58 Sastra Sriwedari
Sastra Jawa
Huruf Jawa
Sastra Sriwedari
Judul Sambungan Citra cari ...
Terakhir diubah: 01-09-2022
• Dikenal sebagai "Sastra Sriwedari", pedoman atau standardisasi ini disepakati jauh
sebelum Indonesia merdeka; adalah capaian luar biasa karena mampu
menyeragamkan banyak langgam penulisan aksara Jawa yang telah eksis sekian abad
sebelumnya.
Aksara Jawa, penulisannya telah disepakati jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni sejak
1924; dengan catatan, sebagian kecil isu masih menjadi pertimbangan. Kesepakatan itu
merupakan hasil kerja dari sebuah komisi bentukan suatu kongres yang digelar dua tahun
sebelumnya, Oktober dan Desember 1922, di Sriwedari, Surakarta. [1]
Kongres 1922 dihadiri beberapa perserikatan. Ada perserikatan guru, seperti: Normaalschool
dan Kweekschool, pejabat pemerintah, Balai Pustaka, serta perwakilan empat keraton
Mataram (Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, Pakualaman). Ada pula perserikatan
bahasa Jawa, seperti: Nitisastra, Kridhabasa, Kridhasastra, Garapbon, Mardibasa, dan
Paheman Radya Pustaka. Kesepakatan tentang wawaton (pedoman) bagi penulisan aksara
Jawa inilah yang belakangan dikenal sebagai "Sastra Sriwedari".
Sastra Sriwedari adalah prakarsa sekaligus capaian yang luar biasa. Bayangkan, sejak dulu,
yang namanya keseragaman dalam penulisan aksara Jawa, itu belum pernah ada. Apalagi,
ketidakseragaman penulisan aksara Jawa di keempat keraton Mataram justru dianggap
(baca: diagung-agungkan) sebagai ikon adiluhung serta unikum atau ciri khas masing-
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 1/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
(baca: d agu g agu g a ) sebaga o ad u u g se ta u u atau c as as g
masing sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan. Sedemikian khasnya, unikum penulisan
aksara Jawa itu sampai bisa menjadi pengidentifikasi tarikh dan/atau tempat asal naskah
atau manuskrip anonim kuno. Pendek kata, standardisasi yang harus dipatuhi oleh para
penulis Jawa memang belum ada hingga awal abad XX. Pada awal abad XX-lah kesadaran
bersama penerapan standardisasi penulisan aksara Jawa tumbuh seiring dengan tumbuhnya
gagasan memajukan bangsa dan nasionalisme rakyat Hindia-Belanda: sebuah peran krusial
yang dimainkan oleh budaya. [2]
Komisi Kongres 1922 diketuai Wuryaningrat, seorang aktivis-nasionalis yang gigih putra
(tertua dari istri pertama) Patih Sasradiningrat IV yang diambil menantu oleh Pakubuwana X.
Komisi kongres dikenal pula sebagai "Komisi 10 Golongan" atau "Komisi Besar" (Komisi
Agêng). Wuryaningrat adalah sosok penting dari awal-awal pergerakan nasionalisme
Indonesia. Cucu Pakubuwana IX itu pernah menjabat sebagai Ketua Boedi Oetomo beberapa
periode (1916-21, 1922-25 dan 1933-35) serta Ketua Partai Indonesia Raya setelah dijabat
Dokter Soetomo (1935-38). Luar biasa aktifnya, bangsawan bergelar Raden Mas Arya yang
pejabat tinggi Kasunanan berpangkat Bupati Nayaka itu pada saat kongres pun masih
merangkap sebagai pimpinan dari sejumlah organisasi lainnya, seperti Radya Pustaka dan
Narpa Wandawa. [3]
Pada era Wuryaningrat-lah kajian bahasa dan budaya Jawa berkembang pesat, terutama
melalui organisasi atau institusi yang dipimpinnya itu. Satu capaian yang paling menonjol
adalah Sastra Sriwedari. Pada pertemuan (vergadering) kongres Desember 1929, lebih dari
200 orang hadir berpartisipasi. [4] Pada Komisi Besar itu, anggota yang memiliki hak suara
tidak sedikit yang kelak namanya kita kenal sebagai pakar-pakar penting dalam kajian
bahasa dan budaya kontemporer di seluruh Jawa. [5]
Penyusunan Sastra Sriwedari berlangsung setahun lebih. Setelah vergadering Komisi Besar
yang berlangsung pada 29 Oktober dan 31 Desember 1922, dibentuklah "Komisi Kecil"
(Komisi Alit) - foto para anggotanya ditampilkan di bawah (Komisi 5 Golongan). Komisi Kecil
ditugasi menyusun risalah atau notulensi, termasuk keputusan-keputusan yang telah
diketokpalukan. Risalah itu lantas dibagikan ke perwakilan-perwakilan di Komisi Besar untuk
dimintakan koreksi, tinjauan, dan/atau persetujuan atas kontennya. Pada April 1923, Komisi
Kecil meluncurkan pedoman versi perdana. Setelah komentar dan masukan atas versi
perdana diterima, diluncurkanlah versi kedua pada September 1923. Versi kedua terdiri dari
16 keputusan atau pasal yang mengetengahkan tata-cara penulisan aksara Jawa.
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 2/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
Para anggota "Komisi 5 Golongan" (Komisi Kecil) berfoto bersama. Tugas khusus yang diberikan oleh
Komisi Besar kepada Komisi Kecil itu adalah menyusun pedoman penulisan aksara Jawa. [6]
Draf dari Komisi Kecil lalu mendapat tinjauan atau koreksi dari beberapa institusi.
Departemen Pendidikan dan Balai Pustaka, misalnya, mengajukan tinjauannya pada sekitar
lima bulan kemudian, yakni pada Maret 1924. Kasunanan dan Radya Pustaka pun menyusul
tak lama kemudian. Pada masing-masing tinjauan masih tersua beberapa hal yang belum
disetujui. Kendati demikian, setelah Maret 1924, dalam risalah tentang kegiatan-kegiatan
Komisi itu tidak ada entri lanjutan. Bukti bahwa versi baru telah didistribusikan kembali pada
saat itu pun belum ditemukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui hasil selanjutnya, selain juga analisis terkait ajuan pendapat dari masing-masing
institusi dan perkumpulan kala itu.
Juni 1925, seorang anggota Komisi Besar, Mas Sastrawirya (PGB), mengangkat isu mengenai
pedoman penulisan aksara Jawa. Sastrawirya mengeluhkan belum kunjung diumumkannya
kerja kolaboratif yang melibatkan pemerintah, keraton-keraton, dan sekian perkumpulan itu.
"Biarpun toh masih seadanya, hasil kongres harus segera diumumkan karena itu akan
menjadi sempurna dengan adanya perubahan," demikian tulis Sastrawirya di majalah Pusaka
Jawi pada Juni 1925 dalam artikelnya, "Basa tuwin Kasusastran Jawi". Asalkan rajin saban
tahun menggelar kongres bahasa dan sastra Jawa, Sastrawirya meyakini, lama-kelamaan
hasilnya akan sempurna dan keputusan kongres pun pasti akan kian bagus. [7]
Setahun kemudian (Mei 1926), majalah yang sama, Pusaka Jawi, memublikasikan pedoman
penulisan aksara Jawa lengkap dengan 17 keputusan (pasal)-nya: Karampungan
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 3/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
penulisan aksara Jawa, lengkap dengan 17 keputusan (pasal) nya: Karampungan
Pangrêmbagipun Wêwaton Panyêratipun Têmbung Jawi Mawi Sastra Jawi, miturut Putusan
Parêpatan Kumisi Kasusastran Marêngi kaping 29 Oktobêr 1922 sarta 31 Dhesèmbêr 1922
(Hasil Keputusan Pembahasan Pedoman Penulisan Kata Jawa Menggunakan Aksara Jawa,
menurut Keputusan Rapat Komisi Kesusasteraan pada 29 Oktober dan 31 Desember 1922).
[8] Boleh jadi terpicu oleh artikel Sastrawirya, yang jelas, akhirnya pemerintah menerbitkan
pedoman itu pada tahun yang sama. [9]
Yasri menyajikan salinan lengkap (alih-aksara dan alih-bahasa) dari edisi pedoman penulisan
aksara Jawa yang terbit di Pusaka Jawi. Pertimbangan Yasri adalah, pada era masa kini,
pedoman tersebut ternyata tak berkurang arti pentingnya, terutama sebagai sinambungan
gerak dari budaya masa lalu yang mengilhami penyusunan awalnya. Meminjam harapan
Mas Sastrawirya, semoga salinan berikut bisa menuai banyak respons berupa analisis dan
kajian lebih lanjut. Tujuannya, agar kawruh tata-cara penulisan aksara Jawa mendapatkan
tempat sepantasnya sebagai bagian dari warisan budaya Jawa, Indonesia, bahkan dunia.
I. Kata Dasar
1. Kata dasar ditulis tidak mengulang aksara. Misalnya: tun [tuna], wni [wani], sert\
[sêrat], Xz [lênga], bvu [banyu], fan [dahana]. Tidak ditulis: tunN [tunna], wnNi
Adapun: rayu [rahayu]. Meskipun bukan kata dasar juga tidak ditulis: rhayu
[rahhayu]. Karena berasal dari kata: ayu [hayu], mendapat awalan: r [ra].
2. Kata dasar yang memiliki tiga suku kata berawal suku kata terbuka. Meskipun di awal kata
dasar tersebut menggunakan sandangan pepet, tetap ditulis apa adanya. Misalnya: ngr
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 4/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
3. Kata dasar yang memiliki tiga suku kata berawal suku kata tertutup berakhir aksara
[lênggana], jemPn [jêmpana].
4. Suku kata yang bukan suku kata terakhir tidak bisa menggunakan pepet layar, apabila
tidak diberi keret, hanya boleh diberi layar. Misalnya: f}kuku [drêkuku], g}ji [grêji],
w/n [warna], w/t [warta]. Kecuali kata-kata asing yang akan ditonjolkan. Misalnya:
5. Dalam satu kata, pasangan: c [ca], j [ja], tidak boleh ada di bawah aksara: n [na],
6. Kata: kLp [klapa], tidak ditulis klp [kalapa]. bÓ|f( [bludru], tidak ditulis bluf(
[baludru]. Dan sebagainya. Tetapi apabila diperlukan, baru boleh ditulis: klp [kalapa],
bluf( [baludru].
7. [fov [donya], serta: [sov [sonya], ditulis menggunakan taling tarung [o], bukan
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 5/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
8. Kata asing yang sudah digunakan dalam kata Jawa, penulisannya berdasarkan
1. Bunyi Sengau
Ha. Apabila di awal kata dasar luluh, awalan bunyi sengaunya tidak ditulis menggunakan:
Na. Apabila pada awal kata dasar tidak luluh, misalnya: anFf/ [andadar],
[ambuwang], tidak boleh ditulis: ff/ [dadar], jketet\ [jakêtêt], dede/ [dhêdhêr],
2. Kata-kata kerja aktif yang awal kata dasarnya luluh dengan awalan bunyi sengau, apabila
mendapat awalan: p [pa], awalan kata kerja aktif tersebut tidak diulang, misalnya: pnemBh
[pannyêkêl].
3. Bawa: k [ka].
Kata bawa: k [ka], yang awalannya tidak luluh dengan awal kata dasar, awalan: k [ka],
4. Kata yang berawal aksara: a [ha], apabila diberi awalan: pi [pi], p]i [pri], tidak berubah,
p]i[y=og [priyăngga].
Sisipan: r [ra], l [la]. Ditulis sesuai kata bentukan setelah mendapat sisipan, misalnya:
p}nÒ|l\ [prêntul], jLerit\ [jlêrit], gLex= [glêrêng], tidak ditulis: pxnÒ|l\ [parêntul],
pasangan: n [na].
1. Akhiran yang berawal aksara: a [ha], apabila dilekatkan pada suku kata tertutup: a [ha]
berubah menjadi aksara tertutup tersebut, seperti: awnN [awanna], wt[kK [watakke],
[rahabbana].
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 7/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
2. Akhiran: a [a].
Ha. Apabila terletak dibelakang suku kata terbuka, tetap ditulis: a [a], misalnya: bisa
[bisaa].
Na. Berubah menjadi: y [ya], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka: wulu [u], atau:
taling [i], sedangkan apabila suku kata tersebut bukan: y [ya], misalnya: wniy
Ca. Berubah menjadi: w [wa], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka: suku [u], atau:
taling tarung [o], sedangkan apabila bukan suku kata: w [wa], misalnya: niruw
3. Akhiran: [a [e], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, berubah menjadi: [n [ne],
jadi tidak menggunakan pasangan: n [na], misalnya: jr [jara] - jr[n [jarane], bukan
4. Akhiran: ai [i], apabila terletak di belakang suku kata terbuka, dengan pertolongan
akhiran: an\ [an] terlebih dahulu, misalnya: pd [padha] - mdnNi [madhani]. genTi
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 8/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
Ha. Apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, yang menggunakan sandangan: wulu [i],
atau: taling [e], tidak luluh, awal akhiran berubah menjadi: y [ya], misalnya: ffi
sandangan: suku [u], atau: taling tarung [o], tidak luluh, awal akhiran berubah menjadi:
j[gown\ [jagowan]
Na. Ada beberapa kata yang pada akhir suku katanya diberi wignyan [h], menyimpang dari
Ca. Kata-kata pada bagian: Na, di atas, apabila mendapatkan akhiran: [a [e], maka
6. Akhiran: aen\ [ên], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, berubah menjadi: nen\
[nên], misalnya: auj [uja] - aujnen\ [ujanên]. pnu [panu] - pnunen\ [panunên].
7. Akhiran: an [ana]: apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, dengan pertolongan
[gadhonnana].
Ha. Apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, suku kata tersebut ditutup dengan: k [ka]
terlebih dahulu, sedangkan akhiran tetap: a[k [ake], apabila akhir suku kata
tersebut: wulu [i], berubah menjadi: taling [e], apabila akhir suku kata: suku [u],
Na. Kata yang bersuku kata akhir konsonan mati: n [na], apabila mendapat akhiran:
a[k [ake], ada yang konsonan mati: n [na], berubah menjadi: k [ka], kemudian
akhiran: a[k [ake], berubah menjadi: k[k [kake], misalnya: pkn\ [pakan] -
[kaewokkake].
9. Akhiran: n [na]. Apabila dilekatkan pada suku kata tertutup, tidak berubah, misalnya:
[golèkêna].
i \
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 10/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
10. Akhiran: aipun\ [ipun], apabila dilekatkan pada suku kata terbuka, berubah menjadi:
[putonnipun].
11. Kata yang berupa wisesa na lingga, apabila mendapat akhiran: a [a], ditulis sesuai
Kata dwipurwa yang berbentuk perulangan sandangan suara, misalnya: rigen\ [rigên] -
Kata yang berawalan: a [a], dan suku kata akhir berupa konsonan mati, jika dijadikan
dwilingga (kata ulang), maka kata awal pada bagian belakang tidak berubah menjadi
al=zl= [alang-ngalang].
Lanjutan dari Bab VI (Dwilingga), kata majemuk yang kata depannya bersuku kata akhir
tertutup, serta kata di belakangnya berawal aksara: a [a], awal aksara: a [a], tidak
Kata yang berawal aksara: a [a], r [ra], l [la], apabila terletak di belakang: ai= [ing],
tidak berubah, misalnya: ai=als\ [ing alas], ai=xmB= [ing rêmbang], ai=lt/ [ing
latar]. Ada beberapa kata yang menyimpang, misalnya: ai=zi[so/ [ing ngisor],
Gembung tidak boleh dilekatkan pada pasangan yang letaknya ditulis di bawah aksara yang
[rimbag d ip r a]
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 12/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
[rimbag dwipurwa].
X. Aksara Murda
1. Aksara murda hanya digunakan untuk tataprunggu artinya hanya untuk penghormatan,
1.
Ha. Aksara suara: A [a], I [i], E [e], U [u], O [o], untuk menulis kata asing, apabila ingin
ditonjolkan.
2. A [a], I [i], E [e], U [u], O [o]. Tidak boleh menjadi pasangan maka harus dimatikan
dengan tanda pangku, misalnya: wuln\Ap]il\ [wulan April]. X [lê]: apabila menjadi
1. Aksara rekan untuk menulis kata asing apabila ada yang perlu ditonjolkan.
2. Aksara rekan yang terletak setelah suku kata tertutup, apabila pasangan aksara rekan
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 13/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
tersebut tidak terletak di belakang konsonan mati, aksara konsonan mati tersebut harus
3. Aksara rekan apabila mendapat sandangan: wulu, pepet, cecak, atau layar, cecak tiga
tersebut diletakkan di depan (kiri) sandangan, misalnya: fìikìi/ [dzikhir], p+/lu [farlu].
Angka Jawa hanya boleh digunakan untuk mengurutkan bab serta untuk penulisan waktu.
Angka Romawi boleh digunakan pada penulisan aksara Jawa, yaitu untuk mengurutkan
angka tahun dan sebagainya. Sedangkan aksara Latin bisa digunakan untuk nomor urut.
Aksara Latin berserta angkanya apabila ditulis bersama dengan aksara Jawa: disejajarkan,
Aksara Arab serta angkanya, jika ditulis bersama dengan aksara Jawa, disejajarkan, jadi
XVII. Angka 2
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 14/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
Angka 2 tidak boleh digunakan untuk menyingkat kata: skliyn\ [sakaliyan], atau
Desember 1922, wakilnya diganti oleh Mas Jaya Sugito dan Radèn Brata Harjiya;
(7) Normaalschool: Mas Ngabèi Arjasudira dan Radèn Ngabèi Brataharjita, pada
pertemuan 31 Desember 1922 tidak ada wakil; (8) Persatuan Guru Hindia Belanda
(PGHB): Mas Ngabèi Yasawidagda dan Mas Andaga Wedyakaryasa; (9) Persatuan
Guru Bantu (PGB): Radèn Sutarman, Mas Sastrawirya, dan Mas Tăndhadisastra;
(10) Balai Pustaka: tidak mengirim wakil di pertemuan 29 Oktober 1922, tapi
menyampaikan masukan secara tertulis, adapun pada pertemuan 31 Desember 1922,
Radèn Kamil hadir sebagai wakil. Lihat: Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab
Panyêrat Kasusastran Jawi, op. cit., hlm. 25-26, 118-120). (kembali)
6 Sumber foto: Pèngêtan Rêmbag Radya Pustaka Bab Panyêrat Kasusastran Jawi,
op. cit., hlm. 1. (kembali)
7 "Pancènipun sawontên-wontênipun lajêng kêdah dipun limrahakên, dene
sampurnanipun kalihan dipun ewahi. Anggêripun sabên taun dipun wontênakên
konggrès bab basa tuwin kasusastran Jawi, dangu-dangu inggih badhe sampurna.
Putusaning konggrès saya dangu masthi sangsaya sae." Lihat: Sêrat Gancaran Warni-
warni ing Jaman Punika, op. cit., hlm. 3. Mas Sastrawirya adalah pakar kondang bahasa
Jawa. Ia penerima hadiah pertama dalam sayembara tata-bahasa Jawa yang digelar
Pusaka Jawi. (kembali)
8 'Karampungan Pangrêmbagipun Wêwaton Panyêratipun Têmbung Jawi Mawi Sastra
Jawi, miturut Putusan Parêpatan Kumisi Kasusastran marêngi kaping 29 Oktobêr 1922
sarta 31 Dhesèmbêr 1922', Pusaka Jawi, Java Instituut, Mei 1926, hlm. 65-70. (kembali)
9 Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka,
mitoeroet Poetoesan Parepatan Koemisi Kasoesastran ing Sriwedari (Soerakarta).
Landsdrukkerij - Weltevreden: 1926. Lihat juga foto aslinya: Wawaton Panyêratipun
Têmbung Jawi, Kumisi Kasusastran, 1926, #366. (kembali)
Penanggalan
10 Bandingkan versi Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi
Dalasan Angka, op. cit., hlm. 3: "Makatên ugi: ra/j [raharja], raj_ [rahajêng],
Sabtu 19 November 2022 M
2022 November 19
lan sapanunggilanipun." (kembali)
11 Sêtu Wage 24 Rabingulakir
Bandingkan Ehe AJ 1956
versi Wawaton PanjeratipoenTemboeng Djawi mawi Sastra Djawi
Dalasan Angka,
1956 op. cit., hlm. 4:
Rabingulakir 24 "Namung manawi wontên prêlunipun, upami kadamêl
njangkêpakên guru wicalaning sêkar, sawêg kenging kasêrat: ...". (kembali)
Kurup: 4. Salasiyah. Windu: 4. Sancaya. Pranatamăngsa: 6. Kanêm. Wuku: 4. Kurantil. Padangon: 7.
12 FontPadewan:
untuk aksara pasangan: dwParingkêlan:
tidak tersedia. (kembali)
Tulus. 4. Bathara Yamadipati. 4. Paningron.
13 Font untuk aksara pasangan: dw tidak tersedia. (kembali)
Leksikon
14 Di versi Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi Dalasan Angka,
it hl 12 t d t t ht b h
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari
3 (k b li) 16/17
19/11/22 07.58 Sastra Sriwedari
op. cit.,
cari ... hlm. 12, terdapat contoh tambahan nomor 3. (kembali)
Telusuri
cari ...
https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari 17/17