Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) Atas Indikasi Fraktur Elbow
Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) Atas Indikasi Fraktur Elbow
Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) Atas Indikasi Fraktur Elbow
Oleh :
Fenti Diah Hariyanti
NIM 115070201111002
Oleh :
Fenti Diah Hariyanti
115070201111002
A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Carpenito (1999),
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Fraktur atau sering disebut patah tulang adalah terputusnya kontinuitas Jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang penyebabnya dapat dikarenakan penyakit
pengeroposan tulang diantaranya penyakit yang sering disebut osteoporosis, biasanya
dialami pada usia dewasa, dan dapat juga disebabkan karena kecelakaan yang tidak
terduga (Mansjoer, 2000).
B. Etiologi
1. Fraktur Fisiologis
Suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga fisik,
olahraga, dan trauma dapat disebabkan oleh:
a. Trauma langsung
Yaitu pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan.
yang paling lazim adalah karena kecelakaan sepeda motor. Fraktur ini
disebabkan karena kekuatan yang berlebihan dan tiba-tiba, dapat berupa
pemukulan, pemuntiran, penekukan maupun penarikan antara tendon dan
ligament sehingga bisa berakibat tulang terpisah. Trauma langsung
menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian
sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
Benturan pada lengan bawah, ex: fraktur tulang ulna dan radius.
b. Trauma tidak langsung
Yaitu pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh. Trauma
tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam jalur hantaran vektor kekerasan. Jatuh tertumpu pada tangan, ex: fraktur
klavikula.
c. Trauma akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan
(Oswari E, 1993).
2. Fraktur Patologis
Dalam hal ini kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur ataupun akibat kelemahan tulang akibat
kelainan tulang. Dapat terjadi pada berbagai keadaan berikut:
a. Tumor tulang, terbagi menjadi jinak dan ganas
b. Infeksi seperti Osteomielitis
c. Scurvy (penyakit gusi berdarah)
d. Osteomalasia
e. Rakhitis
f. Osteoporosis
C. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi dan dibagi menjadi beberapa kelompok,
yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cidera jaringan lunak
sekitarnya.
Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang.
2). Fraktrur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
a) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
b) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
E. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan
gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka
diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi
untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari
bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang
dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi
Menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit
divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan
suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Pemeriksaan Darah Lengkap (Hb, hematokrit, eritrosit, trombosit, leukosit, WBC,
golongan darah)
(2) Waktu Pembekuan Darah
(3) Bleeding Time
(4) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(5) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
(6) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
A. Pengertian
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan
dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. ORIF (Open
Reduksi Internal Fiksasi), open reduksi merupakan suatu tindakan pembedahan untuk
memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah / fraktur sedapat mungkin kembali
seperti letak asalnya.Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku
maupun suatu intramedulary (IM) untuk mempertahan kan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. ORIF (Open Reduction Internal
Fixation) Merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan insisi pada derah fraktur,
kemudian melakukan implant pins, screw, wires, rods, plates dan protesa pada tulang
yang patah
C. Indikasi
Indikasi redukksi terbuka dan fiksasi internal meliputi :
Reduksi fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan
metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan.
Metode ORIF untuk terapi fraktur memungkinkan ahli bedah melihat secara langsung
kerusakan pada struktur-struktur disekitar fraktur, untuk membersihkan dan
memperbaiki tempat fraktur sesuai keperluan, dan untuk melakukan penyatuan
anatomis fraktur yang kompleks. Selain itu, proses penyembuhan tidak memerlukan
imobilisasi berkepanjangan.
Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pd struktur otot tendon.
Fraktur leher femoralis
Fraktur lengan bawah distal
Fraktur intra artikuler disertai pergeseran
Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
Fraktur kominutif
Fraktur pelvis
Fraktur terbuka
Trauma vaskuler
Fraktur shaft humeri bilateral
Floating elbow injury
Fraktur patologis
Reduksi tertutup yang sukar dipertahankan
Trauma multiple
Fraktur terbuka derajatI II
D. Kontra indikasi
Russel (1992) mencatat bahwa fiksasi internal umumnya dikontraindikasikan untuk
situasi berikut :
1. Tulang osteoporotik terlalu rapuh untuk menerima implant
2. Jaringan lunak di atasnya berkualitas buruk
3. Terdapat infeksi
4. Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi.
5. Pasien dengan penurunan kesadaran
6. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
7. Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)
E. Jenis implan fiksasi interna
Beragamnya jenis implan ortopedik cukup memusingkan kecuali bagi perawat
perioperatif ortopedik yang paling berpengalaman. Secara prosedural, sebagian besar
ORIF biasanya serupa. Namun, instrumen dan implan yang digunakan bervariasi,
bergantung pada jenis fraktur yang akan diperbaiki. Pengetahuan mengenai berbagai
implan dan jenis instrumen yang diperlukan untuk memasang akan sangat membantu
kemampuan perawat perioperatif membuat rencana keperawatan yang efektif.
a. Fiksasi pin dan kawat
Untuk fiksasi fraktur kecil di daerah metafisis dan epifisis kaki distal, lengan
bawah dan tangan sering digunakan kawat Kirschner atau pin Steinmann. Keduanya
juga dapat digunakan bersama dengan reduksi tertutup fraktur falang dan metakarpal
yang mengalami pergeseran. Kawat dan pin dapat dimasukkan secara perkutis di
bawah fluoroskopi, atau digunakan bersama dengan perangkat fiksasi lain pada
prosedur terbuka.
b. Sekrup
Terdapat bermacam-macam sekrup fiksasi. Semua sekrup terdiri atas empat
bagian: kepala, batang, alur, dan ujung. Kepala sekrup dapat berbentuk heksagonal,
bersilangan, berlubang, atau berdesain Phillips dan menentukan jenis obeng yang
akan digunakan. Batang sekrup adalah bagian halus antara kepala dan alur. Alur
adalah bagian yang mengjangkarkan fragmen dan mencegah sekrup terlepas. Ujung
sekrup mungkin bulat dan memerlukan perlubangan sebelumnya (pretapping), atau
bergalur dan self-tapping.
Sekrup kortikal dirancang untuk digunakan pada tulang kortikal dan biasanya
beralur di seluruh panjangnya. Sekrup retikular (cancellous) dirancang untuk
digunakan pada tulang retikular berongga, memiliki alur yang lebih besar dan alurnya
tidak terdapat diseluruh panjangnya. Sekrup maleolar adalah sekrup tipe retikular
dengan ujung trefin self-tapping. Ahli bedah kadang-kadang menggunakan sekrup
lag. Sekrup lag bukanlah jenis sekrup khusus tetapi hanyalah sekrup retikular yang
digunakan dengan cara tertentu. Secara spesifik, sekrup lag diletakkan sedemikian
rupa sehingga sekrup berputar bebas melalui fragmen yang terletak di dekat kepala
sekrup dan hanya tersangkut pada fragmen yang berlawanan.
c. Lempeng
Sekrup dapat digunakan tersendiri atau bersama dengan lempeng/pelat untuk
memfiksasi berbagai jenis fraktur. Lempeng tersedia dalam berbagai rancangan dan
ukuran lempeng yang mungkin memiliki satu atau lebih fungsi yang berbeda-beda.
Russell (1992) membagi berbagai jenis lempeng menjadi empat kategori fungsional:
netralisasi, kompresi, penunjang, dan jembatan. Lempeng harus difiksasi ke tulang
baik di atas maupun di bawah fraktur.
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
(2) Palpasi :Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
(4) Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
(3) Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi : Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
(b) Fistulae.
(c) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(d) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
(e) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(f) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Ruang Operasi
Keamanan klien diatur dengan adanya ikat klien dan pengunci meja operasi.
Dua factor penting yang berhubungan dengan keamanan kamar pembedahan : lay
out kamar operasi dan pencegahan infeksi.
Lay Out pembedahan.
Ruang harus terletak diluar gedung RS dan bersebelahan dengan RR dan
pelayanan pendukung (bank darah, bagian pathologi dan radiology, dan bagian
logistik). Alur lalu lintas yang menyebabkan kontaminasi dan ada pemisahan
antara hal yang bersih dan terkontaminasi design (protektif, bersih, steril dan
kotor). Besar ruangan tergantung pada ukuran dan kemampuan rumah sakit.
Umumnya :
- Kamar terima
- Ruang untuk peralatan bersih dan kotor.
- Ruang linen bersih.
- Ruang ganti
- Ruang umum untuk pembersihan dan sterilisasi alat.
- Scrub area.
Ruang operasi terdiri dari :
- Stretcher atau meja operasi.
- Lampu operasi.
- Anesthesia station.
- Meja dan standar instrumen.
- Peralatan suction.
- System komunikasi.
Kebersihan dan Kesehatan Team Pembedahan.
Sumber utama kontaminasi bakteri team pembedahan yang hygiene dan
kesehatan ( kulit, rambut, saluran pernafasan). Pencegahan kontaminasi :
- Cuci tangan.
- Handscoen.
- Mandi.
- Perhiasan (-) cincin, jam tangan, gelang.
Pakaian bedah.
- Terdiri : Kap, Masker, gaun, Tutup sepatu, baju OK.
- Tujuan: Menurunkan kontaminasi.
Surgical Scrub.
Cuci tangan pembedahan dilakukan oleh :
- Ahli Bedah
- Semua asisten
- Scrub nurse, sebelum menggunakan sarung tangan dan gaun steril.
2) Persiapan Alat
a. Alat-alat kebersihan disiapkan : Sikat cucin tangan reuable / disposable, Anti
microbial (betadine), pembersih / pemotong kuku. Pembersihan dilakukan dalam
waktu : 5 – 10 menit, kemudian dikeringkan dengan handuk steril.
b. Alat-alat operasi disiapkan
c. Pasien dipindahkan dari brancard ke meja operasi
d. Klien dipasang bedside monitor
e. Instrumentator dan operator mencuci tangan secara steril lalu mengenakan jas
operasi dan sarung tangan.
f. Minimal alat yang digunakan dalam pembedahan ORIF
3) P
boar :1 satu set perlengkapan ET : 1 set.
redaction : 2 gunting jaringan : 2 er
retractor : 2 gunting benang : 1 si
lastpat : 2 pingset sirurgis :2
arteri klem panjang :2 pingset anatomis : 2 a
arteri klem kecil/pendek : 2/2 mangkok(kom) :2 p
nakulder : 1 quret :1
duk klem : 1 jarum traumatik maupun atraumatik : a
kobra :2 n
1
kassa kecil : 20
couter :1
duk steril : 3
suction :1
plate :1
benang : polysorb 2-0, biopsin 4-
screw :6
penduga : 1 0
penduga : 1
Anasthesia
Anasthesia (Bahasa Yunani) Negatif Sensation. Anasthesia menyebabkan
keadaan kehilangan rasa secara partial atau total, dengan atau tanpa disertai kehilangan
kesadaran. Tujuan: Memblok transmisi impuls syaraf, menekan refleks, meningkatkan
relaksasi otot. Pemilihan anesthesia oleh anesthesiologist berdasarkan konsultasi
dengan ahli bedah dan factor klien.
4) Pelaksanaan operasi
a. Klien diintubasi dengan ET sebelumnya dilakukan general anestesi
b. Klin diposisikan telentang dengan kepala sedikit ekstensi
c. Dalam stadium anastesi dilakukan disinfektan menggunakan betadine,kemudian
diblilas menggunakan alkohol 70 %
d. Dipasang linen (doek steril), difiksasi dengan doek klem, selanjutnya ditutup/dipasang
doek lubang besar(mempersempit area yang akan dioperasi).
e. Melakukan insisi dengan pisau bedah ± 10 cm,secara horizontal dari lapisan
kulit,lemak, otot.
f. Melakukan pemegangan tulang menggunakan reduction,kemudian memposisikannya
pada posisi semula,kemudian memasang plate pada tlang sambil memegang dengan
retractor dan melakukan pengeburan, memasang plate dan screw sebanyak 7
dengan obeng.
g. Control perdarahan perdarahan disuction atau dep dengan kassa,dan memakai
cuter.
h. Memposisikan tulang dengan keadaan semula,mengukur panjang plate dan screw
i. Kemudian tulang di bor dan diukur kedalaman bor dengan alat penduga
j. Memasang plate dan screw pada tulang yang telag dibor
k. Mencuci dengan NaCl, dan memastikan tidak ada lagi perdarahan.
l. Melakukan hecting dengan polisorb 2-0, pada sevi menggunakan safil 2-0 dan pada
bagian kulit menggunakan byosin 4-0
m. Menutup luka dengan sufra tulle, kasa dan diplester.
n. Daerah area operasi dibersihkan dengan Nacl 0,9%, dan handuk basah.
o. Operasi selesai, mengobservasi A, B, C, ET dilepaskan
p. Klien dipindahkan ke brancard dan pindahkan keruang recovery.
Diagnosa Keperawatan
1) Diagnosa preoperatif
Nyeri akut berhubungan denganagen cidera fisik (farktur)
Cemas berhubungan dengan proses operasi
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidaknyamanan, imobilisasi
Resiko kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan imobilisasi,
penurunan sirkulasi, fraktur terbuka
Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan
kulit, trauma jaringan
No Dignosa NOC NIC
1 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Kaji nyeri klien (P,Q,R,S,T)
tindakan
agen cidera keperawatan selama 3 x 24 jam, Ajarkan tehnik
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan Obstruksi jalan napas :
Produksi mucus
Resiko cidera (Injury) berhubungan dengan Efek anastesi
Nyeri berhubungan dengan diskontinuitas tulang
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler
nyeri, terapi neftriktif (imobilisasi).
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan traksi
(pen, kawat, skrup).
Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit trauma, jaringan lunak, prosedur ibvasif/traksi tulang).
Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan.
Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti).
No Diagnosa NOC NIC
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan Lakukan suction
napas tidak keperawatan selama 2x24 jam Berikan terapi O2
Atur posisi pasien ekstensikan
efektif b/d jalan napas pasien
kepala pasien 30 derajat dari
obstruksi jalan efektif,dengan kriteria :
Pasien dapat bernapas kaki/ miringkan pasien
napas: Ajarkan batuk efektif
produksi dengan mudah
Tidak ada suara napas
mucus
tambahan/suara napas bersih
RR dalam rentang normal
Tidak ada secret
2 Resiko cidera Setelah dilakukan tindakan Sediakan lingkungan yang
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jm aman bagi pasien
Temani pasien agar tidak jatuh
dengan Factor resiko cidera dapat teratasi
Pasang side rail tempat tidur
kimia (Efek dengan kriteria hasil : Anjurkan keluarga untuk
anastesi). Tidak ada lagi efek dari obat menemani pasien nanti saat di
anastesi bangsal
Pasien mengungkapkan rasa Mengontrol lingkungan dari
nyaman. kebisingan.
Kesadaran composmentis
DAFTAR PUSTAKA
Amin H, 2012. Aplikasi asuhan keperawatan nerdasarkan NANDA NOC NIC. Yogyakarta:
Media hardy
Black and Hawks. Medical Surgical Nursing Clinical Management for Positive
Outcomes.2004
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. Jakarta :
EGC
Carpenito, 2000. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta.
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hardjowidjoto, S. 1993. Anatomi Fisiologi Traktus Urogenital. Surabaya, Program Studi
Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lukman, & Ningsih, N. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskletal. Jakarta : Salemba Medika
M.A Henderson. 2000. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica
Mansjoer, A. dkk . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculopius
North American Nursing Diagnosis Association. 2001. Nursing Diagnosis : Definition and
Classification 2009-2011. NANDA International. Philadelphia.
Price, Sylvia A,. 2005. Konsep Klinis Proses-proses penyakit. Edisi 6, Volume 2. Jakarta:
EGC.
Smeltze. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. EGC: Jakarta.
Uy, Mary Princess. ORIF-Written-Output. 2011. http://www.scribd.com/doc/61906824/ORIF-
Writen-Output