Skripsi
Skripsi
SKRIPSI
Oleh:
OCTAVIANNUS AMEN
062108022
Salam sejahtera. Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa bahwasanya telah memberikan rahmatnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul EFISIENSI PENGGUNAAN
Ca(OCl)2 DAN NaOCl SEBAGAI DESINFEKTAN PADA AIR HASIL
OLAHAN PDAM TIRTA PAKUAN KOTA BOGOR.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak H. Memet Gunawan, SE selaku Dirut PDAM Tirta Pakuan kota
Bogor.
2. Bapak Adi Gunadi, ST selaku kepala bagian produksi PDAM Tirta Pakuan
kota Bogor yang telah memberikan izin untuk penelitian.
3. Ibu Dr. Prasetyorini selaku Dekan Fakultas MIPA Universitas Pakuan
Bogor.
4. Bapak Dr. Sutanto, M.Si selaku pembimbing I yang selalu memberikan
arahan dan saran dalam pembuatan makalah ini.
5. Ibu Rinda lilianti, S.T, M.Si selaku pembimbing II di Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Tirta Pakuan yang berkenan membimbing dan
member masukan serta saran dalam proses praktikum dan pembuatan
makalah ini.
6. Bapak Drs. Husain Nashrianto, M.Si selaku ketua jurusan Kimia FMIPA
Universitas Pakuan Bogor.
7. Ibu Ade Heri Mulyati, M.Si selaku sekretaris jurusan Kimia FMIPA
Universitas Pakuan Bogor.
8. Bapak-bapak dan ibu-ibu staf PDAM Tirta Pakuan kota Bogor khususnya
para staf bagian Laboratorium yang telah banyak membantu penulis
selama melaksanakan penelitian dan menyusun makalah ini.
9. Kedua orang tua, kakak dan kakak iparku tercinta yang selalu memberikan
dukungan moriil dan materiil.
i
10. Alm. Aldy Krisni, Felix Wiliam, Nustian Sansidar, Lutfi Faujian, Varin
Oktavian yang selalu memberikan dukungan dalam penyusunan maka-
lah ini.
11. Kawan-kawan kimia angkatan 2008 (Zaenal, Oskar, Dheo, Agung dan
Dharma) yang sama-sama berjuang dan adik serta kaka kelas penulis
di kampus yang turut serta mendukung penulis menyusun makalah ini.
Akhir kata, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang dan semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Octaviannus Amen
ii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
RINGKASAN
SUMMARY
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vi
ii
2.6. Desinfeksi ................................................................................................. 7
2.6.1. Kalsium Hipoklorit (Ca(OCl)2 ........................................................... 8
2.6.2. Natrium Hipoklorit (NaOCl ............................................................... 9
2.6.3. Kelebihan dan Kekurangan Ca(OCl)2 dan NaOCl ............................. 9
2.7. Klorinasi .................................................................................................... 9
2.7.1. Reaksi Klor Dengan Air ..................................................................... 10
2.7.2. Reaksi Klor Dengan Amoniak ........................................................... 10
2.8. Titik Retak Klorinasi (Break Point Chlorination) .................................... 11
2.9. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Klorinasi ........................ 14
2.9.1. Pengaruh pH terhadap Klorinasi ........................................................ 14
2.9.2. Pengaruh Suhu Terhadap Klorinasi ................................................... 14
2.9.3. Pengaruh Konsentrasi Klor Dan Waktu Kontak Terhadap Klorinasi 15
2.10. Metode Penetapan Titik Retak Klorinasi (Break Point Chlorination .... 15
2.11. Spektrofotometri ..................................................................................... 16
iii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………. 24
4.1. Analisis Pendahuluan……………………………………………………… 24
4.1.1. Hasil Pengukuran Parameter Bakteriologi dan Kimia ....................... 24
4.1.2. Hasil Pengukuran Parameter Fisika ................................................... 25
4.2. Analisis Titik Retak Klorinasi .................................................................. 27
4.2.1. Penetapan Titik Retak Klorinasi ........................................................ 29
4.3. Biaya Produksi .......................................................................................... 30
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Skema Tahapan Pengolahan Air Pada Perusahaan Daerah
Air Minum Tirta Pakuan ............................................................... 6
Gambar 2. Grafik Titik Retak Klorinasi .......................................................... 12
Gambar 3. Jalan Cahaya Dalam Larutan ......................................................... 17
Gambar 4. Grafik Titik Retak Air Hasil Olahan PDAM Tirta Pakuan
Untuk Ca(OCl)2 ................................................................................................................... 28
Gambar 5. Grafik Titik Retak Air Hasil Olahan PDAM Tirta Pakuan
Untuk NaOCl ......................................................................................................................... 29
v
DAFTAR TABEL
Halaman
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Persyaratan Kualitas Air Bersih PDAM Kota Bogor Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan R.I No: 416 /MENKES/
PER/IX/1990……………………………………………….……. 36
Lampiran 2. Persyaratan Kualitas Air Minum PDAM Kota Bogor
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
492/Menkes/PER/IV/2010 ........................................................... 38
Lampiran 3. Diagram alir penelitian ................................................................ 39
Lampiran 4. Kurva standar klor dan contoh perhitungan residu klor .............. 40
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.4. Hipotesis
Desinfektan natrium hipoklorit dan kalsium hipoklorit memiliki
kemampuan yang berbeda, dan dapat dimanfaatkan untuk mengolah air hasil
olahan PDAM Tirta Pakuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Air
Air adalah sebuah zat yang ada di alam yang dalam kondisi normal di atas
permukaan bumi ini berbentuk cair, akan membeku pada suhu dibawah nol derajat
celcius dan mendidih pada suhu seratus derajat celcius. Para ahli kimia
mendefinisikannya terdiri dari dua unsur yaitu oksigen dengan dua lengan
mengikat hydrogen membentuk satu kesatuan disebut molekul. Setiap tetes air
yang dilihat terkandung di dalamnya bermilyar-milyar molekul tadi yang saling
tumpang-tindih, yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Indera penglihatan
hanya mampu untuk melihatt wujudnya sebagai zat cair, dapat dirasakan dengan
tangan dan lidah layaknya air, dibaui dengan hidung sebagai salah satu tanda
bahwa di dalam tubuh manusia terdapa triliyunan molekul-molekul air tersisip
dihampir semua organ tubuh manusia terutama otak, darah, paru-paru, jantung,
ginjal, otot dan hati. Secara total dapat dikatakan lebih dari tujuh puluh persen
bagian tubuh manusia ialah air.
Air adalah zat yang sangat dibutuhkan manusia, dengan terpenuhinya
kebutuhan air, maka proses metabolisme dalam tubuh manusia dapat berlangsung
dengan baik. Sebaliknya jika kekurangan air maka proses metabolisme akan
terganggu dan akibatnya akan menimbulkan dehidrasi yang berujung kematian.
Salah satu upaya pengamanan makanan dan minuman untuk melindungi
kesehatan masyarakat adalah pengawasan terhadap kualitas air minum. Hal
tersebut dikarenakan air minum merupakan salah satu komponen lingkungan yang
mempunyai peranan cukup besar dalam kehidupan. Air dari sumber air baku harus
melalui proses pengolahan terlebih dahulu sampai air tersebut memenuhi standar
kesehatan.
Gambar.1 Skema Tahapan Pengolahan Air Pada Perusahaan Daerah Air Minum
Sumber: PDAM (1992)
1). Penyaringan Awal (Screening), penyaringan awal ditujukan untuk
memisahkan air dari benda-benda apung, kotoran-kotoran berupa daun, cabang
atau ranting pohon, sampah dan benda lainnya yang terdapat dalam aliran sungai.
2). Pra-sedimentasi, yaitu proses pengendapan yang berjalan secara alamiah
(berdasarkan massa jenisnya) tanpa penambahan bahan kimia.
3). Koagulasi dan Flokulasi, merupakan suatu proses penambahan koagulan
dengan pengadukkan cepat yang dimaksudkan untuk memecahkan kestabilan
koloid atau partikel yang sudah tidak stabil lagi (PDAM, 1992). Flokulasi
merupakan proses penggumpalan setelah penambahan koagulan diikuti dengan
pengadukan cepat yang dilanjutkan dengan pengadukan lambat.
4). Sedimentasi, merupakan suatu cara yang digunakan untuk memisahkan
lumpur dengan air (Winarno, 1986). Kecepatan pengendapan dalam air
tergantung pada massa jenis, bentuk, dan ukuran partikel.
5). Filtrasi, bertujuan untuk mengurangi padatan tersuspensi yang mungkin
terdapat dalam air atau padatan tersuspensi yang mungkin terdapat dalam air baku
atau padatan tersuspensi sebagai hasil dari proses flokulasi.
6). Aerasi, merupakan proses pengontakan air dengan udara bebas. Terjadinya
kontak air dengan udara bebas ini akan menurunkan kandungan CO2 dalam air
dan menaikkan derajat keasaman.
7). Contact Basin, merupakan tempat penampungan air bersih sebelum
penambahan desinfektan.
8). Desinfeksi, dilakukan untuk membunuh bakteri-bakteri yang bersifat patogen
dan mikroorganisme lain yang terdapat dalam air setelah melewati proses
pengolahan.
9). Reservoir, merupakan tempat penampungan air bersih sebelum didistribusikan
kepada konsumen.
2.6. Desinfeksi
Desinfeksi ialah pemusnahan mikroorganisme penyebab penyakit, dengan
kata lain desinfeksi mengacu pada pengahancuran penyakit secara selektif yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Zat kimia yang digunakan untuk proses
desinfeksi disebut desinfektan. Di dalam prosesnya, bakteri koliform juga spesies
indikator akan dapat dimusnahkan dan total bakteri terhitung akan dapat dikurangi
(Mc Ghee, 1991). Menurut Viessman dan Hammer (1985), yang dimaksud
dengan spesies indikator adalah spesies yang dengan keberadaanya di perairan
mengindikasikan bahwa air telah tercemar oleh kotoran manusia dan hewan.
Karena bakteri patogen sulit untuk ditentukan jumlahnya, akhirnya bakteri
koliform yang digunakan sebagai spesies indikator (Tichobanoglous, 1985).
Mekanisme kerja desinfektan secara umum dapat dikemukakan oleh empat hal,
antara lain:
1). Perusakan dinding sel
Merusak atau menghancurkan dinding sel akan mengakibatkan terurainya
sel (lisis) mikroorganisme dan akhirnya mati.
2). Pengubahan permeabelitas sel
Pereaksi seperti fenol dan deterjen akan merubah permeabelitas dari
membran sitoplasma. Substansi ini menghancurkan secara selektif permeabelitas
dari membran yang menyediakan atau memenuhi nutrisi yang penting dari
mikroorganisme.
3). Pengubahan sifat dasar protoplasma
Panas dapat mengubah sifat dasar protoplasma. Panas akan
menggumpalkan sel protein, atau dengan kata lain terjadinya proses denaturasi
protein yang mengakibatkan efek yang memtaikan bagi mikroorganisme.
4). Menghambat aktivitas enzim
Pereaksi pengoksidasi mampu untuk merubah susunan enzim dan
menghambat aktivitas enzim.
Desinfeksi air dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara fisika dan cara
kimia (PDAM, 1992). Cara fisika meliputi pemanasan, penyinaran, dan mekanis.
Sedangkan untuk cara kimia yaitu dengan menggunakan bahan kimia sebagai
desinfektan. Bermacam-macam zat kimia seperti ozon, gas klor, NaOCl, dan
Ca(OCl)2 digunakan untuk desinfeksi air.
2.6.1. Kalsium Hipoklorit (Ca(OCl)2)
Kalsium hipoklorit merupakan senyawa klor yang berbentuk bubuk atau
tablet. Senyawa ini mengandung klor aktif sekitar 70% dan merupakan bahan
kimia yang paling banyak digunakan untuk desinfeksi air hasil olahan perusahaan
air minum dan pada kolam renang karena murah dan mudah penanganannya
2.6.2. Natrium Hipoklorit (NaOCl)
Natrium hipoklorit memiliki rumus kimia NaOCl adalah salah satu produk
pemurni air yang sudah diperkenalkan dan direkomendasikan oleh Departemen
Kesehatan Indonesia sebagai bagian dari Pengolahan Air Minum Rumah Tangga
(PAM RT) dengan sebutan air murah dan hemat (air rahmat). PAM RT adalah
suatu proses pengolahan, penyimpanan, pemanfaatan air minum dan air yang
digunakan untuk produksi makanan serta keperluan oral seperti berkumur maupun
sikat gigi. Air rahmat mengandung 1,25% NaOCl dan memiliki klor aktif sekitar
15-20% yang efektif untuk menghilangkan mikroorganisme yang biasa
mencemari air dan menyebabkan penyakit seperti diare, kolera, disentri, dan
demam typus (Andayuni, 2009).
2.6.3. Kelebihan dan Kekurangan Ca(OCl)2 dan NaOCl
Masing-masing desinfektan memiliki keuntungan dan kerugian dalam
beberapa segi dari ekonomis kalsium hipoklorit memiliki harga yang lebih murah
dibanding natrium hipoklorit, namun apabila digunakan untuk air yang memiliki
kesadahan tinggi kalsium hipoklorit akan membentuk lumpur, maka itu untuk
mengolah air yang kesadahanya tinggi lebih baik menggunakan natrium
hipoklorit.
2.7. Klorinasi
Klorinasi merupakan suatu cara desinfeksi yang bersifat kimia, dengan
menggunakan klor sebagai desinfektannya. Cara klorinasi merupakan cara yang
memuaskan untuk melakukan desinfeksi air dengan kontaminasi tidak terlalu
berat (Winarno, 1986). Selain dapat membasmi bakteri dan mikroorganisme
seperti amuba, ganggang dan lain-lain, klor dapat mengoksidasi ion-ion logam
seperti Fe2+, Mn2+ menjadi Fe3+ dan Mn4+, dan memecah molekul organik. Selama
proses tersebut, klor sendiri direduksi sampai menjadi ion klorida (Cl-) yang tidak
mempunyai daya desinfeksi.
Senyawa klor yang biasa digunakan pada perusahaan pengolahan air
minum adalah gas klor (Cl2), Ca(OCl)2, NaOCl dan ClO2. NaOCl dan Ca(OCl)2
merupakan senyawa klor yang paling sering digunakan dalam perusahaan
pengolahan air (Metcalf & Eddy, 1991).
2.7.1. Reaksi Klor dengan Air
Saat gas klor (Cl2) ditambahkan pada air maka akan terjadi dua reaksi, yaitu
reaksi hidrolisis dan ionisasi (Metcalf & Eddy, 1991).
a). Hidrolisis
Cl2 + H2O HOCl + H+ + Cl-
Pada suhu air normal, reaksi tersebut telah selesai secara lengkap hanya
dalam beberapa detik saja. Pada larutan encer dimana pH sedikit lebih besar dari 4
keseimbangan akan berjalan ke kanan, karena itu hanya sedikit sekali Cl2 yang
berada dalam larutan (Vogel, 1985).
b). Ionisasi
HOCl H+ + OCl-
Asam hipoklorit dapat terionisasi menjadi ion hidrogen dan ion hipoklorit,
reaksi yang terjadi merupakan reaksi bolak-balik, karena itu derajat disosiasinya
tergantung pada pH dan suhu. Asam hipoklorit merupakan asam lemah yang sukar
terdisosiasi pada pH sekitar 6 atau lebih rendah (Vogel, 1985). Klor yang terdapat
dalam air sebagai asam hipoklorit dan ion hipoklorit itulah yang diartikan sebagai
free available chlorine atau dikenal dengan sebutan klor tersedia bebas (Lawrence
& Block, 1968).
2.7.2. Reaksi Klor dengan Amoniak
Reaksi klor dengan amoniak penting artinya dalam proses klorinasi air untuk
desinfeksi. Bila klor ditambahkan ke dalam air yang mengandung amoniak,
amoniak akan bereaksi dengan HOCl untuk membentuk kloramin. Reaksi tersebut
dapat dituliskan sebagai berikut :
Tabel 1. Perkiraan keefektifan jenis – jenis sisa klor dibandingkan dengan HOCl
Jenis Sisa Klor Rumus Kimia Perkiraan Keefektifan
dibandingkan dengan HOCl
Asam hipoklorit HOCl 1
-
Ion hipoklorit OCl 1/100
Trikloramin NCl3 *
Dikloramin NHCl2 1/80
Monokloramin NH2Cl 1/150
Sumber : PDAM (1992) *belum diperkirakan; kemungkinan lebih efektif dari dikloramin
Berbagai senyawa yang berada di dalam air yang bereaksi dengan klor akan
dapat menginaktifkan klor. Karena itu masih banyak terkandung senyawa-
senyawa tersebut klorin yang ditambahkan tidak dapat berdaya sebagai
desinfektan terhadap jasad-jasad renik. Hidrogen sulfida dan senyawa-senyawa
organik lainnya tidak dikehendaki adanya di dalam air. Hanya setelah kebutuhan
klor (chlorine demand) telah cukup banyak memenuhi atau memuaskan senyawa-
senyawa tersebut di atas, baru penambahan klorin selebihnya dapat berfungsi
dalam membunuh dan menghambat pertumbuhan mikroba. Dari sifat air tersebut,
timbulah konsep titik retak klorinasi (Break Point Chlorination) (PDAM, 1992).
Pada tahap 1 terjadi pemecahan klorin oleh senyawa pereduksi dan pada
tahap ini belum nampak adanya residu klor. Air yang banyak mengandung bahan
organik yang dapat mengkonsumsi klor. Zat-zat yang dapat mengkonsumsi klor
diantaranya (PDAM, 1992) :
2 Fe2+ + Cl2 2 Fe3+ + 2 Cl-
Mn2+ + Cl2 Mn4+ + 2 Cl-
Pada tahap 3 terbentuk gas nitrogen (N2) dan terjadinya titik retak (break
point). Kebutuhan klor adalah jumlah klor yang perlu dibubuhkan untuk mencapai
break point. Menurut Alaerts & Santika (1984), terbentuknya gas nitrogen terjadi
berdasarkan reaksi :
NH4+ + HOCl NH2Cl + H2O + H+
2 NH2Cl + HOCl N2 + 3 HCl + H2O
Tahap 4 merupakan daerah yang sudah melewati break point hanya klor
yang tersedia bebas terbentuk karena pada titik tersebut semua zat amoniak sudah
dirubah menjadi gas N2 yang keluar dari larutan sebagai gelembung, namun
sedikit kloramin masih tertinggal. Pada tahap ini pula setiap penambahan dosis
klor mulai berfungsi untuk membasmi kuman.
Secara umum keaktifan proses desinfeksi pada klorinasi dipengaruhi oleh
waktu kontak dan konsentrasi klor (Sawyer & McCarty, 1978). Namun menurut
Viessman & Hammer (1985), keefektifan proses klorinasi tidak hanya
dipengaruhi oleh waktu kontak dan konsentrasi klor saja, tapi juga dipengaruhi
oleh pH dan suhu.
Ion klorida (Cl-) tidak aktif, sedangkan Cl2, HOCl dan OCl- dianggap
sebagai bahan yang aktif untuk desinfektan. HOCl yang tidak terpecah adalah zat
pembasmi yang paling efisien bagi bakteri.
2.9.2. Pengaruh Suhu Terhadap Klorinasi
Pada suhu tinggi klorinasi akan berlangsung lebih efektif, karena zat padat
yang menghalangi kontak antara mikroorganisme dengan desinfektan menjadi
larut (PDAM, 1992). Apabila semakin rendahnya suhu air ini dikombinasikan
dengan pH yang tinggi, pengurangan efisiensi klor bebas dan kloramin akan
semakin jelas (Johnson, 1997).
2.9.3. Pengaruh Konsentrasi Klor dan Waktu Kontak Terhadap Klorinasi
Menurut Johnson (1997), waktu kontak yang dibutuhkan oleh klor tersedia
bebas (free available chlorine) mungkin hanya beberapa menit saja, namun untuk
klor tersedia terikat (combined available chlorine) waktu kontak yang dibutuhkan
bisa mencapai satu atau dua jam. Klor sebagai kloramin memerlukan waktu
kontak yang lebih lama karena pelepasan klor dari kloramin berlangsung lambat.
Apabila konsentrasi klor yang ditambahkan menurun, maka waktu kontak harus
dinaikkan supaya desinfeksi berjalan dengan baik (Sawyer & McCarty, 1978).
Hubungan antara konsentrasi klor, waktu kontak dan pemusnahan bakteri
dijelaskan melalui persamaan berikut :
K=CxT
Dimana :
K = pemusnahan Bakteri (kill)
C = konsentrasi klor (mg Cl2/L)
T = waktu kontak (menit)
2.11. Spektrofotometri
Spektrofotometri didefinisikan suatu metoda analisis kimia berdasarkan
pengukuran seberapa banyak energi radiasi diabsorpsi oleh suatu zat sebagai
fungsi panjang gelombang (Tahid, 2002). Alat untuk analisis dengan metode ini
disebut spektrofotometer UV-Vis, alat ini dibagi menjadi 2 jenis antara lain
spektrofotometer UV-Vis double beam dan spektrofotometer UV-Vis single
beam, dan yang digunakan PDAM Tirta Pakuan Bogor adalah spektrofometer
UV-Vis double beam. Prinsipnya keduanya adalah sama yaitu suatu molekul atau
atom yang mengabsorpsi radiasi akan memanfaatkan energi radiasi tersebut untuk
mengadakan eksitasi elektron. Radiasi elektromagnetik adalah suatu bentuk dari
energi yang diteruskan melalui ruang dengan kecepatan yang luar biasa.
Radiasi elektromagnetik memiliki spektrum yang luas, meliputi kisaran
panjang gelombang atau energi yang sangat besar. Analisis kimia yanag
memanfaatkan λ antara 400-800 nm yaitu daerah sinar tampak disebut analisis
kolometri. Analisis ini diterapkan kepada spesies yang berwarna dan spesies yang
dapat dibuat berwarna.
Tabel 2. Spektrum Sinar Tampak
Panjang Gelombang Warna Warna Komplementer
(nm)
400-435 Ungu Kuning-kehijauan
435-480 Biru Kuning
480-490 Hijau-kebiruan Oranye
490-500 Biru-kehijauan Merah
500-560 Hijau Merah-ungu
560-580 Kuning-kehijauan Ungu
580-595 Kuning Biru
595-610 Oranye Hijau-kebiruan
610-750 Merah Biru-kehijauan
Sumber : ( Day, dan.Underwood, 1992)
Dengan kata lain bila berkas cahaya monokromatik dialirkan melalui suatu
media yang transparan maka sebagian cahaya akan dipantulkan , diserap media
(absorpsi) dan diteruskan. Besarnya penyerapan akan sebanding dengan tebalnya
media dan kepekatan dari zat. Tiap media akan menyerap cahaya pada panjang
gelombang tertentu tergantung pada senyawaan/warna yang terbentuk (Khopkar,
1990).
Io Ia It
Ir
d. Penetapan Suhu
Dicelupkan thermometer digital ke dalam sampel air berkali-kali
digoyangkan. Didiamkan beberapa saat sampai angka yang ditujukan sudah
konstan. Angka yang tertera pada thermometer dibaca, setelah selesai
thermometer dicuci dengan akuades dan dikeringkan dengan menggunakan tisu.
e. Penetapan Warna
Prinsip penetapan warna yaitu perbandingan warna dengan menggunakan
alat yang disebut komparator warna. Larutan sampel yang akan diperiksa diaduk
terlebih dahulu, kemudian dituankan ke dalam tabung komparator warna sampai
tanda garis, tabung bagian luar dibersihkan, dan dikeringkan dengan
menggunakan tisu lalu diperiksa menggunakan komparator warna.
f. Penetapan Kekeruhan
Metode yang digunakan yaitu turbidimetri. Untuk kalibrasi alat disiapkan
satu seri larutan standar dengan beberapa nilai kekeruhan yang berbeda 1; 4; 8;
12; 20 NTU dengan memipet dan memasukkasn larutan formazin 40 NTU
sebanyak 2,5; 10; 20; 30; dan 50 mL ke dalam labu ukur 100 ml. Diencerkan
dengan air bersih dan ditempatkan volumenya sampai tanda batas. Diukur masing-
masing nilai kekeruhan tersebut pada turbidimeter. Larutan sampel diaduk dan
dimasukkan ke dalam tabung, lalu diukur dengan menggunakan turbidimeter.
3.4.2. Analisis Titik Retak Klorinasi Antara Ca(OCl)2 Dan NaOCl
a. Pembuatan Larutan Induk Ca(OCl)2 Dan Larutan Induk NaOCl
a.1 Pembuatan Larutan Induk Ca(OCl)2
Dipipet 1,00 mL larutan 0,1% Ca(OCl)2, diencerkan ke dalam labu takar
1000 mL, dan diimpitkan sampai tanda tera dengan air suling.
a.2 Pembuatan Larutan Induk (NaOCl)
Dipipet 1,00 mL larutan 0,1% NaOCl diencerkan ke dalam labu takar 100
mL, dan diimpitkan sampai tanda tera dengan air suling.
b. Pembuatan Deret Standar Ca(OCl)2 Dan Pembuatan Deret Standar
NaOCl
b.1 Pembuatan Deret Standar Ca(OCl)2
Ke dalam labu takar 100 mL yang tersedia dibuat 0,1 ppm; 0,2 ppm; 0,3
ppm; 0,4 ppm; 0,5 ppm; 0,6 ppm; 0,7 ppm dengan dimasukkan 1,00; 2,00; 3,00;
4,00; 5,00; 6,00; 7,00 mL larutan induk Ca(OCl)2 10 mg Cl2/L. Kemudian
diencerkan sampai tanda tera dengan akuades, larutan dihomogenkan,
ditambahkan tablet DPD no. 1, lalu labu takar disimpan di tempat gelap.
b.2 Pembuatan Deret Standar NaOCl
Ke dalam labu takar 100 mL yang tersedia dibuat 0,1 ppm; 0,2 ppm; 0,3
ppm; 0,4 ppm; 0,5 ppm; 0,6 ppm; 0,7 ppm dengan dimasukkan 1,00; 2,00; 3,00;
4,00; 5,00; 6,00; 7,00 mL larutan induk NaOCl 10 mg Cl2/L. Kemudian
diencerkan sampai tanda tera dengan akuades, larutan dihomogenkan,
ditambahkan tablet DPD no. 1, lalu labu takar disimpan di tempat gelap.
c. Penetapan Titik Retak Klorinasi
c.1. Analisis Kadar Klor Dalam Ca(OCl)2
Ke dalam labu takar 100 mL yang tersedia, dibuat 0,1 ppm; 0,2 ppm; 0,3
ppm; 0,4 ppm; 0,5 ppm; 0,6 ppm; 0,7 ppm; 0,8 ppm 0,9 ppm larutan klor dengan
dimasukkan masing-maasing 0,5; 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; 3,0; 3,5; 4,0; 4,5 mL larutan
induk klor 10 mg Cl2/L, kemudian masing-masing labu ukur diencerkan sampai
tanda tera dengan air sampel, lalu ditambahkan tablet DPD no. 1. Larutan
dihomogenkan dan disimpan di tempat gelap. Larutan blanko dibuat dengan
memasukkan akuades ke dalam labu takar 50 mL sampai tanda tera, ditambahkan
tablet DPD no.1, larutan dihomogenkan dan disimpan di tempat yang gelap.
Setelah waktu kontak 45 menit, larutkan blanko dan larutan contoh diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 515 nm.
Absorbansi
Konsentrasi residu klor aktif (Cl2/L) =
Slope
Tabel 3. Data Hasil Pengukuran Parameter Bakteriologi dan Kimia Pada Air Hasil
Olahan PDAM Tirta Pakuan.
No. * Sebelum Sesudah
Parameter Analisis Satuan
Klorinasi Klorinasi
1. E. Coli Bakteri/mL 0 37 0
sampel
2. Total Coli Bakteri/mL 10 65 0
sampel
3. pH -- 6,5-8,5 7,20 7,15
4. Amonia mg/L 1,5 0,0750 0
* Peraturan Menteri Kesehatan R.I No: 416 /MENKES/PER/IX/1990.
Berdasarkan data pada Tabel 3, terlihat bahwa pada sampel air hasil
olahan PDAM Tirta Pakuan terkandung bakteri E. Coli sebanyak 37 Bakteri/mL
sampel dan total coli sebanyak 65 Bakteri/mL sampel melebihi batas yang
ditetapkan standar Peraturan Menteri Kesehatan R.I No: 416
/MENKES/PER/IX/1990, setelah melewati proses klorinasi tidak ditemukan
adanya kandungan E. Coli atau 0 (nol) karena air yang telah melewati proses
klorinasi disebut air distribusi yang siap disalurkan ke pelanggan maka PDAM
Tirta Pakuan pun mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
492/Menkes/PER/IV/2010 dengan kata lain air distribusi tersebut sudah
memenuhi standar Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
492/Menkes/PER/IV/2010. Hal tersebut membuktikan klorinasi berjalan dengan
efisien.
Berdasarkan Tabel 3. pH sebelum klorinasi sebesar 7,20 dan sesudah
klorinasi mengalami penurunan menjadi 7,20 karena Ca(OCl)2 dan NaOCl
bersifat asam maka akan menurunkan pH. Menurut alaerts & santika, 1997.
Klorinasi akan berjalan efektif pada pH netral dan sedikit asam Pada pH asam,
asam hipoklorit (HOCl) akan terurai sedikit, namun pada pH basa, HOCl akan
terurai sempurna menjadi ion hipoklorit (OCl-) yang daya desinfeksinya lebih
rendah dari HOCl.
Besarnya pH juga menjadi tanda bahwa ion hipoklorit atau asam
hipoklorit yang lebih banyak terbentuk. Menurut Winarno (1986), keberadaan
amoniak dalam air akan bereaksi dengan klor atau asam hipoklorit membentuk
monokloramin, dikloramin atau trikloramin tergantung dari pH.
Proses titik retak klorinasi, amoniak merupakan faktor yang cukup
berpengaruh karena amoniak akan bereaksi dengan klor membentuk
monokloramin, dikloramin, dan trikloramin (Metcalf & Eddy, 1991).
Berdasarkan data hasil analisis pada Tabel 3, kandungan amoniak pada air
hasil olahan PDAM Tirta Pakuan sebelum klorinasi sebesar 0,0750 mg/L
kemudian setelah melewati proses klorinasi tidak lagi ditemukan adanya
kandungan amoniak karena amoniak telah habis bereaksi dengan klor kemudian
terurai menjadi gas nitrogen. Kandungan amoniak dari sampel air hasil olahan
PDAM Tirta Pakuan masih dibawah standar Peraturan Menteri Kesehatan R.I
No: 416 /MENKES/PER/IX/1990 yaitu sebesar 1,5 mg/L.
Menurut Johnson (1997), pembentukan senyawa kloramin lebih baik
dihindarkan karena dapat menimbulkan bau dan rasa yang tidak enak pada air,
meskipun senyawa kloramin memiliki sedikit daya desinfeksi dalam proses
pengolahan air minum. Keberadaan amoniak dalam air akan bereaksi dengan klor
atau asam hipoklorit membentuk monokloramin, dikloramin atau trikloramin
tergantung dari pH (Winarno, 1986). Reaksi-reaksi yang terjadi adalah :
4.1.2. Hasil Pengukuran Parameter Fisika
Berdasarkan sifat fisika air, air tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
juga berasa maka perlu adanya pengujian terhadap air berdasarkan sifat fisikanya.
Parameter fisik yang diujikan meliputi warna, bau, kekeruhan, dan suhu. Berikut
adalah tabel yang menjelaskan hasil pengukuran parameter.
Tabel 4. Data Hasil Pengukuran Parameter Fisik Pada Sampel Air Hasil Olahan
PDAM Tirta Pakuan.
No. Parameter Analisis Satuan * Air Hasil Olahan
PDAM Tirta
Pakuan
1. Warna -- Tidak berwarna Tidak berwarna
2. Bau -- Tidak berbau Tidak berbau
3. Kekeruhan NTU 25 0,8
0
4. Suhu C Suhu Udara ± 30C 25,2
* Peraturan Menteri Kesehatan R.I No: 416 /MENKES/PER/IX/1990
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa air hasil olahan PDAM Tirta
Pakuan tidak berwarna. Hal tersebut itu mengindikasikan bahwa kerja klor dalam
proses desinfeksi lebih efisien daripada air yang memiliki warna karena apabila
berwarna masih memungkinkan terkandungnya bakteri dan tidak terbunuh secara
maksimal dan hasil analisis juga menunjukkan bahwa air tidak berbau. Hal ini
menunjukkan bahwa air tidak mengalami kontaminasi dari zat organik.
Warna dalam air disebabkan oleh adanya zat organik seperti humus dan
logam. Warna air yang tidak normal biasanya menunjukkan adanya polutan
dalam air, sedangkan bau dapat disebabkan oleh bahan organik atau anorganik
yang terkandung di dalam air. Kekeruhan pada sampel air hasil olahan PDAM
Tirta Pakuan yaitu sebesar 0,8 NTU dan kadar maksimum kekeruhan pada air
hasil olahan PDAM Tirta Pakuan yang mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan No: 416/MENKES/PER/IX/1990 adalah 25 NTU.
Proses klorinasi akan lebih baik jika kekeruhan kurang dari 1 NTU,
karena semakin keruh air maka proses klorinasi tidak efektif hal itu disebabkan
oleh partikel-partikel penyebab kekeruhan akan menghambat efisiensi kedua
desinfektan. Dari data hasil analisis kekeruhan, setiap sampel memiliki kadar
kekeruhan di bawah 1 NTU, sehingga sampel air memenuhi syarat.
Dari hasil penelitian pada Tabel 4,sampel air hasil olahan PDAM Tirta
Pakuan memiliki suhu sebesar 25,2oC. Hal ini menunjukkan bahwa proses
klorinasi dapat berjalan dengan baik dan air hasil olahan PDAM Tirta Pakuan
memenuhi standar Peraturan Menteri Kesehatan No:
416/MENKES/PER/IX/1990 yang menetapkan suhu air bersih sebesar ± 3oC
suhu udara.
Suhu air dapat mempengaruhi proses klorinasi. Klorinasi akan lebih
efektif pada suhu yang lebih tinggi dari 25oC (PDAM, 1992). Pada suhu tinggi zat
padat yang menghalangi kontak antara desinfektan dengan bakteri akan larut.
Klorinasi akan berjalan baik pada suhu 25-27oC (Jonson, 1997).
2.2
2
1.8
Residu Klor aktif (mg Cl2/L)
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4 B C E
0.2 D
A F
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
Dosis mg Ca(OCl)2/L)
Gambar 4. Grafik Titik Retak Klorinasi Air Hasil Olahan PDAM Tirta Pakuan
Untuk Ca(OCl)2.
1.4
1.2
Residu Klor aktif (mg Cl2/L)
1
0.8
0.6
0.4 B C
E
0.2
D
A F
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
Dosis mg NaOCl/L)
Gambar 5. Grafik Titik Retak Klorinasi Air Hasil Olahan PDAM Tirta Pakuan
Untuk NaOCl
Dari grafik klorinasi diatas, pada daerah A terjadi pemecahan klorin oleh
senyawa pereduksi dan pada tahap ini belum nampak adanya residu klor. Air
yang banyak mengandung bahan organik maka akan semakin banyak pula klor
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat organik tersebut.
Pada daerah B, merupakan tahap terbentuknya senyawa kloramin dan
kloro-organik, atau terbentuknya combined available chlorine (klor tersedia
terikat). Pada tahap ini akan terjadi reaksi antara amoniak dan klor menjadi
kloramin, serta senyawa organik dengan klor menjadi kloro-organik (Metcalf &
Eddy, 1991). Sedangkan kloro-organik menurut Sawyer dan McCarty (1978)
Pada daerah C terjadi penguraian senyawa kloramin dan kloro-organik
menjadi gas N2. Menurut Alaerts dan Santika (1984).
Pada daerah D terjadi titik retak klorinasi. Pada kondisi ini semua zat yang
dapat dioksidasi akan teroksidasi, amoniak terurai menjadi N2 dan masih ada
residu klor yang dianggap perlu untuk desinfeksi. Pada titk retak klorinasi ini,
dosis klor sebanyak 0,5 mg Ca(OCl)2/L merupakan dosis minimum yang harus
ditambahkan pada air hasil olahan sungai PDAM Tirta Pakuan sehingga dapat
berfungsi sebagai desinfektan dalam proses pengolahannya. Namun, kestabilan
residu klor pada dosis klor 0,5 mg Ca(OCl)2/L dalam sistem jaringan distribusi
akan berkurang. Karena di dalam jaringan distribusi (pipa) terdapat zat-zat yang
dapat mengkonsumsi klor. Oleh karena itu, maka untuk menjaga kestabilan dan
kemampuan desinfeksi dari residu klor aktif pada jaringan distribusi dilakukan
penambahan dosis klor yang melebihi titik retak klorinasi.
Pada daerah E merupakan daerah yang sudah melewati break point hanya
klor yang tersedia bebas terbentuk karena pada titik tersebut semua zat amoniak
sudah dirubah menjadi gas N2 yang keluar dari larutan sebagai gelembung,
namun sedikit kloramin masih tertinggal. Pada daerah ini, penambahan dosis
klornya adalah 0,6 mg Ca(OCl)2/L. Dengan penambahan dosis klor 0,6 mg
Ca(Ocl)2/L, maka kestabilan residu klor aktif pada titik retak 0,5 mg Ca(OCl)2/L
dapat dipertahankan sampai melewati sistem jaringan distribusi.
Klor yang dibubuhkan untuk mencapai titik retak adalah sebanyak 2,5 ml
dari larutan induk klor 10 mg Cl2/L.
Sebelum proses klorinasi pada air hasil olahan PDAM Tirta Pakuan, air
mengandung amoniak dan bakteri. Hasil uji kadar amoniak dan bakteri setelah
klorinasi adalah tidak terdeteksi. Dan hal yang serupa dialami oleh proses titik
retak klorinasi untuk natrium hipoklorit yang mencapai titik retak klorinasi pada
dosis klor 0,7 mg NaOCl/L.
1. Kalsium
hipoklorit 0,5 1,8 43,2 1296 Rp 10.000 Rp. 12.960.000
(Ca(OCl)2)
2. Natrium
Hipoklorit 0,7 2,52 60,48 1814,4 Rp. 13.000 Rp. 23.587.200
(NaOCl)
Total selisih biaya produksi Per Bulan Rp. 10.627.200
Dari tabel 7 menunjukkan bahwa apabila dilihat dari segi ekonomi sangat
terlihat jelas bahwa desinfektan kalsium hipoklorit (Ca(OCl)2) lebih hemat
dibandingkan dengan desinfektan natrium hipoklorit (NaOCl) dengan selisih
biaya produksi Per bulanya sebesar Rp. 10.627.200 (Sepuluh juta enam ratus dua
puluh tujuh ribu rupiah).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Titik retak klorinasi Ca(OCl)2 terjadi pada konsentrasi 0,5 mg Ca(OCl)2/L
dan NaOCl pada konsentrasi 0,7 mg NaOCl/L.
2. Ca(OCl)2 lebih efisien dibandingkan NaOCl dalam proses klorinasi.
3. Kedua desinfektan dapat digunakan untuk proses klorinasi pada air hasil
olahan PDAM Tirta Pakuan.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan PDAM Tirta Pakuan tetap
menggunakan kalsium hipoklorit sebagai desinfektan karena selain lebih unggul
secara ekonomi dan amat baik digunakan karena air hasil olahan PDAM Tirta
Pakuan memiliki kesadahan air yang rendah serta lebih efisien dalam
penambahan dosis dibandingkan natrium hipoklorit.
DAFTAR PUSTAKA
Didiamkan
selama 45 menit
TITIK RETAK
KLORINASI
Lampiran 4. Kurva standar klor dan contoh perhitungan residu klor
y = 0.0896x + 0.0081
kurva standar klor R² = 0.9903
0.08
0.07
0.06
0.05
Absorbans
0.04
0.03
0.02
0.01
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8
konsentrasi klor