Anda di halaman 1dari 4

AIR SUSU IBU DAN PENGENDALIAN INFEKSI

23.08.2013

Efektivitas ASI dalam mengendalikan infeksi dapat dibuktikan dengan berkurangnya kejadian beberapa penyakit
spesifik pada bayi yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula. Penelitian oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO) membuktikan bahwa pemberian ASI sampai usia 2 tahun dapat menurunkan angka kematian anak akibat
penyakit diare dan infeksi saluran napas akut.

Sistim kekebalan tubuh pada bayi saat lahir masih sangat terbatas dan akan berkembang sesuai dengan meningkatnya
paparan mikroorganisme di dalam saluran cernanya. Berbagai faktor perlindungan ditemukan di dalam ASI, termasuk
antibodi IgA sekretori (sIgA). Saat menyusui, IgA sekretori akan berpengaruh terhadap paparan mikroorganisme pada
saluran cerna bayi dan membatasi masuknya bakteri ke dalam aliran darah melalui mukosa (dinding) saluran cerna.
Peran perlindungan ASI terdapat pada tingkat mukosa. Pada saat ibu mendapat kekebalan pada saluran cernanya,
kekebalan di dalam ASI juga terangsang pembentukkannya.

Keadaan ini yang menerangkan mengapa menyusui dapat melindungi bayi baru lahir terhadap berbagai infeksi secara
efektif. Berbagai penelitian juga melaporkan bahwa ASI dapat mengurangi kejadian dan beratnya penyakit diare, infeksi
saluran napas, radang telinga tengah (otitis media), radang selaput otak (meningitis), infeksi saluran kemih, dan infeksi
saluran cerna yang disertai kematian jaringan (enterokolitis nekrotikan).

Perlindungan ASI terhadap infeksi bakteri

Imunoglobulin A yang terdapat di dalam ASI memiliki aktivitas antitoksin terhadap enterotoksin (racun) yang dihasilkan
oleh bakteri E. Coli dan V. Cholerae, dan antibodi terhadap beberapa tipe E. Coli. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan ditemukannya titer antibodi E. Coli yang tinggi pada tinja bayi yang mendapat ASI. Suatu penelitian prospektif
di Bangladesh menunjukkan kadar antibodi kolera yang bervariasi di dalam kolostrum dan ASI. Adanya hubungan
antara kolonisasi, kejadian penyakit, dan antibodi dalam ASI menunjukkan bahwa antibodi terhadap kolera tidak
melindungi anak dari kolonisasi V. cholerae, tetapi melindungi terhadap terjadinya penyakit. Respons yang cepat dari
kolostrum dan ASI serta kemampuan melawan kuman melalui pertahanan tubuh non-spesifik juga ditemukan pada
infeksi salmonella.

Strain (jenis) bakteri E. coli yang ditemukan pada tinja bayi menyusui berbeda dengan bayi yang mendapat susu
formula. Jenis E. coli pada bayi menyusui lebih sensitif terhadap efek bakterisidal (mematikan bakteri) serum manusia,
meskipun kurang sensitif terhadap reaksi spontan seperti yang terjadi pada tempat lain, yaitu kemaluan atau saluran
kemih. Hal ini merupakan salah satu cara ASI melindungi tubuh terhadap infeksi.

Penelitian di Swedia menemukan bakteri E. coli jenis 0111 pada 6 anak yang mengalami diare; 2 diantaranya hanya
mendapat ASI dan memperlihatkan gejala klinis yang ringan. ASI ibu kedua anak tersebut ternyata tidak mengandung
antibodi terhadap E.coli 0111. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada faktor lain di dalam ASI yang berperan melindungi
bayi dari penyakit berat.

Perlindungan ASI terhadap infeksi virus

Air susu ibu mengandung antibodi terhadap berbagai jenis virus, antara lain poliovorus, coxsakievirus, echovirus,
influenza virus, reovirus, respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus dan rhinovirus. Telah terbukti bahwa ASI
menghambat pertumbuhan virus-virus tersebut.

Kolostrum mempunyai aktivitas menetralisasi terhadap RSV. Virus ini mengancam jiwa dan sering sebagai penyebab
bayi dirawat di beberapa negara berkembang. Bayi yang dirawat karena menderita infeksi RSV jauh lebih sedikit pada
kelompok yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula (7% vs 28%).

Penelitian prospektif tentang respon kekebalan terhadap RSV memperlihatkan antibodi IgM dan IgG jarang ditemukan
dalam kolostrum atau ASI, tetapi IgA spesifik RSV ditemukan pada 40-75% spesimen (contoh) ASI. Dua orang ibu
yang terinfeksi RSV memiliki IgG, IgM dan IgA di dalam serum dan sekresi hidung/tenggorokannya, tetapi hanya IgA
yang ditemukan dalam ASInya. Keadaan ini membuktikan bahwa antibodi IgA spesifik terhadap mikroorganisme
patogen saluran napas terdapat dalam ASI. Oleh karena RSV hanya bereplikasi (bertambah banyak) di saluran napas,
maka antibodi spesifik RSV yang terdapat di dalam kelenjar payudara dapat berasal dari jaringan limfoid saluran napas
(bronkus).

Enterokolitis nekrotikan merupakan ancaman serius pada bayi khusunya prematur. Penelitian prospekti terhadap bayi
berat lahir rendah di India dengan menggunakan ASI donor dari manusia, didapatkan kejadian infeksi lebih sedikit
secara bermakna dan tidak terdapat infeksi berat pada kelompok yang diberi ASI manusia, sedangkan bayi pada
kelompok yang tidak mendapat ASI (kontrol) banyak mengalami diare, pneumonia, sepsis dan meningitis.

Peran IgA sekretori di dalam ASI juga dapat dilihat pada kejadian radang telinga tengah (otitis media purulenta).
Kejadian otitis media purulenta lebih sedikit pada kelompok bayi yang mendapat ASI eksklusif dibanding bayi yang
hanya mendapat susu formula.

Perlindungan ASI terhadap protozoa

Di dalam ASI terkandung bile salt stimulated lipase (BSSL) yang diduga berperan sebagai mematikan protozoa.
Walaupun demikian mekanisme kerja secara pasti belum diketahui. Nonlipase (faktor non-imunoglobulin) juga telah
diidentifikasikan di dalam ASI dan dapat menginaktivasi Giardia Lamblia.

Transmisi penyakit infeksi melalui air susu ibu

Air susu ibu memberikan perlindungan kepada bayi melalui beberapa mekanisme, antara lain memperbaiki
pertumbuhan mikroorganisme non-patogen, mengurangi pertumbuhan mikroorganisme patogen saluran cerna,
merangsang perkembangan barier mukosa saluran cerna dan napas, faktor spesifik (IgA sekretori, sel kekebalan),
mengurangi reaksi inflamasi (peradangan), dan sebagai imunomodulator (perangsang kekebalan).

Beberapa virus (HIV1, human T-limfofotrophic virus I/HTLV-I, CMV) ditransmisi melalui ASI sehingga dapat
menyebabkan infeksi pada bayi dan anak. Meskipun jarang, bakteri Streptococcus grup B dilaporkan dapat menginfeksi
bayi melalui ASI. Walaupun demikian, menyusui jarang menjadi kontra-indikasi saat ibu mengalami infeksi. Segala
keputusan tentang kemungkinan infeksi pada bayi dan anak harus mempertimbangkan keuntungan ASI dan kerugian
risiko penularan penyakit.

Saat terjadinya infeksi pada ibu dan bayi dapat menentukan mekanisme penularan. Infeksi saat persalinan dapat terjadi
akibat paparan darah/cairan tubuh atau kontak dengan mikrorganisme patogen. Infeksi yang terjadi setelah persalinan
melalui orang yang merawatnya (misalnya orangtua, saudara, pengunjung, petugas kesehatan) atau lingkungan (alat
kedokteran, muntahan). Paparan pada bayi umumnya terjadi sebelum penyakit pada ibu terdiagnosis (misalnya
campak, infeksi virus Coxakie) atau sebelum ibu tampak sakit (cacar air, hepatitis). Oleh karena itu, menghentikan ASI
tidak akan mencegah infeksi pada bayi, bahkan akan mengurangi efek ASI untuk membatasi penyakit pada bayi.

Beberapa penyakit ibu dengan gejala demam (misalnya payudara membangkak, atelektasis (paru kempis), peradangan
pembuluh darah, dan infeksi saluran kemih) bukan merupakan alasan untuk memisahkan bayi dari ibunya.
Pertimbangan penting lain yang berhubungan dengan ASI dan infeksi adalah kadar obat dalam ASI. Kadar obat dalam
ASI yang tertelan oleh bayi umumnya tidak bermakna dibanding kadar obat yang diminum bayi secara langsung.

Infeksi Bakteri

Infeksi bakteri sering terjadi pada neonatus dan bayi, dengan frekuensi 1-5 episod per 1000 kelahiran. Saat terjadinya
infeksi dibagi menjadi early onset (sebelum usia 7 hari, terutama kurang dari 24 jam), late onset (usia 7-30 hari), dan
very late-onset (usia lebih dari 30 hari). Mikroorganisme yang sering ditemukan pada early onset adalah Streptococci
group B dan E. Coli, disamping beberapa mikroorganisme patogen lainnya, seperti Streptococci, Enterococcus spp.
Listeria spp, Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, Chlamydia spp, dan mikroorganisme genital ibu.
Mikroorganisme tersebut juga dapat menyebabkan infeksi late- atau very late-onset. Transmisi mikroorganisme melalui
ASI sangat jarang terjadi dibanding penularan saat persalinan atau melalui kontak langsung dengan lingkungan setelah
melahirkan. .

Infeksi Clamydia merupakan infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual. Kolonisasi yang terjadi saat bayi melalui
jalan lahir dapat menyebabkan konjungtivitis (infeksi pada mata) dan pneumonitis (infeksi pada paru). Di dalam
kolostrum dan ASI terkandung IgA sekretori spesifik terhadap Clamydia. Sampai sejauh ini, tidak ada bukti penularan
infeksi Clamydia melalui ASI.

Escheria coli dapat menyebabkan bakteremia dan infeksi sistemik pada neonatus. Meskipun E.coli sering ditemukan
pada lingkungan ibu dan bayi, belum pernah dilaporkan bahwa ASI sebagai sumber infeksi E. Coli. Infeksi Haemophilus
influenzae dapat terjadi melalui kontak langsung atau droplet pernapasan. Begitu pula, belum ada bukti transmisinya
melalui ASI, bahkan dilaporkan ASI dapat membatasi kolonisasi H. Influenzae di tenggorokan bayi. Neisseria
gonorrhoeae ditransmisi melalui jalan lahir dan jarang melalui kontak setelah lahir. Risiko penularan melalui ASI tidak
pernah dilaporkan, sehingga ASI dapat terus diberikan.

Infeksi Staphylococcus sering terjadi lambat pada periode neonatus. Empat puluh sampai sembilan puluh persen bayi
yang dirawat inap mengalami kolonisasi Staphylococcus aureus pada hari ke-5 dengan sumber infeksinya adalah
kontak dengan ibu, petugas kesehatan, atau donor ASI yang terkontaminasi. Bakteri ini sering pula sebagai penyebab
mastitis (infeksi kelenjar payudara) pada ibu.

Infeksi coagulase-negative staphylococcus menyebabkan infeksi late-onset pada bayi. Prematuritas, berat lahir
rendah/sangat rendah, pengobatan invasif (infus, pembedahan, cuci darah), pemakaian antibiotik dan perawatan yang
lama merupakan faktor risiko terjadinya infeksi ini. Tidak ada perbedaan kejadian infeksi pada bayi yang mendapat
susu formula dan ASI. Oleh karena itu, ASI tetap diberikan dan diharapkan dapat memberikan manfaat dari kandungan
lainnya.

Streptococcus group B (GBS) ditransmisi terutama saat dalam kandungan dan saat persalinan. American Academy of
Pediatrics merekomendasi pemberian antibiotik profilaksis intrapartum pada bayi dengan risiko tinggi. Kolonisasi pada
bayi terjadi saat pasca persalinan dan menyebabkan penyakit GBS late-onset. Penelitian menemukan GBS di dalam
hidung, tenggorokan bayi, dan payudara ibu pada saat yang sama. Penularan lebih disebabkan melalui kontak. Ibu
yang terinfeksi dan mendapat pengobatan, perlu dipisahkan dari bayinya selama 24 jam dengan tetap memberikan ASI
perah untuk bayinya.

Begitu pula tidak ada bukti tentang penularan Clostridium botulinum atau toksinnya melalui ASI. Pertumbuhan
Clostridium botulinum di dalam saluran cerna dapat dihambat dengan suasana asam yang ditimbulkan akibat
mengkonsumsi ASI.

Tuberkulosis kongenital dan mastitis tuberkulosis (TB) jarang terjadi. Penularan TB setelah lahir dapat terjadi melalui
droplet dari ibu atau anggota keluarga lainnnya yang menderita TB aktif. Bayi menyusui atau yang mendapat susu
formula memiliki risiko yang sama untuk tertular melalui saluran napas. Apabila ibu sudah mendapat pengobatan yang
adekuat dan sudah dinyatakan tidak menular, maka ibu dapat kontak langsung dengan bayinya.

Pemantauan terhadap ibu dan bayi harus terus dilakukan sampai ibu selesai mendapat pengobatan. Transmisi TB dari
ASI belum pernah dilaporkan pada kasus tanpa mastitis TB. ASI dapat diberikan secara aman pada bayi, karena obat
anti TB pun dapat diberikan kepada bayi. Satu-satunya kontraindikasi pemberian ASI adalah jika ibu menderita mastitis
TB. Pengobatan profilaksis isoniazid yang diberkan kepada bayi dapat mencegah terjadinya infeksi TB. Apabila baik ibu
maupun bayi mendapat terapi TB, maka ibu dapat kontak langsung dengan bayinya.

Infeksi virus

Infeksi virus pada bayi dapat terjadi saat di dalam kandungan dan saat persalinan. Transmisi infeksi melalui ASI telah
dilaporkan pada CMV, HIV1, dan HTLV-1. Cytomegalo virus merupakan infeksi kongenital tersering di Amerika. Sekitar
1% bayi mengekskresi CMV dari urinnya saat setelah lahir ( kurang dari usia 3 minggu). Kurang lebih 5% bayi yang
terinfeksi kongenital akan mengalami gejala saat lahir dan 15% akan memperlihatkan gejala di kemudian hari (seperti
kehilangan pendengaran dan gangguan belajar). Infeksi pada bayi dapat melalui kontak langsung atau cairan tubuh
saat melahirkan. Infeksi saat setelah lahir dapat terjadi melalui ASI atau kontak dengan cairan tubuh dari individu yang
terinfeksi. Infeksi melalui ASI jarang menyebabkan penyakit pada bayi cukup bulan. Antibodi pada ibu yang terinfeksi
CMV dapat melalui plasenta dan melindungi bayi cukup bulan dari infeksi CMV.

Infeksi primer CMV yang terjadi pada ibu saat melahirkan atau selama laktasi jarang meningkatkan risiko penyakit pada
bayi. Virus ini dapat diidentifikasi dalam ASI ibu dengan CMV positif dengan jumlah yang bervariasi. Penelitian
melaporkan kejadian infeksi CMV berkurang pada bayi prematur yang mengkonsumsi ASI dengan CMV positif yang
disimpan pada suhu -20OC atau dipasteurisasi. Ibu dengan CMV positf dapat memberikan ASI kepada bayinya yang
cukup bulan dengan aman. Sebaliknya, bayi prematur dengan CMV negatif harus dihindarkan dari ASI dengan CMV
positif.

Virus hepatitis (A, B dan C), CMV, dan virus Epstein Barr merupakan virus penyebab hepatitis terbanyak. Transmisi
hepatitis A (HAV) dalam ASI hanya dilaporkan pada satu kasus dan paparan biasanya telah terjadi sebelum diagnosis
pada ibu ditegakkan. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menghentikan menyusui. Bayi dari ibu yang terinfeksi HAV
harus mendapat imunoglobulin dan imunisasi HAV.

Infeksi hepatitis B (HBV) kronis berkembang pada 90% bayi yang terinfeksi saat dalam kandungan dan saat kelahiran.
Meskipun transmisi HBV dapat melalui ASI, (+40% ASI dari ibu HBsAg positif juga menunjukkan HBsAg positif) tetapi
tidak ada perbedaan kejadian infeksi pada bayi yang mendapat susu formula maupun ASI. Penelitian menggunakan
mikroskop elektron memperlihatkan hanya partikel HBsAg yang terkandung di dalam ASI ibu dengan HBsAg positif
(tidak ada partikel Dane); hal ini menandakan bahwa ASI tidak menularkan penyakit hepatitis B.

Pemberian Imunoglobulin Hepatitis B (HBIg) dan vaksin HBV segera setelah bayi lahir dari ibu penderita hepatitis B
dapat mencegah penularan pada lebih dari 95% kasus, tanpa memandang bagaimana pemberian makanannya dan
ASI dapat terus diberikan.

Infeksi virus hepatitis C (HCV) dapat menjadi infeksi kronik pada 70%-85% kasus, tanpa memperhatikan kapan infeksi
terjadi. Menyusui bukan merupakan kontraindikasi bagi ibu dengan infeksi HCV, walaupun diduga bahwa puting lecet
atau berdarah dapat meningkatkan risiko penularan.

Virus herpes simpleks tipe 1 dan 2 (HSV-1,HSV-2) dapat menyebabkan infeksi saat dalam kandungan dan persalinan.
Penelitian melaporkan bayi yang mendapat ASI terinfeksi oleh HSV dari ibu HSV positif akibat luka pada payudara.
Menyusui atau ASI perah tanpa ada lesi pada payudara ibu dan tanda lain infeksi HSV dapat diberikan dengan
menggunakan perlindungan yang aman, seperti menutupi daerah lesi/luka, menggunakan baju khusus dan rajin
mencuci tangan.

Ibu dengan HIV-1 positif yang menyusui bayinya dapat meningkatkan risiko penularan melalui ASI sebesar 4%-22%.
Walaupun demikian, menghentikan pemberian ASI pada negara miskin justru akan meningkatkan angka kesakitan dan
kematian akibat asupan nutrisi yang kurang atau akibat infeksi lain. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk membatasi
penularan HIV1 dari ibu ke bayi, antara lain memenuhi kriteria AFASS menyusui eksklusif, penghentian dini (6 bulan),
edukasi untuk mengurangi terjadinya mastitis atau lesi pada puting, terapi antivirus untuk ibu dan bayi, mengurangi
jumlah virus di ASI (dengan sinar ultraviolet, pembekuan, dan thawing), menstimulasi sistim kekebalan tubuh bayi
dengan imunisasi. Semua upaya tersebut harus diuji kemampu laksanaannya (feasibility), diterima oleh budaya
setempat, manfaat gizi, dan efikasi dengan efek terbaik. Virus HIV2 menyebabkan penyakit dengan gejala klinis mirip
dengan HIV1. Oleh karena belum cukup data mengenai transmisi virus tersebut, maka pedoman menyusui atau
memberi ASI sama dengan infeksi HIV1.
Respiratory syncytial virus (RSV) sering menyebabkan penyakit saluran napas akut pada bayi dan anak. Sampai
sejauh ini tidak ada bukti penularan RSV melalui ASI, sehingga menyusui pada ibu yang terinfeksi RSV dapat
dilanjutkan. ASI perah dapat digunakan bila bayi mengalami kesulitan mengisap akibat adanya distres pernapasan.

Infeksi virus varicella-zoster (VZV) menyebabkan varicella (cacar air) pada infeksi primer dan Herpes Zoster pada
infeksi reaktivasi. Bayi yang menyusu pada ibu terinfeksi VZV mempunyai risiko tertular yang sama dengan bayi yang
mendapat susu formula. Bayi harus dipisahkan dan dirawat oleh orang lain selama ibu masih dalam periode menular.
ASI perah dapat diberikan kepada bayi jika tidak ada lesi kulit pada payudara atau setelah imunoglobulin varicella-
zoster telah diberikan kepada bayinya.

Virus rubella baik pada infeksi alamiah maupun pasca imunisasi pada ibu, dapat ditularkan ke bayi melalui ASI tetapi
tidak menimbulkan efek yang membahayakan.

Virus dengue (serotipe 1-4) menyebabkan demam berdarah dengue. Tidak ada bukti ilmiah adanya penularan virus
dengue melalui ASI. Ibu dengan penyakit dengue dapat tetap menyusui. Human T Lymphoma virus (HTLV) yang
dilaporkan dapat menyebabkan leukemia dilaporkan ditransmisi melalui ASI.

Kesimpulan

Air susu ibu bukan merupakan tempat penularan dari sebagian besar infeksi virus pada ibu, oleh karena itu
meneruskan menyusui merupakan tindakan terbaik bagi ibu dan bayi. Virus CMV, HIV, dan HTLV-1 merupakan virus
yang sering dilaporkan sebagai penyebab infeksi pada bayi akibat penularan dari ASI. Infeksi bakteri pada ibu jarang
mengakibatkan penularan infeksi melalui ASI kepada bayi. Pada sebagian kasus ibu menyusui dengan tersangka
infeksi, menghentikan menyusui hanya akan mengurangi masukan nutrisi dan manfaat kekebalan dari ASI. Keputusan
untuk menyusui harus mempertimbangkan manfaat tak ternilai ASI dibanding risiko tertularnya penyakit.

Anda mungkin juga menyukai