Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pemicu
Tn. Uriko, 55 tahun, datang dengan keluhan susah buang air kecil (BAK)
sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga mengaku saat BAK sering terhenti tiba-tiba,
dan keluar tersendat-sendat, sejak 1 bulan yang lalu. Pasien tidak merasakan
demam, dan juga tidak terasa nyeri saat BAK. Kadang-kadang, pasien juga
merasakan tidak mampu menahan saat ingin BAK. Dan biasanya, ia akan kembali
ingin BAK minimal dalam waktu 2 jam kemudian. Pasien sudah berkeluarga
selama 20 tahun, dengan satu istri dan 2 anak yang sudah dewasa. Sejak 2 minggu
terakhir, pasien merasakan libido nya agak menurun. Sehingga ia tidak
berkeinginan untuk melakukan aktivitas seksual dengan istrinya, selama 1 minggu
terakhir ini. Riwayat BAK keluar darah disangkal, riwayat trauma disangkal, serta
riwayat BAK keruh juga disangkal. Pasien merupakan pengidap kencing manis,
sejak 10 tahun yang lalu, dan merupakan pengguna insulin.

1.2. Klarifikasi dan Definisi


1) Libido : dorongan yang bersifat produktif, konstruktif dan bertujuan kepada
integrasi bersifat seksual dan dapat dipengaruhi secara hormonal maupun non
hormonal.
2) Insulin : hormone alami yang dikeluarkan pancreas

1.3. Kata Kunci


1) Tn. Uriko, 55 tahun
2) Susah BAK
3) BAK terhenti tiba-tiba dan tersendat-sendat
4) Demam (-), Nyeri (-) pada saat BAK
5) Tidak mampu menahan saat BAK
6) Sudah berkeluarga
7) Penurunan libido sejak 2 minggu
8) BAK darah, keruh, trauma (-)
9) DM sejak 10 tahun yang lalu
10) Pengguna insulin
1.4. Rumusan Masalah
Tn. Uriko, 55 tahun penderita DM mengalami gangguan pada saat BAK dan
terdapat penurunan libido sejak 2 minggu terakhir.

1.5. Analisis Masalah

Tn. Uriko,
55 tahun

Keluhan : Riwayat penyakit : Riwayat pengobatan:

- Susah BAK 2 - DM - Insulin


hari yang lalu

- BAK terhenti

- BAK tersendat-
sendat

- Tidak dapat
menahan BAK Pemeriksaan fisik
- Libido menurun - Hiperplasia
Differential Prostat Benign
diagnosis (BPH)

- Adenokarsinoma
prostat
Pemeriksaan
penunjang

Diagnosis

Tatalaksana

1.6. Hipotesis
Tn. Uriko, 55 tahun mengalami Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) dan
diperlukan pemeriksaan penunjang.

1.7. Pertanyaan Diskusi


1. Genitalia pria
a. Anatomi
b. Fisiologi
2. Prostat
a. Histologi
b. Fisiologi
3. Hiperplasia Prostat Benign (BPH)
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
d. Faktor resiko
e. Patofisiologi
f. Histopatologi
g. Manifestasi klinis
h. Diagnosis
i. Tatalaksana
j. Komplikasi
k. Prognosis
l. Pencegahan
4. Adenokarsinoma Prostat
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
d. Faktor resiko
e. Patofisiologi
f. Manifestasi klinis
5. Pengaruh hormon testosteron terhadap penurunan libido
6. Hubungan DM terhadap BPH
7. Studi kasus
a. Apa yang menyebabkan pasien saat BAK terhenti tiba-tiba dan tersendat-
sendat?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Genitalia Pria


2.1.1 Anatomi
Organ genitalia pria dibedakan menjadi organ genitalia interna dan
organ genitalia eksterna. Organ genitalia interna terdiri dari testis,
epididimis, duktus deferen, funiculus spermaticus, dan kelenjar seks
tambahan. Organ genitalia eksterna terdiri dari penis, uretra, dan skrotum.1
Gambar 1. Organ reproduki pria2
1. Organ Genitalia Interna
a. Testis
Testis berbentuk seperti telur yang berukuran 4x3 cm yang
dikelilingi oleh jaringan ikat kolagen (tunika albuginea). Tunika
albuginea akan memberikan septa ke dalam parenkim testis dan
membagi menjadi beberapa lobulus. Setiap lobulus mengandung 1-
4 tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus merupakan tempat
produksi sperma. Pada ujung tubulus seminiferus ini terdapat
tubulus.2

Gambar 2. Testis dan Epididimis2

b. Epididimis
Epididimis adalah saluran yang berkelok-kelok dengan
panjang sekitar 4-6 meter yang terdiri dari caput, corpus, dan
cauda. Di dalam epididimis, spermatozoa akan matang sehingga
menjadi mortil dan fertil. Setelah melalui epididimis yang
merupakan tempat penyimpanan sperma sementara, sperma akan
menuju duktus deferen.1,3

c. Duktus Deferen dan Funiculus Spermaticus

Duktus deferen/vas deferen adalah suatu saluran lurus


berdinding tebal yang akan menuju uretra pars prostatika. 3 Duktus
deferen bersama pembuluh darah dan saraf, dalam selubung
jaringan ikat disebut funiculus spermaticus yang akan melalui
kanalis inguinalis.2

d. Kelenjar Seks Tambahan

Kelenjar seks tambahan terdiri dari sepasang vesikula


seminalis, prostat, dan sepasang kelenjar bulbouretral. Vesikula
seminalis terletak di bagian dorsal vesika urinaria dan
menghasilkan sekitar 60% dari volume cairan semen. Sekresi dari
vesikula seminalis mengandung fruktosa, prostaglandin,
fibrinogen, dan vitamin C. Fruktosa memiliki fungsi sebagai
sumber energi primer untuk sperma, sedangkan prostaglandin
memiliki fungsi merangsang kontraksi otot polos sehingga
memudahkan transfer sperma Saluran dari masing-masing vesikula
seminalis bergabung dengan duktus deferens pada sisi yang sama
untuk membentuk duktus ejakulatorius. Dengan demikian, sperma
dan cairan semen masuk uretra bersama selama ejakulasi.2,4

Kelenjar prostat terletak di bawah dasar vesika urinaria.


Kelenjar prostat mengeluarkan cairan basa yang menetralkan
sekresi vagina yang asam, enzim pembekuan, dan fibrinolisin.
Kelenjar bulbouretral terletak di dalam otot perineal dan
menghasilkan cairan mukoid untuk pelumas.4
2. Organ Genitalia Eksterna

a. Penis

Penis terbagi menjadi radix, corpus, dan glans penis. Penis


terdiri dari 3 massa silindris yaitu dua corpora cavernosa yang
dipisahkan oleh septum dan terletak di dorsal serta satu corpus
spongiosum yang mengelilingi uretra dan terletak di ventral. Glans
penis adalah ujung terminal dari corpus spongiosum yang
membesar dan menutupi ujung bebas kedua corpora cavernosa
penis. Preputium adalah lipatan kulit yang retraktil pada glans
penis yang akan dipotong dalam sirkumsisi.3

b. Uretra

Uretra terdiri dari 3 bagian yaitu uretra prostatika, uretra


membranosa, dan uretra spongiosa. 2

c. Skrotum

Skrotum adalah kantung kulit yang menggantung di luar


rongga perut, antara kaki dan dorsal penis. Terdiri dari 2 kantung
yang masing-masing diisi oleh testis, epididimis, dan bagian
caudal funiculus spermaticus. Dalam kondisi normal, suhu
skrotum 3°C lebih rendah dari suhu tubuh agar dapat
memproduksi sperma yang sehat.2

2.1.2 Fisiologi
a. Urin
Tiga proses dasar yang terlibat dalam pembentukan urin yaitu :5
1) Filtrasi glomerulus
Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas-
protein tersaring melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsula
Bowman. Dalam keadaan normal, 20% plasma yang masuk ke
glomerulus tersaring. Proses ini, dikenal sebagai filtrasi
glomerulus, adalah langkah pertama dalam pembentukan urine.
Secara rerata, 125 mL filtrat glomerulus (cairan yang difiltrasi)
terbentuk secara kolektif melalui seluruh glomerulus setiap menit.
Jumlah ini sama dengan 180 liter (sekitar 47,5 galon) setiap hari.
Dengan mempertimbangkan bahwa volume rerata plasma pada
orang dewasa adalah 2,75 liter, hal ini berarti bahwa ginjal
menyaring keseluruhan volume plasma sekitar 65 kali sehari. Jika
semua yang difiltrasi keluar sebagai urine, semua plasma akan
menjadi urine dalam waktu kurang dari setengah jam! Namun, hal
ini tidak terjadi karena tubulus ginjal dan kapiler peritubulus
berhubungan erat di seluruh panjangnya, sehingga bahan-bahan
dapat dipertukarkan antara cairan di dalam tubulus dan darah di
dalam kapiler peritubulus.5

2) Reabsorpsi tubulus

Sewaktu filtrat mengalir melalui tubulus, bahan-bahan yang


bermanfaat bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus.
Perpindahan selektif bahan-bahan dari bagian dalam tubulus
(lumen tubulus) ke dalam darah ini disebut reabsorpsi tubulus.
Bahan-bahan yang direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui
urine tetapi dibawa oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan
kemudian ke jantung untuk diresirkulasi. Dari 180 liter plasma
yang disaring per hari, 178,5 liter, secara rerata, direabsorpsi. Sisa
1,5 liter di tubulus mengalir ke dalam pelvis ginjal untuk
dikeluarkan sebagai urine. Secara umum, bahan-bahan yang perlu
dikonservasi oleh tubuh secara selektif direabsorpsi, sementara
bahan-bahan yang tidak dibutuhkan yang harus dikeluarkan tetap
berada di urine. karenanya dipertahankan di dalam tubuh dan tidak
diekskresikan di urine, meskipun mengalir melewati ginjal.5

3) Sekresi tubulus

Proses ginjal ketiga, sekresi tubulus, adalah pemindahan


selektif bahan-bahan dari kapiler peritubulus ke dalam lumen
tubulus. Proses ini adalah rute kedua bagi bagi masuknya bahan ke
dalam tubulus ginjal dari darah, dengan yang pertama adalah
melalui filtrasi glomerulus. Hanya sekitar 20% plasma yang
mengalir melalui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam kapsul
Bowman; sisa 80% mengalir melalui arteriol eferen ke dalam
kapiler peritubulus. Sekresi tubulus merupakan mekanisme untuk
mengeluarkan bahan dari plasma secara cepat dengan
mengekstraksi sejumlah tertentu bahan dari 80% plasma yang tidak
terfiltrasi di kapiler peritubulus dan memindahkannya ke bahan
yang sudah ada di tubulus sebagai hasil filtrasi.5

4) Ekskresi urin

Ekskresi urine adalah pengeluaran bahanbahan dari tubuh


dalam urine. Ini bukan merupakan proses terpisah, melainkan
merupakan hasil dari tiga proses pertama di atas. Semua konstituen
plasma yang terfiltrasi atau disekresikan, tetapi tidak direabsorpsi
akan tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk
diekskresikan sebagai urine dan dikeluarkan dari tubuh (Jangan
mengacaukan ekskresi dengan sekresi.) Perhatikan bahwa semua
yang difiltrasi dan kemudian direabsorpsi, atau tidak difiltrasi sama
sekali, masuk ke darah vena dari kapiler peritubulus dan karenanya
dipertahankan di dalam tubuh dan tidak diekskresikan di urine,
meskipun mengalir melewati ginjal.5
Setelah terbentuk, urine mengalir ke suatu rongga pengumpul
sentral, pelvis ginjal, yang terletak di bagian dalam medial tiaptiap
ginjal. Dari sini urine disalurkan ke dalam ureter, suatu saluran
berdinding otot polos yang keluar di batas medial dekat dengan
arteri dan vena renalis. Terdapat dua ureter, setiap ureter
mengangkut urine dari masing-masing ginjal ke sebuah kandung
kemih. Kandung kemih, yang menampung urine secara temporer,
adalah suatu kantong berongga berdinding otot polos yang dapat
teregang. Secara periodik, urine dikosongkan dari kandung kemih
keluar melalui saluran lain, uretra, akibat kontraksi kandung kemih.
Uretra pada wanita berukuran pendek dan lurus, berjalan langsung
dari leher kandung kemih ke luar. Pada pria uretra jauh lebih
panjang dan berjalan melengkung dari kandung kemih ke luar,
melewati kelenjar prostat dan penis. Uretra pria memiiiki fungsi
ganda, yaitu menjadi saluran untuk mengeluarkan urine dari
kandung kemih dan saluran untuk semen dari organ-organ
reproduksi. Kelenjar prostat terletak di bawah leher kandung kemih
dan melingkari uretra secara penuh.Pembesaran prostat, yang
sering terjadi pada usia pertengahan hingga lanjut, dapat
menyumbat uretra secara parsial atau total sehingga menghambat
aliran urine.5

b. Sperma
Spermatogenesis terjadi dalam tubulus seminiferus pada testis.
Tubulus seminiferus terdiri dari tunika jaringan ikat fibrosa (tunika
fibrosa), lamina basalis yang berbatas tegas, dan epitel
germinativum/kompleks seminiferus. Pada lapisan paling dalam yang
melekat pada jaringan ikat dekat lamina basalis terdiri atas sel mieloid
yang menyerupai epitel selapis. Epitel terdiri atas 2 sel yaitu sel
sertoli/penyokong dan sel seminal/turunan spermatogenik. Sel seminal
ini yang akan berproliferasi menghasilkan spermatozoa.1
Spermatogenesis terdiri dari 3 fase:1
1) Spermatositogenesis, dimana spematogonia membelah yang
akhirnya menghasilkan spermatosit;
2) Meiosis, dimana spermatosit mengalami pembelahan menjadi
spermatid dan terjadi pengurangan setengah jumlah kromosom dan
jumlah DNA per sel;
3) Spermiogenesis, dimana spermatid mengalami proses
sitodiferensiasi menghasilkan spermatozoa.

Proses spermatogenesis dimulai dari spematogonium yang


mengalami mitosis. Spermatogonium ada yang bentuknya tetap seperti
spermatogonia A yang terus menjadi sumber spermatogonia atau ada
yang seperti spermatogonium B yang berpotensi melanjutkan proses
perkembangan. Spermatogonia B tumbuh menghasilkan spermatosit
primer. Spermatosit primer akan masuk dalam fase meiosis. Dari
pembelahan meiosis pertama akan dihasilkan spermatosit sekunder.
Spermatosit sekunder akan masuk ke pembelahan meiosis kedua yang
menghasilkan spermatid yang mengandung 23 kromosom dan DNA
sejumlah n/haploid. Pada fase spermiogenesis terjadi pembentukan
kepala, bagian tengah dan ekor sperma. Pada bagian kepala sperma
terdapat akrosom yang mengandung enzim hidrolitik yang akan
melepaskan sel korona radiata dan mencernakan zona pelusida. Saat
spermatozoa bertemu ovum, akrosom akan lisis sebagian dan
mengeluarkan enzim yang dikandungnya sehingga memudahkan
penetrasi sperma ke ovum. Pada bagian tengah spermatozoa terdapat
mitokondria yang akan berkaitan dengan pembentukan energi untuk
pergerakan spermatozoa. Bagian ekor spermatozoa dibentuk oleh
sentriol dan akan timbul flagelum yang digunakan untuk pergerakan
spermatozoa.1
Gambar 3. Spermatozoa1

2.2 Prostat
2.2.1 Histologi
Kelenjar prostat merupakan suatu organ padat yang mengelilingi
uretra di bawah kandung kemih. Prostat merupakan suatu kumpulan 30-50
kelenjar tubuloalveolar yang bercabang kesemuanya dikelilingi oleh
stroma fibromuskular padat yang dilapisi oleh suatu simpai. Kelenjar
tersebut tersusun berupa lapisan konsentris di sekitar uretra yaitu berupa
lapisan internal kelenjar mukosa, lapisan intermedia kelenjar submukosa,
dan lapisan perifer dengan kelenjar utama prostat. Duktus dari setiap
kelenjar dapat bersatu tetapi kesemuanya bermuara langsung ke dalam
uretra pars prostatica, yang menembus bagian pusat prostat.6
Prostat memiliki tiga zona yang sesuai dengan lapisan kelenjar,
yaitu:6
1) Zona transisi
Zona transisi menempati sekitar 5% volume prostat, mengelilingi
uretra prostatica, dan memiliki kelenjar mukosa yang bermuara
langsung ke dalam uretra.6
2) Zona sentral
Zona sentral menempati 25% volume kelenjar dan memiliki
kelenjar submukosa dengan duktus yang lebih panjang.6
3) Zona perifer
Zona perifer menempati sekitar 70% prostat dan memiliki
kelenjar utama dengan duktus yang lebih panjang. Kelenjar area ini
merupakan tempat tersering timbulnya peradangan dan kanker.
Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh selapis epitel silindris
atau epitel bertingkat silindris. Getah kelenjar prostat mengandung
berbagai glikoprotein dan enzim dan menyimpan getah ini untuk
dikeluarkan selama ejakulasi. Sejumlah besar stroma fibromuskular
mengelilingi kelenjar tersebut. Prostat dikelilingi oleh suatu
fibroelastis. Septa dari simpai ini mempenetrasi kelenjar dan
bercabang menjadi lobus-lobus tersendiri. Seperti vesicula seminalis,
struktur, dan fungsi prostat bergantung pada kadar testosteron. 6
Gambar 4. Kelenjar prostat (a): Prostat memiliki stroma fibromuskular
padat (S) dengan sejumlah besar kelenjar tubuloalveolar (G) yang
terbenam di dalamnya. Panah menunjukkan tempat konkremen berkapur
yang telah menghilang selama pemotongan sediaan. (b): Mikrograf
sebuah kelenjar termasuk konkremen corpus amylaceum (CA),
memperlihatkan epitel sekretoris selapis epitel kolumnar bertingkat (E)
yang dikelilingi oleh lamina propria (LP), yang sebaliknya dikelilingi otot
polos (M). (c): Pembesaran kuat memperlihatkan sifat lamelar sebuah
corpus amylaceum (CA) dan epitel kolumnar yang dilandasi oleh sebaran
lamina propria.6

2.2.2 Fisiologi
Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang
mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan
profibrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi
sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu
yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen lebih
banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit basa mungkin penting untuk
keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam
akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, dan sebagai
akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret vagina
bersifat asam (pH 3,5−4). Sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH
sekitarnya meningkat menjadi 6−6,5. Akibatnya, cairan prostat yang
sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan seminalis
lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas
sperma.7
Kelenjar prostat mengeluarkan cairan basa yang menetralkan sekresi
vagina yang asam, suatu fungsi penting karena sperma lebih dapat hidup
di lingkungan yang sedikit basa; dan menghasilkan enzim pembekuan dan
fibrinolisin. Enzim pembekuan prostat bekerja pada fibrinogen dari
vesikula seminalis untuk menghasilkan fibrin, yang "membekukan" semen
sehingga sperma yang diejakulasikan tetap berada di saluran reproduksi
wanita ketika penis dikeluarkan. Segera sesudahnya, bekuan ini diuraikan
oleh fibrinolisin, suatu enzim pengurai fibrin dari prostat sehingga sperma
dapat bergerak bebas di dalam saluran reproduksi wanita.5

2.3 Hiperplasia Prostat Benign (BPH)


2.3.1 Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang
akan menyebabkan pembesaran dari kelenjar prostat.8

2.3.2 Etiologi
Saat ini, tidak ada konsensus mengenai etiologi BPH. Ada banyak
pendapat, seperti perubahan fungsi urodinamik karena meningkatnya
uretra angulasi prostat. Beberapa telah mengidentifikasi peristiwa
molekuler, seperti peningkatan stress oksidatif, kerusakan iskemik akibat
gangguan pembuluh darah, hilangnya regulator negatif kontrol siklus sel,
atau perubahan kadar hormon terkait usia. Namun, sebagian besar
postulasi etiologi mengarah ke peradangan prostat sebagai inisiator BPH.
Meskipun masih belum ada kesepakatan apakah peradangan hanyalah
sebuah kejadian paralel atau penyebab langsung, beberapa dalam
penelitian telah menemukan hubungan yang signifikan antara peradangan
dan BPH.9
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH
adalah:10
a. Teori Dihidrotestosteron
Untuk pertumbuhan sel kelenjar prostat sangat dibutuhkan suatu
metabolit androgen yaitu dihidrotestosteron atau DHT.
Dihidrotestosteron dihasilkan dari reaksi perubahan testosteron di
dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH. Dihidrotestosteron yang telah berikatan dengan reseptor
androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Perubahan testosteron menjadi
dihidrotestosteron oleh enzim 5α-reduktase disajikan pada gambar.10

NADPH NADP

Testosteron Dihidrotestosteron
5α-reduktase

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH


tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat pada BPH
lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.10
b. Teori Ketidakseimbangan Estrogen dan Testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara
estrogen dan testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel
prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat menjadi
lebih besar.10

c. Teori Interaksi Stroma dan Epitel


Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth
factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari
DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis growth factor yang
selanjutnya mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.10

d. Berkurangnya Kematian Sel Prostat


Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah
mekanisme fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar
prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang
selanjutnya sel sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.10
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan
prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat
baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya
jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan
pertambahan massa prostat. Sampai sekarang belum dapat diterangkan
secara pasti faktor-faktor yang menghambat proses apoptosis. Diduga
hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel
karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang
usia sel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGF-β berperan
dalam proses apoptosis.10
e. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apotosis, selalu
dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem,
yaitu suatu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat
ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan
hormon androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti
yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis.
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel kelenjar.10

2.3.3 Klasifikasi
Pedoman World Health Organization (WHO) untuk melakukan
pemantauan berkala derajat gangguan berkemih dan sekaligus menentukan
terapi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Terapi
non bedah dianjurkan bila selama pengamatan WHO PSS tetap di bawah
15. Apabila dalam pemantauan didapatkan WHO PSS lebih dari 25 atau
bila timbul gejala obstruksi, maka dianjurkan untuk melakukan terapi
pembedahan.11
Di dalam praktek, klasifikasi derajat hyperplasia prostat digunakan
untuk menentukan terapi adalah sebagai berikut:11
1) Hiperplasia prostat derajat 1
Biasanya belum memerlukan tindakan bedah dan dapat diberikan
terapi konservatif misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa
seperti alfazonsin, prazosindan terazosin.
2) Hiperplasia prostatderajat II
Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui urethra (transurethral resection
of prostate (TURP). Namun, kadangkala, pada derajat ini dapat dicoba
dengan terapi konservatif.
3) Hiperplasiaprostatderajat III
Tindakan TURP dapat dikerjakan oleh ahli bedah yang cukup
berpengalaman. Namun, apabila prostat diperkirakan sudah berukuran
cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam.
Sebaiknya dilakukan operasi terbuka, kemudian prostat dienukleasi
dari dalam simpainya.
4) Hiperplasia prostat derajat IV
Tindakan pertama yang harus dikerjakan telah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistostomi.
Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnosis, kemudian dilakukan terapi definitive dengan TURP atau
pembedahan terbuka.

2.3.4 Faktor resiko


Faktor risiko terjadinya hiperplasia prostat masih kurang diketahui.
Beberapa studi mengatakan faktor genetik merupaakan predisposisi,
karena hampir 50 % laki laki umur 60 tahun yang menjalani operasi
hiperplasia prostat benigna ternyata telah mempunyai kecenderungan
(secara genetik) menderita hipertrofi prostat.12
Faktor risiko yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain
adanya testis yang fungsional sejak pubertas (faktor hormonal). Dari
berbagai studi terakhir ditemukan hubungan positif antara BPH dengan
riwayat BPH dalam keluarga, kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat,
konsumsi vitamin E, konsumsi daging merah, obesitas, sindrom
metabolik, inflamasi kronik pada prostat, dan penyakit jantung.13,14
2.3.5 Patofisiologi

Gambar 5. Patofisiologi BPH15

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars


prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-
buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli
berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula,
dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi. Perubahan struktur pada buli- buli dirasakan oleh pasien
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau Lower Urinary
Tract Symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala- gejala
prostatismus.16
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal.10

Gambar 6. Pengaruh BPH pada saluran kemih10

Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya


atau tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk
membuka jalan keluar urin. Metode yang mungkin adalah prostatektomi
parsial, Transurethral Resection of Prostate (TURP) atau insisi
prostatektomi terbuka, untuk mengangkat jaringan periuretral hiperplasia
insisi transuretral melalui serat otot leher kandung kemih untuk
memperbesar jalan keluar urin, dilatasi balon pada prostat untuk
memperbesar lumen uretra, dan terapi antiandrogen untuk membuat atrofi
kelenjar prostat.17
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap
kelenjar. Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar
adalah 2:1, pada BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini
menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat
dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang
menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang
merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.10

2.3.6 Histopatologi
Hiperplasia prostat jinak ternyata selalu terdapat pada zona transisi
prostat sebelah dalam. Prostat yang terkena membesar, sampai beratnya
antara 60 gr sampai 100 gr dan mengandung banyak nodulus yang
berbatas tegas yang menonjol pada penampang (gambar 7). Nodulus-
nodulus itu tampak solid atau mengandungi rongga-rongga kistik yang
disebabkan unsur kelenjar yang berdilatasi.18
Mikroskopis nodulus hiperplastik terdiri atas proliferasi unsure
kelenjar dan stroma fibromuskular dengan proporsi yang bervariasi.
Kelenjar hiperplastik berlapiskan sel epitel torak tinggi dan lapisan sel
basal yang mendatar di perifer (Gambar 7 bagian B dan C). Lumen
kelenjar sering mengandung bahan sekresi protein yang disebut korpus
amilaseum.18
Gambar 7. Hiperplasia Prostat Nodular18

2.3.7 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis hiperplasia prostat hanya terdapat pada 10% laki-
laki dengan HPJ yang terbukti secara patologis. Karena HPJ terutama
mencakup bagian dalam prostat, manifestasi klinis yang paling sering
adalah obstruksi saluran kemih bawah, sering dalam bentuk kesulitan
memulai aliran urin (hesitancy) dan sewaktu kencing aliran urin terhenti
intermiten. Gejala-gejala ini sering disertai rasa sangat ingin kencing
(urgency), sering kencing dan nokturia, yang semuanya menunjukkan
adanya iritasi kandung kemih. Gejala serupa juga dapat disebabkan oleh
striktur uretra atau akibat kontraktilitas otot detrusor kandung kemih yang
terganggu baik pada Iaki-laki maupun perempuan. Adanya sisa urin dalam
kandung kemih akibat obstruksi kronik meningkatkan risiko infeksi
saluran kemih. Pada sebagian laki-laki yang terkena, HPJ dapat
menimbulkan obstruksi urin total, sehingga mengakibatkan pembesaran
kandung kemih yang nyeri dan apabila tidak diobati dengan memadai
akan terjadi hidronefrosis. Pengobatan awal adalah farmakologik,
menggunakan prinsip terapi target dengan sasaran menghambat
pembentukan DHT (Finestride) atau yang mengendurkan otot polos
dengan memblok alpha adrenergic blockers (Flomax). Berbagai teknik
pembedahan dicadangkan untuk kasus simtomatik berat yang tidak
sembuh dengan terapi medis.18
2.3.8 Diagnosis
1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit19,20,21
- Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah
mengganggu;
- Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia
(pernah mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah
(hematuria), kencing batu, atau pembedahan pada saluran
kemih);
- Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual;
- Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan
berkemih.
b. Skor keluhan
Pemandu untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala
obstruksi akibat pembesaran prostat adalah system penskoran
keluhan. Salah satu system penskoran yang digunakan secara luas
adalah International Prostate Symptom Score (IPSS) yang telah
dikembangkan American Urological Association (AUA) dan
distandarisasi oleh World Health Organization (WHO). Skor ini
berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH.20,21
IPSS terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki
nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35. Kuesioner IPSS
dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri
setiap pertanyaan. Berat-ringannya keluhan pasien BPH dapat
digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu: skor 0 - 7:
ringan, skor 8 - 19: sedang, dan skor 20 - 35: berat.8,22,23
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS
terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality
of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban.22,23
2. Pemeriksaan fisik
a. Status urologis
1) Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk
mengevaluasi adanya obstruksi atau tanda infeksi.19
2) Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi
dan perkusi untuk menilai isi kandung kemih, ada tidaknya
tanda infeksi.19
b. Colok dubur
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE)
merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Dari
pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya
pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang
merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur
volume prostat dengan DRE cenderung lebih kecil daripada ukuran
yang sebenarnya.19,20
Pada pemeriksaan colok dubur juga perlu menilai tonus
sfingter ani dan reflex bulbokavernosus yang dapat menunjukkan
adanya kelainan pada lengkung reflex di daerah sakral.20

3. Pemeriksaan penunjang
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria
dan hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari
penyebabnya. Bila dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu
dilakukan pemeriksaan kultur urin.19,20,22
b. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan
gangguan pada saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH
terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Pemeriksaan
faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan
pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.19

c. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)


PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ
specific tetapi bukan cancer specific.24 Kadar PSA di dalam serum
dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi
pada prostat (biopsy prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.25
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan
penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:25,26
(a) Pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) Keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) Lebih mudah terjadi retensi urine akut

Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan


berdasarkan kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin
cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat
rata–rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl adalah 0,7
mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl adalah 2,1
mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.9
Serum PSA dapat meningkat pada saat terjadi retensi urine akut
dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam
dilakukan kateterisasi.27
d. Uroflowmetry (Pancaran Urine)
Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama
proses berkemih. Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk
mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah. Dari
uroflowmetry dapat diperoleh informasi mengenai volume
berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju pancaran rata-rata
(Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai laju pancaran
maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini dipakai untuk
mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun
setelah terapi.19
Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab
terjadinya kelainan pancaran urine. Pancaran urine yang lemah
dapat disebabkan obstruksi saluran kemih bagian bawah atau
kelemahan otot detrusor. Terdapat hubungan antara nilai Qmax
dengan kemungkinan obstruksi saluran kemih bagian bawah
(BOO). Pada batas nilai Qmax sebesar 10 mL/detik memiliki
spesifisitas sebesar 70%, positive predictive value (PPV) sebesar
70%, dan sensitivitas sebesar 47% untuk mendiagnosis BOO.
Sementara itu, dengan batas nilai Qmax sebesar 15 mL/detik
memiliki spesifisitas sebesar 38%, PPV sebesar 67%, dan
sensitivitas sebesar 82% untuk mendiagnosis BOO.19
Sebaiknya, penilaian ada tidaknya obstruksi saluran kemih
bagian bawah tidak hanya dinilai dari hasil Qmax saja, tetapi juga
digabungkan dengan pemeriksaan lain. Kombinasi pemeriksaan
skor IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup akurat dalam
menentukan adanya obstruksi saluran kemih bagian bawah.13
Pemeriksaan uroflowmetry bermakna jika volume urine >150
mL.19
e. Residu urine
Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah
sisa urine di kandung kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine
pada pria normal rata-rata 12 mL.28
Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara USG,
bladder scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan
kateter ini lebih akurat dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman
bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, infeksi saluran
kemih, hingga bakteremia.21,28
Peningkatan volume residu urine dapat disebabkan oleh
obstruksi saluran kemih bagian bawah atau kelemahan kontraksi
otot detrusor. Volume residu urine yang banyak pada pemeriksaan
awal berkaitan dengan peningkatan risiko perburukan gejala.
Peningkatan volume residu urine pada pemantauan berkala
berkaitan dengan risiko terjadinya retensi urine.28,29

4. Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan prostat merupakan pemeriksaan rutin
yang bertujuan untuk menilai bentuk dan besar prostat, dengan
menggunakan ultrasonografi transabdominal (TAUS) atau
ultrasonografi transrektal (TRUS).30
Pengukuran besar prostat penting dalam menentukan pilihan
terapi invasif, seperti operasi terbuka, teknik enukleasi, TURP, TUIP,
atau terapi minimal invasive lainnya. Selain itu, hal ini juga penting
dilakukan sebelum pengobatan dengan 5-ARI.19

2.3.9 Tatalaksana
Tatalaksana penyakit BPH secara umum sebagai berikut:12
1. Terapi Medik
a. Penghambat Alfa
Penghambat alfa bekerja dengan menghambat efek pelepasan
noradrenalin endogen pada otot polos sel prostat, sehingga
menurunkan tonus prostat dan mengurangi obstruksi saluran keluar
kandung kemih. Penghambat adrenoreseptor alfa 1A lebih
dominan dari pada alfa 1B sehingga penggunaan penghambat alfa
selektif banyak digunakan.12
Ada 4 jenis obat penghambat alfa di Indonesia yaitu alfuzosin
HCL, doxazosin mesylate (doxazosin), tamsulosin HCL, dan
terazosin HCL. Terapi ini dapat menurunkan gejala hingga 35-45%
dan dapat meningkatkan meximum urinary flow rate (Qmax)
hingga 20-25 %.12
b. Penghambat 5 Alfa Redukatse
Penghambat 5 alfa reduktase bekerja dengan menghambat 5
alfa reduktase yang merupakan enzim yang mengubah testosterone
menjadi DHT, sehingga diharapkan dapat mengexilkan kelenjar
prostat.12
Ada 2 tipe yaitu:12
1) Tipe 1: memiliki aktivitas predominan diluar kelenjar prostat
(misal kulit dan hati)
2) Tipe 2: memiliki ekspresi dominan pada kelenjar prostat

Dua jenis penghambat yang direkomendasikan yaitu:


Dutasteride dengan dosis 1 kali 0,5 mg/Hari dan Finasteride
dengan dosis 1 kali 5mg/hari.12
Manfaat terapi baru terlihat apabila terapi telah diberikan
selama 6-12 bulan. Terapi menggunakan obat ini dalam jangka
waktu 2-4tahun akan mengurangi gejala saluran kemih bagian
bawah sebanyak 15-30%, penurunan volume prostat sekitar 18-
25% dan peningkatan Qmax bebas uroflow meter sekitar 1,5 2,0
ml/detik.12
c. Fitofarmaka
Komponenn utama dari obat ini adalah phytosterol yang dari
hasil studi invitro diperkirakan memiliki manfaat sebagai efek anti
inflamasi, anti adrogenik, ataupun efek efstrogenik.12
- Menurunkan kadar sexual hormon binding globulin (SHBG)
- Menghambat aromatase, lipoksigenase, faktor pertumbuhan
yang merangsang proligerasi sel prostat, alfa adrenoreseptor, 5
alfa reduktase, muscarinic cholinoceptor, reseptor dihidropridin
atau reseptor viniloid
- Memperbaiki fungsi detrusor
- Menetralkan radikal bebas
Yang paling banyak digunakan untuk terapi BPH adalah obat
serenoa repens. Manfaat beta sitps terol suatu ekstral dari saw
palmetto yang berisi beberapa fitosterol yang dapat menurunkan
gejala traktus urinarius bagian bawah sampai 7,4 poin.12
d. Terapi Kombinasi
Obat yang digunakan adalah penghambat alfa dan
penghambat 5 alfa reduktase. Loper dkk (1996) adalah peneliti
pertama yang menggunakan terpai kombinasi terazosin dan
finasteride, sedangkan studi lain dilakukan Roehrbom (2008)
menggunakan kombinasi tamsulosin dan dutasteride.15,26
Hasil studi MTOPS (Medical Therapy of Prostatic Symptom)
dan CombAt (Combination of Avodart Idan Tamsulosin)
menunjukkan bahwa terapi kombinasi lebih superior dibandungkan
monoterpai dalam mencegah prodresivitas penyakit berdasarkan
kriteria IPSS.12
Terapi kombinasi direkomendasi pada penderita dengan gejala
traktus urinarius sedang dan berat, pembesaran prostat, dan
penurunan Qmax. Terapi kombinasi tidak direkomendasi untuk
terapi jangka pendek.12

2. Terapi Pembedahan konvensional


Indikasi pembedahan pada BPH adalah:12
- Tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi medikamentosa
- Retensi urin
- Infeksi saluran kemih berulang
- Hematuria
- Gagal ginjal
- Timbul batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi
saluran kemih bagian bawah

Beberapa tindakan pembedahan yang dilakukan untuk terapi


hiperplasia prostat antara lain:12
a. Transurethral resection of prostat (TURP)
b. Transurethral incision of the prostat
c. Open simple prostatectomy
d. Laser therapu
e. Transurethral electrovaporization of the prostate
f. Hyperthermy
g. Transurethral needle ablation of the prostate
h. High intensity focused ultrasound
i. Intraurethral stents
j. Transurethral balloon silation of theprostate

2.3.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hyperplasia prostat antara lain:31
1. Retensiurin
2. Batu kandung kemih, infeksi saluran kemih (ISK), kerusakan kandung
kemih atau ginjal
3. Inkontinensia
4. Ejakulasi retrograde
5. Infeksi
6. Pneumonia
7. Terjadi bekuan darah
8. Perdarahan berlebihan
9. Impotensi
10. Retensio urine akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
11. Involusi kontraksi kandung kemih
12. Refluk kandung kemih
13. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urine terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urine yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
14. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
15. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urine, sehingga dapat
terbentuk batu saluran kemih dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.

2.3.11 Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada
setiap individu. BPH yang tidak segera diobati memiliki prognosis yang
buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.32
2.3.12 Pencegahan
Pencegahan BPH dapat dilakukan dengan cara:33
1. Menjalankan pola hidup (pola makan sehat 4 sehat 5 sempurna, rajin
olahraga, tidak merokok dan tidak begadang).
2. Banyak minum air minimal 8 gelas/hari.
3. Tidak membiasakan menahan kencing.
4. Sering makan kubis–kubisan, kacang–kacangan, alpukat, tomat untuk
mengurangi resiko radang pada prostat.
5. Memeriksakan prostat secara berkala ke dokter atau pusat kesehatan

2.4 Adenokarsinoma Prostat


2.4.1 Definisi
Adenokarsinoma prostat adalah penyakit kanker yang menyerang
kelenjar prostat di mana sel-sel kelenjar prostat tumbuh abnormal dan
tidak terkendali.34
2.4.2 Etiologi
Perubahan gen pada kromosom 1, 17 dan kromosom X dijumpai pada
pasien-pasien dengan riwayat keluarga kanker prostat. Gen hereditary
prostate cancer 1 (HPC1) dan gen predisposing for cancer of the prostate
(PCAP) terdapat pada kromosom 1 sedang gen human prostate cancer
pada kromosom X. Sebagai tambahan, studi genetik menduga adanya
suatu predisposisi keluarga yang kuat pada 5-10% kasus kanker prostat.
Laki-laki dengan riwayat keluarga kanker prostat memiliki resiko yang
lebih tinggi untuk mendapat kanker prostat.35
Diet tinggi lemak meningkatkan resiko terkena kanker prostat,
sedangkan diet tinggi kacang kedelai mungkin protektif. Observasi ini
telah diutarakan sebagai alasan rendahnya prevalensi kanker prostat di
Asia. Studi kultur sel menunjukkan asam lemak omega 6 positif dalam
menstimulasi pertumbuhan sel-sel kanker prostat, sedangkan omega 3
negatif. Lemak ini memiliki efek pada perubahan hormon seks atau faktor
pertumbuhan atau berefek pada 5 α-reduktase. Kacang kedelai
menurunkan pertumbuhan sel-sel kanker prostat pada tikus percobaan,
akan tetapi faktor epidemiologi menunjukkan tidak terbukti efek yang
bermakna pada manusia. Vitamin E memiliki efek protektif karena
merupakan antioksidan. Penurunan kadar vitamin A mungkin suatu faktor
resiko karena dapat memicu differensiasi sel dan sistim imun. Defisiensi
vitamin D diduga juga suatu faktor resiko dan studi menunjukkan
hubungan terbalik antara paparan ultraviolet dengan angka kematian
kanker prostat. Selenium mungkin memiliki efek protektif berdasarkan
studi epidemiologi dan dipercaya melalui efeknya sebagai antioksidan.35
Ablasi androgen menyebabkan regresi kanker prostat. Hsing dan
Comstock melakukan studi besar dengan membandingkan prevalensi
kanker prostat pada satu grup kontrol dengan satu grup yang diberikan
inhibitor 5α-reduktase. Inhibitor 5α-reduktase tersebut menunjukkan
penurunan prevalensi tumor. ASCO (The American Society of Clinical
Oncology) merekomendasikan penggunaan inhibitor 5α-reduktase sebagai
chemoprevention kanker prostat.35

2.4.3 Klasifikasi
Berikut ini adalah penentuan stadium adenokarsinoma prostat yang
menggunakan sistem TNM:36
Tabel 1. Penentuan Stadium Adenokarsinoma prostat36

Klasifikasi TNM Temuan Anatomik

Lesi Tumor Primer (T)

T1 Lesi tidak teraba

T1a Keterlibatan ≤ 5% jaringan TURP

T1b Keterlibatan > 5% jaringan TURP

T1c Karsinoma ditemukan pada biopsy


jarum

T2 Kanker teraba atau terlihat, terbatas


di prostat

T2a Keterlibatan ≤ 50% dari satu lobus

T2b Keterlibatan > 50% dari satu lobus,


tetapi unilateral

T2c Keterlibatan 2 lobus

T3 Perluasan ekstra prostat lokal

T3a Unilateral
T3b Bilateral

T3c Invasi ke vesikula seminalis

T4 Invasi ke organ dan/atau struktur


penunjang di sekitar

T4a Invasi ke leher kandung kemih,


rektum, atau sfingter eksternal

T4b Invasi ke otot levator atau dasar


panggul

Status kelenjar getah bening regional (N)

N0 Tidak ada metastasi ke kelenjar


regional

N1 Satu kelenjar regional, garis tengah


≤ 2 cm

N2 Satu kelenjar regional, garis tengah


2 hingga 5 cm, atau banyak kelenjar
dengan garis tengah < 5 cm

N3 Kelenjar regional dengan garis


tengah > 5 cm

Metastasis Jauh (M)

M0 Tidak ada metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh

M1a Metastasis ke kelenjar getah bening


jauh

M1b Metastasis ke tulang

M1c Metastasis jauh lainnya

2.4.4 Faktor resiko


Sejauh ini, faktor risiko yang diketahui terkait dengan terjadinya
kanker prostat adalah umur, ras dan riwayat kanker prostat dalam
keluarga. Umumnya kanker prostat mengenai pria dewasa tua dengan
puncak pada umur 65-75 tahun. Hasil otopsi dari berbagai Negara
menunjukkan sekitar 15-30% laki-laki berusia 50 tahun menderita kanker
prostat secara samar dengan usia 80 tahun sebanyak 60-70% laki-laki
memiliki gambaran patologi anatomi keganasan prostat.37
Beberapa faktor risiko yang diduga terkait dengan kanker prostat
adalah pekerjaan sebagai petani dan pekerjaan yang memungkinkan
terpapar pestisida serta kadmium. Pada penelitian di Prancis, risiko kanker
prostat meningkat 2 kali pada peternak dan petani yang terpapar pestisida.
Pekerja yang terpapar cadmium juga berisiko kanker prostat karena
cadmium merupakan karsinogen.37

2.4.5 Patofisiologi
Sebagian kanker prostat adalah adenokarsinoma yang berasal dari sel
asinar prostat dan bermula dari volume yang kecil kemudian membesar
hingga menyebar. Karsinoma prostat paling sering ditemukan pada zona
perifer sekitar 75%. Pada zona sentral atau zona transisi sekitar 15-20%.38
Munculnya kanker prostat secara laten pada usia tua banyak terjadi.
Sepuluh persen pria usia enam puluh tahun mempunyai kanker
prostat’diam’dan tidak bergejala. Persentasi ini bertambah usia. Pada tiga
puluh persen kematian pria yang sebelumnya mempunyai keluhan atau
gejala kanker prostat ternyata pada pemeriksaan ditemukan adanya tumor
ganas ini. Pertumbuhan dari kanker prostat asimtomatis yang kebemukan
pada umumnya lambat sekali. Sembilan puluh persen tumor tersebut
merupakan adenokarsinoma. Umumnya, penyakitnya multifocal
keganasan sering terjadi terletak di pinggir kelenjar. Prognosisnya
langsung bergantung pada derajat keganasan sel-sel dan kadar infiltrasi ke
dalam pembuluh darah limfe dan pembuluh balik.38
Komponen kelenjar dari prostat sebagian besar terletak atau
membentuk zona perifer. Zona perifer ini ditambah dengan zona sentral
yang terkecil merupakan 95% dari komponen kelenjar. Komponen
kelenjar yang lain (5%) membentuk zona transisi. Zona transisi ini terletak
tepat di luar uretra di daerah verumontanum. Proses hiperplasia dimulai di
zona transisi. Sebagian besar proses keganasan (60-70%) bermula di zona
perifer, sebagian juga dapat tumbuh di zona transisi dan zona sentra
Karsinoma prostat berupa lesi multi sentrik. Kanker prostat menyebar ke
kelenjar limfe di panggul kemudian ke kelenjar limfe retroperitoneal atas.
Penyebaran hematogen terjadi melalui V, vertebralis ke tulang panggul,
femur proksimal, ruas tulang lumbal, dan tulang iga. Metastasis tulang
sering bersifat osteoklastik. Kanker ini jarang menyebar ke sumsum tulang
dan visera, khususnya hati dan paru.38

2.4.6 Manifestasi klinis


Pada kanker prostat stadium dini, sering kali tidak menunjukkan
gejala atau tanda-tanda klinis. Tanda-tanda itu biasanya muncul setelah
kanker berada pada stadium yang lebih lanjut. Kanker prostat stadium dini
biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan colok dubur berupa nodul
keras pada prostat atau secara kebetulan ditemukan adanya peningkatan
kadar penanda tumor PSA (prostate specific antigens) pada saat
pemeriksaan laboratorium. Kurang lebih 10% pasien yang dating berobat
kedokter mengeluh adanya gangguan saluran kemih berupa kesulitan
miksi, nyeri kencing, atau hematuria yang menandakan bahwa kanker
telah menekan uretra.10

2.5 Pengaruh Hormon Testosteron Terhadap Penurunan Libido


Jika seseorang mengalami penurunan libido maka salah satu faktornya
adalah penurunan hormone testosteron dimana hormone ini berpengaruh pada
mood, kognisi, vitalitas, kesehatan tulang serta komposisi otot dan lemak.
Kekurangan hormone ini akan menyebabkan disfungsi seksual (libido lemah,
ereksi yang buruk, pengurangan ereksi yang spontan dan penurunan aktivitas
seksual).10

2.6 Hubungan DM Terhadap BPH


Diabetes melitus dapat menimbulkan komplikasi gangguan aliran darah ke
organ seksual dan hypogonadism berupa tidak normalnya fungsi hipofisis dan
hipotalamus. Sebanyak 50 % penderita pria diabetes mengalami disfungsi ereksi,
resiko disfungsi ereksi penderita diabetes akan bertambah seiring bertambahnya
usia yaitu 39 % di usia 40 tahun, 48 % di usia 50 tahun, 57 % di usia 60 tahun dan
penelitian Babbot dan Rubin menyebutkan 50 % disfungsi ereksi terjadi setelah 1
tahun pertama menderita diabetes, 43%pada 1-5 tahun pertama dan 45 % setelah
menderita di atas 5 tahun. Selain itu juga 30 % penderita diabetes mengalami
penurunan kadar testosteron yang sering dihubungkan dengan penurunan
libido.39,40
Pusat pengaturan prilaku seksual termasuk libido terdapat pada otak di
bagian hipotalamus dan korteks serebri. Fungsi bagian ini salah satunya
dipengaruhi keberadaan hormon testosteron yang berfungsi sebagi faktor tropik.
Akibat hiperglikemia berkepanjangan menyebabkan gangguan integritas struktur
dan fungsi vaskular serta sistem saraf perifer karena peningkatan aktifitas PKC
dan TNF α. Selain itu pula juga dapat terjadi penurunan ekspresi IGF-I akibat
tidak cukupnya atau tidak sensitifnya insulin, gangguan replikasi sel Leydig
karena penurunan signalling SCF akibat resistensinya insulin pada testis
menyebabkan menurunnya produksi hormon testosteron, selain itu juga
menyebabkan berkurangnya reseptor androgen pada sel Leydig sehingga juga
akan mempengaruhi kadar hormon testosteron. Testosteron diperlukan untuk
terjadinya bangkitan libido, testosteron dapat meningkatkan rangsang seksual
(sexual erotism) dan kesadaran seksual (sexual awareness). Menurunnya jumlah
testosteron menyebabkan berkurangnya akumulasi testosteron pada daerah
hipotalamus dan korteks serebri, akibatnya bagian yang mengaktifkan
metabolisme otak dan mengatur libido ini menjadi kurang aktif sehingga terjadi
hambatan atau penurunan libido.39,40

2.7 Apa yang menyebabkan pasien saat BAK terhenti tiba-tiba dan tersendat-
sendat?
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat masih
tergantung tiga faktor yaitu, volume kelenjar periuretral, elastisitas leher vesika,
otot polos prostat dan kapsul prostat dan kekuatan kontraksi otot detrusor. Gejala
iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna
pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh, gejalanya ialah:41

1) Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)

2) Nokturia

3) Miksi sulit ditahan (Urgency)

4) Disuria (Nyeri pada waktu miksi)

Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang
biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut
nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan
juga menurunnya tonus spingter dan uretra.41
Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan
volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi
urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam vesica, hal ini
menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada
suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi
miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus
dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi dari pada tekanan spingter akan
terjadi inkontinensia paradoks (overflowincontinence). Retensi kronik dapat
menyebabkan terjadinya refluks vesicouretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan
sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskan ke
ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi.41

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tn. Uriko, 55 tahun mengalami Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) dan


diperlukan pemeriksaan penunjang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Panghiyangani R, Mashuri. Kualitas Spermatozoa dan Aktivitas Enzim Katalase


dalam Darah Tikus Jantan Galur Sprague Dawley ( SD ) yang Diradiasi Sinar
Ultraviolet; 1(1):4–7. 2009

2. Paulsen F, Waschke J. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. 23th ed. Jakarta:
EGC; 182-195 p. 2012

3. Marieb EN. Essentials of Human Anatomy and Physiology. 9th ed. San Fransisco:
CA: Person Education; 2009

4. Faradz S, Bambang, Susilaningsih N, Purnawati R, Ismail A, Armalina D, et al.


Lecture Notes Histologi 2. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro; 47-57 p. 2013

5. Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC. 2014

6. Mescher, Antohny L. Histologi DasarJunqueira edisi 14. Jakarta: EGC. 2016

7. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC;
2008
8. Kapoor, Anil. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Management In The Primary
Care Setting. The Canadian Journal of Urology, October. hal. 10-15. 2012

9. Schauer, IG & Rowley, DR. The functional role of reactive stroma in benign
prostatic hyperplasia. NIH Public Access. 82(4): 200-210. 2012

10. Purnomo B. Dasar-Dasar Urologi. Ed. 3. Jakarta: Sagung Seto. 2012.

11. Seftel AD, Rosen RC, Rosenberg MT, Sadovsky R. Benign prostatic Hyperplasia
evaluation, treatment and association with sexual dysfuntion: practce pattern
according to physician specialty. Int J ClinPract, Apr 2008; 62(4):614-22.
12. Chasani, Shofa. Hipertrofi Prostat Benigna dalam Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi 6 . Jakarta: Internal Publishing. 2014.
13. Parsons JK: Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract
Symptoms: Epidemiology and Risk Factors. Curr Bladder Dysfunct Rep; 5:212–
18. 2010
14. Chungtai B, Lee R, Te A, Kaplan S. Role of Inflammation in Benign Prostatic
Hyperplasia. Rev Urol;13(3):147-50. 2011
15. Lepor, Herbert. Pathophysiology of Benign Prostatic Hyperplasia in the Aging
Male Population. New York : MedReviews. 2005
16. Amalia R. Faktor-faktor Resiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak. [Thesis].
Semarang: Universitas Diponegoro. 2007
17. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi
ke-6. Jakarta: EGC. 2012
18. Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9.
Singapura: Elsevier Saunders. 2015
19. Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, et al. Guidelines on the Management of
Non-Neurogenic Male Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS), incl. Benign
Prostatic Obstruction (BPO). European Association Of Urology; 2014.
20. McVary KT, Roehrborn CG, Avins AL, Barry MJ, Bruskewitz RC, Donnell RF, et
al. Update on AUA Guideline on the management of benign prostatic hyperplasia.
J Urol. 2011 May;185(5):1793-803. doi: 10.1016/j.juro.2011.01.074. Epub 2011
Mar 21.
21. Gerber GS, Brendler CB. Evaluation of the Urologic Patient: History, Physical
Examination, and Urinalysis. In: Campbell-Walsh Urology. 10 th Edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders 2012; p. 71-80.
22. Barry MJ, Fowler FJ, O'Leary MP, et al. The American Urological Association
Symptom Index for Benign Prostatic Hyperplasia. J Urol. 148: 1549, 1992
23. Liu CC, Wang CJ, Huang SP, Chou YH, Wu WJ, Huang CH. Relationships
between American Urological Association symptom index, prostate volume, and
disease-specific quality of life question in patients with benign prostatic
hyperplasia. Kaohsiung J Med Sci. 2004 Jun;20(6):273-8.
24. Lim CF, Buchan NC. Measurement of serum PSA as a predictor of symptoms
scored on the IPSS for patients with benign prostatic hyperplasia. N Z Med J.
2014 Feb 14;127(1389):17-24.
25. D'Silva KA, Dahm P, Wong CL. Does this man with lower urinary tract symptoms
have bladder outlet obstruction?: The Rational Clinical Examination: a systematic
review. JAMA. 2014 Aug 6;312(5):535-42. doi: 10.1001/jama.2014.5555.
26. Roehrborn CG, McConnell J, Bonilla J, Rosenblatt S, Hudson PB, Malek GM, et
al. Serum prostate specific antigen is a strong predictor of future prostate growth
in men with benign prostatic hyperplasia. J Urol. 163: 13-20, 2000.
27. Wijanarko S, Gardjito W, Hardjowijoto S, et al. Studi analitik pengaruh
pemasangan kateter terhadap kadar antigen spesifik prostat dalam darah pada
pasien hyperplasia prostat jinak dengan retensi urine. JURI, 10:1‐8, 2003.
28. Prasetyawan W, Sumardi R. Korelasi antara volume residu urine dan adanya
obstruksi pada penderita dengan simtom BPH dengan menggunakan pressure flow
study. JURI, 10: 19‐21, 2003.
29. Lukacs B, Cornu JN, Aout M, Tessier N, Hodee C, Haab F, et al. Management of
lower urinary tract symptoms related to benign prostatic hyperplasia in real‐life
practice in france: a comprehensive population study. Eur Urol. 2013
Sep;64(3):493--‐501. doi: 10.1016/j.eururo.2013.02.026. Epub 2013 Feb 26.
30. Kilic M, Ozdemir A, Altinova S, Et Al. What is the best radiological method to
predict the actual weight of the prostate? Turk J Med Sci. (2014) 44: 31‐5.
31. Setiati, Siti, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. 6 Jilid 1. Jakarta:
InternaPublishing. 2014
32. Deters, Levi A. Benign Prostatic Hypertrophy, Dartmouth Hitchcock Medical
Centre. 2011
33. Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). Panduan Penatalaksanaan (Guidelines)
benign prostatic hyperplasia (BPH) di Indonesia. Surabaya; 2003.
34. Alam S, Dkk. Prostat. Jakarta: Gramedia. 2004
35. Andrew J. Stephenson. Neoplasms of the testis. In: Wein AJ, Kavoussi LR,
Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology.10th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
36. Velcheti, V., Karnik, S., Bardot, S. F., Pathogenesis of prostate cancer: lessons
from basic research. The Ochsner Journal: 8(4), 213-218.p. 2008
37. Solang, Valdo R. Profil Penderita Kanker Prostat Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Tahun 2013–2015. Jurnal e-Clinic (eCl), Vol. 4 No. 2. 2016
38. Sihite, Denny Setiady. Karakteristik Penderita Kanker Prostat yang Dirawat di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2015. Universitas
Sumatera Utara. 2016.
39. Rachmadi A. Kadar Gula Darah dan Kadar Hormon Testosterone pada Pria
Penderita Diabetes Melitus: Hubungannya dengan Disfungsi Seksual dan
Perbedaannya dengan yang Tidak Mengalami Disfungsi Seksual. Semarang;
2008.
40. Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran prostat jinak. Jurnal Kedokteran & Farmasi
Medika; 2002
41. Roehrborn CG, Gange SN, Shore ND, Giddens JL, Bolton DM, Cowan BE, et al.
Multi-Center Randomized Controlled Blinded Study of the Prostatic Urethral Lift
for the Treatment of LUTS Associated with Prostate Enlargement Due to BPH:
The L.I.F.T. Study. J Urol. 2013 Jun 10.

Anda mungkin juga menyukai