(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340)
• Yasri menyajikan salinan lengkap (alih-aksara dan alih-bahasa) dari "Pedoman Penulisan Aksara Jawa" yang terbit di
majalah Pusaka Jawi, Mei 1926.
• Dikenal sebagai "Sastra Sriwedari", pedoman atau standardisasi ini disepakati jauh sebelum Indonesia merdeka;
adalah capaian luar biasa karena mampu menyeragamkan banyak langgam penulisan aksara Jawa yang telah eksis
sekian abad sebelumnya.
• "Sastra Sriwedari" merupakan hasil keputusan Rapat Komisi Kesusasteraan 29 Oktober dan 31 Desember 1922.
Aksara Jawa, penulisannya telah disepakati jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni sejak 1924; dengan catatan, sebagian
kecil isu masih menjadi pertimbangan. Kesepakatan itu merupakan hasil kerja dari sebuah komisi bentukan suatu kongres
yang digelar dua tahun sebelumnya, Oktober dan Desember 1922, di Sriwedari, Surakarta. [1]
Kongres 1922 dihadiri beberapa perserikatan. Ada perserikatan guru, seperti: Normaalschool dan Kweekschool, pejabat
pemerintah, Balai Pustaka, serta perwakilan empat keraton Mataram (Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran,
Pakualaman). Ada pula perserikatan bahasa Jawa, seperti: Nitisastra, Kridhabasa, Kridhasastra, Garapbon, Mardibasa, dan
Paheman Radya Pustaka. Kesepakatan tentang wawaton (pedoman) bagi penulisan aksara Jawa inilah yang belakangan
dikenal sebagai "Sastra Sriwedari".
Sastra Sriwedari adalah prakarsa sekaligus capaian yang luar biasa. Bayangkan, sejak dulu, yang namanya keseragaman
dalam penulisan aksara Jawa, itu belum pernah ada. Apalagi, ketidakseragaman penulisan aksara Jawa di keempat keraton
Mataram justru dianggap (baca: diagung-agungkan) sebagai ikon adiluhung serta unikum atau ciri khas masing-masing
sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan. Sedemikian khasnya, unikum penulisan aksara Jawa itu sampai bisa menjadi
pengidentifikasi tarikh dan/atau tempat asal naskah atau manuskrip anonim kuno. Pendek kata, standardisasi yang harus
dipatuhi oleh para penulis Jawa memang belum ada hingga awal abad XX. Pada awal abad XX-lah kesadaran bersama
penerapan standardisasi penulisan aksara Jawa tumbuh seiring dengan tumbuhnya gagasan memajukan bangsa dan
nasionalisme rakyat Hindia-Belanda: sebuah peran krusial yang dimainkan oleh budaya. [2]
Komisi Kongres 1922 diketuai Wuryaningrat, seorang aktivis-nasionalis yang gigih putra (tertua dari istri pertama) Patih
Sasradiningrat IV yang diambil menantu oleh Pakubuwana X. Komisi kongres dikenal pula sebagai "Komisi 10 Golongan" atau
"Komisi Besar" (Komisi Agêng). Wuryaningrat adalah sosok penting dari awal-awal pergerakan nasionalisme Indonesia. Cucu
Pakubuwana IX itu pernah menjabat sebagai Ketua Boedi Oetomo beberapa periode (1916-21, 1922-25 dan 1933-35) serta
Ketua Partai Indonesia Raya setelah dijabat Dokter Soetomo (1935-38). Luar biasa aktifnya, bangsawan bergelar Raden Mas
Arya yang pejabat tinggi Kasunanan berpangkat Bupati Nayaka itu pada saat kongres pun masih merangkap sebagai
pimpinan dari sejumlah organisasi lainnya, seperti Radya Pustaka dan Narpa Wandawa. [3]
Pada era Wuryaningrat-lah kajian bahasa dan budaya Jawa berkembang pesat, terutama melalui organisasi atau institusi
yang dipimpinnya itu. Satu capaian yang paling menonjol adalah Sastra Sriwedari. Pada pertemuan (vergadering) kongres
Desember 1929, lebih dari 200 orang hadir berpartisipasi. [4] Pada Komisi Besar itu, anggota yang memiliki hak suara tidak
sedikit yang kelak namanya kita kenal sebagai pakar-pakar penting dalam kajian bahasa dan budaya kontemporer di seluruh
Jawa. [5]
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 1/14
Penyusunan Sastra Sriwedari berlangsung setahun lebih.
2/11/2019 Sastra Jawavergadering
Setelah - PengetahuanKomisi
Bahasa Besar yang berlangsung pada 29
Sastradan
Oktober Sriwedari
31 Desember 1922, dibentuklah "Komisi Kecil" (Komisi Alit) - foto para anggotanya ditampilkan di bawah (Komisi
5 Golongan). Komisi Kecil ditugasi menyusun risalah atau notulensi, termasuk keputusan-keputusan yang telah
diketokpalukan. Risalah itu lantas dibagikan ke perwakilan-perwakilan
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340) di Komisi Besar untuk dimintakan koreksi, tinjauan,
dan/atau persetujuan atas kontennya. Pada April 1923, Komisi Kecil meluncurkan pedoman versi perdana. Setelah komentar
(/sastra/media/katalog/1949/big/340_2520.jpg)
dan masukan atas versi perdana diterima, diluncurkanlah
cari ... versi kedua pada September 1923. Versi kedua terdiri dari
16 keputusan atau pasal yang mengetengahkan tata-cara penulisan aksara Jawa.
Para anggota "Komisi 5 Golongan" (Komisi Kecil) berfoto bersama. Tugas khusus yang diberikan oleh Komisi Besar kepada Komisi Kecil itu
adalah menyusun pedoman penulisan aksara Jawa. [6]
Draf dari Komisi Kecil lalu mendapat tinjauan atau koreksi dari beberapa institusi. Departemen Pendidikan dan Balai Pustaka,
misalnya, mengajukan tinjauannya pada sekitar lima bulan kemudian, yakni pada Maret 1924. Kasunanan dan Radya Pustaka
pun menyusul tak lama kemudian. Pada masing-masing tinjauan masih tersua beberapa hal yang belum disetujui. Kendati
demikian, setelah Maret 1924, dalam risalah tentang kegiatan-kegiatan Komisi itu tidak ada entri lanjutan. Bukti bahwa versi
baru telah didistribusikan kembali pada saat itu pun belum ditemukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut untuk mengetahui hasil selanjutnya, selain juga analisis terkait ajuan pendapat dari masing-masing institusi dan
perkumpulan kala itu.
Juni 1925, seorang anggota Komisi Besar, Mas Sastrawirya (PGB), mengangkat isu mengenai pedoman penulisan aksara
Jawa. Sastrawirya mengeluhkan belum kunjung diumumkannya kerja kolaboratif yang melibatkan pemerintah, keraton-
keraton, dan sekian perkumpulan itu. "Biarpun toh masih seadanya, hasil kongres harus segera diumumkan karena itu akan
menjadi sempurna dengan adanya perubahan," demikian tulis Sastrawirya di majalah Pusaka Jawi pada Juni 1925 dalam
artikelnya, "Basa tuwin Kasusastran Jawi". Asalkan rajin saban tahun menggelar kongres bahasa dan sastra Jawa,
Sastrawirya meyakini, lama-kelamaan hasilnya akan sempurna dan keputusan kongres pun pasti akan kian bagus. [7]
Setahun kemudian (Mei 1926), majalah yang sama, Pusaka Jawi, memublikasikan pedoman penulisan aksara Jawa, lengkap
dengan 17 keputusan (pasal)-nya: Karampungan Pangrêmbagipun Wêwaton Panyêratipun Têmbung Jawi Mawi Sastra Jawi,
miturut Putusan Parêpatan Kumisi Kasusastran Marêngi kaping 29 Oktobêr 1922 sarta 31 Dhesèmbêr 1922 (Hasil Keputusan
Pembahasan Pedoman Penulisan Kata Jawa Menggunakan Aksara Jawa, menurut Keputusan Rapat Komisi Kesusasteraan
pada 29 Oktober dan 31 Desember 1922). [8] Boleh jadi terpicu oleh artikel Sastrawirya, yang jelas, akhirnya pemerintah
menerbitkan pedoman itu pada tahun yang sama. [9]
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 2/14
Yasri menyajikan salinan lengkap (alih-aksara dan alih-bahasa)
2/11/2019 dari- Pengetahuan
Sastra Jawa edisi pedoman penulisan aksara Jawa yang terbit di
Bahasa
SastraJawi
Pusaka Sriwedari
. Pertimbangan Yasri adalah, pada era masa kini, pedoman tersebut ternyata tak berkurang arti pentingnya,
terutama sebagai sinambungan gerak dari budaya masa lalu yang mengilhami penyusunan awalnya. Meminjam harapan Mas
Sastrawirya, semoga salinan berikut bisa menuai banyak respons
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340) berupa
analisis dan kajian lebih lanjut. Tujuannya, agar
kawruh tata-cara penulisan aksara Jawa mendapatkan tempat sepantasnya sebagai bagian dari warisan budaya Jawa,
(/sastra/media/katalog/1949/big/340_2520.jpg)
Indonesia, bahkan dunia. cari ...
Hasil Keputusan Pembahasan Pedoman Penulisan Kata Jawa Menggunakan Aksara Jawa, menurut
Keputusan Rapat Komisi Kesusasteraan pada tanggal 29 Oktober 1922 dan 31 Desembêr 1922.
I. Kata Dasar
1. Kata dasar ditulis tidak mengulang aksara. Misalnya: tun [tuna], wni [wani], sert\ [sêrat], Xz [lênga],
bvu [banyu], fan [dahana]. Tidak ditulis: tunN [tunna], wnNi [wanni], se/rt\ [sêrrat], X=z [lêngnga],
Adapun: rayu [rahayu]. Meskipun bukan kata dasar juga tidak ditulis: rhayu [rahhayu]. Karena berasal dari
2. Kata dasar yang memiliki tiga suku kata berawal suku kata terbuka. Meskipun di awal kata dasar tersebut
menggunakan sandangan pepet, tetap ditulis apa adanya. Misalnya: ngr [nagara], slk [salaka], wtr
3. Kata dasar yang memiliki tiga suku kata berawal suku kata tertutup berakhir aksara hidung, ditulis seperti
pengucapannya. Misalnya:
jemPn [jêmpana].
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 3/14
2/11/2019 Sastra Jawa - Pengetahuan Bahasa
4. Suku kata yang bukan suku kata terakhir tidak bisa menggunakan pepet layar, apabila tidak diberi keret, hanya boleh
Sastra Sriwedari
diberi layar. Misalnya: f}kuku [drêkuku], g}ji [grêji], w/n [warna], w/t [warta]. Kecuali kata-kata asing yang
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340)
5. Dalam satu kata, pasangan: c [ca], j [ja], tidak boleh ada di bawah aksara: n [na], harus berubah aksara: v
6. Kata: kLp [klapa], tidak ditulis klp [kalapa]. bÓ|f( [bludru], tidak ditulis bluf( [baludru]. Dan
sebagainya. Tetapi apabila diperlukan, baru boleh ditulis: klp [kalapa], bluf( [baludru].
7. [fov [donya], serta: [sov [sonya], ditulis menggunakan taling tarung [o], bukan menggunakan suku [u].
8. Kata asing yang sudah digunakan dalam kata Jawa, penulisannya berdasarkan pengucapan kata asing tersebut,
1. Bunyi Sengau
Ha. Apabila di awal kata dasar luluh, awalan bunyi sengaunya tidak ditulis menggunakan: a [ha]. Misalnya:
ztg\ [ngatag], nnT= [nantang], vmBe/ [nyambêr], m]nt [mranata]. Apabila diperlukan boleh ditulis:
Na. Apabila pada awal kata dasar tidak luluh, misalnya: anFf/ [andadar], avJketet\ [anjakêtêt], anDede/
[andhêdhêr], a=giqi= [anggithing], amB|w= [ambuwang], tidak boleh ditulis: ff/ [dadar], jketet\
2. Kata-kata kerja aktif yang awal kata dasarnya luluh dengan awalan bunyi sengau, apabila mendapat awalan: p [pa],
awalan kata kerja aktif tersebut tidak diulang, misalnya: pnemBh [panêmbah], pvekel\ [panyêkêl], bukan
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 4/14
2/11/2019 Sastra Jawa - Pengetahuan Bahasa
3. Bawa : k [ka].
Sastra Sriwedari
Kata bawa: k [ka], yang awalannya tidak luluh dengan
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340) kata dasar, awalan: k [ka], harus dipepet, misalnya:
awal
keffk\ [kêdadak].
(/sastra/media/katalog/1949/big/340_2520.jpg) cari ...
4. Kata yang berawal aksara: a [ha], apabila diberi awalan: pi [pi], p]i [pri], tidak berubah, misalnya: pia=kuh
[piangkuh], pia[won\ [piawon], pial [piala]. Yang menyimpang, awalnya berubah menjadi: y [ya],
Sisipan: r [ra], l [la]. Ditulis sesuai kata bentukan setelah mendapat sisipan, misalnya: p}nÒ|l\ [prêntul],
jLerit\ [jlêrit], gLex= [glêrêng], tidak ditulis: pxnÒ|l\ [parêntul], jXrit\ [jalêrit], gXx= [galêrêng].
Jika diperlukan boleh ditulis: pxnÒ|l\ [parêntul], jXrit\ [jalêrit], gXx= [galêrêng].
2. Sisipan: n [na], misalnya: pinyu=zn\ [pinayungan], ditulis tanpa menggunakan pasangan: n [na].
1. Akhiran yang berawal aksara: a [ha], apabila dilekatkan pada suku kata tertutup: a [ha] berubah menjadi aksara
tertutup tersebut, seperti: awnN [awanna], wt[kK [watakke], XXsSn\ [lêlêssan], n=gpPi
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 5/14
2/11/2019 Sastra Jawa - Pengetahuan Bahasa
2. Akhiran: a [a].
Sastra Sriwedari
Ha. Apabila terletak dibelakang suku kata terbuka, tetap
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340) a [a], misalnya: bisa [bisaa].
ditulis:
apabila kata tersebut bukan: y [ya], misalnya: wniy [waniya], [d[dy [dhedheya], tetapi:
suku
[kapriyeya].
Ca. Berubah menjadi: w [wa], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka: suku [u], atau: taling tarung [o],
sedangkan apabila bukan suku kata: w [wa], misalnya: niruw [niruwa], [bo[dow [bodhowa], tetapi:
nwua [nawua], cu[woa [cuwoa], tidak ditulis: nwuw [nawuwa], cu[wow [cuwowa].
3. Akhiran: [a [e], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, berubah menjadi: [n [ne], jadi tidak menggunakan
pasangan: n [na], misalnya: jr [jara] - jr[n [jarane], bukan jr[nN [jaranne]. alu [alu] - alu[n
4. Akhiran: ai [i], apabila terletak di belakang suku kata terbuka, dengan pertolongan akhiran: an\ [an] terlebih
dahulu, misalnya: pd [padha] - mdnNi [madhani]. genTi [gênti] - a=ge[nTnNi [anggêntènni]. bau [bau] -
amB[aonNi [ambaonni].
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 6/14
2/11/2019 Sastra Jawa - Pengetahuan Bahasa
5. Akhiran: an\ [an].
Sastra Sriwedari
Ha. Apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, yangmenggunakan
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340) sandangan: wulu [i], atau: taling [e], tidak luluh,
pg[dyn\
[pagadheyan]. Apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, yang menggunakan sandangan:
suku [u], atau: taling tarung [o], tidak luluh, awal akhiran berubah menjadi: w [wa], kados ta: lku [laku] -
Na. Ada beberapa kata yang pada akhir suku katanya diberi wignyan [h], menyimpang dari aturan IV. 1. misalnya:
weruh [wêruh] - kruwn\ [karuwan]. klih [kalih] - kliyn\ [kaliyan]. plih [palih] - pliyn\
[paliyan] (saudara sepersusuan). Tetapi: plihan\ [palihan] (krama), sedangkan ngoko: p[ron\
[paron].
Ca. Kata-kata pada bagian: Na, di atas, apabila mendapatkan akhiran: [a [e], maka wignyan [h] kadang-kadang
bisa muncul lagi, misalnya: kruwn\ [karuwan] - kruha[nN [karuhhane]. pliyn\ [paliyan] -
pliha[nN [palihhane]
6. Akhiran: aen\ [ên], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, berubah menjadi: nen\ [nên], misalnya: auj
7. Akhiran: an [ana]: apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, dengan pertolongan akhiran: an\ [an] terlebih
dahulu, misalnya: ab [aba] - zbnNn [ngabannana]. tli [tali] - t[lnNn [talènnana]. [p[p [pepe]
[gadhonnana].
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 7/14
2/11/2019 Sastra Jawa - Pengetahuan Bahasa
8. Akhiran: a[k [ake].
Sastra Sriwedari
Ha. Apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, sukukata tersebut
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340) ditutup dengan: k [ka] terlebih dahulu,
apabila suku kata: suku [u], berubah menjadi: taling tarung [o], misalnya: tp [tapa] - npkH[k
akhir
a[mBo[dokH[k [ambodhokake].
Na. Kata yang bersuku kata akhir konsonan mati: n [na], apabila mendapat akhiran: a[k [ake], ada yang
konsonan mati: n [na], berubah menjadi: k [ka], kemudian akhiran: a[k [ake], berubah menjadi:
k[a[wokK[k [kaewokkake].
9. Akhiran: n [na]. Apabila dilekatkan pada suku kata tertutup, tidak berubah, misalnya: [go[lk\ [golèk] -
[go[lkN [golèkna]. Apabila tujuannya untuk dipanjangkan, akhiran: n [na], boleh dipanjangkan menjadi
10. Akhiran: aipun\ [ipun], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, berubah menjadi: nipun\ [nipun], misalnya:
cuw [cuwa] - cuwnipun\ [cuwanipun]. [roti [roti] - [rotinipun\ [rotinipun]. putu [putu] -
pu[tonNipun\ [putonnipun].
11. Kata yang berupa wisesa na lingga, apabila mendapat akhiran: a [a], ditulis sesuai pengucapannya, jadi tanpa
menggunakan pasangan: n [na], misalnya: sbukKn\ [sabukkan] - sbukKn [sabukkana], tidak ditulis:
sbukKnN [sabukkanna].
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 8/14
2/11/2019 Sastra Jawa - Pengetahuan Bahasa
Kata dwipurwa yang berbentuk perulangan sandangan suara, misalnya: rigen\ [rigên] - ririgen\ [ririgên].
Sastra Sriwedari
t(k [truka] - tut(k [tutruka]. [wk [weka]
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340) - [w[wk
[weweka]. [bo[nDot\ [bondhot] -
[gogônda].
Kata yang berawalan: a [a], dan suku kata akhir berupa konsonan mati, jika dijadikan dwilingga (kata ulang), maka
kata awal pada bagian belakang tidak berubah menjadi konsonan mati tersebut, misalnya: alun\ [alun] -
Lanjutan dari Bab VI (Dwilingga), kata majemuk yang kata depannya bersuku kata akhir tertutup, serta kata di
belakangnya berawal aksara: a [a], awal aksara: a [a], tidak berubah, misalnya: aufnHrum\ [udan arum],
bukan aufnNrum\ [udan narum]. spitH[bon\ [sapit abon], bukan spitT[bon\ [sapit tabon].
Kata yang berawal aksara: a [a], r [ra], l [la], apabila terletak di belakang: ai= [ing], tidak berubah, misalnya:
ai=als\ [ing alas], ai=xmB= [ing rêmbang], ai=lt/ [ing latar]. Ada beberapa kata yang menyimpang,
misalnya: ai=zi[so/ [ing ngisor], ai=znDp\ [ing ngandhap], ai=zxp\ [ing ngarêp], ai=zj_ [ing ngajêng],
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 9/14
2/11/2019 Sastra Jawa - Pengetahuan Bahasa
Gembung
Sastra tidak boleh dilekatkan pada pasangan yang letaknya ditulis di bawah aksara yang dipasangi, misalnya:
Sriwedari
ank\kW[lon\ [anak kwalon], tidak ditulis ankÑÈ[lon\ [anak kwalon], rimBg\fWipu/w [rimbag
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340)
X. Aksara Murda
1. Aksara murda hanya digunakan untuk tataprunggu artinya hanya untuk penghormatan, sedangkan penulisan
1. Ha. Aksara suara: A [a], I [i], E [e], U [u], O [o], untuk menulis kata asing, apabila ingin ditonjolkan.
2. A [a], I [i], E [e], U [u], O [o]. Tidak boleh menjadi pasangan maka harus dimatikan dengan tanda pangku,
misalnya: wuln\Ap]il\ [wulan April]. X [lê]: apabila menjadi pasangan harus dikembalikan …Le [lê] misalnya:
a[folLez [adol lênga], ae[folLen\ [êdollên]. x [rê], pasangannya tetap: > [rê].
1. Aksara rekan untuk menulis kata asing apabila ada yang perlu ditonjolkan.
2. Aksara rekan yang terletak setelah suku kata tertutup, apabila pasangan aksara rekan tersebut tidak terletak di
belakang konsonan mati, aksara konsonan mati tersebut harus diberi tanda pangku, misalnya: muk\t+i/ [Muktsir],
3. Aksara rekan apabila mendapat sandangan: wulu, pepet, cecak, atau layar, cecak tiga tersebut diletakkan di depan
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 10/14
2/11/2019 Sastra Jawa - Pengetahuan Bahasa
XIII. Angka
Sastra Jawa
Sriwedari
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340)
Angka Jawa hanya boleh digunakan untuk mengurutkan bab serta untuk penulisan waktu.
(/sastra/media/katalog/1949/big/340_2520.jpg) cari ...
XIV. Angka Romawi
Angka Romawi boleh digunakan pada penulisan aksara Jawa, yaitu untuk mengurutkan angka tahun dan
Aksara Latin berserta angkanya apabila ditulis bersama dengan aksara Jawa: disejajarkan, jadi penulisannya ikut di
bawah garis.
Aksara Arab serta angkanya, jika ditulis bersama dengan aksara Jawa, disejajarkan, jadi penulisannya ikut di bawah
garis.
XVII. Angka 2
Angka 2 tidak boleh digunakan untuk menyingkat kata: skliyn\ [sakaliyan], atau kata dwilingga (kata
ulang), misalnya: pzbekTiskliyn\ [pangabêkti sakaliyan], tidak boleh ditulis: pzbekT2i yn\
Catatan kaki:
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 11/14
2/11/2019 Sastra Jawa - Pengetahuan Bahasa
1. Keterangan tentang kongres ini beserta keputusan-keputusannya mengenai penulisan aksara Jawa dapat ditemukan
Sastra Sriwedari
di Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi (/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/895-
pengetan-rembag-radya-pustaka-bab-panyerat-kasusastran-jawi-putra-nitipraja-1923-24-688-hlm-001-127), Putra
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340)
Nitipraja,
1923-24. MS. Sasana Pustaka 173 Ca. (kembali)
3. Setahun setelah Radya Pustaka direlokasi ke Sriwedari (1913), Wuryaningrat terpilih sebagai pangarsanya hingga 1927.
Perkumpulan Narpa Wandawa didirikan pada 1914, tempat Wuryaningrat menjadi presidennya hingga 1927. Pada
kurun-kurun itu juga, Wuryaningrat pun menjadi anggota Panitia Pengembangan Budaya Jawa (Comité voor
Javaansche Cultuurontwikkeling, 1918). (kembali)
4. Jumlah kehadiran peserta di (vergadering) Desember 1922 di Sriwedari - termasuk 9 perwakilan dari komisi
(semestinya 10 perwakilan, tetapi Normaalschool tidak ikut rapat ke-dua ini) dan 7 perwakilan dari perkumpulan -
kurang-lebih 180 tamu. Lihat: Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi (/bahasa-dan-
budaya/pengetahuan-bahasa/895-pengetan-rembag-radya-pustaka-bab-panyerat-kasusastran-jawi-putra-nitipraja-
1923-24-688-hlm-001-127), op. cit., hlm. 119-120. (kembali)
5. Komisi yang dibentuk untuk pertemuan 29 Oktober dan 31 Desember 1922 itu mencakup 10 perwakilan (Komisi 10
Golongan). Anggota masing-masing adalah: (1) Kasunanan: Radèn Ngabèi Nitipraja dan Mas Ngabèi Èsmutani;
(2) Kasultanan: Radèn Tumênggung Jayadipura, Mas Wadana Dwijasewaya, dan Radèn Panèwu Jiwadipraja;
(3) Mangkunagaran: Radèn Ngabèi Citrasêntana dan Mas Wôngsadiarja; (4) Pakualaman: Radèn Panji Jayèngpranata
dan Radèn Mas Ngabèi Sasrasudarsa; (5) Paheman Radya Pustaka: Radèn Ngabèi Suradipura, Mas Ngabèi Prajapustaka,
dan Mas Ngabèi Prawiratmaja; (6) Kweekschool: Mas Suwardi, pada pertemuan 31 Desember 1922, wakilnya diganti
oleh Mas Jaya Sugito dan Radèn Brata Harjiya; (7) Normaalschool: Mas Ngabèi Arjasudira dan Radèn Ngabèi
Brataharjita, pada pertemuan 31 Desember 1922 tidak ada wakil; (8) Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB): Mas
Ngabèi Yasawidagda dan Mas Andaga Wedyakaryasa; (9) Persatuan Guru Bantu (PGB): Radèn Sutarman, Mas
Sastrawirya, dan Mas Tôndhadisastra; (10) Balai Pustaka: tidak mengirim wakil di pertemuan 29 Oktober 1922, tapi
menyampaikan masukan secara tertulis, adapun pada pertemuan 31 Desember 1922, Radèn Kamil hadir sebagai wakil.
Lihat: Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi (/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-
bahasa/895-pengetan-rembag-radya-pustaka-bab-panyerat-kasusastran-jawi-putra-nitipraja-1923-24-688-hlm-001-
127), op. cit., hlm. 25-26, 118-120). (kembali)
6. Sumber foto: Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi (/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-
bahasa/895-pengetan-rembag-radya-pustaka-bab-panyerat-kasusastran-jawi-putra-nitipraja-1923-24-688-hlm-001-
127), op. cit., hlm. 1. (kembali)
7. "Pancènipun sawontên-wontênipun lajêng kêdah dipun limrahakên, dene sampurnanipun kalihan dipun ewahi.
Anggêripun sabên taun dipun wontênakên konggrès bab basa tuwin kasusastran Jawi, dangu-dangu inggih badhe
sampurna. Putusaning konggrès saya dangu masthi sangsaya sae." Lihat: Sêrat Gancaran Warni-warni ing Jaman
Punika (/bahasa-dan-budaya/kagunan/241-gancaran-warni-warni-ing-jaman-punika-mellema-1933-460-hlm-001-132),
op. cit., hlm. 3. Mas Sastrawirya adalah pakar kondang bahasa Jawa. Ia penerima hadiah pertama dalam sayembara
tata-bahasa Jawa yang digelar Pusaka Jawi. (kembali)
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 12/14
2/11/2019 Sastra Jawa - Pengetahuan Bahasa
8. 'Karampungan Pangrêmbagipun Wêwaton Panyêratipun Têmbung Jawi Mawi Sastra Jawi, miturut Putusan Parêpatan
Sastra Sriwedari
Kumisi Kasusastran marêngi kaping 29 Oktobêr 1922 sarta 31 Dhesèmbêr 1922', Pusaka Jawi (/koran-majalah-dan-
jurnal/pusaka-jawi/2511-pusaka-jawi-java-instituut-1926-05-340), Java Instituut, Mei 1926, hlm. 65-70. (kembali)
(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340)
9. Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka (/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-
(/sastra/media/katalog/1949/big/340_2520.jpg) cari ...
bahasa/2576-wawaton-panyeratipun-tembung-jawi-kumisi-kasusastran-1926-366), mitoeroet Poetoesan Parepatan
Koemisi Kasoesastran ing Sriwedari (Soerakarta). Landsdrukkerij - Weltevreden: 1926. Lihat juga foto aslinya: Wawaton
Panyêratipun
Têmbung
Jawi (/arsip-dan-sejarah/galeri/2577-wawaton-panyeratipun-tembung-jawi-kumisi-
kasusastran-1926-366), Kumisi Kasusastran, 1926, #366. (kembali)
10. Bandingkan versi Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka (/bahasa-dan-
budaya/pengetahuan-bahasa/2576-wawaton-panyeratipun-tembung-jawi-kumisi-kasusastran-1926-366), op. cit.,
hlm. 3: "Makatên ugi: ra/j [raharja], raj_ [rahajêng], lan sapanunggilanipun." (kembali)
11. Bandingkan versi Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka (/bahasa-dan-
budaya/pengetahuan-bahasa/2576-wawaton-panyeratipun-tembung-jawi-kumisi-kasusastran-1926-366), op. cit.,
hlm. 4: "Namung manawi wontên prêlunipun, upami kadamêl njangkêpakên guru wicalaning sêkar, sawêg kenging
kasêrat: ...". (kembali)
14. Di versi Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka (/bahasa-dan-
budaya/pengetahuan-bahasa/2576-wawaton-panyeratipun-tembung-jawi-kumisi-kasusastran-1926-366), op. cit.,
hlm. 12, terdapat contoh tambahan nomor 3. (kembali)
Kategori
Agama dan Kepercayaan
Katalog
cari ...
Koleksi
cari ...
Penanggalan
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 13/14
Senin 11 Februari 2019 AD.
2/11/2019 Sastra Jawa - Pengetahuan Bahasa
Sastra
2019 Sriwedari
Februari 11
Sênèn(https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=340)
Pahing 5 Jumadilakir Be 1952 AJ.
1952 Jumadilakir 5
(/sastra/media/katalog/1949/big/340_2520.jpg) cari ...
Kurup: 4. Salasiyah. Windu: 3. Sêngara. Pranatamôngsa: 8. Kawolu. Wuku: 18. Mrakèh. Padangon: 1. Dangu. Padewan: 7. Bathara Kala.
Paringkêlan:
1. Tungle.
Leksikon
cari ...
Telusuri
cari ...
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 14/14