan keluhan susah buang air kecil (BAK)
sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga mengaku saat BAK sering terhenti tiba-tiba,
dan keluar tersendat-sendat, sejak 1 bulan yang lalu. Pasien tidak merasakan
demam, dan juga tidak terasa nyeri saat BAK. Kadang-kadang, pasien juga
merasakan tidak mampu menahan saat ingin BAK. Dan biasanya, ia akan kembali
ingin BAK minimal dalam waktu 2 jam kemudian. Pasien sudah berkeluarga
selama 20 tahun, dengan satu istri dan 2 anak yang sudah dewasa. Sejak 2 minggu
terakhir, pasien merasakan libido nya agak menurun. Sehingga ia tidak
berkeinginan untuk melakukan aktivitas seksual dengan istrinya, selama 1 minggu
terakhir ini. Riwayat BAK keluar darah disangkal, riwayat trauma disangkal, serta
riwayat BAK keruh juga disangkal. Pasien merupakan pengidap kencing manis,
sejak 10 tahun yang lalu, dan merupakan pengguna insulin.
Tn. Uriko,
55 tahun
- BAK terhenti
- BAK tersendat-
sendat
- Tidak dapat
menahan BAK Pemeriksaan fisik
- Libido menurun - Hiperplasia
Differential Prostat Benign
diagnosis (BPH)
- Adenokarsinoma
prostat
Pemeriksaan
penunjang
Diagnosis
Tatalaksana
1.6. Hipotesis
Tn. Uriko, 55 tahun mengalami Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) dan
diperlukan pemeriksaan penunjang.
BAB II
PEMBAHASAN
b. Epididimis
Epididimis adalah saluran yang berkelok-kelok dengan
panjang sekitar 4-6 meter yang terdiri dari caput, corpus, dan
cauda. Di dalam epididimis, spermatozoa akan matang sehingga
menjadi mortil dan fertil. Setelah melalui epididimis yang
merupakan tempat penyimpanan sperma sementara, sperma akan
menuju duktus deferen.1,3
a. Penis
b. Uretra
c. Skrotum
2.1.2 Fisiologi
a. Urin
Tiga proses dasar yang terlibat dalam pembentukan urin yaitu :5
1) Filtrasi glomerulus
Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas-
protein tersaring melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsula
Bowman. Dalam keadaan normal, 20% plasma yang masuk ke
glomerulus tersaring. Proses ini, dikenal sebagai filtrasi
glomerulus, adalah langkah pertama dalam pembentukan urine.
Secara rerata, 125 mL filtrat glomerulus (cairan yang difiltrasi)
terbentuk secara kolektif melalui seluruh glomerulus setiap menit.
Jumlah ini sama dengan 180 liter (sekitar 47,5 galon) setiap hari.
Dengan mempertimbangkan bahwa volume rerata plasma pada
orang dewasa adalah 2,75 liter, hal ini berarti bahwa ginjal
menyaring keseluruhan volume plasma sekitar 65 kali sehari. Jika
semua yang difiltrasi keluar sebagai urine, semua plasma akan
menjadi urine dalam waktu kurang dari setengah jam! Namun, hal
ini tidak terjadi karena tubulus ginjal dan kapiler peritubulus
berhubungan erat di seluruh panjangnya, sehingga bahan-bahan
dapat dipertukarkan antara cairan di dalam tubulus dan darah di
dalam kapiler peritubulus.5
2) Reabsorpsi tubulus
3) Sekresi tubulus
4) Ekskresi urin
b. Sperma
Spermatogenesis terjadi dalam tubulus seminiferus pada testis.
Tubulus seminiferus terdiri dari tunika jaringan ikat fibrosa (tunika
fibrosa), lamina basalis yang berbatas tegas, dan epitel
germinativum/kompleks seminiferus. Pada lapisan paling dalam yang
melekat pada jaringan ikat dekat lamina basalis terdiri atas sel mieloid
yang menyerupai epitel selapis. Epitel terdiri atas 2 sel yaitu sel
sertoli/penyokong dan sel seminal/turunan spermatogenik. Sel seminal
ini yang akan berproliferasi menghasilkan spermatozoa.1
Spermatogenesis terdiri dari 3 fase:1
1) Spermatositogenesis, dimana spematogonia membelah yang
akhirnya menghasilkan spermatosit;
2) Meiosis, dimana spermatosit mengalami pembelahan menjadi
spermatid dan terjadi pengurangan setengah jumlah kromosom dan
jumlah DNA per sel;
3) Spermiogenesis, dimana spermatid mengalami proses
sitodiferensiasi menghasilkan spermatozoa.
2.2 Prostat
2.2.1 Histologi
Kelenjar prostat merupakan suatu organ padat yang mengelilingi
uretra di bawah kandung kemih. Prostat merupakan suatu kumpulan 30-50
kelenjar tubuloalveolar yang bercabang kesemuanya dikelilingi oleh
stroma fibromuskular padat yang dilapisi oleh suatu simpai. Kelenjar
tersebut tersusun berupa lapisan konsentris di sekitar uretra yaitu berupa
lapisan internal kelenjar mukosa, lapisan intermedia kelenjar submukosa,
dan lapisan perifer dengan kelenjar utama prostat. Duktus dari setiap
kelenjar dapat bersatu tetapi kesemuanya bermuara langsung ke dalam
uretra pars prostatica, yang menembus bagian pusat prostat.6
Prostat memiliki tiga zona yang sesuai dengan lapisan kelenjar,
yaitu:6
1) Zona transisi
Zona transisi menempati sekitar 5% volume prostat, mengelilingi
uretra prostatica, dan memiliki kelenjar mukosa yang bermuara
langsung ke dalam uretra.6
2) Zona sentral
Zona sentral menempati 25% volume kelenjar dan memiliki
kelenjar submukosa dengan duktus yang lebih panjang.6
3) Zona perifer
Zona perifer menempati sekitar 70% prostat dan memiliki
kelenjar utama dengan duktus yang lebih panjang. Kelenjar area ini
merupakan tempat tersering timbulnya peradangan dan kanker.
Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh selapis epitel silindris
atau epitel bertingkat silindris. Getah kelenjar prostat mengandung
berbagai glikoprotein dan enzim dan menyimpan getah ini untuk
dikeluarkan selama ejakulasi. Sejumlah besar stroma fibromuskular
mengelilingi kelenjar tersebut. Prostat dikelilingi oleh suatu
fibroelastis. Septa dari simpai ini mempenetrasi kelenjar dan
bercabang menjadi lobus-lobus tersendiri. Seperti vesicula seminalis,
struktur, dan fungsi prostat bergantung pada kadar testosteron. 6
Gambar 4. Kelenjar prostat (a): Prostat memiliki stroma fibromuskular
padat (S) dengan sejumlah besar kelenjar tubuloalveolar (G) yang
terbenam di dalamnya. Panah menunjukkan tempat konkremen berkapur
yang telah menghilang selama pemotongan sediaan. (b): Mikrograf
sebuah kelenjar termasuk konkremen corpus amylaceum (CA),
memperlihatkan epitel sekretoris selapis epitel kolumnar bertingkat (E)
yang dikelilingi oleh lamina propria (LP), yang sebaliknya dikelilingi otot
polos (M). (c): Pembesaran kuat memperlihatkan sifat lamelar sebuah
corpus amylaceum (CA) dan epitel kolumnar yang dilandasi oleh sebaran
lamina propria.6
2.2.2 Fisiologi
Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang
mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan
profibrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi
sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu
yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen lebih
banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit basa mungkin penting untuk
keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam
akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, dan sebagai
akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret vagina
bersifat asam (pH 3,5−4). Sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH
sekitarnya meningkat menjadi 6−6,5. Akibatnya, cairan prostat yang
sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan seminalis
lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas
sperma.7
Kelenjar prostat mengeluarkan cairan basa yang menetralkan sekresi
vagina yang asam, suatu fungsi penting karena sperma lebih dapat hidup
di lingkungan yang sedikit basa; dan menghasilkan enzim pembekuan dan
fibrinolisin. Enzim pembekuan prostat bekerja pada fibrinogen dari
vesikula seminalis untuk menghasilkan fibrin, yang "membekukan" semen
sehingga sperma yang diejakulasikan tetap berada di saluran reproduksi
wanita ketika penis dikeluarkan. Segera sesudahnya, bekuan ini diuraikan
oleh fibrinolisin, suatu enzim pengurai fibrin dari prostat sehingga sperma
dapat bergerak bebas di dalam saluran reproduksi wanita.5
2.3.2 Etiologi
Saat ini, tidak ada konsensus mengenai etiologi BPH. Ada banyak
pendapat, seperti perubahan fungsi urodinamik karena meningkatnya
uretra angulasi prostat. Beberapa telah mengidentifikasi peristiwa
molekuler, seperti peningkatan stress oksidatif, kerusakan iskemik akibat
gangguan pembuluh darah, hilangnya regulator negatif kontrol siklus sel,
atau perubahan kadar hormon terkait usia. Namun, sebagian besar
postulasi etiologi mengarah ke peradangan prostat sebagai inisiator BPH.
Meskipun masih belum ada kesepakatan apakah peradangan hanyalah
sebuah kejadian paralel atau penyebab langsung, beberapa dalam
penelitian telah menemukan hubungan yang signifikan antara peradangan
dan BPH.9
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH
adalah:10
a. Teori Dihidrotestosteron
Untuk pertumbuhan sel kelenjar prostat sangat dibutuhkan suatu
metabolit androgen yaitu dihidrotestosteron atau DHT.
Dihidrotestosteron dihasilkan dari reaksi perubahan testosteron di
dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH. Dihidrotestosteron yang telah berikatan dengan reseptor
androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Perubahan testosteron menjadi
dihidrotestosteron oleh enzim 5α-reduktase disajikan pada gambar.10
NADPH NADP
Testosteron Dihidrotestosteron
5α-reduktase
2.3.3 Klasifikasi
Pedoman World Health Organization (WHO) untuk melakukan
pemantauan berkala derajat gangguan berkemih dan sekaligus menentukan
terapi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Terapi
non bedah dianjurkan bila selama pengamatan WHO PSS tetap di bawah
15. Apabila dalam pemantauan didapatkan WHO PSS lebih dari 25 atau
bila timbul gejala obstruksi, maka dianjurkan untuk melakukan terapi
pembedahan.11
Di dalam praktek, klasifikasi derajat hyperplasia prostat digunakan
untuk menentukan terapi adalah sebagai berikut:11
1) Hiperplasia prostat derajat 1
Biasanya belum memerlukan tindakan bedah dan dapat diberikan
terapi konservatif misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa
seperti alfazonsin, prazosindan terazosin.
2) Hiperplasia prostatderajat II
Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui urethra (transurethral resection
of prostate (TURP). Namun, kadangkala, pada derajat ini dapat dicoba
dengan terapi konservatif.
3) Hiperplasiaprostatderajat III
Tindakan TURP dapat dikerjakan oleh ahli bedah yang cukup
berpengalaman. Namun, apabila prostat diperkirakan sudah berukuran
cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam.
Sebaiknya dilakukan operasi terbuka, kemudian prostat dienukleasi
dari dalam simpainya.
4) Hiperplasia prostat derajat IV
Tindakan pertama yang harus dikerjakan telah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistostomi.
Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnosis, kemudian dilakukan terapi definitive dengan TURP atau
pembedahan terbuka.
2.3.6 Histopatologi
Hiperplasia prostat jinak ternyata selalu terdapat pada zona transisi
prostat sebelah dalam. Prostat yang terkena membesar, sampai beratnya
antara 60 gr sampai 100 gr dan mengandung banyak nodulus yang
berbatas tegas yang menonjol pada penampang (gambar 7). Nodulus-
nodulus itu tampak solid atau mengandungi rongga-rongga kistik yang
disebabkan unsur kelenjar yang berdilatasi.18
Mikroskopis nodulus hiperplastik terdiri atas proliferasi unsure
kelenjar dan stroma fibromuskular dengan proporsi yang bervariasi.
Kelenjar hiperplastik berlapiskan sel epitel torak tinggi dan lapisan sel
basal yang mendatar di perifer (Gambar 7 bagian B dan C). Lumen
kelenjar sering mengandung bahan sekresi protein yang disebut korpus
amilaseum.18
Gambar 7. Hiperplasia Prostat Nodular18
3. Pemeriksaan penunjang
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria
dan hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari
penyebabnya. Bila dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu
dilakukan pemeriksaan kultur urin.19,20,22
b. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan
gangguan pada saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH
terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Pemeriksaan
faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan
pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.19
4. Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan prostat merupakan pemeriksaan rutin
yang bertujuan untuk menilai bentuk dan besar prostat, dengan
menggunakan ultrasonografi transabdominal (TAUS) atau
ultrasonografi transrektal (TRUS).30
Pengukuran besar prostat penting dalam menentukan pilihan
terapi invasif, seperti operasi terbuka, teknik enukleasi, TURP, TUIP,
atau terapi minimal invasive lainnya. Selain itu, hal ini juga penting
dilakukan sebelum pengobatan dengan 5-ARI.19
2.3.9 Tatalaksana
Tatalaksana penyakit BPH secara umum sebagai berikut:12
1. Terapi Medik
a. Penghambat Alfa
Penghambat alfa bekerja dengan menghambat efek pelepasan
noradrenalin endogen pada otot polos sel prostat, sehingga
menurunkan tonus prostat dan mengurangi obstruksi saluran keluar
kandung kemih. Penghambat adrenoreseptor alfa 1A lebih
dominan dari pada alfa 1B sehingga penggunaan penghambat alfa
selektif banyak digunakan.12
Ada 4 jenis obat penghambat alfa di Indonesia yaitu alfuzosin
HCL, doxazosin mesylate (doxazosin), tamsulosin HCL, dan
terazosin HCL. Terapi ini dapat menurunkan gejala hingga 35-45%
dan dapat meningkatkan meximum urinary flow rate (Qmax)
hingga 20-25 %.12
b. Penghambat 5 Alfa Redukatse
Penghambat 5 alfa reduktase bekerja dengan menghambat 5
alfa reduktase yang merupakan enzim yang mengubah testosterone
menjadi DHT, sehingga diharapkan dapat mengexilkan kelenjar
prostat.12
Ada 2 tipe yaitu:12
1) Tipe 1: memiliki aktivitas predominan diluar kelenjar prostat
(misal kulit dan hati)
2) Tipe 2: memiliki ekspresi dominan pada kelenjar prostat
2.3.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hyperplasia prostat antara lain:31
1. Retensiurin
2. Batu kandung kemih, infeksi saluran kemih (ISK), kerusakan kandung
kemih atau ginjal
3. Inkontinensia
4. Ejakulasi retrograde
5. Infeksi
6. Pneumonia
7. Terjadi bekuan darah
8. Perdarahan berlebihan
9. Impotensi
10. Retensio urine akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
11. Involusi kontraksi kandung kemih
12. Refluk kandung kemih
13. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urine terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urine yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
14. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
15. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urine, sehingga dapat
terbentuk batu saluran kemih dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
2.3.11 Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada
setiap individu. BPH yang tidak segera diobati memiliki prognosis yang
buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.32
2.3.12 Pencegahan
Pencegahan BPH dapat dilakukan dengan cara:33
1. Menjalankan pola hidup (pola makan sehat 4 sehat 5 sempurna, rajin
olahraga, tidak merokok dan tidak begadang).
2. Banyak minum air minimal 8 gelas/hari.
3. Tidak membiasakan menahan kencing.
4. Sering makan kubis–kubisan, kacang–kacangan, alpukat, tomat untuk
mengurangi resiko radang pada prostat.
5. Memeriksakan prostat secara berkala ke dokter atau pusat kesehatan
2.4.3 Klasifikasi
Berikut ini adalah penentuan stadium adenokarsinoma prostat yang
menggunakan sistem TNM:36
Tabel 1. Penentuan Stadium Adenokarsinoma prostat36
T3a Unilateral
T3b Bilateral
2.4.5 Patofisiologi
Sebagian kanker prostat adalah adenokarsinoma yang berasal dari sel
asinar prostat dan bermula dari volume yang kecil kemudian membesar
hingga menyebar. Karsinoma prostat paling sering ditemukan pada zona
perifer sekitar 75%. Pada zona sentral atau zona transisi sekitar 15-20%.38
Munculnya kanker prostat secara laten pada usia tua banyak terjadi.
Sepuluh persen pria usia enam puluh tahun mempunyai kanker
prostat’diam’dan tidak bergejala. Persentasi ini bertambah usia. Pada tiga
puluh persen kematian pria yang sebelumnya mempunyai keluhan atau
gejala kanker prostat ternyata pada pemeriksaan ditemukan adanya tumor
ganas ini. Pertumbuhan dari kanker prostat asimtomatis yang kebemukan
pada umumnya lambat sekali. Sembilan puluh persen tumor tersebut
merupakan adenokarsinoma. Umumnya, penyakitnya multifocal
keganasan sering terjadi terletak di pinggir kelenjar. Prognosisnya
langsung bergantung pada derajat keganasan sel-sel dan kadar infiltrasi ke
dalam pembuluh darah limfe dan pembuluh balik.38
Komponen kelenjar dari prostat sebagian besar terletak atau
membentuk zona perifer. Zona perifer ini ditambah dengan zona sentral
yang terkecil merupakan 95% dari komponen kelenjar. Komponen
kelenjar yang lain (5%) membentuk zona transisi. Zona transisi ini terletak
tepat di luar uretra di daerah verumontanum. Proses hiperplasia dimulai di
zona transisi. Sebagian besar proses keganasan (60-70%) bermula di zona
perifer, sebagian juga dapat tumbuh di zona transisi dan zona sentra
Karsinoma prostat berupa lesi multi sentrik. Kanker prostat menyebar ke
kelenjar limfe di panggul kemudian ke kelenjar limfe retroperitoneal atas.
Penyebaran hematogen terjadi melalui V, vertebralis ke tulang panggul,
femur proksimal, ruas tulang lumbal, dan tulang iga. Metastasis tulang
sering bersifat osteoklastik. Kanker ini jarang menyebar ke sumsum tulang
dan visera, khususnya hati dan paru.38
2.7 Apa yang menyebabkan pasien saat BAK terhenti tiba-tiba dan tersendat-
sendat?
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat masih
tergantung tiga faktor yaitu, volume kelenjar periuretral, elastisitas leher vesika,
otot polos prostat dan kapsul prostat dan kekuatan kontraksi otot detrusor. Gejala
iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna
pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh, gejalanya ialah:41
2) Nokturia
Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang
biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut
nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan
juga menurunnya tonus spingter dan uretra.41
Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan
volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi
urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam vesica, hal ini
menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada
suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi
miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus
dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi dari pada tekanan spingter akan
terjadi inkontinensia paradoks (overflowincontinence). Retensi kronik dapat
menyebabkan terjadinya refluks vesicouretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan
sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskan ke
ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi.41
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
2. Paulsen F, Waschke J. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. 23th ed. Jakarta:
EGC; 182-195 p. 2012
3. Marieb EN. Essentials of Human Anatomy and Physiology. 9th ed. San Fransisco:
CA: Person Education; 2009
5. Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC. 2014
7. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC;
2008
8. Kapoor, Anil. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Management In The Primary
Care Setting. The Canadian Journal of Urology, October. hal. 10-15. 2012
9. Schauer, IG & Rowley, DR. The functional role of reactive stroma in benign
prostatic hyperplasia. NIH Public Access. 82(4): 200-210. 2012
11. Seftel AD, Rosen RC, Rosenberg MT, Sadovsky R. Benign prostatic Hyperplasia
evaluation, treatment and association with sexual dysfuntion: practce pattern
according to physician specialty. Int J ClinPract, Apr 2008; 62(4):614-22.
12. Chasani, Shofa. Hipertrofi Prostat Benigna dalam Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi 6 . Jakarta: Internal Publishing. 2014.
13. Parsons JK: Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract
Symptoms: Epidemiology and Risk Factors. Curr Bladder Dysfunct Rep; 5:212–
18. 2010
14. Chungtai B, Lee R, Te A, Kaplan S. Role of Inflammation in Benign Prostatic
Hyperplasia. Rev Urol;13(3):147-50. 2011
15. Lepor, Herbert. Pathophysiology of Benign Prostatic Hyperplasia in the Aging
Male Population. New York : MedReviews. 2005
16. Amalia R. Faktor-faktor Resiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak. [Thesis].
Semarang: Universitas Diponegoro. 2007
17. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi
ke-6. Jakarta: EGC. 2012
18. Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9.
Singapura: Elsevier Saunders. 2015
19. Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, et al. Guidelines on the Management of
Non-Neurogenic Male Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS), incl. Benign
Prostatic Obstruction (BPO). European Association Of Urology; 2014.
20. McVary KT, Roehrborn CG, Avins AL, Barry MJ, Bruskewitz RC, Donnell RF, et
al. Update on AUA Guideline on the management of benign prostatic hyperplasia.
J Urol. 2011 May;185(5):1793-803. doi: 10.1016/j.juro.2011.01.074. Epub 2011
Mar 21.
21. Gerber GS, Brendler CB. Evaluation of the Urologic Patient: History, Physical
Examination, and Urinalysis. In: Campbell-Walsh Urology. 10 th Edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders 2012; p. 71-80.
22. Barry MJ, Fowler FJ, O'Leary MP, et al. The American Urological Association
Symptom Index for Benign Prostatic Hyperplasia. J Urol. 148: 1549, 1992
23. Liu CC, Wang CJ, Huang SP, Chou YH, Wu WJ, Huang CH. Relationships
between American Urological Association symptom index, prostate volume, and
disease-specific quality of life question in patients with benign prostatic
hyperplasia. Kaohsiung J Med Sci. 2004 Jun;20(6):273-8.
24. Lim CF, Buchan NC. Measurement of serum PSA as a predictor of symptoms
scored on the IPSS for patients with benign prostatic hyperplasia. N Z Med J.
2014 Feb 14;127(1389):17-24.
25. D'Silva KA, Dahm P, Wong CL. Does this man with lower urinary tract symptoms
have bladder outlet obstruction?: The Rational Clinical Examination: a systematic
review. JAMA. 2014 Aug 6;312(5):535-42. doi: 10.1001/jama.2014.5555.
26. Roehrborn CG, McConnell J, Bonilla J, Rosenblatt S, Hudson PB, Malek GM, et
al. Serum prostate specific antigen is a strong predictor of future prostate growth
in men with benign prostatic hyperplasia. J Urol. 163: 13-20, 2000.
27. Wijanarko S, Gardjito W, Hardjowijoto S, et al. Studi analitik pengaruh
pemasangan kateter terhadap kadar antigen spesifik prostat dalam darah pada
pasien hyperplasia prostat jinak dengan retensi urine. JURI, 10:1‐8, 2003.
28. Prasetyawan W, Sumardi R. Korelasi antara volume residu urine dan adanya
obstruksi pada penderita dengan simtom BPH dengan menggunakan pressure flow
study. JURI, 10: 19‐21, 2003.
29. Lukacs B, Cornu JN, Aout M, Tessier N, Hodee C, Haab F, et al. Management of
lower urinary tract symptoms related to benign prostatic hyperplasia in real‐life
practice in france: a comprehensive population study. Eur Urol. 2013
Sep;64(3):493--‐501. doi: 10.1016/j.eururo.2013.02.026. Epub 2013 Feb 26.
30. Kilic M, Ozdemir A, Altinova S, Et Al. What is the best radiological method to
predict the actual weight of the prostate? Turk J Med Sci. (2014) 44: 31‐5.
31. Setiati, Siti, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. 6 Jilid 1. Jakarta:
InternaPublishing. 2014
32. Deters, Levi A. Benign Prostatic Hypertrophy, Dartmouth Hitchcock Medical
Centre. 2011
33. Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). Panduan Penatalaksanaan (Guidelines)
benign prostatic hyperplasia (BPH) di Indonesia. Surabaya; 2003.
34. Alam S, Dkk. Prostat. Jakarta: Gramedia. 2004
35. Andrew J. Stephenson. Neoplasms of the testis. In: Wein AJ, Kavoussi LR,
Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology.10th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
36. Velcheti, V., Karnik, S., Bardot, S. F., Pathogenesis of prostate cancer: lessons
from basic research. The Ochsner Journal: 8(4), 213-218.p. 2008
37. Solang, Valdo R. Profil Penderita Kanker Prostat Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Tahun 2013–2015. Jurnal e-Clinic (eCl), Vol. 4 No. 2. 2016
38. Sihite, Denny Setiady. Karakteristik Penderita Kanker Prostat yang Dirawat di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2015. Universitas
Sumatera Utara. 2016.
39. Rachmadi A. Kadar Gula Darah dan Kadar Hormon Testosterone pada Pria
Penderita Diabetes Melitus: Hubungannya dengan Disfungsi Seksual dan
Perbedaannya dengan yang Tidak Mengalami Disfungsi Seksual. Semarang;
2008.
40. Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran prostat jinak. Jurnal Kedokteran & Farmasi
Medika; 2002
41. Roehrborn CG, Gange SN, Shore ND, Giddens JL, Bolton DM, Cowan BE, et al.
Multi-Center Randomized Controlled Blinded Study of the Prostatic Urethral Lift
for the Treatment of LUTS Associated with Prostate Enlargement Due to BPH:
The L.I.F.T. Study. J Urol. 2013 Jun 10.